compile lingki pidana

Upload: bharasemesta

Post on 20-Jul-2015

432 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Penulisan

BAB II ISI 2.1. Resume Kasus PT. Senayan Sandang Makmur (SSM) adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri tekstil. Rino Turino Chernawan adalah seorang Direktur Utama PT. Senayan Sandang Makmur memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan serta pengoperasian IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), mengontrol jalannya perusahaan, mengambil kebijakan-kebijakan dengan instansi terkait, melaporkan hal-hal khusus mengenai operasional perusahaan kepada pemilik. Sedangkan Djuwito Bin Margono adalah Kepala Bagian Maintenance PT. Senayan Sandang Makmur yang bertugas untuk mengawasi pengolahan dan pembuangan limbah cair, menerima laporan hasil pengolahan limbah cair dari operator IPAL. PT. SSM sebagai industri tekstil dalam proses produksinya menggunakan selain tekstil, yaitu bahan-bahan kimia seperti caustik, urea, HO2, cuka, sabun, zat pewarna, hydrosulfix, dulex dsb. Proses produksi yang dilakukan oleh PT. SSM tersebut menghasilkan atau mengeluarkan limbah cair yang dibuang atau yang dialirkan melalui saluran yang mengalir ke selokan pasir paku yang arahnya menuju Waduk Saguling. Seharusnya, sebelum limbah cair tersebut dibuang melalui saluran yang mengalir ke selokan pasir paku yang arahnya menuju Waduk Saguling harus diproses terlebih dahulu melalui IPAL sampai memenuhi baku mutu yang ditetapkan, dan setelah memenuhi baku mutu yang ditetapkan baru dapat dibuang atau dialirkan ke selokan pasir paku yang arahnya menuju Waduk Saguling. Baku mutu ditetapkan berdasarkan SK Gubernur KDT I Jawa Barat No.6 Tahun 1999 tentang Batas Maksimum Air Limbah Tekstil yang memuat antara lain : BOD 5 standarnya 60 ppm COD standarnya 150 ppm TSS standarnya 50 ppm PH standarnya 50 ppm PH standarnya 6,0 9,0 ppm

Setelah dilakukan penelitian dan pengambilan sampel, diketahui dari hasil tersebut bahwa baku mutu limbah PT. SSM melebihi standar baku mutu yang telah ditetapkan dalam SK tersebut. Sehingga, sudah seharusnya limbah cair yang dihasilkan akibat proses produksi PT. SSM tersebut tidak dapat dialirkan atau dibuang ke selokan pasir paku yang langsung menuju Waduk Saguling, apalagi jika tidak melalui IPAL. Karena, hal ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan di ataupun sekitar tempat pembuangan limbah cair tersebut. Akan tetapi, yang terjadi adalah Rino Turino Chernawan sebagai Direktur Utama PT. SSM memerintahkan kepada Djuwito bin Margono untuk melepaskan atau membuang limbah cair hasil produksi ke selokan pasir paku yang langsung menuju Waduk Saguling tanpa melalui proses IPAL setiap saat terutama jika turun hujan pdahal mereka mengetahui bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Perbuatan yang dilakukan oleh keduanya tersebut pun mengaibatkan terjadinya pencemaran lingkungan/ rusaknya lingkungan hidup pada Waduk Saguling dan aliran selokan yang dilaluinya. Pencemaran lingkungan tersebut mengakibatkan matinya biota air atau habitat makhluk hidup, termasuk manusia yang berinteraksi langsung dengan aliran air tersebut mengalami gatal-gatal sehingga air tersebut tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kedua pihak diatas dipersalahkan atas tindak pidana pencemaran lingkungan, dimana surat dakwaan disusun secara alternatif oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu : Primair : melanggar pasal 41 ayat (1) jo pasal 46 UU 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Subsidair : melanggar pasal 43 ayat (1) jo pasal 46 UU 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Lebih Subsidair : melanggar pasal 44 ayat (1) jo pasal 46 UU 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Lebih Subsidair Lagi : melanggar pasal 42 ayat (1) jo pasal 46 UU 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP

Dalam pertimbangannya, Hakim menyimpulkan bahwa terdapat lebih banyak poin/ hal yang meringankan Terdakwa I dan II maka hakim memutuskan bahwa : Menyatakan Terdakwa I dan Terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Primair dan Subsidair, oleh karena itu membebaskan Terdakwa-Terdakwa dari dakwaan Primair dan Subsidair tersebut Menyatakan Terdakwa I dan Terdakwa II terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencemaran Lingkungan Menghukum Terdakwa I dan II dengan pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) bulan, dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali jika dikemudian hari dalam putusan Hakim ditentukan lain yaitu TerdakwaTerdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 8 (delapan) bulan Menghukum Terdakwa-Terdakwa membayar denda sebesar Rp. 10 000 000, subsidair 2 (dua) bulan kurungan Menghukum Terdakwa-Terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 10 000

-

-

2.2. Pertimbangan Hakim terkait Tindak Pidana Korporasi

Sebelum membahas mengenai tanggung jawab korporasi, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan korporasi. Korporasi adalah badan hukum yang menjalankan kegiatan yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Termasuk salah satu subyek hukum yakni badan hukum. Tindak pidana korporasi adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Tindak pidana korporasi dapat diartikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Menurut berikut: Any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as white collar crime. 1 Dalam UUPPLH No. 23 Tahun 1997 pasal 46 juga dipaparkan mengenai tindak pidana korporasi yang isinya: (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas Blacks Law Dictionary, tindak pidana korporasi diartikan sebagai

nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas

nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orangorang tersebut, baik berdasa hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

1

http://www.tanyahukum.com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/ tanggal 2 mei 2012 pukul 22.10 WIB.

Mengingat bahwa korporasi adalah suatu badan hukum dan termasuk sebagai subjek hukum, maka korporasi dapat melakukan suatu tindakan hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum juga. Dengan demikian, maka korporasi dapat bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya. Namun, dalam hal demikian muncul suatu permasalahan lagi, yaitu siapa yang harus bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukan atas nama korporasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah dilakukan untuk dan atas nama korporasi, bukan untuk kepentingannya sendiri. Jadi, dalam hal ini terdapat ketidakjelasan siapakah yang harus bertanggungjawab, apakah pelaku aktivitas yang melanggar hukum pidana, atau pemimpin korporasi sebagai pihak yang bertanggung jawab. Mengenai hal tersebut, pada dasarnya sudah diatur dalam AD/ART korporasi tersebut, siapa yang dapat bertindak mewakili korporasi secara hukum dan dalam perihal terjadi suatu sengketa. Pada umumnya, pihak yang ditunjuk untuk bertindak mewakili korporasi adalah direksi, secara khusus direktur utama korporasi tersebut. Pertanggungjawaban tindak pidana korporasi adalah suatu masalah yang multi-

faces. Tidak ada solusi sederhana untuk masalah ini. Namun, dalam menghadapi masalah tindak pidana korporasi ini pendekatan tunggal tidak akan cukup harus dilakukan kombinasi beberapa pendekatan untuk mencapai solusi terbaik. Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tidak dikenal adanya tindak pidana korporasi. Yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan atau naturlijkee person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest2 dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan yang dilakukan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi, siapakah yang akan bertanggungjawab? apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut? Bagaimana mengenai corporate liability nya? Didalam KUHP memang hanya ditetapkan bahwa yang menjadi subyek tindak pidana adalah orang perseorangan. Dan berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Hal tersebut tercantum dalam pasal 59 KUHP yang berbunyi: Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang2

ibid

ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia dikenal melalui UU No.7 Drt/1955 pasal 15 yang menyatakan bahwa badan hukum, perseroan, perserikatan yang lainnya atau yayasan telah dijadikan subyek hukum pidana yang dapat dituntut dan dipidana. Berdasarkan hal tersebut, KUHP saat ini tidak dapat menjadi landasan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dari sebuah korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh pengurus korporasi. Teori identifikasi adalah salah satu teori yang menjustifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan atau kehendak direktur adalah juga merupakan tindakan atau kehendak korporasi (the act and state of mind of the person are the acts and state of mind of the corporation ) demikian menurut Richard Card3. Walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian yaitu: 4 1) Dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi misalnya : Perkosaan, sumpah palsu 2) Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara dan pidana mati. Pidana penjara dan pidana mati tidak dapat dijatuhkan pada korporasi. Jadi jika hal ini dihubungkan dengan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yaitu pidana pokok terdiri atas : pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan dan denda; maka pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanyalah pidana denda. Hal yang sama most case the punishment visited upon the corporation will be fine5 Dalam kasus Waduk Saguling ini, perlu dilihat apakah kasus ini dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana korporasi. Pertama-tama, untuk melihat apakah memang ini sebuah tindak pidana korporasi, mari sama-sama melihat kepada criteria Slavenburg,dimana sebuah korporasi dapat dimasukkan ke dalam Tindak Pidana Korporasi apabila memenuhi syarat yakni: 1. Power, bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II bersama-sama mempunyai kekuatan untuk memberikan perintah kepada bawahan, sehingga dapat diartikan bahwa baik3

juga

dikemukakan oleh Peter Gillies yang mengatakan bahwa the obvious must be stressed : in

Richard Card, Dalam Hanafi, Reformasi Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Ilmu Hukum No 11 Vol 6 1999, Hal 294

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal 375

Peter Gillies, Criminal Law, 1990, P.145.

