cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

22
MENGGENGGAM ANGIN Pagi yang cerah, beserta fajar yang masih malu-malu keluar dari peraduannya bersama embun yang masih hinggap pada daun-daun teh dan pepohonan lainnya. Aku berlari dan bernyanyi dengan penuh ceria dalam bentangan luas hijau kebun teh yang berada di kanan dan kiriku. Singkat cerita namaku Utomo, aku siswa kelas 12 SMA. Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat harmonis, namun ketika usiaku menginjak 4 tahun ayahku berpulang ke pangkuan-Nya, meninggalkan aku dan ibuku. Sejak saat itu aku mulai mengerti akan arti kehilangan seorang yang aku cintai. Aku berlari ke atas Bukit dengan berangan mengejar angin. Aku memandangi luasnya kebun teh yang ada di Desaku di bawah sebuah pohon yang sangat rindang. Aku berjanji dalam diriku, aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk membahagiakan orang tuaku dan Desaku yang aku cintai ini. Udara Desaku sangat sejuk, dengan pepohonan yang rindang dan masyarakatnya yang ramah. Dalam pandanganku aku selalu merasa senang dan gembira tanpa ada rasa takut akan sesuatu kegagalan. Aku selalu berkata dalam hatiku, “wahai angin aku akan mengejarmu, sampai kapanpun aku akan berusaha untuk mengejarmu walau aku tau ini tak mudah untukku”.

Upload: nanda-utomo

Post on 23-Jun-2015

268 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

MENGGENGGAM ANGIN

Pagi yang cerah, beserta fajar yang masih malu-malu keluar dari peraduannya

bersama embun yang masih hinggap pada daun-daun teh dan pepohonan lainnya. Aku

berlari dan bernyanyi dengan penuh ceria dalam bentangan luas hijau kebun teh yang

berada di kanan dan kiriku. Singkat cerita namaku Utomo, aku siswa kelas 12 SMA.

Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat harmonis, namun ketika usiaku menginjak

4 tahun ayahku berpulang ke pangkuan-Nya, meninggalkan aku dan ibuku. Sejak saat

itu aku mulai mengerti akan arti kehilangan seorang yang aku cintai.

Aku berlari ke atas Bukit dengan berangan mengejar angin. Aku memandangi

luasnya kebun teh yang ada di Desaku di bawah sebuah pohon yang sangat rindang.

Aku berjanji dalam diriku, aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk

membahagiakan orang tuaku dan Desaku yang aku cintai ini. Udara Desaku sangat

sejuk, dengan pepohonan yang rindang dan masyarakatnya yang ramah. Dalam

pandanganku aku selalu merasa senang dan gembira tanpa ada rasa takut akan sesuatu

kegagalan. Aku selalu berkata dalam hatiku, “wahai angin aku akan mengejarmu,

sampai kapanpun aku akan berusaha untuk mengejarmu walau aku tau ini tak mudah

untukku”.

Mungkin memang benar aku hanyalah seorang anak desa yang sederhana

dengan kesehariannya hanya belajar dan membantu orang tua di Kebun milik

saudagar kaya raya dari Jakarta. Namun aku yakin dengan penuh semangatku aku

selalu berkata, “anginku” akan aku dapatkan. Sekarang aku sedang menunggu detik-

detik kelulusanku. Setiap hari aku selalu datang ke Kebun teh ini untuk membantu

orang tuaku memetik daun teh yang masih segar dan sesudahnya pergi ke Bukit ini

untuk beristirahat sekedar melepas lelahku degan merebahkan badanku di bawah

pohon itu. Aku selalu memandang langit untuk berangan besar. Namun, sekarang aku

hanya dapat menulis semua yang ada di benak fikiranku di dalam sebuah kertas.

Entah ini hanya anganku atau sekedar imajinasi yang tak mungkin aku capai.

