ckd mbd imlda
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari atau sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria, atau kelainan pada studi pencitraan. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju
filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2.1
Prevalensi penyakit ginjal kronik dengan batasan nilai laju filtrasi glomerulus
kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2, dilaporkan bervariasi yaitu sekitar 20% di Jepang
dan Amerika Serikat, 6,4 sampai 9,8% di Taiwan, 2,6 sampai 13,5% di Cina, 17,7%
di Singapura dan 1,6 sampai 9,1% di Thailand. Survei komunitas yang dilakukan
oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2009 menunjukkan 12,5% populasi
sudah mengalami penurunan fungsi ginjal. Pada penyakit ginjal kronik terjadi
penurunan fungsi ginjal secara perlahan dan irreversibel sehingga akhirnya bisa
terjadi gagal ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang
mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya disertai berbagai komplikasi seperti penyakit
kardiovaskuler, penyakit saluran nafas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan
otot serta anemia.2,3
Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK)
merupakan kondisi yang sering terjadi. Kejadian GMT-PGK terus bertambah seiring
bertambahnya prevalensi PGK. Gangguan metabolisme mineral dan tulang pada
penderita PGK terminal adalah 17,5%, terutama karena tingginya prevalensi
hiperfosfatemia. USRDS (United States Renal Data System) 1993, mencatat
prevalensi hiperfosfatemia masih 53,6%, walaupun terapi pengikat fosfat sudah
diberikan pada sekitar 80% penderita hemodialisis reguler.4,5
GMT-PGK sebelumnya dikenal dengan istilah osteodistrofi renal (OR) atau
renal osteodystrophy. Kedua istilah ini sebenarnya tidak sama karena terdapat
perbedaan dalam hal cakupannya. GMT-PGK ialah suatu sindrom klinik yang terjadi
akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada penyakit ginjal
kronik. Menurunnya fungsi ginjal, terjadinya gangguan homeostasis mineral dan
tulang yang progresif, terlihat dari abnormalitas kadar fosfat, kalsium dan perubahan
hormon pada penyakit ginjal kronik. Aspek ekstra-skeletal yang disebabkan
hiperfosfatemia GMT-PGK adalah kejadian kalsifikasi vaskuler dan jaringan lunak
serta akibat terapi yang diberikan untuk mengoreksi gangguan tersebut misalnya
pemberian obat pengikat fosfat yang mengandung kalsium dan terapi vitamin D yang
kurang tepat, telah menarik perhatian para peneliti.6,7
GMT-PGK terbukti ikut berperan dalam morbiditas, mortalitas, serta kualitas
hidup penderita PGK, baik langsung maupun tidak langsung. Bukti-bukti terakhir
memperlihatkan adanya peningkatan risiko kardiovaskuler penderita PGK sebagai
akibat terjadinya GMT. Oleh karenanya, diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
terhadap GMT-PGK akan sangat berperan dalam mengurangi mortalitas dan
morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup penderita PGK.8
Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang diagnosis dan penatalaksanaan
gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik. Melalui penyajian ini
diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang GMT-PGK.
BAB II
GANGGUAN MINERAL DAN TULANG
PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK (GMT-PGK)
2.1 Definisi dan klasifikasi
Penyakit ginjal kronik (PGK) ialah setiap kerusakan ginjal (kidney damage)
atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR/Glomerular Filtration Rate) < 60
ml/menit/1,73m2 untuk jangka waktu ≥ 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah setiap
kelainan patologis, atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam darah,
urin atau studi pencitraan.1
Tabel 1. Stadium penyakit ginjal kronik1
Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/173 m2)1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90
meningkat2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG 60-89
ringan3 Penurunan LFG sedang (moderate) 30-594 Penurunan LFG berat 15-295 Gagal ginjal < 15 (atau dialisis)
Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah
suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral
dan tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal-hal
berikut:
1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat,
hormon paratiroid dan vitamin D.
2. Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan
kekuatannya.
3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.
Klasifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu atau
kombinasi dari ketiga komponen di atas.6,9,10
Tabel 2. Klasifikasi GMT-PGK9
Tipe LaboratoriumAbnormal
Gangguan Tulang Kalsifikasi Vaskuleratau Jaringan Lunak
LLTLKLTK
++++
-+-+
--++
Keterangan : L = Laboratorium, T = Tulang, K = Kalsifikasi Vaskuler
GMT-PGK sebelumnya dikenal dengan istilah osteodistrofi renal (OR) atau
renal osteodystrophy. Kedua istilah ini sebenarnya tidak sama karena terdapat
perbedaan dalam hal cakupannya.9
Osteodistrofi renal (OR) merupakan gangguan morfologi tulang pada PGK.
OR merupakan salah satu pemeriksaan komponen skeletal dari suatu gangguan
sistemik GMT-PGK yang dapat diukur (quantifiable) melalui pemeriksaan
histomorfometri dari biopsi tulang. Termasuk dalam kelompok ini adalah
osteomalasia, osteotis fibrosa, adynamic bone disease, dan jenis campuran. Ada dua
spektrum osteodistrofi renal yaitu, high turnover dan low turnover. High turnover
terjadi pada kadar fosfat tinggi-kalsium rendah-HPT tinggi. Termasuk spektrum ini
adalah osteitis fibrosa. Sedangkan low turnover terjadi pada kadar kalsium tinggi-
aluminium tinggi, dan termasuk dalam spektrum ini adalah osteomalasia dan
adynamic bone disease. Salah satu bentuk osteodistrofi renal yang berada di antara
kedua spektrum di atas adalah bentuk campuran.9,11
Tabel 3. Klasifikasi osteodistrofi renal berdasarkan turnover tulang12
Tipe Deskripsi Patogenesis
High-turnoverOsteotis fibrosa Peningkatan resorpsi tulang HiperPTS
Disorganisasi deposit kolagen non- lamelar Peningkatan deposit osteoid Peningkatan laju formasi tulang
Fibrosis sumsum tulangLow turnoverOsteomalacia Penurunan deposit osteoid Paparan dengan
Akumulasi aluminium aluminium berlebihan Penurunan laju formasi tulang Faktor lain yang tidak Akumulasi osteoid karena deposit diketahui osteoid melebihi laju formasi tulang
Adynamic Remodeling dan laju formasi tulang Deposit aluminiumyang rendah
Penurunan deposit osteoid Level HPT relatif rendahLebih sering pada orang
tua, pasien DM dan CAPD High-and low turnoverBentuk campuran Peningkatan remodeling dan HiperPTS, deposit
aktivitas resorpsi aluminiumArea formasi tulang yang rendah Faktor lain yang tidak Peningkatan lebar garis osteoid diketahui
Keterangan: HiperPTS= Hiperparatiroid sekunder, HPT= Hormon paratiroid, DM= Diabetes melitus,
CAPD= Chronic ambulatory peritoneal dialysis
Tabel 4. Klasifikasi OR berdasarkan sistem TMV9
Subtipe Turnover Mineralisasi Volume
Osteomalasia
Penyakit tulang Adinamik
HPT terkait gangguan tulang
Osteitis Fibrosa
Osteodistrofi uremik campuran
Rendah
Rendah
Normal s.d tinggi
Normal s.d tinggi
Tinggi
Abnormal
Abnormal
Rendah s.d normal
Rendah s.d normal
Rendah s.d tinggi
Rendah s.d tinggi
2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi, kejadian penyakit ginjal kronik di negara berkembang
didapatkan 40-60 kasus/1 juta penduduk/tahun. Pada pasien-pasien dengan penyebab
hipertensi berat, glomerulonefritis dan obstruktif uropati, insidensinya menjadi lebih
tinggi bahkan dapat mencapai 100 kasus/1 juta penduduk/tahun. Di Malaysia
diperkirakan terdapat 1.800 kasus baru penyakit ginjal kronik setiap tahun. Di
Amerika Serikat dijumpai 200.000 penderita gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis reguler dengan peningkatan 10% setiap tahunnya. Pasien-pasien gagal
ginjal terminal yang baru terdiagnosis mencapai 100 pasien/1 juta penduduk. Insiden
ini meningkat empat kali lebih besar pada golongan kulit hitam dan Hispanik
dibandingkan dengan golongan Kaukasian yang meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia pasien. Studi epidemiologis tentang penyakit ginjal kronik di
Indonesia masih sedikit, sehingga sulit didapatkan pola morbiditas dan mortalitas
baik dari rumah sakit rujukan nasional maupun rujukan rumah sakit provinsi.6,9,10
Prevalensi untuk gangguan metabolisme mineral dan tulang pada PGK
terminal adalah 17,5%, terutama karena tingginya prevalensi hiperfosfatemia.
