cabai rawit 1

97
 VOLUME 2 NOMOR 3 DESEMBER 2014

Upload: pipitkusuma

Post on 02-Mar-2018

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 1/97

VOLUME 2

NOMOR 3

DESEMBER 2014

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 2/97

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 3/97

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 4/97

DAFTAR ISI

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK HAYATI ( BIOFERTILIZER) DAN

MEDIA TANAM YANG BERBEDA PADA PERTUMBUHAN DAN

PRODUKTIVITAS TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI

 POLYBAG Agus supriyanto, Fita Khoirul Umah, Tini Surtiningsih

AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN ANTIFUNGI EKSTRAK PETROLEUM ETER

 Dumortiera hirsuta

Junairiah, Hanik Faizah, dan Salamun

KEANEKARAGAMAN DAN POLA DISTRIBUSI LONGITUDINAL

SPESIES KERANG AIR TAWAR CORBICULIDAE DI SUNGAI BRANTAS PERIODE

JANUARI –  FEBRUARI 2012

Ichsan Wardani, Drs. Moch. Affandi, M.Si., dan Dr. Bambang Irawan, M.Sc.

PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH KINETIN DAN IBA

TERHADAP KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.)

Irma Catur Prastyo W.(1), Dwi Kusuma Wahyuni (*)(1), dan Hery Purnobasuki (1) 

DETEKSI ENZIM LIPASE DAN BIOSURFAKTAN PADA SUPERNATAN

KULTUR  Bacillus sp. LII63B YANG DITUMBUHKAN PADA MINYAK

KELAPA 

Ni’matuzahroh (*), Isnaini Septi Irmayanti, Tini Surtiningsih, Fatimah, Sri Sumarsih (**)

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT BUAH DAN BIJI MANGGIS (Garcinia

mangostana) PADA BAKTERI PENYEBAB JERAWAT (Staphylococcus epidermidis )

DENGAN MENGGUNAKAN SOLVEN ETANOL

Krisnina Maharani, Drs. Agus Supriyanto, M. Kes, dan Tri Nurhariyati, S. Si, M.

KAJIAN HISTOLOGI GONAD TERIPANG Phyllophorus sp. PADA BULANFEBRUARI, MARET DAN APRIL 2012Dwi Winarni(1), Moch. Affandi(1), Endang Dewi Masithah(2), Machmudhatun Nisa(1)

PENGARUH PEMBERIAN KONSORSIUM MIKROBA  BIOFERTILIZER TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAMUR TIRAM PUTIH ( Pleorotus ostreatus) 

Rizka Rakhmawati, Tini Surtiningsih, Tri Nurhariyati

Kajian Viabilitas dan Pola Pertumbuhan  Lactobacillus plantarum  pada Variasi Konsentrasi

Molase dan Waktu Inkubasi

Agus Supriyanto, Rochma Novirisandi, Ni’matuzahroh

PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH

BENZYLADENINE (BA) DAN INDOLE BUTIRIC ACID (IBA)

TERHADAP KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.)

Tining Sulistyowati1, Dwi Kusuma Wahyuni*1, dan Hery Purnobasuki1 

1-11

12-22

23-30

31-38

39-47

48-57

58-67

68-76

77-86

87-93

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 5/97

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK HAYATI ( BIOFERTILIZER) DAN

MEDIA TANAM YANG BERBEDA PADA PERTUMBUHAN DAN

PRODUKTIVITAS TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI POLYBAG 

Agus supriyanto, Fita Khoirul Umah, Tini SurtiningsihDepartemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga Surabaya

[email protected]

Abstract

This research is aimed at knowing the effect of giving various doses ofbiofertilizer , using growing media, and combining biofertilizer and growing media on

growth and productivity of chili (Capsicum frutescens L.). This research is conductedat the Microbiology Laboratory Faculty of Science and Technology Airlangga

University and at the greenhouse of UPT Development of Food Crops and

Horticulture Agribusiness in Lebo, Sidoarjo, for six months from February 2012 until

July 2012. This research uses factorial design namely 2x5 pattern and with repetitionthree times. The first factor is the dose of fertilizer (D) consisting of D- : 0 ml dose of

biofertilizer / plant, D +: 10 g NPK fertilizer/ plant, D5: 5 ml dose of biofertilizer /

 plant, D10: 10 ml dose of biofertilizer / plant , and D15: 15 ml dose of biofertilizer / plant. The second factor is the growing media (M) consisting of M1 (soil) and M2

(soil : compost with ratio 1:1). Growth parameter applied is the number of leaves

(sheet) and plant height (cm), while the productivity parameter used is the number offruits (fruit) and fruit weight (g). The data of observation were descriptively analyzed

and base on the value of its RAE( Relative Agronomic Effectiveness) . Based on result

of research, biofertilizer doses have effect on the growth and productivity of chili,

with the highest growth in doses D- and D15 (number of leaves), D+ (plant height),and the highest productivity in dose D10 (number of fruits and fruit weight). Growing

media have affects on the growth and productivity of chili, with the highest growth

in M1 growing media (number of leaves and plant height), and the highest productivity in M1 growing media (number of fruits and fruit weight).The

combination of biofertilizer  and the media have effect on plant growth and

 productivity of chili, with the highest growth in combination of biofertilizer and themedia M1D- (number of leaves), M1D15 (plant height), and the highest productivity

in combination of biofertilizer  and the media M1D+ (number of fruits), M2D10

(fruit weight). Based on value of its RAE, the doses that effective to substitutechemistry fertilizer are D15 on M1 and D10 on M2.

Key words: Capsicum frutescens L.,  Biofertilizer , growing media, growth,

 productivity

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 6/97

Pendahuluan

Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanamanhortikultura dari jenis sayuran yang memiliki buah kecil dengan rasa yang pedas.

Produksi tanaman cabai rawit ini dari tahun ke tahun terus meningkat, tahun 2009

 produksinya sebesar 591.294 ton, sedangkan pada tahun 2010 produksinya sebesar

521.704 ton. Setahun terahir ini produksi tanaman cabai rawit mengalami penurunan

sebanyak 69.590 ton (Deptan, 2011). Selain itu cabai rawit harganya di pasaran

seringkali lebih tinggi dari pada cabai jenis lainnya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit

 petani yang mengalami gagal panen. Terjadinya gagal panen diakibatkan karena

adanya beberapa kendala, terutama tingkat kesuburan tanah dan hama yang

 berkembang di tengah udara lembab sehingga membuat bunga, daun dan tanaman

cabai rusak akhirnya mengakibatkan kegagalan panen (Anonimus, 2011).

Untuk meningkatkan hasil produksi cabai rawitnya, para petani berusaha

mengatasi kendala tersebut dengan melakukan pemupukan menggunakan pupuk

kimia. Akan tetapi pupuk kimia sering mengalami kelangkaan sehingga harganya

melonjak tinggi. Selain itu pemakaian pupuk ini dapat menyebabkan pencemaran

tanah, menurunkan pH tanah, cepat terserapnya zat hara dapat menjadikan tanah

menjadi miskin akan unsur hara, khususnya unsur hara mikro yang sangat diperlukan

oleh tanaman untuk meningkatkan hasil dan daya tahan tanaman terhadap serangan

hama dan penyakit (Syaifudin dkk., 2010).

Dengan adanya berbagai kendala tersebut, untuk meningkatkan produksi tanaman

cabai rawit dapat menggunakan alternatif pupuk hayati (biofertilizer ) yang

mempunyai keutungan ekologis maupun ekonomis, selain itu pupuk hayati yang

 berbahan aktif organisme hidup ini dapat berfungsi sebagai penambat hara tertentu

atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman (Simanungkalit dkk.,

2006). Penggunaan pupuk hayati memerlukan takaran dosis pemupukan yang

disesuaikan dengan jenis media tanam yang dipakai agar hasilnya dapat sesuai

dengan harapan.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 7/97

Sebagian besar unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman disediakan melalui

media tanam, selanjutnya diserap oleh perakaran dan digunakan untuk proses

fisiologis tanaman (Ermina, 2010). Media tanam yang umum digunakan adalah tanah,

karena di dalam tanah tersedia faktor-faktor utama untuk pertumbuhan tanaman seperti

unsur hara, air, dan udara (Ningrum, 2010). Akan tetapi menurut Isroi (2009), kondisi

tanah sekarang semakin mengalami penurunan karena rendahnya bahan organik.

Sehingga para petani mengkombinasikan tanah dengan kompos.

Penanaman cabai membutuhkan lahan yang luas, tetapi lahan yang ada semakin

sempit, kondisi ini dapat diatasi dengan menanam cabai rawit di dalam polybag yang

 juga dapat mempermudah pengamatan pertumbuhan dan produktivitasnya.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka peneliti ingin melakukan

 penelitian dengan judul “pengaruh pemberian pupuk hayati (biofertilizer ) dan media

tanam yang berbeda pada pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai rawit

(Capsicum Frutescens L.) di polybag ”.

Bahan dan Metode

Tahap Pembuatan Biofertilizer 

Masing-masing inokulan yang terdiri atas : (1)  Azotobacter sp. dan

 Azospirillum sp. (bakteri fiksasi nitrogen non simbiotik); (2) Rhizobium sp. (bakteri

fiksasi nitrogen simbiotik); (3)  Bacillus megaterium dan  Bacillus subtilis (bakteri

 pelarut fosfat); (4)  Pseudomonas sp. (bakteri pelarut fosfat); (5) Cellulomonas sp.

(bakteri dekomposer); (6) bakteri dekomposer   Lactobacillus sp.; dan (7)

Saccharomyces cereviceae ( yeast dekomposer) yang telah diremajakan, diambil satu

ose, kemudian ditanam pada tujuh botol kultur yang masing-masing botol berisi 100

ml media NB kemudian di homogenkan dengan  shaker selama semalam. Setelah itu

 biakan tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruangan. Starter yang telah

diinkubasi kemudian dicampurkan dalam jerigen yang sudah berisi 6300 ml larutan

molase 2% dan dihomogenkan, maka pupuk hayati (biofertilizer ) sudah selesai

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 8/97

dibuat. Tetapi sebelum dipakai dalam proses pemupukan, pupuk tersebut harus

diinkubasi selama 24 jam terlebih dahulu untuk pengujian analisis kualitas pupuk .

Analisis kualitas pupuk hayati (biofertilizer )

Pada analisis kualitas pupuk ini dibutuhkan enam macam media untuk

menumbuhkan mikroba-mikroba yang ada dalam pupuk hayati. Keenam media

tersebut adalah: (1). Media semi solid NFB ( Nitrogen Fixing Bacteria) untuk

 Azotobacter sp. dan Azospirillum sp. (2). Media Pikovskaya untuk Pseudomonas sp.,

 Bacillus subtilis, dan  Bacillus megaterium. (3). Media MSA ( Mannitol Salt Agar )

untuk  Rhizobium sp.. (4). Media PDA ( Potato Dextose Agar ) untuk Saccharomyces

cereviceae. (5). Media MRSA ( Mannitol Rhogasa Sharpe Agar ) untuk actobacillus

 sp.. (6). Media CMC Agar (Carboxyl Methil Cellulose) untuk Cellulomonas sp..

Tahap Penanaman Cabai Rawit

Proses penanaman cabai rawit terdiri atas beberapa tahap, yaitu : pembenihan,

 penyiapan media tanam, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan perawatan hasil

 panen.

Prosedur Pengambilan Data

Data yang diambil untuk mengetahui proses pertumbuhan adalah tinggi

tanaman (cm) yang diukur dari permukaan tanah sampai ujung kuncup teratas dan

 jumlah daun (helai) per tanaman. Sedangkan untuk proses produktivitas, data yang

diambil adalah jumlah buah (buah) per tanaman yang datanya didapat dari tiga kali

 pengambilan dan berat buah (g/pohon cabai), buah yang dipanen adalah buah yang

sudah tua atau sudah matang.

Analisis Data

Data yang didapat dari penelitian ini dianalisis secara deskripsi dan dihitung

nilai RAE ( Relative Agronomic Effectiveness)nya.

 Nilai RAE dihitung dengan persamaan :

RAE = hasil pada pupuk hayati yang diuji - hasil pada kontrol x 100%

hasil pada pupuk standar – hasil pada kontrol

(Machay et al . (1984) dalam Saraswati dkk. (2008).

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 9/97

Hasil dan Pembahasan

a. Pengaruh dosis pupuk hayati (biofertilizer ) terhadap pertumbuhan dan

produktivitas tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.)Tabel 4.1 Pengaruh dosis pupuk hayati (biofertilizer ) terhadap pertumbuhan dan

 produktivitas tanaman cabai rawit

Dosis

Jumlah daun

(helai)

Tinggi

tanaman

(cm)

Jumlah buah

(buah) Berat buah (g)

D- 76±41.01 30.00±3.75 7±4.25 3.58±2.25

D+ 72±15.05 38.75±4.15 13±11.25 5.89±5.85

D5 50±30.55 32.64±7.95 4±5.05 1.56±2.50

D10 62±12.55 37.02±8.15 13±13.00 6.39±6.40

D15 76±11.13 38.52±3.45 11±8.05 5.58±4.60

Keterangan : D- : dosis 0 ml biofertilizer ; D+ : dosis NPK 10 g; D5 : dosis 5 ml biofertilizer ;

D10 : dosis 10 ml biofertilizer ; D15 : dosis 15 ml biofertilizer .

Dari tabel di atas (tabel 4.1), diketahui bahwa perlakuan dosis yang

mempunyai rata-rata jumlah daun cabai rawit berurutan dari yang tertinggi sampai

terendah adalah D- dan D15, D+, D10, D5. Menurut Simanungkalit (2001), pupuk

hayati merupakan mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai

inokulan untuk membantu tanaman memfasilitasi atau menyediakan unsur hara

tertentu bagi tanaman. Jadi semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan, ini berarti

 jumlah mikroba yang ditambahkan juga semakin banyak, dan semua mikroba tersebut

membutuhkan makanan. Pada perlakuan D- yang tidak diberi perlakuan pupuk tidak

terjadi persaingan nutrisi antara mikroba dengan tanaman, sehingga tanaman

memperoleh nutrisi hara dalam jumlah yang besar dan nutrisi tersebut dioptimalkan

untuk pertumbuhannya. Pada D15 juga mempunyai jumlah daun yang sama tinggi

dengan D-, hal ini dikarenakan pada D15 yang rata-rata daun tanamannya di makan

oleh kutu daun, nutrisi yang berada di dalam media tanam kurang mencukupi untuk

 pertumbuhan kuncup-kuncup baru, sehingga membutuhkan asupan nutrisi hara

tambahan yang diperoleh dari pemupukan, dan dosis yang optimal sebagai asupan

nutrisi ini adalah D15. Menurut Suwahyono (2011), pupuk hayati (biofertilizer ) yaitu

 pupuk yang dibuat dari mikroba yang mempunyai kemampuan untuk menyediakan

unsur hara dan hormon bagi pertumbuhan tanaman. Perlakuan dosis yang mempunyai

rata-rata tinggi tanaman cabai rawit berurutan dari yang tertinggi sampai terendah

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 10/97

adalah D+, D15, D10, D5, D-. Perlakuan dengan D+ mempunyai nilai lebih tinggi

dari pada yang lainnya, hal ini menurut Gardner dkk. (1991), yang menyatakan

 bahwa sepanjang masa pertumbuhan vegetatif, akar, daun, dan batang merupakan

 bagian-bagian dari tanaman yang kompetitif dalam pemanfaatan hasil asimilasi. Jadi

kemungkinan proporsi energi yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan tinggi

tanaman lebih besar dari pada energi yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan

 bagian tanaman lainnya.

Perlakuan dosis yang mempunyai rata-rata jumlah buah cabai rawit berurutan

dari yang tertinggi sampai terendah adalah D10, D+, D15, D-, D5. Meskipun D15

 pada pengamatan jumlah daun yang memiliki jumlah tertinggi, tetapi D10 merupakan

dosis yang optimum untuk proses pembuahan, ini berarti dalam optimalisasi

 produktivitas tanaman diperlukan pengurangan jumlah dosis pupuk, terutama pupuk

yang mengandung unsur N, karena jika tidak dihentikan maka pertumbuhan vegetatif 

akan tumbuh terus menerus, sehingga akan menghambat pertumbuhan generatif, hal

ini diperkuat dengan pendapat Anonimus a (2008), yang menyatakan dosis pupuk

hayati yang dibutuhkan pada fase vegetatif berbeda dengan kebutuhan pada fase

generatif. Perlakuan dosis yang mempunyai rata-rata berat buah cabai rawit

 berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah D10, D+, D15, D-, D5.

Perlakuan D10 mempunyai nilai berat buah tertinggi, ini disebabkan selain dosis ini

optimum untuk peningkatan jumlah buah, dosis ini juga optimum untuk

meningkatkan berat buah cabai rawit. Sehingga ukuran buah pada perlakuan ini lebih

 besar dari pada perlakuan yang lainnya, ini menyebabkan beratnya juga lebih tinggi.

b. Pengaruh media tanam terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman

cabai rawit (Capsicum frutescens L.)

Tabel 4.2 Pengaruh media tanam terhadap jumlah daun (helai) cabai rawit

Media tanam

Jumlah daun

(helai)

Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah buah

(buah)

Berat buah

(g)

M1 74±23.16 42.63±6.62 10±7.64 5.34±4.16

M2 60±20.92 28.13±4.36 8±9.00 3.86±4.48

Keterangan : M1: media tanam tanah; M2: media tanam tanah dan kompos.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 11/97

Secara deskriptif dari tabel 4.2, perlakuan media tanam yang mempunyai

rata-rata jumlah daun, tinggi tanaman, jumlah buah, dan berat buah cabai rawit

 berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah M1, M2. Pendapat

Hardjowigeno (2003) dalam Imanda dan Ketty (2012), yang mengatakan bahwa

tanah merupakan sumber utama zat hara untuk tanaman.Tanah mengandung unsur

hara esensial makro dan mikro. Unsur-unsur hara ini diserap akar tanaman dari dalam

tanah, hal ini yang menyebabkan perlakuan M1 yaitu media tanam tanah memiliki

nilai jumlah daun, tinggi tanaman, jumlah buah, dan berat buah lebih tinggi daripada

 perlakuan M2. Selain itu mungkin karena tanah mempunyai sifat yang solid sehingga

hal ini menyebabkan penancapan perakaran tanaman lebih kuat, ini akan membantu

mengoptimalkan penyerapan hara dalam tanah.

c. Pengaruh dosis pupuk hayati (biofertilizer ) dan media tanam terhadap

pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens

L.)

Gambar 3. Diagram pengaruh dosis pupuk hayati (biofertilizer ) dan media tanam terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai rawit ((a). jumlah daun, (b). tinggitanaman, (c). jumlah buah, (d). berat buah.)

0

50

100

150

   D  -

   D   +

   D   5

   D

   1   0

   D

   1   5

   J  u  m   l  a   h   d  a  u  n

   (   h  e   l  a   i   )

Dosis pupuk 

Media tanam

M1

Media tanam

M2

01020304050

   D  -

   D

   +   D   5

   D

   1   0

   D

   1   5

   T   i  n  g  g   i   t  a  n  a  m  a  n   (  c  m   )

Dosis pupuk 

Media

tanam M1

Media

tanam M2

0

5

10

15

20

   D  -

   D   +

   D   5

   D   1   0

   D   1   5

   J  u  m   l  a   h   b  u  a   h   (   b  u  a   h   )

Dosis pupuk 

Media tanam

M1

Media tanam

M2

02468

10

   D  -

   D   +

   D   5

   D   1   0

   D   1   5

   B  e  r  a   t   b  u  a   h   (  g   )

Dosis pupuk 

Media tanam

M1

Media tanam

M2

a b

c d

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 12/97

Keterangan : D- : dosis 0 ml biofertilizer ; D+ : dosis NPK 10 g; D5 : dosis 5 ml biofertilizer ;D10 : dosis 10 ml biofertilizer ; D15 : dosis 15 ml biofertilizer ; M1: media tanam

tanah; M2: media tanam tanah dan kompos.

Pada gambar 3 di atas, perlakuan dosis dan media tanam yang mempunyai

rata-rata jumlah daun cabai rawit berurutan dari yang tertinggi sampai terendah

adalah M1D-, M2D15, M1D+, M2D10, M1D15, M1D5, M2D+, M1D10, M2D-,

M2D5. Perlakuan M1D- mempunyai rata-rata jumlah daun tertinggi dibanding

dengan yang lainnya, hal ini mungkin disebabkan nutrisi yang ada dalam media M1

yaitu tanah sudah dapat mencukupi kebutuhan suplai nutrisi yang dibutuhkan untuk

 proses pembentukan daun, sehingga dosis pupuk D- (tanpa diberi pupuk) lebih

optimal pembentukan jumlah daunnya dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Perlakuan dosis dan media tanam yang mempunyai rata-rata tinggi tanaman cabai

rawit berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah M1D15, M1D+, M1D10,

M1D5, M1D-, M2D+, M2D10, M2D15, M2D5, M2D-. Perlakuan M1D15

mempunyai rata-rata tinggi tanaman paling tinggi dibanding dengan tanaman lainnya,

hal ini mungkin dikarenakan nutrisi yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan

tanaman sangat besar, sehingga nutrisi yang disediakan media tanam M1 masih

sangatlah kurang sehingga masih membutuhkan nutrisi tambahan dari proses

 pemupukan, dan dosis yang paling optimal untuk ditambahkan ke media tanam M1

adalah D15.

Perlakuan dosis dan media tanam yang mempunyai rata-rata jumlah buah

cabai rawit berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah M1D+, M2D10,

M1D10, M1D15, M2D15, M2D+, M1D-, M2D- M1D5, M2D5,. Perlakuan M1D+

menunjukan hasil rata-rata jumlah buah cabai rawit tertinggi. Antara jumlah daun dan

 jumlah buah terdapat hubungan yang erat. Semakin banyak daun yang diproduksi,

secara normal hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap banyaknnya jumlah

 produksi buah. Dengan adannya hubungan ini, maka pengamatan jumlah daun dan

 jumlah buah yang mempunyai jumlah paling tinggi seharusnya terjadi pada tanaman

dengan perlakuan yang sama. Akan tetapi hal ini tidak terjadi pada penelitian ini,

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 13/97

karena pada pengamatan jumlah daun perlakuan yang mempunyai jumlah daun paling

 banyak adalah M1D- (tanpa diberi pupuk), sedangkan pada pengamatan jumlah buah

 perlakaun yang mempunyai jumlah buah paling banyak adalah tanaman dengan

 perlakuan M1D+ (dengan pemupukan NPK), hal ini sangatlah berbeda, mungkin

dikarenakan nutrisi pada media tanam perlakuan M1D- jumlahnya masih kurang

untuk proses pembentukan buah, sehingga diperluakan nutrisi tambahan yang

didapatkan dari proses pemupukan. Hal ini didukung oleh pendapat Latifah (2008),

yang mengatakan bahwa pemberian pupuk melalui tanah dengan frekuensi yang

sangat jarang (sekaligus, dua atau tiga kali sepanjang siklus pertumbuhan)

membutuhkan jumlah pupuk yang sangat banyak karena adanya pencucian. Rosliani

dkk. (2001) dalam Latifah (2008), juga melaporkan bahwa dari pupuk N yang

diberikan kedalam tanah, hanya 30 -50 % yang diserap tanaman, sedangkan pupuk P

dan K lebih rendah lagi hanya sebesar 15 – 20 %, selebihnya menjadi residu dalam

larutan tanah dan tercuci.

Perlakuan dosis dan media tanam yang mempunyai rata-rata berat buah cabai

rawit berurutan dari yang tertinggi sampai terendah adalah M2D10, M1D15, M1D+,

M1D10, M2D+, M1D-, M2D15, M1D5, M2D- , M2D5. Secara deskriptif tanaman

yang mempunyai rata-rata berat buah yang paling tinggi adalah tanaman dengan

 perlakuan M2D10. Meskipun pada pengamatan jumlah buah perlakuan M1D+

mempunyai nilai tertinggi, tetapi ini tidak bisa dijadikan patokan bahwa pada

 perlakuan ini juga akan diperoleh berat buah tertinggi, jadi banyaknya jumlah buah

tidak bisa menentukan besarnya berat buah. Karena perlakuan M1D+ mempunyai

 jumlah buah yang banyak, tetapi ukuran buahnya kecil-kecil, sehingga ini akan

mempengaruhi berat buahnya. Perlakuan M2D10 memiliki berat buah tertinggi

mungkin dikarenakan jumlah buah yang dimiliki memang tidak sebanyak M1D+,

tetapi ukuran buah yang dimiliki M2D10 lebih besar –besar, sehingga dapat

mempengaruhi berat buahnya.Dari hasil perhitungan RAE untuk setiap perlakuan,

diketahui bahwa D15 pada M1 dan D10 pada M2 memiliki nilai lebih besar dari

100%. Hal ini berarti D15 pada media tanam M1 (tanah) dan D10 pada media tanam

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 14/97

M2 (tanah dan kompos) adalah efektif. Akan tetapi D10 pada M2 dengan nilai RAE

207,11% lebih efektif dari pada D15 pada M1 yang mempunyai nilai 133,49%.

