#bismillah bab1,2,3(p).docx

75
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bullying berasal dari kata serapan dalam bahasa Inggris (bully) yang berarti menggertak atau mengganggu. Bullying adalah perilaku agresi atau manipulasi yang dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau psikologis yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa kuat atau berkuasa dengan tujuan menyakiti atau merugikan seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya (Trevi, 2010). Bullying dapat dilakukan secara fisik (menampar, menimpuk, menjegal, memalak, melempar dengan barang, dan sebagainya), verbal (memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah, dan sebagainya), dan psikologis (memandang sinis, mengancam, mempermalukan, mengucilkan, mencibir, mendiamkan, dan sebagainya) (Sejiwa, 2008).

Upload: rani-ika-safitri

Post on 23-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bullying berasal dari kata serapan dalam bahasa Inggris (bully)

yang berarti menggertak atau mengganggu. Bullying adalah perilaku

agresi atau manipulasi yang dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau

psikologis yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang yang merasa kuat atau berkuasa dengan tujuan

menyakiti atau merugikan seseorang atau sekelompok orang yang merasa

tidak berdaya (Trevi, 2010).

Bullying dapat dilakukan secara fisik (menampar, menimpuk,

menjegal, memalak, melempar dengan barang, dan sebagainya), verbal

(memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan

umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah, dan sebagainya), dan

psikologis (memandang sinis, mengancam, mempermalukan,

mengucilkan, mencibir, mendiamkan, dan sebagainya) (Sejiwa, 2008).

Perbedaan gender (laki-laki dan perempuan) dalam melakukan

bully terletak berdasarkan perbedaan bentuk pergaulannya. Anak laki-laki

didefinisikan sebagai seseorang yang terbiasa mengambil tindakan yang

beresiko, suka berkelahi, dan terlibat dalam suatu kelompok ‘geng’.

Sedangkan anak perempuan didefinisikan sebagai seseorang yang pasif,

tidak mandiri, penuh pertimbangan, dan taat pada peraturan. Maka dari

itu, bentuk perilaku bullying juga berbeda. Perilaku yang dilakukan oleh

anak perempuan biasanya terjadi dalam indirect (tidak langsung) seperti

Page 2: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

2

verbal dan psikologis, bukan tindakan fisik. Sedangkan, anak laki-laki lebih

cenderung melakukan sebaliknya (Aldilla, 2009).

Bullying dapat terjadi selama atau setelah jam-jam sekolah.

Sementara kebanyakan dari kasus yang dilaporkan mengatakan bullying

biasa terjadi di dalam gedung sekolah, dan presentase tempat yang sering

terjadi tindakan bullying adalah di tempat bermain dan di dalam bus.

Bullying juga dapat terjadi disaat perjalanan menuju atau kembali dari

sekolah, di lingkungan, ataupun di internet (Sejiwa, 2008).

Bullying disebabkan oleh keadaan lingkungan yang kurang

mampu mengendalikan emosi dan akibatnya membentuk kepribadiannya

menjadi agresif. Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai

faktor lingkungan yang kompleks. Faktor-faktor penyebab bullying

diantaranya faktor keluarga, teman sebaya atau lingkungan sosial dan

pengaruh media (Quiroz, 2006 dalam Anesty, 2009).

Dampak negatif dari bullying itu sendiri yaitu, pelaku dan korban

bullying akan sama-sama mengalami gangguan dengan kesehatan

mentalnya. Pelaku bisa saja seseorang yang hanya mengikuti temannya

atas dasar kesetiakawanan agar tetap dianggap teman dan bisa tetap

bergaul dengan lingkungannya, pelaku yang sehat secara mental pasti

menyadari perbuatannya melakukan bullying adalah salah, sehingga

pelaku akan terus diliputi rasa bersalah, tertekan, dan mengalami

gangguan mental. Dampak negatif yang dirasakan oleh pelaku bullying

jika dilakukan secara terus menerus yaitu anak akan berpotensi menjadi

pelaku kriminal sejak dini ataupun di kemudian hari (Levianti, 2008).

Badan Pusat Statistik Indonesia melaporkan, hingga awal

Oktober 2014, data jumlah penduduk di Indonesia mencapai 238.641.326

juta jiwa. Sementara itu, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5-14 tahun, ada

Page 3: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

3

sebanyak 42,8 juta jiwa (Putro, 2013). Menurut data referensi Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan bulan April 2013, jumlah anak sekolah dasar

di Kota Kudus sebanyak 12.143 anak. Data angka statistik yang

menunjukkan jumlah korban kekerasan di Indonesia pada tahun 2010

sebanyak 2.413, tahun 2011 sebanyak 2.508, tahun 2012 sebanyak

2.637, tahun 2013 sebanyak 2.792 dan tahun 2014 dengan data Januari

sampai dengan Mei 2014 sebanyak 3.339 (Komisi Perlindungan Anak,

2014).

Lingkungan sosial adalah tempat dimana masyarakat saling

berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar

sesamamaupun dengan lingkungannya. Lingkungan sosial terdiri dari

beberapa tingkat. Tingkat yang paling awal adalah keluarga, dari keluarga

kita di ajari cara, sikap, dan sifat untuk berinteraksi dengan saudara jauh,

tetangga dan orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggal kita.

Tingkat selanjutnya adalah sekolah, dimana kita bisa mengembangkan

pelajaran bersosialisasi yang diberikan dari keluarga di rumah ke

lingkungan sekolah. Tingkatan paling akhir adalah lingkungan masyarakat

yang kita akan temui nanti saat kita sudah cukup siap dan dewasa untuk

bisa terjun langsung ke dalamnya (Safitri, 2014).

Salah satu faktor dari perilaku bullying disebabkan oleh adanya

teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara

menyebarkan ide (baik secara aktif maupun pasif) bahwa bullying

bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk

dilakukan. Pada masanya, anak juga memiliki keinginan untuk tidak lagi

tergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman

dari kelompok sebayanya. Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan

konformitas (Ratna, 2005).

Page 4: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

4

Beberapa faktor penyebab seseorang melakukan tindakan

bullying adalah karena faktor teman sebaya atau lingkungan sosial.

Terdapat beberapa penyebab pelaku bullying melakukan tindakan

bullying, yaitu pelaku mengalami kecemasan dan perasaan inferior,

persaingan yang tidak realistis, perasaan dendam yang muncul karena

permusuhan atau juga karena pelaku bullying pernah menjadi korban

bullying sebelumnya, dan ketidakmampuan menangani emosi secara

positif (Rahma, 2008).

Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku bullying adalah

karena pengaruh media. Di Indonesia, anak-anak usia 6-14 tahun

mengkonsumsi media khususnya televisi dan internet lebih tinggi daripada

populasi pada umumnya. Riset yang dilakukan Nielsen (2011)

menunjukkan bahwa penetrasi TV di kalangan anak-anak mencapai

98%.Penetrasi TV pada umumnya yaitu 95%. Penonton TV anak laki-laki

sedikit lebih banyak daripada anak perempuan yaitu 51% dan 49%, tetapi

anak perempuan menonton TV lebih lama daripada anak laki-laki, yaitu

4,75 jam dan 4,2 jam (Hasnawati, 2013).

Pengaruh media program televisi yang tidak mendidik tentu akan

meninggalkan jejak kekerasan pada benak para pemirsanya. Akan lebih

berbahaya lagi jika tayangan yang mengandung unsur kekerasan tersebut

ditonton oleh anak-anak prasekolah. Survey yang dilakukan kompas

memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang

ditontonnya. Umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya

(43%) (Saripah, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Pediatrics

Investigators Dimitri A. Christakis dan Frederick Zimmerman pada rumah

sakit Seattle Children's Hospital Research Institute dan University of

Washington School of Medicine menyimpulkan bahwa perilaku agresi

Page 5: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

5

yang dilakukan oleh anak-anak berhubungan dengan kebiasaannya dalam

menonton tayangan di televisi (Fitriani, 2014).

Aktivitas menonton televisi khususnya tayangan yang

mengandung unsur kekerasan dapat memicu anak untuk melakukan

tindakan bullying kepada siswa lain, pernyataan tersebut dibuktikan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasnawati (2013) seorang

mahasiswa program studi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman,

tentang dampak menonton sinetron Putih Abu-Abu, menyimpulkan bahwa

dampak menonton tayangan sinetron Putih Abu-Abu terhadap perilaku

remaja yaitu berdampak negatif, seperti adanya perilaku meniru adegan-

adegan bullying yang ditampilkan dalam sinetron Putih Abu-Abu yang

meliputi aksi bullying dalam hal kata-kata (verbal) dan dalam hal tindakan.

