buletin civitas 41

24

Upload: lpm-kentingan

Post on 24-Jul-2016

243 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin civitas 41
Page 2: Buletin civitas 41

KONON, kampus merupakan tempat terbaik untuk belajar demokrasi, karena kampus merupakan miniatur dari sebuah negara. Jikalau memang begitu, lalu di mana posisi rektor?

Apakah ia sejajar dengan presiden di dalam sebuah negara? Atau lebih dari itu?

Ada sesuatu yang bias dalam permasalahan tersebut. Pasalnya, dalam hirarki kehidupan kampus, objek yang paling cocok me- nempati posisi rakyat adalah mahasiswa. Mahasiswa yang belajar di dalam suatu universitas harus patuh dan tunduk terhadap segala macam aturan dan tata tertib yang berlaku. Sama seperti rakyat. Keduanya juga sama-sama mempunyai hak dan kewajiban.

Namun dalam tataran mahasiswa sendiri, mereka sudah memiliki yang namanya pemimpin. Sudah ada yang disebutnya sebagai “Presiden”. Presiden mahasiswa tentunya. Lewat klaim itu, seorang presiden diharuskan untuk dipilih oleh seluruh mahasiswa—mini-mal yang mau memilih—sama seperti pemilihan Presiden Republik Indonesia. Tapi bukankah Presiden RI juga sekaligus presiden rakyatnya? Jadi di mana posisi rektor?

Tak perlu pusing memikirkan jawabannya. Tapi yang jelas, kebi-jakan rektor secara langsung dapat dirasakan oleh mahasiswa—tidak seperti kebijakan Presiden Mahasiswa. Kuliah mahal, misal-nya, mahasiswa serta merta akan memprotes hal itu kepada rektor. Semua keluh kesah mahasiswa terhadap fasilitas penunjang keber-langsungan kehidupan kampus akan bermuara kepada rektor.

Oleh karenanya, bisa dikatakan maju tidaknya, berkembang tidaknya sebuah universitas selalu dikaitkan dengan berhasil atau tidaknya seorang rektor memimpin universitas tersebut. Hal ini sama seperti cerita-cerita sejarah di zaman kerajaan, yang selalu mengaitkan masa kejayaan sebuah kerajaan dengan rajanya.

Kalau begitu apa boleh kita menyamakan rektor dengan presiden? Soalnya dalam proses pemilihan rektor, mahasiswa tidak diikutser-takan. Bahkan informasi tentang pemilihan itu saja tidak banyak diketahui oleh mahasiswa. Kalau tidak percaya tanyakan saja kepada mahasiswa, siapa saja kandidat rektor UNS periode 2015-2019. Sedikit sekali mahasiswa yang mengetahuinya. Jadi di mana letak pembelajaran demokrasi di kampus jika dalam pemilihan orang nomor satu (rektor) di universitas tersebut, mahasiswa yang merupakan representasi dari rakyat tidak dilibatkan?

Oh, mungkin sistem pemerintahan di kampus adalah sistem parlementer. Jadi rektor tidak dipilih langsung oleh mahasiswanya. Cukup para senat dan pihak-pihak yang mendapat wewenang memilihnya. Di mana posisi rektor? Tidak tahulah, ada yang bisa menunjukkan? Apapun itu besar harapan mahasiswa bahwa dalam setiap kepemimpinannya seorang rektor mampu memberikan yang terbaik bagi kampus tercinta dan meraih target-target yang sudah direncanakan di awal masa jabatan. Apalagi jika sudah me-masuki kepemimpinan periode kedua.[*]

Di ManaPosisi Rektor?

EDITORIAL

Page 3: Buletin civitas 41

EDISI SEBELUMNYAFokus Utama:Era Baru Masa Studi MahasiswaTerbit:Mei 2015RedaksiAlamat:Gd. Grha UKM UNS lt. 2 Jalan Ir. Sutami 36 AKentingan, Jebres, Surakarta, 57126Surel:[email protected]:lpmkentingan.com

DITERBITKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA KENTINGAN UNS

Pemimpin Redaksi:Na’imatur RofiqohRedaktur Pelaksana Buletin: Hanputro WidyonoReporter: Muhammad Satya, Muhammad Zudin, Citra Agusta P.A., Dimas Alendra, Afifah KhoirunnisaRiset:Muhammad Ilham, Maulidiah; Editor:Nadia Lutfiana Mawarni, Puput Saputro, Ainun Nisa Nadhifah; Tata Letak:Fadhilah Ummahati, Na’imatur Rofiqoh; Desain Sampul: Na’imatur Rofiqoh; Foto:Fajar Andi, Anis Choirunnisa, Rofi’ah Nurlita, Hanindya Septian Ardhie, Farida Khoirunnisa; Ilustrasi: Fadhil Ramadhan; Iklan: Retia Kartika D.

PENGURUSPelindung: Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. Pembina: Drs. Hamid Arifin, M.Si Pemimpin Umum: Inang Jalaludin Sh. Sekretaris Umum: Anindita Prabawati Staf Administrasi: Lulu Puruhita Resindra Staf Inventarisasi: S. Muhimatunnafingah, Fahrur Nuzulul Kurniawati Staf Humas dan Distribusi: Roykhani Yulistiara Fauzun, Wiwin Tri Aprilyana Pemimpin Redaksi: Na’imatur Rofiqoh Redaktur Pelaksana Majalah: Udji Kayang Aditya S. Redaktur Pelaksana Buletin: Hanputro Widyono Redaktur Pelaksana Media Online: Restu Mustaqim, Afifah Nurlaila Redaktur Foto: Anis Choirunnisa Rachman, Fajar Andi Baihaqi Layouter dan Ilustrasi: Rody Gusnantoro, Dea Rohmah Editor: Ainun Nisa Nadhifah, Nadia Lutfiana Mawarni, Puput Saputro Tim Litbang: Sito Darmastuti, Tri Uswatun Hasanah, Elita Widi Kartikasari, Maulidiah Pemimpin PSDM: Rifqathin Ulya Staf Pengembangan: Hamdan Nurcholis, Ifada Rashida Yana Staf Personalia: Mutiara Larasati Permono, Siwi Nur W Staf HRD: Hanif Dwi Pandoyo, Faaqih Hidayaturrakhman H. Pemimpin Perusahaan: Any Hidayati Bendahara: Arini Nuranisa Staf Dana Usaha: Feliana Vinda Vicelia, Wisnu Suharto Catur Wijaya Staf Iklan: Akbar Cita Nusantara, Retia Kartika Dewi, Tiara Safitri Binadita

3 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

DAFTAR ISI

FOKUS UTAMA

Jilid II kepemipinan Ravik Karsidi telah resmi bergulir sejak pelantikannya (13/4) di Jakarta. Program akselerasi “reputasi” internasional timbulkan noda kesenjangan di jilid sebelumnya.

Ravik Karsidi Jilid II

KAMPUSIANAKemana Penelitian Berbintang 3,5?

04

14Kehidupan kampus tidak bisa dilepaskan dari budaya kerja ilmiah. Maka, tidak mengherankan jika penelitian merupakan salah satu tugas yang diemban Universitas Sebelas Maret (UNS) dalam tri darma perguruan tinggi.

KOLOM08

KILAS KITA10

BIDIK12

PROFIL16

GALERI18

RESENSI20-21

BAHASA22Psikologis Kata Evolusi dan RevolusiPerjalanan sejarah Indonesia diwarnai oleh perdebatan antara golo-ngan tua dan golon-gan muda, yang rupanya juga mengandung perdebatan istilah. Dalam salah satu adegan film Guru Bangsa Tjokroaminoto (April 2015), Agus Salim bersitegang dengan Semaoen dan Kartosoewirjo lantaran istilah ‘evolusi’ dan ‘revolusi’.

Page 4: Buletin civitas 41

FOKUS UTAMA

4 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

SEPARUH tempat parkir masih sepi kala waktu menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas pagi. Beberapa mahasiswa memarkirkan sepeda mo-

tornya, lalu seperti biasa, mereka berpantas-pantas diri lewat kaca spion. Terlihat juga sekelompok mahasiswa yang sibuk bercakap-cakap di atas tunggangan mereka. Sebentar kemudian, mereka berjalan bersama menuju sebuah gedung berlantai tiga.

Pilar-pilar gedung dengan motif bata yang mereka lalui tampak megah. Di dalam gedung, beberapa kelas kecil menyajikan aktivitas dosen yang tengah berceramah di depan anak didiknya. Jumlah penghuni kelas-kelas tersebut tidak terlalu banyak. Itu membuat suasana tampak kondusif.

Bersebelahan dengan gedung tersebut, gedung baru yang tak kalah megah berdiri. Arsitektur yang terlihat baru menjadi pembeda dengan gedung-gedung lama di fakultas lain. Saat ini proses pembangunan telah mencapai 90 persen. Meskipun begitu, gedung tersebut telah digunakan untuk rutinitas perkuliahan.

Ini merupakan penggambaran suasana yang ada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Sebelas Maret (UNS). Pembangunan yang sedang dikebut FEB tersebut digunakan untuk menunjang dua program studi yang tengah melakukan proses akreditasi interna-sional, yaitu prodi S-1 Akuntansi dan S-2 Manajemen. Tidak tanggung-tanggung, kata Wakil Rektor I, Sutarno, pihak rektorat menggelontorkan dana yang cukup besar untuk program tersebut. Sejak tahun lalu, 450 juta telah dikeluarkan untuk akreditasi. Bila dijumlah dengan

Ravik KarsidiJilid II

penataan dan pembangunan gedung, total dana yang dikeluarkan mencapai 900 juta. “Untuk Ekonomi (FEB-red) mencapai 900 juta,” ujar Sutarno.

Pemandangan yang kontras terlihat di sebelah selatan FEB. Dari pinggir jalan saja, sudah bisa dilihat gedung yang tampak berumur. Meski siang hari, suasana suram terasa dari dalam gedung. Pencahayaan yang kurang menjadi salah satu sebabnya. Tidak ada aroma pembangunan ataupun renovasi gedung. Area yang seharusnya merupakan ladang inspirasi para calon seni-man, justru menghantarkan kebekuan imajinasi. Hampir tidak ada yang istimewa kecuali papan nama bertuliskan “Fakultas Ilmu Budaya” yang belum lama terpasang.

Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) sebenarnya bukan tanpa pembaruan. Sejak akhir tahun lalu, FSSR telah dimekarkan menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Namun, per-siapan yang kurang membuat keberlangsungan dua fakultas baru ini tersendat. FIB dan FSRD pun terpaksa berbagi gedung. Padahal, jumlah gedung yang ada, baru empat. Sebuah ironi memang, mengingat 900 juta telah dihabiskan untuk mempermegah FEB, sementara dua fakultas baru yang masih butuh sokongan, luput dari perhatian.

Akreditasi internasional –seperti yang sedang dia-lami dua prodi FEB– adalah salah satu program yang dicanangkan Ravik Karsidi dalam jilid pertama kepemimpinanya sebagai rektor UNS. Kepala Kantor Jaminan Mutu, Suranto, mengatakan, sumber daya manusia yang berkualitas, manajemen yang baik, serta

Jilid II kepemipinan Ravik Karsidi telah resmi bergulir sejak pelantikannya (13/4) di Jakarta. Program akselerasi “reputasi” internasional timbulkan noda kesenjangan di jilid sebelumnya.

OLEH: MUHAMMAD SATYA

Page 5: Buletin civitas 41

FOKUS UTAMA

5 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

fasilitas yang memadai, membuat FEB didorong untuk mengikuti akredi-tasi internasional.

“Mereka (FEB-red) punya banyak profesor. Lalu masalah manaje-men, ya mereka, kan, orang-orang manaje-men. Jadi bagus, lah,” kata Suranto.

Mengenai dana yang besar, Suranto men-jelaskan bahwa hal tersebut memang diperlukan untuk proses akreditasi internasional yang cukup panjang. “Ada visitasi, kemudian jadi member. Nah, di situ harus meng-attend

berbagai social gathering dan konferensi untuk komunitas itu,” jelas Suranto. Fasilitas yang kudu dipenuhi turut berpengaruh terhadap besaran anggaran.

Meski dana yang diperlukan sangat besar, hal ini tidak akan memenga-ruhi besaran uang kuliah yang diba-yarkan mahasiswa. Dalam program internasionalisasi, dana seluruhnya dianggarkan dari rektorat, bukan dari pungutan mahasiswa. Suranto menambahkan, bila akreditasi internasional sudah didapat, akan berdampak pada dibukanya kelas internasional. “Sebagai con-toh, UGM. Kalau satu semes-ter yang reguler misalnya 10 juta, kelas internasional satu semester bisa 60 juta,”ujar Suranto mencontohkan.

Di samping hal-hal tersebut, kelas reguler sejatinya tidak jauh berbeda dengan kelas internasional secara kualitas. Hanya, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Inggris. Selain itu, dosen yang mengampu sebagian besar akan berasal dari luar negeri, yang tentu, akan lebih menda-patkan pengakuan dari lembaga profesi internasional terkait.

Tidak hanya itu, untuk menunjang program akselerasi UNS sebagai World Class University (WCU), berbagai pembangunan infrastruk-

tur baru turut dilakukan. Maret 2013 lalu, tujuh gedung baru diresmikan Mohammad Nuh, yang kala itu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Termasuk di antaranya masjid Nurul Huda, stadion UNS, dan gedung Pusat Pendidikat dan Pelati-han (Pusdiklat). Pembangunan yang tengah berjalan tak kalah megah, gedung perpustakaan tujuh lantai digadang-gadang akan meningkat-kan budaya literasi mahasiswa.

Akselerasi Reputasi InternasionalRavik Karsidi menyisihkan Adi Sulistyono dan Ahmad Yunus dalam pemilihan rektor UNS Januari lalu. Ravik mengungguli kedua pesaing-nya itu dengan 73 suara, sementara Ahmad Yunus memperoleh 34 suara dan Adi Sulistyono 18 suara. Sebagai calon inkumben, pencapaian Ravik pada jilid satu kepemipinannya jelas menjadi acuan. Berbagai kalangan menilai, Ravik berhasil memperkuat citra UNS di mata publik.

Pada jilid dua kepemipinannya, Ravik – yang mengusung jargon “UNS BISA” – telah menyusun berbagai program kerja sesuai dengan Ren-cana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) UNS. Dalam RPJP empat tahun ke depan, UNS akan melakukan akselerasi reputasi internasional. Ravik menjelaskan, telah menyiapkan berbagai program internasionalisasi dalam program kerjanya. “Kalau yang kita sebut akselerasi untuk interna-

sionalisasi, kami ada empat belas program. 14 program ini, nanti akan secara integratif dicapai,” jelas Ravik ketika ditemui Civitas di ruang ker-janya. Empat belas program tersebut di antaranya, peningkatan publikasi riset di jurnal internasional, program studi double degree, akreditasi in-ternasional, program credit earning, kelas internasional, serta pemering-katan internasional. Publikasi riset merupakan hal yang perlu diting-katkan menuju WCU. Dalam laporan

Suatu kebanggan, memang, menjadi bagian dari universitas yang berkeingi-

nan memiliki reputasi internasional. Namun, apa yang didapat mahasiswa rasa-rasanya bertolak belakang den-

gan peringkat UNS saat ini.”

yang disampaikan pada dies-natalis Maret lalu, angka publikasi riset di jurnal internasional masih berada dalam tingkat yang sangat minim.

Dari target 175 publikasi, UNS hanya mampu memublikasikan 156 jurnal. Angka yang sangat kecil, melihat jumlah tenaga pengajar UNS yang mencapai lebih dari 1500 dosen. Kurangnya budaya menulis dosen, ditengarai menjadi penyebab minim-nya publikasi. Tahun ini, Ravik kembali menargetkan 175 publikasi di jurnal internasional.

Sejak tahun lalu, UNS telah bekerja sama dengan La Rochelle Univer-sity, Perancis dalam program double degree. Sementara itu, dua prodi FEB yang tengah melakukan akreditasi internasional akan terus dipantau. Menyusul akuntansi dan manajemen, prodi-prodi lain yang telah mencapai akreditasi A menurut Badan Akredi-tasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), akan didorong untuk mengikuti program tersebut.

“Kebijakan kami, yang sudah terakreditasi A, program studi itu kami beri dana untuk didorong menuju akreditasi internasional,” ujar Ravik. Tahun ini, prodi Teknik Mesin dan Teknik Sipil akan didorong untuk ikut serta dalam akreditasi interna-sional. Menunggu giliran, prodi-prodi Fakultas Matematika dan Ilmu Penge-tahuan Alam akan menyusul.

UNS juga telah melakukan credit earning dengan tiga negara – Malaysia, Indonesia, Thailand (MIT). “Ada model credit earning. Misalnya seka-rang sudah ada kerjasama MIT. Khususnya Fakultas Pertanian sudah mulai ikut. Satu semester di sini, satu semester di sana,”

kata Ravik. Kerjasama lebih lanjut akan dilakukan dengan Australia untuk prodi pendidikan biologi. Sementara untuk kelas internasional, UNS hanya menargetkan 1 kelas yang dibuka pada 2015.

Dalam segi pemeringkatan, UNS mengalami peningkatan pada Ravik Karsidi jilid I (2011-2015). Menempati ranking ketiga perguruan tinggi se-Indonesia versi BAN-PT,

Page 6: Buletin civitas 41

FOKUS UTAMA

6 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

UNS hanya tertinggal dari Universitas Gadjah Mada dan Institut Pertanian Bogor, serta menyisihkan nama-nama besar macam Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Lembaga pemeringkatan lain – webometrics – me- nempatkan UNS pada posisi enam se-Indonesia. Perlu diketahui, webometrics adalah sistem pemeringkatan berdasarkan eksistensi laman suatu perguruan tinggi.

“Ravik jilid satu sudah mengantarkan UNS terakredi-tasi A. Empat tahun yang akan datang, kami sudah ada target yang ditunggu oleh semua konstituen dan stakeholder kampus,” kata Ravik. Ia juga berjanji akan melaksanakan seluruh program kerja pada jilid II nanti. Demi mewujudkan UNS yang ‘Bereputasi Internasional

dengan Sinergi dan Akselerasi.’ “Ini menjadi janji saya kepada publik bahwa saya harus mencapai ini (proker-red),” tambah Ravik. DilematisDi kalangan mahasiswa, dilema tersendiri hadir ketika menyaksikan peringkat UNS yang menanjak drastis. Suatu kebanggan, memang, menjadi bagian dari univer-sitas yang berkeinginan memiliki reputasi internasional. Namun, apa yang didapat mahasiswa rasa-rasanya bertolak belakang dengan peringkat UNS saat ini. “Ya, percaya enggak percaya. Karena, kita mahasiswa, kan, yang setiap hari di kampus. Pastinya mengetahui seluk beluk kampus,” tutur Presiden Badan Eksekutif Maha-siswa UNS, Eko Pujianto saat ditanya mengenai prestasi yang dicapai UNS.

Bukannya tanpa cacat, pembangunan yang dilakukan pada Ravik Karsidi jilid I pun belum menyentuh aspek mendasar yang lebih dibutuhkan. Eko menambahkan, mahasiswa juga harus bersikap kritis terhadap berbagai pembangunan tersebut. “Perlu dicermati fasilitas-fasili-tas seperti ruang kelas, laboratorium, toilet, dan lainnya. Seakan-akan, UNS hanya bagus dilihat dari luarnya saja, tapi tidak dari dalam,” tutur Eko mewakili suara maha-siswa.

Pembangunan yang belum merata di seluruh fakultas juga menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. FIB dan FSRD hanya salah satu contoh tidak meratanya pembangunan kampus. Ia pun mengamini jika dikata-kan terjadi kesenjangan pembangunan di UNS.

Reputasi UNS yang meningkat juga tidak lepas dari berbagai kunjungan tokoh nasional. Tercatat beberapa tokoh penting di pemerintahan pernah menginjakkan kaki di kampus “terbaik” kota Solo ini.

Mulai dari mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, hingga Presiden Joko Widodo – yang kala itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pada dies natalis Maret lalu, Ravik juga menghadirkan pebisnis Chairul Tanjung yang dianuge-rahi doktor honoris kausa.