Terdakwa I dan Terdakwa II semua mempunyai power untuk mengendalikan jalannya perusahaan. Melihat subjek yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, yang dijadikan subjek hukum bukanlah korporasi (PT. SSM) melainkan individu perorangan yang merupakan pengurus dalam korporasi terkait. Hal ini mengacu pada isi dalam KUHP mengenai tindak pidana korporasi yang tidak menempatkan atas nama korporasi sebagai pihak yang bertanggungjawab, melainkan pengurus korporasi seperti direktur, komisaris, atau pengurus lainnya. Dengan demikian para pengurus korporasi yang ditetapkan sebagai terdakwa ini berlaku sebagai wakil atas nama korporasi terkait untuk berhadapan di muka hukum.

2. Acceptance, yaitu apabila pemimpin-pemimpin tersebut telah sadar bahwa ada kemungkinan akibat yang akan terjadi. Dalam kasus Waduk Saguling, Terdakwa 1 selaku Direktur Utama PT. SSM memerintahkan Terdakwa 2 selaku Kabag Maintenance PT. SSM untuk membuat gorong-gorong untuk menyalurkan limbah langsung ke Waduk Saguling tanpa melewati proses IPAL. Dari tindakan terdakwa 1 ini tidak terlihat unsur kelalaian dalam tindak pidana yang dilakukan. Terdakwa 1 dianggap memiliki pengetahuan mengenai prosedur IPAL, maka seharusnya terdakwa 1 memberi perintah kepada bagian maintenance yakni terdakwa 2 untuk melakukan prosedur IPAL yang ada dalam pembuangan limbah. Maka, perilaku terdakwa 1 memerintahkan terdakwa 2 untuk membuang limbah tanpa proses IPAL dianggap dilakukan dengan unsur kesengajaan. Kemudian, Terdakwa II secara sadar melakukan apa yang disuruh oleh atasannya. Memang, di dalam putusan hakim mengenai kesengajaan tidak terbukti, namun sangat disayangkan, bahwa pembuatan gorong-gorong ini tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim, hanya disebutkan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sehingga, sebeneranya untuk criteria acceptance ini kemungkinan akan akibat dilihat dari actus reus dari Terdakwa I dan Terdakwa II yang tergambar dari pertimbangan hakim, yang berbunyi Menimbang bahwa menurut Majelis, sudah seharusnya management PT. SSM menyadari ... Jadi, persetujuan Terdakwa II untuk mengikuti perintah dari Terdakwa I tidak perlu dicari lagi, namun akibatnya sudah ada, yaitu adanya pelanggaran tindak pidana, berupa pencemaran lingkungan

2.2.1 Hubungan Tindak Pidana Korporasi dengan Penyertaan

Atas pertimbangan awal hakim, ditambahkan pasal megenai penyertaan yaitu pasal 55 KUHP. Majelis hakim menambahkan pasal penyertaan pada dakwaan primair bahwa terdakwa melanggar pasal 41 ayat (1) jo pasal 46 UU No. 23/Th. 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Majelis hakim berpendapat bahwa pihak Direktur Utama PT. SSM berlaku sebagai pemberi perintah atau pimpinan dan Kabag

Maintenance PT. SSM sebagai pengawas pengelolaan limbah sehingga kedua terdakwa berlaku sebagai pelaku fungsional. Meskipun keduanya tidak secara langsung melakukan tindak pidana, namun keduanya tetap bertanggung jawab atas dampak yang terjadi. Pada pertimbangan berikutnya dinyatakan bahwa penambahan pasal penyertaan pada dakwaan primair tersebut adalah berlebihan sehingga pasal tersebut tidak jadi dimasukkan. Mengenai antara lain: 1. Plegen (melakukan) teori Penyertaan atau deelneming, Remmelink memaparkan beberapa bentuk

Diatur pada pasal 55 KUHP yang menyebutkan bahwa pleger adalah orang yang berbuat atau melakukan tindak pidana secara tuntas. Pleger memenuhi semua unsur delik termasuk bila dilakukan melalui orang lain atau bawahan mereka. 2. Doen Plegen (menyuruh melakukan)

Dalam MvT diungkapkan bahwa pelaku bukan saja melakukan tindak pidana, melainkan juga melakukannya melalui orang lain yang kemudian seolah menjadi alat bagi kehendaknya. Jika orang tersebut tidak diketahui maksud, kekhilafan, atau kesesatan yang sengaja ditimbulkannya dan kemudian ternyata diketahui ia bertindak tanpa kesengajaan dan kesalahan, maka ia tidak dapat dimintai pertanggung jawaban. Dapat disimpulkan bahwa orang yang menjadi instrumen bagi perbuatan pidana seseorang tidak dapat dipidana. 3. Medeplegen (turut melakukan)

Menurut Van Hamel, dalam medepleger harus dipenuhi semua unsur pidana nya. Menurut HR, syarat dari adanya medeplegen yaitu : a. b. Kesengajaan untuk memunculkan akibat delik dan Kesengajaan untuk melakukan kerjasama dengan rencana atau kesepakatan yang

dibuat terlebih dahulu.

Jadi, yang perlu dibuktikan adalah adanya saling pengertian dan pengetahuan diantara sesama pelaku dan pada saat perbuatan diwujudkan, dan masing-masing pelaku bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Medeplegen tidak dapat dimengerti sekedar sebagai sekumpulan pelaku tindak pidana, dimana pembagian tanggung jawab dibebankan secara bersama-sama pada kelompok.

Pada akhirnya, Medeplegen difungsikan sebagai: a. Pertanggung jawaban pada orang-orang yang turut terlibat dalam tindak pidana

namun yang tidak dapat dikualifisir sebagai pleger dan b. 4. Untuk memperluas pertanggung jawaban orang yang turut terlibat tindak pidana Medeplichtigheid (membantu melakukan)

Tercantum pada pasal 56 KUHP, medeplichtigheid dibagi menjadi dua, yaitu: a. b. Kesengajaan memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan dan Pemberian bantuan untuk melakukan kejahatan tersebut

Pembantuan dianggap sebagai bentuk accesoir dari penyertaan, dimana pihak yang memberikan bantuan turut terkait dalam kesalahan, yang khususnya dilakukan oleh orang lain karena memudahkan atau member kesempatan baginya. Bentuk-bentuk pembantuan dapat diwujudkan melalui pemberian nasihat atau suatu perbuatan pembantuan materiil. Dalam pembantuan pelaku tidak mutlak harus memberi pengaruh seperti yang dibayangkan semula. 5. Uitlokking (pembujukan)

Seseorang yang memberi sesuatu, memberi janji-janji, penyalahgunaan wewenang, kekerasan ancaman, tipu muslihat atau dengan cara memberi kesempatan untuk dilakukannya suatu tindak pidana. Empat syarat dari pembujukkan yaitu: a. Kesengajaan untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindakan yang

dilarang b. c. Keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan Orang yang tergerak mewujudkan rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau

penggerak untuk melakukan tindak pidana atau setidak-tidaknya merupakan percobaan ke arah itu. Itikad buruk penggerak saja tidaklah cukup harus ada perbuatan nyata dari penggerakan itu. Perlu diingat, bahwa orang yang digerakkan harus bisa dimintai pertanggung jawaban, karena tanpa bisa diminta pertanggung jawabannya, maka bentuk dari penyertaan ini adalah doenplegen. Sarana dalam menggerakkan atau membujuk orang lain dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan pemberian janji-janji seperti pemberian imbalan, uang, atau benda, tapi juga bentuk balas jasa lainnya seperti bantuan atau

penyediaan tempat persembunyian atau menghapus semua jejak perbuatannya jika ia mau melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan. Mengenai pertanggungjawaban, si penggerak diminta tanggung jawab sebatas pada tindakan yang sengaja digerakkan serta seluruh akibat yang mengikutinya Mengenai pertanggungjawaban atas tindak pidana korporasi ini, memang perbuatan kedua terdakwa terlihat dilakukan dengan penyertaan, karena ada salah satu pihak yang berlaku sebagai pemberi perintah. Namun, jika ditinjau lebih dalam, memasukkan unsur penyertaan dalam tindak pidana korporasi ini kurang sesuai. Pada tindak pidana korporasi, kepentingan yang terkait adalah untuk korporasi itu sendiri yang merupakan suatu badan hukum. Sedangkan dalam teori penyertaan, tindak pidana yang dilakukan cenderung melibatkan subjek hukum yang umum yaitu individu perorangan. Sehingga dapat disimpulkan, letak perbedaan antara penyertaan dengan tindak pidana korporasi ini terletak pada subjek hukumnya. Dengan demikian, unsur penyertaan yang tercantum dalam pasal 55 KUHP tidaklah menjadi hal yang esensial dalam tindak pidana korporasi ini jika mengacu pada isi dari pasal 46 ayat (2) UUPPLH No. 23 Tahun 1997. Sehingga tepat jika majelis hakim menarik kembali penambahan pasal penyertaan pasal 55 KUHP pada dakwaan primair kasus ini karena penambahan pasal tersebut memang berlebihan dan tidak sesuai dengan isi UUPPLH No. 23 Tahun 1997. Untuk tuntutan pidana pada tindak pidana korporasi pada lingkungan hidup, pemberi perintah tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. (pasal 117). Sedangkan tindak pidana yang dilakukan badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundangundangan selaku pelaku fungsional. Dalam penjelasan UU 32 Tahun 2009, pelaku fungsional adalah badan usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum, karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional, sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut.