Dalam hal kata-kata (verbal), keseluruhan anak yang menjadi informan

cenderung ikut meniru dan memperaktekan kata-kata bullying yang ada

dalam sinetron tersebut kedalam kehidupan mereka sehari-hari, misalnya

seperti saling mengucapkan kata-kata kamseupay, rakyat jelata dan euh

kepada sesama teman dan keluarga mereka. Dalam hal tindakan,

sebagian dari mereka mengikuti adegan bullying seperti yang ditayangkan

dalam sinetron Putih Abu-Abu, yaitu mengerjai teman dengan

mengintimidasi, mendiskriminasi dan mengeroyok.

Hal tersebut dapat dihindari jika saja saat anak menonton

televisi, orang tua dapat mendampingi dan mengawasi anak dan jangan

lupa bagi orang tua untuk memperingatkan anak untuk tidak meniru

adegan-adegan yang berhubungan dengan kekerasan, sebab anak

cenderung meniru pada apa yang ia tonton dan ia mainkan (Agustiono,

2014).

Page 6: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

6

Berdasarkan pengkajian awal dengan menggunakan kuesioner

yang dilakukan oleh peneliti pada 9-11 Oktober 2014 kepada 15 anak di

SD Muhammadiyah 01 Kudus kelas I sampai dengan kelas VI yang

mempunyai kepribadian agresif dan termasuk ke dalam ciri anak yang

berkecenderungan menjadi pelaku bullying, didapatkan data bahwa 80%

anak cenderung melakukan tindakan bullying karena kebiasaannya yang

sering menonton adegan atau tayangan kekerasan di televisi dan juga

adanya pengaruh pada lingkungan tempat ia tinggal yang menganggap

bahwa kejadian bullying merupakan hal yang biasa terjadi pada anak-anak

untuk proses pendewasaan diri. Padahal perilaku bullying yang terus

menerus dibiarkan tersebut memiliki dampak yang akan mempengaruhi

kehidupan anak sebagai pelaku bullying dan anak korban bullying.

Peran perawat dalam masalah keperawatan anak salah satunya

adalah sebagai konselor, yakni berperan dalam membantu pelaku bullying

untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial

untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk

meningkatkan perkembangan anak. Di dalamnya, perawat akan

memberikan dukungan emosional dan intelektual, seperti mengidentifikasi

perubahan pola interaksi pelaku bullying, memberikan konseling atau

bimbingan penyuluhan kepada pelaku bullying dalam mengintegrasikan

pengalaman-pengalaman yang lalu yang berhubungan dengan kejadian

bullying, dan juga membantu dalam memfokuskan penyelesaian masalah

bullying (Asmadi, 2008).

Dalam penelitian kali ini, peneliti ingin mengetahui apakah ada

hubungan antara aktivitas menonton televisi dan lingkungan sosial yang

dapat menyebabkan seorang anak mempunyai kecenderungan menjadi

pelaku bullying. Peneliti melakukan wawancara kepada wakil kepala

Page 7: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

7

sekolah SD Muhammadiyah 01 Kudus yang mengatakan ada anak-anak

dari kelas 1 sampai dengan kelas VI yang melakukan bullying seperti

mengejek, memukul, melempar barang kepada teman, memusuhi,

mendiamkan teman dan hal itu dilakukan kepada teman sebaya maupun

adik kelasnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian “Hubungan antara Lingkungan Sosial dan Aktivitas

Menonton Televisi dengan Kecenderungan Menjadi Pelaku “Bullying” di

SD Muhammadiyah 01 Kudus Tahun 2015”.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Apakah terdapat hubungan aktivitas menonton televisi dengan

kecenderungan menjadi pelaku bullying?

2. Apakah terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan

kecenderungan menjadi pelaku bullying?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara lingkungan sosial dan aktivitas

menonton televisi dengan kecenderungan menjadi pelaku bullying di

SD Muhammadiyah 01 Kudus tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus.

Page 8: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

8

b. Mendeskripsikan lingkungan sosial di SD Muhammadiyah 01

Kudus.

c. Mendeskripsikan aktivitas menonton televisi di SD Muhammadiyah

01 Kudus.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat

a. Sebagai sumber informasi untuk para orang tua dan guru sekolah

dasar tentang pengaruh lingkungan sosial pada anak sekolah yang

cenderung menjadi pelaku bullying.

b. Sebagai sumber informasi untuk para orang tua dan guru sekolah

dasar tentang dampak aktivitas menonton televisi pada anak

sekolah yang cenderung menjadi pelaku bullying.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan referensi dan masukan bagi peneliti selanjutnya, agar

dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian dengan

variabel yang berbeda.

3. Bagi Institusi Kesehatan

a. Mengetahui pentingnya pola asuh orang tua yang baik supaya

perkembangan anak tidak mengarah ke arah yang buruk (tindakan

bullying).

b. Meminimalisir terjadinya perilaku bullying pada siswa sekolah

dasar dengan meningkatkan penyuluhan tentang bullying.

4. Bagi Peneliti

Mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan dan

pengalaman nyata dalam melakukan penelitian.

Page 9: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

9

F. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul penelitian Jenis penelitian HasilClementia Ardianti

Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying Tahun 2009

Analitik Deskriptif Hasil penelitian diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying adalah penampilan korban, perasaan berkuasa, pengalaman masa lalu, perasaan iri, dan latar belakang keluarga.

Nando Hubungan Antara Perilaku Menonton Film Kekerasan dengan Perilaku Agresi Remaja Tahun 2011

Deskriptif Korelasional

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku menonton film kekerasan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresi remaja. Faktor intensitas perilaku agresi di lingkungan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresi remaja pada ∝ 0,01. Faktor intensitas perilaku agresi remaja di lingkungan tempat tinggal memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresi remaja pada ∝ 0,01. Faktor intensitas perilaku agresi oleh teman memiliki hubungan signifikan dengan perilaku agresi remaja pada α 0,05. Faktor situasional juga memiliki hubungan signifikan dengan perilaku agresi remaja pada α 0,01.

Yuli Rakhmayani Aryuanda

Hubungan Antara Lingkungan Sosial dan Aktivitas Menonton Televisi dengan Kecenderungan Menjadi Pelaku Bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus

Page 10: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

10

G. Ruang Lingkup Penelitian

Menyadari adanya keterbatasan dana, sarana, dan tenaga, maka bagi

penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut:

1. Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2015.

2. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di SD Muhammadiyah 01 Kudus.

3. Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah anak sekolah dasar kelas I sampai

dengan kelas VI.

4. Lingkup Materi

Materi dalam penelitian ini difokuskan pada bidang ilmu kesehatan

psikologi anak khususnya perkembangan emosi anak (kecenderungan

menjadi pelaku bullying).

H. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:

1. Kurangnya keterbukaan dari responden dalam melakukan penelitian.

2. Waktu penelitian hanya terbatas pada bulan Maret 2015.

Page 11: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bullying

1. Pengertian Bullying

Bullying merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris (bully)

yang berarti menggertak atau mengganggu orang (pihak) yang lemah

(Safitri, 2014). Menurut UNICEF, “bullying is aggressive behavior that

is intentional and that involves an inhabalance of power of strength”,

artinya: bullying adalah perilaku agresif yang menyangkut

ketidakseimbangan kekuatan (Unicef, 2014).

Menurut Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA), sebuah lembaga

yang bergerak di bidang pendidikan, bullying adalah sebuah situasi

dimana terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh

seseorang/sekelompok orang yang kuat (secara fisik dan mental)

menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lebih

lemah yang berulang-ulang dan disengaja untuk menunjukkan

kekuatannya atau kekuasaannya (Sejiwa, 2008).

Bullying adalah penyalahgunaan kekuatan yang disengaja dan

berulang-ulang oleh seorang anak atau lebih terhadap anak lain,

dengan maksud untuk menyakiti atau menimbulkan perasaan

tertekan/stress (Sudjatmiko, 2013).

Menurut Ken Rigby (Astuti, 2008) bullying adalah sebuah hasrat

untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan

seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh

seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab,

Page 12: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

12

biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang (Astuti,

2008).

Menurut Barbara Coloroso, seorang peneliti ahli mengenai

bullying, bullying atau penindasan adalah aktivitas sadar, disengaja,

dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan

melalui ancaman agresi lebih lanjut, dan menciptakan teror (Coloroso,

2007).

Dalam hal ini, ciri-ciri bullying adalah, bullying dilakukan oleh

seseorang (bully)/sekelompok orang (bullies) yang mempunyai posisi

dominan, baik secara fisik ataupun mental bahkan keduanya,

sehinggga korbannya tidak mampu mempertahankan diri. Bullying

berupa tindakan agresif yang dilakukan berulang-ulang. Bullying

menyebabkan perasaan tidak nyaman/tidak senang bahkan sakit baik

secara fisik ataupun mental bahkan keduanya bagi korbannya, bahkan

dalam kasus tertentu dapat menyebabkan kematian.

