cerpen menggenggem angin nanda sevty utomo
TRANSCRIPT
MENGGENGGAM ANGIN
Pagi yang cerah, beserta fajar yang masih malu-malu keluar dari peraduannya
bersama embun yang masih hinggap pada daun-daun teh dan pepohonan lainnya. Aku
berlari dan bernyanyi dengan penuh ceria dalam bentangan luas hijau kebun teh yang
berada di kanan dan kiriku. Singkat cerita namaku Utomo, aku siswa kelas 12 SMA.
Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat harmonis, namun ketika usiaku menginjak
4 tahun ayahku berpulang ke pangkuan-Nya, meninggalkan aku dan ibuku. Sejak saat
itu aku mulai mengerti akan arti kehilangan seorang yang aku cintai.
Aku berlari ke atas Bukit dengan berangan mengejar angin. Aku memandangi
luasnya kebun teh yang ada di Desaku di bawah sebuah pohon yang sangat rindang.
Aku berjanji dalam diriku, aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk
membahagiakan orang tuaku dan Desaku yang aku cintai ini. Udara Desaku sangat
sejuk, dengan pepohonan yang rindang dan masyarakatnya yang ramah. Dalam
pandanganku aku selalu merasa senang dan gembira tanpa ada rasa takut akan sesuatu
kegagalan. Aku selalu berkata dalam hatiku, “wahai angin aku akan mengejarmu,
sampai kapanpun aku akan berusaha untuk mengejarmu walau aku tau ini tak mudah
untukku”.
Mungkin memang benar aku hanyalah seorang anak desa yang sederhana
dengan kesehariannya hanya belajar dan membantu orang tua di Kebun milik
saudagar kaya raya dari Jakarta. Namun aku yakin dengan penuh semangatku aku
selalu berkata, “anginku” akan aku dapatkan. Sekarang aku sedang menunggu detik-
detik kelulusanku. Setiap hari aku selalu datang ke Kebun teh ini untuk membantu
orang tuaku memetik daun teh yang masih segar dan sesudahnya pergi ke Bukit ini
untuk beristirahat sekedar melepas lelahku degan merebahkan badanku di bawah
pohon itu. Aku selalu memandang langit untuk berangan besar. Namun, sekarang aku
hanya dapat menulis semua yang ada di benak fikiranku di dalam sebuah kertas.
Entah ini hanya anganku atau sekedar imajinasi yang tak mungkin aku capai.
Hari demi hari aku lewati dengan penuh gembira, sampai saat yang aku
nantikan tiba. Hari dimana aku dinyatakan sebagai seseorang siswa yang lulus dari
Ujian Nasional atau tidak. Hatiku sangat kacau, jantungku berdebar dengan sangat
cepat. Layaknya tabuan gendang di dalam suatu medan pertempuran zaman dinasti
kuno dahulu kala. Dari kejauhan aku melihat kerumunan siswa/i di depan Ruang
Kepala Sekolah. Semuanya melihat papan pengumuman dan mengekspresikan
kegembiraan mereka dengan cara bersujud, tertawa bahkan sampai menangis tersedu.
Dengan langkah yang tersendat, akhirnya aku mencoba untuk memberanikan diriku
melihat hasil yang selama ini ingin aku ketahui. Aku mulai mencari namaku dari
urutan terbawah karena aku fikir aku berada di jejeran terbawah dari para murid di
SMAku ini. Jemariku mulai bermain dan mencari keberadaan namaku dari bawah
hingga atas. Maklum saja soal prestasi aku tidak terlalu mendukung, tetapi hanya saja
aku memiliki mimpi yang besar untuk aku wujudkan dan aku yakin itu akan menjadi
kenyataan. Seperi yang dikatakan oleh Eleanor Roosevelt “The future belongs to
those who belive is the beauty of their dreams”. Aku yakin dengan apa yang
dikatakanya itu benar dan aku percaya bahwa masa depan menjadi milik mereka yang
percaya pada keindahan mimpi-mimpi.
