gangguan psikotik pada penggunaan ganja...

35
TINJAUAN PUSTAKA GANGGUAN PSIKOTIK PADA PENGGUNAAN GANJA (Cannabis) Penulis : Dr. Luh Nyoman Alit Aryani SpKJ(K) PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF PSIKIATRI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2017

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • TINJAUAN PUSTAKA

    GANGGUAN PSIKOTIK PADA PENGGUNAAN GANJA

    (Cannabis)

    Penulis :

    Dr. Luh Nyoman Alit Aryani SpKJ(K)

    PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

    BAGIAN/SMF PSIKIATRI FK UNUD/RSUP SANGLAH

    DENPASAR

    2017

  • i

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

    rahmat-Nya tinjauan pustaka ini dapat diselesaikan. Tinjauan pustaka ini disusun untuk

    sebagai suatu upaya untuk terus mencari dan menambah ilmu pengetahuan yang

    kiranya dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.

    Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna

    sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran yang membangun dari para senior

    maupun teman-teman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan banyak

    terima kasih.

    Hormat saya,

    Penulis

  • ii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

    DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

    DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iii

    DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. iv

    DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................. v

    BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

    1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

    1.2 Batasan Masalah ............................................................................................... 2

    1.3 Tujuan dan Manfaat .......................................................................................... 2

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 4

    2.1 Profil Ganja (Cannabi ....................................................................................... 4

    2.2 Epidemiologi Ganja (Cannabis) ...................................................................... 6

    2.3 Dampak Penggunaan Ganja (Cannabis) ........................................................... 7

    2.4 Neurofarmakologi Ganja (Cannabis) ................................................................ 9

    2.5 Gangguan Psikotik Akibat Penggunaan Ganja (Cannabis) ............................ 16

    BAB III RINGKASAN ............................................................................................. 24

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 26

  • iii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Efek samping penggunaan marijuana jangka pendek dan

    jangka panjang atau pengguna berat ............................................................................ 9

    Tabel 2. Pengaruh ganja terhadap fungsi eksekutif ................................................... 19

  • iv

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Ganja (Cannabis) ....................................................................................... 5

    Gambar 2. Pengaturan neurotransmitter sistem reward mesolimbik ......................... 13

    Gambar 3. Dopamin sebagai pusat sistem reward .................................................... 14

  • v

    DAFTAR SINGKATAN

    BNN : Badan Narkotika Nasional

    CAM : Complementary Alternative Medicine

    CB1 : Cannabinoid 1 reseptor

    CB2 : Cannabinoid 2 reseptor

    CBD : Cannabidiol

    COMT : Catechol-O-methyltransferase

    DA : Dopamin

    GABA : Gamma-Aminobutyric Acid

    GSK-3 : Glikogen Sintase Kinase

    NAPZA : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya

    PFC : Prefrontal Cortex

    SSP : Sistem Saraf Pusat

    THC : Tetrahidrokanabinol

    VTA : Ventral Tegmental Area

    WHO : World Health Organization

    Δ9-THC : Delta-9-tetrahydrocannabinol

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Ketergantungan dan penyalahgunaan zat bukan merupakan masalah baru

    di Indonesia. Dewasa ini, diperkirakan di Indonesia terdapat peningkatan jumlah

    penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dari

    tahun ke tahun (Husin & Siste, 2013).

    NAPZA yaitu singkatan dari narkotik, psikotropik dan zat adiktif lain.

    Sebutan yang mirip di masyarakat adalah “narkoba”. NAPZA ada yang semata-

    mata berasal dari tumbuh-tumbuhan (natural, alami) seperti : ganja, ada yang

    sintetis (shabu) dan ada pula yang semi sintetis (putau). NAPZA didefinisikan

    sebagai setiap bahan kimia/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan

    mempengaruhi fungsi tubuh secara fisik dan psikologis (Husin & Siste, 2013).

    Ganja (kanabis, marijuana) termasuk golongan zat adiktif. Pemanfaatanya

    sebagai obat telah dikenal sejak kurang lebih 5000 tahun yang lalu di negeri Cina

    (Depkes, 2000).

    Di Indonesia terdapat antara 2-3juta orang yang pernah menghisap ganja

    (di Amerika Serikat 5 juta orang pernah menggunakan ganja sepekan sekali).

    Pengguna pemula ganja terutama dikalangan anak usia muda, meningkat tajam

    selama 4-5 tahun terakhir karena ganja mudah diperoleh dimana-mana (produk

    lokal) (Husin & Siste, 2013).

  • 2

    Berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN)

    bekerjasama dengan Puslitkes UI Tahun 2011 tentang Survei Nasional

    Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, diketahui bahwa angka

    prevalensi penyalahgunaan Narkoba di Indonesia telah mencapai 2% atau sekitar

    4,2 juta orang dari total populasi penduduk (berusia 10 - 59 tahun). Tahun 2015

    jumlah penyahguna Narkoba diproyeksikan ± 2,8% atau setara dengan ± 5,1 - 5,6

    juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia (BNN, 2015).

    Penggunaan ganja dapat memicu timbulnya gejala psikotik. Biasanya

    timbul bila takaran pemakaian sangat berlebihan dengan akibat timbulnya

    paranoid dan halusinasi visual yang bersifat sementara. Kajian retrospektif pada

    pemakai ganja berat di India ditemukan tingkah laku aneh, kekerasan dan panik

    yang berlangsung sementara.