Tindakan dari bullying sekolah tidak sama dengan pertengkaran

yang umumnya terjadi pada anak sekolah. Pertengkaran tersebut

sebagai hal normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan

bersepakat satu sama lain. Sedangkan dalam bullying merujuk pada

tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang

(Tridhonanto, 2014).

Bullying dapat terjadi selama atau setelah jam-jam sekolah.

Sementara kebanyakan dari kasus yang dilaporkan mengatakan

bullying biasa terjadi di lingkungan sekolah, terutama di tempat-tempat

yang bebas dari pengawasan guru maupun orang tua. Guru yang

sadar akan potensi bullying harus lebih sering memeriksa tempat-

Page 13: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

13

tempat seperti ruang kelas, lorong sekolah, kantin, pekarangan,

lapangan dan toilet (SEJIWA, 2008).

2. Jenis Bullying

Adapun contoh tindakan menurut Tridhonanto (2014) yang

termasuk kategori bullying, pelaku individu dan geng secara menyakiti

atau mengancam korban dengan melakukan:

a. Menyisihkan seseorang dari pergaulan.

b. Menyebarkan gosip, membuat julukan yang bersifat ejekan.

c. Mengerjai seseorang untuk mempermalukan.

d. Mengintimidasi atau mengancam korban.

e. Melukai secara fisik.

f. Melakukan pemalakan.

Menurut Tridhonanto (2014) berdasarkan tipe bullying, ada tiga

yaitu:

a. Bullying secara verbal, misalnya dengan cara berkata-kata atau

menuliskan sesuatu bermuatan sindiran, mengejek, komentar yang

tidak pantas, dan ancaman.

b. Bullying secara sosial, kadang-kadang disebut relational bullying.

Tindakan ini mengakibatkan rusaknya reputasi seseorang atau

hubungan. Intimidasi sosial ini misalnya, mengajak anak-anak lain

untuk tidak berteman dengan seseorang, menyebarkan rumor

tentang seseorang, mempermalukan seseorang di depan umum.

c. Bullying secara fisik. Tindakan ini menyakiti seseorang secara fisik.

Intimidasi fisik ini meliputi, misalnya, menekan, menendang,

mencubit, meludah, mendorong, mengambil atau merusak harta

benda seseorang, melakukan tindakan yang kasar.

Page 14: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

14

Menurut Susan (2013) mengklasifikasikan bullying sebagai

berikut:

a. Bullying verbal: seorang siswa dipanggil dengan sebutan nama

atau menggoda siswa lain secara menyakitkan.

b. Bullying rumors: seorang siswa yang menjadi target desas-desus

palsu atau bohong.

c. Bullying exclusion: seorang siswa ditinggalkan dengan sengaja

atau benar-benar diabaikan.

d. Bullying sexual: seorang siswa diganggu menggunakan kata-kata

atau gerakan dengan makna seksual.

e. Bullying racial (suku): seorang siswa dijadikan fokus dari tindakan

bullying secara verbal.

f. Bullying fisik: seorang siswa memukul, menendang atau

mendorong siswa lain.

g. Bullying threat: seorang siswa diancam atau dipaksa melakukan

hal-hal yang beresiko terhadap dirinya.

h. Bullying cyber: seorang siswa yang dibully melalui telepon seluller

maupun jaringan komputer.

i. Bullying damage: seorang siswa merusak atau mengambil barang

milik siswa lain.

j. Bullying another way: seorang siswa yang diintimidasi dengan cara

apapun yang tidak disebutkan di atas.

3. Karakteristik Bullyi/Bullies

Perbedaan gender (laki-laki dan perempuan) dalam melakukan

bully terletak berdasarkan perbedaan bentuk pergaulannya. Anak laki-

laki didefinisikan sebagai seseorang yang terbiasa mengambil

tindakan yang beresiko, suka berkelahi, dan terlibat dalam suatu

Page 15: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

15

kelompok ‘geng’. Sedangkan anak perempuan didefinisikan sebagai

seseorang yang pasif, tidak mandiri, penuh pertimbangan, dan taat

pada peraturan. Maka dari itu, bentuk perilaku bullying juga berbeda.

Perilaku yang dilakukan oleh anak perempuan biasanya terjadi dalam

indirect (tidak langsung) seperti verbal dan psikologis, bukan tindakan

fisik. Sedangkan, anak laki-laki lebih cenderung melakukan sebaliknya

(Aldilla, 2009).

Menurut Astuti (2008), pelaku umumnya temperamental. Mereka

melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan

kekesalan dan kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa

tidak punya teman, sehingga in menciptakan situasi bullying supaya

memiliki “pengikut” dan kelompok sendiri. Pelaku bullying bisa jadi

takut menjadi korban bullying, sehingga lebih dulu mengambil inisiatif

sebagai pelaku bullying untuk keamanan dirinya. Pelaku bullying

kemungkinan besar juga sekedar mengulangi apa yang pernah ia lihat

dan alami sendiri. Ia menganiaya anak lain karena mungkin ia sendiri

dianiaya orang tuanya di rumah. Ia juga mungkin pernah ditindas dan

dianiaya anak lain yang lebih kuat darinya di masa lalu (SEJIWA,

2008).

Menurut Astuti (2008), ciri pelaku bullying antara lain:

a. Hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa di

sekolah.

b. Menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah/sekitarnya.

c. Merupakan tokoh populer di sekolah.

d. Gerak-geriknya seringkali dapat ditandai: sering berjalan di depan,

sengaja menabrak, berkata kasar, menyepelekan/melecehkan.

Page 16: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

16

4. Faktor-faktor penyebab bullying

Faktor-faktor yang mempengaruhi bullying adalah:

a. Faktor Keluarga

Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu

menderita depresi, kurangnya komunikasi orang tua dan anak,

terjadinya perceraian, adanya ketidakharmonisan orang tua, dan

ketidakmampuan sosial ekonomi (Astuti, 2008).

Menurut Clara (2009), anak bullying itu biasanya datang dari

beberapa macam keluarga yaitu, keluarga yang sangat

memanjakan anak, keluarga yang terlihat baik-baik saja, dan

keluarga yang tidak berfungsi atau broken home.

Anak yang melihat orang tua atau saudara melakukan bullying

akan mengembangkan perilaku yang sama. Ketika anak menerima

pesan negatif, mereka cenderung lebih dulu menyerang daripada

diserang. Bullying dimaknai sebagai kekuatan melindungi diri dari

lingkungan yang mengancam. Seringnya terjadi percekcokan

antara ayah dan ibu yang dilakukan di depan anak serta orang tua

yang sering memarahi anaknya menyebabkan emosional anak

tidak stabil dan menjadi agresif (Agustiono, 2014).

Orang tua juga harus menjadi teladan yang baik bagi anaknya,

jangan sampai orang tua salah dalam mendidik anak yang justru

malah menyebabkan anak melakukan tindakan bullying. Orang tua

yang memiliki kesehatan mental dan jiwa yang kurang baik

berpotensi besar memiliki anak yang melakukan tindakan bullying

(Agustiono, 2014).

Page 17: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

17

b. Faktor Sekolah

Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta

Swasono (2007) terjadinya bullying atau aksi initimidasi fisik,

verbal, maupun psikologis yang terjadi di sekolah akibat krisis

pendidikan karakter dan budi pekerti.

Menurut Ponny Retno Astuti (2008), bullying juga disebabkan

oleh faktor eksternal yaitu lingkungan sekitarnya serta faktor

internal, antara lain:

1) Lingkungan sekolah yang kurang baik.

2) Senioritas tidak pernah diselesaikan.

3) Guru memberikan contoh kurang baik pada siswa.

4) Ketidakharmonisan di rumah.

5) Karakter anak (faktor internal).

Kemudian menurut Abu Huraerah (2007) dalam bukunya Child

Abuse (Kekerasan terhadap Anak), kekerasan di sekolah bisa

terjadi karena beberapa faktor:

1) Karena kebanyakan guru kita (di Indonesia) kurang menghayati

pekerjaanya sebagai panggilan profesi, sehingga cenderung

kurang memiliki kemampuan mendidik dengan benar serta

tidak mampu menjalin ikatan emosional yang konstruktif

dengan siswa (Mulyadi, 2006).

2) Demi dalih kedisiplinan siswa. Guru kerapkali kehilangan

kesabaran hingga melakukan hukuman fisik, atau melakukan

tindakan-tindakan ynag tidak terpuji dan melanggar batas etika

dan moralitas, seperti memukul, meninju, dan menendang

(kekerasan fisik) serta mengeluarkan kata-kata yang tidak

Page 18: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

18

mendidik, yang dapat menyinggung perasan siswa (kekerasan

verbal/kekerasan psikologis/kekerasan emosional).

