buku ipung 2

30
1. Si Besar Sahabatnya dalam Bahaya Di kotanya, SMA Budi Luhur adalah legenda! Tak cuk legenda malah, kalau perlu adilegenda. a, adilegendanya seumpama Al A har di "airo atau #$M di ogyakarta% mencengangkan, mengagumkan, sekaligus angker&menakutkan! Dari sebuah sekolah s'asta miskin ia tumbuh membesar dan membesar. (ertumbuhan yang akhirnya membuat sekolah ini berhasil mengakuisisi sebuah gedung tua berse)arah sebaga kampus besar mereka. $edungnya yang tua dan kokoh itu bukan gambaran ketuaan tetapi malah menggambarkan kemartabatan sebuah bangunan. Bagi Semarang, gengsi bangunan SMA Budi Luhur setara dengan La'ang Se'u, Mas)id Besar *auman dan $ere)a Belenduk. Semarang tanpa ketiga bangunan itu, adalah kota yang ditinggalkan hampir separo kekuatannya. *ota tanpa bangunan tua adalah kota tanpa se)arah. Dan manusia yang kehilanga se)arah adalah pe)alan yang kehilangan peta. +pung bangga sekali pada sekolah ini, sekolahnya! +a sama sekali tak pernah menduga akan men)adi bagian sekolah a-orit ini. Di Semarang, tak boleh menyebut anak pintar tanpa menyebut nama SMA Budi Luhur. Dan +pung bukan cuma bagian dari SMA ini, melainkan )uga bagian penting. Amat penting malah +a tokoh. +a memiliki (aulin. Di seku)ur *ota Semarang, hendak mencari kecantikan model terbaru harus datang unt melihat murid&murid cantik Budi Luhur. Dan di antara seku kecantikan di sekolah itu, (aulin adalah bintang paling tera Dan si bintang itu kini terang&terangan mencintainya. Memburunya malah. esmi men)adi kekasihnya!

Upload: idharos

Post on 05-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Buku Ipung 2

TRANSCRIPT

1. Si Besar Sahabatnya dalam BahayaDi kotanya, SMA Budi Luhur adalah legenda! Tak cukup legenda malah, kalau perlu adilegenda. Ya, adilegendanya seumpama Al Azhar di Cairo atau UGM di Yogyakarta; mencengangkan, mengagumkan, sekaligus angker-menakutkan!Dari sebuah sekolah swasta miskin ia tumbuh membesar dan membesar. Pertumbuhan yang akhirnya membuat sekolah ini berhasil mengakuisisi sebuah gedung tua bersejarah sebagai kampus besar mereka.Gedungnya yang tua dan kokoh itu bukan gambaran ketuaan tetapi malah menggambarkan kemartabatan sebuah bangunan. Bagi Semarang, gengsi bangunan SMA Budi Luhur setara dengan Lawang Sewu, Masjid Besar Kauman dan Gereja Belenduk. Semarang tanpa ketiga bangunan itu, adalah kota yang ditinggalkan hampir separo kekuatannya. Kota tanpa bangunan tua adalah kota tanpa sejarah. Dan manusia yang kehilangan sejarah adalah pejalan yang kehilangan peta.Ipung bangga sekali pada sekolah ini, sekolahnya!Ia sama sekali tak pernah menduga akan menjadi bagian sekolah favorit ini. Di Semarang, tak boleh menyebut anak pintar tanpa menyebut nama SMA Budi Luhur. Dan Ipung bukan cuma bagian dari SMA ini, melainkan juga bagian penting. Amat penting malah. Ia tokoh. Ia memiliki Paulin. Di sekujur Kota Semarang, jika hendak mencari kecantikan model terbaru harus datang untuk melihat murid-murid cantik Budi Luhur. Dan di antara sekujur kecantikan di sekolah itu, Paulin adalah bintang paling terang. Dan si bintang itu kini terang-terangan mencintainya. Memburunya malah. Resmi menjadi kekasihnya!Mencitaimu adalah musibah terbesarku, kata Paulin, saat itu.Anak Mami itu bukan sedang bercanda. Ia serius. Mencintai Ipung baginya memang musibah. Karena dipandang dari segenap jurusan, wajah Ipung sebetulnya tak lebih cuma gambaran kekacauan. Tetapi untuk tidak mencintai cowok kerempeng itu juga berarti bencana. Karena jika Paulin lengah sedikit saja, seluruh cewek terbaik Budi Luhur akan mengerebutnya. Ini bukan gertak sambal.Ini serius! Pekik Paulin dalam hati!Bagaimana mungkin, jelek tapi memesona, bisik Paulin saat itu, ngeri tapi rindu. Kini Anak Mami itu sedang sewot di rumah besarnya, sendiri. Hari Minggu, tapi ia harus sendiri. Ke mana Ipung, cowok yang mestinya sudah boleh disebut sebagai pacar, kekasih, atau apapun namanya itu? Inilah repotnya punya pacar makhluk ganjil. Jangankan ngajak pacaran. Bahkan sekadar jalan-jalan bersama, adalah peristiwa langka. Anak Mami terpaksa mendesah. Marah, tapi pasrah. Ia sadar telah memilih cowok yang keliru. Tapi karena kekeliruan itu pula ia jatuh cinta. Astaga!Lalu ke mana kamu Ipung? Ke mana kamu di hari yang mestinya jadwal wajib untuk pacaran ini? Olala, anak itu malah sudah menyandarkan sepeda federalnya di pohon besar sekolah, pohon beringin yang rimbun dan tua, sama tuanya dengan umur bangunan sekolah. Kerimbunan di kompleks SMA Budi Luhur, adalah candu bagi anak ini. Setiap memandangi sekolahnya, memandangi pohon-pohonnya, ia terkesima. Di setiap lebat daunnya, berpendaran ribuan wajah Paulin. Kuduk Ipung meremang. Wajah itu cantik sekali. Putih pipinya seperti bongkah pualam. Tidak! Tidak boleh terlalu lama memandangnya pikir Ipung. Tidak boleh terlalu berada di dekatnya. Bahaya! desisnya! Maka Ipung memilih pacaran dengan caranya sendiri. Cara yang bisa jadi tidak lumrah. Tetapi sejak awal, ia merasa hidupnya memang sudah kepalang tidak lumrah. Maka ia harus menempuh cara-cara yang tidak lumrah. Lik Wur selalu menjejalkan ilmu hidup itu kepadanya. Jika kamu berpikir seperti orang lumrah. Maka kamu juga akan menjadi sekadar orang lumrah, kata Lik Wur, saat itu.Ipung butuh waktu untuk mengerti ke mana arah kalimat ini. Tetapi pelan-pelan ia mulai mengerti. Keberaniannya untuk masuk ke Budi Luhur yang angker, adalah ketidaklaziman. Kepergiannya dari kampung di Kepatihan sana untuk bersekolah di Semarang, adalah ketidaklaziman. Keputusannya untuk berani berkelahi dengan ketua geng sekolah, Gredo, adalah ketidaklaziman. Seluruh ketidaklaziman itulah yang membuatnya terkenal.Di SMA Budi Luhur, nama Ipung adalah gambaran ketidaklaziman. Dan apa reaksi dari atas seluruh ketidaklaziman ini? Pasti banyak yang sinis dan mencibir, tetapi ternyata jauh lebih banyak lagi yang takjub dan terpesona. Ia bukan tidak menyadari ini. Dan ia bangga dengan dirinya. Bangga dengan Lik Wur-nya.Maka di balik lebat daun beringin itu tidak cuma wajah Paulin yang berpendaran. Tetapi juga wajah Lik Wur yang bermunculan. Dialah tokoh pertama yang meletakkan kegilaan dalam jiwa Ipung. Sebuah kegilaan yang ajaib, yang membuatnya menjadi bintang. Tetapi tidak cuma Lik Wur, wajah demi wajah muncul di balik rimbun daun beringin Budi Luhur. Dan wajah paling akhir, selalu paling akhir, adalah wajah ibunya sendiri, Minarni.Jika sudah sampai wajah ini, Ipung menghentikan lamunannya berlama-lama. Sedang apa engkau ibu, di kampung sana? Sedang merindukan anakmu, itu pasti. Ya, ya, tidak cuma ibu yang akan merindukanku, tetapi juga sekolah ini kelak. Lihat saja, anakmu yang kacau potongan ini akan menjadi apa saja. Ia akan lebih terkenal bahkan dari Pak Bakri, guru legendaris itu. Lebih terkenal deri Pak Bahrun sang kepala sekolah yang flamboyan itu. Atau atau ia bahkan akan lebih terkenal dari Wali Kota Semarang itu sendiri.Yesssss! teriak Ipung dalam hati.Dan ia mengerti, Minarni, ibu yang kini pasti sedang memetik sayuran di belakang rumah itu, adalah ibu yang menyimpan setumpuk kebanggan pada anak semata wayangnya. Minarni memang cuma diam, selalu diam. Bahkan humor paling lucu sekalipun, cuma akan membuat senyumnya mengembang. Maka betapapun ia menyimpan kebanggaan yang sangat kepada anak bengalnya, ia cukup melemparkan pandangan jauh, menerawang ke hamparan sawah yang ada di kejauhan, yang masih mengepung wilayah Kepatihan. Inilah jawaban, kenapa Ipung amat betah datang ke sekolahnya, di hari libur, sendirian. Ia seperti tengah menyerap semangat untuk bekal esok mengadapi hari-hari yang berat di esok hari. Itulah kenapa, sementara banyak anak-anak Budi Luhur menyambut Senin sebagai hari celaka, Ipung menatap Senin dengan cara yang berbeda. Jika Senin adalah hari untuk berperang, sejak Minggu Ipung telah bersiaga.Sendiri di Budi Luhur tepat di hari libur adalah piknik yang luar biasa bagi Ipung. Murah, bergairah! Jika saja Jika tidak selalu ada saja yang mengganggunya.Dan pengganggu itu tak lain adalah Mat Kandar, satpam Budi Luhur. Amat Sukandar nama lengkapnya, Mat Kandar panggilan singkatnya, tetapi Douglas adalah julukannya. Ini semua gara-gara kulitnya yang legam dan tubuhnya yang raksasa. Siapa Michael Douglas? Inilah petinju underdog, tetapi dialah orang pertama yang sanggup melabrak Mike Tyson, sejak si Leher Beton itu merajalela. Popularitas Douglas segera terkenal di seantero jagat, termasuk di kampung-kampung kecil di Semarang, tak terkecuali di Sawah Besar, kampung becek tempat Mat Kandar berasal. Sejak itulah Mat Kandar bergelar Douglas.Douglas yang raksasa itu, adalah pengagum Ipung yang fanatik. Douglas tak habis mengerti, kenapa ada makhluk yang lemah fisiknya seperti Ipung, tetapi bernyali raksasa. Jika orang takut kepada Douglas, mudah menjawabnya. Otot-otot yang berlilitan bak kawat di seluruh lengannya, adalah tantangan terbuka bagi siapapun yang hendak unjuk kekuatan. Tapi Ipung?Maka setiap melihat Ipung sendirian, Douglas akan selalu menghampiri. Mengajaknya ngobrol apa saja dan ia merasa lewat Ipung-lah otaknya yang selama ini banyak menganggur, lambat laun bekerja. Apalagi jika makhluk kerempeng inilah yang ternyata menjadi pilihan Paulin sebagai cowoknya, Douglas merasa tubuhnya yang raksasa, ototnya yang melingkar-lingkar itu jadi tak ada gunanya. Bagaimana ceritanya Pung? tanya Douglas. Bukan bertanya, tepatnya meratap. Mendengar kisah Paulin jatuh cinta pada Ipung, adalah gairah terbesarnya. Ia serupa melihat dongeng-dongeng peri sedang terjadi di alam nyata. Ia terpana dibuatnya. Gila, batinnya. Apa yang dia sukai dari kamu? Kamu pasti pakai tenung. Siapa dukun sakti itu? Bawa aku kepadanya. Mumpung aku sedang patah hati dengan seorang janda! cerocos Douglas. Sementara Ipung asyik dengan imajinasinya, Douglas juga ngoceh dengan imajinasinya.Ya, ya Douglas-lah penggemar sekaligus pengganggu jadwal rutin melamunnya.Tetapi kini sudah hampir satu jam Ipung menyandarkan sepeda federalnya, Douglas belum menghampirinya? Oo, ia masih di dalam pos. Ia tampak khusuk dengan tugas-tugasnya memeriksa buku absensi. Ipung lega, karena ia bisa melanjutkan lamunannya. Tapi Ipung keliru. Karena pengganggu itu, hari ini, memang bukan Mat Kandar Douglas, tapi raungan serombongan pengendara motor yang berhenti tepat di pintu gerbang.Para pengendara motor itu tampak ganas. Sementara yang lain telah turun dari motornya, sisanya memilih memekakkan gasnya. Satu, dua, tiga tujuh pengendara motor berbocengan. Dan jelas sekali, pihak yang turun itu tidak bertangan hampa. Ada pentungan, besi batangan dan dengan langkah yang tak sulit menebak niat mereka. Mereka menghampiri pos Douglas. Si Besar sahabatnya itu dalam bahaya! Ipung telah mengerti apa yang akan terjadi, tetapi ia belum mengerti harus berbuat apa!2. Bel Besi Zaman BelandaDari pos jaganya, Douglas bangkit. Ia sadar bahaya!Ia mengenal orang-orang yang datang itu. Orang yang melangkah pertama itu adalah Tarji Cakil, preman kampung sebelah. Orang ini terlalu terkenal untuk tidak dikenali Douglas. Dan ia turun gunung sendiri, mengarak anak buahnya untuk menghajarnya. Ini kejadian luar biasa.Hanya kemarahan yang sangat yang membuat raja preman itu perlu menghajar sendiri korbannya. Biasanya cukup kaki tangannya! Tarji merasa rendah jika harus mengotori tangannya dengan perkelahian jalanan yang telah lama ia tinggalkan. Di hari-hari ini, ia merasa cukup bertahta dan menerima setoran. Tetapi tidak untuk kali ini! Ia perlu memberi pelajaran orang ini. Langsung