    1.2 Batasan Masalah

    Tinjauan Pustaka ini akan membahas tentang profil ganja, epidemiologi,

    dampak penggunaan ganja, neurofarmakologi ganja dan gangguan psikotik yang

    ditimbulkan ganja beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

    1.3 Tujuan dan Manfaat

    Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas bagaimana terjadinya

    gangguan psikotik yang ditimbulkan dari penggunaan ganja (Cannabis) dan

    mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga dapat menjadi acuan

  • 3

    untuk mencegah bahaya penggunaan ganja. Dengan mengetahui efek yang

    ditimbulkannya diharapkan dapat menjadi kajian pustaka untuk mengatasi

    masalah yang terjadi pada pasien di dalam praktek sehari-hari.

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Profil Ganja (Cannabis)

    Ganja (Cannabis) adalah nama singkatan untuk tanaman Cannabis sativa.

    Istilah ganja umumnya mengacu kepada pucuk daun, bunga dan batang dari tanaman

    yang dipotong, dikeringkan dan dicacah dan biasanya dibentuk menjadi rokok. Nama

    lain untuk tanaman ganja adalah marijuana, grass, weed, pot, tea, Mary jane dan

    produknya hemp, hashish, charas, bhang, ganja, dagga dan sinsemilla (Camellia,

    2010).

    Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai dua meter. Berdaun menjari

    dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda. Ganja hanya tumbuh di

    pegunungan tropis dengan elevasi di atas 1.000 meter di atas permukaan air laut

    (BNN, 2015).

    Ada tiga jenis ganja yaitu Cannabis sativa, Cannabis indica, dan Cannabis

    ruderalis. Ketiga jenis ganja ini memiliki kandungan tetrahidrokanabinol (THC)

    berbeda-beda (BNN, 2015). Kandungan THC didalam Charas dan hashish sekitar 7-

    8% dalam rentang sampai 14%. Ganja dan Sinsemilla berasal dari bahan kering dan

    ditemukan pada pucuk tanaman betina, dimana kandungan THC rata-rata sekitar 4-

    5% (jarang diatas 7%). Bhang sediaan tingkat rendah diambil dari tanaman sisa

    kering, kandungan THC sekitar 1%. Minyak hashish, suatu cairan pekat dari

    penyulingan hashish, mengandung THC sekitar 15-70% (Camellia, 2010).

  • 5

    Gambar 1. Ganja (Cannabis) (Wikipedia, 2015).

    Ganja (Cannabis) digunakan untuk tujuan pengobatan, ritual atau

    rekreasional. Senyawa ini juga menghasilkan konsekuensi merugikan yang tidak

    diinginkan yaitu Cannabinoids. Konsentrasi tertinggi dari kanabinoid psikoaktif

    ditemukan pada puncak bunga dari kedua jenis tanaman jantan (male) dan betina

    (female). Kannabinoid pada dasarnya berasal dari tiga sumber: (a) Fitokannabinoid

    adalah senyawa kannabinoid yang diproduksi oleh tanaman Cannabis sativa atau

    Cannabis indica; (B) Endocannabinoids adalah neurotransmiter yang diproduksi di

    otak atau di jaringan perifer, dan bekerja pada reseptor kannabinoid; (C) Kannabinoid

    sintetis, yang disintesis di laboratorium, secara struktural analog dengan

    fitokannabinoid atau endokannabinoid dan bekerja dengan mekanisme biologis yang

    serupa (Madras, 2015).

  • 6

    2.2 Epidemiologi Ganja

    Dari jenis narkotika, secara global, narkoba jenis ganja yang paling banyak

    digunakan. Prevalensi penyalahgunaan ganja berkisar 2,9%-4,3% per tahun dari

    populasi penduduk dunia yang berumur 15-64 tahun. Tren legalisasi ganja telah

    diberlakukan Amerika Serikat di New York dan Colorado, Belanda, Jerman

    (kepemilikan 6 gram), Argentina, Siprus (15 gram), Ekuador, Meksiko (5 gram), Peru

    (8 gram), Swiss (4 Batang), Belgia (3 gram), Brazil, Uruguay, Paraguay (10 gram),

    Kolombia (20 gram), dan Australia (BNN, 2015).

    Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 25% (147 juta)

    populasi orang dewasa di seluruh dunia menggunakan ganja untuk alasan rekreasi

    atau lainnya. Bila digunakan untuk tujuan pengobatan, ganja dianggap sebagai

    pengobatan alternatif dan komplementer (CAM) karena ini bukan terapi

    konvensional. Sekitar 40% orang dewasa dengan epilepsi menggunakan CAM

    membaik karena kurangnya kemanjuran terapi standar, karena efek sampingnya, atau

    karena alasan lain. Meskipun mayoritas CAM adalah nonfarmakologis (misalnya,

    meditasi, teknik relaksasi, atau manajemen stres), penggunaan tumbuhan menjadi

    perhatian khusus. Salah satu tumbuhan yang digunakan oleh pasien epilepsi adalah

    ganja atau preparat lainnya termasuk minyak hashis (Szaflarski & Bebin, 2014).