“Pak Ravik ini juga pintar mencari jaringan ke atas, arti-nya ke pemerintahan,” ujar Eko. Menurut Eko, penge-masan UNS yang baik menjadi biang naiknya peringkat

UNS. “Mungkin bisa mendapat akreditasi dan peringkat yang tinggi, karena Pak Ravik bisa membungkus UNS sehingga tampak bagus dari luar,” nilai Eko.

Tingkat kepuasan mahasiswa yang rendah juga terbukti dari hasil survei yang dilakukan bagian Humas UNS pada tahun 2013. Survei yang bertujuan untuk mengu-kur tingkat kepuasan mahasiswa pada sebelas pergu-ruan tinggi di Indonesia tersebut, menempatkan UNS di posisi paling dasar. UNS hanya memperoleh kepuasan sebesar 32,2 % dari rata-rata kepuasan 78,3 %. Bahkan, Universitas Jenderal Soedirman masih memiliki tingkat kepuasan mahasiswa yang lebih tinggi dibanding UNS, yakni sebesar 58,1 %.

Sementara itu, urutan teratas masih ditempati Insti-tut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Brawijaya. Masing-masing dengan tingkat kepuasan 96,7 %; 94,1 %; dan 93,9 %. Poin penting yang menjadi dasar survei tersebut di antaranya: fasilitas gedung prodi, layanan kantor prodi, ruang kuliah prodi, layanan administrasi prodi, perpustakaan, serta tiga kriteria mendasar lainnya.

Melihat rekam jejak Ravik Karsidi selama satu periode, juga pengalamannya menjabat sebagai wakil rektor I, mahasiswa tentu berharap akan terjadi perubahan yang signifikan. Terlebih pada akhir 2015, ASEAN Commu-nity akan segera dimulai. Hal ini tentunya akan menjadi tantangan tersendiri bagi UNS dalam menghadapi persaingan global.[*]

Sebuah ironi memang, mengingat 900 juta telah dihabiskan untuk mempermegah FEB, sementara dua fakultas baru

yang masih butuh sokongan, luput dari perhatian.”

Versus: FEB (kiri) dan FIB (kanan) (Foto-foto: Fajar Andi/LPM Kentingan)

Page 7: Buletin civitas 41

Ilustrasi: Fadhil Ramadhan

Page 8: Buletin civitas 41

8 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

KOLOM

DALAM Journal Marine Policy, sekitar 100 juta ekor hiu terbunuh tiap tahunnya di seluruh dunia. Hiu-hiu ini umumnya ditangkap hanya

untuk diambil siripnya kemudian dilepas kembali ke laut dalam keadaan masih hidup, bersimbah darah, dan tanpa sirip (Gannon, 2013). Kejam bukan?

Bagaimana dengan di Indonesia? Dari sekitar 500 jenis hiu yang ada di dunia, terdapat 124 jenis hiu yang hidup di perairan Indonesia (IUCN, 2012). Sayangnya kekayaan hayati ini tidak dipergunakan secara bijak. Wihardandi (2012) mencatat perburuan hiu di Indonesia meningkat drastis dari tahun 1950 sebanyak 1000 metrik ton men-jadi 117.600 metrik ton pada tahun 2003. Angka yang sangat fantastis mengingat itu baru aksi yang tercatat, belum lagi perburuan yang tidak tercatat.

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan lokasi utama dalam perburuan hiu. Di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Luar, Lombok Timur, NTB, Anda dapat melihat puluhan ikan hiu berjejer rapi tiap harinya. TPI Tan-jung Luar merupakan pusat pelelangan hiu terbesar di Indonesia. Hiu dari hampir seluruh perairan Indonesia dijual di tempat ini. Dari seluruh hiu yang diperjualbeli-kan, sering terdapat pula hiu betina hamil dan hiu usia produktif (Nugraha, 2014).

Menurut investigasi yang dilakukan oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN), pada tanggal 3 Agustus 2014 terlihat puluhan bayi hiu tanpa sirip di Pasar Tengah, Pontianak, Kalimantan Barat. Bayi-bayi ini hanya diam-bil siripnya sementara bangkai tubuhnya yang mulai membusuk ini diobral dengan harga Rp 15.000/kg. Hal ini bertentangan dengan Code of Conduct for Respon-

Makan (Hiu)Bukanlah Jalan

Pernah mendengar soal sup sirip hiu? Sup ini sangat marak beredar karena dianggap bermanfaat bagi kesehatan. China merupakan konsumen utama dari sirip hiu. Walau sup ini dijual sangat mahal, per mangkuk bisa men-capai Rp 950.000, namun ternyata kebutuhan pasar akan sirip hiu terus

meningkat. Lalu dari mana sirip-sirip hiu ini berasal?

Gambar: ocean.si.edu

OLEH: INDIRA NURUL QOMARIAH

Page 9: Buletin civitas 41

9 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

KOLOM

“Sekitar 100 juta ekor hiu terbunuh tiap tahunnya di seluruh dunia. Hiu-hiu ini umumnya ditangkap

hanya untuk diambil siripnya kemudian dilepas kembali ke laut dalam keadaan masih hidup, ber-

simbah darah, dan tanpa sirip”

sible Fisheries yang dikeluarkan oleh FAO dimana telah diwajibkan bahwa ikan yang ditangkap haruslah yang sudah memijah (bereproduksi). Artinya penangkapan ikan yang masih bayi tidak diperbolehkan. Lalu me-ngapa bayi-bayi ini ditangkap? Ternyata menemu-kan hiu yang dewasa saat ini sudah sangat sulit. Hiu de-wasa mulai habis di perairan Indonesia. Alhasil bayinya pun ikut diburu (Fachrizal, 2013).

Perburuan lumba-lumba juga menjadi marak mengikuti perburuan hiu yang mulai langka. Hiu sangat tertarik dengan darah lumba-lumba. Lumba-lumba yang tertangkap oleh nelayan akan dibantai. Darah hewan malang ini akan menarik hiu sehingga hiu yang mulai sulit dicari ini akan datang mendekat.

Lalu apa dampak dari eksploitasi hiu? Hiu adalah preda-tor teratas di lautan. Artinya hiu merupakan spesies kunci penyeimbang ekosistem. Hiu hanya memakan ikan-ikan yang lemah dan sakit, yang tidak sanggup menghindar darinya. Hal ini menyebabkan ikan-ikan yang berhasil hidup merupakan ikan yang kuat dan tangguh sehingga anak cucu keturunan ikan ini juga akan memiliki kualitas gen yang baik. Jika hiu hilang dari lautan, bukan tidak mungkin bahwa dalam waktu dekat kita tidak akan bisa lagi memakan ikan laut karena punahnya hiu akan ber-dampak pada punahnya spesies lain dalam jaring makanan di laut.

SOLUSIApa solusi yang bisa dilakukan? Hiu, pari manta, dan lumba-lumba sangat berpotensi untuk dijadikan ekowisata, seperti yang dilakukan oleh Misool Eco Resort di Raja Ampat yang meraup untung sekitar 150 miliar rupiah per tahun dari wisata berenang bersama hiu dan pari manta (Mason, 2014).

Menurut penelitian British Columbia University, wisata berenang bersama hiu hidup memberikan keuntungan sebesar 300 juta dollar per tahun dan akan terus meningkat tiap tahunnya, sedangkan nilai perdagangan hiu mati hanya sebesar 600.000 dollar per tahun dan akan terus menurun akibat populasi hiu yang semakin langka.

Ekowisata hiu menghasilkan tak kurang dari 314 juta dollar dan berpotensi menjadi 789 juta dollar dalam dua puluh tahun mendatang. Di Karibia, perikanan hiu ini memberikan pekerjaan bagi 5.000 orang dan meraih keuntungan 124 juta dollar, sementara di Australia dan Selandia Baru, ekowisata hiu mengundang 29.000 wisatawan dan berhasil mendapatkan sekitar 40 juta dollar per tahun (Cisneros-Montemayor et al., 2013).

Salah satu penelitian dalam artikel PloS One menyebut-kan seekor pari manta bernilai 10 miliar rupiah dalam keadaan hidup karena banyak orang ingin berenang bersamanya sedangkan harga seekor ikan pari manta

mati hanya sekitar 400 ribu hingga 5 juta rupiah. Dengan konsep ecotourism, nelayan yang tadinya berburu hiu bisa mendapat nafkah dengan cara me-nyewakan perahunya atau menjadi guide untuk para wisatawan. Warga sekitar juga bisa membuka rumah makan, toko suvenir, dan menyewakan rumah atau penginapan di sekitar lokasi.

Pemerintah harus menindak tegas nelayan yang melampaui batas dalam berburu hiu. Harus ada petugas yang berjaga di perairan Indonesia untuk bertindak jika terjadi overfishing. Pemerintah juga harus tegas dengan maskapai dan kapal pengangkut ikan. Jika maskapai atau kapal ini mengangkut hiu, maka akan dicabut ijin operasinya. Hilangnya keanekaragaman hayati selain berdampak pada ekosistem juga akan membuat citra buruk Indonesia di mata dunia. Kita sudah kehilangan harimau jawa dan harimau bali karena perburuan, jangan sampai anak cucu kita nantinya tidak bisa meli-hat hiu juga karena perburuan yang berlebihan.

Lalu, menurut saya yang paling bertanggung jawab dalam seluruh kekejaman ini adalah para konsumen. Jika tidak ada kalian yang memakan sirip hiu, maka tidak harus ada jutaan hiu dan lumba-lumba yang mati mengenaskan. Kalian telah memakan masa depan laut

dunia.

Demi kerakusan kalian, alam harus menanggung ba-hayanya. Penelitian menye-butkan bahwa gizi yang ter-dapat dalam sirip hiu sama dengan gizi yang terdapat dalam cakar ayam. 100 gram cakar ayam juga mengan-dung kartilago, kondroitin,

glukosamin, dan kolagen yang setara dengan 100 gram sirip hiu (Pramudiarja, 2011). Jadi, konsumen dapat beralih mengonsumsi sup cakar ayam yang bahan baku-nya dapat diternak dibanding sup sirip hiu yang bahan bakunya tidak dapat ditangkarkan.

