case gbs

Upload: biazaneta

Post on 06-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Neuro

TRANSCRIPT

Laporan KasusPSPD KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

INFEKSI SUSUNAN SARAF PUSAT PADA PASIEN AIDS

Narasumber:dr. Budi Wahjono, Sp.S

Penyusun:Monica RaharjoNIM 030.09.157

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIRUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJOMARET 2014DAFTAR ISI

BAB I : Ilustrasi Kasus2BAB II : Tinjauan Pustaka19Daftar Pustaka46

BAB IILUSTRASI KASUS

STATUS ILMU PENYAKIT SARAFRUMAH SAKIT TNI AL MINTOHARDJO

Nama Mahasiswa: Monica RaharjoNIM: 030.09.157Dokter Pembimbing: dr. Budi Wahjono, Sp.S

I. IDENTITAS PASIENNama: Tn. IJenis Kelamin: Laki-lakiUsia: 42 tahunSuku bangsa: JawaStatus perkawinan: Belum MenikahAgama: IslamPekerjaan: Guru TK/ Pelatih fitnessPendidikan: Tamat SLTAAlamat: Kemanggisan RT 004/011Tanggal masuk : 19 Februari 2014 Palmerah, Jakarta BaratII. ANAMNESISAnamnesis dilakukan secara allo-anamnesis pada tanggal 19 Februari 2014 kepada keponakan pasien.

Keluhan Utama: Penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien laki-laki 42 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS. Awalnya pasien hanya mengantuk kemudian penurunan kesadaran dirasa makin dalam hingga akhirnya dibawa ke rumah sakit. Selain penurunan kesadaran pasien juga mengalami demam tinggi. Demam naik-turun namun keluarga pasien tidak memperhatikan pola demam. Trauma sebelum penurunan kesadaran disangkal. Nyeri kepala, mual, dan muntah sebelum kejadian penurunan kesadaran disangkal. Kelemahan satu sisi tubuh sebelum kejadian penurunan kesadaran tidak dikatuhui namun beberapa anggota keluarga pasien mengaku sering melihat pasien menyeret kaki kirinya saat berjalan. Pasien 6 hari yang lalu baru pulang dari perawatan di RSAL untuk diare yang diderita selama kurang lebih 2 bulan. Dari perawatan sebelumnya diketahui pasien menderita HIV-AIDS. Sejak sakit pasien menjadi sulit makan dan mengalami penurunan berat badan.

Riwayat Penyakit Dahulu:Pasien tidak pernah mengalami penurunan kesadaran sebelumnya. Riwayat hipertensi, darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, dan penyakit paru disangkal. Pasien diketahui menderita HIV-AIDS dari perawatan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui secara jelas oleh keponakan pasien.

Riwayat Pengobatan:Pasien baru pulang dari perawatan di RSAL 6 hari yang lalu karena diare selama kurang lebih 2 bulan. Keponakan tidak mengetahui apa saja obat yang dikonsumsi pasien setelah keluar dari perawatan.

Riwayat Kebiasaan dan Sosial:Pekerjaan pasien ialah seorang guru TK, trainer fitness, dan guru les sebagai pekerjaan sampingan. Keluarga pasien mengaku pasien sering lembur untuk mengajar hingga larut malam. Pasien belum menikah namun saat ini tinggal satu rumah bersama pacarnya, sebelumnya diketahui pasien pernah beberapa kali tinggal satu rumah dengan pacar-pacar sebelumnya. Penggunaan obat-obatan terlarang/ narkoba disangkal. Konsumsi alkohol disangkal. Merokok disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 Februari 2014. Dilakukan pemeriksaan status generalis dan pemeriksaan status neurologis dengan hasil sebagai berikut:

Status Generalis:A. Keadaan umum: Tampak sakit beratB. Kesadaran : GCS E3V2M3C. Tanda vital:a. Tekanan darah : 130/80mmHgb. Nadi: 116 x/menit, reguler, isi cukupc. Pernapasan : 22 x/m d. Suhu : 37,7 CD. Gizi: Kesan gizi burukE. Kepala: Normocephali: Mata: Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik: Mulut: Tidak sianosis, tampak bercak putih pada lidahF. Leher: KGB dan tiroid tidak teraba membesarG. Thoraks : a. Paru-paru: Inspeksi gerak dinding dada simetris kanan dan kiri: Auskultasi suara dasar napas vesikuler, ronki kasar positif bilateral, wheezing positif bilateralb. Jantung: Inspeksi tidak tampak ictus cordis: Auskultasi BJ I-II reguler takikardia, murmur dan gallop negatifH. Abdomen:a. Inspeksi: Datarb. Auskulatasi: Bising usus positif frekuensi meningkatc. Palpasi: Supel, nyeri tekan tidak dapat dinilai, hepatomegali 2 jaridibawah arcus costae kanand. Perkusi: TimpaniI. Ekstremitas:a. Inspeksi: Edema tidak tampak, tampak atrofi otot ekstremitasb. Palpasi: Edema tidak teraba, keempat akral hangat, CRT < 2

Status PsikikusA. Cara berpikir: Tidak dapat dinilaiB. Perasaan hati: Tidak dapat dinilaiC. Tingkah laku: Tidak dapat dinilaiD. Ingatan: Tidak dapat dinilaiE. Kecerdasan: Tidak dapat dinilai

Status NeurologisA. Tanda Rangsang Meningeal Kaku Kuduk: (+) Brudzinki I: (-) Brudzinski II: (-) Laseque: (+) Kernig: (+)B. Kepala Bentuk: Normocephali Nyeri tekan: Tidak dapat dinilai Pulsasi : Pulsasi arteri temporalis (+) bilateral sama kuat Simetri: SimetrisC. Leher Sikap: Tidak tampak torticolis Pergerakan: Rotasi ke kanan dan kiri tidak terganggu, kaku kuduk (+)D. Kemampuan berbahasa Afasia Motorik: Tidak dapat dinilai Afasia Sensorik: Tidak dapat dinilai Disartria: Tidak dapat dinilaiE. Nervus KranialisNervus KranialisKananKiri

N. I Olfaktorius Subjektif Dengan bebanTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

N. II Optikus Tajam penglihatan Lapang penglihatan Melihat warna Fundus okuliTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

N. III Okulomotorius Sela mata Pergerakan bulbus Strabismus Nistagmus Eksoftalmus PupilBesarBentuk Refleks cahaya Refleks cahaya konsensual Refleks cahaya konvergensi Melihat kembarPtosis (-)Oculocephalic reflex (+)(-)Tidak dapat dinilai(-)

Diameter 1 mmBulat isokor(+)(+)

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiPtosis (-)Oculocephalic reflex (+)(-)Tidak dapat dinilai(-)

Diameter 1 mmBulat isokor(+)(+)

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

N. IV Trokhlearis Pergerakan mata (kebawah-kedalam) Sikap bulbus Melihat kembarTidak dapat dinilai

OrtoforiaTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

OrtoforiaTidak dapat dinilai

N. V Trigeminus Membuka mulut Mengunyah Mengigit Refleks kornea Sensibilitas mukaTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai(+)Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai(+)Tidak dapat dinilai

N. VI Abducen Pergerakan mata (ke lateral) Sikap bulbus Melihat kembarTidak dapat dinilai

OrtoforiaTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

OrtoforiaTidak dapat dinilai

N. VII Fasialis Mengerutkan dahi Menutup mata Memperlihatkan gigi Bersiul Perasaan lidah (2/3 depan) HiperakusisTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

N. VIII Vestibulokoklearis Detik arloji Suara berbisik Tes Swabach Tes Rinne Tes WeberTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

N. IX Glossofaringeus Perasaan lidah (1/3 belakang) Sensibilitas laringTidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