  • 7

    2.3 Dampak Penggunaan Ganja (Cannabis)

    Penggunaan ganja memilki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan fisik

    maupun psikis (mental). Dari segi fisik ganja dapat menyebabkan kanker paru karena

    asap ganja mengandung banyak karsinogen sama dengan asap tembakau (Halla &

    Degenhardt, 2014). Perokok ganja juga terkait dengan radang pada saluran nafas yang

    besar, peningkatan hambatan jalan nafas, hiperinflasi paru, perokok ganja lebih

    cenderung mengalami gejala bronkitis kronis daripada bukan perokok, peningkatan

    tingkat infeksi pernafasan dan pneumonia (Volkow, et al., 2014).

    Penggunaan ganja juga dikaitkan dengan kondisi vaskular yang meningkatkan

    risiko infark miokard, stroke, dan serangan iskemik transien selama intoksikasi ganja.

    Mekanisme yang mendasari efek ganja pada sistem kardiovaskular dan serebrovaskular

    rumit dan tidak sepenuhnya dipahami. Namun, dampak langsung kannabinoid pada

    berbagai target reseptor (yaitu reseptor CB1 di pembuluh darah arteri) dan efek tidak

    langsung pada senyawa vasoaktif dapat membantu menjelaskan efek merugikan ganja

    pada resistensi vaskular dan mikrosirkulasi koroner (Volkow, et al., 2014).

    Ganja juga mempengaruhi fungsi kognitif, defisit dalam pembelajaran verbal,

    penurunan daya ingat (memori) dan perhatian hal ini dilaporkan pada pengguna ganja

    berat dan dikaitkan dengan durasi penggunaan, frekuensi penggunaan, dan dosis

    kumulatif THC. Perubahan struktur otak dilaporkan terjadi di hippocampus, prefrontal

    cortex (PFC), dan serebellum pada pengguna ganja kronis. Yücel dkk. melaporkan

    terjadinya pengurangan volume hippocampal dan amigdala dalam 15 pengguna jangka

  • 8

    panjang yang telah mengisap 5 atau lebih sehari selama 10 tahun atau lebih.

    Pengurangan ini meningkat seiring dengan lamanya pemakaian. Selain menyebabkan

    masalah fisik ganja juga mempengaruhi kesehatan mental, seperti gangguan bipolar,

    bunuh diri, depresi, kecemasan dan psikotik (Halla & Degenhardt, 2014).

    Dalam dosis intoksikasi yang biasa, ganja menghasilkan rasa nyaman,

    relaksasi, rasa keramahan, kehilangan kesadaran sementara, termasuk sulit

    membedakan masa lalu dengan saat ini, memperlambat proses berpikir, penurunan

    ingatan jangka pendek. Pada dosis tinggi, ganja dapat menyebabkan panik, delirium

    toksik, dan psikosis (Stahl, 2013).

  • 9

    Tabel 1. Efek samping penggunaan marijuana jangka pendek dan jangka panjang

    atau pengguna berat (Volkow, et al., 2014).

    2.4 Neurofarmakologi Ganja (Cannabis)

    Komponen utama ganja adalah Delta-9-tetrahydrocannabinol (Δ9-THC).

    Tanaman ganja mengandung lebih dari 400 bahan kimia, dimana sekitar 60 secara

    kimia berhubungan dengan Δ9-THC. Pada manusia, Δ9-THC diubah dengan cepat

    menjadi 11-hidroksi-Δ9-THC, metabolit yang aktif di sistem saraf pusat (SSP).

  • 10

    Reseptor kannabinoid, kelompok reseptor G-protein-linked, terkait dengan protein G

    (Gi) inhibitor, yang terkait dengan Adenilat Siklase dengan cara penghambatan.

    Reseptor kannabinoid ditemukan konsentrasi tertinggi pada ganglia basalis,

    hippocampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih rendah di korteks

    serebral. Reseptor ini tidak ditemukan di batang otak, fakta yang konsisten dengan

    efek minimal ganja pada fungsi pernapasan dan jantung (Sadock, et al., 2015).

    Setidaknya ada dua reseptor kannabinoid yang diidentifikasi, CB1 (di otak,

    digabungkan melalui protein G dan dimodulasi Adenylate Siklase dan saluran ion) dan

    CB2 (terutama dalam sistem kekebalan tubuh), keduanya merupakan protein

    metabotropik yang digabungkan dengan G protein. CB1 dan CB2 terlokalisasi terutama

    masing-masing di otak dan di perifer. CB1 adalah reseptor protein G-G berpasangan

    yang didistribusikan di SSP, di mana mereka terutama terletak secara presinaptik.

    Aktivasi mereka menghambat pelepasan neurotransmitter lain seperti gamma-

    aminobutyric acid (GABA) dan glutamat. Kedua reseptor tersebut diyakini mengatur

    waktu dan pelepasan GABA. Relevan dengan psikosis, di korteks serebral dan

    hipokampus, di mana jumlahnya melimpah, CB1 memodulasi pelepasan GABA di

    dalam jaringan cholesistokinin yang mengandung interneuron GABAergic. Namun,

    ganja mengandung lebih dari 70 kannabinoid selain THC, termasuk cannabidiol

    (CBD), cannabigerol, cannabichromene, cannabidivarin, tetrahydrocannabivarin, dan

    terpenoid. Banyak dari senyawa ini memiliki efek farmakologis yang berbeda dari

    THC. THC menghasilkan efek psikoaktifnya melalui kerja di CB1, di mana ia

  • 11

    berfungsi sebagai agonis parsial dengan afinitas sederhana [inhibisi konstan (Ki) = 35-

    80 nmol] dan aktivitas intrinsik rendah. CBD penyumbang utama ganja yang tidak

    menghasilkan euforia, mungkin memiliki efek ansiolitik dan antipsikotik pada studi

    praklinis dan manusia. Kandungan CBD dari ganja bervariasi dan tingkat CBD yang

    lebih rendah pada ganja telah dikaitkan dengan tingkat psikosis yang lebih tinggi.