dengan tangannya sendiri. Apa yang telah diperbuat Douglas hingga kemarahan raja preman tak terbendung?Sudah lama aset Budi Luhur menjadi incaran geng Tarji Cakil. Aset itu pasti sehubungan dengan kayu-kayu tua, ornamen-ornamen ukir kuno, aneka keramik antik yang terserak di hampir sekujur bangunan Budi Luhur yang luas. Tarji mengerti nilai ini. Jika sebujur kusen jendela saja dicongkel dan dipasang di rumah seorang cukong, cukong itu dengan bangga akan berkata:Kusen ini telah berumur ratusan tahun. Peninggalan zaman VOC!Ya, penggila barang antik telah merajalela di hari-hari ini. Tak jelas bedanya, mereka ini tengah merawat, atau merusak sejarah. Tetapi yang jelas, perburuan benda-benda antik, telah membuat SMA Budi Luhur dianggap menjadi salah satu lumbung harta. Sudah lama Tarji Cakil, preman yang tajam melihat uang itu menyadari nilai ini. Telah lama ia hendak menaklukkan Douglas, tetapi gagal.Pertama dengan cara membujuknya. Gajimu sebagai satpam tak seberapa, kata Tarji, sudah tentu lewat seorang utusan.Ayolah! tambahnya.Douglas entah oleh dorongan apa, menolaknya. Kedatangannya sebagai satpam di Budi Luhur mestinya tak dikehendaki Pak Bahrun, Sang Kepala Sekolah. Tapi Guru Bakri memintanya; tepatnya memaksanya. Guru legendaris itu amat jarang meminta, maka sekali ia punya permintaan, pantang digugurkan. Pak Bahrun mengerti soal ini. SMA Budi Luhur tanpa Guru Bakri, adalah gedung tua yang cuma berisi pocong gentayangan. Douglas mengerti usaha Pak Bakri ini. Bakri mengerti kemiskinan dan ia berjuang keras untuk membantunya. Maka mencuri sendiri barang yang harus dijaganya, sungguh tak terbayangkan. Begitu anak buah Tarji Cakil menyodorkan proposalnya, yang pertama terbayang adalah wajah Guru Bakri yang menolongnya. Maaf! Douglas mencoba tersenyum pada utusan itu. Tetapi seluruh ketegasannya telah terbaca. Ia tak mungkin tergoyahkan. Utusan pulang, Tarji Cakil menahan geram.Gagal cara pertama, muncul yang kedua: menebar ancaman.Tubuhmu memang besar. Tapi pasti tidak kebal! kata utusan kedua. Ramah dan sopan. Douglas tersenyum. Tetapi matanya keras menatap lawan. Lawan itu mengerti, jika ia meneruskan ancamannya hari ini, ia hanya akan lumat oleh Douglas dalam sekali tabrak. Ia pulang lagi. Geraham Tarji mengeras untuk yang kedua kali.Kini Tarji tak lagi punya pilihan. Ia memerintahkan perang terbuka. Mengirim lima anak buah terbaiknya untuk menjarah langsung Budi Luhur di malam buta. Dan ia masih harus mendapatkan fakta yang pahit. Douglas, petinju yang pernah menghajar Mike Tyson itu benar-benar menjelma dalam diri Douglas yang Mat Kandar. Lima preman itu cuma sekumpulan pemabuk yang telah lapuk. Menghadapi Douglas yang kokoh, mereka hanya bisa memperagakan satu jurus saja: kabur, itupun setelah babak belur.Tengik! teriak Tarji Cakil sambil menggebrak meja.Bukan soal lima anak buahnya yang babak belur yang membuatnya murka. Tetapi Douglas betul-betul telah mengibarkan perang kepadanya. Sebagai raja perman yang menggentarkan dunia bawah Kota Semarang, ulah Douglas dianggap setara dengan tindakan subversi bagi kerajaannya.Aku akan menghajarnya sendiri! katanya. Bersama tujuh motor yang mengiringi, semuanya berboncengan, kini Tarji Cakil sudah tegak di hadapan Douglas, yang lain mengelilingi. Douglas memang tampak menjulang di tengah, tapi dengan 14 orang lawan sekaligus, dengan berbagai alat pembunuh siaga di tangan, nasib Douglas telah ditentukan; mati di tiang gantungan.Dari jauh, Ipung berpikir keras. Jika sahabnaya itu mati, di depan matanya, pula, tanpa ia sanggup berbuat apa-apa, ia akan sulit memaafkan diri. Lalu dengan cara apa aku membela Douglas? Untuk ikut terjun langsung ke kacah pertempuran pasti cuma akan menghantar nyawa percuma.Itu pertempuran yang ganas khas kaum barbar. Itu bukan dunianya. Dunianya adalah dunia kata-kata. Ia percaya pada kata. Tetapi celakanya, itulah dunia, yang di hati ini sedang tidak ada gunanya. Ini dunia otot, bukan mulut. Ini dunia preman, bukan intelektual. Dan untuk sekali ini Ipung menyesal, kenapa ia tak dianugerahi tubuh seperti Ade Rai. Sekali ini pula Ipung kehilangan kecerdasannya.Sementara gebukan pertama sudah menerjang Douglas. Anak buah Tarji melabraknya untuk kali pertama. Luar biasa, si pelabrak itu sendirlah yang terpelanting dengan kayu penggebuknya mencelat entah ke mana. Douglas terlalu perkasa jika cuma menghadapi serangan tunggal semacam ini.Gerombolan Tarji sadar diri. Ia butuh maju bersama-sama, secepatnya. Maka aneka pentungan kayu, batangan besi, segara berebutan menghujani tubuh Douglas. Raksasa itu memang kuat, tetapi ia tetap darah dan daging biasa. Menghadapi lawan yang tak sepadan ini, darah langsung berleleran. Seluruh mukanya telah bersimbah darah. Tetapi Douglas agaknya telah mempertaruhkan hidup dan matinya. Ia mengamuk sekuatnya, sejadi-jadinya!Aku atau kamu yang mati! teriaknya menggelegar.Tetapi sementara ia berteriak, satu pentungan lagi menghajar pelipisnya. Teriakan murka itu berubah menjadi kesakitan. Kekuatan satpam ini ada batasnya. Dan jika kekejaman ini tak dihentikan, kematian penjaga Budi Luhur akan segara masuk koran.Ipung berpikir keras. Ia nyaris kehilangan akal jika tidak matanya tertumbuk pada lingkaran besi di pos Douglas. Itulah alarm antik Budi Luhur. Bekas roda lori pengangkut tebu zaman Belanda. Kepada lingkaran besi inilah Ipung menaruh harapan. Budi Luhur memang telah menjadi sekolah yang kaya, tapi soal bel penanda masuk dan pulang, masih tergantung pada bel besi ini sebagai tradisi. Secepat kilat Ipung berlari untuk menjangkau penabuh besi ini. Bukan untuk memakainya ikut terjun dalam pertempuran. Melainkan untuk memukulnya seperti orang kesurupan. Keras sekali ia memukulnya. Sekeras dan sekuat yang bisa dengan irama sekacau-kacaunya.Di sebelahnya, pertempuran yang sedang sengit dan berdarah itu menjadi kacau seketika. Douglas yang nyaris tumbang kembali tertahan dan memperoleh kesadaranya. Serangan lawan terhenti dengan terpaksa. Apalagi, meskipun mereka nyaris menang, amukan Douglas yang luar biasa itu membuat mereka harus memeras tenaga. Maka pukulan bel besi yang membabi buta itu, serupa dengan lonceng tinju pelerai pertandingan. Dua pihak yang lelah itu sama-sama bersyukur dalam hati, kecuali Tarji Cakil yang kebingungan.Tetapi Ipung masih terus memukuli bel besinya dengan menggila. Kini kecerdasannya telah kembali. Sasarannya bukanlah cuma menghentikan perkelahian ini. Sasaran itu lebih jauh lagi: ia ingin mengundang massa. Hanya ketika massa sudah berkumpul itulah, ia akan menemukan lagu dunianya. Dunia yang akan membuatnya terkenal: dunia kata-kata. Dunia negosiasi.Akhirnya, seperti yang diduga. Pukulan besi itu menghentikan lalu-lalang kendaraan. Menahan pejalan kaki, membentuk lingkaran besar. Lalu terjadilah lingkaran dalam lingkaran. Douglas di pusat lingkaran, Tarji Cakil dan rombongan di lingkaran berikutnya, sementara ratusan massa, sebagai lingkaran terakhirnya. Ipung masih bergelantungan di bawa bel besinya. Baru ketika lingkaran ini telah sempurna, Ipung menghentikan pukulannya.Ipung menata peralatannya sendiri. Mengeluarkan bangku kecil dari pos dan menaikinya sebagai mimbar. Ia siap bicara! Pembicaraan yang kelak akan membuatnya terkenal, jauh dari yang ia duga. Pembicaraan yang bagi sebagian orang dianggap terlalu cerdas, untuk anak seumurnya!3. Dunia Kata-KataKerumunan massa itu tegang dan menunggu. Tepat di pelataran SMA Budi Luhur yang luas dan terbuka.Inilah saat yang Ipung telah menunggu. Ia akan bicara. Tapi tidak untuk menjelaskan seluruh persoalannya. Ia akan langsung ke tengah saja. Seluruh isi kerumunan ini, bagi Ipung sudah menjelaskan semuanya.Massa hanya butuh melihat sebentar untuk mengerti duduk-perkaranya. Ada seorang tinggi besar, hitam legam di tengah, dengan darah berleleran. Kesakitan tampak mendera orang ini, tetapi keteguhannya untuk tetap berdiri, dengan tubuh siaga, telah mengatakan bahwa ia siap mati.Di luarnya, 14 orang mengitari. Orang-orang yang sebetulnya telah menjadi jeri, tetapi kepalang basah untuk mundur dan kalah. Mundur, sementara menang jumlah, adalah aib bagi gerombolan preman ini. Dan di antara para preman yang sedang bimbang itu, cuma satu yang masih membara kemarahannya, masih siap menyabung nyawa dengan Douglas, yakni Tarji Cakil, pemimpin gerombolan.Bahwa Tarji adalah preman bernyali, Semarang sudah mengakui. Di dunia bawah kota ini, namanya disebut dengan segenap rasa ngeri. Bagi kalangan kaum jalanan, namanya telah disejajarkan dengan tokoh Voldemort, musuh Harry Potter dengan kekejamannya yang mengerikan. Tetapi Voldemort bukan cuma memilki kekejaman, ia juga memiliki kesaktian yang menggentarkan. Kegentaran yang membuat musuh-musuhnya menggigil ketika baru menyebut namanya. Maka kepada Voldemort, orang hanya bisa menyebutnya sebagai kau tahu siapa. Menyebutnya sebagai Tarji, apalagi dengan tambahan Cakil, hanya berani di dalam hati. Maklum, Cakil memang nama raksasa buruk hati, dengan gigi bawah maju, mirip gigi Tarji.Begitu juga Tarji Cakil ini. Karena kekejamnnya yang melegenda, ia berhasil memaksa siapa saja menghormatinya dan menyebutnya sebagai Bapake. Ya, Bapak, Ayah, Godfather. Sebutan yang dilontarkan dengan hormat dan ketakutan sekaligus. Bagi anak buahnya, gelar itu masih mendapat tambahan lagi: Bapake Gelas Gede; Sang Bapak Gelas Besar. Dia yang membunuh orang sama ringanya dengan meludah, kata gerenengan di jalanan. Ia bisa menghilang dan kebal pelor! kata yang lain. Jimatnya banyak. Dan ia suka bertapa di Gunung Srandil, bisik yang lain. Bisik-bisik itulah yang membuat Tarji Cakil muncul jadi mitos. Ketika sudah melegenda itulah, ia terbiasa menenggak alkohol dengan gelas besarnya. Itulah kebiasaan yang mendatangkan sebutan tambahan: Bapake Gelas Gede! Sang Bapak Gelas Besar! Menenggak segelas besar alkohol tanpa mabuk adalah fakta yang menambah cerita tentang keangkerannya.Semua cerita itu bisa jadi benar. Dan Ipung yang belum paham siapa orang ini, adalah anak yang sama sekali tidak terintimidasi. Ia belum mengenal Tarji Cakil. Tindakannya tak lebih adalah instink kenakalan masa kanak-kanaknya yang biasa, ditambah kesintingan hasil didikan Lik Wur-nya yang ajaib itu. Ipung ingin menguji dunia yang amat dicintainya, dunia kata-kata. Tak lebih. Dan untuk berkata-kata kepada gerombolan Tarji Cakil, ia merasa tak bisa sendiri. Ia butuh dukungan massa, yang kini tengah berkerumuan begitu riuhnya.Ini dunia yang sama sekali baru bagi Tarji Cakil. Berantem dan membunuh ia biasa. Tetapi berhadapan dengan soal politik semacam ini, matanya mulai berpendaran oleh bintang-bintang. Otaknya pening dan penyakit bingung segera menyergapnya. Bapak, Ibu, teman-teman dan saudara-saudara sekaliaaaan. teriak Ipung, benar-benar berteriak dari atas meja kecilnya.Kita tahu ada perkelahian tak seimbang di sini. Yang di tengah itu. Bang Douglas namanya. Ia adalah satpam sekolah ini. SMA Budi Luhur. Sekolah saya. Ipung nama saya!Orang-orang memusat melihat Douglas. Di balik darah yang membasahi mukanya, satpam raksasa itu menyeringai. Antara sakit dan tak mengerti.Saya bukan sedang hendak membela satpam sekolah ini. Saya juga tidak ada urusan dengan urusan mereka. Tetapi saya dan saudara pasti sepakat, kalau perkelahian ini diteruskan, akan ada orang yang mati!Orang-orang hening. Diam. Tapi mulai setuju! Dan jika ada yang mati, mudah saja. siapapun mas-mas ini, kakak-kakak kita para pengroyok itu, apapun alasannya, pasti cuma akan ditangkap polisi. Kita semua sudah melihatnya. Kita