N. X Vagus Arkus faring Berbicara Menelan Nadi Refleks okulokardiakSimetris uvula ditengahTidak dapat dinilaiRefleks menelan (+) saat dilakukan pemasangan NGTDalam batas normalTidak dinilai

N. XI Accecorius Mengangkat bahu Memalingkan kepalaTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

N. XII Hypoglossus Pergerakan lidah Tremor lidah ArtikulasiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

F. Badan dan Anggota GerakJenis PemeriksaanKananKiri

1. Badan Respirasi Gerak kolumna vertebralisSimetrisTidak dapat dinilaiSimetrisTidak dapat dinilai

2. Anggota gerak atas Motorik Pergerakan Kekuatan Trofi Tonus Refleks fisiologis Biseps Triseps Radius Ulna Refleks patologis Hoffman-Tromner Sensibilitas Taktil Nyeri Suhu Diskriminasi 2 titik

Gerak pasif spastikTidak dapat dinilaiAtrofiEutoni

(+)(+)Tidak dinilaiTidak dinilai

(-)

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Gerak pasif spastikTidak dapat dinilaiAtrofiEutoni

(+)(+)Tidak dinilaiTidak dinilai

(-)

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

3. Anggota gerak bawah Motorik Pergerakan Kekuatan Trofi Tonus Refleks fisiologis Patella Achilles Refleks patologis Babinski Chaddock Schaefer Oppenheim Gordon Mendel Bechterew Rossolimo Klonus Paha Kaki Sensibilitas Taktil Nyeri Suhu Diskriminasi 2 titikLateralisasi sinistraGerak pasif baikTidak dapat dinilaiAtrofiEutoni

(+)(+)

(-)(-)(-)(-)(-)Tidak dinilaiTidak dinilaiTidak dinilai

(-)(-)

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Gerak pasif baikTidak dapat dinilaiAtrofiEutoni

(+)(+)

(-)(-)(-)(-)(-)Tidak dinilaiTidak dinilaiTidak dinilai

(-)(-)

Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

4. Koordinasi, gait, keseimbangan Cara berjalan Tes Romberg Disdiadokokinesia Ataksia Rebound phenomenon Dismetri

Tidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukanTidak dapat dilakukan

5. Gerak abnormal Tremor Athetose Mioklonik Chorea(-)(-)(-)(-)(-)(-)(-)(-)

6. Alat vegetatif Miksi Defekasi Refleks anal Refleks kremaster Refleks bulbocavernosusTidak ada gangguanTidak ada gangguanTidak dinilaiTidak dinilaiTidak dinilaiTidak ada gangguanTidak ada gangguanTidak dinilaiTidak dinilaiTidak dinilai

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUMPemeriksaan laboratorium dilakukan pada tanggal 19 Februari 2014 saat pasien masuk meliputi pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan elektrolit, serta pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dengan hasil:

Jenis PemeriksaanHasil PemeriksaanNilai Rujukan

Pemeriksaan Darah Lengkap

Leukosit13.600/ mm3 ()5.000 10.000/ mm3

Eritrosit4.90 juta/ mm34.6 6.2 juta/ mm3

Hemoglobin13.7 g/dl13 16 g/dl

Hematokrit40%40 48%

Trombosit468.000/ mm3 ()150 400 ribu/ mm3

Hitung Jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit(dalam %)-- ()1 ()87 ()5 ()7(dalam %)0-12-42-650-7020-402-8

LED2 mm/jam0-5 mm/jam

Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Ureum104 mg/dl ()17-43 mg/dl

Creatinin1.4 mg/dl0.9-1.5 mg/dl

Pemeriksaan Fungsi Hati

SGOT41 u/l ()< 35 u/l

SGPT32 u/l< 41 u/l

Pemeriksaan Elektrolit

Natrium140 mmol/l134-146 mmol/l

Kalium3.7 mmol/l3.4-4.5 mmol/l

Klorida113 mmol/l ()96-108 mmol/l

Pemeriksaan Gula Darah

Gula darah sewaktu123 mg/dl80-140 mg/dl

Selain itu dari hasil perawatan sebelumnya telah dilakukan serangkaian pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dari AIDS pada pasien ini yaitu: tes HIV untuk deteksi virus dalam darah, pemeriksaan jumlah CD4, serta hitung limfosit. Hasil pemeriksaan yang dilakukan ialah:Jenis PemeriksaanHasil PemeriksaanNilai Rujukan

Tes HIV (11 Feb 2014)Reaktif/ positifNon-reaktif/ negatif

Hitung CD4 (13 Feb 2014) CD4 absolut CD4 %37 sel/ mikro l ()5 % ()410-1590 sel/ mikro l31-60 %

Hitung Limfosit (13 Feb 2014) Leukosit Limfosit % T limfosit % T limfosit count T helper limfosit % T helper limfosit count6.3 x 103/ ul12.4 % ()60 %468 ()5 % ()37 ()5.0 10 x 103/ ul20-40%55-84%690-254031-60%410-1590

Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa keadaan saat pasien masuk ditemukan leukosistosis (menandakan adanya infeksi), limfositopenia (mendukung status imun immunocompromized pasien), gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi ginjal. Dari data hasil pemeriksaan sebelumnya juga sudah dapat ditegakkan diagnosis ODHA pada pasien ini dimana didapat tes HIV yang reaktif disertai hitung CD4 yang kurang dari 200 sel/ mm3.

V. PEMERIKSAAN EKG

Dilakukan pemeriksaan EKG pada saat pasien awal masuk dengan hasilk sebagai berikut diatas. Interpretasinya ialah tampak gambaran suatu supraventricular tachycardia.

VI. DIAGNOSIS KERJAAx1. Suspek meningoensefalitisi. Diagnosis klinis: Penurunan kesadaran, febris, hemiparesis sinistra, kaku kudukii. Diagnosis topis: Meningen dan hemisfer cerebriiii. Diagnosis etiologis: Infeksiiv. Diagnosis patologis: MeningoensefalitisAx2. ODHA stadium IVAx3. Kandidiasis oralAx4. Gangguan fungsi hati dan ginjal

VII. TATALAKSANA AWALA. Non-medikamentosa: Rawat inap Rawat bersama IPD saran terapi ARV dan terapi anti-jamur Pemasangan NGT untuk nutrisi Pemasangan foley catheter untuk diuresis dan monitoring fungsi ginjal Observasi tanda vital Observasi tingkat kesadaran Edukasi keluarga berhati-hati saat kontak dengan darah dan cairan tubuh lainnyaB. Medikamentosa: IVFD RL 20 tpm Injeksi ceftriaxon 2 x 1 gr Injeksi metronidazole 3 x 500 mg Infeksi dexamethason 3 x 1 ampul Injeksi ranitidine 2 x 1 ampul Drip pamol 3 x 1 gr k/p (bila suhu lebih dari 38.5C)C. Diagnostik: CT-scan kepala dengan kontras

VIII. FOLLOW-UP PASIENTglSubjectiveObjectiveAssessmentPlanning

20/2Penurunan kesadaran. Demam.TD: 190/80S: 37.2CGCS E3V2M4 Gangguan fungsi hati dan ginjal ec dehidrasi Diet lunak IVFD D5% : NaCl 2:2 20 tpm Stimuno 3 x 1 tab Effavirent 1 x 1 tab Lamivudin 2 x 1 tab Kotrimoxazole 2 x 2 tab

21/2SDA.TD 140/100S 37.6CGCS E3V1M4SDA.SDA.

22/2SDA.TD 130/90S 37.8CGCS E3V1M4CT-scan (+) Abses otak Dexa stop ganti mannitol 4 x 125 cc Konsul bedah saraf

23/2SDA.TD 140/80S 37.8CGCS E3V1M4Pupil sekarang isokor 3 mm/ 3 mmSDA. Ranitidin stop Mannitol stop

24/2SDA.TD 130/80S 38CGCS E4V2M4SDA. Diet cair 6 x 300cc TKTP Mannitol 4 x 125 cc Aminoral 3 x 1 tab IVFD ganti neprosteril : asering 2 : 2 20 tpm Tyarit 2 x 1 tab Pro renal 3 x 1 tab Ceftriaxone stop ganti cefoperazone 2 x 1 gr

25/2Kesadaran somnolen.TD 130/90S 36.4CGCS E4V3M4SDA.SDA.

