case ket andrea

45
KEPANITERAAN KLINIK STATUS OBSTETRI FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA Jl. Arjuna Utara No. 6. Kebon Jeruk- Jakarta Barat SMF OBSTETRI RS MARDI RAHAYU KUDUS Nama : Andrea Susanti Tanda tangan NIM : 11 2011 116 Dr pembimbing / penguji : Dr. FX. Widiarso,Sp.OG IDENTITAS PASIEN Nama lengkap : Ny. K Jenis kelamin : Perempuan Umur : 26 Thun Suku bangsa : Jawa Status perkawinan : kawin (G II P I A 0 ) Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMP Alamat : Ngemplik Wetan RT 03 RW 01 Karanganyar Demak Masuk Rumah Sakit : 20 Mei 2012 Pukul 11.50 WIB Pulang : 23 Mei 2012 Nama suami : Tn. S Pekerjaan : Buruh Bangunan 1

Upload: mario-alfonso

Post on 29-Nov-2015

40 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case KET Andrea

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS OBSTETRIFAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDAJl. Arjuna Utara No. 6. Kebon Jeruk- Jakarta Barat

SMF OBSTETRI RS MARDI RAHAYU KUDUS

Nama : Andrea Susanti Tanda tangan

NIM : 11 2011 116

Dr pembimbing / penguji : Dr. FX. Widiarso,Sp.OG

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Ny. K Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 26 Thun Suku bangsa : Jawa

Status perkawinan : kawin (GIIPIA0 ) Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMP

Alamat : Ngemplik Wetan RT 03 RW 01

Karanganyar Demak

Masuk Rumah Sakit : 20 Mei 2012

Pukul 11.50 WIB

Pulang : 23 Mei 2012

Nama suami : Tn. S

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Alamat : Ngemplik Wetan RT 03 RW 01 - Karanganyar Demak

A. A NAMNESIS :

Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 20 Mei 2012 ; Jam : 12:10 WIB

Keluhan utama :

Perut terasa mules dan ada nyeri tekan pada bagian bawah sejak 1 hari SMRS.

Keluhan tambahan :

Keluar flek-flek darah dari jalan lahir sejak 2 hari SMRS dan darah sejak pagi hari

SMRS

1

Page 2: Case KET Andrea

Riwayat Penyakit Sekarang :

Dua hari SMRS, OS mengatakan keluar flek-flek darah pervaginam. Demam,

pusing, rasa mual, ataupun muntah tidak dirasakan pasien, karenanya pasien hanya

beristirahat. Namun pagi hari sebelum masuk RS OS mengatakan bahwa keluar darah

pervaginam.

Satu hari SMRS, flek-flek darah masih keluar namun tidak banyak. Perut OS juga

terasa kemeng (pegal), bahkan sore harinya mulai terasa sakit bila ditekan dan semakin

parah hingga keesokan harinya sehingga OS dating ke RS Mardi Rahayu. Di poliklinik,

OS mengatakan sudah di USG dan di diagnosis KET.

OS mengetahui dirinya hamil dengan plano test yang dilakukannya sendiri dan

pernah memeriksakan kehamilannya ke bidan.

Hewan ternak pemeliharaan seperti kucing, anjung, burung, ayam, dan lain-lain

tidak ada dirumah OS ataupun di lingkungan tempat tinggalnya.

OS dan keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi, hepatitis,

hipertiriod, dan diabetes mellitus. Rasa pusing, mual dan muntah ataupun keluhan lain

juga tidak dialami oleh OS.

Riwayat Haid

Menarche : 12 tahun

Siklus haid : 30 hari

Lamanya : 7 hari

Banyaknya : banyak dan encer

Haid terakhir (HPHT) : 12 April 2012

Taksiran partus (HPL) : 19 Januari 2013

Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali pada usia 20 tahun, selama 6 tahun.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

No Anak

ke

Tahun

Persalin

Jenis

Kelamin

Umur

Kehamil

Jenis

Persalin

Peno

long

Hidup

/ Mati

Riwayat

Nifas

Menetek

s/d umur

1. I 2007 Perem

puan

9 bulan Partus

spontan

bidan Hidup - 1 tahun

2

Page 3: Case KET Andrea

2. II 2012 Hamil ini

Riwayat Kontrasepsi (Keluarga Berencana)