semua terpaksa akan menjadi saksi.Ipung tahu diri. Ia boleh membela Douglas, tetapi ia tak hendak bermusuhan dengan serombongan preman itu. Dan Tarji Cakil, pihak paling bisa berpikir di antara anak buahnya, mengernyit, menatap ulah anak kerempeng itu. Semula ia heran atas keberaniannya. Tetapi, kini ia mulai terhasut oleh kata-katanya. Bahwa ada anak kurus campur tangan pada urusannya, sudah menakjubkannya. Tetapi bahwa anak-anak itu bisa mengahsut massa sedemikian rupa, adalah soal yang tak pernah ia temui dalam dunianya. Ia mestinya amat marah pada anak ini, tetapi sebutan mas, kakak, yang ditujukan pada gerombolannya, menegaskan bahwa anak ini, tidak sedang hendak membela siapapun. Ia hanya seorang anak yang ngeri melihat perkelahian dan darah. Dan ingin agar semua dihentikan. Itu saja. Tarji mungkin tidak terlalu cerdas dalam dunia politik, tetapi cukup jelas menangkap isyarat ini. Meskipun jelas, ia hanya sanggup menangkap setengah dari kecerdasan anak kerempeng itu. Saya mohon bantuan saudara-saudara, kalau bisa perkelahian ini dibubarkan atas dasar kemanusiaan. Orang-orang terdiam. Ragu. Tapi kalau usul ini dianggap tidak menyelesaikan persoalan kakak-kakak ini biarkan mereka tetap berkelahi. Tetapi harus satu lawan satu. Khas laki-laki. Kita semua menjadi saksi. Bagaimana saudaraaaa? Ipung berteriak kuat sekali.Kerumunan massa itu mulai tidak kompak. Satu dua mulai ada yang setuju. Yang setuju tunjuk jari! Satu per satu mereka tunjuk jari. Ipung terus berteriak menyemangati. Akhirnya hampir semua kerumuann itu tunjuk jari. Baik. Semua setuju. Kita tidak membela siapa-siapa. Kita hanya ingin melihat dua orang yang berantem secara baik-baik. Kalau kalah tingal bilang kalah, dan tak perlu sampai jadi urusan polisi!Orang-orang bertepuk tangan riuh. Selebihnya tertawa. Panggung kekejaman yang barusan ini telah berbuah menjadi panggung pertunjukan. Ipung tampak menggila dengan semangatnya. Ayoo mundurmundurbuat lingkaran. Bang Douglas melawan pemimpin rombongan ini. Siapa kakak-kakak ini yang akan mewakili sebagai jagoan?Rombongan Tarji Cakil kebingungan.Tarji sendiri tak tahu harus berbuat apa. Untuk menghajar anak ini begitu saja, ia sudah berhadapan dengan ratusan masa yang mengawasinya. Ia memang preman, tetapi tak pernah ada sejarah preman menang melawan massa, melawan polisi dan hukum. Tarji menyadari keterbatasannya. Bang Douglas masih kuat berantem satu lawan satu? kata Ipung? Douglas maju setindak. Entah darimana idenya, ia mengerti kemauan Ipung. Ia beteriak ke arah massa: Jika mereka tak punya malu, suruh semuanya maju!Orang-orang bertepuk tangan. Jelas sudah, dengan cerdik, Ipung berhasil menyentuh empati publik untuk membela sahabatnya. Jelas sudah, bahwa kini Tarji Cakil berada dalam kepungan massa. Jika ia meneruskan logika kekejamannya, ia hanya akan dihakimi oleh massa. Ia mengerti, belum pernah ada yang bisa mengalahkan kekuatan massa. Ferdinand Marcos, turun oleh massa. Soeharto, turun tahta oleh tuntutan massa. Tarji mengerti batas kekuatannya. Semangat bertempurnya kini lumer. Ia tidak sedang kekurangan nyali, melainkan sekadar bingung atas kenyataan yang sedang dihadapi. Di dalam puncak kebingungannya itulah ia memutuskan untuk kembali menghampiri motornya dan memacunya dengan frustrasi. Di belakang, anak buahnya mengikuti dengan kebingungan yang sama.Kerumunan jadi gaduh seketika. Mereka mengerubut Douglas. Tak perlu mengerti duduk perkara yang sebenarnya bagi orang-orang itu untuk menempatkan Douglas sebagai pihak yang pantas dibela. Mereka ramai-rama membawanya ke rumah sakit terdekat dengan suka rela.Begitu penuh minat orang-orang itu membawa Douglas hingga Ipung cuma bisa berdiri terpaku ketika Douglas diusung pergi. Kegemparan yang tak pernah diduga, telah menyambut Ipung di esok hari!4. Semakin Dia Terkenal, Semakin Dia Tak Punya Waktu Buatku!Rumah sakit tempat satpam Douglas dirawat, dipenuhi anak-anak SMA Budu Luhur. Kamar tempat ia dirawat mirip kamar tempat merawat pejabat tinggi. Hilir mudik para pembezuk. Di dalam penuh bingkisan, di luar rumah sakit, penuh karangan bunga. Siapa yang sakit? Cuma sekadar satpam. Kata cuma ini akhirnya melahirkan kegemparan. Pengunjung rumah sakit yang mestinya tak menaruh curiga, jadi bertanya-tanya. Siapa menteri yang sedang dirawat di rumah sakit terbaik kota ini? Jika benar-benar seorang menteri, semuanya akan terdiam dan menerima. Tetapi ketika si sakit itu adalah seorang satpam, mereka malah melanjutkan insvestigasi. Pasti ada yang tak biasa. Pasti ia satpam istimewa!Ya, Douglas telah menjadi pasien istimewa karena cerita hero-nya. Insiden pengeroyokan itu hanya membuka seluruh kedok kebaikannya selama ini, kesetiaanya pada Budi Luhur, dan pertaruhannya membela sekolah ini hidup dan mati.Cerita heroik itu menyebar dengan cepat. Jika tak boleh menyebut anak pintar di Semarang tanpa menyebut anak Budi Luhur, sebetulnya fakta ini baru setengah dari keseluruhannya. Yang setengahnya lagi adalah: tak ada anak miskin bersekolah di Budi Luhur (kecuali seorang anak saja. Dan semua tahu, ia siapa!).Seluruh anak-anak yang sedang dimabuk oleh cerita kepahlawanan Douglas itu serentak memiliki niat yang sama: memindahkan Douglas ke kamar terbaik, dengan pelayanan terbaik dengan Paulin sebagai komandan gerakan merek. Seluruh anak memaksa orangtuanya membezuk Douglas sebagai ungkapan dukungan dan duka cita. Yang satu membezuk yang lain tak mau kalah. Yang lain menyumbang, yang lainnnya lagi tak mau ketinggalan.Biar saya yang membayar kamarnya! kata Pak Himawan Sudirja. Liong Koen nama aslinya. Semua tahu, separo peredaran uang di kota ini di bawak kendalinya. Ia punya bermacam-macam perusahaan dan hanya akuntan pribadinya yang hafal berapa jumlah uangnya. Mei Lin, puterinya, adalah salah satu bintang basket Budi Luhur.Saya obatnya! Lho saya? yang terakhir ini kata Papi, Papi Paulin, yang terpaksa menurut oleh intimidasi anaknya. Papi tak kebagian peran lagi. Tapi bukan Papi kalau harus kalah gaya. Jika satpam itu sembuh, biar saya yang merenovasi rumahnya! semua tergelak. Kumpulan orang-orang kaya itu seperti sedang menemukan waktu reuninya saja. Dan Papi tidak sedang bercanda. Ia telah tahu dari Paulin, di mana rumah stapam itu, dan seperti apa bentuknya. Dan di seantero Semarang tahu siapa Papi Paulin ini, ia orang kaya yang tak bisa dilangkahi gengsinya. Jika seseorang membeli bukit, Papi akan membeli gunung. Jika orang lain membangun jembatan, Papi akan membikin jembatan lengkap dengan sungainya!Dasar para para pengusaha, sambil membezuk orang sakit pun mereka memakainya sebagai arena lobi, negosiasi dan melihat peluang baru. Setiap helaan nafas harus berarti keuntungan, kata Pak Himawan di sebuah seminar tentang konsep bisnisnya. Malah jangan bernafas jika cuma mendatangkan kerugian! kata Papi di sesi kedua. Dua orang ini sahabat karib, sama-sama kaya, sama-sama jago seminar dan kawan dalam persaingan.Sementara itu di dalam kamar VIP-nya Douglas rapat dalam balutan perban. Ia terlilit mirip mummi, tetapi ia cukup sadar untuk mengerti apa yang terjadi. Seluruh huru-hara pelayanan ini, malah membuatnya pening kepala. Ia bukan tidak berterimakasih atas seluruh kebaikan ini, tetapi ia merasa tak sanggup menerimanya. Berantem ia punya nyali, tetapi menerima kebaikan di luar takaran bisa membuatnya gila. Ia mengerang bukan karena sakit, tetapi ingin segera sembuh dan melarikan diri. Maka di setiap kebaikan yang datang, cuma mendatangkan kesakitannya. Seorang pembezuk, berarti satu kesakitan tambahan. Satu sumbangan, berarti adalah satu beban tambahan. Maka seluruh dari perayaan atas sakitnya ini, malah mendatangkan penderitaan baru.Karena perkelahiannya adalah perkelahian biasa. Begitulah memang tugas seorang satpam. Tak ada yang istimewa. Bahkan jika seorang satpam mati dalam tugas, cukuplah kalau keluarganya diberi ganti rugi sekadarnya. Tidak perlu ada karangan bunga, arak-arakan pelayat, tidak pelru namanya diabadikan sebagai nama jalan.Jika insiden itu menjadi besar dan menimbulkan kegaduhan seperti ini, pasti karena ulah Ipung. Douglas mengerti sepenuhnya soal ini. Sudah lama ia mengagumi anak itu. Dan kini kekagumannya terbukti lagi.Pertama, apa jadinya jika Ipung tidak melerainya dengan cara membuat keonaran lewat bel besi itu? Douglas pasti sudah dikubur hari ini. Di kampungnya pasti sudah berlangsung pengajian Yasinan, Tahlilan, lengkap dengan doa-doa panjang yang membumbung ke langit. Maka nama Ipung-lah yang selalu ia sebut setiap orang datang menyalami. Satu bezukan satu sebutan. Makin lama, nama Douglas harus dilupakan oleh para pembezuk dan ganti nama Ipung yang bersemayam di benak mereka. Douglas yang menderita, Ipunglah yang menjadi berita.Berita dalam pengertian sebenarnya. Foto Douglas lengkap dengan perban mumminya itu terpampang besar di koran terbesar Semarang. Tak cukup berita, foto itu juga disambung dengan sebuah feature tentang siapa Douglas, tentang keberaniannya dan tentang orang-orang terdekatnya. Dan siapa orang terdekat itu? Sulit untuk tak menyebut nama Ipung. Foto anak itu memang tidak turut serta, tapi namanya berserak hampir di sekujur berita.Ada nama tanpa rupa! Inilah yang tak pernah diduga siapapun bahkan oleh Ipung sendiri. Itulah awal-mula terjadinya mitos itu. Orang hanya mengerti cerita tanpa tahu kejadian sebenarnya. Orang hanya mengerti nama tanpa pernah ketemu orangnya. Katanya anaknya kerempeng! Jelek sih. Tapi pacarnya cantik luar biasa! Pasti ada sesuatu dengan anak itu! Jangan-jangan main dukun! Ah dia sekadar anak desa!Spekulasi beredar lalu-lalang tentang Ipung, dari murid ke murid, dari orangtua ke orangtua. Dan kini spekulasi itu telah merambat ke media massa. Tak peduli apakah suara-suara itu kebenaran atau kebohongan ia cuma berakibat satu saja: nama Ipung dibicarakan dengan khasak-khusuk, antara kagum dan penasaran, benci dan hormat, takut dan muak, mirip ketika orang tengah membicarakan pemimpin mafia.Tapi popularitas Ipung yang melesat tinggi, ternyata cuma berujung pada kesepian di hati Paulin. Anak Mami itu selepas menemani Papi-nya menjenguk Douglas, pulang dalam keadaan bisu. Dengan segera Papi mengerti. Keduanya, pulang dengan diam. Semakin dia terkenal, semakin dia tak punya waktu buatku! bisik hati Paulin. Pedih. Perasaan ditinggalkan dan tak berguna, adalah perasaan paling menakutkan umat manusia di jagat ini. Tak terkecuali Paulin, tak peduli betapapun menggemparkan kecantikannya. Semakin anakku mencintai mahluk itu, semakin gawat keadaan keluargaku! batin Papi, tak kalah ngeri.Ia tak lagi bisa mengingkari fakta, bahwa anaknya jatuh cinta pada anak itu. Ia juga tak bisa menolak pesona Ipung, lepas dari apakah seseorang menyukai atau membencinya. Ia pernah merasakan sendiri kecerdasan anak itu. Tatapannya yang tak kenal takut, dan gayanya yang sinis. Kepada orang yang memandang rendah kepadanya, ia ganti akan merendahkan orang itu di titik terendahnya. Tetapi jika kepadanya disodorkan kebaikan, ia akan mempertaruhkan nyawanya. Papi jelas tak butuh saksi akan hal ini. Papi mengalaminya sendiri. Serangkain drama yang melibatkan anaknya, dirinya sendiri dan keluarganya akibat ulah Ipung, adalah fakta yang demikian jelasnya.Dan apa yang disebut ulah itu celakanya bukan rangkaian kejahatan. Melainkan bukti ketulusan, keberanian dan kegilaannya sebagai anak. Gila tapi mulia. Ini membingungkan! batin Papi diliputi dilema. Bukan bukan dilema kalau ia hanya orangtua kebanyakan. Ini menjadi dilema karena Paulin mencintainya. Mudah