Ingat, spesies yang telah punah tidak akan bisa kembali lagi. Jadilah konsumen yang cerdas. Jangan mengon-sumsi makanan yang mengandung kekerasan dan keke-jaman dalam prosesnya. Your plate = your planet! [*]

Tentang Penulis:Penulis adalah mahasiswa Biologi FMIPA UNS. Saat ini menjabat sebagai presiden Kelompok Studi Bioteknolo-gi FMIPA UNS dan aktif sebagai volunteer of education

and awareness LSM Centre for Orangutan Protection (COP). Alumnus US Exchange pada workshop Young South East Asian Leader Innitiative (YSEALI) Genera-

tion EARTH bulan April lalu. Saat ini bersama lima sahabatnya dari Kamboja, Myanmar, Fillipina, Laos, dan

Malaysia membentuk tim The Greennovators yang se-dang merencanakan proyek untuk mengurangi sampah

makanan di 6 negara ASEAN.

Page 10: Buletin civitas 41

KILAS KITA

RAVIK KARSIDI JILID II:

MESKI telah menjabat selama lima tahun, tidak berarti semua mahasiswa mengenal figur sang rektor itu. Hampir setengah dari total responden mengaku tidak mengenal figur Ravik

sebagai rektor UNS pada periode pertamanya.

Selama periode 2011-2015, UNS memiliki budaya kerja ACTIVE. Budaya kerja yang diperkenalkan oleh Ravik Karsidi tersebut merupakan akro-nim dari Achievement orientation, Customer satisfaction, Team work, Integrity, Visionary, dan Enterpreneurship. Dalam hal ini mahasiswa me-nilai budaya Achievement orientation-lah yang paling berhasil dicapai pada periode lalu.

Achievement orientation merupakan budaya kerja UNS yang berorienta-si pada prestasi. Ravik berhasil membawa UNS meraih peringkat ketiga versi BAN-PT, mendapat akreditasi A dari BAN-PT, peringkat keempat versi 4ICU, serta peringkat keenam versi Webometrics dalam lima tahun pertamanya.

Prestasi-prestasi tersebut tentu berdampak pada citra UNS di mata civitas akademika. Ini terbukti dengan 74 persen responden yang menganggap Ravik telah berhasil membawa UNS agar dapat bersa-ing dengan perguruan tinggi lain di Indonesia, terlebih dalam bidang prestasi akademis.

Berbanding terbalik dengan prestasi akademis, fasilitas kampus menjadi hal yang masih banyak dikeluhkan. Sebanyak 44 persen responden menganggap UNS memiliki fasilitas yang biasa saja. Mahasiswa meng-kritisi perlunya perbaikan dan peningkatan beberapa fasilitas terutama di kampus wilayah. Beberapa mahasiswa kampus wilayah mengeluhkan adanya kesenjangan fasilitas antara kampusnya jika dibandingkan dengan kampus pusat. Rektor UNS dirasa kurang memerhatikan kampus wilayah sehingga terjadi kesenjangan fasilitas tersebut. Kondisi kampus pusat pun sebenarnya tidak jauh berbeda.

Banyak mahasiswa mengeluh soal fasilitas yang seharusnya menun-jang aktivitas belajar mereka. Fasilitas fisik seperti ruang kelas masih memiliki jumlah kursi yang kurang memadai, ditambah dengan masalah LCD, Proyektor, dan AC, yang membuat proses belajar mengajar tidak berjalan secara maksimal.

10 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

UNS MASIH PERLU PERBAIKANSidang pleno senat tertutup memenangkan Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. sebagai pemimpin (rektor -red) UNS periode 2015-2019. Ia terpilih setelah berhasil mengantongi 78 persen suara dan menyisihkan dua calon lainnya dalam pemilihan calon rektor pada Januari lalu. Ravik Karsidi kem-bali menduduki jabatan sebagai rektor UNS untuk periode 2015 – 2019 setelah memimpin pada periode 2011-2015.

OLEH: TIM LITBANG LPM KENTINGAN UNS

Penambahan literatur baik di perpustakaan fakultas maupun pusat juga dirasa perlu untuk dilakukan guna menunjang pembela-jaran, baik itu pembelajaran saat jam kuliah, buku bacaan, atau belajar mandiri. Di lain sisi, mahasiswa juga menginginkan adanya perluasan dan peningkatan jaringan internet (wifi) di kampus yang dirasa masih kurang baik.

Meskipun dari segi fasilitas dinilai biasa saja, namun mahasiswa memberikan apresiasi yang cukup baik terhadap kinerja Ravik pada periode lalu. Dari rentang nilai 0-100, 41 persen responden memberikan

Grafik: Fajar Andi/LPM Kentingan

Page 11: Buletin civitas 41

KILAS KITA

11 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

penilaian terhadap Ravik pada kisaran 61-80. Hanya 6 persen responden yang memberikan penilaian pada kisaran 81-100. Selain itu, Ravik juga dinilai sebagai pribadi yang ramah dan mudah ditemui oleh maha-siswa.

Ravik sekali lagi diharapkan dapat membawa UNS menjadi universitas yang lebih baik. Tak hanya dari segi prestasi, tetapi juga fasilitas, dan pelayanan birokrasi. Beberapa pembenahan juga diharapkan oleh maha-siswa terhadap kinerja Ravik untuk periode selanjut-nya, seperti transparansi anggaran, sistem penilaian pembelajaran, serta peningkatan kualitas dosen. Terkait dengan kebijakan baru, mahasiswa menginginkan sistem UKD tetap dilaksanakan. Mereka menolak diber-

lakukannya UTS dan UAS di UNS. Lazimnya masa pemerintahan yang baru, harapan kembali digantungkan untuk Ravik Karsidi di masa kepemimpinan jilid keduanya ini. Semoga Ravik dapat terus membawa UNS agar mampu bersaing dengan universitas lain di Indonesia sehingga UNS dapat dikenal di kancah nasional maupun internasional. Seperti jargon UNS BISA, yang benar-benar bisa bereputasi interna-sional dengan sinergi dan akselerasi.[*]

Penelitian dilakukan pada tanggal 12 s.d. 24 April 2015. Responden adalah 160 mahasiswa UNS aktif. Tingkat keper-

cayaan penelitian sebesar 95%. Teknik sampling menggunakan cara random sampling. Sampling error 1,04%. Penelitian tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh civitas akademika UNS.

Page 12: Buletin civitas 41

Wayang Orang Menantang Zaman

Solo adalah kota budaya yang tidak hanya memberi suguhan aneka jenis kuliner tradisional dan batik yang telah mendunia saja. Di sini, ada sebuah

warisan budaya turun temurun sejak zaman kesultanan Hamengku Bu-wono I (1895), sebuah seni pertunjukan khas yang mengangkat cerita

Mahabarata dan Ramayana.

DULU, kesenian ini hanya bisa dinikmati di ling-kungan keraton saja. Namun, sejak kesultanan pecah menjadi kesultanan dan kasunanan,

akhirnya, tahun 1911 kesenian dengan nama Wayang Orang ini bisa dinikmati oleh umum dan menjadi hiburan murah meriah bagi masyarakat.

Wayang Orang kini tidak begitu popular di kalangan warga Solo sendiri. Penikmat kesenian yang syarat akan makna kehidupan ini rata-rata adalah mereka yang telah berumur tak lagi muda. Untuk memopulerkan kembali Wayang Orang, personil Wayang Orang memiliki ide kreatif dengan mempromosikan pertunjukan ini melalui

BIDIK

internet. Mereka sadar bahwa tidak mungkin hanya mengandalkan promosi melalui selebaran, karnaval, dan cerita orang dari mulut ke mulut seperti promosi sebe-lum majunya teknologi.

Selain itu, regenerasi pemain yang berkualitas secara visual, inovasi dalam hal pembuatan isi cerita pertunjukan dan kualitas dalam bermain merupakan usaha yang menjadi prioritas utama. Dengan promosi ini diharapkan masyrakat tahu dan tertarik untuk menyak-sikan seni pertunjukan Wayang Orang sebagai langkah ikut andil dalam melestarikan budaya Jawa, Solo. Du-kungan penuh dari pemerintah kota Solo menjadi angin

Page 13: Buletin civitas 41

Dunia pendidikan pun harus mengajarkan anak didiknya untuk mencintai budayanya sendiri dan ikut andil meles-

tarikannya. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi?”

Foto: Tim foto LPM KentinganTeks: Farida Khoirunnisa

segar bagi para pemain Wayang Orang dan penikmat seni tradisional. Sebab, tanpa adanya dukungan dari pemerintah, hiburan yang menghadirkan suasana tempo dulu sulit untuk bertahan dan berkembang diterjang persaingan hiburan modern yang banyak dinikmati oleh kaum muda. “Ini merupakan PR bagi bangsa. Tidak hanya bagi para seniman, akan tetapi seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah untuk menjaga dan melestarikan budaya warisan nenek mo-yang. Dunia pendidikan pun harus mengajarkan anak didiknya untuk mencintai budayanya sendiri dan ikut andil melestarikannya. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi?” Kata pengelola Wayang Orang Sriwedari, Agus, saat diwawancara.[*]

Page 14: Buletin civitas 41

SAKING pentingnya masalah penelitian tersebut, UNS mendiri-kan sebuah lembaga khusus yang diharapkan menjadi tulang punggung kegiatan penelitian yang ada di UNS. Ia diberi nama

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Selain itu, LPPM juga diharapkan menjadi pusat pengembangan ilmu, teknologi, dan seni yang unggul di tingkat internasional dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur budaya nasional.

LPPM UNS terbentuk dari penggabungan Lembaga Penelitian (Lemlit) dan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM). Berdasarkan surat kepu-tusan rektor No. 649A/J.27/KP/2004 tentang pembentukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNS, maka sidang senat pada 30 Oktober 2004 akhirnya membentuk LPPM.

Lembaga itu memiliki fungsi yang strategis untuk menjadikan UNS menjadi universitas berbasis riset dengan mengerahkan segala potensi kampus untuk menjadi yang terbaik. “Untuk menuju universitas yang unggul, maka LPPM UNS berupaya menjadi lembaga unggul, terper-caya, dan mandiri di bidang peneltian dan pengabdian masyarakat khususnya pada pengembangan dan pemanfaatan IPTEKS dan Kebu-dayaan,” terang ketua LPPM UNS, Darsono.

