buku ajar kapita selekta hukum tata negara

196
BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA Tim Penyusun Edward Thomas Lamury Hadjon, SH, LLM Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, SH, MHum Prof. Dr. I Made Subawa, SH, MS Dr. I Gede Yusa, SH, MH Komang Pradnyana Sudibya, SH, Msi UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS HUKUM 2016

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

BUKU AJAR

KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

Tim Penyusun

Edward Thomas Lamury Hadjon, SH, LLM

Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, SH, MHum

Prof. Dr. I Made Subawa, SH, MS

Dr. I Gede Yusa, SH, MH

Komang Pradnyana Sudibya, SH, Msi

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKULTAS HUKUM

2016

Page 2: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

1

BAB I

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Pendahuluan

Pembahasan tentang sejarah ketatanegaraan dapat dilakukan berdasarkan

beberapa cara, antara lain; berdasarkan periode berlakunya Undang-undang Dasar

(Konstitusi), pergantian Orde, pergantian pemerintahan dan lain sebagainya. Dalam

tulisan ini, sejarah ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada periode berlakunya

Undang-undang Dasar yaitu; Periode Tahun l945 - Tahun 1949 (Undang-undang Dasar

1945), Tahun 1949 - Tahun 1950 (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), Tahun 1950 -

Tahun 1959 (Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950), Tahun 1959 - sekarang

(berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945, yang terbagi menjadi 3 masa yakni

Tahun 1959 - Tahun 1966, Tahun 1966 - Tahun 1999 dan Tahun 1999 - sekarang.

Pembagian dalam 3 masa ini adalah berkaitan dengan pergantian pemerintahan dan

terjadinya amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945.

1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1945-1949

a. Perencanaan dan Pengesahan Undang-undang Dasar 1945

Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 18 Agustus 1945

ditetapkanlah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang lebih dikenal

dengan nama Undang-undang Dasar 1945. Persiapan penyusunan Undang-undang Dasar

1945 telah dilakukan sejak bulan Mei 1945 dengan dibentuknya "Badan Penyelidik

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI), atau dalam Bahasa Jepang

disebut dengan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai1

pada tanggal 29 April 1945. Badan ini

diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dan R. Pandji Soeroso dan

Itjibangase sebagai wakil ketua. Badan ini dibentuk oleh pemerintah balatentara Jepang

sehubungan dengan kesanggupan pihak Jepang untuk dalam jangka waktu sesingkat-

singkatnya memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

1 Nugroho Notosusanto; 1981, Naskah Proklamasi yang Autentik, Jakarta : PN Balai Pustaka,

hlm. 18.

Page 3: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

2

Setelah badan ini dilantik oleh panglima tentara Jepang (Saiko Sjikikan),

kemudian pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 diadakan sidang pertama untuk

mendengarkan pandangan umum dari anggota. Pada sidang pertama ini pokok

pembicaraan adalah tentang Dasar Negara Indonesia. Pada hari pertama sidang tanggal

29 Mei 1945 Moh. Yamin mengucapkan pidato mengenai "Asas dan dasar kebangsaan

Republik Indonesia" yang terdiri atas Peri kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri

Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.2 Kemudian pada tanggal 31 Mei

1945, melanjutkan pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia, Daerah Negara dan

Kebangsaan Indonesia. Pada sidang ini Moh. Yamin juga berpidato mengenai "daerah-

daerah Negara Indonesia.3 Pada hari terakhir tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato

mengenai "dasar Indonesia Merdeka" atau Philosopische Grondslag atau

Weltanschauung dari pada Indonesia merdeka, yang terdiri dari:

1) Kebangsaan Indonesia;

2) Internasionalisme atau perikemanusiaan;

3) Mufakat atau demokrasi;

4) Kesejahteraan sosial.

5) Dan prinsip yang kelima menurut Ir. Soekarno, hendaknya menyusun Indonesia

merdeka dengan "bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Kelima prinsip tersebut

disebut dengan Pancasila. Panca artinya lima dan sila artinya asas atau dasar. Di

atas kelima asas atau dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia kekal dan

abadi.4

Pada akhir sidang pertama dibentuk panitia kecil yang beranggotakan 9 orang

yaitu; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Abikusno Tjokrosujoso Abdul kahar muzakir, H.A.

Salim, Mr. Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim dan Mr. Moh. Yamin untuk merumuskan

pandangan umum dan pendapat para anggota. Panitia ini pada tanggal 22 Juni 1945

berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan

2 Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992, Republik Indonesia Serikatalah

Sidang BPUPKI-PPKI, tanggal 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Cetakan Ketiga, Jakarta : Sekretariat Negara

Republik Indonesia, hlm. 7. 3 Baca Sekretariat Negara Republik Indonesia II, op.cit., hlm. 39. 4 Abdullah Zaini, 1991, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hlm.

113.

Page 4: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

3

melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme (Belanda dan sekutu-sekutunya serta

Jepang), serta memuat dasar pembentukan negara RI.5

Pada masa sidang kedua tanggal 10-16 Juli 1945 oleh panitia kecil piagam

tersebut dilaporkan ke BPUPKI, dan sidang kemudian membentuk panitia hukum dasar

yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 19 orang. Panitia ini kemudian

membentuk panitia kecil perancang Undang-undang Dasar (ic. pembukaan) yang

beranggotakan 7 orang yaitu: Prof. Dr. Mr. Soepomo, Mr. Wongsonegoro, AA.

Maramis, A. Soebardjo, R.P. Singgih, H. Agus Salim dan Dr. Sukiman. Pada tanggal 16

Juli 1945 hasil rumusan dari panitia kecil tersebut disahkan oleh BPUPKI, termasuk

pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang isinya berdasarkan Piagam Jakarta.

Dengan selesainya tugas dari BPUPKI, pada tanggal 8 Agustus 1945

dibentuklah Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam

Bahasa Jepang disebut "Dokuritsu Zyunbi Inkai", yang dipimpin oleh Soekarno dan

Moh. Hatta selaku wakil ketua. Tugas dari panitia ini adalah mempersiapkan segala

sesuatu sehubungan dengan kemerdekaan Indonesia.

PPKI tidak dapat melaksanakan tugasnya akibat di bom atomnya Hirosyima

dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 September 1945 oleh sekutu, yang berakibat Jepang

menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Akibat peristiwa

tersebut, pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, kemudian dibentuk oleh bangsa Indonesia

sehari setelah proklamasi kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 19456, PPKI

dalam rapatnya kemudian mengesahkan Undang-undang Dasar 1945 yang terdiri dari

Pembukaan (Preambule) dan Batang Tubuh, belum ada penjelasan. Penjelasan yang

terdapat dalam Berita Negara RI tahun II No. 7 merupakan susunan dari Prof. Dr. Mr.

Soepomo yang pernah dikemukakan pada tanggal 15 Juli di depan sidang BPUPKI.

Sesuai dengan asas negara hukum (Rechtstaat) maka Undang-undang Dasar

1945 tersebut merupakan hukum dasar tertulis dari negara RI (Lois fundamentals), dan

dilihat dari sejarah pembentukannya Undang-undang Dasar 1945 merupakan hasil

5 Dalam Abdullah Zaini, op.cit., hlm. 113.

6 Abdullah Zaini, op.cit, hlm. 117.

Page 5: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

4

revolusi Bangsa Indonesia yang mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus

1945.

Proklamasi ditinjau dari segi yuridis merupakan satu-satunya sumber dari

segala peraturan hukum nasional atau menurut Joeniarto7 disebut sebagai Norma

Pertama. Dengan dinyatakannya kemerdekaan Bangsa Indonesia telah memutuskan

ikatan dengan tata hukum sebelumnya yaitu tata hukum Hindia Belanda maupun Jepang.

Dengan kata lain Bangsa Indonesia telah mendirikan tatanan hukum baru yaitu tata

hukum Indonesia, yang berisikan tata hukum nasional yang akan ditentukan dan

dilaksanakan sendiri oleh Bangsa Indonesia.

Muncul pertanyaan apakah Undang-undang Dasar 1945 yang disusun oleh

BPUPKI dan disahkan oleh PPKI merupakan Undang-undang Dasar yang sah?

Mengingat kedua badan tersebut bukanlah lembaga pembentuk Undang-undang Dasar.

Terhadap masalah tersebut, Ismail Suny berpendapat bahwa sahnya Undang-undang

Dasar 1945 harus dipertimbangkan dengan menunjuk pada berhasilnya revolusi

Indonesia. Jadi, karena revolusi Indonesia berhasil maka apa yang telah dihasilkan oleh

revolusi itu Undang-undang Dasar 1945 adalah sah.8 Demikian pula dengan pendapat

Ivor Jennings dalam bukunya "The Constitution" yang menyatakan bahwa revolusi yang

berhasil menciptakan konstitusi baru.9

b. Sifat Undang-undang Dasar 1945

Oleh pembentuknya Undang-undang Dasar 1945 dimaksudkan untuk bersifat

"sementara”. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal III ayat (2) Aturan

Tambahan yang menyebutkan: "dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu

bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar". Demikian pula ketentuan dalam

Pasal 3 yang menyatakan bahwa salah satu tugas MPR adalah menetapkan Undang-

undang Dasar.

7 Joeniarto; 1983, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : Bina Aksara,

(selanjutnya disebut Joeniarto II) hlm. 39. 8 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; op.cit, hlm. 90.

9 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Ibid.

Page 6: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

5

c. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan

Bila dilihat ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945, maka

tampak bahwa yang memegang kekuasaan yang tertinggi dan sebagai pelaku kedaulatan

rakyat adalah MPR (Pasal 1 ayat 2). Sebagian kekuasaan itu oleh MPR disalurkan

kepada lembaga-lembaga lain yang ada di bawahnya (Opdracht Van Bevogheid).10

Dengan demikian maka lembaga-lembaga lain seperti DPR, Presiden, BPK, DPA dan

MA berada di bawah majelis (Untergeordnet).

Presiden dan DPR menerima mandat dari majelis di bidang eksekutif, legislatif

dan legislative control, di mana presiden dan DPR harus mampu bekerjasama terutama

dalam melaksanakan kekuasaan pembentukan UU (Pasal 5 ay at 1 jo Pasal 20 ayat 1

Undang-undang Dasar 1945). Presiden sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan harus

benar-benar memperhatikan suara DPR, meskipun presiden tidak bertanggung jawab

kepada DPR dan juga DPR tidak dapat memberhentikan presiden (ic. menteri-menteri

negara), sesuai dengan sistem presidensiil yang dianut oleh Undang-undang Dasar 1945.

Namun, meskipun demikian dewan berhak meminta kepada majelis untuk diadakannya

sidang istimewa jika presiden dianggap melanggar haluan negara sebagaimana pada

Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 waktu itu.

Dalam praktik ketatanegaraan kekuasaan presiden pada masa ini sangat luas,

karena selain memegang kekuasaan pemerintahan negara tertinggi juga memegang

kekuasaan terhadap lembaga MPR, DPR dan DPA selama lembaga tersebut belum

terbentuk. Selain itu di bidang eksekutif sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 2 jo Pasal

17 presiden dibantu oleh wakil presiden, menteri, dan di bidang pelaksanaan kekuasaan

MPR, DPR dan DPA dibantu oleh KNIP (Pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang

Dasar '45). Yang menunjuk menteri dan anggota KNIP adalah Presiden. Sehingga di sini

presiden dengan bantuan KNIP berhak menetapkan haluan negara, UU dan memberikan

10

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut

Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Djaya Pirusa, hlm. 33.

Page 7: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

6

pertimbangan (nasehat), sehingga di sini tampak bahwa kekuasaan presiden dapat

dikatakan sebagai Constitutional Dictatorship.11

Selain itu pada tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Wakil

Presiden No. X dan Maklumat Presiden tanggal 14 Nopember 1945, di mana dengan

maklumat tersebut telah terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sistem kabinet

presidensial ke sistem parlementer. Di sini kabinet dipimpin oleh wakil presiden selaku

Perdana Menteri. Menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh presiden, namun

mereka bertanggung jawab kepada BP KNIP.

Setelah kekalahan Jepang melawan sekutu Belanda berkeinginan untuk

kembali berkuasa di Indonesia. Belanda mengkonsolidir kekuatan militernya di

Indonesia dan melakukan politik "Devide et impera" atau "Verdeel en heers", yang

artinya memecah belah untuk tetap berkuasa.12

Belanda mencoba untuk mendirikan

negara-negara bagian seperti negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara

Pasundan, Negara Jawa Timur dan sebagainya. Kenyataan bahwa ketika Belanda masuk

kembali ke Indonesia sudah merupakan negara yang merdeka, memaksa Belanda untuk

mengadakan perundingan-perundingan antara lain :

Persetujuan Linggajati

Ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, yang isinya antara lain:

1) Belanda mengakui pemerintahan Republik Indonesia berkuasa de facto atas Jawa,

Madura dan Sumatera.

2) Kedua pemerintah akan bekerjasama untuk dalam waktu singkat membentuk suatu

negara federasi yang berdaulat dan demokratis bernama "Republik Indonesia

Serikat". Republik Indonesia Serikat akan terdiri dari negara Republik Indonesia

(Jawa, Madura dan Sumatera), Kalimantan dan Negara Indonesia Timur.

3) Republik Indonesia Serikat akan bergabung dengan Belanda dalam bentuk "Uni"

dan sebagai kepala uni adalah Ratu Belanda.

11 Abdullah Zaini; Op. Cit, hlm. 127. 12

Wirjono Projodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian

Rakyat, hlm. 23.

Page 8: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

7

4) Pembentukan Republik Indonesia Serikat dan uni diusahakan terlaksana sebelum

tanggal 1 Januari 1949.

Persetujuan ini belum dapat terlaksana, karena pada Tanggal 20 Juli 1947

Belanda melaksanakan "Aksi Militer I" (perang kemerdekaan I) terhadap Republik

Indonesia sehingga berhasil menduduki beberapa kota besar seperti Jawa, Madura dan

sumatera.

Atas desakan Dewan Keamanan PBB pada Tanggal 4 Agustus 1947,

pemerintah Belanda menjalankan perintah gencatan senjata. Selanjutnya Tanggal 17

Januari 1948 di kapal "Renville" ditandatangani persetujuan Renville.

Persetujuan Renville

Isi dari persetujuan Renville antara lain:

1) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan

diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat, yang harus segera dibentuk.

2) Sebelum Republik Indonesia Serikat dibentuk Belanda dapat serahkan sebagian dari

kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.

3) Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat akan

menjadi peserta yang sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Nederland-

Indonesia dengan Ratu Belanda sebagai kepala Uni.

4) Republik Indonesia akan menjadi Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat.13

Persetujuan ini pun tidak dapat dilaksanakan oleh Belanda, dan pada Tanggal

19 Desember 1948 Belanda melakukan "Aksi Militer II" dan berhasil menduduki ibukota

Republik Indonesia Yogyakarta serta menahan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden

Moh. Hatta serta beberapa pejabat negara lainnya. Atas tindakan Belanda menimbulkan

reaksi di forum internasional, dan karena itu kemudian Dewan Keamanan PBB pada

Tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan resolusi yang beRepublik Indonesia Serikati:

1) Supaya dilakukan "Cease Fire" (pemberhentian tembak menembak).

2) Supaya pemimpin-pemimpin RI segera dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.

13

Baca Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hlm. 26.

Page 9: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

8

Dalam rangka itu kemudian di bawah pimpinan Cochran dari Komisi Jasa-jasa

baik PBB pada Tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan antara Dr. Van Royen dari

pihak Belanda dan Mohamad Roem, SH dari pihak Indonesia. Pada Tanggal 7 Mei 1949

tercapailah "Persetujuan Roem Van Royen". Isi persetujuan tersebut antara lain:

1) RI akan menghentikan perang gerilya. Bekerjasama keamanan,

2) Belanda menyetujui pengembalian pemerintah RI ke Jogyakarta,

3) Menghentikan operasi militer dan membebaskan pemimpin-pemimpin RI, serta

selekasnya mengadakan Konferensi meja Bundar.

Konferensi Meja Bundar (KMB)

Pada tanggal 23 Agustus 1949 - 2 Nopember 1949 kemudian diadakan

Konferensi Meja Bundar di Den Haag, yang diikuti oleh Belanda, Republik Indone-sia,

BFO (Bjeenkomst voor Vederal Overleg) yang diawasi oleh UNCI (United Nations

Commission for Indonesia). Selama berlangsungnya KMB oleh delegasi-delegasi RI dan

BFO telah membentuk Panitia Perancang konstitusi Republik Indonesia Serikat yang

bertugas untuk merancang naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat. Hasilnya

dirumuskan dalam Piagam Persetujuan delegasi RI dan BFO tentang Konstitusi

Sementara Republik Indonesia Serikat14

.

Naskah tersebut kemudian disetujui oleh Pemerintah Belanda, Pemerintah RI,

BFO dan juga oleh KNIP dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat dari BFO, yang mulai

berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.

2. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1949 - 195015

Republik Indonesia Serikat (Republik Indonesia Serikat) berdiri tanggal 27

Desember 1949 dan sesuai dengan perjanjian KMB maka: negara RI hanya merupakan

salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat, demikian pula halnya dengan

Undang-undang Dasar 1945 hanya berlaku untuk negara bagian RI, dan wilayahnya

14 Baca dalam Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua,

Jakarta : Bina Aksara, hlm. 35-38. 15

Baca dalam I Made Sucipta, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid III,

Cetakan Pertama, Singaraja : Petada Pasi Grafika, hlm. 65-75.

Page 10: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

9

sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat adalah daerah

yang disebut dalam Persetujuan Renville 17 Januari 1948.

Menurut ketentuan Pasal 186 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, konstitusi

ini masih bersifat "sementara", yang akan diganti dengan konstitusi yang bersifat tetap,

hasil pembentukan konstituante bersama-sama dengan pemerintah. Tetapi lembaga

tersebut belum dapat dibentuk, Konstitusi Republik Indonesia Serikat telah dirubah

dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950 menurut ketentuan Pasal 190, Pasal 127 a dan

Pasal 192 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 Konstitusi Republik Indonesia Serikat

maka: "Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum

yang demokratis dan berbentuk federasi". Berbeda dengan Undang-undang Dasar 1945

Pasal 1 ayat (1) bentuknya adalah "kesatuan" dengan bentuk pemerintahan "Republik".

Kekuasaan negara Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah

bersama-sama dengan DPR dan Senat (Pasal 1 ayat 2 Konstitusi Republik Indonesia

Serikat). Yang dimaksud dengan pemerintah adalah presiden dan seorang/beberapa

orang menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum

mereka (Pasal 68 ayat 1 dan 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat). Dengan demikian

maka pemerintah, DPR dan Senat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Sesuai

dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat,

presiden ialah Kepala Negara, ia tidak memimpin pemerintahan (eksekutif). Yang

memimpin pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama-sama dengan Dewan Menteri.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, kedudukan presiden tidak dapat diganggu

gugat, menteri-menteri yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah,

baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya

(departemen) sendiri-sendiri (Pasal 118 Konstitusi Republik Indonesia Serikat), sehingga

kedudukan menteri-menteri di sini adalah tergantung kepada DPR.

Dengan ketentuan tersebut di atas maka jelas Konstitusi Republik Indonesia

Serikat menganut sistem pertanggungjawaban menteri atau lazim disebut dengan "sistem

Page 11: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

10

parlementer", hal ini sesuai dengan Sistem Representative and Responsible

Government.16

Lembaga Perwakilan Rakyat menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat

menganut sistem bicameral yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Majelis

Tinggi dilakukan oleh senat dan Majelis Rendah oleh DPR. Keanggotaan Senat terdiri

dari wakil negara bagian (masing-masing 2 orang), sedangkan DPR mewakili seluruh

rakyat Indonesia (Pasal 99-111 Konstitusi Republik Indonesia Serikat).

Kekuasaan perundang-undangan federal menurut Pasal 127 Konstitusi

Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan

Senat. Pengesahan suatu perundang-undangan selain ditandatangani oleh presiden juga

ditandatangani oleh menteri yang harus bertanggung jawab terhadap materi UU tersebut

sebagai contrasign.

Bentuk negara federasi dan sistem parlementer yang dianut Konstitusi

Republik Indonesia Serikat tidak sesuai dengan jiwa proklamasi maupun kehendak

sebagian besar rakyat di beberapa daerah/negara bagian, hal ini terbukti dengan

terjadinya penggabungan beberapa daerah/negara bagian dengan negara RI.

Penggabungan tersebut memang dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 44

Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang menyatakan bahwa suatu negara bagian atau

daerah bagian dari Republik Indonesia Serikat, dapat menggabungkan diri dengan negara

bagian lainnya, yang harus dilakukan sesuai dengan UU Federal dan berdasarkan

kehendak rakyat. Untuk mengatasi hal tersebut kemudian diadakan persetujuan antara

pemerintah RI dengan Republik Indonesia Serikat untuk merubah bentuk Negara Federal

menjadi bentuk Negara Kesatuan.

3. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1950 - 195917

Dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Republik

Indonesia Serikat menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat No. 56 Tahun 1950) maka Konstitusi

16 Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 68-74. 17 Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia

Merdeka, 1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 25-

75.

Page 12: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

11

Republik Indonesia Serikat berubah menjadi Undang-undang Dasar Sementara. Secara

formil Undang-undang Dasar Sementara 1950 adalah merupakan perubahan dari

Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, namun pada hakikatnya Undang-undang

Dasar Sementara 1950 adalah merupakan penggantian dari Konstitusi Republik

Indonesia Serikat. Istilah perubahan dipakai karena berdasarkan Pasal 190 dan 191

Konstitusi Republik Indonesia Serikat dinyatakan bahwa untuk merubah konstitusi

hanya dapat dirubah dengan UU Federal, sedangkan untuk mengganti harus dilakukan

oleh lembaga konstituante (Pasal 186 Konstitusi Republik Indonesia Serikat). UU

Federal No. 7 Tahun 1950 terdiri atas 2 pasal yaitu:

I. Berisi ketentuan perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi

Undang-undang Dasar Sementara dengan diikuti naskah Undang-undang

Dasar Sementara selengkapnya.

II. 1). Tentang Undang-undang Dasar Sementara berlaku Tanggal 17 Agustus

1950, serta 2). Aturan Peralihan bahwa alat-alat perlengkapan negara

sebelum pengundangan undang-undang ini tetap berlaku.

Dengan Undang-undang Dasar Sementara maka bentuk negara federal berubah

menjadi negara kesatuan (Pasal 1 Ayat (1)). Undang-undang Dasar Sementara sifatnya

adalah sementara, hal ini dapat dilihat dari Pasal 134 Undang-undang Dasar Sementara

yang menentukan bahwa: konstituante bersama-sama pemerintah selekasnya menetapkan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia.

Sebagai realisasi Pasal 134 tersebut kemudian dilaksanakan pemilu untuk

memilih anggota DPR pada bulan September 1955 dan memilih anggota konstituante

pada bulan Desember 195518

. Konstituante yang diberi tugas untuk menetapkan Undang-

undang Dasar yang tetap, setelah bersidang selama kurang lebih 2,5 tahun tidak mampu

menyelesaikan tugasnya. Hal ini disebabkan karena konstituante tidak pernah mencapai

quorum, 2/3 dari jumlah anggota seperti yang ditentukan.

Karena keadaan tersebut kemudian pada tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekarno

mengeluarkan Dekrit Presiden, yang isinya adalah: Pembubaran Konstituante, Undang-

undang Dasar 1945 berlaku kembali untuk seluruh wilayah RI dan tidak berlakunya

18

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; Op. Cit, hlm. 96.

Page 13: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

12

Undang-undang DasarS dan pembentukan MPRS/DPRS dan DPAS dalam waktu

sesingkat-singkatnya. Dasar hukum keluarnya Dekrit Presiden ini tidak akan dijumpai

dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi keluar didasarkan pada

"'Staatsnoodrecht" (Hukum/Hak Darurat Negara), yaitu hukum yang memberi hak

kepada penguasa untuk mengambil tindakan atau keputusan yang penting demi kesatuan

bangsa dan keselamatan negara. Staatsnoodrecht ada yang bersifat obyektif dan

subyektif. Dikatakan obyektif, bila tindakan penguasa didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan yang subyektif bilamana

tindakan penguasa tidak didasarkan pada peraturan yang sudah ada tetapi didasarkan

pertimbangan subyektif dari penguasa sendiri. Dasar dari penguasa untuk melaksanakan

Hukum Darurat Negara yang ekstra konstitusional adalah pada asas Salus Populi

Suprema Lex (kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi).19

Dekrit Presiden

tersebut kemudian dikuatkan dengan TAP MPRS XX/MPRS/1966 tentang Memorandum

DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan Republik Indonesia.

4) Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1959 - sekarang

Sejalan dengan perkembangan ketatanegaraan yang terjadi, maka periode

berlakunya Undang-undang Dasar 1945 pada masa ini akan dibagi menjadi tiga bagian

yaitu:

1). Masa antara 1959 -1966

Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali atas dasar Dekrit Presiden 5

Juli 1959, adalah terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Aturan

Peralihan dan 2 aturan Tambahan) serta Penjelasan. Sebagaimana halnya dengan

Undang-undang Dasar 1945 yang pertama kali berlaku tanggal 18 Agustus 1945, maka

Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali dengan dekrit ini juga masih bersifat

"sementara", karena tidak ditetapkan oleh MPR sekalipun kemudian telah dibenarkan

oleh TAP MPRS XX/MPRS/ 1966 jo TAP MPR V/MPR/1973.20

Dekrit itu sendiri hanya

menetapkan bahwa Undang-undang Dasar '45 berlaku bagi seluruh Bangsa Indonesia.

19

Ni'matuI Huda III, Op. Cit, hlm. 52. 20

Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 166

Page 14: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

13

Jadi dengan demikian berlaku pulalah ketentuan pasal 3 dan ayat 2 Aturan Tambahan

Undang-undang Dasar'45, di mana berdasarkan kedua pasal tersebut maka Undang-

undang Dasar 1945 masih bersifat sementara.21

Dengan berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 maka asas

ketatanegaraan dan sistem pemerintahan mengalami perubahan, yaitu dari asas

Demokrasi Liberal menjadi asas Demokrasi Terpimpin, dan dari sistem parlementer

menjadi sistem presidensiil. Tentang asas demokrasi terpimpin, presiden dalam sidang

konstituante tanggal 22 April 1959 menegaskan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah

demokrasi yang didasarkan atas "kerakyatan" yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi, inti dari demokrasi terpimpin adalah

permusyawaratan tetapi suatu permusyawaratan yang "dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan", bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengadaan

kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra.22

Dengan sistem presidensiil yang dianut oleh Undang-undang Dasar 1945,

maka presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintahan) tertinggi

(concentration of power and responsibility upon president), yang dalam melaksanakan

kekuasaannya dibantu oleh seorang wakil presiden dan menteri-menteri (Pasal 4 dan 17

Undang-undang Dasar 1945).

Dalam praktik ketatanegaraan yang terjadi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959

hingga meletusnya G30 S PKI, Undang-undang Dasar 1945 belum dilaksanakan secara

murni dan konsekuen. Banyak penyimpangan (deviasi) yang terjadi baik dari segi

kelembagaan negara, sistem pemerintahan maupun dari segi hukum.

Dilihat dari segi kelembagaan negara, maka lembaga tertinggi atau tinggi

negara kedudukannya tidak neben atau tidak sejajar tetapi undergeordnet dengan

presiden. Hal ini terlihat dari didudukkannya ketua dan wakil ketua lembaga

tertinggi/tinggi negara sebagai pembantu presiden dengan jabatan menteri. Contohnya

adalah pengangkatan anggota DPR GR oleh presiden dengan Penetapan Presiden No. 4

21

JCT Simorangkir, 1983, Hukum dan Konstitusi, Inti Idayu Press, Jakarta, hlm. 8. 22

Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 167.

Page 15: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

14

Tahun 1960, di mana ketua dan wakil ketua Dewan masing-masing menjabat sebagai

Menteri Koordinator dan Menteri.

Dalam sistem pemerintahan kekuasaan presiden sangat besar, di mana di

samping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga adalah sebagai Pemimpin

Besar Revolusi yang memegang kekuasaan seumur hidup, sebagaimana diatur dalam

TAP MPRS III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia

Bung Karno menjadi presiden republik Indonesia seumur hidup. Hal ini jelas

bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Dasar 1945. Di bidang hukum banyak

hal yang seharusnya diatur/dibentuk dengan undang-undang tetapi dibentuk dengan

Penetapan Presiden; Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.

Jadi secara konstitusional, maka seharusnya kekuasaan negara tidak terletak di

tangan "presiden" tetapi MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, namun dalam

praktik ketatanegaraan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi landasan

konstitusional dikesampingkan. Dalam kondisi seperti tersebut, kemudian muncul

pemberontakan G 30 S PKI, yang membawa korban beberapa jenderal, aparatur negara

dan masyarakat Indonesia23

.

Presiden/Kepala Negara/Pemimpin Besar Revolusi tidak mampu

mengendalikan stabilitas politik dan keamanan, sehingga kemudian meletuslah TRI

TURA (Tiga Tuntutan Rakyat) dari angkatan 1966 yang isinya:

1) Pelaksanaan kembali secara murni dan konsekuen Undang-undang Dasar 1945.

2) Pembubaran PKI dan

3) Penurunan harga barang.

2). Masa antara 1966 - 1999

Untuk mengatasi keamanan negara dan kesatuan bangsa pada saat itu,

kemudian oleh presiden Soekarno dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret

(Supersemar) Tahun 1966, yang memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto,

23 Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia

Merdeka, 1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 25-

27.

Page 16: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

15

Panglima Komando Staf Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi. Supersemar

kemudian dikukuhkan dengan TAP MPRS IX/MPRS/1966. Kemudian pada tanggal 12

Maret 1967 dengan TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan IR.

Soekarno, dan kemudian mengangkat pemegang Ketetapan MPRS IX/MPRS/1966

sebagai pejabat presiden. Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden berdasarkan TAP

MPRS No.XLIX/MPRS/1968. 24

Untuk melakukan penertiban terhadap produk peraturan perundang-undangan

kemudian dikeluarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR

GR Mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, yang terdiri dari;

1. Undang-undang Dasar 1945,

2. Ketetapan MPRS/MPR,

3. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu),

4. Peraturan Pemerintah,

5. Keputusan Presiden dan

6. Peraturan pelaksana lainnya seperti:

a. Peraturan Menteri,

b. Instruksi Menteri,

c. dan lain-lainnya.

Dalam sejarah berlakunya Undang-undang Dasar 1945 kemudian pada

Tanggal 3 Juli 1971 diadakan Pemilihan Umum yang pertama, dan berhasil membentuk

MPR, DPR, dan DPRD yang difinitif sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (1),

dan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Kemudian pada Bulan Maret 1973 MPR

mengangkat Jenderal Soeharto sebagai presiden, dan untuk selanjutnya dalam 5 kali

pemilihan presiden, MPR terus menerus memilih Jenderal Soeharto sebagai calon

tunggal.25

Terakhir Soeharto dipilih dan diangkat sebagai presiden pada pemilu yang ke-

6 era orde baru yaitu pada bulan Maret 1998.

24 Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 183 25

Harun Al Rasyid, 1998, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm.

197.

Page 17: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

16

Pada masa pemerintahan Soeharto, dikeluarkan UU yang mengatur mengenai

lembaga negara antara lain; UU No. 5 Tahun 1973 tentang BPK, UU No. 16 Tahun 1969

tentang Susunan dan Kedudukan MPR. DPR dan DPRD.

Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan pada masa Soeharto berkuasa

terjadi pula deviasi baik di bidang politik maupun hukum. Antara lain dengan pelemahan

fungsi MPR, yang diawali dengan adanya konsensus nasional Tahun 1967 sebagai hasil

kesepakatan partai politik dan Golongan Karya, yang disahkan dengan Keputusan

pimpinan DPR-GR tanggal 16 Desember 1967 dengan adanya anggota MPR yang

diangkat di samping melalui pemilu. Isi Keputusan tersebut antara lain:

1) Adanya anggota MPR/DPR yang diangkat, di samping yang dipilih melalui pemilu,

2) Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan Non ABRI, untuk Non ABRI harus non

massa,

3) Jumlah anggota yang diangkat untuk MPR adalah 1/2 dari jumlah seluruh anggota

DPR.26

Konsensus tersebut merupakan titik awal pelemahan anggota MPR melalui

penentuan komposisinya.

Puncak restrukturisasi politik adalah keluarnya serangkaian UU politik yaitu

UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai politik dan

Golkar, UU No. 8 Tahun 1985 tentang organisasi masyarakat. UU No. 1 Tahun 1985

dengan tegas mencantumkan harus adanya pengangkatan jumlah anggota MPR/ DPR.

Paket UU inilah menurut Ni’Matul Huda merupakan sumber masalah politik di tanah air,

yaitu berkaitan dengan masalah komposisi keanggotaan MPR, DPR dan DPRD.