Page 2: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Hari demi hari aku lewati dengan penuh gembira, sampai saat yang aku

nantikan tiba. Hari dimana aku dinyatakan sebagai seseorang siswa yang lulus dari

Ujian Nasional atau tidak. Hatiku sangat kacau, jantungku berdebar dengan sangat

cepat. Layaknya tabuan gendang di dalam suatu medan pertempuran zaman dinasti

kuno dahulu kala. Dari kejauhan aku melihat kerumunan siswa/i di depan Ruang

Kepala Sekolah. Semuanya melihat papan pengumuman dan mengekspresikan

kegembiraan mereka dengan cara bersujud, tertawa bahkan sampai menangis tersedu.

Dengan langkah yang tersendat, akhirnya aku mencoba untuk memberanikan diriku

melihat hasil yang selama ini ingin aku ketahui. Aku mulai mencari namaku dari

urutan terbawah karena aku fikir aku berada di jejeran terbawah dari para murid di

SMAku ini. Jemariku mulai bermain dan mencari keberadaan namaku dari bawah

hingga atas. Maklum saja soal prestasi aku tidak terlalu mendukung, tetapi hanya saja

aku memiliki mimpi yang besar untuk aku wujudkan dan aku yakin itu akan menjadi

kenyataan. Seperi yang dikatakan oleh Eleanor Roosevelt “The future belongs to

those who belive is the beauty of their dreams”. Aku yakin dengan apa yang

dikatakanya itu benar dan aku percaya bahwa masa depan menjadi milik mereka yang

percaya pada keindahan mimpi-mimpi.

Jujur aku merasa bingung, resah gunda gulana karena namaku tidak ada di

paling bawah. Aku langsung syok, rasanya seperti rotasi Bumi ini berhenti berputar,

ruang udara menjadi hampa, pandanganku pun gelap gulita tatkala itu. Dari arah

belakangku ada seseorang yang menepuk bahuku, seakan membuatku tersadar.

Lantas ia membisikan kepadaku, “namamu ada di urutan paling atas, tepat diatas

namaku”. Aku menoleh kepadanya, ternyata yang mengatakan itu kepadaku adalah

Hardianti. Dia adalah wanita paling keren, cantik dan paling pandai di sekolahku.

Setiap laki-laki yang meihatnya aku yakin akan jatuh cinta kepadanya, lantas saja dia

adalah seorang anak dari saudagar kaya yang memiliki Kebun Teh yang setiap hari

aku dan keluargaku kelola. Namun bukan itu yang sebenarnya menjadi daya tarik

yang sesungguhnya dari seorang Hardianti. Dia adalah sesosok keturunan Indo-

Page 3: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Belanda, jadi wajar ketika dia memiliki wajah yang cantik, kulit yang bersih dan

rambut pirang yang teturai indah. Aku sebenarnya memiliki rasa suka kepadanya,

tetapi apalah daya aku hanyalah seorang yang tidak sederajat dengan dia. Aku tidak

terlalu menhiraukan perasaanku kepadanya karena aku fikir banyak hal yang lebih

penting dibandingkan dengan cinta.

Aku melihat pada lembaran kertas dan pada tempat yang ditunjukan kepadaku

tadi, aku tidak percaya ternyata itu benar. Aku melampaui seorang yang tidak pernah

aku bayangkan untuk aku lampaui sebelumnya. Dari sini aku mulai mempercayai

pendapat seorang Einstein yaitu “everything is a miracle”. Maklum aku adalah

seorang yang sering membaca buku-buku tentang kata-kata bijak dari tokoh-tokoh

yang paling berpengaruh di Dunia. Aku sangat senang melihat pemandangan ini,

tanpa sadar aku memeluk Hardianti. Dengan muka yang memerah aku melepaskan

pelukanku, lalu meminta maaf kepada Hardianti.

Utomo : eh,, maafkan aku ya Har ?

Hardianti : (dengan muka yang memerah kemudian mejawab dengan

terpatah-patah) Ia, tidak apa-apa, lagi pula ini tidak sengaja.

Setelah meminta maaf aku berlari dengan penuh semangat memberi tahu

kepada ibuku tercinta. Aku langsung menuju ibuku yang sedang mengumpulkan hasil

petikan daun tehnya di lumbung perkumulan.

Utomo : Ibu aku lulus, aku lulus. (sambil berteriak dari kejauhan)

Ibu : Apa mas, kamu ngomong apa ibumu ga denger kamu ngomong apa ?