    Misalnya, varian ganja Afrika Selatan yang hampir tanpa CBD dikaitkan dengan

    tingkat psikosis yang lebih tinggi. Dari catatan, CBD telah terbukti dapat menghambat

    efek psikotimimetik THC. Terakhir, ini menjamin bahwa jumlah kannabinoid sintetis

    yang merupakan agonis CB1 umumnya lebih tinggi saat digunakan oleh sejumlah besar

    individu (Wilkinson, et al., 2014).

    Bila ganja diisap, efek euforia muncul dalam hitungan menit, puncaknya sekitar

    30 menit, dan 2 sampai 4 jam terakhir. Beberapa efek kognitif dan motorik berlangsung

    5 sampai 12 jam. Ganja juga bisa dikonsumsi secara oral saat disiapkan dalam

    makanan, seperti brownies dan kue. Sekitar dua sampai tiga kali lebih banyak ganja

    harus dikonsumsi secara oral untuk menjadi sekuat ganja yang dikonsumsi dengan

    menghirup asapnya. Banyak variabel mempengaruhi sifat psikoaktif ganja, termasuk

    potensi ganja yang digunakan, rute pemberian, teknik merokok, efek pirolisa terhadap

    kandungan kannabinoid, dosis, pengaturan, dan pengalaman masa lalu, harapan, dan

    harapan pengguna serta kerentanan biologis yang unik terhadap efek kannabinoid

    (Sadock, et al., 2015).

    Kerja ganja dan bahan aktifnya Δ9-tetrahydrocannabinol (THC) pada

    rangkaian reward ada pada reseptor kannabinoid, yang ditunjukkan pada gambar 2,

  • 12

    Yang merupakan tempat di mana kannabinoid endogen dimanfaatkan secara alami

    sebagai neurotransmiter retrograde. Ganja dihisap untuk mengantarkan kannabinoid

    yang berinteraksi dengan reseptor kannabinoid otak sendiri untuk memicu pelepasan

    dopamin dari sistem reward mesolimbik (Gambar 2). Reseptor CB1 bisa menjadi

    perantara tidak hanya sifat penguat ganja, tapi juga alkohol dan sampai batas tertentu

    sifatnya zat psikoaktif yang lain (termasuk mungkin beberapa makanan). Anandamide

    adalah salah satu endokannabinoid dan kelompok kimia neurotransmiter yang bukan

    monoamina, bukan asam amino, dan bukan peptida. Anandamide adalah lipid,

    khususnya kelompok asam lemak etanolamida. Anandamida memiliki sebagian besar

    tapi tidak semua sifat farmakologis THC, karena kerjanya reseptor kannabinoid pada

    otak tidak hanya oleh THC namun sebagian antagonis oleh kannabinoid otak selektif

    antagonis reseptor CB1 (Stahl, 2013).

  • 13

    Gambar 2. Pengaturan neurotransmitter sistem reward mesolimbik (Stahl, 2013).

    Jalur sistem reward akhir umum di otak dihipotesiskan melalui jalur dopamin

    mesolimbik. Jalur ini dimodulasi oleh banyak zat alami di otak untuk memberi

    penguatan normal pada perilaku adaptif (seperti makan, minum, seks) dan dengan

    demikian menghasilkan "natural highs” seperti perasaan gembira atau prestasi.

    Neurotransmiter ini masuk ke sistem reward meliputi morfin / heroin otak sendiri (yaitu

    endorfin seperti enkephalin), ganja/ganja otak (yaitu anandamide), nikotin otak sendiri

  • 14

    (yaitu asetilkolin), dan kokain otak sendiri/amfetamin (yaitu, dopamin itu sendiri).

    Banyak penyalahgunaan obat psikotropika yang terjadi di jalur bypass neurotransmiter

    otak sendiri dan secara langsung merangsang reseptor otak dalam sistem reward, yang

    menyebabkan pelepasan dopamin dan konsekuen "artificial high". Jadi alkohol, opioid,

    stimulan, ganja, benzodiazepin, hipnotik sedatif, halusinogen, dan nikotin semuanya

    mempengaruhi sistem dopaminergik mesolimbik ini (Stahl, 2013).

    Gambar 3. Dopamin sebagai pusat sistem reward (Stahl, 2013).