Pendras dan Erickson, 1996 melaporkan gangguan mineral dan tulang pada penderita
PGK yang sudah melakukan hemodialisis didapatkan kejadian fraktur 47% dan ini
merupakan salah satu komplikasi yang paling bermasalah. Studi prevalensi fraktur
tulang melaporkan, 10-40% pada populasi dialisis dan separuh penderita < 50 tahun.
Risiko terjadi fraktur tulang pinggul pada semua penderita yang dialisis di Amerika
Serikat 1989-1996 adalah 4,4 kali lebih tinggi dari populasi normal.6,13
2.3 Homeostasis mineral dan tulang
2.3.1 Ginjal dan metabolisme fosfat
Fosfat inorganik (Pi) berperan untuk berbagai metabolisme sel dan
mineralisasi tulang. Fosfat merupakan bagian esensial dari asam nukleat dan
membran sel, berperan sebagai mediator penting sinyal intra seluler dan regulasi
aktivitas protein.15
Kadar fosfor di dalam tubuh manusia sekitar 600 g (500-700 g), di antaranya
80% hingga 85% adalah mineral tulang. Di dalam serum, sebagian besar fosfor
berada dalam bentuk Pi dengan konsentrasi normal 0,75–1,45 mmol/L (2,5-4,5
mg/dL). Lebih dari 85% Pi di dalam serum adalah ion bebas dan kurang dari 15%
terikat dengan protein. Kadar HPO42- dan NaHPO4- dominan sekitar 75% dari total
fosfor dan H2PO4- bebas sekitar hampir 10%.15
Konsentrasi fosfor serum terutama ditentukan oleh asupan diet, absorpsi
fosfor di gastrointestinal; terutama di usus halus, ekskresi fosfor melalui urin dan
pertukaran antara ruang ekstra dan intraseluler (Gambar 1). Abnormalitas pada
mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hipofosfatemia ataupun
hiperfosfatemia.14-16
SimDisimpan dalam tubuh 700gr
Keseimbangan Pi
Darah < 1%Absorpsi950 mg/hr
Sekresi150 mg/hr
Resorpsi300 mg/hr
Resorpsi300 mg/hr
1350 mg/hr
Eksresi feses400 mg/hr
Eksresi urine800 mg/hr
Cadangan Pi
1200 mg/hr
Gambar 1. Keseimbangan fosfat14
Ginjal adalah regulator utama homeostasis Pi melalui kapasitas reabsorpsi.
Ekskresi Pi di ginjal merupakan keseimbangan antara filtrasi glomerulus dan
reabsorpsi tubulus ginjal. Pada kondisi fisiologis yang normal, 80-90% dari fosfor
yang difiltrasi direabsorpsi kembali dan sisanya diekskresikan melalui urin.
Reabsorpsi tubulus ginjal terjadi terutama di tubulus proksimalis melalui proses Na+
gradient-dependent transmembran (Na+/Pi cotransport) tipe IIa dan IIc (NaPi-2a dan
NaPi-2c) yang berlokasi di batas membran apikal. Keduanya diatur oleh asupan
makanan Pi, vitamin D, fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan hormon
paratiroid.10,14,15,17,18
2.3.2 Ginjal dan metabolisme kalsium
Pemeliharaan homeostasis kalsium sangat penting karena kalsium merupakan
komponen utama dari kerangka tulang dan berfungsi sebagai media intraseluler
maupun ekstraseluler dalam berbagai peristiwa seluler seperti jaringan saraf, respon
imun, kontraksi otot dan sekresi hormon.19
Total kalsium pada orang dewasa adalah sekitar 1-2 kg dan 99% dari total
kalsium berada dalam tulang, serta 1% kalsium tubuh berada dalam ruang
ekstraseluler (Gambar 2). Dari kompartemen cairan ekstraseluler, yang berisi sekitar
900 mg kalsium, 10.000 mg kalsium difilrasi di glomerulus dan 500 mg ditambahkan
ke dalam tulang; dan kompartemen cairan ekstraseluler ditambahkan sekitar 200 mg
yang diserap dari diet, 9800 mg diserap kembali oleh tubulus ginjal, dan 500 mg dari
tulang. Konsentrasi kalsium dalam sirkulasi kisaran yang sempit (8,5-10,5 mg/dL)
untuk itu mempertahankan homeostasis kalsium sangat penting.19
Gambar 2. Metabolisme kalsium19
Sekitar 40% kalsium plasma terikat protein dan 10% kalsium berada dalam
ikatan kompleks dengan anion seperti fosfat, sitrat, sulfat dan lain-lain. Hanya
setengah dari kalsium plasma dalam bentuk terionisasi (iCa2+) dan memegang fungsi
fisiologis yang sangat penting. Kalsium terionisasi secara ketat diatur oleh hormon
seperti hormon paratiroid, 1,25-dihydroxyvitamin D3 dan kalsitonin. Ginjal, usus,
dan tulang merupakan organ utama dalam regulator kalsium, namun ginjal
merupakan ‘pemain kunci’ dalam regulasi eksresi kalsium.6,14,19
2.3.3 Mekanisme hubungan timbal balik (feedback mechanism)
Secara fisiologis, terdapat mekanisme hubungan timbal balik (feedback
mechanism) antara ginjal, kelenjar paratiroid dan tulang. Hubungan timbal balik ini
bertujuan untuk membuat keseimbangan homeostasis antara kalsium (Ca), fospor (P),
vitamin D3 (vit D3) dan hormon paratiroid (HPT). Absorpsi Ca di saluran cerna
dibantu oleh vitamin D3, sedangkan Ca dapat menghambat produksi vit D3 oleh
ginjal. Kadar Ca yang rendah dapat merangsang produksi HPT, sedangkan HPT dapat
merangsang produksi vit D3. Kadar P darah yang tinggi dapat merangsang produksi
HPT, dan menurunkan kadar Ca melalui keseimbangan fisikokimiawi. Demikian juga
P darah yang tinggi dapat merangsang produksi fibroblast growth factor (FGF23)
oleh tulang. FGF23 ini dapat merangsang produksi vit D3 dan menghambat produksi
HPT. Vit D3 yang rendah dapat merangsang produksi HPT, sebaliknya HPT dapat
merangsang produksi vit D3 (Gambar 3). Pada PGK, mekanisme ini terganggu akibat
meningkatnya kadar P (akibat retensi) dan menurunnya kadar vit D3 (akibat turunnya
produksi).9,20,21
Gambar 3. Interelasi antara Ca2+, P dan HPT, FGF23 dan 1,25(OH)2 D.21
2.4 Patogenesis
Hiperfosfatemia pada PGK terjadi akibat kegagalan ginjal dalam
mengekskresi fosfat, tingginya asupan fosfat atau peningkatan pelepasan fosfat dari
ruang intraseluler. Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat, sehingga
hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang masih normal.
Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat pada klirens kreatinin di
atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan berbagai konsekuensi yang cukup
memberikan kontribusi pada mortalitas dan morbiditas PGK. Konsekuensi
hiperfosfatemia pada PGK adalah hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal,
kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksis.14,22-24
2.4.1 Hiperparatiroidisme sekunder
Tiga faktor yang berperan terhadap patogenesis hiperparatiroidisme sekunder
adalah, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan hipokalsitriolemia (kekurangan kalsitriol/
vitamin D analog).25
Hipokalsemia terjadi melalui dua mekanisme yaitu, hiperfosfatemia yang
mengakibatkan perubahan keseimbangan fisikokimiawi, dan hipokalsitriolemia yang
mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium di saluran cerna, sehingga akan
meningkatkan pengeluaran kalsium melalui feses. Hipokalsitriolemia terjadi akibat
penurunan massa ginjal. Faktor-faktor di atas secara bersama-sama berkontribusi
terhadap peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT), sehingga terjadi
hiperparatiroid sekunder. Gambar di bawah ini memperlihatkan patogenesis
terjadinya hiperparatiroidisme sekunder (HPTs).25
Gambar 4. Patogenesis hiperparatiroid sekunder (HPTs).25
Kalsium-sensing receptor (CaR), yang terdapat pada permukaan sel utama
(chief cells) kelenjar paratiroid merupakan regulator penting dalam homeostasis
kalsium karena memiliki peran utama pada pengaturan sintesis dan sekresi hormon
paratiroid (Gambar 5). Pada penyakit ginjal kronik, penurunan kadar kalsium akan
menurunkan aktivitas kalsium-sensing receptor yang mengakibatkan penurunan
signalling through kalsium-sensing receptor dan peningkatan sintesis dan sekresi
hormon paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid akan melepaskan kalsium
dari jaringan tulang dan akan meningkatkan ekskresi fosfat melalui ginjal. Respon
kelenjar paratiroid bergantung pada tingkat kecepatan dan panjang waktu stres
hipokalsemia. Pelepasan hormon paratiroid yang disebabkan oleh rangsangan kalsium
melalui signalling kalsium-sensing receptor terjadi dalam hitungan waktu detik dan
menit, sedangkan stres kronik hipokalsemia dan hiperfosfatemia merangsang ekspresi
gen hormon paratiroid yang akan menyebabkan sintesis hormon paratiroid dalam
hitungan waktu jam dan hari, dan proliferasi sel kelenjar paratiroid terjadi dalam
hitungan waktu hari dan minggu.26,27
Gambar 5. Kalsium-sensing Receptor (CaR) regulator utama sekresi HPT 27
Mekanisme pengaturan sintesis hormon paratiroid sangat kompleks dan masih
belum diketahui secara lengkap. Meski vitamin D receptor (VDR) di inti sel dapat
menekan transkripsi gen HPT, hormon paratiroid juga diatur pasca-transkripsi dengan
cara pengikatan stabilizing RNA-binding proteins dengan 3’untranslated regio of the
PTH transcript.26,27
Jika penyakit ginjal kronik sudah mencapai stadium 5, hiperparatiroidisme
sekunder akan makin meningkat, yang akan menyebabkan proliferasi sel kelenjar
paratiroid dan hiperplasia difus noduler, yang akan disertai penurunan ekspresi CaR
dan VDR sehingga menjadi kurang responsif terhadap kadar kalsium serum.
Perubahan kelenjar paratiroid menjadi nodul hiperplastik lanjut yang disertai dengan
penurunan ekspresi VDR tersebut akan menyebabkan penurunan efisiensi aktivator
reseptor vitamin D untuk peningkatan transkripsi gen CaR dan penghambatan
proliferasi sel kelenjar paratiroid.26,27
2.4.2 Kelainan tulang
Kelainan tulang pada PGK sudah terlihat pada tahap awal penurunan LFG
yaitu pada PGK stadium 2. Kelainan ini dapat berupa kelainan turnover, mineralisasi
dan volume tulang. Gangguan ini sering disebut osteodistrofi renal (OR).11
Dalam proses remodeling tulang atau bone turnover, intinya adalah terjadinya
pergerakan ion kalsium. Ion kalsium yang berada dalam osteoklas akan dilepaskan,
kemudian oleh osteoblas akan digunakan sebagai bahan baku tulang di dalam osteosit
dan pada akhirnya berperan dalam pembentukan tulang baru. Metabolisme kalsium
inilah yang mempunyai peranan dominan dalam proses pembentukan tulang.28
Dalam mempertahankan keseimbangan kalsium serum ini, dua hormon secara
langsung berhubungan dengan metabolisme kalsium, yaitu hormon paratiroid dan
kalsitonin. Apabila kalsium plasma meningkat maka akan meningkatkan formasi
tulang dan meningkatkan kalsitonin dari sel parafolikuler kelenjar tiroid. Dengan
adanya kalsitonin, maka proses resorpsi tulang ditekan. Sebaliknya keadaan kalsium
darah yang rendah akan meningkatkan sekresi hormon paratiroid dan akan
meningkatkan proses resorpsi tulang serta peningkatan absorpsi kalsium di intestinal.
Mekanisme ini adalah upaya kalsium di dalam darah tetap dalam keadaan stabil. Jadi
hormon paratiroid berperan dalam meningkatkan resorpsi kalsium, menurunkan
resorpsi fosfat di intestinal, dan meningkatkan sintesis vitamin D (1,25(OH)2 D di
ginjal. Selain itu hormon ini juga dapat meningkatkan aktifitas osteoklas yang
menyebabkan proses resorpsi tulang meningkat.28
Peran vitamin D dalam mekanisme turn-over tulang melalui peningkatan
absorpsi kalsium dan fosfat di intestinal. Melalui mekanisme ini maka vitamin D
berperan dalam menyediakan cadangan kadar kalsium dan fosfat untuk proses
mineralisasi tulang sehingga mempertinggi resorpsi tulang. Secara patofisiologi,
vitamin D mempunyai peran penting pada kelainan tulang. Dalam mempertahankan
integritas mekanisme dan struktur tulang diperlukan proses remodeling tulang yang
konstan, yaitu respon terhadap keadaan baik fisiologis maupun patologis yang terjadi
selama kehidupan. Adanya kebutuhan asupan kalsium dan vitamin D yang meningkat
terutama dengan bertambahnya umur, dengan sendirinya akan meningkatkan proses
remodeling.28
Pada PGK stadium 5, kelainan tulang hampir dapat ditemukan pada semua
penderita yang ditandai dengan low bone-turnover, yaitu pada osteomalasia dan