Utomo : Terimakasih ibu aku lulus ujian. (langsung sujud di kedua kaki ibu)

Ibu : Allhamdulillah, akhirnya Tuhan mendengarkan doa ibumu ini?

(mengelus kepalaku)

Page 4: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Utomo : Iya ibu, sekali lagi aku mengucapkan terimakasih kepada ibu.

Apa ada yang bisa tomo bantu ibu ?

Ibu : Sudah tidak perlu, mainlah dahulu rayakan dengan teman-teman

seusiamu. Setelah itu cepatlah pulang, ibu menunggumu.

Utomo : Baiklah ibu kalau begitu, assallammualaikum.

Ibu : Waalaikumsallam.

Aku berlari menuju Bukit yang sering aku datang dan aku berteriak dengan

sangat kencang, “aku datang angin, ayah lihatlah kini anakmu sudah beranjak dewasa

dan akan membuktikan kepada Dunia bahwa aku bisa menjadi bagian dari suatu

peradaban”. Lalu aku berbaring dan tertidur sejenak di tempat yang sangat sejuk itu.

Ketika aku terjaga dari tidurku, aku melihat sesosok wanita cantik yang tidak asing

lagi. Ternyata benar dia Hardianti.

Utomo : Sejak kapan non ada disini ?

(Beginilah perjanjian antara aku dan Hardianti, jika si Sekolah

aku tidak boleh memanggilnya nona. Tetapi jika diluar Sekolah

aku boleh memanggilnya nona. Padahal dia sendiri tidak

perrnah menyuruhku untuk memanggilnya nona. Hanya saja

aku sadar siapa aku dan siapa dia).

Hardianti : Sudah mulai sekarang kamu tidak perlu memanggilku nona

segala, panggil saja nama asliku.

Utomo : Tetapi aku tidak enak oleh tuan non jika ketauan.

Hardianti : Hiraukan saja ayahku, aku paling tidak suka dipanggil seperti

itu, coba katakan sekali lagi kepadaku ?

Page 5: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Utomo : Baik non, eh maksudku Hardianti.

Hardianti : Nah seperti ini yang aku inginkan sejak awal aku

mengenalmu, sedang apa kamu disini Tomo ?

Utomo : Aku tadi hanya kebetulan tertidur disini Har.

Hardianti : Bohong, setiap hari kamu kesini. Aku dapat melihatmu dari

kamarku dengan teropong. (memang kenyataannya benar

rumah Hardianti sangatlah luas dan tinggi. Walau hanya di

huni oleh beberapa orang saja. Kedua orang tuanya hanya

setiap akhir pekan mengunjunginya).

Utomo : Baiklah. Aku akan berbicara jujur kepadamu, kamu tau aku

sering menunjukan karya-karya indah di depan kelas. Disinilah

tempatku menumpahkan segala keluh kesahku. Dan

mempresentasikannya di depan kelas, aku bebas berteriak

sesuka hatiku setiap hari. Aku bisa bernyanyi dengan

pepohonan ini, bermain dengan angina dan masih banyak hal

lain yang aku lakukan disini.

Hardianti : Enak sekali hidupmu tomo. Aku selalu terkekang seperti

burung yang ada di dalam sangkarnya. Setiap hari aku hanya

bisa melihatmu dari kejauhan sedang bermain di tempat ini.

Utomo : bukannya di rumahmu enak ya. Rumahmu itu sangat luas.

Mengapa tidak kau jadikan sebagai lahan untuk dijadikan

sebuah permainan yang sangat menyenangkan.

Hardianti : Tidak seperti yang kau bayangkan Tomo, aku hanya ingin

bermain dengan teman seusiaku. Tetapi tidak di dalam

Page 6: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

rumahku, aku ingin bermain di alam bebas dan tidak ada yang

dapat mengekangku.

Utomo : Ternyata menjadi anak dari seorang saudagar kaya raya itu

tidak mengasyikkan. Aku baru menyadarinya sekarang, aku

fikir dengan memilki segalanya dan mambeli segalanya aku

bisa merasa puas. Tetapi sebenarrnya itu hanyalah kesenangan

hampa yang tak nyata.

