cicil referat

Upload: dita-putri-lipexu

Post on 14-Jul-2015

146 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Secara klinis kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan kritis dan jika tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan kematian. Misi dari emergency medicine meliputi evaluasi, tatalaksana, pengobatan dan pencegahan penyakit dan cedera yang tidak diharapkan. Perawatan gawat darurat (emergency) senantiasa berkembang. Berbagai teknik mutakhir telah dilakukan untuk meningkatkan ketahanan hidup (survival rate), dan pemahaman fisiologi yang lebih baik telah membawa pada pengobatan yang baru dan lebih baik. Kegawatan membutuhkan pemikiran dan tindakan yang cepat dan luas. Setiap dokter umum harus terlatih dan siap secara intelektual maupun emosi untuk berhadapan dengan setiap kegawatan. Dalam blok emergency mahasiswa dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mampu menghadapi kegawatan. Mahasiswa diharapkan akan memiliki kepekaan terhadap keadaan krisis (sense of crisis) sehingga mampu mengenali kegawatan dan segera memberikan tindakan yang tepat.

BAB II PEMBAHASAN

II.1 Manajemen Trauma Manajemen trauma awal pada pasien dengan cidera serius membutuhkan evaluasi yang simultan dan tatalaksana. Pencapaian awal adalah memastikan peredaran oksigen yang adekuat pada organ vital dengan urutan prioritas yang telah ditentukan yang memungkinkan identifikasi dan tatalaksana segera cidera yang mengancam hidup (primary assessment). Fungsi vital pasien harus ditentukan secepat dan seefisien mungkin. Manajemen pasien terdiri dari evaluasi primer yang cepat, resusitasi fungsi vital, assessmen sekunder yang lebih rinci (dari kepala sampai kaki) dan terakhir, inisiasi untuk terapi definitif. Proses ini dimulai dengan ABCDE pada pemeriksaan trauma yang memandu identifikasi kondisi yang mengancam jiwa melalui urutan penilaian awal jalan napas (airway), breathing, sirkulasi, disabilitas dan exposure

A. Primary Assesstment : Evaluasi Pertama dan Resusitasi 1. Airway dan Breathing

Jika pasien dapat berkomunikasi secara verbal, airway tidak dalam bahaya, namun penilaian berulang patensi jalan napas adalah esensial. Pasein dengan cidera kepala berat (skor GCS 8 atau kurang) biasanya memerlukan penempatan pelindung jalan napas. Airway harus pertama kali dinilai untuk memastikan patensinya. Assessmen untuk tanda dari obstruksi jalan napas termasuk inspeksi benda asing, inspeksi wajah, mandibular atau faktur trakeal/larigeal yang dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas. Jika intervensi aktif jalan napas diperlukan sebelum evaluasi radiologis untuk memastikan fraktur leher-tulang belakang, teknik yang dipilih untuk kontrol jalan napas (intubasi, perangkat penunjang, bedah jalan napas) harus memperhitungkan faktor keahlian pribadi, jenis peralatan yang tersedia, faktor pasien dan faktor cidera. Jika pasien apneu, memburuk dengan cepat, intubasi

orotrakeal standar harus dicoba dengan penggunaan stabilisasi in-line manual pada kepala dan leher.

Kunci masalah

Fraktur wajah bukan prioritas tatalaksana segera kecuali terdapat perdarahan hebat atau terdapat sekresi yang tidak terkontrol. Fraktur wajah biasanya tidak memerlukan intubasi. Gangguan atau fraktur trakea/laryngeal paling sering terjadi di perbatasan larynx dan trakea. Tanda dan gejala terdiri dari suara serak, udara sub-kutan, edema, atau ekimosis pada leher namun pasien mungkin dengan cidera minimal. Memungkinkan pasien untuk mengambil posisi yang nyaman, termasuk duduk jika tidak terdapat cidera tulang belakang. Di bawah ini adalah pertimbangan untuk pasien dengan risiko cidera leher-tulang belakang : Paraplegia atau Quadriplegia, bukti dugaan untuk ketidakstabilan tulang belakang CT Scan awal dapat mengevaluasi tulang belakang pada cidera kepala atau pada pasien yang sedang diintubasi. Menambahkan evaluasi CT Scan tulang belakang untuk CT scan awal kepala adalah strategi yang sesuai setelah terjadinya cidera Pasien dengan defisit neurologis potensial karena cidera leher-tulang belakang membutuhkan konsultasi neurosurgical Pasien yang sadar, terjaga, dan tanpa perubahan status mental, nyeri leher, cidera yang mengganggu atau defisit neurologis dapat dipertimbangkan untuk menstabilkan lehertulang belakang dan tidak memerlukan pemeriksaan radiologis Semua pasien lain yang memiliki setidaknya tampilan lateral leher-tulang belakang yang mencakup dasar dari oksiput ke perbatasan atas pada vertebra torakal yang pertama Pengecualian dari cidera tulang tidak menghilangkan kemungkinan gangguan pada ligamen.

Kunci untuk Cidera

Fraktur tulang rusuk seringkali terlewat pada foto thoraks. Fraktur dapat dicurigai dan didokumentasikan oleh nyeri tekan di atas fraktur selama pemeriksaan fisik. Kontrol nyeri mungkin diperlukan utuk memastikan ventilasi spontan yang memadai. Flail cest terjadi akibat fraktur tulang rusuk dengan manifestasi pergerakan paradox dari dinding dada. Pneumotoraks biasanya disertai dengan fraktur tulang rusuk dan biasanya membutuhkan tabung torakostomi. Suction rutin dipakai via saluran drainase pada tekanan sekitar 20 cmH2O. Pasien dengan pneumotoraks pada foto polos dada dan mendapat anestesi umum harus dipasang tabung pada dadanya. Pneumotoraks terbuka umumnya disertai dengan kehilangan jaringan lunak yang membutuhkan dressing-closure dan penempatan chest-tube. Hemotoraks massif disugestikan dengan pemeriksaan fisik dan foto thoraks. Kehilangan darah yang cepat sebanyak 1000 sampai 2000 mL atau kehilangan darah yang berkelanjutan >200 mL/jam adalah indikasi untuk Torakostomi.