menggumi Ipung dari sudut orangtua kebanyakan. Tetapi tidak mudah menggumi anak itu sebagai. calon mertua!Punya menantu serupa Ipung adalah dagelan besar yang tak boleh menimpa keluarganya.Menyebut kata calon menantu, adalah kengerian bagi Papi. Maka ia sedang bersiap menyediakan rencana. Anak dan bapak itu membisu di perjalanan. Sepi di luar tetapi ramai di dalam!5. Ketenaranmu, Kesepianku!Papi punya rencana. Mami setuju saja.Rencana besar, malah rasanya terbesar sepanjang hidup mereka. Papi tidak setegang ini jika hendak mendirikan pabrik baru. Bahkan ketika pabrik itu bangkrut sekalipun, Papi cuma tertawa saja. Baginya itu tak lebih dari sekadar romantika dagang biasa.Jatuh bangun dalam bisnis hanya soal permainan hidup. Tetapi rencana ini, adalah soal hidup itu sendiri. Maka Papi butuh menenteramkan diri, butuh mencari jam dan hari, cuma untuk memulai percakapan awal dengan Mami.Betapapun Papi adalah orang Jawa. Perubahan paling radikal sekalipun tak menarik derajatnya sebagai orang Jawa yang percaya petung, hitung-hitungan hari baik dan hari naas. Ia menengok bintangnya: Libra. Ia menengok hari lahirnya, weton, Minggu Wage. Minggu berangka 4 Wage barangka 5. Jumlahnya 9. Hari lahir Papi melambangkan angka tertinggi, sempurna. Tahan waktu, tahan guncangan dan siap pada segala keadaan. Jadi untuk berembuk apa saja, kapan saja, Papi siap saja.Tapi tidak bagi Mami. Kecantikan Mami di masa muda, memang seperti tidak sejalan dengan hari lahirnya; Jumat Pon. Dua pekan lagi, pasaran Pon itu akan menjadi Kliwon. Bayangkan jika wanita secantik Mami berkelahiran Jumat Kliwon, hari yang oleh televisi malah dipakai untuk menyetel film-film horor. Beruntung Mami masih tertahan di Jumat Pon. Sudah ada bau horornya, tetapi belum sampai yang terhoror. Dari lahirnya, sudah terbayang wataknya! batin Papi, antara geli dan pedih. Istrinya memang memiliki kecantikan nyata, tetapi kegalakannya jangan tanya. Celakanya, wanita galak itu adalah wanita yang mudah patah. Rapuh. Jika sudah patah, sulit mengobatinya. Dan pingsan adalah hobinya. Satu persoalan bisa membuatnya meradang. Dua persoalan langsung membuatnya pingsan. Inilah galak yang merepotkan.Maka hari inilah, malam inilah, hari baik itu telah ditemukan. Ketika Paulin sudah nyenyak dalam tidurnya Papi malah membuka jendela kamarnya.Dari jendela di rumah besarnya itu, hamparan di bawah, meriah oleh gemerlap lampu. Itulah Semarang bawah, tempat seluruh kesibukan dan letak denyut jantung kota, lengkap dengan banjirnya. Dari rumahnya di ketinggian di Semarang atas, tempat seluruh orang kaya kota ini berkumpul, Papi sejenak menghela nafas kemenangan. Bahkan banjir yang di bawah itu, sulit menjangkau kesuksesanku! kata hatinya. Sulit untuk menyembunyikan kebanggaan. Tetapi selebihnya adalah tantangan baru yang tak pernah ia duga. Orang sesukses aku, tiba-tiba harus kebingungan hanya soal anak itu! katanya geram. Wajah Ipung membayang di gelap malam. Sinis, angkuh, tak peduli. Sialan! Ingin rasanya Papi menempeleng kepala anak itu berkali-kali. Melumatnya sampai lenyap di telan bumi. Paulin harus pindah sekolah Mi! Bukan soal pindahnya. Tapi soal alasannya! Mami menukik langsung.Papi terkesiap. Diam-diam Papi mengagumi kecerdasan istrinya, lengkap dengan kegalakannya. Diam-diam ia mengutuk kelemahannya sendiri menghadapi Ipung. Keliru membuat alasan, kita cuma menjadi bahan tertawaan! kata Mami.Mereka? Ya, Papi Mami memang menghadapi dua pihak sekaligus. Pihak pertama adalah anak semata wayangnya sendiri. Kedua, adalah calon menantunya yang celaka itu. Perpindahan yang mendadak dan mengada-ada adalah santapan empuk bagi Paulin. Anaknya itu mewarisi kepekaan bisnis Papinya disempurnkaan dengan kecantikan Maminya. Jika perpindahan itu tidak masuk akal, satu saja tafsirnya: itulah usaha memisahkan dirinya dari Ipung.Dan ini pasti akan membuat Paulin marah. Jika anak itu marah dunia seisinya sudah mengerti. Ia akan minggat tanpa kompromi. Mami Papi ngeri membayangkan hal ini. Yang penting Mami setuju dulu ide ini! Bukan soal ide. Ini soal alasan sergah Mami. Baik. Aku akan mencari hari baik lagi untuk yang satu ini!Mestinya Papi ingin berhumor. Tapi bahkan tak ada yang merasa perlu tertawa, termasuk Papi sendiri. Jika melawan Paulin saja sudah merupakan musuh berat, masih ada musuh berat yang lebih celaka lagi: Ipung, calon menantunya. Astaga, calon menantu! Papi hendak meledakkan tawa sekencangnya setiap menyebut frasa ini. Apa jadinya nanti teman-teman di lapangan golf itu nanti? Siapa anak kurus itu, pembawa stik golfmu yang baru? Oo bukan. Itu menantu tersayangku!Inilah jawaban yan pasti akan menggucang seluruh lapangan dengan ledakan tawa dan cibiran. Papi benar-benar dihantui perasaan horor membayangkan ini semua terjadi.Tetapi ah, orang-orang yang tertawa itu pasti cuma karena belum tahu siapa anak kurus itu. Jika ia sudah terhina, meskipun seluruh lapangan golf di dunia ini diberikan gratis kepadanya, cuma akan diserahkan kepada petani-petani miskin untuk ditanami palawija. Anak itu punya kegilaan yang tak pernah dibayangkan. Dan teman-temanku yang sok kaya ini, cuma akan menjadi rendah di hadapan anak ini! batin Papi.Ya, ya! Inilah hati Papi yang asli. Sulit untuk tidak mengagumi Ipung, tetapi sulit untuk tidak mengutuknya! Seandainya yang dia cintai bukan anak saya, pesta pernikahannya akan kugelar tujuh hari tanpa henti! kata Papi berjanji.Tapi ia tahu, janji itu sia-sia belaka. Pesta semacam itu tak akan pernah terjadi. Karena bahkan bukan Ipung, tetapi puterinya sendiri yang memilih anak itu sebagai pacarnya!Angin malam di Semarang atas tajam menggigit, menerobos jendela rumah besar itu. Papi memandang lampu-lampu di kota bawah. Mami terihat gundah. Pembicaran malam ini harus diakhiri. Tak perlu memaksakan diri mencari alasan itu di malam ini. Papi masih akan mencari hari baik satu lagi. Dan hari baik itu sesungguhnya hanyalah serupa lonceng dalam dunia tinju. Ia sekadar memberi jeda untuk menghirup nafas dan rasa lega. Tetapi setelahnya, pertarungan sebenarnya justru telah menunggu.Tetapi biarlah lonceng itu berdentang lebih dulu.Biarlah kiamat akan datang esok pagi, asal kita masih bisa tidur di malam ini!Papi boleh kalut, tapi ia pasti belum kehilangan kemampuannya bercanda dan menghibur diri.Sementara Paulin, di kamar besarnya yang lain, yang dianggap sudah lelap tertidur itu, masih sepenuhnya terjaga. Bukan terjaga biasa, melainkan jaga dengan segenap kemarahan.Paulin sama sekali tak menyangka. Jika niatnya untuk menghormati Douglas dengan mengompori teman-temannya itu, malah mendatangkan popularitas sedemikian rupa bagi Ipung. Ia bukan tidak rela kekasihnya itu populer. Jujur saja, karena pesona itulah ia mencintainya. Tetapi ia tahu pasti, popularitas itu pula yang akan merenggut hari-harinya. Sebagai anak kampung saja Ipung telah memiliki bakat cuek luar biasa, apalagi setelah ia kini menjadi selebriti! Semakin Ipung meninggi, semakin sulit dimiliki. Paulin terpaksa menggigit bibirnya, karena semakin ia uring-uringan, semakin ia mencintai.Berkali-kali Paulin mencoba mengerek popularitasnya sendiri, tetapi selalu berkali-kali usaha itu malah Ipung yang menikmati. Saya yang punya rencana, tapi Ipung yang menuai hasilnya! kata Anak Mami nelangsa. Ia sangat ingin dianggap ada. Ia ingin menjadi pacar Ipung bukan karena kecantikannya, tetapi karena keberadaannya. Bahwa Paulin tidak kalah kelas dari kekasihnya itu. Bahwa jika ia mau, ia bisa membuang Ipung kapan pun dia mau, dan menggantinya dengan seluruh cowok ganteng yang ada di dunia.Di malam yang senyap itu, hati Anak Mami malah membara. Dan jika Mami-Papi punya rencana atas dirinya, ia juga sudah punya rencana untuk dirinya sendiri! Untuk membuktikan keberadaannya!6. Dua Rencana Satu KesedihanRencana Mami-Papi bulat sudah. Paulin harus sekolah ke Singapura, tempat Papi telah melebarkan jaringan bisnisnya hampir tiga tahun lalu. Baru tiga tahun tetapi perkembangannya demikian nyata. Di bisnis properti, Papi masuk dalam kongsi pembangunan aneka apartemen yang mewabah di negeri Singa. Tapi bisnis besar seperti itu tak perlu banyak diurus. Tak menantang lagi. Tak perlu bekerja tetapi uang menggelontor dengan derasnya.Ini tidak asyik, kata hati Papi. Hidup rasanya terlalu mudah dan ini tidak meghibur naluri petarungnya. Papi malah ingin melakukan rekreasi membuka vendor makanan di Orchard Road dan memperkenalkan makanan-makanan Jawa di sana.Papi bangga sekali pada kebangkitan kebanggaan lokal di hari-hari ini. Di Semarang, ada retoran Steak Ben Tuman namanya. Itu bukan nama asing, melainkan kata Jawa dalam pengertian sebenarnya yang artinya biar ketagian. Nama yang berani, menjual keluguan. Dan restoran itu sukses besar. Ada Warung Mbah Jingkrak dengan sayur yang hampir seluruhnya cuma berisi cabe dengan nama yang menggentarkan: Sambal Iblis. Papi pernah mencobanya. Seluruh mulutnya serasa terbakar, peluh berleleran dibuatnya, Pedasnya mirip cabe neraka, tapi Papi tergelak karena ada jenis pedas yang membuatnya gembira.Ia ingin mengusung keunikan itu ke Orchard Road dan membuat kegembiraan di sana. Di Solo, tempat asal Papi, ada ayam bakar yang amat percaya diri menyodok pasar: Ayam Bakar Wong Solo, namanya. Tak tanggung-tanggung, ayam bakar ini terbukti sukses mencuri ceruk pasar yang telah mapan yang didiami oleh MBok Berek. Ny Suharti dan tentu Kentucky Fried Chikcen. Papi sudah buat tekatnya. Di Orchad Road ia akan mengontrak lokasi paling strategis, akan pasang lagak yang lebih angkuh dan gaya di banding KFC dan McDonald. Dan ia telah mendapatkan nama yang membuatnya bergairah. Nama yang tidak akan ada duanya di dunia; Ayam Goreng Wong Edan!Kalau di kolam pancingan, pembeli bisa makan ikan dengan cara memancingnya sendiri, di Resto Ayam Bakar Wong Edan ini pembeli bisa nguber-uber ayamnya sendiri. Unik, heboh, brutal! Tapi semuanya harus khas Papi, harus bercita-rasa moral yang tinggi. Barang siapa bisa menguber ayamnya lebih cepat akan mendapat diskon besar-besaran karena kecepatan itu berarti mengurangi penderitaan si ayam. Pembeli juga akan melihat penyembelihan ayam paling religius sedunia. Papi ngeri melihat perlakuan manusia atas ayam potong selama ini. Ayam-ayam ditumpuk dalam atap-atap bus, dipanggang dalam panas mobil-mobil bak terbuka, ditumpuk di sisi kanan-kiri kendaraan bermotor. Hewan yang teraniaya itu, jika di makan begitu saja, pasti akan mengutuk pemakannnya. Dan kutukan itu pasti menjadi sumber kanker ganas dan semacamnya.Restoran ayamku akan memuliakan nasib ayam! janji Papi dalam hati. Sebelum disembelih, ayam itu akan lebih dulu didoakan. Dan pembeli juga bisa memilih pendoa sesuai dengan agamanya masing-masing yang disediakan gratis di restorannya. Warungku akan menjadi warung orang-orang beriman dari seluruh penjuru agama! batin Papi semangat.Ya, Papi tidak sedang bercanda. Ia ingin menjual seluruh masa silamnya ke manca negera, ke Eropa, ke Amerika. Abad kebangkitan nilai telah tumbuh. Dan setiap orang, harus bangga dengan nilainya sendiri. Di New York, aku akan bukan resto tempe penyet terbesar di Amerika! kata Papi dengan geram. Ya ia geram, karena Indonesia adalah negeri yang kenyang dihina. Papi ingin menjadi penjajah dengan caranya. Papi yang asal Solo dan sukes di Semarang akan menjual seluruh kekayaan tradisi masa lalunya kalau perlu ke kutub selatan dan utara. Aku akan buka warung sup kaki kambing di Antartika. Dahsyaaat! Bangkrut tak apa-apa! Kalau yang ini Papi pasti sedang membual. Tetapi bualan