bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir · melayu lainnya, istilah wacana diterjemahkan dalam...

23
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Sebagai bentuk perbandingan dan pertimbangan untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan dua penelitian sebelumnya yang mengkaji penggunaan deiksis persona. Penelitian tersebut, yaitu skripsi yang dilakukan oleh Bambang Kaswanti Purwo (1984), Eni Susilowati (2005) dan Byute Wisnu Devani (2015). Kajian pustaka ini dapat digunakan oleh penulis sebagai bahan pertimbangan dan sebagai bukti bahwa penelitian ini adalah bentuk asli. Penelitian ini mengambil acuan dari penelitian sebelumnya, yaitu berupa disertasi mengenai deiksis dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Bambang Kaswanti Purwo pada tahun 1984 dengan judul Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Purwo dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap hasil penelitian tentang bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh beberapa ahli bahasa yang tidak menguasai bahasa Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwo menjelaskan adanya deiksis luar tuturan (eksofora) dan deiksis dalam tuturan (endofora), pembalikan deiksis, deiksis peka konteks, serta adanya pemetaan kronologis dari deiksis. Penelitian ini tidak hanya melibatkan unsur semantik tetapi juga unsur sintaksis yang kemudian menghasilkan deiksis dengan struktur beku dan struktur korelatif. Kekorelatifan itu ditunjukkan dengan adanya kata kemudian, kini, kemudian (sebagai konstituen pewatas), kekorelatifan konstruksi verbal di- + - + -nya, kekorelatifan konjungsi lalu, kekorelatifan bentuk nya¸kekorelatifan nya dalam lainnya, kekorelatifan

Upload: others

Post on 24-Sep-2019

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Sebagai bentuk perbandingan dan pertimbangan untuk melakukan

penelitian ini, penulis menggunakan dua penelitian sebelumnya yang mengkaji

penggunaan deiksis persona. Penelitian tersebut, yaitu skripsi yang dilakukan oleh

Bambang Kaswanti Purwo (1984), Eni Susilowati (2005) dan Byute Wisnu

Devani (2015). Kajian pustaka ini dapat digunakan oleh penulis sebagai bahan

pertimbangan dan sebagai bukti bahwa penelitian ini adalah bentuk asli.

Penelitian ini mengambil acuan dari penelitian sebelumnya, yaitu berupa

disertasi mengenai deiksis dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Bambang

Kaswanti Purwo pada tahun 1984 dengan judul Deiksis dalam Bahasa Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Purwo dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan

terhadap hasil penelitian tentang bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh beberapa

ahli bahasa yang tidak menguasai bahasa Indonesia.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwo menjelaskan adanya deiksis

luar tuturan (eksofora) dan deiksis dalam tuturan (endofora), pembalikan deiksis,

deiksis peka konteks, serta adanya pemetaan kronologis dari deiksis. Penelitian ini

tidak hanya melibatkan unsur semantik tetapi juga unsur sintaksis yang kemudian

menghasilkan deiksis dengan struktur beku dan struktur korelatif. Kekorelatifan

itu ditunjukkan dengan adanya kata kemudian, kini, kemudian (sebagai konstituen

pewatas), kekorelatifan konstruksi verbal di- + - + -nya, kekorelatifan konjungsi

lalu, kekorelatifan bentuk –nya¸kekorelatifan –nya dalam lainnya, kekorelatifan

13

kata sampai, kekorelatifan pemarkah definit kekorelatifan pemarkah definit sang,

kekorelatifan pemarkah waktu sudah, kekorelatifan kata sudah, masih dan baru.

Acuan kedua diambil dari penelitian sebelumnya, yaitu berupa skripsi

mengenai deiksis persona yang sebelumnya pernah diteliti oleh Eni Susilowati

pada tahun 2005 dengan judul Deiksis Persona dalam Kumpulan Cerpen Pendek

Waktu Nayla. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa bentuk deiksis persona

yang ditemukan pada kumpulan cerita pendek Waktu Nayla, berupa persona

pertama tunggal, meliputi bentuk aku, saya, -ku, dan ku-. Bentuk deiksis persona

pertama jamak meliputi kami dan kita. Bentuk deiksis persona kedua tunggal,

meliputi kamu, engkau, kau, dan mu-. Bentuk deiksis persona kedua jamak yaitu

kalian. Bentuk deiksis persona ketiga tunggal, berbentuk dia, ia, -nya, dan beliau.

Bentuk deiksis persona ketiga jamak, meliputi mereka.

Selain bentuk deiksis persona juga diperoleh peran deiksis persona yang

digunakan pada kumpulan cerpen Waktu Nayla, meliputi a) deiksis persona

pertama tunggal dan jamak yang berperan sebagai pembicara, b) deiksis persona

kedua tunggal dan jamak yang berperan sebagai lawan bicara atau pendengar, dan

c) deiksis persona ketiga yang berperan sebagai orang yang dibicarakan.

Penelitian tersebut juga meneliti aspek semantik struktur deiksis persona.