2. Sirkulasi

STUDI KASUS

Laki-laki muda datang ke UGD dengan luka tusuk di epigastrium tetapi karakteristik dari senjata tidak diketahui. Tekanan darah sistolik saat masuk 90 mmHg dan takikardi. Tekanan darah sistolik meningkat sampai > 100mmHg saat diberikan airan intravena namun menurun saat cairan intravena dihentikan.Ekstremitas dingin dan pasien gelisah.

y y y

Apakah pasien itu syok? Apa penanganan primer untuk pasien tersebut? Apa terapi yang direkomendasikan?

Perdarahan adalah penyebab utama dari syok pasca cidera.Tatalaksana empiris pada dewasa terdiri dari ifus kristaloid (2 liter larutan RL yang dihangatkan) via 2 kanula kateter intravena yang besar dan control perdarahan eksternal dengan kompressi manual.Target

untuk volume terapi empiris diantaranya normalisasi tekanan darah, mengatasi takikardi da menyeimbangkan perfusi organ yang adekuat. Saat hipoperfusi dan kompesasi vaskuler dari peripheral terbatas, kanulasi pada vena entral (idealnya dengan introducer 7 F,8,5 F, 9 F) bisa dijadika alterative. Kontrol segera pada perdarahan eksternal seharusnya dilakukan secara simultan dengan resusitasi yang agresif. Kateter urin seharusnya di insersi segera untuk memonitor output urine sebagai pertanda perfusi renal, meskipun kateter urin di kotraindikasikan pada pasie pria denga suspet idera uretra (misalnya perdarahan dari meatus, hematoma scrotal)

Tabel 9-2 Klasifikasi Perdarahan Variabel Tekanan Kelas I darah Normal Kelas II Normal Kelas III Menurun Kelas IV Menurun

sistolik (mmHg) Nadi (kali/menit) Respiratory rate 14-20 (kali/menit) Status mental Kehilangan darah (mL) Kehilangan darah (%) 40 Cemas 2000 20-30 30-40 >35 100 >120 >140

Berdasarkan American College, of Surgeons telah memvalidasi bahwa penurunan penurunan denyut nadi adalah tanda dari hipoperfusi. Volume darah sirkulasi adalah 7 % dari berat badan normal (70 ml/kgBB) pada dewasa dan 8-9 % dari berat badan normal (80-90 ml/kgBB) pada anak-anak hal ini berarti tekanan nadi adalah tanda untuk hipoperfusi. Volume darah sirkulasi 7% dari berat badan normal (70 mL/kgBB) pada orang dewasa dan 8% sampai 9% (80-90mL/kgBB pada berat badan normal anak-anak. Ini harus dicatat bahwa kehilangan darah sampai dengan 1200 mL dapat terjadi pada orang dewasa (70 kg) tanpa hipotensi dan takikardi minimal. Perdarahan kelas II tanpa komplikasi syok. Perdarahan kelas III membutuhkan resusitasi kristaloid dan penggantian darah yang sering. Perdarahan kelas IV membutuhkan penggantian volume darah yang agresif dan kontrol perdarahan.

Resusitasi dengan kristaloid, biasanya dengan 2-3 liter larutan Ringer Laktat (>50 mL/kg), harus diikuti dengan pemberian PRC. Transfusi dengan produk darah lain misalnya Fresh Frozen Plasma, Platelet, atau Cryopresipitasi, biasanya bukan bagian dari resusitasi awal tetapi dibutuhkan segera jika perdarahan menetap dan atau terjadi koagulopati. Pada pasien dengan perdarahan berkelanjutan yang signifikan, profil serial koagulasi (termasuk waktu prothrombin, waktu paruh thromboplastin, hemoglobin, hematokrit dan hitung platelet) harus diperiksa. Hitung platelet 200 mL/jam selama 4 jam membutuhkan Torakotomi. Jika memungkinkan, alat autotransfusi dapat digunakan pada pasien dengan perdarahan yang cepat. b. Perdarahan Intra-abdominal Pemeriksaan abdomen seringkali melupakan deteksi Hemoperitoneum akut, khususnya pasien dengan trauma dada bagian bawah, fraktur tulang rusuk, cidera saraf tulang belakang, intoksikasi, atau penurunan tingkat kesadaran. Focused Assessment Sonography in Trauma (FAST) dan Diagnostic Peritoneal Lavage adalah metode yang paling bijaksana dan dapat diandalkan pada identifikasi perdarahan intraperitoneal yang signifikan, meskipun pemeriksaan FAST telah menggantikan penggunaan DPL di beberapa institusi. Bila tersedia dan digunakan oleh orang yan terlatih, FAST memiliki tingkat sensitifitas, spesifitas dan akurasi dari DPL pada deteksi Hemoperitoneum. Saat terjadi, Hemoperitoneum memerlukan evaluasi bedah yang segera untuk menentukan perlunya intervensi operatif. Pada banyak kasus, CT Scan abdomen dapat dilakukan pada pasien yang stabil untuk menidentifikasi sumber perdarahan. Perdarahan abdomen biasanya berasal dari laserasi hepar aau spleen, cidera vaskuler atau hematoma retroperitoneal. c. Perdarahan pelvis Penilaian stabilitas tulang dengan pemeriksaan fisik dan foto polos pelvis adalah penting untuk identifikasi awal pada fraktur pelvis mayor. Pasien dengan fraktur pelvis beresiko tinggi terjadi perdarahan mayor yang biasanya berasal dari vena. Manajemen awal terdiri dari penggantian volume darah yang kuat, dan tamponade mekanis dengan lembaran yang

dibungkus erat disekitar pelvis atau strategi lain untuk kompresi sirkumferensial. Fiksasi skeletal eksternal dapat membantu jika terdapat fraktur anatomis dan diperlukan konsultasi dokter bedah Ortopedi.