pun ada gunanya untuk mengompori semangat di dalam hati. Hanya. perjalanan dari Solo dan sukses di Semarang itu, bukan cuma memberinya kebanggaan. Tetapi juga kegetiran. Kenapa? Karena begitulah pula Ipung. Semangatnya yang membara menjadi redup mendadak ketika ternyata, seluruh kesuksesannya itu hanya pola yang menurun menjadi karma pada diri anak yang sekarang sedang mengancam gengsi keluarganya. Dari udik di Kepatihan sana, anak itu jadi maskot di sekolah paling bergengsi kota ini, kata Papi getir. Getir, karena Papi mengerti apa itu Dusun Kepatihan. Ia adalah sebuah wilayah yang tidak setara dengan gengsi darah birunya. Papi adalah sentana dalem, kerabat dalam. Priyayi lingkaran dalam di Keraton Surakarta Membayangkan Ipung menikahi puteri tersayangnya, adalah melihat pasangan Beauty and The Beast; dengan si Buruk Rupa itu tak pernah akan berubah menjadi pangeran tampan selamanya. Ia tetap si buruk dari Dusun Kepatihan yang menjadi bahan tertawaan teman-temanku di lapangan golf! Ooo apa kata dunia!Maka inilah saatnya. Hari baik itu sudah tiba. Tiga malam dari rencana pertama, Papi Mengajak Mami mengetuk pintu kamar Paulin. Memantapkan hati, menyiapkan perintah yang tak terbantahkan. Alasan memindahkan Paulin itu sudah ketemu sekarang. Bukan cuma Paulin, tetapi Mami-Papi juga akan ikut pindah ke Negeri Singa itu. Membangun rumah sebentar, apa susahnya! Pulang pergi Indonesia-Singapura bagi Papi, sama dekatnya dengan pulang pergi Johar-Simpang Lima. Secerdas apapun Paulin, ia tak memiliki alasan untuk curiga kalau kita pindah bersama-sama kata Papi semangat. Mami-Papi bersulang dengan tangannya. Josss! pekik keduanya.Di dalam kamar, Paulin juga telah membulatkan rencana. Ia amat mencintai Ipung karena seluruh reputasinya, kemuliaan hatinya dan kesintingannya sekaligus. Tetapi seluruh soal yang ia cintai itu, adalah soal yang membuatnya sepi. Semakin besar kecintaan itu, semakin besar ancaman kesepiannya. Inilah cara kerja Hukum Newton Ketiga, bisik Anak Mami itu dengan nada luka. Semakin besar kita memilki, semakin besar ancaman kehilangannya.Maka Paulin mengerti, semakin ia dekat dengan Ipung, semakin berbahaya kaena seluruh anak itu, seperti cuma berarti pesona. Tetapi seluruh pesona itu, bukan cuma untuk Paulin, tetapi untuk sekolahnya, teman-temannya, dan siapa saja yang mengenal Ipung dari dekat. Ia memnag memiliki seluruh bakat untuk dicintai. Kecuali wajahnya, batin Paulin, geli, tetapi getir. Lalu di mana tempat Paulin di tengah lingkaran yang makin membesar dan membesar itu? Aku cuma akan menjadi titik kecil dalam lingkaran raksasa, kata hati Anak Mami murung. Maka itulah saat ia merasa harus menegakkan sandaran kursi, menengadahkan wajah, bangkit dan membangun reputasinya sendiri. Aku akan pindah sekolah! tekatnya. Tidak sekadar pindah. Tepai harus sekalian ke luar negeri!Makin jauh dari Ipung, makin mudah ia menemukan diri.Harus! Harussssss! batinnya berapi-api. Wajah Ipung terbayang. Dada Anak Mami terguncang. Tapi selebihnya ia mengatupkan bibirnya yang indah itu rapat-rapat. Ia tatap bayangan wajah itu dengan kemarahan.Akan kubuktikan! Aku kuat tanpamu! pekik Anak Mami dalam diam. Sementara Mami-Papi dengan mantap hati hendak mengetuk pintu puteri tercintanya, Paulin juga dengan mantap hati hendak keluar kamar, menemui keduanya. Tepat ketika Mami hendak mengetuk pintu, Paulin telah lebih dulu membukanya!Lhoo belum tidur! kata Mami kaget.Lhoo mau gangguin orang tidur! balas Paulin.Keduanya tertawa. Papi mencoba geli. Tepatnya bukan geli. Lega. Cuaca sedang cerah, pikir papi, skenario akan selancar yang diduga.Mami mau bicara!Paulin dulu saja. Nanti gantian!Mami mengernyit heran. Semua diam, menunggu! Mi, Pi, Paulin ingin sekolah ke luar negeri!Permintaan itu mengalir, tenang, mantap, pasti. Mami terhenyak dalam hati. Papi terkesiap dalam hati. Tetapi dada keduanya berdebur oleh kegembiraan yang tak pernah mereka duga. Inilah pentingnya mencari hari baik! Bahkan sebelum meminta, sudah diberi, kata Papi dalam hati. Pekikan yessss memenuhi seluruh rongga dadanya.Tetapi Papi adalah pebisnis sejati. Ia hafal mengelola kegembiraan. Jangan terpana pada tawaran pertama, betapapun amat murah harganya, itulah kiat bisnis Papi. Maka meskipun permintaan Paulin itu adalah petir kegembiraan, Papi menyembunyikan dengan ketenangan terjaga.Untuk anak Papi, apa yang tak pernah Papi berikan. Jangankan cuma pindah sekolah, mau beli sekolah seisinya saja akan Papi belikan!! balas Papi tenang. Tak acuh. Ini serius Pi! Tapi ada apa. Kenapa tiba-tiba! timbrung Mami yang dengan cepat menyadari sandiwara dadakan ini. Logatnya sabar, walau Mami hampir gagal menyembunyikan kegembiraan. Ingin cari pengalaman saja. Mumpung masih muda, dan punya orangtua kaya!Semua tergelak! Ok. Mami-Papi percaya pada Paulin. Anak Papi tahu apa yang harus dikerjakan. Meskipun Mami-Papi bisa gila ditinggal Paulin pergi! kata Papi, tenang, serius, berwibawa. Mami menunduk. Juga serius. Berat sekali pasti berpisah dari puteri semata wayangnya. Papi-Mami bisa terancam gila beneran. Tetapi membayangkan bermenantu Ipung, kegilaan itu pasti bukan cuma ancaman. Ia benar-benar akan menjadi kenyataan. Singapura saja Nak, yang dekat! Mami-Papi seminggu sekali biar gampang nengoknya kata Mami, tersendat. Ia telah membayangkan hari perpisahan itu. Maka skenario bedhol desa, pindah bersama-sama itu tak berlaku lagi.Terserah Mami-Papi saja, kata Paulin, tenang. Tetapi segera, getar hebat menyusup di sekujur dadanya. Bayangan Ipung-nya yang kurus itu berpendaran dengan segera. Ya sudah deal! Paulin bersulang tangan dengan Mami-Papinya. Berlagak gembira oleh terkabulnya permintaan. Sementara Mam-Papi masuk kamar dengan wajah berbinar, Paulin masuk kamar dalam suasana yang amat berbeda.Ia segara membuang tubuhnya di sofa besar kamarnya. Menangis sejadi-jadinya. Ia mengutuki permintaanya sendiri. Ia kaget sekali ketika dengan mudahnya Mami-Papi mengabulkan permintaannya.Jadi perpisahan itu benar-benar akan tiba. Akan ada! ratapnya.Di benak Anak Mami, Ipung melintas jelas dengan sepedanya. Mengayuh pelan, menjauh dan lenyap. Semalam Paulin gagal tidur. Dan esok hari, ia menolak masuk sekolah. Itulah hari terakhir ia menjadi murid SMA BUdi Luhur, sekolah yang amat ia cintai!7. Panggung Kebencian (1)Budi Luhur geger! Bahwa Paulin tak masuk sekolah itu kabar yang amat biasa. Terlalu biasa. Sehari, dua hari, tiga hari malah seminggu kalau perlu. Maka kalau pagi yang lalu ia tak kelihatan di sekolah, semuanya menganggap Anak Mami itu sedang kumat belaka. Dan jika musim kumat sedang tiba, tak ada hukuman yang bisa menggentarkannya. Paulin dan bolos sekolah, semudah orang meludah.Sudah lama Budi Luhur terganggu pada keberanian peri cantik ini. Hampir saja pihak sekolah, Pak Bahrun terutama, merasa terhina. Jika nyali anak itu ada cuma karena merasa sebagai anak pengusaha berpengaruh, Prabawo, namanya, nama yang di seantero kota mengenalnya, ia salah perhtiungan. Pak Bahrun siap pasang badan. Tendang saja anak itu dari sekolah, pinta Pak Bahrun pada Guru Bakri. Guru galak itu diminta membuat pengawasan khusus. Dan Bakri mengerti bagaimana merawat atasannya yang sulit itu. Ia pura-pura segundah atasannya. Padahal ia geli saja melihat taktik murid-muridnya itu. Ia mengerti benar rapot kelakuan Paulin. Anak itu tidak seberani yang disangka. Anak itu cuma cerdas! batin Guru Bakri.Guru itu paham persis, untuk menendang murid begitu saja dari sekolah cuma karena membolos adalah keputusan gila. Murid sekelas Paulin pula.Bukan Paulin yang butuh sekolah ini. Tapi kitalah yang tergantung padanya, batin Bakri. Lagi pula akumulasi membolos itu dibutuhkan kuota. Dan Paulin tahu itu. Ia cuma memanfaatkan batas terjauh kuota itu dengan cerdik.Selalu jumlah kuota kurang satu! gumam Bakri dengan tawa tertahan setiap mengamati rapot kelakuan Paulin. Jadi sebanyak apapun Pailin membolos, ia telah berhitung. Ia mengerti batas itu dan menjaganya dengan seksama. Nakal tetapi tertib. Binal tapi tak ternoda. Guru Bakri tersenyum dengan dada penuh oleh perasaan bangga, entah dari mana itu datangnya. Bukan bukan Paulin benar yang mendatangkan perasaan aneh itu. Karena menyebut Romeo harus menyebut Juliet. Karena menyebut Tom harus menyebt Jerry. Karena menyebut The Beauty harus menyebut The Beast! Siapa si Beast itu, siapa lagi, jika bukan si kurus itu, anak yang engkau semua tahu siapa!Bagi Guru Bakri, pasangan Ipung-Paulin adalah magnet bagi Budi Luhur. Paulin yang kecantikannya mengguncangkan dunia industri mode di Semarang bahkan sampai ke agen-agen periklanan di Jakarta, adalah Paulin yang meminta mereka dengan sopan untuk pulang dengan tangan hampa. Semakin Paulin menolak tawaran dunia panggung, semakin kencang pesona Budi Luhur karena inilah sekolah dengan rasa angkuh yang tak bisa diguncang.Sementara Ipung? Kini anak itu bahkan telah menjadi lebih terkenal dari sekolahnya sendiri. Ia dikenal bukan cuma karena kesintingan-kesintingannya selama ini. Tetapi juga karena inilah satu-satunya murid Budi Luhur yang bersekolah sambil menjadi wartawan lepas, dengan bakat reportase yang Guru Bakri harus menghela nafas setiap membacanya. Selebriti Numpang Lewat adalah reportase pertama Ipung di majalah MM Jakarta. Laporan ini dengan jelas menggambarkan bakat Ipung yang mencemaskan Guru Bakri. Cemas karena bahkan ia sendiri tak dianguerahi kemampuan seperti muridnya di usia sedini itu. Itulah reportase yang bercerita tentang anak-anak muda, pemenang kontes ini-itu, yang kemarin gemerlap di depan kamera tapi hari ini telah lenyap jejaknya. Ipung menelusuri jejak-jejak itu. Dan ketemulah sebagian mereka dengan wajah sama sekali berbeda. Tepatnya wajah yang telah kembali ke bentuknya yang sedia kala: ada yang kembali kerja di bengkel sebagai teknisi, ada yang kembali kesulitan bayar kontrakan dan harus pindah tidur ke sana-sini, ada yang kembali ke desa cuma untuk nongkrong berjam-jam di televisi. Menatap masa lalu, mengenang kembali era keemasan dulu. Sinis tetapi manusiawi. Mengolo-olok, tapi berempati, batin Guru Bakti tentang laporan itu. Ia sulit mengelak dari kebanggaan seorang guru yang memiliki murid langka itu.Maka gabungan Ipung-Paulin adalah public relation yang dahsyat bagi SMA Budi Luhur. Betapapun, sekolah ini butuh daya tarik. Ia memang guru legenda di sekolah ini. Tetapi menggantungkan hanya kepada pesona Guru Bakri adalah tindakan yang berbahaya. Aku ini tak lebih Spiderman tanpa sawang! kata hatinya. Geli, getir! Maka kini, bahwa Paulin bukan cuma dikabarkan bolos, tetapi juga akan seterusnya hilang dari SMA Budi Luhur, segera menjadi kabar paling panas di sekujur sekolah. Dewan guru rapat seketika meskipun tanpa suara. Pesan Pak Bahrun jelas di rapat itu: Jangan sampai dikesankan pamor Budi Luhur merosot cuma karena keluarnya seorang anak. Sekolah ini lebih besar dari hanya sekadar murid! pekiknya di depan dewan guru. Mulutnya memekik tapi hatinya gundah sekali.Anak-anak bergerombol di sana-sini. Gredo terdiam beberapa saat, berpikir keras apalagi yang akan terjadi dan apa yang harus ia perbuat. Marjikun pasang mimik sedih, tetapi ia gembira bukan main untuk alasan yang tak ia mengerti. Baginya, setiap kegemparan adalah hiburan. Tika, sahabat paling karib Paulin sibuk menangis setiap nama sahabatnya itu disebut.Aku harus menunggu arah angin. Tapi inilah saatnya! batin Gredo di tengah kerumunan. Ia memang menyeburkan diri di tengah gaduh, tetapi kalkulasinya telah melayang jauh. Drama itu memang telah berlangsung