( − ) Pil KB ( + ) Suntikan 3 bulan ( − ) IUD

( − ) Susuk KB ( − ) Lain-lain

Lamanya : 2 tahun dari kelahiran anak I

Penyakit Dahulu

( − ) Cacar ( − ) Malaria ( − ) Batu ginjal/saluran kemih

( − ) Cacar air ( − ) Disentri ( − ) Burut ( hernia )

( − ) Difteri ( − ) Hepatitis ( − ) Batuk rejan

( - ) Tifus abdominalis ( − ) Wasir ( − ) Campak

( − ) Diabetes ( − ) Sifilis ( − ) Alergi

( − ) Tonsilitis ( − ) Gonore ( − ) Tumor

( − ) Hipertensi ( − ) Penyakit pembuluh ( − ) Demam rematik akut

( + ) Ulkus ventrikuli ( − ) Pendarahan otak ( − ) Pneumonia

( − ) Ulkus duodeni ( − ) Psikosis ( - ) Gastritis

( − ) Neurosis ( − ) Tuberkulosis ( − ) Batu empedu

Lain-lain : ( − ) Operasi ( − ) Kecelakaan

Riwayat keluarga

Hubungan Umur Jenis kelamin Keadaan

kesehatan

Penyebab

meninggal

Ayah 51 tahun Laki-laki Hidup -

Ibu 49 tahun Perempuan Hidup -

Suami 28 tahun Laki-Laki Hidup -

Anak 1 5 tahun Perempuan Hidup -

Ada kerabat yang menderita :

Penyakit Ya Tidak Hubungan3

Page 4: Case KET Andrea

Alergi - √

Asma - √

Tuberkulosis - √

HIV - √

Hepatitis B - √

Hepatitis C - √

Hipertensi - √

Cacat bawaan - √

Lain – lain - √

Riwayat Operasi

Tidak ada

B. PEMERIKSAAN JASMANI

I. Pemeriksaan umum

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan Gizi : Baik

Tinggi badan : 158 cm

Berat badan : 58 kg

Tekanan darah : 110 / 80 mmHg

Nadi : 84 kali / menit

Suhu : 37 ⁰ C

Pernapasan : Suara Nafas vesikuler,

20 kali / menit, Jenis thoracoabdominal

Sianosis : Tidak ada

Edema umum : Ada

Habitus : Piknikus

Cara berjalan : Baik

Mobilisasi : Aktif4

Page 5: Case KET Andrea

Aspek kejiwaan

Tingkah laku : tenang

Alam perasaan : biasa

Proses pikir : wajar

Kulit

Warna : sawo matang

Effloresensi : tidak ada

Jaringan parut : tidak ada

Pigmentasi : tidak ada

Pertumbuhan rambut : normal

Pembuluh darah : tidak menonjol dan melebar

Suhu raba : normal, kulit Lembab

Keringat : setempat yaitu di kepala dan leher

Turgor : baik

Lapisan lemak : tebal

Ikterus : tidak ada

Edema : ada (kaki kanan dan kiri)

Kelenjar getah bening

Submandibula : tidak ditemukan pembesaran

Supraklavikula : tidak ditemukan pembesaran

Lipat paha : tidak ditemukan pembesaran

Leher : tidak ditemukan pembesaran

Ketiak : tidak ditemukan pembesaran

Thorak

Bentuk : normal

Pembuluh darah : tidak tampak

Payudara : tidak ada pembesaran

ASI (-)

5

Page 6: Case KET Andrea

Paru – paru

Depan Belakang

Inspeksi kiri Bentuk dada normal tidak ada bekas luka

kanan Bentuk dada normal tidak ada bekas luka

Palpasi kiri sela iga normal, fremitus normal fremitus normal

kanan sela iga normal, fremitus normal fremitus normal

Perkusi kiri Tidak dilakukan (os kesakitan) tidak dilakukan

kanan Tidak dilakukan (os kesakitan) tidak dilakukan

Auskultasi kiri vesikuler vesikuler

kanan vesikuler vesikuler

Jantung

Palpasi Ictus cordis = tidak teraba

Perkusi Tidak dilakukan (OS tampak kesakitan)