Keanggotaan lembaga tersebut ada yang dipilih melalui pemilu dan ada yang diangkat

dengan kriteria yang tidak jelas. Anggota MPR yang diangkat27

(ABRI, Utusan Daerah

dan Golongan) jauh lebih banyak dibandingkan yang dipilih, sehingga pengangkatan

tersebut lebih banyak tergantung dari selera presiden. Hal tersebut menyebabkan posisi

26

Bondan Gunawan S, 2000, Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, hlm. 33 27 Menurut UU No. 2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD,

jumlah anggota MPR dua kali lipat jumlah anggota DPR, jumlah anggota DPR 500 orang (400 dipilih dan 100

diangkat). Sisanya yang 500 orang diangkat oleh Presiden dari unsur ABRI, Utusan Daerah dan Utusan

Golongan.

Page 18: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

17

MPR sebagai lembaga tertinggi negara berada di bawah presiden/eksekutif, bukan

sebaliknya. MPR menjadi lembaga elastis yang lebih banyak menyuarakan kepentingan

penguasa.28

Penyimpangan lainnya adalah berkaitan dengan perubahan Undang-undang

Dasar 1945, di mana Undang-undang Dasar 1945 dianggap final dan merupakan karya

agung The Founding Fathers yang harus dilaksanakan Bangsa Indonesia. Undang-

undang Dasar tidak dapat dirubah, karena merubah Undang-undang Dasar negara akan

kacau dan merubah Undang-undang Dasar berarti membubarkan negara proklamasi 17

Agustus 1945. Keinginan untuk tidak merubah tampak dari ketentuan Pasal 115 TAP

MPR I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR/DPR yang menyatakan bahwa;"

majelis tidak akan merubah Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila dan tidak

berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan

secara murni dan konsekwen". Peraturan tersebut sangat kontradiktif dengan semangat

Pasal 37 Undang-undang Dasar 1945 dan terlalu dipaksakan.29

Hal tersebut dipertegas

lagi dalam TAP MPR IV/MPR/1983 tentang Referendum, di mana untuk merubah

Undang-undang Dasar 1945 harus dilakukan referendum. Ketetapan ini dimaksudkan

agar Pasal 37 Undang-undang Dasar 1945 tidak mudah digunakan. Jadi, pada era

pemerintahan Soeharto Asas Kedaulatan Rakyat sebagaimana ditentukan dalam Undang-

undang Dasar 1945 tidak pernah dilaksanakan, yang dilaksanakan adalah kedaulatan

penguasa.30

Akibat pendekatan kekerasan yang dilakukan dan terpuruknya ekonomi

Indonesia sejak 1997, menimbulkan gelombang aksi mahasiswa yang menghendaki

mundurnya Soeharto sebagai presiden. Akibatnya pada Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto

yang sudah memegang jabatan selama 7 periode mengundurkan diri sebagai presiden

dan digantikan oleh BJ. Habbie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.

3). Masa 1998 - sekarang

Pemerintahan pada masa Habibie disebut sebagai pemerintahan Transisional,

yang menurut Mulyoto Mulyosudarmo terdapat dua pemahaman tentang pemerintahan

28 Ni'Matul Huda III, op.cit, hlm. 163. 29

Ni’matul Huda III, op.cit., hlm. 146. 30

A. Ramlan Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakarta, hlm. 84.

Page 19: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

18

transisi. Pertama, pemerintahan transisi digunakan untuk merujuk "pemerintahan

sementara" yang masa jabatannya dibatasi sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil

pemilu. Kedua, pemerintahan transisi merupakan pemerintahan yang otoriter dan

sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik dan demokratis.31

Pada masa Habibie terjadi perubahan ketatanegaraan yang lebih demokratis,

yakni dengan keluarnya beberapa ketetapan yang penting, Undang-undang serta

dilakukannya amandemen I (pertama) terhadap Undang-undang Dasar 1945. Dalam

bidang politik dikeluarkan undang-undang yang menggantikan undang-undang

sebelumnya yaitu; UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999

tentang Pemilu dan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan kedudukan MPR, DPR dan

DPRD. Dengan keluarnya undang-undang tersebut maka terdapat sejumlah perubahan

yakni; Pertama, dari sistem politik kepartaian, di mana jumlah partai yang ikut pemilu

tidak lagi terbatas PDI. PPP dan Golkar tetapi multi partai, Kedua, diakhirinya peran

militer secara bertahap di MPR, ketiga, Asas tunggal partai tidak berlaku lagi. Masing-

masing partai bebas menentukan asas yang dipakai, keempat, pemilu dilaksanakan oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Setelah terbentuknya MPR hasil pemilu 1999 kemudian dilakukan perubahan

pertama terhadap Undang-undang Dasar 1945 dalam sidangnya tanggal 14-21 Oktober

1999. Beberapa pasal yang diamandemen antara lain; Pasal 5 ayat 1, Pasal 7, 9, 13 ayat

2, 14, 15, 17 ayat 2 dan 3, 20 serta Pasal 2132

.

Perubahan terhadap Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 adalah berkaitan dengan

kekuasaan pembentukan UU, bila sebelum amandemen kekuasaan membentuk UU ada

pada presiden maka kemudian beralih kepada DPR. RUU tersebut dibahas oleh presiden

bersama dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama, dan jika tidak mendapat

persetujuan bersama maka tidak boleh diajukan dalam persidangan masa itu (pasal 20

ayat 2 dan 3 amandemen I Undang-undang Dasar 1945). Yang mengesahkan RUU

tersebut adalah presiden (Pasal 20 ayat 4). Masalahnya kemudian adalah jika RUU

tersebut ternyata kemudian tidak disahkan oleh presiden maka bagaimana status RUU

31 Suwoto Mulyosudarmo, 3 Juli 1999, Dinamika Hukum Tata Negara di Era Pemerintahan

Transisi (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga), Surabaya (selanjutnya

disebut Suwoto Mulyosudarmo II). 32

Baca dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 11.

Page 20: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

19

tersebut, apakah langsung menjadi UU atau batal?33

Bila dahulu sebelum amandemen

maka: RUU tersebut tidak boleh diajukan dalam persidangan DPR masa itu (Pasal 21

ayat 2), maka dengan amandemen ketentuan tersebut dihapus. Amandemen juga

dilakukan terhadap Pasal 7 yaitu berkaitan dengan pembatasan masa jabatan persiden,

yakni maksimal hanya untuk dua kali masa jabatan. Sedangkan dalam Pasal 9 yaitu

menyangkut sumpah presiden, ditambah satu ketentuan lagi yaitu bahwa jika MPR/DPR

tidak mengadakan sidang, maka: presiden dan atau wakil presiden bersumpah/berjanji di

hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA. Pasal 13 berkaitan

dengan pengangkatan/penerimaan duta bila dahulu sepenuhnya adalah merupakan hak

presiden selaku kepala negara, maka dengan amandemen presiden harus memperhatikan

pertimbangan DPR. Demikian pula dengan ketentuan Pasal 14 ayat 2 dalam hal

pemberian Amnesti dan Abolisi. Sedangkan dalam hal pemberian Grasi dan Rehabilitasi

harus memperhatikan pertimbangan MA.

Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 mengakhiri pula masa pemerintahan

BJ. Habibie yakni dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang

Umum MPR dengan TAP MPR III/MPR/1999. Kemudian dalam Sidang Umum MPR

tanggal 20 dan 21 Oktober 1999 Bangsa Indonesia menorehkan sejarah penting bagi

perkembangan demokrasi, yakni dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden yaitu

Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri melalui voting sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945. Pengangkatan tersebut

kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR VII/MPR/1999 dan TAP MPR

VIII/MPR/1999. Dalam sidang tahunannya tanggal 7-18 Agustus 2000 MPR melakukan

amandemen ke-II terhadap Undang-undang Dasar 1945 yang meliputi perubahan dan

atau penambahan yaitu; Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, mencakup pasal 18, 18A,

18 B; Bab VII tentang DPR, mencakup pasal 19, 20 ayat 5, 20A, 22 A dan 22 B;: Bab IX

tentang Wilayah Negara, mencakup pasal 25 E; Bab X tentang Warga: Negara dan

Penduduk, mencakup pasal 26 ayat 2 dan 3, pasal 27 ayat 3; Bab XII tentang HAM,

33

Dalam Amandemen ke-II Undang-undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18

Agustus 2000, hal tersebut sudah diatur dengan dicantumkannya Pasal 20 ayat (5) yang menyebutkan bahwa,

Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari

semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Baca dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12.

Page 21: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

20

mencakup pasal 28 A-J dan Bab XII tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta

Lagu Kebangsaan, mencakup pasal 36 A-C34

.

Beberapa hal penting berkaitan dengan amandemen tersebut di atas adalah

ketentuan pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, di mana dengan tegas ditentukan

bahwa daerah Indonesia terbagi atas daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota serta

diakuinya dan dihormatinya satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan

istimewa.

Perubahan terhadap Pasal 19 Ayat (1), berkaitan dengan penyusunan anggota

DPR di mana dalam amandemen ditentukan bahwa "anggota DPR dipilih melalui

pemilu", jadi tidak lagi dikenal adanya mekanisme pengangkatan sebagaimana yang

terjadi sebelumnya.

Dalam amandemen ke-III Pasal 20 ditambah satu ayat lagi yaitu ayat (5), yang

menentukan bahwa bilamana RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh

presiden, maka dalam jangka waktu 3 bulan sejak RUU tersebut disetujui ,sah menjadi

UU.

Selama pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid tuntutan reformasi berjalan

lambat dan gejolak disintegrasi bangsa di berbagai daerah belum berhasil diatasi, terakhir

adalah terjadinya skandal Bulloggate dan Bruneigate,35

yang berakibat pada tanggal 1

Februari Tahun 2001 DPR mengeluarkan Memorandum I36

dan diikuti dengan

Memorandum II pada Tanggal 30 April 2001.37

Kewenangan DPR mengeluarkan

Memorandum tersebut didasarkan pada TAP MPR No.III/MPR/1978 tentang Kedudukan

dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-

34

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat II, op.cit., hlm. iv-v. 35

Skandal Bulloggate adalah tentang penggunaan uang Yayasan Dana Yanatera Bullog

sejumlah Rp. 35 Milyar, di mana Presiden diduga berperan dalam pencairan dana tersebut untuk diberikan

kepada Suwondo. Sedangkan Bruneigate adalah tentang pemberian bantuan dari pemerintah Brunei Darussalam

kepada pemerintah RI. 36

Memorandum I DPR dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No 36 Tahun 2001, yang

berisi: a. Presiden diduga terlibat dalam kasus Bullogate dan Bruneigate, b. Melakukan kebohongan publik, c.

Inkonsistensi dalam memberikan pernyataan, d. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, e. Melanggar

Pasal 9 Undang-undang Dasar 1945 tentang Sumpah Jabatan Presiden, dan f. Melanggar TAP MPR No.

XI/MPR/1998 (Bali Post Edisi 28 Maret 2001) 37Memorandum II DPR Dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No. 47/IV/2001 yang berisi:

a. Presiden telah melanggar GBHN, b. Dalam waktu 3 bulan, presiden tidak memperhatikan Memorandum I,

dan c. Memberikan waktu 1 bulan kepada presiden menanggapi hal tersebut.

Page 22: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

21

lembaga Tinggi Negara, di mana dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan: Apabila DPR

menganggap presiden melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan

memorandum untuk mengingatkan presiden. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (3)

disebutkan: Apabila dalam waktu 3 bulan presiden tidak memperhatikan Memorandum

DPR tersebut pada ayat (2) maka DPR akan menyampaikan Memorandum kedua. Jika

dalam waktu 1 bulan, Memorandum II tidak diindahkan, DPR dapat meminta MPR

mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden.

Konflik antara presiden dan DPR terus berlanjut, dan presiden pada Tanggal

22 Juli 2001 mengeluarkan Maklumat yang berisi38

:

1) Pembekuan MPR/DPR,

2) Mengembalikan kedaulatan rakyat dan melaksanakan pemilu dalam waktu satu

tahun,

3) Membekukan Partai Golkar.

Keluarnya Maklumat tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, dan

akhirnya atas permintaan MPR, MA mengeluarkan fatwa mengenai substansi maklumat

tersebut yaitu bahwa; Maklumat tersebut bertentangan dengan konstitusi (penjelasan),

demikian pula presiden tidak berwenang membubarkan Golkar karena yang berwenang

adalah MA sesuai dengan ketentuan dalam UU tentang Parpol. Dari segi kelembagaan

tindakan presiden juga tidak tepat, karena MPR adalah merupakan lembaga tertinggi

negara oleh karena itu tidak dapat dibubarkan oleh lembaga tinggi negara lainnya.

Akhirnya melalui Sidang Istimewa tanggal 22 Juli 2001 MPR mencabut

mandatnya dan mengangkat Megawati Soekarno Putri sebagai presiden RI ke-V dan

Hamzah Haz sebagai wakil Presiden. Kemudian pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun

2001, MPR mengeluarkan 12 Ketetapan dan melakukan amandemen ke III terhadap

Undang-undang Dasar 1945. Dalam amandemen ke III ini, beberapa pasal yang dirubah

atau ditambah adalah; Pasal 1 ayat (2 dan 3), 3 ayat (1, 3 dan 4), 6 ayat ( 1 dan 2), 6A

ayat ( 1, 2, 3 dan 5), 7A, 7B ayat (1, 2, 3, 5, 6 dan 7), 7C, 8 ayat (1 dan 2), 11 ayat (2 dan

3), 17 ayat (4), 22C ayat (1, 2, 3 dan 4), 22D ayat (1, 2, 3 dan 4), 22E ayat (1, 2, 3, 4, 5

38

Baca dalam Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,

Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 115-135.

Page 23: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

22

dan 6), 23 ayat ( 1, 2 dan 3), 23A, 23C , 23E ayat (1, 2 dan 3), 23F ayat (1 dan 2), 23G

ayat (1 dan 2), 24 ayat (1 dan 2), 24A ayat (1, 2, 3, 4 dan 5), 24B ayat (1, 2, 3 dan 4) dan

Pasal 24C ayat (1, 2, 3, 4, 5 dan 6)39

.

Perubahan yang penting dalam amandemen ke-III ini antara lain berkaitan

dengan Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa: "kedaulatan adalah di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar" Jadi tidak lagi dilaksanakan oleh MPR.

Demikian pula dalam ayat 2-nya yang menegaskan bahwa "Indonesia adalah negara

hukum". Berdasarkan amandemen ke III ini maka perubahan yang mendasar terjadi pada

lembaga MPR, yang dahulu adalah merupakan lembaga tertinggi negara sekarang

kedudukannya sama dengan lembaga lainnya. Selain itu diatur pula beberapa lembaga

baru seperti DPD (Pasal 22 C dan D), Komisi Yudisial (Pasal 24 B), Mahkamah

Konstitusi (Pasal 24 C), dan sebagainya.

Kemudian pada Agustus 2002 dalam sidang tahunannya, MPR melakukan

amandemen yang ke IV terhadap Undang-undang Dasar 1945. Perubahan dan atau

penambahan meliputi Pasal 2 ayat (1), 6A ayat (4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16, 23B , 23D,

24 ayat (3), BAB XIII, Pasal 31 ayat (1, 2, 3 dan 4), 37 ayat (1, 2, 3, 4 dan 5), Aturan

Peralihan Pasal 1, 11 dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II40

.

Dalam amandemen ke IV ini salah satu perubahannya adalah: mencakup

susunan lembaga MPR, di mana keanggotaannya terdiri atas anggota DPR dan DPD

yang dipilih melalui pemilu, serta dihapuskannya lembaga DPA. Dengan amandemen ini

juga ditegaskan bahwa Undang-undang Dasar 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-

pasal (Aturan Tambahan Pasal II), sehingga penjelasan tidak termasuk lagi sebagai

bagian dari Undang-undang Dasar 1945.

Dengan diamandemennya Undang-undang Dasar 1945 tersebut, maka

kemudian dikeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana dari

Undang-undang Dasar 1945, yaitu antara lain; UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan

Umum, UU No. 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik, UU No. 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU No. 23 Tahun 2003 tentang

39

Baca Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 13. 40

Baca dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14.

Page 24: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

23

pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi dan sebagainya.

Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 yang dilaksanakan pada Tanggal 5 April

2004 telah berhasil memilih anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD. Hasil Pemilu Tahun

2004 ini, menghasilkan 10 partai yang mendapat suara terbanyak dari 24 partai politik

yang ikut pemilu. Partai tersebut antara lain: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

(PDIP) memperoleh suara (18,53%), Partai Golkar (21,58%), Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) memperoleh (10,57 %), PPP (8,15%), Partai Demokrat (7,45%), PAN (6,44%),

PBB (2,62%), PER (2,44%) dan PDS (2,13%).41

Dengan perolehan suara tersebut maka itu berarti bahwa pada pemilu Tahun

2009 silam, partai yang berhak ikut pemilu adalah 7 partai yang memperoleh suara

terbanyak.42

Pemilu 2004 ini menunjukkan terjadinya perubahan dominasi dan

pemerataan kekuatan, misalnya PDIP dan Golkar hanya menguasai 20% dan 23% kursi.

Hal tersebut disebabkan karena:43

1) Pertambahan kursi di DPR, dari 500 pada pemilu Tahun 1999 menjadi 550 kursi,

sehingga ada 50 kursi tambahan yang diperebutkan.

2) Dikosongkannya kursi ABRI di DPR, hal ini berarti ada 38 kursi yang diperebutkan

dalam pemilu 2004.

3) Merosotnya perolehan suara PDIP dalam Pemilu 2004 di mana kehilangan 44 kursi

di DPR, hal ini berarti bahwa ada 132 kursi yang akan diperebutkan.

Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004 tersebut, maka pada Tanggal

5 Juli Tahun 2004 kemudian dilakukan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara

langsung oleh rakyat dan ini merupakan hal yang baru bagi Bangsa Indone-sia karena

41

I Made Leo Wiratma, Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni) 2004; Dari

Pemilu Legislatif menuju Pemilu Presiden, Analisis CSIS Mencermati Hasil Pemilu 2004, Vol 33, No. 2 Juni

2004 42

Dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu disebutkan bahwa untuk

dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus a. memperoleh sekurang-kurangnya 3%

jumlah kursi DPR, b. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar

sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah Provinsi seluruh Indonesia, c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah

kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 jumlah Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia. 43

Anies Rasyid Baswedan, Sirkulasi Suara dalam Pemilu 2004, Analisis CSIS, Ibid, hlm. 175

Page 25: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

24

sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR.44

Dalam

Pemilu Tahun 2004 ini, Calon Presiden (capres) dan Calon wakil Presiden diusulkan

oleh partai politik/gabungan partai politik pemenang pemilu (Pasal 6A ayat (2) Undang-

undang Dasar 1945) jo Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan

Wakil Presiden. Kemudian berdasarkan ketentuan Peralihan Pasal 101 UU No. 23 Tahun

2003, maka untuk pemilu Tahun 2004 partai politik/gabungan partai politik yang berhak

mengajukan capres dan cawapres adalah yang memenuhi persyaratan perolehan suara

pada pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 5% dari

perolehan suara sah secara nasional hasil pemilu anggota DPR Tahun 2004.

Atas dasar ketentuan tersebut maka pada awalnya terdapat 6 pasangan capres

dan cawapres yaitu: (a). Wiranto dan Salahudin Wahid dari Golkar, (b) Megawati dan

Hasyim Muzadi dari PDIP, (c) Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo dari PAN, (d)

Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla dari Partai Demokrat, (e) Hamzah Haz dan

Agum Gumelar dari PPP dan (f) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Marwah Daud

Ibrahim dari PKB. Namun pasangan Gus Dur dan Marwah Daud Ibrahim dinyatakan

gugur oleh KPU karena tidak memenuhi persyaratan.

Gugurnya pasangan ini akibat terganjal ketentuan Pasal 6 huruf d UU No. 23

Tahun 2003 yang menyatakan: "mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan

tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden",45

Dan SK KPU No. 31 Tahun

2004 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Calon

Presiden dan Wakil Presiden yang dalam salah satu klausulnya menyebutkan bahwa

:"Capres atau cawapres memenuhi syarat apabila tidak ditemukan disabilitas dalam

kesehatan jasmani, termasuk di dalamnya perihal penglihatan".46

Pada pemilu putaran pertama yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004

tersebut, ternyata dari 5 pasangan capres dan cawapres tidak ada pasangan yang

memenuhi syarat peroleh suara untuk dapat dilantik sebagai presiden dan wakil

44 Pasal 6A ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 amandemen ke-3 menyatakan bahwa,

Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 45

Made Leo Wiratma, Op. Cit, hlm. 150. 46 Akibat SK KPU tersebut PKB kemudian minta fatwa ke MK, namun ditolak karena MK

tidak berwenang mengeluarkan fatwa atas SK KPU, selain itu pula judicial review terhadap peraturan

perundang-undangan di bawah UU adalah merupakan kewenangan MA. MA pun kemudian menolak uji materiil

yang diajukan oleh Gus Dur bersama PKB (baca lebih jauh Made Leo Wiratma, analisis CSIS, Ibid, hlm. 151).

Page 26: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

25

presiden.47

Karena itu kemudian atas dasar Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945

jo Pasal 66 UU No. 23 Tahun 2003, maka 2 pasangan calon yang memperoleh suara

terbanyak pertama dan kedua yang akan maju pada pemilu putaran kedua. Hasil pemilu

putaran pertama ini membawa pasangan Megawati Soekarno Putri dan Kiai Hasyim

Muzadi serta pasangan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf kalla maju pada pemilu

putaran kedua.

Pemilu putaran kedua yang dilaksanakan pada Tanggal 5 Oktober 2004,

memenangkan Susilo Bambang yudoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden wakil

presiden RI periode Tahun 2004-2009. Hal tersebut berdasarkan Keputusan KPU No.

28/MK/KPU/2004 tentang Penetapan hasil rekapitulasi pemilu. KPU memutuskan dan

menetapkan bahwa pasangan Megawati-Hasyim Muzadi memperoleh suara sebanyak

44.990.704, sedangkan Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla memperoleh suara

sebanyak 69.266.350.48

Pelantikan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla sebagai

presiden dan wakil presiden dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR pada Tanggal 20

Oktober 2004.

Kemudian, terjadinya pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2009, dimana

dengan dasar hukum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Nomor 200849

,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 200750

, Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 27 Tahun 200951

serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42

Tahun 200852

, dilaksanakan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 dengan 5 Partai

47

Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa pasangan capres dan

cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara

di setiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia, dilantik menjadi; presiden

dan wakil presiden. 48

Bali Post, Tanggal 21 Oktober 2004, hlm. 1. 49

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,

diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. 50

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721. 51 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5043. 52

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam

Page 27: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

26

Besar di Indonesia dengan kemenangan dari Partai Demokrat (20,81%), Partai Golkar

(14,45%), PDI-P (14,01%), PKS (7,89%), PAN (6,03%)53

serta Pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden Tahun 2009 dengan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan

Boediono mengalahkan rivalnya yakni Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subianto,

serta Jusuf Kalla dan H. Wiranto54

.

Dan terakhir, pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2014 lalu, dimana dengan

dasar hukum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Nomor 2008 juncto Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 201155

, Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 15 Tahun 201156

, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 201457

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun

201458

serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 200859

, dilaksanakan

Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 dengan Hasil rekapitulasi resmi KPU

menunjukkan perolehan suara setiap partai sebagai berikut: Partai Nasdem 6,72 persen,

PKB 9,04 persen, PKS 6,79 persen, PDI-P 18,95 persen, Golkar 14,75 persen, Gerindra

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4924. 53

Baca dalam Leo Agustino,”Pemilihan Umum di Indonesia, 2014“ dalam PRepublik

Indonesia Serikatma Vol. 33, No. 1, 2014, hlm. 116. 54

Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih:

Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia”, dalam Poelitik 5 (10), 2009, hlm. 575, 577-579. 55

Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang

Partai Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801

dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5189. 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5246. 57 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5568. 58

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, diundangkan pada 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5650. 59 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4924.

Page 28: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

27

11,81 persen, Partai Demokrat 10,19 persen, PAN 7,57 persen, PPP 6,53 persen, Hanura

5,26 persen, PBB 1,46 persen, dan PKPI 0,91 persen60

, serta Pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden Tahun 2014 dengan kemenangan Ir. H. Joko Widodo dengan H.M. Jusuf

Kalla mengalahkan Prabowo Subianto dengan M. Hatta Radjasa berdasarkan hasil

penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum sendiri melakukan penghitungan suara

secara berjenjang mulai dari tingkat TPS hingga nasional. Di tingkat nasional, KPU

melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara (real count) dan hasil

pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 sejak 20 Juli sampai 22 Juli

2014. Sekitar pukul 20.00 WIB, KPU mengumumkan hasil finalnya. Dimana Ketua KPU

Husni Kamil Manik membacakan Keputusan KPU Nomor 535/KPP4/KPU/201461

tentang penetapan hasil perolehan suara dan hasil Pemilihan Presiden 2014, dimana

pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangi kontestasi pemilihan umum Presiden

dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.

E. Kesimpulan

Telah diuraikan berkaitan dengan sumber hukum dalam Hukum Tata Negara

baik segi materiil di Indonesia dengan adanya Proklamasi 17 Agustus 1945, Supersemar,

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, serta segi formil di Indonesia baik berupa Undang-undang

Dasar Tahun 1945, Undang-undang, Konvensi Ketatanegaraan, Hukum Adat

Ketatanegaraan, Doktrin Ketatanegaraan, maupun perihal lainnya, yang dalam konteks

ini tidak dapat dipisahkan dengan konsep asas-asas Hukum Tata Negara yang terdiri atas

Negara Hukum, Asas Musyawarah Mufakat, Asas Kekeluargaan, maupun Prinsip

Checks and Balances di dalam ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen Undang-

undang Dasar Tahun 1945.

60 Baca dalam Leo Agustino, op.cit., hlm. 114-115. 61

Keputusan KPU Nomor 535/KPP4/KPU/2014 yakni pada butir ketiga surat

keputusan itu dirumuskan kalimat-kalimat, “Menetapkan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden Tahun 2014 sebagai berikut: a) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden

Nomor Urut 1 Sdr. H. PRABOWO SUBIANTO dan Sdr. Ir. H.M. HATTA RAJASA sebanyak

62.576.444 (Enam Puluh Dua Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Enam Ribu Empat Ratus Empat Puluh

Empat) suara atau sebanyak 46,85% dari suara sah nasional; b) Pasangan calon Presiden dan

Wakil Presiden Nomor Urut 2 Sdr. Ir. H. JOKO WIDODO dan Sdr. Drs. H.M. JUSUF KALLA

sebanyak 70.997.833 (Tujuh Puluh Juta Sembilan Ratus Sembilan Puluh Tujuh Ribu Delapan Ratus

Tiga Puluh Tiga) suara atau sebanyak 53,15% dari suara sah nasional.”. Baca dalam Leo

Agustino, op.cit., hlm. 125.

Page 29: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

28

Page 30: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

29

DAFTAR BACAAN

Buku

Al Rasyid, Harun; 1998. Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti,

Jakarta.

Dekker, Nyoman; 1993. HTN Republik Indonesia, IKIP Malang

Ekatjahjana, Widodo dan Totok Sudaryanto; 2001. Sumber HTN Formal, di

Indonesia, Bandung: Citra Aditya.

Gunawan S, Bondan; 2000. Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta.

Joeniarto, tt. Selayang Pandang Sumber-sumber HTN Indonesia, Yogyakarta:

Liberty.

Juniarto; 1983. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta Bina Aksara.

Kusnardi. Moh. dan Bintan R. Saragih; 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan

menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Djaya Pirusa.

M. Mangunsong, Parlin; 1992. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Sarana

Perubahan Undang-undang Dasar, Bandung: Alumni

Manan, Bagir dan Kuntanan Magnar; 1987. Peranan peraturan Perundang-

undangan dalam pembinaan Hukum Nasional, Armico,

Manan, Bagir; 1987. Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico.

Maria Farida Indrati Soeprapto; 1998, llmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar

dan Pembentukannya, Jakarta : Kanisius.

Mulyosudarmo, Suwoto. Peralihan Kekuasaan Kajian RetoRepublik Indonesia

Serikat Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta

Mulyosudarmo, Suwoto; 3 Juli 1999. Dinamika Hukum Tata Negara di Era

Pemerintahan Transisi (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Air

Langga), Surabaya.

Notosusanto, Nugroho; 1981. Naskah Proklamasi yang Autentik, Jakarta: PN Balai

Pustaka.

Pide, Andi Mustari; 1999. Pengantar HTN, Jakarta: Gaya Media Pratama,

Projodikoro, Wiryono; 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:

Dian Rakyat.

Page 31: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

30

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Republik Indonesia Serikatalah

Sidang BPUPKI-PPKI, tanggal 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Jakarta : Sekretariat Negara

Republik Indonesia.

Simorangkir, JCT; 1983. Hukum dan Konstitusi, Inti Idayu Press, Jakarta.

Suny, Ismail, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara

Baru.

Suny, Ismail; 1983. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru.

Suny, Ismail; 1992. Sistem Pemilu Yang Menjamin Hak-Hak Demokrasi Warga

Negara.

Surbakti, A., Ramlan; 1998. Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakarta.

Tambunan. A.S.S.; 2002, Politik Hukum Berdasarkan Undang-undang

Dasar 1945, PopuRepublik Indonesia Serikat Publishers .

Zaini, Abdullah; 1991. Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta.

Jurnal Penelitian, Makalah, Laporan dan Artikel Ilmiah Terkait

Bali Post, Tanggal 21 Oktober 2004.

Leo Wiratma, I Made, Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni 2004;

Dari Pemilu Legislatif menuju Pemilu Presiden, Analisis CSIS Mencermati Hasil Pemilu

2004, Vol 33, No. 2 Juni 2004.

Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku

Pemilih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia”, dalam Poelitik 5 (10), 2009.

Leo Agustino,”Pemilihan Umum di Indonesia, 2014“ dalam Prisma Vol. 33, No. 1,

2014.

Page 32: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

31

Page 33: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

32

BAB II

LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

A. Pengertian Sistem Pemerintahan dan Lembaga Negara

Sebagaimana telah diuraikan dalam kajian mata kuliah Ilmu Negara62

terkait

dengan pokok bahasan bentuk Negara, bentuk pemerintahan serta sistem pemerintahan

di dunia, serta berdasarkan penelusuran bahan hukum dibidang Hukum Tata Negara

yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dan lembaga negara, maka dapat ditemukan

konsep dan pengertian mendasar dari sistem pemerintahan dan lembaga-lembaga negara.

Pertama, didalam bahan hukum primer yakni pada bagian Penjelasan Undang-

Undang Dasar Tahun 194563

, yakni penjelasan dari Undang-undang Dasar Indonesia

sebelum perubahan, ditegaskan berkaitan dengan tujuh kunci pokok sistem

pemerintahan Negara atau yang dalam nomeklaturnya disebut sebagai “Sistem

pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar...”64

sebagai

rujukan mendasar membahas dimensi sistem pemerintahan di Indonesia pada masa

sebelum amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang meliputi hal-hal berikut

ini.65

1) Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).

2) Sistem Konstitusional, artinya pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi

(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

62 Baca dalam Abu Dauh Busroh, 2010, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh,

Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 125-135. 63

Berkaitan dengan pembahasan pada bab ini, dapat dikaitkan dengan tujuh kunci

pokok sistem pemerintahan Nasional di Indonesia sebagaimana telah dirumuskan oleh Soepomo dan

beberapa tokoh nasional lainnya yang merumuskan Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945,

dimana mulanya sebagai bagian terpisah dari Naskah Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang

disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945. Lihat

dalam Sekretariat Negara, 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI Tahun 1945, Jakarta :

Sekretariat Negara Republik Indonesia, h. 126-145. 64 Lihat dan baca dalam Bagian Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945 dalam

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia,

Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, h.

39. Untuk selanjutnya disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat I. 65 Undang-undang Dasar ‘45 Amandemen ke-4 Tahun 2002; 2002, Semarang : Penerbit Aneka

Ilmu, hlm. 38-39. Baca juga Chairul Anwar, 1999, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta : Penerbit CV.

Novindo Pustaka Mandiri, hlm. 104-105.

Page 34: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

33

3) Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die

gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis), sebagaimana dirumuskan pada

Penjelasan Undang-undang Dasar, disebutkan maknanya ialah66

kedaulatan rakyat

dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai

penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des

Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan

garis-garis besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden)

dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang

kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan

negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden

yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia

ialah “mandataris” dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan

Majelis. Presiden tidak “neben” (sejajar, tambahan dari penulis), akan tetapi

“untergeordnet” (pada hierarkis, tambahan dari penulis) kepada Majelis. Perlu

dicatat, bahwa terhadap sistem kekuasaan negara tertinggi berada di tangan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 pada Pasal 1 Ayat (2) ditentukan bahwa,"Kedaulatan adalah di

tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat”67

, namun kemudian pasca Amandemen, bunyi dari Pasal 1 Ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menjadi,"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”.68

4) Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan negara yang tertinggi di bawah

Majelis, bahwa di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah

penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dan di dalam menjalankan

pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden

(concentration of power and responsibility upon the President)69

.