    Dopamin (DA) telah lama dikenal sebagai pemain utama dalam pengaturan

    penguatan dan penghargaan (reward). Secara khusus, jalur mesolimbik dari daerah

    tegmental ventral (VTA) ke nukleus accumbens nampaknya sangat penting untuk

  • 15

    sistem reward. Aktivitas yang menguntungkan secara alami, seperti mencapai prestasi

    besar atau menikmati makanan enak, dapat menyebabkan peningkatan cepat dan kuat

    di DA di jalur mesolimbik. Penyalahgunaan obat juga menyebabkan pelepasan DA di

    jalur mesolimbik. Sebenarnya, obat-obatan dari penyalahgunaan seringkali dapat

    meningkatkan dopamin dengan cara yang lebih eksplosif dan menyenangkan daripada

    yang terjadi secara alami. Sayangnya, tidak seperti peningkatan alami, aktivasi yang

    disebabkan oleh penyalahgunaan obat pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan

    pada sirkuit reward yang terkait dengan lingkaran setan preokupasi, kecanduan,

    ketergantungan, dan withdrawl. Konsep ini memiliki kesamaan dengan banyak

    gangguan kompulsif impulsif seperti judi patologis. Artinya, individu dengan

    gangguan ini mengalami ketegangan dan gairah dalam mengantisipasi perilaku dan

    mood disforik (tapi tidak ada penarikan fisiologis) bila dicegah melakukan perilaku

    tersebut. Selain itu, kesenangan dan kepuasan yang pada awalnya dialami saat

    melakukan perilaku tampaknya berkurang seiring berjalannya waktu, mungkin

    memerlukan peningkatan "dosis" (misalnya, perjudian dengan jumlah dolar lebih

    tinggi) untuk mencapai efek yang sama (mirip dengan toleransi) (Stahl, 2013).

    Disfungsi dopaminergik terkait dengan ketergantungan obat dan psikosis.

    Peningkatan kapasitas sintesis dan pelepasan dopamin telah dilaporkan pada pasien

    psikotik, obat-obatan yang meningkatkan pelepasan dopamin dapat menyebabkan atau

    memperburuk psikosis, dan peningkatan kapasitas sintesis dopamin telah dilaporkan

    secara yang jujur oleh orang-orang yang berkembang menjadi gangguan psikotik.

  • 16

    Pasien dengan psikosis akibat ganja memiliki metabolit dopamin perifer yang lebih

    tinggi, dan sebuah laporan kasus menemukan terdapat pelepasan dopamin striatal dan

    gejala eksaserbasi pada pasien skizofrenia setelah penggunaan ganja. Dengan

    demikian, ganja telah diusulkan untuk meningkatkan risiko psikosis dengan

    menyebabkan hiperdopaminergia striatal (Murray, et al., 2014). Pengguna ganja

    reguler yang peka terhadap efek ganja akan menunjukkan peningkatan kapasitas

    sintesis dopamin yang meningkat, dan ini akan terkait langsung dengan tingkat

    keparahan gejala psikotik seperti ganja (Bloomfield, et al., 2014).

    2.5 Gangguan Psikotik akibat Penggunaan Ganja (Cannabis)

    Etiologi kelainan psikotik, seperti skizofrenia, tetap sulit dipahami. Meskipun

    tidak mungkin ada satu penyebab skizofrenia, sejumlah faktor genetik dan lingkungan

    telah diidentifikasi dapat menyebabkan risiko psikosis. Salah satu faktor lingkungan

    yang mendapat perhatian karena berkontribusi terhadap risiko gangguan psikotik

    adalah terpapar ganja. Perlu dicatat bahwa sebagian besar individu yang terpapar ganja

    tidak berkembang menjadi psikosis dan kebanyakan individu dengan gangguan

    psikotik mungkin tidak pernah terpapar ganja. Dengan demikian, ganja tidak perlu dan

    tidak cukup untuk menyebabkan skizofrenia. Kemungkinan besar, ganja dapat

    berkontribusi menyebabkan psikosis pada individu yang rentan (Wilkinson, et al.,

    2014).

  • 17

    Gangguan psikotik akibat cannabis didiagnosis dengan adanya psikosis akibat

    cannabis. Gangguan psikotik cannabis jarang terjadi; ide paranoid transien lebih

    sering terjadi. Florid psychosis agak umum terjadi di negara-negara di mana beberapa

    orang memiliki akses jangka panjang ke ganja dengan potensi tinggi. Episode psikotik

    kadang-kadang disebut sebagai “hemp insanity" penggunaan ganja jarang

    menyebabkan pengalaman "bad-trip", yang sering dikaitkan dengan intoksikasi

    halusinogen. Bila gangguan psikotik ganja tidak terjadi, hal itu mungkin berkorelasi

    dengan gangguan kepribadian yang sudah ada sebelumnya pada orang yang terkena

    dampak (Sadock, et al., 2015).

    Gejala Positif

    Ekstrak ganja mengandung sejumlah THC yang dapat menghasilkan gejala positif

    transien, yang secara kualitatif mirip dengan gejala positif skizofrenia. Gejala ini

    termasuk kecurigaan, paranoid dan waham kebesaran, disorganisasi konseptual,

    pemikiran yang terfragmentasi dan perubahan persepsi. Selain itu ganja dan THC juga

    mengakibatkan depersonalisasi, derealisasi, perubahan dalam persepsi sensorik dan

    perasaan tak nyata. Efek ini secara konsisten telah ditunjukkan oleh rokok ganja,

    ekstrak ganja oral/THC (dosis 5-20mg), THC intravena (kisaran dosis 0,015-0,03

    mg/kg) dan melalui saluran pernapasan dengan vaporizer (Radhakrishnan, et al., 2014).

  • 18

    Gejala Negatif

    Delta-9-tetrahydrocannabinol juga menghasilkan berbagai efek yang sama dengan

    gejala negatif skizofrenia, termasuk afek tumpul, penarikan emosional diri, retardasi

    psikomotor, kurangnya spontanitas dan berkurangnya interaksi. Morrison et al

    menunjukkan bahwa efek dari THC pada gejala negatif tidak bergantung pada efek

    sedasi (Radhakrishnan, et al., 2014).