Kesimpulan

Pemberian berbagai dosis pupuk hayati (biofertilizer ) secara deskriptif

 berpengaruh pada pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai rawit (Capsicum

 frutescens L.). Pertumbuhan tertinggi diperoleh dari perlakuan dosis D- dan D15

(jumlah daun) dan pada perlakuan D+ (tinggi tanaman). Produktivitas tertinggi

diperoleh dari perlakuan dosis D10 (jumlah buah dan berat buah). Media tanam

secara deskriptif berpengaruh pada pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai

rawit (Capsicum frutescens L.). Pertumbuhan tertinggi diperoleh dari perlakuan

media tanam M1 (jumlah daun dan tinggi tanaman ). Produktivitas tertinggi diperoleh

dari perlakuan media tanam M1 (jumlah buah dan berat buah). Pemberian dosis

 pupuk hayati (biofertilizer ) dan media tanam secara deskriptif berpengaruh pada

 pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.).

Pertumbuhan tertinggi diperoleh dari perlakuan dosis dan media tanam M1D-

(jumlah daun) dan pada perlakuan dosis dan media tanam M1D15 (tinggi tanaman).

Produktivitas tertinggi diperoleh dari perlakuan dosis dan media tanam M1D+

(jumlah buah ) dan pada perlakuan dosis dan media tanam M2D10 (berat buah).

Daftar Pustaka

Anonimus, 2011, Laporan Survei Lapangan Produksi dan Pembentukan Harga Komoditas

Cabai di Kabupaten Magelang dan Wonosobo,http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8AC2383D-37CE, diakses pada tanggal 02-01-2012

Anonimus a, 2008, Budidaya Tanaman Kedelai/ Kc. Hijau, Padi, Jagung/ Sorgum, Kc.Tanah, Cabe/ Tomat, Sawi/ Kubis, Rimpang/ Umbi, Jeruk/ Mangga Menggunakan

Pupuk Hayati Bio P 2000 Z National Patent: Id 0 000 438 S, Penyusun PT. AlamLestari Maju Indonesia (PT. ALAMI)

Deptan, 2011, Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi Hortikultura,http://cybex.deptan.go.id/lokalita/budidaya-cabe-rawit-0, diakses pada tanggal 7-10-2011

Ermina, Y., 2010, Media Tanaman Hidroponik dari Arang Sekam, Balai Besar PelatihanPertanian (BBPP Lembang)

Gardner, F. P., R. B. Pearce, dan R. L. Mitchell, 1991,  Fisiologi Tanaman Budidaya,Universitas Indonesia Press, Jakarta

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 15/97

Imanda N. dan Ketty S., 2012, Pengaruh Jenis Media Tanam Terhadap Pertumbuhan BibitPepaya (Carica papaya L.) Genotipe IPB 3, IPB 4, dan IPB 9, Institut Pertanian

Bogor Isroi, 2009, Pupuk Organik Granul Sebuah Petunjuk Praktis, http://Isroi.wordpress.com ,

diakses pada tanggal 12-12-2011Latifah, 2008, Metode Penapisan dan Uji Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) Terhadap

Chilli Veinal Mottle Virus dan Cucumber Mosaic Virus, Thesis, Institut Pertanian

Bogor  Ningrum, F. G. K., 2010, Efektivitas Air Kelapa dan Ampas Teh Terhadap Pertumbuhan

Tanaman Mahkota Dewa ( Phaleria macrocarpa) Pada Media Tanam Yang Berbeda,Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUniversitas Muhammadiyah Surakarta

Saraswati, R., R.D.M. Simanungkalit, E. Husen, D. Santoso, D. Setyorini , dan A. Rachman,2008, Baku Mutu Pupuk Hayati, Balai Penelitian Tanah, Balai Besar LitbangSumberdaya Lahan Pertanian Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian

Simanungkalit, R. D. M., 2001, Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kimia: Suatu PendekatanTerpadu, Buletin AgroBio 4(2) : 56-61.

Simanungkalit, R. D. M., D. A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik,2006, Pupuk Organik dan Pupuk Hayati, Balai Besar Penelitian dan PengembanganSumberdaya Lahan Pertanian, Jawa Barat

Suwahyono, U., 2011,  Petunjuk Praktis Penggunaan Pupuk Organik Secara Efektif dan

 Efisien, Penebar Swadaya, JakartaSyaifudin, A., L. Mulyani, M. Ariesta, 2010, Pupuk Kosarmas Sebagai Upaya Revitalisas

Lahan Kritis Guna Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Hasil Pertanian, Universitas Negeri Solo

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 16/97

AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN ANTIFUNGI EKSTRAK

PETROLEUM ETER Dumortiera hirsuta

Junairiah, Hanik Faizah, dan Salamun

Prodi S-1 Biologi, Depatermen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK

The aims of this study were to investigate the secondary metabolite compoundand antimicrobial activity of petroleum eter extract of liverwort  Dumortierahirsuta against  Escherichia coli, Staphylococcus aureus and Candida albicans.

Secondary metabolite which contained in extract was tested with phytochemicalscreening method. Antimicrobial activity were investigated by disc diffusion

method to measure the inhibition zone diameter and tube dilution method to

determine minimal inhibitory concentration (MIC) and minimal bactericidal

concentration/minimal fungicidal concentration (MBC/MFC). Diameters of the

inhibition zone were analyzed using Kruskall-Wallis Test (α=0,05) followed up

with Mann-Whitney Test (α=0,05). Data of  MIC, MBC/MFC and phytochemical

screening were descriptively analyzed. The result of phytochemical screening test

showed that there was steroid in petroleum eter extract of  D. hirsuta. The result

showed that the diffferent concentration of petroleum eter extract of  D. hirsuta

influenced diameter of the inhibition zone growth of  E. coli, S. aureus and C.albicans. The kinds of microbe did not have effect on diameter of the inhibition

zone. MIC and MBC/MFC have not been able determined in this study.

Key words :  Dumortiera hirsuta, antimicrobial, petroleum eter,  Escherichia coli,

Staphylococcus aureus, Candida albicans

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan

yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Penyakit infeksi banyak disebabkan

oleh mikroorganisme flora normal, sebagai contoh, beberapa bakteri penting yang

dapat menyebabkan penyakit adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

Infeksi juga dapat disebabkan oleh mikroorganisme lain seperti Candida albicans

yang juga merupakan anggota flora normal penyebab candidiasis (Jawetz et al., 

2005). Antibiotik memberikan dasar utama untuk terapi infeksi mikroba (bakteri

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 17/97

dan fungi). Namun, terlalu sering menggunakan antibiotik telah menjadi faktor

utama bagi munculnya dan penyebaran beberapa kelompok mikroorganisme yang

resisten terhadap antibiotik (Harbottle et al.,  2006). Dalam beberapa tahun

terakhir, permasalahan resistensi bakteri pada penggunaan antibiotika merupakan

salah satu masalah yang berkembang di seluruh dunia (Bronzwaer et al., 2002).

Oleh karena itu diperlukan zat antibakteri baru dengan mekanisme aksi yang

 berbeda (Tenover, 2006). Karena alasan ini, peneliti mengalihkan perhatiannya

untuk menemukan zat antimikroba dari sumber baru yang berasal dari tumbuhan

(Singh et al., 2010). 

Zhu et al . (2006) mengungkapkan bahwa tumbuhan lumut adalah salah satu

sumber antibiotik yang paling signifikan dan menjanjikan di alam. Hasil

 penelitian yang dilakukan oleh Veljic et al. (2010) mengungkapkan bahwa ekstrak

metanol lumut hati  Ptilidium pulcherrimum  memiliki aktivitas antibakteri dan

antifungi. Bodade et al. (2008) menjelaskan bahwa diantara kelompok lumut yang

diuji, lumut hati  Plagiochasma appendiculatum  adalah paling aktif menghambat

 bakteri, lumut hati memiliki aktivitas antibiotik lebih baik (aktivitas 88%)

daripada lumut daun (aktivitas 33%), ini memperlihatkan bahwa senyawa

antibakteri terdapat pada sebagian besar takson dari lumut hati.

Pada beberapa penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa lumut hati

 Dumortiera hirsuta  memiliki aktivitas antibakteri dan antifungi (Madsen dan

Pates, 1952 dalam Glime, 2007; Alam et al ., 2011).  Escherichia coli,

Staphylococcus aureus dan Candida albicans  merupakan flora normal manusia

akan tetapi akan berubah menjadi mikroba patogen dalam kondisi tertentu. Dalam

 penelitian ini, untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak petroleum eter

lumut hati Dumortiera hirsuta terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri gram

 positif dan bakteri gram negatif serta penghambatan pertumbuhan fungi patogen

digunakan Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans sebagai

mikroba uji. Petroleum eter digunakan untuk mengikat metabolit sekunder yang

terkandung dalam  Dumortiera hirsuta  yang diduga bersifat toksik bagi mikroba

uji. Penggunaan berbagai variasi konsentrasi ekstrak lumut tersebut diharapkan

dapat menunjukkan aktivitas antimikroba yang berbeda sehingga dapat diketahui

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 18/97

nilai MIC ( Minimal Inhibitory Concentration)  dan MBC/MFC ( Minimal

 Bactericidal Concentration/ Minimal Fungicidal Concentration)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian 

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan Pebruari 2012 sampai

dengan Juli 2012 di Laboratorium Biologi Dasar dan Laboratorium Mikrobiologi,

Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,

Surabaya.

Bahan Tumbuhan

Tumbuhan lumut  Dumortiera hirsuta  yang diperoleh dari Taman Hutan

Raya Raden Suryo, Cangar-Batu.  Dumortiera hirsuta diidentifikasi dengan buku

Guide to the Liverworts of North  Carolina  (Hicks, 1992). Lumut diambil dari

habitatnya dan disimpan dalam kantong koleksi lumut. Sampel yang diambil

merupakan fase gametofit lengkap dan telah dewasa.

Mikroba Uji

Mikroba uji yang digunakan adalah  Escherichia coli ATCC 25922,

Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Candida albicans ATCC 10231, yang

merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas

Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Ekstraksi Lumut D. hirsuta

Hasil koleksi tumbuhan lumut D. hirsuta yang diperoleh diekstraksi dengan

menggunakan pelarut petroleum eter. Sebanyak 10 gram lumut  D. hirsuta kering

direndam secara keseluruhan dengan 300 mL petroleum eter. Larutan petroleum

eter dan tumbuhan lumut tersebut dimaserasi selama 3 hari. Ekstrak cair dari hasil

maserasi disaring menggunakan kertas saring kemudian disaring kembali dengan

menggunakan corong buchner. Filtrat yang dihasilkan kemudian ditampung dalam

gelas beaker dan ditutup dengan aluminium foil yang telah diberi lubang-lubang

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 19/97

kecil untuk mengguapkan pelarut petroleum eter. Kemudian 80 mg dari ekstrak

kering dilarutkan dalam 1 mL DMSO 20%.

Skrining Fitokimia

Ekstrak petroeum eter  D. hirsuta diidentifikasi komponen fitokimianya

terhadap golongan senyawa triterpenoid dan steroid. Sampel dimasukkan ke

dalam spot plate dengan menggunakan tusuk gigi, kemudian ditambahkan larutan

Liebermann Burchard. Liebermann Burchard terdiri atas 3 tetes asam asetat

anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Apabila terbentuk warna hijau maka

menunjukkan adanya senyawa steroid dan warna merah atau ungu menunjukkan

adanya triterpenoid (Harborne, 1987).

Penentuan Aktivitas Antimikroba

Metode cakram kertas

Metode cakram kertas menggunakan media  Mueller-Hinton Agar   (MHA)

steril sebagai media pertumbuhan dalam uji antimikroba. Metode ini meletakkan

kertas cakram (diameter 6 mm) yang ditetesi dengan 25 µL ekstrak peroleum eter D. hirsuta  pada permukaan medium MHA (volume medium ± 15 mL) dalam

cawan petri yang sudah diinokulasi  E. coli,  S. aureus  dan C. albicans  secara

aseptik. Suspensi mikroba uji kurang lebih 1 mL dengan OD 0,1 pada λ 625  nm

untuk bakteri dan λ 600 nm untuk fungi. Kemudian medium yang telah diberi

 perlakuan, yaitu dengan pemberian ekstrak petroleum eter  D. hirsuta  dengan

konsentrasi yang berbeda-beda (0 ppm, 2.500 ppm, 5.000 ppm, 10.000 ppm,

20.000 ppm, 40.000 ppm, 60.000 ppm, dan 80.000 ppm) diinkubasi selama 24

 jam untuk bakteri dan 48 jam untuk fungi. Menurut Bailey dan Scott (1994)

terbentuknya daerah penghambatan (halo) di sekitar cakram uji menunjukkan

adanya aktivitas antimikroba.  Diameter daerah penghambatan pertumbuhan

mikroba diukur dengan menggunakan jangka sorong.

Metode pengenceran dalam tabung

Metode pengenceren dalam tabung digunakan untuk memperoleh nilai MIC

dan MBC/MFC. Konsentrasi ekstrak petroleum eter  D. hirsuta  untuk metode

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 20/97

 pengenceran ini adalah 2.500, 2.000, 1.500, 1.000, 750, 500, 250, dan 0 ppm.

Metode ini diawali dengan membuat suspensi mikroba uji pada media  Muller-

 Hinton Broth (MHB) dengan mengatur kekeruhan mikroba pada OD yang sesuai

dengan standar Mc. Farland 0,5 λ 625 nm=0,1 untuk bakteri dan 0,5 λ 600 nm=0,1

untuk fungi. Kemudian 1 mL larutan ekstrak untuk masing-masing konsentrasi

yang telah ditentukan dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditumbuhkan

dengan 1 mL mikroba uji di dalamnya. Kultur dihomogenkan dan diinkubasi

selama 24 jam untuk bakteri dan 48 jam untuk fungi. Aktivitas antimikroba dalam

kultur dapat diketahui jika terjadi penurunan densitas dalam kultur yang sudah

ditambah dengan ekstrak lumut. Dari kultur positif tersebut diambil sebanyak 0,1

mL untuk ditumbuhkan dalam media MHA dan diinkubasi selama 24 jam untuk

 bakteri dan 48 jam untuk fungi. Setelah inkubasi, ketika terjadi pertumbuhan pada

media MHA, maka pada konsentrasi tersebut merupakan nilai MIC dan nilai

MBC/MFC dapat ditentukan jika dalam media tersebut tidak ditumbuhi oleh

mikroba, yang menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut zat antimikroba

ekstrak lumut dapat membunuh mikroba uji (Bailey dan Scott, 1994).

Analisis Data

Data yang diperoleh, yaitu berupa diameter zona hambat pertumbuhan

 bakteri E. coli, S. aureus, dan fungi C. albicans pada berbagai konsentrasi ekstrak

 petroleum eter  D. hirsuta. Data tersebut dianalisis secara statistik dengan

menggunakan program SPSS versi 16. Data diuji dengan  Kruskall-Wallis Test  

Kemudian dilakukan uji lanjutan menggunakan uji  Mann-Whitney. Sedangkan

data jumlah sel mikroba uji, nilai MIC, nilai MBC/MFC dan skrining fitokimia

dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Lumut D. hirsuta

Hasil ekstraksi 10 gram serbuk lumut hati  D.hirsuta  dengan 1300 ml

 petroleum eter diperoleh ekstrak padat berwarna kuning pekat sebanyak 0,22

gram. Ekstraksi ini dilakukan untuk mengambil komponen non polar dari

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 21/97

sampel lumut  D. hirsuta. Ekstrak ini selanjutnya diidentifikasi komponen

fitokimianya dan dilakukan uji aktivitas antimikroba.

Skrining Fitokimia

Uji fitokimia kandungan metabolit sekunder ekstrak petroleum eter  D. hirsuta

dilakukan terhadap uji triterpenoid dan steroid. Hasil pengujian skrining fitokimia

menunjukkan ekstrak mengandung senyawa steroid yang ditunjukkan dengan

terbentuknya warna hijau. Steroid bersifat nonpolar karena tersusun dari isopren-

isopren dari rantai panjang hidrokarbon (Robinson, 1995), sehingga steroid dapat

larut dalam petroleum eter.

Penentuan Aktivitas Antimikroba

Metode cakram kertas

Uji aktivitas antimikroba ekstrak petroleum eter D. hirsuta terhadap E. coli,

S. aureus, dan C. albicans  dengan metode cakram kertas adalah positif yaitu

ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat (halo) di sekitar kertas cakram.

Dari hasil uji cakram kertas terlihat jelas ekstrak petroleum eter  D. hirsuta

mempunyai aktivitas penghambatan terhadap mikroba uji. Diameter zona hambat

 pertumbuhan bakteri  E. coli,  S. aureus, dan fungi C. albicans  pada berbagai

konsentrasi ekstrak petroleum eter D. hirsuta disajikan pada gambar 1 berikut:

Gambar 1. Diagram batang diameter zona hambat pertumbuhan  E. coli, S. aureus,

dan C. albicans pada berbagai konsentrasi ekstrak petroleum eter  D.

hirsuta 

0

5

10

15

20

25

   D   i  a  m  e   t  e  r   Z  o  n  a   H  a  m   b  a   t

   (  m

  m   )

Konsentrasi Ekstrak Petroleum Eter Dumortiera

hirsuta (ppm)

E.coliS.aureus

C.albicans

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 22/97

Pada gambar 1 terlihat bahwa konsentrasi ekstrak petroleum eter  D. hirsuta 

 berpengaruh terhadap diameter zona hambat ketiga mikroba uji. Perlakuan

konsentrasi ekstrak petroleum eter  D. hirsuta  terhadap  E. coli, S. aureus, dan C.

albicans  mulai terlihat perbedaan yang nyata dengan kontrol pada konsentrasi

2.500 ppm, rerata diameter zona hambat  E. coli  sebesar (7,77 ± 0,17) mm, S.

aureus  sebesar (8,64 ± 0,23) mm, dan C. albicans  sebesar (11,16 ± 0,31) mm.

Rata-rata diameter zona hambat terbesar untuk perlakuan konsentrasi ekstrak

 petroleum eter  D. hirsuta  terhadap  E. coli dan S. aureus, yaitu pada konsentrasi

10.000 ppm, berturut-turut sebesar (9,22 ± 0,15) mm dan (9,68 ± 0,65) mm.

Sedangkan rata-rata diameter zona hambat terbesar untuk perlakuan konsentrasi

ekstrak petroleum eter D. hirsuta terhadap C. albicans sebesar (23,00 ± 2,52) mm

 pada konsentrasi 60.000 ppm. Menurut Arora dan Bhardwaj (1997), aktivitas

antimikroba dikategorikan tingkat sensitifitas tinggi apabila diameter zona hambat

mencapai > 12 mm. Kategori tingkat sensitifitas sedang diberikan apabila ekstrak

mampu memberikan diameter zona hambat sekitar 9-12 mm. Kategori tingkat

sensitifitas rendah, apabila diameter berkisar antara 6-9 mm dan resisten apabila

<6 mm.

Pada penelitian ini, konsentrasi ekstrak petroleum eter  D. hirsuta 

 berpengaruh terhadap diameter zona hambat akan tetapi jenis mikroba tidak

 berpengaruh terhadap besarnya diameter zona hambat, hal ini dapat dilihat pada

gambar 1. Pada beberapa penelitian, telah dilaporkan bahwa bakteri gram positif

ditemukan lebih sensitif daripada bakteri gram negatif. Hal ini dapat terjadi karena

 bakteri gram negatif memiliki membran luar sementara bakteri gram positif hanya

memiliki lapisan peptidoglikan. Membran luar ini bertanggung jawab untuk

melindungi bakteri dari antibiotik, deterjen, dan enzim yang biasanya merusak

membran dalam atau peptidoglikan (Lehninger et al ., 2005). Namun, hasil yang

diperoleh dalam penelitian ini adalah berbeda. Sensitivitas bakteri gram positif

atau bakteri gram negatif terhadap ekstrak petroleum eter  D. hirsuta  tidak

 berbeda nyata. Hal ini menyimpulkan bahwa jenis mikroba uji, yaitu  E. coli, S.

aureus, dan C. albicans  tidak memiliki pengaruh terhadap besarnya diameter

zona hambat.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 23/97

Metode pengenceran dalam tabung

Metode pengenceran dalam tabung digunakan untuk mengetahui kadar

hambat terkecil (MIC) dan kadar bunuh (MBC/MFC) terkecil dari suatu bahan

antimikroba tertentu (Bailey dan Scott, 1994; Wistreich, 2003). Nilai MIC

ditentukan secara kasat yang didasarkan pada kekeruhan kultur mikroba yang

telah diinkubasi.

Pada penelitian ini, sulit dilakukan pengamatan terhadap tingkat kekeruhan

kultur pada berbagai konsentrasi, sehingga penentuan nilai MIC tidak didasarkan

 pada kekeruhan kultur mikroba uji. Penentuan nilai MIC dilakukan dengan

 pengamatan secara kuantitatif dengan cara menghitung jumlah koloni (nilai TPC

atau Total Plate Count ) dari masing-masing konsentrasi melalui metode

 pencawanan. Hasil perhitungan nilai TPC tersebut dapat dilihat pada tabel 1

 berikut:

Tabel 1. Nilai TPC (Total Plate Count ) dan log TPC  E. coli, S. aureus, dan C.

albicans  pada kultur uji dilusi dengan berbagai kosentrasi ekstrak

 petroleum eter D. hirsuta 

Konsentrasi

 E. coli S. aureus C. albicans

 Nilai TPC

(CFU/mL)

Log

TPC

 Nilai TPC

(CFU/mL)

Log

TPC

 Nilai TPC

(CFU/mL)

Log

TPC

0 2,44 x 108  8,387 1,14 x 10

7  7,057 4,3 x 10

8  8,633

250 2 x 10 8,301 1,75 x 10 7,243 3,13 x 10 7,496

500 1,02 x 10 8,009 8,8 x 10 6,944 1,88 x 10 7,274

750 7,9 x 10 7,898 6,24 x 10 6,795 1,14 x 10 8,057

1.000 6,95 x 10 7,842 7,04 x 10 6,848 1,86 x 10 7,27

1.500 1,01 x 10 8,004 9,84 x 10 6,993 2,20 x 10 8,3422.000 8,3 x 10

7  7,919 1,17 x 10

7  7,068 1,64 x 10

7  7,215

2.500 7,6 x 107  7,881 6,1 x 106  6,785 2,61 x 107  7,417

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai log TPC pada

konsentrasi yang semakin tinggi. Penurunan jumlah koloni yang hidup pada

metode pencawanan ini menunjukkan adanya aktivitas antimikroba ekstrak uji

terhadap ketiga mikroba uji tersebut. Pada penelitian ini, nilai MIC dinyatakan

sebagai konsentrasi terendah ekstrak lumut yang dapat menghambat pertumbuhan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 24/97

mikroba sebanyak 90% koloni awal, sedangkan nilai MBC ditentukan dari cawan

dengan konsentrasi ekstrak terkecil yang tidak dapat ditumbuhi lagi oleh bakteri

atau mampu mereduksi 99,9% dari populasi bakteri awal selama inkubasi 24 jam

(Koketsu et al ., 1996). Dari definisi di atas,  pada penelitian ini belum bisa

ditemukan nilai MIC karena penurunan jumlah koloni pada berbagai konsentrasi

ekstrak belum mencapai 90% baik pada  E. coli, S. aureus  maupun C. albicans.

 Nilai MBC/MFC juga belum bisa ditemukan karena belum ada konsentrasi

ekstrak yang dapat mereduksi 99,9% koloni dari jumlah populasi awal baik pada

 E. coli, S. aureus maupun C. albicans.

Dari hasil uji aktivitas antimikroba pada metode cakram kertas dan metode

 pengenceran dalam tabung menunjukkan bahwa pada ekstrak petroleum eter  D.

hirsuta  terdapat zat aktif yang bersifat sebagai antimikroba. Pada beberapa

 penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa lumut hati  D. hirsuta  memiliki

aktivitas antibakteri dan antifungi (Madsen dan Pates, 1952 dalam Glime, 2007).