5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat artinya

bahwa disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (yang

mengindikasikasikan kedudukan yang sederajat antara Presiden dengan Dewan

66 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 40-41. 67 Undang-undang Dasar’45 Amandemen Ke-4 Tahun 2002, op.cit., hlm. 2. 68

Ibid. 69

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 41.

Page 35: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

34

Perwakilan Rakyat). Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat untuk membentuk undang-undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan

anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu,

Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, akan

tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat,

artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari pada Dewan Perwakilan

Rakyat70

.

6) Menteri negara ialah pembantu Presiden, Menteri negara tidak bertangung jawab

kepada Dewan Perwakilan Rakyat artinya bahwa Presiden mengangkat dan

memperhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak

bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak

tergantung dari pada Dewan akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka

ialah pembantu Presiden71

.

7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas bermakna meskipun Kepala Negara

tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Kepala Negara bukan

“diktator”, artinya kekuasaan tidak tak terbatas72

.

Kedua, dalam bahan hukum sekunder Mohammad Mahfud MD73

, memaparkan

bahwa sistem Pemerintahan landasannya adalah pembagian kekuasaan negara, di

samping itu, materi Konstitusi tentang wewenang dan bekerjanya lembaga-lembaga

negara juga disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Dipandang dari sudut penataan

kekuasaan negara selanjutnya ditegaskan bahwa sejarah pembagian kekuasaan negara

adalah bermula dari pemisahan kekuasaan.

Mohammad Mahfud MD menjelaskan bahwa wacana mengenai pemisahan

kekuasaan dan pembagian kekuasaan telah berkembang sejak dahulu. Di tahun 1690-an,

John Locke menulis ajaran mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam

bukunya "Two Treaties on Civil Government"74

. Menurut John Locke, kekuasaan Negara

meliputi 3 (tiga) kekuasaan yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan

70

Ibid. 71

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 41-42. 72 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 42-43. 73 Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta :

Rineka Cipta, h. 65-67. 74

Baca dalam Abu Daud Busroh, op.cit., h. 45-55.

Page 36: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

35

kekuasaan federatif yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif

ialah membuat Undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan

Undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan pengadilan,75

oleh karenanya,

dalam konteks ini, John Locke memandang mengadili itu sebagai "Uitvoering" yakni

pelaksanaan Undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang

berhubungan dengan keamanan negara dalam kaitan hubungan luar negeri.76

Setengah abad kemudian, Montesquieu menulis sebuah buku yang berjudul "L’

Esprit Des Lois". Dalam Bab keenam pada buku karangan Montesquieu tersebut,

diuraikan tentang tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain, baik dari segi fungsinya

maupun dari segi organnya. Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan harus

dipisahkan dari kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif termasuk dalam kekuasaan

eksekutif.77

Kemudian dalam rangka menelusuri dan menjelaskan penataan kekuasaan

negara di Indonesia, maka kedua teori tersebut di atas dapat dipakai untuk

mengklarifikasi apakah di Indonesia dianut teori pemisahan kekuasaan ataukah teori

pembagian kekuasaan. Mohammad Mahfud MD mengemukakan bahwa ditinjau dari

segi cara bekerja dan berhubungan, ketiga kekuasaan negara tersebut dapat disebut

sebagai sistem pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud sistem

pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga

negara.78

Philipus Mandiri Hadjon79

berpendapat bahwa sistem Pemerintahan Indonesia

sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan sistem yang "unik".

Dikatakan "unik" dikarenakan sistem yang dianut Indonesia tidak ada duanya di dunia,

meskipun tidak diingkari bahwa dalam beberapa hal terdapat kesamaan dan

kemiripannya dengan sistem dan praktik ketatanegaraan di negara lain.

75

Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel, hlm.

225. 76

Miriam Budiardjo, 1981, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 152. 77

Ismail Suny, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Bina Cipta, hlm. 6. 78 Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 74. 79 Philipus M. Hadjon, 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Surabaya: Penerbit PT. Bina

Ilmu, hlm. ix.

Page 37: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

36

Adapun setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194580

ditegaskan

bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem Presidensial. Penegasan yang

dimaksud telah meng”amin”kan apa yang telah disepakati sebagai lima kesepakatan

dasar dalam amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 tersebut81

. Penegasan

tersebut menyatakan bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat, masa jabatan Presiden

yang pasti dan Presiden tidak dapat dijatuhkan di tengah-tengah masa jabatannya82

.

Perlu dicatat demi mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh,

sehingga patut digunakan penelusuran mengenai sejarah perumusan dan pembahasan

Undang-Undang Dasar oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia83

, proses

perdebatan pada Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia84

dalam melakukan perubahan terhadap batang tubuh dan penjelasan Undang-

Undang Dasar Tahun 1945, dan bilamana dinilai perlu, dapat digunakan pendekatan

perbandingan Hukum Tata Negara untuk mendapat hasil yang lebih tajam dan

maksimal85

.

80

Terjadi empat kali amandemen terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang

kemudian dituangkan ke dalam Lembaran Negara, masing-masing yakni Amandemen Pertama

dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 11, Amandemen

Kedua dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12,

Amandemen Ketiga dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor

13, serta Amandemen Keempat dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2006 Nomor 14. Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, op.cit., h. i-vii. 81

Baca Majelis Permusyawaratan Rakyat, op.cit., h. v-vii. 82

Lihat Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengenai Presiden dipilih

langsung oleh rakyat dalam rumusan Pasal 6A Ayat (1), masa jabatan Presiden yang pasti melalui rumusan

Pasal 7 serta dasar dan mekanisme pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden melalui rumusan Pasal 7 A yang

berbunyi,”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden” serta Pasal 7 B Ayat (1) yang berbunyi,”Usul Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan

terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan

memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum berupa Pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Baca lebih lanjut dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2006 Nomor 13 dan Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 116-118. 83

Lihat lebih lanjut dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., h. iii-vi. 84

Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi

Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 275-279. Untuk selanjutnya disebut sebagai Jimly

Asshidiqie I. 85

I Dewa Gede Atmadja, 2006, Hukum Konstitusi : Hukum Konstitusi, Perubahan Konstitusi

Sudut Pandang Perbandingan, Denpasar : Bali Aga, hlm. 1-3.

Page 38: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

37

Ditinjau dari sejarah ketatanegaraan sebelum perubahan Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 tidak terdapat ketentuan yang menentukan penggunaan nomeklatur

lembaga negara. Istilah lembaga negara tersebut mulai dikenal sejak ditetapkannya

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis

Permusyawaratan Rakyat/1978 dengan menggunakan istilah Lembaga Tertinggi Negara

untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Lembaga Tinggi Negara untuk penyebutan

Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan,

Dewan Pertimbangan Agung dan Mahkamah Agung.86

Sedangkan dalam Konstitusi

Republik Indonesia Serikat menggunakan istilah "alat-alat perlengkapan Federal" dan

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menggunakan istilah "alat-alat perlengkapan

Negara". Dalam kedua konstitusi tersebut87

, disebutkan secara rinci siapa saja alat-alat

perlengkapan Negara yang dimaksud.

Dipandang dari tujuan pembentukannya, lembaga negara adalah merupakan

perwujudan dari kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar. Kemudian dibentuklah dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

lembaga-lembaga negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa

Keuangan dan lembaga negara yang lainnya. Dan kepada lembaga-lembaga negara

tersebut88

, diberikan fungsi, kedudukan dan wewenang pemerintahan yang meliputi

berbagai segi.

Lembaga negara sebelum dan setelah Undang-Undang Dasar Tahun 1945

mengalami pengamandemenan, terdapat perbedaaan, yakni ada beberapa yang dihapus

dan ada pula pembentukan beberapa lembaga negara baru.

86

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis

Permusyawaratan Rakyat/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga Tertinggi Negara

dengan /atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, merupakan salah Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat yang masuk ke dalam katagori Ketetapan yang dicabut melalui Sidang Tahunan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 2003. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011,

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/Majelis Permusyawaratan Rakyat/2003, Cetakan

Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 15-17. Untuk selanjutnya

disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat II. 87

Lihat dalam Bab III Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Pasal 44 Undang-

Undang Dasar Sementara 1950. Baca dalam Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Bina

Aksara, hlm. 45-57. 88 Ide pemikirannya diambil dari H. Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, 1984, Hukum

Tata Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 36 dan paparannya disesuaikan dengan perubahan Undang-

Undang Dasar Tahun 1945.

Page 39: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

38

Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen89

,

dipandang dari kedudukannya, terdapat lembaga tertinggi negara yakni Majelis

Permusyawaratan Rakyat dan lembaga tinggi negara yakni meliputi Dewan Perwakilan

Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan

Pertimbangan Agung.

Pasca Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen, Majelis

Permusyawaratan Rakyat berubah kedudukannya sebagai lembaga negara, sedangkan

mengenai Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan90

, secara khusus melalui perubahan

keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, adapun ketentuan Pasal 16 sebelum

amandemen mengalami perubahan menjadi rumusan perbandingan sebagai berikut.

BAB IV

DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG91

Pasal 16

1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang.

2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak

memajukan usul kepada pemerintah.

BAB IV

DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG ****) (Dihapuskan)92

Pasal 16

Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat

dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang93

.

89

Baca dalam Joeniarto, op.cit., h. 47-50. 90

Periksa Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengenai penghapusan Dewan

Pertimbangan Agung, pembentukan Dewan Pertimbangan Daerah dan Mahkamah Konstitusi, serta kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara dan tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi. Baca

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2006 Nomor 13 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14. 91 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 14. 92

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 132. 93

Pasal 16 Ayat (2) tersebut telah dituangkan ke dalam Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, diundangkan pada tanggal 28 Desember 2006,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 108 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4670, lihat dan bandingkan dengan rumusan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1

Angka (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tersebut.

Page 40: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

39

Di samping itu, dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga

terdapat pembentukan lembaga negara baru yakni Dewan Perwakilan Daerah

sebagaimana dirumuskan dalam Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah pada

Pasal 22C dan 22D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB VIIA***)94

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

Pasal 22C

1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan

umum. ***)

2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan

jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga

jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. ***)

4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-

undang. ***)

Pasal 22 D95

1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***)

2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,

pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas

rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

***)

3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan

undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan

belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil

pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan

pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***)

94

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 140-141. 95

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 141-142.

Page 41: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

40

4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang

syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. ***)

Dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pula terdapat

penambahan pada Kekuasaan Kehakiman Nasional yaitu dengan munculnya Mahkamah

Konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 24

Ayat (2) dan Pasal 24C Ayat (1) sampai (6) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

BAB IX

KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 2496

2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi".

Pasal 24C97

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. ***)

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar. ***)

3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang

ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh

Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang

oleh Presiden. ***)

4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim

konstitusi. ***)

5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,

adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak

merangkap sebagai pejabat negara. ***)

6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan

lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. ***)

96

Lihat Undang-undang Dasar '45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, op.cit., hlm. 20. 97

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 148-150.

Page 42: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

41

Masalah pokok yang dibahas dalam bab ini yakni mengenai lembaga-lembaga

negara menurut Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194598

. Penataan kekuasaan

Negara di Indonesia baik sebelum maupun pasca Perubahan Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 "sarat akan diskusi dan pembahasan" dan “menjadi wacana baru”.

Disebut "sarat akan diskusi dan pembahasan", dikarenakan dipandang dari

pembagian kekuasaan negara beserta lembaga-lembaga negaranya sebelum maupun

sesudah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen, tidaklah mengikuti ajaran

pemisahan kekuasaan dari Montesquieu99

yang lazim dikenal melalui ajaran "Trias

politica", tidak pula mengikuti pola dan praktik Amerika Serikat, dan tidak pula

mengikuti pola dan praktik negara-negara Eropa khususnya Belanda yang pernah

menjajah Indonesia100

. Terlebih lagi, penataan lembaga-lembaga Negara setelah

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menjadi wacana baru yang kemudian

menjadi hal substansial dalam kajian ketatanegaraan.

Dikatakan “menjadi wacana baru” akibat dari adanya lembaga negara yang

dihapus dan terdapat pembentukan lembaga negara yang baru101

. Sehingga, sangat tepat

pembahasan mengenai lembaga-lembaga negara ini diangkat, khususnya dalam konteks

sebagai bahan perkuliahan.

Di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru102

, runtuhnya sakralisasi

pandangan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang didesak dan dimotori oleh

paradigma pemikiran reformasi, dan seiring dengan semangat reformasi tersebut

menjadikan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap batang tubuh Undang-

Undang Dasar 1945103

.

98

Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 189-191. 99

Baca dalam Ismail Suny, Loc.cit. 100

Philipus M. Hadjon, Loc.cit. 101 Baca Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945

dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 1-275. Disamping itu, beberapa literatur terkait seperti

halnya Ni’matul Huda, 2008, Undang-undang Dasar 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan Pertama,

Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 1-25. 102 Lihat dalam Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Cetakan Pertama,

Jakarta : Kompas Gramedia Group, hlm. 1-5. 103

Dalam Jimly Asshidiqie I, op.cit., hlm. 275-276.

Page 43: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

42

Salah satu wacana penting yang patut ditindaklanjuti setelah perubahan

Undang-undang Dasar 1945, bahwa ketatanegaraan negara Republik Indonesia telah

berubah. Perubahan Ketatanegaraan tersebut akan membawa implikasi pada perubahan

atas paradigma berpikir dan praktik ketatanegaraan di Indonesia, khususnya yang

berkaitan dengan lembaga-lembaga negara pasca perubahan Undang-Undang Dasar

Tahun 1945.

B. Mengidentifikasi Lembaga-lembaga Negara pada Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Dalam rangka melakukan identifikasi terhadap lembaga-lembaga negara pasca

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat dilakukan pendekatan melalui

beberapa sudut pandang berikut ini.

1. Teori Pemisahan dan Teori Pembagian Kekuasaan

Teori yang berkaitan dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan

adalah "teori pemisahan kekuasaan" yang dipopulerkan oleh Montesquieu104

dan "teori pembagian kekuasaan" yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen105

.

Kedua teori tersebut merupakan cikal bakal pembentukan lembaga negara (atau

dengan nama lain penyebutannya) lahirnya lembaga legislatif, eksekutif dan

yudikatif. Ditinjau dari segi fungsinya, ketiga lembaga negara tersebut

berfungsi melaksanakan kedaulatan rakyat.

Di Indonesia, ketiga kategori lembaga negara tersebut dikenal dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945106

, terdapat Bab III mengenai

kekuasaan Pemerintahan Negara, yang lazim disebut sebagai kekuasaan

eksekutif, Bab VII mengenai Dewan Perwakilan Rakyat, yang lazim disebut

sebagai kekuasaan legislatif, serta Bab IX mengenai Kekuasaan Kehakiman

yang lazim dikenal sebagai kekuasaan yudikatif.

104 Ismail Suny, Loc.cit. 105

Baca dalam Hans Kelsen, op.cit., hlm. 250-253. 106

Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121-149.

Page 44: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

43

Dalam konteks perkembangan ketatanegaraan Indonesia pasca

perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara eksplisit ditentukan lebih

dari 3 (tiga) mengenai lembaga negara, malahan dengan penyebutan atau

penamaan yang berbeda.

2. Penamaan dan Dasar Hukum Atribusi Wewenang dalam Perubahan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Berdasarkan penamaan dan atribusi wewenang mengenai lembaga-lembaga

negara dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dapat diidentifikasi

sebagai berikut107

.

a) Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 3 Ayat (1) dan (2),

Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (7), dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang

Dasar Tahun 1945.

b) Presiden, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 4 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), dan (2),

Pasal 10, Pasal 11 Ayat (1), Pasal 12, Pasal 13 Ayat (1), pasal 14 Ayat (1), dan (2),

Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (2), dan (4), Pasal 22 Ayat (1),

Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23F Ayat (1), Pasal 24A Ayat (3), Pasal 24B Ayat (3), dan

Pasal 24C Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

c) Dewan Perwakilan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 20 Ayat (1) dan (2),

Pasal 22 Ayat (2), Pasal 22D Ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat (2), Pasal 20A Ayat

(1) dan Pasal 22D Ayat (3), Pasal 22F Ayat (1), Pasal 22E Ayat (2) dan (3), Pasal

24B Ayat (3), Pasal 24A Ayat (3), Pasal 24C Ayat (3), Pasal 13 Ayat (3) dan (4),

Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

d) Dewan Perwakilan Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 22D Ayat (1), (2),

(3) dan Pasal 22F Ayat (l) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

107

Lihat dan bandingkan dalam Ni’matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara

Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 189-253.

Page 45: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

44

e) Mahkamah Agung, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24 A Ayat

(1), dan Pasal 24 C Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

f) Mahkamah Konstitusi, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945.

g) Komisi Yudisial, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24A Ayat (3), dan Pasal 24B Ayat

(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

h) Badan Pemeriksa Keuangan, dengan dasar hukum Atribusi wewenang dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 23E Ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

i) Pemerintah Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat (6)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

j) Komisi Pemilihan Umum, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 22E ayat (l),(2), dan (5)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

k) Bank Sentral, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 23 D Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

l) Tentara Nasional Indonesia, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 30 ayat (3) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945.

m) Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan dasar hukum atribusi wewenang

dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 30 ayat (4)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

n) Dewan Pertimbangan, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 16 Undang-Undang Dasar Tahun

1945.

Page 46: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

45

Terminologi atau istilah yang digunakan dalam Perubahan Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 untuk menyebut lembaga-lembaga negara108

tersebut tidak seragam.

Sebagai lembaga-lembaga negara disebutkan yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,

Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan ada pula

Komisi Yudisial. Selain itu, ada pula disebut Pemerintahan Daerah, Kepolisian Republik

Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Komisi Pemilihan Umum dan Bank Sentral.

Bila dikaji lebih mendalam maka dalam Perubahan Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 terdapat lembaga yang menggunakan nomenklatur atau nama komisi, yaitu

Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum. Adapun diluar ketentuan Undang-

Undang Dasar, keberadaan lembaga komisi yang merupakan lembaga-lembaga

pembantu (state auxiliary agencies), yang dibentuk berdasarkan Undang-undang

maupun Peraturan lainnya dibawah Undang-undang109

. Pembentukan lembaga-lembaga

yang disebut komisi ini sangat pesat perkembangannya sejak reformasi. Lembaga-

lembaga tersebut diposisikan setingkat lembaga negara, idealnya bersifat "independen"

dan secara khusus ditujukan untuk menjalankan fungsi dan kewenangan tertentu.110

Dalam kenyataannya di Indonesia telah dibentuk beberapa komisi111

yakni

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran (KPI), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

(KPPU), Komisi Nasional untuk Anak (Komnas Anak), Komisi Nasional Perempuan

(Komnas Perempuan), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi untuk Kebenaran

dan Rekonsiliasi, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi untuk Perlindungan

Saksi dan Korban serta Komisi Hukum Nasional (KHN).

108

Jimly Asshidiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 1-69. Untuk selanjutnya disebut sebagai

Jimly Asshidiqie II. Baca juga Jimly Asshidiqie I, op.cit., hlm. 11-76, 281-342. 109 Baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 277-279. 110

Periksa Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-undangan

Nasional yang terkait. Agar lebih jelas pemahamannya bandingkan dengan Firmansyah Arifin et.al., Hasil

Penelitian Sementara tentang Lembaga Negara, 2004, Jakarta dan Firmansyah Arifin, Hukum dan Kuasa

Konstitusi: Catatan-catatan untuk Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Cetakan

Pertama, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2004, hlm. 13-43. 111

Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 13-15.

Page 47: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

46

Dalam waktu mendatang112

, diperkirakan masih akan ada lagi beberapa Komisi

yang akan dibentuk, seperti Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi untuk Kebebasan

Informasi.

Adapun hingga saat ini113

, komisi yang telah dibubarkan adalah Komisi

Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Konstitusi.

C. Tata Cara Pembentukan, Susunan, dan Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara

Pasca Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya dikaitkan dengan dasar hukumnya

yakni pada Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 2 dan Pasal 3

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan perundang-undangan nasional yakni

dikaitkan beberapa peraturan perundang-undangan pasca Amandemen atas Pasal 2 dan

Pasal 3 tersebut, yakni melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2003114

, kemudian diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2009115

, dan terakhir dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun

2014116

, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Bab I

Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut

yakni,”...Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disingkat Majelis

Permusyawaratan Rakyat adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945...”

112

Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 17. 113 Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 18. 114 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4310. 115

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5043. 116

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5568.

Page 48: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

47

yang dikaitkan dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui

pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang117

.

Dengan ketentuan baru ini, Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa

eksistensi utusan golongan dihapus dari sistem perwakilan yang berpilar tiga tersebut pra

Amandemen, yakni perwakilan politik melalui sistem kepartaian di Dewan Perwakilan

Rakyat (Political Representatives), perwakilan daerah atau utusan daerah (Regional

Representatives), dan perwakilan golongan fungsional berupa utusan daerah (Functional

Representatives) seperti yang diadopsi dalam naskah asli Undang-Undang Dasar 1945118

.

Adapun susunan dan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat

dikaji dari rumusan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum

dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang119

, demikian pula dalam Pasal 2 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 ditentukan bahwa Majelis

Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, selanjutnya dalam Pasal 3

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 ditentukan bahwa

Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat diresmikan dengan Keputusan

Presiden120

.

Kemudian pula ditegaskan kembali dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dan terakhir dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 yang menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan

Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan Majelis Permusyawaratan Rakyat

117

Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat dalam

Undang-undang Dasar '45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, Loc.cit. 118 Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah Undang-undang Dasar 1945 Setelah

Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas lndonesia, (selanjutnya

disebut Jimly Asshidqie III), hlm. 3. 119 Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lihat dalam Undang-undang Dasar '45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, Loc.cit. 120

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, tentang Susduk, Bandung:

Penerbit "Citra Umbara", 2003, hlm. 4.

Page 49: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

48

merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga

negara serta Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009

dan Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 yang

menyatakan bahwa Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat diresmikan dengan

Keputusan Presiden.

Kemudian berkaitan dengan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, baik

pada Pasal 7 Ayat (1) dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003

disebutkan bahwa pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas seorang Ketua

dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih dari dan oleh anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Kemudian dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2009 disebutkan bahwa pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat

terdiri atas terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua

berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal

dari anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang ditetapkan dalam sidang paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat, serta Pasal 15 Ayat (1), (2) dan (5) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa Pimpinan Majelis Permusyawaratan

Rakyat terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari

dan oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dipilih dari dan oleh anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam satu paket yang bersifat tetap yang berasal dari fraksi

dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna, yang dapat

mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan

dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

Berkaitan dengan tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

disebutkan dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2003 menentukan bahwa tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah

sebagai berikut.

Page 50: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

49

a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil

keputusan.

b) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan

wakil ketua.

c) Menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat.

d) Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

e) Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan lembaga negara lainnya

sesuai dengan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

f) Mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat dan/atau alat perlengkapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat di Pengadilan.

g) Melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat berkenaan dengan

penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

h) Menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran Majelis

Permusyawaratan Rakyat, dan

i) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang Paripurna

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sedangkan dalam Pasal 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2009 menentukan bahwa tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat

adalah sebagai berikut.

a) memimpin sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan menyimpulkan hasil

sidang untuk diambil keputusan;

b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan

wakil ketua;

c) menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat;

d) melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

e) mengoordinasikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk

memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

f) mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat di pengadilan;

g) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Majelis Permusyawaratan

Rakyat; dan

h) menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada akhir masa jabatan.

Serta dalam Pasal 16 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun

2014 menentukan bahwa tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah

sebagai berikut.

Page 51: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

50

a) memimpin sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan menyimpulkan hasil

sidang untuk diambil keputusan;

b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan

wakil ketua;

c) menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat;

d) melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

e) mengoordinasikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk

memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

f) mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat di pengadilan;

g) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Majelis Permusyawaratan

Rakyat; dan

h) menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada akhir masa jabatan.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Pasal 8

Ayat (2), Pasal 15 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,

dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

tersebut ditegaskan mengenai tugas dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) lebih lanjut diatur dalam Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan

Rakyat.

Berkaitan dengan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dirumuskan

dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 3

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 3 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, yang menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan

lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Kemudian, berkaitan dengan tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945121

serta Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, bahwa

Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut.

121

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121.

Page 52: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

51

a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

b) Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil Pemilihan umum,

dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c) Memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil

Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam

Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat;

d) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,

berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya

dalam masa jabatannya;

e) Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila

terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya

selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;

f) Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara

bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan

Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai politik atau gabungan partai

politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presiden meraih suara

terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis

masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;

g) Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode etik Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

Sedangkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2009, disebutkan bahwa tugas dan wewenang dari Majelis

Permusyawaratan Rakyat yakni sebagai berikut.

a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;

c) memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi

memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden;

d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,

diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;

e) memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila

terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan

f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti,

diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya

secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang

Page 53: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

52

diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon

Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua

dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Dan pada Pasal 5 merupakan tata cara pelaksanaan dari Pasal 4 sebagaimana

telah dirumuskan berikut ini.

1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,

Majelis Permusyawaratan Rakyat menyusun anggaran yang dituangkan dalam

program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Dalam menyusun program dan kegiatan Majelis Permusyawaratan Rakyat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, Majelis

Permusyawaratan Rakyat dapat menyusun standar biaya khusus dan

mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.

3) Pengelolaan anggaran Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan

Rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan

anggaran Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam peraturan Majelis

Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

5) Majelis Permusyawaratan Rakyat melaporkan pengelolaan anggaran

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui Sekretariat Jenderal Majelis

Permusyawaratan Rakyat kepada publik pada akhir tahun anggaran.

Sedangkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa wewenang dari Majelis Permusyawaratan

Rakyat yang secara terpisah dijabarkan sebagai berikut.

a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;

c) memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi

memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden;

d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,

diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;

Page 54: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

53

e) memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila

terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan

f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti,

diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya

secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang

diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon

presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam

pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Sedangkan Pasal 5 terkait dengan tugas dari Majelis Permusyawaratan Rakyat

yakni sebagai berikut.

a) memasyarakatkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

b) memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

c) mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan

d) menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dan ditinjau dari segi hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan

Rakyat ditegaskan dalam Pasal 12 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2003, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 pada undang-undang tersebut, anggota

Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai hak sebagai berikut.

a) Mengajukan usul perubahan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar;

b) Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;

c) Memilih dan dipilih;

d) Membela diri;

e) Imunitas;

f) Protokoler; dan

g) Keuangan dan administratif.

Ditegaskan pada Pasal 12 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2003 Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dalam Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Page 55: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

54

Dalam Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003

ditentukan bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kewajiban

sebagai berikut.

a) Mengamalkan Pancasila;

b) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

dan Peraturan Perundang-undangan;

c) Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Kerukunan

Nasional;

d) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan

golongan; dan

e) Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

Sedangkan hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat

kembali ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2009, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai

hak sebagai berikut.

a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;

c. memilih dan dipilih;

d. membela diri;

e. imunitas;

f. protokoler; dan

g. keuangan dan administratif.

Dalam Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009

ditentukan bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kewajiban

sebagai berikut.

Page 56: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

55

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;

b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan menaati peraturan perundang-undangan;

c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan

golongan; dan

e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

Sedangkan hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat

kembali ditegaskan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2014, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai

hak sebagai berikut.

a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;

c. memilih dan dipilih;

d. membela diri;

e. imunitas;

f. protokoler; dan

g. keuangan dan administratif.

Dalam Pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009

ditentukan bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kewajiban

sebagai berikut.

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;

b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

menaati peraturan perundang-undangan;

c. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Page 57: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

56

e. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan

golongan; dan

f. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Lembaga Negara

selain Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah adalah hubungan

dengan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden,

memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut

Undang-Undang Dasar serta memilih Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan

Wakil Presiden122

.

Sedangkan, hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan

Mahkamah Konstitusi dalam kaitan Putusan Mahkamah Konstitusi atas dugaan Dewan

Perwakilan Rakyat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah

tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti yang ditentukan

dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945123

termasuk peraturan perundang-

undangan dibawah Undang-undang Dasar Tahun 1945 yakni peraturan perundang-

undangan terkait Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia124

.

Prof. Jimly Asshiddiqie berpendapat dalam konteks hubungan seperti itu,

bahwa jika dengan pola seperti itu maka dalam kerangka pemikiran Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 pasca amandemen, yang terjadi adalah kekuasaan legislatif berada di

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan

122

Lihat dalam Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 8 Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 114-

120. 123

Lihat Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm.148. 124 Dalam Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4316, sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 20

Juli 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226 dan terakhir melalui Peraturan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5456. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 15 Januari

2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493.

Page 58: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

57

Dewan Perwakilan Daerah secara personal, kemudian bersifat permanen dan berdiri

sendiri di samping pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah,

maka sistem parlemen dengan gaya tersebut merupakan "trikameralisme"125

dan

menjadikan Indonesia adalah negara pertama di dunia yang menggunakan sistem

parlemen seperti model tersebut.

2. Dewan Perwakilan Rakyat

Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya dikaitkan dengan dasar

hukumnya yakni pada Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 19,

Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B Perubahan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan perundang-undangan nasional yakni

dikaitkan beberapa peraturan perundang-undangan pasca Amandemen atas Pasal

19, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 tersebut, yakni melalui Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003126

, kemudian diubah dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009127

, dan terakhir dalam

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014128

yang telah diubah

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014129

, dinyatakan

125

Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Mahkamah

Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 138-141. Lihat juga

Firmansyah Arifin, et.al., op.cit., hlm. 20. 126 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4310. 127

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5043. 128

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5568. 129

Adapun substansi perubahannya terkait dengan Pasal 74 Ayat (3), Ayat (4), Ayat

(5), serta Ayat (6) yang dihapus, Pasal 97 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 98 Ayat (7), Ayat

(8) dan Ayat (9) dihapus, Pasal 104 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 109 Ayat (2) yang juga

diubah bunyinya, Pasal 115 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, Pasal 121 Ayat (2) yang juga

diubah bunyinya, Pasal 152 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, diantara Pasal 425 dengan Pasal

426 disisipkan Pasal 425 A dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014. Lihat

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Page 59: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

58

bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum dan

susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-Undang.

Adapun susunan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dapat

dikaji dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, serta Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 67 dan Pasal 74 Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 67, Pasal 68 dan Pasal 76 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat

merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota partai politik peserta

pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum, yang

berjumlah lima ratus lima puluh orang pada Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2003 dan menjadi lima ratus enam puluh dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, yang kemudian diresmikan

keanggotaannya dengan Keputusan Presiden, serta berdomisili di ibukota

negara Republik Indonesia.

Kemudian, berkaitan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, baik pada

Pasal 21 Ayat (1) dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003

disebutkan bahwa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan

tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.

Sedangkan dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 disebutkan bahwa pimpinan Dewan

Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan empat orang wakil ketua yang

ditentukan dalam Ayat (2) hingga Ayat (5) bahwa yang berasal dari partai

politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak pertama langsung menjadi

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan bagi partai politik berdasarkan urutan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5650.

Page 60: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

59

perolehan kursi terbanyak kedua hingga kelima menjadi Wakil Ketua Dewan

Perwakilan Rakyat.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,

tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat disebutkan pada Pasal 84 disebutkan

bahwa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan empat

orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, kemudian ditentukan dalam Ayat (2) bahwa pimpinan dipilih dari

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam satu paket yang bersifat tetap yang

berasal dari fraksi dan diumumkan di dalam sidang paripurna Dewan

Perwakilan Rakyat sebagaimana disebutkan Ayat (3), kemudian setiap fraksi

hanya dapat mengajukan 1 (satu) bakal calon pimpinan saja, dan tidak seperti

halnya dirumuskan dalam Pasal 82 Ayat (1) hingga Ayat (5) Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, bahwa pimpinan Dewan Perwakilan

Rakyat berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak

pertama langsung menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan bagi partai

politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak kedua hingga kelima

menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Berkaitan dengan tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat,

disebutkan dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 2003 menentukan bahwa tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat

adalah sebagai berikut.

a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil

keputusan;

b) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan

wakil ketua;

c) Menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;

d) Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Dewan Perwakilan Rakyat;

e) Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya

sesuai dengan putusan Dewan Perwakilan Rakyat;

f) Mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau alat kelengkapan Dewan

Perwakilan Rakyat di Pengadilan;

g) Melaksanakan putusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan penetapan

sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

Page 61: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

60

h) Menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran Dewan

Perwakilan Rakyat; dan

i) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang Paripurna

Dewan Perwakilan Rakyat.

