#bismillah bab1,2,3(p).docx
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bullying berasal dari kata serapan dalam bahasa Inggris (bully)
yang berarti menggertak atau mengganggu. Bullying adalah perilaku
agresi atau manipulasi yang dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau
psikologis yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang merasa kuat atau berkuasa dengan tujuan
menyakiti atau merugikan seseorang atau sekelompok orang yang merasa
tidak berdaya (Trevi, 2010).
Bullying dapat dilakukan secara fisik (menampar, menimpuk,
menjegal, memalak, melempar dengan barang, dan sebagainya), verbal
(memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan
umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah, dan sebagainya), dan
psikologis (memandang sinis, mengancam, mempermalukan,
mengucilkan, mencibir, mendiamkan, dan sebagainya) (Sejiwa, 2008).
Perbedaan gender (laki-laki dan perempuan) dalam melakukan
bully terletak berdasarkan perbedaan bentuk pergaulannya. Anak laki-laki
didefinisikan sebagai seseorang yang terbiasa mengambil tindakan yang
beresiko, suka berkelahi, dan terlibat dalam suatu kelompok ‘geng’.
Sedangkan anak perempuan didefinisikan sebagai seseorang yang pasif,
tidak mandiri, penuh pertimbangan, dan taat pada peraturan. Maka dari
itu, bentuk perilaku bullying juga berbeda. Perilaku yang dilakukan oleh
anak perempuan biasanya terjadi dalam indirect (tidak langsung) seperti
2
verbal dan psikologis, bukan tindakan fisik. Sedangkan, anak laki-laki lebih
cenderung melakukan sebaliknya (Aldilla, 2009).
Bullying dapat terjadi selama atau setelah jam-jam sekolah.
Sementara kebanyakan dari kasus yang dilaporkan mengatakan bullying
biasa terjadi di dalam gedung sekolah, dan presentase tempat yang sering
terjadi tindakan bullying adalah di tempat bermain dan di dalam bus.
Bullying juga dapat terjadi disaat perjalanan menuju atau kembali dari
sekolah, di lingkungan, ataupun di internet (Sejiwa, 2008).
Bullying disebabkan oleh keadaan lingkungan yang kurang
mampu mengendalikan emosi dan akibatnya membentuk kepribadiannya
menjadi agresif. Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai
faktor lingkungan yang kompleks. Faktor-faktor penyebab bullying
diantaranya faktor keluarga, teman sebaya atau lingkungan sosial dan
pengaruh media (Quiroz, 2006 dalam Anesty, 2009).
Dampak negatif dari bullying itu sendiri yaitu, pelaku dan korban
bullying akan sama-sama mengalami gangguan dengan kesehatan
mentalnya. Pelaku bisa saja seseorang yang hanya mengikuti temannya
atas dasar kesetiakawanan agar tetap dianggap teman dan bisa tetap
bergaul dengan lingkungannya, pelaku yang sehat secara mental pasti
menyadari perbuatannya melakukan bullying adalah salah, sehingga
pelaku akan terus diliputi rasa bersalah, tertekan, dan mengalami
gangguan mental. Dampak negatif yang dirasakan oleh pelaku bullying
jika dilakukan secara terus menerus yaitu anak akan berpotensi menjadi
pelaku kriminal sejak dini ataupun di kemudian hari (Levianti, 2008).
Badan Pusat Statistik Indonesia melaporkan, hingga awal
Oktober 2014, data jumlah penduduk di Indonesia mencapai 238.641.326
juta jiwa. Sementara itu, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5-14 tahun, ada
3
sebanyak 42,8 juta jiwa (Putro, 2013). Menurut data referensi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan bulan April 2013, jumlah anak sekolah dasar
di Kota Kudus sebanyak 12.143 anak. Data angka statistik yang
menunjukkan jumlah korban kekerasan di Indonesia pada tahun 2010
sebanyak 2.413, tahun 2011 sebanyak 2.508, tahun 2012 sebanyak
2.637, tahun 2013 sebanyak 2.792 dan tahun 2014 dengan data Januari
sampai dengan Mei 2014 sebanyak 3.339 (Komisi Perlindungan Anak,
2014).
Lingkungan sosial adalah tempat dimana masyarakat saling
berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar
sesamamaupun dengan lingkungannya. Lingkungan sosial terdiri dari
beberapa tingkat. Tingkat yang paling awal adalah keluarga, dari keluarga
kita di ajari cara, sikap, dan sifat untuk berinteraksi dengan saudara jauh,
tetangga dan orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggal kita.
Tingkat selanjutnya adalah sekolah, dimana kita bisa mengembangkan
pelajaran bersosialisasi yang diberikan dari keluarga di rumah ke
lingkungan sekolah. Tingkatan paling akhir adalah lingkungan masyarakat
yang kita akan temui nanti saat kita sudah cukup siap dan dewasa untuk
bisa terjun langsung ke dalamnya (Safitri, 2014).
Salah satu faktor dari perilaku bullying disebabkan oleh adanya
teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara
menyebarkan ide (baik secara aktif maupun pasif) bahwa bullying
bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk
dilakukan. Pada masanya, anak juga memiliki keinginan untuk tidak lagi
tergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman
dari kelompok sebayanya. Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan
konformitas (Ratna, 2005).
4
Beberapa faktor penyebab seseorang melakukan tindakan
bullying adalah karena faktor teman sebaya atau lingkungan sosial.
Terdapat beberapa penyebab pelaku bullying melakukan tindakan
bullying, yaitu pelaku mengalami kecemasan dan perasaan inferior,
persaingan yang tidak realistis, perasaan dendam yang muncul karena
permusuhan atau juga karena pelaku bullying pernah menjadi korban
bullying sebelumnya, dan ketidakmampuan menangani emosi secara
positif (Rahma, 2008).
Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku bullying adalah
karena pengaruh media. Di Indonesia, anak-anak usia 6-14 tahun
mengkonsumsi media khususnya televisi dan internet lebih tinggi daripada
populasi pada umumnya. Riset yang dilakukan Nielsen (2011)
menunjukkan bahwa penetrasi TV di kalangan anak-anak mencapai
98%.Penetrasi TV pada umumnya yaitu 95%. Penonton TV anak laki-laki
sedikit lebih banyak daripada anak perempuan yaitu 51% dan 49%, tetapi
anak perempuan menonton TV lebih lama daripada anak laki-laki, yaitu
4,75 jam dan 4,2 jam (Hasnawati, 2013).
Pengaruh media program televisi yang tidak mendidik tentu akan
meninggalkan jejak kekerasan pada benak para pemirsanya. Akan lebih
berbahaya lagi jika tayangan yang mengandung unsur kekerasan tersebut
ditonton oleh anak-anak prasekolah. Survey yang dilakukan kompas
memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang
ditontonnya. Umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya
(43%) (Saripah, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Pediatrics
Investigators Dimitri A. Christakis dan Frederick Zimmerman pada rumah
sakit Seattle Children's Hospital Research Institute dan University of
Washington School of Medicine menyimpulkan bahwa perilaku agresi
5
yang dilakukan oleh anak-anak berhubungan dengan kebiasaannya dalam
menonton tayangan di televisi (Fitriani, 2014).
Aktivitas menonton televisi khususnya tayangan yang
mengandung unsur kekerasan dapat memicu anak untuk melakukan
tindakan bullying kepada siswa lain, pernyataan tersebut dibuktikan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasnawati (2013) seorang
mahasiswa program studi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman,
tentang dampak menonton sinetron Putih Abu-Abu, menyimpulkan bahwa
dampak menonton tayangan sinetron Putih Abu-Abu terhadap perilaku
remaja yaitu berdampak negatif, seperti adanya perilaku meniru adegan-
adegan bullying yang ditampilkan dalam sinetron Putih Abu-Abu yang
meliputi aksi bullying dalam hal kata-kata (verbal) dan dalam hal tindakan.
Dalam hal kata-kata (verbal), keseluruhan anak yang menjadi informan
cenderung ikut meniru dan memperaktekan kata-kata bullying yang ada
dalam sinetron tersebut kedalam kehidupan mereka sehari-hari, misalnya
seperti saling mengucapkan kata-kata kamseupay, rakyat jelata dan euh
kepada sesama teman dan keluarga mereka. Dalam hal tindakan,
sebagian dari mereka mengikuti adegan bullying seperti yang ditayangkan
dalam sinetron Putih Abu-Abu, yaitu mengerjai teman dengan
mengintimidasi, mendiskriminasi dan mengeroyok.