    Salah satu komplikasi penggunaan jangka panjang adalah "sindrom amotivasional"

    pada pengguna yang berat. Sindrom ini terlihat terutama pada pengguna sehari-hari

    yang berat dan ditandai dengan munculnya dorongan dan ambisi yang menurun,

    sehingga "amotivasional." Hal ini juga terkait dengan gejala gangguan sosial dan

    pekerjaan lainnya, termasuk rentang perhatian yang singkat, penilaian yang buruk,

    gangguan kemampuan komunikasi, introversi dan berkurangnya efektivitas dalam

    situasi interpersonal. Kebiasaan pribadi bisa memburuk, dan mungkin ada kehilangan

    wawasan, dan bahkan perasaan depersonalisasi (Stahl, 2013).

    Penurunan Kognitif

    Kannabis, THC dan kannabinoid sintetis lainnya juga menyebabkan gangguan kognitif

    sementara, yang berhubungan dengan dosis, terutama pada pembelajaran verbal,

    memori jangka pendek, fungsi eksekutif, kemampuan abstrak, pengambilan keputusan,

    perhatian dan konsentrasi (Radhakrishnan, et al., 2014). Penggunaan ganja akut

    umumnya menyebabkan gangguan pada aspek perencanaan dan pengambilan

  • 19

    keputusan, misalnya kecepatan respons, akurasi, dan latency. Beberapa penelitian juga

    menemukan peningkatan risiko dengan dosis ganja yang lebih tinggi. Efek akut

    menunjukkan 0-6 jam setelah penggunaan ganja terakhir; Efek residu menunjukkan 7

    jam sampai 20 hari setelah pemakaian ganja terakhir; Dan efek jangka panjang

    menunjukkan 3 minggu atau lebih lama setelah penggunaan ganja terakhir (Crean, et

    al., 2011).

    Tabel 2. Pengaruh ganja terhadap fungsi eksekutif (Crean, et al., 2011)

    Sollowij dan Battisti menyimpulkan bahwa penggunaan ganja berat dan kronis

    dikaitkan dengan gangguan memori yang berlangsung diluar periode intoksikasi akut

    dan terkait dengan frekuensi, durasi, dosis dan usia onset dari penggunaan ganja

    (Radhakrishnan, et al., 2014).

    Sebuah studi menunjukkan tidak adanya defisit persisten neuropsikologi pada

    pengguna ganja jangka panjang setelah 28 hari abstinen, penelitian lain menunjukkan

    durasi untuk pemulihan penuh mulai dari seminggu sampai 28 hari, untuk 3 bulan

  • 20

    abstinen dengan beberapa penelitian menunjukkan pemulihan setelah rata-rata 2 tahun

    abstinen (Radhakrishnan, et al., 2014).

    Terdapat beberapa faktor yang memperngaruhi hubungan antara ganja dengan

    terjadinya psikotik, antara lain :

    a. Lamanya paparan

    Penggunaan ganja secara teratur telah dikaitkan dengan gejala psikotik

    seperti pemikiran tidak teratur (disorganized), halusinasi, dan delusi. Bukti

    epidemiologis menunjukkan bahwa semakin muda terpapar ganja, semakin besar

    resiko terjadinya psikotik. Drag et al menunjukkan bahwa usia yang lebih muda

    pada onset pengunaan ganja dikaitkan dengan gejala awal dari kecemasan,

    penarikan diri, derealisasi, gangguan memori dan kesulitan konsentrasi. Ganja

    dapat memperngaruhi proses perkembangan dan pematangan otak

    (Radhakrishnan, et al., 2014).

    Sebuah penelitian melakukan follow up selama 15 tahun dari 50.465 wajib

    militer pria Swedia menemukan bahwa mereka yang telah mencoba ganja pada

    usia 18 tahun memilki kemungkinan 2-4 kali didiagnosis skizofrenia daripada

    mereka yang tidak. Mereka yang telah menggunakan ganja 10 kali atau lebih pada

    usia 18 tahun 2-3 kali lebih mungkin didiagnosis skizofrenia daripada mereka yang

    tidak melakukannya (Wilkinson, et al., 2014).

    b. Riwayat keluarga dan genetik

    Studi awal menunjukkan bahwa riwayat keluarga positif skizofrenia dapat

    meningkatkan resiko gangguan psikotik yang diinduksi ganja. Faktor genetik

  • 21

    memaparkan tentang kerentanan psikotik oleh karena paparan ganja yaitu interakti

    gen-lingkungan. Secara khusus Catechol-O-methyltransferase (COMT) dan

    AKT1 telah terlibat dalam menyebabkan kerentanan psikosis (Radhakrishnan, et

    al., 2014).

    Catechol-O-methyltransferase (COMT)

    Enzim COMT memainkan peran penting dalam pemecahan dopamine di prefrontal

    cortex (PFC), berbeda dengan striatum dimana dopamine (DA) dibersihan dengan

    transporter. Gen COMT mengkodekan enzim catechol-O-methyltransferase, yang

    berperan penting dalam degradasi dopamin di otak, dan mengandung

    polimorfisme fungsional (COMTVal158Met) yang menghasilkan dua varian

    umum enzim (Val dan Met). Varian Val dikaitkan dengan aktivitas COMT yang

    meningkat, yang menghasilkan kombinasi penurunan neurotransmfikasi dopamin

    di korteks prefrontal dan peningkatan kadar dopamin di daerah mesolimbik.