6. Syok Non-Hemoragik Diagnosis banding untuk syokk non-hemoragik pada pasien trauma terdiri dari syok obstruksif (misalnya Tension Pneumotoraks, Cardiac Tamponade), cidera tumpul pada jantung, emboli udara dan syok neurogenik dengan cidera spinal-cord akut. Cidera kepala jarang menyebabkan hipotensi.

a. Tension pneumotoraks Tension pneumotoraks dapat menyebabkan penurunan hemodinamik dan disfungsi pulmonal karena kompresi akut pada parenkim paru, okupasi ruang dan pergeseran mediastinum dari hemitoraks dengan peningkatan tekanan. Jangan menunggu foto thoraks untuk menegakkan diagnosis. Suara pernapasan dapat menurun, bradikardi dan terkadangm terjadi pelebaran vena leher. Hal ini penting, namun, terjadinya pelebaran distensi vena yang klasik mungkin tidak ada pada pneumotoraks dengan kompliasi hipovolemia. Pada dewasa, Torakostomi dengan jarum yang dilakukan melalui garus midclavicula di ruang interkosta kedua. Ini adalah intervensi penyelamatan hidup yang diikuti dengan pemasangan chest-tube.

b. Syok Neurogenik Syok neurogenik terjadi saat cidera spinal cord tingkat servikal atau tingkat torakal (diatas tingkat T6) yang menyebabkan terjadinya Simpatektomi. Karakteristikanya berupa hipotensi, biasanya disertai dengan bradikardi relative atau absolute. Flaksid paralisis, kehilangan refleks ekstremitas dan priapisme dapat ditemukan pada pemeriksaan neurologis. Tatalaksana untuk hipotensi terdiri dari resusitasi volume dan vasopressor seperti Phenylephrine,

Norepinephrine atau Dopamin) jika volume loading tidak mengatasi hipotensi. Atropine diindikasikan jika bradikadi disertai instabilitas hemodinamik.

c. Cardiac Tamponade Tand klasik dari Cardiac tamponade adalah hipotensi, bunyi jantung yang jauh, distensi vena jugularis dan pulsus paradoksus yang mungkin dikaburkan dengan luasnya area trauma dan hipovolemi (menurunnya distensi jugularis). Perikardiosentesis melalui pembedahan jendela pericardial harusdibedakan pada pasien dengan syok refraktori, hipertensi vena sentral dan penetrasi luka yang beresiko tinggi (diantara putting, di atas batas costae, di bawah klavikula.

d. Cidera Jantung Tumpul Diagnosis cidera jantung tumpul harus dicurigai pada pasien dengan kecelakaan karena kecepatan tinggi, unexplained-hypotension, an unexplained arrhythmia, atau syok kardiogenik. Perubahan pada EKG biasanya tidak spesifik dan dapat terdiri dari premature ventricular contractions, Bundle branch block, atrial fibrillation, unexplained sinus tachycardia dan perubahan segmen ST. Pemeriksaan Ekokardiografi tidak diindikasikan pada pasien stabil namun dapat memperlihatkan hasil yang abnormal pada pasien dengan cidera jantung. Penggunaan Troponin jantung pada penegakkan diagnose cidera jantung tumpul adalah meyakinkan dan tidak menawarkan informasi tambahan selain EKG. Tatalaksana terdiri dari koreksi Asidosis, hipoksia, dan koreksi elektrolit; pemberian cairan yang tepat dan tatalaksana farmakologi pada tatalaksana aritmia.

B. Assessment Sekunder: Diagnosis dan treatment injury lainnya

Kebanyakan pasien dengan injury akut bisa diresusitasi sampai hemodinamiknya menjadi stabil. Survei primer yang baik harus segera mengidentifikasi cedera yang mengancam jiwa. Tujuan berikutnya adalah menyelesaikan assessment sekunder untuk mengidentifikasi dan mengobati luka yang mengancam jiwa. Assessment ini sangat penting untuk menentukan triage untuk ruang operasi, radiologi, atau ICU

1. History Komponen yang penting dari history pasien: mekanisme injury, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan saat ini, alergi, imunisasi tetanus. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dari kepala hingga kaki (head to toe). Pemeriksaan tengkorak harus hati-hati dalam mengidentifikasi cedera. Ada atau tidak adanya hematotympanum, rhinorrhe, atau otorrhe; Battle sign ( ecimosis di kulit mastoid) Raccoon eyes dinilai untuk mengevaluasi fractur basilar Tulang wajah, mandibula, dan leher pada saat palpasi teraba krepitasi Score GCS dan pemeriksaan neurologi dari pengkajian awal untuk mengevaluasi trauma kepala.Gerakan mata ekstraocular diperiksa untuk mengeluarkan jebakan otot atau saraf.