26/2Batuk berdahak.TD 120/90S 36.5CGCS E4V1M6 apatisSDA. Mannitol diturunkan 2 x 125 cc, besok stop Mobilisasi duduk

27/2SDA.TD 130/90S 36.3CGCS E4V1M6 apatisSDA.SDA.

28/2Pasien sudah sadar.TD 120/70S 36.0CGCS E4V5M6 CMSDA.SDA.

01/3Nyeri pada kemaluan. Tungkai kiri lemah.TD 130/90S 36.7CGCS E4V5M6 CMMotorik 5-/5- 5-/4SDA. IVFD NaCl 14 tpm Aminoral stop

02/3Suara serak.TD 140/80S 36.8CGCS E4V5M6 CMSDA.SDA.

03/3Nyeri perut. Sulit menelan.TD 150/100S 37.8CGCS E4V5M6 CM Kandidiasis orofaring Boleh rawat jalan observasi dahulu Obat pulang: Effavirent, Lamivudin, Stavudin, Kotrimoxazole, Pamol, Asam mefenamat Nystatin oral drip 4 x 15 tetes dioleskan

04/3Demam. Ada koreng di kemaluan.TD 120/70S 38.2CGCS E4V5M6 CMTRM sudah (-)Motorik 5-/5- 5-/5-SDA. Observasi tanda vital

05/3Nyeri di kemaluan.TD 130/70S 36.7CGCS E4V5M6 CMSDA. Boleh rawat jalan bila IPD acc neuro lepas rawat

IX. PEMERIKSAAN PENCITRAANPemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada pasien ini ialah pemeriksaan CT-scan tanpa kontras dan didapatkan hasil sebagai berikut pada tanggal 20 Februari 2014:

Tampak gambaran hipodens luas yang bertambah di white matter kanan-kiri. Terlihat lesi samar-samar bulat di parietal sinistra dengan diameter 2.5 cm. Ventrikel lateral kanan kiri kesan terdesak. Mid line shift ke kiri 6 mm. Sulci dan gyri baik. Cerebellum dan cerebellopontine angle baik. Midbrain, pons, dan medulla baik. Sella dan parasella baik. Tampak penebalan mukosa sinus maksilaris dekstra. Orbita dan soft tissue maksilofasial baik. Tulang-tulang intak. Kesan:1. Suspek white matter disease/ demyelinating disease2. Suspek abses cerebri sinistra di parietal3. Sinusitis maksilaris dekstra4. Herniasi subfalcin ringan ke sinistra

X. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang tambahan yang dianjurkan pada pasien ini ialah sebagai berikut:1. Lumbal pungsi2. CT-scan dengan kontras3. Pemeriksaan antigen TORCH4. Foto thoraks5. Foto sinus maksilaris

XI. RESUMEPasien laki-laki usia 42 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran yang terjadi secara progresif dalam waktu 2 hari SMRS. Penurunan kesadaran didahului oleh demam yang tinggi naik-turun dan disertai oleh keluhan kelemahan pada tungkai kiri. Keluhan lain disangkal. Pasien sebelumnya dirawat karena diare lama sekitar 2 bulan, intake sulit, dan diketahui menderita HIV-AIDS. Kebiasaaan promiskuitas positif. Dari pemeriksaan fisik status generalis didapatkan febris, kesan gizi buruk, bercak keputihan pada lidah, ronki positif bilateral, serta hepatomegali. Dari pemeriksaan neurologis didapatkan tanda rangsang meningeal yang positif dan lateralisasi sinistra pada pemeriksaan motorik. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis, limfositopenia, gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi ginjal. Hasil pemeriksaan HIV didapatkan reaktif serta hitung CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pemeriksaan EKG didapatka supraventrikular takikardia. Pemeriksaan CT-scan tanpa kontras memberikan gambaran cerebritis serta abses cerebri di lobus parietal sinistra. Pasien membaik dengan tatalaksana medis berupa pemberian antibiotika serta anti retro-viral. Tindakan pembedahan tidak diperlukan. Diagnosis akhir pasien ialah sebagai berikut:Ax1. Meningoensefalitis dan abses otaki. Diagnosis klinis: Penurunan kesadaran, febris, hemiparesis sinistra, kaku kudukii. Diagnosis topis: Meningen, hemisfer serebri, dan lobus temporalis sinistraiii. Diagnosis etiologis: Infeksiiv. Diagnosis patologis: Meningoensefalitis dan abses otakAx2. ODHA stadium IVAx3. Kandidiasis orofaringAx4. Gangguan fungsi hati dan ginjal ec dehidrasi

XII. PROGNOSISAd vitam: Dubia ad bonamAd sanationam: Dubia ad malamAd functionam: Dubia ad malam

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

I. PENURUNAN KESADARANKesadaran ialah suatu keadaan diamana seseorang mengtahui akan keberadaan dirinya dan lingkungannya serta dapat memberikan respons yang adekuat terhadap rangsangan/ stimulus dari luar. Keadaan sadar dibedakan atas tingkat kesadaran serta kualitas kesadaran. Keadaan sadar ini dipertahankan oleh dua struktur penting yaitu ascending reticular activating system serta kedua hemisfer serebri. Gangguan pada salah satu struktur tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

TatalaksanaTatalaksana untuk pasien yang datang dengan penurunan kesadaran dibagi atas dua langkah, yaitu:1. Melakukan tindakan emergensi untuk menstabilkan pasien dan mengatasi kondisi yang dapat mengancam jiwa2. Mencari etiologi/ penyebab dari penurunan kesadaran dalam rangka menegakkan diagnosisTatalaksana emergensi untuk pasien dengan penurunan kesadaran dapat dibagi dalam tiga kategori berbeda yaitu tatalaksana segera/ immediately, tatalaksana berikutnya/ next, dan tatalaksana kemudian/ later.