Darsono menyatakan bahwa UNS menjadi salah satu pusat pengem-bangan universitas berbasis riset mandiri perguruan tinggi. “UNS ada-lah satu di antara 12 universitas yang mengelola riset dengan status Universitas Riset Mandiri yang mendapatkan penghargaaan bintang 3,5,” kata Darsono kepada Civitas saat ditemui di kantornya Selasa (16/04).

Penelitian demi penelitian terus dilakukan untuk memperbaiki pering-kat kampus. Pada akhir 2013, LPPM UNS telah menghasilkan sebanyak 1343 artikel dari para peneliti dan pengabdi. Angka tersebut terdiri dari 495 artikel terpublikasi dijurnal ber-ISSN, 84 artikel terbit di jurnal nasional terakreditasi, 156 artikel terpublikasi di jurnal internasional, serta 185 artikel terindeks scopus. Angka tersebut meningkat lagi

14 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Kehidupan kampus tidak bisa dilepaskan dari bu-

daya kerja ilmiah. Maka, tidak mengherankan jika

penelitian merupakan salah satu tugas yang

diemban Universitas Sebe-las Maret (UNS) dalam tri darma perguruan tinggi.

Penelitian dianggap men-jadi poin yang penting un-

tuk membangun kualitas universitas di dalam pe-

meringkatan kampus, baik tingkat nasional maupun

internasional.

Foto

-foto

: Faj

ar A

ndi/L

PM K

entin

gan

Kemana Penelitian Berbintang 3,5?OLEH: M. ZUDIN

KAMPUSIANA

Page 15: Buletin civitas 41

selama 2014. Ada 1.949 proposal penelitian yang diusulkan. Tetapi, yang diterima hanya 782 proposal. Artinya hanya 40 persen yang diterima dari total yang diusulkan.

“Tahun 2013, kendati yang diusulkan lebih sedikit, 1.523 proposal penelitian, namun tercatat ada 844 proposal yang berhasil diterima. Artinya ada 55 persen penelitian yang diterima,” ungkap ketua LPPM yang kini telah diangkat menjadi Wakil Rektor III tersebut. “Pada tahun 2015 UNS menargetkan sebanyak 600 jurnal ilmiah,” tambahnya.

Target ini cukup realisitis mengingat sejak berlaku-nya sistem remunerasi, dosen diwajibkan melakukan penelitian untuk meningkatkan insentif honor mereka yang dihitung sesuai kinerja dosen. Melalui sistem tersebut para dosen diharapkan semakin getol dalam penelitian dan membuat jurnal ilmiah. “Tahun lalu atas pengelolaan itu (remunerasi-red) tingkat partisipasi dosen sangat tinggi. Dari 1682 dosen hampir selu-ruhnya dan hampir 100% dengan berbasis grup riset,” jelas Darsono.

Minim PublikasiMeskipun angka-angka yang disebutkan di sana cukup banyak, namun geliat penelitian di UNS terlihat tenang-tenang saja. Jika kita berjalan dari bulevar UNS menuju arah gedung rektorat, di sisi sebelah kiri kita akan menemukan gedung LPPM UNS.

Suasananya sepi sekali. Jauh lebih sepi katimbang perpustakaan pusat yang terletak di belakang audito-rium. Fakta ini membuktikan bahwa LPPM UNS belum menjadi tempat rujukan bagi civitas akademika untuk mencari referensi tentang penelitian-penelitian yang dihasilkan UNS.

Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa dana penelitian itu besar sekali. Pada 2014, dana yang diper-oleh LPPM UNS mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Dana Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P2M) pada tahun tersebut sebanyak Rp65 milyar. Dana itu dapat dirinci lagi menjadi biaya operasional

kepada perguruan tinggi negeri (BO-PTN) Rp7 mil-yar, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang batas maksimum pencairannya sebesar Rp18,4 milyar, dana Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dinas Pendidikan Tinggi (DP2M Dikti) sebesar Rp10,6 milyar, non-DP2M Dikti Rp3 milyar, dan dana kerja sama mencapai Rp26 milyar. Di tahun 2015 ini, dana yang dikelola LPPM UNS mencapai sekitar Rp60-80 milyar.

“Dengan begitu banyaknya dana yang diberikan, jurnal ilmiah yang dihasilkan tidak sebanding dengan jumlah dosen UNS. Dosen menghasilkan sedikit sekali jurnal yang terpublikasi dalam skala internasional. Dari seluruh dosen yang berjumlah 1682 hampir semuanya berpartisipasi dalam pembuatan proposal penelitian. Namun cuma 185 artikel yang terindeks scopus,“ terang Darsono sedikit menyesalkan.

Di sisi lain, ada hal lain yang perlu disesalkan, yaitu minimnya publikasi jurnal-jurnal maupun artikel hasil penelitian tersebut bagi civitas academica UNS. Ma-hasiswa merasa kesulitan untuk memperoleh publikasi hasil penelitian tersebut, khususnya yang berbentuk cetak.

Padahal jumlah dana sebesar itu dinilai cukup untuk membuat publikasi secara masif. Apalagi UNS juga memiliki UNS Press yang dapat bergerak dalam bidang penerbitan dan percetakan kampus. Jika dibandingkan dengan penerbitan di luar kampus, tentu keberadaan UNS Press sangat membantu meringankan biaya cetak publikasi hasil penelitian tersebut.

Sayang, pihak UNS Press sendiri mengaku tidak ter-integrasi secara baik dengan LPPM UNS yang banyak mempublikasikan jurnal dan penelitian. “Hubungan kami (UNS Press-red) dengan LPPM UNS sendiri tidak begitu erat dalam publikasi hasil penelitian dan jurnal,” papar ketua UNS Press, Bambang Prawiro.

Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi pusat kegiatan penelitian, berbagai harapan pun disampaikan mahasiswa untuk LPPM UNS. “Mahasiswa sendiri memi-liki ide-ide bagus untuk dikembangkan dan sampai pada pendayagunaan. Namun mahasiswa sendiri tidak mendapat fasilitas tersebut,” ujar mahasiswa Sosiologi FISIP UNS, Muhammad Kevin.

Harapan yang hampir sama juga diutarakan mahasiswa Fisika FMIPA UNS, Arum Sekar. Arum berharap LPPM UNS bisa memberi pendampingan mahasiswa dalam riset untuk meningkatkan keilmuan mereka. “Agar ma-hasiswa tidak hanya begini-begini saja, biar mahasiswa juga bisa meneliti dan merasakan ilmu lebih banyak dari yang kita pelajari di kelas,” terang Arum.[*]

“Fakta ini membuktikan bahwa LPPM UNS belum menjadi tempat rujukan bagi civitas akademika untuk mencari referensi

tentang penelitian-penelitian yang dihasilkan UNS.”

KAMPUSIANA

15 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Page 16: Buletin civitas 41

CIVITAS akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), tentu tidak asing dengan sosok Ravik Karsidi. Ia adalah Rektor UNS periode

2011-2015. Kini, sekali lagi Ravik menjabat posisi Rektor UNS untuk periode 2015-2019 setelah dianggap sukses membawa banyak kemajuan bagi UNS, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Berita yang lebih menggembirakan, Ravik merupakan “asli” lulusan UNS. Sampai saat ini, ia satu-satunya lulusan UNS yang berhasil menjabat sebagai rektor di almamaternya.

Sejak menempuh pendidikan di bangku Sekolah Me-nengah Atas (SMA), Ravik sudah aktif mengikuti berba-gai kegiatan, baik ekstrakurikuler maupun ekstrauniver-sitaire, seperti OSIS. Tidak hanya di sekolah saja, ia juga aktif mengikuti organisasi di luar sekolah, seperti Pelajar Islam Indonesia (PII). Kepiawaian berorganisasi yang telah dipraktikkan sejak SMA, mengantarkan laki-laki kelahiran 55 tahun lalu itu menuju berbagai organisasi kemahasiswaan.

Tak sedikit pengalaman yang dialami Ravik semasa menjadi mahasiswa UNS hingga berhasil lulus dengan

gelar Sarjana. Berbagai jabatan sebagai pemimpin or-ganisasi, pernah ia sandang. Ketika itu, ia pernah men-jadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), yang sekarang dikenal sebagai Dewan Mahasiswa (Dema). Organisasi ini merupakan pemegang otoritas tertinggi dari semua organisasi kemahasiswaan.

Bersama organisasi bernama Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), ia menjalankan pergerakan ma-hasiswa saat itu. Ravik juga pernah menjabat sebagai Ketua MPM Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS.

Tak heran bila banyak aktivitas kemahasiswaannya yang mampu menembus hingga tingkat nasional. Dari segi profesi, dirinya pernah menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Ortopedagogik Indonesia. Berkat berbagai pencapaian yang dilakukannya, ia mendapat peng-hargaan dari pendiri Ikatan Senat Mahasiswa Sejenis (ISMS) pada waktu itu.

Rektor yang pernah mendapatkan penghargaan “Satya Lencana Pembangunan” bidang koperasi dari mantan

rAVIK KARSIDI DAN DEMONSTRASI

Meski terkesan klise, memang benar adanya bahwa proses hidup manusia itu tidak ada yang instan. Ia harus melalui

sebuah proses yang panjang.

PROFIL

16 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Foto

: Faj

ar A

ndi/L

PM K

entin

gan

OLEH: CITRA AGUSTA PUTRI ANASTASIA

Page 17: Buletin civitas 41

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, tersebut mengungkapkan bahwa ia pernah berada dalam posisi transisi masa yang sulit ketika masih menjadi mahasiswa. Represi oleh pemerintah yang diwujudkan dalam Normalisasi Kehidupan Kam-pus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) telah membatasi ruang gerak mahasiswa.

Peraturan pemerintah yang sangat ketat telah mem-persempit hak-hak mahasiswa dalam bersuara dan beraktivitas. Namun, hal tersebut tak berpengaruh bagi mantan Ketua Badan Koordinasi Jawa Tengah-DIY itu. Ia tetap menunjukkan eksistensinya dalam organisasi kemahasiswaan maupun kegiatan akademis.

