bioekologi dan pengendalian tungau kuning...

9
Perspektif Vol. 11 No. 2 / Des. 2012. Hlm 103 - 111 ISSN: 1412-8004 Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 103 BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING Polyphagotarsonemus latus (Banks) DENGAN PESTISIDA NABATI PADA TANAMAN WIJEN Bioecology and Control of Yellow Mite (Polyphagotarsonemus latus (Banks)) on Sesame (Sesamum indicum L.) TUKIMIN S.W. Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos. 199 Malang 65152 e-mail: [email protected] Diterima : 13 Januari 2011; Disetujui : 20 November 2012 ABSTRAK Tanaman wijen (Sesamum indicum L.) termasuk dalam famili Pedaliaceae, diperkirakan berasal dari benua Afrika, dan pertama kali dibudidayakan di Ethiopia. Tanaman wijen dibudidayakan untuk bahan baku industri, seperi industri makanan dan minyak goreng. Budidaya tanaman wijen sudah lama dikenal di Indonesia dan sesies yang banyak dikembangkan adalah Sesamum indicum. Pada akhir tahun 2000, tanaman wijen memperoleh perhatian besar karena kegunaannya yang sangat baik untuk kesehatan. Luas areal pertanaman wijen 3.341 ha dengan produksi 1.475 ribu ton dan produktivitas rata-rata 464 kg/ha. Rendahnya produktivitas disebabkan oleh benih yang digunakan kurang baik, budidaya belum intensif, dan tidak lepas dari gangguan hama. Hama utama tanaman wijen adalah tungau kuning Polyphagotarsonemus latus yang menyerang daun muda. Intensitas kerusakan akibat hama dapat mencapai 75% yang mengakibatkan penurunan produktivitas. Daur hidup tungau P. latus pada tanaman wijen sangat singkat, berkisar antara 14-25 hari. Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan hama tungau P. latus dan pengendaliannya. Pengendalian tungau P. latus dapat dilakukan dengan insektisida nabati, dan insektisida alami polisulfida. Kata kunci : Bioekologi, pengendalian, Polyphagotar- sonemus latus (Banks), pestisida nabati, Sesamum indicum. ABSTRACT Sesame crop (Sesamum indicum L.) of Pedaliaceae family originated from the African continent and was first cultivated in Ethiopia. It is cultivated for industrial raw materials, including food industry, and cooking oil. Cultivation of sesame crop has long been known in Indonesia and the species of S. indicum is widely cultivated. At the end of 2000, sesame crop received great attention because of its usefulness for health. The area planted with sesame is about 3,341 ha with a production of 1,475 thousand tons and average productivity of 464 kg/ha. The low productivity is caused by lack of good seeds used, in, not intensive farming and pest attacks. The main pest on sesame crop is yellow mite, Polyphagotarsonemus latus that attacks young leaves. Life cycle of P. latus on sesame crop is very short ranging from 14 to 25 days. The intensity of damage caused by P. latus mites can reach 75%. At can be controlled using natural pesticide and polysulfide base pesticide. This paper aims to inform P. latus and its control in sesame cultivation. Keywords: Bioecology, control, Polyphagotarsonemus latus (Banks), vegetable pesticides, Sesamum indicum. PENDAHULUAN Tanaman wijen (Sesamum indicum L.) termasuk dalam famili pedaliaceae, diperkirakan berasal dari benua Afrika, dan pertama kali dibudi-dayakan di Ethiopia. Jumlah spesies dalam genus Sesamum cukup banyak, namun yang berhasil diidentifikasi baru 18 spesies (Van Rhaemen, 1981). Tanaman wijen merupakan tanaman semusim yang tahan kering, berumur 2,5 5 bulan, dan menghendaki curah hujan antara 400 600 mm selama pertumbuhan. Tanaman wijen menghasilkan biji yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri, seperti

Upload: doliem

Post on 06-Feb-2018

241 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

Perspektif Vol. 11 No. 2 / Des. 2012. Hlm 103 - 111

ISSN: 1412-8004

Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 103

BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING

Polyphagotarsonemus latus (Banks) DENGAN PESTISIDA NABATI

PADA TANAMAN WIJEN

Bioecology and Control of Yellow Mite (Polyphagotarsonemus latus (Banks)) on

Sesame (Sesamum indicum L.)

TUKIMIN S.W.

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute

Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos. 199 Malang 65152

e-mail: [email protected]

Diterima : 13 Januari 2011; Disetujui : 20 November 2012

ABSTRAK

Tanaman wijen (Sesamum indicum L.) termasuk dalam

famili Pedaliaceae, diperkirakan berasal dari benua

Afrika, dan pertama kali dibudidayakan di Ethiopia.

Tanaman wijen dibudidayakan untuk bahan baku

industri, seperi industri makanan dan minyak goreng.

Budidaya tanaman wijen sudah lama dikenal di

Indonesia dan sesies yang banyak dikembangkan

adalah Sesamum indicum. Pada akhir tahun 2000,

tanaman wijen memperoleh perhatian besar karena

kegunaannya yang sangat baik untuk kesehatan. Luas

areal pertanaman wijen 3.341 ha dengan produksi

1.475 ribu ton dan produktivitas rata-rata 464 kg/ha.