2.3. Pertimbangan Hakim mengenai Pembuktian Unsur Sanksi Pidana 2.3.1. Pidana Umum dan Pidana Khusus Era globalisasi saat ini memberikan suatu peluang bagi setiap bidang dan aspek kehidupan untuk terus berkembang sesuai dengan kemajuan jaman. Tentunya hal-hal yang pada awalnya sederhana menjadi kompleks dan bahkan bisa sangat kompleks apabila kita melihat dari sudut pandang yang sama maupun berbeda. Kenyataan itulah yang membuat makin tingginya komplesitas suatu perbuatan dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di kehidupan masyarakat. Sehingga, para hakim cukup kesulitan dalam menginterpretasikan suatu perbuatan. Karena dalam beberapa hal, perbuatan tersebut ada kemiripan dengan salah satu bentuk kejahatan atau pelanggaran lainnya. Pada dasarnya, setiap negara (termasuk Indonesia), memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang seharusnya memasukkan semua tindak pidana di dalam kodifikasi tersebut. Akan tetapi, hal itu tampaknya tidak mungkin, karena selalu timbul perbuatan-perbuatan baru seiring dengan perkembangan jaman. Sebagai konsekuensinya, pemerintah menciptakan berbagai peraturan perundang-undangan khusus yang memuat tindak pidana baru di luar KUHP. Memperhatikan dasar-dasar umum di dalam KUHP umum, terdapat suatu bagian yang disebut sebagai aturan umum, dapat dilihat dalam buku I yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya yang berlaku bagi semua hukum pidana positif baik yang dimuat dalam KUHP atau yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan pidana yang lain. Mengingat ketentuan tersebut di atas, maka semua tindak pidana harus tunduk pada ketentuan pokok, kecuali apabila secara khusus diatur dalam ketentuan itu sendiri. Dari pembahasan tadi, hukum pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan keberlakuannya bagi subjek hukum yang diaturnya, antara lain : a. Pidana Umum

Pidana umum memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang. Aturan-aturan ini misalnya terdapat pada KUHP, Undang-Undang Lalu Lintas dan sebagainya.

b. Pidana Khusus Pidana yang dibentuk oleh Negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII BUKU II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya berlaku bagi penduduk Negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja, atau hukum pidana yang termuat dalam KUHPT (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara) yang hanya berlaku bagi subyek hokum anggota TNI saja. Hukum pidana khusus merupakan hukum pidana yang tidak dikodifikasi, artinya hukum pidana khusus mengatur hukum pidananya sendiri, dan tidak mengatur hukum pidananya melainkan sanksi pidananya. Tujuan dari pidana khusus adalah untuk membahas bentuk-bentuk hukum pidana yang tergolong kedalam hukum pidana khusus mulai dari latar belakang, jenis-jenisnya, perundang-undangan yang mengaturnya, serta proses penyelesaiannya. Latar belakang munculnya tindak pidana khusus adalah karena dalam kenyataan sehari-hari banyak ditemukan delik-delik yang tidak diatur dalam KUHP, dan delik tersebut dikenakan pidana yang relatif ringan sementara mungkin pada saat sekarang delik tersebut mempunyai dampak yang besar. Pidana khusus memuat aturan-aturan pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum, yang mengenai golongan-golongan tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu. Kriteria tindak pidana khusus : 1. Mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tersebut 2. Dilihat dari substansi dan berlaku bagi siapa pun 3. Penyimpangan ketentuan hukum pidana 4. Undang-undang tersendiri

Dalam tindak pidana khusus, ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus. Misalnya, pidana penjara dan pidana denda, atau pidana mati dan pidana denda. Dalam KUHP, penjatuhan 2 (dua) hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkansehingga tidak ada hukuman yang

dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda secara berbarengan karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum terdakwa dengan 2 (dua) pidana pokok sekaligus, dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya sehingga tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat. Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa KUHP sebenarnya sudah menyadari bahwa suatu saat akan hadir hukum pidana baru, dimana hal itu diatur dalam pasal 103 yang mengatur hubungan antara Pidana Umum dan Pidana khusus : Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Jadi hubungannya terpisah oleh asas yang dikenal dengan Lex Specialist Derogat Lex Generalis. Hal ini berarti aparat tidak mungkin lagi menggunakan keduanya. Adanya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Menurut kelompok kami, pelanggaran terhadap Undang-Undang Lingkungan Hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana tertentu di luar KUHP, karena alasan sebagai berikut : a. Buku II KUHP tentang kejahatan Bab I sampai dengan Bab XXXI dan Buku III KUHP tentang Pelanggaran Bab I sampai dengan Bab IX tidak mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran tentang lingkungan hidup. b. Tindak pidana terhadap lingkungan hidup diatur tersendiri dalam UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. c. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang hanya berlaku bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang berdampak bagi lingkungan. Dengan demikian, oleh karena tindak pidana lingkungan hidup belum ada pengaturannya di dalam KUHP tetapi telah diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang khusus, maka pelanggaran terhadap UU Lingkungan saat ini dikategorikan sebagai tindak pidana tertentu di luar KUHP atau tindak pidana khusus. Dalam putusan pengadilan kasus Pencemaran Waduk Saguling tersebut, dakwaan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa ialah sebagai berikut :

a. Primair

: melanggar pasal 41 (1) jo pasal 46 UU No. 23 Tahun 1999 jo

pasal 55 (1) KUHP b. Subsidair : melanggar pasal 43 (1) jo pasal 46 UU No. 23 Tahun 1999 jo

pasal 55 (1) KUHP c. Lebih Subsidair : melanggar pasal 44 (1) jo pasal 46 UU No. 23 Tahun 1999 jo

pasal 55 (1) KUHP d. Lebih Subsidair Lagi : melanggar pasal 42 (1) jo pasal 46 UU No. 23 Tahun

1999 jo pasal 55 (1) KUHP Dari dakwaan di atas, selain pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup, tercantum pula pelanggaran terhadap ketentuan dalam KUHP. Pertimbangan hakim pada kasus ini menyatakan bahwa penambahan pasal 55 ayat 1 KUHP merupakan suatu yang berlebihan. Dengan demikian pasal 55 ayat 1 untuk selanjutnya dihapuskan dalam pengadilan kasus ini. Alasan tidak dipertimbangkannya lagi pasal 55 ayat 1 KUHP tersebut pada putusan kasus ini ialah karena pasal 55 ayat 1 memiliki tujuan dan persamaan maksud dengan pasal 41 ayat 1 jo pasal 46 UU Lingkungan Hidup. Pasal 55 ayat 1 KUHP memiliki unsur tentang pelaku pelanggaran. Sedangkan pada pasal 41 ayat 1 jo pasal 46 UU Lingkungan Hidup, unsur tersebut telah terpenuhi. Dalam pasal 41 ayat 1 jo pasal 46 UU Lingkungan telah ditentukan bahwa pelaku pelanggaran adalah atas nama badan hukum, adalah mereka yang memberi perintah atau pimpinan dalam perbuatan tersebut yaitu : a. Terdakwa I, yaitu Rino Turino Chernawan selaku Direktur Utama PT. Senayan Sandang Makmur yang bertanggung jawab pada operasional perusahaan b. Terdakwa 2, yaitu Djuwito selaku Kepala Pelaksana IPAL di PT. Senayan Sandang Makmur yangmengawasi pengolahan dan pembuangan limbah serta menerima laporan hasil pengolahan limbah cair dari operator IPAL. Dengan tidak dimasukkannya lagi pasal 55 ayat 1 KUHP dalam pengambilan putusan kasus ini, maka itu artinya hakim dalam melakukan pertimbangannya memperhatikan adanya pidana umum dan pidana khusus. Hakim dalam melakukan pertimbangan telah melaksanakan asas hukum pidana yaitu Lex Specialis Derogat Lex Generalis dimana dalam kasus ini pasal 55 ayat 1 KUHP merupakan hukum pidana umum dan Undang-Undang Lingkungan adalah hukum pidana khusus. Adanya pertimbangan mengenai pidana khusus juga terlihat dari sanksi yang diberikan oleh hakim. Putusan hakim menyatakan bahwa terdakwa dihukum :

a. Dengan pidana penjara masing-masing 4 (empat) bulan, yang kemudian diubah karena suatu hal menjadi masa percobaan selama 8 (delapan) bulan b. Membayar denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) Seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa pada pidana pokok tidak diperbolehkan pemberian 2 (dua) hukuman pokok sekaligus (hukuman penjara dan denda). Namun karena kasus ini merupakan kasus tindak pidana khusus, maka hakim diperbolehkan untuk memberikan sanksi berupa 2 (dua) hukuman pokok dalam satu putusan. Singkat kata, pertimbangan yang dipergunakan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah dengan pembuktian unsur pidana khusus, karena hakim dalam dakwaannya menghapus pasal 55 ayat (1) KUHP, dan hanya menggunakan UU Lingkungan Hidup. Yang dipidana bukanlah pencemarannya, melainkan pelanggaran ketentuan admnistratif oleh terdakwa. 2.3.2 Delik Materiil dan Delik Formil Delik atau tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan saranasarana yang disediakan oleh hukum pidana. Perilaku atau perbuatan tersebut dapat berupa gangguan atau menimbulkan bahaya terhadap kepentingan atau objek hukum tertentu. Dalam hukum pidana, tindak pidana memiliki beberapa kategori, diantaranya: 1. Delik yang bersifat menyakiti atau merugikan dan delik yang menimbulkan ancaman atau keadaan bahaya. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Delik yang menimbulkan bahaya konkret dan bahaya abstrak. Delik delik persiapan. Kejahatan dan pelanggaran. Delik materiil dan delik formil. Delik umum dan delik khusus. Kejahatan umum dan kejahatan politik. Delik komisi dan delik omisi. Delik berdiri sendiri dan delik lanjutan.