Jujur aku merasa bingung, resah gunda gulana karena namaku tidak ada di
paling bawah. Aku langsung syok, rasanya seperti rotasi Bumi ini berhenti berputar,
ruang udara menjadi hampa, pandanganku pun gelap gulita tatkala itu. Dari arah
belakangku ada seseorang yang menepuk bahuku, seakan membuatku tersadar.
Lantas ia membisikan kepadaku, “namamu ada di urutan paling atas, tepat diatas
namaku”. Aku menoleh kepadanya, ternyata yang mengatakan itu kepadaku adalah
Hardianti. Dia adalah wanita paling keren, cantik dan paling pandai di sekolahku.
Setiap laki-laki yang meihatnya aku yakin akan jatuh cinta kepadanya, lantas saja dia
adalah seorang anak dari saudagar kaya yang memiliki Kebun Teh yang setiap hari
aku dan keluargaku kelola. Namun bukan itu yang sebenarnya menjadi daya tarik
yang sesungguhnya dari seorang Hardianti. Dia adalah sesosok keturunan Indo-
Belanda, jadi wajar ketika dia memiliki wajah yang cantik, kulit yang bersih dan
rambut pirang yang teturai indah. Aku sebenarnya memiliki rasa suka kepadanya,
tetapi apalah daya aku hanyalah seorang yang tidak sederajat dengan dia. Aku tidak
terlalu menhiraukan perasaanku kepadanya karena aku fikir banyak hal yang lebih
penting dibandingkan dengan cinta.
Aku melihat pada lembaran kertas dan pada tempat yang ditunjukan kepadaku
tadi, aku tidak percaya ternyata itu benar. Aku melampaui seorang yang tidak pernah
aku bayangkan untuk aku lampaui sebelumnya. Dari sini aku mulai mempercayai
pendapat seorang Einstein yaitu “everything is a miracle”. Maklum aku adalah
seorang yang sering membaca buku-buku tentang kata-kata bijak dari tokoh-tokoh
yang paling berpengaruh di Dunia. Aku sangat senang melihat pemandangan ini,
tanpa sadar aku memeluk Hardianti. Dengan muka yang memerah aku melepaskan
pelukanku, lalu meminta maaf kepada Hardianti.
Utomo : eh,, maafkan aku ya Har ?
Hardianti : (dengan muka yang memerah kemudian mejawab dengan
terpatah-patah) Ia, tidak apa-apa, lagi pula ini tidak sengaja.
Setelah meminta maaf aku berlari dengan penuh semangat memberi tahu
kepada ibuku tercinta. Aku langsung menuju ibuku yang sedang mengumpulkan hasil
petikan daun tehnya di lumbung perkumulan.
Utomo : Ibu aku lulus, aku lulus. (sambil berteriak dari kejauhan)
Ibu : Apa mas, kamu ngomong apa ibumu ga denger kamu ngomong apa ?
Utomo : Terimakasih ibu aku lulus ujian. (langsung sujud di kedua kaki ibu)
Ibu : Allhamdulillah, akhirnya Tuhan mendengarkan doa ibumu ini?
(mengelus kepalaku)
Utomo : Iya ibu, sekali lagi aku mengucapkan terimakasih kepada ibu.
Apa ada yang bisa tomo bantu ibu ?
Ibu : Sudah tidak perlu, mainlah dahulu rayakan dengan teman-teman
seusiamu. Setelah itu cepatlah pulang, ibu menunggumu.
Utomo : Baiklah ibu kalau begitu, assallammualaikum.
Ibu : Waalaikumsallam.
Aku berlari menuju Bukit yang sering aku datang dan aku berteriak dengan
sangat kencang, “aku datang angin, ayah lihatlah kini anakmu sudah beranjak dewasa
dan akan membuktikan kepada Dunia bahwa aku bisa menjadi bagian dari suatu
peradaban”. Lalu aku berbaring dan tertidur sejenak di tempat yang sangat sejuk itu.