lama. Ipung memang telah menjadi sahabatnya, tepatnya teman sekolahnya yang biasa. Tak ada lagi pemusuhan. Mereka telah bercanda sebagaimana layaknya teman. Paulin memang telah coba ia lupakan sebagai lebih dari sekadar teman. Tetapi luka ini tetaplah luka. Jika pembalutnya kembali dibuka, ia akan kembali menganga.Tak mudah melupakan perkelahiannya yang kalah. Kalah di depan umum, dipermalukan sedemikain rupa, adalah aib berkepanjangan. Aib itu adalah cacat permanen dan hanya bisa dibalas dengan kekejaman yang sama. Tapi ia sadar, sejarah sedang tidak berpihak kepadanya. Di dalam sejarah, ia hanya pelengkap.Di dalam lakon besar, Gredo hanya figuran. Walau semula ia merasa dialah pemeran utama itu. Gagal mendapatkan cinta Paulin. Dihajar di depan publik pula! batin Gredo nelangsa. Kejadian dua tahun lalu membayang. Hatinya tiba-tiba sesak oleh amarah dan kebencian terpendam. Kini saatnya aku membayar hutang itu. Tidak harus lunas sekali bayar. Tetapi setidaknya aku akan mencicilnya! tekat Gredo. Sudah tentu ia harus mencicil dengan cerdas. Terang-terangan bergembira atas kepindahan Paulin dan bersyukur secara terbuka atas Ipung yang pasti terluka, adalah tindakan bodoh. Betapapun dia sedang di puncak! bisik Gredo. Melawan jagoan tepat di pangung utama, adalah sebuah kekonyolan. Gredo pernah merasakan sebagai pecundang itu. Seluruh jagat raya seperti menertawakannya. Dan inilah yang menyakitkan hatinya: meskipun ia membenci Ipung hingga ke ujung rambut, ia ngeri melihat nyali Ipung dengan pentungan kayunya itu. Dingin, gila, psikopat!Maka otak Gredo bergerak cepat. Untuk urusan menyusun skenario kebencian, Gredo tetaplah yang terbaik. Sebuah kebencian yang akan ia kemas dengan indah. Ia akan minta ijin sekolah menyelenggarakan pesta perpisahan untuk Paulin. Dia sendiri yang akan menjadi sponsornya. Tak ada alasan bagi sekolah untuk menolak. Tak ada alasan bagi sekolah untuk tidak menghormati Paulin, mencintainya. Ia salah seorang murid terbaik sekolah ini. Penuh perayaan! itulah citra yang hendak disodorkan Gredo kepada sekolah, kepada Pak Bahrun dan Pak Bakri. Tapi bukan sembarang perayaaan. Tetapi selalu berkaitan dengan kemanusiaan! teriak Gredo dalam hati. Itulah nanti proposalnya kepada sekolah. Seluruhnya masuk akal, mulia dan indah. Betapa dulu, ketika sepeda Ipung hilang, sekolah ini juga mengadakan upacara aneh. Upacara penebus dosa yang membuat gengsi sekolah ini menyedot perhatian wartawan majalah-majalah remaja hingga jauh di Jakarta, dengan Ipung sendiri akhirnya menjadi wartawan lepas di salah satunya.Imajinasi Gredo terus mengembara. Akan ada pertunjukan band, pantomim, baca puisi, sambutan teman, sahabat. Guru, orangtua, yang lucu seru, meriah dan menghina. Dan seluruh kemeriahan itu punya satu target saja. Bukan kepindahan Paulin benar yang ia rayakan, melainkan kesakitan Ipung yang tengah ia bayangkan.Pesta meriah itu pasti akan mejadi palu godam bagi Ipung. Seluruh anak pasti akan menyorakimu dalam hati! Inilah akhir dari keberuntungamu yang konyol itu! pekik Gredo.Ia tak peduli berapa banyak duit digelontorkan untuk proyek ini. Di rumah, Gredo adalah pangeran. Hanya ada satu kata bagi permintaannya: ya! Penolakan dari Mama-Papanya, adalah soal haram. Tetapi cuma dengan itu Papa menambal kesalahannya sebagai orang sibuk. Orang yang rela membiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa pengawasan demi ambisinya sebagai manusia sukses. Gredo hanya bisa menyalurkan kemarahan atas kesepiannya dengan cara meminta apa saja. Meminta apa saja dan menghambur-hamburkannya!Maka ia membayangkan panggung perpisahan itu dengan gairah yang aneh. Ia akan melihat Ipung sedang tercabik-cabik oleh kesakitan luar biasa. Setiap dentuman bass drum dari anak band nanti, pasti akan terasa sebagai gedoran kesakitan hati Ipung. Ia akan tercekik perasaan malu, frutrasi, kalap dan putus asa!Saya bayangkan dia pasti akan ngendat dengan tali dan masuk sumur tua di esok harinya. Hidup baginya pasti tak menarik lagi! pekik Gredo dalam hati. Gairahnya menyala. Dan ia punya mesin politik yang efekif untuk soal-soal semacam ini: Marjikun!8. Panggung Kebencian (2)Paulin membuang tubuhnya ke sofa dan terbenam kalut di kelembutannya. Tuhan memberi seluruh keberuntungan kepadaku. Kecuali satu bisik Anak Mami itu pedih. Aku selalu salah hitung! keluhnya. Ya lagi-lagi Paulin tak menduga, jika keputusannya untuk pindah dari sekolah yang dicintainya itu menimbulkan keguncangan hebat bagi teman-temannya. Jika dulu seluruh pasukan Kelas Unggulan itu berarak ke Surakarta, ke kampung Ipung di Kepatihan, kini manusia yang sama sedang berkumpul di rumahnya, kecuali Ipung, tentu. Ke mana anak itu? Berandal itu selalu punya alasan yang mirip keberuntungan, desis Gredo muak. Mestinya ia sudah di rumah ini. Ikut aksi solidaritas ini. Mestinya ia mulai menahan siksa itu sejak dini. Tetapi siapapun sulit membantah bahwa ketiadaan Ipung adalah soal yang nyaris alamiah. Karena cuma Ipung anak di sekujur sekolah itu yang paling sibuk selepas jam sekolah. Adalah Ipung, anak dengan pacar secantik boneka Barby yang sering ditinggal sendiri. Hunting laporan, dikejar dead line, liputan luar kota, melakukan pemotretatan hingga jauh malam, adalah serangkain alasan tak terbantahkan. Sejak dulu, bukan cuma hari ini. Sibuk tetapi tidak mengada-ada. Sedikit waktu untuk Paulin tetapi pacar yang sendiri itu sepi dalam bangga.Hanya dia yang bisa begitu, senyum Anak Mami mengembang. Kebangaannya sulit disembunyikan. Karena minggu depan, seluruh sekolah tahu, betapa liputan Ipung di Majalah MM selalu menjadi demontrasi yang nyata atas kerja kerasnya. Maka ketika Ipung lenyap, anak-anak tak menggubrisnya lagi. Bahwa Ipung adalah makhluk yang mudah lenyap, telah menjadi dosa rutin yang tak perlu diherani. Kecuali ya kecuali. Gredo!Seluruh kerumunan itu memenuhi rumahnya. Halamannya yang luas jadi terasa sempit bagi seluruh gerombolan dan mobil-mobil yang meluber hingga menyita jalan sekitar. Anak-anak ini, dibawah komando Gredo dan Marjikun sebagai pelaksana lapangan, menyampaikan maklumat. Ada dua pilihan yang Paulin harus memilih salah satunya: membatalkan niatnya keluar dari sekolah, atau jika terpaksa keluar, akan disediakan pesta perpisahan besar di sekolah yang ia tak boleh menolaknya.Atas nama cinta dan kehilangan! pekik Gredo.Kini kerumunan itu menunggu. Paulin telah mengerti kedatangan pasukan perusuh itu. Tika, si karib yang tak henti-hentinya menangis itu, telah membocorkan semua rencana itu kepadanya. Maka jika Paulin belum berani keluar kamar, bukan karena ia tak kuat menahan gelombang empati itu. Melainkan karena ia tahu rencana yang mengerikan, yang ia tahu, siapa sutradara di balik itu semua. Dendam Gredo, masih menyala, kata Paulin ngeri. Kengerian yang jelas, karena rencana Gredo itu cerdik sekali, lembut sekali, mulia sekali. Untuk menarik niatnya mundur dari sekolah jelas tidak mungkin. Tetapi untuk menolak pesta, juga tidak mungkin.Dan itulah jenis pesta yang berakli-kali telah digelar di Budi Luhur, dengan Ipung sebagai target korbannya. Itulah pembantaian terencana dengan Ipung akan dipanggang hidup-hidup dalam pengadilan massa. Selama ini, secara menakjubkan Ipung lolos dan malah menjadi rtambahan bagi populatitasnya. Tapi tidak untuk kali ini, kata Anak Mami lirih. Kepergianku, hanya akan dimanfaatkan untuk membunuhnya!Padahal konflik Anak Mami sendiri belum selesai. Konflik terhadap hatinya sendiri. Bahwa akhirnya ia mundur dari sekolah yang ia cintai, adalah pilihan yang tak ia percaya akan benar-benar terjadi. Tetapi baiklah, cinta harus diuji, meskipun alat uji itu berbahaya sekali. Tetapi ia sudah merencanakan untuk mendatangi Ipung, mengajaknya pulang sejenak di Kepatihan untuk menjelaskan seluruh rencananya. Tidak cuma kepada Ipung, tetapi juga kepada ibunya Ipung yang sabar dan lembut itu. Tante Minarni, begitu Anak Mami memangilnya.Penjelasan itu, meksipun ia ramalkan penuh hujan tangis, setidaknya tangisnya sendiri, akan menjadi pamitan yang indah, terhormat dan bermartabat. Mereka berpisah dengan CINTA yang ditulis dengan huruf besar. Ipung akan mengantar kelak di bandara, boleh lewat Solo boleh lewat Semarang, dengan pengantaran cinta. Tidak dengan perpisahan yang akan penuh permusuhan seperti ini. Anak-anak itu, teman-teman baiknya itu, atas nama perasaan kehilangan, telah menghancurkan seluruh rencana indahnya. Mereka tak menyadari permainan politik tingkat tinggi yang ada di benak Gredo. Mereka menyangka, seluruh kerumunan ini sedang bersemangat untuk memuliakannya.Perasaan kehilangan yang berbahaya! bisik Paulin.Tetapi sekali terbit, matahari memang harus bergerak ke barat. Orang boleh tidak menyukai gelap, tetapi malam harus tetap tiba. Paulin bangkit, membuka kamar, langkahnya tegas, ia menyongsong teman-temannya di luar sana.Begitu Anak Mami muncul, pekik tengis berhamburan. Tika paling sulit mengontrol keadaan. Gredo tertunduk dengan wajah berdukanya yang palsu dan sempurna. Marjikun, pribadi yang paling terhibur oleh setiap kakacuan, kini menjadi lingkung seketika. Menghadapi parade tangis seperti itu, ia terbetot juga. Tangisnya meledak juga. Perpisahannya pada Paulin hanya penyulut. Yang sesungguhnya kemudian tersulut, tak lebih adalah deritanya sendiri.Marjikun menangis dengan keras. Dan dalam hitungan detik, ingusnya telah berleleran. Keras sekali karena ia memang berduka sekali. Berduka pada nasibnya yang tak kunjung aktual.Jika aku yang pindah, yang nangis pasti tak sebanyak ini, bisik hatinya. Hatinya berbisik tetapi tangsinya berteriak.Atau jangan-jangan malah tidak ada yang menangis sama sekali! tangis Marjikun makin mengeras. Kekerasan yang segara menimbulkan salah sangka kolektif, seolah-olah duka-cita ini begitu besarnya. Duka itu seperti kegembiraan. Tawa itu juga seperti tangis. Jika divibrasi, ia akan menular dengan segera. Maka tangis Marjikun itu, sungguh dirigen yang efektik untuk mengamplifikasi tangis teman-temannya.Dalam tangisnya, batin Marjikun sebenarnya sedang tergelak separohnya.Teman-teman itu sedang salah sangka pada tangisku, batinnya geli, dengan tetap sambil menangis keras. Hanya sutradara jenius saja yang sanggup menerjemahkan akting Marjikun ini di layar film. Steven Spielberg pun harus kerja keras untuk ini.Paulin bukan tidak terharu pada koor tangisan ini. Tapi ia melihat tangisan itu telah berkembang menjadi tidak bermutu. Ia segera menguasai diri, kembali pada Paulin yang asli, yang galak, cantik dan pemimpin. Seperti melayat orang mati aaja. Pasukan tangis, berhenti!!Bentakan yang sama sekali berbeda. Kenakalan sudah menyusup kembai ke Anak Mami. Marjikun mengerem isaknya secepat derit roda formula. Aku memilih salah satu tawaran kalian. Tetapi syarat pertamanya, kita harus teriak sekencang-kencangnya, bersama-sama. Satu, dua tigaaaa.Teriakan gila pecah seketika di kompleks rumah-rumah besar itu. Mengagetkan pasti, tetapi namanya juga anak-anak sekolah sedang berkumpul. Lumrah jika sejenak menjadi gila. Paulin telah menghitung kemungkinan ini.Oke. Setelah teriak. Mari kiat tertawa sepuasnya, sengakaknya, bersama-sama. Satu, dua, tigaaaaa!Kegilaan tawa meledak. Dari teras rumah, Mami gemetaran melihat ulah anak-anak itu. Kepalanya berputar melihat Paulin tiba-tiba kesurupan demikan rupa. Marjikun adalah pihak paling mabuk pada aksi ini. Ia merasa punya kesempatan menumpahkan seluruh kekesalannya pada hidup. Kepada wajahnya yang kacau komposisinya. Sehabis menangis keras-keras, ia tertawa keras-keras