Pada dada di auskultasi dan palpasi teraba krepitasi. Pasien di log rolled sehingga tulang belakang dan lumbal dapat diraba untuk nyeri dan cedera lainnya. Pada trauma tembus, kecuali tempat keluar luka di axilla, cervical, dan daerah ingunal.sama juga dengan Inspeksi abdomen , auskultasi, dan palpasi. Tulang pelvic dinilai untuk stabilitas.Rektum dievaluasi untuk memastikan adanya darah, kelenjar prostatnya.Hematoma perineal atau scrotum dan darah dari meatus urethra menandakan injury urogenital, risiko untuk pemasangan kateter urin. Inspeksi,palpasi, dan evaluasi Range Of Movement (ROM) ekstremitas. Tambahannya, integritas neuromuscular dari semua ekstremitas di konfirmasi.Nyeri dan pembengkakan pada tulang belakang dilakukan pemeriksaan radiography, CT Spiral, atau MRI 3. Laboratorium Tes minimal yang dilakukan: Hitung darah lengkap Elektrolit Glukosa darah Tingkat alkohol dalam darah Screning toksikologi. Setiap pasien dengan hipovolemi, golongan darah dan profil koagulopatinya harus diperiksa.Pada beberapa pasien, darah dapat ditahan sampai tes dianggap perlu. Pengukuran gas darah arteri harus dianalisis pada pasien untuk mengkonfirmasi ventilasi yang adekuat dan keseimbangan metabolik.Meningkatnya serum amylase menjadi indikator pankreas atau cedera usus pada pasien dengan trauma tumpul abdomen. Hematokrit tidak mencerminkan status akut. Equilibrium oleh pergeseran transcapilary butuh waktu jam untuk mencerminkan penurunan hematokrit. Secara umum, penurunan hematokrit 3 % setara dengan 1 unit kehilangan darah. 4. Radiologi a. General Dalam evaluasi trauma tumpul multipel organ, radiografi tulang belangkang cervical setinggi T1, radography dada posisi supine, dan melihat pelvis posisi supine sebagai primary survey; memungkinkan untuk interpretasi radiography sebagai survei sekunder. Foto panggul sangat penting untuk identifikasi awal fraktur pelvis.

b. Kepala CT Scan penting untuk evaluasi awal pasien cedera kepala atau beberapa pasien dengan penurunan kesadaran. c. Tulang belakang Radiologi C-Spine lateral mengidentifikasi fraktur akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan dukungan katastropik cedera sumsum tulang belakang cervical. Masalah yang paling umum dengan gambaran C-Spine lateral visual yang in adekuat dari C7-T1 dan occiput. Sebagian besar setidaknya mendapatkan anteroposterior,

lateral, dan melihat buka mulut dengan menekan C1 dan C2, dengan evaluasi CT Scan dari setiap area tidak bisa dibersihkan atau yang menunjukkan kemungkinan cedera. Pasien C-Spne injury faktor risiko meningkat, imobilisasi cervical penting ditinjau dan berhubungan dengan pemeriksaan fisik.Jika perhatikan lebih jauh, CT Scan C-Spine harus ada. MRI membantu untuk disc, saraf tulang belakang, trauma ligamen. Jika fraktur tulang belakang ditemukan , screning radiography tulang belakang ditunjukkan sejak 10 % dari pasien tersebut akan memiliki fraktur tulang punggung.Rontgen thorak dan lumbal anteroposterir dan lateral seharusnya diperoleh jika di palpasi, jika ada ekimosis atau teraba irreguler,pada pemeriksaan fisik tidak bisa dipastikan atau mekanisme cedera sugestif. CT scanthoraks dan abdomen sering diformat ulang untuk memberikan informasi tentang cedera tulang belakang tanpa radiography polos. d. Thoraks Setelah tulang belakang yang fraktur dibuka, dengan radiography (posisi trendelenburg) dada tegak diindikasikan untuk mengidentifikasi pneumotoraks, Hemothoraks, pelebaran mediastinum (transeksi aorta), atau fraktur. Radiography thoraks in adekuat untuk menyingkirkan cedera aorta, ketika dampak yang signifikan atau deselerasi. Suspek letal injury dimana terjadi pelebaran mediastinum pada radiography thoraks dan keterlambatan mekanisme. Angiografi aorta metode standar untuk diagnosis transeksi aorta torakalis, meskipun metode lain, seperti CT Scan atau heliks echocardiogram transesophageal juga digunakan. e. Abdomen Radiography abdomen polos biasanya tidak membantu. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, CT scan abdomen dengan dobel kontras ( oral dan IV, jika tidak ada kontraindikasi) adalah alternatif untuk DPL untuk evaluasi trauma

tumpul.Tergantung pada ketersediaan, FAST mungkin metode yang disuka dalam

skrening cairan bebas dalam abdomen (spt darah). Hasil FAST yang meragukan dapat dilakukan CT Scan abdomen atau DPL. f. Genitourinary tract Hematuri dapat di evaluasi dengan CT Scan atau kontras lainnya. CT Scan menggambarkan anatomi yang detail tentang abdomen dan struktur retroperitoneal dan cedera langsung pada ginjal. Jika pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa cedera urethra, urethrogram segeram sebelum dipasang kateter. Cystogram dapat diindikasikan jika diduga cedera kandung kemih . Pyelogram intravena tidak umum dilakukan. g. Fraktur skeletal Foto ekstremitas harus diperoleh berdasarkan pemeriksaan fisik atau keluhan pasien. Foto harus termasuk sendi atas dan bawah yang cedera. 5. Lainnya NGT berfungsi untuk dekompresi lambung dan dapat mengurangi aspirasi paru. Namun, tabung harus oral pada pasien dengan patah tulang atau patah tulang midfacial tengkorak basilar. Penempatannya dapat mengurangi kejadian sinusitis dan pneumonia yang terkait ventilator. Aspirasi darah dilambung mungkin satu-satunya tanda cedera lambung atau duodenum, dan investigasi lebih lanjut dapat dapat diindikasikan. Profilaksis tetanus rutin.Antibiotik sistemik biasannya ditahan sampai ada indikasi spesifik. Namun, antibiotik bekerja dalam 3 situasiyang melibatkan cedera akut: Pasien dengan pemantauan tekanan intrakranial atau tabung thoracostomy sering menerima cakupan gram positif . Pasien dengan trauma abdomen dapat diberikan aerob dan anaerob gram negatif selama 24 jam pertama setelah cedera. Pasien dengan fraktur terbuka yang diberikan gram negative selama 24 jam sebagai evaluasi ortopedi. C Assessmen Tersier: Evaluasi sedang berlangsung Studi kasus Laki-laki usia pertengahan laserasi liver multipledalam kecelakaan kendaraan bermotor. Juga memiliki laserasi mesenterika dan dilakukan reseksi usus. Akhir dari usus dijepit, dan perut dipenuhi untuk mengontrol perdarahan vena dari hati. Ia terus memerlukan resusitasi yang

agresif dan produk darah karena koagulopati. Setelah beberapa jam masuk ICU, tekanan airway ditingkatkan dan output urin dicatat. y y Apa kemungkinan penyebab tekanan udara meningkat? Mengapa urine output menurun?