Auskultasi Katup Mitral- ICS 5 midklav kanan

Katup Aorta – ICS 2 parasternal kanan

Katup Pulmonal – ICS 2 parasternal kiri

Katup Trikuspid – ICS 4 parasternal kanan

Abdomen

Inspeksi : dalam batas normal (tidak membesar)

Palpasi : Hati : dalam batas normal

Kandung empedu : dalam batas normal

Limpa : dalam batas normal

Ginjal : dalam batas normal

Kandung kencing : dalam batas normal

Auskultasi : Denyut Jantung anak ( - )

Bising usus ( + )

Ekstremitas

Luka : tidak ada

Varises : tidak ada

Edema : (-)

Refleks : ( + )

6

Page 7: Case KET Andrea

Sensibilitas : ( + )

Lain – lain : -

II. Pemeriksaan Ginekologi

Pemeriksaan Luar

Inspeksi :

Wajah : chloasma gravidarum (-)

Payudara : pembesara payudara (-), puting susu menonjol, cairan dari mammae (-)

Abdomen : pembesaran abdomen (-),

strie nigra (-),

strie livide (-),

strie albicans (-),

bekas operasi (-)

Palpasi : tidak teraba pembesaran uterus.

Terdapat nyeri tekan pada daerah suprapubik.

Pemeriksaan Dalam

Vaginal Toucher

Fluksus (+) , fluor (–)

V/U/V Tidak ada kelainan

Portio Licin dan terdapat nyeri goyang

Corpus uteri Sebesar telur ayam

Adneksa parametriumTeraba massa setengah padat sebesar telor ayam.

Cavum dougles: menonjol

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Darah Lengkap (pada tanggal 20 Mei 2012)

Hb 12,6 g/dl Ht 35,3 %

Leukosit 7,33/ul Trombosit 301.000/ul

Eosinofil 0,2 % Eritrosit 4,27 juta

Basofil 0,3 % RDW 12,4%

7

Page 8: Case KET Andrea

Segmen 56,8% PDW 13,0%

Limfosit 31,0 % MPV 10,5 ul/m3

Monosit 7,3 % LED 25/55 mm/jam

MCV 83,6 fl BT 1,30 menit

MCH 29,5 pg CT 4,30 menit

MCHC 35,3 g/dl

Pemeriksaan Plano Test (tanggal 20 Mei 2012)

Plano test : (+)

Pemeriksaan urine Lengkap

Albumin (-) Epitel ren (sedimen) 0

Reduksi (-) Epitel Sel 2

Bilirubin (-) Eritrosit 6

Reaksi /pH 6,0 leukosit 3

Urobilirogen Normal Silinder (-)

Benda keton (-) Parasit (-)

Darah Samar 2 Jamur (-)

Leukosit 1 bakteri (-)

Vit C (-) Kristal (-)

Berat jenis 1.015

Pemeriksaan USG

Kesan : kehamilan Ektopik Terganggu

D. RINGKASAN (RESUME)

8

Page 9: Case KET Andrea

OS wanita, GIIPIA0 berumur 26 tahun, hamil 13 minggu, datang ke RS Mardi

Rahayu dengan keluhan adanya nyeri tekan pada bagian perut bagian bawah yang

disertai rasa mules sejak 1 hari SMRS. Dua hari SMRS, OS mengatakan keluar flek-flek

darah pervaginam. Demam, pusing, rasa mual, ataupun muntah tidak dirasakan pasien.

Namun pagi hari sebelum masuk RS OS mengatakan bahwa keluar darah pervaginam.

Di poliklinik, OS mengatakan sudah di USG dan di diagnosis KET. OS mengetahui

dirinya hamil dengan plano test yang dilakukannya sendiri dan pernah memeriksakan

kehamilannya ke bidan. HPHT Os: 12 April 2012 dengan HPL :19 Januari 2013.

Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus tidak ada pada OS maupun

keluarganya. Rasa pusing, ataupun keluhan lain juga tidak dialami oleh OS.