3) Kurikulum terlalu padat dan kurang berpihak kepada siswa,

sehingga mengakibatkan guru cenderung menjalankan

tugasnya sekedar megejar target kurikulum. Ini tentu terkait

dengan belum optimalnya upaya peningkatan kualitas dan

kesejahteraan siswa (Mulyadi, 2006).

Bullying menjadi lebih sering terjadi justru karena tidak ada atau

minimnya respon dari orang tua dan guru. Asumsi demikian juga

dikemukakan oleh Stevens dalam penelitiannya tentang bullying di

sekolah. Dapat diasumsikan bahwa terjadinya bullying di sekolah

antara lain dapat disebabkan oleh:

1) Tradisi senioritas.

2) Ekonomi agama, gender, etnisitas, atau rasitas.

3) Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban.

4) Keluarga yang tidak rukun seperti perceraian, masalah

keluarga, perselisihan, kurangnya komunikasi orang tua dan

anak.

5) Situasi yang tidak harmonis dan diskriminatif.

6) Karakter individu atau kelompok (dendam atau iri hati, adanya

semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik dan

psikis, untuk meningkatkan popularitas di kalangan sebaya).

c. Peran Kelompok Teman Sebaya

Menurut Verlinden (2000) dalam Agustiono (2014), teman

sebaya memainkan peranan yang tidak kurang pentingnya

terhadap perkembangan dan pengukuhan tingkah laku bulli, sikap

anti sosial dan tingkah laku lain di kalangan anak-anak.

Page 19: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

19

Maraknya kasus bullying, antara lain dipicu oleh belum adanya

persamaan persepsi antara pihak sekolah, orang tua, dan

masyarakat dalam melihat pentingnya permasalahan bullying serta

penanganannya. Belum adanya kebijakan secara menyeluruh dari

pihak pemerintah dalam menanganinya menambah semakin

tersulutnya bullying (Astuti, 2008).

d. Media yang agresif (televisi, permainan elektronik, komik atau

bacaan)

Berbagai media seperti game, televisi dan film sering

menampilkan tayangan perang dan kekerasan. Maka dari itu orang

tua harus mendampingi dan mengawasi anak saat bermain game

ataupun menonton film dan jangan lupa bagi orang tua untuk

memperingatkan anak untuk tidak meniru adegan-adegan yang

berhubungan dengan kekerasan, sebab anak cenderung meniru

pada apa yang ia tonton dan ia mainkan (Agustiono, 2014).

5. Anak dengan Kecenderungan Menjadi Pelaku Bullying

a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Setiap individu yang melakukan bullying dapat terjadi tidak

secara independen tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

berada di sekitar bullying. Jika diidentifikasi terdapat beberapa

faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya perilaku bullying,

diantaranya:

1) Kontribusi Anak

Maksud dari kontribusi anak adalah hal-hal yang terdapat

didalam diri anak yang dapat mempengaruhi tingkah lakunya

(Pearce, 2002). Jenis kelamin dan temperamen merupakan

contoh dari kontribusi anak. Penelitian Maccoby dan Jaklin

Page 20: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

20

(Pearce, 2002) menjelaskan bahwa baik manusia maupun

binatang yang berjenis kelamin laki-laki/jantan lebih agresif

dibandingkan dengan perempuan/betina (Latip, 2013).

Temperamen merupakan karakteristik individu yang secara

potensial telah dimiliki dari sejak lahir, banyak teori yang

menjelaskan bahwa temperamen sebagai bentuk keturunan

seperti yang diyakini oleh Hurlock (2006). Oleh karena itu faktor

temperamen ini tidak dapat dipungkiri diasumsikan menjadi

salah satu dari penyebab terjadinya bullying pada semua

tingkatan usia sekolah seperti TK, MI/SD, SMP, SMA, dan

bahan perguruan tinggi. Adapun yang dimaksud dengan anak

yang temperamen adalah anak yang emosional, pemarah,

sensitif, dan lepas kendali (Budiman, dkk., 2006).

2) Pola Asuh Keluarga

Faktor lain yang juga penting untuk diidentifikasi yang dapat

mempengaruhi perilaku bullying adalah pola asuh keluarga,

karena pola asuh dan masalah dalam keluarga dapat

mendorong perilaku bullying pada anak (Pearce, 2002). Oleh

karena itu, dapat diterima jika sekolah dengan tingkat bullying

yang tinggi, relatif memiliki jumlah anak yang mengalami

pengasuhan yang kurang memuaskan dan mengalami banyak

masalah keluarga. Kurang puasnya pengasuhan yang

dirasakan anak terjadi akibat ia merasa hanya sedikit

mendapatkan cinta, perhatian, dan pengawasan serta

pengasuh anak tidak memberikan batasan yang jelas tentang

tingkah laku yang dilarang yang disebut dengan pola asuh

permissive (permissive parenting). Penyebab terjadinya

Page 21: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

21

permissive parenting yang kemudian berdampak pada bullying

pada anak dapat saja karena masalah keluarga seperti berupa

pertengkaran diantara orang tua, perceraian, penyakit

psikiatris, penyalahgunaan alkohol, dan sebagainya (Latip,

2013).

Disamping pola asuh permissive yang dapat mempengaruhi

perilaku bullying dapat juga dari pola asuh otoriter

(authoritarian parenting). Pola asuh oteriter ini sangat

mementingkan kepatuhan anak terhadap orang tua (Slavin,

2007) pola asuh seperti akan terjadi pemaksaan kehendak dari

orang tua yang tidak menutup kemungkinan berbenturan

dengan kesiapan anak sehingga anak akan mengalami trauma

atau melakukan perlawanan dalam bentuk substitusi atau

pengalihan perlawanan dengan melakukan bullying pada anak

lain yang memiliki kekuatan lemah (Latip, 2013).

Sebanding dengan pola asuh di atas, pola asuh yang

mengabaikan (uninvolved parenting) juga dapat menjadi faktor

yang mendorong terjadinya bullying pada anak, seperti

dijelaskan oleh Steninberg, (1999) bahwa pola asuh

mengabaikan tidak berpusat pada apa yang baik untuk anak,

melainkan hanya berpusat pada keinginan dan kepentingan

orang tua. Pola asuh seperti ini mengakibatkan anak bertindak

tanpa kendali dan jika dibiarkan dapat terjerembab kedalam

tindakan bullying. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Patterson, dkk. (1997) menjelaskan bahwa anak dengan pola

asuh mengabaikan memiliki kecenderungan terlibat dalam

kenakalan remaja dan bertingkah laku antisosial (Latip, 2013).

Page 22: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

22

3) Konformitas Teman Sebaya

Anak usia MI/SD secara sosial dikenal sebagai fase awal untuk

berkelompok dan memiliki banyak teman sehingga dikenal

dengan gang age, oleh karena itu konformitas teman sebaya

atau peer lebih memiliki pengaruh terhadap perilaku anak oleh

karena itu memilih teman dan kelompok yang baik menjadi

keniscayaan yang tidak bisa ditawarkan untuk menghindari

perilaku anak dari tindakan negatif, dan apabila lepas kendali

dari cara berteman dan berkelompok yang salah dipastikan

anak anak terlibat dalam tindakan negatif seperti bullying

seperti yang dijelaskan oleh Lowestein (2002) menyatakan

bahwa konformitas terhadap peer merupakan peran-peran

sentral di dalam proses pembentukan bullying. Hal tersebut

juga didukung oleh Sullivan (2000) yang menyatakan bahwa

salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi

pelaku bullying adalah pengaruh teman sebaya (Latip, 2013).

4) Media

Saat ini media menjadi komponen kehidupan yang dapat

mempengaruhi pola kehidupan sesorang baik itu media cetak

maupun elektronika, pengaruh yang ditimbulkan dapat saja

positif atau negatif tergantung pada pengguna dari media

tersebut. Oleh karena itu menggunakan media sesuai fungsi

utamanya yaitu menjadi sumber belajar harus menjadi pilihan

utama pula dalam membimbing anak, sebab jika lepas kendali

akan dapat dipastikan anak memilih informasi dan tontonan

yang dapat merusak moral dan prilakunya. Diantara pengaruh

negatif yang langsung atau tidak langsung adalah tindakan

Page 23: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

23

kekerasan atau bullying yang terjadi pada peserta didik anak

usia MI/SD seperti hasil penelitian internasional Olweus (1993)

mengindikasikan bahwa anak dan remaja yang melihat

kekerasan yang ada di TV, video, dan film seringkali menjadi

agresif dan memiliki empati yang lebih rendah pada korban

agresifitas (Latip, 2013).