10. Delik rampung dan delik berlanjut. 11. Delik tunggal dan delik gabungan. 12. Delik sederhana dan delik yang terkualifikasi serta delik yang dikhususkan.

Namun, pembahasan pokok yang akan dikaitkan dengan putusan adalah delik materiil dan delik formil. Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang terjadi dan terselesai juga dengan diadakan perbuatan yang terhadapnya diancam hukuman6. Delik formil mengatur tindakantindakan, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang dengan tidak melihat akibat dari tindakan tersebut. Delik ini disebut juga Delict met formele oms-chrijving, yaitu delik yang dianggap telah voltoid (sepenuhnya terlaksana) dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang7. Contoh penerapan delik formil dalam KUHP adalah pasal 362 KUHP (pencurian) dimana unsur-unsur tindakan dalam pasal tersebut haruslah terpenuhi semua bahwa mengambil barang orang lain adalah dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan delik materil adalah delik yang memiliki hubungan kausalitas antara penyebab dan akibat dari tindakan tersebut (dengan timbulnya akibat dari perbuatan yang bersangkutan maka baru dapat dikatakan sebagai delik materil). Jenis delik ini disebut: delict met materieele omshrijving yaitu delik yang baru dianggap voltooid met het intreden van het givolg (terlaksana penuh dengan timbulnya akibat) yang dilarang8. Contoh penerapan delik materil adalah pasal 338 KUHP (Pembunuhan). Pasal tersebut menekankan pada akibat yang ditimbulkannya, yaitu matinya seseorang, bukan merumuskan pada bagaimana sifat perbuatan tersebut yang mengakibatkan matinya seseorang. Sebelum membahas pembuktian delik formil dan delik materiil dalam kasus hukum lingkungan, kita perlu mengingat asas legalitas dalam hukum pidana yaitu Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, yang artinya: tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. Asas tersebut merupakan dasar dari penerapan delik-delik dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sehingga penjatuhan pidana hanya dapat diterapkan bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi dari suatu pasal.

6

Mr.Drs.EUtrecht.Rangkaian sari kuliah hukum pidana Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa, hal 118. Ibid.

7

8

Kita juga tahu bahwa salah satu bentuk penegakan hukum adalah yang bersifat preventif, yaitu pengawasan aktif terhadap kepatuhan subjek hukum terhadap suatu peraturan yang tidak boleh dilanggar. Alat bagi penegakan hukum yang bersifat preventif tersebut adalah para aparatur pemerintah yang berwenang memberi izin dalam mencegah

pencemaran/kerusakan lingkungan, yang bentuk tindakannya tersebut seperti penyuluhan dan pemantauan.kewenangan (seperti pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan sebagainya). Umumnya hukum pidana diterapkan sebagai akibat dari pelanggaran peraturan yang tidak dapat meniadakan akibat daripada pelanggaran tersebut. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur beberapa hal terkait upaya preventif dalam menangani kasus hukum lingkungan, yaitu dari Pasal 41 sampai dengan pasal 48 serta dalam penjelasan umum undang-undang tersebut. Tindak pidana yang diperkenalkan dalam Undang- Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ada dua macam, yaitu : Delik Materil (generic crimes) dan Delik Formal (specific crimes)9. Delik Formil diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum administrasi seperti Izin dan/atau Dokumen Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan (DPPL). 10 Hal yang ditekankan dalam delik formil adalah melakukan perbuatan pidana. Ada atau tidak akibat daripada tindakan sudah menyebabkan pihak yang memenuhi kualifikasi pasal tersebut untuk dipidana. Ada atau tidaknya akibat dalam delik ini hanya menjadi unsur pemberat/peringan daripada pidana yang dijatuhkan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Hermien Hadiati Koeswadji bahwa11: perumusan delik yang demikian itu (delik formal) sudah langsung dapat dihukum, karena yang dilarang oleh peraturannya ialah perbuatannya (yang dengan sengaja atau karena lalai itu). Tidak peduli apapun akibatnya, sebab perbuatannya saja sudah bertentangan dengan peraturan. Jadi, dapat dihukumnya seseorang karena perbuatan yang dilakukannya itu, dan tidak peduli apa akibatnya. Akibatnya tidak menjadi soal. Proses pembuktian dalam penggunaan delik formil memudahkan proses pembuktian mengenai siapa yang telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan9

So Woong Kim, Tesis : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakkan Lingkungan Hidup, (Semarang : Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009), hal. 28. Ibid. Ibid. hal. 103.

10

11

yang diungkapkan oleh Koenadi Hardjasoemantri12:Apabila dengan delik material sukar untuk membuktikan perbuatan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan, misalnya untuk membuktikan sesuatu usaha dan/ atau kegiatan yang mencemarkan, karena baku mutu ambien sungai telah dilampaui ambang batasnya padahal sumber pencemaran dapat berupa limbah industri, limbah domestik dan limbah pertanian (pestisida), yang berarti multisource pollution, maka delik formal yang tercantum dalam pasal 43 ayat (1) dikaitkan dengan melepaskan atau membuang zat, energi dan/ atau komponen lain yang berbahaya dan beracun ke dalam air permukaan yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian cukup dibuktikan, bahwa usaha dan/ atau kegiatan yang bersangkutan limbahnya melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh baku mutu efluen, yang pengukurannya dapat dilakukan di tempat penggelontoran limbah. Delik Formil dikenal juga dengan sebutan Administrative Dependent Crimes. Ciri-ciri dari delik formil yaitu: 1. Specific Crime 2. Terkait dengan akibat yang ditimbulkan, dalam delik ini tidak perlu ada pembuktian korban yang jatuh namun dapat diperkirakan kemungkinan korbannya, menitikberatkan pada kualifikasi perbuatannya. 3. Selalu didahului oleh proses administrasi dan telah dijatuhkan sanksi administrasi untuk perbuatan pelaku tersebut 4. Penjatuhan pidana dilaksanakan apabila pelaku tidak melaksanakan proses administrasi atau mengulangi perbuatan

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 dapat kita klasifikasikan bahwa pasal 43 dan pasal 44 sebagai delik formil. Delik Materil merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan13. Hal yang ditekankan dalam delik materiil adalah munculnya akibat dari suatu perbuatan yang dilarang. Ciri-ciri dari delik materil yaitu: 1. General Crime 2. Akibat yang ditimbulkan telah ada fakta tentang akibat tersebut12

Ibid. hal.104. Ibid hal.28.

13

3. Penjatuhan pidana bersifat premium remidium Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 dapat kita klasifikasikan bahwa pasal 41 dan Pasal 42 sebagai delik Materil karena perumusan dalam pasal-pasal tersebut adalah pada muncul/tidak munculnya akibat daripada suatu perbuatan yang dilarang. Ketentuan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang baru sebagaimana diuraikan di atas tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan perusakan (generic crimes) atau delik materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41-42 UU Nomor 23 Tahun 1997, akan tetapi UUPLH juga mengatur perbuatan pidana pelepasan dan pembuangan zat atau komponen lain yang berbahaya dan beracun serta menjalankan instalasi yang berbahaya dan beracun atau delik formal sebagaimana diatur dalam Pasal 4344. Mengaplikasikan hukum pidana pada pencemaran lingkungan hidup akan selalu menimbulkan problematika oleh karena struktur dari undang-undang lingkungan hidup. Masalah pokoknya adalah bahwa kepentingan dan nilai dari lingkungan hidup tidak nyaman dengan perlindungan mutlak dalam hukum. Aktivitas industri mungkin mengakibatkan keuntungan personal bagi pelakunya, namun tidak bagi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, kebanyakan hukum lingkungan di berbagai negara bertujuan pada kontrol administratif pencemaran lingkungan hidup, biasanya melalui sistem lisensi dan perizinan. Lembaga administratif menetapkan tingkat atau batas izin dari polusi lingkungan hidup. Di sini terdapat jalinan yang kuat antara hukum administratif dengan hukum pidana di mana kebanyakan undang-undang lingkungan hidup menyebutkan bahwa hukuman ditujukan untuk ketiadaan izin atau pelanggaran terhadap standar emisi. Hal ini disebut sebagai administrative dependence dalam hukum pidana lingkungan. Namun, dengan

meningkatnya doktrin hukum, doktrin-doktrin tersebut menunjukkan kelemahan-kelemahan dari administrative dependence. Doktrin tersebut mengkritik ketergantungan mutlak hukum pidana pada hukum administratif. Oleh karena itu, dikembangkanlah penggunaan model lain dari kriminalisasi pencemaran lingkungan hidup yang tidak terlalu bergantung hukum administratif. Sebelum menentukan pembuktian delik materil dan formil dalam kasus tersebut, untuk menentukan pembuktian yang tepat, diperlukan penjabaran unsur-unsur dari setiap pasal yang terkait dengan pembuktian. Dalam kasus ini, perbuatan yang didakwakan adalah perbuatan

