case report sn dr asna

60
CASE REPORT II “SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK” Oleh: Pradipta Sih Utami, S.Ked J500090025 Pembimbing: dr. Asna Rosida, Sp.PD KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 1

Upload: ekki-anggariksa

Post on 14-Apr-2016

29 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

sikaat

TRANSCRIPT

Page 1: Case Report Sn Dr Asna

CASE REPORT II

“SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK”

Oleh:

Pradipta Sih Utami, S.Ked

J500090025

Pembimbing:

dr. Asna Rosida, Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD DR. HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013

1

Page 2: Case Report Sn Dr Asna

CASE REPORT II

“SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK”

Yang diajukan Oleh :

Pradipta Sih Utami

J500 090 025

Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Dokter

Pada hari , tanggal 2013

Pembimbing :

dr. Asna Rosida, Sp.PD (...........................)

Dipresentasikan dihadapan :

dr. Asna Rosida, Sp.PD (...........................)

Kabag. Profesi Dokter dr. Dona Dewi Nirlawati (...........................)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD DR. HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013

2

Page 3: Case Report Sn Dr Asna

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Nn. H

Umur : 22 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Alamat : Sukorejo, Ponorogo

Pekerjaan : Wiraswasta

Status perkawinan : Belum menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Tanggal rawat di RS : 7 Agustus 2013

Tanggal pemeriksaan : 12 Agustus 2013

II. ANAMNESIS

Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan aloanamnesis

pada tanggal 12 Agustus 2013.

A. Keluhan Utama

Badan bengkak-bengkak.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS dr. Hardjono dengan keluhan badan bengkak-

bengkak. Keluahan dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Awalnya muncul

bengkak pada wajah terlebih dahulu. Pasien juga mengeluh mual dan

nafsu makan menurun. Pasien merasa lemas SMRS. Pasien tidak

mengeluh demam, pusing, dan batuk. BAK normal berwarna kuning,

tidak ada darah ataupun lendir. BAB dalam batas normal.

3

Page 4: Case Report Sn Dr Asna

C. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi : disangkal

2. Riwayat diabetes melitus : disangkal

3. Riwayat penyakit jantung : disangkal

4. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

5. Riwayat penyakit liver : disangkal

6. Riwayat maag : disangkal

7. Riwayat atopi : disangkal

8. Riwayat opname : disangkal

9. Riwayat trauma : disangkal

10. Riwayat penyakit serupa : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat penyakit serupa : disangkal

2. Riwayat hipertensi : disangkal

3. Riwayat diabetes melitus : disangkal

4. Riwayat penyakit jantung : disangkal

5. Riwayat atopi : disangkal

E. Riwayat Pribadi

1. Merokok : diakui

2. Konsumsi alkohol : disangkal

3. Konsumsi obat bebas : dsangkal

4. Konsumsi jamu : disangkal

5. Konsumsi kopi : disangkal

6. Makan tidak teratur : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien tinggal bersama orang tuanya. Kegiatan sehari- hari sebagai

wiraswasta. Pasien berobat dengan fasilitas Jamkesmas.

4

Page 5: Case Report Sn Dr Asna

III. PEMERIKSAAN FISIK (12 Agustus 2013)

Keadaan umum : lemah

Kesadaran : komposmentis, E4 V5M6

Vital Sign :

Tekanan darah : 130/90 mmHg(berbaring, pada lengan kanan)

Nadi : 90x/menit (isi dan tegangan cukup), irama reguler

Respiratory rate : 20x/menit tipe thorakoabdominal

Suhu : 36,50C per aksiler

A. Kulit

Ikterik (-), petekie (-),akne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), bekas

garukan (-), kulit kering(-), kulit hiperemis (-), sikatrik bekas operasi,

edema (+)

B. Kepala

1. Rambut

Rambut rontok (-)

2. Mata

Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-/-),

perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3

mm, reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).

3. Hidung

Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).

4. Telinga

Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-).

5. Mulut

Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), hiperpigmentasi

(-), lidah tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-), luka

pada langit-langit mulut (-).

C. Leher

leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea (-), JVP R0,

pembesaran kelenjar limfe (-).

D. Thorak

5

Page 6: Case Report Sn Dr Asna

1. Paru

- Inspeksi: kelainan bentuk (-), simetris (+), ketinggalan gerak (-),

retraksi otot-otot bantu pernapasan (-), spider nervi (-).

- Palpasi :

Ketinggalan gerak

DepanBelakang

- - - -

- - - -

- - - -

Fremitus

Depan Belakang

6

Page 7: Case Report Sn Dr Asna

N N N N

N N N N

N N N N

- Perkusi :

Depan Belakang

S S S S

S S S S

S S S S

S:sonor

- Auskultasi :

Suara dasar vesikuler

Depan Belakang

+ + + +

+ + + +

+ + + +

Suara tambahan: wheezing (-/-), ronkhi (-/-).