Ekstrak air lumut hati  D. hirsuta  ditemukan dapat menghambat sejumlah fungi

fitopatogen dengan mekanisme yang berbeda seperti penghambatan germinasi

spora, sintesis dinding sel sehingga dinding sel menjadi lembek atau tidak kaku,

sitoplasma hilang dari sel dan sitoplasma berbentuk granul atau butiran dan

lainnya (Alam et al ., 2011). Pada penelitian ini, ekstrak petroleum eter  D. hirsuta 

 positif mengandung senyawa steroid. Senyawa ini diduga merupakan senyawa

aktif yang berperan sebagai antimikroba yang menghambat pertumbuhan  E. coli,

S. aureus  dan C. albicans. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa

steroid dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Zhu et al . (2000) dan

Varricchio et.al (1967) steroid dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram

 positif. Subhisha dan Subramoniam (2005) melaporkan bahwa ekstrak lumut hati

 Pallavicinia lyellii mengandung senyawa steroid yang aktif menghambat

germinasi spora pertumbuhan C. albicans, mekanisme penghambatannya diduga

 berkaitan dengan sistem intraseluler.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 25/97

10 

KESIMPULAN

Uji skrining fitokimia menunjukkan adanya senyawa steroid di dalam

ekstrak petroleum eter  D. hirsuta. Pemberian ekstrak petroleum eter  D. hirsuta

 pada konsentrasi berbeda berpengaruh terhadap diameter zona hambat

 pertumbuhan E. coli, S. aureus dan C. albicans. Jenis mikroba yang berbeda tidak

memiliki pengaruh terhadap besarnya zona hambat. Pada penelitian ini belum

dapat ditemukan nilai MIC  (Minimum Inhibitor Concentration)  dan MBC/MFC 

(Minimum Bactericidal Concentration/Minimal Fungicidal Concentration)  dari

ekstrak petroleum eter D. hirsuta terhadap E. coli, S. aureus dan C. albicans. 

DAFTAR PUSTAKA

[1] 

Alam, Afroz, T., Abhishek, V., Sharad, B.,K. Kumar,dan S.,Vinay, 2011,

 In vitro antifungal efficacies of aqueous extract of  D. hirsuta (Swaegr.)

 Nees against sporulation and growth of postharvest phytopathogenic

fungi, Arc. Bryology, 103, 1-9

[2]  Arora, D.S. dan Bhardwaj, 1997, Antibacterial Activity of Some

Medicinal Plants, Geo. Bios., 24, 127-131

[3] 

Bailey, W.R. dan Scott, E.G, 1994,  Diagnostic Microbiology, 4 edition,Saint Louis, The CV Mosby Company

[4]  Bodade R.G., Borkar P.S., Md Saiful Arfeen, dan Khobragade C. N.,

2008,  In vitro Screening of Bryophytes for Antimicrobial Activity, Journal of Medicinal Plans, 7 (4), 23-28

[5]  Bronzwaer, SL., Cars, O., Buchhols, U., Molstad, S., dan Goettsch, W.,2002, A European Study on The Relationship between Antimicrobial Use

and Antimicrobial Resistance, Emerging   Infectious Disease, 8, 278-282

[6]  Glime, J.M, 2007,  Bryophyte Ecology, http://www.bryoecol.mtu.edu 

( diakses 6 Januari 2012)

[7]  Harborne, JB, 1987, Metode Fitokimia, Edisi kedua, Bandung, Penerbit

ITB

[8]  Harbottle H., Thakur, S., Zhao, S., dan White, D.G., 2006, Genetics of

Antimicrobial Resistance, Anim.Biotechnol , 17, 111-124[9]

 

Hicks, Marie L., 1992, Guide to the Liverworts of North Carolin, United

States of America, Duke University Press[10]

 

Jawetz E, Melnick GE, dan Adelberg CA, 2005,  Mikrobiologi

kedokteran, Edisi II , Diterjemahkan oleh dr. Nani Widorini, Jakarta,

Salemba Medika

[11] 

Koketsu, Mamoru, M., Kim, dan Yamamoto T., 1996, Antifungal activity

against foodborne fungi of  Aspidistra elatior Blume,  J of Agric Food

Chemistry 44, 301 –  303

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 26/97

11 

[12] Lehninger,A., D. Nelson, M. Cox, dan Lehninger, 2005, Principles of

Biochemistry 4th Edition, New ork, W.H. Freeman New York

[13] 

Robinson, T., 1995,  Kandungan Senyawa Organik Tumbuhan Tinggi, Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Kokasih Padmawinata, Bandung, ITB

[14] Singh Kaveri, Vandana Tiwar, dan Rajneesh Prajapat, 2010, Study of

Antimicrobial Activity of Medicinal Plants Against Various MultipleDrug Resistance Pathogens And Their Molecular Characterization And

it’s Bioinformatics Analysis Of Antibiotic Gene From Genomic Database

With Degenerate Primer Prediction,  International Journal of Biological

Technology, 1(2), 15-19

[15] Subhisha, S. dan Subramoniam, A., 2005, Antifungal activities of a

steroid from  Pallavicinia lyellii,  a liverwort.  Indian Journal of

 Pharmacology, 37, 304-8.

[16] 

Tenover, Fred C., 2006, Mechanisms of Antimicrobial Resistance inBacteria, The American Journal of Medicine, 119 (6A), S3 – S10

[17] Varricchio, F., Norman, J.D., dan Aundre, S., 1967, Effect of azasteroidson Gram-positive bacteria, Journal of Bacteriology, 93(2), 627-635

[18] Veljic, M., Ana Ciric, Marina Socovic, P. Janackovic, dan P. D. Marin,2010, Antibacterial and Antifungal Activity of The Liverwort ( Ptilidium

 pulcherrimum) methanol extract.  Arch. Biol. Sci., Belgrade, Serbia, 62

(2), 381-395

[19] Wistreich, G.A, 2003,  Microbiology Laboratory Fundamentals and

 Application, Los angeles, Pearson Education Inc.

[20] 

Zhu Y., Zhu, Q.X., dan Jia, Z.J., 2000, Epoxide sesquiterpenes and

steroids from cremanthodium discoideum,  Australian Journal of

Chemistry, 53(10), 831-834[21]

 

Zhu, R.L., Wang D., Xu L., Shi R. P, Wang J., dan Zheng M., 2006,

Antibacterial activity in extracts of some bryophytes from China andMongolia, Journal of Botanical Laboratory 100, 603-615

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 27/97

KEANEKARAGAMAN DAN POLA DISTRIBUSI LONGITUDINAL

SPESIES KERANG AIR TAWAR CORBICULIDAE DI SUNGAI BRANTAS

PERIODE JANUARI – 

 FEBRUARI 2012

Ichsan Wardani, Drs. Moch. Affandi, M.Si., dan Dr. Bambang Irawan, M.Sc.

Program Studi di S1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,Universitas Airlangga, Surabaya.

Abstract

This study aims to reveal the diversity, abundance and dominance, as well as

longitudinal distribution patterns of species of freshwater mussels Corbiculidae in

 Brantas river period of January-February 2012, and to obtain comparative results on

the same topic with a sampling period of April-May 2011. Samples of freshwatermussels Corbiculidae were taken at 15 stations in Brantas river using Ponar dredge  ,

the two parts of the river and the middle section of the river, each as much as 5

Ponar dredge . Mussels samples are identified, characterized and analyzed to obtain

data on the identity of species, diversity, abundance, and distribution pattern of

longitudinal and comparative results on the same topic with the results of the study

 period from April to May 2011. Species of freshwater mussels Corbiculidae obtained

in January-February 2012 there are two species, namely the abundance of Corbicula

lacunae  range 3-38 individu/m2 , with total dominance index 78.13% and C. javanica  

with the abundance range 3-18 individu/m2 , with total dominance index 21.88%.

Corbiculidae mussels species obtained in the April-May 2011 there was only one

 species, namely C. lacunae   in the abundance range 5-34 individu/m2. The presence

of species of freshwater mussels Corbiculidae well in the January-February 2012 and

 April-May 2011 were both present only in the lower reaches of the river Brantas,

which is from Driyorejo until Kesamben in the January-February 2012 and from

Wringinanom until Ploso on the period of April to May 2011. It was concluded that

C. lacunae  is the dominant species in both study periods, but the number of species

abundance in the January-February 2012 more. Longitudinal distribution pattern is

not continuous at any good research station in the January-February 2012 and April-

 May 2011. 

Key words   : Freshwater mussels Corbiculidae, C. lacunae, C. javanica,

longitudinal distribution patterns, Brantas river.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 28/97

Pendahuluan

Kerang air tawar memiliki arti penting dalam keseimbangan ekosistem di

lingkungannya, yaitu sebagai konsumen yang mengkonsumsi organisme-organisme berukuran lebih kecil dan komponen tersuspensi dalam air (filter feeder)  dan juga

sebagai bioindikator (Grabarkiewicz dan Davis, 2008). Keberadaan kerang air tawar

saat ini mengalami penurunan. Master et al . (2000) dalam Grabarkiewicz dan Davis(2008) mengatakan bahwa saat ini 37 spesies kerang air tawar diduga mengalami

kepunahan. Hal tersebut dijelaskan Strayer et al . (2004) dalam  Grabarkiewicz dan

Davis (2008) bahwa penurunan tajam jumlah spesies kerang air tawar disebabkan

oleh kerusakan habitat, penurunan kualitas air, introduksi spesies eksotis, dan perubahan hidrologi. Penelitian yang mengungkap keberadaan kerang air tawar

Corbiculidae di aliran sungai Brantas beberapa sudah pernah dilakukan. Affandi

(1990) dan Hidayati (1995) telah mendapati kerang air tawar Corbicula javanica dan

Corbicula lacunae  di sepanjang sungai Kali Surabaya dan kanal Kali Wonokromoyang merupakan bagian hilir dari sungai Brantas. Penelitian lebih lanjut dilakukan

oleh Citriana (2002) yang juga mengambil sampel di sungai Kali Surabaya dan kanalkali Wonokromo dan hanya mendapatkan satu spesies kerang air tawar Corbiculidae,

yaitu Corbicula lacunae. Jutting (1953) menyebutkan bahwa di pulau Jawa termasuk

di sungai Brantas dijumpai tiga spesies kerang air tawar Corbiculidae dari genus

Corbicula, yaitu C. javanica, C. rivalis, dan C. pulchella. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian satu tahun untuk mendapatkan data terkini mengenai

keanekaragaman dan kelimpahan spesies kerang air tawar Corbiculidae yang

ditemukan di aliran sungai Brantas. Penelitian ini dirancang secara periodik pada periode waktu berbeda dengan kondisi lingkungan sungai yang bebeda pula. Kondisi

lingkungan sungai Brantas berfluktuasi secara periodik antara musim kemarau dan

musim penghujan, tingginya debit air dan kecepatan arus dapat menjadi kendala

dalam pengambilan sampel kerang air tawar Corbiculidae dan mempengaruhi tingkatakurasi hasil sampling, atau dengan kata lain bahwa akurasi hasil sampling kerang air

tawar Corbiculidae sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sungai pada waktu

 pengambilan sampel dilakukan. Budiarto (2011) dan Ramadani (2011) telahmengawali penelitian ini, yaitu pada bulan April hingga Mei 2011. Dalam penelitian

terdahulu replikasi pengambilan sampel hanya sebanyak tiga kali dan pada penelitian

ini akan dilakukan replikasi pengambilan sampel sebanyak lima kali. Hal ini

dilakukan agar mendapat hasil yang lebih mewakili dan diharapkan dapat melengkapidata dari penelitian terdahulu. Penelitian ini diarahkan untuk mengungkap

keanekaragaman dan kelimpahan spesies kerang air tawar Corbiculidae yang

ditemukan di aliran sungai Brantas.

Bahan dan Metode Penelitian

Bahan yang digunakan adalah sampel kerang air tawar Corbiculidae dan

larutan fiksatif berupa larutan formalin 5 – 6%. Pengambilan sampel kerang air tawarCorbiculidae dilakukan pada 15 stasiun di sungai Brantas (Gambar 1). Penentuan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 29/97

lokasi sampling pada sungai Brantas didasarkan pada penelitian terdahulu, yaitu pada

 penelitian Budiarto (2011) atau Ramadani (2011). Hal ini dilakukan agar mendapat

data yang dapat dibandingkan karena penelitian ini merupakan penelitian lanjutan.Setiap stasiun penelitian dibagi menjadi tiga plot, yaitu dua plot pada bagian

tepi sungai dan satu pada bagian tengah sungai. Dalam tiap plot kemudian diambil

sampel sebanyak lima dregde dengan menggunakan  Ponar dregde. Sampel yangdidapat kemudian disortir, yaitu dipisahkan dan diseleksi dari hewan lain atau

substrat secara selektif dan hati-hati. Selanjutnya sampel kerang air tawar

Corbiculidae dimasukkan dalam wadah atau botol kolektor dan diberi penambahan

larutan formalin 5 – 6% serta diberi label identitas sampel. Sampel air juga diambiluntuk keperluan analisis kandungan oksigen terlarut. Faktor fisik-kimia yang diamati

meliputi temperatur air, tingkat keasaman (pH), kecepatan arus, kadar oksigen

terlarut (DO), dan kedalaman.

Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Kerang Air Tawar Corbiculidae

(Ramadani, 2011)

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengambilan sampel di 15 stasiun penelitian diperoleh dua spesies kerang air

tawar Corbiculidae, yaitu Corbicula lacunae dan Corbicula javanica. SpesiesCorbicula lacunae didapati pada empat stasiun dengan urutan besar kelimpahan

 berturut-turut dari yang terendah adalah stasiun 6 (3 individu/m2), 4 (9 individu/m

2),

7 (24 individu/m2), dan 9 (38 individu/m

2). Corbicula javanica hanya didapati pada

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 30/97

dua stasiun, dengan kelimpahan tertinggi pada stasiun 5 yakni sebesar 18 individu/m2 

dan kelimpahan terendah pada stasiun 9 (3 individu/m2). Dari uraian di atas, stasiun

yang paling banyak ditemukan kerang air tawar Corbiculidae di dalamnya adalahstasiun 9 (mencapai 41 individu/m2). Berdsarkan pada kriteria indeks dominansi

Torgersen dan Baxter (2006), pada penelitian ini Corbicula lacunae  merupakan

spesies yang dominan dengan indeks dominansi 78,13% sedangkan Corbicula javanica merupakan spesies umum dengan indeks dominansi 21,88%. Kelimpahan

dan indeks dominansi masing-masing spesies tersebut pada tiap stasiun yang didapati

tersaji pada Tabel 1. Keberadaan kedua spesies kerang air tawar Corbiculidae tidak

kontinu jika dilihat dari keseluruhan stasiun penelitian.

Tabel 1. Kelimpahan dan Indeks Dominansi Spesies Kerang Air Tawar Corbiculidae

 pada Tiap Stasiun yang didapati Periode Januari – 

 Februari 2012

 Nama spesies

Kelimpahan dan Indeks Dominansi Spesies Kerang Air Tawar Corbiculidae pada

Tiap Stasiun Kelimpahantotal

4 5 6 7 9

 N Di N Di N Di N Di N Di Ni Di

Corbicula

 javanica0 0 18 100 0 0 0 0 3 0.07 21 21.88

Corbicula lacunae 9 100 0 0 3 100 24 100 38 92.68 74 78.13

Keterangan: N : Kelimpahan kerang (individu/m2); Di: Indeks Dominansi (%)

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu (Ramadani, 2011)yang hanya mendapatkan satu spesies kerang air tawar Corbiculidae, yaitu Corbicula

lacunae. Kelimpahan kerang air tawar Corbiculidae pada penelitian ini bekisar 3 – 41

individu/m2

dan Corbicula lacunae  sebagai spesies dominan dengan indeksdominansi 78.13%, sedangkan pada penelitian terdahulu (Ramadani, 2011),

kelimpahan kerang air tawar Corbculidae berkisar 5-34 individu/m2. Data

 perbandingan kelimpahan dan indeks dominansi spesies kerang air tawar

Corbiculidae pada tiap stasiun yang didapati antara periode Januari  –  Februari 2012dengan periode April  –   Mei 2011 tersaji pada tabel 2. Akan tetapi pola distribusi

longitudinal pada penelitian ini sama dengan pola distribusi longitudinal pada

 penelitian terdahulu (Ramadanni, 2011), yaitu tidak kontinu pada setiap stasiun

 penelitian.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 31/97

Tabel 2.  Perbandingan Kelimpahan Dan Indeks Dominansi Spesies Kerang Air

Tawar Corbiculidae Pada Tiap Stasiun yang didapati antara Periode

Januari – 

 Februari 2012 Dengan Periode April – 

 Mei 2011

Keterangan: A : Periode Januari –  Februari 2012; B : Periode April  –  Mei 2011

 N : Kelimpahan kerang (individu/m2); Di: Indeks Dominansi (%)

Adanya perbedaan temuan spesies ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa

hal, antara lain kondisi lingkungan sungai yang berbeda antara penelitian ini dengan

 penelitian terdahulu. Perbedeaan kondisi lingkungan sungai tersebut meliputitemperatur air, tingkat keasaman (pH), kadar oksigen terlarut (DO), kecepatan arus,

dan kedalaman. Temperatur air dari 15 stasiun penelitian di perairan sungai Brantas

 pada penelitian ini bervariasi bekisar antara 28  –   32⁰C, sedangkan temperatur air

 pada penelitian terdahulu bervariasi bekisar antara 27 – 31⁰C. Hasil pengukuran

 parameter pH (tingkat keasaman air) di seluruh stasiun penelitian ini juga bervariasi berkisar antara 5,6 – 6,3, yang menunjukkan bahwa air di seluruh stasiun penelitian di

sungai Brantas bersifat asam, sedangkan hasil pengukuran parameter pH pada penelitian terdahulu menunjukkan tingkat yang seragam yaitu bernilai 7, yang

menunjukkan bahwa air di seluruh stasiun penelitian di sungai Brantas pada penelitian terdahulu bersifat netral. Hasil pengukuran kadar oksigen terlarut dalam air

(DO =  Dissolved oxygen) dari seluruh stasiun penelitian di perairan sungai Brantas

 pada penelitian ini menunjukkan nilai yang beragam yaitu bekisar 5,88 – 10,61mgO2/liter, lain halnya dengan penelitian terdahulu yang memperoleh hasil

 pengukuran kadar oksigen terlarut dalam air (DO = Dissolved oxygen) bekisar 4 – 8,3

mgO2/liter. Kecepatan arus di sungai Brantas pada penelitian ini berkisar antara

0,253 – 2,241 m/s dan kedalamannya berkisar 2 – 7 m, sedangkan kecepatan arus pada penelitian terdahulu berkisar 0.06 – 1,1 m/s dan kedalamannya berkisar 1,7 – 5,2 m.

Data perbandingan hasil pengukuran parameter fisik kimia pada tiap stasiun dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu (Ramadani, 2011) dapat dilihat pada tabel3.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 32/97

Tabel 3.  Perbandingan Faktor Fisik Kimia Lingkungan di Sungai Brantas antara

Penelitian Ini dengan Penelitian Terdahulu (Ramadani, 2011) 

Keterangan : A : Penelitian ini

B : Penelitian terdahulu (Ramadani, 2011)

Spesies-spesies kerang air tawar Corbiculidae yang ada di sungai Brantashanya terdistribusi mulai dari daerah Driyorejo hingga daerah Kesamben. Hal ini

menunjukkan bahwa aliran sungai Brantas di sepanjang daerah tersebut memiliki

kondisi lingkungan yang sangat mendukung kehidupan kerang air tawarCorbiculidae. Pada aliran sungai di sepanjang daerah tersebut memiliki temperatur

air berkisar antara 28 – 31⁰C, dan arus yang tidak terlalu deras pada saat pengambilan

sampel dilakukan (tabel 4). Temperatur air pada daerah tersebut masih memenuhi

 batas toleransi. Berdasarkan Nedeau et al . (2009), temperatur di bawah 1,7 — 2,8⁰C

dan di atas 40⁰C menyebabkan kematian pada kerang famili Corbiculidae.

Temperatur juga berpengaruh terhadap ketersediaan pakan untuk kerang di manasuhu optimal yang menunjang kehidupan plankton. Kecepatan arus di keempat

stasiun ini tidak terlalu deras dan tidak terlalu lambat sehingga sangat mendukung

kehidupan kerang. Kerang famili Corbiculidae tidak menyukai arus yang deraskarena arus yang deras dapat mengikis kandungan nutrisi dan akan mengurangi suplai

makanan untuk kerang (Junaidi et al ., 2010). Kecepatan arus juga berpengaruh

terhadap banyaknya kadar oksigen yang terlarut dalam air, pada stasiun ini kadaroksigen terlarut bekisar 6,31  –   9,26 mgO2/liter. Suwignyo (1975)

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 33/97

dalam  Prihatini (1999) menyatakan bahwa kerang menyukai lingkungan

dengan kandungan oksigen terlarut antara 3,8 — 12,5 mgO2/lt.

Kesimpulan dan Saran

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Spesies kerang air tawar

Corbiculidae yang ada di perairan sungai Brantas adalah Corbicula javanica danCorbicula lacunae. Kelimpahan total masing-masing spesies kerang air tawar

Corbiculidae di seluruh stasiun penelitian adalah Corbicula javanica 21 individu/m2

dan Corbicula lacunae 74 individu/m2. Sedangkan nilai indeks dominansi spesies

kerang di seluruh stasiun penelitian Corbicula javanica 21,88% dan  Corbiculalacunae 78,13%. Kedua spesies kerang air tawar Corbiculidae pada seluruh stasiun

 penelitian di sungai Brantas memiliki pola keberadaan yang tidak kontinu.

Keberadaan yang kontinu hanya terjadi dalam daerah kisaran penyebaran di hilir

sungai Brantas. Pada penelitian ini dijumpai dua spesies kerang air tawarCorbiculidae, yaitu Corbicula lacunae  dan Corbicula javanica, kelimpahan kedua

spesies tersebut berkisar antara 3 – 41 individu/m2

dengan C. lacunae sebagai spesies

yang dominan dengan indeks dominansi 78.13 %, 

sedangkan pada penelitian

terdahulu (Ramadani, 2011) yang hanya mendapatkan satu spesies kerang air tawar

Corbiculidae, yaitu Corbicula lacunae dengan kelimpahan berkisar 5-34 individu/m2.

Pola distribusi longitudinal pada penelitian ini sama dengan pola distribusilongitudinal pada penelitian terdahulu (Ramadani, 2011), yaitu tidak kontinu pada

setiap stasiun penelitian.

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan dan kelimpahankerang air tawar Corbiculidae pada waktu yang bebeda, pada waktu kecepatan arus

tidak terlalu deras agar tidak mengalami kesulitan pada saat pengambilan sampel,

serta metode sampling yang berbeda, misalnya pengambilan langsung dengan metode

 plot agar mendapatkan hasil yang lebih mewakili mengenai keberadaan dankelimpahan kerang air tawar Corbiculidae di sungai Brantas.

Daftar Pustaka

Affandi, M. 1990. Pendugaan Tingkat Pencemaran Sungai Kali Surabaya dan Kanal

Kali Wonokromo dengan Menggunakan Indeks Diversitas Hewan Benthos

Makro. Skripsi. FMIPA. UNAIR.

Budiarto, N. 2011.Eksplorasi dan Visualisasi Morfologis Kerang Air Tawar

(Bivalvia: Corbiculidae) di Sungai BrantasJawaTimur. Skripsi. FSAINTEK.UNAIR.

Citriana, M.Y. 2002. Diversitas Dan Visualisasi Karakter Morfologi Invertebrata

Makro di Kali Surabaya.Skripsi. FMIPA. UNAIR.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 34/97

Grabarkiewicz, J.D dan Davis, W.S. 2008.  An Introduction to Freshwater mussel as

 Biological indicator. U.S. Environmental Protection Agency:Washington DC.

Hidayati, U. 1995. Hewan Benthos Makro Sebagai Bioindikator di Perairan Sungai

Surabaya. Skripsi. FMIPA. UNAIR.

Junaidi, E., Effendi P. S. dan Joko. 2010. Kelimpahan Populasi dan Pola Distribusi

Remis (Corbicula sp) di Sungai Borang Kabupaten Banyuasin. FMIPA. Univ.

Sriwijaya, Jurnal Penelitian Sains. 13 (3D), 50-54.

Jutting, W.S.S. van B. 1953. Systematic Studies on the Non Marine Mollusc of the

 Indo-Australia Archipelago : Revision of Freshwater Bivalvies.Vol 22. 19-

73.Zoological museum: Amsterdam.

 Nedeau, E.J. A.K. Smith, J. Stone, dan S. Jepsen. 2009.  Freshwater Mussels of the

 Pacific Northwest 2nd 

  edition. The Xerces Society for Invertebrate

Conservation. Oregon.

Prihatini, W. 1999. Keragaman Jenis dan Ekobiologi Kerang Air Tawar FamiliUnionidae (Mollusca: Bivalvia) Beberapa Situ di Kabupaten dan Kotamadya

Bogor. Tesis. Prodi Biologi, Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Ramadani, A.H. 2011. Keanekaaragaman dan Pola Distribusi Longitudinal KerangAir Tawar di Perairan Sungai Brantas. Skripsi. FSAINTEK. UNAIR.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 35/97

1

PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH KINETIN DAN IBA

TERHADAP KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.)

Irma Catur Prastyo W.(1)

, Dwi Kusuma Wahyuni(*)(1)

, dan Hery Purnobasuki(1)

(1) Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,

Surabaya.