Sering DemoRavik mengatakan, sebagai aktivis yang aktif ketika menjadi mahasiswa, ia seringkali mengikuti berbagai demo mahasiswa, tetapi yang bersifat makro. Demo da-lam arti makro adalah demo kepada suatu permasala-han yang memiliki orientasi yang lebih luas, seperti demo kepada pemerintah mengenai kebijakan maupun persoalan negara yang harus segera dibenahi dan diselesaikan. Pada waktu itu, ia mengikuti demo kasus Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) yang pernah terjadi di Indonesia.

Menurutnya, persoalan mikro seperti kebijakan kampus yang diterapkan oleh rektor pada kala itu lebih banyak dicurahkan kepada bagaimana berkonsultasi dan

memberi masukan kepada pelaku dan objek kebijakan tersebut secara kekeluargaan, seperti musyawarah dan penyelesaian solusi dengan cara yang lebih bijak. Ba-ginya, mahasiswa dan rektor dianalogikan sebagai anak dan bapak, saling menyampaikan masukan satu sama lain dengan sebaik-baiknya.

“Demo bukan hal yang utama dan tidak bisa tersolusi. Paling, Anda demo kemudian dimuat di koran, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Nah, itu yang menurut saya tidak strategis. Demo, ya, melakukan demo pada pusatnya, kira-kira persoalan negara ini apa? Struk-tur kekuasaan negara yang sangat represif itu yang harusnya ditentang. Di luar negeri demokrasi sudah dikembangkan, tetapi di sini represi militer semakin menjadi-jadi. Orientasi umum yang perlu dipikirkan, jangan mikro yang selalu dikritik. Orientasi makro jauh lebih bermanfaat dan ja-ringannya menjadi luas,” jelas mantan Pembantu Rektor I UNS periode 2007-2011 itu.

Posisi Ravik Karsidi yang berada di puncak struktur pejabat kampus, membuat setiap kebijakan yang ia buat selalu mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk mahasiswa. Apalagi jika kebijakan itu dinilai merugikan atau memberatkan, seperti kebijakan sistem

Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mulai diberlakukan tahun 2012. Namun yang dianggap memberatkan dan terdapat banyak kesalahan adalah UKT 2014. Akibat kebijakan ini, pada 27 November 2014, ratusan mahasiswa di bawah koordinasi BEM UNS melakukan demonstrasi di depan gedung Rektorat.

Rentetan aksi mahasiswa tersebut membuat citra Ravik Karsidi mendapatkan tanggapan dari mahasiswa. Se-perti yang diungkapkan Menko Internal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UNS), Tri Wahyu Purnama, Ravik ber-sikap kontradiktif terhadap apa yang telah dijanjikannya kepada para mahasiswa pascademonstrasi tersebut.

Sampai sekarang tuntutan mahasiswa tersebut juga be-lum dijalankan sepenuhnya oleh Ravik. “Pak Ravik tidak pernah ‘turun’ untuk audiensi dan menemui mahasiswa ketika aksi mahasiswa mengenai UKT tersebut ber-langsung, seperti yang pernah terjadi tahun 2012 lalu, sehingga, Ravik terkesan menghindari para mahasiswa. Hanya para Pembantu Rektor yang mau menemui para mahasiswa pada saat terjadi aksi.

Untuk kali pertama, di tahun 2014 silam, Ravik akhirnya mau menemui para mahasiswa ketika pascademonstrasi UKT tersebut dengan mengajak para pemimpin BEM tiap fakultas untuk berdiskusi bersama dan merumus-kan atau membuat kesepakatan agar tidak terulang lagi aksi yang sama,” ungkap Tri.

“Pak Ravik menyesalkan adanya aksi mahasiswa kemarin (demo UKT 2014-red). Hal itu ditakutkan men-coreng nama baik UNS yang katanya sudah memiliki standardisasi A dan memiliki berbagai penghargaan. Aksi kemarin memang diliput media, sehingga Pak Ravik meminta untuk lebih baik diskusi bersama dari-pada membawa nama UNS ke depannya menjadi jelek,” tambahnya.

Puluhan tahun berlalu, sejak menjadi mahasiswa yang aktif berdemonstrasi hingga ketika Ravik menjabat sebagai Rektor UNS untuk kedua kalinya, pandangan Ravik tentang demonstrasi mahasiswa tetap sama: rek-tor dan mahasiswa adalah bapak dan anak, sehingga permasalahan yang ada bisa diselesaikan dengan cara duduk bersama (musyawarah).

Menanggapi demo UKT 2014, Ravik Karsidi menga-takan bahwa hal tersebut sangat mikro. Rektor hanya menjadi pelaku dan menjadi obyek dari kebijakan. “Saya tidak alergi dengan demo. Saran saya, coba ambil hal-hal yang sifatnya lebih pada kebijakan makro yang kemudian bisa mempengaruhi segala sesuatu di negara ini,” ujar lelaki kelahiran Sragen tersebut. [*]

...pandangan Ravik tentang demonstrasi mahasiswa tetap sama: rektor dan ma-hasiswa adalah bapak dan anak, sehingga permasalahan yang ada bisa diselesaikan

dengan cara duduk bersama (musyawarah).”

PROFIL

17 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Page 18: Buletin civitas 41

LELAKI tua itu bertelanjang dada, tampak bulunya yang keriting saling bertaut. Kain yang ia kenakan dipelintir di bagian pangkal agar kencang. Lelaki

itu duduk di sampingku. Aku gelisah. Nuraniku ber-kata ia bukanlah orang baik-baik. Sesekali, ia berdesis dan bertepuk tangan. Dalam waktu yang cukup lama, ia diam. Matahari hampir tenggelam di perbukitan, akhirnya ia mulai buka suara, nada baritonnya mem-buatku bergidik.

“Sebuah anak hidup puluhan tahun yang lalu. Kalau kau bertanya kenapa kusematkan kata ‘sebuah’, mungkin akan kaudapati jawabnya nanti. Kausimak saja baik-baik ceritaku. Cerita asli, tanpa kukarang sedikit pun. Cerita yang terkenal tapi hanya dipercayai oleh secuil populasi manusia saja. Mereka lebih percaya pada jargon calon wakil rakyat ketimbang cerita ini.”

Aku membetulkan cara duduk dan memandang lelaki tua itu. Ia tampak serius, wajahnya pasai dan kepalanya mendongak menatap langit.

“Dahulu, termahsyurlah anak yang bernama Abjad. Bukan karena ia seorang penemu atau orang terkaya di negaranya. Ia bukan penyanyi bersuara emas bukan juga pemikir besar. Ia terkenal karena namanya yang unik, Abcd Efgh Ijkl Mnop Qrst Uvwx Yz. Demi menye-lamatkan kaidah bahasa, si anak ingin dipanggil Abjad. Pada usia kesebelas, ia mulai gelisah karena ejekan teman-temannya yang memanggilnya ‘Buta Huruf’, padahal ia bisa baca-tulis. Abjad memberanikan diri bertanya pada orang tuanya. Sebelum-sebelumnya kegelisahannya datang dari ketakutan akan kemarahan kedua orang tuanya atas pertanyaannya. Sedari kecil, saat ia bertanya pada orang tuanya, mereka tak pernah menjawab. Sesekali diam, tapi lebih sering marah dan menyuruh Abjad untuk bungkam dan mencari pengeta-huan di perpustakaan kota atau bertanya pada gurunya yang lebih hebat. Orang tuanya tak peduli dan tak mau tahu tentang kata-kata seperti ‘apa’ dan ‘bagaimana’, atau kata-kata lain yang membutuhkan tanda tanya.”

Aku mulai terbawa. Aku merasa ada hal yang harus aku temukan dalam cerita itu. Hal yang rumit untuk kujelas-kan bahkan pada diriku sendiri.

Lelaki tua itu mendongeng lagi. “Abjad bertanya pada ibunya, ‘Mengapa Ibu menamai aku huruf-huruf yang nantinya kupelajari juga?’ Saat itu, ibunya bergeming sejenak, lalu memegang bahu Abjad keras, ditatap anaknya itu seraya berkata, ‘Kautumbuhlah dulu sampai empat puluh tahun, lalu, datanglah kembali pada orang tuamu, bertanya lagi perihal namamu. Kauakan menjadi orang besar. Orang besar tidak melulu harus tenar dan banyak uang. Kauakan kembali, ibu percaya. Satu-satunya harapan ibu dan ayahmu adalah kelak saat kaumenjadi besar, kaukembali.

“Abjad termenung. Ia hanya diam tak bisa berkata. Hatinya jengkel karena perkataan ibunya yang repetitif serta kabar tentang penantiannya yang sangat lama. Bayangkan, Abjad harus menunggu dua puluh sembilan tahun untuk mengetahui arti di balik namanya. Itu pun dengan menyampingkan kemungkinan di antara me-reka bertiga belum ada yang meninggal.”

“Apakah di antara mereka bertiga nantinya ada yang meninggal?”

Lelaki tua itu menatapku. Bola matanya menyembul sedikit dari rimba alisnya, “Kalau tidak kuberitahu, mungkin ini akan terlihat seperti sinetron yang sok misterius. Jadi akan kuberitahu, nantinya mereka ber-tiga meninggal. Mereka bertiga meninggal!” ucapnya dengan nada tinggi.

Aku menggeser mundur dudukku. Aku tidak menyang-ka kalau ia telah menceritakan hal yang seharusnya tetap dijaga, agar aku senantiasa tetap menyimaknya. Saat aku ingin berucap lagi, lelaki tua itu memotong dengan tawa meledak-ledak, “Semua orang pasti me-ninggal kan?”

Ia puas sekali dengan lelucon garingnya itu, sementara satu daun jatuh di kepalaku. Ia kembali bercerita. Kali ini, ekspresinya datar dan tawanya sudah surut.

“Selepas masa sekolah, Abjad merantau ke ibu kota untuk melanjutkan studi. Di sana, ia bertemu banyak orang baru. Minatnya pada buku dan hal-hal yang mengandung unsur cerita, terutama fiksi mulai tumbuh. Mungkin, karena kebiasaannya sejak kecil yang terus

Riwayat

Cerita ini kudapat beberapa tahun lalu saat aku berada di Andalusia. Saat aku se-dang nikmat-nikmatnya berjemur di bawah matahari beralaskan daun-daun yang

terbang jauh dari pohonnya, aku kedatangan seorang lelaki tua berjenggot pan-jang, matanya hampir hi-lang ditelan rimbunan alis yang putih seperti rambutnya.