pembuangan limbah cair PT. Senayan Sandang Makmur ke selokan pasir paku yang berada di atas baku mutu yang mengakibatkan pencemaran lingkungan/rusaknya lingkungan hidup pada waduk Saguling dan aliran selokan yang dilaluinya. Pencemaran lingkungan/rusaknya lingkungan hidup yang dimaksud adalah matinya biota air atau habitat makluk hidup termasuk manusia yang berinteraksi langsung dengan aliran air tersebut dapat mengalami gatal-gatal serta air tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Adapun Pasal yang didakwakan antara lain : 1. PRIMER : Pasal 41 ayat (1) jo pasal 46 UU No 23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP 2. SUBSIDER :Pasal 43 ayat (1) Jo Pasal 46 UU No 23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP 3. LEBIH SUBSIDER : Pasal 44 ayat (1) Jo Pasal 46 UU No 23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP 4. LEBIH-LEBIH SUBSIDER : Pasal 42 ayat (1) Jo Pasal 46 UU No 23 Tahun 1997 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP Dakwaan disusun secara alternatif sehingga dipertimbangkan dahulu dakwaan primair, sehingga apabila dakwaan primair telah terbuki maka dakwaan lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi, sedangkan apabila dakwaan primair tidak terbukti maka dakwaan subsidair akan dipertimbangkan demikian seterusnya. Berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan majelis hakim, dakwaan lebih subsiderlah yang terbukti sehingga terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, khususnya pasal 44 ayat (1) UU No 23 Tahun 1997. Sedangkan penggunaan pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP dianggap berlebihan sehingga pasal ini tidak dipertimbangkan lagi oleh majelis hakim dengan berdasarkan bahwa kedua terdakwa dalam proses pelaksanaan IPAL sangat erat berhubungan satu dengan yang lain dan keduanya berperan sebagai pemimpin agar air limbah yang dihasilkan sesuai dengan aturan baku mutu limbah. 1. Dakwaan Primer Pasal 41 (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Unsur terpenting dari pasal di atas adalah: a. Barang siapa b. melawan hukum c. sengaja d. mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

Pertimbangan Hakim Ad.a Dalam peertimbangan hakim, unsur ini telah terpenuhi. Ad. b Dalam pertimbangan hakim, tidak dipertimbangkan mengenai unsur melawan hukum ini. Ad. c Dalam pertimbangan hakim, tidak dipertimbangkan pula mengenai unsure sengaja ini. Ad. d Dalam pertimbangan hakim, hakim melihat pada fakta-fakta di mana air sumur penduduk sekitar Desa Pasirpaku telah tidak layak lagi untuk dikonsumsi karena telah tercemar dan apabila dikonsumsi akan menimbulkan penyakit bagi masyarakat, sehingga air sumur penduduk hanya bisa digunakan untuk mecuci dan mandi. Namun, hakim berpendapat tidak ada hubungan kaulitas secara langsung dari perbuatan PT SSM dengan tercemarnya lingkungan hidup sekitar Desa Pasirpaku. Hal tersebut melihat pada banyaknya perusahaan tekstil yang berada di sekitar Desa Pasirpaku yang membuang sisa air limbahnya ke selokan Pasirpaku dan juga ternyata terdapat air limbah rumah tangga yang mengalir ke lokasi PT SSM yang kemudian mengalir ke selokan Pasirpaku. Analisis Penulis Ad. a Makna kata barangsiapa ditujukan untuk siapa saja yang terbukti melakukan tindakan pencemaran/perusakan lingkungan hidup. Sedangkan mengenai unsur melawan hukum

dimana suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut memang dilarang oleh undang-undang. Simon menyatakan perbuatan yang dilarang (strafbaar feit) harus memuat beberapa unsur, yaitu: a. suatu perbuatan manusia yang termasuk mengabaikan; b. perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabaikan) dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang); c. perbuatan itu harus dilakukan oleh sesorang yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan itu. Unsur barangsiapa dalam kasus ini telah terbukti, yaitu Rino Turino selaku Direktur Utama PT. SSM (terdakwa I) dan Djuwito selaku kepala pelaksana IPAL (terdakwa II). Ad. b Melawan hukum (wederrechtelijkheid) adalah suatu unsur yang penting yang kerap ditemukan dalam beberapa rumusan delik. Menurut Jan Remmelink, dengan adanya unsur melawan hukum, pembuat undang-undang sebenarnya hendak mencegah agar mereka yang menggunakan hak atau kewenangan mereka sejalan dengan hukum (yang berlaku) tidak serta merta terancam penjatuhan sanksi pidana karena dasar-dasar (umum) yang meniadakan pidana sebagaimana diuraikan dalam perundang-undangan dan yang berlaku bagi mereka tidak mencukupi.14 Menurut Penulis, unsur melawan hukum terbukti dalam kasus ini, karena para pelaku melakukan perbuatan yang melawan hukum secara formil, yakni melanggar ketentuan perundang-undangan sebagaimana diputus oleh hakim. Ad. c Sengaja (dolus) meliputi dua hal, yaitu willens en wetens (menghendaki dan mengetahui). Dalam kasus ini, unsur menghendaki terpenuhi. Argumentasi Penulis berdasar pada kesaksian oleh Saksi 4 (Mangara Sagala) yang mengatakan bahwa selama saksi bekerja di perusahaan tersebut saluran By pass sudah ada dan pimpinan perusahaan tidak keberatan akan hal itu. Tidak keberatan di sini dapat diartikan sebagai menghendaki. Kemudian, Saksi 6 (Hasbinsaran Justien Sagala) juga mengatakan bahwa sejak saksi bekerja di PT SSM, saksi mengetahui ada selokan di bawah tembok beton14

Jan Remmelink, Hukum Pidana, hal. 187.

yang digunakan untuk pembuangan air limbah tanpa proses IPAL dan dilakukan sejak gorong-gorong yang untuk mengalirkan ke bak penampungan IPAL rusak. Hal ini diketahui oleh Sdr. Rino Turino Chernawan dan Sdr. Juwito (kedua terdakwa). Maka, unsur ini terpenuhi. Dalam kasus ini, unsur mengetahui pun terpenuhi. Argumentasi Penulis berdasar pada kesaksian oleh Saksi 6 (Hasbinsaran Justien Sagala) yang mengatakan bahwa ada selokan di bawah tembok beton yang digunakan untuk pembuangan air limbah yang tanpa proses IPAL dan hal tersebut diketahui oleh Sdr. Juwito (Terdakwa II). Maka, unsur ini terpenuhi. Selain itu, satu kesaksian lagi, yakni dari Saksi 5 (Sugiyantoro) mengatakan bahwa di lokasi IPAL ditemukan ada 2 (dua) saluran air limbah yang satu menuju IPAL tidak berfungsi, sedangkan satu lagi berada di gorong-gorong, dibuang secara By pass ke selokan Pasir Paku. Ad. d. Menurut Penulis, unsur melakukan pencemaran terpenuhi dengan terlampauinya Baku Mutu Lingkungan (Baku Mutu Ambien), sebab kadar maksimum untuk Sungai Kelas B, C, D sesuai SK Gubernur Jawa Barat No. 39 Tahun 2000 terlampaui. Namun, satu kata yang menentukan yakni mengakibatkan memerlukan terpenuhinya teori kausalitas. Menurut teori Conditio Sine Qua Non oleh Von Buri, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dipikirkan terlepas dari tindakan pertama tersebut.15 Semua causa dipandang setara. Dalam kasus ini, pembuangan limbah dari PT SSM merupakan causa. Namun, menurut teori Adequaat oleh Von Kries, yang dipersoalkan adalah apakah satu syarat yang secara umum dapat dipandang mengakibatkan terjadi peristiwa seperti yang bersangkutan mungkin ditemukan dalam rangkaian kausalitas yang ada. 16 Jadi, causa adalah peristiwa yang mendukung terjadinya akibat yang dimaksud. Dalam kasus ini, belum tentu pembuangan limbah dari PT SSM merupakan causa, karena ada pula limbah dari rumah tangga, sehingga pembuktian kausalitas ini cukup sulit. Hal tersebut disinggung pula dalam Jurnal Environment Law in Development : Lessons from Indonesian Experience di mana15

Jan Remmelink, Hukum Pidana, hal. 127. Ibid, hal. 129-130.

16

terdakwa akan selalu berargumen bahwa tindakannya sendiri belum tentu akan mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; melainkan bisa saja orang lain yang telah turut berkontribusi yang sebenarnya bersalah.17 Kemudian yang ingin penulis kritisi juga adalah terkait hasil laboratorium dari air sungai yang diambil dari saluran inlet dan outlet. Pasal 41 (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 merupakan pasal delik materiil, yaitu yang menitikberatkan pada akibat perbuatan, dalam hal ini terjadinya pencemaran. Berarti untuk mengetahui terjadi pencemaran atau tidak, seharusnya yang dilihat adalah hasil uji laboratorium terhadap air sungai upstream dan downstream, bukan air sungai dari saluran inlet dan outlet. Namun, hakim ketika menimbang dakwaan primer hanya melihat pada hasil uji laboratorium dari air sungai yang diambil dari saluran inlet dan outlet. Padahal di pertimbangan hakim sebelumnya hasil uji laboratorium terhadap air sungai upstream dan downstream telah diakui kebenarannya oleh hakim. Pengaturan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Banyaknya unsur yang harus dipenuhi dalam Pasal 41 (1) UU nomor 23 Tahun 1997, sehingga mengakibatkan sulitnya pembuktian dan akhirnya sulit juga menerapkan ketentuan pasal tersebut, oleh pembuat undang-undang kemudian hal tersebut diperbaiki dalam UU Nomor 32 Tahun 2009. Hal paling mencolok yang diperbaiki oleh pembuat undang-undang terletak pada tidak dipersyaratkannya lagi unsur melawan hukum. Di dalam Pasal 98 (1) UU Nomor 32 Tahun 2009, unsur yang diminta menjadi lebih sederhana, yaitu: a. sengaja b. mengakibatkan dilampauinya baku mutu ambien Jadi, tidak perlu lagi unsur melawan hukum dan tidak diperlukan juga pembuktian akan hubungan kausalitas atas perbuatan pelaku dengan akibatnya perbuatannya, yaitu pencemaran. Di sini yang terpenting adalah selama baku mutu ambien dilampaui, pelaku dapat dipidana. 2. Dakwaan Subsider Pasal 43 UU Nomor 23 Tahun 1997

17

Michael Faure, "Towards a New Model of Criminalization of Environmental Pollution : the Case of Indonesia", dalam M. Faure dan N. Niessen (eds.), Environmental Law in Development : Lessons from the Indonesian Experience (Cheltenham : Edward Elgar, 2006), hal. 205.