penyakit tulang adinamik, dan high bone-turnover karena peningkatan hormon
paratiroid (hiperparatiroidisme sekunder) pada osteitis fibrosa.11
Patofisiologi kelainan mineral dan tulang pada PGK akibat dari kombinasi
dari beberapa gangguan berupa: retensi fosfat, hipokalsemia, hiperparatiroid
sekunder, resistensi skeletal terhadap HPT, dan gangguan metabolisme vitamin D.9,11
Diketahui adanya mekanisme potensial dimana penderita PGK terminal atau
dialisis akan mengalami penurunan densitas tulang yang akan meningkatkan risiko
terjadinya osteoporosis dan fraktur tulang. Pendapat ini didukung oleh beberapa
penelitian prevalensi osteoporosis pada PGK lebih tinggi dibandingkan populasi
umum, serta terjadi dengan rata-rata usia juga lebih muda. Untuk itu,
mengidentifikasi lebih awal penderita PGK dengan risiko fraktur tulang dan rencana
strategi terapi yang tepat akan mengurangi risiko tersebut.11
2.4.3 Kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak
Penderita penyakit ginjal stadium akhir, angka morbiditas dan mortalitasnya
semakin meningkat seiring dengan peningkatan kejadian kardiovaskuler. Penderita
PGK dengan hemodialisis, kematian kardiovaskuler adalah 10-20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum. Risiko kardiovaskuler pada penderita PGK terdiri
dari faktor risiko tradisional atau klasik dan faktor non-tradisional. Faktor klasik
risiko kardiovaskuler misalnya hipertensi, diabetes, merokok, dislipidemia, riwayat
keluarga, dan lain-lain. Faktor risiko non-tradisional atau faktor risiko yang
berhubungan dengan kondisi uremia, dimana prevalensinya akan semakin meningkat
seiring dengan penurunan fungsi ginjal. Gangguan pada metabolisme kalsium-fosfat
merupakan faktor risiko non-tradisional.29,30
Mekanisme kalsifikasi vaskuler pada GMT-PGK karena peran utama dari
perubahan keseimbangan kalsium dan fosfat. Deposisi berlebihan kedua mineral ini
akan mendorong terjadinya kalsifikasi vaskuler. Secara in vitro dan in vivo telah
menunjukkan perkembangan pemahaman dari segi aspek, teori, dan regulator serta
patogenesis untuk terjadinya kalsifikasi vaskuler pada PGK.30
Menurut Giachelli CM (2004), kalsifikasi vaskuler pada penderita PGK
melibatkan beberapa mekanisme antara lain abnormalitas kalsium fosfat, hilangnya
faktor penghambat (loss of inhibition), induksi pembentukan tulang, adanya
nukleosional dalam sirkulasi atau faktor parakrin dari tulang, dan apoptosis. Namun
dari berbagai faktor risiko dan proses terjadinya kalsifikasi vaskuler belum dipahami
sepenuhnya baik secara patologi maupun biologi molekuler. Beberapa peneliti
meyakini serum fosfat merupakan regulator kunci terjadinya kalsifikasi vaskuler pada
penderita PGK (Gambar 6).31,32
Beberapa penelitian menghubungkan faktor yang memicu terjadinya
kalsifikasi vaskuler dengan hiperfosfatemia-hiperkalsemia (peningkatan produk Ca x
P), dan alkalinisasi jaringan. Penderita dengan kadar fosfat yang lebih dari 6,5 mg/dl
mempunyai risiko kematian kardiovaskuler yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penyakit arteri koroner (termasuk infark miokard dan penyakit jantung aterosklerotik)
dengan kadar fosfat normal. Risiko relatif kematian akibat penyakit jantung koroner
52% lebih tinggi pada penderita dengan kadar fosfat > 6,5 mg/dl dibandingkan
dengan kadar fosfat < 6,5 mg/dl. Prediktor yang paling nyata dalam terjadinya
kalsifikasi vaskuler ini adalah tingginya perkalian produk Ca x P. Penderita dengan
dialisis reguler yang mempunyai perkalian produk Ca x P lebih dari 55 mg2/dl2
mempunyai prevalensi kalsifikasi katup mitral lebih tinggi, dan bermakna
dibandingkan populasi normal. KDIGO (Kidney Disease Improving Global
Outcomes) menetapkan sasaran perkalian produk Ca x P kurang dari 55 mg2/dl2.
Selain di sistem kardiovaskuler, hiperfosfatemia juga dapat mengakibatkan kalsifikasi
pada jaringan ikat lunak lain seperti otak, subkutan, paru, periartikuler, dan jaringan
interstitial ginjal.33
Keterangan : MGP : Matrix Gla Protein, OPN : Osteopontin.
Gambar 6. Mekanisme kalsifikasi vaskuler.32
2.2.4 Kalsifilaksis
Sindrom kalsifilaksis pertama kali dilaporkan oleh Selye tahun 1962, berupa
nekrosis iskemia jaringan perifer, kalsifikasi vaskuler dan ulserasi kulit, yang terjadi
pada PGK yang menjalani hemodialisis reguler atau setelah transplantasi ginjal.
Patogenesis sindrom ini belum diketahui secara pasti, diduga karena adanya obstruksi
mekanis vaskuler akibat deposisi kalsium otot polos, arterial dan terjadinya spasme
vaskuler. Faktor predisposisi sindrom ini adalah pasien PGK dengan hemodialisis
yang mempergunakan kalsium karbonat dosis tinggi, dialisat konsentrasi kalsium
tinggi, obesitas, diabetes melitus, pasca transplantasi, obat-obat golongan
steroid/imunosupresan, serta trauma lokal.6,33
BAB III
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
GANGGUAN MINERAL DAN TULANG
PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK (GMT-PGK)
CaXPi
Kalsifikasi Vaskuler
Kematian sel :
Apoptosis dan debris nekrosis
Induksi pembentukan tulang :
Vascular osteoblast/chondrocyte-like cells
Nukleosional komplek sirkulasi
Loss of inhibition: MGP, OPN, Fetuin,
Pirophosfat, dll
HiperfosfatemiaHiperkalsemia
Remodeling tulang
3.1 Diagnosis
Gangguan mineral dan tulang ditemukan pada sebagian besar pasien PGK
stadium 3-5, dan secara universal dialami pasien PGK stadium 5 yang menjalani
dialisis (PGK 5D). Oleh karena itu dianjurkan untuk memulai pemeriksaan diagnostik
pada PGK stadium 3. Interval pemantauan yang dianjurkan berdasarkan gangguan
yang ada, derajat beratnya gangguan dan kecepatan progresifitas PGK. Diagnosis
GMT-PGK didasarkan atas gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
pencitraan (imaging) dan biopsi tulang.6,9
3.1.1 Gejala klinis
Gejala klinis GMT-PGK tidak spesifik, diantaranya nyeri tulang, kelemahan
otot, pruritus, calciphylaxis (calcemic uremic arteriolopathy) dan fraktur.