1. Tatalaksana segera/ immediately:a. Memastikan patensi dari ABC (airway, breathing, circulation): Hal ini dilakukan dengan cara inspeksi dan dengan cara mengukur tanda vital pasien yakni tekanan darah, nadi, laju respirasi, serta suhu. Yang pertama perlu diperhatikan ialah airway. Bila terdapat obstruksi pada jalan napas (ditandai kesulitan bernapas atau terdengarnya suara napas) maka obstruksi perlu dikeluarkan. Bila obstruksi sulit untuk diatasi maka perlu dilakukan tindakan intubasi. Dalam hal ini perlu diperhatikan apakah terdapat trauma pada daerah servikal atau tidak (konfirmasi dilakukan dengan foto radiologis servikal). Bila terdapat spine cervical instability sedangkan pasien memerlukan tindakan intubasi untuk membebaskan jalan napas maka perlu dilakukan trakeostomi. Selanjutnya diperhatikan komponen breathing dari pasien. Ventilasi pasien dinilai adekuat bila tidak didapatkan adanya sianosis, laju pernapasan lebih dari 8 kali per menit, dan suara napas dapat terdengar pada pemeriksaan auskultasi dada. Bila didapatkan hal yang sebaliknya dengan pada evaluasi pasien maka perlu dipertimbangkan ventilator pada pasien tersebut. Status circulation dinilai dengan mengukur nadi dan tekanan darah. Bila didapatkan gangguan sirkulasi maka dilakukan resusitasi cairan melalui jalur intravena, serta dapat diberikan obat-obatan vasopressor atau anti-aritmik sesuai dengan indikasi.b. Memasang akses intravena dan mengambil darah untuk pemeriksaan laboratorium: Akses intravena diperoleh dengan tujuan resusitasi cairan bila diperlukan. Selain itu dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang perlu diperiksa segera ialah kadar glukosa darah, kadar elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan pembekuan darah (PT dan APTT), serta pemeriksaan darah lengkap.c. Memulai pemberian cairan intravena dan pemberian dekstrosa, tiamin, serta nalokson: Pasien dengen penurunan kesadaran perlu diberikan 25 gram dekstrosa secara intravena (50 cc cairan dekstrosa 50%) untuk mengatasi koma hipoglikemia. Karena pemberian dekstrosa tunggal dapat memperburuk keadaan pasien dengan ensefalopati Wernicke yang mengalami defisiensi tiamin maka perlu diberikan juga 100 mg tiamin secara intravena. Untuk penatalaksanaan overdosis opium maka dapat diberikan antaganis opium yaitu nalokson 0.4-1.2 mg secara intravena.d. Mengambil sampel darah arteri untuk pemeriksaan AGD: Hal ini perlu dilakukan terutama bila dicurigai penyebab koma merupakan penyebab metabolik.e. Mengatasi kejang bila ada: Bila terdapat kejang maka perlu ditatalaksana segera karena kejang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak. Kejang yang persisten atau rekuren dapat dianggap dan ditatalaksana sebagai suatu status epileptikus.2. Tatalaksana berikutnya/ next:a. Melakukan anamnesis lengkap secara allo-anamnesis.b. Melakukan pemeriksaan fisik status generalis dan status neurologis secara lengkap: Dalam hal ini bila ditemukan tanda rangsang meningeal yang positif maka perlu dipertimbangkan dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi untuk menyingkirkan meningitis.c. Melakukan pemeriksaan CT-scan kepala bila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diduga adanya lesi susunan saraf pusat atau perdarahan.3. Tatalaksana kemudian/ later:a. Melakukan pemeriksaan EKG.b. Melakukan koreksi hiper atau hipotermia.c. Melakukan koreksi gangguan keseimbangan asam-basa atau elektrolit.d. Melakukan pemeriksaan foto thoraks.e. Melakukan pemeriksaan darah dan urin lengkap bila perlu.f. Melakukan pemeriksaan EEG bila perlu.

AnamnesisData yang paling penting untuk diperoleh melalui anamnesis ialah proses bagaimana penurunan kesadaran dapat terjadi. Hal ini meliputi onset terjadinya penurunan kesadaran dan keadaan terakhir dimana pasien masih didapatkan sadar. Bila penurunan kesadaran terjadi secara mendadak atau tiba-tiba maka dapat dipertimbangkan penyebab penurunan kesadaran karena suatu kelainan vaskuler atau infeksi. Sedangkan bila penurunan kesadaran terjadi secara progresif dapat dipikirkan tumor atau kelainan degenerative. Ditanyakan juga apakah sebelum terjadinya penurunan kesadaran terjadi trauma. Bila penurunan kesadaran terjadi secara mendadak setelah trauma dapat dipertimbangkan suatu perdarahan epidural, perdarahan subdural akut, perdarahan subaraknoid, maupun perdarahan intraserebral. Bila penurunan kesadaran terjadi perlahan dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dapat dipikirkan suatu perdarahan subdural kronis. Selain itu ditanyakan juga gejala dan tanda lain yang menyertai penurunan kesadaran. Adanya demam dapat mengarahkan kepada infeksi. Adanya kelainan neurologis fokal seperti hemiparesis, defisit hemisensoris, atau afasia dapat mengarahkan adanya suatu lesi susunan saraf pusat. Adanya kesadaran yang berkabut atau kebingungan sebelum terjadinya penurunan kesadaran tanpa gangguan neurologis lainnya dapat dipikirkan suatu kelainan metabolik.

Pemeriksaan FisikPada pasien dengan penurunan kesadaran perlu dilakukan pemeriksaan fisik generalis dan pemeriksaan fisik neurologis.1. Pemeriksaan fisik generalis:Pemeriksaan fisik status generalis meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital (yaitu tekanan darah, nadi, laju pernapasan, serta suhu) dan pemeriksaan umum dari kepala sampai ekstremitas.Pengukuran tekanan darah bisa didapatkan meningkat atau menurun. Bila didapatkan tekanan darah yang tinggi bisa merupakan penyebab dari penurunan kesadaran atau akibat dari penurunan kesadaran. Pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi dan diketahui memiliki riwayat hipertensi maka perlu dipertimbangkan suatu stroke perdarahan atau ensefalopati hipertensi. Pada pasien dengan ensefalopati hipertensi dapat ditemukan tekanan darah diatas 250/150 mmHg. Tekanan darah yang tinggi dapat disebabkan oleh proses yang menyebabkan penurunan kesadaran seperti perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, atau suatu stroke batang otak. Pada pasien dengan tekanan darah yang rendah perlu dilakukan resusitasi cairan bahkan dapat diberikan obat-obatan vasopressor.Pengukuran suhu bisa didapatkan adanya hipotermia atau hipertermia. Hipotermia bisa didapatkan pada pasien dengan koma akibat intoksikasi obat (etanol atau sedatif), hipoglikemia, ensefalopati Wernicke, ensefalopati hepatik, atau myxedema. Koma dengan hipertermia bisa didapatkan pada pasien dengan heat stroke, status epileptikus, hipertermia maligna, kerusakan hipotalamus karena lesi atau gangguan vaskuler, maupun pada infeksi.Pada pemeriksaan fisik status generalis yang perlu diperhatikan selain tanda-tanda vital ialah tanda-tanda adanya suatu trauma. Bila dari anamnesis tidak diketahui apakah penurunan kesadaran didahului suatu trauma atau tidak maka tanda-tanda trauma perlu dicari. Pertama dilakukan inspeksi dari kepala apakah terdapat tanda fraktur basis cranii meliputi: raccoon eyes (ekimosis periorbital), battle sign (daerah mastoid di belakang telinga bengkak dan tampak diskolorasi), hemotimpanum (terlihat darah di kavum timpani/ di belakang membrana timpani), dan rinore/ otore cairan serebrospinal (keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga). Selanjutnya dilakukan palpasi dari kepala pasien. Pada palpasi diperhatikan tanda-tanda truma yaitu apakah terdapat depresi tulang kepala (pada fraktur impresi kranium) atau soft tissue swelling. 2. Pemeriksaan fisik neurologis:Kesadaran pasien dinilai menggunakan glascow coma scale (GCS) dimana dinilai respons mata, respons verbal, dan respons motorik terhadap nyeri (movement). Respons motorik terhadap nyeri diperiksa dengan cara menekan daerah supraorbital, sternum, atau kuku. Dengan menilai respons motorik terhadap nyeri dapat dilokalisasi tingkat disfunsi serebri pada pasien dengan penurunan kesadaran: Early diencephalic: Pasien dengan disfungsi serebri yang ringan sampai sedang pada tingkat diensefalon akan memberikan respons motorik berupa lokalisasi nyeri. Respons yang didapat dapat asimetris. Respons ini dibedakan dengan refleks dekortikasi dan deserebrasi dengan adanya abduksi tungkai. Late diencephalic: Pasien dengan lesi yang mengenai talamus atau masa yang menekan talamus dari atas akan memberikan respons dekortikasi terhadap rangsang nyeri (respons dapat asimetris). Respons dekortikasi ialah bila didapatkan fleksi lengan pada articulatio cubiti, aduksi articulatio glenohumeral, dan ekstensi kedua tungkai. Midbrain: Pasien dengan gangguan midbrain akan memberikan respons deserebrasi berupa ekstensi pada articulatio cubiti, rotasi interna articulatio glenohumeral, pronasi, serta ekstensi kedua tungkai. Pons atau medulla: Pasien dengan gangguan pons atau medulla oblongata tidak memberikan respons terhadap rangsang nyeri. Kadang dapat terjadi fleksi pada articulatio genu akibat refleks spinal.Bila didapatkan respons yang unilateral atau asimeteris perlu dipertimbangkan adanya proses patologis pada hemisfer serebri yang kontralateral atau pada batang otak sisi kontralateral.Tanda rangsang meningeal penting untuk diperiksa pada pasien dengan penurunan kesadaran. Bila didapatkan tanda rangsang meningeal yang positif maka dipertimbakan suatu meningitis atau perdarahan subaraknoid. Tanda rangsang meningeal dapat hilang pada pasien dengan koma dalam.Pemeriksaan mata: Pemeriksaan funduskopi: Pada pemeriksaan funduskopi perlu diperhatikan adakah papil edema, perdarahan retina, atau perdarahan subhialoid. Papil edema ditemukan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan retina dapat ditemukan pada pasien dengan hipertensi akut atau kronik. Perdarahan subhialoid pada dewasa sugestif suatu perdarahan subaraknoid. Pemeriksaan pupil: Pada pemeriksaan pupil ditentukan ukuran dari pupil serta apakah refleks cahaya positif. Ukuran/ diameter pupil yang normal ialah 3-4 mm dan sama antara pupil kiri dan kanan (isokor). Pada anak-anak ukuran pupil lebih besar dan pada orang tua umumnya lebih kecil. Pupil yang normal juga akan mengalami vasokonstriksi bila terkena cahaya (refleks cahaya positif). Pupil yang miosis dan masih reaktif terhadap cahaya ditemukan bila terjadi kompresi talamus. Pupil midriasis dengan diameter lebih dari 7 mm dan tidak reaktif terhadap cahaya disebabkan oleh kompresi nervus okulomotorius pada titik manapun dari perjalanan saraf ini (dari midbrain sampai ke orbita) atau pada intoksikasi obat antikolinergik/ simpatomimetik. Penyebab paling sering dari suatu fixed dilated pupils ialah herniasi transtentorial dari lobus temporal bagian medial akibat satu massa supratentorial. Pupil dengan diameter 5mm yang tidak reaktif terhadap cahaya disebabkan oleh disfungsi batang otak pada tingkat midbrain. Pinpoint pupils (pupil dengan diameter 1-1.5 mm) ditemukan pada pasien dengan overdosis opium, kerusakan pada tingkat pons, keracunan organofosfat, penggunaan tetes mata miotikum, dan neurosifilis. Pupil yang asimetris disebut anisokor bila terdapat perbedaan diameter lebih dari 1mm. Pupil yang anisokor menandakan adanya lesi struktural yang mempengaruhi midbrain atau nervus okulomotorius. Pemeriksaan gerakan mata: Yang dimaksud dengan pemeriksaan gerakan mata pada pasien dengan penurunan kesadaran ialah pemeriksaan oculocephalic reflex dan oculovestibular reflex. Nama lain dari pemeriksaan oculocephalic reflex ialah pemeriksaan dolls head maneuver. Refleks ini diperiksa dengan cara melakukan rotasi pasif dari kepala pasien dimana bila batang otak tidak terganggu maka akan didapatkan respons gerakan horizontal bola mata menjauhi arah putaran kepala. Pemeriksaan oculovestibular reflex atau cold-water calorics testing diperiksa dengan cara irigasi membrana timpani dengan air dingin. Respons yang didapatkan ialah kedua mata akan bergerak (deviasi tonik) ke sisi telinga dimana dilakukan irigasi. Bila kedua refleks mata positif maka dapat disimpulkan bahwa fungsi batang otak intak (sekaligus menyingkirkan adanya lesi pada batang otak atau adanya lesi yang menekan batang otak).