(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalansi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Unsur terpenting dari pasal di atas adalah: a. melawan hukum b. sengaja c. melepaskan atau membuang zat berbahaya atau beracun ke lingkungan d. mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau

membahayakan kesehatan atau nyawa orang lain

Pertimbangan Hakim Hakim mempertimbangkan bahwa dari fakta-fakta: a. hasil penelitian laboratorium dari air sampel dari saluran inlet dan outlet PT SSM hanya sedikit di atas baku mutu yang diperkenankan berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999; b. adanya air limbah rumah tangga yang bercampur dengan air limbah PT SSM; serta c. keterangan saksi ahli Prof. Dr. Enri Damanhuri Bin H. Madani yang mengatakan bahwa limbah rumah tangga mengandung zat-zat berbahaya yang kadarnya lebih tinggi dari hasil laboratorium dari PT SSM tersebut. Maka, tidak dapat dikualifikasikan bahwa PT SSM telah secara sengaja membuang zat berbahaya ke saluran/selokan desa Pasirpaku.

Analisis Penulis

Ad. 1 Melawan hukum (wederrechtelijkheid) adalah suatu unsur yang penting yang kerap ditemukan dalam beberapa rumusan delik. Menurut Jan Remmelink, dengan adanya unsur melawan hukum, pembuat undang-undang sebenarnya hendak mencegah agar mereka yang menggunakan hak atau kewenangan mereka sejalan dengan hukum (yang berlaku) tidak serta merta terancam penjatuhan sanksi pidana karena dasar-dasar (umum) yang meniadakan pidana sebagaimana diuraikan dalam perundang-undangan dan yang berlaku bagi mereka tidak mencukupi.18 Menurut Penulis, unsur melawan hukum terbukti dalam kasus ini, karena para pelaku melakukan perbuatan yang melawan hukum secara formil, yakni melanggar ketentuan perundang-undangan sebagaimana diputus oleh hakim. Ad. 2 Sengaja (dolus) meliputi dua hal, yaitu willens en wetens (menghendaki dan mengetahui). Dalam kasus ini, unsur menhendaki terpenuhi. Argumentasi Penulis berdasar pada kesaksian oleh Saksi 4 (Mangara Sagala) yang mengatakan bahwa selama saksi bekerja di perusahaan tersebut saluran By pass sudah ada dan pimpinan perusahaan tidak keberatan. Tidak keberatan dapat diartikan sebagai menghendaki. Kemudian, saksi 6 (Hasbinsaran Justien Sagala) juga mengatakan bahwa sejak saksi bekerja di PT SSM, saksi mengetahui ada selokan di bawah tembok beton yang digunakan untuk pembuangan air limbah yang tanpa proses IPAL, dan dilakukan sejak gorong-gorong yang untuk mengalirkan ke bak penampungan IPAL rusak. Hal ini diketahui oleh Sdr. Rino Turino Chernawan dan Sdr. Juwito (kedua terdakwa). Maka, unsur ini terpenuhi. Dalam kasus ini, unsur mengetahui pun terpenuhi. Argumentasi Penulis berdasar pada kesaksian oleh Saksi 6 (Hasbinsaran Justien Sagala) yang mengatakan bahwa ada selokan di bawah tembok beton yang digunakan untuk pembuangan air limbah yang tanpa proses IPAL, dan hal tersebut diketahui oleh Sdr. Juwito (Terdakwa II). Maka unsur ini terpenuhi.

18

Jan Remmelink, Hukum Pidana, hal. 187.

Selain itu, satu kesaksian lagi yakni dari Saksi 5 (Sugiyantoro) mengatakan bahwa di lokasi IPAL ditemukan ada 2 (dua) saluran air limbah yang satu menuju IPAL tidak berfungsi, sedangkan satu lagi berada di gorong-gorong, dibuang secara By pass ke selokan Pasirpaku. Ad. 3 Dalam kasus ini, para terdakwa terbukti melakukan pembuangan zat berbahaya atau beracun ke lingkungan. Hal ini terbukti sebab pada saluran Outlet: BOD -5 hasilnya 61 ppm (batas maksimum 60 ppm); COD hasilnya 162 ppm (batas maksimum 150 ppm); TSS hasilnya 98 ppm (batas maksimum 50 ppm); dan PH 8,2 (batas normal 6,0 9,0). Batas maksimum ini ditetapkan oleh SK Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 untuk air limbah tekstil. Walaupun dilampauinya batas maksimum tersebut dikatakan oleh hakim hanya sedikit, tetapi tetap saja batas maksimum tersebut dilanggar. Andaikata memang tidak dapat dikenakan sanksi pidana, setidaknya sudah terjadi pelanggaran administrasi, sehingga bisa dikenakan sanksi administrasi. Ad. 4 Sama seperti yang diuraikan dalam poin Ad. 2 (mengetahui atau wetens adalah salah satu unsur sengaja). Dengan demikian, menurut penulis dakwaan subsider terbukti. Oleh karena dakwaan subsider terbukti, dakwaan lebih subsider dan lebih subsider lagi tidak perlu dipertimbangkan. Hal ini berbeda dengan pendapat hakim yang menyatakan bahwa dakwaan subsider tidak terbukti, sehingga melanjutkan mempertimbangkan pada dakwaan lebih subsider. Pengaturan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Dalam UU Nomor 32 tahun 2009, ketentuan pidana yang terkait pembuangan zat berbahaya ke lingkungan diatur dalam Pasal 100 UU Nomor 32 Tahun 2009. Dalam Pasal 100 ini

memang terdapat perubahan, di mana unsur melawan hukum dihilangkan dan unsur-unsur yang harus dipenuhi pun lebih sederhana. Di Pasal 100 ini yang terpenting adalah dilanggarnya baku mutu efluen. Di dalam Pasal 100 ini pun tidak lagi membedakan antara perbuatan itu apakah sengaja atau tidak. Jadi, asalkan baku mutu efluen dilanggar, pelaku sudah dapat dikenakan pidana. 2.4. Pertimbangan Hakim mengenai Pembuktian dan Unsur Kesengajaan Kesengajaan menurut Memorie van Toelichting (MvT) tahun 1886 yaitu willens en wetens dikehendaki dan mengetahui). Artinya, seseorang yang melakukan perbuatan itu sudah menghendaki atas timbulnya suatu akibat atau tujuan utama/ maksud dari si pelaku, serta si pelaku juga mengetahui bahwa dengan perbuatan yang ia lakukan maka akan timbul suatu akibat atau maksud yang si pelaku kehendaki. Dalam teori kesengajaan terdapat tiga unsur yang dapat dikategorikan sebagian suatu kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan sebagai keinsyafan kepastian dan kesengajaan sebagai keinsyafan kemungkinan.19 Kemudian para pakar hukum pidana menjelaskan tiga bentuk kesengajaan tersebut, yaitu20: 1. Kesengajaan sebagai niat (Opset als oormeerk), yakni bila orang sengaja melakukan suatu tindak pidana dengan maksud untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. 2. Kesengajaan dengan kesadaran pasti terjadi (Opset bij zekerheids bewijzijn), yaitu bila orang yang melakukan suatu perbuatan untuk maksud mencapai tujuan yang dikehendaki, sedang ia menyadari bahwa suatu hal lain yang tidak dimaksudkan sebagai tujuan pasti akan terjadi. 3. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (Dolus eventuQlis), yaitu bila orang melakukan suatu perbuatan, sedang ia mengetahui bahwa mungkin perbuatan yang dilakukannya itu akan menimbulkan akibat lain yang tidak dimaksudkan.

Bahwa unsur kesengajaan secara eksplisit terlihat dalam KUHP yaitu: 1. Dengan maksud19

Lamintang, Asas-asas Hukum Pidana Ibid

20

2. Dengan paksaan 3. Dengan kekerasan 4. Sedang dikehendakinya 5. Bertentangan dengan apa yang dilakukan

Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang- undang. Jika dilihat dari sudut

terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakantindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Jika dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Mengenai unsur kesengajaan yang tercantum dalam pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 yang lengkapnya adalah Sengaja melepaskan atau membuat zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk diatas atau kedalam tanah, udara, dan/atau kedalam air permukaan padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umur atau nyawa orang lain.