Rendahnya produktivitas disebabkan oleh benih yang

digunakan kurang baik, budidaya belum intensif, dan

tidak lepas dari gangguan hama. Hama utama

tanaman wijen adalah tungau kuning

Polyphagotarsonemus latus yang menyerang daun muda.

Intensitas kerusakan akibat hama dapat mencapai 75%

yang mengakibatkan penurunan produktivitas. Daur

hidup tungau P. latus pada tanaman wijen sangat

singkat, berkisar antara 14-25 hari. Makalah ini

bertujuan untuk menginformasikan hama tungau P.

latus dan pengendaliannya. Pengendalian tungau P.

latus dapat dilakukan dengan insektisida nabati, dan

insektisida alami polisulfida.

Kata kunci : Bioekologi, pengendalian, Polyphagotar-

sonemus latus (Banks), pestisida nabati,

Sesamum indicum.

ABSTRACT

Sesame crop (Sesamum indicum L.) of Pedaliaceae

family originated from the African continent and was

first cultivated in Ethiopia. It is cultivated for industrial

raw materials, including food industry, and cooking

oil. Cultivation of sesame crop has long been known in

Indonesia and the species of S. indicum is widely

cultivated. At the end of 2000, sesame crop received

great attention because of its usefulness for health. The

area planted with sesame is about 3,341 ha with a

production of 1,475 thousand tons and average

productivity of 464 kg/ha. The low productivity is

caused by lack of good seeds used, in, not intensive

farming and pest attacks. The main pest on sesame

crop is yellow mite, Polyphagotarsonemus latus that

attacks young leaves. Life cycle of P. latus on sesame

crop is very short ranging from 14 to 25 days. The

intensity of damage caused by P. latus mites can reach

75%. At can be controlled using natural pesticide and

polysulfide base pesticide. This paper aims to inform P.

latus and its control in sesame cultivation.

Keywords: Bioecology, control, Polyphagotarsonemus

latus (Banks), vegetable pesticides,

Sesamum indicum.

PENDAHULUAN

Tanaman wijen (Sesamum indicum L.)

termasuk dalam famili pedaliaceae, diperkirakan

berasal dari benua Afrika, dan pertama kali

dibudi-dayakan di Ethiopia. Jumlah spesies

dalam genus Sesamum cukup banyak, namun

yang berhasil diidentifikasi baru 18 spesies (Van

Rhaemen, 1981). Tanaman wijen merupakan

tanaman semusim yang tahan kering, berumur

2,5 – 5 bulan, dan menghendaki curah hujan

antara 400 – 600 mm selama pertumbuhan.

Tanaman wijen menghasilkan biji yang dapat

digunakan sebagai bahan baku industri, seperti

Page 2: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

104 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111

industri makanan dan minyak goreng. Minyak

wijen mempunyai asam lemak jenuh rendah,

sehingga tidak berbahaya jika dikonsumsi oleh

penderita kolesterol tinggi (Soenardi, 1996; Kaul

dan Das, 1986). Pada tahun 1977-1987, Indonesia

dikenal sebagai negara pengekspor wijen, namun

pada tahun 1988 kedudukan Indonesia berubah

menjadi negara pengimpor. Pada tahun 2001

nilai impor Indonesia mencapai 3.722.472 ton biji

dan 218.081 ton minyak wijen. Produksi wijen di

Indonesia sekitar 0,06% terhadap produksi dunia

(FAO, 1990; BPS, 2001; Rachman, 2006).

Tanaman wijen yang banyak dikembangkan

di Indonesia adalah spesies S. indicum. Pada

tahun 1977 Balai Penetian Tanaman Tembakau

dan Serat telah melepas dua varietas wijen yaitu

Sumberrejo 1 (Sbr 1) yang termasuk dalam wijen

putih. Tanaman bercabang, umur panen 90-110

hari dengan produktivitas 1000-1600 kg/ha.

Varietas ini sesuai untuk pertanaman

monokultur maupun polikultur. Kedua adalah

Sumberrejo 2 (Sbr 2) yang termasuk juga dalam

wijen putih. Tanaman tidak bercabang, umur

panen 75-100 hari dengan produktivitas 800-

1.400 kg/ha.

Nilai ekonomis wijen yang ditanam di antara

baris jagung dapat menghasilkan keuntungan

bersih Rp.6.880.000,-/ha. Tanaman wijen

mempunyai keunggulan komparatif, karena

tahan kering, mutu hasil biji tetap baik, dapat

dibudidayakan secara ekstensif, mempunyai nilai

ekonomis relatif tinggi (Suprijono dan Mardjono,

2002; Soenardi, 1996). Akhir-akhir ini tanaman

wijen memperoleh perhatian besar karena

keunggulannya yang sangat baik untuk

kesehatan. Minyak wijen mengandung anti-

oksidan, sesamin, dan sesamolin, sehingga dapat

disimpan lebih dari 1 tahun tanpa mengalami

kerusakan/tengik (Sudhiyam dan Meneekhao,

1997).

SERANGAN HAMA PADA WIJEN

Rendahnya produktivitas wijen di Indonesia

disebabkan antara lain benih yang digunakan

kurang baik, lahan terbatas, budidaya belum

intensif dan tidak lepas dari gangguan hama.