Sedangkan tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang disebutkan dalam

Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 adalah

sebagai berikut.

a. memimpin sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan menyimpulkan hasil sidang

untuk diambil keputusan;

b. menyusun rencana kerja pimpinan;

c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan

materi kegiatan dari alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat;

d. menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;

e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;

f. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dalam berhubungan dengan lembaga negara

lainnya;

g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya

sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;

h. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat di pengadilan;

i. melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan penetapan

sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

j. menyusun rencana anggaran Dewan Perwakilan Rakyat bersama Badan Urusan

Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan

k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat

yang khusus diadakan untuk itu.

Dan tugas pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menurut Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 dapat disimak pada Pasal 86

Ayat (1) sebagai berikut.

a. memimpin sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan menyimpulkan hasil sidang untuk

diambil keputusan;

b. menyusun rencana kerja pimpinan;

Page 62: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

61

c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi

kegiatan dari alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat;

d. menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;

e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;

f. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dalam berhubungan dengan lembaga negara

lainnya;

g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya

sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;

h. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat di pengadilan;

i. melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan penetapan

sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

j. menyusun rencana anggaran Dewan Perwakilan Rakyat bersama Badan Urusan

Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan

k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat

yang khusus diadakan untuk itu.

Serta dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut baik pada

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat (2),

Pasal 84 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,

dan Pasal 86 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun

2014 tersebut ditegaskan mengenai tugas dan tata cara pelaksanaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih lanjut diatur dalam Peraturan Tata

Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

Berkaitan dengan kedudukan dari Dewan Perwakilan Rakyat

dirumuskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2003, Pasal 68 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2009, serta Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga

perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan

fungsi Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 25

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 69 dan Pasal

70 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 69

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 ditentukan bahwa

Page 63: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

62

Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan

pengawasan, ditambahkan pula penegasan baik pada Pasal 69 Ayat (2) dan

Pasal 70 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun

Pasal 69 Ayat (2) serta Pasal 70 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17

Tahun 2014 perihal ketiga fungsi tersebut dan tujuannya dalam kerangka

representasi rakyat.

Kemudian, berkaitan dengan tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat,

berdasarkan ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal

22A dan Pasal 23F Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945130

serta Pasal 26

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, bahwa Majelis

Permusyawaratan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut.

a. Membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk

mendapat persetujuan bersama;

b. Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti

Undang-undang;

c. Menerima dan membahas usulan rancangan Undang-undang yang

diajukan Dewan Perwakilan Daerah yang berkaitan dengan bidang

tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;

d. Memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas rancangan

Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan

rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan

agama;

e. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden

dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

f. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang,

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta kebijakan pemerintah;

g. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh

Dewan Perwakilan Daerah terhadap pelaksanaan Undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan

daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

pajak pendidikan, dan agama;

h. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

i. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas

pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan;

j. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan

pemberhentian anggota Komisi Yudisial;

130

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 131-133.

Page 64: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

63

k. Memberikan persetujuan calon hakim Agung yang diusulkan Komisi

yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim Agung oleh Presiden;

l. Memilih tiga orang calon anggota hakim Konstitusi dan mengajukannya

kepada Presiden untuk ditetapkan;

m. Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta,

menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan

dalam pemberian amnesti dan abolisi;

n. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,

membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat

perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan

negara dan/atau pembentuk undang-undang;

o. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat; dan

p. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam

Undang-undang.

Sedangkan tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dikaitkan dengan Pasal 72 dalam

undang-undang tersebut, sebagaimana rumusan berikut ini.

a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat

persetujuan bersama;

b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan

pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi

undang-undang;

c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan

Daerah berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c

bersama Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah sebelum diambil persetujuan

bersama antara Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden;

e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau Dewan

Perwakilan Daerah yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah

sebelum diambil persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden;

f. memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas rancangan

undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

Page 65: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

64

g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan

Perwakilan Daerah dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Presiden;

h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara;

i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh Dewan

Perwakilan Daerah terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi

daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat

dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan

agama;

j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat

perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian

internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi

kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;

k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan

abolisi;

l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar

dan menerima penempatan duta besar negara lain;

m. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian

anggota Komisi Yudisial;

p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk

ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden;

q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden

untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;

r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi

kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat

yang terkait dengan beban keuangan negara;

s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

dan

t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang.

Page 66: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

65

Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,

terkait dengan tugas dan wewenang disebutkan secara terpisah, yang dapat disimak dari

kutipan Pasal 71 terkait wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut.

a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat

persetujuan bersama;

b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan

pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi

undang-undang;

c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau Dewan

Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan

pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah sebelum

diambil persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden;

d. memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas rancangan undang-

undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan

Perwakilan Daerah dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Presiden;

f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh Dewan

Perwakilan Daerah atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama;

g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat

perdamaian dengan negara lain;

h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan

akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-

undang;

i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;

j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan

menerima penempatan duta besar negara lain;

k. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian

anggota Komisi Yudisial;

Page 67: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

66

m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk

ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan

n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk

diresmikan dengan keputusan Presiden.

Kemudian, dalam Pasal 72 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17

Tahun 2014 disebutkan perihal tugas dari Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana

kutipan berikut.

a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program legislasi

nasional;

b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang;

c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan

Daerah berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara, dan kebijakan pemerintah;

e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung

jawab keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi

kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat

yang terkait dengan beban keuangan negara;

g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

dan

h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.

Dan ditinjau dari segi hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat

ditegaskan dalam Pasal 27 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2003, Pasal 77 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan

Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 bahwa

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak sebagai

berikut.

a. interpelasi;

Page 68: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

67

b. angket; dan

c. menyatakan pendapat.

Ditegaskan pada Pasal 12 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2003 tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan tata cara

penggunaan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) tersebut dalam Pasal 77 Ayat (2)131

, Ayat (3)132

dan Ayat (4)133

Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009.

Demikian halnya, bila dikaji dalam peraturan perundang-undangan terbaru

terkait Dewan Perwakilan Rakyat yakni pada Pasal 79 Ayat (2)134

, Ayat (3)135

maupun

pada Pasal 79 Ayat (4)136

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.

131

Lihat dalam Pasal 77 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009

yang berbunyi,”Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak Dewan Perwakilan

Rakyat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan

strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara“. 132

Lihat dalam Pasal 77 Ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009

yang berbunyi,”Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak Dewan Perwakilan

Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan

Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan“. 133 Lihat dalam Pasal 77 Ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009

yang berbunyi,”Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak Dewan

Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapat atas:

a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia

internasional;

b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana

dimaksud pada ayat (3); atau

c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.“. 134

Lihat dalam Pasal 79 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

yang berbunyi,”Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak Dewan Perwakilan

Rakyat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan

strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. 135

Lihat dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2014 yang berbunyi,”Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak

Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-

undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan

berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan“. 136 Lihat dalam Pasal 79 Ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

yang berbunyi,”Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak Dewan

Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapat atas:

a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia

internasional;

b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana

dimaksud pada ayat (3); atau

Page 69: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

68

Serta, secara terperinci untuk ketiga hak tersebut juga dijabarkan baik pada Bagian

Kesepuluh Pelaksanaan Hak Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 173 sampai dengan Pasal

176 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Hak

Interpelasi, kemudian Pasal 177 sampai dengan Pasal 183 Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Hak Angket serta Pasal 184 sampai dengan

Pasal 189 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Hak

Menyatakan Pendapat, dan pada Pasal 194 sampai dengan Pasal 198 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Hak Interpelasi, Pasal 199 sampai

dengan Pasal 209 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Hak Angket, serta Pasal 210 sampai dengan Pasal 216 Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 khusus mengenai Hak Menyatakan Pendapat.

Kemudian, dalam Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2003, Pasal 78 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,

maupun Pasal 80 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,

ditentukan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak anggota yang

dapat disimak dalam kutipan berikut.

a. mengajukan rancangan Undang-undang;

b. mengajukan pertanyaan;

c. menyampaikan usul dan pendapat;

d. memilih dan dipilih;

e. membela diri;

f. imunitas;

g. protokoler; dan

h. keuangan dan administratif.

Serta dalam Pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2003 ditentukan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewajiban

sebagai berikut.

a. mengamalkan Pancasila;

b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.“.

Page 70: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

69

c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;

d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara

kesatuan Republik Indonesia;

e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;

f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan

golongan;

h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan

daerah pemilihannya;

i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat; dan

j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

Sedangkan dalam Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2009 maupun pada Pasal 81 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17

Tahun 2014, ditentukan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai

kewajiban sebagai berikut.

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;

b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan menaati peraturan perundang-undangan;

c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan

golongan;

e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;

f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;

g. menaati tata tertib dan kode etik;

h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;

i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara

berkala;

j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan

k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di

daerah pemilihannya.

Maka, dapat disimpulkan bahwasanya Dewan Perwakilan Rakyat sebagai

Representasi Politik dari rakyat Indonesia “Political Representatives”137

tidaklah dapat

bergelut hanya dengan sebuah peraturan perundang-undangan namun dengan dinamika

137

Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 189-192.

Page 71: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

70

yang ada telah terjadi perubahan peraturan perundang-undangan atas kelembagaannya

pula.

3. Dewan Perwakilan Daerah

Dalam tinjauan tata cara pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yang

merupakan salah satu Lembaga Negara baru pasca Amandemen Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945138

, dapat dikaitkan dengan dasar

hukumnya yakni pada Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal

22C dan Pasal 22D Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Disamping

itu, terdapat peraturan perundang-undangan nasional terkait dengan Dewan

Perwakilan Daerah, yakni melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 2003139

, yang kemudian diubah dalam Undang-undangRepublik

Indonesia Nomor 27 Tahun 2009140

, dan terakhir dalam Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014141

.

Adapun dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 maupun pada ketiga peraturan perundang-undang tersebut baik

pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003142

, Undang-

138 Baca dalam Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah KoMajelis Permusyawaratan

Rakyatehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Lembaga

Perwakilan, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, hlm. 13-16. 139 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4310. 140

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5043. 141

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5568. 142 Baca lebih lanjut terkait dengan Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 32

dan Pasal 33 pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Page 72: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

71

undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009143

, serta Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014144

dinyatakan bahwa Anggota Dewan

Perwakilan Daerah dipilih dari setiap Provinsi melalui Pemilihan Umum, dan

anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap Provinsi jumlahnya sama dan

jumlah seluruh Dewan Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan ditentukan pula bahwa Dewan

Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun, serta segala hal

perihal susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan

Undang-Undang145

.

Adapun susunan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah dapat

dikaji dari rumusan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, serta Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 40 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 222 dan Pasal 227 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 246, Pasal 247

dan Pasal 252 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,

Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga Negara yang terdiri atas wakil-

wakil daerah Provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum, dimana Anggota

Dewan Perwakilan Daerah tersebut berasal dari setiap Provinsi ditetapkan

sebanyak empat orang, dimana jumlah seluruh Anggota Dewan Perwakilan

Daerah tidak melebihi dari 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, yang kemudian keanggotaannya diresmikan dengan

Keputusan Presiden, berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang

bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia, dan dengan masa

143

Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 221 dan

Pasal 227 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. 144

Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 246 dan

Pasal 252 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. 145

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 139.

Page 73: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

72

jabatan 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota Dewan Perwakilan Daerah

yang baru mengucapkan sumpah/janji146

.

Kemudian, berkaitan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah,

disebutkan dalam Pasal 37 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2003, ditentukan sebagai berikut.

1) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-

banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Dewan

Perwakilan Daerah dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah.

2) Selama Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) belum terbentuk, Dewan Perwakilan Daerah dipimpin oleh Pimpinan

Sementara Dewan Perwakilan Daerah.

3) Pimpinan Sementara Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) terdiri atas seorang ketua sementara dan seorang wakil ketua sementara

yang diambilkan dari anggota tertua dan anggota termuda usianya.

4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda usianya sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota

tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.

5) Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah diresmikan dengan Keputusan

Dewan Perwakilan Daerah.

Sedangkan dalam Pasal 235 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal 260 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa pimpinan Dewan Perwakilan

Daerah disebutkan sebagai berikut.

1) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua)

orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah

dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah.

2) Dalam hal pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) belum terbentuk, Dewan Perwakilan Daerah dipimpin oleh pimpinan

sementara Dewan Perwakilan Daerah.

146 Perihal masa jabatan telah ditegaskan dalam ditambahkan dalam Pasal 227 Ayat

(5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun Pasal 252 Ayat (5) Undang-

undang Republik Indonesia. Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus

2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043 dan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada

tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.

Page 74: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

73

3) Pimpinan sementara Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua

sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda usianya.

4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau

anggota termuda berikutnya.

5) Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah diresmikan dengan keputusan

Dewan Perwakilan Daerah.

6) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebelum memangku jabatannya

mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229

(dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009) atau Pasal 258 (dalam

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014) yang dipandu oleh Ketua Mahkamah

Agung.

Kemudian berkaitan dengan tata cara pemilihan Pimpinan Dewan

Perwakilan Daerah diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan

Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 37 Ayat (6) Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 235 Ayat (7) Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan Pasal 260 Ayat (7) Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.

Kemudian, terkait dengan tugas pimpinan Dewan Perwakilan Daerah

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 Ayat (1) dalam Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yakni sebagai berikut.

a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil

keputusan;

b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan

wakil ketua;

c) menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Daerah;

d) melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Dewan Perwakilan Daerah;

e) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya

sesuai dengan putusan Dewan Perwakilan Daerah;

f) mewakili Dewan Perwakilan Daerah dan/atau alat kelengkapan Dewan

Perwakilan Daerah di Pengadilan;

g) melaksanakan putusan Dewan Perwakilan Daerah berkenaan dengan penetapan

sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

h) menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran Dewan

Perwakilan Daerah; dan

i) pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah.

Page 75: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

74

Bilamana dilihat dari perspektif Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2009 maupun dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,

disebutkan dalam Pasal 236 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2009 maupun dalam Pasal 261 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2014, bahwa tugas pimpinan Dewan Perwakilan Daerah yakni sebagai

berikut.

a) memimpin sidang Dewan Perwakilan Daerah dan menyimpulkan hasil sidang

untuk diambil keputusan;

b) menyusun rencana kerja pimpinan;

c) menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Daerah;

d) melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Perwakilan Daerah;

e) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya

sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Daerah;

f) mewakili Dewan Perwakilan Daerah di pengadilan;

g) melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Daerah berkenaan dengan

penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

h) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Dewan Perwakilan Daerah; dan

i) menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan

Daerah yang khusus diadakan untuk itu.

Dan berkaitan dengan ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara

pelaksanaannya sebagaimana dimaksud diatas, diatur dalam Peraturan Tata Tertib

Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 38 Ayat (2) Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 236 Ayat (2) Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal 261 Ayat (2) Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.

Kemudian berkaitan dengan kedudukan dari Dewan Perwakilan Daerah

ditentukan dalam Pasal 40 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003,

Pasal 222 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal

247 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan perihal

kedudukannya yakni bahwa Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan

daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Page 76: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

75

Berkaitan dengan fungsi Dewan Perwakilan Daerah ditentukan dalam Pasal 41

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yang mana menyebutkan

bahwa Dewan Perwakilan Daerah mempunyai fungsi sebagai berikut.

a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan

yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;

b. pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.

Dalam Pasal 223 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor

27 Tahun 2009 maupun dalam Pasal 248 Ayat (1) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan perihal fungsi dari Dewan

Perwakilan Daerah yakni sebagai berikut.

a. pengajuan usul kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah;

b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

c. pemberian pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan

undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan

d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan

agama.

Dengan catatan, bahwa keseluruhan fungsi Dewan Perwakilan Daerah

tersebut ditujukan dalam kerangka perwakilan daerah sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 223 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2009 maupun dalam Pasal 248 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2014.

Disamping itu, terkait dengan tugas dan wewenang dari Dewan

Perwakilan Daerah ditentukan dalam Pasal 42 Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yang mana dikutip sebagai berikut.

Page 77: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

76

1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan Otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2) Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Rancangan Undang-undang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Dewan Perwakilan Daerah untuk

membahas sesuai tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

3) Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan sebelum Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-

undang dimaksud pada ayat (1) dengan Pemerintah.

Kemudian dilihat dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2009 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,

tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah ditentukan pada Pasal 224 Ayat

(1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun Pasal

249 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014, yakni

sebagai berikut.

a) dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah;

b) ikut membahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c) ikut membahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden rancangan

undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau Dewan Perwakilan Rakyat,

yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

d) memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan

undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

e) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai

otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan

pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak,

pendidikan, dan agama;

f) menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai

otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan

pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

Page 78: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

77

pajak, pendidikan, dan agama kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan

pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

g) menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari Badan Pemeriksa

Keuangan sebagai bahan membuat pertimbangan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara;

h) memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilihan

anggota Badan Pemeriksa Keuangan; dan

i) ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dan berkaitan dengan hak dari Dewan Perwakilan Daerah ditentukan

dalam rumusan Pasal 48 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2003 yang berbunyi sebagai berikut.

a. mengajukan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

b. ikut membahas Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 43 ayat (1).

Kemudian, bilamana dilihat dari Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2009 maupun dalam Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2014, dilihat pada Pasal 231 Ayat (1) Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dan Pasal 256 Ayat (1) Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 yang berbunyi sebagai

berikut.

a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah;

c. memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan

rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

Page 79: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

78

d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.

Sedangkan, disebutkan dalam Pasal 49 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2003, berkaitan dengan hak yang dimiliki oleh tiap-tiap anggota

Dewan Perwakilan Daerah yakni sebagai berikut.

a. menyampaikan usul dan pendapat;

b. memilih dan dipilih;

c. membela diri;

d. imunitas;

e. protokoler; dan

f. keuangan dan administratif.

Dalam Pasal 232 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2009, dan Pasal 257 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

disebutkan perihal hak yang dimiliki oleh tiap-tiap anggota Dewan Perwakilan

Daerah yakni sebagaimana rumusan berikut ini.

a. bertanya;

b. menyampaikan usul dan pendapat;

c. memilih dan dipilih;

d. membela diri;

e. imunitas;

f. protokoler; dan

g. keuangan dan administratif.

Pembahasan terakhir terkait dengan kewajiban yang dimiliki oleh tiap-

tiap anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 50

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yang dikutip sebagai

berikut.

a. mengamalkan Pancasila;

b. melaksanakan Undang-undang Dasar negara RI tahun 1945 dan mentaati segala

peraturan perundang-undangan;

c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;

Page 80: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

79

d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara

kesatuan RI;

e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;

f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat

dan daerah;

g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan

golongan;

h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan

daerah pemilihannya;

i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; dan

j. menjaga etika dan moral adat daerah yang diwakilinya.

Sedangkan dalam Pasal 233 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2009, maupun dalam Pasal 258 Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, terjadi perubahan frasa dalam konteks

kewajiban dari anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai berikut.

a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;

b) melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan menaati peraturan perundang-undangan;

c) mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

d) mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok,

golongan, dan daerah;

e) menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;

f) menaati tata tertib dan kode etik;

g) menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;

h) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan

i) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di

daerah yang diwakilinya.

Dan terakhir, Dewan Perwakilan Daerah sebagai Perwakilan atau

Representasi Daerah di tingkat nasional atau “Regional Representatives”147

, merupakan

lembaga Negara yang baru yang juga merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan

Rakyat dan diatur dengan dasar hukum Bab VII A Dewan Perwakilan Daerah pada

Pasal 24C dan Pasal 24D serta Undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan

147

Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 193.

Page 81: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

80

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Page 82: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

81

4. Lembaga Kepresidenan dan Wakil Presiden

Berbicara lembaga kepresidenan di Indonesia, dari awal kemerdekaan

menjadi satu-satunya lembaga Negara yang pembentukannya tidak diatur dengan

Undang-undang tertentu dan hanya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar sebelum

terjadinya Amandemen terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945148

, sehingga lazim

disebut sebagai masa “executive heavy”149

.

Kemudian setelah terjadinya Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun

1945, mulai terjadi perubahan yang sangat mendasar terkait dengan lembaga

kepresidenan, yang lazim disebut sebagai pergeseran kekuasaan eksekutif yang

“executive heavy” menjadi “legislative heavy”150

.

Pertama, dalam Amandemen Pertama atas Undang-undang Dasar Tahun

1945, disebutkan terjadi perubahan atas pasal-pasal dengan fokus pada lembaga

kepresidenan yakni melalui perubahan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13

Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, maupun Pasal 17 Ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945151

, yang berfokus pada pergeseran “executive

heavy” menjadi “legislative heavy” dan mulai diadopsinya konsep “checks and balances

systems” dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia152

.

Kemudian, dalam Amandemen Ketiga atas Undang-undang Dasar Tahun

1945153

, disebutkan pula perihal perubahan pasal-pasal terkait lembaga kepresidenan

yakni diantaranya Pasal 6 Ayat (1) dan (2), Pasal 6A Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat

(4) dan Ayat (5), Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5),

Ayat (6), dan Ayat (7), Pasal 7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan Ayat

(3), serta Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

148

Hanya dirumuskan terkait lembaga kepresidenan hanya pada Bab III Kekuasaan

Pemerintahan Negara pada Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 6

Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,

hingga Pasal 15 Undang-undang Dasar Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam Majelis

Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 20-24. 149

Baca dalam Jimly Asshidiqie III, op.cit., hlm. 25-55. 150 Baca lebih dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 225-235. 151 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 59-66. 152

Baca dalam Jimly Asshidiqie IV, op.cit., hlm. 289-293. 153

Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 83-102.

Page 83: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

82

Dalam hal ini, penting untuk mengkaji bagaimana dalam Amandemen tersebut

terjadi perubahan terkait cara pengisian jabatan kepresidenan. Dimana dalam Undang-

undang Dasar Tahun 1945, lembaga kepresidenan menjadi satu-satunya lembaga Negara

yang tidak dipilih secara langsung namun melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat154

.

Dan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ditentukan dalam Pasal 6

Ayat (1)155

bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus warga negara

Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena

kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan

jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden,

adapun berkaitan dengan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang

diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003156

maupun

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008157

yang menjadi hukum

positif terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Adapun berkaitan dengan kedudukan, tugas dan wewenang dari Lembaga

Kepresidenan, dimana Lembaga Kepresidenan yang dipimpin oleh seorang Presiden dan

seorang Wakil Presiden, pada masa sesudah amandemen Undang-undang Dasar Tahun

1945, terdapat pembedaan kedudukannya (dalam hal ini kedudukan Presiden), dimana

Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan.

Di samping kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Kepala

Negara, Presiden Republik Indonesia juga berhak mengajukan Rancangan Undang-

Undang, membahas rancangan undang-undang bersama-sama Dewan Perwakilan

154

Baca dalam Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Cetakan Pertama,

Jakarta : Gramedia Widiasarana, hlm. 35-60. 155 Lihat dan bandingkan dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945

Pra- Amandemen dan baca lebih lanjut penjelasannya dalam Jimly Asshidiqie, 2010, Komentar atas

Pasal-pasal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama,

Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 138-140. 156 Baca dalam Pasal II Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 6 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003. Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,

diundangkan pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 93. 157

Baca lebih lanjut dalam Bab III Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil

Presiden dan Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pasal 5 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24

November 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor

176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.

Page 84: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

83

Rakyat, mengesahkan, mengundangkan Undang-Undang dalam Lembaran Negara dan

beberapa kewenangan di bidang legislatif. Dalam hal ini, berdasarkan paparan di atas

maka kekuasaan Presiden dapat dikelompokkan menjadi empat yakni kekuasaan

Penyelenggaraan Pemerintahan, kekuasaan di bidang Perundang-undangan, kekuasaan

di bidang Yudisial, dan pula kekuasaan dalam hubungan luar negeri.158

Sehingga, dilihat dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa betapa

besar kekuasaan seorang Presiden menurut Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun

1945 meskipun telah terjadi pergeseran dari “executive heavy” menjadi “legislative

heavy” setelah terjadi Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945159

.

5. Kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman160

di Indonesia, terdapat dua

kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan berikut

akan dipaparkan lebih lanjut terkait kedua lembaga Negara tersebut.

a. Mahkamah Agung

Adapun dasar hukumnya dapat ditelusuri pada Bab IX Kekuasaan Kehakiman

dalam Pasal 24 Ayat (1), Pasal 24 Ayat (2), dan Pasal 24A Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang intinya menentukan bahwa Kekuasaan

kehakiman Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan

yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, disamping oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi161

.

158

Baca sebagai perbandingan dalam Bagir Manan, op.cit., hlm. 115, lihat pula Sri Soemantri,

1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang

Dasar 1945, Bandung : Alumni, hlm. 113, dan Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 42-43. 159 Sebagai perbandingan, baca dalam Pasal 4, Pasal 10 sampai dengan 15 Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,

op.cit., hlm. 121, 130-131. 160

Adapun dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (1) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa,”Kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan”. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145. 161 Adapun Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang berbunyi,”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

Page 85: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

84

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang

lainnya yang diberikan oleh Undang-undang162

. Dan dalam Mahkamah Agung, para

Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,

profesional, dan berpengalaman di bidang hukum163

.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung164

, sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004165

dan

terakhir, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009166

, Mahkamah

Agung tidak hanya melaksanakan fungsi Peradilan saja, namun berbagai fungsi lainnya

yakni fungsi peradilan, fungsi mengatur, fungsi penasihat, fungsi pengawasan dan fungsi

administratif.167

Dalam hal ini, berbicara konsep “Negara Hukum”, maka perlu adanya

Mahkamah Agung, sebagai badan atau lembaga yang mempunyai tugas menegakkan

tertib hukum, di samping Mahkamah Agung merupakan peradilan kasasi, mengawasi

kegiatan-kegiatan peradilan bawahan dan melakukan hak uji material peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-undang.

Bagir Manan memaparkan bahwa Mahkamah Agung merupakan badan

kekuasaan kehakiman tertinggi atau badan pengadilan Negara tertinggi. Sebagai

penyelenggara negara, Mahkamah Agung adalah lembaga Tinggi Negara seperti

sebuah Mahkamah Konstitusi“. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145-

146. 162

Baca dalam Pasal 24A Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang berbunyi,”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan

mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang“. Lihat lebih lanjut dalam

Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146. 163

Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146-

147. 164 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,

diumumkan ke dalam Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316. 165

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359. 166

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diundangkan 12

Januari 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958. 167

Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 59.

Page 86: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

85

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Badan Pemeriksa

Keuangan (pada masa sebelum Undang-undang Dasar Tahun 1945 diamandemenkan).

Berbicara dari segi hubungan kelembagaan (institusional), Mahkamah Agung

hanya memiliki hubungan kelembagaan dengan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan lembaga negara yang lain, hanya ada hubungan kepenasihatan. Dan perlu

dicatat, hubungan tersebut ada yang bersifat searah dan ada yang dua arah. Adapun

hubungan dengan Presiden bersifat dua arah, dimana dari Presiden hubungan berkaitan

dengan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung, sedangkan dari Mahkamah

Agung kepada Presiden terdapat hubungan kepenasihatan yaitu memberikan nasihat atau

pertimbangan hukum kepada Presiden. Demikian juga, hubungan Mahkamah Agung

dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat dua arah, dimana dari Dewan

Perwakilan Rakyat, terdapat hubungan berkaitan dengan pencalonan Hakim Agung,

sedangkan dari Mahkamah Agung berkaitan dengan kepenasihatan.168

Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Mahkamah Agung memiliki peranan yang

penting dan fundamental dalam lingkup kekuasaan kehakiman nasional di Indonesia

dengan pengembangan hal-hal yang terkait dengan Mahkamah Agung dalam Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun Undang-undang terkait

dengan Mahkamah Agung.

b) Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang baru dimunculkan

pasca terjadinya Amandemen atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945169

. Secara eksplisit disebutkan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dan secara jelas disebutkan pada Pasal 24 Ayat

(2)170

serta Pasal 24C Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) pada Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

168 Bagir Manan, 1995, Memahami Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Secara

Historis, dalam H. Mashudi dan Kuntana Magnar, ed.al., Pertumbuhan dan Perkembangan

Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju, hlm. 33-34. 169 Baca dalam Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 5-9. 170

Adapun Pasal 24A Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

berbunyi sebagai berikut,”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

Page 87: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

86

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur secara tegas dalam

Pasal 24C Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945171

yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang

Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

Pemilihan Umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut

Undang-undang Dasar.

Adapun Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan Orang anggota Hakim

Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh

Mahkamah Agung, tiga Orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga Orang oleh

Presiden. Dimana ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh

Hakim Konstitusi172

.

Dicatatkan pula bahwa Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai Konstitusi dan

ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dan terakhir, berkaitan

dengan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang173

.

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi “. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145-

146. 171 Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 147-

148. 172

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 148. 173

Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13

Agustus 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4316, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

diundangkan pada tanggal 20 Juli 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 70 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5456, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

Page 88: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

87

Dalam tinjauan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, ide awal munculnya

pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejak dilontarkannya usul Yamin dalam

sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada Juli 1945

yakni agar Mahkamah Agung “Balai Agung” diberikan wewenang membanding

Undang-Undang, tetapi usul Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan

Undang-undang Dasar yang dibentuk tidak menganut "Trias Politika" dan jumlah

Sarjana Hukum pada saat itu jumlahnya sedikit174

.

Kemudian ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini berkembang terus,

sekitar tahun 1980-an muncul ide pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang yang

diajukan oleh para Sarjana Hukum terutama dari Pengacara. Namun, usul pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang seperti usul IKADIN ditolak dengan alasan tidak

tepat berdasarkan Undang-undang Dasar 1945175

.

Kemudian dikaitkan dengan tujuan pembentukannya, pembentukan Mahkamah

Konstitusi dilandasi oleh pemikiran pertama, Perubahan struktur Ketatanegaraan dari

"sistem Supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat" ke pemisahan kekuasaan

berdasarkan prinsip "Checks and Balances System" di mana mekanisme demokrasi dapat

dikontrol dan diimbangi dengan "nomokrasi", serta kedua, Penegasan dan penguatan

prinsip negara hukum di mana "rule of the Constitution and Constitutional democracy"

diutamakan serta ingin dijalankan secara nyata dengan cara melakukan pengawalan

terhadap Undang-undang Dasar melalui Mahkamah Konstitusi176

.

Dan bilamana dibandingkan dengan negara lain maka ditemukan istilah

sebagai berikut, pertama, dalam sistem Perancis disebut Dewan Konstitusi, sedangkan

dalam sistem Jerman dikenal Mahkamah Konstitusi. Kedua, dalam tradisi "Common

Law" dan sistem Konstitusi Amerika Serikat, lembaga Mahkamah Konstitusi yang

tersendiri tidak dikenal, tetapi fungsinya langsung ditangani oleh Mahkamah Agung

yang disebut "the Guardian of American Constitution". Di Eropa Kontinental disebut

diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493. 174

Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid

I, Jakarta: Yayasan Prapanca, hlm. 341 – 342. 175 Jimly Asshidiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

Jakarta : Konpress, (untuk selanjutnya disebut sebagai Jimly Asshidiqie III), hlm. 1. 176

Baca dalam Mahkamah Konstitusi, op.cit., hlm. 7-8.

Page 89: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

88

demikian adalah Mahkamah Konstitusi. Serta ketiga, di negara-negara komunis dan

negara lainnya yang menganut sistem supremasi Parlemen, Mahkamah Konstitusi juga

tidak dikenal. Dalam sistem komunis ataupun tradisi Inggris dan Belanda yang menganut

doktrin "king or queen in Parliament.177

6. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)

Berbicara terkait dengan Badan Pemeriksa Keuangan memiliki Kekuasaan

Eksaminatif yang telah diamanatkan dalam Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa

Keuangan pada Pasal 23E sampai dengan Pasal 23G Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945178

.

Adapun tujuan adanya Badan Pemeriksa Keuangan yakni untuk memeriksa

pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara yang diadakan melalui satu

Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, dalam hal ini, hasil pemeriksaan

keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan Undang-undang,

kemudian hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau

badan sesuai dengan Undang-undang179

.

Adapun anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan

oleh Presiden, dalam hal ini180

, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan

oleh anggota, dimana baik pimpinan maupun anggota dari Badan Pemeriksa Keuangan

berkedudukan di ibukota Negara, dan memiliki perwakilan di setiap Provinsi, yang mana

segala ketentuan lainnya lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur

dengan Undang-Undang.

Menurut Philipus M. Hadjon, Badan Pemeriksa Keuangan negara merupakan

kelanjutan dari badan semacam itu yang pernah ada pada zaman Hindia Belanda181

.

177

Baca dalam Jimly Asshiddiqie III; op.cit, hlm. 2. 178

Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144-

145. 179 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144. 180

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145. 181

Baca Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 54.

Page 90: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

89

Dimana Prof. Soepomo pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

mengatakan: "... ada lagi satoe badan keuangan (rekenkamer) yang mengontrol

keuangan negara..."182

. Perlu diketahui, pada zaman Hindia Belanda, terdapat Algemene

Reken Kamer yang semula adalah alat eksekutif dengan tugas mengurus pembukuan.