Hal tersebut didukung oleh Pearce (2002) yang menyatakan

bahwa bagi beberapa anak yang menonton TV dapat

memancing agresivitas mereka. Dengan demikian benar yang

disimpulkan oleh Rahmadara (2012) bahwa media dapat

menimbulkan tindakan bullying yang meningkat pada anak.

Oleh karena itu sejatinya para pengelola media dan orang tua

dapat memberikan dan mengontrol tontonan dan bacaan

peserta didik anak usia MI/SD untuk kebaikan yang lebih utama

dimasa yang akan datang (Latip, 2013).

5) Iklim Sekolah

Iklim sekolah atau school climate adalah kondisi dan suasana

sekolah sebagai tempat belajar bagi peserta didik anak usia

MI/SD. Sekolah bagi anak usia MI/SD adalah rumah kedua

yang kondisinya harus diciptakan senyaman mungkin seperti

berada di rumah. Dan jika kondisi yang terjadi malah

sebaliknya, sekolah justru akan menjadi tempat berlatih untuk

bertindak negatif, maka iklim sekolah seperti ini akan merusak

dan bahkan menghancurkan masa depan anak. Jika demikian

maka sekolah memegang peranan penting dalam membentuk

anak menjadi pelaku bullying (Pearce, 2002). Seperti penelitian

yang dilakukan oleh Pearce (2002) menjelaskan indikasi

Page 24: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

24

bullying di sekolah yaitu moral yang rendah pada staf-stafnya,

tingkat pergantian guru cukup tinggi, standar tingkah lakunya

tidak jelas, metode disiplin tidak konsisten, organisasinya

buruk, pengawasan tidak ketat, dan kurang mengawasi anak

sebagai individu. Dengan demikian iklim sekolah yang didesain

dengan baik aman dan nyaman akan menciptakan output

bahkan outcome yang baik pula dan tentu saja semua

komponen pendidikan berharap generasi emas kita menjadi

pendulang emas bagi kesejahteraan mereka dimasa yang akan

dan terutama bagi kemajuan bangsa ini (Latip, 2013).

b. Agus Sampurno menjelaskan, ada beberapa tanda–tanda pelaku

dan karakteristik anak di sekolah terjadi bullying (dalam Trevi,

2010), yakni sebagai berikut:

1) Sikapnya agresif dan perilaku mendominasi terhadap orang

lain, menjengkelkan.

2) Bersifat rahasia dan sulit untuk dilakukan pendekatan.

3) Secara teratur memiliki perhiasan, pakaian atau uang yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan.

4) Ada laporan dari anak-anak lain tentang perkelahian atau

tindak kekerasan anak tertentu sengaja menyakiti anak lain.

5) Memiliki bukti bahwa milik seorang anak telah dirusak atau

merusak milik seseorang.

6) Menggunakan orang lain untuk mendapatkan apa yang ia suka.

7) Terus-menerus menceritakan kebohongan tentang perilakunya.

8) Ketika ditanya, anak memperlihatkan perilaku yang tidak

pantas dan sering bermuka masam.

Page 25: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

25

9) Menolak untuk mengakui melakukan sesuatu yang salah atau

menerima kesalahan, tetapi ketika mengakui kesalahan, tidak

ada penyesalan nyata atau rasa empati.

10) Tampak menikmati menyakiti orang lain dan melihat mereka

menderita, melihat teman yang lebih lemah sebagai mangsa.

11) Menceritakan cerita atau membuat komentar menghasut

(menyalahkan, mengkritik, dan tuduhan palsu) tentang orang

lain yang tidak benar untuk menempatkan mereka ke dalam

kesulitan.

12) Anak-anak lain yang diintimidasi menjadi gugup atau diam

dalam kehadiran anak tertentu.

13) Anak-anak lainnya berbohong untuk melindungi anak tertentu.

14) Tidak punya gambaran ke depan untuk mempertimbangkan

konsekuensi atas perilakunya.

15) Menolak untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan-

tindakan yang sudah dilakukannya.

B. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah tempat dimana masyarakat saling

berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar sesama

maupun dengan lingkungannya. Lingkungan sosial terdiri dari beberapa

tingkat. Tingkat yang paling awal adalah keluarga, dari keluarga kita di

ajari cara, sikap, dan sifat untuk berinteraksi dengan saudara jauh,

tetangga dan orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggal kita.

Tingkat selanjutnya adalah sekolah, dimana kita bisa

mengembangkan pelajaran bersosialisasi yang diberikan dari keluarga di

rumah ke lingkungan sekolah, kita bisa berinteraksi dengan guru,

Page 26: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

26

karyawan sekolah, teman-teman sekolah maupun pedagang yang

menjajakkan jualannya di depan sekolah. Ada pula dari tingkatan sekolah

yang tertinggi yaitu perkuliahan, lalu ada tingkatan saat kita berada di

lingkungan kerja.

Tingkatan paling akhir adalah lingkungan masyarakat yang kita

akan temui nanti saat kita sudah cukup siap dan dewasa untuk bisa terjun

langsung ke dalamnya, kitapun akan bisa lebih mengetahui bagaimana

sikap, sifat dan masalah-masalah di dalam lingkungan masyarakat yang

saat kita berada di tingkat keluarga maupun sekolah belum kita temui dan

kita bisa terjun langsung ke dalam masyarakat dengan bekal apa yang kita

pelajari dari lingkungan sosial kita terdahulu yaitu keluarga dan sekolah.

Lingkungan rumah memang sangat besar pengaruhnya terhadap

perilaku bullying. Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang sering terjadi

perkelahian atau permusuhan, berlaku tidak sesuai dengan norma, tentu

dia akan merasa bersalah. Begitu pun sekolah, bisa memicu anak jadi

melakukan bullying. Misalnya, guru berbuat kasar kepada siswa, guru

kurang memperhatikan kondisi anak, baik dalam sosial ekonomi maupun

prestasi anak atau perilaku sehari-hari di kelas atau di luar kelas,

bagaimana dia bergaul dengan teman-temannya. Teman yang sering

meledek dan mengolok-olok, menghina, mengejek dan sebagainya

(Safitri, 2014).

Salah satu faktor dari perilaku bullying disebabkan oleh adanya

teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara

menyebarkan ide (baik secara aktif maupun pasif) bahwa bullying

bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk

dilakukan. Pada masanya, anak juga memiliki keinginan untuk tidak lagi

tergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman

Page 27: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

27

dari kelompok sebayanya. Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan

konformitas (Ratna, 2005).

Berkenaan dengan faktor teman sebaya dan lingkungan sosial,

terdapat beberapa penyebab pelaku bullying melakukan tindakan bullying

adalah:

1. Kecemasan dan perasaan inferior dari seorang pelaku.

2. Persaingan yang tidak realistis.

3. Perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau juga karena

pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sebelumnya.

4. Ketidakmampuan menangani emosi secara positif (Rahma, 2008).

C. Aktivitas Menonton Televisi

1. Pengertian

a. Aktivitas

Pengertian aktivitas adalah suatu energi atau keadaan

bergerak dimana manusia memerlukannya untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidup (Towarto, 2007).

b. Televisi

Menurut Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Televisi adalah sistem penyiaran gambar yang

disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa

dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan

bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali

menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat

didengar (Nugroho, 2009).

Page 28: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

28

c. Pengertian Menonton Televisi

Kebanyakan aktivitas menonton berawal dari sebuah

kebutuhan akan informasi yang kemudian berpola dan menjadi

semacam ritual keseharian. Aktivitas menonton televisi adalah

suatu proses yang rumit, terjadi dalam praktik domestik, yang

hanya dapat dipahami dalam konteks kehidupan sehari-hari

(Triwardani & Wicandra, 2007).

Pengertian menonton televisi adalah suatu tindakan yang

menarik yang tidak lepas dari dorongan dari masing-masing

individu untuk menikmati apa yang ditayangkan oleh televisi, atau

dengan kata lain tindakan menonton televisi adalah kesadaran

seseorang terhadap sesuatu yang berhubungan dengan dorongan

yang ada dalam diri individu sehingga seseorang memusatkan

perhatiannya terhadap acara televisi dengan senang hati serta

dengan perasaan puas sehingga pemirsa dapat menikmati apa

yang ditayangkan televisi tersebut (Ahmad, 2012).