Hal tersebut dapat dihindari jika saja saat anak menonton
televisi, orang tua dapat mendampingi dan mengawasi anak dan jangan
lupa bagi orang tua untuk memperingatkan anak untuk tidak meniru
adegan-adegan yang berhubungan dengan kekerasan, sebab anak
cenderung meniru pada apa yang ia tonton dan ia mainkan (Agustiono,
2014).
6
Berdasarkan pengkajian awal dengan menggunakan kuesioner
yang dilakukan oleh peneliti pada 9-11 Oktober 2014 kepada 15 anak di
SD Muhammadiyah 01 Kudus kelas I sampai dengan kelas VI yang
mempunyai kepribadian agresif dan termasuk ke dalam ciri anak yang
berkecenderungan menjadi pelaku bullying, didapatkan data bahwa 80%
anak cenderung melakukan tindakan bullying karena kebiasaannya yang
sering menonton adegan atau tayangan kekerasan di televisi dan juga
adanya pengaruh pada lingkungan tempat ia tinggal yang menganggap
bahwa kejadian bullying merupakan hal yang biasa terjadi pada anak-anak
untuk proses pendewasaan diri. Padahal perilaku bullying yang terus
menerus dibiarkan tersebut memiliki dampak yang akan mempengaruhi
kehidupan anak sebagai pelaku bullying dan anak korban bullying.
Peran perawat dalam masalah keperawatan anak salah satunya
adalah sebagai konselor, yakni berperan dalam membantu pelaku bullying
untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial
untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk
meningkatkan perkembangan anak. Di dalamnya, perawat akan
memberikan dukungan emosional dan intelektual, seperti mengidentifikasi
perubahan pola interaksi pelaku bullying, memberikan konseling atau
bimbingan penyuluhan kepada pelaku bullying dalam mengintegrasikan
pengalaman-pengalaman yang lalu yang berhubungan dengan kejadian
bullying, dan juga membantu dalam memfokuskan penyelesaian masalah
bullying (Asmadi, 2008).
Dalam penelitian kali ini, peneliti ingin mengetahui apakah ada
hubungan antara aktivitas menonton televisi dan lingkungan sosial yang
dapat menyebabkan seorang anak mempunyai kecenderungan menjadi
pelaku bullying. Peneliti melakukan wawancara kepada wakil kepala
7
sekolah SD Muhammadiyah 01 Kudus yang mengatakan ada anak-anak
dari kelas 1 sampai dengan kelas VI yang melakukan bullying seperti
mengejek, memukul, melempar barang kepada teman, memusuhi,
mendiamkan teman dan hal itu dilakukan kepada teman sebaya maupun
adik kelasnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian “Hubungan antara Lingkungan Sosial dan Aktivitas
Menonton Televisi dengan Kecenderungan Menjadi Pelaku “Bullying” di
SD Muhammadiyah 01 Kudus Tahun 2015”.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah terdapat hubungan aktivitas menonton televisi dengan
kecenderungan menjadi pelaku bullying?
2. Apakah terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan
kecenderungan menjadi pelaku bullying?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara lingkungan sosial dan aktivitas
menonton televisi dengan kecenderungan menjadi pelaku bullying di
SD Muhammadiyah 01 Kudus tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus.
8
b. Mendeskripsikan lingkungan sosial di SD Muhammadiyah 01
Kudus.
c. Mendeskripsikan aktivitas menonton televisi di SD Muhammadiyah
01 Kudus.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
a. Sebagai sumber informasi untuk para orang tua dan guru sekolah
dasar tentang pengaruh lingkungan sosial pada anak sekolah yang
cenderung menjadi pelaku bullying.
b. Sebagai sumber informasi untuk para orang tua dan guru sekolah
dasar tentang dampak aktivitas menonton televisi pada anak
sekolah yang cenderung menjadi pelaku bullying.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi dan masukan bagi peneliti selanjutnya, agar
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian dengan
variabel yang berbeda.
3. Bagi Institusi Kesehatan
a. Mengetahui pentingnya pola asuh orang tua yang baik supaya
perkembangan anak tidak mengarah ke arah yang buruk (tindakan
bullying).
b. Meminimalisir terjadinya perilaku bullying pada siswa sekolah
dasar dengan meningkatkan penyuluhan tentang bullying.
4. Bagi Peneliti
Mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan dan
pengalaman nyata dalam melakukan penelitian.
9
F. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1Keaslian Penelitian
Nama Peneliti Judul penelitian Jenis penelitian HasilClementia Ardianti
Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying Tahun 2009
Analitik Deskriptif Hasil penelitian diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying adalah penampilan korban, perasaan berkuasa, pengalaman masa lalu, perasaan iri, dan latar belakang keluarga.
Nando Hubungan Antara Perilaku Menonton Film Kekerasan dengan Perilaku Agresi Remaja Tahun 2011
Deskriptif Korelasional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku menonton film kekerasan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresi remaja. Faktor intensitas perilaku agresi di lingkungan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresi remaja pada ∝ 0,01. Faktor intensitas perilaku agresi remaja di lingkungan tempat tinggal memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresi remaja pada ∝ 0,01. Faktor intensitas perilaku agresi oleh teman memiliki hubungan signifikan dengan perilaku agresi remaja pada α 0,05. Faktor situasional juga memiliki hubungan signifikan dengan perilaku agresi remaja pada α 0,01.
Yuli Rakhmayani Aryuanda
Hubungan Antara Lingkungan Sosial dan Aktivitas Menonton Televisi dengan Kecenderungan Menjadi Pelaku Bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus
10
G. Ruang Lingkup Penelitian
Menyadari adanya keterbatasan dana, sarana, dan tenaga, maka bagi
penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut:
1. Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2015.
2. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di SD Muhammadiyah 01 Kudus.
3. Sasaran
Sasaran dari penelitian ini adalah anak sekolah dasar kelas I sampai
dengan kelas VI.
4. Lingkup Materi
Materi dalam penelitian ini difokuskan pada bidang ilmu kesehatan
psikologi anak khususnya perkembangan emosi anak (kecenderungan
menjadi pelaku bullying).
H. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:
1. Kurangnya keterbukaan dari responden dalam melakukan penelitian.
2. Waktu penelitian hanya terbatas pada bulan Maret 2015.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bullying
1. Pengertian Bullying
Bullying merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris (bully)
yang berarti menggertak atau mengganggu orang (pihak) yang lemah
(Safitri, 2014). Menurut UNICEF, “bullying is aggressive behavior that
is intentional and that involves an inhabalance of power of strength”,
artinya: bullying adalah perilaku agresif yang menyangkut
ketidakseimbangan kekuatan (Unicef, 2014).
Menurut Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA), sebuah lembaga
yang bergerak di bidang pendidikan, bullying adalah sebuah situasi
dimana terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
seseorang/sekelompok orang yang kuat (secara fisik dan mental)
menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lebih
lemah yang berulang-ulang dan disengaja untuk menunjukkan
kekuatannya atau kekuasaannya (Sejiwa, 2008).
Bullying adalah penyalahgunaan kekuatan yang disengaja dan
berulang-ulang oleh seorang anak atau lebih terhadap anak lain,
dengan maksud untuk menyakiti atau menimbulkan perasaan
tertekan/stress (Sudjatmiko, 2013).
Menurut Ken Rigby (Astuti, 2008) bullying adalah sebuah hasrat
untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan
seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh
seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab,
12
biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang (Astuti,
2008).
Menurut Barbara Coloroso, seorang peneliti ahli mengenai
bullying, bullying atau penindasan adalah aktivitas sadar, disengaja,
dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan
melalui ancaman agresi lebih lanjut, dan menciptakan teror (Coloroso,
2007).
Dalam hal ini, ciri-ciri bullying adalah, bullying dilakukan oleh
seseorang (bully)/sekelompok orang (bullies) yang mempunyai posisi
dominan, baik secara fisik ataupun mental bahkan keduanya,
sehinggga korbannya tidak mampu mempertahankan diri. Bullying
berupa tindakan agresif yang dilakukan berulang-ulang. Bullying
menyebabkan perasaan tidak nyaman/tidak senang bahkan sakit baik
secara fisik ataupun mental bahkan keduanya bagi korbannya, bahkan
dalam kasus tertentu dapat menyebabkan kematian.
Tindakan dari bullying sekolah tidak sama dengan pertengkaran
yang umumnya terjadi pada anak sekolah. Pertengkaran tersebut
sebagai hal normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan
bersepakat satu sama lain. Sedangkan dalam bullying merujuk pada
tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang
(Tridhonanto, 2014).