Ketika aku terjaga dari tidurku, aku melihat sesosok wanita cantik yang tidak asing
lagi. Ternyata benar dia Hardianti.
Utomo : Sejak kapan non ada disini ?
(Beginilah perjanjian antara aku dan Hardianti, jika si Sekolah
aku tidak boleh memanggilnya nona. Tetapi jika diluar Sekolah
aku boleh memanggilnya nona. Padahal dia sendiri tidak
perrnah menyuruhku untuk memanggilnya nona. Hanya saja
aku sadar siapa aku dan siapa dia).
Hardianti : Sudah mulai sekarang kamu tidak perlu memanggilku nona
segala, panggil saja nama asliku.
Utomo : Tetapi aku tidak enak oleh tuan non jika ketauan.
Hardianti : Hiraukan saja ayahku, aku paling tidak suka dipanggil seperti
itu, coba katakan sekali lagi kepadaku ?
Utomo : Baik non, eh maksudku Hardianti.
Hardianti : Nah seperti ini yang aku inginkan sejak awal aku
mengenalmu, sedang apa kamu disini Tomo ?
Utomo : Aku tadi hanya kebetulan tertidur disini Har.
Hardianti : Bohong, setiap hari kamu kesini. Aku dapat melihatmu dari
kamarku dengan teropong. (memang kenyataannya benar
rumah Hardianti sangatlah luas dan tinggi. Walau hanya di
huni oleh beberapa orang saja. Kedua orang tuanya hanya
setiap akhir pekan mengunjunginya).
Utomo : Baiklah. Aku akan berbicara jujur kepadamu, kamu tau aku
sering menunjukan karya-karya indah di depan kelas. Disinilah
tempatku menumpahkan segala keluh kesahku. Dan
mempresentasikannya di depan kelas, aku bebas berteriak
sesuka hatiku setiap hari. Aku bisa bernyanyi dengan
pepohonan ini, bermain dengan angina dan masih banyak hal
lain yang aku lakukan disini.
Hardianti : Enak sekali hidupmu tomo. Aku selalu terkekang seperti
burung yang ada di dalam sangkarnya. Setiap hari aku hanya
bisa melihatmu dari kejauhan sedang bermain di tempat ini.
Utomo : bukannya di rumahmu enak ya. Rumahmu itu sangat luas.
Mengapa tidak kau jadikan sebagai lahan untuk dijadikan
sebuah permainan yang sangat menyenangkan.
Hardianti : Tidak seperti yang kau bayangkan Tomo, aku hanya ingin
bermain dengan teman seusiaku. Tetapi tidak di dalam
rumahku, aku ingin bermain di alam bebas dan tidak ada yang
dapat mengekangku.
Utomo : Ternyata menjadi anak dari seorang saudagar kaya raya itu
tidak mengasyikkan. Aku baru menyadarinya sekarang, aku
fikir dengan memilki segalanya dan mambeli segalanya aku
bisa merasa puas. Tetapi sebenarrnya itu hanyalah kesenangan
hampa yang tak nyata.
Hardianti : Mengapa kamu diam Tomo ?
Utomo : Tidak Har, tidak. Aku barusan mendapatkan inspirasi baru
untuk masa depanku kelak.
Hardianti : memangnya apa yang tadi kau fikirkan ?
Utomo : Jika aku berhasil mengejar anginku, aku tidak akan
membebani hal-hal yang tidak semestinya aku bebani kepada
anak keturunanku kelak.
Hardianti : Hehehe itu bagus. (Dengan muka yang memerah dia tertawa
kecil). Memangnya apa yang kamu maksud dengan anginmu
itu ?
Utomo : Tidak. Mungkin itu hanya sebuah angan-angan yang tidak
akan pernah aku capai saja Har.