Calciphylaxis dapat berupa nekrosis jaringan perifer, ulserasi kulit dan kalsifikasi
vaskuler. Fraktur tulang biasanya fraktur non trauma atau karena trauma minimal.9,34
3.1.2 Pemeriksaan penunjang
3.1.2.1 Pemeriksaan laboratorium
Abnormalitas biokimia sering ditemukan pada penyakit ginjal kronik dan
merupakan indikator utama untuk diagnosis maupun penatalaksanaan gangguan
mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik.6,9
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis GMT-PGK dilakukan terhadap
petanda (marker) biokimia tulang dan mineral. Petanda tersebut ialah fosfat, kalsium
plasma, produk kalsium x fosfat (Ca x P), hormon paratiroid (HPTi), total alkali
fosfatase (AFT) dan bone spesific alkaline phosphatase (bALP). Pemeriksaan
disarankan dimulai pada PGK stadium 3 dan dilakukan secara berkala, seperti yang
diperlihatkan pada tabel 5 dan 6 di bawah ini.6,9,34
Tabel 5 . Diagnosis laboratorium GMT-PGK 9,34
Petanda Kadar Keterangan
Laboratorium Meningkat MenurunFosfat +Kalsium + Fase awal
+ Fase lanjutCaxP + >55 mg2/dl2
HPTi +AFT + Kurang spesifikbALP + Lebih spesifik
Tabel 6. Pemantauan terhadap kadar kalsium, fosfat plasma, CaxP dan HPTi plasma9
PGK
stadium
LFG
(ml/min/1,73m2)
Frekuensi
pemeriksaan
Ca koreksi
total plasma
Fosfat plasma Produk
CaxP
HPTi
3 30-59 Setiap 12 bulan Nilai normal
laboratorium
2,7-4,6 mg/dl < 55 mg2/dl2 35-70 pg/ml
4 15-29 Setiap 3 bulan Nilai normal
laboratorium
2,7-4,6 mg/dl < 55 mg2/dl2 70-110 pg/ml
5 <15 Setiap bulan 8,4-9,5 mg/dl 3,5-5,5 mg/dl < 55 mg2/dl2 150-300
pg/ml
Sebagai panduan praktis pada pengelolaan GMT-PGK lebih dianjurkan
menggunakan parameter kadar kalsium dan fosfor plasma secara sendiri-sendiri
daripada menggunakan produk Ca x P, karena kadar fosfor serum lebih berfluktuasi
dibanding kadar kalsium.6,9
Alkali fosfatase total (AFT) adalah enzim yang mengurai fosfat dari protein
dan nukleotida, berfungsi optimal pada pH alkali. Nilai enzim ini tidak spesifik,
karena terdapat di seluruh tubuh, kadar tertinggi di liver dan tulang. Peningkatan AFT
bisa dijumpai pada gangguan liver dan tulang (peningkatan aktivitas tulang/metastasis
tulang). Bone specific alkaline phosphatase (b-ALP) adalah petanda yang lebih
spesifik untuk gangguan tulang. Berbeda dengan pemeriksaan AFT yang tersedia
luas, pemeriksaan b-ALP masih sangat terbatas.1,6,8,9
Baik AFT maupun b-ALP meningkat pada hiperparatiroid primer dan
sekunder, osteomalasia, metastasis tulang atau Paget’s disease. Kidney disease
improving global outcomes (KDIGO) menganjurkan pemeriksaan AFT sebagai
pemeriksaan tambahan, akan tetapi bila hasilnya meningkat harus diperiksa fungsi
hati untuk menyingkirkan adanya gangguan fungsi hati. AFT dapat digunakan untuk
memantau terapi atau menentukan status turnover bila hasil HPTi meragukan.6,8,9
3.1.2.2 Pemeriksaan pencitraan
Kelainan radiologis tulang pada GMT-PGK baru tampak setelah terjadi
kerusakan tulang yang berat, sehingga pemeriksaan radiologis tidak dapat dipakai
untuk diagnosis dini GMT-PGK. Pemeriksaan pencitraan (imaging) GMT-PGK
meliputi pemeriksaan radiologi, ekhokardiografi dan USG.6,9
Untuk mendeteksi kalsifikasi vaskuler dianjurkan dengan pemeriksaaan foto
polos abdomen posisi lateral. Ekhokardiografi dapat digunakan untuk mendeteksi
kalsifikasi katup jantung sebagai alternatif pemeriksaan computed tomography-base
imaging. USG kelenjar paratiroid umumnya dikerjakan untuk menentukan lokasi
kelenjar paratiroid sebelum dilakukan paratirodektomi. Pemeriksaan tersebut juga
bermanfaat untuk memberikan informasi klinis terhadap tingkat keparahan (severity)
serta respon terapi terhadap hiperparatiroid. USG kelenjar paratiroid bukan
dimaksudkan untuk diagnosis hiperparatiroid sekunder.6,9,34
3.1.2.3 Biopsi tulang
Biopsi tulang pada GMT-PGK merupakan cara diagnostik yang sangat baik
dan informatif untuk menentukan adanya kelainan dalam turnover tulang.
Biopsi tulang merupakan baku emas (gold standard). Idealnya semua pemeriksaan
biokimiawi dan non-invasif dirujuk dengan hasil biopsi tulang, akan tetapi biopsi
tulang tidak dilakukan secara rutin. 9,34
Indikasi biopsi tulang pada PGK adalah sebagai berikut:
Adanya fraktur tanpa trauma atau akibat trauma yang minimal.
Kadar HPTi intak antara 100-500 pg/ml disertai hiperkalsemia yang tidak dapat
dijelaskan, nyeri tulang yang hebat, atau peningkatan aktifitas bone spesific
alkaline phosphatase (bALP) yang tidak dapat dijelaskan.
Kecurigaan penyakit tulang aluminium (aluminium bone disease) atas dasar
gejala klinis atau riwayat terpapar aluminium.
Biopsi tulang mempunyai berbagai kelemahan antara lain merupakan metode
invasif dan mengakibatkan rasa sakit pada penderita, teknik dan peralatan yang sulit,
memerlukan tenaga histomorphometrist yang terlatih, proses yang sulit dan belum
adanya standarisasi nomenklatur. Oleh karenanya biopsi tulang tidak dikerjakan
secara rutin.6,9,12,34,35
3.2 Penatalaksanaan
3.2.1 Penatalaksanaan hiperfosfatemia
3.2.1.1 Diet rendah fosfor
Pada PGK stadium 3-5 dianjurkan diet rendah fosfor 800-1000 mg/hari.
Kadar fosfat serum dievaluasi setiap bulan setelah dimulai pemberian diet rendah
fosfor. Daftar kandungan fosfor dan kalsium di dalam makanan dapat dilihat pada
lampiran 1.6,9
3.2.1.2 Pemberian obat pengikat fosfat
Pada PGK stadium 3-4, kadar fosfor dipertahankan pada angka normal (2,7-
4,6 mg/dl), sedangkan pada stadium 5 kadar fosfor diusahakan mendekati normal.
Untuk kadar kalsium, pada PGK stadium 3-5 sebaiknya dipertahankan pada angka
normal.6,9
Pada PGK stadium 3-5, dianjurkan menggunakan pengikat fosfat untuk
mengelola hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang digunakan sesuai dengan preparat
yang tersedia dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya seperti
terlihat pada tabel 7 di bawah ini.6,9
Tabel 7. Obat-obat pengikat fosfat9,34
Pengikat fosfat Jenis Keuntungan Efek Samping / kerugian
Kalsium Murah Hiperkalsemia
karbonat Tersedia Kalsifikasikasi ekstraskeletal
Konstipasi
Kalsium asetat Kapasitas mengikat fosfat lebih tinggi dan
Hiperkalsemia
absorbsi kalsium lebih sedikit daripada kalsium karbonat
Kalsifikasi ekstraskeletal Konstipasi
Mengandung Magnesium
Beban kalsium lebih sedikit
Diare Potensi toksisitas magnesium Potensi hiperkalemia
Sevelamer Tidak meningkatkan beban kalsium
Memerlukan disus besar/ ukuran pil besar yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien
Menurunkan karbonat yang dapat meningkatkan asidosis metabolik
Berpotensi mempengaruhi absorpsi vitamin-vitamin larut lemak
Gangguan saluran cerna Mahal
Lanthanum carbonate
Tidak meningkatkan beban kalsium
Potensi akumulasi Lanthanum di tulang
Mengandung aluminium
Aluminium hidroksida
Kapasitas mengikat fosfat tinggi
Tidak menambah beban kalsium
Murah Tersedia
Berpotensi tinggi terjadi toksisitas aluminium dan gangguan mineralisasi tulang pada pemakaian jangka panjang
Konstipasi Gangguan gastrointestinal Rasa seperti kapur (chalky
taste)
Pada PGK stadium 3-5 dengan hiperkalsemia, pengikat fosfat yang
mengandung kalsium hendaknya tidak dipergunakan. Pada PGK dengan
hiperkalsemia, sebaiknya menggunakan pengikat fosfat yang tidak mengandung
kalsium (misalnya lanthanum carbonate, sevelamer, aluminium hidroksida). Bila
menggunakan pengikat fosfat yang mengandung aluminium, hanya boleh diberikan
untuk satu tahap terapi, maksimal 4 minggu.6,9,35
3.2.1.3 Dialisis yang adekuat
Tindakan dialisis hanya sedikit membuang fosfat. Klirens fosfat pada
hemodialisis adalah 32,5 mmol dalam 4 jam, sedang pada CAPD adalah sebesar 12
mol dalam 24 jam. Ekskresi fosfat juga dipengaruhi oleh jenis dialisat dan jenis
membran.6,9,33
3.2.2 Penatalaksanaan hipokalsemia
Pada dasarnya tidak diperlukan terapi khusus untuk hipokalsemia pada PGK
sebab dengan turunnya kadar fosfat setelah terapi hiperfosfatemia, kadar kalsium
akan naik dengan sendirinya, hal ini terjadi karena adanya keseimbangan
fisikokimiawi antara fosfat dan kalsium.6,9
3.2.2.1 Hipokalsemia pada PGK stadium 3-5
Penatalaksanaan hipokalsemia pada PGK stadium 3-5 dengan hiperfosfatemia
lebih diutamakan memakai pengikat fosfat yang mengandung kalsium.6,9
3.2.2.2 Hipokalsemia pada PGK stadium 5 dengan dialisis (PGK stadium 5D)
Penatalaksanaan hipokalsemia pada PGK stadium 5D lebih diutamakan
menggunakan cairan dialisat dengan kadar kalsium antara 1,25-1,50 mmol/l (2,5-3,0
mEq/l).6,9
3.2.3 Penatalaksanaan hiperparatiroid sekunder
3.2.3.1 Pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4
Pemberian kalsitriol/vitamin D analog boleh diberikan pada PGK stadium 3-4.