2. Jantung

- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak.

- Palpasi : iktus kordis kuat angkat.

- Perkusi : batas jantung.

Batas kiri jantung

Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.

Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra.

Batas kanan jantun g

Atas : SIC II linea parasternalis dextra.

Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra.

7

Page 8: Case Report Sn Dr Asna

- Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, bising(-), gallop

(-).

3. Abdomen

- Inspeksi : dinding abdomen sejajar dengan dinding dada,

distended (-), caput medusa (-).

- Auskultasi : peristaltik (+) normal.

- Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-), hepatomegali (-),

splenomegali (-).

- Palpasi : defans muskuler (-),nyeri tekan (+) regio epigastrika.

Nyeri t ekan

- - -

- - -

- - -

4. Pinggang

Nyeri ketok kostovertebra (-/-).

5. Ekstremitas

- Superior : clubbing finger(-),palmar eritema (-), edema (+),akral

hangat (-).

- Inferior : clubbing finger(-), palmar eritema(-), edema (+), akral

hangat (-).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan darah rutin (tanggal 7 Agustus 2013)

PemeriksaanHasil

Satuan Nilai Normal7-08-2013

Leukosit 13,5 103 ul 4.0-10.0

Limfosit# 1,3 103 ul 0.8-4

Mid# 0,5 103 ul 0.1-0.9

Granulosit# 11,7 103 ul 2-7

8

Page 9: Case Report Sn Dr Asna

Limfosit% 9,4 % 20-40

Mid% 4,2 % 3-9

Granulosit% 86,4 % 50-70

Hemoglobin 15,3 gr/dl 11.0-16.0

Eritrosit 5,39 106ul 3.50-5.50

Hematokrit 48,8 % 37-50

Indeks eritrosit

MCV

MCH

MCHC

90,7

28,3

31,3

fl

pg

g/dl

82-95

27-31

32-36

Trombosit 334 103 ul 100-300

Gula darah

sewaktu

217 mg/dl <140

B. Pemeriksaan kimia darah (tanggal 7 Agustus 2013)

PemeriksaanHasil

SatuanNilai

Normal07-08-2013

DBIL 0,05 mg/dl 0-0.35

TBIL 0,21 mg/dl 0.2-1.2

SGOT 17,6 uI 0-31

SGPT 13,9 uI 0-31

ALP 203 mg/dl 98-279

Gama GT 23,4 mg/dl 8-34

Total protein 7,8 g/dl 6.6-8.3

Albumin 1,6 mg/dl 3.5-5.5

Globulin 2,5 g/dl 2-3.9

Urea 45,88 mg/dl 10-50

Kreatinin 1,4 mg/dl 0.7-1.2

Asam urat 9,4 g/dl 3.4-7

Kolesterol 377 mg/dl 140-200

9

Page 10: Case Report Sn Dr Asna

Trigliserid 170 mg/dl 36-165

HDL 30 mg/dl 35-150

LDL 276 mg/dl 0-190

C. EKG

a. Frekuensi : 86 x/menit

10

Page 11: Case Report Sn Dr Asna

b. Ritme : reguler

c. Jenis irama : sinus

d. Aksis : normal

e. Morfologi gelombang :gelombang P selalu diikuti gelombang QRS

dan T, interval PR 0,16 detik, gelombang QRS 0,08 detik.

D. Pemeriksaan Urin Lengkap tanggal 10 Agustus 2013

Makroskopis

a. Warna : Kuning muda

b. Kejernihan : Jernih

c. BJ : 1,015 (1,005-1,030)

d. PH : 6,0 (4,5-8,0)

e. Blood : - (Negatif)

f. Bilirubin : - (Negatif)

g. Urobilinogen : - (Negatif)

h. Keton : - (Negatif)

i. Protein : +++ (Negatif)

j. Nitrit : - (Negatif)

k. Glucosa : - (Negatif)

Mikroskopis

a. Eritrosit : - (0-1/LP)

b. Leukosit : 2-4 (0-2/LP)

c. Epitel : 2-3 (0-2/LP)

d. Silinder : - (Negatif)

e. Parasit : - (Negatif)

f. Jamur : - (Negatif)

g. Bakteri : - (Negatif)

h. Kristal : amorf (Negatif)

11

Page 12: Case Report Sn Dr Asna

V. RESUME/ DAFTAR ABNORMALITAS (yang ditemukan positif)

A. Anamnesis

1. Bengkak di badan, awalnya di wajah

2. Mual

3. Nafsu makan menurun

4. lemas

B. Pemeriksaan

1. Vital sign

Tekanan darah :130/90 mmHg (berbaring, pada lengan kanan).

Nadi :90 x/menit (isi dan tegangan cukup), iramareguler.

RR :20 x/menit tipe thorakoabdominal

Suhu :36,50C per aksiler

2. Pemeriksaan fisik

Edema pada wajah dan ekstremitas.

