case report sn dr asna
DESCRIPTION
sikaatTRANSCRIPT
CASE REPORT II
“SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK”
Oleh:
Pradipta Sih Utami, S.Ked
J500090025
Pembimbing:
dr. Asna Rosida, Sp.PD
KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
1
CASE REPORT II
“SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK”
Yang diajukan Oleh :
Pradipta Sih Utami
J500 090 025
Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Dokter
Pada hari , tanggal 2013
Pembimbing :
dr. Asna Rosida, Sp.PD (...........................)
Dipresentasikan dihadapan :
dr. Asna Rosida, Sp.PD (...........................)
Kabag. Profesi Dokter dr. Dona Dewi Nirlawati (...........................)
KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
2
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Nn. H
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Sukorejo, Ponorogo
Pekerjaan : Wiraswasta
Status perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal rawat di RS : 7 Agustus 2013
Tanggal pemeriksaan : 12 Agustus 2013
II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan aloanamnesis
pada tanggal 12 Agustus 2013.
A. Keluhan Utama
Badan bengkak-bengkak.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS dr. Hardjono dengan keluhan badan bengkak-
bengkak. Keluahan dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Awalnya muncul
bengkak pada wajah terlebih dahulu. Pasien juga mengeluh mual dan
nafsu makan menurun. Pasien merasa lemas SMRS. Pasien tidak
mengeluh demam, pusing, dan batuk. BAK normal berwarna kuning,
tidak ada darah ataupun lendir. BAB dalam batas normal.
3
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat diabetes melitus : disangkal
3. Riwayat penyakit jantung : disangkal
4. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
5. Riwayat penyakit liver : disangkal
6. Riwayat maag : disangkal
7. Riwayat atopi : disangkal
8. Riwayat opname : disangkal
9. Riwayat trauma : disangkal
10. Riwayat penyakit serupa : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat penyakit serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes melitus : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat atopi : disangkal
E. Riwayat Pribadi
1. Merokok : diakui
2. Konsumsi alkohol : disangkal
3. Konsumsi obat bebas : dsangkal
4. Konsumsi jamu : disangkal
5. Konsumsi kopi : disangkal
6. Makan tidak teratur : disangkal
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama orang tuanya. Kegiatan sehari- hari sebagai
wiraswasta. Pasien berobat dengan fasilitas Jamkesmas.
4
III. PEMERIKSAAN FISIK (12 Agustus 2013)
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : komposmentis, E4 V5M6
Vital Sign :
Tekanan darah : 130/90 mmHg(berbaring, pada lengan kanan)
Nadi : 90x/menit (isi dan tegangan cukup), irama reguler
Respiratory rate : 20x/menit tipe thorakoabdominal
Suhu : 36,50C per aksiler
A. Kulit
Ikterik (-), petekie (-),akne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), bekas
garukan (-), kulit kering(-), kulit hiperemis (-), sikatrik bekas operasi,
edema (+)
B. Kepala
1. Rambut
Rambut rontok (-)
2. Mata
Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3
mm, reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).
3. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
4. Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-).
5. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), hiperpigmentasi
(-), lidah tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-), luka
pada langit-langit mulut (-).
C. Leher
leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea (-), JVP R0,
pembesaran kelenjar limfe (-).
D. Thorak
5
1. Paru
- Inspeksi: kelainan bentuk (-), simetris (+), ketinggalan gerak (-),
retraksi otot-otot bantu pernapasan (-), spider nervi (-).
- Palpasi :
Ketinggalan gerak
DepanBelakang
- - - -
- - - -
- - - -
Fremitus
Depan Belakang
6
N N N N
N N N N
N N N N
- Perkusi :
Depan Belakang
S S S S
S S S S
S S S S
S:sonor
- Auskultasi :
Suara dasar vesikuler
Depan Belakang
+ + + +
+ + + +
+ + + +
Suara tambahan: wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
2. Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak.
- Palpasi : iktus kordis kuat angkat.
- Perkusi : batas jantung.
Batas kiri jantung
Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra.
Batas kanan jantun g
Atas : SIC II linea parasternalis dextra.
Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra.
7
- Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, bising(-), gallop
(-).
3. Abdomen
- Inspeksi : dinding abdomen sejajar dengan dinding dada,
distended (-), caput medusa (-).
- Auskultasi : peristaltik (+) normal.
- Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-).
- Palpasi : defans muskuler (-),nyeri tekan (+) regio epigastrika.
Nyeri t ekan
- - -
- - -
- - -
4. Pinggang
Nyeri ketok kostovertebra (-/-).
5. Ekstremitas
- Superior : clubbing finger(-),palmar eritema (-), edema (+),akral
hangat (-).
- Inferior : clubbing finger(-), palmar eritema(-), edema (+), akral
hangat (-).
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan darah rutin (tanggal 7 Agustus 2013)
PemeriksaanHasil
Satuan Nilai Normal7-08-2013
Leukosit 13,5 103 ul 4.0-10.0
Limfosit# 1,3 103 ul 0.8-4
Mid# 0,5 103 ul 0.1-0.9
Granulosit# 11,7 103 ul 2-7
8
Limfosit% 9,4 % 20-40
Mid% 4,2 % 3-9
Granulosit% 86,4 % 50-70
Hemoglobin 15,3 gr/dl 11.0-16.0
Eritrosit 5,39 106ul 3.50-5.50
Hematokrit 48,8 % 37-50
Indeks eritrosit
MCV
MCH
MCHC
90,7
28,3
31,3
fl
pg
g/dl
82-95
27-31
32-36
Trombosit 334 103 ul 100-300
Gula darah
sewaktu
217 mg/dl <140
B. Pemeriksaan kimia darah (tanggal 7 Agustus 2013)
PemeriksaanHasil
SatuanNilai
Normal07-08-2013
DBIL 0,05 mg/dl 0-0.35
TBIL 0,21 mg/dl 0.2-1.2
SGOT 17,6 uI 0-31
SGPT 13,9 uI 0-31
ALP 203 mg/dl 98-279
Gama GT 23,4 mg/dl 8-34
Total protein 7,8 g/dl 6.6-8.3
Albumin 1,6 mg/dl 3.5-5.5
Globulin 2,5 g/dl 2-3.9
Urea 45,88 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,4 mg/dl 0.7-1.2
Asam urat 9,4 g/dl 3.4-7
Kolesterol 377 mg/dl 140-200
9
Trigliserid 170 mg/dl 36-165
HDL 30 mg/dl 35-150
LDL 276 mg/dl 0-190
C. EKG
a. Frekuensi : 86 x/menit
10
b. Ritme : reguler
c. Jenis irama : sinus
d. Aksis : normal
e. Morfologi gelombang :gelombang P selalu diikuti gelombang QRS
dan T, interval PR 0,16 detik, gelombang QRS 0,08 detik.
D. Pemeriksaan Urin Lengkap tanggal 10 Agustus 2013
Makroskopis
a. Warna : Kuning muda
b. Kejernihan : Jernih
c. BJ : 1,015 (1,005-1,030)
d. PH : 6,0 (4,5-8,0)
e. Blood : - (Negatif)
f. Bilirubin : - (Negatif)
g. Urobilinogen : - (Negatif)
h. Keton : - (Negatif)
i. Protein : +++ (Negatif)
j. Nitrit : - (Negatif)
k. Glucosa : - (Negatif)
Mikroskopis
a. Eritrosit : - (0-1/LP)
b. Leukosit : 2-4 (0-2/LP)
c. Epitel : 2-3 (0-2/LP)
d. Silinder : - (Negatif)
e. Parasit : - (Negatif)
f. Jamur : - (Negatif)
g. Bakteri : - (Negatif)
h. Kristal : amorf (Negatif)
11
V. RESUME/ DAFTAR ABNORMALITAS (yang ditemukan positif)
A. Anamnesis
1. Bengkak di badan, awalnya di wajah
2. Mual
3. Nafsu makan menurun
4. lemas
B. Pemeriksaan
1. Vital sign
Tekanan darah :130/90 mmHg (berbaring, pada lengan kanan).
Nadi :90 x/menit (isi dan tegangan cukup), iramareguler.
RR :20 x/menit tipe thorakoabdominal
Suhu :36,50C per aksiler
2. Pemeriksaan fisik
Edema pada wajah dan ekstremitas.
3. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Leukosit 13,5 103 ul 4,0 – 10,0
Granulosit % 86,4 % 50-70
Trombosit 334 103 100-300
MCHC 31,3 gr/dl 32-36
4. Pemeriksaan kimia darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Asam urat 9,4 mg/dl 2,4-6,1
Albumin 1,6 g/dl 3,5-5
Trigliserid 170 mg/dl 36-165
CHOL 377 mg/dl 140-200
LDL 276 mg/dl 0-190
5. Pemeriksaan urine lengkap
Protein : +++ (negatif)
12
Leukosit : 2-4 (0-2/LP)
Epithel : 2-3 (0-2/LP)
Kristal : Amorf (negatif)
VI. POMR (Problem Oriented Medical Record)
Daftar
AbnormalitasProblem Assesment
Planning
DiagnosaPlanning Terapi
Planning
Monitoring
Bengkak di
wajah dan
badan, mual,
nafsu makan
menurun,
lemas
Albumin : 1,6
Asam urat : 9,4
Kolesterol :
377
Trigliserid :
170
LDL : 276
Urine :
proteinuria (++
+)
Hipoalbumin
Hiperkolesterolemia
Hiperlipidemia
Dislipidemia
Proteinuria
edema
Sindrom
Nefrotik
USG
Abdomen
- Inf PZ 20 tpm
- Ranitidin 2x1 amp
- Simvastatin 1x 10
mg
- Albapure 20%
100cc
- Furosemid 1-0-0
- Dexametason 3x1
-Klinis
-Vital sign
-kimia
darah
-UL
13
FOLLOW UP
Date Subject Object Assesment Therapy
8/8/13 - Bengkak
di
wajah,
dan
badan
- Mual
- Lemas
- Nafsu
makan
menurun
KU: lemah KS: CM
T: 120/80 N: 86 x/menit
RR:20 S: 36
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-),
edema
Thorak: dbn.
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: edema
Lab:
Albumin : 1,6
Asam urat : 9,4
Kolesterol : 377
Trigliserid : 170
LDL : 276
Hipoalbumin
Sindrom
nefrotik
- Inf PZ 10 tpm
- Inj ranitidin 2x1
amp
- Inj dexametason
3x1 amp
- Inj farsix 1-0-0
9/8/13 - Bengkak
di
wajah,
dan
badan
- Mual
- Lemas
- Nafsu
makan
menurun
KU: lemah KS: CM
T: 120/80 N: 86 x/menit
RR:20 S: 36
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-),
edema
Thorak: dbn.
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: edema
Hipoalbumin
Sindrom
nefrotik
- Inf PZ 10 tpm
- Inj ranitidin 2x1
amp
- Inj dexametason
3x1 amp
- Inj farsix 1-0-0
10/8/13 Edema di
wajah sdh
hilang,
mual (-),
KU: sedang KS: CM
T: 120/80 N: 80
RR: 20 S: 36,5
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-),
Hipoalbumin
Sindrom
nefrotik
- Inf PZ 10 tpm
- Inj ranitidin 2x1
amp
- Inj dexametason
14
BAK
normal
edema (-)
Thorak: dbn
Abdomen: dbn, NT (-)
Ekstremitas: dbn, edema (-)
3x1 amp
Farsix off
11/8/13 Keluhan
sudah
tidak ada,
BAB
lembek,
BAK
normal
KU: baik KS: CM
T: 110/80 N: 72
RR: 20 S: 36,6
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-).
Thorak: dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas: dbn
UL:
Protein : +++ (negatif)
Leukosit : 2-4 (0-2/LP)
Epithel : 2-3 (0-2/LP)
Kristal : Amorf (negatif)
Sindrom
Nefrotik
- Inf PZ 10 tpm
- Inj ranitidin 2x1
amp
- Inj dexametason
3x1 amp
12/8/13 Keluhan
sdh tdk
ada, BAK
normal,
BAB
normal
KU: baik KS: CM
T: 130/90 N: 80
RR: 20 S: 36,5
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-).