Hardianti : Mengapa kamu diam Tomo ?

Utomo : Tidak Har, tidak. Aku barusan mendapatkan inspirasi baru

untuk masa depanku kelak.

Hardianti : memangnya apa yang tadi kau fikirkan ?

Utomo : Jika aku berhasil mengejar anginku, aku tidak akan

membebani hal-hal yang tidak semestinya aku bebani kepada

anak keturunanku kelak.

Hardianti : Hehehe itu bagus. (Dengan muka yang memerah dia tertawa

kecil). Memangnya apa yang kamu maksud dengan anginmu

itu ?

Utomo : Tidak. Mungkin itu hanya sebuah angan-angan yang tidak

akan pernah aku capai saja Har.

Hardianti : Memangnya kamu ingin menjadi apa ?

Utomo : Seorang Diplomat.

Hardianti : Waw…. (terkejut)

Kamu serius dengan apa yang kamu katakana barusan ?

Page 7: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Utomo : Iya, memangnya kenapa ? Sudah aku duga kamu juga akan

menertawakanku sama seperti yang lainnya.

Hardianti : Memangnya aku tetawa ya Tomo ? Aku tidak tertawa. Untuk

apa aku menertawakanmu ? Bukankah seharusnya kamu

bersyukur. Lebih baik dibenci oleh banyak orang karena

sesuatu yang kamu miliki, dari pada kamu dicintai tetapi tidak

memiliki apapun.

Utomo : Aku terdiam namun haiku berbicara. “aku tidak menduga,

kata-kata yang keluar dari bibir indahnya itu sungguh sangat

mempesonaku”.

Hardianti : Kamu ingat apa yang dikatakan oleh seorang Hary Emerson

Fosdick dalam sebuah bukunya. Beliau mengajarkan kita

tentang konsep hidup yang sangat sederhanya, yakni seorang

yang memilih untuk berperan dan memulai yang akan

dimainkan adalah orang yang akan menentukan bagaimana

harus berakhirnya. Tetapi kamu juga harus mengingat suatu

hal, kalau kail panjang sejengkal jangan laut hendak diduga.

Utomo : Aku balik bertanya kepadanya, mengapa aku tidak boleh

melampaui batasku ? bukankah seharusnya itu yang aku

lakukan untuk menggapai anginku ?

Hardianti : aku tidak menginginkannya.

Utomo : mengapa kamu tidak menginginkannya, apa pedulimu

kepadaku. (aku mulai naik pitam)

Hardianti : Because Ich Lieben Dich. (berlari meninggalkanku)

Page 8: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Aku terdiam seolah aku ini adalah sebuah pupet. Dibawah sebuah pupet

master yang bernama cinta. Tidak aku sangka ternyata dia punya rasa yang sama

seperti apa yang selama ini aku rasakan. Tetapi aku tetap mengerti akan keadaan ini,

lebih baik aku tidak menghiraukan ini. Mentari kembali pada peraduannya karena

sudah lelah hari ini menemaniku. Aku bergegas pergi ke rumah, menemui ibuku yang

mungkin sudah menyiapkan sesuatu untukku.

Sesampainya di Rumah, aku membersihkan tubuhku karena seharian telah

banyak bermain dengan anginku. Setelah itu aku menemui ibuku, karena ingin

memberi tahuku sesuatu.

Utomo : Ibu, ada apa gerangan ibu memanggilku ? sepertinya ada yang harus

di bicarakan ?

Ibu : Ia mas, ibu harus memberi taumu tentang satu hal ini.

Utomo : Apa ibu itu emangnya ?

Ibu : Ibu nempaknya tidak bsa menyekolahkanmu lebih tinggi lagi mas,

ibu tidak memiliki uang.

Utomo : Aku terbujur kaku, seolah jantungku berhenti berdetak. Aku

menangis dan berlari sekencang mungkin keluar dari Rumah menuju

Bukit tempatku mencurahkan semuanya.