Aspek semantik sruktural deiksis persona yang ditemukan pada kumpulan cerita

pendek Waktu Nayla, yaitu kepekaan-konteks modalitas imperatif dikaitkan

dengan persona kedua tunggal dan diawali dengan kata coba dan cobalah. Pada

kepekaan-konteks modalitas adhortatif yang dikaitkan dengan persona pertama,

baik tunggal maupun jamak, dan diawali dengan kata mari, ayo, dan biarkan.

14

Berdasarkan kepekaan-konteks modalitas dubitatif, yang dikaitkan dengan

persona ketiga tunggal dan jamak serta persona pertama untuk mengungkapkan

ketidakpastian diri sendiri. Penelitian tersebut menemukan konstruksi dubitatif

dengan ditandai kata agaknya dan sepertinya.

Selain itu penelitian ini juga mengacu pada penelitian dari Byute Wisnu

Devani, sebuah skripsi yang berjudul Deiksis Persona pada Kumpulan Cerpen

Anak Animation World dan Hidung Pinokio Niko pada tahun 2015, yang

simpulannya sebagai berikut:

Bentuk deiksis persona yang dapat ditemukan, yaitu bentuk deiksis

persona pertama, kedua, dan ketiga yang masing-masing memiliki bentuk tunggal

dan jamak. Pada bentuk deiksis persona pertama tunggal dijumpai pronomina

persona aku dan saya. Selain itu juga ditemukan dalam bentuk nama diri, yaitu

Clarissa, Shena, Nani, dan Putri. Bentuk deiksis persona pertama jamak terdiri

dari bentuk pronomina persona kita dan kami. Pada bentuk deiksis persona kedua

tunggal, yaitu pronomina persona kamu, anda, dan engkau. Bentuk deiksis

persona kedua tunggal terdapat pula dalam bentuk nama diri, antara lain Mila,

Alin, Angin, dan Shevilla. Selain itu, juga dijumpai bentuk kata sapaan sebagai

bentuk deiksis persona tunggal, yaitu ibu, mama, ummi/umi, nenek, bapak, ayah,

papa, abi, kek, kakak, adek, dik, sayang, bi, tuan, nona, dan bos. Bentuk deiksis

persona kedua jamak dijumpai pada pronomina persona kalian. Bentuk deiksis

persona kedua jamak juga terdapat pada bentuk kata sapaan teman-teman, anak-

anak, adik-adik, dan nona-nona. Dalam bentuk deiksis persona ketiga tunggal

ditemukan pronomina persona dia, ia, -nya, dan beliau. Pada bentuk deiksis

persona ketiga jamak ditemukan pronomina persona mereka.

15

Pengacuan deiksis persona dalam penelitian yang berjudul Deiksis

Persona pada Kumpulan Cerpen Anak Animation World dan Hidung Pinokio

Niko tersebut terdiri dari deiksis eksofora dan deiksis endofora. Deiksis eksofora

terdapat pada deiksis persona pertama dan kedua. Pada deiksis endofora hanya

terdapat pada bentuk deiksis persona ketiga. Deiksis endofora yang dijumpai

memiliki arah pengacuan anafora dan katafora. Deiksis endofora dengan arah

pengacuan anafora terdapat pada semua bentuk deiksis persona ketiga, sedang

pengacuan katafora hanya ada pada deiksis persona ketiga dalam bentuk

pronomina –nya dan dia.

Berdasarkan pengamatan penelitian tersebut diketahui adanya persamaan

objek kajian, yaitu deiksis persona. Namun, terdapat perbedaan pada subjek

kajian. Perbedaan itu terletak pada subjek kajian yang mengkaji deiksis persona

yang berasal dari dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas

Klasika Minggu. Perbedaan lain dalam penelitian ini adalah dilakukan analisis

dalam pembalikan deiksis yang banyak digunakan pada bahasa anak dengan

menggunakan analisis wacana yang dimungkinkan bukan hanya mengkaji deiksis

secara teks saja, melainkan juga melibatkan konteks situasi dan konteks sosial

kultural di dalamnya.

B. Landasan Teori

1. Pengertian Wacana

Menurut Mulyana (2005:1), wacana merupakan unsur kebahasaan yang

relatif paling kompleks dan paling lengkap. Kajian wacana berkaitan dengan

16

pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan

bukan bahasa (nonverbal).

Menurut Douglas secara etimologi istilah “wacana” berasal dari bahasa

Sanskerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Mulyana, 2005:3). Dilihat

dari jenisnya kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata

kerja golongan III yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kemudian

mengalami perubahan menjadi wacana dengan tambahan sufiks ana yang

bermakna ‘membendakan’. Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’

atau ‘tuturan’. Oleh para linguis Indonesia dan di negara-negara berbahasa

Melayu lainnya, istilah wacana diterjemahkan dalam bahasa Inggris ‘discourse’.

Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin ‘discursus’ yang berarti ‘lari dari

arah yang berbeda’.

Webster memperluas makna discourse sebagai komunikasi kata-kata,

ekspresi gagasan-gagasan, risalah tulis, ceramah dan sebagainya. Discourse dalam

pengisyaratan itu berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif baik

secara lisan maupun tulis (Mulyana, 2005:4). Istilah ini kemudian digunakan oleh

para ahli bahasa dalam kajian linguistik yang dikenal dengan istilah discourse

analyisis (analisis wacana).