Setelah kehidupan dan anggota tubuh yang cedera yang mengancam telah ditangani dan gangguan metabolik diperbaik, pemeriksaan ulang sistematik periodik dilakukan untuk mengidentifikasi cedera yang tidak jelas. 1. Head Injury Evaluasi pasien cedera kepala adalah proses yang berkelanjutan yang membutuhkan konsultasi bedah saraf. Penilaian skor GCS, respon dan diameter pupil, dan ada atau tidaknya tanda neurologi yang penting. Setiap perubahan dari hasil pemeriksaan dicatat dan bertindak. CT Scan kepala memberikan informasi yang berguna untuk klinis, tapi kunci manajemen pasien adalah pemeriksaan fisik. Resusitasi sangat penting untuk menghindari cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder biasanya terjadi ketika pasien hipoksia atau hipotensi selama perawatan akut 2. Pulmonary Injury Pasien yang trauma sering mengeluh perut terasa penuh saat cedera dan saat itu mungkin mengalami aspirasi. Asam lambung dapat mengakibatkan pneumonitis kimia awalnya mempengaruhi pasien dengan pneumonitis infektif atau ARDS. Antibiotik tidak diindikasikan pada manajemen awal. Steroid dan lavage brochoscopic tidak bermanfaat. Bronkoskopi dapat diindikasikan untuk

menghilangkan partikel besar. Onset tertunda pneumothorax atau hemothorax dapat terjadi setelah trauma dada. Kontusio paru dan ARDS mungkin tidak jelas (12-48 jam) . Penilaian lanjutan meliputi pemeriksaan fisik, oxymetri atau pengkuran arteri gas darah, rontgen dada, dan mekanik ventilator. 3. Cardiac Injury Pemantauan dan pengukuran EKG terus menerus sering tekanan darah intermiten , secara menual atau dengan perangkat tekanan darah otomatis , wajib ada di unit peraw tan intensif.Pemantauan terus menerus tekanan darah arteri dapat diindikasikan. Gangguan elektrolit dapat menyebabkan disfungsi jantung atau contraksi aritmia pada

pasien trauma. Gangguan elektrolit termasuk hyperchloremia, hypokalemia dan hyperkalemia, hypomagnesemia, dan hypocalsemia. 4. Abdominal Injury Penyalahgunaan zat atau cedera neurologi mungkin tidak memungkinkan

pemeriksaan abdomen. Perforasi dan viscus berongga pada trauma tumpul kadangkadang sulit didiagnosa. Udara bebas di bawah diafragma pada rontgen dada tegak, radiography dekubitus kiri lateral atau pada abdomen sebelum CT scan atau DPL menunjukkan operasi ekplorasi. Cedera pada pankreas, amylase atau DPL mungkin meningkat evaluasi tambahan dapat dicapai dengan pemberian bahan radiopak melalui saluran cerna bagian atas diikuti radigrafi polos atau CT scan. CT scan juga menyediakan informasi tentang retroperitoneum.Pada pasien cedera kepala yang menjalani CT scan dan cedera neurologis non operatif , CT scan abdomen harus dipertimbangkan seperti pemeriksaan fisik. Suatu kondisi yang sering terlewakan adalah sindrom kompatement abdomen. Terjadi bila peningkatan tekanan intra abdominal akibat perdarahan intraperitoneal atau retroperitoneal, akumulasi cairan asites, edema sekunder untuk resusitasi cairan dalam jumlah yang besar atau penetupan bedah intraoperatif dari ketegangan perut bagian bawah. Peningkatan tekanan intra abdomen menurunkan curah jantung dan kompressi aorta. Hemidiagram keduanya dipindahkan ke atas oleh peningkatan tekanan intra abdomen, yang menghasilkan penurunan volume dalam thoraks. Penurunan volume dalam rongga pleura predisposisi atelektasis, dan ventilasi pasien dengan hipertensi, intra abdomen memerlukan tekanan saluran udara meningkat untuk memberikan volum tidal yang tetap. Kompresi vascular dapat menurunkan aliran darah ke hati dan ginjal dengan terjadinya disgungsi, akhirnya hipertensi intra abdomen secara significan meningkatkan tekanan intracranial. Tekanan intra abdomen (IAP) harus dinyatakan dalam mmHg dan diukur pada akhir ekspirasi dalam posisi telentang dengan tranducer yang diletakkan pada linea midaxillaris setelah memastikan kontraksi otot abdomen . Standar referensi saat ini tekanan intra abdomen (IAP) pengukuran tekanan diukur melalui kateter urin dalam kandung kemih. Port aspirasi dapat dihubungkan ke tranduser tekanan dan tekanan intra abdomen bisa dibaca dari monitor. Teknik alternatif untuk membacanya ketinggian kolom urin dalam tabung drainase kateter, pipanya di jepit diatas tas urin kemudian di letakkan 30-40 cm diatas linea midaxillaris sebelum melepaskan klem, pengukuran dibaca dalam H2O dan dikonversi ke mmHg. Baik untuk pengukurran