    Individu yang membawa genotipe Met/Met homozigot memiliki aktivitas COMT

    terendah Val/Val homozigot memiliki tingkat dopamine terrendah dan heterozigot

    dianggap sebagai aktivitas intermediate, karena kedua alel tersebut bersifat

    codominant (Alemany, et al., 2014).

    COMT memiliki kesamaan polimorfisme pada manusia, yang menghasilkan

    aktivitas enzim 40% lebih tinggi dan degradasi dopamine lebih cepat ketika Valin

    diganti dengan Metionin (Met) di lokus 158/108.; Rendahnya kadar dopamin

    kortikal pada individu homozigot untuk polimorfisme Val (158) terkait dengan

    kinerja kognitif yang buruk dan prekortikal yang tidak berfungsi efisien. Terdapat

  • 22

    bukti bahwa individu dengan polimorfisme Val gen COMT (Val158Met) memiliki

    kesempatan tinggi untuk menjadi psikotik akut dalam merespon paparan THC

    (Radhakrishnan, et al., 2014).

    AKT1

    AKT1 adalah gen lain yang memainkan peran dalam hubungan antara ganja

    dengan gangguan psikotik. Fungsi AKT1 untuk menonaktifkan glikogen sintase

    kinase (GSK-3) dengan fosforilasi. Interaksi AKT1 dan GSK-3 berperan dalam

    sejumlah proses seluler penting yaitu, proliferasi sel, apoptosis dan transkripsi.

    Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa kannabinoid mampu merangsang

    jalur AKT1 melalui reseptor CB1 dan CB2. Pada studi postmortem menunjukkan

    penurunan kadar AKT1 di PFC pasien skizofrenia (Radhakrishnan, et al., 2014).

    c. Riwayat Child Abuse

    Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara penggunaan

    ganja dengan child abuse yang berkembang menjadi gejala psikotik

    (Radhakrishnan, et al., 2014). Dalam konteks ini, penggunaan ganja dan kesulitan

    masa kanak-kanak telah dikaitkan dengan peningkatan risiko menjadi psikosis

    pada sampel klinis dan non-klinis. Namun, tidak semua orang yang terpapar

    kesulitan masa kecil berkembang menjadi gejala psikotik di kemudian hari.

    Demikian pula, hanya sebagian kecil pengguna ganja yang menjadi psikotik yang

    menunjukkan implikasi faktor lain dalam kaitan ini. Dalam hal ini, beberapa

    penelitian telah menunjukkan bahwa keterpaparan bersama terhadap dua faktor

    lingkungan, penggunaan ganja dan kesulitan masa kecil, dapat meningkatkan

  • 23

    kemungkinan gejala psikotik sampai tingkat yang lebih tinggi daripada risiko yang

    diharapkan untuk setiap faktor yang bekerja secara independen (Alemany, et al.,

    2014).

    Secara neurobiologis hal ini masuk akal, karena pengalaman stres dan delta-9-

    tetrahydrocannabinol (THC), mampu meningkatkan sinyal dopaminergik dalam

    sistem mesolimbik, yang menghasilkan peningkatan risiko delusi dan halusinasi.

    Sebuah bukti menunjukkan bahwa sensitivitas diferensial terhadap stres

    lingkungan disebabkan oleh polimorfisme Val158Met gen gen katekol-O

    metiltransferase (COMT), mungkin dalam interaksi dengan faktor-faktor lain,

    mungkin merupakan risiko psikosis yang mendasarinya (Alemany, et al., 2014).

  • 24

    BAB III

    RINGKASAN

    Ketergantungan dan penyalahgunaan zat bukan merupakan masalah baru di

    Indonesia. Dewasa ini, diperkirakan di Indonesia terdapat peningkatan jumlah

    penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dari tahun

    ke tahun. Dari jenis narkotika, secara global, narkoba jenis ganja yang paling banyak

    digunakan. Prevalensi penyalahgunaan ganja berkisar 2,9%-4,3% per tahun dari

    populasi penduduk dunia yang berumur 15-64 tahun.

    Ganja (Cannabis) adalah nama singkatan untuk tanaman Cannabis sativa.

    Istilah ganja umumnya mengacu kepada pucuk daun, bunga dan batang dari tanaman

    yang dipotong, dikeringkan dan dicacah dan biasanya dibentuk menjadi rokok. Nama

    lain untuk tanaman ganja adalah marijuana, grass, weed, pot, tea, Mary jane dan

    produknya hemp, hashish, charas, bhang, ganja, dagga dan sinsemilla

    Penggunaan ganja memilki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan fisik (pada

    saluran pernafasan dan kardiovaskuler) maupun psikis (mental). Ganja juga

    mempengaruhi fungsi kognitif, defisit dalam pembelajaran verbal, penurunan daya

    ingat (memori), dan perhatian. Selain menyebabkan masalah fisik ganja juga

    mempengaruhi kesehatan mental, seperti gangguan bipolar, bunuh diri, depresi,

    kecemasan dan psikotik (Halla & Degenhardt, 2014).