*Email: [email protected]

ABSTRACT

The aims of this research were to know the effect of plant growth regulator

combination of kinetin and IBA at various concentration of kinetin (0 ppm and 0,5

ppm) and IBA (0 ppm, 0,5 ppm, 1 ppm, and 1,5 ppm) concentration for anther culture

of Capsicum frutescens L. This research used Completely Randomized Design. Data

analized with Kruskal-Walis Test. Anthers of  C. frutescens were cultured in the

double layer Murashige & Skoog medium (liquid upper layer). Solid medium

contained 30g/L sucrose and agar 8 g/L. Liquid layer contained sucrose 60 g/L with

addition of glutamin (500 mg/L). The results showed that combination of kinetin and

IBA gave not signification effect for anther culture of C. frutescens.

Keyword: Anther culture, Capsicum frutescens L., Plant growth regulator.

Pendahuluan

Cabai mempunyai nilai ekonomis tinggi karena salah satu pemanfaatannya

adalah sebagai bahan baku industri (Santika, 1999). Peningkatan produksi cabai

terhambat oleh kendala dalam kegiatan budidaya. Kendala-kendala tersebut antara

lain produktifitas rendah, ukuran dan bentuknya tidak sesuai dengan yang diharapkan,

serta terbatasnya kultivar unggul yang berumur pendek (Harpenas dan Dermawan,

2011).

Kultur jaringan telah dikenal banyak orang sebagai usaha mendapatkan

varietas baru (unggul) dari suatu jenis tanaman dalam waktu yang relatif lebih singkat

daripada dengan cara pemuliaan tanaman yang harus dilakukan penanaman secara

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 36/97

2

berulang-ulang sampai beberapa generasi. Kultur antera merupakan salah satu metode

untuk mendapatkan tanaman haploid yang unggul yang dapat di pergunakan untuk 

menghasilkan kultivar-kultivar baru atau hibrida F1 (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Tanaman membutuhkan zat pengatur tumbuh alami (fitohormon) untuk proses

pertumbuhan, yaitu zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh

berfungsi merangsang pertumbuhan, misalnya pertumbuhan akar, tunas,

perkecambahan dan sebagainya (Sandra, 2003). Selain itu, konsentrasi auksin dan

sitokinin dalam media kultur in vitro memainkan peranan penting dalam induksi dan

regenerasi kalus menjadi tunas (Desriatin, 2011).

Penggunaan media padat dengan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan

sitokinin terhadap kultur antera Capsicum annum dengan masa kultur selama 70 hari

telah banyak dilakukan, tetapi hasil yang diperoleh sangat rendah dan kurang

memuaskan (Wang et al., 1973; George & Narayanaswamy, 1973). Dumas de Vaulx

et al. (1981) melakukan kultur antera Capsicum annum pada media semi solid dengan

penambahan zat pengatur tumbuh kinetin dan 2,4-D belum dapat meningkatkan

perkembangan embrio.

Untuk mendapatkan embrio dalam kultur antera, memerlukan tahap penelitian

yang panjang. Sebelum mendapatkan embrio, antera terlebih dahulu akan membesar

yang diakibatkan oleh pemanjangan dari 3 lapisan antera yaitu epidermis, lapisan

tengah, dan endotesium serta perkembangan mikrospora yang ada di dalam antera

(Anonim, 2011). Setelah terjadi proses pemanjangan, pada bagian stomium akan

membuka sehingga mikrospora yang ada di dalamnya akan keluar dari antera

(Sanders et al., 2000).

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa perlu dilakukan penelitian

kultur antera C. frutescens dengan menggunakan jenis dan konsentrasi zat pengatur

tumbuh tertentu untuk menemukan formulasi yang tepat dalam meningkatkan hasil

kultur antera cabai rawit.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 37/97

3

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Departemen

Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Surabaya. Antera yang

digunakan adalah antera cabai rawit (Capsicum frutescens L.) dengan sedikit warna

ungu pada bagian ujung antera. Eksplan ditanam pada media Murashige & Skoog

double layer dengan penambahan zat pengatur tumbuh kinetin (0 ppm dan 0,5 ppm)

dan IBA (0 ppm, 0,5 ppm, 1 ppm, dan 1,5 ppm). Pada media padat (bagian atas)

mengandung sukrosa 3 g/L dan agar 8 g/L sedangkan pada media cair mengandung

sukrosa 60 g/L tanpa agar dengan penambahan glutamin 500 g/L.

Rancangan penelitian yang digunakan merupakan eksperimental laboratorium

dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Kombinasi perlakuan berjumlah 7 dan

masing-masing perlakuan terdiri 3 kali ulangan. Data yang dikumpulkan adalah

persentase antera yang membesar dan antera yang pecah.

Hasil Penelitian

Pada penelitian ini digunakan antera Capsicum frutescens L. yang memiliki

warna putih kekuningan dengan ujung antera sedikit berwarna ungu (Gambar 1.A).

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan antera C. frutescens yang mengalami

perubahan ukuran setelah ditanam pada media MS double layer  yang membesar

setelah 10 minggu masa kultur (Gambar 1.B). Dalam hal ini jumlah antera yang

membesar (berubah ukuran dari kecil ke besar) menjadi objek pengamatan. Selain

perubahan ukuran antera, dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatan antera yang

pecah (Gambar 1.C) pada setiap perlakuan.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 38/97

4

Gambar 1. Struktur antera Capsicum frutescens L. A) Antera sebelum dikulturpada media, B) Antera yang membesar, C) Antera yang pecah (anak 

panah) (Bar=1 mm).

Tabel 1. Pengaruh zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin terhadap persentase anteracabai rawit (C. frutescens ) yang membesar.

PerlakuanPersentase Rata-rata

Antera Membesar (%)

K0B0,5 43,33±5,77

K0B1 66,67±11,55

K0B1,5 43,33±11,55

K0,5B0 33,33±11,55

K0,5B0,5 60,00±0,00

K0,5B1 60,00±10,00

K0,5B1,5 73,33±11,55

Tabel 2. Pengaruh zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin terhadap persentase antera

cabai rawit (C. frutescens ) yang pecah.

PerlakuanPersentase Rata-rata

Antera Membesar (%)

K0B0,5 3,33±5,77

K0B1 0.00±0.00

K0B1,5 6,67±5,77

K0,5B0 6,67±5,77

K0,5B0,5 6,67±5,77

K0,5B1 0.00±0.00

K0,5B1,5 10,00±10,00

Pada setiap perlakuan, persentase antera yang membesar dan antera yang

pecah berbeda-beda (Tabel 1 dan 2). Namun, berdasarkan Uji Kruskal-Wallis

A B C

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 39/97

5

penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh kinetin dan IBA tidak berpengaruh

terhadap persentase antera yang membesar sehingga tidak bisa dilakukan uji lanjutan

statistik.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa pemberian kombinasi zat pengatur

tumbuh kinetin dan IBA tidak berpengaruh terhadap persentase antera yang

membesar dan antera yang pecah. Hal ini berbeda dengan penelitian Supena et al.

(2004) yang menyatakan bahwa penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh zaetin

2,5 µM dan IAA 5 µM ke dalam media pertumbuhan mampu menginduksi pecahnya

antera Capsicum annum serta menghasilkan embrio normal. Selain itu, menurut

Dumas de Vaulx et al. (1981) penambahan 0,01 mg/L kinetin dan 0,01 mg/L 2,4-D

merupakan kombinasi zat pengatur tumbuh yang tepat dalam menginduksi antera

Capsicum annum menjadi tanaman haploid.

Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh browning.  Browning merupakan

perubahan warna eksplan yang awalnya berwarna putih kekuningan dengan ujung

sedikit berwarna ungu menjadi berwana coklat.  Browning kemungkinan terjadi

karena adanya akumulasi komponen fenolik pada eksplan dimana terjadi proses

perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik (memar, pengupasan,

pemotongan, atau kondisi yang tidak normal) dan biokimia, bisa juga merupakan

gejala ilmiah dari proses penuaan (Kartiningrum dkk., 2011).

Senyawa kuinon akan menghambat aktifitas enzim yang selanjutnya dapat

mematikan tanaman (Agustin, 2005). Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan adanya

browning pada eksplan mempengaruhi jumlah antera yang pecah. Sehingga

pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan kinetin tidak memberikan

pengaruh terhadap jumlah antera cabai rawit (C. frutescens) yang pecah.

Menurut Sheeler & Bianchi (1987), bagian sel tanaman yaitu vakuola sebagai

tempat untuk menyimpan air dan produk-produk sel khususnya metabolit sekunder

termasuk fenol. Pada saat proses pemotongan jaringan, vakuola terpotong dan akan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 40/97

6

mengeluarkan fenol yang bereaksi dengan enzim fenol oksidase di dalam sitosol,

sehingga terbentuk kuinon yang menyebabkan warna berubah menjadi coklat.

Untuk mencegah proses browning perlu dilakukan penambahan antioksidan

ke dalam media kultur dan perendaman eksplan dalam antioksidan sebelum

dikulturkan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terbentuknya kuinon. Zat yang

biasa ditambahkan adalah polivinylpyrrolidone. Penambahan zat polivinylpyrrolidone

(PVP) cukup efektif untuk menyerap senyawa toksik (Chung et al., 1987). Namun

pada penelitian ini tidak dilakukan pemberian antibiotik sehingga browning tidak 

dapat dikendalikan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh kinetin dan IBA pada media pertumbuhan

kultur antera cabai rawit (Capsicum frutescens L.) tidak memberikan pengaruh

terhadap persentase jumlah antera yang membesar dan persentase jumlah antera yang

pecah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Jemjem yang telah membantu

memelihara donor eksplan selama penelitian berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011, Sexual Reproduction in Flowering Plants, http://textbook.s-

anand.net/ncert/class-xii/biology/2-sexual-reproduction-in-flowering-plants, 9Oktober 2012.

Agustin, W., 2005, Pemuliaan Tanaman Pisang dengan Kultur Anther , MakalahIndividu Program S3.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 41/97

7

Chung Hu, Shi-Chou, H., Ching-Po, H., Han-chih, L., Cheng-Chi, C., and Li-Ping, P.,

1987, On The Inductive Conditions of Rice Pollen Plantlets in Anther Culture,

Plant Tissue Culture.

Desriatin, N. L., 2011, Pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan Kinetinterhadap morfogenesis pada kultur in vitro tanaman tembakau ( Nicotiana

tabacum L. var. Prancak-95),  ITS-Undergraduate-15274-1506100021-Paper .

Hal 2.

Dumas de Vaulx, R., Chambonnent, D., and Pochard E., 1981, Culture In Vitro

d’antheres de piment (Capsicum annum L.): amelioration des taux d’obtention

de plantes chez differents genotypes par des traitements a +35oC,  Journal of 

 Agronomie 1: 859-864.

George, L. and Narayanaswamy, S., 1973., Haploid Capsicum through experimentalandrogenesis, Protoplasma 78: 467-470.

Harpenas, A. dan Dermawan, R., 2011,  Budi daya cabai unggul, Penebar Swadaya:Jakarta.

Hendaryono, D. P. dan Wijayani, A., 1994, Teknik kultur jaringan (pengenalan dan

 petunjuk perbanyakan tanaman secara vegetatif-modern), Kanisius:Yogyakarta.

Kartakaningrum, S., Purwito, A., Wattimena, G. A., Marwoto, B., dan Sukma, D.,2011, Teknologi Haploid Anyelir: Studi Tahap Perkembangan Mikrospora dan

Seleksi Tanaman Donor Anyelir, Jurnal Hortikultura , 21(2): 108-109.

Sanders, P. M., Lee, P. Y., Biesgen, C., Boone, J. D., Beals, T. P., Weiler, E. W., and

Goldberg, R. B., 2010, The Arabidopsis Delayed Dehiscence1 Gene Encedes an

Enzyme in The Jasmonic Acid Synthesis Pathway, The Plant Cell, California.

Sandra, E., 2003, Kultur jaringan anggrek skala rumah tangga, Agromedia Pustaka.

Jakarta.

Santika, A., 1999, Agribisnis tanaman cabai, Penebar Swadaya: Jakarta.

Sheeler, P. and D. G. Bianchi, 1987, Cell and Molecular Biology, John Willey andSons, Inc Canada.

Supena, E. D. J., Suharsono, S., Jacobsen, E., and Custers, J. B. M., 2004, Succesfuldevelopment of shed-microspore culture protocol for double haploid production

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 42/97

8

in Indonesian hot pepper (Capsicum annum), Plant Research International:

Netherlands.

Wang, Y. Y., Sun, C. S., Wang, C. C., and Chien, N. F., 1973, The induction of the

pollen planlets of triticale and Capsicum annum from anther culture, Scientia

Sinica 16: 147-151.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 43/97

DETEKSI ENZIM LIPASE DAN BIOSURFAKTAN PADA

SUPERNATAN KULTUR Bacil lus sp. LII63B YANG DITUMBUHKAN

PADA MINYAK KELAPA

Ni’matuzahroh (*), Isnaini Septi Irmayanti, Tini Surtiningsih, Fatimah, Sri Sumarsih (**)

(*) Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FSAINTEK, Universitas Airlangga

(**) Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia, FSAINTEK, Universitas Airlangga

Kampus C Unair , Jln. Mulyorejo, Surabaya - Indonesia,

*)E-mail: [email protected] 

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi enzim lipase dan biosurfaktan

 pada supernatan kultur bakteri  Bacillus sp.  LII63B. Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental laboratoris.  Bacillus sp. LII63B ditumbuhkan pada media yang berisi  Nutrien

 Broth  dan 2 % minyak kelapa. Kultur diinkubasi selama 48 jam pada suhu 28oC.Pertumbuhan bakteri dievaluasi dengan metode turbidimetri. Supernatan kultur bakteri

 Bacillus sp. LII63B diukur nilai tegangan permukaannya menggunakan tensiometer Du-

 Nouy, nilai aktivitas emulsifikasi dengan minyak uji solar, serta nilai aktivitas enzimnya

menggunakan substrat p-nitrofenol palmitat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa supernatan

 Bacillus sp. LII63B memiliki nilai aktivitas lipolitik sebesar 11,54 U/mL, dapat menurunkan

nilai tegangan permukaan sebesar 13,92 dyne/cm, tetapi tidak dapat mengemulsi minyak uji

solar.

Kata kunci: supernatan  Bacillus sp. LII63B, aktivitas enzim lipase, tegangan permukaan,

aktivitas emulsifikasi.

ABSTRACTThe aim of this study was to determine lipase enzyme and biosurfactant production

from  Bacillus sp. LII63B culture supernatant. This study is an experimental research

laboratory. Bacillus sp.  LII63B was grown on medium containing Nutrient Broth and 2%

coconut oil. Culture was incubated in 28oC for 48 hours. The bacterial growth was evaluated

 by turbidimetry method. Supernatant of Bacillus sp. LII63B bacterial culture was detected its

surface tension with Du-Nouy tensiometer, emulsification activity with diesel oil, and lipolitic

activity using  p-nitrofenol palmitat substrat. The result of this research showed that

supernatant of Bacillus sp. LII63B have a lipolitic activity up to 11,54 U/mL, have the ability

to lower the surface tension of 13.92 dyne/cm. However, it do not have the ability to emulsifydiesel oil.

 Key words:  supernatant of  Bacillus sp. LII63B, lipase enzyme activity, surface tension,

emulsification activity.

PENGANTAR

Kontrol yang hampir tidak pernah dilakukan terhadap limbah industri telah

mengakibatkan terjadinya pencemaran yang sangat luas dan merupakan limbah yang

 berbahaya, salah satunya adalah limbah oil sludge  yang dihasilkan pertamina (Novianti,

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 44/97

2010). Oil sludge adalah limbah pengolahan minyak bumi yang terdiri atas minyak, air, dan

 padatan mineral (Dibble dan Bartha, 1979). Selama ini, metode menggunakan enzim lipase

dan biosurfaktan mulai banyak dikembangkan dalam hal membantu remidiasi limbah minyak

atau oil sludge agar tidak mencemari lingkungan.

Enzim lipase merupakan enzim yang mengkatalisis proses hidrolisis dan sintesis dari

ester yang terbentuk dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Enzim ini digunakan dalam

 proses perombakan lemak dan minyak, sintesis bahan kimia dan farmasitikal, pembuatan

kertas, produksi bahan kosmetik (Sharma et al., 2001), dan perlakuan terhadap air yang kaya

lipid. Surfaktan ( surface active agent ) adalah molekul amfifatik yang terdiri atas gugus

hidrofilik dan hidrofobik, sehingga dapat berada di antara cairan yang memiliki sifat polar dan

ikatan hidrogen yang berbeda, seperti minyak dan air (Desai dan Banat, 1997). Penggunaan

 biosurfaktan lebih menguntungkan dibandingkan dengan surfaktan sintetik karena tidak

toksik, pengemulsi yang baik, dan lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme (Desai dan

Banat, 1997). 

Penelitian sebelumnya oleh Fatimah dan Nurhariyati  (2011) berhasil melakukan

skrining bakteri hidrokarbonoklastik dari limbah rumah potong hewan daerah Pegirian,

Surabaya. Hasil skrining menunjukkan bahwa kultur  Bacillus sp. LII63B merupakan bakteri

yang memiliki potensi lipolitik. Sehingga, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas

enzim lipase dan kemampuannya sebagai biosurfaktan dari supernatan kultur  Bacillus sp.

LII63B, berkaitan dengan potensinya yang dapat digunakan sebagai agen remidiasi dalam

membantu melarutkan minyak atau oil sludge. 

BAHAN DAN METODE

Bahan

Isolat Bacillus sp. LII63B, media Nutrient Agar  (NA), media Nutrient Broth (NB), minyak

goreng, media  Bushnell Hash, solar,  p-nitrofenol palmitat, serta beberapa bahan kimia yang

lazim digunakan dalam penelitian mikrobiologi yaitu alkohol dan spirtus.

Metode

1.  Pembuatan stok bakteri uji

Biakan murni dari isolat  Bacillus sp. LII63B diinokulasi pada media miring  Nutrient

 Agar  (NA) steril dengan metode gores, kemudian diinkubasi pada suhu kamar (28o C) selama

24 jam.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 45/97

2.  Pembuatan kultur bakteri dalam media Nutir ent Broth  

Sebanyak 1-2 ose biakan bakteri dari NA miring diinkubasikan ke dalam media  Nutrient

 Broth (NB) steril selama 24 jam. Penggunaannya dalam media produksi, kultur  Bacillus sp.

LII63B nilai absorbansinya dihitung dengan metode turbidimetik hingga mendapatkan nilai

OD sebesar 0,5 pada λ 650 nm.

3.  Pembuatan media Bushnell H aas+ 1 % minyak

Komposisi nutrien 100 ml media  Bushnell Haas  cair meliputi: K 2HPO4  0,5 gram,

KH2PO4 0,5 gram, NH4 NO3 0,5 gram, MgSO4.7H2O 0,05 gram, CaCl2.2H2O 0,02 gram, dan

FeCl3 0,01 gram. Medium 50 mL  Bushnell Haas  cair dan 1% minyak goreng, kedalamnya

dimasukkan 5% suspensi sel dengan A650 nm = 0,1 dari isolat. Campuran dikultivasi dengan

 pengocokan 120 rpm pada suhu 37 ºC selama 48 jam. Selama proses kultivasi berlangsung,

setiap 4 jam sekali dilakukan penghitungan biomassa sel untuk membuat kurva pertumbuhan

mikroba dan pengambilan supernatan untuk menentukan waktu optimal aktivitas lipolitiknya.

4.  Penentuan nilai aktivitas enzim lipase Bacil lus sp. LII63B

Aktivitas lipolitik dilakukan dengan metode Pereira-Meirelles et al . (1997) dalam 

Sumarsih (2005) yang dimodifikasi. Aktivitas enzim ditentukan dengan metode

spektrofotometrik dengan substrat  p-nitrofenil palmitat ( p-NPP). Kultur disentrifugasi pada

9.000 rpm dengan suhu 4º C selama 15 menit, sehingga terpisah antara supernatan dan

suspensi sel. Supernatan yang diperoleh mengandung enzim lipase ekstraseluler.

Disiapkan tabung Eppendorf yang diisi 700 µl larutan  p-NPP 0,503 mM dalam buffer

fosfat pH 7.0. Kemudian ditambahkan 300 µl supernatan yang mengandung enzim lipase

ekstraseluler. Campuran diinkubasi dalam waterbath  pada suhu 37º C selama 30 menit.

Tabung Eppendorf diangkat dari waterbath  lalu ditambahkan 100 µl larutan Na2CO3 0,2 M.

 p-nitrofenol yang terbentuk ditandai dengan warna kuning, kemudian diukur dengan

spektrofotometer UV-Vis pada λ 410  nm. Absorbansi yang diperoleh selanjutnya akan

digunakan untuk menetapkan nilai aktivitas enzim lipase berdasarkan pada kurva standart  p-

nitofenol (U/mL).

5.  Pembuatan media produksi NB + 2% minyak

Media produksi yang digunakan adalah media Nutrient Broth (13 g/L) yang ditambahkan

dengan substrat minyak goreng sebanyak 2% (v/v). Sebanyak 100 mL media dimasukkan ke

dalam masing-masing botol kultur ukuran 500 mL dan disterilisasi pada suhu 121o

C selama

15 menit. Sebanyak 5% (v/v) kultur Bacillus sp. LII63B dalam  Nutrient Broth dengan nilai

absorbansi 0,5 pada λ 650 nm  diinokulasikan ke dalam masing-masing botol kultur berukuran

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 46/97

500 mL yang telah berisi media produksi dengan volume 100 mL. Inkubasi dilakukan dalam

 shaker incubator   pada suhu ruang dengan agitasi 120 rpm selama waktu optimal yang

dimiliki oleh  Bacillus sp. LII63B. Supernatan  diperoleh dengan cara kultur disentrifugasi

 pada kecepatan 9.000 rpm dalam suhu 4°C selama 15 menit.

6.  Pengukuran tegangan permukaan supernatan kultur

Sebanyak 10 mL supernatan  Bacillus sp. LII63B yang telah didapatkan pada waku

optimal 16 jam, kemudian dihitung nilai tegangan permukaannya dengan tensiometer Du-

 Nouy. Kontrol yang digunakan adalah media produksi tanpa kultur. Satuan nilai tegangan

 permukaan yang digunakan adalah dyne/cm. 

7.  Pengukuran aktivitas emulsifikasi

Aktivitas emulsifikasi diukur dengan mencampurkan 1 mL supernatan dengan 1 mL

minyak minyak uji solar di dalam tabung reaksi. Setelah divortex selama 2 menit, aktivitas

emulsifikasinya diamati pada waktu inkubasi 1 jam dan 24 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kurva pertumbuhan dan waktu optimal aktivitas enzim Bacil lus sp. LII63B

Sebelum melakukan produksi untuk supernatan  Bacillus sp LII63B, dilakukan

 pengamatan pertumbuhan kultur bakteri dalam media  Bushnell Hash  + 1% minyak dengan

melihat nilai kekeruhan (OD) dari kultur di tiap jam pengamatan dengan menggunakan

spektrofotometer. Berikut gambar pertumbuhan kultur  Bacillus sp. LII63B selama 48 jam

inkubasi.

Gambar 1.  Kurva pertumbuhan bakteri  Bacillus sp.  LII63B selama 48 jam dalam media

 pertumbuhan Bushnell Hash+1% minyak goreng

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 47/97

Dari gambar yang ditunjukkan di atas dapat diketahui bahwa dalam waktu 48 jam,

 bakteri Bacillus sp.LII63B mengalami fasa log atau fasa eksponensial setelah mengalami fasa

adaptasi selama ± 4 jam pada jam awal. Disebut sebagai fasa eskponesial karena pembelahan

sel merupakan persamaan eksponensial. Pada fasa ini perbanyakan jumlah sel meningkat

sampai pada batas tertentu dan membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan dengan fasa

yang lain. Selain itu pada fasa ini sel menjadi cenderung lebih sensitif terhadap

lingkungannya (Yuneta, 2010).

Adanya pertumbuhan dari bakteri dapat dilihat pada perubahan warna media  Bushnell

 Hash + 1% minyak goreng yang semula berwarna bening, seiring dengan berjalannya waktu

warna media berubah menjadi agak keruh dan semakin keruh di titik yang terakhir yaitu pada

titik jam ke-48. Selain media yang berwarna keruh, terjadi pula pembentukan globul minyak

yang terjadi akibat terhidrolisisnya hidrokarbon minyak goreng oleh enzim lipase. Hidrolisis

hidrokarbon minyak goreng terjadi pada ikatan ester trigliserida yang diputus oleh enzim

lipase, sehingga menjadi asam lemak dan gliserol. Produk yang terbentuk selanjutnya

digunakan oleh bakteri untuk kebutuhan metabolisme selnya (Renjana, 2011). Berikut

merupakan gambar perubahan kekeruhan dan globul minyak yang terbentuk setelah beberapa

 jam inkubasi.

Gambar 2.  Perbedaan media kultur  Bushnell Hash + 1%minyak (A= Kontrol ; B= Setelah

ada pertumbuhan bakteri)

Sedangkan, waktu optimal untuk uji aktivitas lipolitik dari kultur Bacillus sp. LII63B

 berdasarkan pada nilai absorbansinya disajikan sebagai berikut.