Unsur pembeda antara ‘bentuk wacana’ dengan ‘bentuk bukan wacana’

adalah pada ada tidaknya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya

(Mulyana, 2005: . Oleh karena itu, kriteria yang relatif paling menentukan dalam

wacana adalah keutuhan maknanya. Sebuah wacana mengandung unsur intenal

dan eksternal wacana. Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan,

17

sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri.

Unsur internal dalam wacana, yaitu:

a. Kata dan kalimat

Kata merupakan bagian dari kalimat, sedangkan kalimat dapat

diartikan sebagai susunan yang terdiri dari beberapa kata yang bergabung

menjadi satu pengertian dengan intonasi yang sempurna. Namun, kadang

dijumpai satu kata yang merupakan satu kalimat. Kalimat dengan satu kata ini

sering muncul dalam suatu dialog atau percakapan.

b. Teks dan koteks

Analisis linguistik teks langsung mengandaikan objek kajiannya

berupa bentuk formal bahasa, yaitu kosakata dan kalimat, sedangkan analisis

wacana mengharuskan disertakannya analisis tentang konteks terjadinya suatu

tuturan (Mulyana, 2005: 9). Teks dapat diartikan sebagai esensi wujud

bahasa. Dengan kata lain, teks direalisasikan dalam bentuk ‘wacana’. Teks

lebih bersifat konseptual, sedangkan koteks dapat diartikan sebagai teks yang

bersifat sejajar, koordinatif dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, baik

yang berada di depan maupun di belakangnya.

Unsur-unsur eksternal dalam wacana, yaitu:

a. Implikatur

Implikatur ini dapat diartikan sebagai makna tersirat dan tidak tersurat

dalam teks. Dengan kata lain adalah maksud, keinginan atau ungkapan-

ungkapan dari hati yang tersembunyi. Yule juga menjelaskan mengenai

implikatur ini yang berarti adanya makna dalam setiap kata yang dituturkan.

18

“That something must be more than just what the words mean. It is an

additional conveyed meaning, called an implicature.” (Yule, 1996: 35)

Rahardi (2005: 43) menjelaskan bahwa di dalam pertuturan yang

sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi

karena mempunyai kesamaan latar belakang. Grice (1975) menyatakan bahwa

sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan

bagian dari tuturan tersebut. prosisis yang diimplikasikan tersebut disebut

dengan implikatur percakapan.

b. Presuposisi

Istilah presuposisi adalah turunan dari bahasa Inggris presupposition,

yang berarti ‘perkiraan, persangkaan’ (Nababan, 1987: 47). Mulyana

kemudian juga menyebut presuposisi sebagai praanggapan. Praanggapan

adalah anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi

berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi

pendengar/pembaca (Mulyana, 2005: 14). Sebuah tuturan dapat dikatakan

mempraanggapkan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan

dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang

mempresuposisikan tidak dapat dikatakan (Rahardi, 2005:42).

c. Pengacuan atau Referensi

Pengacuan atau referensi adalah hubungan antara kata dengan benda

(orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan

perilaku pembicara/penulis (Mulyana, 2005: 16). Jadi, yang menentukan

adanya referensi adalah pihak pembicara itu sendiri, sedangkan pendengar

hanya mampu menerka hal yang dimaksudkan oleh pembicara.

19

Berdasarkan bentuknya, referensi dapat dipilah menjadi tiga bagian,

yaitu referensi dengan nama, referensi dengan kata ganti dan referensi dengan

pelesapan (Mulyana, 2005:18). Referensi dengan nama dipakai untuk

memperkenalkan topik (subjek) yang baru, atau justru untuk menegaskan

bahwa topiknya masih sama. Referensi dengan kata ganti juga digunakan

untuk menegaskan bahwa topiknya masih sama. Referensi dengan pelesapan,

yaitu menghilangkan bagian-bagian tertentu dalam suatu kalimat untuk

menunjukkan masih adanya pengacuan bentuk dan makna di dalam kalimat

lainnya.

d. Inferensi

Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau

pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam

wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Alwi, Hasan.et.al,.

2003: 441). Dengan kata lain, pembaca harus memahami sendiri makna yang

disampaikan oleh penulis atau pembicara terkait dengan tulisan atau tuturan

yang disampaikannya.

e. Konteks wacana

Secara garis besar konteks wacana ini adalah hal-hal yang ikut

mempengaruhi keberadaan suatu teks. Menurut Mulyana (2005:21) konteks

ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap

sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu

yang berkaitan dengan tuturan, baik arti, maksud, maupun informasinya

sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

Pemahaman konteks situasi dan sosial kultural dalam analisis wacana dapat

20

dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi. Prinsip

yang dimaksud, yaitu prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran

lokasional, prinsip penafsiran temporal dan prinsip analogi (Sumarlam,

2005:47). Pemahaman wacana melalui berbagai prinsip penafsiran dan analogi

tersebut tentu saja mempertimbangkan faktor-faktor seperti faktor sosial,

situasional, kultural dan juga pengetahuan tentang dunia (Sumarlam,

2005:48).

“Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesungguhnya

yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana” (Sumarlam, 2005:48). Prinsip

penafsiran lokasional terkait dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya

suatu situasi, baik situasi yang berupa keadaan, peristiwa maupun proses

dalam rangka memahami wacana. “Prinsip penafsiran temporal berkaitan

dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat

menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (persitiwa,

keadaan, proses) (Sumarlam, 2005:49), sedangkan prinsip analogi adalah

prinsip dasar yang digunakan oleh penutur maupun mitra tutur untuk

memahami makna dan maksud dari keseluruhan wacana tersebut.

2. Wacana Fiksi

Mulyana menyatakan bahwa wacana fiksi adalah wacana yang bentuk dan

isinya berorientasi pada imajinasi (2005:54). Umumnya, penampilannya dikemas

dengan nilai estetika (keindahan). Di samping itu, tidak menutup kemungkinan

bahwa karya-karya fiksi mengandung fakta dan hampir sama dengan kenyataan.

Namun, sebagaimana proses kelahiran dan sifatnya, karya semacam ini tetap

termasuk ke dalam kategori fiktif. Wacana fiksi menurut Mulyana (2005:54)

21

dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu: wacana prosa, wacana puisi dan wacana

drama.

a. Wacana Prosa

Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan atau ditulis dalam

bentuk prosa. Wacana ini dapat berbentuk tulis atau lisan seperti novel, cerita

pendek, artikel, makalah, buku, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan

beberapa bentuk kertas kerja.

b. Wacana Puisi

Wacana puisi merupakan jenis wacana yang dituturkan atau

disampaikan dalam bentuk puisi. Seperti wacana prosa, dalam wacana puisi

juga bisa berbentuk tulis atau lisan. Bahasa yang digunakan dan isinya

berorientasi pada kualitas estetika (keindahan) seperti, lagu, tembang,

geguritan dan sejenisnya.

c. Wacana Drama

Wacana drama (dramatik) adalah jenis wacana yang disampaikan

dalam bentuk drama. Pola yang digunakan umumnya berbentuk percakapan

atau dialog. Oleh karena itu dalam wacana ini harus ada pembicaraan dan

pasangan bicara.

3. Deiksis

“Deiksis berasal dari kata deiktitos dalam bahasa Yunani yang berarti ‘hal

penunjukan secara langsung’. Pada logika istilah Inggris deictic dipergunakan

sebagai istilah untuk pembuktian langsung (pada masa setelah Aristoteles) sebagai

lawan dari istilah elenctic, yang merupakan istilah untuk pembuktian tidak

22

langsung” (The Compact Edition of The Oxford English Dictionary dalam Purwo,

1984: 2). Alwi berpendapat mengenai pengertian deiksis sebagai berikut:

Gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya

dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi

pembicaraan. Deiksis dapat dipakai untuk menggambarkan fungsi

pronomina persona, demonstrativa, fungsi waktu, aneka ciri

gramatikal, dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran

dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran (Alwi,

2003:42).

Demonstrativa (kata yang berfungsi untuk menunjuk atau menandai secara khusus

orang atau benda) seperti ini dan itu, dan pronomina persona seperti saya, kamu,

dan dia dapat berfungsi sebagai deiksis,sedangkan sesuatu yang diacu oleh deiksis

disebut sebagai anteseden. Purwo juga berpendapat tentang sebuah kata yang

bersifat deiksis sebagai berikut:

Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-

pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si

pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata

itu, misalnya kata saya, sini, dan sekarang. Demi pengertian penuh

istilah “deiksis” itu, perlu diperhatikan bahwa unsur-unsur yang

mengandung arti (biasanya: leksem (lexeme): tetapi juga yang

menggantikannya secara pronominal, baik itu berupa bentuk bebas

maupun bentuk yang terikat secara morfemis) dapat dibedakan

antara yang referensial (misalnya kata rumah, meja) dan yang tidak

referensial (misalnya kata walaupun dan aduh). (Purwo, 1984:1)

Purwo menjelaskan bahwa, deiksis menurut pandangan aliran linguistik

tradisional adalah sesuatu ungkapan yang bereferen luar-tuturan. Pandangan ini

yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang bukan

merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri. Hal tersebut berbeda dengan subjek

kalimat, yang dalam statusnya sebagai kata merupakan salah satu unsur di dalam

bahasa (1984:7). Peneliti lain, Fillmore dalam Purwo menyatakan bahwa penutur

merupakan pusat deiktis. Hal itu menimbulkan pengertian jauh dekat terhadap

23

deiksis dalam kata ini dan itu. Kata ini menunjuk pada tempat yang dekat dengan

pusat deiktis dan kata itu menunjuk pada tempat yang jauh dari pusat deiktis

(1984:8). Deiksis juga memiliki keunikan tersendiri, misalnya Tanz (dalam

Purwo,1984:20) menyampaikan penelitiannya terhadap tingkat-tingkat

perkembangan penguasaan bahasa pada kanak-kanak yang menyimpulkan bahwa

banyak anak yang sudah menguasai sistem persona pada umur dua tahun.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa anak-anak di atas umur itu masih belum

dapat secara konsisten memakai dengan tepat verba come/go dan bring/take.