GALERI

18 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Oleh: AesnaAbcd Efgh Ijkl Mnop Qrst Uvwx Yz

Page 19: Buletin civitas 41

berkunjung ke perpustakaan. Hal itu membuat Abjad sangat bersahabat dengan tempat itu. Ia betah duduk di kursi dengan bacaan setumpuk. Jika sewaktu sekolah dasar ia suka membaca dongeng bergambar, sekarang ia mulai tertarik pada genre bacaan yang lebih luas.

“Sesekali ia menulis, dan setiap cerita yang ia tulis, sam-pai di editor yang sering kali menolak tulisannya. Abjad bangga bukan main saat tulisannya dimuat di koran lokal. Hanya saja, ia selalu merasa ganjil dengan nama pena yang dibuatnya, Anonim.”

“Hasrat pamer memang memuncak di masa muda. Dengan bangga Abjad menunjukkan karyanya pada te-man-temannya. Mereka memuji dan mendaulat Abjad

kelak akan menjadi seorang penulis hebat dan namanya akan masy-hur sampai

pelosok dunia. Sama seperti editor yang menerima karyanya, pertanyaan teman-teman Abjad tidak jauh dari seputar nama penanya. Abjad hanya menjawab kalau nama aslinya terlalu panjang dan membosankan. Tentu, teman-temannya menyayangkan, mereka men-ganggap Abjad memiliki nama unik dan brbeda dengan siapa pun di bumi ini.

“Abjad sampai di puncak karier saat umurnya mendeka-ti tiga puluh. Saat itu ia menerbitkan novel perdana yang meledak dengan penjualan gemilang mencapai lima belas ribu eksemplar di hari perdana. Ia mendapat telepon dari kakeknya, sang kakek mengabarkan kalau orang tuanya meninggal karena dibunuh oleh seorang yang tidak dikenal.

“Abjad terkejut dan langsung membeli tiket pulang. Ia tinggalkan semua permintaan tanda tangan dan kesempatan menjadi pembicara. Ia ingin meminta pen-jelasan pada kakeknya, mengenai pertanyaan lamanya yang ia tunggu-tunggu.”

Aku menelan ludah, matahari tenggelam dan cuaca semakin dingin. Aku menanti si lelaki tua berkata lagi, sudah semenit ia membisu. Tiga menit. Lima menit. Aku tidak tahan lagi, ketidaksabaranku makin meninggi, “Apakah ceritanya berhenti sampai situ?”

Lelaki tua itu kembali menatapku dan bertanya dengan nada enteng, “Kautertarik juga rupanya?”

“Abjad menemui kakeknya, ia hanya butuh satu menit untuk bicara, ‘Kek, bisa kaujelaskan mengenai kema-tian orang tuaku dan alasan kenapa mereka mena-maiku?’ Sang kakek menjelaskan panjang lebar alasan mereka menamai Abjad berupa deretan huruf-huruf. Orang tua Abjad sebenarnya manusia yang kafir huruf dan bodoh serta mudah dibodohi. Mereka berdua tidak pernah menjawab pertanyaan Abjad karena sebenarnya

mereka tak tahu harus menjawab apa. Mereka kesuli-tan bahkan untuk merangkai kata selain ‘pergilah ke perpustakaan’. Diksi kedua orang tua Abjad murahan bahkan mereka tidak tahu korelasi kata meman-cing dan laut. Struktur bahasa mereka aneh dan sebab itu kedua orang tua Abjad hidup dengan soliter, pergi ke sawah, pulang, makan, dan begitu seterusnya.“Abjad heran dan kembali bertanya, ‘Apa hanya itu yang dilakukan mereka?’, sang kakek tersenyum dan men-jawab bahwasanya selain ketiga hal itu, orang tua Abjad hampir tidak pernah meluangkan waktu untuk tidur. Mereka sibuk bekerja untuk membeli kamus. Kamus itu yang berhasil me-reka beli enam tahun yang lalu, me-reka terus membacanya bahkan sampai di akhir hidup mereka. Sang Kakek bertanya dengan suara jernih, ‘Kauingat, apa yang kaulakukan enam tahun lalu?’ Abjad menjawab kalau enam tahun yang lalu sepertinya ia sedang menulis kalimat pertama novel perda-nanya.

“Sang kakek tersenyum dan menepuk pundak Abjad dengan tepukan yang menggelisahkan, ‘Sesungguh-nya kalimat-kalimat yang lahir dalam tulisanmu adalah karena orang tuamu, dan saat kau menyelesaikannya, maka berakhir jugalah orang tuamu.”

Hening dan dingin semakin berceracau. Lelaki tua itu menarik napas panjang. “Begitukah cerita itu? Sebagai seorang pencerita, kau mengakhiri ending-mu tidak dengan manis dan dramatis.”

“Aku tidak suka mendramatisasi sebuah kematian. Kata kematian hanya sebuah kata.”Aku teringat sesuatu, “Jadi, begitukah alasanmu mem-buka cerita dengan kalimat ‘sebuah orang’ blablabla?”“Benar, Abjad adalah sebuah orang. Ralat, ia adalah sebuah kata. Hmm, ternyata kaucukup pintar. Kemam-puan menyimakmu lumayan juga .” Lelaki itu tertawa keras sementara aku memberengut. Aku yakin cerita itu belum selesai benar dan rasa penasaranku belum tuntas.

Lelaki tua itu melirikku, “Kenapa? Kaumasih belum puas?”

“Aku tidak yakin kalau ceritanya sudah selesai. Aku bah-kan sangat yakin kalau ceritanya belum selesai.”“Kaujuga suka cerita?”

Aku mengangguk. Lelaki tua itu juga mengangguk, “Sebenarnya ada dua rahasia yang belum kuceritakan padamu selain rahasia di balik riwayat nama Abcd Efgh Ijkl Mnop Qrst Uvwx Yz.”

“Apakah rahasia itu tentang keberadaan sang Kakek dan kehidupan Abjad selanjutnya?”“Terkadang, dalam cerita, tidak semuanya harus di-bongkar.”[*]

Tentang Penulis:Aesna, nama pena dari Ghiyats Ramadhan, mahasiswa semester dua Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta dan juga seorang pembaca buku.

...Sesungguhnya kalimat-kalimat yang lahir dalam tulisanmu adalah karena orang tuamu, dan saat kau menyelesaikannya, maka berakhir jugalah orang tuamu.”

GALERI

19 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Page 20: Buletin civitas 41

IA (Maryam) adalah sesosok wanita tegar dalam menghadapi kegelisahan, prahara, diskriminasi dan pengasingan dalam hidupnya hanya karena dituduh “berbeda”. Ini semua di luar kuasanya jika ia harus

dilahirkan dari keluarga Ahmadiyah di sebuah desa kecil daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Maryam tak bisa memprotes takdir Tuhan.

Sebagai seorang wanita desa kecil di pesisir, Maryam diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga ke tingkat Perguruan Tinggi di Surabaya. Di sana, Maryam hidup mandiri meski tinggal bersama dengan keluarga Ahmadiyah teman ayah-nya. Setelah lulus, ia merantau ke Jakarta untuk bekerja dan berumah tangga.

Penggambaran konflik demi konflik mulai terasa ketika Maryam menginjak dewasa. Pasca perceraiannya dengan suaminya, Alam, Maryam kembali ke kampung hala-man. Tapi ia tak menemukan keluarganya. Rumahnya telah ditempati orang lain. Hingga kemudian ia tahu bahwa orang-tua dan anggota kelompok Ahmadiyah lainnya telah diusir dari tanahnya sendiri. Mereka diusir dan diancam dibunuh lan-taran telah didakwa “sesat”.

Visualisasi penggambaran ceritanya terkesan datar. Penulis mencoba mengi-sahkan kehidupan Maryam sejak masa kecil hingga sebelum ia kembali kem-bali ke kampung halaman. Dalam novel setebal 275 halaman itu, cerita berkutat pada bumbu konflik percintaan, sengketa dalam rumah tangga, hingga konflik dengan keluarga di kampung halaman.

Penulis tampaknya sengaja menerapkan alur sedemikian rupa agar pembaca lebih memahami dan hanyut dalam cerita. Memang novel ini merupakan fiktif. Namun kejadian yang terdapat dalam novel boleh jadi merupa-kan sebuah cerminan kejadian nyata yang sering terjadi di kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Ini diperkuat dengan pengakuan penulis (Okky Madasari) bahwa ia melakukakan riset mendalam tentang kasus kasus tersebut dengan cara terbang langsung ke Lombok dan

Judul: Maryam Penulis: Okky MadasariPenerbit: Gramedia Pustaka UtamaCetakan: Februari 2012Tebal: 275 hlm

Apakah Masyarakat

Indonesia(Tidak)

Toleran?

“Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang pent-ing bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. Kami hanya mohon keadilan. Sampai kapan kami harus menunggu?”

melakukan investigasi mendalam—dengan tinggal di barak pengungsiannya—tentang kelompok Ahmadi di sana.

Dalam pemberitaan-pemberitaan media massa, ke-lompok Ahmadiyah ini memang paling sering menga-lami diskriminasi, kejadian brutal dan kekerasan verbal maupun fisik, seperti kasus yang terjadi di Lombok dan Bandung. Konflik semacam ini diakibatkan karena adanya ego yang selalu mengatakan bahwa “yang ke-cil” yang berbuat salah, “yang besar” yang benar. Sudah begitu, “yang kecil” justru mendapat sedikit sekali per-

hatian dari pemerintah. Maka ia semakin-lah menjadi “kecil”. Seperti Maryam.

Berkata tentang perbedaan sudah dijelas-kan dalam konsep toleransi kehidupan bernegara, yaitu menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelom-pok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Dan sudah seharusnya sikap toleransi ditanamkan untuk mencapai “Persatuan Indonesia”.

Sayangnya tampak penanaman nilai-nilai toleransi di negeri ini masih kurang sekali. Mudahnya masyarakat menerima dan terpengaruh isu-isu sensitif juga membuktikan bahwa masih kurangnya pe-gangan sikap toleransi dalam masyarakat. Apakah para intoleran ini berani berkata bahwa mereka melakukan segala tin-dakan tersebut karena perintah Tuhan? Saya yakin tidak pernah sekalipun Tuhan memerintahkan manusia untuk mem-bunuh, membakar, dan berbuat kekerasan

lainnya kepada sesamnya. Apa lagi cuma dengan alasan perbedaan!