Penjelasan pasal tersebut Pasal tersebut mengatur mengenai pidana atas tindakan membuang zat,energi, dan atau komponen lain yang berbahaya dan beracun masuk ke media lingkungan hidup (tanah, air, udara) yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Ketentuan mengenai definisi dan cakupan zat dan energi inilah yang tidak jelas. Zat, energi atau komponen lain yang seperti apa yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup. Rumusan bahan berbahaya dan beracun memang dijelaskan dalam ketentuan umum dengan kalimat setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.21

Dalam penjelasan undang-undang ini dianut sebuah asas yang dikenal sebagai ultimum remedium. Asas ini menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan hukum yang21

Bernadinus Steni Susilaningtias, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam Berbagai Undang-Undang Sektoral dan Upaya Kodifikasinya ke dalam RKUHP, Jakarta:2007

terakhir. Penegakan hukum lain berupa mekanisme hukum perdata dan hukum administrasi harus didahulukan. Jadi jika kedua penegakan hukum tersebut ternyata tidak mampu juga menyelesaikan dan menghentikan tindak pidana lingkungan hidup menurut undang-undang ini, maka hukum pidana dapat ditegakkan22 Hakim berpendapat bahwa tindakan PT. SSM tidak masuk kualifikasi Sengaja dalam membuang zat berbahaya ke saluran/selokan desa Pasirpaku. Pertimbangan hakim tentang ketidaksengajaan PT. SSM adalah karena hanya melampaui sedikit batas baku mutu yang ditetapkan dalam SK Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999. Juga karena turut andilnya air limbah rumah tangga dalam pencemaran karena telah bercampur dengan air limbah PT. SSM dan menurut pendapat Prof. Enri bahwa limbah rumah tangga justru dapat mengandung zatzat berbahaya yang kadarnya lebih tinggi dari hasil lab PT. SSM.

Menurut penulis memang terdakwa tidak memenuhi unsur kesengajaan oleh karena dalam pasal 43 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 mengharuskan perbuatan aktif yaitu berniat melakukan tindak pidana secara aktif dan mengkhendaki terjadinya akibat dari pebuatannya tersebut yaitu tercemarnya lingkungan. Dalam kasus ini menurut penulis terdakwa hanya lalai karena membiarkan IPAl rusak dan tidak memperbaikinya akan tetapi terdakwa kemungkinan tidak mengkhendaki terjadinya pencemaran lingkungan walaupun seharusnya dapat diperkirakan akibat tersebut akan terjadi.

Hakim berpendapat bahwa PT. SSM tidak melakukan kesengajaan melainkan kealfaan dengan menggunakan dasar pasal 44 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997. Kealpaan menurut doktrin pidana adalah sikap tidak hati-hati, tidak melakukan perbuatan-perbuatan pencegahan yang seharusnya dilakukan. PT. SSM dianggap melakukan kealpaan karena tidak segera menutup saluran yang menyebabkan adanya aliran limbah sehingga langsung menuju selokan Desa Pasirpaku tanpa proses pengolahan, tidak segera membuat saluran tersendiri untuk mencegah air limbah rumah tangga tercampur dengan air limbah PT. SSM, dan tidak segera memperbaiki IPAL yang rusak.

Apabila dibandingkan dengan UU 32/2009, maka pertanggungjawaban pidana pun menggunakan strict liability dimana dalam hal ini setiap perbuatan yang dapat dipidana22

Ibid

menurut ketentuan UU Lingkungan didasarkan pada pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Dalam pasal 68 UU 32/2009 dijelaskan lagi bahwa setiap usaha dan/kegiatan terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup wajib menaati tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup yang apabila dilanggar berlaku ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini.

Dalam pasal 88 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Hal ini berbeda dengan ketentuan mengenai unsur kesengajaan yang diatur dalam KUHP dimana pembuktian unsur kesengajaan menjadi wajib untuk dibuktikan untuk memenuhi ketentuan pasal yang dipidanakan. Oleh karena itu, bahwa penggunaan pasal untuk mengajukan tuntutan pidana kepada orang/badan usaha yang kegiatannya memiliki dampak penting bagi lingkungan hidup secara langsung menggunakan ketentuan pidana yang diatur dalam UU 32/2009 tersebut.

Melihat kembali pada ketentuan Pasal 20 (1) UU 23/1997 bahwa tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup, dan pembuangan limbah hanya dapat di lokasi yang ditentukan oleh Menteri Lingkungan Hidup (ayat 3). Dan dalam Pasal 27 (1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang menimbulkan korban. Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Dalam kasus dapat diketahui bahwa Direktur Utama PT SSM Rino Turino Chernawan dengan tanpa izin melakukan pembuangan limbah pada tempat yang dilarang untuk dilakukan pembuangan limbah yang dilakukan melalui perintah kepada Djuwito yang kemudian melepaskan limbah cair hasil produksi ke saluran yang mengarah ke waduk Saguling.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, pihak yang diduga melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup hanya dapat dipidana jika dapat dibuktikan bahwa pihak tersebut sengaja atau alpa. Artinya, jika pencemaran yang memakan korban telah terjadi tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa pihak yang diduga sengaja atau alpa dalam melakukan aktivitasnya yang diperkirakan menjadi sumber pencemaran, maka pihak tersebut tidak dapat dihukum.23 Berbeda dengan sistem tanggungjawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan, dalam sistem tanggungjawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka kedaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi, tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang telah mengakibatkan pencemaran.24 Oleh karena itu dengan melihat fakta pencemaran telah terjadi dan ada pihak yang terkait erat atau pihak yang diduga keras menyebabkan pencemaran tersebut, maka pihak tersebut layak untuk dipidana.25

Pada hasil penelitian dan pengambilan sampek limbah yang dibuang ke waduk Saguling hasil tersebut bahwa baku mutu limbah PT. SSM melebihi standar baku mutu yang telah ditetapkan dalam SK tersebut. Sehingga, sudah seharusnya limbah cair yang dihasilkan akibat proses produksi PT. SSM tersebut tidak dapat dialirkan atau dibuang ke selokan pasir paku yang langsung menuju Waduk Saguling, apalagi jika tidak melalui IPAL. Karena, hal ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan di ataupun sekitar tempat pembuangan limbah cair tersebut.

Mengenai kealpaan yang terdiri dari dua jenis yaitu kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari26. Dalam kasus ini terdakwa telah melakukan kealpaan yang disadari oleh karena terdakwa seharusnya data membayangkan atau dapat memperkirakan timbulnya akibat pencemaran karena IPAL rusak tetapi tidak mencegah hal tersebut dan cenderung membiarkannya akibatnya pencemaran terjadi.23

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10837/penerapan-tanggung-jawab-pidana-mutlak-padaperkara-pencemaran-lingkungan (Kamis ,29 Juli 2004)24

Frances Russell & Christine Locke, English Law and Language, Cassed, 1992 (J. C. Smith-Brian Hojan, Criminal Law, ELAS, Seventh Edition, 1992). Reading material hukum pidana hal. 17.

25 26

Menurut penulis terdakwa telah melakukan kelalaian/kealpaan kategori berat yaitu kelalaian yang disadari karena kekuatan pembuktian bagi dua orang saksi yang telah disumpah dalam memberikan keterangan di dalam persidangan seharusnya cukup untuk memberi keyakinan terhadap hakim bahwa terdakwa telah lalai dan melakukan pencemaran. Jadi memang dalam kasus ini tidak terpenuhi unsur kesengajaan oleh karena menurut hukum pidana kesengajaan adalah seseorang yang melakukan tindak pidana dengan niat, maksud, dan menghendaki tindak pidana tersebut terjadi27.

Padahal dengan melihat kompetensi keahlian masing-masig seharusnya terdakwa dapat mengetahui bahwa dengan dilakukannya pembuangan limbah hasil produksi tersebut ke selokan pasir paku yang langsung menuju waduk Saguling akan dapat menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang memberikan dampak buruk terhadap masyarakat yang menggunakan air yang bersumber dari waduk Saguling tersebut dimana waduk Saguling merupakan sumber air bagi warga sekitar dan tidak diperbolehkan untuk membuang limbah apapun kedalamnya dan sepatutnya terdakwa menyadari bahwa dampak tersebut pasti terjadi berkaitan dengan volume pencemaran limbah yang terus menerus dilakukan.

Hakim dalam hal ini juga seharusnya dapat memperhatikan bahwa denan tidak adanya izin yang melekat pada keduanya untuk melakukan pembuangan limbah di waduk tersebut dan tidak dilakukannya IPAL saat melakukan pembuangan limbah tersebut tentunya menjadi penyebab tercemarnya waduk Saguling yang mana dalam hal ini usaha/kegiatan PT. SSM wajib untuk melakukan IPAL terlebih dahulu.