Berdasarkan estimasi Cramer dalam Deacon

(1983) menyatakan bahwa kehilangan hasil pada

tanaman wijen karena hama mencapai 52,50%.

Hasil survei Subiyakto dan Harwanto (1996)

menemukan sejumlah serangga yang sering

dijumpai pada tanaman wijen, di antaranya

adalah jenis tungau yaitu Polyphagotarsonemus

latus, jenis kepik Nezara viridula, jenis kutu Aphis

gossypii, dan Myzus persicae. Hama tungau dapat

menurunkan hasil sekitar 75% (Weiss, 1971;

Kalshoven, 1981; Subiyakto dan Harwanto, 1996;

Sintim, 2010). Intensitas kerusakan daun wijen

yang disebabkan oleh serangan tungau P. latus di

Bojonegoro mencapai 80,67% (Tukimin et al.,

2005). Di Chili penurunan produksi wijen akibat

kerusakan pada tunas muda oleh tungau P. latus

mencapai 50% (Vichitbandha dan Chandrapatya,

2011).

Langkah awal penggunaan varietas tahan

adalah dasar dari konsep pengendalian hama

secara terpadu (PHT), karena dapat dikombi-

nasikan dengan komponen pengendalian yang

lain, mudah dilaksanakan, murah, dan tidak ber-

dampak negatif terhadap lingkungan.

Kerusakan daun yang disebabkan oleh

serangan tungau P. latus mengakibatkan

pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, cacat,

kerdil, dan mengalami stagnasi (Denmark, 2000).

Tukimin dan Heliyanto (2008a) mengutarakan

bahwa intensitas kerusakan oleh hama tungau P.

latus bisa mengakibatkan penurunan produksi

lebih dari 50%.

Tungau menyerang dengan cara mengisap

cairan sel daun. Serangan awal biasanya hanya

berupa bintik-bintik pada permukaan daun

bagian bawah. Serangan tungau mengakibatkan

daun menjadi keriting, menggulung, dan

akhirnya kering. Serangan pada kuncup bunga

dan bunga mengakibatkan tidak terbentuk buah

dan penurunan produksi.

Tungau kuning P. latus (Acarina:

Tarsonemidae) ditemukan pertama kali oleh

Banks tahun 1904 pada tunas mangga di rumah

kaca (Waterhouse dan Norris, 1987; Beker, 1997;

Denmark, 2000; Anonymous, 2004). Tungau ini

berukuran 0,8 mm (sangat kecil) dan dapat

dijumpai pada tanaman sayuran (tomat, cabai),

teh, karet, pepaya, kapas, jeruk, stroberi, bunga

dahlia, dan krisan (Kalshoven, 1981; Brown dan

Yanes, 1983; Denmark, 2000; Pena dan Cambell,

2005).

Page 3: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 105

INTENSITAS KERUSAKAN DAUN

Kerusakan daun yang diakibatkan serangan

tungau P. latus pada tanaman wijen sudah terli-

hat pada 25 hari setelah tanam (HST) dengan

gejala daun mulai tidak normal dan terlihat

bintik-bintik bekas tusukan tungau/stilet. Rata-

rata serangan tahun 2006, 2007, dan 2008 lebih

dari 10% pada umur 25 HST (Gambar 1).

Gambar 1. Grafik intensitas kerusakan dan

populasi P. latus

Kerusakan tanaman wijen mengakibatkan

penurunan produksi pada umur 45-65 HST, saat

pembentukan kuncup bunga, bunga, dan buah

(Gambar 2 dan 3). Pada 75 HST populasi tungau

mulai berkurang, karena tanaman sudah tua dan

sebagian daun telah kuning, menggulung, dan

melengkung ke bawah, sehingga kandungan

nutrisi untuk perkembangbiakan tungau sudah

tidak cocok lagi. Tungau P. latus mulai pindah/

migran ke tanaman inang yang lain.

Gambar 2. Serangan tungau P. latus pada 35 HST

Gambar 3. Serangan tungau P. Latus menjelang

berbunga (45 HST)

Hasil penelitian (Tukimin dan Winarno,

2008b) menemukan 27 tanaman inang yang cocok

untuk perkembangbiakan tungau P. latus, di

antaranya : jarak pagar (Jatropha curcas L.), jarak

kepyar (Ricinus communis L.), wijen (Sesamum

indicum), rosella (Hisbiscus sabdariffa), kapas

(Gossypium hirsutum), jagung (Zea mays), ketela

pohon/ubi kayu (Manihot utilisima), cabai

(Capsicum annum), kangkung (Ipomoea aquatica),

kacang panjang (Vigna sinensis), tomat (Lycoper-

sicon esculentum), jeruk purut (Citrus hystrix),

bunga krisan (Chrysanthemum morifolium), melati

(Jasminum sambac), bunga sepatu (Hisbiscus rosa-

sinnensis) dan gulma anting-anting (Fushsia) dan

masih banyak yang lain.

BIOLOGI TUNGAU KUNING P. LATUS

Tungau kuning P. latus (Helmitarsonemus

latus (Banks)) berukuran relatif kecil (0,8 mm),

banyak ditemukan pada permukaan daun bagian

bawah, berkembangbiak dengan cara

kopulasi/kawin, akan tetapi ada juga yang tidak

mengalami kopulasi. Apabila tidak mengalami

kopulasi, keturunan yang dihasilkan biasanya

hanya betina saja. Seekor imago betina dapat

meletakkan telur antara 36- 40 butir atau 5-8 butir

per hari. Siklus hidup tungau kuning P. latus

mengalami metamorfose tidak sempurna, yaitu

telur, larva, nimfa, dan imago .