Bullying dapat terjadi selama atau setelah jam-jam sekolah.
Sementara kebanyakan dari kasus yang dilaporkan mengatakan
bullying biasa terjadi di lingkungan sekolah, terutama di tempat-tempat
yang bebas dari pengawasan guru maupun orang tua. Guru yang
sadar akan potensi bullying harus lebih sering memeriksa tempat-
13
tempat seperti ruang kelas, lorong sekolah, kantin, pekarangan,
lapangan dan toilet (SEJIWA, 2008).
2. Jenis Bullying
Adapun contoh tindakan menurut Tridhonanto (2014) yang
termasuk kategori bullying, pelaku individu dan geng secara menyakiti
atau mengancam korban dengan melakukan:
a. Menyisihkan seseorang dari pergaulan.
b. Menyebarkan gosip, membuat julukan yang bersifat ejekan.
c. Mengerjai seseorang untuk mempermalukan.
d. Mengintimidasi atau mengancam korban.
e. Melukai secara fisik.
f. Melakukan pemalakan.
Menurut Tridhonanto (2014) berdasarkan tipe bullying, ada tiga
yaitu:
a. Bullying secara verbal, misalnya dengan cara berkata-kata atau
menuliskan sesuatu bermuatan sindiran, mengejek, komentar yang
tidak pantas, dan ancaman.
b. Bullying secara sosial, kadang-kadang disebut relational bullying.
Tindakan ini mengakibatkan rusaknya reputasi seseorang atau
hubungan. Intimidasi sosial ini misalnya, mengajak anak-anak lain
untuk tidak berteman dengan seseorang, menyebarkan rumor
tentang seseorang, mempermalukan seseorang di depan umum.
c. Bullying secara fisik. Tindakan ini menyakiti seseorang secara fisik.
Intimidasi fisik ini meliputi, misalnya, menekan, menendang,
mencubit, meludah, mendorong, mengambil atau merusak harta
benda seseorang, melakukan tindakan yang kasar.
14
Menurut Susan (2013) mengklasifikasikan bullying sebagai
berikut:
a. Bullying verbal: seorang siswa dipanggil dengan sebutan nama
atau menggoda siswa lain secara menyakitkan.
b. Bullying rumors: seorang siswa yang menjadi target desas-desus
palsu atau bohong.
c. Bullying exclusion: seorang siswa ditinggalkan dengan sengaja
atau benar-benar diabaikan.
d. Bullying sexual: seorang siswa diganggu menggunakan kata-kata
atau gerakan dengan makna seksual.
e. Bullying racial (suku): seorang siswa dijadikan fokus dari tindakan
bullying secara verbal.
f. Bullying fisik: seorang siswa memukul, menendang atau
mendorong siswa lain.
g. Bullying threat: seorang siswa diancam atau dipaksa melakukan
hal-hal yang beresiko terhadap dirinya.
h. Bullying cyber: seorang siswa yang dibully melalui telepon seluller
maupun jaringan komputer.
i. Bullying damage: seorang siswa merusak atau mengambil barang
milik siswa lain.
j. Bullying another way: seorang siswa yang diintimidasi dengan cara
apapun yang tidak disebutkan di atas.
3. Karakteristik Bullyi/Bullies
Perbedaan gender (laki-laki dan perempuan) dalam melakukan
bully terletak berdasarkan perbedaan bentuk pergaulannya. Anak laki-
laki didefinisikan sebagai seseorang yang terbiasa mengambil
tindakan yang beresiko, suka berkelahi, dan terlibat dalam suatu
15
kelompok ‘geng’. Sedangkan anak perempuan didefinisikan sebagai
seseorang yang pasif, tidak mandiri, penuh pertimbangan, dan taat
pada peraturan. Maka dari itu, bentuk perilaku bullying juga berbeda.
Perilaku yang dilakukan oleh anak perempuan biasanya terjadi dalam
indirect (tidak langsung) seperti verbal dan psikologis, bukan tindakan
fisik. Sedangkan, anak laki-laki lebih cenderung melakukan sebaliknya
(Aldilla, 2009).
Menurut Astuti (2008), pelaku umumnya temperamental. Mereka
melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan
kekesalan dan kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa
tidak punya teman, sehingga in menciptakan situasi bullying supaya
memiliki “pengikut” dan kelompok sendiri. Pelaku bullying bisa jadi
takut menjadi korban bullying, sehingga lebih dulu mengambil inisiatif
sebagai pelaku bullying untuk keamanan dirinya. Pelaku bullying
kemungkinan besar juga sekedar mengulangi apa yang pernah ia lihat
dan alami sendiri. Ia menganiaya anak lain karena mungkin ia sendiri
dianiaya orang tuanya di rumah. Ia juga mungkin pernah ditindas dan
dianiaya anak lain yang lebih kuat darinya di masa lalu (SEJIWA,
2008).
Menurut Astuti (2008), ciri pelaku bullying antara lain:
a. Hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa di
sekolah.
b. Menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah/sekitarnya.
c. Merupakan tokoh populer di sekolah.
d. Gerak-geriknya seringkali dapat ditandai: sering berjalan di depan,
sengaja menabrak, berkata kasar, menyepelekan/melecehkan.
16
4. Faktor-faktor penyebab bullying
Faktor-faktor yang mempengaruhi bullying adalah:
a. Faktor Keluarga
Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu
menderita depresi, kurangnya komunikasi orang tua dan anak,
terjadinya perceraian, adanya ketidakharmonisan orang tua, dan
ketidakmampuan sosial ekonomi (Astuti, 2008).
Menurut Clara (2009), anak bullying itu biasanya datang dari
beberapa macam keluarga yaitu, keluarga yang sangat
memanjakan anak, keluarga yang terlihat baik-baik saja, dan
keluarga yang tidak berfungsi atau broken home.
Anak yang melihat orang tua atau saudara melakukan bullying
akan mengembangkan perilaku yang sama. Ketika anak menerima
pesan negatif, mereka cenderung lebih dulu menyerang daripada
diserang. Bullying dimaknai sebagai kekuatan melindungi diri dari
lingkungan yang mengancam. Seringnya terjadi percekcokan
antara ayah dan ibu yang dilakukan di depan anak serta orang tua
yang sering memarahi anaknya menyebabkan emosional anak
tidak stabil dan menjadi agresif (Agustiono, 2014).
Orang tua juga harus menjadi teladan yang baik bagi anaknya,
jangan sampai orang tua salah dalam mendidik anak yang justru
malah menyebabkan anak melakukan tindakan bullying. Orang tua
yang memiliki kesehatan mental dan jiwa yang kurang baik
berpotensi besar memiliki anak yang melakukan tindakan bullying
(Agustiono, 2014).
17
b. Faktor Sekolah
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta
Swasono (2007) terjadinya bullying atau aksi initimidasi fisik,
verbal, maupun psikologis yang terjadi di sekolah akibat krisis
pendidikan karakter dan budi pekerti.
Menurut Ponny Retno Astuti (2008), bullying juga disebabkan
oleh faktor eksternal yaitu lingkungan sekitarnya serta faktor
internal, antara lain:
1) Lingkungan sekolah yang kurang baik.
2) Senioritas tidak pernah diselesaikan.
3) Guru memberikan contoh kurang baik pada siswa.
4) Ketidakharmonisan di rumah.
5) Karakter anak (faktor internal).
Kemudian menurut Abu Huraerah (2007) dalam bukunya Child
Abuse (Kekerasan terhadap Anak), kekerasan di sekolah bisa
terjadi karena beberapa faktor:
1) Karena kebanyakan guru kita (di Indonesia) kurang menghayati
pekerjaanya sebagai panggilan profesi, sehingga cenderung
kurang memiliki kemampuan mendidik dengan benar serta
tidak mampu menjalin ikatan emosional yang konstruktif
dengan siswa (Mulyadi, 2006).
2) Demi dalih kedisiplinan siswa. Guru kerapkali kehilangan
kesabaran hingga melakukan hukuman fisik, atau melakukan
tindakan-tindakan ynag tidak terpuji dan melanggar batas etika
dan moralitas, seperti memukul, meninju, dan menendang
(kekerasan fisik) serta mengeluarkan kata-kata yang tidak
18
mendidik, yang dapat menyinggung perasan siswa (kekerasan
verbal/kekerasan psikologis/kekerasan emosional).