Berdasarkan pasal 184 KUHAP alat-alat bukti terdiri dari: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam kasus ini penulis ingin menyatakan bahwa saksi yang menyatakan terdakwa mengetahui bahwa IPAL nya telah rusak dan terdakwa membiarkannya adalah berjumlah dua orang saksi yaitu saksi Mangara Sagala (operator IPAL) dan Habinsaran Sagala (maintenance). Sedangkan pengakuan terdakwa yang bertentangan dengan kesaksian para saksi yang menyatakan bahwa terdakwa tidak mengetahui bahwa sistem IPAL nya telah rusak. selain itu bukti surat berupa hasil penelitian Polda Jawa Barat yang membuktikan bahwa limbah PT. SSM telah melebihi baku mutu27

Ibid., hal. 17

ambient. jadi memang sudah cukup bukti yaitu 2 alat bukti dan keyakinan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan kealpaan/kelalaian.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembuktian terhadap kesengajaan dengan terdapatnya kelalaian yang mana apabila didasarkan pada teori MvT perbuatan terdakwa dapat dikategorikan dalam kesengajaan sebagai keinsyafan kepastian bahwa seharusnya dan sepatutnya terdakwa dapat mengetahui mengenai perbuatannya tersebut mengakibatkan pencemaran terhadap waduk Saguling dengan tidak dilakukannya IPAL terhadap limbah yang jelas-jelas telah melebihi standar baku mutu lingkungan yang ditetapan dalam SK Gubernur KDT Jawa Barat No.6/1999. Selanjutnya didasarkan pada teori Strict Liability pada pertanggungjawaban pidana lingkungan adalah bahwa berdasarkan pasal 35 UU 23/1997 pembuktian kesengajaan dilihat dari ada atau tidaknya dampak yang terjadi, dengan telah jelasnya dampak yang ditimbulkan yaitu terjadinya pencemaran tersebut seharusnya hakim dapat melihat berbagai sudut perbuatan yang dilakukan oleh dua terdakwa tersebut sehingga dapat dibuktian dalam tindak pidana lingkungan pembuktian kesengajaan dapat dilihat dari kelalaian/kealpaan yang dilakukan pada usaha/kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan.

BAB III PENUTUP 3.1. Simpulan Suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana korporasi jika memenuhi syarat, yaitu power dan acceptance. Dalam kasus pencemaran waduk saguling ini baik Terdakwa I maupun Terdakwa II terbukti memenuhi syarat pertama karena sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam perusahaan tersebut untuk melakukan tindakan yang dipersalahkan kepada mereka. Sedangkan untuk syarat kedua, sikap Terdakwa I memerintahkan Terdakwa II untuk membuang limbah tanpa proses IPAL dianggap dilakukan dengan unsur kesengajaan. Kemudian, Terdakwa II secara sadar melakukan apa yang disuruh oleh atasannya. Hakim berpendapat bahwa acceptance tidak terbukti karena unsur kesengajaan tidak terbukti. Hal ini sangat disayangkan karena pembuatan gorong-gorong ini tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim, hanya disebutkan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Letak perbedaan antara penyertaan dengan tindak pidana korporasi ini terletak pada subjek hukumnya. Dengan demikian, unsur penyertaan yang tercantum dalam pasal 55 KUHP tidaklah menjadi hal yang esensial dalam tindak pidana korporasi ini jika mengacu pada isi dari pasal 46 ayat (2) UUPPLH No. 23 Tahun 1997. Sehingga tepat jika majelis hakim menarik kembali penambahan pasal penyertaan pasal 55 KUHP pada dakwaan primair kasus ini karena penambahan pasal tersebut memang berlebihan dan tidak sesuai dengan isi UUPPLH No. 23 Tahun 1997. Hukum pidana terbagi menjadi 2 yaitu ; a. Pidana umum, yaitu memuat aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang b. Pidana khusus, yaitu memuat aturan hukum pidana selain yang telah ditentukan dalam hukum pidana umum. Kasus Pencemaran Waduk Saguling ini merupakan kasus tindak pidana khusus karena yang dilanggar ialah ketentuan yang terdapat dalam UU Lingkungan Hidup dimana UU tersebut mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak ditetapkan dalam KUHP. Hakim dalam melakukan pertimbangan dalam kasus ini telah tepat memasukkan kasus tersebut ke dalam tindak pidana khusus. Regulasi perangkat lingkungan tersebar dalam berbagai perundang-undangan yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi pengelola lingkungan, Misalnya saja perumusan tindak pidana lingkungan (pencemaran/perusakan) terdapat dalam KUHP (antara lain pasal 202 dan 203), dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, dalam UU No. II

Tahun 1974 tentang Pengairan, UU No. 9 Tahun 1995 tentang Perikanan dan berbagai perangkat undang-undang lainnya. Ditinjau dari segi kodifikasi dan unifikasi hukum hal ini kurang menguntungkan, karena menimbulkan duplikasi dan sulit untuk diketahui/dipahami/dikuasai secara utuh menyeluruh. Pembuktian dengan menggunakan delik formil akan memudahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal ini dikarenakan bahwa JPU tidak perlu membuktikan adanya akibat (dalalm hal ini adalah

pencemaran/kerusakan lingkungan), sehingga JPU cukup membuktikan kualifikasi unsur-unsur yang sudah jelas di dalam pasal tersebut. Dikaitkan dengan kasus Saguling ini, menurut kami pasal yang sebaiknya digunakan adalah pasal yang merupakan delik formil. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009, baik untuk delik formil maupun materiil, tidak lagi dipersyaratkan unsur melawan hukum, sebagaimana dipersyaratkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997. Selain itu, di UU Nomor 32 Tahun 2009, untuk menjerat pelaku, pelanggaran dilihat pada dilampauinya baku mutu efluen dan baku mutu ambien, sehingga tidak perlu lagi pembuktian unsur kausalitas antara perbuatan dan akibat sebagaimana yang ditentukan UU Nomor 23 Tahun 1997 yang seringkali sulit dibuktikan dan sering dibantah oleh pelaku. Intinya, ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2009 dibuat lebih sederhana agar dapat menjangkau pelaku untuk dikenai sanksi pidana. Pembuktian terhadap kesengajaan dengan terdapatnya kelalaian yang mana apabila didasarkan pada teori MvT perbuatan terdakwa dapat dikategorikan dalam kesengajaan sebagai keinsyafan kepastian bahwa seharusnya dan sepatutnya terdakwa dapat mengetahui mengenai perbuatannya tersebut mengakibatkan pencemaran terhadap waduk Saguling dengan tidak dilakukannya IPAL terhadap limbah yang jelas-jelas telah melebihi standar baku mutu lingkungan yang

ditetapan dalam SK Gubernur KDT Jawa Barat No.6/1999.Berdasarkan pasal 35 UU 23/1997 pembuktian kesengajaan dilihat dari ada atau tidaknya dampak yang terjadi.

3.2. Saran Majelis Hakim dalam membuat suatu pertimbangan, khususnya terkait tindak pidana korporasi dalam kasus ini harus lebih cermat dalam melihat apakah syarat tindak pidana korporasi dalam kasus ini terpenuhi atau tidak. Sehingga seharusnya Hakim dapat melihat bahwa kedua unsur dari tindak pidana korporasi telah terpenuhi dalam kasus ini. Pembentuk undang-undang seharusnya merumuskan pasal yang mengandung delik formil dibandingkan delik materil dikarenakan pembuktian delik materil sulit untuk dilakukan dikarenakan dibutuhkan hubungan kausalitas, sehingga Jaksa Penuntut Umum lebih mudah membuktikan kesalahan dan dapat menjerat terdakwa. Ketentuan-ketentuan pidana lingkungan sebaiknya memang dibuat sederhana, baik yang delik materiil maupun formil. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penuntut umum dalam membuktikan kesalahan pelaku. Karena dengan dipersyaratkannya banyak unsur untuk memenuhi suatu kualifikasi tindak pidana, maka ketentuan tersebut akan sulit diterapkan dan pada akhirnya pelaku bisa lepas dari jerat hukuman. Terkait pembuktian unsur kesengajaan, Hakim seharusnya dapat melihat berbagai sudut perbuatan yang dilakukan oleh dua terdakwa tersebut sehingga dapat dibuktian dalam tindak pidana lingkungan pembuktian kesengajaan dapat dilihat dari kelalaian/kealpaan yang dilakukan pada usaha/kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Kitab Undang-Undang Hukum Pidana UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal 37 Bernadinus Steni Susilaningtias, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam Berbagai Undang-Undang Sektoral dan Upaya Kodifikasinya ke dalam RKUHP, Jakarta:2007 Utrecht.Rangkaian sari kuliah hukum pidana Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah.Balai Lektur Mahasiswa. So Woong Kim, Tesis : Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penegakkan Lingkungan Hidup. (Semarang : Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009) Frances Russell & Christine Locke, English Law and Language, Cassed, 1992 (J. C. Smith-Brian Hojan, Criminal Law, ELAS, Seventh Edition, 1992). Michael Faure, "Towards a New Model of Criminalization of Environmental Pollution : the Case of Indonesia", dalam M. Faure dan N. Niessen (eds.), Environmental Law in Development : Lessons from the Indonesian Experience (Cheltenham : Edward Elgar, 2006), Peter Gillies, Criminal Law, 1990, P.145. Richard Card, Dalam Hanafi, Reformasi Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Ilmu Hukum No 11 Vol 6 1999, Hal 2. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus http://prasko.com/2012/04/hukum-pidana-umum-dan-hukum-pidana.html Pengertian Tindak Pidana Khusus Dikaitkan Dengan Pasal 63 ayat 2 dan Pasal 103 KUHP http://lielylaw.multiply.com/journal/item/77/ Hukum Pidana Khusus http://ghobsikas.wordpress.com/2001/03/25/hukum-pidana-khusus/ Pengertian Pidana Khusus http://generasibaru-intip.blogspot.com/2011/02/pengertian-pidana-khusus.html Tindak pidana lingkungan hidup http://kuhpreform.file.wordpress.com/2008/09/tindak-pidana-lingkungan-dan-sda 3.pdf http://www.tanyahukum.com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/ tanggal 2 mei 2012 pukul 22.10 WIB. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10837/penerapan-tanggung-jawabpidana-mutlak-pada-perkara-pencemaran-lingkungan (Kamis ,29 Juli 2004)