3. Pemeriksaan darah rutin

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

Leukosit 13,5 103 ul 4,0 – 10,0

Granulosit % 86,4 % 50-70

Trombosit 334 103 100-300

MCHC 31,3 gr/dl 32-36

4. Pemeriksaan kimia darah

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

Asam urat 9,4 mg/dl 2,4-6,1

Albumin 1,6 g/dl 3,5-5

Trigliserid 170 mg/dl 36-165

CHOL 377 mg/dl 140-200

LDL 276 mg/dl 0-190

5. Pemeriksaan urine lengkap

Protein : +++ (negatif)

12

Page 13: Case Report Sn Dr Asna

Leukosit : 2-4 (0-2/LP)

Epithel : 2-3 (0-2/LP)

Kristal : Amorf (negatif)

VI. POMR (Problem Oriented Medical Record)

Daftar

AbnormalitasProblem Assesment

Planning

DiagnosaPlanning Terapi

Planning

Monitoring

Bengkak di

wajah dan

badan, mual,

nafsu makan

menurun,

lemas

Albumin : 1,6

Asam urat : 9,4

Kolesterol :

377

Trigliserid :

170

LDL : 276

Urine :

proteinuria (++

+)

Hipoalbumin

Hiperkolesterolemia

Hiperlipidemia

Dislipidemia

Proteinuria

edema

Sindrom

Nefrotik

USG

Abdomen

- Inf PZ 20 tpm

- Ranitidin 2x1 amp

- Simvastatin 1x 10

mg

- Albapure 20%

100cc

- Furosemid 1-0-0

- Dexametason 3x1

-Klinis

-Vital sign

-kimia

darah

-UL

13

Page 14: Case Report Sn Dr Asna

FOLLOW UP

Date Subject Object Assesment Therapy

8/8/13 - Bengkak

di

wajah,

dan

badan

- Mual

- Lemas

- Nafsu

makan

menurun

KU: lemah KS: CM

T: 120/80 N: 86 x/menit

RR:20 S: 36

K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-),

edema

Thorak: dbn.

Abdomen: peristaltik (+)

Ekstremitas: edema

Lab:

Albumin : 1,6

Asam urat : 9,4

Kolesterol : 377

Trigliserid : 170

LDL : 276

Hipoalbumin

Sindrom

nefrotik

- Inf PZ 10 tpm

- Inj ranitidin 2x1

amp

- Inj dexametason

3x1 amp

- Inj farsix 1-0-0

9/8/13 - Bengkak

di

wajah,

dan

badan

- Mual

- Lemas

- Nafsu

makan

menurun

KU: lemah KS: CM

T: 120/80 N: 86 x/menit

RR:20 S: 36

K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-),

edema

Thorak: dbn.

Abdomen: peristaltik (+)

Ekstremitas: edema

Hipoalbumin

Sindrom

nefrotik

- Inf PZ 10 tpm

- Inj ranitidin 2x1

amp

- Inj dexametason

3x1 amp

- Inj farsix 1-0-0

10/8/13 Edema di

wajah sdh

hilang,

mual (-),

KU: sedang KS: CM

T: 120/80 N: 80

RR: 20 S: 36,5

K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-),

Hipoalbumin

Sindrom

nefrotik

- Inf PZ 10 tpm

- Inj ranitidin 2x1

amp

- Inj dexametason

14

Page 15: Case Report Sn Dr Asna

BAK

normal

edema (-)

Thorak: dbn

Abdomen: dbn, NT (-)

Ekstremitas: dbn, edema (-)

3x1 amp

Farsix off

11/8/13 Keluhan

sudah

tidak ada,

BAB

lembek,

BAK

normal

KU: baik KS: CM

T: 110/80 N: 72

RR: 20 S: 36,6

K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-).

Thorak: dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas: dbn

UL:

Protein : +++ (negatif)

Leukosit : 2-4 (0-2/LP)

Epithel : 2-3 (0-2/LP)

Kristal : Amorf (negatif)

Sindrom

Nefrotik

- Inf PZ 10 tpm

- Inj ranitidin 2x1

amp

- Inj dexametason

3x1 amp

12/8/13 Keluhan

sdh tdk

ada, BAK

normal,

BAB

normal

KU: baik KS: CM

T: 130/90 N: 80

RR: 20 S: 36,5

K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-).