Etiologi Penurunan KesadaranSecara patofisiologis, penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan fungsi ascending reticular activating system yang terdapat pada bagian rostral batang otak diatas midpons atau gangguan fungsi hemisfer serebri. Kedua struktur susunan saraf pusat inilah yang berfungsi mempertahankan kesadaran pada orang normal.Pada pasien dengan gangguan kesadaran perlu dicari etiologinya karena akan menentukan tatalaksana dan prognosis pasien tersebut. Yang penting ialah perlu dibedakan apakah penerunan kesadaran disebabkan oleh lesi struktural otak atau ensefalopati difus (misalnya akibat gangguan metabolik, meningitis, atau kejang). Bila dicurigai suatu lesi struktural otak maka merupakan kasus emergensi yang perlu dikonsulkan ke bidang bedah saraf karena mungkin memerlukan intervensi bedah. Etiologi penurunan kesadaran dapat dibagi atas:

1. Lesi struktural supratentorialBila terdapat suatu lesi struktural supratentorial maka dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya gangguan hemisfer serebri satu sisi ditandai oleh hemiparesis dan gangguan sensorik sesisi tubuh (hemisensory loss). Bila lesi terdapat pada sisi otak yang dominan dapat terjadi afasia, sedangkan bila lesi pada sisi otak yang tidak dominan dapat terjadi agnosia. Masa mengalami ekspansi serta menyebabkan edema sehingga menekan hemisfer kontralateral atau diensefalon sehingga terjadi penurunan kesadaran (pasien menjadi somnolen). Penurunan kesadaran semakin progresif seiring dengan tekanan dari lesi kebawah sehingga menekan talamus, midbrain, pons, dan akhirnya medulla. Tekanan lesi supratentorial kesegala arah menyebabkan herniasi sebagai berikut:

1) Herniasi falx serebri: Herniasi gyrus cingulata melalui falx serebri.2) Herniasi sentral/ transtentorial: Herniasi otak kebawah melalui tentorium.3) Herniasi unkal: Herniasi bagian medial dari lobus temporalis (uncus) melalui tentorium. Pada herniasi unkal dapat ditemukan uncal syndrome sebelum terjadinya penurunan kesadaran. Disebut suatu uncal syndrome bila ditemukan dilatasi pupil dan gangguan aduksi pada mata sisi ipsilateral terhadap lesi akibat penekanan nervus okulomotorius dan midbrain. 4) Herniasi tonsilar: Herniasi cerebellum melalui foramen magnum. Bila herniasi menyebabkan kompresi dari batang otak maka dapat terjadi koma kemudian kematian.Lesi struktural supratentorial dapat berupa: Hematoma subdural: Hematoma subdural merupakan perdarahan yang terjadi diantara dura mater dan arachnoid mater. Biasanya terjadi pada pasien yang lanjut usia dapat didahului oleh trauma maupun tidak (pada 25% dan umumnya pasien usia lanjut). Hal tersebut ialah karena pada pasien yang lanjut usia sudah terjadi atrofi otak sehingga bridging vein lebih tegang dan lebih rentan terhadap cedera/ laserasi bahkan rentan terhadap ruptur spontan. Trauma merupakan penyebab utama. Penemuan klinis utama ialah nyeri kepala dan penurunan kesadaran. Gejala neurologis dapat tidak ditemukan dan non-spesifik terutama pada hematoma subdural kronis dimana gejala neurologis muncul beberapa bulan bahkan tahun setelah cedera kepala. Gejala neurologis yang umumnya terdapat termasuk hemiparesis kontraletral dan dilatasi pupil ipsilateral. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan CT-scan dimana didapatkan gambaran hiperdens bulan sabit (high-density crescentic mass). Tatalaksana hematoma subdural simptomatik ialah dengan evakuasi darah melalui tindakan pembedahan. Hematoma epidural: Hematoma epidural ialah perdarahan diantara kranium dan dura mater. Penyebab dari suatu hematoma epidural ialah trauma kepala yang biasanya berhubungan dengan fraktur kranium bagian lateral sehingga menyebabkan robeknya arteri atau vena meningea media. Pasien dapat mengalami penurunan kesadaran secara langsung ataupun tidak. Biasanya didapatkan suatu interval lucid beberapa jam sebelum onset penurunan kesadaran selanjutnya. Pada periode interval lucid ini pasien dapat mengeluh adanya nyeri kepala, muntah, kejang, dan gejala neurologis fokal. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan CT-scan dimana didapatkan gambaran hiperdens bikonveks (biconvex lense-shaped mass). Tatalaksana ialah dengan evakuasi hematom (pembedan). Kontusio serebri: Kontusio serebri disebabkan oleh trauma kepala dimana pasien mengalami penurunan kesadaran kemudian menjadi sadar kembali. Edema disekitar daerah kontusio dapat semakin progresif menyebabkan fluktuasi kesadaran, kejang, dan gejala neurologis fokal. Pasien perlu diobservasi secara ketat karena perburukan menandakan mungkin terjadi suatu herniasi. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan CT-scan. Tatalaksana ialah dengan mengatasi edema otak. Perdarahan intraserebral: Penyebab paling sering suatu perdarahan intraserebral ialah hipertensi kronik. Perdarahan intraserebral biasanya terjadi secara mendadakan saat pasien dalam keadaan sadar dan tidak didahului gejala prodormal seperti pada TIA atau infark. Gejala yang bisa didapatkan sebelum pasien mengalami penurunan kesadaran antara lain nyeri kepala, mual, muntah, serta hemiparesis (tergantung dari letak lesi). Penurunan ksesadaran terjadi secara progresif dalam waktu menit sampai jam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hipertensi (biasanya 170/90 mmHg), tanda-tanda hipertensi pada pemeriksaan funduskopi, kaku kuduk, dan deviasi mata ke sisi lesi. Diagnosis dikonfirmasi dengan gambaran darah intraparenkim pada CT-scan kepala. Tatalaksana pada perdarahan intraserebral ialah dengan mengatasi edema otak yang terjadi, sebagai berikut:

Tekanan darah tidak diturunkan pada fase akut karena dapat menyebabkan hipoperfusi. Tindakan pembedahan dapat dipertimbangkan bila bekuan darah terletak superficial dan menyebabkan efek desak ruang. Biasanya pasien dengan perdarahan intraserebral kondisinya semakin buruk hingga mengalami kematian, namun bila masa akut sudah terlewati maka pasien akan membaik seiring dengan resorpsi bekuran darah dalam waktu minggu sampai bulan. Abses otak: Abses otak ialah kumpulan pus didalam parenkim otak dikelilingi oleh jaringan otak yang meradang. Abses otak merupakan kelainan yang jarang, hanya 2% kasus masa intrakranial. Faktor predisposisi paling sering untuk terbentuknya suatu abses otak ialah metastasis infeksi (biasanya dari paru) melalui pembuluh darah, ekstensi infeksi parameningeal (otitis, osteomielitis kranium, dan sinusitis), trauma kepala, kraniotomi, dan penyakit jantung kongenital. Etiologi dari abses otak yang paling sering ialah streptokokus baik aerob, anaerob, dan mikroaerofilik; dan mikroorganisme gram negatif yang anaerob seperti bakteriodes, fusobakterium, dan prevotella. Umumnya penyebab abses otak adalah multipel. Gejala klinis yang didapat pada pasien dengan abses otak ialah menyerupai lesi desak ruang pada umumnya dimana ditandai oleh nyeri kepala, kaku kuduk, dan gejala neurologis fokal. Penurunan kesadaran terjadi secara progresif dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Selain itu juga ditemukan tanda-tanda infeksi lainnya seperti demam (pada 40% tidak ditemukan adanya demam) dan leukositosis (pada 20% leukosit didapatkan dibawah 10,000/mm3). Diagnosis ditegakkan bila ditemukan lesi dengan contrast-enhanced rim pada pemeriksaan CT-scan dan MRI. Pemeriksaan lumbal pungsi umumnya didapatkan tekanan 200 mm air, pleositosis 25-500 leukosit/mm3, dan elevasi protein 45-500 mg/dl. Namun lumbal pungsi seharusnya tidak dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki abses otak. Tatalaksana abses otak ialah dengan antibiotika atau dikombinasi dengan dranaise abses. Indikasi drainase abses ialah bila abses menekan jaringan sekitar dan bila abses terletak dekat ventrikel sehingga dapat terjadi rupture abses ke dalam sistem ventrikel. Pengobatan dengan antibiotika merupakan pengobatan tunggal bila abses multipel atau pada stadium awal. Terapi antibiotika ialah sebagai berikut: Bila organisme penyebab tidak diketahui maka diberikan antibiotika spektrum luas. Regimen yang dianjurkan ialah penicillin D 3-4 juta unit secara intravena setiap 4 jam dan metronidazole 7.5 mg/kgBB secara intravena atau per oral setiap 6 jam. Bila penyebab abses otak ialah stafilokokus maka diberikan oxacillin dan nafcillin dengan dosis 3 gram secara intravena setiap 6 jam. Bila dicurigai infeksi organisme aerob gram-negatif terutama bila didahului oleh trauma maka dapat diberikan cefotaxime atau ceftriaxone.Selain pengobatan dengan antibiotika juga dapat diberikan glukokortikoid untuk mengurangi edema di sekitar abses. Bila secara klinis pasien tidak membaik dengan tatalaksana medis maka perlu dilakukan aspirasi dengan jarum untuk identifikasi organisme penyebab abses. Infark serebri: Infark pada satu sisi dari hemisfer serebri tidak menyebabkan penurunan kesadaran karena disfungis hemisfer serebri yang bilateral diperlukan untuk terjadinya suatu penurunan kesadaran. Terjadinya penurunan kesadaran pada kasus infark luas dapat terjadi akibat edema otak yang mengikuti kejadian infark, menekan hemisfer serebri kontralateral, dan menyebabkan herniasi transtentorial sehingga terjadi koma bahkan dapat mengakibatkan kematian. Edema serebri ialah maksimal 48-72 jam setelah kejadian infark serebri. Pada anamnesis akan didapatkan gejala neurologis fokal yang terjadi secara mendadak kemudian baru terjadi penurunan kesadaran dalam waktu beberapa hari. Tumor otak: Penurunan kesadaran terjadi pada tahap akhir dari suatu perjalanan tumor dimana sebelumnya didapatkan tanda-tanda peningkatana tekanan intrakranial serta gejala defisit neurologis. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya gambaran tumor pada pemeriksaan CT-scan dan MRI. Tatalaksana ialah dengan mengatasi edema dan melakukan pembedahan. Bila pembedahan tidak dapat dilakukan dapat dilakukan radioterapi dan kemoterapi (dapat juga dikombinasi dengan pembedahan).

2. Lesi struktural subtentorialLesi struktural subtentorial ditandai oleh penurunan kesadaran dengan onset yang mendadak/ tiba-tiba dengan tanda-tanda disfungsi batang otak yang fokal. Tanda disfungsi batak otak dapat berupa kelainan pupil yang asimetris (refleks cahaya hilang) dan gangguan pola pernapasan yaitu ataxic atau gasping.Yang termasuk lesi struktural subtentorial ialah: Trombosis/ emboli arteri basilaris: Penurunan kesadaran terjadi akibat terganggunya aliran darah ke reticular activating system di batang otak. Pasien umumnya usia lanjut dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung, atau TIA sebelumnya. Selain penurunan kesadaran dapat ditemukan hemiparesis, hiperefleksia, dan refleks Babinski yang positif. Terapi ialah dengan obat antikoagulan. Perdarahan pons: Perdarahan pons merupakan kasus yang jarang hanya 6% dari seluruh perdarahan intraserebral. Pasien biasanya memiliki riwayat hipertensi. Tanda khas dari perdarahan pons ialah apoplectic onset of coma. Gejala yang mengarah ke suatu disfungsi pons ialah ocular bobbing, pinpoint pupils, dan gerakan bola mata ke arah lateral yang terganggu. Hipertermia dapat ditemukan bila pasien tidak meninggal dalam beberapa jam. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan CT-scan atau MRI. Tidak ada tatalaksana yang efektif. Perdarahan atau infark serebelum: Gejala klinis gangguan pada serebelum bervariasi. Pada sebagian pasien terjadi penurunan kesadaran secara cepat yang dapat berujung kematian. Diagnosis ditegakkan dengan CT-scan atau MRI. Tatalaksana tidak ada yang efektif, dapat dipertimbangkan dekompresi (intervensi bedah). Hematoma epidural/ subdural pada fossa posterior: Kedua lesi ini sangat jarang ditemukkan dan memiliki presentasi klinis yang mirip. Dari anamnesis akan didapatkan riwayat trauma pada daerah oksipital beberapa jam atau beberap minggu yang lalu. Gambaran klinis yang timbul ialah akibat kompresi batang otak yaitu berupa ataksia, nistagmus, vertigo, muntah, dan penurunan kesadaran yang progresif. Pada pemeriksaan CT-scan kranium biasanya didapat gambaran fraktur pada sinus transversus dan sinus sigmoid. Tatalaksana ialah dengan dekompresi (intervensi bedah).