Namun, pemeriksaan HPTi dianjurkan sebelum pemberian kalsitriol/vitamin D
analog. Calcitriol/vitamin D analog diberikan bila kadar HPTi > 70 pg/ml untuk PGK
stadium 3 dan > 110 pg/ml pada PGK stadium 4 (tabel 8).6,9,36
Tabel 8. Kadar optimal HPTi pada PGK9
Stadium PGKRentang LFG
(ml/men/1,73 m2)Target HPTi
3 30-59 35-70 pg/ml
4 15-29 70-110 pg/ml
5 < 15 atau dialisis 150-300 pg/ml
Syarat memulai terapi calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4
adalah: nilai kalsium serum total < 9,5 mg/dl, nilai fosfor serum < 4,6 mg/dl dan
produk Ca x P < 55 mg2/dl2. Selain itu untuk data awal dianjurkan pemeriksaan foto
polos abdomen lateral. Dosis calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4 dapat
dilihat pada tabel 9 di bawah ini.6,9,36
Tabel 9. Rekomendasi dosis vitamin D9
HPTi plasma Pg/ml
Ca serummg/dl
P serum mg/ml
Dosis oral
Kalsitriol Paricalcitol Alfacalcidol Doxercalciferol
CKD 3 > 70
< 9,5 < 4,6 0,25
g/hari
1 g/hari
atau
2 g 3x/minggu
0,25 g /
hari
0,25 g 3x/
minggu
CKD 4>110
Untuk pemantauan terapi calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4,
selama terapi dengan kalsitriol/vitamin D analog, kalsium dan fosfat diperiksa satu
kali sebulan (selama tiga bulan) sesudah terapi dimulai, selanjutnya setiap 3 bulan.6,9
Bila HPTi plasma turun di bawah target, terapi kalsitriol/vitamin D analog
dihentikan dulu sampai nilai HPTi naik di atas target. Kemudian terapi diteruskan
dengan kalsitriol/vitamin D analog setengah dosis/hari. Bila HPTi masih tetap turun,
maka berikan terapi dengan setengah dosis selang sehari (alternate day).
Bila kalsium serum naik > 9,5 mg/dl tunda terapi kalsitriol/vitamin D analog
sampai kalsium < 9,5 mg/dl, kemudian lanjutkan dengan setengah dosis awal.
Bila fosfor serum naik > 4,6 mg/dl tunda terapi calsitriol/vitamin D analog.
Berikan pengikat fosfat sampai kadar fosfat < 4,6 mg/dl. Kemudian terapi
calsitriol/vitamin D analog dilanjutkan dengan dosis yang sama dengan keadaan awal.
Jika kadar HPTi turun hingga dua kali di bawah kadar normal sebaiknya
pemberian kalsitriol/vitamin D analog dikurangi atau dihentikan.6,9,36
3.2.3.2 Pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK stadium 5D
Pasien dalam dialisis (hemodialisis atau dialisis periitoneal) dengan kadar
HPTi > 300 pg/ml dianjurkan untuk mendapat kalsitriol/vitamin D analog
(paricalcitol, alfacalcidol, atau doxercalciferol).6,9
Syarat pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK 5D yaitu
diberikan pada pasien dengan kadar kalsium serum < 9,5 mg/dl jika kadar HPT
plasma 300-600 pg/ml, atau kadar kalsium serum < 10 mg/dl pada HPTi plasma 1000
pg/dl. Dosis kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK stadium 5 dengan
hemodialisis berdasarkan kadar HPTi, kalsium, fosfor dan produk Ca x P
diperlihatkan pada tabel 10 di bawah ini.6,9,36
Tabel 10. Dosis Vitamin D pada pasien hemodialisis berdasarkan kadar HPTi,
kalsium, fosfor dan produk Ca x P6,9
HPTi plasma (pg/ml)
Ca serum (mg/dl)
Ca serum (mg/dl)
ProdukCa x P
Dosis Kalsitrioltiap HD
DosisParicalcitol
tiap HD
DosisDoxercalciferol
tiap HD
300-600 < 9,5 < 5,5 < 55 0,5-1,5 g (i.v)
0,5-1,5 g (oral)
2,5 g (i.v) 5 g (oral)
2 g (i.v)
600-1000 < 9,5 < 5,5 < 55 1-3 g (i.v)
1-4 g (oral)
6-10 g (i.v) 5-10 g (oral)
2-4 g (i.v)
> 1000 < 10 < 5,5 < 55 1-5 g (i.v)
3-7 g (oral)
10-15 g(i.v) 10-20 g (oral)
4-8 g (i.v)
Pada PGK stadium 5D pemberian kalsitriol/vitamin D analog secara
intermiten lebih efektif dalam menurunkan kadar HPTi serum dibandingkan dengan
pemberian secara oral tiap hari (Gambar 7).
Cek Kadar PTHi : > 300 pg/ml
PTHi < 30% PTHi > 300Ca < 11.5
Ca x P < 70
PTHi < 30-60Ca < 11.5
Ca x P < 70
PTHi < 150Ca > 11.5
Ca x P > 75
Ca > 11.5Ca x P > 75
Dosis 2 g setiap HD
Dosis tetap Dosis 2 g setiap HD
Stop sementara
Dosis diturunkan 2 mg atau stop sementara
Lakukan penurunan dosis seperti di atas tiap 2-4 minggu hingga diperoleh dosis untuk mencapai
target PTHi 150-300
PTHi < 150-300Ca < 11.5
Ca x P < 70
Ca < 10.4Ca x P < 65
Lanjutkan kembali dengan dosis 2 µg
setiap HD
PTHi < 150-300Ca < 11.5
Ca x P < 70
Dosis 0,04-0,1g/Kg BB (g setiap HDatau
PTHi/120 (gsetiap HD)
Dosis awal tidak melebihi 10 g setiap HD
PTHi < 150Ca < 11.5
Ca x P < 70PTHi 60%
Dosis titrasi Cek PTHi setelah 2-4 minggu Cek kadar Ca & P tiap minggu
Cek PTHi setelah 2-4 minggu Cek kadar Ca & P tiap minggu
Cek PTHi setiap 3 bulan Cek Ca & P pertahankan dosis setiap HD
Ca : mg/dlP : mg/dlPTHi : pg/dl
Gambar 7. Algoritma terapi injeksi paricalcitol36
Pada pasien PGK stadium 5 dengan dialisis peritoneal dapat diberikan
kalsitriol oral dengan dosis 0,5-10 mcg atau doxercalciferol oral 2,5-5,0 mcg.