Thorak: dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas: dbn

Sinrom

Nefrotik

- Inf PZ 10 tpm

- Inj ranitidin 2x1

amp

- Inj dexametason

3x1 amp

- Inj furosemid 1-0-0

- Simvastatin 1x10

mg

- Captopril 3x 6,25

- Inj albumin

TINJAUAN PUSTAKA

15

Page 16: Case Report Sn Dr Asna

SINDROM NEFROTIK

I. DEFINISI1.2

Sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala, yang bercirikan

hilangnya protein (albumin) melalui ginjal (urin) dalam jumlah cukup

banyak, yang berhubungan dengan disfungsi ginjal. Penyakit ini mudah

dikenali dengan adanya berbagai macam gejala klinis yang terdiri dari (1).

proteinuria massif (≥3,5 g/ 1,73 m2/ 24 jam pada orang dewasa atau 40

mg/m²/jam pada anak-anak), (2). hipoalbuminemia (<3,5 g/dl), (3). edema

(penumpukan cairan dalam jaringan di seluruh badan), dan (4).

hiperlipidemia (>250 mg/dl). Adakalanya diikuti dengan gejala lain seperti

lipiduria, hiperkoagubilitas, hematuri, hipertensi, atau menurunnya fungsi

ginjal.

II. EPIDEMIOLOGI1.2

Sindroma nefrotik adalah gangguan yang dapat terjadi baik pada orang

dewasa maupun pada anak-anak, tetapi umumnya anak-anak lebih sering terjadi

15 kali lipat daripada orang dewasa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki

daripada perempuan, dengan rasio 2:1. Meskipun penyakit ini tidak bersifat

herediter, ada kecenderungan yang berhubungan dengan keluarga pada 2-8%

pasien dari penyakit ini dan cenderung terjadi pada keluarga yang mempunyai

riwayat alergi.

Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom

nefrotik primer, yang merupakan 90 % dari kasus anak, sedangkan sindrom bila

timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau

toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Dan bila sindrom nefrotik tidak

diketahui penyebabnya maka disebut sindrom nefrotik idiopatik.

III. FREKUENSI1.2

16

Page 17: Case Report Sn Dr Asna

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).

Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi

minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat

diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada

orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur

rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.

Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada

dewasa 3/1000.000/tahun.

Sindroma nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak

disebabkan oleh diabetes mellitus

IV. ETIOLOGI1.2

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer

dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung

(connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik

seperti tercantum pada table dibawah.

Tabel Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik:

I. Glomerulonefritis primer:

- GN lesi minimal (GNLM)

- Glomerulosklerosis fokal (GSF)

- GN membranosa (GNMN)

- Gn membranoproliferatif (GNMP)

- GN proliferative lain

II. Glomerulonefritis sekunder akibat:

Infeksi

- HIV, hepatitis virus B dan C

- Sifilis, malaria, skistosoma

- Tuberkulosis, lepra

Keganasan

17

Page 18: Case Report Sn Dr Asna

Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma

multiple, dan karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan penghubung

Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid, MCTD (mixed

connective tissue disease)

Efek obat dan toksin

Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid, air

raksa, kaptopril, heroin.

Lain-lain :

Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik,

refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab

sindroma nefrotik yang paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis

primer, glomerulonefritis lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal

segmental (GSFS), glomerulonefritis membranosa (GNMN), dan

glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan

histopatologik yang sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien

sindroma nefrotik dewasa yang dikumpulkan di jakarta antara 1990-1999

dan representatif untuk dilaporkan, GNLM didapatkan pada 44,7%,

GNMSP pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan GNMN

pada 6,5%.

Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya

pada glomerulonefrotis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus

hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi nonsteroid atau

preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus

eritematosus sistemik dan diabetes mellitus.

18

Page 19: Case Report Sn Dr Asna

V. PATOFISIOLOGI

Untuk mengetahui apa itu sindroma nefrotik, mari kita mengerti

secara singkat dulu struktur dan fungsi dari ginjal. Ginjal adalah organ

yang berbentuk seperti dua kacang yang ditemukan di punggung bagian

bawah. Ukuran dari ginjal ini sebesar kepalan tangan. Ginjal seperti

penyaring tubuh, yang memindahkan kotoran atau sampah dari darah

melalui urin dan mengembalikan darah bersih ke tubuh. Tiap ginjal ini

memiliki jutaan unit untuk menyaring darah yang disebut glomerolus.

Glomerolus adalah pembuluh darah kecil yang membentuk hubungan

melalui ginjal dimana darahnya disaring untuk membuang kelebihan air

dan sampah-sampah. Ketika ginjal bekerja dengan baik, ginjal

membersihakan darah dan membuang sampah-sampah tubuh, kelebihan

garam, dan air. Tetapi, saat ginjal sakit, ginjal dapat membuang apa saja

yang tubuh perlukan untuk disimpan, seperti protein dan sel darah.

Gbr . Anatomi ginjal

Arsitektur normal dari glomerolus mencegah terbuangnya sebagian

besar protein melalui urin dan menahan protein di dalam darah. Yang

19

Page 20: Case Report Sn Dr Asna

mendasari gangguan dari sindrom nefrotik adalah peningkatan

permeabilitas dari dinding kapiler glomerolus, yang memicu terjadinya

proteinuria massif dan hipoalbuminemia. Penyebab meningkatnya

permeabilitas tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Pada sebagian besar

kejadian, kehilangan protein melalui urin memicu terjadinya

hipoalbuminemia, yang menyebabkan menurunnya tekanan onkotik

plasma dan terjadinya transudasi cairan dari intravaskular ke ruang

interstitial, sehingga terjadi edema dan menurunnya tekanan perfusi renal.