tekanan, volume maksimal 25 ml ,suhu dalam kandung kemih dan stabilisasi dibolehkan 30-60 detik. Hipertensi Intra Abdomen (IAH) adalah elevasi patologi IAP. IAP juga dapat digunakan untuk menetukan tekanan perfusi abdomen dengan rumus: Tekanan perfusi abdomen = Rata-rata tekanan arteri (MAP) IAP . Intraabdomen hipertensi didefinisikan bertahan atau berulangnya IAP > 12 mmHg atau APP 60 mmHg.Hipertensi intra abdomen akut dapat berkembang dalam hitungan jam sebagai akibat dari trauma atau perdarahan intra abdomen atau lebih dari sehari sebagai hasil dari sepsis, kebocoran kapiler, atau penyakit kritis lainnya. Sindrom kompatemen abdomen ada ketika disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra abdomen . Sindrom kompatemen abdomen didefinisikan oleh tekanan intra abdomen berkelanjutan > 20 mmHg (dengan atau tanpa tekanan perfusi abdomen < 60 mmHg ) hubungannya dengan disfungsi organ onset baru atau kegagalan. Operasi dekompressi adalah metode untuk mengurangi tekana intra abdomen pada pasien dengan sindrom kompatemen abdomen . Ahli bedah konsultasi saat hipertensi intra abdomen dan diduga kompatemen abdomen. Setelah dekompresi, perbaikan hemodinamik, fungsi paru, perfusi jaringan, dan fungsi ginjal.Untuk mencegah dekompensasi hemodinamik selama prosedur dekompresi (insisi laparotomi), volume intravaskular harus dipertahankan dan oksigen di maksimalkan dengan koreksi hipotermi dan defek koagulasi. 5. Musculoskeletal Injury Evaluasi neurologi dan pembuluh darah dari ekstremitas adalah proses yang berkelanjutan. Ekstremitas yang bengkak dan tegang harus diawasi dengan ketat untuk pengembangan sindrom kompatemen,terutama dengan pasien yang responnya menurun. Pada pasien waspada pemeriksaan fisik adalah monitor terbaik. Tanda klasik: nyeri, pucat, pulselessness, parastesia, dan atau paralisis. Kehilahangan pulsasi adalah penemuan yang sangat terlambat. Tanda awal yang paling membantu adalah keluhan nyeri duluar proporsi dan sakit parah pada peregangan pasif otot.Pada pasien tidak sadar atau tidak dapat dilakukan pemeriksaan fisik , tekanan kompatemen dapat di monitor dengan neddle ukuran standar. Tekanan 30 mmHg menjamin pertimbangan fasciotomi.

Pemeriksaan musculoskeletal harus diulang, baik sebagian pasien pulih dari cedera atau sebagai status mental , untuk mengidentifikasi nyeri bahu. Foto polos untuk mengidentifikasi fraktur. Cedera ortopedi umum termasuk patah tulang scapula, tulang belakang thoraks dan lumbal, panggul, pergelangan kaki, dan pergelangan tangan. 6. Pertimbangan lainnya Resusitasi adalah prose berkelanjutan. Titik akhir sebagai normalisasi tekanan darah, denyut jantung, dan urin output. Pencapaian tanda vital normal dapat terjadi bahkan pengaturan hipoperfusi jaringan yang menghasilkan kompensasi. Konsentrasi laktat dan resolusi asidosis metabolik dapat memberikan titik akhir yang lebih definitif untuk kecukupan resusitasi. Waktu untuk normalisasi adalah prediksi kelangsungan hidup, resusitasi tambahan dalam bentuk penggantian volume, transfusi sel darah merah, atau dukungan dengan agent vasoaktif dapat diindikasikan 24 jam pertama pasca cedera meskipun tanda vital normal atau mendekati normal. Asidosis metabolik atau konsentrasi laktat yang tinggi dapat menjadi indikator awal komplikasi , termasuk perdarahan yang sedang berlangsung atau sindrom kompartmen abdomen. Pengendalian kerusakn pembedahan (operasi awal terbatas untuk mengontrol perdarahan dan dekontaminasi organ yang berongga ) mungkin perlu dilakukan selama 24 sampai 48 jam pertama, sebelum operasi definitif dilakukan.Banyak pasien trauma mendapatkan manfaat dari operasi definitif tertunda, khususnya perbaikan patah tulang, selama stabilisasi berkelanjutan. Keputusan untuk melanjutkan dengan operasi harus dibuat setelah konsultasi yang sesuai dengan layanan bedah primer. Pada periode resusitasi langsung, penting juga memastikan bahwa penilaian ulang periodik. Sekali pasien stabil, semua akses intravena diulang . Karena tindakan pencegahan steril penuh untuk mencegah infeksi saluran. 7. Pitfall Perawatan pasien dengan beberapa luka bedah memerlukan konsultasi dini. Konsultasi bedah saraf disarankan untuk pasien cedera kepala. Transfer pasien sakit parah mengalami kegagalan intubasi sebelum transfer, kegagalan untuk menstabilkan pasien sebelum transport memadai. Perdarahan yang sedang berlangsung , onset pneumothorax yang tertunda, yang menyebabkan reversibel atau dicegah dari cedera otak sekunder

LUKA BAKAR: EVALUASI AWAL DAN STABILISASI

Studi Kasus Laki-laki muda, dibawa ke IGD setelah terkena ledakan gas dengan luka bakar. Pasien mengalami luka bakar full thickness pada lengan dan adanya jejas luka bakar pada wajahnya. Saat ini pasien tidak ada distress nafas dan tidak menerima cairan sejak terjadinya luka bakar. Meskipun tidak terdapat jejas terbakar pada perut, pasien mengeluhkan nyeri abdomen. Dari keluarganya, didapatkan pasien terpelanting akibat ledakan gas ke sebuah tunggul pohon. Anda diminta untuk mem-follow up pasien tersebut. y y Bagaimana prioritas evaluasi inisialnya? Keadaan apakah yang paling buruk yang mungkin terjadi pada pasien ini?

A.

General Kematian akibat luka bakar sering terjadi terutama pada daerah rumah yang padat penghuni dan berpendapatan rendah. Seperti seluruh bentuk cedera, luka bakar sering terjadi pada usia muda dan tua. Luka tersiram air panas (scald) merupakan bentuk luka bakar yang paling sering ditemukan pada usia muda, sedangkan luka bakar kimia dan listrik sering terjadi pada usia dewasa di tempat kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas luka bakar termasuk besar luka bakar, usia, dan ada atau tidak adanya trauma inhalasi. Luka bakar tidak boleh dibedakan dengan luka pada trauma yang lain. Assessmen awal pasien harus langsung dilakukan sama dengan melakukan assessment pasien dengan trauma yang lain.