Thorak: dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas: dbn
Sinrom
Nefrotik
- Inf PZ 10 tpm
- Inj ranitidin 2x1
amp
- Inj dexametason
3x1 amp
- Inj furosemid 1-0-0
- Simvastatin 1x10
mg
- Captopril 3x 6,25
- Inj albumin
TINJAUAN PUSTAKA
15
SINDROM NEFROTIK
I. DEFINISI1.2
Sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala, yang bercirikan
hilangnya protein (albumin) melalui ginjal (urin) dalam jumlah cukup
banyak, yang berhubungan dengan disfungsi ginjal. Penyakit ini mudah
dikenali dengan adanya berbagai macam gejala klinis yang terdiri dari (1).
proteinuria massif (≥3,5 g/ 1,73 m2/ 24 jam pada orang dewasa atau 40
mg/m²/jam pada anak-anak), (2). hipoalbuminemia (<3,5 g/dl), (3). edema
(penumpukan cairan dalam jaringan di seluruh badan), dan (4).
hiperlipidemia (>250 mg/dl). Adakalanya diikuti dengan gejala lain seperti
lipiduria, hiperkoagubilitas, hematuri, hipertensi, atau menurunnya fungsi
ginjal.
II. EPIDEMIOLOGI1.2
Sindroma nefrotik adalah gangguan yang dapat terjadi baik pada orang
dewasa maupun pada anak-anak, tetapi umumnya anak-anak lebih sering terjadi
15 kali lipat daripada orang dewasa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan, dengan rasio 2:1. Meskipun penyakit ini tidak bersifat
herediter, ada kecenderungan yang berhubungan dengan keluarga pada 2-8%
pasien dari penyakit ini dan cenderung terjadi pada keluarga yang mempunyai
riwayat alergi.
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom
nefrotik primer, yang merupakan 90 % dari kasus anak, sedangkan sindrom bila
timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau
toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Dan bila sindrom nefrotik tidak
diketahui penyebabnya maka disebut sindrom nefrotik idiopatik.
III. FREKUENSI1.2
16
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada
orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur
rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada
dewasa 3/1000.000/tahun.
Sindroma nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak
disebabkan oleh diabetes mellitus
IV. ETIOLOGI1.2
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer
dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung
(connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik
seperti tercantum pada table dibawah.
Tabel Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik:
I. Glomerulonefritis primer:
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)
- GN membranosa (GNMN)
- Gn membranoproliferatif (GNMP)
- GN proliferative lain
II. Glomerulonefritis sekunder akibat:
Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan
17
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma
multiple, dan karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid, MCTD (mixed
connective tissue disease)
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid, air
raksa, kaptopril, heroin.
Lain-lain :
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab
sindroma nefrotik yang paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis
primer, glomerulonefritis lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS), glomerulonefritis membranosa (GNMN), dan
glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan
histopatologik yang sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien
sindroma nefrotik dewasa yang dikumpulkan di jakarta antara 1990-1999
dan representatif untuk dilaporkan, GNLM didapatkan pada 44,7%,
GNMSP pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan GNMN
pada 6,5%.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya
pada glomerulonefrotis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus
hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi nonsteroid atau
preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus
eritematosus sistemik dan diabetes mellitus.
18
V. PATOFISIOLOGI
Untuk mengetahui apa itu sindroma nefrotik, mari kita mengerti
secara singkat dulu struktur dan fungsi dari ginjal. Ginjal adalah organ
yang berbentuk seperti dua kacang yang ditemukan di punggung bagian
bawah. Ukuran dari ginjal ini sebesar kepalan tangan. Ginjal seperti
penyaring tubuh, yang memindahkan kotoran atau sampah dari darah
melalui urin dan mengembalikan darah bersih ke tubuh. Tiap ginjal ini
memiliki jutaan unit untuk menyaring darah yang disebut glomerolus.
Glomerolus adalah pembuluh darah kecil yang membentuk hubungan
melalui ginjal dimana darahnya disaring untuk membuang kelebihan air
dan sampah-sampah. Ketika ginjal bekerja dengan baik, ginjal
membersihakan darah dan membuang sampah-sampah tubuh, kelebihan
garam, dan air. Tetapi, saat ginjal sakit, ginjal dapat membuang apa saja
yang tubuh perlukan untuk disimpan, seperti protein dan sel darah.
Gbr . Anatomi ginjal
Arsitektur normal dari glomerolus mencegah terbuangnya sebagian
besar protein melalui urin dan menahan protein di dalam darah. Yang
19
mendasari gangguan dari sindrom nefrotik adalah peningkatan
permeabilitas dari dinding kapiler glomerolus, yang memicu terjadinya
proteinuria massif dan hipoalbuminemia. Penyebab meningkatnya
permeabilitas tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Pada sebagian besar
kejadian, kehilangan protein melalui urin memicu terjadinya
hipoalbuminemia, yang menyebabkan menurunnya tekanan onkotik
plasma dan terjadinya transudasi cairan dari intravaskular ke ruang
interstitial, sehingga terjadi edema dan menurunnya tekanan perfusi renal.