3. Ensefalopati difusEnsefalopati difus, disebut juga metabolic coma, termasuk gangguan metabolik, intoksikasi obat, serta proses yang mempengaruhi otak secara difus seperti meningitis, perdarahan subaraknoid, dan kejang. Presentasi klinis dapat dibedakan dengan kasus penurunan kesadaran akibat lesi struktural otak: tidak dapat ditemukan gejala neurologis fokal (seperti hemiparesis, hemisensory loss, atau afasia) dan penurunan kesadaran tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan secara progresif. Biasanya tidak terdapat gangguan pada pupil kecuali pada kasus intoksikasi obat. Gangguan yang termasuk dalam kelompok ensefalopati difus ialah: Meningitis dan ensefalitis: Manifestasi dari meningitis dan ensefalitis ialah penurunan kesadaran yang disertai oleh demam dan nyeri kepala. Pada meningitis akan didapatkan tanda rangsang meningeal yang positif, kecuali pada sebagian pasien meningitis yang lanjut usia, koma dalam, atau mengalami imunosupresi. Pada pasien ensefalitis tanpa keterlibatan dari selaput otak tanda rangsang meningeal tidak ditemukan. Penemuan klinis umumnya simetris namun tanda yang fokal dapat ditemukan pada pasien dengan ensefalitis herpes simpleks atau meningitis bakterial dengan komplikasi vaksulitis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis serta pemeriksaan CT-scan. Perdarahan subaraknoid: Tanda khas dari suatu perdarahan subaraknoid ialah onset gejala yang akut dan nyeri kepala yang hebat. Penurunan kesadaran dapat terjadi secara permanen atau transien. Karena perdarahan umumnya terjadi di ruang subaraknoid pada permukaan otak maka dapat terjadi iritasi neuron dalam otak sehingga tercetus kejang dan umumnya dapat menyebabkan kelumpuhan nervus okulomotorius dan nervus abducens. Darah dalam ruang subaraknoid juga menyebabkan iritasi selaput otak sehingga ditemukan tanda rangsang meningeal yang positif. Perdarahan subaraknoid dibedakan dengan infeksi susunan saraf pusat secara pasti bila ditemukan darah pada cairan serebrospinal yang diperoleh melalui lumbal pungsi. Pada pemeriksaan CT-scan dapat terlihat darah pada rongga subaraknoid. Hipoglikemia: Hipoglikemia menyebabkan ensefalopati hipoglikemik. Umumnya hal ini terjadi akibat overdosis insulin pada penderita diabetes melitus. Penyebab lainnya meliputi konsumsi alkohol, gangguan fungsi hati yang berat, overdosis obat hipoglikemik oral, insulinoma, dan tumor retroperitoneal yang besar. Sebelum terjadi penurunan kesadaran umumnya didapatkan hiperaktivitas sistem simpatis (takikardia, berkeringat, dan ansitas) sebagai suatu gejala prodormal. Temuan neurologis selain penurunan kesadaran dapat berupa kejang, gejala neurologis fokal yang alternat tidak terbatas pada satu sisi tubuh, dan hipertermia. Ensefalopati hipoglikemik dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu. Namun demikian tidak ada korelasi antara kadar gula darah dan gejala pasien. Tatalaksana ialah mencegah kerusakan otak permanen dengan pemberian glukosa secepatnya secara intravena, oral atau melalui selang nasogastrik. Koma hipoglikemik dapat ditoleransi selama 60-90 menit namun bila sudah terdapat ekstremitas yang flaksid dan hiporefleksia maka glukosa perlu diberikan dalam waktu 15 menit agar pemulihan dapat terjadi. Bila belum terjadi kerusakan otak secara permanen maka pemulihan akan segera terjadi setelah pemberian glukosa secara intravena. Rapid and complete recovery akan terjadi dengan pemberian glukosa bila tidak maka perlu dicurigai kerusakan otak yang permanen. Global cerebral ischemia: Hal ini merupakan suatu keadaan yang terjadi setelah suatu serangan jantung dimana perfusi ke otak menurun. Saat perfusi otak berkurang maka terjadi iskemia otak ditandai oleh penurunan kesadaran, dilatasi pupil secara cepat, peningkatan tonus otot, dan inkontinesia uri atau inkontinensia alvi. Bila perfusi otak berhasil dikembalikan maka fungsi pupil akan kembali dan kesadaran akan berangsur membaik. Pada sebagian pasien dapat terjadi pemulihan yang inkomplit menyebabkan suatu persistent vegetative stage dimana pasien sadar namun tidak sadar akan lingkungan dan dirinya (awake but not aware). Intoksikasi obat: Intoksikasi obat sedative-hipnotik (yaitu barbiturate dan benzodiazepine) ditandai oleh penurunan kesadaran yang didahui oleh nistagmus, disartria dan ataksia. Pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan tanda-tanda adanya lesi UMN, gangguan refleks oculocephalic, dan pupil yang masih reaktif terhadap cahaya. Tatalaksana ialah suportif dapat pula digunakkan antagonis reseptor benzodiazepin flumazenil 0.2-0.3 mg secara intravena sekali dan dapat diulang 0.1 mg secara intravena sampai dosis maksimal 1 mg. Overdosis ethanol memberikan gambaran klinis yang mirip disertai vasodilatasi perifer (takikardia, hipotensi, dan hipotermia). Overdosis opioid ditandai oleh konstriksi pupil. Diagnosis ditegakkan bila didapatkan respons dengan pemberian 0.4-1.2 mg antagonis opioid nalokson. Ensefalopati hepatik: Ensefalopati hepatik terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat terutama setelah dilakukan prosedur shunting. Gangguan keseimbangan elektrolit yaitu hipo/hipernatremia. Gangguan pengaturan suhu tubuh yaitu hipo/hipertermia. Kejang yaitu status epileptikus.

II. KELAINAN NEUROLOGI PADA PENDERITA HIV-AIDSHIV dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat pada infeksi primer virus tersebut dan dapat berakibat: tidak menyebabkan gangguan saraf sama sekali, sindrom yang akut dan self-limiting, bahkan gangguan kronik susunan saraf pusat. Penyakit saraf sering terjadi pada seseorang yang terinfeksi HIV, sebanyak 31-60%. Penelitian di Jakarta mendapatkan hasil bahwa 90% penderita HIV/AIDS mengalami kelainan pada sistem sarafnya. Pada 10-20% penderita AIDS, gangguan neurologis merupakan manifestasi pertama dari AIDS yang diderita. Keterlibatan sistem saraf dapat sebagai akibat infeksi primer oleh virus atau sekunder akibat infeksi oportunistik, neoplasia, kelainan metabolik, serta gangguan gizi. Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat dikelompokkan menjadi infeksi HIV primer, neoplasma pada SSP, dan infeksi opportunistik SSP.