Aku berteriak dan menangis, “Tuhan, mengapa Enggau kejam, tidak adil

dengan apa yang Engkau berikan kepada orang-orang seprtiku, sebenarnya Engkau

juga tahu tujuanku begitu mulia, tetapi mengapa ini bisa terjadi kepadaku”. Aku

termenung dibawah sinar rembulan yang menyinari malam itu. Namun sayang aku

tidak dapat menikmati indahnya rembulan karena hatiku yang blum bisa menerima

keadaan yang tidak adil ini. Aku berbaring dan menghentikan tangisanku,

memandang langit yang penuh dengan bintang. Aku lihat bintang kejora yang

Page 9: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

berbeda dengan yang lainnya karena lebih terang diantara yang lainnya. Dari situ aku

mendapat inspirasi baruku, “berbeda itu sangat wajar, mungkin aku tidak perlu

meneruskan sekolahku. Namun aku tidak akan menjadi apa-apa jika aku tidak

bejuang dan hanya berbaging saja disini. Aku harus berjuang demi masa depanku,

agar dapat menjadi bintang yang paling terang diantara bintang terang lainnya.

Layaknya bintang kejora, dengan perbedaan ini justru akan terasa sangat indah.”. aku

sangat ingat dengan apa yang diucapkan oleh Confucius, “orang yang melakukan

kesalahan dan tidak mencari jawaban, maka ia melakukan satu kesalahan lagi”. Sejak

ini aku putuskan untuk menjadi seorang pemain bukan seorang penonton semata.

Sinar mentari yang baru keluar dari peraduannya menyadarkanku, kalau aku

terlalu lama barda disini. Aku terbangun mendengar indah kicauan burung. Udara

yang sangat sejuk membuatku kembali ke renunganku, menyadari tentang keindahan

Tuhan. Aku sadar apa yang aku lakukan semalam ternyata salah dan mungkin

menyakitkan ibuku. Aku kembali ke Rumah untuk meminta maaf kepada ibuku. Ibu

maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk melukai perasaan ibu. Ibu hanya tersenyum

memandangku, kemudian berkata “mandilah mas tubuhmu terlihat sangat kotor”.

Setelah menyelesaikan mandi aku meminta izin kepada ibuku untuk pergi

bersama temanku yang kebetulan sudah lulus dari dua tahun yang lalu untuk bekerja

bersamanya.

Utomo : Ibu aku mau pamit pergi ke Kota untuk mencari pengalaman.

Ibu : Memang kamu mau kerja apa mas ?

Utomo : Aku mau menjadi kodektur saja ibu, ikut mecari nafkah bersama

Febi.

Ibu : Lalu dengan apa kamu akan pergi ke kota ? Ibu tidak memiliki uang

untuk memberimu ongkos kesana.

Page 10: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Utomo : Ibu tidak perlu khawatir tentang itu, Febi akan pulang dan

menjemputku.

Ibu : Yasudah baiklah ibu tidak bisa melarangmu.

Utomo : terimakasih ibu

Setelah itu aku kembali mengunjungi Bukit Angin milikku, aku duduk di

bawah rindangnya pohon dan mulai menulis semua kehidupan di kertas. Aku mulai

berfikir untuk tulisanku dan aku kembali bermain dengan anganku. Bayak kegagalan

yang tercipta di dunia ini karena mereka tidak mau memulai apa yang mereka

inginkan. Aku membulatkan tekatku untuk memberanikan diriku mengunjungi kota,

aku yakin tangan yang menggenggam tidak mungkin menerima.

Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar suara yang tidak asing lagi untukku.

Febi : Hay Tomo, sudah lama juga ya aku tidak menemanimu disini. (dulu

aku dan Febi sering bermain di tempat ini, bahkan sebelum aku ke

tempat ini dia adalah orang yang pertama kesini).

Utomo : Sudah aku duga ternyata itu kau. Memang sudah sangat lama kamu

tidak mengunjungi Desa lagi.

Febi : Apa kabar kamu dan ibumu Tom ?

Utomo : Alhamdulillah baik, kamu sendiri bagaimana ?

Febi : Seperti yang kau lihat kawan aku baik-baik saja.