BA

Minyak

masih

mengumpul

globul minyakmulai

terbentuk

Media

 Nampak

keruh seiring

 pertumbuhan

 bakteri

Media

masih

 bening

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 48/97

 Gambar 3. Waktu optimal aktivitas lipolitik oleh Bacillus sp. LII63B

Berdasarkan pada gambar 3 di atas diketahui bahwa waktu optimal dari kultur  Bacillus

 sp. LII63B adalah pada waktu 16 jam. Jadi, karakteristik supernatan yang digunakan untuk uji

nilai tegangan permukaan, aktivitas emulsifikasi, dan nilai aktivitas lipolitik adalah

supernatan yang berasal dari kultur Bacillus sp. LII63B dengan umur 16 jam.

2. Karakteristik Supernatan Bacil lus sp. LII63B

Supernatan yang didapatkan dari kultur  Bacillus sp. LII63B berumur 16 jam,

kemudian dikarakterisasi dengan menghitung nilai aktivitas lipolitik, pengukuran tegangan

 permukaan dan nilai aktivitas emulsifikasi. Pengukuran ini dilakukan dengan tujuan untukmengetahui kemungkinan adanya kandungan senyawa yang bersifat aktif permukaan

(surfaktan) dan bioemulsifier dalam supernatan tersebut. Hasilnya disajikan pada tabel berikut

ini.

Tabel 1.  Nilai aktivitas lipolitik, tegangan permukaan, aktivitas emulsifikasi supernatan

 Bacillus sp. LII63B

No Hasil Uji Nilai

1. Aktivitas lipolitik   11,55 U/mL

2. Tegangan permukaan 49,27 ± 0,55 dyne/cm

3. Aktivitas emulsifikasi

1 jam 10,49 ± 1,33 %

24 jam 0 %

Penentuan nilai aktivitas enzim lipase dilakukan dengan metode sebelumnya oleh

Renjana (2011). Supernatan kultur  Bacillus sp. LII63B pada waktu ke-16 jam dihitung nilai

absorbansinya dengan menggunakan UV-Vis. Diketahui bahwa supernatan kultur  Bacillus sp.

LII63B memiliki nilai serapan UV-Vis dengan λ   410 nm sebesar 0,129. Nilai serapan tersebut

kemudian dimasukkan kedalam kurva standart  p-nitrofenol untuk mengetahui nilai aktivitas

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 49/97

lipolitiknya. Dari hasil perhitungannya, nilai aktivitas lipolitik dari supernatan kultur Bacillus

 sp. LII63B adalah 11,55 U/mL.

Tabel 1 menunjukkan bahwa supernatan kultur  Bacillus sp.  LII63B memiliki nilai

tegangan permukaan 49,27 ± 0.55 dyne/cm dengan nilai tegangan permukaan kontrol NB

adalah sebesar 63,19 ± 2,71 dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa supernatan  Bacillus sp. 

LII63B memiliki kemampuan sebagai sufraktan atau memiliki  surface active agent karena

dapat menurunkan tegangan permukaan sebesar sebesar 13,92 dyne/cm terhadap media

kontrolnya. Menurut Francy et al.  (1991) mengatakan bahwa bakteri memiliki potensi

menghasilkan biosurfaktan jika dapat menurunkan nilai tegangan permukaan ≥ 10 dyne/cm.

Dari hasil penurunan yang dihasilkan oleh supernatan kultur  Bacillus sp.  LII63B

menunjukkan bahwa supernatan tersebut memilki potensi sebagai biosurfaktan.

Aktivitas emulsifikasi supernatan  Bacillus sp.  LII63B dilakukan pada minyak uji

solar. Hasil uji aktivitas emulsifikasi, dengan kontrol akuades memilki nilai persentase

aktivitas emulsifikasi sebesar 0 % pada solar. Sedangkan, supernatan kultur  Bacillus sp.

LII63B dengan waktu inkubasi 1 jam memiliki nilai aktivitas emulsifikasi sebesar 10,49 ±

1,33 % dan pada waktu inkubasi 24 jam nilainya 0 %. Hal ini menunjukkan bahwa supernatan

kultur  Bacillus sp. LII63B tidak memiliki kemampuan untuk mengemulsi minyak uji solar

dengan baik, ditunjukkan dengan hasil emulsi yang dihasilkan sangat rendah pada waktu

inkubasi 1 jam dan pada waktu inkubasi 24 jam emulsinya sudah tidak ada. Namun,

kemampuannya dalam mengemulsi pada waktu inkubasi 1 jam menunjukkan bahwa

supernatan kultur Bacillus sp. LII63B memiliki kemampuan sebagai emulsifier .

Aktivitas emulsifikasi dari supernatan kultur  Bacillus sp. LII63B pada minyak uji

solar di tunjukkan pada gambar berikut,

Gambar 4. Aktivitas emulsifikasi crude enzim lipase Bacillus sp. LII63B dengan minyak uji

solarKeterangan: A = Sebelum di vortex

B = setelah divortex 24 jamC = emulsi yang terbentuk

1 2 31 2 3

BA

C

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 50/97

1: Supernatan 12: Supernatan 23: Supernatan 3

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa supernatan kultur  Bacillus sp. LII63B

merupkan bakteri hidrokarbonoklastik yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim

lipase dan memiliki kemampuan sebagai  surface active agent dan emulsifier . Sehingga,

dengan adanya kemampuan tersebut, bakteri  Bacillus sp. LII63B bisa dijadikan sebagai salah

satu bakteri yang dapat digunakan dalam proses biodegradasi sebagai agen remediasi dalam

membantu melarutkan limbah minyak atau oil sludge. 

KESIMPULAN

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa supernatan kultur  Bacillus sp. LII63B yang

ditumbuhkan pada minyak kelapa memiliki aktivitas lipolitiknya sebesar 11,55 U/mL,

 penurunan tegangan permukaan sebesar 13,92 dyne/cm, namun tidak memiliki aktivitas

emulsifikasi yang baik pada minyak uji solar.

KEPUSTAKAAN

Desai, J.D. dan Banat, I.M. 1997. Microbial Production of Surfactant and Commercial

Potential. Microbiol and Molecular Rev. 61: 47-64.

Dibble, J.T. dan R. Bartha. 1979. Effect of Environmental Parameter on the

Biodegradation of Oil Sludge.  Applied Enviromental Microbiology 37: 729-739.

Fatimah dan Nurhariyati, T. 2011. Eksplorasi Bakteri Proteolitik dan Lipolitik dari

Limbah Rumah Potong Hewan.  Laporan Penelitian Hibah Riset . Universitas

Airlangga: Surabaya.

Francy, D.S., Thomas, J.M., Raymond, R.I., dan Word, C.H. 1991. Emulsification of

Hydrocarbon by Subsurface Bacteria. J. Ind. Microbiol. Vol. 8. pp. 237-246.

Khumalo, L.W., L. Majoko, J. S. Read, dan I. Ncube. 2002. Characterisation of Some

Underutilised Vegetable Oils and Their Evalution as Starting Materials for

Lipase-Chatalysed Production Cocoa Butter Equivalens. Ind Crops Products, 16 :

237-244.

 Novianti, S. 2010. Pembuatan dan Karakterisasi Bata Konstruksi dengan

Memanfaatkan Limbah Sludge   Pertamina Pangkalan Susu. Tesis. Universitas

Sumatera Utara.

Renjana, Elga. 2011. Skrining dan Uji Aktivitas Lipolitik Mikroba Hidrokarbonoklastik .

Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Airlangga: Surabaya.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 51/97

Sharma R., Chisti Y., dan Banerjee U.C. 2001. Production, Purification, Characterization,

and Applications of Lipases. Biotechnol Adv 19 : 627 – 662.

Sumarsih, S. 2005. Skrining Bakteri Penghasil Lipase Termostabil dari Reaktor pada

Pabrik Minyak Goreng.  Laporan Penelitian Dipa Penerimaan Bukan Pajak Tahun

 Anggaran 2005. FMIPA. Universitas Airlangga.

Yuneta, Rena. 2010. Pengaruh Suhu pada Lipase dari Bakteri Bacill us subtili s . Skripsi.

Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember: Surabaya.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 52/97

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT BUAH DAN BIJI MANGGIS (Garcinia

mangostana)  PADA BAKTERI PENYEBAB JERAWAT (Staphylococcus

epidermidis )  DENGAN MENGGUNAKAN SOLVEN ETANOL

Krisnina Maharani, Drs. Agus Supriyanto, M. Kes, dan Tri Nurhariyati, S. Si, M.

Kes, Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga, Surabaya.

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak

kulit buah dan biji manggis (Garcinia mangostana) sebagai antibakteri pada bakteri penyebab jerawat Staphylococcus epidermidis dengan menggunakan

solven etanol. Penelitian eksperimental ini menggunakan RAL (Rancangan Acak

Lengkap) yang terdiri atas uji difusi dan uji dilusi. Uji difusi terdiri atas 8

konsentrasi ekstrak, masing-masing terdiri atas (0, 12,5, 25, 50, 100, 200, 500, dan

1.000 ppm). Uji dilusi terdiri atas 12 konsentrasi ekstrak, masing-masing terdiri

atas (0, 12,5, 25, 50, 100, 200, 500, 1.000, 1.125, 1.250, 1.500 dan 2.000 ppm).

Parameter yang diukur untuk uji difusi adalah diameter daerah penghambatan

(mm), masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Uji dilusi digunakan untuk

mencari nilai MIC dan MBC. Data diameter daerah penghambatan dianalisis

secara statistika menggunakan uji  Kruskal-Wallis dilanjutkan uji  Mann-Whitney,

sedangkan data uji dilusi dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian uji difusimenunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak kulit buah dan biji manggis (Garcinia

mangostana) berpengaruh menghambat pertumbuhan bakteri. Nilai tertinggi

untuk ekstrak kulit buah manggis pada konsentrasi 1000 ppm sebesar (0,8192 ±

0,05) mm, dan pada konsentrasi yang sama ekstrak biji sebesar (0,7208±0,05)

mm. Ekstrak kulit buah nilai MIC berada pada 1.000 ppm dan MBC pada 1.125

 ppm, sedangkan pada ekstrak biji nilai MIC pada 2.000 ppm dan MBC belum

dapat ditemukan, namun memberikan pengaruh penghambatan pertumbuhan.

Kata kunci : Garcinia mangostana, Staphylococcus epidermidis, MIC, MBC

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 53/97

ABSTRACT

This research was aimed to know determine the effects of concentration of the

fruit skin and seed extracts of mangosteen (Garcinia mangostana) as an

antibacterial in acne-causing bacteria Staphylococcus epidermidis using ethanol

solvent. This experimental study using the CRD (Completely Randomized

Design) which consists of diffusion test and the test dilution. Diffusion test

consisted of 8 concentrations of extracts, each consisting of (0, 12,5, 25, 50, 100,

200, 500, dan 1.000 ppm). Dilution test consisted of 12 concentrations of extract,

each consisting of (0, 12,5, 25, 50, 100, 200, 500, 1.000, 1.125, 1.250, 1.500 dan

2.000 ppm). The parameters measured for the diffusion test is the diameter of the

inhibition area (mm), each treatment consisted of 3 replications. Dilution test is

used to find the value of MIC and MBC. Diameter of the inhibition data were

analyzed using a statistical test of Kruskal-Wallis test followed Mann-Whitney, thedilution of the test data were analyzed descriptively. The results of diffusion tests

showed that the concentration of skin extract of the fruit and seeds of mangosteen

(Garcinia mangostana) gives the effect of growth inhibition. The highest value for

the mangosteen rind extract at a concentration of 1000 ppm (0.8192 ± 0.05) mm,

and the mangosteen fruit seed extract at a concentration of 1000 ppm (0.7208 ±

0.05) mm. Fruit peel extract MIC values are at 1000 ppm and 1125 ppm MBC on,

while the MIC values of fruit seed extract at 2,000 ppm and MBC can not be

found, but it gives the effect of growth inhibition.

Key word : Garcinia mangostana, Staphylococcus epidermidis, MIC MBC

PENDAHULUAN

Jerawat merupakan kondisi abnormal kulit akibat gangguan berlebih

 produksi kelenjar minyak ( sebaceous gland ) yang menyebabkan penyumbatan

folikel rambut dan pori-pori kulit sehingga terjadi peradangan pada kulit.

Keaktifan kelenjar minyak di bawah kulit dirangsang oleh hormone androgen 

(hormone pertumbuhan). Pengentalan kelenjar minyak terjadi menutupi selubung

rambut, mendesak keluar dalam bentuk lemak kental, yang disebut jerawat

(Harmanto, 2006). Keberadaan mikroorganisme di tubuh manusia juga

mempengaruhi munculnya jerawat. Karena kebanyakan bakteri kulit dijumpai

 pada epitelium (lapisan luar bersisik), membentuk koloni pada permukaan sel-sel

mati (aerobik) dan di dalam kelenjar lemak dijumpai bakteri-bakteri anaerob

lipolitik, seperti Staphylococccus epidermidis yang bersifat nonpatogen pada kulit

namun dapat menimbulkan penyakit, termasuk jerawat akibat lipase

Staphylococccus epidermidis  melepaskan asam-asam lemak dari lipid dan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 54/97

menyebabkan iritasi jaringan (Naturakos, 2009). Sejauh ini pengobatan jerawat

dilakukan dengan memberikan obat antibiotika, seperti doksisiklin untuk

menghambat perkembangan mikroba dan mengurangi jumlah asam lemak bebas

(Harmanto, 2006). Bahan antimikroba merupakan bahan yang dapat mengganggu

 pertumbuhan dan metabolisme mikroba, yang menyatakan penghambatan

 pertumbuhan. Antimikroba selain diperoleh dari bahan-bahan sintetik akhir-akhir

ini banyak ditemukan dari bahan alam seperti pada tanaman, rempah-rempah atau

dari mikroorganisme (Pelczar dan Chan, 1988). Melalui analisis kuantitatif

fitokimia biji manggis memiliki kemampuan sebagai antifungi dan antimikroba

yang masih memerlukan kajian dan penelitian lanjutan (Ajayi, 2011). Berdasarkan

 penampisan fitokimianya diketahui biji manggis mengandung tanin, saponin,

terpenoid, flavonoid, dan alkanoid (Ajayi, 2011). Sementara kulit buah terluar

mengandung tanin, resin, alkaloid, saponin, triterpenoid, fenolik, flavonoid,

glikosida, steroid dan lateks kering manggis dengan sejumlah zat warna kuning

yang berasal dari dua metabolit sekunder, yaitu mangostin (C20H22O5) atau

mangosim (Nadkarni and Nadkarni, 1999). Senyawa aktif antibakteri dalam kulit

 buah dan biji manggis adalah senyawa flavonoid, tannin dan saponin. Perlu

dilakukan uji pembanding keefektifan zat antibakteri kulit buah dan biji manggis,

mengingat perbedaan kosentrasi ekstrak akan menunjukkan perbedaan hasil uji

antibakteri (Mayachiew and Devahastin, 2008).  Pohon manggis yang berumur

lebih dari 100 tahun dapat menghasilkan 50-80 kilogram (500-800buah/pohon)

(Paramawati, 2010). Efek antibakteri dari kulit buah dan biji manggis dapat

diketahui dengan melakukan uji yang dilakukan secara invitro dengan

menggunakan difusi cakram dan metode dilusi. Metode difusi cakram

diindikasikan dengan terbentuknya daerah hambatan pertumbuhan di sekitar

cakram uji. Metode dilusi dilakukan setelah sebelumnya melakukan uji dengan

metode difusi cakram sehingga didapatkan nilai MIC ( Minimal Inhibitory

Concentration), yaitu konsentrasi terendah suatu agen antimikroba yang

diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba serta MBC ( Minimal

 Bactericidal Concentration), yaitu konsentrasi daya bunuh bakteri minimum.

Diduga komponen kimia ekstrak kulit buah dan biji manggis mempunyai

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 55/97

kemampuan sebagai antimikroba dapat mempengaruhi zona penghambatan

 pertumbuhan pada bakteri

METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen

Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Waktu

 penelitian bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Penelitian ini merupakan

 penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Kulit buah dan

 biji manggis (Garcinia mangostana) diekstrak dengan pelarut etanol. Ekstrak kulit

 buah dan biji dengan beberapa konsentrasi yang berbeda (0, 12,5, 25, 50, 100,

200, 500, dan 1.000 ppm,) yang dilakukan dengan tiga kali ulangan.

Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut :

1.  Penyiapan Bahan Penelitian

Untuk membuat suatu ekstrak, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan

 bahan berupa kulit dan biji buah manggis. Agar homogen, warna dan usia kulit

 buah manggis diusahakan seragam dari kulit buah manggis yang telah matang.

Tingkat kematangan buah manggis berdasarkan Indek atau tahapan, yaitu warna

kulit buah ungu kemerahan. Buah mulai masak dan siap dikonsumsi. Getah telah

hilang dan isi buah mudah dilepaskan. Tahapan ekstraksi adalah sebagai berikut:

(1) 

Mencuci kulit buah dan biji manggis hingga bersih, memotong menjadi

 potongan yang lebih kecil, kemudian mengering anginkan sampai kering.

Untuk mempermudah saat penggerusan. Kemudian menggerus dengan alat

 penumbuk dan blender   hingga halus dan ditimbang sebanyak 400 gram.

Merendam serbuk kulit buah manggis atau dimaserasi dengan pelarut

ethanol   sebanyak 800 mL dalam tabung kaca sampai hasil tumbukan

terendam seluruhnya, diaduk-aduk. Filtrat yang didapatkan ditampung

kemudian menambahkan lagi pelarut ethanol  hingga didapatkan filtrat yang

tidak berwarna.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 56/97

(2) 

Menyaring hasil rendaman dengan kertas saring, hingga diperoleh filtrat-

filtrat lalu dimasukkan ke dalam rotary vacuum evaporator   sampai solven

ethanol habis menguap. Bahan kental serta pekat yang tertinggal disebut

ekstrak. Kemudian masing-masing ditimbang.

2.  Peremajaan isolat murni bakteri

Kultur murni bakteri ditanam secara aseptik pada tabung reaksi yang berisi

media NA ( Nutrient Agar ) padat miring dengan menggunakan jarum ose

digoreskan ( streak ), kemudian diinkubasi pada inkubator selama 24 jam dengan

suhu kamar.3.  Uji Aktivitas Antimikroba

Metode Kertas Cakram (disc dif fusion method )

Metode kertas cakram dilakukan dengan menyiapkan media Mueller Hinton Broth

(MHB) steril sebagai media pertumbuhan khusus untuk uji antimikroba. Suspensi

mikroba uji dibuat dengan mengatur kekeruhan mikroba sampai didapat nilai

rapat optis (Optical Density) setara dengan standar McFarland 0,5 (108 CFU/ml)

Sebanyak 1 mL suspensi mikroba uji dimasukkan ke dalam cawan petri steril,

kemudian ditambahkan 15 mL media  Mueller Hinton Agar (MHA) ke dalam

cawan tersebut lalu dihomogenkan dengan cara menggerakkan cawan seperti

angka delapan, setelah itu didiamkan sampai memadat. Selanjutnya sebanyak 3

lembar kertas cakram steril dengan diameter 6 mm dan ketebalan yang sama

diletakkan di permukaan agar dengan jarak yang diupayakan sama satu sama lain

membentuk segitiga. Sebelum diletakkan di permukaan agar, pada kertas tersebut

diinjeksikan masing-masing sebanyak 15µl ekstrak kulit buah dan biji manggis

dari masing-masing konsentrasi. Masing-masing mempunyai 3 ulangan.

Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Adanya aktivitas

antimikroba ditunjukkan terbentuknya daerah penghambatan (halo) disekitar

cakram uji (Bailey dan Scott, 2004). Diameter daerah hambatan diukur dengan

menggunakan jangka sorong (LC-0,05mm).

Metode Pengenceran dalam Tabung (tube dilution method

Metode pengenceran dalam tabung dibuat dengan membuat suspensi

mikroba uji pada media  Mueller-Hinton Broth (MHB) dengan mengatur

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 57/97

kekeruhan mikroba sampai didapat nilai rapat optis (Optical Density) setara

dengan standar McFarland 0,5 (108  CFU/ml). Masing-masing sebanyak 1 mL

ekstrak kulit dan biji buah manggis dengan beberapa konsentrasi (12,5 ppm, 25

 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 200 ppm) dimasukkan dalam tabung reaksi yang

sebelumnya telah diisi dengan 1 mL suspensi mikroba uji. Kultur dihomogenkan

dan diinkubasi selama 24 jam. Apabila terdapat aktivitas antimikroba, maka tidak

ada kekeruhan (larutan jernih) dalam kultur tersebut. Dari seluruh kultur diambil

sebanyak 1 mL untuk ditumbuhkan pada media MHA dan diinkubasi selama 24

 jam. Ketika terjadi pertumbuhan pada media MHA, maka pada konsentrasi

tersebut merupakan nilai MIC ekstrak kulit buah dan biji manggis dan apabila

tidak terjadi pertumbuhan pada media MHA tersebut, maka pada konsentrasi

tersebut didapatkan nilai MBC ekstrak kulit buah manggis dan nilai MBC ekstrak

 biji manggis (Bailey dan Scott, 2004). 

4.  Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah diameter daerah

 penghambatan ekstrak buah dan biji manggis terhadap pertumbuhan

Staphylococcus epidermidis, nilai MIC, nilai MBC dan jumlah sel bakteri

(CFU/mL). Data TPC, data nilai MIC dan MBC ekstak kulit buah dan biji

manggis terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis  dianalisis secara

deskriptif. Data diameter daerah penghambatan ekstrak kulit buah dan biji

manggis terhadap pertumbuhan Staphylococcus epidermidis dianalisis secara

statistik. Uji ANAVA dilakukan atas dasar asumsi bahwa data berdistribusi

normal dan variansi data homogen. Jika p < 0,05 (tidak ada beda nyata) pada

 Homogencity of Variance variansi data tidak homogen, maka analisis dilanjutkan

dengan uji non-parametrik  K-Independent sampel  yaitu  Kruskal-Wallis. Jika p <

0,05 (ada beda nyata ) pada uji  Kruskal-Walls maka analisis dilanjutkan dengan

uji Mann-Whitney.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ekstraksi

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 58/97

Hasil ekstraksi kulit dan biji buah manggis (Garcinia mangostana) didapatkan

suspensi gel berwarna coklat untuk kulit buah dan berwana kuning kecoklatan

untuk biji manggis (Garcinia mangostana). Sebanyak 0,4 g ekstrak kulit dan biji

masing-masing dilarutkan dalam 5 mL etanol dan 95 mL aquades steril untuk

dibuat variasi konsentrasi tiap ekstrak, selanjutnya dilakukan uji aktivitas

antimikroba pada Staphylococcus epidermidis.

Pengaruh konsentrasi ekstrak pada proses antibakteri 

1.  Metode difusi kertas cakram (disc dif fusion method ) 

Data diameter penghambatan Pertumbuhan Staphylococcus epidermidis  pada

variasi konsentrasi ekstrak kulit dan biji buah manggis (Garcinia mangostana)

 berdistribusi normal dan tidak homogen dari hasil analisis uji  Kolmogorov-

Smirnov  dan  Homogeneity of variances  sehingga dilanjutkan dengan uji non

 parametrik alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis. Hasil uji Kruskal-Wallis

menunjukkan bahwa, didapatkan nilai signifikansi < 0,05 (lampiran 3),

konsentrasi ekstrak kulit buah manggis dan biji memiliki pengaruh terhadapdiameter daerah penghambatan pertumbuhan (=0,013, pada kulit buah manggis

dan = 0,051, pada biji) sehingga Ho ditolak dan H1  diterima serta dilanjutkan

dengan uji Mann-Whitney untuk mengetahui beda pengaruh antara perlakuan.

Gambar 1. Grafik diameter daerah penghambatan pertumbuhan Staphylococcus

epidermidis pada setiap konsentrasi ekstrak.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 59/97

Data daerah penghambatan secara keseluruhan dari ekstrak kulit buah

manggis, data yang terbesar adalah (0,8192 ± 0,05) mm pada konsentrasi 1.000

 ppm, sedangkan rata-rata daerah penghambatan terkecil adalah (0,453±0,05) mm

 pada konsentrasi 12,5 ppm. Sementara untuk data daerah penghambatan biji buah

manggis secara keseluruhan, data terbesar adalah (0,7208±0,05) mm dan data

terkecil adalah (0,4367±0,05) mm pada konsentrasi 12,5 ppm. Senyawa

antibakteri ekstrak kulit dan biji manggis mulai menunjukkan penghambatan

 pertumbuhan Staphylococcus epidermidis  pada konsentrasi 12,5 ppm yang

ditunjukkan adanya daerah penghambatan (hallo) dengan diameter sebesar

(0,453±0,05) mm pada kulit buah manggis dan (0,4367±0,05) mm pada biji buah

manggis.