Page 4: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

106 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111

Gambar 4. Siklus hidup tungau kuning P.

phagotarsonemus latus

Telur

Telur P. latus banyak dijumpai pada

permukaan daun bagian bawah di antara ranting

tulang daun, disisipkan di antara bulu daun yang

warnanya hampir sama dengan bintik-bintik

kristal daun wijen. Telur berbentuk oval,

transparan, berwarna putih bening, dan pada

bagian kulit luar terdapat tonjolan yang rata-rata

berjumlah 9 baris. Telur mudah pecah, berukuran

panjang 0,7 mm dan diameter 0,14 mm (Hill,

1983; Waterhouse dan Norris, 1987; Denmark,

2000). Telur menetas menjadi larva berukuran

sangat kecil (0,1 mm) (Brown dan Yanes, 1983).

Tukimin et al. (2007a) melaporkan bahwa fase

telur pada tanaman wijen berkisar 1 -2 hari.

Larva

Larva yang baru menetas berukuran sangat

kecil (0,1 mm), berbentuk oval, berwarna putih,

dan mempunyai tiga pasang kaki yang belum

sempurna. Selama perkembangan larva, warna

berubah dari kuning kehijauan atau hijau gelap

sampai kuning kecoklatan. Setelah dua hari, larva

akan berubah menjadi nimfa. Tukimin et al. (2007

a) melaporkan fase larva pada tanaman wijen

berlangsung selama 1- 3 hari dan pada masa

tersebut pergerakan larva tidak terlalu aktif.

Nimfa

Pada masa nimfa, tungau P. latus mempunyai

tiga pasang tungkai yang sudah sempurna dan

akan tumbuh sepasang tungkai baru sehingga

menjadi empat pasang tungkai. Pada ujung

tungkai keempat nimfa jantan terbentuk kuku

yang berfungsi sebagai pengait, sedangkan pada

nimfa betina pada satu pasang tungkai keempat

terbentuk seperti cambuk (satu pasang kaki

keempat tereduksi/semu). Saat pergantian

kulit/ekdisis, nimfa jantan banyak ditemukan

membawa nimfa betina dengan tungkai

belakang. Nimfa jantan tersebut menunjukkan

telah dewasa dan siap untuk kopulasi (Gambar 5)

(Tukimin et al., 2007a). Apabila telah menjadi

dewasa/imago, nimfa tersebut siap untuk

kopulasi/kawin dan menjadi pasangan kopulasi.

Gambar 5. Nimfa jantan membawa larva betina.

Sumber: Pena dan Cambell, 2005.

Fluktuasi populasi tungau kuning sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan pakan untuk

kelangsungan hidup dan berkembang biak.

Keadaan lingkungan, suhu, dan kelembapan

berpengaruh positif terhadap fluktuasi populasi

hama (Montasser et al., 2011; Gerson dan

Weintraub, 2012). Tanaman yang sudah mulai

tua dengan kandungan nutrisi mulai berkurang

tidak cocok untuk perkembangan tungau.

Kandungan nutrisi terletak pada jaringan

pengangkut yaitu floem atau jaringan yang

tersusun atas tapis, sel-sel parenkim, dan

sklereid. Sel-sel parenkim ini mempunyai fungsi

khusus yaitu tempat cadangan makanan

(Pudjoarianto dan Sumardi, 1992). Pada fase

nimfa sampai fase imago/dewasa, aktivitas

tungau sangat tinggi yang mengakibatkan

intensitas kerusakan daun menjadi parah.

Intensitas kerusakan pada daun, kuncup bunga,

bunga, dan buah dapat mengakibatkan

penurunan produksi.

Telur 1- 2

hari

Larva 1-3 hari

Nimfa 3-4 hari

Imago 10-18 hari

Page 5: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 107

Pada tahun 2005, populasi imago pada

tanaman wijen umur 35 hari setelah tanam (HST)

mencapai 9,33 ekor/daun contoh, dan pada tahun

2006 populasi meningkat hingga mencapai 187,67

ekor/daun contoh pada tanaman berumur 35

HST. Fluktuasi populasi imago dari tahun 2005 –

2006 pada musim tanam wijen dipengaruhi oleh

faktor suhu dan kelembapan. Tertariknya tungau

untuk meletakkan telur di bagian bawah

permukaan daun dan berkembang biak pada

tanaman wijen dipengaruhi oleh tersedianya

cukup makanan (faktor abiotik), yang ditentukan

oleh organ peraba dan reseptor kimia, sifat fisik

tanaman, dan rangsangan kimia untuk

berkembangbiak (Manuwoto, 1991; Smith, 1989;

Pena dan Cambell, 2005).