Bahkan, tidak semua anak yang sudah berumur sembilan tahun menggunakan

verba deiktis tersebut secara tidak salah. Kenyataan lain yang mendukung adanya

hierarki kedeiktisan itu menurut Purwo adalah bahwa semua leksem persona

merupakan leksem deiktis, sedangkan leksem ruang dan waktu ada yang deiktis

ada pula yang tidak (1984:20).

Purwo (1984) menggolongkan deiksis menjadi dua, yaitu deiksis luar

tuturan (eksofora) dan deiksis dalam tuturan (endofora). Deiksis luar tuturan

(eksofora) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu deiksis persona, deiksis ruang dan

deiksis waktu, sedangkan deiksis dalam tuturan (endofora) dibagi di dalamnya

adanya pemarkah anafora dan katafora.

Deiksis luar tuturan (eksofora) untuk yang pertama adalah deiksis persona.

Sudaryat menjelaskan, deiksis persona merupakan pronomina persona yang

bersifat ekstralingual dan intralingual yang berfungsi menggantikan suatu acuan

(anteseden) (2009:122). Kedua, deiksis ruang. Purwo (1984: 37) menerangkan

bahwa, tidak semua leksem ruang dapat bersifat deiktis dan tidak ada leksem

ruang yang berupa nomina. Nomina baru dapat menjadi lokatif apabila

24

dirangkaikan dengan preposisi hal ruang. Leksem ruang dapat berupa adjektiva,

adverbia atau verba. Diterangkan juga oleh Fillmore dalam Purwo (1984: 58)

bahwa, dalam banyak pernyataan mengenai waktu diambil dari leksem ruang.

Terdapat dua pengertian tentang gerak yang dapat dihubungkan dengan waktu:

suatu subjek yang bergerak melewati waktu (dalam hal ini waktu dianggap

sebagai hal yang diam) dan waktu yang bergerak menuju ke arah suatu subjek dan

melewatinya. Purwo (1984:59) juga menyatakan adanya leksem ruang yang

mengungkapkan pengertian waktu. Leksem ruang seperti depan, belakang,

panjang, dan pendek yang dipakai dalam pengertian waktu memberikan kesan

seolah-olah waktu merupakan hal yang diam, sedangkan leksem ruang seperti

datang, lalu, tiba, dan mendekat dalam pengertian waktu memberikan kesan

bahwa waktulah yang bergerak (Purwo, 1984:59). Ketiga adalah leksem waktu.

Purwo juga menyebutkan adanya leksem waktu yang tidak deiktis. Beberapa

leksem waktu seperti saat, waktu, masa, tempo, kala, dan kali berbeda dalam hal

jangkanya atau panjang pendeknya (1984:65). Kemudian ia juga menambahkan,

leksem waktu seperti pagi, siang, sore dan malam tidak bersifat deiktis karena

perbedaan masing-masing leksem itu ditentukan berdasarkan patokan planet bumi

terhadap matahari. Leksem waktu bersifat deiktis apabila yang menjadi patokan

adalah si pembicara (Purwo, 1984:71).

Deiksis dalam tuturan (endofora) terdiri dari pemarkah anafora dan

katafora. Menurut Purwo (1984:105) di antara bentuk-bentuk persona hanya kata

ganti persona ketiga yang dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora. Lebih

lanjut Purwo juga menjelaskan tentang persona ketiga ini, ia sependapat dengan

Brecht, yaitu persona ketiga memang dapat eksoforis maupun endoforis. Namun,

25

Purwo tidak setuju dengan pendapat Brecht yang mengatakan bahwa persona

pertama dan kedua dapat endoforis, meskipun itu dalam kutipan langsung, seperti:

(a) Nina skazala Borisu: “Ja tebja ne ijublju1”

(b) Nina said to Boris: “I don’t love you!”

(c) ‘Nina berkata kepada Boris: “Saya tidak cinta padamu!”

Hubungan antara Nina dan saya bukan hubungan koreferensial; kata saya

tidak mengacu pada Nina (tidak memiliki hubungan secara endoforis di dalam

tuturan) tetapi menunjuk pada orang yang bernama Nina (mempunyai hubungan

secara luar tuturan) (Purwo, 1984). Bukti bahwa persona pertama dan kedua

dalam contoh kalimat tersebut tidak endoforis adalah adanya tenses antara kalimat

induk dan kalimat kutipannya. Apabila kalimat kutipan langsung tersebut

dijadikan kalimat tidak langsung, maka dapat dimungkinkan akan menggunakan

kala (tenses) yang sama seperti kalimat induknya.

Yang dalam kutipan langsung semula adalah persona pertama (I),

dalam kutipan tak langsung menjadi persona ketiga (she, karena

berkoreferensi dengan Nina), sedangkan persona kedua (you)

menjadi persona ketiga (he, karena berkoferensi dengan Boris).

Persona pertama dan kedua dalam kutipan langsung harus dijadikan

sebagai persona ketiga dalam kutipan tak langsung (harus

diendoforakan) karena kedua persona tersebut tidak dapat endoforis.

(Purwo, 1984:106)

Purwo juga memberikan gambaran yang jelas untuk membedakan labuhan

luar tuturan dengan labuhan dalam tuturan adalah bidang permasalahannya.

