bioekologi dan pengendalian tungau kuning...
TRANSCRIPT
Perspektif Vol. 11 No. 2 / Des. 2012. Hlm 103 - 111
ISSN: 1412-8004
Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 103
BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN TUNGAU KUNING
Polyphagotarsonemus latus (Banks) DENGAN PESTISIDA NABATI
PADA TANAMAN WIJEN
Bioecology and Control of Yellow Mite (Polyphagotarsonemus latus (Banks)) on
Sesame (Sesamum indicum L.)
TUKIMIN S.W.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat
Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute
Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos. 199 Malang 65152
e-mail: [email protected]
Diterima : 13 Januari 2011; Disetujui : 20 November 2012
ABSTRAK
Tanaman wijen (Sesamum indicum L.) termasuk dalam
famili Pedaliaceae, diperkirakan berasal dari benua
Afrika, dan pertama kali dibudidayakan di Ethiopia.
Tanaman wijen dibudidayakan untuk bahan baku
industri, seperi industri makanan dan minyak goreng.
Budidaya tanaman wijen sudah lama dikenal di
Indonesia dan sesies yang banyak dikembangkan
adalah Sesamum indicum. Pada akhir tahun 2000,
tanaman wijen memperoleh perhatian besar karena
kegunaannya yang sangat baik untuk kesehatan. Luas
areal pertanaman wijen 3.341 ha dengan produksi
1.475 ribu ton dan produktivitas rata-rata 464 kg/ha.
Rendahnya produktivitas disebabkan oleh benih yang
digunakan kurang baik, budidaya belum intensif, dan
tidak lepas dari gangguan hama. Hama utama
tanaman wijen adalah tungau kuning
Polyphagotarsonemus latus yang menyerang daun muda.
Intensitas kerusakan akibat hama dapat mencapai 75%
yang mengakibatkan penurunan produktivitas. Daur
hidup tungau P. latus pada tanaman wijen sangat
singkat, berkisar antara 14-25 hari. Makalah ini
bertujuan untuk menginformasikan hama tungau P.
latus dan pengendaliannya. Pengendalian tungau P.
latus dapat dilakukan dengan insektisida nabati, dan
insektisida alami polisulfida.
Kata kunci : Bioekologi, pengendalian, Polyphagotar-
sonemus latus (Banks), pestisida nabati,
Sesamum indicum.
ABSTRACT
Sesame crop (Sesamum indicum L.) of Pedaliaceae
family originated from the African continent and was
first cultivated in Ethiopia. It is cultivated for industrial
raw materials, including food industry, and cooking
oil. Cultivation of sesame crop has long been known in
Indonesia and the species of S. indicum is widely
cultivated. At the end of 2000, sesame crop received
great attention because of its usefulness for health. The
area planted with sesame is about 3,341 ha with a
production of 1,475 thousand tons and average
productivity of 464 kg/ha. The low productivity is
caused by lack of good seeds used, in, not intensive
farming and pest attacks. The main pest on sesame
crop is yellow mite, Polyphagotarsonemus latus that
attacks young leaves. Life cycle of P. latus on sesame
crop is very short ranging from 14 to 25 days. The
intensity of damage caused by P. latus mites can reach
75%. At can be controlled using natural pesticide and
polysulfide base pesticide. This paper aims to inform P.
latus and its control in sesame cultivation.
Keywords: Bioecology, control, Polyphagotarsonemus
latus (Banks), vegetable pesticides,
Sesamum indicum.
PENDAHULUAN
Tanaman wijen (Sesamum indicum L.)
termasuk dalam famili pedaliaceae, diperkirakan
berasal dari benua Afrika, dan pertama kali
dibudi-dayakan di Ethiopia. Jumlah spesies
dalam genus Sesamum cukup banyak, namun
yang berhasil diidentifikasi baru 18 spesies (Van
Rhaemen, 1981). Tanaman wijen merupakan
tanaman semusim yang tahan kering, berumur
2,5 – 5 bulan, dan menghendaki curah hujan
antara 400 – 600 mm selama pertumbuhan.