Hardianti : Memangnya kamu ingin menjadi apa ?
Utomo : Seorang Diplomat.
Hardianti : Waw…. (terkejut)
Kamu serius dengan apa yang kamu katakana barusan ?
Utomo : Iya, memangnya kenapa ? Sudah aku duga kamu juga akan
menertawakanku sama seperti yang lainnya.
Hardianti : Memangnya aku tetawa ya Tomo ? Aku tidak tertawa. Untuk
apa aku menertawakanmu ? Bukankah seharusnya kamu
bersyukur. Lebih baik dibenci oleh banyak orang karena
sesuatu yang kamu miliki, dari pada kamu dicintai tetapi tidak
memiliki apapun.
Utomo : Aku terdiam namun haiku berbicara. “aku tidak menduga,
kata-kata yang keluar dari bibir indahnya itu sungguh sangat
mempesonaku”.
Hardianti : Kamu ingat apa yang dikatakan oleh seorang Hary Emerson
Fosdick dalam sebuah bukunya. Beliau mengajarkan kita
tentang konsep hidup yang sangat sederhanya, yakni seorang
yang memilih untuk berperan dan memulai yang akan
dimainkan adalah orang yang akan menentukan bagaimana
harus berakhirnya. Tetapi kamu juga harus mengingat suatu
hal, kalau kail panjang sejengkal jangan laut hendak diduga.
Utomo : Aku balik bertanya kepadanya, mengapa aku tidak boleh
melampaui batasku ? bukankah seharusnya itu yang aku
lakukan untuk menggapai anginku ?
Hardianti : aku tidak menginginkannya.
Utomo : mengapa kamu tidak menginginkannya, apa pedulimu
kepadaku. (aku mulai naik pitam)
Hardianti : Because Ich Lieben Dich. (berlari meninggalkanku)
Aku terdiam seolah aku ini adalah sebuah pupet. Dibawah sebuah pupet
master yang bernama cinta. Tidak aku sangka ternyata dia punya rasa yang sama
seperti apa yang selama ini aku rasakan. Tetapi aku tetap mengerti akan keadaan ini,
lebih baik aku tidak menghiraukan ini. Mentari kembali pada peraduannya karena
sudah lelah hari ini menemaniku. Aku bergegas pergi ke rumah, menemui ibuku yang
mungkin sudah menyiapkan sesuatu untukku.
Sesampainya di Rumah, aku membersihkan tubuhku karena seharian telah
banyak bermain dengan anginku. Setelah itu aku menemui ibuku, karena ingin
memberi tahuku sesuatu.
Utomo : Ibu, ada apa gerangan ibu memanggilku ? sepertinya ada yang harus
di bicarakan ?
Ibu : Ia mas, ibu harus memberi taumu tentang satu hal ini.
Utomo : Apa ibu itu emangnya ?
Ibu : Ibu nempaknya tidak bsa menyekolahkanmu lebih tinggi lagi mas,
ibu tidak memiliki uang.
Utomo : Aku terbujur kaku, seolah jantungku berhenti berdetak. Aku
menangis dan berlari sekencang mungkin keluar dari Rumah menuju
Bukit tempatku mencurahkan semuanya.
Aku berteriak dan menangis, “Tuhan, mengapa Enggau kejam, tidak adil
dengan apa yang Engkau berikan kepada orang-orang seprtiku, sebenarnya Engkau
juga tahu tujuanku begitu mulia, tetapi mengapa ini bisa terjadi kepadaku”. Aku
termenung dibawah sinar rembulan yang menyinari malam itu. Namun sayang aku
tidak dapat menikmati indahnya rembulan karena hatiku yang blum bisa menerima
keadaan yang tidak adil ini. Aku berbaring dan menghentikan tangisanku,
memandang langit yang penuh dengan bintang. Aku lihat bintang kejora yang
berbeda dengan yang lainnya karena lebih terang diantara yang lainnya. Dari situ aku
mendapat inspirasi baruku, “berbeda itu sangat wajar, mungkin aku tidak perlu
meneruskan sekolahku. Namun aku tidak akan menjadi apa-apa jika aku tidak
bejuang dan hanya berbaging saja disini. Aku harus berjuang demi masa depanku,
agar dapat menjadi bintang yang paling terang diantara bintang terang lainnya.