  • 25

    Komponen utama ganja adalah Delta-9-tetrahydrocannabinol (Δ9-THC),

    setidaknya ada dua reseptor cannabinoid yang diidentifikasi, CB1 (di otak,

    digabungkan melalui protein G dan dimodulasi Adenylate Siklase dan saluran ion) dan

    CB2 (terutama dalam sistem kekebalan tubuh). Aktivasi mereka menghambat

    pelepasan neurotransmitter lain seperti gamma-aminobutyric acid (GABA) dan

    glutamat. Kedua reseptor tersebut diyakini mengatur waktu dan pelepasan GABA.

    Relevan dengan psikosis, di korteks serebral dan hipokampus, di mana jumlahnya

    melimpah, CB1 memodulasi pelepasan GABA di dalam jaringan cholesistokinin yang

    mengandung interneuron GABAergic.

    Sejumlah faktor genetik dan lingkungan dapat menyebabkan risiko psikotik

    telah diidentifikasi misalnya terpapar ganja. Sebagian besar individu yang terpapar

    ganja tidak berkembang menjadi psikosis dan kebanyakan individu dengan gangguan

    psikotik mungkin tidak pernah terpapar ganja. Kemungkinan besar, seperti diulas di

    bawah ini, ganja dapat berkontribusi menyebabkan psikosis pada individu yang rentan.

    Faktor yang memperngaruhi hubungan antara ganja dengan terjadinya psikotik, antara

    lain lamanya paparan (semakin muda terpapar ganja, semakin besar resiko terjadinya

    psikotik), riwayat keluarga dan genetik (Catechol-O-methyltransferase (COMT) dan

    AKT1 telah terlibat dalam menyebabkan kerentanan psikosis), riwayat Child Abuse

    (pengalaman stres dan delta-9-tetrahydrocannabinol (THC), mampu meningkatkan

    sinyal dopaminergik dalam sistem mesolimbik, yang menghasilkan peningkatan risiko

    delusi dan halusinasi).

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    Alemany, S. et al., 2014. Psychosis-inducing effects of cannabis are related to both

    childhood abuse and COMT genotypes. Acta Psychiatrica Scandinavica,

    129(1).

    Bloomfield, M. et al., 2014. Dopaminergic Function in Cannabis Users and Its

    Relationship to Cannabis-Induced Psychotic Symptoms. Biological Psychitry,

    75(6).

    BNN, 2015. Badan Narkotika Nasional. [Online]

    Available at:

    http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/04/02/354/ulasan-

    tentang-ganja

    [Accessed 13 Juni 2017].

    BNN, 2015. portal Badan Narkotika Nasional. [Online]

    Available at:

    http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2014/08/19/Jurnal_Data_P4GN_20

    13_Edisi_2014_Oke.pdf

    [Accessed 13 Juni 2017].

    Camellia, V., 2010. Gangguan Sehubungan Kanabis. Medan: Departemen Psikiatri FK

    USU.

    Crean, R. D., Crane, N. A. & Mason, B. J., 2011. An Evidence-Based Review of Acute

    and Long-Term Effects of Cannabis Use on Executive Cognitive Functions.

    Journal of Addiction Medicine, 5(1).

    Depkes, 2000. Pedoman Terapi Pasien Ketergantungan Narkotika dan Zat Adiktif

    Lainnya. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

  • 27

    Halla, W. & Degenhardt, L., 2014. The adverse health effects of chronic cannabis use.

    Drug Testing and Analysis, 6(1), pp. 1-2.

    Husin, A. B. & Siste, K., 2013. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G.

    Hadisukanto, eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p. 143.

    Madras, B. K., 2015. Update of Cannabis and its medical use. World Health

    Organization.

    Murray, R. M., Mehta, M. & Forti, M. D., 2014. Different Dopaminergic Abnormalities

    Underlie Cannabis Dependence and Cannabis-Induced Psychosis. Biological

    Psychiatry, 75(6).

    Radhakrishnan, R., Wilkinson, S. T. & D’Souza, D. C., 2014. Gone to pot – a review

    of the association between cannabis and psychosis. Frontier in Psychiatry,

    5(54).

    Sadock, B. J., Sadock, V. A. & Ruiz, P., 2015. Substance Use and Addictive Disorders.

    In: C. S. Pataki & N. Sussman, eds. Synopsis Of Psychiatry : Behavioral

    Sciences / Clinical Psychiatry. New York: Wolters Kluwer, p. 644.

    Stahl, S. M., 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology : Neuroscientific Basis and

    Practical Application. 4 ed. New York: Cambridge University Press.

    Szaflarski, J. P. & Bebin, E. M., 2014. Cannabis, cannabidiol, and epilepsy — From

    receptors to clinical response. Epilepsy & Behavior, Volume 41.

    Volkow, N. D., Baler, R. D., Compton, W. M. & Weiss, S. R., 2014. Adverse Health

    Effects of Marijuana Use. The new england journal of medicine, 370(23).

    Wikipedia, 2015. Wikipedia. [Online]

    Available at: https://en.wikipedia.org/wiki/Cannabis_and_religion

    [Accessed 13 Juni 2017].

  • 28

    Wilkinson, S. T., Radhakrishnan, R. & D’Souza, D. C., 2014. Impact of Cannabis Use

    on the Development of Psychotic Disorders. Springer International Publishing,

    Issue 1, p. 115–128.

  • 29