Persoalan dalam eksofora adalah bidang semantik leksikal, meskipun bidang

sintaksis tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pembahasan bidang semantik

leksikal (1984:19), sedangkan dalam endofora adalah masalah sintaksis

(1984:103).

26

4. Deiksis Persona

Deiksis persona merupakan pronomina persona yang bersifat ekstralingual

dan intralingual yang berfungsi menggantikan suatu acuan (anteseden) (Sudaryat,

2009: 122). Berbeda dengan pengertian itu, Slamet Muljana (dalam Purwo, 1984:

21) menyatakan pronomina persona dengan istilah kata ganti diri, hal tersebut

disebabkan karena berfungsi untuk menggantikan diri orang. Ahli lain Mess,

Poedjawijatna, dan Zoetmulder, Hadidjaja (dalam Purwo, 1984: 21) juga

menggunakan istilah kata ganti orang. Sebetulnya di antara ketiga kata ganti

persona, kata ganti persona pertama dan kedua hanya dapat menyatakan orang.

Kata ganti persona ketiga dapat menyatakan orang atau benda (termasuk

binatang).

Penelitian ini juga menggunakan istilah persona. Menurut Lyons, kata

Latin persona ini merupakan terjemahan dari kata Yunani proposon yang artinya

‘topeng’ (topeng yang dipakai oleh seorang pemain sandiwara), dan yang juga

berarti peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain drama. Pemilihan istilah

ini oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa

bahasa dan permainan sandiwara. Purwo (Purwo, 1984:22) kemudian menjelaskan

lebih lanjut bahwa, referen yang ditujukan oleh kata ganti persona berubah-ubah

tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Persona I

digunakan untuk menyebutkan orang yang sedang berbicara. Apabila orang

tersebut tidak berbicara lagi dan ganti peran sebagai pendengar, maka ia

dinamakan sebagai persona II, sedangkan orang yang tidak hadir dalam

pembicaraan (tetapi menjadi bahan pembicaraan) atau yang hadir dekat dengan

27

pembicaraan (tetapi tidak terlibat dalam pembicaraan) dinamakan sebagai persona

III.

Pada sebuah karya fiksi seperti dongeng atau karya lainnya acuan orang

tersebut berwujud tokoh dalam fiksi, penulis, pembaca, atau orang yang

dibicarakan. Seperti halnya dengan cerita dongeng yang terdapat pada rubrik

Nusantara Bertutur ini akan dibeda-bedakan. Pertama, kategori orang pertama

digunakan sebagai rujukan kepada dirinya sendiri atau dalam cerita biasa

digunakan oleh tokoh ‘aku’ atau ‘saya’. Kedua, kategori orang kedua digunakan

sebagai rujukan kepada orang lawan bicara atau dalam cerita biasa digunakan

untuk lawan bicara atau ‘kamu’. Ketiga, kategori orang ketiga digunakan sebagai

rujukan kepada orang atau benda yang bukan pembicara dan bukan pendengar

atau ‘dia’.

5. Pengacuan Deiksis

Pengacuan atau referensi adalah hubungan antara satuan bahasa dan

maujud yang meliputi benda atau hal yang diacu oleh satuan bahasa itu. Acuan

atau referen kata meja ialah benda ‘meja’ yang berada di luar bahasa (Alwi, 2003:

43). Sementara itu Brecht dalam Purwo menjelaskan bahwa, deiksis memiliki

interpretasi semantik deiksis yang lebih luas sehingga dapat mencakup dua

kemungkinan titik orientasi suatu elemen deiktis di dalam konteksnya (1984:8).

Penggunaan dua titik orientasi tersebut dalam deiksis disebut deiksis eksofora dan

endofora. Berikut penjelasan mengenai deiksis eksofora dan endofora.

a. Deiksis Eksofora

Dalam struktur bukan sematan, titik orientasi berada di dalam konteks

di luar bahasa. Hal itu disebut dengan deiksis luar-tuturan atau eksofora

28

(Brecht dalam Purwo, 1984: 8). Oleh Kridalaksana (2005:76), hal ini

dijelaskan pada pronomina ditunjukkan dengan menggantikan nomina yang

terdapat di luar wacana. Pronomina ini bersifat deikstis. Purwo memberi

contoh, Buku itu sudah kuambil. (1984:28). Pronomina persona -ku

mempunyai antaseden sesuai dengan penuturnya.

b. Deiksis Endofora

Dalam struktur sematan, titik orientasi berada di dalam kalimat atau wacana itu

sendiri disebut deiksis dalam-tuturan atau endofora (Brecht dalam Purwo,

1984:8). Ia menjelaskan bahwa, dalam deiksis endofora terdapat klasifikasi

berdasarkan letak pengacuan titik tolak, yaitu anafora dan katafora (1984: 10).

(1) Anafora

Anafora terdapat pada pengacuan pada konstituen di sebelah kiri

(Brecht dalam Purwo, 1984: 10). Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk

membuat rujuk silang, dengan hal atau kata yang telah dinyatakan

sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka,

nomina tertentu, konjungsi, keterangan waktu, alat, dan cara (Alwi, Hasan.

et.al. 2003: 43). Untuk pronomina dapat dikatakan bersifat anaforis jika

mempunyai antaseden yang berada di depannya (Kridalaksana, 2005: 76).