3) Kurikulum terlalu padat dan kurang berpihak kepada siswa,
sehingga mengakibatkan guru cenderung menjalankan
tugasnya sekedar megejar target kurikulum. Ini tentu terkait
dengan belum optimalnya upaya peningkatan kualitas dan
kesejahteraan siswa (Mulyadi, 2006).
Bullying menjadi lebih sering terjadi justru karena tidak ada atau
minimnya respon dari orang tua dan guru. Asumsi demikian juga
dikemukakan oleh Stevens dalam penelitiannya tentang bullying di
sekolah. Dapat diasumsikan bahwa terjadinya bullying di sekolah
antara lain dapat disebabkan oleh:
1) Tradisi senioritas.
2) Ekonomi agama, gender, etnisitas, atau rasitas.
3) Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban.
4) Keluarga yang tidak rukun seperti perceraian, masalah
keluarga, perselisihan, kurangnya komunikasi orang tua dan
anak.
5) Situasi yang tidak harmonis dan diskriminatif.
6) Karakter individu atau kelompok (dendam atau iri hati, adanya
semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik dan
psikis, untuk meningkatkan popularitas di kalangan sebaya).
c. Peran Kelompok Teman Sebaya
Menurut Verlinden (2000) dalam Agustiono (2014), teman
sebaya memainkan peranan yang tidak kurang pentingnya
terhadap perkembangan dan pengukuhan tingkah laku bulli, sikap
anti sosial dan tingkah laku lain di kalangan anak-anak.
19
Maraknya kasus bullying, antara lain dipicu oleh belum adanya
persamaan persepsi antara pihak sekolah, orang tua, dan
masyarakat dalam melihat pentingnya permasalahan bullying serta
penanganannya. Belum adanya kebijakan secara menyeluruh dari
pihak pemerintah dalam menanganinya menambah semakin
tersulutnya bullying (Astuti, 2008).
d. Media yang agresif (televisi, permainan elektronik, komik atau
bacaan)
Berbagai media seperti game, televisi dan film sering
menampilkan tayangan perang dan kekerasan. Maka dari itu orang
tua harus mendampingi dan mengawasi anak saat bermain game
ataupun menonton film dan jangan lupa bagi orang tua untuk
memperingatkan anak untuk tidak meniru adegan-adegan yang
berhubungan dengan kekerasan, sebab anak cenderung meniru
pada apa yang ia tonton dan ia mainkan (Agustiono, 2014).
5. Anak dengan Kecenderungan Menjadi Pelaku Bullying
a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Setiap individu yang melakukan bullying dapat terjadi tidak
secara independen tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berada di sekitar bullying. Jika diidentifikasi terdapat beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya perilaku bullying,
diantaranya:
1) Kontribusi Anak
Maksud dari kontribusi anak adalah hal-hal yang terdapat
didalam diri anak yang dapat mempengaruhi tingkah lakunya
(Pearce, 2002). Jenis kelamin dan temperamen merupakan
contoh dari kontribusi anak. Penelitian Maccoby dan Jaklin
20
(Pearce, 2002) menjelaskan bahwa baik manusia maupun
binatang yang berjenis kelamin laki-laki/jantan lebih agresif
dibandingkan dengan perempuan/betina (Latip, 2013).
Temperamen merupakan karakteristik individu yang secara
potensial telah dimiliki dari sejak lahir, banyak teori yang
menjelaskan bahwa temperamen sebagai bentuk keturunan
seperti yang diyakini oleh Hurlock (2006). Oleh karena itu faktor
temperamen ini tidak dapat dipungkiri diasumsikan menjadi
salah satu dari penyebab terjadinya bullying pada semua
tingkatan usia sekolah seperti TK, MI/SD, SMP, SMA, dan
bahan perguruan tinggi. Adapun yang dimaksud dengan anak
yang temperamen adalah anak yang emosional, pemarah,
sensitif, dan lepas kendali (Budiman, dkk., 2006).
2) Pola Asuh Keluarga
Faktor lain yang juga penting untuk diidentifikasi yang dapat
mempengaruhi perilaku bullying adalah pola asuh keluarga,
karena pola asuh dan masalah dalam keluarga dapat
mendorong perilaku bullying pada anak (Pearce, 2002). Oleh
karena itu, dapat diterima jika sekolah dengan tingkat bullying
yang tinggi, relatif memiliki jumlah anak yang mengalami
pengasuhan yang kurang memuaskan dan mengalami banyak
masalah keluarga. Kurang puasnya pengasuhan yang
dirasakan anak terjadi akibat ia merasa hanya sedikit
mendapatkan cinta, perhatian, dan pengawasan serta
pengasuh anak tidak memberikan batasan yang jelas tentang
tingkah laku yang dilarang yang disebut dengan pola asuh
permissive (permissive parenting). Penyebab terjadinya
21
permissive parenting yang kemudian berdampak pada bullying
pada anak dapat saja karena masalah keluarga seperti berupa
pertengkaran diantara orang tua, perceraian, penyakit
psikiatris, penyalahgunaan alkohol, dan sebagainya (Latip,
2013).
Disamping pola asuh permissive yang dapat mempengaruhi
perilaku bullying dapat juga dari pola asuh otoriter
(authoritarian parenting). Pola asuh oteriter ini sangat
mementingkan kepatuhan anak terhadap orang tua (Slavin,
2007) pola asuh seperti akan terjadi pemaksaan kehendak dari
orang tua yang tidak menutup kemungkinan berbenturan
dengan kesiapan anak sehingga anak akan mengalami trauma
atau melakukan perlawanan dalam bentuk substitusi atau
pengalihan perlawanan dengan melakukan bullying pada anak
lain yang memiliki kekuatan lemah (Latip, 2013).
Sebanding dengan pola asuh di atas, pola asuh yang
mengabaikan (uninvolved parenting) juga dapat menjadi faktor
yang mendorong terjadinya bullying pada anak, seperti
dijelaskan oleh Steninberg, (1999) bahwa pola asuh
mengabaikan tidak berpusat pada apa yang baik untuk anak,
melainkan hanya berpusat pada keinginan dan kepentingan
orang tua. Pola asuh seperti ini mengakibatkan anak bertindak
tanpa kendali dan jika dibiarkan dapat terjerembab kedalam
tindakan bullying. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Patterson, dkk. (1997) menjelaskan bahwa anak dengan pola
asuh mengabaikan memiliki kecenderungan terlibat dalam
kenakalan remaja dan bertingkah laku antisosial (Latip, 2013).
22
3) Konformitas Teman Sebaya
Anak usia MI/SD secara sosial dikenal sebagai fase awal untuk
berkelompok dan memiliki banyak teman sehingga dikenal
dengan gang age, oleh karena itu konformitas teman sebaya
atau peer lebih memiliki pengaruh terhadap perilaku anak oleh
karena itu memilih teman dan kelompok yang baik menjadi
keniscayaan yang tidak bisa ditawarkan untuk menghindari
perilaku anak dari tindakan negatif, dan apabila lepas kendali
dari cara berteman dan berkelompok yang salah dipastikan
anak anak terlibat dalam tindakan negatif seperti bullying
seperti yang dijelaskan oleh Lowestein (2002) menyatakan
bahwa konformitas terhadap peer merupakan peran-peran
sentral di dalam proses pembentukan bullying. Hal tersebut
juga didukung oleh Sullivan (2000) yang menyatakan bahwa
salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi
pelaku bullying adalah pengaruh teman sebaya (Latip, 2013).
4) Media
Saat ini media menjadi komponen kehidupan yang dapat
mempengaruhi pola kehidupan sesorang baik itu media cetak
maupun elektronika, pengaruh yang ditimbulkan dapat saja
positif atau negatif tergantung pada pengguna dari media
tersebut. Oleh karena itu menggunakan media sesuai fungsi
utamanya yaitu menjadi sumber belajar harus menjadi pilihan
utama pula dalam membimbing anak, sebab jika lepas kendali
akan dapat dipastikan anak memilih informasi dan tontonan
yang dapat merusak moral dan prilakunya. Diantara pengaruh
negatif yang langsung atau tidak langsung adalah tindakan
23
kekerasan atau bullying yang terjadi pada peserta didik anak
usia MI/SD seperti hasil penelitian internasional Olweus (1993)
mengindikasikan bahwa anak dan remaja yang melihat
kekerasan yang ada di TV, video, dan film seringkali menjadi
agresif dan memiliki empati yang lebih rendah pada korban
agresifitas (Latip, 2013).
Hal tersebut didukung oleh Pearce (2002) yang menyatakan
bahwa bagi beberapa anak yang menonton TV dapat
memancing agresivitas mereka. Dengan demikian benar yang
disimpulkan oleh Rahmadara (2012) bahwa media dapat
menimbulkan tindakan bullying yang meningkat pada anak.