Jadi, pengertian aktivitas menonton televisi adalah suatu

proses yang memerlukan energi dimana manusia melakukan suatu

tindakan yang menarik yang tidak lepas dari dorongan masing-

masing individu dengan senang hati serta dengan peraaan puas

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2. Dampak Aktivitas Menonton Televisi bagi Anak-anak

Sejak akhir 1990-an, semakin banyak orang tua yang

mengizinkan bayinya menonton televisi seiring dengan semakin

banyaknya produk DVD yang diiklankan dapat membantu

perkembangan bahasa dan kognitif bayi. Namun, tidak ada penelitian

yang menunjukkan bahwa menonton televisi sejak usia dini dapat

Page 29: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

29

meningkatkan perkembangan berbahasa anak. Sebaliknya, bukti

ilmiah menunjukkan bahwa bayi yang menonton DVD semacam itu

memiliki kemampuan berbahasa yang lebih rendah. Demikian pula,

semakin banyak anak menonton televisi sebelum usia 3 tahun,

semakin tinggi kemungkinannya mengalami masalah perhatian pada

usia 7 tahun (Christakis, 2009).

Menonton acara televisi yang berkualitas dapat meningkatkan

kemampuan kognitif anak usia prasekolah (Fisch dan Truglio, 2001

dalam Wikipedia, 2014). Melalui televisi, anak-anak juga dapat belajar

mengenai perilaku anti kekerasan, empati, toleransi kepada orang dari

ras atau etnis lain, dan rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

Namun, menonton televisi juga berpotensi memberikan dampak

negatif bagi anak-anak dan remaja, seperti perilaku agresif,

penyalahgunaan zat, aktivitas seksual yang berisiko, obesitas,

gangguan pola makan, dan menurunnya prestasi di sekolah. Bila di

dalam kamar anak terdapat televisi, risiko anak mengalami kelebihan

berat badan dan kemungkinan anak merokok meningkat, anak menjadi

kurang membaca dan melakukan hobi lainnya, serta waktu tidur anak

berkurang (Strasburger dkk, 2010).

Page 30: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying:Kontribusi AnakLingkungan SosialPola Asuh KeluargaIklim SekolahKelompok Teman SebayaMediaTelevisiVideoFilmInternet

Bullying

Jenis Bullying:Bullying VerbalBullying FisikBullying Sosial

Karakteristik Pelaku Bullying:AgresifIntrovertMemiliki barang-barang yang tidak dapat dipertanggung-jawabkanSuka berkelahiMerusak barang milik orang lainMemanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keinginannyaBerbohong tentang perilakunyaPerilaku tidak sopanTidak mau mengakui kesalahan/tidak merasa bersalahSuka menyakiti orang lainMenceritakan kebohongan

30

D. Kerangka Teori

Keterangan :

Diteliti

Tidak Diteliti

Sumber : (Astuti, 2008), (Agustiono, 2014), (Clara, 2009), (Huraerah, 2007), (Latip, 2013), (Trevi, 2010), (Swasono, 2007), (Mulyadi, 2006).

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Page 31: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah ciri atau ukuran yang melekat pada

objek penelitian baik bersifat fisik (nyata) maupun psikis (tidak nyata)

(Putra, 2012). Pengertian lain menjelaskan bahwa variabel adalah

karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu subyek ke subyek

lain (Sastroasmoro, 2011). Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu:

1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel bebas adalah variabel yang apabila ia berubah akan

mengakibatkan perubahan pada variabel lain. Variabel bebas sering

disebut dengan banyak nama lain, seperti variabel independen,

predictor, risiko, determinan, atau kausa (Sastroasmoro, 2011).

Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini yaitu lingkungan

sosial dan aktivitas menonton televisi.

2. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Putra, 2012). Variabel

dependen (terikat) dalam penelitian ini yaitu kecenderungan menjadi

pelaku bullying.

B. Hipotesis Penelitian

Secara etimologi, hipotesis berasal dari bahasa Yunani (hypo= di

bawah dan thesis= pendirian, pendapat yang ditegakkan). Artinya

hipotesis merupakan sebuah istilah ilmiah yang digunakan dalam rangka

kegiatan ilmiah dengan mengikuti kaidah-kaidah berpikir biasa, secara

Page 32: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

32

sadar, teliti, dan terarah (Putra, 2012). Sedangkan menurut Sastroasmoro

(2011), hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas

pertanyaan penelitian, yang harus diuji validitasnya secara empiris.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Hipotesa alternatif (Ha)

Hipotesa alternatif biasa dinyatakan dalam kalimat positif.

Ha1: Terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan

kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah

01 Kudus.

Ha2: Terdapat hubungan antara aktivitas menonton televisi dengan

kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah

01 Kudus.

2. Hipotesa nol (H0)

Hipotesa nol dinyatakan dalam kalimat negatif

H01: Tidak terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan

kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah

01 Kudus.

H02: Tidak terdapat hubungan antara aktivitas menonton televisi

dengan kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD

Muhammadiyah 01 Kudus.

Page 33: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

33

C. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen (Bebas) Variabel Dependen (Terikat)

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian

D. Rancangan Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik

observasional yang bertujuan untuk mencari hubungan antara variabel

yang satu dengan variabel lainnya (Sastroasmoro, 2011). Penelitian ini

bersifat korelasional yang bertujuan mendapatkan gambaran tentang

hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian (Putra, 2012).

2. Pendekatan Waktu Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu

data yang dikumpulkan sesaat atau diperoleh saat itu juga. Cara ini

dilakukan dengan melakukan survey, wawancara, atau dengan

menyebarkan kuesioner kepada responden penelitian (Putra, 2012).

Dalam penelitian kali ini, peneliti akan menggunakan metode

kuesioner. Pada jenis pengukuran ini peneliti mengumpulkan data

secara formal kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara

tertulis (Nursalam, 2013).

Lingkungan Sosial

Kecenderungan menjadi pelaku bullying

Aktivitas Menonton Televisi

Page 34: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

34

3. Metode Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber

pertama, atau dengan kata lain data yang pengumpulannya

dilakukan sendiri oleh peneliti secara langsung seperti hasil

wawancara dan hasil pengisian angket (kuesioner) (Widoyoko,

2012).

Data primer dari penelitian ini didapatkan secara langsung

dengan cara mengisi angket (kuesioner) yang diberikan pada

siswa-siswi SD Muhammadiyah 01 Kudus.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber

kedua. Data yang dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain,

dengan kata lain bukan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti

(Widoyoko, 2012).

Data sekunder dari penelitian ini didapatkan dari

pendokumentasian yang telah dilakukan oleh bagian kesiswaan

SD Muhammadiyah 01 Kudus berupa absensi, biodata siswa yang

meliputi alamat dan pekerjaan orang tua.

4. Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang telah

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Saryono, 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 sampai 6 baik laki-

laki maupun perempuan di SD Muhammadiyah 01 Kudus, dengan

jumlah siswa pada tahun ajaran 2014 yaitu sejumlah 434 siswa.

Page 35: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

35

5. Prosedur Sampel dan Sampel Penelitian

a. Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih

dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili

populasinya (Sastroasmoro, 2011). Bila populasi besar dan

penelitian tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada

populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu,

maka peneliti dapat mengunakan sampel yang diambil dari

populasi itu (Sugiyono, 2010).

Menurut Notoatmodjo (2010), dalam menentukan besar sampel

untuk skala kecil (<10.000) dapat menggunakan rumus sebagai

berikut:

n = N

1+N (0,12)

= 434

1+434 (0,01 )

= 4345,34

= 81,27 di bulatkan menjadi 81.

Maka besarnya sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 81

responden.

b. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah cara menentukan sampel yang

jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan

sumber data sebenarnya dengan memperhatikan sifat-sifat

Page 36: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

36

penyebaran populasi yang diperoleh sampel yang representative

(Setiawan dan Saryono, 2010).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified

random sampling, yaitu cara pengambilan sampel jika populasi

mempunyai karakteristik heterogen (Putra, 2012). Pada cara ini

sampel dipilih secara acak untuk setiap strata, kemudian hasilnya

dapat digabungkan menjadi satu sampel yang terbebas dari variasi

untuk setiap strata (Sastroasmoro, 2011).

Populasi penelitian ini sebesar 434 siswa dari kelas I sampai

dengan kelas VI, dengan kelas IA = 22 siswa, kelas IB = 22 siswa,

kelas IIA = 28 siswa, kelas IIB = 29 siswa, kelas IIC = 23 siswa,

kelas IIIA = 22 siswa, siswa IIIB = 26 siswa, kelas IIIC = 27 siswa,

kelas IVA = 36 siswa, kelas IVB = 36 siswa, kelas VA = 39 siswa,

kelas VB = 39 siswa, kelas VIA = 28 siswa, kelas VIB = 29 siswa

dan kelas VIC = 28 siswa. Guna mendapatkan sampel yang

memadai secara proporsional, maka dilakukan pengambilan

sampel secara stratifikasi, dengan cara menggunakan rumus

sebagai berikut:

Sampel Strata = jumlah populasi strata x Sampel

jumlah populasi

dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh hasil:

kelas I A =22x 81

434 = 4,01 = 4 siswa

kelas I B =22x 81

434 = 4,01 = 4 siswa

kelas II A =28x 81

434 = 5,22 = 5 siswa

Page 37: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

37

kelas II B =29x 81

434 = 5,5 = 6 siswa

kelas II C =23x 81

434 = 4,29 = 4 siswa

kelas III A =22x 81

434 = 4,01 = 4 siswa

kelas III B =26 x81

434 = 4,85 = 5 siswa

kelas III C =27 x81

434 = 5,03 = 5 siswa

kelas IV A =36 x81

434 = 6,71 = 7 siswa

kelas IV B =36 x81

434 = 6,71 = 7 siswa

kelas V A = 39x 81

434 = 7,27 = 7 siswa

kelas V B = 39x 81

434 = 7,27 = 7 siswa

kelas VI A =28x 81

434 = 5,22 = 5 siswa

kelas VI B =29x 81

434 = 5,5 = 6 siswa

kelas VI C =28x 81

434 = 5,22 = 5 siswa

Jumlah sampel sebanyak 81 siswa.

Dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari

suatu populasi target terjangkau yang akan diselidiki atau

karakteristik sampel yang layak untuk diteliti. Kriteria inklusi dari

penelitian ini adalah:

Page 38: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

38

1) Siswa baik laki-laki maupun perempuan kelas 1 sampai 6 di

SD Muhammadiyah 01 Kudus.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak dapat

dimasukkan atau tidak layak diteliti. Kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah:

1) Siswa yang tidak bersedia menjadi responden atau tidak

mau menandatangani Informant Consent.

6. Definisi Operasional Variabel

Definisi Operasional Variabel adalah batasan yang digunakan untuk

membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang

diamati atau diteliti, definisi operasional ini juga bermanfaat untuk

mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen

atau alat ukur (Notoatmodjo, 2010).

Tabel 3.1 Definisi Operasional VariabelVariabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur SkalaLingkungan Sosial

Tempat dimana seseorang berinteraksi, melakukan suatu kegiatan bersama orang lain maupun dengan lingkungannya yang bersifat positif (baik) dan negatif (kurang baik). Terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan teman sebaya.

Kuesioner Lingkungan sosial kurang baik: jika memperoleh skor ¿ Mean

Lingkungan sosial baik: jika memperoleh skor ≥ Mean

Nominal

Aktivitas Menonton Televisi

Suatu aktivitas atau kegiatan untuk memperoleh informasi atau hiburan dari media televisi baik yang bersifat positif (baik) dan negatif (kurang baik).

Kuesioner Kebiasaan menonton TV kurang baik: jika memperoleh skor ¿ Mean

Kebiasaan menonton TV baik: jika

Nominal

Page 39: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

39

memperoleh skor ≥ Mean

Kecenderu-ngan Pelaku Bullying

Resiko seorang individu yang menjadi pelaku perilaku/ tindakan bullying.

Kuesioner modifikasi dari Karina Astarini, Hubungan Antara Perilaku Over Protective Orang Tua Dengan Bullying tahun 2013

kecenderungan menjadi pelaku: jika memperoleh skor ¿ Mean

tidak cenderung menjadi pelaku: jika memperoleh skor ≥ Mean

Nominal

7. Instrumen Penelitian dan Cara Penelitian

a. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah memperoleh data tentang status

sesuatu dibandingkan dengan standar atau ukuran yang telah

ditentukan (Notoadmodjo, 2010).

Instrumen penelitian yaitu suatu alat yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (variabel

penelitian) (Sulistyaningsih, 2011).

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner, kuesioner adalah seperangkat pertanyaan atau

pernyataan tertulis yang ditujukan kepada responden untuk

dijawabnya (Sulistyaningsih, 2011)

Instrumen penelitian dalam penelitian ini meliputi:

1) Identitas responden terdiri dari nama responden, dalam hal ini

(ditulis inisial), umur, jenis kelamin, kelas, alamat dan nama

orang tua (ditulis inisial), pendidikan orang tua, pekerjaan orang

tua, dan jam kerja orang tua.

2) Kuesioner lingkungan sosial berisi 20 pernyataan tentang

identifikasi lingkungan sosial, dengan pilihan selalu (1), sering

(2), jarang (3), dan tidak pernah (4).

Page 40: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

40

3) Kuesioner aktivitas menonton televisi berisi 16 pernyataan

tentang identifikasi aktivitas menonton televisi, dengan pilihan

selalu (1), sering (2), jarang (3), dan tidak pernah (4).

4) Kuesioner bullying berisi 27 pernyataan tentang identifikasi

kategori pelaku bullying, dengan pilihan selalu (1), sering (2),

jarang (3), dan tidak pernah (4).

Tabel 3.2 Tabel kisi–kisi instrumen penelitian

No Materi Indikator Nomor PernyataanTotal

Pernyataan1. Lingkungan

Sosial Keluarga Sekolah Teman Sebaya

1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,1213,15,16,17,18,19

11,14,20

20 pernyataan

2. Aktivitas Menonton Televisi

Positif Negatif

2,12,13,15,161,3,4,5,6,7,8,9,10,

11,14

16 pernyataan

3. Pelaku Bullying

Kehidupan di sekolah Melakukan bullying

fisik pada siswa lain. Melakukan bullying

verbal pada siswa lain. Melakukan bullying

psikologis pada siswa lain.

1,2,5,243,4,7,8,9

6,10,11,12, 13,14,15

16,17,18,19, 20,21,22,23, 25,26,27

27 pernyataan

Kuesioner ini dibuat sendiri oleh peneliti sehingga memerlukan

uji validitas dan reliabilitas. Setelah kuesioner sebagai alat ukur

atau alat pengumpul selesai disusun, belum berarti kuesioner

tersebut dapat langsung digunakan untuk mengumpulkan data.

Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian perlu uji

validitas dan reabilitas (Notoatmojo, 2010).

b. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu

benar-benar mengukur apa yang diukur. Demikian pula kuesioner

Page 41: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

41

sebagai alat ukur harus mengukur apa yang di ukur. Untuk

mengetahui apakah kuesioner yang kita susun mampu mengukur

apa yang akan diukur, maka perlu di uji dengan uji korelasi antar

skor (nilai) tiap-tiap item (pernyataan) dengan total kuesioner

tersebut (Notoatmojo, 2010). Teknik korelasi yang dipakai adalah

teknik korelasi “pearson product moment” yang rumusnya sebagai

berikut:

rhitung= n¿¿

Keterangan:

rhitung = koefisiensi korelasi

ƩXi = jumlah skor item

ƩYi = jumlah skor total (item)

n = jumlah responden

jika r hitung ≥ koefisien nilai tabel yaitu taraf signifikan 5 %, maka

instrumen yang diuji dinyatakan valid (Sugiyono, 2009).

Uji validitas dilakukan di SD Muhammadiyah Pasuruhan pada

tanggal 11-12 Februari 2015 dengan jumlah sampel sebanyak 30

siswa, dengan distribusi nilai R-tabel signifikasi 5% adalah ≥0,361,

maka hasil dari instrumen pernyataan yang diuji dinyatakan valid.

Tabel 3.3 Tabel kisi–kisi instrumen penelitian

No Materi Indikator Nomor PernyataanTotal

Pernyataan1. Lingkungan

Sosial Keluarga Sekolah Teman Sebaya

1,2,3,4,6,9,1213,15,16,19

20

12 pernyataan

2. Aktivitas Menonton Televisi

Positif Negatif

2,133,4,5,6,7,8,9,11

10 pernyataan

3. Pelaku Bullying

Kehidupan di sekolah Melakukan bullying

fisik pada siswa lain.

5,243,4,9

17 pernyataan

Page 42: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

42

Melakukan bullying verbal pada siswa lain.

Melakukan bullying psikologis pada siswa lain.

6,11,12,14

16,17,18,19, 20,22,26,27

c. Uji Reliabilitas

Menurut Sugiyono (2009), reliabilitas adalah kesamaan hasil

pengukuran bila fakta di ukur dalam waktu yang berlainan. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan uji relibialitas “Alpha

Cronbach” yang rumusnya sebagai berikut:

ri =k

(k−1){1Si

2

S t2 }

Keterangan :

ri = reliabilitas instrumen

k = banyaknya item

ƩS i2= jumlah varian item

St2 = varian total

Instrumen dinyatakan reliabel jika reliabilitas internal seluruh

instrumen sama dengan atau lebih dari 0.60 sampai mendekati

angka satu dan nilainya positif (Sugiyono, 2009).

Uji reliabilitas dilakukan di SD Muhammadiyah Pasuruhan pada

tanggal 11-12 Februari pada jumlah sampel sebanyak 30 siswa.