Hal tersebut mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron , yang
merangsang reabsorbsi natrium di tubulus. Volume intravaskular yang
berkurang juga merangsang pelepasan hormon ADH (Anti Diuretik
Hormon) .
Pada tipe kelainan minimal, meningkatnya permeabilitas kapiler
juga tidak sepenuhnya dapat dimengerti, namun diyakini adanya gangguan
imun dimana sel-T melepaskan sitokin, yang merusak foot processes epitel
glomeruli. Hal ini menyebabkan bocornya albumin di ginjal. Salah satu
fungsi protein ialah untuk menahan penyerapan plasma dari peredaran
darah ke jaringan-jaringan tubuh. Jadi dengan kekurangan albumin di
dalam darah maka pembengkakan (edema) akan tetap berlaku.
20
Gbr. Glomerulus
PROTEINURIA
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN,
sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder.
Proteinuria dinyatakan “berat” untuk membedakan dengan proteinuria
yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Ekskresi
protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan,
dianggap proteinuria berat.
21
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi
bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM (kelainan
minimal) protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan
disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus
yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein
dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria
non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara
sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000)
dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari
0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio
rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.
Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak
sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal)
dengan pemeriksaan ini sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
HIPOALBUMINEMIA
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari
sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal
dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin,
degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan
SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini bukan merupakan korelasi yang
ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak
responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampir
normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju
sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak
menurun, bahkan meningkat atau normal.
Pada keadaan hipoalbuminemia yang menetap, konsentrasi
albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya
22
ekskresi dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin
(terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus
renal) yang melampaui daya sintesis hati.
KELAINAN METABOLISME LIPID
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia & hiperlipidemia dan
kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan kelainan metabolisme.
Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan
kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien
dengan hipoalbuminemia ringan.
Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah
(VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-
kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya
normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio
kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada
hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang
meningkat atau karena degradasi yang menurun.
Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan
meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui
jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi
pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini
rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas
lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat
hilangnya α-glikoprotein asam sebagai perangsang lipase.
Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid
ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik
albumin serumnya. Lipid dapat juga ditemukan di dalam urin dalam
bentuk titik lemak oval dan maltese cross.
23
EDEMA
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi natrium dan
edema pada sindrom nefrotik
1. Hipotesis Underfill
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory)
adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan
cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas
kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan
volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume
sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi
24
natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan
tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai
peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus
menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma
dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya
mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin
plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini
tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN.
2. Hipotesis Overfill
Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada tubulus
primer di ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi natrium
(primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi
akibat overfilling cairan ke jaringan interstitial. Pada hipotesis ini karena
terjadi hipervolemia, sistem RAA atau aldosteron akan menurun.
Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus resisten
terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung sehingga terjadi
edema. (lihat gambr).
Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe
nefrotik dan tipe nefritik. Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe
nefrotik dan yang paling sering terjadi pada SN kelainan minimal
(minimal change nephrotic syndrome = MCNS). Tipe nefrotik ditandai
dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG)
masih baik dengan kadar albumin yang rendah. Kelompok ke dua
(overfill) disebut tipe nefritis biasanya di jumpai pada SN bukan kelainan
minimal (BKM) atau glomerulonefritis kronik. SN bukan kelainan
minimal pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain
25
adanya hipervolemia juga sering di jumpai hipertensi, kadar renin dan
aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang
dinamis dan mungkin saja kedua proses tersebut berlangsung bersamaan
atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis
penyakit gromerulus mungkin satu kombinasi rangsangan yang lebih dari
satu.