Utomo : Ayo ke Rumahku, mungkin kamu bisa sejenak beristirahat dan

mungkin saja masih ada makanan yang bisa aku berikan kepadamu

karena aku melihat dari wajahmu yang menunjukan wajah kealaparan.

Febi : Hahaha kamu tahu saja Tomo kalau aku lapar.

Page 11: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Utomo : Ah itu sudah menjadi kelakuanmu. Kamu fikir aku baru mengenalmu

kemarin sore apa.

Kami akhirnya bergegas menuju Rumahku.

Utomo : Ibu lihat siapa tamu yang datang berkunjung kesini ?

Ibu : Memangnya siapa Tomo ? (dari dalam dapur)

Utomo : Lihatlah ibu cepat.

Ibu : Alah-alah ternyata tamu dari kota. Sejak kapan kamu pulang nak ?.

Febi : Baru saja tadi bu, aku langsung mengunjungi Tomo di Bukit. Lalu

Tomo mengajakku pulang katanya ibu masak masakan enak.

Ibu : Ia kebetulan sekali kamu datang jadi kita bertiga bisa memakannya

bersama. Tomo tolong ambilkan makanannya.

Utomo : Baiklah ibu aku akan mengambilkan makanan itu.

Febi : Ibu aku juga mau membantu Tomo mengambilkan makanannya.

Kami menyantap makanan sembari berbincang dan berbagi pengalaman. Febi

memberi tahuku kalau hidup di Kota itu tidaklah semudah menulis di kertas, apa lagi

menjadi seorang supir benar-benar dibutuhkan kesabaran yang sangat besar dan

kepala yang dingin untuk memecahkan masalah. Tetapi tetaplah aku tidak

memperdulikannya selagi itu belum pernah aku alami. Aku tetap membulatkan

tekatku untuk bergabunng bersama Febi. Setelah kami semua selesai makan dan

semua sudah di rapihkan. Tibalah saatnya aku dan Febi pergi meninggalkan ibuku.

Febi : Baiklah ibu saatnya aku harus kembali lagi ke kota. Tomo apakah

kamu sudah mempersiapkan semuanya.

Page 12: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Utomo : Belum, sebentar aku mau mempersiapan beberapa baju terlebih

dahulu.

Ibu : Nak Febi ibu titip Tomo kepadamu ya ?

Febi : Tidak perlu merasa sungkan seperti itu ibu, lagi pula Tomo sudah

aku anggap sebagai adikku sendiri.

Ibu : Syukurlah kalau seperti itu ibu merasa tenang. Ibu boleh meminta

nomor ponselmu Feb ?

Febi : Oh ia ibu silakan 085224……..

Utomo : Aku selesai Feb, Ibu aku meminta doa dan restumu.

Ibu : Pergilah anakku, Ibu tidak akan melarangmu.

Kami : Assalammualaikum

Ibu : Waalaikumussalam

Dengan sangat merindu aku angkatkan kakiku dari Rumah yang aku cintai

dan Desa yang selalu aku banggakan. Aku berjalan di hamparan Kebun Teh, dan

melihat keatas Bukit, seolah aku berada disana sembari berkata, “perjalanan

panjangku dimulai dari satu langkah awalku meninggalkan Desaku yang aku cintai”.

Melewati rumah dari orang yang aku cintai dan berkata, “aku pasti kembali”.

Melalui perjalanan yang amat melelahkan akhirnya aku berhasil sampai ke

Kota. Kota Bandung memang salah satu kota yag di perhitungkan dari dahulu kala

hingga sekarang. Sepanjang perjalanan aku hanya dapat memandang keindahan yang

tercipta di hadapanku. Aku sangat menikmati kehidupanku menjadi seorang kenek

Bus jurusan dalam Kota Bandung. Hari-hariku aku lewati degan memberikan

pelayanan yang memuaskan untuk seluruh penumpangku, mulai dari senyuman, kata-

kata indah dan sebagian lainnnya.

Page 13: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

Selang satu bulan aku berada disini, aku mendapat kabar dari Desa melalui

HP Febi. Ibuku menyuruhku untuk pulang sebentar, katanya ada hal penting yang

harus dibacarakan oleh aku. Kemudian aku meminta Febi mengantarku pulang.