Oleh karena itu sejatinya para pengelola media dan orang tua
dapat memberikan dan mengontrol tontonan dan bacaan
peserta didik anak usia MI/SD untuk kebaikan yang lebih utama
dimasa yang akan datang (Latip, 2013).
5) Iklim Sekolah
Iklim sekolah atau school climate adalah kondisi dan suasana
sekolah sebagai tempat belajar bagi peserta didik anak usia
MI/SD. Sekolah bagi anak usia MI/SD adalah rumah kedua
yang kondisinya harus diciptakan senyaman mungkin seperti
berada di rumah. Dan jika kondisi yang terjadi malah
sebaliknya, sekolah justru akan menjadi tempat berlatih untuk
bertindak negatif, maka iklim sekolah seperti ini akan merusak
dan bahkan menghancurkan masa depan anak. Jika demikian
maka sekolah memegang peranan penting dalam membentuk
anak menjadi pelaku bullying (Pearce, 2002). Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Pearce (2002) menjelaskan indikasi
24
bullying di sekolah yaitu moral yang rendah pada staf-stafnya,
tingkat pergantian guru cukup tinggi, standar tingkah lakunya
tidak jelas, metode disiplin tidak konsisten, organisasinya
buruk, pengawasan tidak ketat, dan kurang mengawasi anak
sebagai individu. Dengan demikian iklim sekolah yang didesain
dengan baik aman dan nyaman akan menciptakan output
bahkan outcome yang baik pula dan tentu saja semua
komponen pendidikan berharap generasi emas kita menjadi
pendulang emas bagi kesejahteraan mereka dimasa yang akan
dan terutama bagi kemajuan bangsa ini (Latip, 2013).
b. Agus Sampurno menjelaskan, ada beberapa tanda–tanda pelaku
dan karakteristik anak di sekolah terjadi bullying (dalam Trevi,
2010), yakni sebagai berikut:
1) Sikapnya agresif dan perilaku mendominasi terhadap orang
lain, menjengkelkan.
2) Bersifat rahasia dan sulit untuk dilakukan pendekatan.
3) Secara teratur memiliki perhiasan, pakaian atau uang yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
4) Ada laporan dari anak-anak lain tentang perkelahian atau
tindak kekerasan anak tertentu sengaja menyakiti anak lain.
5) Memiliki bukti bahwa milik seorang anak telah dirusak atau
merusak milik seseorang.
6) Menggunakan orang lain untuk mendapatkan apa yang ia suka.
7) Terus-menerus menceritakan kebohongan tentang perilakunya.
8) Ketika ditanya, anak memperlihatkan perilaku yang tidak
pantas dan sering bermuka masam.
25
9) Menolak untuk mengakui melakukan sesuatu yang salah atau
menerima kesalahan, tetapi ketika mengakui kesalahan, tidak
ada penyesalan nyata atau rasa empati.
10) Tampak menikmati menyakiti orang lain dan melihat mereka
menderita, melihat teman yang lebih lemah sebagai mangsa.
11) Menceritakan cerita atau membuat komentar menghasut
(menyalahkan, mengkritik, dan tuduhan palsu) tentang orang
lain yang tidak benar untuk menempatkan mereka ke dalam
kesulitan.
12) Anak-anak lain yang diintimidasi menjadi gugup atau diam
dalam kehadiran anak tertentu.
13) Anak-anak lainnya berbohong untuk melindungi anak tertentu.
14) Tidak punya gambaran ke depan untuk mempertimbangkan
konsekuensi atas perilakunya.
15) Menolak untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan-
tindakan yang sudah dilakukannya.
B. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah tempat dimana masyarakat saling
berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar sesama
maupun dengan lingkungannya. Lingkungan sosial terdiri dari beberapa
tingkat. Tingkat yang paling awal adalah keluarga, dari keluarga kita di
ajari cara, sikap, dan sifat untuk berinteraksi dengan saudara jauh,
tetangga dan orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggal kita.
Tingkat selanjutnya adalah sekolah, dimana kita bisa
mengembangkan pelajaran bersosialisasi yang diberikan dari keluarga di
rumah ke lingkungan sekolah, kita bisa berinteraksi dengan guru,
26
karyawan sekolah, teman-teman sekolah maupun pedagang yang
menjajakkan jualannya di depan sekolah. Ada pula dari tingkatan sekolah
yang tertinggi yaitu perkuliahan, lalu ada tingkatan saat kita berada di
lingkungan kerja.
Tingkatan paling akhir adalah lingkungan masyarakat yang kita
akan temui nanti saat kita sudah cukup siap dan dewasa untuk bisa terjun
langsung ke dalamnya, kitapun akan bisa lebih mengetahui bagaimana
sikap, sifat dan masalah-masalah di dalam lingkungan masyarakat yang
saat kita berada di tingkat keluarga maupun sekolah belum kita temui dan
kita bisa terjun langsung ke dalam masyarakat dengan bekal apa yang kita
pelajari dari lingkungan sosial kita terdahulu yaitu keluarga dan sekolah.
Lingkungan rumah memang sangat besar pengaruhnya terhadap
perilaku bullying. Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang sering terjadi
perkelahian atau permusuhan, berlaku tidak sesuai dengan norma, tentu
dia akan merasa bersalah. Begitu pun sekolah, bisa memicu anak jadi
melakukan bullying. Misalnya, guru berbuat kasar kepada siswa, guru
kurang memperhatikan kondisi anak, baik dalam sosial ekonomi maupun
prestasi anak atau perilaku sehari-hari di kelas atau di luar kelas,
bagaimana dia bergaul dengan teman-temannya. Teman yang sering
meledek dan mengolok-olok, menghina, mengejek dan sebagainya
(Safitri, 2014).
Salah satu faktor dari perilaku bullying disebabkan oleh adanya
teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara
menyebarkan ide (baik secara aktif maupun pasif) bahwa bullying
bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk
dilakukan. Pada masanya, anak juga memiliki keinginan untuk tidak lagi
tergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman
27
dari kelompok sebayanya. Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan
konformitas (Ratna, 2005).
Berkenaan dengan faktor teman sebaya dan lingkungan sosial,
terdapat beberapa penyebab pelaku bullying melakukan tindakan bullying
adalah:
1. Kecemasan dan perasaan inferior dari seorang pelaku.
2. Persaingan yang tidak realistis.
3. Perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau juga karena
pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sebelumnya.
4. Ketidakmampuan menangani emosi secara positif (Rahma, 2008).
C. Aktivitas Menonton Televisi
1. Pengertian
a. Aktivitas
Pengertian aktivitas adalah suatu energi atau keadaan
bergerak dimana manusia memerlukannya untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup (Towarto, 2007).
b. Televisi
Menurut Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Televisi adalah sistem penyiaran gambar yang
disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa
dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan
bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali
menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat
didengar (Nugroho, 2009).
28
c. Pengertian Menonton Televisi
Kebanyakan aktivitas menonton berawal dari sebuah
kebutuhan akan informasi yang kemudian berpola dan menjadi
semacam ritual keseharian. Aktivitas menonton televisi adalah
suatu proses yang rumit, terjadi dalam praktik domestik, yang
hanya dapat dipahami dalam konteks kehidupan sehari-hari
(Triwardani & Wicandra, 2007).
Pengertian menonton televisi adalah suatu tindakan yang
menarik yang tidak lepas dari dorongan dari masing-masing
individu untuk menikmati apa yang ditayangkan oleh televisi, atau
dengan kata lain tindakan menonton televisi adalah kesadaran
seseorang terhadap sesuatu yang berhubungan dengan dorongan
yang ada dalam diri individu sehingga seseorang memusatkan
perhatiannya terhadap acara televisi dengan senang hati serta
dengan perasaan puas sehingga pemirsa dapat menikmati apa
yang ditayangkan televisi tersebut (Ahmad, 2012).
Jadi, pengertian aktivitas menonton televisi adalah suatu
proses yang memerlukan energi dimana manusia melakukan suatu
tindakan yang menarik yang tidak lepas dari dorongan masing-
masing individu dengan senang hati serta dengan peraaan puas
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Dampak Aktivitas Menonton Televisi bagi Anak-anak
Sejak akhir 1990-an, semakin banyak orang tua yang
mengizinkan bayinya menonton televisi seiring dengan semakin
banyaknya produk DVD yang diiklankan dapat membantu
perkembangan bahasa dan kognitif bayi. Namun, tidak ada penelitian
yang menunjukkan bahwa menonton televisi sejak usia dini dapat
29
meningkatkan perkembangan berbahasa anak. Sebaliknya, bukti
ilmiah menunjukkan bahwa bayi yang menonton DVD semacam itu
memiliki kemampuan berbahasa yang lebih rendah. Demikian pula,
semakin banyak anak menonton televisi sebelum usia 3 tahun,
semakin tinggi kemungkinannya mengalami masalah perhatian pada
usia 7 tahun (Christakis, 2009).