Layaknya bintang kejora, dengan perbedaan ini justru akan terasa sangat indah.”. aku
sangat ingat dengan apa yang diucapkan oleh Confucius, “orang yang melakukan
kesalahan dan tidak mencari jawaban, maka ia melakukan satu kesalahan lagi”. Sejak
ini aku putuskan untuk menjadi seorang pemain bukan seorang penonton semata.
Sinar mentari yang baru keluar dari peraduannya menyadarkanku, kalau aku
terlalu lama barda disini. Aku terbangun mendengar indah kicauan burung. Udara
yang sangat sejuk membuatku kembali ke renunganku, menyadari tentang keindahan
Tuhan. Aku sadar apa yang aku lakukan semalam ternyata salah dan mungkin
menyakitkan ibuku. Aku kembali ke Rumah untuk meminta maaf kepada ibuku. Ibu
maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk melukai perasaan ibu. Ibu hanya tersenyum
memandangku, kemudian berkata “mandilah mas tubuhmu terlihat sangat kotor”.
Setelah menyelesaikan mandi aku meminta izin kepada ibuku untuk pergi
bersama temanku yang kebetulan sudah lulus dari dua tahun yang lalu untuk bekerja
bersamanya.
Utomo : Ibu aku mau pamit pergi ke Kota untuk mencari pengalaman.
Ibu : Memang kamu mau kerja apa mas ?
Utomo : Aku mau menjadi kodektur saja ibu, ikut mecari nafkah bersama
Febi.
Ibu : Lalu dengan apa kamu akan pergi ke kota ? Ibu tidak memiliki uang
untuk memberimu ongkos kesana.
Utomo : Ibu tidak perlu khawatir tentang itu, Febi akan pulang dan
menjemputku.
Ibu : Yasudah baiklah ibu tidak bisa melarangmu.
Utomo : terimakasih ibu
Setelah itu aku kembali mengunjungi Bukit Angin milikku, aku duduk di
bawah rindangnya pohon dan mulai menulis semua kehidupan di kertas. Aku mulai
berfikir untuk tulisanku dan aku kembali bermain dengan anganku. Bayak kegagalan
yang tercipta di dunia ini karena mereka tidak mau memulai apa yang mereka
inginkan. Aku membulatkan tekatku untuk memberanikan diriku mengunjungi kota,
aku yakin tangan yang menggenggam tidak mungkin menerima.
Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar suara yang tidak asing lagi untukku.
Febi : Hay Tomo, sudah lama juga ya aku tidak menemanimu disini. (dulu
aku dan Febi sering bermain di tempat ini, bahkan sebelum aku ke
tempat ini dia adalah orang yang pertama kesini).
Utomo : Sudah aku duga ternyata itu kau. Memang sudah sangat lama kamu
tidak mengunjungi Desa lagi.
Febi : Apa kabar kamu dan ibumu Tom ?
Utomo : Alhamdulillah baik, kamu sendiri bagaimana ?
Febi : Seperti yang kau lihat kawan aku baik-baik saja.
Utomo : Ayo ke Rumahku, mungkin kamu bisa sejenak beristirahat dan
mungkin saja masih ada makanan yang bisa aku berikan kepadamu
karena aku melihat dari wajahmu yang menunjukan wajah kealaparan.
Febi : Hahaha kamu tahu saja Tomo kalau aku lapar.
Utomo : Ah itu sudah menjadi kelakuanmu. Kamu fikir aku baru mengenalmu
kemarin sore apa.