B.

Airway/Breathing Cedera jalan nafas bagian atas sering berhubungan dengan paparan api langsung, ketika refleks laring biasanya melindungi paru-paru dari cedera termal kecuali pada paparan tekanan uap tinggi. Cedera jalan nafas bagian bawah (dibawah laring) umumnya disebabkan oleh produk kimia kombusio yang terbawa sampai ke paruparu. Aldehid, oksida pada sulfur, dan asam hidroklorat dapat bercampur dengan air pada paru untuk membentuk asam yang korosif dan radikal oksigen bebas. Cedera inhalasi juga berhubungan dengan paparan karbon monoksida, meskipun kadar

karboksihemoglobin dalam darah tidak dapat menjadi patokan derajat paparan.

Cedera inhalasi umumnya dapat didiagnosis dengan bronkoskopi dengan temuan edema pada jalan nafas, eritema, akumulasi jelaga, dan kadang ditemukan hilangnya sebagian mukosa. Cedera yang lebih parah dapat diidentifikasi dengan bronkoskopi daripada dengan kriteria klinis seperti pada kasus luka bakar ruang tertutup, luka bakar wajah dengan hidung yang hangus, wheezing, dan jelaga pada sputum. Pemeriksaan roentgen toraks biasanya terlihat normal pada saat masuk ke rumah sakit, dan jarang langsung terjadi hipoksemia. Terdapat tiga stadium pada trauma inhalasi: 1. Hipoksia akut dengan asfiksia, sering terjadi saat di tempat kejadian. 2. Edema saluran nafas atas dan pulmoner mungkin terjadi 1 jam sampai 1 hari setelah terjadinya cedera. 3. Komplikasi infeksi seperti pneumonia akibat paparan panas dan zat kimia iritan dapat terjadi selanjutnya. Pengobatan cedera inhalasi bersifat suportif. Jika terdeteksi adanya bukti paparan terhadap karbon monoksida, harus langsung dilakukan intubasi, terutama jika pasien akan dipindahkan, karena edema pulmoner dan laring akan cepat timbul meskipun pada penilaian respirasi awalnya baik. Hati-hati pada penggunaan suksinilkolin akibat kemungkinan terjadinya hiperkalemia. Resusitasi intravaskular tidak boleh ditunda karena cedera inhalasi menaikkan kebutuhan cairan resusitasi. Derajat kelembaban gas yang terhirup dapat membantu kontrol sekresi dan mengurangi kekeringan akibat cedera jalan nafas.

C.

Circulation Pemasangan kateter intravena ukuran besar (16G atau 18G) harus dilakukan (jika perlu, langsung pada tempat terjadinya luka) bersamaan dengan pemakaian larutan kristalloid. Larutan yang paling sering dipakai adalah ringer laktat. Jika terdapat luka bakar yang melingkar (sirkumferens) pada ekstremitas dan toraks, dapat dilakukan pengangkatan luka bakar pada bagian lateral ekstremitas dan batang tubuh untuk memfasilitasi perfusi dan pergerakan dinding dada. Pengangkatan eskar tersebut disebut juga sebagai eskarotomi, dan biasanya dilakukan dalam waktu 48 jam setelah paparan. Edema jaringan progresif saat resusitasi dapat membutuhkan tindakan eskarotomi, meskipun perfusi ekstremitas distal dan pergerakan dinding dada adekuat. Eskarotomi atau laparotomi dinding abdomen akibat sindrom kompartemen abdomen

dengan gangguan pernafasan kadang diperlukan. Kompartemen sindrom abdomen berhubungan dengan pembentukan edema dan kebocoran kapiler dapat terjadi meskipun tidak ada cedera atau luka bakar pada abdomen.

D.

Assessment of Injury Buka semua pakaian pasien. Bergantung pada riwayat trauma yang berhubungan dengan luka bakar, pasien mungkin memiliki luka lain disamping luka bakar. 1. Kedalaman Luka Bakar Terdapat 3 derajat kedalaman luka bakar. 1) Luka bakar derajat satu: eritema dan nyeri 2) Luka bakar derajat dua (partial thickness): eritema, bengkak, bulla (blister), sangat nyeri 3) Luka bakar derajat tiga (full thickness): warna putih, tidak nyeri. Luka bakar derajat tiga mengenai seluruh lapisan epidermis dan dermis dan membutuhkan pembedahan rekonstruksi. Luka bakar yang mengenai jaringan dibawah kulit, seperti tendon, otot, dan tulang, sering diklasifikasikan sebagai luka bakar derajat empat. 2. Area yang Terbakar (Rule of Nines) The Rule of Nine digunakan untuk menentukan luas luka bakar berdasarkan total body surface area (TBSA) yang terbakar. Kepala dan ekstremitas superior mempunyai nilai 9% dari TBSA. Ekstremitas sisi anterior dan posterior dan ekstremitas bawah bernilai 18% TBSA, dan 1% pada perineum. Secara kasar luka bakara pada tangan bernilai 1% TBSA. Kesalahan yang umum terjadi adalah penghitungan luka bakar pada tangan namun tidak termasuk jari-jari, hal ini akan mengakibatkan overestimasi ukuran luka bakar.

Gambar Rule of Nines

E.

Resusitasi Shock pada luka bakar terjadi akibat hipovolemia, yaitu kehilangan cairan interstitial dan intraseluler. Peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah merupakan komponen kunci pada respon shock akibat luka bakar. Pada luka bakar kecil, edema mencapai puncaknya pada 8-12 jam setelah paparan; luka bakar yang lebih luas akan terjadi edema tambahan pada waktu 12-24 jam. Hilangnya volume plasma bermanifestasi sebagai hipovolemia, pembentukan edema dan peningkatan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema dipengaruhi oleh pemberian cairan selama resusitasi.