Badan ini pertama kali di Hindia Belanda didirikan oleh Herman William Daendels

dengan nama "Generate Reken Kamer". Dan kemudian, dengan ditetapkan "Indische

Comtabilitaits Wet" pada Tahun 1864, Parlemen Belanda menyerahkan tugas untuk

mengadakan pemeriksaan dan penelitian tentang pelaksanaan anggaran negara yang

telah ditentukan, maka didirikanlah "Algemene Reken Kamer" yang terlepas dari

pengaruh kekuasaan eksekutif.183

Hingga kemudian, terbentuklah Badan Pemeriksa Keuangan pasca

ditetapkannya Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang

melanjutkan tugas badan "Algemene Reken Kamer" tersebut, dan kemudian pasca

Amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945, terdapat penegasan hukum dalam Bab

VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan184

.

D. Hubungan Antar Lembaga Negara

1. Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah

Adapun pasca perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai Lembaga Negara, tidak lagi sebagai

Lembaga Tertinggi Negara185

.

Bilamana dilihat dari perspektif kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

sebagai Lembaga Negara, pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maka

seharusnya tugas dan wewenangnya sejajar dengan Lembaga Negara yang lainnya.

182

Lihat dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang

BPUPKI dan PPKI Tanggal 29 Mei-18 Agustus 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat

Negara Republik Indonesia, hlm. 125-128. 183 Baca lebih lanjut dalam Sri Soemantri, op.cit., hlm. 158-159. 184

Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 125-135. 185

Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 35-55, 105-110.

Page 91: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

90

Akan tetapi, bilamana dipandang dari segi Pasal 3 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (2)

dan Pasal 3 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

maka tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sesungguhnya masih

seperti yang dahulu dengan alasan bahwasanya Majelis Permusyawaratan Rakyat

berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden

dan/atau Wakil Presiden serta hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar, dan hanya berkurang

kekuasaannya yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi memilih Presiden

dan Wakil Presiden, dan memberikan "mandat" kepada Presiden. Oleh karena ditegaskan

bahwa kedaulatan adalah berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar serta Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara

langsung oleh Rakyat.

2. Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Presiden

Adapun hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Presiden

dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni sebagai

berikut186

.

a) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden

(Pasal 3 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945)

b) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut

agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat (Baca sumpah atau Janji

Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 9 Ayat (1) Perubahan Undang-undang Dasar

1945).

c) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat

mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau

berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Pimpinan Majelis Permusyawaratan

Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung (Pasal 9 Ayat (2)

Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

186

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 120-129.

Page 92: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

91

d) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 3

Ayat (3) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

e) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik

apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pelanggaran

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A Perubahan Undang-undang Dasar

1945).

3. Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden

Adapun hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dapat

ditelusuri dalam bidang legislasi nasional sebagai dikutip dari Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut187

.

a) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.

(Pasal 20 Ayat (1) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

b) Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-undang kepada Dewan

Perwakilan Rakyat (Pasal 5 Ayat (1) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

c) Setiap Rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 Ayat (2) Perubahan

Undang-undang Dasar 1945).

d) Presiden mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui bersama

untuk menjadi Undang-Undang. (Pasal 20 Ayat (4) Perubahan Undang-undang

Dasar 1945).

e) Dalam hal Rancangan Undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak

disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari, semenjak Rancangan

Undang-undang tersebut disetujui, Rancangan Undang-undang tersebut sah

menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

f) Rancangan Undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh

Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan

187

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 136-137.

Page 93: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

92

memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 23 Ayat (2)

Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

g) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang

pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah

menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. (Pasal 23

Ayat (3) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

h) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan

peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang. (pasal 22 Ayat (1)

Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

i) Peraturan Pemerintah tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat dalam persidangan masa itu. (Pasal 22 Ayat (2) Perubahan Undang-undang

Dasar 1945).

j) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

(Pasal 22 Ayat (3) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

k) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,

membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (Pasal 11 Ayat (1)

Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

l) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan

akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-

undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 11 Ayat (2)

Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

m) Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya

ditetapkan dengan Undang-Undang. (Pasal 12 Perubahan Undang-undang Dasar

1945).

n) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan

Perwakilan Rakyat. (Pasal 13 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

o) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 13 Ayat (2), (3) Perubahan

Undang-undang Dasar 1945).

p) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan

Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 14 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar

1945).

Page 94: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

93

4. Hubungan antara Presiden dan Dewan Pertimbangan Agung

Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen,

ditentukan dalam Bab IV Dewan Pertimbangan Agung pada Pasal 16 Undang-undang

Dasar Tahun 1945, Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden

dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah188

.

Kemudian, setelah terjadi Amandemen atas Undang-Undang Dasar Tahun

1945, dimana Bab IV Dewan Pertimbangan Agung dihapus189

, maka Dewan

Pertimbangan Agung dihapuskan sebagai salah satu lembaga Negara di Indonesia, dan

kemudian fungsinya digantikan dengan adanya suatu Dewan Pertimbangan yang

dibentuk oleh Presiden, dan memiliki tugas memberikan nasihat dan pertimbangan

kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.

5. Hubungan Presiden dan Kementerian Negara

Adapun dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebelum diamandemen190

,

disebutkan bahwa hubungan antara Presiden dengan kementerian Negara terlihat

dengan adanya ketentuan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang

mana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan dalam hal membantu Presiden,

maka menteri-menteri tersebut memimpin departemen pemerintahan.

Kemudian setelah Undang-undang Dasar 1945 diubah191

, terjadi perubahan

hanya pada Pasal 17 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang menjadi,”Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”

dan dalam hal ini, dipertegas pula berkaitan dengan pembentukan, pengubahan dan

pembubaran kementerian negara diatur dalam Undang-undang192

.

188 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 23. 189

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 104-118, 132. 190

Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Ayat (2) dan

Ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,

op.cit., hlm. 24. 191

Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Pasal 17 Ayat

(2), Pasal 17 Ayat (3), dan Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 132-133. 192 Adapun perihal Penjabaran Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 telah dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, diundangkan pada 6 November 2008, diumumkan ke

Page 95: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

94

6. Hubungan Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah Agung

Adapun menurut Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, hubungan

antara Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah Agung terdapat dalam konteks

melakukan peradilan, mengadakan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan, serta

dalam konteks memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden tentang

permohonan grasi193

, sebagaimana telah ditegaskan kemudian dalam Pasal 14 Ayat (1)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945194

ditentukan bahwa

Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan

Mahkamah Agung.

7. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan

Ditinjau dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan,

terdapat dalam konteks hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

sesuai dengan Undang-Undang, yang kemudian hasil pemeriksaan tersebut

ditindaklanjuti oleh Lembaga Perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-

Undang195

.

Kemudian, menurut Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih196

, dalam

bukunya Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945

dikemukakan bahwa hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa

Keuangan yakni meliputi perihal mengikuti dan memeriksa penggunaan anggaran

belanja oleh pemerintah, memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai

hasil pemeriksaannya sebelum pemerintah memberikan nota keuangan beserta rancangan

anggaran belanja tahun berikutnya, serta berdasarkan penilaian tersebut Dewan

Perwakilan Rakyat memberikan pertimbangan-pertimbangan penetapan rancangan

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4916. 193

Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, 1994, Susunan Pembagian

Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara,

hlm. 174. 194 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 22. 195

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144. 196

Baca dalam Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 175.

Page 96: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

95

anggaran belanja negara tahun berikutnya, dan memberikan penjelasan tambahan tentang

laporan penilaian tersebut serta memberikan nasihat-nasihat teknis kepada Dewan

Perwakilan Rakyat.

E. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, makin jelaslah bahwa dalam konteks Lembaga

Negara di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga pada masa Reformasi ini terjadi

perubahan yang signifikan mengingat perkembangan dan dinamika ketatanegaraan

sebagai ekses dari Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan mengarah

pada terciptanya politik hukum nasional dengan pembentukan peraturan perundang-

undangan terkait dengan tugas, fungsi, konsep, peranan dan wewenang, kedudukan,

susunan, maupun konstruksi dari keseluruhan Lembaga Negara di Indonesia.

Page 97: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

96

Page 98: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

97

DAFTAR BACAAN

PB.III LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

Sumber Literatur

Anonymous, 2002, Undang-undang Dasar ‘45 Amandemen ke-4 Tahun

2002; Semarang : Penerbit Aneka Ilmu.

__________, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003,

tentang Susduk, Bandung: Penerbit "Citra Umbara", 2003.

Anwar, Chairul, 1999, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta :

Penerbit CV. Novindo Pustaka Mandiri.

Asshiddiqie, Jimly, 2002, Konsolidasi Naskah Undang-undang Dasar 1945

Setelah Perubahan Keempat, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas

Hukum Universitas lndonesia.

________________, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia,

Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.

________________, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di

Berbagai Negara, Jakarta : Konpress.

________________, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga

Negara Pasca Reformasi, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.

________________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar

Grafika.

________________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi

Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

Atmadja, I Dewa Gede, 2006, Hukum Konstitusi : Hukum Konstitusi,

Perubahan Konstitusi Sudut Pandang Perbandingan, Denpasar : Bali Aga.

Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.

Gramedia.

Busro, H. Abubakar, dan Abu Daud Busroh, 1984, Hukum Tata Negara, Jakarta :

Ghalia Indonesia.

Busroh, Abu Dauh, 2010, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh, Jakarta :

Sinar Grafika.

Page 99: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

98

Hadjon, Philipus M., 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan,

Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu.

Huda, Ni’matul, 2008, Undang-undang Dasar 1945 dan Gagasan Amandemen

Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

_____________, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi,

Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

Indrayana, Denny, 2011, Indonesia Optimis, Cetakan Pertama, Jakarta :

Kompas Gramedia Group.

Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Bina Aksara.

Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State, New York: Russel &

Russel.

Koesnardi, Mohammad, dan Bintan R. Saragih, 1994, Susunan Pembagian

Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta : Pusat Studi

Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.

Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Lembaga

Perwakilan, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

___________________, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis

Permusyawaratan Rakyat Indonesia.

______________________________, 2011, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :

Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Manan, Bagir, 1995, Memahami Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Secara

Historis, dalam H. Mashudi dan Kuntana Magnar, ed.al., Pertumbuhan dan Perkembangan

Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju.

____________, 1999, Lembaga Kepresidenan, Cetakan Pertama, Jakarta :

Gramedia Widiasarana.

Page 100: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

99

MD, Moh. Mahfud, 2001, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta :

Rineka Cipta.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI

Tanggal 29 Mei 1945 sampai 18 Agustus 1945, Jakarta : Sekretariat Negara Republik

Indonesia.

Suny, Ismail, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Bina Cipta.

Soemantri, Sri, 1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan

Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bandung : Alumni.

Yamin, Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,

Jilid I, Jakarta: Yayasan Prapanca.

Jurnal, Makalah dan Karya Tulis Ilmiah Terkait

Arifin, Firmansyah et.al., Hasil Penelitian Sementara tentang Lembaga Negara,

2004, Jakarta.

Arifin, Firmansyah, Hukum dan Kuasa Konstitusi: Catatan-catatan untuk

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta:

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2004.

Peraturan Perundang-undangan Terkait

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.

Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

III/Majelis Permusyawaratan Rakyat/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata

kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan /atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung, diumumkan ke dalam Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985

Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310.

Page 101: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

100

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4316.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4359.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan

Pertimbangan Presiden, diundangkan pada tanggal 28 Desember 2006, diumumkan

ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 108 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4670.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara, diundangkan pada 6 November 2008, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November

2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diundangkan

12 Januari 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.

Page 102: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

101

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 20

Juli 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor

70 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, diundangkan pada 15 Januari 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5493.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Desember 2014,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650.

Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17

Oktober 2013, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

167 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 11.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 13.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14.

Page 103: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

102

PB. III

OTONOMI DAERAH

A. Otonomi Daerah

Dalam pokok bahasan ini, akan dibahas terkait konsep Otonomi Daerah dalam

konteks Pemerintahan Daerah, yang akan membahas sub bahasan terkait Prinsip Negara

Kesatuan, kemudian berkaitan dengan asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan di

Daerah, serta kajian yuridis terkait Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2004, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Berikut akan dipaparkan secara komprehensif terkait keseluruhan

pokok bahasan terkait Otonomi Daerah.

1. Prinsip Negara Kesatuan

Berkaitan dengan konsep Negara Kesatuan, Indonesia secara konsisten

mempertahankan prinsip Negara Kesatuan melalui ketentuan yang secara eksplisit tetap

dipertahankan yakni melalui Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945197

yang menyatakan bahwa,“Negara Indonesia ialah Negara

Kesatuan, yang berbentuk Republik”198

dan mengindikasikan Indonesia sebagai suatu

Negara Kesatuan bukan sebagai Negara Federal dan menjadi kunci pokok dalam

membahas Otonomi Daerah dalam Ketatanegaraan di Indonesia.

197 Berdasarkan kesepakatan dasar dalam pengamandemenan Undang-undang Dasar

Tahun 1945, salah satunya yakni tetap mempertahankan prinsip Negara Kesatuan. Lihat dalam

Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I Bentuk Negara dan Pemerintahan, Cetakan Pertama,

Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 11-

15 dan lihat pula dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. iii-iv. 198

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. iii-v, 3, 122.

Page 104: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

103

Bilamana dengan keilmuan hukum kenegaraan khususnya dalam Ilmu

Negara, ditinjau dari perspektif struktur kedaulatan (sovereignty structure)199

dalam kajian Ilmu Negara tersebut, Republik Indonesia dapat dikatagorikan

sebagai Negara Kesatuan (Unitary Government) dalam konteks suatu negara

kedaulatannya berada pada pemerintah pusat yang berbentuk negara kesatuan

yang didesentralisasikan dengan asas otonomi, asas tugas pembantuan serta

asas dekonsentrasi.

Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen menentukan bentuk negara

Indonesia yakni republik sementara untuk bentuk susunan negara Indonesia yakni

Negara Kesatuan.

Menurut Joeniartho, digunakan istilah “bentuk susunan negara” untuk

menunjukkan negara kesatuan/ federasi.200

Pendapat yang sama juga dianut oleh

Mohammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang menyatakan bahwa “susunan negara”

ditujukan untuk negara kesatuan atau federasi, sedangkan “bentuk Negara” ditujukan

paba bentuk republik atau monarki, dan ditambahkan oleh mereka bahwasanya ciri

negara kesatuan dapat dilihat dengan membandingkannya dengan negara serikat.

Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim mencoba mengidentifikasinya

dengan menggunakan kriteria yang digunakan oleh CF. Strong dan kriteria dari KC.

Wheare sebagai berikut.201

199 Secara umum menurut Muchtar Pakpahan, berdasarkan struktur kedaulatan

(sovereignty structure), negara dapat dibagi menjadi tiga yakni Negara Kesatuan (Unitary

Government), yaitu suatu negara yang kedaulatannya berada pada pemerintah pusat yang

berbentuk negara kesatuan yang didesentralisasi dengan asas otonomi, asas tugas pembantuan,

dan asas dekonsentrasi. Contohnya adalah negara Indonesia, Imperium (Empire Colony

dependency), yaitu suatu negara yang sebagian urusan negaranya masih diatur di bawah negara

yang menjajahnya atau yang pernah menjajahnya. Contohnya, Irlandia Utara “The Northern

Ireland” serta Wales (di bawah “Inggris Raya” atau dalam satu Great Britain), serta Negara

Serikat (Federal Government), yaitu suatu negara yang pemerintahannya terikat pada bentuk

negara serikat atau federal. Contohnya, Malaysia. Baca dalam Muchtar Pakpahan, 2010, Ilmu

Negara dan Politik, Jakarta : Bumi Intan Sejahtera, hlm. 94-98. 200

Joeniartho, 1967, Seri Ilmu Hukum Tatanegara : Pemerintah Lokal, Yogyakarta :

Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, hlm. 8. 201 Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum

Tatanegara Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta : Pusat Studi Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, hlm. 166.

Page 105: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

104

Menurut KC. Wheare, pada negara serikat, negara bagian mempunyai

kewenangan untuk membuat Undang-Undang Dasarnya sendiri, di samping adanya

Undang-Undang Dasar Federal. Sedangkan, dalam negara kesatuan hanya ada satu

Undang-Undang Dasar, provinsi tidak memiliki wewenang membentuk atau memiliki

undang undang dasarnya sendiri.

Sedangkan menurut CF. Strong, pada negara federasi wewenang pemerintahan

federal ditentukan secara rinci, sedangkan kekuasaan atau kewenangan sisa (residu

power)-nya ada pada negara bagian. Sebaliknya, pada negara kesatuan, residu power-nya

ada pada pemerintah federal. Adapun ukuran tersebut, pada umumnya dapat diterima,

namun kemungkinan dalam prakteknya berbeda tergantung pada konstitusi tiap-tiap

negara, contohnya Kanada sebagai negara serikat, namun residu power-nya ada pada

negara-negara bagian.202

Di Indonesia, saat berada di bawah rezim Undang-undang Pemerintahan

Daerah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah203

, justru menunjukkan hal yang sebaliknya, berdasarkan Pasal 7

sampai Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000

tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom dirinci secara

tegas, dimana residu power-nya ada pada Kabupaten atau Kota, walaupun Indonesia

negara kesatuan, hal tersebut tetap berlangsung sampai dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tersebut

dicabut dan kemudian digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah204

, yang kemudian telah diubah melalui

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005205

, dan kemudian terakhir

202

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 169-170, juga bandingkan

dengan Padmo Wahjono, 1966, Diktat Ilmu Negara, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, hlm. 147. 203

Lihat lebih lanjut dalam Bab IV Kewenangan Daerah pada Pasal 7 sampai

dengan Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839. 204

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4437. 205

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

Page 106: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

105

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua

atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah206

yang masih

berlangsung hingga Tahun 2014.

Hingga kemudian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah207

yang kemudian dua kali telah mengalami perubahan

yakni melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2014208

, yang kemudian menjadi Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2015209

, serta terakhir melalui Undang-undang Republik Indonesia

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548. 206

Substansi Perubahan Kedua atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2004 yakni pada Pasal 26 ditambahkan 4 (empat) Ayat yakni Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6) dan Ayat (7), Pasal 42

Ayat (1) huruf i dihapus dan penjelasan Ayat (1) huruf e diubah, Pasal 56 Ayat (2) diubah, Pasal 58 huruf d dan

huruf f diubah, huruf l dihapus serta ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf q, Pasal 59 ayat (1) diubah, di antara

ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 5 (lima) ayat, yakni ayat (2a), ayat (2b), ayat (2c), ayat (2d), dan ayat (2e), ayat

(3) dihapus, di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a), dan di antara ayat (5) dan

ayat (6) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (5a) dan ayat (5b), Di antara Pasal 59 dan Pasal 60 disisipkan 1 (satu)

pasal, Yakni Pasal 59A, Pasal 60 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4)

disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3a), ayat (3b), dan ayat (3c), serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6),

Pasal 62 62 ayat (1) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (1a), ayat

(1b), dan ayat (1c), serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), Pasal 63 ayat (1) dan ayat (3) diubah, dan di

antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b), serta ditambah 4 (empat) ayat,

yakni ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 64 ayat (2) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat

(3), Pasal 75 ayat (3) diubah, Pasal 107 ayat (2) dan ayat (4) diubah, di antara ayat (5) dan ayat (6) Pasal 108

disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a), Pasal 115 ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (7), ayat (8), dan ayat (9),

Pasal 233 ayat (1) dihapus, ayat (2) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), Pasal 235 diubah dan

ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2), Di antara Pasal 236 dan Pasal 237 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal

236A, Pasal 236B, dan Pasal 236C, serta Di antara Pasal 239 dan Pasal 240 disisipkan 1(satu) pasal, yakni

Pasal 239A. Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua

atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 28 April

2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844. 207 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5587. 208 Lihat dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5589. 209

Substansi Perubahan Pertama atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2014 yakni Pasal 101 Ayat (1) huruf d, dan Pasal 154 Ayat (1) huruf d. Lihat dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

diundangkan pada tanggal 2 Februari 2015, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2015 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657.

Page 107: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

106

Nomor 9 Tahun 2015210

, telah mempertahankan dengan konsisten konsep Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tetap

mempertahankan residu power kepada pihak pemerintah pusat dan tidak kepada

pemerintah daerah, sebagaimana bila di dalam negara Federal, pemerintah negara bagian

diberikan residu power dari kekuasaan asli Pemerintah Pusat Negara Federal tersebut211

.

Kriteria lain untuk membedakan suatu negara kesatuan dan federasi adalah

pada kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara. Menurut Jean Bodin212

,

kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh hukum dari penguasa

atau warga negara dan orang-orang lain dalam wilayahnya. Kedaulatan adalah atribut

dari negara, negara tanpa kedaulatan bukanlah negara. Ciri-ciri khusus yang merupakan

bagian pelengkap dari konsep kedaulatan menurut Jean Bodin adalah sebagai berikut213

.

1) Membuat undang-undang atau hukum untuk warga negara tanpa dibatasi oleh

sesuatu kekuasaan lain yang sederajat atau yang lebih rendah

2) Wewenang membuat uang, memaklumkan perang, menentukan badan-badan

peradilan, wewenang pengawasan dan lain-lain.

Sarjana Jerman menyebut nya dengan kompetenz-kompetenz dan dalam bahasa

Perancis disebut de la competence de la competence yaitu wewenang yang menentukan

segala wewenang yang ada di dalam negara atau kekuasaan untuk menentukan segala

hukum yang ada dalam negara.214

210

Substansi dalam Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pasal 63 Ayat (1), Pasal 65 Ayat (1) huruf f

dihapus, Pasal 66 Ayat (3) diubah menjadi satu Ayat yakni Ayat (4), Pasal 88 diubah bunyinya,

Pasal 101 diantara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, serta Pasal 154 antara Ayat (1) diantara

huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1. Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5679. 211

Baca dalam Ni’matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi,

Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 315-330. 212 Jhr.Dr.JJ von Schmid, 1980, Groot Denker Over Staats En Rechts (van Plato tot

Kant), Terjemahan oleh Wiranto, R. Djamaluddin Dt Singomangkuto dan Djamadi, dengan judul:

Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum. Cetakan Kelima, Jakarta : PT. Pembangunan,

hlm. 109. 213 Baca dalam Busroh Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta :

Sinar Grafika, hlm. 125-129. 214

Padmo Wahjono, op.cit., hlm. 162.

Page 108: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

107

Pada negara kesatuan, kedaulatan bersifat bulat dan tunggal atau monistis yang

dipegang oleh Pemerintah Pusat, sedangkan pada negara federasi, kedaulatan yang

dianut adalah kedaulatan yang bersifat pluralistik artinya dapat dibagi-bagi yaitu

sebagian pada pemerintah federal dan sebagian pada negara-negara bagian.215

Kriteria ini

tampak lebih jelas untuk dapat membedakan antara negara yang bersusunan kesatuan

dan federasi yang mirip dengan kriteria KC Wheare di atas.

Prinsip Negara Kesatuan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum

Amandemen, ditentukan dengan tegas dalam Pasal 1 Ayat (1) dan dipertegas lagi dalam

penjelasan Pasal 18 Romawi I yang berbunyi sebagai berikut216

.

“Oleh karena Negara Indonesia itu suatu”eenheidstaat”, maka Indonesia

tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat ”staat”juga. Daerah

Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi akan di

bagi-bagi pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil.

Daerah ini bersifat otonom (streek dan locale rechtgemeenschaps) atau

bersifat administrative belaka, semua menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-

undang”.

Prinsip ini tetap dipegang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, bahwa dalam kesepkatan dasar dalam Amandemen Undang-

undang Dasar Tahun 1945, dimana Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang

bersifat normatif tidak dihapus dan dituangkan substansinya ke dalam batang tubuh

Undang-undang Dasar.

Kemudian dalam Amandemen Kedua pada Tahun 2000217

, substansinya

dituangkan dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar dalam Bab VI tentang

Pemerintah Daerah yang dapat dikutip sebagai berikut.

Pasal 18 **)218

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

215 Padmo Wahjono, op.cit., hlm. 256. 216

Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan bagian terpisah dari

Naskah Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang kemudian diumumkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia Nomor II Tahun 1946. Untuk kutipan lihat dalam Majelis Permusyawaratan

Rakyat I, op.cit., hlm. 47. 217

Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. iii-vi, 84-103. 218

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 133-134.

Page 109: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

108

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan

undang-undang. **)

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan. **)

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum. **)

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah

Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. **)

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah

Pusat. **)

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan

lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **)

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-

undang. **)

Pasal 18A **)219

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan

Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **)

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan

dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.**)

Pasal 18B **)220

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. **)

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur dalam undang-undang. **)

219

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 134-135. 220

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 135.

Page 110: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

109

Sehingga ditinjau dari segi hukum dasar negara yakni Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun Undang-undang terkait Pemerintahan

Daerah, tampak jelas prinsip Negara Kesatuan tetap dipertahankan dengan mengacu

hanya ada satu Pemerintahan Pusat dengan satu konstitusi dan seluruh provinsi yang ada

tunduk pada konstitusi negara dengan tidak memiliki kewenangan memiliki konstitusi

sendiri, dan yang paling substansial, bahwa residu power ada di tangan pemerintah pusat

bukan pada pemerintah daerah sebagaimana terjadi dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah

Logemann menyatakan bahwa negara adalah organisasi jabatan-jabatan,

struktur jabatan dalam sebuah negara memiliki hubungan horizontal maupun vertikal221

.

Pembagian jabatan secara horizontal akan melahirkan sistem pemerintahan, sedangkan

pembagian jabatan secara vertikal berkaitan erat dengan hubungan pemerintah pusat

dengan pemerintahan di daerah, sehingga akan menyangkut sistem pemerintahan di

daerah. Hubungan vertikal tersebut diselenggarakan dengan asas dekonsentrasi, asas

desentralisasi dan asas medebewind atau tugas pembantuan.

Berikut akan dipaparkan lebih lanjut terkait hal-hal yang bersambungan

dengan objek dan titik berat kajian Otonomi Daerah dalam tinjauan yuridis keilmiahan

dari beberapa literatur terkait Otonomi Daerah.

A. Asas Desentralisasi

Adapun yang dimaksud dengan asas desentralisasi adalah lawan dari asas

sentralisasi. Asas sentralisasi sendiri merupakan suatu asas yang memusatkan seluruh

kebijakan negara atau kewenangan mengatur ada pada pemerintah pusat sampai pada

masalah sekecil-kecilnya dan tidak ada penyerahan wewenang untuk mengatur pada

aparatur di daerah. Sebaliknya pada asas desentralisasi yang artinya tidak sentralisasi,

berarti ada penyerahan wewenang untuk mengatur berdasarkan inisiatif aparat

pemerintah daerah, dan kewenangan untuk mengatur inilah yang disebut dengan

221

Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta

: Ghalia Indonesia, hlm. 13-14.

Page 111: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

110

otonomi. Desentralisasi berarti ada penyerahan wewenang kepada aparat daerah daerah

otonom, yang intinya adalah pembagian kekuasaan222

.

B. Daerah Otonom

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom (Gemeente) merupakan

suatu persekutuan penduduk yang disatukan oleh hubungan setempat atau sedaerah,

yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.223

1. Adanya wilayah atau lingkungan yang lebih kecil dari pada negara.

2. Adanya penduduk yang mencukupi.

3. Adanya kepentingan-kepentingan yang coraknya sukar dibedakan dengan

kepentingan negara.

4. Adanya organisasi yang memadai untuk menyelenggarakan kepentingan-

kepentingan itu.

5. Adanya kemampuan untuk menyediakan biaya yang diperlukan.

C. Arti Otonomi dan Otonomi Daerah

Kemudian, kata otonomi sendiri berasal dari kata Latin yakni “auto” yang

bermakna “sendiri” dan “nomoi” yang bermakna “undang-undang”, sehingga otonomi

daerah berarti membuat undang-undang sendiri224

. Namun, pengertian tersebut terlalu

sempit, dikarenakan dalam kenyataannya Pemerintah Daerah tidak hanya membuat

undang-undang atau menjalankan fungsi legislatif saja, melainkan menjalankan fungsi

penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) daerah.

Dilihat dari sejarah perkembangan pemerintahan daerah225

, adapun istilah

daerah otonom disebut dengan daerah swatantra dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1957226

dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18

222

Joeniartho, op.cit., hlm. 15-21. 223

J. Wajong, 1975, Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta : Penerbit

Djambatan, hlm. 8. 224 Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 307-308. 225

Pelajari lebih lanjut terkait pula dengan politik hukum yang melingkupi

perjalanan sejarah perkembangan Undang-undang Pemerintahan Daerah dari awal Kemerdekaan

hingga saat ini dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 35-118 dan Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 345-

450. 226

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Januari 1957, diumumkan ke dalam Lembaran

Page 112: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

111

Tahun 1965227

, atau swapraja dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948228

, yang

berarti menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Namun, kemudian dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974229

dan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan nama daerah otonom, dan kemudian

terakhir dengan rezim Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 dan

Undang-Undang Republik Indonesia disebut Propinsi dan daerah yang lebih kecil

disebut Kabupaten/ Kota mengikuti rumusan Bab VII Pemerintah Daerah Pasal 18 Ayat

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

D. Asas Dekonsentrasi

Sedangkan yang dimaksud dengan asas dekonsentrasi adalah lawan dari asas

konsentrasi. Asas konsentrasi sendiri berarti seluruh penyelenggaraan administrasi

pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota

negara, dimana semua diselenggarakan di pusat. Sedangkan asas dekonsentrasi artinya

tidak konsentrasi, yang berarti dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat

menempatkan pejabat-pejabatnya didaerah yang bertugas sebagai tangan pemerintah

pusat di daerah, dan hal yang paling inti dan substansial dari asas dekonsentrasi adalah

pelimpahan tugas penyelenggaraan atau administrasi saja, bukan penyerahan

wewenang230

.

E. Asas Medebewind atau Asas Tugas Pembantuan

Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 1143. 227 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 1 September 1965, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 2778. 228 Banyak pakar ketatanegaraan menyatakan bahwa Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 merupakan Undang-undang pertama di bidang Pemerintahan

Daerah, namun banyak yang menyatakan bahwa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1945 sebagai Undang-undang pertama di bidang Pemerintahan Daerah, meskipun

substansinya hanya terkait pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah. Baca dalam Mahfud

MD., op.cit., hlm. 45-50. Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945 tentang

Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, diundangkan pada tanggal 23 November

1945. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan

Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus

Rumah Tangganya Sendiri, diundangkan pada tanggal 10 Juli 1948. 229

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan di Daerah, diundangkan pada tanggal 23 Juli 1974, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3037. 230

Baca Joeniartho, op.cit., hlm. 21-25.

Page 113: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

112

Serta asas medebewind atau asas tugas pembantuan adalah suatu asas yang

memungkinkan pemerintah pusat untuk meminta bantuan aparat pemerintah daerah

otonom untuk mengurus atau melaksanakan urusan pemerintah pusat didaerah.

Dengan demikian, pemerintah daerah otonom hanya bertugas melaksanakan

sesuai dengan perintah atau petunjuk pemerintah pusat231

.

Untuk lebih jelas dapat membedakan antara asas desentralisasi dengan

dekonsentrasi dan medebewind, dapat dilihat dari perbedaan ciri-ciri masing-masing

sebagai berikut.232

Tabel 1. Perbedaan Ciri-ciri dari Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi, dan Asas

Medebewind/ Tugas Pembantuan

Nomor Ciri-ciri asas

Desentralisasi

Ciri-ciri asas

Dekonsentrasi

Ciri-ciri

Medebewind/ Tugas

Pembantuan

1

Adanya penyerahan

wewenang untuk

mengatur dan

mengurus urusan-

urusan tertentu

sebagai urusan rumah

tangga sendiri (hak

otonomi).

Urusan yang

diselenggarakan

adalah urusan

pemerintah pusat di

daerah.

Urusan yang

diselenggarakan

adalah urusan

pemerintah pusat.

231

Lihat Joeniartho, op.cit., hlm. 25-27. 232

Joeniartho, op.cit., hlm. 15-27.

Page 114: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

113

2

Aparatur yang

diserahi wewenang

itu adalah aparatur

pemerintah daerah

otonom.

Aparat yang

menyelenggarakan

urusan itu adalah

pejabat pemerintah

pusat yang ada di

daerah.

Yang ditugaskan

adalah pemerintah

daerah otonom.

3

Penyelenggaraan

urusan-urusan

otonom itu dilakukan

atas dasar inisiatif

sendiri atau kebijakan

pemerintah daerah

otonom.

Sifat

penyelenggaraan itu

hanya menjalankan

kebijaksanaan

pemerintah pusat,

inisiatif ada pada

pemerintah pusat.

Aparat di daerah

hanya bersifat

administratif belaka.

Dalam

penyelenggaraan

urusan itu

berdasarkan petunjuk

pemerintah pusat.

4

Hubungan antara

pemerintah pusat

dengan daerah

otonom adalah

hubungan

pengawasan.

Hubungan antara

pemerintah pusat

dengan aparat di

daerah adalah

hubungan

menjalankan

perintah.