Alwi berusaha memberi contoh sebagai berikut, Bu Mastuti belum mendapat

pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sarjananya dua tahun lalu. (2003:

43). Dalam kalimat tersebut Bu Mastuti sebagai antaseden dari pronomina

persona dia.

(2) Katafora

29

Katafora terdapat pengacuan pada titik tolak di sebelah kanan (Brecht

dalam Purwo, 1984: 10). Katafora adalah rujuk silang terhadap antaseden

yang ada di belakangnya (Alwi, Hasan, et.al. 2003: 43). Pada pronomina

bersifat kataforis jika mempunyai antaseden berada di belakangnya

(Kridalaksana, 2005: 76). Contoh penggunaannya sebagai berikut: Setelah dia

masuk, langsung Tony memeluk adiknya. Dalam kalimat tersebut Tony

sebagai anteseden berada di belakang pronomina dia yang mengacu pada

Tony.

6. Pembalikan Deiksis

Pembalikan deiksis adalah penciptaan dasar deiktis bukan dalam persona

penutur, tempat penutur atau saat penutur, tempat penutur atau saat penutur

melainkan dalam persona lain penutur beridentifikasi (Verhaar, 1996: 410). Lyon

dalam Purwo membicarakan apa yang disebutnya situasi tuturan yang kanonik

(the canonical situation of uttarnce). Dalam situasi tuturan kanonik ini semua

peserta tindak ujaran hadir dalam dimensi ruang dan waktu yang sama; masing-

masing dapat melihat satu sama lain, dapat mempergunakan panca inderanya

untuk menangkap hal-hal yang paralingual ( seperti gerak-gerik, isyarat tangan,

mata) (1984:156). Selanjutnya Lyons dalam buku yang sama juga menjelaskan

bahwa, komunikasi yang peserta tindak ujarannya berpijak pada ruang dan waktu

yang sama ini bersifat egosentris, atau si pembicara berada pada titik nol; segala

sesuatu diarahkan dari sudut pandangnya. Komplikasi akan timbul apabila bunyi

bahasa pada komunikasi berhadap-hadapan itu dipisahkan dari hal-hal

paralingual. Hal ini akan terasa, misalnya dalam mendengar hasil rekaman suatu

pembicaraan karena hal-hal paralingual tidak ikut terekam dalam kaset.

30

Pentingnya kaitan antara hal-hal paralingual dengan leksem deiktis (eksoforis)

tertentu belum dapat sepenuhnya dirasakan oleh anak di bawah umur tujuh tahun,

seperti yang ditunjukkan Herb Clark (dalam Purwo, 1984: 156)

Eksperimen Herb Clark (dalam Purwo, 1984: 156) tersebut menyebutkan

adanya dua orang anak yang dipisahkan dalam tirai yang tidak memungkinkan

untuk melihat tetapi mereka dapat mendengar satu sama lainnya. Dalam

praktiknya, anak satu diminta untuk mengajar anak lainnya menyusun balok-

balok. Ada kemungkinan anak satu akan mengatakan, “Letakkan balok ini di atas

balok itu”, dan anak lainnya mengatakan “Yang ini?,” jawab anak satunya “Iya”

tanpa ia melihat balok “ini” dan “itu” yang dimaksudkan. Eksperimen ini

menunjukkan anak-anak belum merasa penting adanya gerak-gerik dalam kata

ganti demonstratif.

Pembalikan deiksis biasa terjadi pada saat keadaan menulis surat atau

bertelepon. Dalam bahasa Latin Klasik dikenal dengan apa yang disebut sebagai

kala persuratan, yang banyak ditemukan dalam penulisan surat. Penulis surat

tidak mempergunakan kala saat surat itu dituliskan, tetapi mempergunakan kala

saat surat itu dibaca. Lyons (dalam Purwo 1984: 158) menyebutkan fenomena

tersebut sebagai “projeksi deiksis” (deictic projection: the speaker projects

himself into a deictic contexts centred on the addressee). Lyons juga menyebutkan

adanya “deiksis berempati” (empathetic deixis) (dalam Purwo 1984:158). Deiksis

berempati ini terjadi dalam bahasa tulisan: dalam konteks tertentu dipilih kata this

sebagai kata ganti that untuk pengacuan ke kiri. Lyons juga menambahkan adanya

pemilihan leksem deiksis yang menunjuk pada hal yang dekat dengan penutur

disebabkan oleh keinginan si penutur menunjukkan keterlibatan dirinya dalam

31

kisah yang ditulisnya. Dalam disertasi Purwo (1984), apa yang disebut Lyons

sebagai “projeksi deiksis” dalam penelitiannya disebut sebagai pembalikan deiksis

luar-tuturan, sedangkan “deiksis berempati” disebut sebagai pembalikan deiksis

dalam-tuturan.