Penggantian cairan dan elektrolit ditentukan oleh indicator perfusi organ dan imbalans elektrolit. Karena cairan dan elektrolit hilang secara tidak sadar, sehingga untuk menentukan jumlah cairan yang hilang tidak adekuat. American Burns Association

merekomendasikan konsensus formula 2-4 mL/kg/% Luas Luka Bakar (LLB). Dimulai dari 2 mL/kg/% LLB dapat mengurangi edema dan komplikasi ekstravaskular seperti sindrom kompartemen abdomen. Tiap adanya kehialangan cairan, seperti perdarahan aktif, harus ditambahkan pada resusitasi tahap awal tersebut. Setengah dari cairan kristalloid yang diberikan harus masuk dalam waktu 8 jam dan setengah sisanya masuk dalam 16 jam (total pemberian dalam 24 jam). Pastikan kateter intravena yang masuk adekuat dan pasang juga kateter urin. Output urin (0,5 1 mL/jam) merupakan tuntunan terhadap penggantian cairan. Meanrgetkan tanda-tanda vital dapat menyebabkan terjadinya overload cairan karena heart rate akan tetap meningkat meskipun resusitasi telah adekuat.

F.

Ekspos Karbon Monoksida Pertimbangkan mengevaluasi kadar karboksihemoglobin dan kemungkinan ekspos karbon monoksida, dan memberikan oksigen 100% untuk memfasilitasi reversal yang cepat terhadap karboksihemoglobin. Penggunaan awal oksigen hiperbarik pada pasien dengan kadar karboksihemoglobin yang tinggi (>40%) atau adanya gejala kelainan neurologis atau toksisitas kardiovaskular telah direkomendasikan, namun data yang membantu rekomendasi ini masih terbatas.

G.

Luka Bakar Penatalaksanaan lokal pada luka bakar diawali dengan debridemen pada luka tanpa jaringan dan bulla. Jika terdapat kontaminasi, pembersihan luka perlahan dan ditutup dengan linen dapat dilakukan. Jika pasien tidak dapat dipindahkan segera ke burn centre, dapat diberikan silver sulfadiazine (atau antibiotik salap lain) dan ditutup dengan kassa basah dapat mencegah kehilangan cairan dengan cara evaporasi.

H.

Keadaan Lain Pasang nasogastric tube jika pasien muntah, memerlukan intubasi, atau luka bakar >20% TBSA. Gunakan analagetik golongan morfin intravena untuk mengurangi nyeri. Lepaskan cincin, gelang, dan bahan-bahan logam lain.

I.

Keadaan Khusus 1. Luka Bakar Kimia

Luka bakar kimia dapat disebabkan oleh asam (produk pembersih, aplikasi industri), alkali, atau komponen organik (produk petroleum). Derajat keparahan luka ditentukan oleh bahan penyebabnya, konsentrasi bahan, dan durasi kontak. Penatalaksanaan awal adalah melepaskan pasien dari sumber kontak. Secara umum, lepaskan pakaian pasien. Sikat zat-zat kimia kering yang masih menempel lalu diirigasi dengan air (aqua bidest). Kontak dengan produk petroleum berhubungan dengan penetrasi kulit yang cepat dan kegagalan organ multipel pada akhirnya. Penatalaksanaan awal hampir sama, yaitu melepaskan pasien dengan kontak zat petroleum dan irigasi dengan air. 2. Luka Bakar Listrik Luka bakar listrik merupakan sindrom dengan presentasi klinis yang bervariasi. Paparan luka bakar listrik beraliran 1.000 volt, kedalaman luka akan lebih dalam ditambah dengan luka bakar kulit. Tiga tipe luka pada kulit yang muncul bersamaan dengan sengatan listrik: 1) Luka masuk dan luka keluar, umumnya melingkar, lesi dalam, muncul pada tempat kontak dengan sumber lsitrik (biasanya pada tangan atau kaki). 2) Luka bakar kulit, hampir sama dengan luka bakar api. 3) Luka bakar lain akibat terbakarnya pakaian. Waspada terhadap terjadinya pneumotoraks, gangguan jalan nafas, cardiac arrest, dan cedera tumpul akibat kejatuhan dan kontraksi otot berlebih. Tekanan kompartemen otot akan meningkat, sehingga kadang dibutuhkan fasciotomi, tidak hanya eskarotomi. Jika mioglobin terdeteksi pada urin atau kreatin kinase meningka, berikan cairan yang adekuat untuk meningkatkan urin output sampai 70-100 mL/jam sampai terdapat resolusi dari rhabdomiosis. Pasien dapat mengalami illeus paralitik setelah tersengat listrik. Cek EKG jika terjadi cedera listrik. Prioritas utama pada cedera sengatan listrik adalah pengangkatan jaringan nekrotik dan dekompresi jaringan-jaringan yang kemungkinan akan terjadi sindroma kompartemen, terutama otot. Resusitasi dimulai dari 4 mL/kg/% LLB dan dapat dititrasi sampai urin output 0,5-1 mL/kg/jam kecuali jika terjadi rhabdomiosis, urin output harus ditingkatkan. Resusitasi cairan yang agresif menimbulkan efek filtrasi pigmen dan dilusi zat besi (nefrotoksik). Alkalinisasi

urin dapat dipertimbangkan untuk mengurangi potensi nefrotoksik meskipun masih belum terbukti. Jika terdapat cedera jaringan lunak yang luas, dibutuhkan konsultasi bedah. Seperti luka bakar lain, infeksi menjadi masalah utama pada luka bakar listrik. Masalah lain yang dapat timbul adalah cedera miokardium atau vaskular, ensefalopati, katarak, dan perforasi usus.