Hewan ternak pemeliharaan seperti kucing, anjung, burung, ayam, dan lain-lain

tidak ada dirumah OS ataupun di lingkungan tempat tinggalnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD Tekanan darah 110 / 80 mmHg, nadi 84

kali/menit suhu 37 ⁰ C, dan RR 20 kali/menit. Sedangkan pada pemeriksaan dalam

didapatkan nyeri goyang portio dan cavum dauglasi (+) perdarahan. Hasil USG

menunjukkan bahwa terjadi KET pada OS.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja dan dasar diagnosis

Diagnosis kerja : GIIPIA0 Umur 26 tahun, Hamil 6 minggu dengan Kehamilan Ektopik

Terganggu (KET)

Dasar diagnosis :

Plano test menunjukkan hasil positif

Terdapat nyeri tekan pada daerah suprapubik

Pada pemeriksaan dalam terdapat nyeri tekan portio dan cavum dauglasi (+)

perdarahan.

Pada USG terdapat menunjukkan hasil KET (+)

Diagonisis diferensial dan dasar diagnosis diferensial

Diagnosis diferensial :

1. Infeksi pelvik.

2. Abortus iminens atau insipiens

3. Ruptur korpus luteum

9

Page 10: Case KET Andrea

4. Torsi kista ovarium

5. Appendisitis akut

6. Salpingitis akut

7. Mioma submukosa yang terpelintir

8. Ruptur pembuluh darah mesenterium

Pemeriksaan yang dianjurkan

Pemeriksaan urin dan Hb post operasi.

Rencana Pengelolaan:

a. Medika Mentosa:

D 5% 20 tetes permenit

Pengobatan post Operasi Laparatomi :

Bactesyn 2 x 1 gr IV

Tradyl 2 x 1 amp IV

Alenamin F 2 x 1 amp IV

Ketoprofen supp rectal 2 x 100 mg

Vit C 1 x 1 gr IV

b. Non Medica Mentosa :

Bed rest

Puasa 6 jam setelah operasi

c. Tindakan : Operasi KET

Operasi dilakukan pada tanggal 20 Mei 2012 pukul 13.10 WIB.

Laporan Operasi :

- Insisi dinding abdomen pada linea mediana 2 jari diatas symphisis pubis kearah

pusat sepanjang 10 cm

- Insisi diperdalam lapis demi lapis hingga peritoneum terbuka

- Eksplorasi : tampak uterus dalam batas normal, terdapat darah pada peritoneum

berwarna merah 200 cc, dan terdapat kantung gestasi sebesar telur ayam pada tuba

pars ampularis kanan. Adnesa parametrium kiri dalam batas normal.

- Dilakukan salphingektomi dextra.

10

Page 11: Case KET Andrea

- Control perdarahan.

- Membersihkan cavum abdomen dari darah

- Jahit peritoneum dengan plan plain catgut no 2.0 secara jelujur terkait

- Jahit otot dengan plain catgut no 2.0

- Jahit fasia dengan safil no 1.0

- Jahit subcutan dengan plain catgut no 2.0

- Jahit kulit dengan safil no 4.0 secara subkutikuler

- Operasi selesai.

Prognosis :

Vitam : ad bonam

Fungsionam : ad bonam

Sanationam : ad malam

FOLLOW UP

Tanggal 21 Mei 2012, Jam 08.00 WIB

S : OS merasa pusing (+), demam (-), mual & muntah (-)

O : Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 130/70 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Frekuensi nafas : 24 x/menit

Suhu : 37 ºC

PPV : (+)

Hasil lab. Hb : 11,7 g/dL

A : Post operasi Salphingektomi Dextra a/i KET hari 1

P : Secara Klinis keadaan pasien membaik

Lanjutkan terapi pengobatan :

Bactesyn 2 x 1 gr IV

Tradyl 2 x 1 amp IV

11

Page 12: Case KET Andrea

Alenamin F 2 x 1 amp IV

Ketoprofen supp rectal 2 x 100 mg

Vit C 1 x 1 gr IV

Menghentikan pemasangan kateter

Tanggal 22 Mei 2012, Jam 08.00 WIB

S : Keluhan (-)

O : Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Frekuensi nafas : 18 x/menit

Suhu : 36,8 º

ASI : (+)

TFU : 1 jari diatas umbilicus

Vesica Urinaria : (-)

PPV : (+) bercak

A : Post operasi Salphingektomi Dextra a/i KET hari 2

P : Secara Klinis keadaan pasien membaik

Lanjutkan terapi pengobatan :