Hal tersebut mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron , yang

merangsang reabsorbsi natrium di tubulus. Volume intravaskular yang

berkurang juga merangsang pelepasan hormon ADH (Anti Diuretik

Hormon) .

Pada tipe kelainan minimal, meningkatnya permeabilitas kapiler

juga tidak sepenuhnya dapat dimengerti, namun diyakini adanya gangguan

imun dimana sel-T melepaskan sitokin, yang merusak foot processes epitel

glomeruli. Hal ini menyebabkan bocornya albumin di ginjal. Salah satu

fungsi protein ialah untuk menahan penyerapan plasma dari peredaran

darah ke jaringan-jaringan tubuh. Jadi dengan kekurangan albumin di

dalam darah maka pembengkakan (edema) akan tetap berlaku.

20

Page 21: Case Report Sn Dr Asna

Gbr. Glomerulus

PROTEINURIA

Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN,

sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder.

Proteinuria dinyatakan “berat” untuk membedakan dengan proteinuria

yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Ekskresi

protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan,

dianggap proteinuria berat.

21

Page 22: Case Report Sn Dr Asna

Selektivitas protein

Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi

bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM (kelainan

minimal) protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan

disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus

yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein

dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria

non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara

sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000)

dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari

0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio

rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.

Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak

sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal)

dengan pemeriksaan ini sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

HIPOALBUMINEMIA

Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari

sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal

dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin,

degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan

SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat

hipoalbuminemia. Namun keadaan ini bukan merupakan korelasi yang

ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak

responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampir

normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju

sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak

menurun, bahkan meningkat atau normal.

Pada keadaan hipoalbuminemia yang menetap, konsentrasi

albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya

22

Page 23: Case Report Sn Dr Asna

ekskresi dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin

(terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus

renal) yang melampaui daya sintesis hati.

KELAINAN METABOLISME LIPID

Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia & hiperlipidemia dan

kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan kelainan metabolisme.

Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan

kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien

dengan hipoalbuminemia ringan.

Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah

(VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-

kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya

normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio

kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada

hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang

meningkat atau karena degradasi yang menurun.

Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan

meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui

jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi

pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini

rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas

lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat

hilangnya α-glikoprotein asam sebagai perangsang lipase.

Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan

ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid

ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik

albumin serumnya. Lipid dapat juga ditemukan di dalam urin dalam

bentuk titik lemak oval dan maltese cross.

23

Page 24: Case Report Sn Dr Asna

EDEMA

Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi natrium dan

edema pada sindrom nefrotik

1. Hipotesis Underfill

Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory)

adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan

cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas

kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan

hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan

onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan

meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang

intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan

volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume

sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif

merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi

24

Page 25: Case Report Sn Dr Asna

natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan

tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai

peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus

menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma

dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya

mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas

memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin

plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini

tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN.

2. Hipotesis Overfill

Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada tubulus

primer di ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi natrium

(primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi

akibat overfilling cairan ke jaringan interstitial. Pada hipotesis ini karena

terjadi hipervolemia, sistem RAA atau aldosteron akan menurun.

Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus resisten

terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung sehingga terjadi

edema. (lihat gambr).

Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe

nefrotik dan tipe nefritik. Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe

nefrotik dan yang paling sering terjadi pada SN kelainan minimal

(minimal change nephrotic syndrome = MCNS). Tipe nefrotik ditandai

dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar

renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG)

masih baik dengan kadar albumin yang rendah. Kelompok ke dua

(overfill) disebut tipe nefritis biasanya di jumpai pada SN bukan kelainan

minimal (BKM) atau glomerulonefritis kronik. SN bukan kelainan

minimal pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain

25

Page 26: Case Report Sn Dr Asna

adanya hipervolemia juga sering di jumpai hipertensi, kadar renin dan

aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang

dinamis dan mungkin saja kedua proses tersebut berlangsung bersamaan

atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis

penyakit gromerulus mungkin satu kombinasi rangsangan yang lebih dari

satu.

VI. MANIFESTASI KLINIS

Di masa lalu masyarakat menganggap penyakit SN ini adalah

edema. Nafsu makan yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan

gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang

sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga dianggap

gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun dengan pengobatan

kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN secara drastis, tapi

masalah salah satu efek samping obat terutama bagi anak-anak yang tidak

responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak

dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini bebas

edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan

kortikosteroid.

Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya

edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun

edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu merupakan

masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responder dan pada

mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Kelompok ini hampir

berjumlah ¼ dari semua pasien dengan SN primer. Edema umumnya

terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orang tua

penderita atau penderitanya sendiri sebelum dokter melihat pasien untuk

pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau

bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul

26

Page 27: Case Report Sn Dr Asna

kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh

cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjad menyeluruh, yaitu ke

pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya

menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua anak atau

pasiennya sering mengeluh berat badan tidak mau naik, namun kemudian

mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak

diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada anak

dengan SN disebutkan bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis

kelainan glomerulusnya. Tampaknya sekarang pola timbulnya edema

bervariasi pada pasien dengan berbagai kelainan glomerulus. Pada anak

dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam

beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan intermiten pada

kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN membrano-

proliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan

lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada

tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada awal perjalanan

penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada

edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang

menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit

secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah

mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan

skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini

mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi

sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.

Gangguan gastrointestinal

Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN.

Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan

ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya

adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada

pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat,

27

Page 28: Case Report Sn Dr Asna

atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang

kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh.

Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan

dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini

tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat

disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang

nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu

makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga

sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin

mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN

non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat terjadi

hernia umbilikalis dan prolaps ani.

Gangguan pernapasan

Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi

pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi

gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat

furosemid.

Gangguan fungsi psikososial

Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada

penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak

yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa

bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien,

namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan

diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya. Kecemasan orang

tua dan perawatan yang sering dan lama menyebabkan anak berkembang

menjadi berdikari dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan nasibnya.

Perkembangan dunia sosial anak menjadi terbatas. Anak dengan SN ini

akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan membentuk pengertian

dan bayangan yang salah mengenai penyakitnya. Para dokter yang sadar

28

Page 29: Case Report Sn Dr Asna

akan masalah ini dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha

mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan

keluarganya serta berusaha menolong mengurangi cacat, kekhawatiran dan

beban pikiran.

Gangguan Saluran Kemih

Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal

karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal.

Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi

secara tiba-tiba. Dan biasanya air kemihnya berbusa.

Gangguan Darah

Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko

terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di

dalam vena ginjal yang utama.

Di lain pihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan perdarahan

hebat.

Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat

penderita berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan

syok). Tekanan darah pada penderita dewasa bisa rendah, normal ataupun

tinggi. Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak

paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes dan

penyakit jaringan ikat.

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

laboratorium berupa proteinuri masif (≥3,5 g/1,73 m2 luas permukaan

tubuh/hari), hipoalbuminemi (<3,5 g/dl) karena protein vital ini dibuang

melalui urin dan pembentukannya terganggu, edema ( kadar natrium

dalam urin rendah dan kadar kalium dalam urin tinggi ), hiperlipidemi,

lipiduri dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venografi

29

Page 30: Case Report Sn Dr Asna

diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi

akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis

kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon

terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya

sendiri atau sebagai akibat pengobatan :

Infeksi

Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis

Perubahan hormon dan mineral

Pertumbuhan abnormal dan nutrisi

Peritonitis

Anemia

Gangguan tubulus renal

IX. PENGOBATAN

Terapi Sindroma Nefrotik Dasar Glomerulonefritis13,14

Pengobatan pada glomerulonefritis terdiri dari terapi spesifik

( ditujukan pada penyebab ) dan terapi non spesifik ( menghambat

progresivitas penyakit). Pemantauan klinik yang regular, kontrol tekanan

darah dan proteinuria dengan ACE-I atau AIIRA terbukti bermanfaat.

Pengaturan asupan protein dan kontrol lemak darah dapat membantu

menghambat progresivitas GN. Efektifitas penggunaan obat imunosupresif

GN masih belum seragam. Pertimbangan terapi imunosupresif didasarkan

atas diagnosis GN, faktor pasien, efek samping dan faktor prognosis

Pengobatan kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN

secara drastis, tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi

anak-anak yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan

30

Page 31: Case Report Sn Dr Asna

kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90%

anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah

pengobatan awal dengan kortikosteroid. Cara kerja kortikosteroid pada

GN adalah menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-1 alfa atau TN alfa

dan aktifitas transkripsi NFkB yang berperan pada pathogenesis GN.

Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai

40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap.

Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati

membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik

untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak

mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis

ini.

Terapi Kortikosteroid sebagai Imunosupresif

Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di

antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian

dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps,

terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah

prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu

diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90%

pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun

50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid

dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada

kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam

dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per

24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya.

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :

a.  Remisi lengkap

proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)

albumin serum >3 g/dl

kolesterol serum < 300 mg/dl

31

Page 32: Case Report Sn Dr Asna

diuresis lancar dan edema hilang

b.  Remisi parsial

 proteinuri <3,5 g/hari

albumin serum >2,5 g/dl

kolesterol serum <350 mg/dl

diuresis kurang lancar dan masih edema

c.  Resisten

klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan

setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.

Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus

SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN

nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal

segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid

jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,

hipertensi, diabetes melitus.

Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten

terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid

atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada

kortikosteroid (75% selama 2  tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari

selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum

tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan

lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg

bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia

dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada

nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan

klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat

mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon

sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4

tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah

metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral

selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.

32

Page 33: Case Report Sn Dr Asna

ACE-I atau ARB Mengatasi Proteinuri

Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk

mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin

converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis

rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi

non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg.

Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi

protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus

dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik

obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat

dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat

memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis

interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi

molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI

dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada

glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja.

Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya

edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun

edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu merupakan

masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responder dan pada

mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Kelompok ini hampir

berjumlah ¼ dari semua pasien dengan SN primer

OAINS Mengatasi Proteinuri

Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien

nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk

menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi

ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan

mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi

kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi

trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS

33

Page 34: Case Report Sn Dr Asna

menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien.

Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.

Terapi Imunosupresif Lain

Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi

siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian

kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun

(setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat

juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang

gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah

hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis.

Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5

mg/kgBB/hari selama 12 bulan.

Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat

imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu

mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat

proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi

dari sel B dan ekspresi molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot

polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan

berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan

remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.

Terapi Gizi pada Sindrom Nefrotik

Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri

dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari.

Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan

jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri

berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen

menurun.Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram

natrium/hari).

Terapi Mengatasi Oedema

34

Page 35: Case Report Sn Dr Asna

Diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau

tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada

pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan

200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat

multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya

transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein

urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien

demikian dapat diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan terapi

ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi

glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus

albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat

diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan

bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.

Terapi Anti Hiperlipidemia

Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya

aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan

penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase

yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan

paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat,

klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit

menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa

karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot

dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan

kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam

nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika

dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif

menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini

tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang

memperburuk defisiensi vitamin D pada SN. Golongan statin seperti

simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,

trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

35

Page 36: Case Report Sn Dr Asna

Pencegahan Hiperkoagulabilitas

Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli

yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati

membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100

mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.

Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan

fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan

selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau

keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin

intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3

bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan

pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali

kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT)

yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3

kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia

pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat

disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi

digunakan vaksin pneumokokus.

Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus

seperti campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya

hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik

(setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini

pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat

dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien

glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal,

15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh

adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang

meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A

menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena

glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN

36

Page 37: Case Report Sn Dr Asna

sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan

faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang

meningkatkan permeabilitas glomerulus. 

X. PROGNOSIS

Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia

penderita dan jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan

mikroskopik pada biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika

penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya infeksi atau

kanker) atau obat-obatan. Prognosis biasanya baik jika penyebabnya

memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid. Anak-anak yang

lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1 tahun,

beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau

pencangkokan ginjal.

Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik

akibat glomerulonefritis yang ringan; 90% penderita anak-anak dan

dewasa memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang

berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat

kambuhan. Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.

Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis membranosa terutama

terjadi pada dewasa dan pada 50% penderita yang berusia diatas 15 tahun,

penyakit ini secara perlahan akan berkembang menjadi gagal ginjal. 50%

penderita lainnya mengalami kesembuhan atau memiliki proteinuria

menetap tetapi dengan fungsi ginjal yang adekuat. Pada anak-anak dengan

glomerulonefritis membranosa, proteinuria akan hilang secara total dan

spontan dalam waktu 5 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis.

Sindroma nefrotik familial dan glomerulonefritis

membranoproliferatif memberikan respon yang buruk terhadap

pengobatan dan prognosisnya tidak terlalu baik. Lebih dari separuh

penderita sindroma nefrotik familial meninggal dalam waktu 10 tahun.

37

Page 38: Case Report Sn Dr Asna

Pada 20% pendeita prognosisnya lebih buruk, yaitu terjadi gagal ginjal

yang berat dalam waktu 2 tahun. Pada 50% penderita, glomerulonefritis

membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal dalam waktu 10

tahun. Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan

perbaikan.

Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis proliferatif mesangial

sama sekali tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Pengobatan

pada sindroma nefrotik akibat lupus eritematosus sistemik, amiloidosis

atau kencing manis, terutama ditujukan untuk mengurangi gejalanya.

Pengobatan terbaru untuk lupus bisa mengurangi gejala dan memperbaiki

hasil pemeriksaan yang abnormal, tetapi pada sebagian besar penderita

terjadi gagal ginjal yang progresif. Pada penderita kencing manis, penyakit

ginjal yang berat biasanya akan timbul dalam waktu 3-5 tahun.