Sebagai pemantauan, kadar kalsium dan fosfat serum diperiksa tiap 2 minggu
selama 1 bulan dan sesudah itu tiap bulan. Kadar HPTi plasma diperiksa setiap 1
bulan dan kemudian tiap 3 bulan sesudah kadar HPTi mencapai target.6,9,36
3.2.3.3 Pemberian calcimimetic6,9,20
Calcimimetic adalah allosteric modulator dari kalsium reseptor, mempunyai
efek meningkatkan sensitivitas kalsium sensing receptor, dengan demikian akan
meningkatkan kalsium intra sel dan menurunkan sekresi hormon paratiroid.
Calcimimetic tidak meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor di saluran cerna, oleh
karena itu pemberian obat ini tidak mempengaruhi kadar kalsium dan fosfor di dalam
plasma. Contoh preparat calcimimetic addalah cinacalcet.
Indikasi pemberian calcimimetic adalah pada PGK dengan kadar HPT
melebhi target sesuai stadium PGK dan kalsium serum > 8,4 mg/dl.Hiperfosfatemia
tidak merupakan kontraindikasi pemberian calcimimetic.
Dosis obat calcimimetic (cinacalcet) 30 mg satu kali per hari. Dosis dapat
dinaikkan secara bertahap 60 mg, 90 mg, 120 mg, 180 mg sesuai kebutuhan untuk
mencapai target HPTi 150-300 pg/ml. Dosis maksimal 180 mg per hari.
Pemberian calcimimetic cenderung akan menurunkan kadar kalsium serum,
karena itu diperlukan pemantauan kadar kalsium dan penyesuaian dosis sesuai
dengan kadar kalsium serum. Bila kadar kalsium antara 7,5-8,4 mg/dl atau bila
ditemukan gejala hipokalsemia, berikan pengikat fosfat mengandung kalsium
dan/atau kalsitriol untuk meningkatkan kadar kalsium. Bila kadar kalsium < 7,5
mg/dl atau gejala hiokalsemia menetap dan dosis kalsitriol tidak dapat dinaikkan,
pemberian calcimimetic dihentikan sampai kadar kalsium ≥ 8,4 mg/dl dan/atau gejala
hipokalsemia teratasi. Setelah itu mulai pemberian calcimimetic dengan dosis paling
rendah. Bila HPTi < 150-300 pg/ml, pemberian calcimimetic dan/atau kalsitriol
dihentikan atau dosis diturunkan.
3.2.3.4 Paratiroidektomi6,9,26
Paratiroidektomi diindikasikan pada pasien dengan hiperparatiroid sekunder
berat yang ditandai dengan kadar HPTi menetap > 800 pg/ml (88,0 pmol/l) serta
berhubungan dengan hiperkalsemia dan atau hiperfosfatemia yang tidak teratasi
dengan obat-obatan. Selain itu paratiroidektomi juga diindikasikan pada kadar HPTi
500 pg/ml-800 pg/ml dengan keluhan yang menonjol sepert pruritus yang sangat
mengganggu, nyeri tulang dan sendi yang progresif, serta adanya kalsifilaksis.
Sebelum paratiroidektomi, dilakukan USG kelenjar paratiroid untuk
menentukan lokasi kelenjar paratiroid. Pemeriksaaan tersebut juga bermanfaat untuk
memberikan informasi klinis terhadap tingkat keparahan (severity) serta respon terapi
terhadap hiperparatiroid sekunder. Sebelum paratiroidektomi, obat pengikat fosfat
dihentikan atau diturunkan dosisnya sesuai dengan kadar fosfor.
Paratiroidektomi dapat dilakukan melalui tindakan bedah (surgical) dan non
bedah (medical). Paratiroidektomi bedah dapat berupa paratiroidektomi subtotal, atau
paratiroidektomi total dengan implantasi kelenjar pada lengan atas. Paratiroidektomi
non bedah dapat dilakukan dengan penyuntikan alkohol absolut atau paricalcitol ke
kelenjar paratiroid.
Pasca paratiroidektomi perlu dilakukan pemantauan kadar kalsium ion secara
ketat, yaitu sebagai berikut:
Kadar kalsium ion diukur tiap 4-6 jam pertama dalam 48 sampai 72 jam pasca
operasi, serta dua kali sehari sesudahnya sampai kadarnya stabil normal (4,6-5,4
mg/dl).
Jika kadar kalsium ion < 3,6 mg/dl atau kalsium total < 7,2 mg/dl, segera berikan
infus kalsium glukonas 10 mg per jam dalam cairan isotonik sampai mencapai
kadar kalsium ion dalam batas normal (4,6-5,4 mg/dl).
Infus kalsium diturunkan bertahap bila kadar kalsium ion mencapai kadar
normal.
Jika pasien sudah mampu menerima asupan per oral, pasien sebaiknya mendapat
kalsium karbonat 1-2 g, 3 kali sehari, serta kalsitriol sampai 2 µg/hari.
Pengobatan ini harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk mencapai kalsium
terionisasi dalam batas normal.
3.2.4 Penatalaksanaan kalsifikasi vaskuler dan kalsifikasi metastatik6,9,31,33
Kalsium dapat menumpuk di tunika media dan intima pembuluh darah.
Khusus pada pasien GMT-PGK tumpukan terutama pada tunika media, sehingga
terjadi kekakuan pembuluh darah yang menyebabkan gangguan kardiovaskuler.
Pencegahan kalsifikasi vaskuler dan kalsifikasi metastatik pada pasien dialisis
terdiri dari:
Mempertahankan kadar fosfor pada kisaran 3,5 -5,5 mg/dl.
Mempertahankan Ca x P kurang dari 55 mg2/dl2.
Mempertahankan HPTi antara 150-300 pg/ml.
Mengontrol hipertensi.
Menghindari keseimbangan kalsium yang positif:
a. Memberikan kalsium dialisat dengan konsentrasi 2,5 mEq/l.
b. Mengurangi asupan kalsium, termasuk dari pengikat fosfat < 2000 mg/hari.
Menghindari penekanan berlebihan kelenjar paratiroid dan tulang adinamik.
Mengendalikan kadar glukosa darah pada diabetes.
Berhenti merokok.
Meminimalkan proses inflamasi, antara lain dengan menggunakan ultrapure
(pyrogen-free) dialisate.
Mengurangi penggunaan warfarin.
3.2.5 GMT-PGK pada transplantasi ginjal6,9
Pasca transplantasi ginjal, GMT tidak segera pulih, oleh karenanya perlu
dilakukan pemantauan terhadap kadar serum kalsium, fosfor dan HPTi plasma.
Pemakaian obat-obat imunosupresan pasca transplantasi, diantaranya steroid,
dapat menyebabkan komplikasi tulang yang akan memperberat GMT yang belum
pulih.
Dalam minggu pertama sesudah transplantasi ginjal, kadar fosfor serum harus
diukur tiap hari. Frekuensi pemeriksaan selanjutnya dapat dilihat pada tabel 11.
Resipien transplantasi ginjal dengan kadar fosfor serum rendah yang menetap (< 2,5
mg/dl) harus diterapi dengan suplementasi fosfor.