Bactesyn 2 x 1 gr IV

Tradyl 2 x 1 amp IV

Alenamin F 2 x 1 amp IV

Ketoprofen supp rectal 2 x 100 mg

Pelepasan Infus

Tanggal 23 Mei 2012, Jam 08.00 WIB

S : Keluhan (-)

12

Page 13: Case KET Andrea

O : Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Frekuensi nafas : 20 x/menit

Suhu : 36,6 º

ASI : (+)

TFU : 1 jari dibawah umbilicus

Vesica Urinaria : (-)

PPV : (-) bercak

A : Post Operasi laparatomi a/i KET Hari ke 3

P : Secara Klinis keadaan pasien baik dan diijinkan pulang dengan

Lanjutkan terapi pengobatan :

Amoxicillin 500 mg + Clavulanic Acid 125 mg tablet PO (3 x 1 perhari)

Ketoprofen tablet 50 mg PO (2 x 1 perhari)

Zegavit kapsul 1 x 1 PO

Ganti balutan

13

Page 14: Case KET Andrea

Tinjauan Pustaka :

Kehamilan Ektopik Terganggu

Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang

berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung

dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat.

Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik

terganggu.

Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat dihadapi semua

dokter, karena sangat beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu itu. Tidak

jarang yang mengahadapi penderita adalah dokter umum atau dokter ahli lainnya, maka dari

itu, perlu diketahui oleh setiap dokter klinik kehamilan ektopik terganggu serta diagnosis

diferensialnya. Hal yang perlu diingat ialah, bahwa pada setiap wanita masa reproduksi

dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah,

perlu dipikirkan kehamilan ektopik terganggu.

Definisi

Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar

endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik

karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis seviks masih termasuk dalam

uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.

Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi

pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan

divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan

pars interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampularis tuba, dan

kehamilan infundibulum tuba.

Kehamilan di luar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan

servikal, dan kehamilan adominal yang bisa primer atau sekunder.

14

Page 15: Case KET Andrea

Kehamilan intrauterine dapat ditemukan bersamaan dengan kehamilan ekstrauterin.

Dalam hal ini dibedakan dua jenis, yaitu combined ectopic pregnancy dimana kehamilan

intaruterin terdapat pada waktu yang sama dengan kehamilan ekstrauterin dan compound

ectopic pregnancy yang merupakan kehamilan intrauterin pada wanita dengan kehamilan

ekstrauterin lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion.

Epidemiologi

Frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan

ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas, sehingga tidak dibuat diagnosisnya. Tidak

semua kehamilan ektopik berakhir dengan abortus dalam tuba atau rupture tuba. Sebagian

hasil konsepsi mati dan pada umur muda kemudian diresorbsi. Pada hal yang terakhir ini

penderita hanya mengeluh haidnya terlambat untuk beberapa hari.

Pemakaian antibiotika dapat meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. Antibiotika

dapat mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami infeksi. Tetapi perlekatan

menyebabkan pergerakan silia dan peristaltis tuba terganggu dan menghambat perjalanan

ovum yang dibuahi dari ampula ke rahim, sehingga implantasi terjadi pada tuba.

Kontrasepsi juga dapat mempengaruhi frekuensi kehamilan ektopik terhadap jumlah

kelahiran di rumah sakit atau masyarakat. Banyak wanita dalam masa reproduksi tanpa factor

predisposisi untuk kehamilan ektopik membatasi kelahiran dengan kontrasepsi, sehingga

15

Page 16: Case KET Andrea

jumlah kelahiran turun, dan frekuensi kehamilan ektopik terhadap kelahiran secara relative

meningkat. Selain itu IUD dapat mencegah secara efektif kehamilan intrauterin, tetapi tidak

mempengaruhi kejadian kehamilan ektopik.

Etiologi

Sebagian besar penyebab kehamilan ektopik tidak diketahui. Tiap kehamilan dimulai

dengan pembuahan telur di bagian ampula tuba, dan dalam perjalanan ke uterus telur

mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba, atau nidasinya di tuba

dipermudah. Faktor – faktor yang memegang peranan dalam hal ini ialah sebagai berikut :

1. Faktor dalam lumen tuba :

- endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga lumen

tuba menyempit atau membentuk kantong buntu

- pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berlekuk – lekuk dan hal ini

sering disertai gangguan fungsi silia endosalping

- operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab

lumen tuba menyempit

2. Faktor pada dinding tuba :

- endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam

tuba

- divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur

yang dibuahi di tempat itu

3. Faktor di luar dinding tuba

- perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat

perjalanan telur

- tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba

4. Faktor lain :

- migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri – atau

sebaliknya – dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus ;

pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi prematur

- fertilisasi in vitro

Patologi

16

Page 17: Case KET Andrea

Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama

dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner.