Tanaman wijen menghasilkan biji yang dapat
digunakan sebagai bahan baku industri, seperti
104 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111
industri makanan dan minyak goreng. Minyak
wijen mempunyai asam lemak jenuh rendah,
sehingga tidak berbahaya jika dikonsumsi oleh
penderita kolesterol tinggi (Soenardi, 1996; Kaul
dan Das, 1986). Pada tahun 1977-1987, Indonesia
dikenal sebagai negara pengekspor wijen, namun
pada tahun 1988 kedudukan Indonesia berubah
menjadi negara pengimpor. Pada tahun 2001
nilai impor Indonesia mencapai 3.722.472 ton biji
dan 218.081 ton minyak wijen. Produksi wijen di
Indonesia sekitar 0,06% terhadap produksi dunia
(FAO, 1990; BPS, 2001; Rachman, 2006).
Tanaman wijen yang banyak dikembangkan
di Indonesia adalah spesies S. indicum. Pada
tahun 1977 Balai Penetian Tanaman Tembakau
dan Serat telah melepas dua varietas wijen yaitu
Sumberrejo 1 (Sbr 1) yang termasuk dalam wijen
putih. Tanaman bercabang, umur panen 90-110
hari dengan produktivitas 1000-1600 kg/ha.
Varietas ini sesuai untuk pertanaman
monokultur maupun polikultur. Kedua adalah
Sumberrejo 2 (Sbr 2) yang termasuk juga dalam
wijen putih. Tanaman tidak bercabang, umur
panen 75-100 hari dengan produktivitas 800-
1.400 kg/ha.
Nilai ekonomis wijen yang ditanam di antara
baris jagung dapat menghasilkan keuntungan
bersih Rp.6.880.000,-/ha. Tanaman wijen
mempunyai keunggulan komparatif, karena
tahan kering, mutu hasil biji tetap baik, dapat
dibudidayakan secara ekstensif, mempunyai nilai
ekonomis relatif tinggi (Suprijono dan Mardjono,
2002; Soenardi, 1996). Akhir-akhir ini tanaman
wijen memperoleh perhatian besar karena
keunggulannya yang sangat baik untuk
kesehatan. Minyak wijen mengandung anti-
oksidan, sesamin, dan sesamolin, sehingga dapat
disimpan lebih dari 1 tahun tanpa mengalami
kerusakan/tengik (Sudhiyam dan Meneekhao,
1997).
SERANGAN HAMA PADA WIJEN
Rendahnya produktivitas wijen di Indonesia
disebabkan antara lain benih yang digunakan
kurang baik, lahan terbatas, budidaya belum
intensif dan tidak lepas dari gangguan hama.
Berdasarkan estimasi Cramer dalam Deacon
(1983) menyatakan bahwa kehilangan hasil pada
tanaman wijen karena hama mencapai 52,50%.
Hasil survei Subiyakto dan Harwanto (1996)
menemukan sejumlah serangga yang sering
dijumpai pada tanaman wijen, di antaranya
adalah jenis tungau yaitu Polyphagotarsonemus
latus, jenis kepik Nezara viridula, jenis kutu Aphis
gossypii, dan Myzus persicae. Hama tungau dapat
menurunkan hasil sekitar 75% (Weiss, 1971;
Kalshoven, 1981; Subiyakto dan Harwanto, 1996;
Sintim, 2010). Intensitas kerusakan daun wijen
yang disebabkan oleh serangan tungau P. latus di
Bojonegoro mencapai 80,67% (Tukimin et al.,
2005). Di Chili penurunan produksi wijen akibat
kerusakan pada tunas muda oleh tungau P. latus
mencapai 50% (Vichitbandha dan Chandrapatya,
2011).
Langkah awal penggunaan varietas tahan
adalah dasar dari konsep pengendalian hama
secara terpadu (PHT), karena dapat dikombi-
nasikan dengan komponen pengendalian yang
lain, mudah dilaksanakan, murah, dan tidak ber-
dampak negatif terhadap lingkungan.
Kerusakan daun yang disebabkan oleh
serangan tungau P. latus mengakibatkan
pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, cacat,
kerdil, dan mengalami stagnasi (Denmark, 2000).
Tukimin dan Heliyanto (2008a) mengutarakan
bahwa intensitas kerusakan oleh hama tungau P.
latus bisa mengakibatkan penurunan produksi
lebih dari 50%.
Tungau menyerang dengan cara mengisap
cairan sel daun. Serangan awal biasanya hanya
berupa bintik-bintik pada permukaan daun
bagian bawah. Serangan tungau mengakibatkan
daun menjadi keriting, menggulung, dan
akhirnya kering. Serangan pada kuncup bunga
dan bunga mengakibatkan tidak terbentuk buah
dan penurunan produksi.
