contoh laporan preskas senior
DESCRIPTION
blablablaTRANSCRIPT
BAB ISTATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Kadipiro, Banjarsari, Jawa Tengah
No. RM : 01287275
Tanggal Masuk : 27 April 2015
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit saat
pasien sedang tidur dengan posisi duduk tegap dan kaki menekuk kaku 2x,
mata melirik keatas, keluar buih, mengompol (-), selama 30 menit,
sempart berhenti sebentar kemudian kejang lagi. Diantara kedua kejang
pasien tidak sadar, setelah kejang pasien tidak sadar kurang lebih 30 menit
dan saat sadar pasien bingung sebentar. Bicara pelo (-), wajah merot ke
kanan (-), tersedak (-), demam (-), pusing berputar (-), nyeri kepala (-),
muntah (-), kejang (-), gangguan BAB dan BAK (-). Kelemahan anggota
gerak (-), gangguan perilaku (-), gangguan memori (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Limfoma maligna : dalam terapi
Riwayat operasi : Kel. Axilla 2 bulan yang
lalu
1
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Rwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan serupa : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
6. Riwayat Gizi
Sebelum sakit, pasien makan tiga kali sehari, porsi sedang dengan
nasi dan lauk pauk seadanya.Pasien sering memakan makanan yang
bersantan dan digoreng.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien dirumah tinggal bersama anaknya, pasien bekerja sebagai
buruh. Pasien dirawat di RSDM dengan biaya dari BPJS.
ANAMNESIS SISTEM
a. Sistem saraf pusat : nyeri kepala (-), kejang (-)
b. Sistem Indera
- Mata : berkunang- kunang (-),pandangan dobel (-),
penglihatan kabur (-), pandangan berputar (-)
2
- Hidung : mimisan (-), pilek (-)
- Telinga : pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar
cairan (-), darah (-), nyeri (-)
c. Mulut : sariawan (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-),
gigi tanggal (-), gigi goyang (-), bicara pelo (-)
d. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
e. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi
(-) tidur mendengkur (-)
f. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-)
g. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), susah
BAB (-), perut sebah (-), mbeseseg (-), kembung
(-), nafsu makan berkurang (-), ampek (-), tinja
lunak, warna kuning
h. Sistem muskuloskeletal : nyeri (-), nyeri sendi (-), kaku (-)
i. Sistem genitourinaria : mengompol (-), sulit mengontrol kencing (-)
j. Ekstremitas atas : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan(-/-), bengkak (-), kelemahan (-/-),
sakit sendi (-), panas (-) berkeringat (-)
k. Ekstremitas bawah : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan (+/-), sakit sendi lutut kiri (-),
kelemahan (-/+)
l. Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-),mengigau (-), emosi tidak
stabil (-)
m.Sistem Integumentum : kulit sawo matang, pucat (-), kering (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
VS : TD : 130/90 mmHg
Nadi : 99x/menit
RR : 18x/menit
3
Suhu : 36,7º C
VAS : 2-3
Status Neurologis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur : sde
c. Fungsi vegetatif : dbn
d. Fungsi sensorik : dbn
e. Fungsi koordinasi : sde
f. Fungsi sensorik :
N N
N N
g. Fungsi otonom : dbn
h. Fungsi collumna vertebralis : dbn
i. Fungsi motorik dan reflek :
Kekuatan Tonus R. Fisiologis R. Patologis5 5 N N +2/+2 +2/ +2 + +
5 5 N N +2/+2 +2/+2 - -
j. Nervus Cranialis
1. N. II, III : refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
2. N. III, IV, VI : pergerakan bola mata dbn
3. N.VII : dbn
4. N. XII : dbn
k. Meningeal Sign
- Kaku kuduk : (-)
- Tanda Brudzinski I : (-)
- Tanda Brudzinski II : (-)
- Tanda Brudzinski III : (-)
- Tanda Brudzinski IV : (-)
- Tanda Kernig : (-/-)
4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah 27 April 2015
Pemeriksaan 27/4/2015 Satuan Nilai normal
Hematologi Rutin
Hb 10.4 g/dl 13.5 – 17.5