2.  Metode pengenceran dalam tabung (tube dilution method )

Tahapan penentuan konsentrasi ekstrak yang diencerkan dalam tabung

didasarkan atas hasil uji difusi cakram kertas yang sebelumnya telah dilakukan,

dimana pada konsentrasi ekstrak 12,5 ppm sudah terbentuk zona (hallo).

Berdasarkan hasil uji dilusi diketahui bahwa pada konsentrasi 12,5 ppm, 25 ppm,50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 500 ppm, dan 1.000 ppm ekstrak kulit buah manggis

dan biji manggis menunjukkan penghambatan pertumbuhan bakteri

Staphylococcus epidermidis dengan ditunjukkannya perubahan kekeruhan larutan

suspensi setelah diinkubasi selama 24 jam, namun mengingat suspensi manggis

merupakan larutan yang berwarna membuat hasil dari uji menjadi bias, karena

kekeruhan akibat adanya ekstrak dan kekeruhan bakteri hampir tidak bisa

dibedakan. Sehingga visualisasi kultur tidak dapat digunakan untuk menentukan

nilai MIC dan MBC.

Perlakuan dilanjutkan dengan metode TPC yang merupakan salah satu teknik

 penghitungan koloni mikroba yang paling sederhana. Jumlah koloni bakteri atau

TPC CFU/mL (10log) dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui pertumbuhan

 bakteri Staphylococcus epidermidis 

yang telah diberikan perlakuan ekstrak kulit

 buah manggis ataupun biji buah manggis manggis pada beberapa konsentrasi pada

media MHA ( Muller Hinton Agar ). 

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 60/97

KESIMPULAN

Konsentrasi ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana)

mempengaruhi diameter daerah penghambatan pertumbuhan Staphylococcus

epidermidis. Rerata diameter daerah penghambatan pertumbuhan terbesar pada

konsentrasi 1.000 ppm sebesar 0,8192±0,05 mm.. Konsentrasi ekstrak biji buah

manggis (Garcinia mangostana) mempengaruhi diameter daerah penghambatan

 pertumbuhan Staphylococcus epidermidis.  Rerata diameter daerah

 penghambatan pertumbuhan terbesar pada konsentrasi 1.000 ppm sebesar

0,733±0,05 mm.. Konsentrasi minimum ekstrak kulit buah (Garcinia

mangostana)  nilai  MIC ( Minimal Inhibitory Concentration) pada konsentrasi

1.000 ppm dan nilai MBC ( Minimal Bactericidal Concentration)

Staphylococcus epidermidis  pada konsentrasi 1.125 ppm, sementara pada biji

 buah manggis (Garcinia mangostana) nilai MIC ( Minimal Inhibitory

Concentration) pada konsentrasi 2.000 ppm, namun belum ditemukan nilai

MBC ( Minimal Bactericidal Concentration) Staphylococcus epidermidis.

DAFTAR PUSTAKA

Ajayi, I. A., Adebowale, K. O., Dawodu, F. O., and Oderinde, R. A. 2011.

Chemical analysis and preliminary toxicological evaluation of Garcinia

mangostana seeds and seed oil. 999-1004. Diakses 28 November 2011.

Akiyama, H., Fujii, K., Yamasaki, O., Oono, T., Iwatsuki, T., 2001. Antibacterial

Action of Several Tannins Agains Staphylococcus aureus, Journal of Anti- microbial Chemotherapy . Vol. 48 : 487-91.

Bailey, W. R., and Scott, E. G. 2004. Diagnostic Mikr obiologi . Elevent Edition.The CV Mosby Company. Saint Louis. 168-187.

Burkill, H.M. 1994. The useful plants of West Tropical Africa. Edition 2. Vol.

2. Families E-I. Royal Botanic Gardens Kew. ISBN No. 0-947643-56-7.

Bernasconi, G., Gerster, H., Hauser, H., Stauble, H., and Schneiter, E. 1995.

Teknologi Kimia Bagian 2 (edisi terjemahan ). PT Pranadya Paramita.

Jakarta. 

Cappuccino, J.G. and N. Sherman, 2005. Microbiology-A laboratory manual.

7th Edn., Pearson Int., Ontario, Canada.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 61/97

Chen, S. X., Wan, M., and Loh, B. N. 1996. Active constituents against HIV-1

protease from Garcinia mangostana, Planta Med . 62(4):381-2.

Fardiaz, S. 1998. Mikrobiologi Pangan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdikbud.

PAU Bogor.

Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Bandung :Penerbit ITB.

Harmanto, N. 2006. Ibu Sehat dan Cantik dengan Herba. PT. Elex Media

Komputindo, Jakarta.

Jinsart, W., Ternai, B., Buddhasukh, D., and Polya GM. 1992.  Inhibition of

wheat embryo calcium-dependent protein kinase and other kinases bymangostin and gammamangostin. Phytochemistry. 31(11):3711-3713.

Kanisius. 2003. Bibit Manggis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Kastaman, R. 2007. Prospective Analysis on Development of Mangosteen

(Garcinia mangostana ) Processing Product in order to Improve Farmers

Income (Case Study in Kecamatan Puspahiang Kabupaten Tasikmalaya).

Jurnal Agrikultural. Vol 18. No. 15.

Kristanti, A. N., Aminah, N. S., Tanjung, M., dan Kurniadi, B. 2008.Buku Ajar

Fitokimia. Airlangga University Press, Surabaya.

Mayachiew, P., Pasuk, S. and Ritthiruangdej, P. 2008. Relationship Between

antioxidant activity of Indian gooseberry and galangan extracts. LWT  –  

Food Science and technology 41 : 1153  –  1159. 

 Nadkarni, K. M., and Nadkarni, A. K. 1999.  Indian Materia Medica - with

Ayurvedic, Unani-Tibbi, Siddha, Allopathic, Homeopathic, Naturopathicand Home remedies. Popular Prakashan Private Ltd., Bombay, India. ISBN

 No. 81-7154-142-9. Vol.1.

 Naturakos. 2009. Bahan-bahan kosmetik sebagai antiacne . Juli, Vol. IV/ no. 10,

Hal 1-3.

Paramawati, R.. 2010. Dasyatnya manggis untuk menumpas penyakit.

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Pelczar, Jr., M.J., dan Chan, E.C.S. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi, Jilid 1 &

2. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Purnomo, M. 2001. Isolasi Flavonoid dari Daun Beluntas (Pluchea indica

Less) yang mempunyai Aktivitas Antimikroba Terhadap Penyebab Bau 

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 62/97

 

KAJIAN HISTOLOGI GONAD TERIPANG Phyll ophorus sp. PADABULAN FEBRUARI, MARET DAN APRIL 2012

Dwi Winarni(1), Moch. Affandi(1), Endang Dewi Masithah(2), Machmudhatun Nisa(1)

(1) Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Airlangga,(2)

Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas

Airlangga,

Email :[email protected] 

ABSTRACT

The aim of this study was to know the histological structure of ball sea cucumbers

( Phyll ophorus sp .) gonad in February, March and April 2012. Those ball sea

cucumbers were taken from East Surabaya Coastal, 25 animals per month. Five

tubules from each gonad were fixed in neutral buffered formalin, processed by

 paraffin method, and stained with hematoxylin-eosin. Histological analysis was

done in six serial cross section (4  m thick, at 40  m from one to another section) for each tubule.

The result showed that Phyll ophorus sp.  has separate sexes and asynchronousreproductive pattern. There were various stages of oocytes in the female gonads

which were classified to previtellogenic oocytes (it has diameter < 150 µm),

vitellogenic oocytes (it has diameter150-350 µm) and post-vitellogenic oocytes (it

has diameter> 350 µm). While in the male gonads showed spermatogenic cells,

there were spermatocytes, spermatid and spermatozoa. Typically, various stages

of gametogenic cells could occupy in the same section of tubule, both in male and

 female gonad. The thickness of gonadal wall was tend to be affected by lumen

diameter and it will shrink when the lumen was dominated by post-vittelogenic

oocytes in female gonads and spermatozoa in male gonads.

Key words: Phyllophorus sp. , ball sea cucumber, gonad, oocytes, spermatozoa

PENGANTAR 

Teripang atau mentimun laut yang termasuk dalam kelas Holothuroidea

merupakan hasil laut yang mempunyai nilai penting dan memiliki potensi yang

cukup besar karena Indonesia memiliki perairan pantai dengan habitat teripang

yang cukup luas (Dewi et al., 2010). Teripang juga merupakan salah satu produk

 perikanan yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat pesisir di

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 63/97

Indonesia, dan juga sangat dikenal di negara-negara Benua Eropa, Jepang, dan

Amerika Serikat. Akan tetapi, berdasarkan hasil pengamatan di beberapa lokasi

 penangkapan teripang, mulai dirasakan bahwa peningkatan produksi dengan cara

 penangkapan dari alam tidak dapat lagi dipertahankan, karena dikhawatirkan akan

merusak sumberdaya hayati (Rustam, 2006).

Menurut Anonimus (2009), pengelolaan sumberdaya teripang

memerlukan jumlah yang cukup dari pemijah (hewan dewasa yang reproduksinya

sudah matang) dan lingkungan yang sesuai agar setiap tahap dalam daur hidupnya

dapat dilalui dengan baik. Hal tersebut dapat dicapai dengan pengaturan untuk

mengendalikan mortalitas yang terjadi akibat penangkapan dan melalui budidaya.

Untuk kepentingan tersebut, diperlukan informasi mengenai siklus dan pola

reproduksi, serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keduanya.

Pola reproduksi merupakan gambaran tahapan reproduksi pada waktu

tertentu sedangkan siklus reproduksi merupakan pola reproduksi yang terjadi

secara teratur dan berulang seiring dengan putaran waktu. Pola reproduksi dan

siklus reproduksi ditentukan berdasar kajian tahap-tahap kematangan gonad

selama kurun waktu tertentu. Setiap spesies teripang memiliki kekhasan tersendiri

dalam setiap tahap kematangan gonad, baik dalam struktur histologi jantan

maupun betina. Misalnya pada  Psolus fabricii yang memiliki ciri khas berupa

oosit mature  dengan variasi diameter mulai dari 600 — 800 µm pada tahap

maturationdan tebal dinding gonad yang dipengaruhi oleh diameter lumen, yakni

semakin lebar diameter lumen maka dinding gonad akan semakin tipis (Hamel et

al., 1993). Ciri khas  Psolus fabricii  ini berbeda dengan  Holothuria scabra yang

memiliki dinding gonad yang relatif tipis dengan diameter oosit mature sekitar

110 — 140 µm (Rasolofonirina et al., 2005).

Teripang  Phyllophorus sp. atau yang lebih dikenal dengan sebutan

terung merupakan spesies yang dapat ditemukan di Pantai Timur Surabaya dan

memiliki tingkat distribusi tinggi (1,9062) dengan kelimpahan relatif 44,44%.

Selama ini terung hanya dimanfaatkan untuk dibuat makanan ringan berupa

keripik terung, meskipun ada informasi dari beberapa pengepul yang mengatakan

 bahwa terung kering merupakan salah satu jenis teripang yang diekspor ke

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 64/97

Taiwan dan Hongkong. Dari pengamatan di lapangan, diketahui bahwa

 pengambilan terung oleh nelayan dilakukan seiring dengan penangkapan ikan dan

 bahwa pengambilan tidak lagi dilakukan di pinggir pantai, melainkan lebih ke

tengah, kearah laut lepas.

Belum ada informasi mengenai manfaat lain terung, sampai

dilakukannya penelitian oleh Winarni et al. (2010), meskipun sudah banyak

dilakukan penelitian-penelitian teripang spesies lain dengan bioaktivitas sebagai

anti jamur, anti mikroba, sitotoksik dan imunomodulasi (Dang et al.,  2007). Di

samping itu sudah banyak pula beredar produk suplemen kesehatan impor

 berbahan dasar teripang dari spesies lain. Penelitian Winarni et al.(2010) dengan

menggunakan hewan coba mencit, menunjukkan bahwa terung berpotensi sebagai

imunomodulator yang meningkatkan respons imun tubuh terhadap

 Mycobacterium tuberculosis.

Dengan diketahui besarnya potensi terung dan keberadaan di habitat

alaminya, diperlukan informasi tentang pola dan siklus reproduksi untuk

kepentingan pengendalian populasi di alam dan upaya budidaya di waktu yang

akan datang. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang

struktur histologi gonad yang dilakukan pada bulan Pebruari, Maret dan April

2012. Dari hasil penelitian ini, paling tidak, dapat diketahui pola reproduksi

terung.

BAHAN DAN CARA KERJA

Bahan

Sampel teripang spesies  Phyllophorus sp.(Gambar 1) diperoleh dari

habitat teripang di Pantai Timur Surabaya yang berada pada daerah dengan

kisaran geografis di antara 07º12’48,71” hingga 07º15’54,53” lintang Selatan, dan

di antara 112º48’16,21’ hingga 112º52’34,97’ bujur Timur . Pengambilan sampel

teripang ini dilakukan pada lokasi yang sama pada awal bulan Februari, Maret,

dan April 2012. Identifikasi spesies dilakukan di Laboratorium Ekologi

Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi.Pembuatan sediaan histologi

dilakukan di Laboratorium Histologi Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Sains

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 65/97

dan Teknologi, Universitas Airlangga. Semua bahan kimia yang digunakan (xylol,

etanol, formaldehid, disodium hidrogen fosfat dan sodium dihidrogen fosfat)

merupakan bahan pro analisa.

Gambar 1. Phyllophorus sp. (terung) di Pantai Timur Surabaya (Winarni et al., 2010)

Cara kerja

Pengambilan sampel teripang dilakukan dengan menggunakan tenaga

 bantuan nelayan. Setiap bulan diambil 25 individu, sehingga mendapatkan 75

sampel dalam waktu tiga bulan. Sampel segar yang didapatkan dari nelayan

dibersihkan dari kotoran. Kemudian gonad dikeluarkan dari coeloem, bentuk dan

warna gonad dicatat. Berikutnya, sebanyak 5 tubulus dipotong dari gonad tersebut

dan kemudian difiksasi dalam fiksatif neutral buffered formalin selama sekurang-

kurangnya 24 jam.

Potongan tubulus kemudian diproses menjadi sediaan histologi dengan

metode parafin, dan diwarnai dengan pewarna hematoksilin eosin. Setiap satu

tubulus dibuat 6 potongan seri melintang tubulus dari arah distal, denganketebalan masing-masing irisan 4 m dan jarak antar irisan 40 m. Pengamatan

histologi dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Data yang

diamati adalah ukuran dan frekuensi jenis-jenis oosit ( previtellogenic,

vitellogenic, dan  post-vitellogenic), diameter lumen tubulus dan tebal dinding

tubulus. Penentuan jenis oosit berdasarkan Purwati (2009). Hubungan antara

diameter lumen dan tebal dinding gonad  Phyllophorus sp., dianalisis

menggunakan uji korelasi Pearson pada α = 0,05.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 66/97

HASIL

Hasil pengamatan morfologi gonad dan histologi gonad menunjukkan

 bahwa gonad betina (Gambar 2B) umumnya berwarna hijau lumut dengan bentuk

tubulus yang lebih menggembung dibandingkan dengan gonad jantan (Gambar

2A) yang umumnya berwarna cokelat muda.

Gambar 2.  Morfologi gonad Phyllophorus sp. (A) Jantan ; (B) Betina

Pada lumen tubulus gonad betina teripang  Phyllophorus sp. ditemukan berbagai

 jenis oosit. Berdasarkan Purwati (2009), oosit tersebut dikategorikan menjadi 3, yakni oosit

 pre-vitellogenic (diameter < 150 µm), oosit vitellogenic (diameter 150 — 350 µm), dan oosit

 post-vitellogenic  (diameter > 350 µm) (Gambar 3D,3E. dan 3F). Oosit  pre-vitellogenic 

terletak melekat di dinding, sangat eosinofilik, tidak ditemukan sel-sel folikuler dan zona

radiata di sekelilingnya, belum memiliki  germinal vesicle, nukleus bulat dan berada di

tengah. Sedangkan oosit vitellogenic dengan ukuran yang lebih besar, ada yang terletak di

dekat dinding, tetapi ada juga yang terletak hampir ke tengah lumen, eosinofilik, tidak

ditemukan sel-sel folikuler dan zona radiata di sekelilingnya, belum memiliki  germinal

vesicle, nukleus bulat dan berada di tengah.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 67/97

 

Gambar 3.Histologi tubulus gonad jantan (A, B, C) dan betina (D, E, F)

 Phyllophorus sp.  dg: dinding gonad ; L: lumen ; rs: relict spermatozoa  ; sc: spermatosit ; st: spermatid ; sz: spermatozoa ; lf:

longitudinal fold   ; ro: oosit relict   ; prvo: oosit  pre-vitellogenic  ; vo:

oosit vitellogenic ; ptvo: oosit post-vitellogenic ; zr: zona radiata ; gv:

 germinal vesicle ; n: nukleus ; f: fagosit (Skala : 200 µm).

Sedangkan oosit post-vitellogenic dengan diameter > 350 µm, memiliki

ciri eosinofilik lemah, terletak di tengah lumen, dikelilingi oleh sel folikular dan

zona radiata, terdapat  germinal vesicle, nukleus seringkali terletak di tepi

 germinal vesicle  dan bentuknya memanjang. Berbagai jenis oosit dengan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 68/97

frekuensi masing-masing jenis tercantum pada Tabel 1 dan Gambar 4. Sedangkan

 pada tubulus gonad jantan (Gambar 3A, 3B, dan 3C), tampak adanya sel-sel

spermatogenik yang dapat dibedakan menjadi spermatosit, spermatid,

spermatozoa dan relict spermatozoa.

Tabel 1. Frekuensi berbagai jenis oosit di dalam lumen tubulus gonad

 Phyllophorus sp.  yang hidup di pantai timur Surabaya pada bulan

Februari, Maret, dan April 2012

Jenis OositFrekuensi Oosit (%)

Februari Maret AprilOosit pre-vitellogenic  56,28 ± 5,79 29,45 ± 13,03 48,13 ± 14,1

Oosit vitellogenic  40,91 ± 4,42 63,24 ± 11,54 45,64 ± 9,24

Oosit post-vitellogenic  2,81 ± 3,84 7,31 ± 4,78 6,23 ± 6,25

Gambar 3.Grafik yang menunjukkan frekuensi oosit  previtellogenic, vitellogenic

dan post-vitellogenic  dalam tubulus gonad  Phyllophorus sp.  yanghidup di Pantai Timur Surabaya pada bulan Februari, Maret, dan April

2012. 

Dinding tubulus gonad  Phyllophorus sp.  relatif tebal dibandingkan

dengan diameter lumen. Hasil uji korelasi Pearson (α=0,05)berdasarkan data

diameter tubulus dengan tebal dinding tubulus gonad betina menunjukkan

korelasi/hubungan signifikan pada α<0,05 dengan koefisen korelasi sebesar -

0,403. Koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan terbalik yaitu semakin

0

20

40

60

80

100

120

Februari Maret April

   F   r   e    k   u   e   n   s   i    (

   %    )

BULAN (2012)

post-VO

VO

pre-VO

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 69/97

 besar diameter lumen maka semakin tipis dinding tubulus, demikian sebaliknya,

semakin sempit lumen, semakin tebal dinding tubulus.

PEMBAHASAN

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa  Phyllophorus sp. merupakan

teripang dengan jenis kelamin terpisah (dioecious). Individu jantan dan betina

tidak dapat dibedakan berdasarkan morfologi luar, namun dapat dibedakan

melalui pengamatan bentuk dan warna gonad.

Variasi struktur histologi yang identik dengan variasi tahap kematangan

gonad antar individu, menunjukkan bahwa populasi  Phyllophorus sp.  memiliki

 pola reproduksi asinkron. Populasi yang memiliki pola reproduksi asinkron dapat

memijah sepanjang tahun, dengan puncak pemijahan pada waktu-waktu tertentu

dan dapat bervariasi tergantung pada variasi perubahan lingkungan (Conand,

1993).

Pada pengamatan gonad jantan dan betina  Phyllophorus sp.,dinding

tubulus gonad yang relatif tebal dibanding diameter lumen tubulus berbeda

dengan teripang tropis pada umumnya. Pada individu betina ketebalan dinding

gonad bergantung secara signifikan pada jumlah dan jenis oosit yang terdapat

 pada lumen dengan kata lain bergantung pada tahap kematangan gonad. Kondisi

ini mirip dengan gonad teripang subtropis Psolus fabricii (Hamel et al ., 1993).

 Relict  spermatozoa atau spermatozoa sisa, yaitu spermatozoa yang tidak

tersalurkan ke gonoduct, ditemukan pada tubulus gonad jantan (Gambar 3A).

Berdasarkan pengamatan Hamel et al . (1993) pada teripang Psolus fabricii, relict  

spermatozoa merupakan ciri bahwa gonad mengalami fase  post-spawning   dan

umumnya terdapat sel-sel fagosit yang siap mengabsorbsi spermatozoa yang

tersisa tersebut tanpa adanya sel-sel spermatogenik dalam tahap perkembangan

lebih awal seperti spermatosit. Namun pada gonad  Phyllophorus sp., keberadaan

relict  spermatozoa pada lumen justru disertai dengan kehadiran spermatosit yang

masih melekat pada dinding gonad. Demikian juga pada tubulus lainnya dimana

terdapat spermatozoa yang hampir memenuhi lumen dan secara bersamaan

terdapat spermatid yang masih melekat di dinding gonad. Berdasarkan Hamel et

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 70/97

al . (1993), keberadaan spermatid dan spermatozoa merupakan ciri bahwa gonad

 Psolus fabricii  sedang mengalami fase maturation. Umumnya dinding tubulus

gonad sudah mengalami penipisan akibat lumen berdilatasi karena jumlah

spermatozoa terus melimpah. Namun pada gonad  Phyllophorus sp. dinding gonad

masih cukup tebal meskipun terdapat spermatid dan spermatozoa didalamnya.

Dinding tubulus gonad  Phyllophorus sp. baru akan benar-benar menipis dan

lumen mengalami dilatasi saat lumen hanya dipenuhi oleh spermatozoa. Namun,

tidak pernah benar-benar dijumpai spermatozoa memenuhi seluruh isi tubulus

dalam satu gonad jantan karena pasti sudah dijumpai keberadaan spermatid.

Seperti halnya relict  spermatozoa pada gonad jantan  Phyllophorus sp.,

 pada gonad betina juga terdapat oosit relict , yakni merupakan oosit  post-

vitellogenic yang tidak dilepaskan ke gonoduct. Berdasarkan Hamel et al . (1993),

relict   oosit merupakan ciri bahwa gonad  Psolus fabricii  mengalami fase  post-

 spawning   dan umumnya terdapat sel-sel fagosit yang siap mengabsorbsi oosit

yang tersisa tersebut. Namun pada gonad  Phyllophorus sp., keberadaan relict  

oosit selain disertai dengan keberadaan fagosit, juga disertai dengan keberadaan

oosit  pre-vitellogenic. Berdasarkan Hamel et al . (1993), mengacu pada gonad

 Psolus fabricii,oosit  pre-vitellogenic  merupakan ciri bahwa gonad sedang

mengalami fase recovery, oosit vitellogenic merupakan ciri bahwa gonad sedang

dalam fase advanced growth, dan oosit post-vitellogenic  merupakan ciri gonad

sudah dalam fase maturation.Akan tetapi, pada gonad betina  Phyllophorus sp.

tidak pernah benar-benar ditemukan hanya satu jenis oosit yang memenuhi lumen

karena ketiga jenis oosit tersebut sering terlihat bersamaan dalam satu tubulus.

 Nampaknya, tahap-tahap kematangan gonad yang umum ditemukan

 pada teripang spesies lain, pada  Phyllophorus sp. ini saling tumpang-tindih. Hal

ini memungkinkan  Phyllophorus sp. yang memiliki pola reproduksi asinkron

dapat memijah sepanjang tahun dengan waktu antar terjadinya puncak pemijahan

lebih singkat dari spesies lain. Jika benar demikian, dimungkinkan pula bahwa

keberadaan teripang di pantai timur Surabaya dengan kelimpahan relatif tertinggi

dibanding spesies teripang lain (Winarni et al ., 2010), disebabkan oleh faktor

tersebut, meskipun untuk sampai pada kesimpulan tersebut, memerlukan data

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 71/97

yang diperoleh dari bulan-bulan berbeda dengan lama waktu paling tidak selama 1

tahun. Kajian histologi pada irisan memanjang tubulus juga diperlukan untuk

mengetahui distribusi berbagai jenis sel-sel gametogenik dalam tubulus.

KEPUSTAKAAN

Anonimus, 2009. Laporan Ilmiah Institut Pertanian Bogor .

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5912/DaftarPustak 

a_2009yal-7.pdf?sequence=12.  Diunduh pada 22 November 2011.

Conand, C., 1993. Reproductive Biology Of The Holothurians From The Major

Communities Of The New Caledonian Lagoon.  Journal of Marine

 Biology. Springer Verlag. 116: 439-450.