sambil berguling-guling histeris. Ia baru berhenti setelah ia sadar di mana ia berada: got depan rumah Paulin yang besar dan celaka.Dari seluruhnya, hanya Gredo yang tegang dalam gaduhnya. Ia sedang menunggu pilihan paulin. Jika ternyata ia memilih membatalkan niatnya, semuanya harus tutup buku. Sebagai penjudi ia kalah. Tetapi menyangkut soal kebencian, Gredo tetaplah yang terbaik. Ia segera maju ke muka.Sudah saatnya Paulin memilih. Dan sebetulnya Paulin cuma punya satu pilihan: ia harus di Budi Luhur dan tetap bersama kita. Setujuuuuu! Setujuuuuuuuu! anak-anak berteriak seperti orang gila. Teriakan yang tulus dan penuh harap, kecuali Gredo tentunya.Paulin menghela nafas.Tegang. Tika menangis lagi. Aku pilih yang kedua. Aku minta kalian menggelar pesta!Senyap! Cuma Tika yang meledak tangisnya dan memeluk Paulin sejadi-jadinya. Mata Anak Mami basah lagi. Ipung terbayang lagi.Gredo menunduk lesu. Tetapi dadanya gemuruh oleh kemenangan. Ipung juga melintas di benaknya. Wajah anak itu ia bayangkan sedang menahan kesakitan tak terkira. Gredo siap menggelar pesta. Akan meriah sekali, semeriah kebenciannya!9. Panggung Kebencian (3)Butuh dua hari sendiri cuma untuk menata panggung di halaman luas SMA Budi Luhur.Terlalu raksasa untuk ukuran pesta sekolah, pesta untuk melepas murid hengkang dari sekolah pula. Kegagahan panggung ini hanya bisa disaingi oleh konser musik rock paling bergengsi di Kota Semarang.Gredo tampil habis-habisan. Ia kerahkan segenap kemampuannya untuk menggelar event raksasa ini. Ia telah behitung, jika tak ada sponsor dan dukungan dana dari teman-temannya, ia akan mendanai seluruh kerepotan ini sendiri. Papanya berkarung uang yang siap dihamburkan. Ia marah kepada seluruh isi rumah dan di panggung inilah satu-satunya cara yang baik untuk menumpahkan seluruhnya.Tetapi Gredo kaget sendiri, ketika dukungan itu datang seperti bah. Baru kali ini ia menyadari kekuatan sebuah ketulusan. Tulus? Ya tulus! Kata Gredo yakin. Soal keluar uang memang sudah menjadi tekatnya. Ia serius soal ini. Itulah yang ia sebut tulus. Perkara tulus untuk sebuah kejahatan, itu soal lain lagi. Nyaris saja Gredo tergelak. Tulus tapi jahat hahaha! tawanya pecah dalam hati!Sejenak Gredo merasakan sensansi yang aneh. Pada saat inilah kesadarannya bekerja dengan baik. Ooo itulah kenapa popularitas Ipung sulit dicegah! Lepas bahwa orang lain kagum atau iri, anak itu memang memperagakan ketulusan setiap kali. Gredo menelan ludah. Baru sejenak ia akan mengagumi prestasinya sendiri, ia telah kembali dicekam rasa iri. Tidak. Sekali jahat, pantang untuk baik lagi! katanya menyemangati diri.Maka semangat itu berkobar lagi. Panggung rasksasa di depannya itu membutuhkan puluhan awak panggung profesional yang ia sewa dari luar. Anak-anak Budi Luhur hanya kebagian kepanitiaan belaka. Soal semua kerepotan teknis, Gredo mengundang langsung para ahlinya.Semua berdecak. Pak Bakri takjub, Pak Bahrun menghela nafas. Ia memang sulit untuk kagum di depan umum, apalagi di depan murid-muridnya sendiri. Tetapi ia nyaris sulit menyembunyikan perasaannya yang gemuruh. Di sekolahnya begitu banyak anak orang kaya. Uang adalah kekuasaan. Kemiskinan adalah ibu dari seluruh kejahatan! batin Pak Bahrun mengingat pernyataan Aristoteles ribuan tahun lalu.Dan di sekolah ini hanya dengan bermodal kewibawaan palsu seperti yang selama ini dia perankan; pura-pura sulit memberi izin, untuk akhirnya pura-pura meloloskannya dengan berat hati, telah membuat anak-anak itu serasa mendapat durian runtuh. Hanya sekolah gila yang menolak promosi gratis seperti ini. Pak Bahrun memang pendidik, tetapi ia juga pedagang yang teliti. Padahal sekolah tidak mengeluarkan apa-apa. Serupiah pun tidak. Ini mega promosi yang amat murah untuk sekolah ini. Untuk reputasiku sendiri! kata Pak Bahrun dari kejauhan, ikut memandangi persiapan anak didiknya dengan keangkeran yang terjaga.Pak Bahrun mendekati Guru Bakri.Hati-hati. Jangan sampai muncul kegaduhan! pesannya, khas atasan.Guru Bakri mengagguk sigap. Khas bawahan. Hormat, tetapi mereka sama-sama telah terlatih untuk saling bersandiwara di dalam hati.Akan kupelintir leher anak-anak itu, jika mengabaikan amanat sekolah! kata Guru Bakri, sigap, hormat. Pak Bahrun berlalu. Kepada Gredo, Guru Bakri menghampiri. Jaga nama baik sekolah! pesannya singkat. Nyawa saya taruhannya! balas Gredo hormat, sigap. Tetapi anak ini sudah belajar banyak dari guru-gurunya dalam memainkan sandiwara tingkat tinggi. Walau, Gredo sedang amat tersanjung dengan tatapan guru-guru itu kepadanya, rasa hormat teman-temannya, dan seluruh pasang mata di sekujur Budi Luhur. Semua sedang sulit menolak besarnya jasa Gredo di proyek heboh ini. Bahwa aku juga bintang! kata hatinya penuh. Gambar Ipung berkelebat. Tetapi cuma sekilas. Di dalam konteks ini, nama Ipung hanya setara dengan tukang angkut-angkut kabel dan kursi tamu. Ia sepenuhnya figuran!Gredo mengawasi hilir-mudik kesibukan panggung. Mobil-mobil yang lalu lalang, dan anak-anak band yang sebentar lagi akan datang dan melakukan cek suara. Pentas baru esok hari tetapi bahkan cek suara, sudah harus mulai hari ini.Pentas ini standarnya sama dengan mendatangkan konser Bon Jovi! kata Gredo membakar semangat teman-temannya. Dan Gredo sedang dipercaya, sedang dipuja kerja kerasnya, maka selruh kata-katanya sedang menjadi mantra. Seluruh anak-anak, Budi Luhur lalu terbakar oleh semangat yang sama.Dan Gredo tidak sedang membuat. Seluruh pelataran beton Budi Luhur harus siap pecah berantakan terkena dentuman soundsystem ratusan ribu watt. Ruang terbuka itu akan diselubungi tenda, menjadi ruang setengah tertutup dengan pendingin sebesar lemari berserak di sana-sini. Ini pesta, hanya murid gila saja yang sanggup melakukannya. Tidak juga pihak sekolah, tidak juga yayasan Budi Luhur sendiri. Ini pesta termegah sepanjang sejarah sekolah ini. Pesta yang menjadi pertaruhan hidup dan mati begi Gredo. Ya, pesta ini telah menjadi persoalan pribadi baginya. Di pangung yang megah itu, dengan tata sinar laser yang esok malam pasti akan memukau itu, ia memandangi wajahnya yang menang. Memandangi Ipung yang lenyap dalam kesaktian. Yang esok malam, ia akan bertaruh, beranikah anak itu memunculkan diri. Padahal ia harus Jika menghilang seluruh dunia akan menyorakinya! kalkulasinya pasti. Jika ia datang, kesakitannya akan menjadi tontonan terbuka! Ipung tak punya pilihan. Karena pilihan itu cuma dua dengan satu hasil saja; semua akan berakhir di kesakitan. Membayangkan Ipung menghilang tetaplah sebuah kegembiaraan. Tetapi membayangkan Ipung datang adalah kegembiraan yang sebenarnya. Setelah wajah Ipung, kini Gredo menangkap wajah Paulin di tengah gemuruh persiapan ini. Setiap wajah ini melintas, betapapun ia harus menghela nafas. Itulah wajah yang mengganggu tidur-tidur malamnya. Sejak dulu, bahkan hingga hari ini. Ia cuma seolah-olah telah melupakan wajah ini, tetapi sejatinya tidak. Wajah itu masih menguntitnya hingga detik ini. Jika perlu, apa susahnya menyusulmu ke Singapura. Apa susahnya! bisik Gredo.Dadanya penuh oleh harapan baru.Ya, ya kemungkinan selalu terbuka. Lebar malah. Pementasan ini adalah repot terbesarnya. Benar, ia pernah membuat kesalahan. Tetapi Paulin juga salah hitung. Ia tidak seremeh yang dibayangkan. Panggung besar ini adalah bukti kualitasnya.Bukan, bukan cuma Ipung yang memiliki massa itu. Tapi dia! Ipung hanya punya keberuntungan, tetapi aku punya seluruhnya, dari tampang sampai uang. Membayangkan Paulin menyesali kebodohannya, lalu ganti meratap membutuhkan citanya adalah imajinasi yang membuat Gredo terlontar, ke langit yang tinggi dan ke horizon yang jauh! Anak-anak band siap bos! bentak Marjikun yang segera mengagetkannya. Si bibir ekstra ini juga makhluk yang sadang amat bahagia oleh sebab yang tak jelas. Yang jelas, setiap peran yang diberikan kepadanya, telah membuatnya menjadi manusia paling berguna di dunia. Cek seluruh acara. Cermati semua undangan. Jangan sampai ada undangan, orangtua murid, terutama yang terlewat! Siap bos!Jangan lupa, Ibu Ipung di Solo kalau perlu jemput dengan utusan khusus. Dengan mobil terbaik! Siap bos! Segera cek lapangan! Siap bos!Marjikun berlari teriak ke sana-kemari memerintah ke sana-kemari. Tak jelas yang siapa diperintah karena memang tak perlu ada yang mematuhi. Tetapi itu tak penting bagi Marjikun. Yang ia butuhkan memang Cuma berteriak ke sana-kemari. Ia memang tidak sedang bekerja melainkan sekadar menyalurkan perasaan tak bergunanya selama ini. Ya, seluruh orangtua akan diundang. Ibu Ipung, adalah paling penting dari seluruhnya! batin Gredo. Kedatangan Minarni, wanita bersahaja itu, akan membuat pesta balas dendam ini akan berjalan sempurna. Esok malam pesta itu baru dimulai. Masih ada waktu!10. Panggung Kebencian (4)Malam perpisahan itu siap dimulai. Penggung raksasa, tata lampu raksasa, tata suara raksasa! Budi Luhur sedang terguncang oleh pentas aneh ini. Keanehan yang makin lama makin menandai keberadaan Budi Luhur. Dan itulah tradisi yang ditunggu tidak cuma oleh anak-anak Budi Luhur, melainkan bahkan juga seluruh masyarakat Semarang sendiri. Lihat, ketika keramaian sedang dibangun di Budi Luhur, seluruh kota tergerak menikmati. Ini bukan perayaan sekolah, melainkan sudah menjadi perayaan publik. Di sepanjang jalan di dekatnya, langusung berubah menjadi pasar tiban. Warung-warung dadakan muncul di mana-mana. Parkir mobil menguler dan meluber hingga menyita jalan-jalan di ujung-ujung gang kampung sebelah. Tukang parkir amatiran muncul dengan segera. Keramaian Budi Luhur selalu menjadi penyulut kegembiraan bagi seluruh kalangan, tidak cuma pedagang dan tukang parkir, melainkan juga copet dan tukang jambret. Satu lagi, selalu agak menjauh dari keramaian, sengaja mencari isi gelap dan kalau bisa jaga rahasia, bandar dadu kopyok juga gembira menggelar dagangannya. Kegembiraan sedang menjadi milik siapa saja.Gredo, sebagai petinggi perhelaan ini, sejak awal telah datang dengan setelan jas hitam mahal dan rambut mengkilat olah jelly. Tampan sekali anak ini. Tubuhnya yang bersih dan makmur, baunya yang wangi, kacamata netral dengan bingkai tanduk rusa, membuat Gredo adalah selebriti yang sebenarnya. Sebelum pesta besar ini dibuka dialah yang nanti akan berpidato di atas sana, Pidato sebagai ketua penyelenggara dan pemimpin gerakan. Gelar yang akan membuka mata siapa saja, tentang siapa dia sebenarnya.Tamu-tamu satu per satu mulai berdatangan. Dan pagar ayu, murid-murid tercantik Budi Luhur telah berderet rapi sebagai penyambut undangan. Tamu-tamu yang datang itu, orang-orang terpandang di seluruh Semarang itu, menyadari, kedatangan mereka bukan sekadar untuk menyambangi pesta sekolah. Kedatangan mereka telah menjadi pertunjukan itu sendiri.Gredo mengerti soal ini. Ia adalah penonton E Channel di televisi kabel. Tradisi karpet merah di Hollywood itu amat mengguncang rasa takjubnya.Ia menyiapkan selebrasi serupa. Ada karpet merah itu di sini. Dan tamu-tamu menyukai! Setiap undangan yang datang tertahan sejenak di karpet merah Budi Luhur. Di potret dan di antar ke tempat duduk yang telah disediakan.Sekolah mana yang sanggup menggelar pesta serupa ini bisik Pak Bahrun. Kacamatanya mulai terasa lembab. Mata Kepala sekolah ini memang mulai berair melihat pemandangan di sekitarnya. Ia sulit menyembunyikan kebanggaannya sebagai bagian penting sekolah ini.Di red carpet Budi Luhur seluruh tamu-tamu mendapatkan tempat untuk mempertontonkan seluruh keberhasilan hidup mereka. Untuk tamu-tamu khusus sengaja