Hct 32 33 – 45
AL 6.2 103/l 4.5 - 11.0
AT 268 103/l 150 - 450
AE 3.72 106/l 4.50 – 5.90Kimia Klinik
GDS 87 mg/dl 60-140
SGOT 31 u/l 0-35
SGPT 19 u/l 0-45
Kreatinin 0.8 mg/dl 0.9 -1.3
Ureum 30 mg/dl < 50Elektrolit
Na 138 mmol/L 136-145
K 3.1 mmol/L 3.7-5.4
Cl 106 mmol/L 98-106
2. EKG
Irama : Sinus Ritme
Rate : 81x/menit
Axis :Normoaxis
5
3. Foto Thoraks PA
Foto Thoraks PA:
Cor : besar dan bentuk normal, tampak kalsifikasi aortic knob
Pulmo : tampak perselubungan dengan airbronchogram di paracardial
kanan
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
6
Kesimpulan:
1. Perselubungan dengan airbronchogram di paracardial kanan DD :
Pneumonia
TB Paru
2. Aortosclerosis
4. MSCT Scan Kepala Tanpa Kontras
Pemeriksaan MSCT Scan Kepala irisan axial reformat sagital/coronal
tanpa kontras:
Tampak multiple tetntakel edem di lobus frontalis dan lobus parietalis
kanan kiri
Lesi tampak mendesak cornu anterior ventrikel lateralis kanan serta
menyebabkan deviasi midline ke kiri sejauh 0,97 cm
7
Sistem ventrikel dan sistema diluar lesi normal
Pons, cerebellum dan cerebellopontin angle tak tampak kelainan
Orbita, masoid dan sinus paranasales kanan kiri tak tampak kelainan
Craniocerebral space tak tampak kelainan
Calvaria intak
Kesimpulan:
Multiple tentakel edema di lobus frontalis parietalis bilateral yang
mendesak cornu anterior ventrikel lateralis kanan serta menyebabkan
deviasi medline ke kiri sejauh 0,97 cm DD :
1.Infeksi
2. Metastasis
Saran : MRI kepala dengan kontras
E. RESUME
Pasien mengeluhkan kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit saat
pasien sedang tidur dengan posisi duduk tegap dan kaki menekuk kaku 2x,
mata melirik keatas, keluar buih, mengompol (-), selama 30 menit, sempart
berhenti sebentar kemudian kejang lagi. Diantara kedua kejang pasien tidak
sadar, setelah kejang pasien tidak sadar kurang lebih 30 menit dan saat sadar
pasien bingung sebentar. Bicara pelo (-), wajah merot ke kanan (-), tersedak
(-), demam (-), pusing berputar (-), nyeri kepala (-), muntah (-), kejang (-),
gangguan BAB dan BAK (-). Kelemahan anggota gerak (-), gangguan
perilaku (-), gangguan memori (-).
F. ASSESMENT
K: Status epileptikus
T: Cortex
E: Acute Symptomatic seizure e.c. dd tuberkuloma
8
G. PENATALAKSANAAN
1. O2 3 liter/menit nasal canul
2. Infus Asering 0.9% 20 tpm
3. Injeksi Stesolid 10mg i.v. jika kejang
4. Injeksi fenitoin 100mg dlm 30 cc Nacl 0,9% /8jam
5. Asam folat 1x50 mg p.o.
6. Vitamin B1 2x100 mg p.o
H. PLANNING
1. Mondok bangsal
2. Plain head CT Scan
3. Ro Thorax
4. EKG
5. Lab Lengkap
6. Konul bedah onko dan Interna
7. EEG
I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
J. Progress Report
Tanggal 28 – 4 – 2015
Subjektif Kejang
Objektif GCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHgNadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, regulerSuhu : 36,8ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:
9
II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Unj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
P. Dx :
Tunggu hasil CT scan
Konsul EEG
Hari ini cek laboratorium lengkap
Konsul paru
Tanggal 29 – 4 – 2015
Subjektif Kejang (-)
10
Objektif GCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHgNadi : 80 x/ menitRespirasi : 18x/menit, regulerSuhu : 36,7ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Inj. Vit B12 500mcg/12 jam
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
11
Allopurinol 0 – 0 – 1
P. Dx :
Tunggu jadwal EEG
Tunggu protokol MRI dengan kontras
Tanggal 30 – 4 - 2015
Subjektif Kejang
Objektif GCS E4V5M6Tensi : 120/80 mmHgNadi : 88 x/ menitRespirasi : 18 x/menit, regulerSuhu : 36,8ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
12
Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
Allopurinol 0 – 0- 1
P. Dx :
Tunggu jadwal EEG
Tunggu jadwal MRI brain dengan kontras
Konfirmasi paru apakah acc pindah Anggrek 1?