Tabel 11. Frekuensi pemantauan laboratorium9
Parameter 3 bulan pertama 3 bulan sampai 1 tahun
Kalsium Tiap 2 minggu Tiap bulan
Fosfor Tiap 2 minggu Tiap bulan
HPTi Tiap bulan Tiap 3 bulan
Untuk memperkecil kehilangan massa tulang serta osteonekrosis, dosis obat
steroid harus disesuaikan hingga mencapai dosis terendah yang masih efektif.
Densitas massa tulang pasca transplantasi ginjal sebaiknya diukur dengan dual
energy X-ray absorptiometry (DEXA) untuk menentukan adanya osteoporosis.
DEXA scan dilakukan pada saat transplantasi ginjal, setahun dan 2 tahun sesudah
transplantasi ginjal. Jika BMD t-score sama atau kurang dari -2 saat transplantasi
ginjal atau pada evaluasi sesudahnya, terapi dengan amino-bifosfonat parenteral harus
dipertimbangkan.
Pencegahan dan terapi GMT pasca transplantasi ginjal meliputi:
Pencegahan umum
a. Mengatur terapi imunosupresan
- Gunakan dosis steroid serendah mungkin dan pertimbangkan terapi selang
sehari (alternate day)
- Gunakan dosis steroid sesuai protokol transplantasi dengan
mempertimbangkan efek samping terhadap tulang
b. Bila diuretika diperlukan sebaiknya gunakan golongan thiazide dan hindari
diuretika loop
c. Perbaiki fungsi gonad dan tiroid
d. Hentikan merokok
e. Olahraga
f. Pengobatan hiperparatiroid persisten
- Tatalaksana kalsium secara optimal
- Pemberian vitamin D secara optimal
- Gunakan calcimimetic bila memungkinkan
- Paratiroidektomi
g. Pengobatan penyebab lain dari hiperkalsemia
h. Pengobatan hipofosfatemia persisten
i. Pengobatan hipomagnesemia persisten
Terapi vitamin D
a. Kolekalsiferol atau ergokalsiferol 600 Unit sampai 1200 Unit per hari
b. Senyawa vitamin D aktif
- Alfacalsidol
- Calcitriol
- Doxercalciferol
- Paricalcitol
Suplementasi kalsium
- Asupan kalsium 1000 mg per hari
- Wanita menopause 1500 mg per hari
Bifosfonat
a. Penggunaan bifosfonat dipertimbangkan:
- Sebagai pengobatan osteopenia berat atau fraktur pada pasien dengan LFG
stabil > 50-60 ml/menit/1,73 m2.
- Pengobatan osteoporosis pada menopause
- Sebagai profilaksis (data yang mendukung masih belum cukup)
b. Bifosfonat harus dihindarkan apabila:
- LFG < 40 ml/menit/m2
- Hiperparatiroid sekunder atau tersier
- Hipervitaminosis D
- Pada wanita pre menopause
3.2.6 Asidosis metabolik pada GMT-PGK6,9
Pada keadaan asidosis metabolik tulang akan melakukan mekanisme buffer.
Hal ini akan memperberat gangguan mineral dan tulang. Pada PGK stadium 3-5 kadar
HCO3 harus diukur. Frekuensi pengukuran kadar HCO3 serum dapat dilihat pada tabel
12 di bawah ini.
Tabel 12. Frekuensi pengukuran kadar HCO3
Tahap PGK LFG (ml/menit/1,73 m2) Frekuensi pengukuran
3 30-59 tiap 12 bulan
4 15-29 tiap 3 bulan
5 < 15 tiap 3 bulan
Dialisis tiap bulan
Atasi asidosis metabolik dengan pemberian bikarbonat, target HCO3 > 22
mEq/l.
3.2.7 Intoksikasi aluminium pada GMT-PGK6,9,35
Untuk mencegah toksisitas aluminium, pemberian preparat mengandung
aluminium secara rutin dihindari, kadar aluminium dalam dialisat hendaknya < 10
µg/l. Perlu dilakukan pemeriksaan aluminium serum setiap tahun, dan setiap 3 bulan
pada yang memakai preparat aluminium. Kadar normal aluminium serum < 20 µg/l.
Bila didapati kenaikan aluminium serum (60-100 µg/l) atau ada gejala dan
tanda keracunan aluminium, atau sebelum operasi paratiroid, bila pasien pernah
terpapar aluminium, perlu dilakukan uji deferoxamine (DFO).
Untuk menghindari neurotoksisitas yang diinduksi DFO pada pasien dengan
aluminium serum > 200 µg/l, DFO ditunda sampai pasien selesai menjalani
hemodialisis intensif (6 hari dalam seminggu) dengan membran dialisis high-flux dan
dengan kandungan aluminium dalam dialisat < 5 µg/l, sampai kadar aluminium
serum sebelum dialisis mencapai < 200 µg/l.
Uji DFO dilakukan dengan memberi infus DFO 5 mg/kgBB pada jam terakhir
dialisis, setelah terlebih dahulu mengambil darah untuk pemeriksaan aluminium.
Aluminium diperiksa 2 hari kemudian, sebelum dialisis berikutnya. Uji dianggap
positif bila ada kenaikan kadar aluminium ≥ 50 µg/l.
Keberadaan penyakit tulang aluminium dapat diprediksi bila terjadi kenaikan
kadar aluminium serum setelah pemberian DFO digabung dengan kadar HPTi plasma
< 150 pg/ml (16,5 pmol/l). Baku emas diagnosis penyakit tulang aluminium adalah
biopsi tulang.
Pada penyakit tulang aluminium biopsi tulang menunjukkan aluminium-
staining pada permukaan (15-25%). Hasil yang sama sering dijumpai pada penyakit
tulang adinamik atau osteomalasia.
BAB IV
RINGKASAN
Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah
sekelompok gangguan tulang pada PGK yang merupakan konsekuensi
hiperfosfatemia setelah terjadi hiperparatiroidisme sekunder. Sindrom ini mencakup
salah satu atau kombinasi dari kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan
metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan Vitamin D; kelainan tulang dalam hal
turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan kekuatannya serta kalsifikasi
vaskuler atau jaringan lunak lain.
Diagnosis GMT-PGK didasarkan atas gejala klinis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan pencitraan (imaging) dan biopsi tulang.
Kematian penderita terutama disebabkan oleh gangguan kardiovaskuler dan
yang terkait dengan kalsifikasi kardiovaskuler. Banyak usaha yang telah dilakukan
untuk penanggulangan hiperfosfatemia pada PGK ini. Usaha-usaha tersebut adalah ,
1) restriksi asupan fosfat, 2) pemberian pengikat fosfat (phosphate binder), 3)
meningkatkan efektifitas dialisis, dan 4) pemakaian bahan kalsimemetik
(calcimimetic agent). Untuk menekan morbiditas dan mortalitas, KDOQI
menargetkan kadar fosfat serum penderita PGK adalah 3,5 – 5,5 mg/dl, dan perkalian
kadar fosfat dan kalsium kurang dari 55 mg2/dl2. Tetapi target ini masih belum
sepenuhnya bisa dicapai, terbukti dari masih tingginya prevalensi hiperfosfatemia
pada pasien PGK. USRDS (United States Renal Data System) 1993, mencatat
prevalensi hiperfosfatemia masih 53,6 %, walaupun pengikat fosfat sudah diberikan
pada sekitar 80% kasus. Dapat disimpulkan bahwa, diet restriksi fosfat (dietary
intervention), dialisis yang ketat dan pemakaian obat-obatan yang dilakukan selama
ini, masih belum cukup untuk memenuhi target KDOQI dalam mengatasi
hiperfosfatemia. Namun setidaknya, penatalaksanaan yang baik dan komprehensif
pada penderita GMT-PGK dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.