Dan seperti banyak cerita-cerita yang mengangkat isu toleransi keberagamaan, novel ini juga ditutup dengan sikap yang netral. Abstain. Pembaca bebas menilai dan menyimpulkannya sendiri. Cerita di akhir novel diakhiri dengan surat terbuka Maryam, seperti yang dicuplikkan untuk membuka tulisan ini. [*]

Oleh: Dimas Alendra

Foto: Anis Cho/LPM Kentingan

RESENSI BUKU

20 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Page 21: Buletin civitas 41

ISU-ISU menarik seputar hubungan ibu dan anak tersebut membawa Sammaria Simanjuntak merilis film Demi Ucok. Sebelumnya, dia telah berhasil mendulang kesuksesan melalui film berjudul Cin(t)a (2009) yang memaparkan

cinta dalam balutan perbedaan agama. Demi Ucok tampil menggelitik penonton melalui interaksi antara ibu dan anak yang memiliki sisi idealisme yang saling bertolak belakang.

Tokoh utama, Gloria Sinaga atau Glo (Geraldine Sianturi) mempunyai tekad kuat untuk membuat film dan menjadi sutradara besar. Sayang, keinginannya tersebut bersebe-rangan dengan keinginan Mak Gondut (Lina Marpaung) yang menginginkan Glo untuk segera menikah karena mengingat usia Glo yang telah menginjak 29 tahun. Mak Gondut tampil sebagai representasi mak-mak Batak yang rempong, cerewet, menyebalkan, dan heboh. Demi berburu “ucok” (anak laki-laki keturunan batak) untuk dijadikan menantu, Mak Gondut rela pergi ke gereja lima kali dalam sehari. Tekanan batin terus dialami Glo, antara takut kualat karena menentang keinginan Mak Gondut dan mengkhianati mimpinya sendiri.

Konflik cerita dibangun secara bertahap, merambat pada se-tiap kesulitan Glo dalam membuat film. Ia harus mencari pro-duser dan investor yang mau mendanai filmnya. Tidak hanya itu, Glo sampai memutar otak dengan mencoba peruntungan lain, yaitu membuat film horor Indonesia. Ia dipertemukan dengan Joko Anwar yang berperan sebagai produser film Hantu. Di sinilah karakter Glo muncul sebagai sosok ambisius dan pantang menyerah. Adapun peran lain yang turut mem-bantu jalannya cerita seperti kedua teman dekat Glo, Nikki (Saira Jihan) dan A Chun (Sunny Soon).

Demi Ucok disajikan dalam pemaparan sederhana, gamblang, dan tidak dibuat-buat. Untuk memancing tawa penonton, sang sutradara lebih memilih untuk menghadirkan dialog-dialog cerdas yang dikemas menarik dibandingkan dengan adegan konyol yang terkadang tampak garing.

Hubungan ibu dan anak yang kompleks, beraneka warna, dan tidak jarang sangat bersebe-rangan—kompak layaknya sahabat atau justru berkonflik layaknya musuh bebuyutan-mewarnai keseharian. Masalah-masalah sepele pun timbul dari berbagai ketidakcocokan yang terkadang tidak realistis antara satu sama lain.

Mak Gondut dan Glo mampu menciptakan chemistry yang kuat dari sikap keduanya yang kukuh pada pendiriannya masing-masing. Alur ceritanya akan membuat penonton seolah-olah menjadi tempat curhatan bagi pemeran utama—mengingat latar belakang cerita Demi Ucok me-mang dibangun dari “curhatan” penulis. Film ini juga terkesan berani lewat sentilannya terhadap isu hangat dari ranah politik hingga perfilman nasional yang terjadi. Namun, sayang Demi Ucok menemui alur yang terpotong-potong, mem- bingungkan, dan tidak jelas arahnya. Seperti, ketidakpastian akan penyakit Mak Gondut yang divonis dokter yang sisa hidupnya tinggal satu tahun saja. Meskipun demikian, sisipan sine-matografi nan apik telah berhasil membuat film ini tidak terlihat monoton.

Berbeda dari kebanyakan film nasional lain, Demi Ucok merupakan film crowdfunding pertama di Indonesia. Orang-orang di balik film ini mengge-lar kampanye 10 ribu CO Producer (co pro) yang bersedia menyumbangkan Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) demi terealisasinya film berdurasi kurang dari dua jam ini. Crowdfunding menggu-nakan sistem penawaran terbuka melalui internet untuk proses post-produksi. Dalam waktu tujuh bulan, Demi Ucok berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp251.487.400,00 dari target sebelum-nya 1 milyar rupiah. Dari situlah, penonton dapat mengerti betapa susahnya para sineas dalam membuat film Indonesia yang berkualitas. Sebuah pesan disampaikan sang sutradara bahwa dalam membuat film yang kreatif tidak hanya terfokus pada jalan cerita saja, tetapi juga pada distribusi serta promosi yang tidak kalah penting dalam memikat jutaan penonton.[*]

Seperti Pinang

Dibelah Dua

Sutradara: Sammaria SimanjuntakPemeran : Geraldine Sianturi, Lina Mar-paung, Saira Jihan, Sunny SoonDurasi: 79 menit Rilis: 3 Januari 2013 Produksi: Kepompong Gendut & Royal Cinema Multimedia

Gambar: kapanlagi.com

Oleh: Afifah Khairunnisa

RESENSI FILM

21 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Page 22: Buletin civitas 41

AGUS Salim mendukung laku politik Tjokroami-noto yang bergerak lamban dan moderat ter-hadap pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan

Semaoen dan Kartosoewirjo menginginkan pergerakan yang lebih cepat dan radikal. Tjokroaminoto yang men-cium adanya ketegangan di dalam rumahnya, mencoba memberikan nasihat kepada Agus Salim, “Evolusi dan revolusi itu hanya dibedakan oleh huruf ‘R’. Dan ‘R’ di sana adalah rakyat. Hati-hati bicara soal rakyat!”

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), evolusi diartikan sebagai perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit). Sedangkan revolusi diarti-kan sebagai perubahan ketatane-garaan (pemerintah atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perla-wanan bersenjata) atau perubahan yang mendasar di suatu bidang. Maka boleh jadi, ‘R’ di dalam kata ‘revolusi’ adalah radikal.

Generasi demi generasi berganti. Orang-orang yang dulunya menempati posisi golongan muda, kini telah bergeser ke dalam golongan tua. Tetapi lagi-lagi ketegangan antara golongan tua dan golongan muda kembali terjadi, tepatnya menjelang kemerdekaan Indo-nesia. Golongan tua diwakili oleh Soekarno dan Hatta, sedangkan golongan pemuda diwakili oleh Sjahrir, Wikana, dan Sukarni.

Desas-desus bahwa Jepang akan atau harus menyerah-kan Indonesia kepada Sekutu, membuat para pemuda yang tergabung dalam organisasi bawah tanah mende-sak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Gagalnya proklamasi kemerde-kaan yang digagas para pemuda pada tanggal 15 Agus-tus 1945 membuat pecahnya gerakan revolusi yang dipimpin Dr. Sudarsono di Cirebon. Ketidaksabaran para

pemuda membuat Sukarni dan kawan-kawan kemudian nekat menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok keesokan harinya. Mereka ingin menekan golongan tua agar mau bergerak lebih cepat.

Dari pemaparan di atas kita dapat melihat kandungan psikologis dalam kata ‘evolusi’ dan ‘revolusi’ tersebut. Kata “evolusi” lebih melekat pada model pergerakan yang sesuai untuk golongan tua. Hal ini tentunya di-pengaruhi oleh kondisi fisik. Tubuh yang menua membuat gerak seseorang menjadi lambat. Energi, kekuatan, dan daya tahannya pun melemah. Maka tidak mengheran-kan jika orang tua kita sering menasihati anak-anaknya dengan pepatah Jawa “alon-alon waton

kelakon”. Meskipun begitu, golongan tua ini se-ring kali menang dari go-longan muda karena pengalaman dan matangnya pemikiran yang ia miliki.

Lain halnya dengan golongan muda yang grusa-grusu. Langkah yang dipilih sering kali berjalan tanpa pertimbangan

mendalam atau bahkan bersifat spekulatif. Jiwa yang dalam masa pencarian jati diri, gejolak emosi yang cenderung labil sering kali membuat para pemuda lebih suka beradu fisik, karena itulah kekuatannya—kondisi fisik yang segar bugar mampu membuat para pemuda bergerak cepat, lebih kuat dan memiliki daya tahan yang prima. Oleh karenanya istilah revolusi lebih sering kita dengar dari mulut pemuda.

Namun sayang, orang sering kali lupa bahwa di dalam kata ‘revolusi’ itu terdapat kata ‘evolusi’ yang menon-jolkan sikap kematangan pemikiran dan penuh pertim-bangan. Maka revolusi tanpa evolusi boleh dikatakan sebagai ‘revolusi otak kosong’. Dan sepertinya perdeba-tan antara golongan tua dan golongan muda, masalah evolusi dan revolusi, perihal perubahan setahap demi setahap dan perubahan cepat, akan terus berlangsung sampai kapan pun. Oh! [*]

Psikologis Kata Evolusi dan Revolusi Oleh: Hanputro Widyono

Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

“Orang sering kali lupa bahwa di dalam kata ‘revolu-si’ itu terdapat kata ‘evolusi’

yang menonjolkan sikap kematangan pemikiran dan

penuh pertimbangan.”

Perjalanan sejarah Indonesia diwarnai oleh perdebatan antara golongan tua dan golongan muda, yang rupanya juga mengandung perdebatan istilah. Dalam salah satu adegan film Guru Bangsa Tjokroaminoto (April 2015), Agus Salim bersitegang dengan Semaoen dan Kartosoewirjo lantaran istilah ‘evolusi’ dan ‘revolusi’.

BAHASA

22 | CIVITAS XLI | AGUSTUS 2015

Page 23: Buletin civitas 41
Page 24: Buletin civitas 41