Imago

Ciri fisiologis tungau dewasa yaitu ukuran

panjang 1,5 mm, transparan, dan warna kuning

kecoklatan. Selama masa hidup (5-6 hari), seekor

tungau betina dapat meletakkan telur sebanyak

36-40 butir atau 5-8 butir per hari pada suhu 30o C

dan kelembapan 73%. Perbandingan antara

tungau jantan dan betina adalah 1 : 2 atau 1 ekor

jantan dan 2 ekor betina (Tukimin, 2007 a). Hill

(1983) dan Brown dan Yanes (1983) juga

melaporkan bahwa tungau P. latus dewasa betina

dapat hidup sampai hampir mencapai 10 hari

dan menghasilkan telur rata-rata 2-5 butir per

hari (20-50 butir) dan dapat dipengaruhi oleh

faktor kesuburan tungau. Siklus hidup tungau P.

latus pada tanaman wijen berkisar antara 10,27 -

18,64 hari (Tukimin et al., 2007b).

Penelitian pada tahun 2005 menginforma-

sikan bahwa rata-rata ditemukan 9,1 ekor nimfa

per daun pada tanaman wijen umur 35 HST dan

mencapai 13,87 ekor/daun pada umur 45 HST.

Keadaan ini mengakibatkan daun tanaman wijen

menjadi keriting dan melengkung ke bawah

sehingga akhirnya mengering. Pada umur 35

HST tahun 2006, jumlah nimfa mencapai 47,33

ekor/daun tanaman wijen dan mencapai 94,67

ekor/daun pada 45 umur HST (Tukimin, 2010).

Dibanding tahun 2006, populasi nimfa menurun

pada tahun 2007, yaitu 0,36 ekor/daun pada

umur 35 HST dan 5,49 ekor/daun pada 45 HST.

Fluktuasi populasi tersebut dipengaruhi curah

hujan, suhu (27,68oC), dan kelembapan (79,03%)

yang sesuai bagi imago untuk berkembang biak

dengan cepat (Gambar 6). (Tukimin et al., 2007a).

Gambar 6. Populasi nimfa dan imago tungau P.

latus. 2005-2007 (ekor/daun contoh).

PENGENDALIAN P. latus

Pemanfaatan bahan tanaman sebagai sumber

bahan pengendalian hama tanaman bukanlah hal

yang baru, mungkin sejak awal peradaban

manusia. Contoh nyata kalium polisulfida

(sulfur) telah digunakan sejak zaman Romawi

dan pada abad XI. Pada tahun 1960 garam asenat

dari bahan timah asenat, ekstrak daun tembakau

(nikotin), dan ekstrak piretrum (piretrin) telah

digunakan sebagai insektisida botani. Kemudian

ekstrak Deris (retenon) dan Bubur bordeaux dari

bahan terusi, kapur dan air juga dimanfaatkan

sebagai fungisida dan populer pada tahun 1883

(Klocke, 1987). Indonesia adalah salah satu dari 8

pusat keragaman genetik di dunia yang memiliki

kira-kira 3.000 spesies tanaman, 15.000 spesies

hewan, dan 10.000 spesies mikroba (Ahmed dan

Grainge, 1986; Rupprecht et al., 1990). Saat ini

penggunaan insektisida sintetis/insektisida kimia

tidak banyak memberikan hasil yang baik dan

bahkan dapat mengakibatkan dampak negatif

terhadap lingkungan. Sebagai contoh hama

menjadi resisten dan residu yang ditinggalkan

dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan

(Sitepu, 2000; Untung, 2006; Zeledon, 1997).

Insektisida jenis akarisida dilaporkan efektif

untuk mengendalikan hama tungau, namun

hingga kini belum dimanfaatkan secara baik

untuk mengendalikan hama tungau P. latus.

Jenis mitisida untuk pengendalian hama tungau

juga tidak menunjukkan efektivitas terhadap

mortalitas tungau, sehingga penggunaannya

dengan cara memperpendek interval penyem-

protan (Stumpt and Nauen, 2001).

Page 6: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

108 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111

Penggunaan insektisida nabati dengan

menggunakan ekstrak Daun paitan + Daun

tembakau + Daun sirsak sudah pernah digunakan

untuk pengendalian hama daun P. latus dan

Eriophyidae pada tanaman jarak pagar (Jatropha

curcas L.). Hasil penelitian menunjukkan

perlakuan maserasi dengan konsentrasi 1 Bagian

ekstrak + 1 bagian air (1:1) dapat membunuh

hama daun P. latus dan Eriophyidae 75,90% pada

48 jam setelah penyemprotan LC50 = 2,68 ml/l air.

Akhir-akhir ini pemanfaatan bahan tanaman

untuk pestisida telah berkembang dengan meng-

gunakan tanaman yang mengandung racun,

antara lain : tanaman paitan (mengandung asam

palmitat, 9-pentadekadien-1-0l, benzyl benzoate,

steraldehida, dan metilamina), tembakau dengan

senyawa utama nikotin, dan daun sirsak

(mengandung senyawa asetogenin, antara lain

asimisin, bulatocin, dan squamosin) (Tukimin

dan Asbani, 2007c). Pestisida nabati memiliki

potensi besar untuk digunakan dalam pengen-

dalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

Sitepu et al., 2000).