VI. MANIFESTASI KLINIS
Di masa lalu masyarakat menganggap penyakit SN ini adalah
edema. Nafsu makan yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan
gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang
sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga dianggap
gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun dengan pengobatan
kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN secara drastis, tapi
masalah salah satu efek samping obat terutama bagi anak-anak yang tidak
responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak
dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini bebas
edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan
kortikosteroid.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya
edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun
edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu merupakan
masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responder dan pada
mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Kelompok ini hampir
berjumlah ¼ dari semua pasien dengan SN primer. Edema umumnya
terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orang tua
penderita atau penderitanya sendiri sebelum dokter melihat pasien untuk
pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau
bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul
26
kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh
cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjad menyeluruh, yaitu ke
pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya
menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua anak atau
pasiennya sering mengeluh berat badan tidak mau naik, namun kemudian
mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak
diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada anak
dengan SN disebutkan bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis
kelainan glomerulusnya. Tampaknya sekarang pola timbulnya edema
bervariasi pada pasien dengan berbagai kelainan glomerulus. Pada anak
dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam
beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan intermiten pada
kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN membrano-
proliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan
lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada
tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada awal perjalanan
penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada
edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang
menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit
secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah
mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan
skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini
mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi
sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN.
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan
ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya
adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat,
27
atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh.
Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini
tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat
disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang
nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu
makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga
sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin
mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN
non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat terjadi
hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi
pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi
gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat
furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada
penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak
yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa
bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien,
namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan
diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya. Kecemasan orang
tua dan perawatan yang sering dan lama menyebabkan anak berkembang
menjadi berdikari dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan nasibnya.
Perkembangan dunia sosial anak menjadi terbatas. Anak dengan SN ini
akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan membentuk pengertian
dan bayangan yang salah mengenai penyakitnya. Para dokter yang sadar
28
akan masalah ini dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha
mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan
keluarganya serta berusaha menolong mengurangi cacat, kekhawatiran dan
beban pikiran.
Gangguan Saluran Kemih
Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal
karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal.
Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi
secara tiba-tiba. Dan biasanya air kemihnya berbusa.
Gangguan Darah
Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko
terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di
dalam vena ginjal yang utama.
Di lain pihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan perdarahan
hebat.
Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat
penderita berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan
syok). Tekanan darah pada penderita dewasa bisa rendah, normal ataupun
tinggi. Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak
paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes dan
penyakit jaringan ikat.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuri masif (≥3,5 g/1,73 m2 luas permukaan
tubuh/hari), hipoalbuminemi (<3,5 g/dl) karena protein vital ini dibuang
melalui urin dan pembentukannya terganggu, edema ( kadar natrium
dalam urin rendah dan kadar kalium dalam urin tinggi ), hiperlipidemi,
lipiduri dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venografi
29
diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi
akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis
kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon
terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya
sendiri atau sebagai akibat pengobatan :
Infeksi
Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis
Perubahan hormon dan mineral
Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Peritonitis
Anemia
Gangguan tubulus renal
IX. PENGOBATAN
Terapi Sindroma Nefrotik Dasar Glomerulonefritis13,14
Pengobatan pada glomerulonefritis terdiri dari terapi spesifik
( ditujukan pada penyebab ) dan terapi non spesifik ( menghambat
progresivitas penyakit). Pemantauan klinik yang regular, kontrol tekanan
darah dan proteinuria dengan ACE-I atau AIIRA terbukti bermanfaat.
Pengaturan asupan protein dan kontrol lemak darah dapat membantu
menghambat progresivitas GN. Efektifitas penggunaan obat imunosupresif
GN masih belum seragam. Pertimbangan terapi imunosupresif didasarkan
atas diagnosis GN, faktor pasien, efek samping dan faktor prognosis
Pengobatan kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN
secara drastis, tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi
anak-anak yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan
30
kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90%
anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah
pengobatan awal dengan kortikosteroid. Cara kerja kortikosteroid pada
GN adalah menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-1 alfa atau TN alfa
dan aktifitas transkripsi NFkB yang berperan pada pathogenesis GN.
Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai
40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap.
Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati
membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik
untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak
mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis
ini.
Terapi Kortikosteroid sebagai Imunosupresif
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian
dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps,
terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah
prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu
diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90%
pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun
50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid
dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada
kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam
dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per
24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :
a. Remisi lengkap
proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
albumin serum >3 g/dl
kolesterol serum < 300 mg/dl
31
diuresis lancar dan edema hilang
b. Remisi parsial
proteinuri <3,5 g/hari
albumin serum >2,5 g/dl
kolesterol serum <350 mg/dl
diuresis kurang lancar dan masih edema
c. Resisten
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan
setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus
SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN
nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal
segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid
jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes melitus.
Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten
terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid
atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada
kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari
selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum
tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan
lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg
bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia
dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada
nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan
klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat
mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon
sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4
tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah
metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral
selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.
32
ACE-I atau ARB Mengatasi Proteinuri
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk
mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis
rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi
non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg.
Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi
protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus
dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik
obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat
dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat
memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis
interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi
molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI
dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada
glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya
edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun
edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu merupakan
masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responder dan pada
mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Kelompok ini hampir
berjumlah ¼ dari semua pasien dengan SN primer
OAINS Mengatasi Proteinuri
Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien
nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk
menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi
ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan
mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi
kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi
trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS
33
menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien.
Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.
Terapi Imunosupresif Lain
Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi
siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian
kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun
(setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat
juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang
gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah
hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis.
Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5
mg/kgBB/hari selama 12 bulan.
Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat
imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu
mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat
proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi
dari sel B dan ekspresi molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot
polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan
berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan
remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.
Terapi Gizi pada Sindrom Nefrotik
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri
dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari.
Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan
jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri
berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen
menurun.Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram
natrium/hari).
Terapi Mengatasi Oedema
34
Diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau
tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada
pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan
200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat
multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya
transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein
urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien
demikian dapat diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan terapi
ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi
glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus
albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat
diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan
bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.
Terapi Anti Hiperlipidemia
Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya
aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan
penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase
yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan
paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat,
klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit
menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa
karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot
dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan
kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam
nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika
dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif
menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini
tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang
memperburuk defisiensi vitamin D pada SN. Golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
35
Pencegahan Hiperkoagulabilitas
Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli
yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati
membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100
mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.
Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan
fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan
selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau
keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin
intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3
bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan
pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali
kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT)
yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3
kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia
pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat
disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi
digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus
seperti campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya
hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik
(setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini
pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat
dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien
glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal,
15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh
adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang
meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A
menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena
glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN
36
sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan
faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang
meningkatkan permeabilitas glomerulus.
X. PROGNOSIS
Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia
penderita dan jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan
mikroskopik pada biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika
penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya infeksi atau
kanker) atau obat-obatan. Prognosis biasanya baik jika penyebabnya
memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid. Anak-anak yang
lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1 tahun,
beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau
pencangkokan ginjal.
Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik
akibat glomerulonefritis yang ringan; 90% penderita anak-anak dan
dewasa memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang
berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat
kambuhan. Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.
Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis membranosa terutama
terjadi pada dewasa dan pada 50% penderita yang berusia diatas 15 tahun,
penyakit ini secara perlahan akan berkembang menjadi gagal ginjal. 50%
penderita lainnya mengalami kesembuhan atau memiliki proteinuria
menetap tetapi dengan fungsi ginjal yang adekuat. Pada anak-anak dengan
glomerulonefritis membranosa, proteinuria akan hilang secara total dan
spontan dalam waktu 5 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis.
Sindroma nefrotik familial dan glomerulonefritis
membranoproliferatif memberikan respon yang buruk terhadap
pengobatan dan prognosisnya tidak terlalu baik. Lebih dari separuh
penderita sindroma nefrotik familial meninggal dalam waktu 10 tahun.
37
Pada 20% pendeita prognosisnya lebih buruk, yaitu terjadi gagal ginjal
yang berat dalam waktu 2 tahun. Pada 50% penderita, glomerulonefritis
membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal dalam waktu 10
tahun. Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan
perbaikan.
Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis proliferatif mesangial
sama sekali tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Pengobatan
pada sindroma nefrotik akibat lupus eritematosus sistemik, amiloidosis
atau kencing manis, terutama ditujukan untuk mengurangi gejalanya.
Pengobatan terbaru untuk lupus bisa mengurangi gejala dan memperbaiki
hasil pemeriksaan yang abnormal, tetapi pada sebagian besar penderita
terjadi gagal ginjal yang progresif. Pada penderita kencing manis, penyakit
ginjal yang berat biasanya akan timbul dalam waktu 3-5 tahun.