Kami akhirnya bergegas menuju Rumahku.
Utomo : Ibu lihat siapa tamu yang datang berkunjung kesini ?
Ibu : Memangnya siapa Tomo ? (dari dalam dapur)
Utomo : Lihatlah ibu cepat.
Ibu : Alah-alah ternyata tamu dari kota. Sejak kapan kamu pulang nak ?.
Febi : Baru saja tadi bu, aku langsung mengunjungi Tomo di Bukit. Lalu
Tomo mengajakku pulang katanya ibu masak masakan enak.
Ibu : Ia kebetulan sekali kamu datang jadi kita bertiga bisa memakannya
bersama. Tomo tolong ambilkan makanannya.
Utomo : Baiklah ibu aku akan mengambilkan makanan itu.
Febi : Ibu aku juga mau membantu Tomo mengambilkan makanannya.
Kami menyantap makanan sembari berbincang dan berbagi pengalaman. Febi
memberi tahuku kalau hidup di Kota itu tidaklah semudah menulis di kertas, apa lagi
menjadi seorang supir benar-benar dibutuhkan kesabaran yang sangat besar dan
kepala yang dingin untuk memecahkan masalah. Tetapi tetaplah aku tidak
memperdulikannya selagi itu belum pernah aku alami. Aku tetap membulatkan
tekatku untuk bergabunng bersama Febi. Setelah kami semua selesai makan dan
semua sudah di rapihkan. Tibalah saatnya aku dan Febi pergi meninggalkan ibuku.
Febi : Baiklah ibu saatnya aku harus kembali lagi ke kota. Tomo apakah
kamu sudah mempersiapkan semuanya.
Utomo : Belum, sebentar aku mau mempersiapan beberapa baju terlebih
dahulu.
Ibu : Nak Febi ibu titip Tomo kepadamu ya ?
Febi : Tidak perlu merasa sungkan seperti itu ibu, lagi pula Tomo sudah
aku anggap sebagai adikku sendiri.
Ibu : Syukurlah kalau seperti itu ibu merasa tenang. Ibu boleh meminta
nomor ponselmu Feb ?
Febi : Oh ia ibu silakan 085224……..
Utomo : Aku selesai Feb, Ibu aku meminta doa dan restumu.
Ibu : Pergilah anakku, Ibu tidak akan melarangmu.
Kami : Assalammualaikum
Ibu : Waalaikumussalam
Dengan sangat merindu aku angkatkan kakiku dari Rumah yang aku cintai
dan Desa yang selalu aku banggakan. Aku berjalan di hamparan Kebun Teh, dan
melihat keatas Bukit, seolah aku berada disana sembari berkata, “perjalanan
panjangku dimulai dari satu langkah awalku meninggalkan Desaku yang aku cintai”.
Melewati rumah dari orang yang aku cintai dan berkata, “aku pasti kembali”.
Melalui perjalanan yang amat melelahkan akhirnya aku berhasil sampai ke
Kota. Kota Bandung memang salah satu kota yag di perhitungkan dari dahulu kala
hingga sekarang. Sepanjang perjalanan aku hanya dapat memandang keindahan yang
tercipta di hadapanku. Aku sangat menikmati kehidupanku menjadi seorang kenek
Bus jurusan dalam Kota Bandung. Hari-hariku aku lewati degan memberikan
pelayanan yang memuaskan untuk seluruh penumpangku, mulai dari senyuman, kata-
kata indah dan sebagian lainnnya.
Selang satu bulan aku berada disini, aku mendapat kabar dari Desa melalui
HP Febi. Ibuku menyuruhku untuk pulang sebentar, katanya ada hal penting yang
harus dibacarakan oleh aku. Kemudian aku meminta Febi mengantarku pulang.
Sesampainya di Rumah yang aku cintai, aku disuruh beristirahat sebentar dan
keesokan harinya harus menghadap majikanku. Tentu saja dia adalah ayah dari
Hardianti.