Sejak dasawarsa yang lalu, kebangkitan

kembali minat dalam memanfaatkan insektisida

nabati dan telah menghasilkan informasi

berharga mengenai kandungan sekunder

tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk

pengendalian hama dan penyakit, misalnya dari

family Meliaceae, Annonaceae, Nicotin dari

family Solanaceae, Rutaceae, Labiarae,

Piperraceae, dan Coneliaceae yang sekarang

digunakan sebagai sumber bahan baku

insektisida botani. Peluang yang cukup besar

untuk mengembangkan hasil-hasil penelitian

dengan memanfaatkan pestisida nabati sudah

menunjukkan efektivitasnya sebagai insektisida

dari bahan metabolik sekunder (secondary

metabolic) bioaktif, terutama terhadap serangga,

misalnya srikaya dan sirsak (Annonaceae), daun

paitan (Tithonia diversifolia), bagian yang

mengandung racun (daun, akar, buah, atau

minyak biji) pada mimba (Azadirachtin), tanaman

tembakau (Nicotiana tabacum), daun gamal

(Gliricidia sepium), bagian yang mengandung

racun (bagian daun) pada ubi gadung (Dioscorea

hispida), akar tuba (Derris eliptica) biji jarak pagar/

minyak (Jatropha curcas), dan masih banyak yang

lain (Rupprecht et al., 1990; Tukimin, 2007).

Penggunaan bahan alami yang lain sebagai

insektisida adalah kalium polisulfida yang

merupakan campuran dari belerang dan kapur

dengan perbandingan 2 : 1. Insektisida jenis ini

dapat membunuh hama kutu daun yaitu kutu

sisik hijau (Cucus viridis), tungau, dan jamur pada

tanaman hortikultura. Pada penelitian lain,

penggunaan kalium polisulfida (belerang : kapur

= 2:1) dengan konsentrasi 5-10 ml/l air sudah

cukup efektif untuk membunuh kutu Eriophyidae

pada tanaman jarak pagar (Amir dan Asbani,

2008). Di Cuba penggunaan agensia hayati

seperti predator Amblyseius largoensis (Muma)

(Acaric: Phytyoselidae) untuk mengendalikan

hama P. latus pada tanaman kentang, buncis,

cabai, jeruk, dan lada (Rodriques et al., 2011;

Montasser et al., 2011).

PRODUKSI

Serangan tungau P. latus pada tanaman wijen

dapat memengaruhi penurunan produktivitas.

Pada umur 75 HST tahun I (2005) produksi wijen

tertinggi pada aksesi Si 3 (sebanyak 837 kg/ha)

dengan tingkat serangan mencapai 33%, dan

terrendah pada aksesi Si 8 (115 kg/ha) dengan

tingkat serangan mencapai 51%. Pada tahun II

(2006) umur 75 HST, produksi wijen tertinggi

dijumpai aksesi Si 48 (771 kg/ha) dengan tingkat

serangan mencapai 60%, dan terrendah pada

aksesi Si 29 (122 kg/ha) dengan tingkat serangan

mencapai 68%. Pada tahun III (2007), produksi

wijen terus menurun karena serangan tungau P.

latus cukup tinggi hingga mencapai 79% (Gambar

7 dan Tabel 1).

Gambar 7. Grafik penurunan produksi wijen

akibat serangan hama tungau P.

latus. (Tukimin, 2007).

Page 7: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 109

Penurunan produksi dari tahun 2005, 2006

dan 2007 pada tanaman wijen di KP. Sumberrejo

menunjukkan indikasi bahwa daerah penelitian

di KP. Sumberrejo sering ditemukan hama

tungau. Daerah endemik hama tungau pada

tanaman inang non wijen dapat berkembang biak

pada saat tanaman wijen dibudidayakan. Pada

umur 25 HST telah ditemukan serangan hama

tungau P. latus. Langkah awal untuk untuk

mendapatkan varietas tahan terhadap serangan

hama tungau P. latus mutlak diperlukan dari

sumber ketahanan plasma nutfah yang tersedia

di Balittas.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Bioekologi tungau Polyphagotarsonemus latus

pada tanaman wijen sangat singkat. Siklus

hidup tungau P. latus berlangsung dari telur

1-2 hari, larva 1-3 hari, nimfa 3-4 hari dan

imago 10-18 hari, dapat mengakibatkan

kerusakan tanaman wijen dengan cepat.

2. Faktor yang mempengaruhi bioekologi

tungau P. latus adalah: tanaman inang

tersedia dengan nutrisi yang sesuai untuk

berkembangbiak, suhu berkisar 30o C dan

kelembapan 73-79%.

3. Intensitas kerusakan pada tanaman wijen

oleh tungau P. latus dapat mencapai 75%,

yang dapat mengakibatkan kerusakan daun,

bunga, buah/polong dan penurunan

produksi.

4. Penggunaan pestisida nabati dan insektisida

alami polisulfida efektif mengendalikan

hama tungau dan kutu daun pada tanaman

wijen.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A.M. dan N. Asbani. 2008. Toksisitas

pestisida Kalsium polisulfida terhadap

tungau Eriophyidae pada tanaman jarak

pagar (Jatropha curcas L.). Prosiding

Lokakarya Nasional III Balai Penelitian

Tanaman Tembakau dan Serat, Malang.

2008. Hlm. 265- 269.

Anonymous. 2004. Polyphagotarsonemus latus

(Banks) Common Name Broad Mite.

Exotic Pre Sent, http://www.ento.cairoav/

aren/name.s /3344.htm. (Juni 2004).

Beker, J.R. 1997. Cyclamen mite and Broad mite .