38
PEMBAHASAN
Pada kasus ini ada seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke
RS, dengan keluhan badan bengkak-bengkak, yang awalnya bengkak di
wajah. Selain itu juga mengeluh mual, lemas, dan nafsu makannya
menurun. Dari pemeriksaan laboratorium, diperoleh kadar serum albumin
1,6 g/dl (hipoalbuminemia), Trigliserida 170 mg/dl, Kolesterol 377 mg/dl
(hiperkolesterolemia), LDL 276 mg/dl (hiperlipidemia). Pada tanggal 10
Agustus 2013 dilakukan pemeriksaan urine lengkap dan hasilnya terdapat
protein (+++) dalam urine (proteinuria).
Dari anamnesis dan pemeriksaan laboratorium mendukung
ditegakkannya diagnosa Sindrom Nefrotik. Dan hal ini sesuai dengan
definisi dari sindrom nefrotik yaitu keadaan klinis yang terdiri dari edema
generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia
(hiperkolesterolemia) dan proteinuia.
Penyebab utama terjadinya Sindrom Nefrotik pada pasien ini
tidak diketahui (idiopatik) dan sesuai teori di atas diduga tipe dari lesi
glomerularnya adalah minimal change disease (MCD )atau GN lesi
minimal (GNML). Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe dari SN ini
adalah dengan melakukan biopsi ginjal.
Pada pasien ini terdapat protein (+++) dalam urine (proteinemia)
hal ini disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM
ditemukan proteinuria selektif yaitu protein yang keluar terdiri dari
molekul kecil misalnya albumin. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik
disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan
39
onkotik plasma. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan
reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
Pasien mengeluh bengkak (edema) di badan yang awalnya
bengkak hanya di wajah. Hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke
jaringan interstisium dan terjadinya edema (teori underfill). Sedangkan
teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema.
Kolesterol serum, low density lipoprotein (LDL), trigliserida
meningkat, sedangkan high density lipoprotein (HDL) menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme
di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron
dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.
Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa
dengan diet TKTPRG (tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam) dan
tirah baring. Sedangkan secara medikamentosa dengan pemberian diuretik
berupa furosemid dengan dosis 1 mg/kgbb/hr. Hal ini dapat membantu
mengontrol edema. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan.
Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/kg BB/ hari dapat mengurangi
proteinuria. Untuk menurunkan kadar kolesterol, LDL, trigliserid, dan
meningkatkan HDL dapat diberikan obat golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin.
Pasien ini dirawat inap selama 7 hari dan dilanjutkan rawat jalan.
Pada saat rawat jalan, pasien dianjurkan untuk tidak konsumsi makanan
40
yang banyak mengandung garam serta makanan yang berlemak, dan lebih
banyak konsumsi makanan yang mengandung protein seperti putih telur,
tahu dan tempe serta sayur dan buah-buahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiguno Prodjosudjadi. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II : Edisi ke V. Penerbit Interna Publishing FKUI,
Jakarta.2010 ; 999 – 1007
2. Wiguno Prodjosudjadi. Glomerulonefritis. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II : Edisi ke V. Penerbit Interna Publishing FKUI. Jakarta.
2010 ; 969 – 978
3. Darmawan John, Remisi lengkap proteinuria dan remisi bebas-terapi
sindrom nefrotik, Majalah kedokteran Indonesia, Vol: 50, No.6, Juni 2000,
hal: 312-316.
4. Hutagalung. P, Sindrom nefrotik, Majalah Kedokteran FK. UKI XVIII,
No. 44, Jakarta, September 2000, hal: 1-10.
5. Pardede O. Sudung, Sindrom Nefrotik Infantil, Cermin Dunia Kedokteran
No. 134, Jakarta, 2002, hal: 32-38.
6. Arif Mansjoer dkk. Sindrom Nefrotik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.
Media Aesculapius.2000. hal 459-461.
7. Alatas, Husein dkk, Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2002, Jakarta, hlm. 381 – 422.
8. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M, Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2006,
hlm929-933.
41
9. Patrick Davey, At a Glance Medicine, Penerbit Erlangga, 2006, hlm 244-
245.
10. HARRISON,S PRINCIPLE OF INTERNAL MEDICINE 16th edition
1674-1706
11. www.emedicine.com\nephroticsyndrome.html. diakses tanggal 14
Agustus, 2013.
42