Keesoan harinya aku dan ibuku mengunjungi kediaman dari Hardianti untuk
menemui majikan kami. Aku merasa sangat ketakutan, aku fikir akan terjadi hal yang
sangat tidak mengenakkan namun aku tetap positive thinking. Ketika kami masuk ke
dalaman kediamannya, aku kaget ternyata majikanku menawarkanku sebuah
behasiswa ke luar negri. Tanpa fikir panjang aku langsung menerima tawaran yang
beliau tawarkan kepadaku.
Setelah melewati tahapan tes yang amat panjang dan berkutat serta melilit,
akhirnya aku berhak menerima behasiswa tersebut. Hanya ada 3 orang yang
menerima behasiswa Oxford University dari beribu orang yang mendaftar dan salah
satu dari 3 orang itu adalah aku. Tak hentinya aku mengucapkan syukur kepada
Tuhan yang menciptakan segala keindahan dibalik kesusahan. Aku takan pernah
menyia-nyiakan apa yang sudah ada di depan mataku. Sekali lagi aku berkata, “angin
aku semakin dekat denganmu”.
6 tahun aku berhasil menyelesaikan studi S-2ku dan kembali untuk mengabdi
kepada negriku. Terutama kepada Desa yang aku cintai. Sesampainya di Desa, aku
mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari warga desa. Aku lihat sudah banyak
perubahan yang dialami oleh Desaku ini. Namun tidak dengan Bukitku. Bukit ini
tidak pernah lekang oleh pandanganku walau aku jauh dari mataku. Aku merebahkan
tubuhku dan melihat keatas langit dan berkata, “angin selangkah lagi aku akan
menggenggammu”. Aku sudah mengajukan surat rekruitment pada Kedutaan Besar
Indonesia untuk Inggris. Tanpa aku sadari disini aku tidak sendiri, Hardianti sudah
menungguku sejak lama. Ia datang kemari untuk mengucapkan selamat untukku dan
mengajakku untuk menghadiri jamuan makan malam di kediamannya.
Ketika aku menghadiri jamuan ini, aku memberanikan diri untuk meminang
Hardianti. Aku tahu memang sangat keterlaluan namun inilah saat yang tepat untuk
menyatakannya.
Utomo : Tuan, apa aku boleh berbica sesuatu disini ?
Ayah Hardianti : Silakan, memang apa yang ingin kamu bicarakan
Utomo ?
Utomo : Maaf sebelumnya, mungkin saya lancang dan tidak
tahu aturan dan adab tetapi ini sangat ingin aku
katakan. Bolehkah aku menikahi putri anda tuan ?
Ayah Hardianti : Kalau bapa terserah kepada pilihan Hardianti saja.
Bagaimana menurutmu nak ?
Hardianti : Terdiam dan hanya tersipu malu.
Sejak saat itulah ternyata Hardianti menerimaku sebagai suaminya dan
menikah. Kami dikaruniai 3 orang anak, 1 orang pria dan 2 orang wanita. Anak
priaku aku beri nama Angin. Disisi lain aku bekerja di Kedutaan Besar Indonesia
untuk Inggris. Setiap 1 bulan sekali aku mengunjungi orang tuaku, istriku, anak-
anakku dan mertuaku di Desa. Walau aku tahu jarak Indonesia dan Inggris tidak
sedekat dari Desaku ke Kota Bandung. Di Desaku, aku membuat sebuah alat yang
membantu para warga desa. Aku pun tidak melupakan jasa dari seorang sahabatku
Febi, aku mempekerjakannya sebagai seorang mandor yang mengawasi kinerja para
peternak yang aku buka sebagai usaha sambilanku di Desa. Aku berdiri di atas
Bukitku seperti apa yang biasa aku lakukan dan berteriak “angin akhirnya aku dapat
menggenggammu”.