Dang, N.H., N.V. Thanh, P.V. Kiem, L.M. Huong, C.V. Minh and Y.H.Kim.2007. Two New Triterpene Glycosides friom Vietnamese Sea

Cucumber Holothuria scabra.  Archives of Pharmacal Research. Vol.30.

no.11. p. 1387-1391.

Dewi, K. H., Silsia, D., Susanti, L., Markom, M., dan Mendra, H. 2010.Ekstraksi

Teripang Pasir ( Holothuria scabra) sebagai Sumber Testosteron pada

Berbagai Kecepatan dan Lama Pengadukan.  Prosiding Seminar Nasional

Teknik Kimia “Kejuangan”  Pengembangan Teknologi Kimia untuk

 Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. ISSN 1693 –  4393. 

Hamel, J. F., Himmelman, J. H., dan Dufresne, L. 1993. Gametogenesis and

Spawning of the Sea Cucumber  Psolus fabricii  (Duben and Koren). Biol

 Bull. 184:125-143.

Purwati, P. 2009. Oocytes of  Holothuria leucospilota  (Echinodermata :

Holothuroidea) : An Ultra Structural Study.  Journal of Oceanology. Mar.

Res. Indonesia 34 : 17-26.

Rasolofonirina, R., Devarajen V., Igor E., dan Michel J. 2005. Reproductive

Cycle of Edible Echinoderms from the South-Western Indian Ocean.

 Journal Western Indian Ocean. Mar. Sci. 4 (1):61-75.

Rustam.2006. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kabupaten Selayar),

Budidaya Teripang. Pelatihan Budidaya Laut Coremap Tahap II

Kabupaten Selayar, Yayasan Mattirotasi.

Winarni, D., Affandi, M., Masithoh, E. D. dan Kristanti, A. N. 2010. PotensiTeripang Pantai Timur Surabaya Sebagai Modulator Imunitas Alami

Terhadap Mycobacterium tuberculosis. Laporan Akhir Penelitian Strategis

 Nasional Batch II . Universitas Airlangga : Surabaya.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 72/97

PENGARUH PEMBERIAN KONSORSIUM MIKROBA BIOFERTILIZER  

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAMUR TIRAM PUTIH

(Pleorotus ostreatus )

Rizka Rakhmawati, Tini Surtiningsih, Tri Nurhariyati

Program Studi S1 Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

[email protected]

ABSTRACT

This research was aimed to know the effect of the use consortium of

biofertilizer microbes with different dosage to growth and production of white

oyster  

mushroom (Pleorotus ostreatus). The growth parameter is the number of

 pileus and the production parameter is the weight of white oyster  

mushroom. This

 study was conducted in completely randomized design with six treatments, D0- 

(without biofertilizer as a control (-)), D0+ (with NPK as a control (+)), D2 (with 2

ml biofertilizer in each baglog), D4 (with 4 ml biofertilizer in each baglog), D6

(with 6 ml biofertilizer in each baglog), dan D8 (with 8 ml biofertilizer in each

baglog), each treatment have seven replications. Data from harvest time was

analized using ANOVA and continued by Duncan test using α = 0,05. The result

of this study showed that the gift of consortium of biofertilizer microbes affect the production but it didn’t   affect the growth. The best result to the weight is D6  

(128,43 ± 37,66 gram).

Key words : white oyster mushroom, biofertilizer, dosage, growth, production

PENGANTAR

Indonesia merupakan negara agraris dan sektor pertanian menjadi salah

satu sektor penting dalam mendukung perekonomian, sehingga bidang pertanian

harus terus dipacu untuk dapat meningkatkan hasil. Salah satu jenis pertanian

yang menarik untuk dikembangkan di kalangan masyarakat saat ini adalah budi

daya jamur. Kandungan gizi yang cukup baik dari jamur dan kebutuhan konsumen

yang cenderung meningkat menyebabkan usaha budi daya jamur memiliki

 prospek yang bagus untuk dikembangkan. Salah satu jenis jamur yang banyak

dikembangkan di Indonesia adalah jamur tiram putih.

Jamur tiram putih mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia, protein

nabati yang dikandungnya tidak mengandung kolesterol sehingga dapat mencegah

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 73/97

timbulnya penyakit darah tinggi dan jantung serta untuk mengurangi berat badan

dan diabetes. Kandungan asam folat (vitamin B komplek) yang tinggi dapat

menyembuhkan anemia dan obat antitumor. Jamur tiram putih dapat digunakan

untuk mencegah dari kekurangan gizi dan pengobatan kekurangan zat besi

(Pasaribu, 2002).

Seiring dengan semakin populer dan bertambahnya pengetahuan

masyarakat mengenai jamur tiram putih sebagai bahan makanan yang lezat dan

 bergizi, maka permintaan konsumen dan permintaan pasar terhadap jamur tiram

 putih terus meningkat. Namun kenaikan permintaan konsumen tersebut tidak

diikuti dengan peningkatan produksi jamur tiram putih. Menurut Wardani (2010),

 budi daya jamur konsumsi masih jarang ditemui di sebagian besar wilayah

Indonesia sehingga kebutuhan konsumen tidak terpenuhi. Pada beberapa tempat

 budi daya jamur tiram putih yang ada di wilayah Indonesia, petani jamur tiram

 putih masih menggunakan pupuk kimia untuk memacu pertumbuhan dan

meningkatkan produksi.

Alasan masyarakat memilih jamur tiram putih untuk dikonsumsi ialah

karena ingin hidup sehat tanpa bahan kimia. Jadi jika diketahui bahwa dalam

 pengelolahan jamur tiram putih masih digunakan bahan kimia, maka itu dapat

menjadi faktor pengurang minat bagi masyarakat untuk mengonsumsi jamur tiram

 putih. Sosialisasi untuk mengganti penggunaan pupuk kimia dengan beralih pada

 pupuk organik dan biofertilizer pun mulai digencarkan.

Sel-sel jamur tiram memerlukan karbon berantai enam (C6) untuk

 pertumbuhan. Kebutuhan karbon dapat terpenuhi dengan mengurai media tumbuh

 jamur (baglog). Media tumbuh jamur tiram putih yang berupa baglog memiliki

 penyusun utama yaitu serbuk gergaji kayu, bekatul, dan tepung jagung. Secara

umum, kayu mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin, pentosan dan

sebagainya. Unsur-unsur tersebut terdapat pada dinding sel kayu. Bagian yang

terbesar adalah selulosa (Anonimus, 2011). Selulosa merupakan komponen utama

 penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan

murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan

hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa. Mikroba memproduksi enzim

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 74/97

ekstraselular untuk depolimerasi senyawa berukuran besar menjadi berukuran

kecil dan larut dalam air (Saraswati dkk.,2011) sehingga kebutuhan nutrisi jamur

tiram putih dapat terpenuhi dengan baik.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bakteri

Cellulomonas sp., Bacillus megaterium,  Azospirillum sp.,  dan yeast

Saccharomyces cereviceae serta media pertumbuhan mikroba berupa NA, PDA,

 NB, SDB, NB + glukosa 1% dan molase 2% serta media selektif yang merupakan

koleksi dari Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga. Media tanam baglog dan bibit jamur tiram putih var.

Oystern yang diperoleh dari Desa Pepe, Sidoarjo.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan acak

lengkap yang terdiri dari enam perlakuan (D0-, D0

+, D2, D4, D6 dan D8) dan setiap

 perlakuan di ulang sebanyak tujuh kali. D0-  merupakan kontrol negatif (tanpa

konsorsium mikroba biofertilizer ), D0+  merupakan kontrol positif (tanpa

konsorsium mikroba biofertilizer , namun dengan NPK 2 gram/baglog), D2 (biofertilizer   2 ml/baglog), D4  (biofertilizer   4 ml/baglog), D6 (biofertilizer   6

ml/baglog), dan D8 (biofertilizer  8 ml/baglog). Variabel terikat pada penelitian ini

yaitu pertumbuhan yang dapat dilihat dari jumlah tudung (buah) serta produksi

yang dilihat dari total berat basah (gram) jamur tiram putih saat panen.

Pembuatan konsorsium mikroba biofert il izer

Membuat media pertumbuhan mikroba, yaitu  Nutrien Agar   (NA) untuk

 bakteri dan  Potato Dextrose Agar   (PDA) untuk yeast, kemudian membiakkan

mikroba dalam media tersebut. Setelah masa inkubasi dalam media padat,

mikroba dibiakkan dalam media NB (untuk bakteri) dan media SDB (untuk

yeast). Kemudian dibuat stok mikroba dengan cara mengambil 10 ml mikroba

dalam media  Broth  yang dimasukkan ke dalam media NB + glukosa 1% dan

dilakukan inkubasi selama dua hari. Melakukan penghitungan jumlah koloni

mikroba pada media NB + glukosa 1% dengan metode TPC untuk mengetahui

 jumlah sel apakah sudah memenuhi baku mutu biofertilizer  (total koloni 106 untuk

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 75/97

 bakteri dan 104  untuk yeast). Stok mikroba yang telah diketahui jumlah sel

dimasukkan dalam larutan molase 2%. Setelah proses inkubasi dalam larutan

molase 2% selama dua hari, dilakukan uji keberadaan mikroba pada media

selektif.

Pembudidayaan jamur tiram putih

Pembudidayaan jamur tiram putih yang dilakukan dalam penelitian ini

antara lain persiapan media baglog, inokulasi bibit serta perawatan pada masa

inkubasi dan masa penumbuhan hingga panen. Bibit diinokulasikan ke dalam

 baglog dengan kondisi yang steril pada suhu 230C - 25

0C

Selain itu perlu dilakukan Proses perawatan dan pemeliharaan jamur

tiram putih, antara lain melepas cincin baglog agar tubuh buah jamur tumbuh

semakin mudah dan cepat karena luasnya area tumbuh dan melakukan pengabutan

atau penyiraman (kelembaban kumbung harus dijaga minimal 80%).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian konsorsium mikroba biofertilizer   terhadap

pertumbuhan jamur tiram putih

Proses pertumbuhan jamur tiram putih diawali dengan pembentukan

miselium oleh spora setelah inokulasi bibit jamur (F2) pada media tanam serbuk

gergaji kayu (baglog). Setelah miselium memenuhi seluruh pemukaan baglog,

akan muncul pin head  yang kemudian menjadi badan buah jamur siap panen. Hal

yang harus diperhatikan pada saat proses pemanenan adalah pengambilan seluruh

 bagian tubuh buah jamur tiram putih beserta bagian stalk  yang menembus baglog

media tanam (Elsera,2009). Pada penelitian ini, proses pertumbuhan miselium

memerlukan waktu ± 30 hari.

Dari hasil uji ANOVA dengan derajad signifikan 0,05 (α = 0,05) untuk

 pertumbuhan jamur tiram putih diketahui nilai signifikan pada perlakuan

konsorsium mikroba biofertilizer  terhadap pertumbuhan  jamur tiram putih ≥ 0,05

yaitu sebesar 0,370. Karena nilai signifikan yang diperoleh lebih besar dari

derajad signifikan yang ditetapkan (α = 0,05), maka keputusan yang diambil

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 76/97

adalah tidak ada pengaruh pada pemberian konsorsium mikroba biofertilizer  

terhadap pertumbuhan jamur tiram putih.

Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata dan standar deviasi, data

 pertumbuhan jamur tiram putih dengan indikator jumlah tudung ditunjukkan oleh

gambar berikut:

Gambar 1. Jumlah tudung ( pileus) jamur tiram putih yang dihasilkan pada saat panen, dengan perlakuan pemberian konsorsium mikroba biofertilizer

Keterangan: D0- (tanpa konsorsium mikroba biofertilizer ), D0

+ (tanpa konsorsium

mikroba biofertilizer , namun dengan NPK 2 gram/baglog), D2 

(biofertilizer   2 ml/baglog), D4  (biofertilizer   4 ml/baglog), D6

(biofertilizer  6 ml/baglog), dan D8 (biofertilizer  8 ml/baglog).

Meskipun secara statistik perlakuan tidak berpengaruh terhadap jumlah

tudung, namun secara deskriptif dapat dilihat bahwa jumlah tudung yang

diperoleh pada saat panen menunjukkan angka yang berbeda di tiap perlakuan.

Jumlah paling banyak adalah pada perlakuan D8  dengan rerata jumlah tudung

13,17 ± 6,34 buah. Hasil pertumbuhan jumlah tudung pada penelitian ini lebih

 besar dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009)

yang hanya memiliki rerata jumlah tudung terbanyak dengan angka 10,33 buah.

12,71

10,33

9,14

8,8

1313,17

0

5

10

15

20

25

Do - Do + D2 D4 D6 D8

   j  u  m   l  a   h   t  u   d  u  n  g   j  a  m  u  r   (   b  u  a   h   )

 jenis perlakuan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 77/97

Pengaruh pemberian konsorsium mikroba biofertilizer   terhadap produksi

 jamur tiram putih

Pada penelitian ini, produksi jamur tiram putih yang diukur adalah berat

 basah tubuh buah yang dihasilkan ketika proses pemanenan. Dari hasil ANOVA

dengan derajad signifikan 0,05 (α = 0,05) untuk produksi jamur tiram putih

diketahui nilai signifikan pada perlakuan konsorsium mikroba biofertilizer

terhadap produksi jamur tiram putih ≤ 0,05 yaitu sebesar 0,013. Karena nilai

signifikan yang diperoleh lebih kecil dari derajad signifikan yang ditetapkan (α =

0,05), maka keputusan yang diambil adalah ada pengaruh pada pemberian

konsorsium mikroba biofertilizer   terhadap produksi jamur tiram sehingga dapat

dilanjutkan dengan uji Duncan dengan derajad signifikan 0,05 (α = 0,05).

Tabel 1. Pengaruh perlakuan konsorsium mikroba biofertilizer  dengan dosis yang

 berbeda terhadap produksi jamur tiram putih pasca panen

 No. Jenis perlakuan

(dosis)

 berat basah

(gram)

1 D0- 71,86 ± 41,20 a

2 D0+  66,67 ± 25,65 a3 D2  60,57 ± 22,86 a

4 D4  103,4 ± 50,18 ab

5 D6  128,43 ± 37,66 b

6 D8  99,0 ± 56,46 ab

Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan perbedaan

signifikan berdasarkan hasil uji Duncan

Tabel 1. di atas menunjukkan bahwa perlakuan D6  memberi beda nyata

dengan perlakuan D2  maupun kontrol dan menghasilkan berat yang terbesar

dengan nilai 128,43 ± 37,66 gram. Data produksi jamur tiram putih disajikan oleh

gambar berikut:

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 78/97

 

Gambar 2. Berat basah jamur tiram putih yang dihasilkan pada saat panen,

dengan perlakuan pemberian konsorsium mikroba biofertilizer  

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan

 penelitian yang dilakukan oleh Naiola (1993) dengan rerata berat basah jamur

tiram 85 gram per baglog, Dewi (2009) dengan berat basah sebesar 91,67 gram

dan Parlindungan (2003) dengan nilai berat basah terbesar 123,72 gram.Kecepatan tumbuh jamur tiram putih sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang

terkandung di dalam media baglog. Pada penelitian ini digunakan serbuk gergaji

kayu sebagai media utama. Serbuk kayu yang baik untuk dibuat sebagai bahan

media tanam adalah dari jenis kayu yang keras sebab kayu yang keras banyak

mengandung selulosa yang merupakan bahan yang diperlukan oleh jamur dalam

 jumlah banyak (Anonimus, 2011). Pemberian konsorsium mikroba biofertilizer ,

yaitu Cellulomonas sp. dan  Bacillus megaterium dapat mempercepat penguraian bahan organik yang terdapat dalam serat kayu sehingga kebutuhan nutrisi jamur

terpenuhi.

Saccharomyces cereviceae merupakan mikroba dari golongan yeast yang

dapat melakukan proses fermentasi gula menjadi senyawa sederhana sehingga

dapat digunakan dalam pertumbuhan jamur.  Azospirillum sp. merupakan bakteri

 penambat nitrogen nonsimbiotik, hasil metabolisme  Azospirillum sp.  dapat

71,86

66,6760,57

103,4128,43

99

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Do - Do + D2 D4 D6 D8   b  e  r  a   t   b  a  s  a   h   j  a  m  u  r   t   i  r  a  m    (  g  r

  a  m   )

 jenis perlakuan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 79/97

menyediakan unsur nitrogen yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan produksi

 jamur tiram putih.

KESIMPULAN

Pemberian konsorsium mikroba biofertilizer   dengan dosis yang berbeda

tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan (jumlah tudung) tetapi berpengaruh

terhadap produksi (berat basah) jamur tiram putih ( Pleoratus ostreatus).

Perlakuan memberikan hasil paling baik terhadap berat basah pada D6  dengan

128,43 ± 37,66 gram.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2011,  Budi Daya Jamur Tiram dan Jamur Kuping ,

 bisnisjamurtiram.blogspot.com,usahajamur.co.cc, Diakses pada hari

Kamis, 8 Desember 2011.

Dewi, I. K., 2009,  Efektifitas Pemberian Blotong Kering terhadap Pertumbuhan

 Jamur Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) pada Media Serbuk Gergaji Kayu, Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Elsera, L., 2009, Risiko Produksi Jamur Tiram Putih pada Usaha Cempaka Baru

di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, Skripsi, Departemen Agribisnis

Institut Pertanian Bogor.

 Naiola, E., 1993,  Budi Daya Jamur Merang dan Jamur Tiram Putih pada

 Pekarangan di Daerah DAS Cisadane, Balitbang Mikrobiologi, Puslitbang

Biologi, LIPI.

Parlindungan, A. K., 2003,  Karakteristik Pertumbuhan dan Produksi Jamur

Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) dan Jamur Tiram Kelabu (Pleorotus

 sajor Caju) pada baglog alang-alang ,  Jurnal Natur Indonesia 5(2): 152-

156 (2003).

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 80/97

Pasaribu, T., 2002, Aneka Jamur Unggulan yang Menembus Pasar , PT Gramedia,

Jakarta.

Saraswati, R., Edi Santoso, Erny Yuniarti, 2011, Organisme Perombak Bahan

Organik . Pupuk organik dan pupuk hayati, 211-230.

Wardani, Isnaeni, 2010,  Budi Daya Jamur Konsumsi, Penerbit ANDI,

Yogyakarta.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 81/97

1

Kajian Viabilitas dan Pola Pertumbuhan Lactobacil lus plantarum  pada Variasi

Konsentrasi Molase dan Waktu Inkubasi

Agus Supriyanto, Rochma Novirisandi, Ni’matuzahroh 

Program Studi S1 Biologi, Departemen BiologiFakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

[email protected] 

ABSTRACT

This study was aim to determine the growth pattern of  Lactobacillus plantarum  on the variation concentration of molasses and the incubation time, the

influence combination of molasses concentration and incubation time on total of

 Lactobacillus plantarum  cells and to know viability of  Lactobacillus plantarum  inlast incubation on variation concentration of molasses. This study used a factorial

design 4x13 with 3 replications. Growth medium consisted of molasses of different

concentrations (0%, 1%, 2%, 3%) with 2% starter bacteria  Lactobacillus plantarum and was incubated for 12 weeks. Observational data in the form of total bacteria

(CFU/mL) were then analyzed in a descriptively and statistically using  Brown

 Forsithe Test , followed by Gomes-Howell Test . The descriptive results were analyzed

showed that Lactobacillus plantarum had no lag phase in growth patterns and growth

 patterns of Lactobacillus plantarum on molasses concentration 1%, 2% and 3% havethe same phase. The log phase of growth pattern was toward the stationary phase

followed by a deceleration phase, while the statistic results were analyzed showedthat a combination of molasses concentration and incubation time gave an effect on

the total of  Lactobacillus plantarum  cells. The combination of molasses

concentration at 2% for 12 weeks incubation period was a highest combinationamong the other combination. The total of Lactobacillus plantarum cells on molasses

concentration 1%, 2% and 3% at the end of incubation period was 107 (CFU/mL) so

the viability of Lactobacillus plantarum is still good.

Keyword :, Incubation,  Lactobacillus plantarum, molasses concentration, total of

 Lactobacillus plantarum cells

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 82/97

2

PENDAHULUAN

Masalah pada lingkungan perairan terutama adanya akumulasi zat-zat organik

yang kadarnya berlebih dan melampaui kadar yang seharusnya ditetapkan untuk

kategori perairan dapat mencemari perairan. Sebagai akibatnya ikan yang

dibudidayakan pada perairan akan tercemar bahan organik. Adanya bahan organik

yang ada pada tubuh ikan akan memicu tumbuhnya bakteri patogen di dalam tubuh

ikan pada bagian sistem pencernaannya (Soeharsono, 2010).

Semua permasalahan ini dapat diatasi dengan teknik akuakultur yang akan

memanfaatkan kerja bakteri probiotik untuk menghambat bahkan membunuh bakteri

 patogen. Salah satu bakteri probiotik yang berperan dalam menghambat dan

membunuh pertumbuhan bakteri patogen pada sistem pencernaan ikan adalah

 Lactobacillus plantarum (Surono, 2004).

Adanya bakteri probiotik pada sistem akuakultur akan menjadi penetralisir

 bagi sistem pencernaan pada tubuh ikan sehingga bakteri patogen yang ada pada

sistem pencernaan ikan dapat dihambat pertumbuhannya. Hal ini dapat mendukung

 pertumbuhan ikan yang cepat pada suatu budidaya perairan sehingga dapat menekan

 pengeluaran untuk pakan, mempercepat masa panen dan ikan  bisa dipanen dalam

ukuran yang seimbang karena terjaganya struktur organoleptik pada ikan (Emanuel,

et al ., 2005).

Untuk mendukung pertumbuhan bakteri probiotik ini diperlukan suatu

substrat yang dapat menstimulasi bakteri probiotik untuk menghasilkan suatu

metabolit yang nantinya akan berperan sebagai penghambat dan pembunuh bakteri

 patogen. Mekanisme pencampuran bakteri probiotik pada sistem akuakultur

membutuhkan suatu media yang dapat mendukung metabolisme bakteri probiotik . 

Salah satu media yang biasanya digunakan yaitu molase. Molase merupakan

media pembawa yang selama ini sudah dikenal sebagai substrat pertumbuhan bakteri.

Molase dipilih karena efektifitas dan efisiensinya sebagai bahan pembawa untuk

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 83/97

3

mengontrol pertumbuhan bakteri sudah diketahui tingkat keberhasilannya terhadap

hasil penelitian sebelumnya cukup signifikan (Murdiyatmo, 2003).

Dalam penelitian ini akan digunakan variasi konsentrasi molase yang berbeda

dengan kadar di bawah 5% yaitu 1, 2, dan 3% sebagai formulasi perlakuan.

Penggunaan kadar molase yang relatif rendah memiliki alasan tertentu yaitu karena

 bentuk molase yang kental akan meningkatkan tekanan osmose pada substrat

sehingga kurang efisien untuk pertumbuhan bakteri.

Berdasarkan latar belakang diatas perlu diadakan penelitian terhadap pola

 pertumbuhan dan viabilitas bakteri  Lactobacillus plantarum  pada beberapa

konsentrasi molase serta lamanya waktu inkubasi sehingga penggunaan bakteri

 probiotik ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan rusaknya struktur

organoleptik pada ikan sehingga akan menghambat proses pembusukan pada ikan

dikarenakan pertumbuhan bakteri patogen pada usus ikan serta mampu meningkatkan

 produktivitas tambak dalam rangka mewujudkan target pemerintah dalam

meningkatkan produksi produk perikanan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Umum, Departemen

Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Waktu

 pelaksanaan penelitian 4 bulan (Februari-Mei 2012).

Isolat  Lactobacillus plantarum dan media molase berasal dari hasil koleksi

Laboratorium Mikrobiologi Umum, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan

Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Sedangkan bahan kimia yang digunakan

dalam penelitian adalah media MRS broth, MRS agar, aquades, alkohol dan molase.

Isolat  Lactobacillus plantarum  diperbanyak dengan cara metode  streak  

kemudian diinokulasikan pada media MRS broth dan diinkubasi selama 24 jam.

Setelah 24 jam masa inkubasi biakan kultur Lactobacillus plantarum pada MRS broth

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 84/97

4

diukur nilai kekeruhannya untuk menentukan starter bakteri yang digunakan untuk

 penelitian ini. Jika nilai kekeruhan menunjukkan angka 0,5 maka kultur Lactobacillus

 plantarum siap untuk dijadikan kultur perlakuan.

Penelitian disusun berdasarkan Rancangan Faktorial (RF) yang terdiri dari 4

 perlakuan (tanpa molase, molase 1%, molase 2%, molase 3%) dengan 3 kali

 pengulangan untuk masing-masing perlakuan. Pengambilan data dilakukan selama 12

minggu lalu dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis data secara statistik

menggunakan uji  Kolmogorov-sminorv  dan homogenitas datanya diuji dengan uji

 Levane. Kemudian menggunakan uji lanjutan  Brown-Forsithe  untuk mengetahui

apakah ada pengaruh antar perlakuan dengan menggunakan derajat signifikansi 5%.