ditepatkan di ruang transit dan baru keluar jika panitia telah mengizinkannya. Tamu itimewa itu akan sejenak dihentikan di red carpet, dikomentari MC dan diperkenalkan kepada seluruh yang hadir. Tamu khusus pertama siapa lagi kalau bukan Mama-Papa Gredo. Keduanya boleh pasangan yang jarang ketemu, pasangan yang hubungannya telah dingin sebagai suami istri, tetapi di karpet merah itu, mereka menunjukkan kemesraannya yang sempurna. Ya dunia panggung adalah sumber kegilaan yang sesungguhnya! Ya, tak hanya sumber kegilaan, dunia panggung adalah dunia penipuan atas diri sendiri!Gemuruh tepuk tangan menyambut pasangan yang seluruh undangan tahu, inilah donator utama pesta gila ini. Tepuk yang gemuruh itu melupakan sejenak kebekuan mereka sebagia pasangan. Apalagi ketika MC meneriakkan ajakan: Ciuuum.ciuuum ciuuuum!Daulat publik yang mustahil pasangan ini menolak. Gredo melihat persis Papanya yang tambun tapi tampan itu mencium mesra kening Mamanya. Lampu blitz berkilatan, gemuruh sorak memenuhi ruangan. Gredo terdesak dadanya. Itulah mestinya perasaan yang ia tunggu sejak lama: kemesraan Papa-Mamanya. Gredo menangis bahagia memang, tetapi cuma setengahnya. Setengah dari hatinya yang lain bersisi kekosongan yang nyata.Kemesraan itu cuma ada di sini. Cuma secepat kilatan lampu blitz! katanya getir. Seusai pesta ini, seluruh rumahnya akan kembali sepi. Papanya entah akan ke mana, Mamanya entah ke mana. Dan hubungan mereka cuma sebatas telepon ke telepon, dari uang ke uang, dari kemarahan ke kamarahan terpendam. Tetapi setengah perasaan yang di sebaliknya? Duh, indah sekali?Gredo mengambil nafasnya yang berat. Dalam-dalam. Setengah sisi di hatinya itulah sisi yang amat ia rindukan. Kemesraan orangtua, adalah surga bagi anak-anaknya ratap Gredo. Tetapi tepuk tangan berikutnya sudah mengubur kegetiran ini. Siapa pasangan itu?: Ini dia, sang Bintang. Mami-Papi Paulin, lengkap dengan anak gadisnya yang menggemparkan itu. MC berteriak sedemikian rupa. Sebuah energi yang secara serempak membimbing siapa saja untuk berdiri dan refleks melalukan standing ovation! Tepuk tangan sambil berdiri yang baru pertama kali terjadi sejak sekolah ini berdiri.Mami-Papi melambaikan tangannya seperti gaya presiden Amerika. Gagah, anggun, tetapi nakal luar biasa. Papi adalah aktor berbakat. Mami sudah gemetaran dan airmatanya berderai-derai. Tercekat kerongokongannya. Pesta belum dimulai tapi di antara tepuk gemuruh itu, isak tangis sudah terselip di sana-sini.Teman-teman dekat Paulin, Tika dan barisannya, tak bisa mengelak lagi, bahwa tepuk tangan ini tak lebih dari perayaan duka cita. Sebentar lagi, sahabat baik itu akan pergi. Budi Luhur akan kehilangan salah satu murid terbaiknya. Terlalu banyak cinta kepada Paulin yang telah disita, untuk kemudian terenggut tiba-tiba. Tentu, tak seluruh tepuk tangan itu berisi duka cita. Sebagian yang lain adalah kecemburuan pada keluraga ini, pada keberhasilan Prabowo dan poluraritas yang menular sampai ke anak gadisnya. Kebahagiaan mereka terlalu sempurna! Bedebah! kata sebuah batin di antara massa. Tapi apa boleh buat, sebentar lagi mereka toh akan lenyap dari ruangan ini. Maka tak ada salahnya, sejenak bertepuk tangan untuk lenyapnya biang rasa cemburu ini.Sebuah spotlight terus menguber Mami-Papi-Paulin hingga menemukan tempat duduknya. Giliran penyambutan terakhir, tamu yang tak kalah istimewa. Gredo tegang menunggu reaksi apa yang akan terjadi. Siapa tamu itu?Di ruangan transit Minarni sudah serasa hendak mati. Kesadarannya telah separo terbang. Untung ada Lik Wur yang tak henti-hentinya menyemangati. Ya, salah satu sukses besar Gredo adalah keberhasilannya membonyong Ibu Ipung ke Semarang untuk hadir di pesta ini. Sebuah usaha yang tidak mudah. Ia membutuhkan penjemput terbaik, mobil terbaik, hotel terbaik, dengan bujukan terbaik pula. Bukan soal hotel dan mobilnya. Tetapi Gredo tahu membujuk perempuan: Kebaikan hati, akan melumerkan seluruh hidupnya!Semua anak mencintai Paulin, mencintai Ipung. Jika Ibu tidak datang pesta ini tak akan terjadi, kata rombongan penjemput dari Budi Luhur yang dipimpin oleh Hasan. Kenapa Hasan dipilih? Ya inilah murid yang dikenal paling saleh dan taat beragama. Bacaan Al-Qurannya sefasih muazin Masjid Nabawi. Tutur katanya merdu, sopan santunnya genap. Bujukan Hasan meluluhkan hati Minarni.Asal ditemani adik saya, Wuryanto cuma itu permintaan Ibu Ipung. Lik Wur-lah asisten pribadi yang harus mengawalnya ke Budi Luhur.Kini, berbalut kebaya sederhana, Lik Wur dengan peci dan baju koko putih, mengawal Mbakyunya dengan ketenangan palsu. Ya, ia jagoan di kampungnya. Penasihat ulung bagi tetangga di pos-pos ronda Kepatihan. Orator di rapat-rapat RT, tetapi di sini, di kemegahan pesta ini, ia sekadar biji kwaci. Minarni kuat karena ada Lik Wur di sebelahnya. Wuryano baginya adalah Ipung tua. Ia memuja adiknya. Tetapi Lik Wur menjadi sok kuat cuma karena malu jika harus lemah di hadapan Mbakyunya. Tetapi jika boleh memilih, pingsan, baginya lebih menggembirakan katimbang menghadapi ribuan sorot mata seperti ini.Berikut adalah tamu yang teristimewa dari seluruh tamu. Kita impor langsung dari nun jauh di Desa Kepatihan sanaTepuk tangan gemuruh. Ketika nama Kepatihan disebut, anak-anak tahu harus berbuat apa. Berteriak sejadi-jadinya. Kepatihan dan Ipung sama terkenalnya dengan Hamka dan Tenggelamnya Kapal Vander Wijk-nya, Romo Mangun dan Kali Code-nya, sama populernya dengan Harry Potter dan tongkat sihirnya, sama bekennya dengan Steven Spielberg dan Jurassik Park-nya. Seluruh psikilogi massa itu seperti telah terkondisi bersama. Pesta ini memang untuk Paulin. Paulin memang bintang dan pusat acara. Tetapi sebenar-benarnya pusat itu adalah Ipung.Seluruhnya tahu hubungan Ipung dengan Paulin. Seluruhnya menunggu, apa reaksi anak itu nanti, ketika ia akan ditinggal begitu saja oleh kekasihnya yang mahal itu. Di layar lebar pertunjukan ini Paulin memang bintang utama. Tetapi Ipung adalah man behind the scene. Menonton film-film Jacky Chan, tidak lengkap kalau tidak melihat adegan-adegan lucu saat film ini berakhir. Itulah adegan ketiak Jacky membuka seluruh rahasia aksinya. Menonton film memang mendebarkan. Tetapi menonton pembuatannya, jauh lebih mendebarkan. Di balik layar itulah Ipung berdiri sebagai figur sentral.Tetapi ke mana Ipung?11. Ipung, Awas Kau NantiMinarni mungkin bukan bintang utama di pesta ini. Tetapi inilah tamu, satu-satunya tamu, yang kemunculannya ditandai dengan iringan hitungan mundur, countdown!Di pangung ada giant screen, lengkap dengan multimedia dan potongan lagu Europe yang menggelegar: Final Countdown! Tak pelak lagi, ketika nama kampung Kepatihan disebut, disusul dengan tayangan slide besar dan intro lagi lagu cadas yang memecahkan gendang telinga itu, seuruh isi pesta ini sulit untuk tidak berteriak histeris.Selebrasi yang luar biasa! Gaduh, riuh, megah, raksasa, tetapi cuma untuk mengiringi perempuan sederhana berkebaya, ditingkah lelaki kurus kering dengan peci dan baju koko yang sama memelasnya. Setelah tepuk tangan usai, tawa meledak di mana-mana.Hampir-hampir kaki Minarni macet di tempat. Lik Wur susah payah menyangga keseimbangan Mbakyunya. Cuma kesadaran untuk menjaga Mbakyunya itulah satu-satu kekuatan yang membuat kesadarannya sendiri terjaga. Ia mengutuk habi-habisan penyelenggara pesta ini. Baju kokonya yang ia beli di Pasar Klewer itu adalah parodi yang merobek-robek hatinya.Bagaimana mungkin lewat di red carpet dengan kostum santri kalong seperti ini! sumpah Lik Wur dalam hati. Mestinya ia jago kelakar. Mestinya tersedia humor tak terbatas di benak Lik Wur. Tapi tidak dalam gemuruh sinar laser seperti ini. Inilah saudara, keluarga dari anak paling legendaris di sekolah Budi Luhur Ipuuuuuung! Tepuk tangan sulit dicegah! Tawa di mana-mana. Hubungan MC dengan tawa adalah hubungan ikan dengan airnya. Sekali mendengar tawa, semangatnya akan terus menggila. Siapa sangka. Dari sebuah dusun yang kita tidak tahu di mana letaknya, lahir anak yang kita semua iri kepadanya!Tawa meledak lagi. Minarni tak bisa lagi melangkah. Lik Wur menuntunnya. Macet. Akhrinya seluruh pagar ayu mengarak pasangan linglung ini ke kursinya. Sebuah barisan yang cuma membuat penonton sakit perut oleh humor yang begitu murninya. Tetapi humor ini belum cukup. Karena masih ada yang ganjil. Dua orang ini mestinya cuma figuran karena kedatangan mereka di pesta ini tak cukup alasan kalau tidak ada Ipung. Lalu ke mana si kurus celaka itu? MC menyadari kekeliruannya. Gredo luput menghitung dengan teliti. Sejak ia sibuk dengan rencana besarnya ini, ia cuma sibuk dengan keyakinannya sendiri, ia telah begitu yakin bahwa apapun strateginya, Ipung sudah pasti kalah! Kini ia baru tergerak untuk menerka-nerka apa strategi Ipung untuk melawan tekanan ini?Anak itu ternyata tidak melakukan strategi apa-apa. Keparat! batin Gredo marah. Tepatnya takjub. Ke mana dia? Tidak ke mana-mana. Ia mengambang saja di dalam kegaduhan seluruh pesta ini. MC yang segara menyadari kealapaannya segera meneriakkan nama Ipung. Seluruh anak mengikutinya! Koor Ipung di mana-mana.Dan anak yang dicari itu tak perlu teriakan sebenarnya. Karena ia muncul dari sisi kerumunan tukang potret di sisi red carpet, dengan kamera moncong besar kesayangannya, nongol dan memotret langsung Ibu dan Pak Liknya. Blitz muncul dari kameranya. Wajar, sederhana, tetapi kurangajar.Tak pelak seluruh mata yang telah menatap itu kecewa. Kecewa karena gagal melihat Ipung yang gemetaran, panik dan sakit. Tetapi semuanya sulit untuk tidak terpana demi melihat gaya anak itu yang muncul dengan simpel, sederhana dan amat menikmati kegugupun ibunya. Ipung tidak menganggap pesta layak ditakuti.Ia malah berselancar menungganginya.Maka ketika lampu blitznya menyala, seluruh tawa meledak seperti bangunan runtuh. Momen ketika ia memotert Ibu dan Lik Wurnya, adalah momen yang semua tukang portet ikut mengabadikannya. Blittz tertindih blitz. Dampaknya luar biasa. Pesta belum mulai, belum apa-apa. Tetapi Ipung tetap bintangnya.Gredo salah duga. Bahwa Ipung ternyata memliki alat selancar di seluruh pesta ini dengan alat yang siapa saja tak bisa membantahnya: kamera moncong besarnya itu. Tepatnya: perannya sebagai wartawan freelance itu. Dengan kameranya, anak ini menatap pesta itu bukan intimidasi atas dirinya, melainkan sekadar sebagai sumber berita.Gredo memekik marah. Seluruh umpatan menyembur dari mulutnya yang manis. Seluruh hewan di kebun binatang berhambur. Begitu kasarnya umpatan kemarahan itu sehingga harus diedit seperlunya.Jerapah kurang motif, kalajengking stroke, kadal panuan! serapahnya dalam hati, itu pun sudah dihaluskan di sana-sini.Sementara kita susah payah menyakitinya, ia malah enak-enak cari berita. Dapet honor pula! Gredo tak henti-hentinya mengutuk dalam hati.Sehabis memotret, Ipung kembali ke kerumunannya yang asli di luar pesta. Sebuah pilihan yang sah, karena seluruh anak Budi Luhur tahu, di luar kedudukannya sebagai murid ia adalah penulis dan wartawan yang mulai menanjak namanya. Bahkan guru pun terpaksa harus berhitung kepadanya, jika ia sedang menenteng kameranya.Minarni dan Lik Pur menemukan kursinya. Suasana sejenak reda. MC memanggil Gredo untuk perpidato sebagai penanda dimulainya pesta. Ia naik mimbar dengan ketampanan penuh. Ia tidak sedang kalah. Tidak boleh merasa kalah. Kepergian Paulin dari sekolah ini, adalah kekalahan telak bagi Ipung yang tak perlu dibuktikan lagi. Jika ia tak cukup beruntung mendapatkan cinta Paulin, setidaknya Ipung juga h