Menonton acara televisi yang berkualitas dapat meningkatkan
kemampuan kognitif anak usia prasekolah (Fisch dan Truglio, 2001
dalam Wikipedia, 2014). Melalui televisi, anak-anak juga dapat belajar
mengenai perilaku anti kekerasan, empati, toleransi kepada orang dari
ras atau etnis lain, dan rasa hormat kepada orang yang lebih tua.
Namun, menonton televisi juga berpotensi memberikan dampak
negatif bagi anak-anak dan remaja, seperti perilaku agresif,
penyalahgunaan zat, aktivitas seksual yang berisiko, obesitas,
gangguan pola makan, dan menurunnya prestasi di sekolah. Bila di
dalam kamar anak terdapat televisi, risiko anak mengalami kelebihan
berat badan dan kemungkinan anak merokok meningkat, anak menjadi
kurang membaca dan melakukan hobi lainnya, serta waktu tidur anak
berkurang (Strasburger dkk, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying:Kontribusi AnakLingkungan SosialPola Asuh KeluargaIklim SekolahKelompok Teman SebayaMediaTelevisiVideoFilmInternet
Bullying
Jenis Bullying:Bullying VerbalBullying FisikBullying Sosial
Karakteristik Pelaku Bullying:AgresifIntrovertMemiliki barang-barang yang tidak dapat dipertanggung-jawabkanSuka berkelahiMerusak barang milik orang lainMemanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keinginannyaBerbohong tentang perilakunyaPerilaku tidak sopanTidak mau mengakui kesalahan/tidak merasa bersalahSuka menyakiti orang lainMenceritakan kebohongan
30
D. Kerangka Teori
Keterangan :
Diteliti
Tidak Diteliti
Sumber : (Astuti, 2008), (Agustiono, 2014), (Clara, 2009), (Huraerah, 2007), (Latip, 2013), (Trevi, 2010), (Swasono, 2007), (Mulyadi, 2006).
Gambar 2.1 Kerangka Teori
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah ciri atau ukuran yang melekat pada
objek penelitian baik bersifat fisik (nyata) maupun psikis (tidak nyata)
(Putra, 2012). Pengertian lain menjelaskan bahwa variabel adalah
karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu subyek ke subyek
lain (Sastroasmoro, 2011). Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu:
1. Variabel Independen (Bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang apabila ia berubah akan
mengakibatkan perubahan pada variabel lain. Variabel bebas sering
disebut dengan banyak nama lain, seperti variabel independen,
predictor, risiko, determinan, atau kausa (Sastroasmoro, 2011).
Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini yaitu lingkungan
sosial dan aktivitas menonton televisi.
2. Variabel Dependen (Terikat)
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Putra, 2012). Variabel
dependen (terikat) dalam penelitian ini yaitu kecenderungan menjadi
pelaku bullying.
B. Hipotesis Penelitian
Secara etimologi, hipotesis berasal dari bahasa Yunani (hypo= di
bawah dan thesis= pendirian, pendapat yang ditegakkan). Artinya
hipotesis merupakan sebuah istilah ilmiah yang digunakan dalam rangka
kegiatan ilmiah dengan mengikuti kaidah-kaidah berpikir biasa, secara
32
sadar, teliti, dan terarah (Putra, 2012). Sedangkan menurut Sastroasmoro
(2011), hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan penelitian, yang harus diuji validitasnya secara empiris.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Hipotesa alternatif (Ha)
Hipotesa alternatif biasa dinyatakan dalam kalimat positif.
Ha1: Terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan
kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah
01 Kudus.
Ha2: Terdapat hubungan antara aktivitas menonton televisi dengan
kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah
01 Kudus.
2. Hipotesa nol (H0)
Hipotesa nol dinyatakan dalam kalimat negatif
H01: Tidak terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan
kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah
01 Kudus.
H02: Tidak terdapat hubungan antara aktivitas menonton televisi
dengan kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD
Muhammadiyah 01 Kudus.
33
C. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen (Bebas) Variabel Dependen (Terikat)
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
D. Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik
observasional yang bertujuan untuk mencari hubungan antara variabel
yang satu dengan variabel lainnya (Sastroasmoro, 2011). Penelitian ini
bersifat korelasional yang bertujuan mendapatkan gambaran tentang
hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian (Putra, 2012).
2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu
data yang dikumpulkan sesaat atau diperoleh saat itu juga. Cara ini
dilakukan dengan melakukan survey, wawancara, atau dengan
menyebarkan kuesioner kepada responden penelitian (Putra, 2012).
Dalam penelitian kali ini, peneliti akan menggunakan metode
kuesioner. Pada jenis pengukuran ini peneliti mengumpulkan data
secara formal kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara
tertulis (Nursalam, 2013).
Lingkungan Sosial
Kecenderungan menjadi pelaku bullying
Aktivitas Menonton Televisi
34
3. Metode Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber
pertama, atau dengan kata lain data yang pengumpulannya
dilakukan sendiri oleh peneliti secara langsung seperti hasil
wawancara dan hasil pengisian angket (kuesioner) (Widoyoko,
2012).
Data primer dari penelitian ini didapatkan secara langsung
dengan cara mengisi angket (kuesioner) yang diberikan pada
siswa-siswi SD Muhammadiyah 01 Kudus.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber
kedua. Data yang dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain,
dengan kata lain bukan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti
(Widoyoko, 2012).
Data sekunder dari penelitian ini didapatkan dari
pendokumentasian yang telah dilakukan oleh bagian kesiswaan
SD Muhammadiyah 01 Kudus berupa absensi, biodata siswa yang
meliputi alamat dan pekerjaan orang tua.
4. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang telah
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Saryono, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 sampai 6 baik laki-
laki maupun perempuan di SD Muhammadiyah 01 Kudus, dengan
jumlah siswa pada tahun ajaran 2014 yaitu sejumlah 434 siswa.
35
5. Prosedur Sampel dan Sampel Penelitian
a. Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih
dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili
populasinya (Sastroasmoro, 2011). Bila populasi besar dan
penelitian tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada
populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu,
maka peneliti dapat mengunakan sampel yang diambil dari
populasi itu (Sugiyono, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010), dalam menentukan besar sampel
untuk skala kecil (<10.000) dapat menggunakan rumus sebagai
berikut:
n = N
1+N (0,12)
= 434
1+434 (0,01 )
= 4345,34
= 81,27 di bulatkan menjadi 81.
Maka besarnya sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 81
responden.
b. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling adalah cara menentukan sampel yang
jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan
sumber data sebenarnya dengan memperhatikan sifat-sifat
36
penyebaran populasi yang diperoleh sampel yang representative
(Setiawan dan Saryono, 2010).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified
random sampling, yaitu cara pengambilan sampel jika populasi
mempunyai karakteristik heterogen (Putra, 2012). Pada cara ini
sampel dipilih secara acak untuk setiap strata, kemudian hasilnya
dapat digabungkan menjadi satu sampel yang terbebas dari variasi
untuk setiap strata (Sastroasmoro, 2011).