Setelah itu dilanjutkan dengan uji Gomes-Howell   untuk mengetahui beda nyata

terkecil antar perlakuan.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah sel  Lactobacillus

 plantarum. Penghitungan jumlah sel  Lactobacillus plantarum  dilakukan dengan

metode cawan tuang dalam CFU/mL.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian, pengamatan terhadap jumlah sel  Lactobacillus

 plantarum  dengan perbedaaan periode kultur dan komposisi media dimaksudkan

untuk mengetahui pengaruhnya terhadap jumlah sel  Lactobacillus plantarum. Setelah

itu dibuat kurva pertumbuhan bakteri serta dianalisis fase pertumbuhannya,

kombinasi antar perlakuan terhadap viabilitas bakteri ( Lactobacillus plantarum) dan

viabilitas sel Lactobacillus plantarum di akhir inkubasi.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 85/97

5

1.  Pola Pertumbuhan  Lactobacillus plantarum  pada Variasi Konsentrasi Molase

Selama Masa Inkubasi 3 Bulan

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa konsentrasi molase 1%, 2%, maupun 3%,

 pertumbuhan  Lactobacillus plantarum  tidak mengalami fase lag. Tidak adanya fase

lag yang teramati pada pola pertumbuhan  Lactobacillus plantarum  dikarenakan

 bakteri ini sangat mudah beradaptasi pada media yang baru selama media tersebut

masih mengandung unsur gula di dalamnya (Nguyen, et al ., 2007). Jumlahnya yang

semakin pesat terjadi pada konsentrasi 3% karena pada konsentrasi ini terkandung

lebih banyak unsur gula dibandingkan dengan konsentrasi 1% dan 2%.

Gambar 4.1  Pola Pertumbuhan  Lactobacillus plantarum  Selama Masa Inkubasi 3

Bulan 

 Lactobacillus plantarum  di minggu pertama sudah memasuki fase log baik

 pada konsentrasi 1%, 2%, dan 3%. Kemudian di minggu ke-4 sampai minggu ke-7

 Lactobacillus plantarum memasuki fase stasioner (Gambar 4.1). Fase stasioner yang

terjadi pada  Lactobacillus plantarum  berbeda pada setiap konsentrasi karena

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 86/97

6

kandungan nutrisi yang tersedia pada masing-masing konsentrasi juga berbeda

(Schlegel dan Schmidt, 1994). Pada umumnya fase stasioner ini terjadi karena

 penumpukan racun akibat metabolisme sel dan kandungan nutrisi mulai habis

sehingga terjadi kompetisi akibatnya beberapa sel akan mati dan jumlah sel bakteri

cenderung konstan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suriawiria (1995).

Kemudian dari minggu ke-7 sampai minggu ke-12 merupakan fase

 perlambatan (kematian) dari  Lactobacillus plantarum  (Gambar 4.1). Fase

 perlambatan (kematian) terjadi karena penumpukan racun yang semakin banyak

sedangkan nutrisi yang tersedia semakin habis menyebabkan jumlah sel bakteri yang

mati semakin banyak dibandingkan dengan jumlah sel bakteri yang hidup sehingga

 jumlah sel bakteri menurun secara eksponensial (Waluyo, 2004).

Jika dikaitkan dengan pengukuran pH, maka dapat diketahui bahwa pada saat

awal inkubasi pH yang berkisar antara 5-6 berubah menjadi kisaran pH 2,5-4 dalam 2

minggu inkubasi. Ini berarti bahwa Lactobacillus plantarum mengeluarkan metabolit

sekunder yaitu asam laktat yang merubah pH media menjadi asam sehingga

menghambat pertumbuhan bakteri patogen, hal ini sesuai dengan penelitian Jeni dan

Rini (1995). Kisaran pH ini tidak berubah sampai akhir inkubasi. Penurunan nilai pH

tidak berpengaruh pada penelitian ini karena nilai pH terendah tidak dikuti dengan

 jumlah sel terbanyak begitu juga sebaliknya.

2.  Pengaruh Kombinasi Variasi Konsentrasi Molase dan Waktu Inkubasi terhadap

Jumlah Sel Lactobacillus plantarum 

Untuk mengetahui ada/tidaknya pengaruh pada kombinasi variasi konsentrasi

molase dan waktu inkubasi terhadap jumlah sel  Lactobacillus plantarum  dapatdianalisis secara statistik menggunakan uji normalitas dan homogenitas data. Uji

normalitas data dengan uji KS menunjukkan bahwa data berdistribusi normal karena

nilai > 0,05. sedangkan uji homogenitas data mengggunakan uji levane

menunjukkan data tidak homogen. Karena data normal dan tidak homogen maka

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 87/97

7

dapat dilanjutkan dengan  Brown-Forsithe Test. Tes lanjutan  Brown Forsythe 

menggunakan derajat signifikansi 5%.  Brown-Forsithe Test   digunakan untuk

mengetahui kombinasi antara konsentrasi dan waktu inkubasi berpengaruh terhadap

 jumlah sel atau tidak. Bila hasil uji  Brown Forsythe  menunjukkan hasil yang

signifikan (p < 0,05), maka dapat dilakukan uji lanjutan menggunakan Gomes-Howell  

Test   untuk mengetahui apakah antar kelompok perlakuan berbeda signifikan atau

tidak.

Gambar 4.2  Kombinasi Variasi Konsentrasi Molase dan Waktu Inkubasi denganMenyertakan Standar Deviasi.

Di dalam uji Brown-Forsithe Test diketahui bahwa kombinasi konsentrasi dan

waktu inkubasi berpengaruh pada jumlah sel  Lactobacillus plantarum  dengan nilai

<0,05 sehingga dapat diambil keputusan tolak H0. Untuk mengetahui adanya

 pengaruh yang signifikan atau tidak maka dilanjutkan dengan uji Gomes-Howell. 

Sedangkan untuk melihat perbedaan pengaruh antara kombinasi variasi konsentrasi

molase dan waktu inkubasi terhadap jumlah sel Lactobacillus plantarum dapat dilihat

 pada gambar 4.2. Data ini dapat digunakan untuk menganalisis signifikansi data

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 88/97

8

karena dari gambar 4.2 terlihat pengaruh antar perlakuan terhadap jumlah sel yang

 berbeda di setiap waktu inkubasi.

3.  Viabilitas Bakteri  Lactobacillus plantarum  di Akhir Inkubasi pada Variasi

Konsentrasi Molase

Kualitas suatu produk probiotik dapat dilihat dari jumlah sel suatu kultur

yang berisi bakteri probiotik di dalam suatu substrat seperti molase yang diamati

dengan jangka waktu tertentu dan dihitung viabilitasnya di akhir inkubasi. Produk

 probiotik dikatakan berkualitas baik apabila jumlah sel bakteri di dalamnya lebih

dari 106  (CFU/mL).  International Diary Federation  (IDF) memberikan standar

 jumlah minimum probiotik hidup sebagai acuan adalah 106

CFU/mL pada produk

akhir (Indratingsih, 2004). 

Gambar 4.3  Perbandingan jumlah sel  Lactobacillus plantarum  di awal (sebelumtreatment ) dan di akhir inkubasi (setelah treatment )

Keterangan : Untuk konsentrasi 0%

Awal = minggu ke-0, akhir = minggu ke-5

Untuk konsentrasi 1%, 2%, dan 3%Awal = minggu ke-0, akhir = minggu ke-12

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 89/97

9

Konsentrasi molase 1%, 2%, dan 3% di akhir inkubasi masih mencapai 107

dan kualitasnya sebagai produk probiotik masih baik. Ini dikarenakan jumlah sel

 Lactobacillus plantarum pada ketiga konsentrasi tersebut masih di atas 106 (CFU/mL)

di akhir inkubasi (Gambar 4.3). Kultur  Lactobacillus plantarum  pada konsentrasi

molase 2% adalah produk probiotik yang memiliki jumlah sel paling banyak di akhir

inkubasi dibandingkan dengan konsentrasi yang lain (Gambar 4.3).

KESIMPULAN

Pola pertumbuhan bakteri  Lactobacillus plantarum  pada konsentrasi molase

1%, 2%, dan 3% memiliki persamaan fase pertumbuhan yaitu fase log, stasioner dan

 perlambatan. Kombinasi antara konsentrasi molase dan waktu inkubasi berpengaruh

terhadap pertumbuhan  Lactobacillus plantarum. Kombinasi konsentrasi molase 2%

selama 12 minggu inkubasi merupakan kombinasi yang paling baik terhadap jumlah

sel  Lactobacillus plantarum. Dan viabilitas bakteri  Lactobacillus plantarum  pada

variasi konsentrasi molase 1%, 2%, dan 3% di akhir masa inkubasi masih dapat

digunakan sebagai produk probiotik.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, D., 2003, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Edisi 14, Djambatan, Jakarta.

Emanuel, Vamanu, Vamanu Adrian, Popa Ovidiu, Campeanu Gheorghe, (2005),

Isolation Of a  Lactobacillus plantarum strain used for obtaining a product for

the preservation of fodders,  African Journal of Biotechnology, Vol. 4 (5), Hal:

403-408.

Indratingsih,W. S., Salasia, S. dan Wahyuni, E., 2004, Produksi Yoghurt Shiitake

(Yohsitake) Sebagai  Pangan Kesehatan Berbasis Susu,  Jurnal Teknologi dan

 Industri Pangan Vol. XV (1), No. 54-60.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 90/97

10

Murdiyatmo, U., 2003,  Prospek Industri Ethanol dari Molase di Indonesia, PT

Perkebunan Nusantara XI, Surabaya.

 Nguyen, T.D.T. et al., Characterization of Lactobacillus plantarum PH04, a

 potential probiotic bacterium with cholesterol-lowering effects. International

 Journal of Food Microbiology. Volume 113, Issue 3, 15 February 2007, Pages

358-361.

Schlegel,H.G. dan Schmidt, K, 1994,  Mikrobiologi Umum, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Suriawiria, Unus, 1995, Pengantar Mikrobiologi Umum, Angkasa, Bandung.

Surono, I, 2004,  Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan, PT.Zitri Cipta Karya:

Jakarta.

Waluyo, Lud, Drs. M.Kes, 2004,  Mikrobiologi Umum, Universitas Muhammadiyah

Press, Malang.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 91/97

1

PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH

BENZYLADENINE (BA) DAN INDOLE BUTIRIC ACID (IBA)

TERHADAP KULTUR ANTERA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.)

Tining Sulistyowati1, Dwi Kusuma Wahyuni

*1, dan Hery Purnobasuki

1

1Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga, Surabaya

*Email: [email protected]

AbstractThe study was aimed to know the influence of indole butiric acid (IBA)

and benzyladenine (BA) combination on the growth of anther culture of Capsicum

 frutescens L. This research was designed with Completely Randomized Design

(CRD), used indole butiric acid (IBA) in various consentration of 0, 0.5, 1, and

1.5 ppm and benzyladenine (BA) in various consentration of 0 and 0.5 ppm.

Anthers were collected from buds when the length of petal is slightly longer than

sepal (ratio petal:sepal approximately 3:2). Buds were given a one day of 4oC

pretreatment, followed by culture of the anthers in double layer medium (solid

medium and liquid upper layer). The medium contained MS component solidified

with 8 gr/L agar in solid medium and 6% sucrose and 500 mg/L glutamin in the

liquid upper layer. Data of enlarged anther were analyzed with ANOVA followed

by Duncan, meanwhile data of dehisced anther were analyzed with Kruskal-

Wallis Test followed by Mann-Whitney Test. The result showed that the BA-IBA

combination influenced the growth of anther culture. Combination of 0,5 ppm BA

1 ppm IBA was the best treatment to influence anther culture of  Capsicum

 frutescens L. Combination of 0,5 ppm BA 0,5 ppm IBA gave result 70±0% of 

enlarged anther and 10±0% on percentage of dehisced anther.

Keywords: Anther culture, benzyladenine, indole butiric acid, Capsicum

 frutescens L.

Pendahuluan

Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) memiliki nilai tinggi untuk industri

makanan dan farmasi. Kebutuhan cabai di Indonesia terus meningkat seiring

dengan meningkatnya jumlah penduduk dan industri makanan. Namun, budidaya

cabai di Indonesia pada umumnya masih belum dilakukan secara intensif,

sehingga produktivitasnya masih sangat rendah (Anonimus, 2005). Pemuliaan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 92/97

2

tanaman dengan menggunakan galur murni sangat diperlukan untuk tanaman itu.

Salah satu metode pemuliaan tanaman yaitu menggunakan kultur haploid.

Keberhasilan aplikasi teknik hapkultur antera dalam mendapatkan tanaman

haploid ganda pada tanaman cabai masih sedikit yang dilaporkan (Barany et al.,

2005). Menurut Datta (2005), keberhasilan kultur haploid dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain genotip tanaman donor, kondisi tanaman donor, tahap

perkembangan mikrospora, perlakuan pra kultur, dan media kultur.

Wang et al. (1973) berhasil mengkultur dan meregenerasi tanaman haploid

dari antera cabai (Capsicum annuum) dengan menggunakan zat pengatur tumbuh

kinetin dan NAA, serta kinetin dan 2,4-D. Demikian juga yang telah dilakukan

Dumas de Vaulx et al. (1981) dan Gyulai et al. (2000). Supena (2004)

mengembangkan protokol kultur sebar mikrospora pada C. annuum menggunakan

zeatin dan IAA.

Karena itulah perlu dilakukan penelitian mengenai kombinasi zat pengatur

tumbuh indole butiric acid  (IBA) dan benzyladenine (BA) untuk meningkatkan

keberhasilan kultur antera cabai rawit. Pecahnya antera merupakan jalan bagi

mikrospora di dalam antera untuk keluar dan menyebar pada media yang telah

disediakan.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2012 di

Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan

Teknologi, Universitas Airlangga Surabaya.

Tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) varietas Dewata F1.

Kuncup bunga cabai rawit dengan ukuran yang sudah ditentukan (perbandingan

petal:sepal=3:2) dipanen pada pagi hari. Bahan-bahan kimia yang digunakan

untuk kultur antera cabai rawit adalah bahan penyusun media MS ( Murashige and 

Skoog), zat pengatur tumbuh (IBA, dan BA), akuades steril, clorox, alkohol 70%,

dan spiritus.

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan

kombinasi IBA dan BA. Tiap perlakuan menggunakan 3 ulangan. Pengamatan

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 93/97

3

dilakukan terhadap persentase antera yang membesar dan persentase antera yang

pecah. Persentase antera yang membesar dilakukan dengan menentukan

persentase antera yang ukurannya membesar dibandingkan dengan sebelum

dikultur pada tiap perlakuan. Persentase antera yang pecah dilakukan dengan

menentukan persentase antera yang pecah (terjadi sobekan pada dinding antera)

pada tiap perlakuan.

Kuncup bunga dipanen di pagi hari jam 6 s.d 7 WIB dan diberi

praperlakuan pada suhu 4oC selama satu hari. Kuncup bunga disterilisasi dengan

clorox dan dibilas dengan akuades steril 3 kali. Antera diisolasi dengan bantuan

pinset kultur dan skalpel. Antera dari 2 kuncup bunga dimasukkan ke dalam botol

berisi media padat kemudian ditambahkan media cair yang sudah mengandung zat

pengatur tumbuh. Kultur diinkubasi selama 10 minggu.

Analisis data dilakukan dengan SPSS 17.0. Data persentase antera yang

membesar dianalisis menggunakan Uji ANOVA dilanjutkan dengan Uji Duncan

sedangkan data persentase antera yang pecah dianalisis dengan Uji Kruskal-Wallis

dilanjutkan dengan Uji Mann-Whitney. Semuanya dengan taraf signifikansi 0,05.

Perlakuan yang optimum adalah perlakuan yang memiliki persentase pecahnya

antera paling besar dan persentase antera membesar paling tinggi.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian ini berupa data tentang perkembangan antera cabai rawit

(Capsicum frutescens L.) selama kultur meliputi persentase antera yang membesar

dan persentase antera yang pecah.

Gambar 1 Perkembangan antera sebelum dan setelah kultur. A: antera segar

sebelum dikultur. B-D: Perkembangan antera setelah 10 minggu kultur. B: antera

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 94/97

4

yang tidak membesar dan tidak pecah. C: antera yang membesar. D: antera yang

pecah; panah putih merupakan sobekan pada dinding antera. bar = 0,1 cm untuk 

A-D.

Pengamatan terhadap perkembangan antera selama kultur menunjukkan

antera yang semula berwarna kekuningan dengan ukuran sekitar 0,1x0,2 cm

(Gambar 1A), beberapa hari kemudian antera mulai mengalami pembesaran

ukuran dimana pada minggu kesepuluh ukurannya dapat mencapai 0,15x0,27 cm

(Gambar 1C) dan pada minggu ketiga mulai terdapat antera yang pecah (Gambar

1D). Pecahnya antera terjadi pada sisi lateral pada dinding antera (panah putih).

Namun ada juga antera yang tidak mengalami perubahan ukuran dan juga tidak 

pecah (Gambar 1B).

Tabel 1 menunjukkan rerata persentase antera yang membesar dan

persentase antera yang pecah pada berbagai kombinasi perlakuan benzyladenine

(BA) dan indole butiric acid  (IBA). Analisis statistik pada kedua parameter

tersebut menunjukkan bahwa pemberian kombinasi BA dan IBA memberikan

pengaruh terhadap persentase antera yang membesar dan persentase antera yang

pecah.

Tabel 1 Rerata persentase antera yang membesar dan persentase antera yang

pecah pada kultur antera cabai rawit (Capsicum frutescens L.) pada berbagai

kombinasi benzyladenine (BA) dan indole butiric acid  (IBA). Data merupakan

rerata dari 3 replikasi pada pengamatan minggu kesepuluh.

PerlakuanRerata persentase antera

yang membesar (%)

Rerata persentase antera

yang pecah (%)

BA0IBA0,5 50,00±10a

0,00±0ac

BA0IBA1 53,33±11,55a 3,33±5,77a c

BA0IBA1,5 53,33±5,77a

0,00±0ac

BA0,5IBA0 60,00±0a

0,00±0ac

BA0,5IBA0,5 66,67±15,28a

10,00±0

BA0,5IBA1 70,00±0 10,00±0

BA0,5IBA1,5 60,00±10a

6,67±5,77a c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti berbeda tidak 

nyata (0,05) dengan Uji Duncan (persentase antera yang membesar)

dan Uji Mann-Whitney (persentase antera yang pecah).

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 95/97

5

Pada pengamatan persentase antera yang membesar, hasil terendah sebesar

50% ditunjukkan oleh perlakuan BA 0 ppm IBA 0,5 ppm sedangkan hasil

tertinggi (70%) ditunjukkan oleh perlakuan BA 0,5 ppm IBA 1 ppm. Pada

pengamatan persentase antera yang pecah, hasil terendah sebesar 0% ditunjukkan

oleh perlakuan BA 0 ppm IBA 0,5 ppm, BA 0 ppm IBA 1,5 ppm, dan BA 0,5

ppm IBA 0 ppm sedangkan hasil tertinggi (10%) ditunjukkan oleh perlakuan BA

0,5 ppm IBA 0,5 ppm dan BA 0,5 ppm dan IBA 1 ppm.

Dengan melihat hasil pada kedua parameter tersebut, dapat disimpulkan

bahwa perlakuan yang paling baik untuk kultur antera C. frutescens adalah

perlakuan BA 0,5 ppm dan IBA 1 ppm. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian

kombinasi auksin lebih tinggi daripada sitokinin memberikan hasil yang lebih

baik dibandingkan perlakuan lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan kombinasi auksin yang

lebih rendah daripada sitokinin ini sama dengan hasil penelitian Wang et al.,

(1973) yang melakukan kultur antera dan regenerasi C.annuum dimana kombinasi

yang paling baik adalah kombinasi 4,65µM kinetin dan 5,37 µM NAA dan

4,65µM kinetin dan 4,52 µM 2,4-D. Adanya perbedaan konsentrasi antara hasil

penelitian dengan penelitian sebelumnya terutama dikarenakan adanya perbedaan

kebutuhan akan zat pengatur tumbuh eksogen. Kebutuhan akan zat pengatur

eksogen sangat dipengaruhi oleh genotip tanaman. Selain itu Reinert dan Bajaj

(1977) melaporkan bahwa kebutuhan akan auksin dan sitokinin eksogen

tergantung pada kadar auksin dan sitokinin endogen di dalam antera.

Perlakuan dengan penambahan zat pengatur tumbuh auksin saja atau

sitokinin saja menyebabkan persentase antera yang membesar dan pecah menjadi

kecil. Hal ini disebabkan karena pembelahan sel diatur oleh auksin dan sitokinin,

keduanya mempengaruhi fase berbeda dalam siklus sel. Auksin mempengaruhi

replikasi DNA sedangkan sitokinin mengendalikan peristiwa menuju mitosis

(Jouanneau dalam George et al., 2008). Adanya auksin menyebabkan sel

mikrospora di dalam antera berkembang, namun jika tidak diikuti dengan

pembelahan sel maka ukuran antera tidak dapat bertambah secara signifikan.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 96/97

6

Pada pengamatan dijumpai antera yang tidak membesar atau tidak pecah

meskipun telah diinkubasi selama sepuluh minggu, hal itu mungkin disebabkan

eksplan telah mati karena sterilisasi yang terlalu kuat atau karena adanya variasi

individu yang menyebabkan adanya respon yang berbeda terhadap perlakuan yang

diberikan. Selain itu ada juga antera yang membesar namun tidak pecah, hal ini

disebabkan perkembangan mikrospora di dalam antera tidak cukup kuat untuk 

mendorong dinding antera sehingga tidak mampu membuat dinding antera pecah.

Pada penelitian ini antera dikultur pada media dua lapis. Mikrospora di

dalam antera mengalami perkembangan namun pada beberapa antera terjadi

perubahan warna menjadi kecoklatan (browning) yang menunjukkan kematian sel

dinding antera. Hal ini sejalan dengan teori apotopsis dimana akan terjadi

kematian sel untuk menyokong sel lain yang sedang berkembang. Selain itu

browning dapat terjadi karena dihasilkan senyawa fenol yang akan menghambat

aktivitas enzim yang selanjutnya dapat mematikan tanaman (Hu and Wang, 1983)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemberian kombinasi benzyladenine (BA) dan indole butiric acid 

(IBA)berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan kultur antera cabai

rawit (Capsicum frutescens L.), yaitu pada persentase antera yang

membesar dan persentase antera yang pecah.

2. Perlakuan BA0,5IBA1 (0,5 ppm BA dan 1 ppm IBA) merupakan

kombinasi yang terbaik untuk kultur antera C. frutescens yang

menghasilkan persentase antera yang membesar dan pecah paling tinggi

dengan nilai persentase antera yang membesar 70±0% dan persentase

antera yang pecah 10±0%..

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Bapak Tunut dan Ibu Saijah yang telah memelihara

donor eksplan untuk penelitian ini.

7/26/2019 cabai rawit 1

http://slidepdf.com/reader/full/cabai-rawit-1 97/97

Daftar Pustaka

Anonimus, 2005, Statistik Pertanian 2005, Departemen Pertanian, Jakarta.

Barany, I., Melendi, P.G., Fadon, B., Mitykot, J., Risueno, M.C., and Testillano,

P.S., 2005, Microspore-derived embryogenesis in pepper (Capsicum

annuum L.): subcellular rearrangements through development,  Biol.

Cell, 97 (9): 709 – 722.

Datta, S. K., 2005, Androgenic haploids: factors controlling development and its

application in crop improvement, Cureent Science, 89 (11): 1870-1878.

Dumas de Vaulx R., Chambonnet, D., and Pochard, E., 1981, Culture in vitro

d'antheres de piment (Capsicum annuum): amelioration des taux

d'obtention de plantes chez differents genotypes par traitments a+35 °C.

 Agronomie, Vol 1: 859 – 64.

George, E.F., Hall, M.E., and Klerk, G.D., 2008, Plant propagation by tissueculture, third edition, Vol 1. The Background, Springer, Netherlands.

Gyulai, G., Gemesne, J.A., Sagi, Z.S., Venczel, G., Pinter, P., and Kyristof, Z.,

2000, Doubled haploid development and PCR analysis of F1-hydrid

derived DH-R2 paprika (Capsicum annuum L.) lines.  J Plant Physiol,

156: 168 – 74.

Hu, C., and Wang, J. P., 1983, Meristem shoot tip and bud culture. In: Handbook 

of Plant Cell, MacMillan Publ, New York.

Reinert, J. and Bajaj, Y. P. S., 1977,  Anther culture: haploid production and its

significance. In ‘Applied and fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue

and Organ Cult., Spinger-Verlag, Berlin.

Supena, E.D.J., 2004, Innovations in microspore embryogenesis in Indonesian hot

pepper (Capsicum annuum L.) and  Brassica napus L., Thesis,

Wageningan University, Netherlands.

Wang, Y.Y., Sun, C.S., Wang, C.C., and Chien, N.F., 1973. The induction of 

 pollen plantlets of Triticale and Capsicum annuum from anther culture,

Sci sin, 16: 147-151.