Hubungan antara

yang memberi tugas

dan yang ditugaskan

adalah hubungan

menjalankan

perintah.

5

Sumber pembiayaan

urusan otonom itu

adalah keuangan

daerah otonom itu

sendiri yang

dituangkan dalam

Anggaran Pendapatan

Sumber

pembiayaanya adalah

dari pemerintah

pusat (APBN).

Sumber pembiayaan

urusan tersebut

berasal dari yang

memberi tugas, dan

yang ditugasi

berkewajiban

memberi

Page 115: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

114

dan Belanja Daerah

(APBD).

pertanggungjawa-

ban.

Sumber : Diolah dari Buku Tatanegara Seri Pemerintah Lokal, Joeniartho, 1967.

Ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan secara vertikal ini selalu ada

terutama dalam negara yang memiliki wilayah yang luas, termasuk di Indonesia sejak

kemerdekaan sampai sekarang. Yang kemungkinan berbeda-beda adalah pada substansi

wewenang yang diserahkan kepada pemerintah daerah otonom, dan perihal tersebut

berkaitan dengan otonomi daerah.

F. Ajaran tentang Pengisian Otonomi Daerah

Berikut ini dibahas mengenai ajaran tentang pengisian otonomi daerah.

Terdapat tiga macam ajaran otonomi daerah yakni ajaran otonomi materiil, ajaran

otonomi formil dan ajaran otonomi riil atau otonomi nyata. Berikut akan dijabarkan

secara singkat perihal ketiga ajaran tersebut.

1) Ajaran Otonomi Materiil

Ajaran ini pada pokoknya bertitik tolak pada pandangan bahwa ada perbedaan

kakekat yang prinsipil antara tugas yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan apa

yang dilakukan oleh pemerintah daerah otonom. Adapun perlu digarisbawahi bahwa

berkaitan dengan urusan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan segala

urusan yang dapat dikerjakan oleh daerah otonom secara materiil sangat berbeda.233

Urusan-urusan yang diserahkan pada daerah otonom harus dirinci dengan tegas dalam

undang-undang pembentukan daerah otonom tersebut, sehingga tidak mungkin untuk

ditambah atau dikurangi.

2) Ajaran Otonomi Formil

Ajaran ini adalah kebalikan dari ajaran otonomi materiil yang didasarkan pada

pandangan bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara urusan yang dapat dilakukan oleh

pemerintah pusat dengan urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah

233

Joeniartho, op.cit., hlm. 30 dan bandingkan pula dengan Mohammad Koesnardi

dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 254.

Page 116: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

115

otonom, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dapat saja melakukan urusan

tersebut, namun atas dasar pertimbangan daya guna dan hasil guna , maka urusan-urusan

tertentu diserahkan kepada daerah otonom, dengan menekankan bahwa urusan tersebut

harus dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang jelas. Jadi,

pertimbangan utama ditekankan pada efisiensi dan efektivitas pemerintahan,

kemungkinan untuk menambah atau mengurangi urusan yang diserahkan kepada daerah

otonom tetap ada berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitasnya.234

3) Ajaran Otonomi Riil atau Otonomi Nyata

Ajaran ini menekankan pada suatu prinsip bahwa pemberian otonomi kepada

daerah otonom didasarkan atas pertimbangan kondisi nyata, kebutuhan serta kemampuan

daerah otonom untuk menyelenggarakan urusan tertentu, di samping pertimbangan

efisiensi dan efektivitas. Penerapan ajaran tersebut ditempuh dengan cara pemberian

urusan pangkal pada saat terbentuknya daerah otonom tersebut, kemudian berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan keadaan dan kebutuhan nyata, urusan tersebut dapat

ditambah atau ditarik kembali oleh pemerintah pusat.235

Adapun prinsip otonomi nyata tersebut sudah dianut Indonesia dalam beberapa

peraturan perundang-undangan sebagai berikut236

.

� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 dengan otonomi yang

seluas-luasnya.

� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 dengan prinsip

otonomi nyata dan bertanggungjawab237

.

� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 dengan prinsip

otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab238

.

234

Baca dalam Joeniartho, op.cit., hlm. 31. 235

Lihat Joeniartho, op.cit., hlm. 32. 236

Lihat dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 75-103. 237 Lihat dalam Penjelasan Bagian I Umum huruf f dalam Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi,”Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah

pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada

otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak,...“. Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal diundangkan pada tanggal 7

Mei 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839.

Page 117: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

116

� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004239

, sebagaimana telah

diubah melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005240

dan

terakhir, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008241

dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya242

.

� Demikian halnya dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2014243

sebagaimana telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014244

yang kemudian

menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015245

dan terakhir,

238

Lihat dalam Penjelasan Bagian I Umum huruf f dalam Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi,”Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah

pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada

otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian

kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja

dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab ...“. Baca dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal diundangkan pada

tanggal 7 Mei 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839. 239

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4437. 240

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548. 241 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada

tanggal 28 April 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844. 242 Baca dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (2) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 juncto Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 yang berbunyi,”Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya ...“. 243

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5587. 244

Lihat dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5589. 245

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 2

Februari 2015, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657.

Page 118: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

117

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015246

dengan prinsip

otonomi seluas-luasnya247

.

3. Konsep Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Dalam membahas Konsep Otonomi Daerah pada pokok bahasan ini akan

dibatasi dengan melihat dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.

Dimana kedua peraturan perundang-undangan tersebut merupakan

implementasi dari Amanat Pasal 18 dan Pasal 18 A Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945248

, baik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan undang-undang perubahannya serta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, sebagaimana menjadi hukum positif menggantikan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 beserta undang-undang perubahannya.

1) Konsep Otonomi Daerah dari Perspektif Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2004249

Adapun yang dimaksud dengan Otonomi Daerah menurut Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 yakni dapat dilihat dari Bab I Ketentuan

246

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada

tanggal 18 Maret 2015, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015

Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679. 247

Baca dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (2) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015

juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 yang berbunyi,”Pemerintahan

Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan

perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi

seluas-luasnya ...“. 248 Lihat dalam Bab VI Pemerintahan Daerah Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 133-

134. 249 Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4437 serta baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 335-340.

Page 119: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

118

Umum Pasal 1 Angka (5) yang berbunyi,”hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom250

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan“, yang dalam hal

dapat dilihat erat kaitannya dengan tiga asas pemerintahan daerah yakni Asas

Desentralisasi251

, Asas Dekonsentrasi252

serta asas tugas pembantuan253

dengan tidak

meniadakan asas otonomi yang dianut yakni asas otonomi seluas-luasnya254

, yang bila

ditelusuri lebih lanjut dapat dikaitkan juga dengan urusan pemerintahan sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

tersebut.

Berikut adalah paparan terkait Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang ditentukan sebagai berikut.

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini

ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

250

Lihat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (6) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi,”Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia“. 251

Lihat dalam Pasal 1 Angka (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

yang berbunyi,”Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia“. 252

Lihat dalam Pasal 1 Angka (8) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

yang berbunyi,”Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”. 253

Lihat dalam Pasal 1 Angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

yang berbunyi,”Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari

pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa

untuk melaksanakan tugas tertentu “. 254

Lihat dalam rumusan definisi Pemerintahan Daerah dijelaskan secara eksplisit terkait

prinsip otonomi daerah yakni prinsip seluas-luasnya sebagaimana kutipan Pasal 1 Angka (2) Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi,”Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“.

Page 120: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

119

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian

urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di

daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau

pemerintahan desa.

Dilihat dari ketentuan Pasal 10 Ayat (1), (2) dan (3) pada Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, sering kali orang menafsirkan

bahwa urusan pemerintahan yang lain merupakan kewenangan Pemerintah Daerah255

.

Dalam hal ini, prinsip Otonomi yang seluas-luasnya dibuka dengan catatan bahwa

Pemerintah Daerah mampu melaksanakan sesuai dengan prinsip yang ditentukan dalam

Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut.

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,

akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar

susunan pemerintahan.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara Pemerintah dan

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan

daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu system

pemerintahan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang

diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang, bersifat wajib yang berpedoman

pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan

oleh Pemerintah.

255

Baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 330-331.

Page 121: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

120

Sementara untuk urusan pemerintahan selain 6 (enam) urusan Pemerintahan

tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan menentukan urusan pemerintahan seperti

yang diatur dalam Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2004 sebagai berikut.

(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar

urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil

Pemerintah; atau

c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau

pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

2) Konsep Otonomi Daerah dari Perspektif Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2014256

Kemudian, selang satu dasawarsa pelaksanaan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang perubahannya, muncul

perubahan pasca gejolak dimasyarakat, dengan kemunculan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyangkut

pelaksanaan Pasal 18 khususnya Bab VI Pemerintahan Daerah dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui kajian pasal-pasal berikut dari

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi daerah pada Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 ini dapat disimak pada Bab I Ketentuan

Umum Pasal 1 Angka (6) yang berbunyi,”Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan

dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia“ yang dalam hal ini erat kaitannya dengan tiga asas otonomi257

daerah

sebagaimana juga dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

256 Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5587. 257 Lihat dalam Pasal 1 Angka (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

yang berbunyi,”Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan

Otonomi Daerah“.

Page 122: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

121

yakni asas Desentralisasi258

, asas Dekonsentrasi259

, serta asas Tugas Pembantuan260

dan

Dalam hal ini, prinsip Otonomi yang seluas-luasnya261

, sehingga tidaklah dapat

dipisahkan dengan urusan pemerintahan yang mana dalam Undang-undang ini

dirumuskan dalam Bab IV Urusan Pemerintahan yang dimulai dari Pasal 9 sampai

dengan Pasal 25 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 yang akan

dibahas dalam kajian ini.

Berikut adalah terkait Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang ditentukan sebagai berikut.

BAB IV

URUSAN PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu

Klasifikasi Urusan Pemerintahan262

Pasal 9

(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan

pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

258

Lihat dalam Pasal 1 Angka (8) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

yang berbunyi,”Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah

otonom berdasarkan Asas Otonomi“. 259

Lihat dalam Pasal 1 Angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

yang berbunyi,”Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah

tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan

umum“. 260 Lihat dalam Pasal 1 Angka (11) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

yang berbunyi,”Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk

melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari

Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi“. 261 Lihat dalam rumusan definisi Pemerintahan Daerah dijelaskan secara eksplisit

terkait prinsip otonomi daerah yakni prinsip seluas-luasnya sebagaimana kutipan Pasal 1 Angka (2)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi,”Pemerintahan Daerah

adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan

rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya

(ditebalkan oleh penulis) dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“. 262 Lihat dalam Pasal 1 Angka (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

yang berbunyi,”Urusan Pemerintahan adalan kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden

yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk

melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat“.

Page 123: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

122

(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan

Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan

Daerah kabupaten/kota.

(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar

pelaksanaan Otonomi Daerah.

(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Dalam hal ini, Pemerintah Daerah memiliki urusan pemerintahan yang kembali

dijabarkan menjadi tiga yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan

konkuren serta urusan pemerintahan umum, yang ditentukan dalam Pasal 10 sampai

dengan Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.

Berikut akan dipaparkan kutipan dari Pasal 10 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 yang berkaitan dengan urusan Pemerintahan Absolut,

yakni sebagai berikut.

Bagian Kedua

Urusan Pemerintahan Absolut

Pasal 10

(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)

meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Pemerintah Pusat:

a. melaksanakan sendiri; atau

b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur

sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

Page 124: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

123

Kemudian berkaitan dengan urusan pemerintahan konkuren, berikut adalah

kutipan dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2014 sebagai berikut.

Bagian Ketiga

Urusan Pemerintahan Konkuren

Pasal 11

(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal ayat (3) yang

menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib263

dan Urusan

Pemerintahan Pilihan264

.

(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas

Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan

Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya

merupakan Pelayanan Dasar.

Pasal 12

(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan

f. sosial.

(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

c. pangan;

263

Lihat dalam Pasal 1 Angka (14) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

yang berbunyi sebagai berikut,”Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib

diselenggarakan oleh semua Daerah“. 264 Lihat dalam Pasal 1 Angka (15) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

yang berbunyi,”Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh

Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah“.

Page 125: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

124

d. pertanahan;

e. lingkungan hidup;

f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;

g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;

h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;

i. perhubungan;

j. komunikasi dan informatika;

k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;

l. penanaman modal;

m. kepemudaan dan olah raga;

n. statistik;

o. persandian;

p. kebudayaan;

q. perpustakaan; dan

r. kearsipan.

(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)

meliputi:

a. kelautan dan perikanan;

b. pariwisata;

c. pertanian;

d. kehutanan;

e. energi dan sumber daya mineral;

f. perdagangan;

g. perindustrian; dan

h. transmigrasi.

Pasal 13

(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah

provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)

didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan

strategis nasional.

Page 126: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

125

(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi

atau lintas negara;

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau

e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.

(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah

kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah Provinsi.

(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah

kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Pasal 14

(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi

dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.

(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan

Daerah kabupaten/kota.

(3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Page 127: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

126

(4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi

dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.

(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari

penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6) Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan

adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis

pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai

dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.

Pasal 15

(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah

provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

(2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-

Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang

penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan

konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan

dengan peraturan presiden.

(4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah

Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada

tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan

pemerintah.

(5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak

bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

Pasal 16

(1) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:

a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan

Urusan Pemerintahan; dan

b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah

Page 128: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

127

Pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Daerah.

(3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.

(4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan dengan kementerian

terkait.

(5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah

mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.

Pasal 17

(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(2) Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan

oleh Pemerintah Pusat.

(3) Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tidak mempedomani norma, standar,

prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat

membatalkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (5) Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria,

penyelenggara Pemerintahan Daerah melaksanakan Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Daerah.

Pasal 18

(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan

Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 ayat (3).

(2) Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan

dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada

standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal diatur dengan

peraturan pemerintah.

Pasal 19

(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat

diselenggarakan:

a. sendiri oleh Pemerintah Pusat;

Page 129: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

128

b. dengan cara melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atau

kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah berdasarkan asas Dekonsentrasi; atau

c. dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan.

(2) Instansi Vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibentuk setelah

mendapat persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(3) Pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut

dan pembentukan Instansi Vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas

disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak

memerlukan persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).

(4) Penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah berdasarkan asas Tugas

Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan

menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

(5) Peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Pasal 20

(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi

diselenggarakan:

a. sendiri oleh Daerah provinsi;

b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan;

atau

c. dengan cara menugasi Desa.

(2) Penugasan oleh Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas

Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepada Desa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan gubernur

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota

diselenggarakan sendiri oleh Daerah kabupaten/kota atau dapat ditugaskan sebagian

pelaksanaannya kepada Desa.

(4) Penugasan oleh Daerah kabupaten/kota kepada Desa sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) ditetapkan dengan peraturan bupati/wali kota sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diatur

dalam peraturan pemerintah.

Pasal 22

(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam melaksanakan Tugas

Pembantuan.

Page 130: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

129

(2) Kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terkait dengan

pengaturan mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan di Daerahnya.

(3) Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disediakan oleh yang menugasi.

(4) Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disampaikan oleh

kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan

penyampaian rancangan APBD dalam dokumen yang terpisah.

(5) Laporan pelaksanaan anggaran Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah

penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian laporan

keuangan Pemerintah Daerah dalam dokumen yang terpisah.

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diatur dengan

peraturan pemerintah.

Pasal 24

(1) Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama Pemerintah Daerah

melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan

Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang diprioritaskan oleh setiap

Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.

(2) Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan

Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan peraturan menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.

(3) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan

Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan intensitas

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar

berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah.

(4) Pemetaan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan untuk menentukan Daerah yang mempunyai Urusan Pemerintahan Pilihan

berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan.

(5) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan

Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

digunakan oleh Daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan

penganggaran dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah.

(6) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan

Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

digunakan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian sebagai dasar

untuk pembinaan kepada Daerah dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang

tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan secara

nasional.

Page 131: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

130

(7) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan

Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan serta pembinaan kepada Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) dikoordinasikan oleh Menteri.

Kemudian berkaitan dengan Urusan Pemerintahan Umum dapat dilihat pada

kutipan Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 berikut.

Bagian Keempat

Urusan Pemerintahan Umum

Pasal 25

(1) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5)

meliputi:

a. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka

memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan

dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;

c. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan

lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;

d. penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah

Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang

timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan,

keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan

g. pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan

Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.

(2) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh

gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja masing-masing.

(3) Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), gubernur dan bupati/wali kota dibantu oleh Instansi Vertikal.

(4) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum, gubernur bertanggung jawab

kepada Presiden melalui Menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada

Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(5) Gubernur dan bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum

dibiayai dari APBN.

Page 132: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

131

(6) Bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) pada tingkat Kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada

camat.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan

pemerintah.

Sehingga dengan demikian tampak perkembangan dan dinamika terkait konsep

Otonomi Daerah khususnya berkaitan dengan urusan pemerintahan yang disebutkan

secara eksplisit dalam Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18 dan Pasal 18A Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kemudian dijabarkan dalam

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, namun demikian telah

diubah lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.

3) Konsep Otonomi Daerah dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 38 Tahun 2007265

Konsep Otonomi Daerah yang dikaji dari Peraturan Pemerintah ini266

yakni

mengenai pembagian kewenangan antara Pemerintah (Pusat), Propinsi, dan

Kabupaten/Kota, bahwa Pemerintah Pusat sebagai pemerintahan tertinggi di Negara

Kesatuan Republik Indonesia, tetap memiliki kewenangan menentukan seperti ketentuan

Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004.

Adapun yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi

pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan

pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi

kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan

265

Baca lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82. 266

Penulis mendasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007

tetap dicantumkan dalam buku ini dikarenakan masih menjadi peraturan perundang-undangan pemerintahan

daerah yang masih berlaku, dimana belum ada Peraturan Pemerintah terkait yang menjadi penjabaran dari

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014, yakni melalui Pasal 407 yang berbunyi,”Pada saat

Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung

dengan Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.“ dan Pasal

408 yang berbunyi sebagai berikut,”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku

sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.“.

Page 133: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

132

menyejahterakan masyarakat267

, dimana urusan pemerintahan tersebut dibagai menjadi

urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi pertama, kewenangan Pemerintah baik

urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal

nasional, dan agama serta kedua, urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar

tingkatan dan/atau susunan pemerintahan268

. Adapun urusan pemerintahan yang dibagi

bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah terdiri atas 31 (tiga

puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi bidang-bidang berikut yang

divisualisasikan melalui tabel dibawah ini.

Tabel 2. Urusan Pemerintahan yang Dibagi Bersama Antar Tingkatan Dan/Atau

Susunan Pemerintahan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38

Tahun 2007

No. Jenis

Urusan No.

Jenis

Urusan No.

Jenis

Urusan No.

Jenis

Urusan

1 pendidikan

9 Pertanahan 17

Kebuda-

yaan dan

pariwisata

25 Perpusta-

kaan

2 kesehatan 10

Kependu-

dukan dan

catatan

sipil

18

Kepemu-

daan dan

olah raga

26

Komuni-

kasi dan

informa-

tika

3 pekerjaan

umum 11

Pemberda-

yaan

perempuan

dan

19

kesatuan

bangsa dan

politik

dalam

27

pertanian

dan

ketaha-

nan

267

Baca dalam Pasal 1 Angka (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 268 Lihat dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Page 134: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

133

perlindu-

ngan anak

negeri pangan

4 perumahan 12

keluarga

berencana

dan

keluarga

sejahtera

20

otonomi

daerah,

pemerin-

tahan

umum,

adminis-

trasi

keuangan

daerah

28 Kehuta-

nan

5 penataan

ruang 13 sosial 21

perangkat

daerah,

kepega-

waian, dan

persandian

29

energi

dan

sumber

daya

mineral

6

Perenca-

naan

pembangu-

nan

14

Ketenaga-

kerjaan dan

ketransmigr

asian

22

Pemberda-

yaan

masyara-

kat dan

desa

30

kelautan

dan

perikana

n

7 Perhubu-

ngan 15

koperasi

dan usaha

kecil dan

menengah

23 statistik 31

Perda-

gangan

dan

perin-

dustrian

8 lingkungan 16 Penana- 24 kearsipan

Page 135: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

134

hidup man modal

Dalam hal ini, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam

sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945269

.

C. Kesimpulan

Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwasanya dalam konteks wilayah

negara dalam perspektif Hukum Tata Negara dapat dilihat dari kajian lazimnya termasuk

dari pandangan Hukum Internasional yang terdiri dari wilayah daratan, wilayah udara,

serta wilayah perairan. Dimana ketiga wilayah tersebut bila dikaitkan dengan Indonesia,

tetap mengacu pada konsep Negara Kepulauan yang telah diamanatkan secara khusus

dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dalam

Peraturan Perundang-undangan terkait yang dapat dijadikan rujukan bilamana berbicara

terkait konsep kewilayahan Nasional di Indonesia.

Kemudian diuraikan pula perihal konsep otonomi daerah, Negara Kesatuan

Republik Indonesia tetap memegang teguh prinsip Negara Kesatuan dan secara

konsekuen melaksanakan Otonomi Daerah baik asas-asas terkait, prinsip yang dianut

maupun praktik ketatanegaraan dalam tinjauan yuridis pada produk peraturan

perundang-undangan terkait sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-undangan

terkait dengan Pemerintahan Daerah di Indonesia yang mengkhusus berkembang dari

awal kemerdekaan hingga masa dewasa ini.

269 Baca dalam Pasal 1 Angka (2) dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Page 136: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

135

DAFTAR BACAAN

PB III. OTONOMI DAERAH

Sumber Literatur

Anonymous, 2003, Indonesia Membangun Jilid I, Jakarta : Duta Sari Warna.

__________, 2003, Indonesia Membangun, Jilid II, Jakarta : Duta Sari Warna.

__________, 2003, Indonesia Membangun Jilid III, Jakarta : Duta Sari Warna.

Asshidiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan

Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia.

_______________, 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan

Kedua, Jakarta : Bhuana Inti Populer.

_______________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar

Grafika.

Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar Grafika.

Diantha, I Made Pasek, 1993, Seri Hukum Laut Internasional, Analisis

Negara Kepulauan dan Landas Kontinen dalam Perspektif Indonesia, Denpasar :

Kayumas Agung.

Huda, Ni’matul, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta

: Rajawali Grafindo Press.

Koesnardi, Mohammad dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum

Tatanegara Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta : Pusat Studi Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I Bentuk Negara dan Pemerintahan,

Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Page 137: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

136

____________________________, 2011, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003, Cetakan

Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Mauna, Boer, 2011, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam

Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Bandung : Alumni.

MD., Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Pertama,

Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

Irawan, Budi, 1986, Wawasan Nusantara, Cetakan Pertama, Jakarta : Bina Cipta.

Joeniartho, 1967, Seri Ilmu Hukum Tatanegara : Pemerintah Lokal,

Yogyakarta : Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada.

_________, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cetakan Kedua,

Jakarta : Penerbit Aksara Baru.

Pakpahan, Muchtar, 2010, Ilmu Negara dan Politik, Jakarta : Bumi Intan

Sejahtera.

Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:

Dian Rakyat.

Ranawijaya, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta

: Ghalia Indonesia.

Schmid, Jhr.Dr.JJ von, 1980, Groot Denker Over Staats En Rechts (van

Plato tot Kant), Terjemahan oleh Wiranto, R. Djamaluddin Dt Singomangkuto dan

Djamadi, dengan judul: Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum.

Cetakan Kelima, Jakarta : PT. Pembangunan.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-

1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

__________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,

1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

__________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia

Merdeka, 1965-1974, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

__________________________________, 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan

Sidang PPKI Tanggal 29 Mei-18 Agustus 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat

Negara Republik Indonesia.

__________________________________, 1995, 50 Tahun Indonesia

Merdeka, 1975-1995, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Page 138: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

137

Wahjono, Padmo, 1966, Diktat Ilmu Negara, Jakarta : Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

Wajong, J., 1975, Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta :

Penerbit Djambatan.

Artikel, Makalah dan Sumber Ilmiah Terkait

Makalah, Dr. Putu Sukaatmadja, SE., MP., et.al. dalam Seminar Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas

Udayana, dan Diskusi dengan Prof. Dr. John Pieris serta I Gede Pasek Suardika, SH.,

MH. bertema “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat melalui Kinerja Dewan

Perwakilan Daerah“ di Hotel Inna Grand Bali Veteran, Denpasar pada 8 Juni 2016.

Peraturan Perundang-undangan Terkait

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945 tentang

Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, diundangkan pada tanggal

23 November 1945.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah

yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, diundangkan pada

tanggal 10 Juli 1948.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-

pokok Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Januari 1957, diumumkan

ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1143.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-

pokok Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 1 September 1965,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2778.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-

pokok Pemerintahan di Daerah, diundangkan pada tanggal 23 Juli 1974, diumumkan

ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999, diumumkan ke dalam

Page 139: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

138

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4548.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

diundangkan pada tanggal 28 April 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4844.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5587.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Februari 2015, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5657.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5679.

Page 140: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

139

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

V/MPR/1999.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

I/MPR/2003.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif

Negara di Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai dengan Undang-Undang Dasar

1945.

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5589.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi,

dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959 dan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75.

Berita Negara Republik Indonesia Nomor II Tahun 1946.

Maklumat Nomor 18 Tahun 1946 tanggal 18 Mei 1946.

Konvensi Internasional dan Produk Hukum Internasional Terkait

Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone (Konvensi tentang

Laut Teritorial dan Zona Tambahan).

Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Bebas).

Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the

High Seas (Konvensi tentang Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan

Sumber-sumber Hayati Laut Bebas).

Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Dataran

Kontinental).

UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea).

Page 141: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

140

Page 142: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

141

PB. IV

PARTAI POLITIK

A. Konsep Kekuasaan Negara dan Pembagian Kekuasaan Negara dalam Tinjauan

Ketatanegaraan

Negara dilihat dari sudut kekuasaan atau politik merupakan suatu sistem

kekuasaan. Pengertian kekuasaan adalah suatu kemampuan seseorang atau kelompok

manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok orang lain

sedemikian rupa sehingga tingkah laku seseorang atau kelompok orang tersebut menjadi

sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kemampuan itu270

. Gejala

kekuasaan itu adalah gejala yang lumrah terdapat pada setiap masyarakat.

Menurut K.F Flechthiem, yang dimaksud dengan kekuasaan yakni sebagai

berikut271

.

“Kekuasaan adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan, dan

proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan yang ditetapkan

oleh pemegang kekuasaan”.

Sedangkan, RM. Mac Iver, memberikan definisi dari kekuasaan dari segi

konsep kekuasaan sosial sebagai berikut272

.

“Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku

orang lain baik secara langsung dengan cara memberi perintah maupun tidak langsung

dengan mempergunakan alat dan cara yang tersedia”.

270

Baca dalam Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta :

Sinar Grafika, hlm. 134-135. 271 Baca lebih lanjut dalam Miriam Budiardjo, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik,

Jakarta : Gramedia, hlm. 155-156. 272

Lihat Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 157.

Page 143: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

142

Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum

(pemerintah) baik dalam proses terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan

tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri. Dalam hal ini, kekuasaan pada dasarnya

adalah suatu hubungan yang didasarkan atas ketidaksamaan, dimana kekuasaan dalam

Negara selalu berbentuk piramida, yang diakibatkan oleh karena adanya kenyataan

bahwa kekuasaan yang satu lebih unggul dari kekuasaan yang lain, dan kekuasaan yang

unggul selalu mengsubordinasi kekuasaan- kekuasaan lain273

.

Adapun sumber-sumber Kekuasaan bisa didasarkan pada perihal berikut yakni

Kekuasaan Fisik, Kedudukan atau jabatan, Kekayaan, Kepercayaan, sementara bentuk

lain kekuasaan sering dikenal istilah-istilah tertentu diantaranya pengaruh, dominasi,

hubungan atau relasi, kontrol dan lain-lain yang mirip dengan itu.

Kemudian, ciri-ciri dari kekuasaan Negara yakni sebagai berikut274

.

Adanya unsur kekuatan memaksa, misalnya memungut pajak, menghukum mati

orang, memenjarakan orang dan perihal lain sebagainya.

Negara memiliki monopoli kekuasaan dalam menetapkan tujuan bersama dalam

masyarakat termasuk melarang suatu keyakinan atau paham tertentu seperti

komunisme ataupun tergabung dalam Partai Komunis Indonesia275

.

Sifat kekuasaan Negara mencakup semua orang tanpa kecuali, dimana setiap

peraturan negara berlaku bagi semua orang.

273 Baca dalam Abu Daud Busroh, op.cit., hlm. 136-137. 274

Simak lebih lanjut dalam I Made Sucipta, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan,

Jilid I, Edisi Revisi, Singaraja : Petada Pasi Grafika, (selanjutnya disebut sebagai I Made Sucipta I),

hlm. 19-21. 275 Ketentuan tersebut ditegaskan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai

Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik

Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau

Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, yang dalam hal ini tergolong

Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomr I/MPR/2003 yakni

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal tersebut dinyatakan tetap berlaku.

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis

Permusyawaratan Rakyat, hlm. 8-9, 37-46.

Page 144: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

Kemudian, berbicar

menjadi dua bagian besar ya

Suprastruktur politik

ditentukan dalam Kon

Rakyat, Dewan Perwa

Kepala Desa yang m

Sehingga sering juga

pemerintahan.

Infrastruktur politik ada

dalam masyarakat. K

Kelompok Kepentingan

Alat komunikasi politi

(Political figure).

Dalam hal ini, hubu

saling mempengaruhi277

, dim

melalui peraturan perundang

politik sangat mempengaruhi

negara demokrasi. Adapun h

pemilihan umum yang diselen

Gambar 1. Struktur kekuas

276

Baca dalam I Ma

Revisi, Singaraja : Petada Pasi Grafi277

Dalam Miriam Bu

erbicara tentang struktur Kekuasaan Negara, maka

ar yakni sebagai berikut276

.

adalah struktur di atas permukaan yang keb

Konstitusi Negara seperti halnya Majelis Permu

erwakilan Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung, s

ang merupakan lembaga-lembaga negara dan pe

juga disebut sebagai Struktur formal atau sebag

adalah struktur di bawah permukaan yang keberad

at. Komponennya antara lain yakni Partai-par

ntingan (interest groups), Kelompok Penekan (Pressu

politik (media massa atau mass media), Tokoh-

ubungan antara suprastruktur politik dan infrastru

dimana suprastruktur politik mengatur infrastru

ndang-undangan atau kebijakan lainnya, sementara i

garuhi berjalannya suprastruktur politik, terutama dal

apun hubungan yang paling nyata yakni pada adan

diselenggarakan secara periodik.

ekuasaan negara

I Made Sucipta, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, J

Grafika, (selanjutnya disebut sebagai I Made Sucipta II)

m Budiardjo, op.cit., hlm. 158.

143

aka dapat dibagi

g keberadaannya

ermusyawaratan

, sampai pada

an pemerintahan.

sebagai struktur

eberadaannya ada

partai politik,

ressure groups),

-tokoh Politik

frastruktur politik

frastruktur politik

ntara infrastruktur

ma dalam konteks

adanya lembaga

n, Jilid II, Edisi

ta II), hlm. 35-39.

Page 145: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

144

Dari uraian tersebut di atas, nampak bahwa partai politik berada pada struktur

kemasyarakatan dan pemilihan umum merupakan jembatan antara suprastruktur politik

dengan infrastruktur politik.

B. Partai Politik

1) Definisi Partai Politik

Partai politik pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terorganisir, di

mana para anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, dengan

tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dengan merebut jabatan-jabatan politik

secara konstitusional lewat pemilihan umum278

.

Menurut Carl J. Friederich279

, Partai politik adalah sekelompok manusia yang

terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan

terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini

memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.

Kemudian menurut R.H. Soltau280

, yang dimaksud dengan Partai politik

adalah sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak

sebagai suatu kesatuan politik dan yang “dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk

memilih” bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan

umum mereka.

Sedangkan, Sigmund Newmann281

memberikan definisi dari Partai politik

yakni sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai

278 Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160. 279 Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160-161. 280

Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 161. 281

Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 161-162.

Page 146: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

145

kekuaaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan

suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Dan menurut I Dewa Gede Atmadja282

, Partai Politik adalah organisasi yang

dibentuk secara sukarela oleh sekelompok warga negara berdasarkan persamaan

ideologi, cita-cita atau persamaan orientasi pada program.

Bilamana ditinjau dari perspektif peraturan perundang-undangan, maka dapat

disimak dari Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 1999283

, yang berbunyi,”Dalam undang-undang ini yang

dimaksud dengan Partai adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara

Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk

memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui

pemilihan umum“.

Kemudian, bilamana ditinjau dari Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002284

yang berbunyi,”Partai Politik

adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik

Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk

memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui

pemilihan umum“.

Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2008285

sebagaimana diubah dalam Undang-undang Republik

282

Baca lebih lanjut dalam I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara, Dimensi

Historis Ketatanegaraan, Malang : Setara Press, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede Atmadja

I), hlm. 118-119. 283 Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999

tentang Partai Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3809. 284 Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang

Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4251. 285 Baca Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.