Populasi penelitian ini sebesar 434 siswa dari kelas I sampai
dengan kelas VI, dengan kelas IA = 22 siswa, kelas IB = 22 siswa,
kelas IIA = 28 siswa, kelas IIB = 29 siswa, kelas IIC = 23 siswa,
kelas IIIA = 22 siswa, siswa IIIB = 26 siswa, kelas IIIC = 27 siswa,
kelas IVA = 36 siswa, kelas IVB = 36 siswa, kelas VA = 39 siswa,
kelas VB = 39 siswa, kelas VIA = 28 siswa, kelas VIB = 29 siswa
dan kelas VIC = 28 siswa. Guna mendapatkan sampel yang
memadai secara proporsional, maka dilakukan pengambilan
sampel secara stratifikasi, dengan cara menggunakan rumus
sebagai berikut:
Sampel Strata = jumlah populasi strata x Sampel
jumlah populasi
dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh hasil:
kelas I A =22x 81
434 = 4,01 = 4 siswa
kelas I B =22x 81
434 = 4,01 = 4 siswa
kelas II A =28x 81
434 = 5,22 = 5 siswa
37
kelas II B =29x 81
434 = 5,5 = 6 siswa
kelas II C =23x 81
434 = 4,29 = 4 siswa
kelas III A =22x 81
434 = 4,01 = 4 siswa
kelas III B =26 x81
434 = 4,85 = 5 siswa
kelas III C =27 x81
434 = 5,03 = 5 siswa
kelas IV A =36 x81
434 = 6,71 = 7 siswa
kelas IV B =36 x81
434 = 6,71 = 7 siswa
kelas V A = 39x 81
434 = 7,27 = 7 siswa
kelas V B = 39x 81
434 = 7,27 = 7 siswa
kelas VI A =28x 81
434 = 5,22 = 5 siswa
kelas VI B =29x 81
434 = 5,5 = 6 siswa
kelas VI C =28x 81
434 = 5,22 = 5 siswa
Jumlah sampel sebanyak 81 siswa.
Dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari
suatu populasi target terjangkau yang akan diselidiki atau
karakteristik sampel yang layak untuk diteliti. Kriteria inklusi dari
penelitian ini adalah:
38
1) Siswa baik laki-laki maupun perempuan kelas 1 sampai 6 di
SD Muhammadiyah 01 Kudus.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak dapat
dimasukkan atau tidak layak diteliti. Kriteria eksklusi dalam
penelitian ini adalah:
1) Siswa yang tidak bersedia menjadi responden atau tidak
mau menandatangani Informant Consent.
6. Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional Variabel adalah batasan yang digunakan untuk
membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang
diamati atau diteliti, definisi operasional ini juga bermanfaat untuk
mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap
variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen
atau alat ukur (Notoatmodjo, 2010).
Tabel 3.1 Definisi Operasional VariabelVariabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur SkalaLingkungan Sosial
Tempat dimana seseorang berinteraksi, melakukan suatu kegiatan bersama orang lain maupun dengan lingkungannya yang bersifat positif (baik) dan negatif (kurang baik). Terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan teman sebaya.
Kuesioner Lingkungan sosial kurang baik: jika memperoleh skor ¿ Mean
Lingkungan sosial baik: jika memperoleh skor ≥ Mean
Nominal
Aktivitas Menonton Televisi
Suatu aktivitas atau kegiatan untuk memperoleh informasi atau hiburan dari media televisi baik yang bersifat positif (baik) dan negatif (kurang baik).
Kuesioner Kebiasaan menonton TV kurang baik: jika memperoleh skor ¿ Mean
Kebiasaan menonton TV baik: jika
Nominal
39
memperoleh skor ≥ Mean
Kecenderu-ngan Pelaku Bullying
Resiko seorang individu yang menjadi pelaku perilaku/ tindakan bullying.
Kuesioner modifikasi dari Karina Astarini, Hubungan Antara Perilaku Over Protective Orang Tua Dengan Bullying tahun 2013
kecenderungan menjadi pelaku: jika memperoleh skor ¿ Mean
tidak cenderung menjadi pelaku: jika memperoleh skor ≥ Mean
Nominal
7. Instrumen Penelitian dan Cara Penelitian
a. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah memperoleh data tentang status
sesuatu dibandingkan dengan standar atau ukuran yang telah
ditentukan (Notoadmodjo, 2010).
Instrumen penelitian yaitu suatu alat yang digunakan untuk
mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (variabel
penelitian) (Sulistyaningsih, 2011).
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner, kuesioner adalah seperangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis yang ditujukan kepada responden untuk
dijawabnya (Sulistyaningsih, 2011)
Instrumen penelitian dalam penelitian ini meliputi:
1) Identitas responden terdiri dari nama responden, dalam hal ini
(ditulis inisial), umur, jenis kelamin, kelas, alamat dan nama
orang tua (ditulis inisial), pendidikan orang tua, pekerjaan orang
tua, dan jam kerja orang tua.
2) Kuesioner lingkungan sosial berisi 20 pernyataan tentang
identifikasi lingkungan sosial, dengan pilihan selalu (1), sering
(2), jarang (3), dan tidak pernah (4).
40
3) Kuesioner aktivitas menonton televisi berisi 16 pernyataan
tentang identifikasi aktivitas menonton televisi, dengan pilihan
selalu (1), sering (2), jarang (3), dan tidak pernah (4).
4) Kuesioner bullying berisi 27 pernyataan tentang identifikasi
kategori pelaku bullying, dengan pilihan selalu (1), sering (2),
jarang (3), dan tidak pernah (4).
Tabel 3.2 Tabel kisi–kisi instrumen penelitian
No Materi Indikator Nomor PernyataanTotal
Pernyataan1. Lingkungan
Sosial Keluarga Sekolah Teman Sebaya
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,1213,15,16,17,18,19
11,14,20
20 pernyataan
2. Aktivitas Menonton Televisi
Positif Negatif
2,12,13,15,161,3,4,5,6,7,8,9,10,
11,14
16 pernyataan
3. Pelaku Bullying
Kehidupan di sekolah Melakukan bullying
fisik pada siswa lain. Melakukan bullying
verbal pada siswa lain. Melakukan bullying
psikologis pada siswa lain.
1,2,5,243,4,7,8,9
6,10,11,12, 13,14,15
16,17,18,19, 20,21,22,23, 25,26,27
27 pernyataan
Kuesioner ini dibuat sendiri oleh peneliti sehingga memerlukan
uji validitas dan reliabilitas. Setelah kuesioner sebagai alat ukur
atau alat pengumpul selesai disusun, belum berarti kuesioner
tersebut dapat langsung digunakan untuk mengumpulkan data.
Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian perlu uji
validitas dan reabilitas (Notoatmojo, 2010).
b. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu
benar-benar mengukur apa yang diukur. Demikian pula kuesioner
41
sebagai alat ukur harus mengukur apa yang di ukur. Untuk
mengetahui apakah kuesioner yang kita susun mampu mengukur
apa yang akan diukur, maka perlu di uji dengan uji korelasi antar
skor (nilai) tiap-tiap item (pernyataan) dengan total kuesioner
tersebut (Notoatmojo, 2010). Teknik korelasi yang dipakai adalah
teknik korelasi “pearson product moment” yang rumusnya sebagai
berikut:
rhitung= n¿¿
Keterangan:
rhitung = koefisiensi korelasi
ƩXi = jumlah skor item
ƩYi = jumlah skor total (item)
n = jumlah responden
jika r hitung ≥ koefisien nilai tabel yaitu taraf signifikan 5 %, maka
instrumen yang diuji dinyatakan valid (Sugiyono, 2009).
Uji validitas dilakukan di SD Muhammadiyah Pasuruhan pada
tanggal 11-12 Februari 2015 dengan jumlah sampel sebanyak 30
siswa, dengan distribusi nilai R-tabel signifikasi 5% adalah ≥0,361,
maka hasil dari instrumen pernyataan yang diuji dinyatakan valid.
Tabel 3.3 Tabel kisi–kisi instrumen penelitian
No Materi Indikator Nomor PernyataanTotal
Pernyataan1. Lingkungan
Sosial Keluarga Sekolah Teman Sebaya
1,2,3,4,6,9,1213,15,16,19
20
12 pernyataan
2. Aktivitas Menonton Televisi
Positif Negatif
2,133,4,5,6,7,8,9,11
10 pernyataan
3. Pelaku Bullying
Kehidupan di sekolah Melakukan bullying
fisik pada siswa lain.
5,243,4,9
17 pernyataan
42
Melakukan bullying verbal pada siswa lain.
Melakukan bullying psikologis pada siswa lain.
6,11,12,14
16,17,18,19, 20,22,26,27
c. Uji Reliabilitas
Menurut Sugiyono (2009), reliabilitas adalah kesamaan hasil
pengukuran bila fakta di ukur dalam waktu yang berlainan. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan uji relibialitas “Alpha
Cronbach” yang rumusnya sebagai berikut:
ri =k
(k−1){1Si
2
S t2 }
Keterangan :
ri = reliabilitas instrumen
k = banyaknya item
ƩS i2= jumlah varian item
St2 = varian total
Instrumen dinyatakan reliabel jika reliabilitas internal seluruh
instrumen sama dengan atau lebih dari 0.60 sampai mendekati
angka satu dan nilainya positif (Sugiyono, 2009).
Uji reliabilitas dilakukan di SD Muhammadiyah Pasuruhan pada
tanggal 11-12 Februari pada jumlah sampel sebanyak 30 siswa.