Pada yang pertama telur berimplantasi pada sisi atau ujung jonjot endosalping.

Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati

secara dini kemudian diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara 2

jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba

oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena

pembentukan desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang - kadang tidak tampak,

dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot – otot

tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya

bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan

banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasu trofoblas.

Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis

dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek ; endometrium dapat berubah pula menjadi

desidua. Dapat ditemukan pula perubahan – perubahan pada endometrium yang disebut

fenomena Arias – Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik,

lobuler dan berbentuk tak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang – lubang atau berbusa, dan

kadang – kadang ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya ditemukan pada sebagian

kehamilan ektopik.

Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian

dikeluarkan berkeping – keping, tetapi kadang – kadang dilepaskan secara utuh. Perdarahan

yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh

pelepasan desidua yang degeneratif.

Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba

bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh secara utuh

seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6

sampai 10 minggu.

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi

Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi

kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak

mengeluh apa – apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.

2. Abortus ke dalam lumen tuba

17

Page 18: Case KET Andrea

Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh – pembuluh darah oleh vili

korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari

dinding tersebut bersama – sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini

dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung pada derajat perdarahan yang

timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam

lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale.

Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus

ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan

penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritonium biasanya terjadi pada

kehamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars ampularis lebih

luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi

dibandingkan dengan bagian ismus dengan lumen sempit.

Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan

terus berlangsung, dari sedikit – sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola

kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru

– biruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui

ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglas dan ajan membentuk

hematokel retrouterina.

3. Ruptur dinding tuba

Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada

kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan

18

Page 19: Case KET Andrea

yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan vili

korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritonium. Ruptur dapat terjadi

secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal.

Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang – kadang sedikit,

kadang – kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila

pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah

dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominale.

Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi.

Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena

tekanan darah dalam tuba. Kadang – kadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum

dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan ligamentum itu. Jika janin

hidup terus, terjadi kehamilan intraligamenter.

Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan

tuba kecil, perdarahan terjadi pada hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Bila penderita

dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada

kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin matu dan masih kecil, dapat

diresorbsi seluruhnya ; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.

Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan

dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga

akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan

bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya,

misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul, dan usus.

19

Page 20: Case KET Andrea

Diagnosa dan gejala – gejala klinik

1. Anamnesis : terjadi amenorea, yaitu haid terlambat mulai beberapa hari sampai

beberapa bulan atau hanya haid yang tidak teratur. Kadang – kadang dijumpai

keluhan hamil muda dan gejala hamil lainnya

2. Bila terjadi kehamilan ektopik terganggu (KET) :

- Pada abortus tuba keluhan dan gejala kemungkinan tidak begitu berat, hanya

rasa sakit di perut dan perdarahan pervaginam. Hal ini dapat dikacaukan denga

abortus biasa

- Bila tejadi ruptur tuba, maka gejala akan lebih hebat dan dapat membahayakan

jiwa si ibu

3. Perasaan nyeri dan sakit yang tiba – tiba di perut, seperti diiris dengan pisau dan

disertai muntah dan bisa jatuh pingsan

4. Tanda - tanda akut abdomen : nyeri tekan yang hebat (defiance musculair),

muntah, gelisah, pucat, anemis, nadi kecil dan halus, tensi rendah atau tidak

terukur (syok)

5. Nyeri bahu : karena perangsangan diafragma

6. Tanda cullen : sekitar pusat atau linea alba kelihatan biru hitam dan lebam

7. Pada pemeriksaan ginekologik (periksa dalam) terdapat :

- Adanya nyeri ayun : dengan menggerakkan porsio dan serviks ibu akan

merasa sakit yang sangat

- Douglas crise : rasa nyeri hebat pada penekanan cavum douglasi

- Kavum Douglasi teraba menonjol karena terkumpulnya darah, begitu pula

teraba masa retrouterin (masa pevis)