38

Page 39: Case Report Sn Dr Asna

PEMBAHASAN

Pada kasus ini ada seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke

RS, dengan keluhan badan bengkak-bengkak, yang awalnya bengkak di

wajah. Selain itu juga mengeluh mual, lemas, dan nafsu makannya

menurun. Dari pemeriksaan laboratorium, diperoleh kadar serum albumin

1,6 g/dl (hipoalbuminemia), Trigliserida 170 mg/dl, Kolesterol 377 mg/dl

(hiperkolesterolemia), LDL 276 mg/dl (hiperlipidemia). Pada tanggal 10

Agustus 2013 dilakukan pemeriksaan urine lengkap dan hasilnya terdapat

protein (+++) dalam urine (proteinuria).

Dari anamnesis dan pemeriksaan laboratorium mendukung

ditegakkannya diagnosa Sindrom Nefrotik. Dan hal ini sesuai dengan

definisi dari sindrom nefrotik yaitu keadaan klinis yang terdiri dari edema

generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia

(hiperkolesterolemia) dan proteinuia.

Penyebab utama terjadinya Sindrom Nefrotik pada pasien ini

tidak diketahui (idiopatik) dan sesuai teori di atas diduga tipe dari lesi

glomerularnya adalah minimal change disease (MCD )atau GN lesi

minimal (GNML). Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe dari SN ini

adalah dengan melakukan biopsi ginjal.

Pada pasien ini terdapat protein (+++) dalam urine (proteinemia)

hal ini disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein

akibat kerusakan glomerulus. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM

ditemukan proteinuria selektif yaitu protein yang keluar terdiri dari

molekul kecil misalnya albumin. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik

disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan

39

Page 40: Case Report Sn Dr Asna

onkotik plasma. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan

reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.

Pasien mengeluh bengkak (edema) di badan yang awalnya

bengkak hanya di wajah. Hipoalbuminemia merupakan faktor kunci

terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan

tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke

jaringan interstisium dan terjadinya edema (teori underfill). Sedangkan

teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.

Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat

sehingga terjadi edema.

Kolesterol serum, low density lipoprotein (LDL), trigliserida

meningkat, sedangkan high density lipoprotein (HDL) menurun. Hal ini

disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme

di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron

dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis

lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan

tekanan onkotik.

Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa

dengan diet TKTPRG (tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam) dan

tirah baring. Sedangkan secara medikamentosa dengan pemberian diuretik

berupa furosemid dengan dosis 1 mg/kgbb/hr. Hal ini dapat membantu

mengontrol edema. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki

hipoalbuminemia dan mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan.

Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/kg BB/ hari dapat mengurangi

proteinuria. Untuk menurunkan kadar kolesterol, LDL, trigliserid, dan

meningkatkan HDL dapat diberikan obat golongan statin seperti

simvastatin, pravastatin, dan lovastatin.

Pasien ini dirawat inap selama 7 hari dan dilanjutkan rawat jalan.

Pada saat rawat jalan, pasien dianjurkan untuk tidak konsumsi makanan

40

Page 41: Case Report Sn Dr Asna

yang banyak mengandung garam serta makanan yang berlemak, dan lebih

banyak konsumsi makanan yang mengandung protein seperti putih telur,

tahu dan tempe serta sayur dan buah-buahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiguno Prodjosudjadi. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid II : Edisi ke V. Penerbit Interna Publishing FKUI,

Jakarta.2010 ; 999 – 1007

2. Wiguno Prodjosudjadi. Glomerulonefritis. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid II : Edisi ke V. Penerbit Interna Publishing FKUI. Jakarta.

2010 ; 969 – 978

3. Darmawan John, Remisi lengkap proteinuria dan remisi bebas-terapi

sindrom nefrotik, Majalah kedokteran Indonesia, Vol: 50, No.6, Juni 2000,

hal: 312-316.

4. Hutagalung. P, Sindrom nefrotik, Majalah Kedokteran FK. UKI XVIII,

No. 44, Jakarta, September 2000, hal: 1-10.

5. Pardede O. Sudung, Sindrom Nefrotik Infantil, Cermin Dunia Kedokteran

No. 134, Jakarta, 2002, hal: 32-38.

6. Arif Mansjoer dkk. Sindrom Nefrotik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.

Media Aesculapius.2000. hal 459-461.

7. Alatas, Husein dkk, Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter

Anak Indonesia, 2002, Jakarta, hlm. 381 – 422.

8. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M, Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2006,

hlm929-933.

41

Page 42: Case Report Sn Dr Asna

9. Patrick Davey, At a Glance Medicine, Penerbit Erlangga, 2006, hlm 244-

245.

10. HARRISON,S PRINCIPLE OF INTERNAL MEDICINE 16th edition

1674-1706

11. www.emedicine.com\nephroticsyndrome.html. diakses tanggal 14

Agustus, 2013.

42