Hasil uji reliabilitas pada alpha cronbach’s pada kriteria lingkungan

sosial 0,867, kriteria aktivitas menonton televisi 0,8 dan kriteria

bullying 0,912, hasil ini menunjukkan bahwa instrument adalah

reliable karena nilai alpha cronbach’s > 0.60.

8. Teknik Pengolahan Analisa dan Cara Penelitian

Page 43: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

43

a. Teknik Pengolahan Data

Menurut Notoatmojo (2010), dalam suatu penelitian,

pengolahan data merupakan salah satu langkah yang penting.

Data yang telah dikumpulkan masih dalam bentuk data mentah

(raw data), maka harus diolah sedemikian rupa sehingga menjadi

informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk menjawab tujuan

penelitian (Riyanto, 2010).

Menurut Notoatmodjo (2010) dan Riyanto (2010),

pengolahan data terdiri dari 5 tahap, yaitu:

1) Editing (Pemeriksaan Data)

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan

isi kuesioner sudah diisi lengkap, jelas jawaban dari responden,

relevan jawaban dengan pertanyaan, dan konsisten.

2) Coding (Pemberian Kode)

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf

menjadi data berbentuk angka/bilangan. Tujuannya adalah

mempermudah pada saat analisis data dan juga pada saat

memasukkan data.

a) Variabel Lingkungan Sosial

Lingkungan Sosial kurang baik : kode 1

Lingkungan Sosial baik : kode 2

b) Variabel Aktivitas Menonton Televisi

Kebiasaan menonton TV kurang baik : kode 1

Kebiasaan Menonton TV baik : kode 2

c) Variabel Pelaku Bullying

Kecenderungan menjadi pelaku : kode 1

Tidak cenderung menjadi pelaku : kode 2

Page 44: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

44

3) Scoring (Penilaian)

Kegiatan melakukan scoring terhadap jawaban dari kuesioner.

Pemberian skor atau nilai pada jawaban pertanyaan yang telah

diterapkan.

Pemberian skor dalam penelitian ini dikatakan sebagai

kecenderungan pelaku bullying jika:

a) Lingkungan sosial kurang baik: memperoleh skor ¿ Mean.

b) Lingkungan sosial baik: memperoleh skor ≥ Mean.

c) Kebiasaan menonton TV kurang baik: memperoleh ¿ skor

Mean.

d) Kebiasaan menonton TV baik: memperoleh skor ≥ Mean.

e) Kecenderungan menjadi pelaku: memperoleh skor ¿ Mean

f) Tidak cenderung menjadi pelaku: memperoleh skor ≥

Mean.

4) Processing (Memasukkan Data)

Setelah merubah data menjadi angka, selanjutnya data dari

kuesioner dimasukkan ke dalam program komputer.

5) Cleaning (Pembersihan Data)

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang

sudah dimasukkan, untuk melihat kemungkinan adanya

kesalahan kode, ketidaklengkapan, kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi.

b. Analisa Data

Data yang telah diolah tidak akan ada maknanya tanpa dianalisis.

Tujuan dari analisis data adalah untuk memperoleh gambaran dari

hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian,

Page 45: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

45

membuktikan hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dirumuskan,

dan memperoleh kesimpulan secara umum (Notoatmodjo, 2010).

Pada penelitian ini, data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis

dengan:

1) Analisa Univariat

Menurut Notoatmodjo (2010), analisa univariat adalah

analisa yang dilakukan pada tiap variabel. Analisa ini

menghasilkan data numerik dan kategorik berupa distribusi

frekuensi atau prosentase. Adapun untuk skala data yang

bersifat numerik akan menghasilkan analisis deskriptif dalam

bentuk sebagai berikut:

a) Mean

Menurut Sugiono (2007), mean adalah konstanta yang

paling banyak dipergunakan yang diperoleh dengan jalan

menjumlahkan semua nilai pengamatan dibagi jumlah

semua pengamatan dalam agregat. Rumusnya sebagai

berikut:

Keterangan :

n : Jumlah

X : Nilai rata-rata

x : Jumlah skor

b) Median

Median merupakan nilai observasi yang terletak di

tengah setelah seri pengamatan diurutkan menurut besar-

kecilnya (Array data).

Page 46: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

46

Rumusnya sebagai berikut :

Keterangan :

n : Jumlah

Me : Nilai Median

c) Modus

Modus adalah nilai yang memiliki frekwensi terbanyak

atau tersering muncul dalam kelompok tersebut. Rumus

Modus dari data yang telah dikelompokkan dihitung dengan

rumus:

Mo=b+ p [ b1b1+b2 ]

Keterangan:

Mo : Modus

b : Panjang kelas interval dengan frekuensi terbanyak

p : Panjang kelas interval dengan frekuensi terbanyak

b1 : Frekuensi pada kelas modus (frekuensi pada kelas

interval terdekat sebelumnya)

b2 : Frekuensi kelas modus dikurangi kelas interval

berikutnya

d) Standar Deviasi (SD) atau Simpangan Baku

Menurut Sugiyono (2007) standar deviasi adalah akar

variasi data pada kelompok tertentu. Varian digunakan

untuk mengetahui homogenitas kelompok dengan cara

menjumlah kuadrat semua deviasi nilai individual terhadap

Page 47: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

47

rata-rata kelompok. Rumus standar deviasi adalah sebagai

berikut ;

S = √∑ ¿¿¿¿

Keterangan:

X : Data ke n

x bar : x rata-rata = nilai rata-rata sampel

n : banyaknya data

2) Analisa Bivariat

Analisis bivariat adalah analisa pada dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010).

Analisa dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara lingkungan sosial dan aktivitas menonton

televisi dengan kecenderungan menjadi pelaku bullying di SD

Muhammadiyah 01 Kudus yang diolah secara statistik

menggunakan program komputer dengan uji statistic chi-

square.

Rumusnya:

x2=∑ ¿¿

Keterangan:

x2= chi kuadrat/ chi square

f0= frekuensi observasi

fh = frekuensi harapan

Aturan pengambilan keputusan:

a) Ha diterima dan H0 ditolak jika x2 hitung >x2 tabel, berarti

ada hubungan antara lingkungan sosial dan aktivitas

Page 48: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

48

menonton televisi dengan kecenderungan menjadi pelaku

bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus tahun 2015.

b) Ha ditolak dan H0 gagal ditolak bila x2 hitung <x2 tabel,

berarti tidak ada hubungan antara lingkungan sosial dan

aktivitas menonton televisi dengan kecenderungan

menjadi pelaku bullying di SD Muhammadiyah 01 Kudus

tahun 2015.

Syarat chi-square yaitu:

a) Tabel kontingensi 2x2 dengan e tidak boleh <5.

b) untuk table 2x3, 3x3, 3x4, dan seterusnya:

1) Jika nilai e <1 tidak lebih dari 20% maka analisis

dibaca pada nilai signifikasi.

2) jika e <1 lebih dari 20%, maka dilakukan

penggabungan sel sehingga terbentuk 2x2.

c) Tabel yang lebih besar asal e tidak boleh ada nilai, 1

dan tidak boleh >20% pada seluruh sel.

d) Jika tabel 2x2 digunakan rumus Yates Correction

(Sugiyono,2007):

x2 = ∑ {(0−e )−0,5 }

e

Jika tidak memenuhi syarat diatas, maka tabel

digabung menjadi 2x2, hasil yang dipakai adalah kolom

Fisher exact. Untuk menguji kuat lemahnya hubungan

maka digunakan koefisien kontingensi, yaitu dengan

melihat r hitung:

a) r hitung 0,000 - 0,200 : hubungan sangat lemah

b) r hitung 0,200 - 0,400 : hubungan lemah

Page 49: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

49

c) r hitung 0,400 - 0, 600 : hubungan cukup kuat

d) r hitung 0,600 – 0,800 : hubungan kuat

e) r hitung 0,800 – 1,000 : hubungan sangat kuat

E. Jadwal Penelitian

Terlampir

F. Etika Penelitian

Pada penelitian ilmu keperawatan, hampir 90% subjek yang

digunakan adalah manusia, maka peneliti harus memahami prinsip-prinsip

etika penelitian (Nursalam, 2009). Menurut Hidayat (2008), masalah dalam

etika penelitian keperawatan yang harus diperhatikan adalah:

1. Informed consent (Lembar Persetujuan)

Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden

penelitian dengan memberikan lembaran persetujuan. Tujuan

Informent consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan

penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia maka mereka

harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak

bersedia maka peneliti harus menghormati hak pasien (Hidayat, 2008).

2. Anomity (Tanpa Nama)

Masalah etika penelitian merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau tidak mencantumkan nama responden pada lembar

alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data

(Hidayat, 2008).

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Page 50: #Bismillah bab1,2,3(P).docx

50

Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil

penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua

informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil riset (Hidayat, 2010).