8. Pervaginam keluar desidual cast

9. Pada palpasi perut dan pada perkusi : ada tanda – tanda perdarahan intra

abdominal (shifting dullness)

10. Pemeriksaan lab :

- Pemeriksaan hemoglobin seri setiap 1 jam menunjukkan penurunan kadar Hb

- Adanya lekositosis

11. Kuldosentesis (Douglas pungsi)

- Untuk mengetahui adakah darah dalam kavum Douglasi

20

Page 21: Case KET Andrea

- Bila keluar darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau

hanya berupa bekuan – bekuan kecil di atas kain kasa maka hal ini dikatakan

positif (fibrinasi) dan menunjukkan adanya hematoma retrouterina

- Bila darah segar berwarna merah dan dalam beberapa menit membeku ; hasil

negatif karena darah ini berasal dari arteri atau vena yang kena tusuk

12. Dengan cara diagnostik laparoskopik

13. Dengan cara USG

Diagnosis diferensial

1. Infeksi pelvik.

2. Abortus iminens atau insipiens

3. Ruptur korpus luteum

4. Torsi kista ovarium

5. Apendisitis akut

6. Salpingitis akut

7. Mioma submukosa yang terpelintir

8. Ruptur pembuluh darah mesenterium

Penatalaksanaan

1. Penderita yang disangka KET harus dirawat inap di rumah sakit untuk

penanggulangannya

2. Bila ibu dalam keadaan syok, perbaiki keadaan umumnya dengan pemberian cairan

secukupnya dan tranfusi darah

3. Setelah diagnosa jelas atau sangat disangka KET, dan keadaan umum baik atau

lumayan, segera lakukan laparotomi untuk menghilangkan sumber perdarahan :

dicari, diklem, dan dieksisi sebersih mungkin (salpingektomi), kemudian diikat sebaik

– baiknya

4. Sisa – sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan

lebih cepat

5. Berikan antibiotika yang cukup dan obat anti inflamasi

Komplikasi yang mungkin terjadi

21

Page 22: Case KET Andrea

1. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila ruptur tuba telah lama berlangsung (4 – 6

minggu), terjadi perdarahan ulang (reccurent bleeding). Ini merupakan indikasi

operasi

2. Infeksi

3. Sub ileus karena massa pelvis

4. Sterilitas

Prognosis

Kematian karena KET cenderung turun dengan diagnosis dini dan fasilitas yang cukup.

VARIAN-VARIAN KEHAMILAN EKTOPIK

Kehamilan Abdominal

Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder

akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi

primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal

22

Page 23: Case KET Andrea

tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila

intrauterin. Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi

intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion

dengan usus. Pada kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding

tuba secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun

juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba

plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen.

Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada

kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal

berawal dari indeks kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut,

meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan

abdominal:

1) tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan janin,

2) plasenta terletak di luar uterus,

3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu,

4) letak janin abnormal, dan

5) tidak ada cairan amnion antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat

memberikan visualisasi yang jauh lebih baik daripada USG.

Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar 10-25%,

namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat

oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan

kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas.

Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab

itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk

diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin

yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan

berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses,

dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat

merusak organ-organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin

23

Page 24: Case KET Andrea

yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga

abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko

tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat

implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi,

cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur

intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula.

Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta

tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan,

dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta

ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit

kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver

hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4

bulan. Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan

abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta preeklamsia persisten.

Regresi plasenta dimonitor dengan pencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar β-hCG

serum. Pemberian methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan,

karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan

nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-

arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.

Kehamilan Ovarium

Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878, Spiegelberg

merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2)

kantong gestasi harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan

melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong

gestasi. Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan

tuba. Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya

akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.

Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau

perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai

kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani

24

Page 25: Case KET Andrea

dengan pembedahan yang sering kali mencakup ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil,

maka reseksi parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan

untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu.

Kehamilan Serviks

Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang.

Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan. Burg

mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang

disertai oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa

instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium

tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan

serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase

traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma Asherman. Hubungan serupa juga tercermin

pada fakta bahwa Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka kehamilan

serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks juga berhubungan

dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi

oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya

kehamilan tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis,

semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan

hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya

mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu.

Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya, adalah

evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil

konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada

kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung

sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan

tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama

bila pasien ingin mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode

nonradikal yang digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter

Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan

terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan

25

Page 26: Case KET Andrea

balon kateter segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya

vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3

dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi

angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan

hasil yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Italia24. Sebelum

kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan

bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase

tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi

kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan

setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya

memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat

diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun intraamnion.

Kehamilan Ektopik Heterotipik

Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterin.

Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan

heterotipik adalah 1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya sekarang

telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat

perkembangan teknik-teknik reproduksi. Kemungkinan kehamilan heterotipik harus

dipikirkan pada kasus-kasus sebagai berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila hCG

tetap tinggi atau meningkat setelah dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus

uteri melampaui tingginya yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2

korpus luteum, 5) bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin.

Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi

kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari

penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan

kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya

penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan

penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.

26

Page 27: Case KET Andrea

Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi

baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant

management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.

Penatalaksanaan Ekspektasi

Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien dengan

kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-hCG. Pada penatalaksanaan

ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar β-hCG yang stabil atau cenderung turun

diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat

menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-

keadaan berikut: 1) kehamilan ektopik dengan kadar β-hCG yang menurun, 2) kehamilan

tuba, 3) tidak ada perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak

melebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar β-hCG awal harus kurang dari 1000

mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa

penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.

Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan

dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-

syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada

aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas,

harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan

pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada

kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang

normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini

akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.

Methotrexate

Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan,

termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak

27

Page 28: Case KET Andrea

sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate

diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan

tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada

umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis

dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal. Harus diketahui pula bahwa terapi

methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan

angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi

berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi

medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan

menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu

diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan.

Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.

Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi,

antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang.

Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang disebutkan dalam literatur

antara lain kadar β-hCG, progesterone, aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi

dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber

lain bahwa hanya kadar β-hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk memantau

keberhasilan terapi, pemeriksaan -hCG serial dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelah

dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang

diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan

hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik

nonsteroidal. Β-hCG umumnya tidak terdeteksi lagidalam 14-21 hari setelah pemberian

methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada

pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai

kegagalan terapi. Setelah terapi berhasil, kadar β-hCG masih perlu diawasi setiap minggunya

hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.

Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis

tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang

diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7.

Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan

dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi 28

Page 29: Case KET Andrea

methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba

dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan

melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate

dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang

belum terganggu.

Actinomycin

Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari

berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi

methotrexate sebelumnya.

Larutan Glukosa Hiperosmolar

Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi

medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan

keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba.

Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan

dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang

digunakan.

Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba

yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik

terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.

Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu

pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di

mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal

sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di

29

Page 30: Case KET Andrea

atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke

dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.

Salpingostomi

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang

berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini

dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan

antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan

dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan

elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per

sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per

laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.

Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi

methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama

daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani

masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini

lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka

kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara

bermakna.

Salpingotomi

Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada

salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada

perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara

salpingostomi dan salpingotomi.

Salpingektomi

30

Page 31: Case KET Andrea

Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang

sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi.

Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:

1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),

2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,

3) terjadi kegagalan sterilisasi,

4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,

5) pasien meminta dilakukan sterilisasi,

6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi,

7) kehamilan tuba berulang,

8) kehamilan heterotopik, dan

9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.

Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada

kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada

salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan

lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering

kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada

salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan

kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi,

sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari

mesosalping.

Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi

Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae

tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat

31

Page 32: Case KET Andrea

aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya.

Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak

dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar. R, Lutan. D. Kelainan letak kehamilan (kehamilan ektopik) : Sinopsis Obstetri edisi

kedua hal 226 – 237, 1998

Manuaba I.B.G, Manuaba I.B. Chandranita. Kehamilan ektopik : Pengantar Kuliah Obstetri,

hal 106-120, 2007

Hauth. C. John, dkk: Kehamilan ektopik, Obstetri Williams, Ed 21, vol 2, 982 – 1013, 2006

Wiknosastro H. Kehamilan ektopik. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachmihadhi T,

dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, Jakarta, 2005, 323 – 328

32