Ornamental and Turf insect Information

Notes. Http://www.Ces.Nesu.edu/depts./

ent /Notes/O&T/flawer/Nate 28.html. (14

September 2005).

Tabel 1. Produksi wijen tahun 2005-2007

Tahun I (2005) Tahun II (2006) Tahun III (2007)

No. PerlaKuan (aksesi)

kg/ha Tingkat serangan (%)

PerlaKuan (aksesi)

kg/ha Tingkat serangan (%)

PerlaKuan (aksesi)

kg/ha Tingkat serangan

(%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.

Si 1 Si 2 Si 3 Si 4 Si 5 Si 6 Si 7 Si 8 Si 9 Si 10 Si 11 Si 12 Si 13 Si 14 Si 15 Si 16 Si 17 Si 18 Si 19 Si 20 Si 21 Si 24 Si 25 Si 28 Sbr 1

502 687 837 628 440 444 377 115 439 109 285 390 491 361 425 558 450 345 455 469 254 498 645 630 780

57 32 33 44 50 43 57 51 67 54 33 34 33 44 41 39 42 51 49 33 60 62 43 33 29

Si 22 Si 23 Si 26 Si 27 Si 29 Si 30 Si 31 Si 33 Si 34 Si 35 Si 36 Si 37 Si 38 Si 39 Si 40 Si 41 Si 42 Si 43 Si 44 Si 45 Si 46 Si 47 Si 48 Si 49 Sbr1

331 768 677 744 122 155 454 564 561 332 497 224 226 182 292 271 537 232 161 424 591 297 771 770 686

45 52 55 45 68 72 71 45 57 45 58 66 74 56 49 50 50 50 68 40 68 48 60 75 61

Si 50 Si 51 Si 52 Si 53 Si 54 Si 55 Si 56 Si 57 Si 58 Si 59 Si 60 Si 61 Si 62 Si 63 Si 64 Si 65 Si 66 Si 69 Si 45

Cina Hitam Sbr 1 Sbr 2 Sbr 3 Sbr 4 Si 75

121 116 120 145 143 142 68

163 138 126 146 89

116 385 75

116 68

137 57 83

102 139 157 92 73

35 41 40 64 71 79 55 44 35 29 40 45 63 38 68 40 40 45 58 25 40 50 50 50 35

Sumber: Tukimin S.W., 2007.

Page 8: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

110 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111

BPS. 2001. Statistik Perdagangan Luar Negeri

Indonesia. BPS. Jakarta. Indonesia.

Brown, R.D. and V.P. Yanes. 1983. The Broad

mite on lemons in Southern California.

California Agriculture. 37 (7/8): 21- 22.

Denmark, H.A. 2000. Broad Mite, Polyphagotar-

sonenus latus (Banks) (Arachnidae:

Acarina: Tarsonemidae). University of

Florida. http://creatures.ifas.uft.edu.

Deacon, J.W. 1983. Microbial control of plant

pests and diseases. Van Nostrand

Reinhold (VK) Co. Ltd.

FAO. 1990. FAO Production Year Book. Vol 44.

Food and Agriculture Organization of the

United Nations Rome.

Gerson, U. and P.G. Weintraub. 2012. Mites

(Acarina) as a Factor in Greenhouse

Management. Journal Entomology

57:229-247.

Hill, D.S. 1983. Polyphagotarsonemus latus (Banks)

Agriculture Insect Pest of Tropics and

Their Control. Cambridge University

Press. 746 p.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crop in Indonesia.

Rev. Translated by P.A. Van der Laan.

PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 701p.

Kaul, A.K. and M.L. Das. 1986. Oil seeds in

Bangladesh. Bangladesh, Canada Agric.

Sector Team. Ministry of Agric. Gov. of

the People Rep of Bangladesh. 13p.

Manuwoto, S. 1991. Interaksi Serangga-tanaman,

Tanaman Resisten, dan Pengendalian

Hayati. Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. 17 hlm.

Mardjono, R., Suprijono, dan H. Sudarmo. 2007.

Pelepasan Varietas Unggul Wijen Sbr 3

dan Sbr 4. SK Mentan No. 113/kpts/SK/

120/2/2007. Jakarta. 20 Pebruari 2007.

Montasser, A.A., A.S. Marzouk, A.R.I. Hanafy,

and G.M. Hassan. 2011. Seasonal

fluctuation of the broad mite Polyphago-

tarsonemus latus (Acari: Tarsonemidae)

and its predatory mite on some pepper

cultivars in Egypt. International Journal

of environmental Science and

Engineering (IJESE). 2 : 9-20.

Pena, J.E. and C.W. Cambell. 2005. Broad mite

Edis. http://www.edis.ifas.ufl.edu/ch020.

(13 September 2005).

Pudjoarianto, A. dan Sumardi. 1992. Struktur dan

Perkembangan Tumbuhan. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta. Hlm 66-75.

Rachman, A.H. 2006. Status wijen (Sesamum

indicum L.) di dalam dan luar negeri.

Seminar Memacu Pengembangan Wijen

untuk Mendukung Agroindustri.

Malang, 9 November 2006. 5 hlm.

Rodriques, H., M. Ramos, A. Montoya, Y.