Sesampainya di Rumah yang aku cintai, aku disuruh beristirahat sebentar dan

keesokan harinya harus menghadap majikanku. Tentu saja dia adalah ayah dari

Hardianti.

Keesoan harinya aku dan ibuku mengunjungi kediaman dari Hardianti untuk

menemui majikan kami. Aku merasa sangat ketakutan, aku fikir akan terjadi hal yang

sangat tidak mengenakkan namun aku tetap positive thinking. Ketika kami masuk ke

dalaman kediamannya, aku kaget ternyata majikanku menawarkanku sebuah

behasiswa ke luar negri. Tanpa fikir panjang aku langsung menerima tawaran yang

beliau tawarkan kepadaku.

Setelah melewati tahapan tes yang amat panjang dan berkutat serta melilit,

akhirnya aku berhak menerima behasiswa tersebut. Hanya ada 3 orang yang

menerima behasiswa Oxford University dari beribu orang yang mendaftar dan salah

satu dari 3 orang itu adalah aku. Tak hentinya aku mengucapkan syukur kepada

Tuhan yang menciptakan segala keindahan dibalik kesusahan. Aku takan pernah

menyia-nyiakan apa yang sudah ada di depan mataku. Sekali lagi aku berkata, “angin

aku semakin dekat denganmu”.

6 tahun aku berhasil menyelesaikan studi S-2ku dan kembali untuk mengabdi

kepada negriku. Terutama kepada Desa yang aku cintai. Sesampainya di Desa, aku

mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari warga desa. Aku lihat sudah banyak

perubahan yang dialami oleh Desaku ini. Namun tidak dengan Bukitku. Bukit ini

tidak pernah lekang oleh pandanganku walau aku jauh dari mataku. Aku merebahkan

tubuhku dan melihat keatas langit dan berkata, “angin selangkah lagi aku akan

menggenggammu”. Aku sudah mengajukan surat rekruitment pada Kedutaan Besar

Indonesia untuk Inggris. Tanpa aku sadari disini aku tidak sendiri, Hardianti sudah

Page 14: Cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo

menungguku sejak lama. Ia datang kemari untuk mengucapkan selamat untukku dan

mengajakku untuk menghadiri jamuan makan malam di kediamannya.

Ketika aku menghadiri jamuan ini, aku memberanikan diri untuk meminang

Hardianti. Aku tahu memang sangat keterlaluan namun inilah saat yang tepat untuk

menyatakannya.

Utomo : Tuan, apa aku boleh berbica sesuatu disini ?

Ayah Hardianti : Silakan, memang apa yang ingin kamu bicarakan

Utomo ?

Utomo : Maaf sebelumnya, mungkin saya lancang dan tidak

tahu aturan dan adab tetapi ini sangat ingin aku

katakan. Bolehkah aku menikahi putri anda tuan ?

Ayah Hardianti : Kalau bapa terserah kepada pilihan Hardianti saja.

Bagaimana menurutmu nak ?

Hardianti : Terdiam dan hanya tersipu malu.

Sejak saat itulah ternyata Hardianti menerimaku sebagai suaminya dan

menikah. Kami dikaruniai 3 orang anak, 1 orang pria dan 2 orang wanita. Anak

priaku aku beri nama Angin. Disisi lain aku bekerja di Kedutaan Besar Indonesia

untuk Inggris. Setiap 1 bulan sekali aku mengunjungi orang tuaku, istriku, anak-

anakku dan mertuaku di Desa. Walau aku tahu jarak Indonesia dan Inggris tidak

sedekat dari Desaku ke Kota Bandung. Di Desaku, aku membuat sebuah alat yang

membantu para warga desa. Aku pun tidak melupakan jasa dari seorang sahabatku

Febi, aku mempekerjakannya sebagai seorang mandor yang mengawasi kinerja para

peternak yang aku buka sebagai usaha sambilanku di Desa. Aku berdiri di atas

Bukitku seperti apa yang biasa aku lakukan dan berteriak “angin akhirnya aku dapat

menggenggammu”.