Page 147: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

146

Indonesia Nomor 2 Tahun 2011286

yang berbunyi,”Partai Politik adalah organisasi yang

bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela

atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela

kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“.

2) Perbedaan Parpol dengan Gerakan dan Kelompok Kepentingan atau Kelompok

Penekan

Perbedaan partai politik dengan suatu gerakan yakni bahwa suatu gerakan

merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada

lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tatanan

masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Dibandingkan

partai politik, gerakan memiliki tujuan yang lebih terbatas dan bersifat fundamental, dan

kadang-kadang bersifat ideologis. Gerakan dalam memperjuangkan tujuannya biasanya

tidak melalui pemilihan umum287

.

Kelompok Penekan sebenarnya adalah sama dengan kelompok kepentingan,

perbedaannya terletak dalam cara memperjuangkan kepentingannya lebih keras/gencar

dengan melancarkan tekanan kepada pemerintah agar mendapat keputusan yang

menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan kepentingan

kelompoknya288

.

286

Hal-hal perubahan mencakup Pasal 1 Angka (7), ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5)

diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) serta pada ayat (4)

ditambahkan 4 (empat) huruf yakni huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf m, ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat

(2) huruf c, huruf d, dan huruf e diubah, ketentuan Pasal 4 Ayat (1) diubah, ketentuan Pasal 5 diubah, ketentuan

Pasal 16 Ayat (2) diubah, Diantara Pasal 19 ayat (3) dan ayat (4) Pasal 19 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat

(3a), ketentuan Pasal 23 Ayat (2) diubah, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d serta ayat (2) diubah,

dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), ketentuan Pasal 32 diubah, ketentuan

Pasal 33 Ayat (1) diubah, diantara Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a)

dan ayat (3b) serta ayat (4) diubah, di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A,

ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah, ketentuan Pasal 39 diubah, ketentuan Pasal 45 diubah, ketentuan

Pasal 47 Ayat (1) diubah, Ketentuan Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dihapus, di antara

ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b), dan ayat (1c). Baca dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189. 287

Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 158-159. 288

Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 159-160.

Page 148: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

147

Perbedaan Kelompok kepentingan dengan Partai politik adalah di dalam

melancarkan pengaruhnya kelompok kepentingan tidak berusaha merebut jabatan-

jabatan politik bagi anggotanya, melainkan cukup hanya mempengaruhi beberapa partai

politik, pejabat pemerintah, menteri-menteri agar kepentingannya mendapat perhatian289

.

3) Fungsi Partai Politik

Adapun 4 (empat) fungsi utama partai politik dalam negara yakni sebagai

berikut290

.

1)Partai sebagai sarana komunikasi politik dimana partai politik bertugas sebagai alat

komunikasi dua arah yakni menyalurkan aspirasi anggotanya kepada pemerintah

dan sebaliknya menginformasikan segala kebijaksanaan yang telah diambil

pemerintah kepada para anggotanya. Dimana proses penyaluran aspirasi melalui

langkah penggabungan aspirasi (interest aggregation), kemudian diolah dan

dirumuskan dalam bentuk yang teratur (interest articulation), hasil perumusan

kepentingan ini kemudian disampaikan kepada pemerintah.

2)Partai Politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (Instrument of political

socialization). Sosialisasi politik merupakan suatu proses melalui mana seseorang

memperoleh sikap dan orientasi mengenai suatu fenomena politik, yang umumnya

berlaku dalam masyarakat di mana ia berada, Proses ini berjalan secara berangsur-

angsur dari masa anak-anak sampai dewasa, melalui mana orang-orang

mentransfer norma-norma dan nilai-nilai dari generasi ke generasi berikutnya.

Partai politik inilah sebagai salah satu sarana.

3)Partai Politik sebagai sarana recruitment politik. Partai politik berfungsi mencari dan

mengajak orang yang berbakat untuk aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota

partai. Caranya yakni melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Melalui

proses seleksi akan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa di kemudian hari.

289

Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160. 290

Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 163.

Page 149: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

148

4)Partai Politik sebagai sarana manajemen konflik. Dalam suatu negara demokrasi

perbedaan pendapat adalah wajar terjadi. Jika sampai terjadi konflik dalam

masyarakat, partai politik berkewajiban menengahi atau menyelesaikan konflik.

Mengenai perlunya partai politik di dalam negara ada dua kelompok pendapat

ada yang menyatakan sangat perlu dan ada yang mengatakan tidak perlu.291

Adapun yang menganggap perlu, baik Woodrow Wilson (mantan Presiden

AS), A.D. Lindsay, R.M. Mac Iver, Joseph Schumpeter dan Maurice Duverger menilai

eksistensi atau keberadaan Partai Politik secara teoritis sangat diperlukan,

mengemukakan alasan sebagai berikut292

.

(1) Partai politik membuka seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam

kegiatan politik dan pemerintahan.

(2) Paratai Politik dapat mewujudkan pemerintahan yang bertanggungjawab

(Responsible government).

(3) Partai Politik dapat memperjuangkan kepentingan umum.

(4) Partai Politik dapat mencegah kesewenang-wenangan perilaku atau tindakan

pemerintah.

Disisi lain, yang menganggap tidak perlu diantaranya yakni M. Ostrogorsky,

James Bryce, Robert Crowley, dan Puffet, dimana mereka tidak setuju pada eksistensi

partai politik, dengan alasan sebagai berikut293

.

1) Kata “partai” berarti sebaian (part), sehingga adanya partai politik cenderung

menjurus ke arah separatisme, artinya daerah pemilihan masyarakat (electorate)

dipisah-pisahkan, dan loyalitas rakyat terhadap negara menjadi terbelah.

291

I Dewa Gede Atmadja, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),

Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede

Atmadja II), hlm. 77. 292

Lihat lebih lanjut dalam A.S.S. Tambunan, 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun 1975

tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses Pembentukannya; Bandung :

Binacipta, hlm. 4. 293 I Dewa Gede Atmadja, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam Lintasan

Perundang-Undangan, Denpasar : Penerbit Setia Kawan, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede Atmadja

III), hlm. 24.

Page 150: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

149

2) Partai Politik sebagai organisasi cenderung bersifat hirarkhis, birokratis dan

berdisiplin sempit.

3) Partai politik dalam merealisasi ideologi politiknya memerlukan dana yang

biasanya diperoleh dari donatur (investor) sebagai imbalannya partai memberikan

komitmen-komitmen (janji-janji) tetentu, sehingga sering menimbulkan

manipulasi dan korupsi.

4) Partai politik dalam mengurus dan mengendalikan partainya memerlukan tenaga

dan pegawai-pegawai tetap (full timer). Apabila partainya menang dalam

pemilihan umum, maka tenaga tetap itu biasanya melakukan transaksi politik

(politic transaction).

Akan tetapi, dalam negara modern partai poliik dipandang sebagai salah satu

pilar demokrasi dalam rangka pemilihan umum, maka eksistensi partai politik dipandang

suatu keniscayaan.

4. Klasifikasi Sistem Kepartaian

Pengelompokan partai politik ada bermacam-macam kriteria. Ada 3 (tiga)

macam kriteria untuk mengadakan klasifikasi, yakni sebagai berikut294

.

1) Klasifikasi menurut jumlah dan fungsi anggotanya; terdapat partai massa dan

partai kader.

Partai Massa yakni partai yang selalu mendasarkan kekuatannya pada jumlah

anggotanya. Hubungan antara anggota sangat longgar, disiplin dan kualitas

anggota partai tidak atau kurang mendapat perhatian dan pembinaan.

Partai Kader yakni partai yang mementingkan kualitas, loyalitas dan disiplin

anggotanya. Karena itu, untuk menjadi anggota partai perlu seleksi yang ketat, dan

adanya sanksi yang tegas terhadap anggotanya dari pimpinan partai yang

menyimpang dari garis kebijakan partai serta disiplin partai sangat tegas dan

konsekuen, dimana jumlah anggota tidak dijadikan target partai.

294

Lihat dalam Miriam Budiardjo, op.cit. hlm. 166-170.

Page 151: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

150

2) Klasifikasi berdasarkan sifat dan orientasi partai; dimana partai dapat dibedakan

atas 3 (tiga) macam yakni sebagai berikut295

.

Partai Lindungan (Patronage Party).

Umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor. Maksud utama adalah

memenangkan pemilihan umum dengan mencari dukungan dan kesetiaan

anggotanya terutama menjelang pemilihan umum.

Partai asas/Ideologi.

Biasanya mempunyai pandangan hidup (ideologi) yang digariskan dalam kebijakan

pimpinan dan berpedoman pada doktrin dan disiplin partai yang kuat dan mengikat.

Dengan demikian hubungan antar anggota sangat kuat/erat dan ideologinya sangat

kuat.

Partai program.

Merupakan partai yang berorientasi pada program-program yang kongkrit untuk

diperjuangkan menjadi program nasional.

Diakui bahwa klasifikasi atas dasar 1) dan 2) di atas tidak memuaskan karena

bisa saja satu partai politik sekaligus merupakan partai kader dan partai massa, dan

orientasi merupakan partai kader selakigus partai program.

3) Klasifikasi atas dasar Jumlah Partai yang berpengaruh dalam Badan

Perwakilan, bahwa menurut Maurice Duverger, terdiri atas tiga (3) sistem, yakni

sebagai berikut296

.

Sistem satu partai atau Partai Tunggal/Mono Partai.

295

Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 144-145. 296

Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 145-147.

Page 152: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

151

Di mana konsentrasi kekuasaan ada pada satu partai; hanya ada satu partai yang

berkuasa secara dominan. Bilamana ada partai politik lain sifatnya non kompetitif

(tidak boleh bersaing secara bebas). Sistem ini biasanya dianut oleh Negara-negara

komunis.

Sistem dua Partai/Dwi Partai.

Dalam sistem dwi partai diartikan sebagai adanya dua partai atau lebih, tetapi

dengan peranan dominan dari dua partai. Contohnya Inggris dan Amerika Serikat.

Di Inggris ada 3 partai yakni Partai Buruh, Partai Konservatif dan Partai Liberal.

Namun yang dominant adalah partai Buruh dan Konservatif. Sistem dwi partai

akan lebih menjamin stabilitas pemerintahan, karena fungsi partai dalam Badan

Perwakilan adalah sangat jelas. Partai yang menang dalam pemilihan Umum akan

menduduki pemerintahan, dan partai yang kalah akan menjadi oposisi yang loyal.

Menurut Miriam Budiardjo, sistem dwi partai akan berjalan dengan baik bila

didukung oleh adanya Komposisi Masyarakat yang homogen (social

homogeneity), Konsensus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang

pokok adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah. Di samping itu sistem dwi

partai pada umumnya diperkuat dengan sistem pemilihan distrik (single member

constituency), karena sistem pemilihan distrik cenderung menghambat tumbuh dan

berkembangnya partai kecil.

Sistem Multi Partai.

Di mana dalam sistem multi partai ada lebih dari dua partai politik yang

berpengaruh di badan perwakilan rakyat. Sistem ini tumbuh dalam masyarakat

yang komposisinya heterogen. Di mana perbedaan ras, suku, agama adalah sangat

kuat, sehingga kelompok-kelompok dalam masyarakat cenderung mengikatkan

diri pada ikatan-ikatan terbatas (primordial), dan menyalurkan aspirasinya lewat

ikatan-ikatan terbatas tersebut. Contohnya di Indonesia. Sistem multi partai

apabila digandengkan dengan sistem pemerintahan parlementer akan cenderung

menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan karena eksekutif merupakan

pemerintahan koalisi (gabungan lebih dari satu partai) untuk memperoleh

dukungan mayoritas di parlemen. Pemerintah koalisi ini mudah pecah bila ada

sedikit saja perbedaan pendapat antara partai yang berkoalisi. Di samping itu,

Page 153: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

152

tugas partai dalam parlemen menjadi tidak jelas karena suatu saat ia menjadi partai

pemerintah dan saat koalisi pecah ia berubah menjadi partai oposisi. Contoh nyata

dapat dilihat dari pengalaman Indonesia dari Tahun 1950-1959, di bawah Undang-

undang Dasar Sementara Tahun 1950, dalam jangka waktu 9 (sembilan) tahun ada

tujuh kali pergantian kabinet, yang membuktikan eksekutif menjadi labil297

.

Sistem multi partai akan terus berkembang bila didukung oleh sistem pemilihan

proporsional, karena memberi kemungkinan kepada partai kecil terus hidup,

walaupun hanya memperoleh sedikit sekali kursi di dalam parlemen.

5. Sejarah Pengaturan Kepartaian di Indonesia

Adapun sejarah pengaturan partai politik di Indonesia dapat dikelompokkan

dalam penjabaran berikut ini298

.

a) Masa Penjajahan299

Partai politik dibentuk berdasarkan adanya gerakan ethische politiek

dengan memberikan kesempatan di wilayah jajahan membentuk dewan perwakilan

rakyat (Volksraad) Tahun 1939. Partai politik dibentuk dan melakukan perjuangan

lewat Volksraad adalah sebagai berikut.

Indonesiche Nationale Groep dipimpin Moh. Yamin.

Fraksi National di bawah Husni Thamrin.

Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera di bawah Pimpinan Parwoto.

Di luar Volksraad pula terdapat usaha-usaha untuk menggabungkan partai

politik dengan membentuk beberapa organisasi politik berikut.

297

Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia

Merdeka, 1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 65-

70. 298 Baca dalam Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,

Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 135-245. 299

Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 171.

Page 154: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

153

GAPI (Gabungan Partai Politik) yang merupakan gabungan dari partai partai

politik yang beraliran nasional, tahun 1939.

MIAI (Majelis Islam Ala’a Indonesia), yang merupakan gabungan partai-

partai yang beraliran Islam, tahun 1937.

MRI (Majelis Rakyat Indonesia) adalah gabungan partai dari organisasi

buruh.

Massa penjajahan Jepang, partai politik dilarang, hanya golongan-

golongan Islam diberi kebebasan membentuk Partai Masyumi (Majelis Syuro

Muslimin Indonesia). Namun, secara keseluruhan pada masa ini, ditandai dengan

adanya sistem kepartaian yang menganut pola sistem Multi Partai.

b) Masa Kemerdekaan Indonesia, yang dapat diklasifikasi menjadi bagian berikut ini.

� Masa Maklumat Pemerintah Republik Indonesia pada 3 Nopember 1945300

.

Pada masa ini, merupakan cikal-bakal Partai Politik di Indonesia sesudah

kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang diwarnai oleh dua pemikiran

pendiri negara (founding fathers), yakni pertama, pemikiran Bung Karno, yang

mengajukan gagasan pola “partai tunggal” (mono party system) yakni “partai

pelopor”, dengan ditetapkannya Partai Nasional Indonesia sebagai satu-satunya

partai politik yang berperan menggerakkan potensi rakyat, memperkukuh persatuan,

dan pelopor menegakkan kemerdekaan, serta kedua, Sutan Sjahrir (Bung Sjahrir),

gagasannya yakni adanya pola “banyak partai” (multiparty systems), dengan

argumentasi, bahwa partai politik yang ideal untuk menggerakan rakyat dalam

relevansi demokrasi adalah partai politik revolusioner, berideologi, rapi

terorganisasi secara modern, dan efisien. Dan dengan demikian, bagi Bung Sjahrir

yang dibutuhkan Indonesia “partai kader” bukan “partai massa”301

.

Dan dari kedua pemikiran tokoh pendiri negara (founding fathers)

tersebut, gagasan Sutan Sjahrir yang dipandang lebih cocok bagi negara

demokrasi, sehingga pemerintah menganjurkan berdirinya parati-partai politik,

300 Baca I Dewa Gede Atmadja III, op.cit., hlm. 84. 301 Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 119, dan lihat lebih lanjut dalam Rusli

Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali, hlm.

43.

Page 155: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

154

dengan Maklumat Pemerintah No.X (baca eks) yang ditandatangani oleh Wakil

Presiden Republik Indonesia, Drs.Moh.Hatta (Bung Hatta), sehingga lebih dikenal

dengan sebutan Maklumat Wakil Presiden No. X. (3 November 1945), yakni

sebagai dasar hukum sistem multi partai bagi Negara Indonesia.

Maklumat ini merupakan pengumuman dari pemerintah yang berisi usulan

dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), untuk mendirikan

partai-partai politik dengan alasan partai politik akan dapat memperkuat barisan

mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Adapun is dari maklumat tersebut adalah

sebagai berikut.

1) Pemerintah menyukai pembentukan partai-partai politik

2) Pemerintah berharap partai-partai itu terbentuk sebelum pemilihan Badan

Perwakilan Rakyat.

Dari himbuan ini, memunculkan 10 partai politik yakni Masyumi, Partai

Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indonesia, Partai Komunis

Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, Partai Sosialis Indonesia, Partai Katolik Republik

Indonesia, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia302

.

Dengan demikian lahirlah pola sistem kepartaian di Indonesia yang multipartai.

� Masa Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum.

Pada masa ini, dapat dilihat dari hasil penelitian Herbert Feith, yang

menunjukkan terjadi perkembangan atas sistem kepartaian di Indonesia yang multi

partai sebagaimana yang digagas oleh Bung Sjahrir pada awal kemerdekaan, dan

Herbert Feith dikatakan diwarnai oleh lima aliran, yakni sebagai berikut303

.

1) Tradisi Jawa, diantaranya diwakili Partai Indonesia Raya (PIR-

Wongsonegoro).

302

Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia

Merdeka, 1945-1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 35-

37. 303

Baca dalam Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.

Gramedia, hlm. 8-10.

Page 156: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

155

2) Islam, diwakili Partai Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) dan Partai

Nahdhatul Ulama (NU).

3) Nasionalisme radikal, diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai

Rakyat Nasional (PRN).

4) Komunis, diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (melakukan

pemberontakan Madiun pada 18 September 1948 dan 30 September 1965

yang lazim dikenal sebagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia

atau G 30 S/PKI).

5) Sosial demokrat, yang diwakili oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Pada masa ini pula ditandai dengan kemunculan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 1953304

, berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum

Tahun 1955, dan pada undang-undang tersebut, diadakan Pemilihan Umum untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 29 September 1955 serta memilih

Anggota Konstituante pada 18 Desember 1955, dengan jumlah Partai Politik yang

mengikuti Pemilihan Umum tersebut adalah 24 partai politik, untuk merebut 272

kursi, dan pada akhir Pemilihan Umum, perolehan suara terbesar diraih oleh empat

besar yakni Partai Nasional Indonesia dengan 57 kursi, Masyumi dengan 57 kursi,

Nahdatul Ulama dengan 47 kursi, serta Partai Komunis Indonesia dengan 32 kursi,

dan sisa kursi sebesar 75 kursi diperebutkan partai-partai kecil lainnya, dan

kemudian dilantik pada 1 Maret 1956 untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat

serta pada 10 November 1956 untuk anggota Dewan Konstituante yang bekerja

hingga pada munculnya Dekrit Presiden Republik Indonesia pada 5 Juli 1959.

� Masa Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959

Dari sejarah ketatanegaraan Indonesia, terjadinya kegagalan Badan

Konstituante menetapkan Undang-undang Dasar baru memicu keluarnya Dekrit

304 Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953

tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante, diundangkan pada

7 April 1953, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 29.

Page 157: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

156

Presiden Republik Indonesia pada 5 Juli 1959305

, dan terjadi perubahan

ketatanegaraan dari Undang-undang Dasar Sementara 1950 dengan memberlakukan

Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang dikenal dengan sistem Demokrasi

Terpimpin. Selang beberapa minggu, Presiden Jang Mulia (PJM) Dr. (H.C.) Ir.

Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959306

yang

intinya mencakup perihal berikut ini.

Partai politik harus menerima asas Negara Kesatuan Republik Indonesia

menurut Undang-undang Dasar 1945.

Dalam Anggaran Dasar Partai harus dicantumkan dengan tegas partai politik

menerima dan mempertahankan Pancasila.

Partai Politik harus menegaskan bahwa program kerjanya adalah Manifesto

Politik Pidato Presiden 17 Agustus 1959 sebagai penjelasan dari

dikeluarkannya Dekrit Presiden.307

Kemudian di masa ini308

, Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan

Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960309

, yang

kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia

Nomor 440 Tahun 1961310

, bahwa dalam kedua peraturan tersebut, diakui 10

(sepuluh) partai politik dan memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat–Gotong

Royong (DPR-GR) yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdhatul Ulama (NU),

Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik

Republik Indonesia (PKRI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba),

Partai Indonesia (Partindo), serta Golongan Karya, yang merupakan wakil golongan

fungsional yakni tani, buruh, Angkata Bersenjata Republik Indonesia, Alim Ulama,

305

Baca dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959

tentang Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan pada 5 Juli 1959, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150. 306

Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-

syarat Penyederhanaan Kepartaian. Baca lebih lanjut dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 175-177. 307 Lihat dalam Lampiran pada I Dewa Gede Atmadja III, op.cit., hlm. 64-120. 308

Baca lebih lanjut dalam Jimly Asshidiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata

Negara, Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 408-412. 309 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,

Pengawasan, dan Pembubaran Partai. 310

Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun 1961

tentang Pengakuan Partai-partai Politik.

Page 158: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

157

Wanita, Cendekiawan, Koperasi, Pengusaha nasional, Veteran, Wartawan, serta

Angkatan 1945.

Sedangkan Partai-partai yang dibubarkan pada masa ini diantaranya Partai

Masyumi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun

1960311

serta Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 201 Tahun 1960312

, disamping itu, terdapat beberapa partai politik

lainnya yang ditolak dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129

Tahun 1961313

tgl 14 April 1961 diantaranya Partai Syarikat Islam Indonesia

Abikusno Tjokrosuyoso, Partai Rakyat Nasional Bebas Lalung Dalo, Partai Rakyat

Indonesia, dan Partai Rakyat Nasionalis Djodi Gondokoesoemo.

Dan hal tersebut masih terjadi hingga terjadi konstelasi perpolitikan

nasional pada Tahun 1965 dengan terjadinya Pemberontakan Gerakan 30 September

1965, dan kemudian munculnya Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966 hingga

pada runtuhnya masa Orde Lama di Indonesia, dengan kebangkitan masa Orde Baru

di Indonesia.

� Masa Pemilihan Umum Tahun 1971

Dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966, Letjen. (TNI)

Soeharto sebagai pelaksana presidium kabinet mengeluarkan Keputusan Tanggal 12

Maret 1966 yakni dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia beserta ormas-

ormasnya, yang kemudian, pembubaran ini diperkuat dengan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966314

tentang

Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya, serta larangan

penyebarluasan ajaran Marxisme–Leninisme, sehingga muncul semboyan di masa

Orde Baru yakni“melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan

konsekuen”.

311 Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960,

diundangkan pada 17 Agustus 1960. Baca dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 180-181. 312

Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960,

diundangkan pada 17 Agustus 1960. Baca dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 181. 313 Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961,

diundangkan pada 14 April 1961. Baca dalam Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 410-411. 314

Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, Loc.cit.

Page 159: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

158

Dan pada masa ini, kemudian dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-

undangan khususnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969315

serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969316

, dan kemudian

diadakanlah Pemilihan Umum pada tanggal 3 Juli 1971 yang diikuti oleh sepuluh

(10) Partai Politik, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia

(Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),

Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI),

Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat

Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Indonesia (IPKI), serta Golongan Karya

(Golkar).

Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 1971

tersebut, kemudian melakukan fusi/penggabungan dalam fraksi-fraksi yakni adanya

Fraksi Persatuan Pembangunan yang terdiri atas Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin

Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah

Islamiyah; Fraksi Demokrasi Indonesia yang terdiri Partai Nasional Indonesia,

Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik Republik Indonesia, Partai Musyawarah

Rakyat Banyak, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia; serta Fraksi Karya

Pembangunan yakni Golongan Karya, dan adanya dua Fraksi Fungsional yang

melalui pengangkatan yaitu Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan

Fraksi Utusan Daerah317

.

� Masa Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya pada Tahun 1975-

1998.

Fusi ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor

3 Tahun 1975318

, yang menyederhanakan jumlah partai (organisasi sosial politik)

menjadi tiga, yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan dan

315

Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang

Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. 316

Simak Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. 317

Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia

Merdeka, 1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 65-

73 . 318

Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang

Partai Politik dan Golongan Karya.

Page 160: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

159

Golongan Karya. Dimana ketiga Organisasi Sosial Politik ini selain harus menerima

Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai asas, juga masih diakui asas ciri

partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan berasaskan Islam, Partai

Demokrasi Indonesia berasaskan Nasionalisme serta Keadilan Sosial, dan Golongan

Karya yang berasaskan Kerakyatan untuk kesejahteraan bangsa dan keadilan sosial.

Namun, asas ciri ini dihapus dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 1985319

, serta dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1985320

, yang hanya mengenal asas Pancasila sebagai satu-satunya asas partai

politik dan organisasi kemasyarakatan, dan partai diarahkan menjadi partai program,

sehingga dengan kondisi demikian, telah berhasil diadakan pemilihan umum

legislatif setiap lima tahun sekali secara periodik, yaitu tahun 1971, tahun 1977,

tahun 1982321

, tahun 1987322

, tahun 1992, dan terakhir pada tahun 1997323

dengan

hasil pemilihan umum yang senantiasa didominasi oleh Golongan Karya, hingga

pada masa Orde Baru runtuh pada pertengahan Mei 1998.

� Masa Reformasi pada Tahun 1998 sampai saat ini

Diawali oleh krisis moneter, Indonesia dilanda krisis kepercayaan (moral)

terhadap pemerintahan dalam arti luas bersamaan dengan isu penegakan hak asasi

manusia dan penegakan hukum. Khusus terhadap kehidupan partai politik

319

Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. 320 Baca Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan. 321

Terjadi perubahan pengaturan diantaranya dengan Undang-Undang No.2 Tahun

1980 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum

Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan

Undang-Undang No.4 Tahun 1975. 322

Diantaranya diatur dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum

Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-

Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980, Undang-

Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomer 16 Tahun 1969 Tentang

Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1980, serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. 323 Diatur dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985

Page 161: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

160

dikeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999324

Tentang

Partai Politik, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999325

dan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999326

.

Perlu dicatat bahwa dengan adanya Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, menjadi kunci utama untuk membuka kembali

kebebasan membentuk Partai politik dan boleh mencantumkan asas ciri masing-

masing partai, sehingga akhirnya muncul sistem banyak partai, dan pada Pemilihan

Umum Tahun 1999 terdapat 48 Partai peserta Pemilihan Umum, demikian juga

berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002327

, berkurang secara signifikan

sebanyak 24 partai, dari 80 partai politik yang mendaftar, karena ditentukan syarat-

syarat partai politik yang dapat menjadi peserta pemilihan umum yang ikut serta

dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004.328

Kondisi tersebut masih berlangsung dengan adanya rezim Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, dan menghasilkan peserta Pemilihan

Umum Legislatif Tahun 2009 menjadi 36 partai politik dan 6 partai lokal di

Nangroe Aceh Darussalam329

.

Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, terjadi perubahan atas Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, sehingga menghasilkan peserta

324

Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang

Partai Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809. 325

Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

1999 Tentang Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3810. 326

Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang

Tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3811. 327

Baca lebih lanjut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002

Tentang Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4251. 328

Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Perjalanan

dan Profilnya. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003, hlm. 4-5. 329 Baca dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Page 162: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

161

Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 menjadi hanya 12 partai politik dan 4 partai

lokal di Nangroe Aceh Darussalam.

Perlu dicatat, bahwa kondisi sistem multi partai di masa Reformasi

tersebut muncul karena masyarakat Indonesia sangat heterogen, mereka cenderung

melakukan ikatan-ikatan terbatas/primordial, baik berdasarkan kelompok/golongan,

agama, ras maupun kedaerahan.

Page 163: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

162

DAFTAR BACAAN

Buku

Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.

Gramedia.

Asshidiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi

Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

_______________, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-

lembaga Negara, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.

_______________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar

Grafika.

_______________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi

Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

Atmadja, I Dewa Gede, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam

Lintasan Perundang-Undangan, Denpasar : Penerbit Setia Kawan.

__________________, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),

Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.

__________________, 2012, Ilmu Negara, Dimensi Historis

Ketatanegaraan, Malang : Setara Press.

Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.

Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar

Grafika.

________________, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :

Sinar Grafika.

Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan

Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press.

Karim, Rusli, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret

Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali.

Page 164: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

163

Koesnardi, Mohammad, dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum

Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas

Indonesia dan CV Sinar Bhakti.

Koesnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara, Jakarta :

Gaya Media Pertama.

Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004

Perjalanan dan Profilnya. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :

Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.

MD., Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta :

Rajawali Grafindo Press.

Saragih, Bintan R., 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia;

Jakarta : Gaya Media Pratama.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-

1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,

1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,

1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Sucipta, I Made, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid I, Edisi Revisi,

Singaraja : Petada Pasi Grafika.

_____________, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid II, Edisi Revisi,

Singaraja : Petada Pasi Grafika.

Soemantri, Sri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar) Hukum Tata

Negara, Bandung : Alumni.

Suny, Ismail, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara Baru.

Tambunan, A.S.S., 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun 1975 tentang Partai

Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses Pembentukannya; Bandung :

Binacipta.

Page 165: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

164

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang

Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante,

diundangkan pada 7 April 1953, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1953 Nomor 29.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang

Pengubahan Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953,

Lembaran-Negara No. 29 Tahun 1953).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang

Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai

Politik dan Golongan Karya.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum

Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah

Diubah Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum

Page 166: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

165

Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah

Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 1980.

Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomer 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1980.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah,

Terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai

Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3809.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang

Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang

Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai

Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran

Page 167: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

166

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4251.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4310.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4721.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4801.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November

2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009,

Page 168: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

167

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,

diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5189.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan

ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,

Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik

Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk

Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-

Leninisme.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

Nomor XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan

Umum.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang

Pemilihan Umum.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

I/MPR/2003.

Page 169: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

168

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959 tentang

Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan pada 5 Juli 1959, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150.

Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang

Syarat-syarat Penyederhanaan Kepartaian.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960 tentang

Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960,

diundangkan pada 17 Agustus 1960.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960,

diundangkan pada 17 Agustus 1960.

Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun 1961

tentang Pengakuan Partai-partai Politik.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961,

diundangkan pada 14 April 1961.

Page 170: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

169

BAB V

PEMILIHAN UMUM

A. Pemilihan Umum

1) Masalah Perwakilan

Demokrasi menurut J.J. Rousseau dalam bukunya “Du Contract Social”

adalah suatu demokrasi langsung di mana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan

kehendak umum (volonte generale) atau sebagian besar dari warga negara. Dalam

praktik, ajaran Rousseau ini sulit diterapkan karena luasnya wilayah negara, banyaknya

penduduk dengan kepentingan yang beragam, sangat menyulitkan untuk

penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan demokrasi langsung tersebut, dan jalan

keluarnya adalah melalui sistem perwakilan330

. Negara Swiss mencoba menerapkan

ajaran Rousseau dengan sistem referendum. Pada umumnya negara-negara menganut

sistem perwakilan.

Adapun pengertian Pemerintahan dengan sistem perwakilan, menurut

Konferensi International Commission of Jurist di Bangkok 1965 yakni sebagai

berikut331

.

”Representative Government is a government deriving its power and authority

from the people, which power and authority are exercised through representative freely

chosen and responsible to them”.

Yang dialihbahasakan yakni menjadi,”Pemerintahan Perwakilan adalah

pemerintahan yang memperoleh kekuasaan dan kewenangan dari rakyat, di mana

kewenangan dan kekuasaan itu diperoleh melalui perwakilan yang dipilih secara bebas

dan bertanggung jawab kepada pemilihnya”.

Adapun syarat-syarat Pemerintahan dengan sistem perwakilan tersebut harus

mencakup perihal berikut ini332

.

330 Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 96-97, 108. 331

Baca dalam Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi,

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm. 92-93.

Page 171: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

170

1) Proteksi Konstitusional.

2) Pengadilan-pengadilan yang bebas dan tidak memihak.

3) Pemilihan-pemilihan yang bebas.

4) Kebebasan menyatakan pendapat.

5) Kebebasan berserikat dan tugas oposisi.

6) Harus ada pendidikan civics.

Dan bila ditinjau dari rumusan dalam Pasal 35 Undang-undang Dasar

Sementara Tahun 1950, berbunyi,“Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa,

kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala dan jujur dan dilakukan berdasarkan

hak pilih yang bersifat umum, kebersamaan, serta dengan pemungutan suara yang

rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”333

Adapun konsekuensi dari Representative Government adalah sebagai

berikut334

.

1) Keharusan adanya lembaga perwakilan rakyat.

2) Keharusan adanya seleksi, baik melalui pemilihan umum yang bebas dan rahasia,

maupun dengan cara lain.

3) Keharusan adanya partai politik.