Infeksi HIV PrimerKomplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV dengan perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri. HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti organ targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf khususnya neuron. HIV sudah dapat dideteksi dalam susunan saraf pusat pada infeksi primer virus tersebut dimana virus dalam diisolasi dari cairan serebrospinal dan jaringan saraf (otak, batang otak, dan saraf perifer). Selain itu adanya virus dalam susunan saraf pusat juga dapat dideteksi melalui produksi antibodi terhadap virus di dalam cairan serebrospinal. Bagaimana virus dapat masuk dan menginvasi susunan saraf pusat tidak diketahui. Beberapa mekanisme ialah: Transport intraseluler dari HIV melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang terinfeksi Virus secara bebas menginvasi leptomeningens Virus mengalami replikasi dalam pleksus koroid atau epitel vaskular dalam susunan saraf pusat Mekanisme bagaimana HIV dapat menyebabkan kerusakan sel belum diketahui namun diduga ialah secara indirek melibatkan mediasi dari sistem imunitas yang kompleks.Sindrom akibat infeksi HIV primer dibagi atas:1. Infeksi akut: Sulit dibedakan dengan infeksi akut susunan saraf pusat oleh virus. Umumnya perjalanan penyakit self-limited dan pasien dapat pulih sempurna dari segi fungsi neurologis. Pada infeksi akut didapatkan kelainan cairan serebrospinal berupa pleositosis sampai 200 sel/mm3 dan oligoclonal bands. Perlu dilakukan pemeriksaan serologi untuk HIV, bila negatif dilakukan pemeriksaan antigen p24 dan viral load assay. Selain itu diperiksa juga hepatitis B dan hepatitis C. Tatalaksana tidak spesifik.

2. Infeksi kronis:

3. Gangguan kognitif:

Neoplasma Pada SSPHarus diingat bahwa lesi SSP pada AIDS dapat disebabkan proses neoplastik. Limfoma SSP primer ditemukan sekitar 3% dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik juga bisa menyebar pada meningen. Beberapa sarkoma Kaposi yang mengalami metastase ke otak pernah dilaporkan. Contoh lainnya adalah AIDS dementia dan neuropati perifer.

Infeksi Opportunistik SSPInfeksi terjadi secara sekunder dan merupakan komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi. Infeksi opportunistik SSP pada penderita HIV dapat dibagi sebagai berikut: Patogen viralEnsefalitis sitomegalovirusLeukoensefalopati multifokal progresif Patogen non-viralEnsefalitis toksoplasmosisMeningitis kriptokokusHubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara umum):JUMLAH SEL CD4PATOGENMANIFESTASI

200-500/mclS.pneumoniae, H.influenzaeCommunity-Aquired Pneumonia(CAP)

M.tuberculosisTB paru

C.albicansSariawan, candida vagina

HSV1 dan 2Herpes orolabial, genital, perirectal

Virus Varicela-ZosterRuam pada saraf

Virus Epstein-BarrOral hairy leukoplakia

Human Hervesvirus 8Sarkoma Kaposi

100-200/mclSemua di atas, ditambah :

P.cariniiPneumonia

C.parvumDiare kronik

50-100/mclSemua di atas, ditambah :

T.gondiiEnsefalitis

C.albocansEnsefalitis

C.neoformansMeningitis

H.capsulatumPenyakit diseminata

MicrosporidiaDiare kronik

M.tuberculosisTB diseminata/Ekstrapulmoner

R.equiPneumonia

HSV1 dan 2HSV diseminata

Virus Varicella-ZosterVZV diseminata

Virus Epstein-BarrLimfoma primer SSP

100 sel/ml). Sedangkan pengobatan kausatif dapat diberikan diazepam 10-20 mg iv untuk mengatasi kejang, dan dapat pula diberikan manitol 20% untuk anti udem serebri.

B. LEUKOENSEFALITIS MULTIFOKAL PROGRESIFLeukoensefalitis multifokal progresif adalah penyakit demielinisasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung myelin yang menutupi serabut saraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls saraf.a.EtiologiDisebabkan oleh papovirus JC, yang 70% populasinya ada di tubuh manusia dalam masa laten dan menyebabkan penyakit pada hanya sistem kekebalan sangat lemah. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengendalikan virus JC agar tidak menyebabkan penyakit.b.Tanda dan Gejala Tidak ada penampakan patognomonik, tetapi pasien sering menunjukkan hilangnya neurologi multifokal. Pasien juga dapat memperlihatkan perubahan status mental yang parah, termasuk delirium, hilangnya kemampuan kognitif, sikap yang labil atau psikosis, dan perubahan kepribadian.c. Pemeriksaan PenunjangPada pencitraan CT scan terdapat lesi berwarna putih pada parenkim otak. Terdapat demielinisasi pada MRI, dan mendeteksi virus JC melalui polymerase chain reaction (PCR) dalam cairan serebrospinal. Pada pasien yang PCR-negatif, biopsi otak umumnya dianjurkan bila PML dicurigai.

d.PenatalaksanaanTidak ada pengobatan yang menyembuhkan, tetapi pengobatan dengan ART umumnya dianjurkan. Bukti mengesankan bahwa ART mungkin merupakan pengobatan untuk dan juga melindungi terhadap Progresif Multifokal Leukoensefalopati, tetapi juga ada bukti yang bertentangan; pasien dengan Progresif Multifokal Leukoensefalopati yang mengalami perbaikan kekebalan dengan ART tidak mengalami perbaikan secara neurologi. Penatalaksanaan ini bersifat mengurangi gejala.

Infeksi Opportunistik Akibat Patogen Non-ViralA. ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (TOKSOPLASMOSIS OTAK)a. Etiologi dan PenularanDisebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.b.Tanda dan GejalaGejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.c. Diagnosis Pemeriksaan SerologiDidapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup. Pemeriksaan cairan serebrospinalMenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR)Mendeteksi DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. CT scanMenunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi. Biopsi otak Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak

d. PenatalaksanaanToksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia. Orang dengan toksoplasmosis biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk mencegah anemia.Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80% orang menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari toksoplasmosis seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis rumatan yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang mengalami toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4 naik menjadi di atas 200 selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat dihentikan.

B. MENINGITIS KRIPTOKOKUSa.EtiologiPenyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan pada tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang paru dan menyebar ke otak dan saraf tulang belakang, menyebabkan peradangan. Risiko infeksi paling tinggi jika jumlah CD4 di bawah 50. b. Tanda dan GejalaGejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit kepala, mual dan muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada cahaya terang. Gejala ini muncul secara perlahan. Tanda-tanda seperti meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul < 40% penderita.Kejang dan defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural, dapat terjadi dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di kulit, abses prostat dan hepatitis.c. Pemeriksaan PenunjangTes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes laboratorium ini memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah atau cairan sumsum tulang belakang dapat dites untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut CRAG mencari antigen (sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes biakan mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus dari sampel. Tes biakan membutuhkan satu minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil positif. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan tinta India (70% positif) dan ditemukan antigen kriptokokus dalam darah dan LCS (95-100% positif). LCS jumlah sel, glukosa, proteindapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin (+).d. PenatalaksanaanMeningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisinB dan kapsul flusitosin. AmfoterisinB adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak ginjal.Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini disebabkan karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstruction inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat memulihkan kemampuan sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan menghasilkan pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering ditunda hingga terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.e. PencegahanMemakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah meningitis kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak meresepkannya: Sebagian besar infeksi jamur mudah diobati Flukonazol adalah obat yang sangat mahal Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal (resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan amfoterisinB.

Infeksi Opportunistik Lain SSP Pada Penderita HIV-AIDSPATOGENIMAGINGPEM.PENUNJANG LAIN

Ensefalitis toksoplasmosis, CD4