Tanggal 2 – 5 – 2015
Subjektif Kejang (-)
Objektif GCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHgNadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, regulerSuhu : 36,8ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
13
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
Allopurinol 0 – 0 – 1
P. Dx :
Tunggu jadwal EEG
Tunggu jadwal MRI brain dengan kontras
Tanggal 3 – 5 – 2015
Subjektif Kejang (-)
Objektif GCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHgNadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, regulerSuhu : 36,8ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -
14
Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Inj. Vit B12 500 mcg/12 jam
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
Allopurinol 0 – 0 – 1
P. Dx :
Tunggu jadwal EEG
MRI brain kontras 6 – 5 – 2015
Tanggal 4 – 5 – 2015
Subjektif Kejang (-)
Objektif GCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHgNadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, regulerSuhu : 36,8ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
15
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Inj. Vit B 12 500 mcg/12 jam
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
Allopurinol 0 – 0 – 1
P. Dx :
Tunggu jadwal EEG
MRI brain kontras 6 – 5 – 2015
Tanggal 8 – 5 – 2015
Subjektif Kejang (-)
Objektif GCS E4V5M6
16
Tensi : 110/70 mmHgNadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, regulerSuhu : 36,8ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Inj. Vit B12 500 mcg/12 jam
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
17
Allopurinol 0 – 0 – 1
P. Dx :
Tunggu jadwal EEG
MRI brain dengan kontras 6 – 5 – 2015
Tanggal 6 – 5 – 2015
Subjektif Kejang (-)
Objektif GCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHgNadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, regulerSuhu : 36,8ºC (per axiller)Fungsi luhur: dbnMeningeal sign: -N. Cranialis:II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+III, IV, VI gerak bola mata kesan dbnVII, XII dbn
Motorik:K 5 5 T N N
5 5 N N
RF +3 +3 RP + +
+3 +3 - -Hoffman Tromer
Sensorik : dbnOtonom : dbnKoordinasi : dbn
Assessment K : Rw status epileptikus
T : Cortex
E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma
Planning P. Tx :
O2 3 lpm k/p
Inf.sering 20 tpm
18
Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam
Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang
Inj. Vit B12 500 mcg/12 jam
Phenitoin 1 x 100 mg
Vit B6 2 x 1 tab
Asam folat 1 x 1 tab
KSR 2 x1 tab
Allopurinol 0 – 0 – 1
P. Dx :
Hari ini MRI brain kontras
Tunggu hasil EEG
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik.
B. ETIOLOGI
1. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak
2. Factor herediter,ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
3. Factor genetic; pada kejang demem dan breath holding spells
4. Kelainan congenital otak; atropi, porensefali, agenesis korpus kalosum
5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia
6. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
7. selaputnya,toxoplasmosis
8. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
9. Neoplasma otak dan selaputnya
10. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
11. Keracunan; timbale (Pb), kapur barus, fenotiazin,air
12. Lain-lain; penyakit darah,gangguan keseimbangan hormone,degenerasi
serebral,dan
13. lain-lain.
(Anonim, 2008)
20
C. PATOFISIOLOGI
1. Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum,
onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan
pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik
kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa
hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus,
hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras
thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan
aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada
korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3 Patofisiologi epilepsi yang lain adalah
disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen
yang mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh: Generalized epilepsy with
febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Kanal Gen Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B, Generalized
epilepsies with
SCN2A, GABRG2 febrile seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial
neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, CACNB4 Episodic ataxia tipe 2
21
CACNA1H Childhood absence
epilepsy
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic
epilepsy
Juvenile absence
epilepsy
Epilepsy with grand mal
seizure on awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant
frontal lobe epilepsi
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic
epilepsy
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga
terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron
(gambar 1A). Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada
generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang
berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi
depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi
hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign familial
neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks
kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar
1C)
22
Gambar 1. Mutasi kanal ion3
2. Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah
epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada
sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel
piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks
entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari
interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular) (gambar 2). Sel
granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat
menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal,
Gambar 2. Hippokampus3
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke
lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang
aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk
sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron
23
eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal
mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas (gambar
3).
Gambar 3. Sel granula dentatus3
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di
hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di
daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus
baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori
patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor
GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang
berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara
mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi
reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan
sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme
24
inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya
epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan
terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan
terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada
plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati
sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.
3. Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera
kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan
saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa
ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik
dan retardasi mental.1 Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya
berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6 Keterlibatan
reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi terhadap
NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.7 Beberapa penelitian
neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas
bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor
nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium).
25
Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya
dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.9 Berbicara
mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion
yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan
keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam
komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-
ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada
penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter
tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat
(eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan
dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
(Fitri Octaviana, 2008)
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Epilepsi Umum
a. Major
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan
sekunder Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-
tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama,
perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal
sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu
didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen
pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran
sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang
tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan
tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga
terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian
26
disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 --
3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat,
midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang
berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai
koma. Kira-kira 4—5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai
setahun sekali.
b. Minor :
Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4 -- 5tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran
yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali
masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola
mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula.
Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit
mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak
akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri : Timbul
pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal, harus murni dan
hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah ditanggulangi hanya dengan satu
macam obat, Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan
frekuensi 3 per detik. Bangkitan mioklonus Bangkitan berupa gerakan involunter
misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan
terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan
kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian
dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan
akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
27
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-
laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat. Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.
Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai
dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot
yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah
dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche
2. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).
a. Bangkitan sensorik
Bangkitan sensorik adalah bangkitan yang terjadi tergantung dari letak
fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus
terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu
bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu
anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron
sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
b.Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala
fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena
fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi
kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra
tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat
psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi
psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik la-zimnya
berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang
28
sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran
antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi
yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik
sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme
membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan
aneh.
(Anonim, 2008)
E. Klasifikasi Epilepsi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.1
Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981)1
I . Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
29
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
3. kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
II. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. Bangkitan lena
B. Bangkitan mioklonik
C. Bangkitan tonik
D. Bangkitan atonik
E. Bangkitan klonik
F. Bangkitan tonik-klonik
III. Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
Localization-related (focal, partial) epilepsies
● Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
● Symptomatic
Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi
yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan,
EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing
30
Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal
dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus
tidak diketahui
Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
Epilepsi Umum
► Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
► Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
► Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
F. DIAGNOSIS AWAL
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini
serangan kejang atau bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan
melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang
merawat. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk
menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu
berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut
biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada
31
kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami
pasien (Ahmed, Spencer 2004, Mardjono 2003).
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer
2004, Hadi 1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi
kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-
anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang
biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti
stroke atau tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien
dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada
sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin
merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara
mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura”
dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari
sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan
dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah
ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan
32
kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh?
Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung?
Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah
ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu
pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien
mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin
dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi.
Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang
dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin
kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat
dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post
ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik
pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun
terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang
parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis
di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada
gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga
dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
33
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor
pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat
membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat obat anti kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat
obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut
yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
10.Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi
tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka
ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga
dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
11.Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat
dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.
Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan
informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang
34
berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang
mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer
2004).
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun
proses persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah
serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang
demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang
disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat
adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?
Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien
epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan
sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).
1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi
mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut
dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat
dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan
kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan
produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh
35
waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu
tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja
dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko,
tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan
pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang
jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak
membahayakan dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan
epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan
kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini
bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa
negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang
mengemudikan kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien
merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi
wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek
teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti
epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi
oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang
sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk
mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko
terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-
minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi
dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah
minum alkohol .
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan
apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada
36
kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan
kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial
neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan
kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, Spencer
2004).
Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi,
perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek
reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini
terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari
atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer
2004)
Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu
ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari
dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak
efek sampingnya. (Ahmed, Spencer 2004)
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau
MRI. (Ahmed, Spencer 2004)
G. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan
kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah
leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan
37
kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu
muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang
tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular.
Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus
seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “
Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma
sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry
hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada
bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh
akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat
terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens
contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka
lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi,
saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya
defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan
pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau
lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu
serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada
kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus
yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif.
Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus
temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan
kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Ahmed, Spencer 2004,
Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).
H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
38
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan
serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea
Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan
petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga
sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer
2004, Oguni 2004).
I. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah
pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya
dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu
tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah
pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi
dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001,
Oguni 2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,
mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali
sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz
spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang
spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan
kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini
selalu dilakukan dengan cermat.
39
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan
keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara
difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat
membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam
serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.
J. PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan
diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau
bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang
masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan
video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-
menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat
40
menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya,
Duncan 2000, Stefan, 2003).
K. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi
namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan
otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik
dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak,
sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa,
maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi
pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2
weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan
irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).
L. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian
41
juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan
kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for
Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Anonym. 2008. Epilepsi.
http://ilmukedokteran.net/pdf/Ilmu-Penyakit-Saraf/epilepsi.pdf.
Duncan R : Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E
Duncan.pdf.
Fitri Octaviana. 2008. Epilepsi.
http://www.dexa-medica.com/images/publication_upload09010917063600
1231472906MEDICINUS_NOV_DES%2708.pdf . Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS
Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit
UNDIP Semarang : 55-63.
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kirkpatrick M : Diagnosis of Epilepsy in Children, available from
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F
Kirkpatrick.pdf.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
42
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi,
Agoes A (editor); 129-148.
Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48
(Suppl.8):13-16
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts,
60,10: 30-35.
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,
Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.
Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic
Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European
Federation of Neurological Societies, Helsinki.
43