4) Keharusan adanya lembaga yang mempunyai tugas pelaksanaan dan bertanggung

jawab kepada rakyat melalui badan perwakilan rakyat.

Berikut adalah uraian mengenai hubungan antara “si wakil” dengan “yang

diwakili” dengan beberapa teori berikut ini335

.

332

Baca dalam Ismail Suny, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta :

Aksara Baru, hlm. 19-24. 333 Baca Ismail Suny, op.cit., hlm. 21. 334

Lihat lebih lanjut dalam Sri Soemantri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan

(Antar) Hukum Tata Negara, Bandung : Alumni, hlm. 33-34.

Page 172: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

171

1) Teori Mandat

Menurut teori mandat si wakil dianggap duduk di lembaga perwakilan karena

mendapat mandat dari rakyat, sehingga disebut mandataris, seperti yang diajarkan oleh

Rousseau. Teori mandat berkembang menjadi tiga yakni sebagai berikut336

.

a) Mandat Imperatif, dimana si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan

sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakili, si wakil tidak boleh

bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak

terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru dari

yang diwakilinya, sehingga ia baru dapat melaksanakannya. Dengan kelemahan

yakni dapat menghambat tugas lembaga perwakilan.

b) Mandat Bebas, dimana Ajaran ini dianut oleh Abbe Sieyes (Perancis) dan Black

Stone (Inggris). Ajaran ini berpendapat bahwa si wakil dapat bertindak bebas

tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Si Wakil adalah orang-orang

terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang

diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama yang diwakilinya.

c) Mandat Representatif, di mana si wakil dianggap bergabung dengan badan

perwakilan (Parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga

perwakilan, sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan

pemilihnya, apalagi pertangungjawabannya. Lembaga perwakilan inilah yang

bertanggung jawab kepada rakyat.

2) Teori Organ

Ini dianut oleh Von Gierke dan juga Jellinek dan Paul Laband. Menurut

teori ini negara merupakan organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapan

dengan fungsinya masing-masing dan saling tergantung satu dengan lainnya. Setelah

rakyat memilih lembaga perwakilan rakyat, maka rakyat tidak perlu mencampuri

lembaga tersebut, dan lembaga itu bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang

335 Baca dalam Abu Daud Busroh, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kelima, Jakarta :

Sinar Grafika, hlm. 147-148. 336

Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 109.

Page 173: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

172

diberikan Undang-Undang Dasar337

. Masalah hubungan wakil dengan yang diwakili

tidak perlu dipersoalkan dari segi hukum.

3) Teori Sosiologis dari Rieker

Rieker menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan

bangunan politis, tetapi merupakan bangunan sosial (masyarakat). Si pemilih akan

memilih wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan

benar-benar mewakili kepentingan si pemilih sehingga terbentuk lembaga

perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat338

. Lembaga

perwakilan akan mencerminkan lapisan-lapisan kepentingan dalam masyarakat.

4) Teori Hukum Objektif dari Leon Duguit339

.

Menurut teori ini dasar dari pada hubungan antara rakyat dengan parlemen

adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas kenegaraannya atas nama

rakyat, sedangkan rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya

tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan kewenangan pemerintahan. Jadi,

terdapat pembagian kerja. Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas

merupakan dasar hukum objektif yang timbul. Hukum objektif inilah yang

membentuk lembaga perwakilan sebagai suatu bangunan hukum. Akibatnya, yakni

sebagai berikut.

a) rakyat atau kelompok yang diwakili harus ikut serta dalam pembentukan

badan perwakilan dan cara terbaik adalah melalui pemilihan umum yang

menjamin adanya solidaritas sosial.

b) Kedudukan hukum antara pemilih dan yang dipilih adalah semata-mata

berdasarkan hukum objektif. Jadi tidak ada persoalan hak-hak dari masing

masing, mereka harus menjalankan kewajibannya sesuai dengan hasrat

mereka untuk berkelompok dalam Negara atas dasar solidaritas sosial.

337

Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 149 dan I Dewa Gede Atmadja,

op.cit., hlm. 110. 338 Lihat dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 159-150 dan I Dewa Gede

Atmadja, op.cit., hlm. 110-111. 339

Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 150.

Page 174: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

173

c) Si wakil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus menyesuaikan

tindakannya dengan kehendak pemilihnya bukan karena adanya hukum

objektif yang didasarkan pada solidaritas sosial yang mengikat, melainkan

karena rasa solidaritasnya.

5) Teori Gilbert Abcarian

Menurut Gilbert Abcarian, dalam bukunya “Contemporary Political

System” (1970), Gilbert Abcarian melihat hubungan antara “si wakil” dengan

“yang diwakili” dari segi kebebasan bertindak “si wakil” dalam lembaga

perwakilan, yang mengemukakan 4 (empat) tipe hubungan, yakni sebagai

berikut340

.

1. Tipe Wali, dimana “si wakil” bertindak sebagai “wali” (trustee). Dalam

hubungan ini, “si wakil” bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut

pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya

(konstituen).

2. Tipe Utusan, dimana “si wakil” bertindak sebagai utusan (delegate). Dalam

hubungan ini “si wakil” tidak memiliki kebebasan bertindak, karena “si

wakil” hanya merupakan duta, sehingga ia harus selalu mengikuti instruksi

dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan atau menjalankan

fungsi lembaga perwakilan. Jadi, tipe utusan atau delegasi ini identik dengan

“teori mandat”.

3. Tipe Politico, dimana “Si Wakil” bertindak kadang-kadang sebagai wali

(trustee) dan ada kalanya sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung

dari isu (materi) yang dibahas.

4. Tipe Partisan, dimana “Si wakil” bertindak sebagai “partisan”. Dalam

hubungan ini, “si wakil”, tidak memiliki kebebasan bertindak dalam

menjalankan fungsi lembaga perwakilan, tetapi “si wakil” terikat pada

instruksi atau pada program partainya. Dengan demikian, setelah “si wakil”

dipilh oleh pemilihnya atau konstituennya (“yang diwakilinya”), maka

340

Baca dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di

Indonesia; Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 85.

Page 175: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

174

lepaslah hubungannya dengan pemilihnya tersebut, dan mulailah

hubungannya dengan partai (organisai) yang mencalonkanya dalam

pemilihan umum. Tampaknya di Indonesia “tipe partisan” inilah yang dianut

dalam hubungan antara “si wakil” dengan “yang diwakili”, sehingga lembaga

perwakilan yakni DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) diidentikkan dengan

“Lembaga Perwakilan Partai” .

6) Teori Prof. Dr. A. Hoogerwerf

Hoogewerf, dalam bukunya “Politikologi” (terjemahan),

mengemukakan berkaitan dengan ”hubungan antara “si wakil” dengan “yang

diwakili” dipandang atas dasar apa “si wakil” tersebut bertindak dan mewakili

siapa dalam lembaga perwakilan. Atas dasar itu, Hoogewerf, mengemukakan 5

(lima) model hubungan antara “si wakil” dan “yang diwakili”, yakni sebagai

berikut341

.

a. Si wakil bertindak sebagai atas nama yang diwakilinya, disebut “model

delegate”. Dalam model ini “si wakil bertindak atas “perintah seorang kuasa

usaha” yang harus menjalankan perintah dari “yang diwakili”.

b. Si wakil bertindak sebagai “orang yang diberi kuasa”, yang disebut “model

trustee”. Dalam model ini, “si wakil” bertindak sebagai orang yang

memperoleh kuasa penuh dari yag diwakilinya, sehingga ia dapat bertindak

atau mengambil keputusan berdasarkan pendirian atau pendapatnya sendiri.

c. “Model politicos”. Dalam model ini, “si wakil” bertindak, kadang-kadang

sebagai delegasi, menyuarakan instruksi “yang diwakili”, dan kadang-kadang

bertindak sebagai kuasa penuh. Hal ini tergantung dari isu yang dibicarakan

dalam lembaga perwakilan, yakni apabila isunya menyangkut “kebutuhan

primer”, seperti sandang, pangan dan papan,”si wakil” bertindak sebagai

delegasi, sedangkan di luar itu “si wakil” berindak sebagai kuasa penuh.

341

Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 112-114.

Page 176: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

175

d. “Model kesatuan”, dimana dalam model ini “si wakil” dipandang sebagai

anggota parlemen secara utuh atau merupakan satu kesatuan wakil-wakil

rakyat. Jadi, bertindak atas nama lembaga perwakilan atau Parlemen.

e. Model diversifikasi, dimana dalam model ini “si Wakil” dipandang sebagai

wakil kelompok teritorial, sosial, tertentu atau wakil partai politik.

Demikian pendapat-pendapat teoritisi mengenai hubungan antara wakil dengan

yang diwakili. Materi ini relevan dengan masalah apakah perlu hak recall atau tidak bagi

fraksi/parpol di Dewan Perwakilan Rakyat342

Demikian juga analisis terhadap fakta

bahwa seorang wakil rakyat sering dipaksa menandatangani kontrak politik oleh

sekolompok masa, seperti fenomena menjelang pelantikan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hasil Pemilihan Umum tahun 2004.

Perlu dicatat, dari model diversifikasi Hoogewerf tersebut, dapat dikatakan

bahwa “karakter” atau sifat khas dari lembaga perwakilan343

, mencakup pertama,

perwakilan Politik (political representation), di sini “si wakil” direkrut atau dicalonkan

oleh paratai politik melalui pemilihan umum. Kelemahan dari “perwakilan poliik” ini,

biasanya yang terpilih hanyalah mereka yang memiliki “popularitas” politiknya, bukan

karena keahlian atau penguasaannya di bidang teknis pemerintahan. Dengan demikian

para sulit untuk terpilih melalui “perwakilan politik”. Mengatasi kelemahan ini muncul

sifat perwakilan yang kedua, yakni perwakilan fungsional (functional atau occupational

representation), “si wakil” direkrut biasanya melalui pengangkatan berdasarkan pada

fungsi/ jabatan atau keahlian dalam masyarakat, serta ketiga, perwakilan daerah,

biasanya dalam negara federal atau negara kesatauan yang wilayah atau teitorialnya luas,

seperti Indonesia. “Si wakil” terpilih dalam pemilihan umum mewakili daerahnya.

Contohnya pada DPD (Dewan Perwakilan Daerah), maupun di Amerika Serikat dengan

adanya Senat, mewakili “Negara-negara Bagian”.

Kemudian, macam-macam lembaga perwakilan pada umumnya ada dua (2)

yaitu sistem monocameral dan sistem bicameral. Umumnya Negara monarchi dan

negara serikat menganut sistem bicameral sedangkan Negara Kesatuan menganut sistem

Monocameral. Di Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah hasil Pemilihan

342

Baca Abu Daud Busroh, op.cit., hlm. 147-168. 343

Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 113-114.

Page 177: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

176

Umum Tahun 2004, Tahun 2009 serta Tahun 2014 menganut sistem yang cenderung

bicameral, dari adanya Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat344

.

Bilamana berbicara fungsi Lembaga perwakilan, menurut Miriam

Budiardjo345

, terdapat dua fungsi yakni sebagai berikut.

Menentukan policy atau kebijaksanaan, misalnya dengan membuat Undang-

undang, hak Amandemen, hak inisiatif, hak budget dan meratifikasi traktat.

Mengontrol atau mengawasi badan eksekutif, dengan hak interpelasi, hak

bertanya, hak angket, hak bertanya, hak amandemen.

Sedangkan menurut Abu Daud Busroh, terdapat tiga fungsi yakni mencakup

fungsi Legislasi, fungsi pengawasan, serta fungsi sebagai sarana pendidikan politik.

Serta Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih346

, menyebutkan pada

umumnya lembaga perwakilan memiliki 3 (tiga) fungsi, yakni sebagai berikut.

1) Fungsi perundang-undangan, dalam arti membentuk:

� Undang-Undang Pemilihan Umum, Undang-Undang Pajak dan sebagainya.

� Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

� Ratifikasi terhadap perjajian-perjanjian internsional.

2) Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan,adalah fungsi yang dijalankan oleh Parlemen untuk

mengawasi eksekutuif, agar berfungsi menurut undang-undang yang dibentuk oleh

344

Walaupun istilah tersebut tidak tepat, dimana terdapat istilah “trikameralisme”,

“sistem monokameral bercirikan bikameral” dalam ketatanegaraan Indonesia. Baca dalam Jimly

Asshidiqie, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-lembaga Negara, Cetakan Pertama,

Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 112-114 dan Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen

Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 145-150. 345 Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 151-152. 346 Lihat dalam Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara, Jakarta :

Gaya Media Pertama, hlm. 258-263.

Page 178: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

177

Parlemen. Dalam konteks melaksanakan fungsi pengawasan ini, Parlemen diberi

beberapa hak, antara lain hak bertanya, hak interpelasi (meminta keterangan), hak

angket (mengadakan penyelidikan), hak mengajuan mosi tdak percaya (dalam

sistem pemerintahan parlementer), dan “impeachment” dalam sistem pemerintahan

presidensial, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, maupun hak amendemen

yakni hak melakukan perubahan atas Undang-undang.

3) Sarana pendidikan politik

Fungsi pendidikan politik yaitu melalui pembhasan kebijakan Pemerintah di

Dewan Perwakilan Rakyat, dan dimuat, ditulis oleh media massa. Rakyat

mengikuti persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan menilai menurut

kemampuan masing-masing dan secara tidak langsung mereka dididik ke arah

warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya347

. Fungsi Dewan

Perwakilan Rakyat sebagai satu lembaga perwakilan rakyat, menurut Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mencakup fungsi legislasi

(membentuk dan membahas Rancangan Undang-Undang bersama Presiden),

fungsi pengawasan (melakukan pengawsan terhadap tindakan dan kebijakan

pemerintah); dan fungsi anggaran berkaitan dengan hak budget, Dewan

Perwakilan Rakyat berhak menolak atau menerima atau menolak rancangan

Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan

Presiden/Pemerintah.

2) Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat

yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sistem pemilihan ini sangat dipengaruhi oleh

cara pandang terhadap individu atau masyarakat dalam negara. Apakah mereka

dipandang sebagai individu yang bebas untuk memilih wakilnya atau dipilih sebagai

wakil rakyat atau mereka dipandang sebagai satu kesatuan kelompok sehingga tidak

347

Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 261-262.

Page 179: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

178

dapat menentukan pilihan atau mencalonkan diri untuk dipilih. Atas kriteria ini, maka

dikenal dua sistem pemilihan yakni sebagai berikut348

.

1) Sistem pemilihan Mekanis: memandang rakyat sebagai massa individu-individu

yang sama sebagai satu kesatuan otonom dan negara/masyarakat dipandang

sebagai kompleks hubungan-hubungan antar individu. Setiap individu memiliki

hak dipilih dan memilih aktif yang mengeluarkan satu suara dalam setiap

pemilihan. Sifat perwakilan yang dihasilkan adalah perwakilan politik.

2) Sistem pemilihan Organis: menempatkan masyarakat sebagai satu kesatuan

individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam kesatuan hidup

berdasarkan: hubungan genealogis, fungsi ekonomi, industri, lapisan-lapisan sosial

seperti: buruh, cendekiawan, pengusaha, dsb. Kesatuan-kesatuan hidup inilah yang

mengendalikan hak memilih dan dipilih, atau mengutus wakil-wakilnya yang

duduk di badan perwakilan rakyat. Prosedurnya biasanya melalui pengangkatan,

sehingga sifat perwakilan yang dihasilkan adalah perwakilan fungsional.349

Cara

pandang inipun berkaitan dengan soal apakah perlu atau tidak adanya partai politik

dalam Negara. Menurut sistem pemilihan mekanis, maka partai politik mutlak

diperlukan dan perlu adanya pemilihan umum.

Pada umumnya Negara demokrasi menganut sistem pemilihan mekanis, atau

kombinasi kedua sistem ini, seperti Parlemen Inggris yang bersifat bicameral di mana

House of Lord diisi dengan pengangkatan dan House of Common diisi lewat pemilihan

umum350

.

Dan bilamana melihat sistem pemilihan mekanis, maka dapat dikaji bahwa

terdapat dua macam cara yakni sebagai berikut.

348

Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi

Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 415-417. 349 Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum

Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas Indonesia dan

CV Sinar Bhakti; hlm. 332-334. 350

Baca Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 239-240.

Page 180: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

179

1) Sistem perwakilan distrik/Majority/Single member constituency, dilakukan dengan

cara sebagai berikut351

.

a. Wilayah Negara dibagi-bagi dalam daerah pemilihan yang disebut distrik-distrik

pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota badan perwakilan rakyat.

Misalnya di badan perwakilan ada 500 kursi, maka wilayah Negara akan dibagi-

bagi menjadi 500 distrik pemilihan.

b. Setiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas.

Misalnya dalam setiap distrik jumlah pemilih adalah 100 orang, dan jumlah calon

yang dipilih adalah 5 dengan perolehan suara masing-masing: A = 40, B = 35, C =

15, D = 7, E = 3, maka yang mewakili distrik adalah A dengan suara mayoritas di

antara para calon yang lain.

Disamping itu terdapat beberapa dampak dalam sistem perwakilan distrik

yakni sebagai berikut.

a. Orang yang dipilih belum tentu mewakili suara mayoritas dari wilayah distrik itu,

terutama bila calon yang dipilih lebih dari dua orang. Oleh karena itu, bilamana

dianut sistem pemilihan distrik, maka lambat-laun akan mendorong lahirnya

sistem dwi partai dalam Negara, karena partai-partai kecil akan sangat kehilangan

harapan untuk mendudukkan wakilnya di badan perwakilan rakyat.

b. Biasanya orang yang terpilih itu pasti sangat dikenal dan memiliki hubungan yang

sangat dekat dengan pemilihnya, sehingga ia akan dituntut memperjuangkan

aspirasi pemilihnya, sehingga kemungkinan akan ada akibat bahwa si wakil hanya

memperjuangkan kepentingan daerahnya dan kurang memperhatikan kepentingan

nasional.

2) Sistem perwakilan Proporsional

Sistem perwakilan proporsional352

adalah sistem perwakilan di mana

prosentase kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagikan kepada partai politik

berdasarkan prosentase jumlah suara yang diperoleh oleh tiap-tiap partai politik.

351 Lihat lebih lanjut dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 120-121 dan Jimly

Asshidiqie II, op.cit., hlm. 417-418. 352

Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 121-122 dan Jimly Asshidiqie II,

op.cit., hlm. 418-419.

Page 181: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

180

Negara merupakan satu wilayah pemilihan. Perolehan suara partai politik dihitung

secara nasional dan dibagi berdasarkan prosentase suara. Contohnya, jumlah suara

pemilih yang sah adalah 4.000.000, sementara jumlah kursi yang diperebutkan

adalah 400 buah, maka nilai sebuah kursi adalah 10.000 pemilih.

Dampak secara umum dari sistem pemilihan proporsional yakni sebagai

berikut.

1) Setiap suara di wilayah pemilihan tetap dihitung secara nasional, sehingga

tidak ada suara yang hilang.

2) Sistem ini disukai oleh partai-partai kecil, karena masih ada harapan

kemungkinan dapat merebut kursi di lembaga perwakilan rakyat walaupun

hanya satu kursi. Sehingga sistem pemilihan proporsional cenderung

mendorong tumbuhnya sistem multi partai.

3) Perhitungan suaranya berbelit-belit.

4) Rakyat bukan memilih orang, melainkan partai politik. Sementara sistem

distrik rakyat memilih orang.

Sistem proposional ada berbagai macam variasi dalam pelaksanaannya.

Contohnya di Indonesia dalam Pemilihan Umum Tahun 2004, Tahun 2009, serta

Tahun 2014, dengan penjabarannya bahwa Negara merupakan satu daerah

pemilihan, yang kemudian dibagi-bagi dalam wilayah pemilihan dan di tiap wilayah

pemilihan disediakan beberapa kursi sesuai dengan jumlah penduduknya353

.

Misalnya, daerah pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah seluruh

Indonesia sebanyak 400 kursi, kemudian di tiap Provinsi disediakan X atau Y kursi

berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, sehingga nilai sebuah kursi bervariasi di

tiap Provinsi, sehingga jumlah kursi untuk seluruh Indonesia, yang 400 kursi

tersebut tetap. Misalnya, untuk Provinsi Bali nilai satu kursi Dewan Perwakilan

Rakyat yakni 150.000 suara, sedangkan di Provinsi Papua Barat hanya 100.000

suara.

3. Sejarah Perkembangan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

353

Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 420.

Page 182: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

181

Untuk memahami sistem pemilihan umum di Indonesia maka dapat dikaji dari

segi perjalanan sejarah perkembangan Pemilihan Umum di Indonesia dalam tinjauan

sejarah ketatanegaraan Indonesia, dengan mempelajari lebih mendalam undang-undang

pemilihan umum yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilihan umum. Berikut adalah

uraian perjalanan sejarah perkembangan sistem pemilihan umum dari masa ke masa.

a) Masa Awal Kemerdekaan, Demokrasi Liberal hingga Orde Lama

Pada masa ini, Pemilihan Umum pertama diadakan pada Tahun 1955 dengan

dasar hukum yakni pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953354

juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956355

, dengan sumber

konstitusinya yakni pada Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 35356

Undang-Undang Dasar

Sementara Tahun 1950, dimana Pemilihan umum tersebut diselenggarakan untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Konstituante dengan

menggunakan sistem pemilihan umum sistem Proporsional357

.

Berdasarkan Pasal 35 Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 juncto Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tersebut, maka asas Pemilihan Umum Tahun

1955 yang diselenggarakan 29 September 1955 untuk memilih Dewan Perwakilan

Rakyat dan 15 Desember 1955 untuk memilih Badan Konstituante tersebut, yakni Umum

dan berkesamaan, langsung, bebas dan rahasia.358

b. Masa Orde Baru

354 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan

Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 355

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang Pengubahan

Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953, Lembaran-Negara No. 29

Tahun 1953). 356

Pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang berbunyi,”Kemauan

dari rakyat adalah sumber dari kekuasaan penguasa, kemauan ini dinyatakan dalam pemilihan

berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan

serta pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara yang menjamin kebebasan

mengeluarkan pendapat …”. Baca dalam Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm.

342. 357 Baca dalam ketentuan Pasal 134 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7

Tahun 1953. Baca lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953

tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 358

Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 343.

Page 183: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

182

Pada masa ini, Pemilihan Umum yang Kedua dilaksanakan pada Tahun 1971.

Namun bila ditelusuri lebih lanjut dalam Undang-undang Dasar yang berlaku yakni

Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang bersifat singkat359

, sehingga soal pemilihan

umum tidak diatur dalamnya.

Pemilihan Umum Tahun 1971 tersebut dilaksanakan dengan embrio hukumnya

berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

Nomor XLII/MPRS/1968360

, maka pemilihan umum dilaksanakan selambat-lambatnya

tanggal 5 Juli 1971, sehingga Presiden (Pemerintah) dan Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong pada saat itu menetapkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor

15 Tahun 1969361

dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969362

,

yang kemudian, melalui Pemilihan Umum 1971 diikuti oleh 10 partai politik, dengan

asas pemilihan umum adalah Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia, adapun asas

kebersamaan tidak dicantumkan karena adanya pengangkatan tadi, dan kemudian

membentuk susunan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari 460 orang, ada 100 orang

diisi dengan pengangkatan, khususnya bagi golongan Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia. Sedangkan, komposisi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah 460

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 530 orang Utusan Golongan Karya serta 130

Utusan Daerah yang melalui pengangkatan. Komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat

adalah 360 yang dipilih dan 770 orang melalui pengangkatan (perwakilan fungsional)363

.

Kemudian dalam Pemilihan Umum ketiga pada Tahun 1977, dengan

infrasruktur politik terjadi penggabungan, fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat dan

juga fusi partai politik. Hanya ada kemudian dua partai politik yaitu Partai Persatuan

359 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis

Permusyawaratan Rakyat, hlm. 3-4. 360

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

Nomor XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum termasuk Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena

bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Baca dalam Majelis

Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003,

Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 22. 361

Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-

anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. 362 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 363

Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 204.

Page 184: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

183

Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya,

sehingga peserta pemilu hanya ketiga organisasi sosial politik tersebut berdasarkan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975364

maupun Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1975365

.

Demikian berlangsung sampai Pemilihan Umum Keempat pada Tahun

1982366

, setelah itu, sempat diadakan perubahan terhadap Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 1975 dengan mengeluarkan lima paket Undang-undang di bidang Politik Tahun

1985367

terutama berkaitan dengan asas partai politik hanya mengenal asas Pancasila dan

asas ciri dihapuskan, dimana hal tersebut berlaku untuk Pemilihan Umum kelima pada

Tahun 1987 sampai Pemilu keempat pada Tahun 1992 dan terakhir dalam Pemilihan

Umum ketujuh pada Tahun 1997368

hingga berakhirnya masa Orde Baru, dimana dengan

asas pemilihan umum adalah langsung, umum, bebas dan rahasia, dengan sistem

perwakilan proporsional dan sistem pengangkatan (perwakilan fungsional).

c. Masa Reformasi

Pada masa ini, Pemilihan Umum Pertama di masa ini dan kedelapan sejak

pertama kalinya, diadakan pada Tahun 1999 sebagai kelanjutan dari perjuangan

reformasi di Indonesia sejak tahun 1997. Dan dalam rangka tuntutan reformasi kemudian

disusun tiga paket undang-undang di bidang politik369

, yakni melalui Undang-undang

364

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. 365 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang Nomor

16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 366 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.4

Tahun 1975. 367

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-Undang

No.1 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan

Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan

Undang-Undang No.4 Tahun 1975 dan Undang-Undang No.2 Tahun 1980. 368 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah

Beberapa Kali Diubah, Terakhir dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1985. 369 Disamping adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.

Page 185: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

184

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999370

, Undang-undang Republik Indonesia Nomor

3 Tahun 1999371

dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999372

,

sesuai dengan jiwa undang-undang ini kemudian muncul banyak partai politik dengan

asas cirinya masing-masing, dan setelah melalui proses verifikasi di Departemen Dalam

Negeri, peserta Pemilihan Umum Tahun 1999 yakni 48 partai politik, dan pasca

pemilihan, menghasilkan komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih

adalah 462 orang dan yang diangkat sebanyak 38 orang dari Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia. Sementara itu, komposisi Anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat adalah 500 anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah

sebanyak 135 orang serta Utusan Golongan sebanyak 65 orang dengan total keseluruhan

berjumlah 700 orang, dengan sistem pemilihannya adalah sistem perwakilan proposional

dan pengangkatan.

Kemudian melalui Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, pelaksanaan Pemilihan Umum kesembilan yakni pada Tahun

2004 memiliki keistimewaan tersendiri dimana dalam pemilihan umum Tahun 2004

tersebut, terdapat pengaturan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 tentang Pemilihan Umum dalam Bab VII B pada Pasal 22 E Ayat (1) sampai

Ayat (6) sebagaimana kutipan berikut373

.

BAB VII B ***)

PEMILIHAN UMUM ***)

1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan

adil setiap lima tahun sekali. ***)

370

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik,

diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809. 371

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan

Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810. 372 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang

Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3811. 373 Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 110-

115.

Page 186: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

185

2) Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. ***)

3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilam Rakyat dan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)

4) Peserta pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah

adalah perseorangan. ***)

5) Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat

nasional, tetap dan mandiri. ***)

6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

***)

Disamping itu, Pemilihan Umum Tahun 2004, dilaksanakan dengan adanya

empat undang-undang di bidang politik, yakni Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 2002374

, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003375

,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003376

serta Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003377

, dan dalam hal ini, maka sistem pemilihan

yang dianut yakni sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar terbuka,

sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut sistem Distrik berwakil banyak.

Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden menganut sistem pemilihan

perorangan di mana paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai

politik.

Kemudian, dalam Pemilihan Umum Tahun 2009, dilaksanakan dengan adanya

empat undang-undang di bidang politik, yakni Undang-undang Republik Indonesia

374 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai

Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4251. 375 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan

Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277. 376

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan

ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4310. 377 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.

Page 187: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

186

Nomor 2 Nomor 2008378

, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007379

,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009380

serta Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008381

, dan dalam hal ini, maka sistem pemilihan

yang dianut masih sama yakni sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar

terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut sistem Distrik berwakil

banyak. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden menganut sistem

pemilihan perorangan di mana paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh

partai politik.

Dan terakhir yakni pada Pemilihan Umum Tahun 2014, yang dilaksanakan

dengan adanya beberapa undang-undang di bidang politik, yakni Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 2 Nomor 2008 juncto Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2011382

, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011383

,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014384

sebagaimana telah diubah

378 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,

diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. 379

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721. 380

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5043. 381

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4924. 382 Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang

Partai Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801

dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5189. 383

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5246. 384

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5568.

Page 188: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

187

dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014385

serta Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008386

, dan dalam hal ini, maka sistem

pemilihan yang dianut juga masih sama dengan dua pemilihan sebelumnya yakni Tahun

2004 serta Tahun 2009, yakni sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar

terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut sistem Distrik berwakil

banyak. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden menganut sistem

pemilihan perorangan di mana paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh

partai politik.

Dimana dari keseluruhan pemilihan umum tersebut di Indonesia, tidak terdapat

perbedaan substansial berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum, hanya terdapat

perbedaan dalam hal jumlah partai politik, maupun pihak yang dipilih, serta pelaksana

Pemilihan Umum dari masa ke masa dalam tinjauan ketatanegaraan Indonesia.

D. Kesimpulan

Demikian telah dijabarkan berkaitan dengan garis besar tentang kekuasaan

Negara, partai politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia, seperti telah disinggung

sebelumnya konsep pemerintahan dengan sistem perwakilan menuntut adanya konsep

sistem pemilihan mekanis dengan sistem perwakilan proporsional ada berbagai variasi,

demikian juga penerapan sistem distrik dengan berwakil banyak adalah satu contoh

variasinya. Dan dalam konteks untuk mengenal lebih mendalam tentang kekuasaan

Negara, partai politik maupun pemilihan umum pada masa tertentu, tentunya haruslah

diteliti setiap undang-undang maupun pandangan doktrin ketatanegaraan terkait dengan

konsep kekuasaan Negara, partai politik maupun pemilihan umum khususnya bilamana

385

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, diundangkan pada 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5650. 386 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4924.

Page 189: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

188

merujuk pada undang-undang tentunya haruslah mengikuti dinamika ketatanegaraan

Indonesia yang dinilai paling cepat berubah.

Page 190: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

189

DAFTAR BACAAN

Buku

Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.

Gramedia.

Asshidiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi

Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

_______________, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-

lembaga Negara, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.

_______________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar

Grafika.

_______________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi

Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

Atmadja, I Dewa Gede, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam

Lintasan Perundang-Undangan, Denpasar : Penerbit Setia Kawan.

__________________, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),

Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.

__________________, 2012, Ilmu Negara, Dimensi Historis

Ketatanegaraan, Malang : Setara Press.

Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.

Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar

Grafika.

________________, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :

Sinar Grafika.

Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan

Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.

Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press.

Karim, Rusli, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret

Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali.

Page 191: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

190

Koesnardi, Mohammad, dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum

Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas

Indonesia dan CV Sinar Bhakti.

Koesnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara, Jakarta :

Gaya Media Pertama.

Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004

Perjalanan dan Profilnya. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :

Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.

MD., Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta :

Rajawali Grafindo Press.

Saragih, Bintan R., 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia;

Jakarta : Gaya Media Pratama.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-

1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,

1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,

1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Sucipta, I Made, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid I, Edisi Revisi,

Singaraja : Petada Pasi Grafika.

_____________, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid II, Edisi Revisi,

Singaraja : Petada Pasi Grafika.

Soemantri, Sri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar) Hukum Tata

Negara, Bandung : Alumni.

Suny, Ismail, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara Baru.

Tambunan, A.S.S., 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun 1975 tentang Partai

Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses Pembentukannya; Bandung :

Binacipta.

Page 192: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

191

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang

Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante,

diundangkan pada 7 April 1953, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1953 Nomor 29.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang

Pengubahan Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953,

Lembaran-Negara No. 29 Tahun 1953).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang

Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai

Politik dan Golongan Karya.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang

Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum

Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah

Diubah Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum

Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah

Page 193: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

192

Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 1980.

Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomer 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1980.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah,

Terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai

Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3809.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang

Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang

Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai

Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4251.

Page 194: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

193

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumumkan ke dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4310.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4721.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4801.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November

2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.

Page 195: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

194

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,

diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5189.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan

ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,

diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,

Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik

Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk

Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-

Leninisme.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia

Nomor XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan

Umum.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang

Pemilihan Umum.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

I/MPR/2003.

Page 196: BUKU AJAR KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

195

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959 tentang

Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan pada 5 Juli 1959, diumumkan ke

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150.

Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang

Syarat-syarat Penyederhanaan Kepartaian.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960 tentang

Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960,

diundangkan pada 17 Agustus 1960.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960,

diundangkan pada 17 Agustus 1960.

Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun 1961

tentang Pengakuan Partai-partai Politik.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961,

diundangkan pada 14 April 1961.