7. Pembalikan Deiksis Persona

Secara logis Purwo (1984:159) menyatakan kemungkinan pembalikan

deiksis persona itu sebagai berikut :

a. bentuk persona pertama untuk menunjuk persona kedua

b. bentuk persona kedua untuk menunjuk persona pertama

c. bentuk persona pertama untuk menunjuk persona ketiga

d. bentuk persona ketiga untuk menunjuk persona pertama

e. bentuk persona kedua untuk menunjuk persona ketiga

f. bentuk persona ketiga untuk menunjuk persona kedua

Di antara keenam kemungkinan ini menurut Purwo (1984) hanya lima

yang dapat ditemukan contohnya dalam bahasa Indonesia, yaitu (a), (b), (d), (e)

dan (f). Contoh pembalikan bentuk persona kedua untuk menunjukkan persona

pertama adalah “Tak boleh begitu, Pip. Ibu tadi sudah bilang apa,” tegur ibu Pip.

(A25/SSHB/1 Maret ‘15). Pada kalimat tersebut kata Ibu dipergunakan sebagai

persona pertama, yang pada lazimnya digunakan sebagai penunjuk persona kedua.

Hal inilah yang dinamakan sebagai pembalikan deiksis persona, yaitu

menempatkan diri pada posisi yang diduduki oleh lawan bicaranya.

32

8. Dongeng

Danandjaja (2007: 83) mengatakan bahwa, dongeng adalah cerita prosa

rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama

untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan

pelajaran (moral) atau bahkan sindiran. Menurut Verawati dalam artikel yang

berjudul Cerdaskan Anak dengan Dongeng menyebutkan bahwa, dongeng

merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata,

menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung

makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya (2013). Dongeng

merupakan dunia khayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang

kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Terkadang

kisah dongeng bisa membawa pendengar terhanyut ke dalam dunia fantasi

tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang

disampaikan. Kisah dongeng yang sering diangkat menjadi saduran dari

kebanyakan sastrawan dan penerbit, lalu dimodifikasi menjadi dongeng modern.

Jenis-jenis dongeng dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:

a. Fabel, yaitu dongeng yang berisi tentang dunia binatang. Dongeng yang

paling populer ini adalah Si Kancil karena daya ketertarikan anak-anak

terhadap binatang masih tinggi.

b. Legenda, yaitu dongeng yang berhubungan dengan keajaiban alam, biasanya

berisi tentang kejadian suatu tempat. Contohnya adalah dongeng terjadinya

Danau Toba.

33

c. Sage, yaitu dongeng yang banyak mengandung unsur sejarah. Karena

diceritakan dari mulut ke mulut, lama-kelamaan tambahan cerita bersifat

khayal. Contohnya Dongeng Jaka Tingkir.

d. Parabel, yaitu dongeng yang banyak mengandung nilai-nilai pendidikan atau

cerita pendek dan sederhana yang mengandung ibarat atau hikmah sebagai

pedoman hidup.

Penelitian deiksis persona dalam dongeng anak pada rubrik Nusantara

Bertutur ini merupakan jenis dongeng fabel dan parabel. Hal ini dikarenakan jenis

dongeng yang banyak dijumpai adalah yang bertokoh binatang dan manusia.

Kesemua itu banyak mengandung nilai-nilai pendidikan dan berupa cerita pendek

yang lebih sederhana.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir digunakan sebagai gambaran jalan pikir penulis dimulai

dari adanya teks dongeng anak dalam rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas

Klasika Minggu sampai ditemukannya hasil analisis. Bagan di bawah ini

menggambarkan bahwa penelitian ini bermula dari adanya teks dongeng anak

pada rubrik Nusantara Bertutur yang dianggap sebagai wacana prosa. Karena

penelitian ini menggunakan teks dongeng sebagai sebuah wacana prosa, maka

perlu dilakukan analisis konteks wacana yang terdiri dari konteks situasi dan

konteks sosial kultural yang melingkupi terbentuknya penggunaan deiksis persona

tersebut. Setelah didapatkan konteks sosial kultural tersebut, kemudian dilakukan

analisis terkait penggunaan deiksis persona pada teks dongeng anak tersebut.

Analisis penggunaan deiksis tersebut akan didapat hasil analisis berupa bentuk

deiksis persona, pengacuan deiksis persona dan pembalikan deiksis persona yang

34

merupakan unsur eksternal dari kajian wacana dalam teks dongeng anak pada

rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu. Kerangka pikir

dapat digambarkan sebagai berikut:

Teks dongeng anak dalam rubrik Intermeso Keluarga

sebagai sebuah wacana prosa

Mendeskripsikan unsur eksternal

kajian wacana dalam teks dongeng

anak yang berupa penggunaan

deiksis persona, pengacuan deiksis

persona dan pembalikan deiksis

persona pada rubrik Nusantara

Bertutur di koran Kompas Klasika

Minggu

Hasil analisis:

1) Deskripsi tentang konteks situasi dan konteks sosial kultural yang

membangun lahirnya teks dongeng anak pada rubrik Nusantara

Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu.

2) Deskripsi tentang bentuk deiksis persona, pengacuan deiksis persona

dan pembalikan deiksis persona yang merupakan unsur eksternal

dari kajian wacana dalam teks dongeng anak pada rubrik Nusantara

Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu.

Mendeskripsikan konteks situasi

dan konteks sosial kultural yang

membangun lahirnya dongeng

anak pada rubrik Nusantara

Bertutur di koran Kompas

Klasika Minggu.