Hasil uji reliabilitas pada alpha cronbach’s pada kriteria lingkungan
sosial 0,867, kriteria aktivitas menonton televisi 0,8 dan kriteria
bullying 0,912, hasil ini menunjukkan bahwa instrument adalah
reliable karena nilai alpha cronbach’s > 0.60.
8. Teknik Pengolahan Analisa dan Cara Penelitian
43
a. Teknik Pengolahan Data
Menurut Notoatmojo (2010), dalam suatu penelitian,
pengolahan data merupakan salah satu langkah yang penting.
Data yang telah dikumpulkan masih dalam bentuk data mentah
(raw data), maka harus diolah sedemikian rupa sehingga menjadi
informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian (Riyanto, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010) dan Riyanto (2010),
pengolahan data terdiri dari 5 tahap, yaitu:
1) Editing (Pemeriksaan Data)
Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan
isi kuesioner sudah diisi lengkap, jelas jawaban dari responden,
relevan jawaban dengan pertanyaan, dan konsisten.
2) Coding (Pemberian Kode)
Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka/bilangan. Tujuannya adalah
mempermudah pada saat analisis data dan juga pada saat
memasukkan data.
a) Variabel Lingkungan Sosial
Lingkungan Sosial kurang baik : kode 1
Lingkungan Sosial baik : kode 2
b) Variabel Aktivitas Menonton Televisi
Kebiasaan menonton TV kurang baik : kode 1
Kebiasaan Menonton TV baik : kode 2
c) Variabel Pelaku Bullying
Kecenderungan menjadi pelaku : kode 1
Tidak cenderung menjadi pelaku : kode 2
44
3) Scoring (Penilaian)
Kegiatan melakukan scoring terhadap jawaban dari kuesioner.
Pemberian skor atau nilai pada jawaban pertanyaan yang telah
diterapkan.
Pemberian skor dalam penelitian ini dikatakan sebagai
kecenderungan pelaku bullying jika:
a) Lingkungan sosial kurang baik: memperoleh skor ¿ Mean.
b) Lingkungan sosial baik: memperoleh skor ≥ Mean.
c) Kebiasaan menonton TV kurang baik: memperoleh ¿ skor
Mean.
d) Kebiasaan menonton TV baik: memperoleh skor ≥ Mean.
e) Kecenderungan menjadi pelaku: memperoleh skor ¿ Mean
f) Tidak cenderung menjadi pelaku: memperoleh skor ≥
Mean.
4) Processing (Memasukkan Data)
Setelah merubah data menjadi angka, selanjutnya data dari
kuesioner dimasukkan ke dalam program komputer.
5) Cleaning (Pembersihan Data)
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang
sudah dimasukkan, untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan kode, ketidaklengkapan, kemudian dilakukan
pembetulan atau koreksi.
b. Analisa Data
Data yang telah diolah tidak akan ada maknanya tanpa dianalisis.
Tujuan dari analisis data adalah untuk memperoleh gambaran dari
hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian,
45
membuktikan hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dirumuskan,
dan memperoleh kesimpulan secara umum (Notoatmodjo, 2010).
Pada penelitian ini, data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis
dengan:
1) Analisa Univariat
Menurut Notoatmodjo (2010), analisa univariat adalah
analisa yang dilakukan pada tiap variabel. Analisa ini
menghasilkan data numerik dan kategorik berupa distribusi
frekuensi atau prosentase. Adapun untuk skala data yang
bersifat numerik akan menghasilkan analisis deskriptif dalam
bentuk sebagai berikut:
a) Mean
Menurut Sugiono (2007), mean adalah konstanta yang
paling banyak dipergunakan yang diperoleh dengan jalan
menjumlahkan semua nilai pengamatan dibagi jumlah
semua pengamatan dalam agregat. Rumusnya sebagai
berikut:
Keterangan :
n : Jumlah
X : Nilai rata-rata
x : Jumlah skor
b) Median
Median merupakan nilai observasi yang terletak di
tengah setelah seri pengamatan diurutkan menurut besar-
kecilnya (Array data).
46
Rumusnya sebagai berikut :
Keterangan :
n : Jumlah
Me : Nilai Median
c) Modus
Modus adalah nilai yang memiliki frekwensi terbanyak
atau tersering muncul dalam kelompok tersebut. Rumus
Modus dari data yang telah dikelompokkan dihitung dengan
rumus:
Mo=b+ p [ b1b1+b2 ]
Keterangan:
Mo : Modus
b : Panjang kelas interval dengan frekuensi terbanyak
p : Panjang kelas interval dengan frekuensi terbanyak
b1 : Frekuensi pada kelas modus (frekuensi pada kelas
interval terdekat sebelumnya)
b2 : Frekuensi kelas modus dikurangi kelas interval
berikutnya
d) Standar Deviasi (SD) atau Simpangan Baku
Menurut Sugiyono (2007) standar deviasi adalah akar
variasi data pada kelompok tertentu. Varian digunakan
untuk mengetahui homogenitas kelompok dengan cara
menjumlah kuadrat semua deviasi nilai individual terhadap
47
rata-rata kelompok. Rumus standar deviasi adalah sebagai
berikut ;
S = √∑ ¿¿¿¿
Keterangan:
X : Data ke n
x bar : x rata-rata = nilai rata-rata sampel
n : banyaknya data
2) Analisa Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa pada dua variabel yang
diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010).
Analisa dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara lingkungan sosial dan aktivitas menonton
televisi dengan kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD
Muhammadiyah 01 Kudus yang diolah secara statistik
menggunakan program komputer dengan uji statistic chi-
square.
Rumusnya:
x2=∑ ¿¿
Keterangan:
x2= chi kuadrat/ chi square
f0= frekuensi observasi
fh = frekuensi harapan
Aturan pengambilan keputusan:
a) Ha diterima dan H0 ditolak jika x2 hitung >x2 tabel, berarti
ada hubungan antara lingkungan sosial dan aktivitas
48
menonton televisi dengan kecenderungan menjadi pelaku
bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus tahun 2015.
b) Ha ditolak dan H0 gagal ditolak bila x2 hitung <x2 tabel,
berarti tidak ada hubungan antara lingkungan sosial dan
aktivitas menonton televisi dengan kecenderungan
menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus
tahun 2015.
Syarat chi-square yaitu:
a) Tabel kontingensi 2x2 dengan e tidak boleh <5.
b) untuk table 2x3, 3x3, 3x4, dan seterusnya:
1) Jika nilai e <1 tidak lebih dari 20% maka analisis
dibaca pada nilai signifikasi.
2) jika e <1 lebih dari 20%, maka dilakukan
penggabungan sel sehingga terbentuk 2x2.
c) Tabel yang lebih besar asal e tidak boleh ada nilai, 1
dan tidak boleh >20% pada seluruh sel.
d) Jika tabel 2x2 digunakan rumus Yates Correction
(Sugiyono,2007):
x2 = ∑ {(0−e )−0,5 }
e
Jika tidak memenuhi syarat diatas, maka tabel
digabung menjadi 2x2, hasil yang dipakai adalah kolom
Fisher exact. Untuk menguji kuat lemahnya hubungan
maka digunakan koefisien kontingensi, yaitu dengan
melihat r hitung:
a) r hitung 0,000 - 0,200 : hubungan sangat lemah
b) r hitung 0,200 - 0,400 : hubungan lemah
49
c) r hitung 0,400 - 0, 600 : hubungan cukup kuat
d) r hitung 0,600 – 0,800 : hubungan kuat
e) r hitung 0,800 – 1,000 : hubungan sangat kuat
E. Jadwal Penelitian
Terlampir
F. Etika Penelitian
Pada penelitian ilmu keperawatan, hampir 90% subjek yang
digunakan adalah manusia, maka peneliti harus memahami prinsip-prinsip
etika penelitian (Nursalam, 2009). Menurut Hidayat (2008), masalah dalam
etika penelitian keperawatan yang harus diperhatikan adalah:
1. Informed consent (Lembar Persetujuan)
Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden
penelitian dengan memberikan lembaran persetujuan. Tujuan
Informent consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia maka mereka
harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak
bersedia maka peneliti harus menghormati hak pasien (Hidayat, 2008).
2. Anomity (Tanpa Nama)
Masalah etika penelitian merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaaan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau tidak mencantumkan nama responden pada lembar
alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data
(Hidayat, 2008).
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
50
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil
penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua
informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada
hasil riset (Hidayat, 2010).