Rodriques, R. Chico, I. Miranda, and

T.L. Depestre. 2011. Development of

Amblyseius largoensis as biological

control agent of the broad mites

(Polyphagotarsonemus latus). Cuba,

Biomol. April 28 (3): 1-7.

Rupprecht, J.K., Y.H. Hui, and J.L. Melaughlin.

1990. Annonaceous scetogeninms; a

review. J. Niat. Prod 53: 237-278p.

Smith, R.C. 1989. Plant Resistence to Insects.

Departement of Plant, Soil and

Entomologi Col Sciences . University of

Idoko Moskow, Idoko. 286p.

Sudhiyam, P. and S. Maneekhao. 1997. Sesame

(Sesamum indicum L.). A Guide Book for

Field Crops Production in Thailand. Field

Crops Research Institute. 166p.

Subiyakto dan Harwanto. 1996. Hama Tanaman

Wijen dan Pengendaliannya. Monograf

Balittas (2) : 31- 37

Soenardi. 1996. Budidaya Tanaman Wijen.

Monograf Balittas (2): 14-25.

Sitepu, D., A. Kardinan, dan A. Asnan. 2000.

Pemanfaatan Pestisida Nabati. Buletin

Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

11 (2): 24-33.

Suprijono dan R. Mardjono. 2002. Inovasi

teknologi untuk pengembangan wijen.

Makalah Lokakarya dan Pameran

Pengembangan kapas, jarak dan wijen.

Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan

Serat Malang. Oktober 2002. 6 hlm.

(Tidak dipublikasikan)

Stumpt, N. and R. Nauen. 2001. Cross resisteance,

inheritance, and biochemistry of mito-

chondrial electron transport inhibitor-

acaricide resistance in Tetranychus urticae

(Acari: Tetranychidae). Journal Econ.

Entomol, 94: 1577-1583.

Page 9: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING ...perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2013/04/... · Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen

Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 111

Sintim, H.O. and V.I.Y. Badu. 2010. Evaluation of

Sesame (Sesamum indicum) production in

Ghana. Journal of Animal and Plant

Sciences 6(3) : 653-662.

Tukimin, S.W. dan B. Heliyanto. 2008a. Pengaruh

intensitas kerusakan daun terhadap

penurunan produksi pada empat varietas

wijen (Sesamum indicum L.). Jurnal

Agritek, Juli 17: 1243-1257.

Tukimin, S.W. dan D. Winarno. 2008b. Observasi

Hama Tungau Kuning Polyphago-

tarsonemus latus (Banks) pada beberapa

tanaman inang alternatif. Jurnal Agritek.

Februari 16 (2):171-176.

Tukimin, S.W. 2007. Beberapa aspek biologi

tungau kuning Polyphagotarsonemus latus

(Banks) pada beberapa aksesi wijen

(Sesamum indicum L.). Journal Agritek,

April 2007. 15 (2) : 297 – 304.

Tukimin, S.W., T. Yulianti, dan N. Wakhidah.

2007a. Siklus hidup tungau kuning

Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada

beberapa aksesi wijen (Sesamum indicum

L.). Journal Agritek April 2007. 15(2):448-

452.

Tukimin, S.W., R. Mardjono, dan Suhartono,

2007b. Laporan Hasil Evaluasi Ketahanan

plasma nutfah wijen terhadap hama

utama Polyphagotarsonemus latus (Banks)

di KP. Sumberrejo. Laporan Balittas. 23

hlm. (Tidak dipublikasikan)

Tukimin, S.W. dan N. Asbani. 2007c.

Pemanfaatan Ekstrak Daun Paitan dan

Ekstrak Daun Tembakau + Daun Sirsak

untuk Pengendalian Hama Tungau

Eriophyidae pada jarak pagar (Jatropha

curcas L.). Jurnal Agritek. Edisi Ulang

Tahun ke 15 Juli 15:153-157.

Tukimin, S.W., Suprijono, R. Mardjono, A.M.

Amir, dan Suhartono. 2005. Laporan

Hasil Evaluasi Ketahanan plasma nutfah

wijen terhadap hama utama Polyphago-

tarsonemus latus (Banks) di KP.

Sumberrejo. Laporan Balittas. 20 hlm.

(Tidak dipublikasikan)

Tukimin, S.W. 2010. Populasi dan Tingkat

Serangan Tungau Kuning Polyphagotar-

sonemus latus (Banks) Pada Tanaman

Wijen (Sesamum indicum L.) Jurnal

Agrivita. 12(1):47-57 hlm.

Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama

Terpadu. Gajah Mada Press. Edisi II,

Yogyakarta. Hlm. 132-150.

Vichitbandha, P. and A. Chandrapatya. 2011.

Broad mite effects on Chilli Shoot

damage and Yield. Pakistan J. Zool.,

43(4) : 637-649.

Weiss, E.A. 1971. Castor, sesame, and safflower.

Leonard Hill, London, 876p.

Waterhouse, D.F. and K.R. Norris. 1987. Chaper

31: Polyphagotarsonemus latus (Banks). In :

Biological Control Pacific Prospects.

Inkata Press: Melbourne. 454p.

Zeledon, I.H. 1997. Alternatives to Synthetic

Pesticides were Emphasis on neem. Proc.

National conference on Biopesticides,

Surabaya 11- 13 Agustus 1977. 10p.