Tungau kuning P. latus (Acarina:
Tarsonemidae) ditemukan pertama kali oleh
Banks tahun 1904 pada tunas mangga di rumah
kaca (Waterhouse dan Norris, 1987; Beker, 1997;
Denmark, 2000; Anonymous, 2004). Tungau ini
berukuran 0,8 mm (sangat kecil) dan dapat
dijumpai pada tanaman sayuran (tomat, cabai),
teh, karet, pepaya, kapas, jeruk, stroberi, bunga
dahlia, dan krisan (Kalshoven, 1981; Brown dan
Yanes, 1983; Denmark, 2000; Pena dan Cambell,
2005).
Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 105
INTENSITAS KERUSAKAN DAUN
Kerusakan daun yang diakibatkan serangan
tungau P. latus pada tanaman wijen sudah terli-
hat pada 25 hari setelah tanam (HST) dengan
gejala daun mulai tidak normal dan terlihat
bintik-bintik bekas tusukan tungau/stilet. Rata-
rata serangan tahun 2006, 2007, dan 2008 lebih
dari 10% pada umur 25 HST (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik intensitas kerusakan dan
populasi P. latus
Kerusakan tanaman wijen mengakibatkan
penurunan produksi pada umur 45-65 HST, saat
pembentukan kuncup bunga, bunga, dan buah
(Gambar 2 dan 3). Pada 75 HST populasi tungau
mulai berkurang, karena tanaman sudah tua dan
sebagian daun telah kuning, menggulung, dan
melengkung ke bawah, sehingga kandungan
nutrisi untuk perkembangbiakan tungau sudah
tidak cocok lagi. Tungau P. latus mulai pindah/
migran ke tanaman inang yang lain.
Gambar 2. Serangan tungau P. latus pada 35 HST
Gambar 3. Serangan tungau P. Latus menjelang
berbunga (45 HST)
Hasil penelitian (Tukimin dan Winarno,
2008b) menemukan 27 tanaman inang yang cocok
untuk perkembangbiakan tungau P. latus, di
antaranya : jarak pagar (Jatropha curcas L.), jarak
kepyar (Ricinus communis L.), wijen (Sesamum
indicum), rosella (Hisbiscus sabdariffa), kapas
(Gossypium hirsutum), jagung (Zea mays), ketela
pohon/ubi kayu (Manihot utilisima), cabai
(Capsicum annum), kangkung (Ipomoea aquatica),
kacang panjang (Vigna sinensis), tomat (Lycoper-
sicon esculentum), jeruk purut (Citrus hystrix),
bunga krisan (Chrysanthemum morifolium), melati
(Jasminum sambac), bunga sepatu (Hisbiscus rosa-
sinnensis) dan gulma anting-anting (Fushsia) dan
masih banyak yang lain.
BIOLOGI TUNGAU KUNING P. LATUS
Tungau kuning P. latus (Helmitarsonemus
latus (Banks)) berukuran relatif kecil (0,8 mm),
banyak ditemukan pada permukaan daun bagian
bawah, berkembangbiak dengan cara
kopulasi/kawin, akan tetapi ada juga yang tidak
mengalami kopulasi. Apabila tidak mengalami
kopulasi, keturunan yang dihasilkan biasanya
hanya betina saja. Seekor imago betina dapat
meletakkan telur antara 36- 40 butir atau 5-8 butir
per hari. Siklus hidup tungau kuning P. latus
mengalami metamorfose tidak sempurna, yaitu
telur, larva, nimfa, dan imago .
106 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111
Gambar 4. Siklus hidup tungau kuning P.
phagotarsonemus latus
Telur
Telur P. latus banyak dijumpai pada
permukaan daun bagian bawah di antara ranting
tulang daun, disisipkan di antara bulu daun yang
warnanya hampir sama dengan bintik-bintik
kristal daun wijen. Telur berbentuk oval,
transparan, berwarna putih bening, dan pada
bagian kulit luar terdapat tonjolan yang rata-rata
berjumlah 9 baris. Telur mudah pecah, berukuran
panjang 0,7 mm dan diameter 0,14 mm (Hill,
1983; Waterhouse dan Norris, 1987; Denmark,
2000). Telur menetas menjadi larva berukuran
sangat kecil (0,1 mm) (Brown dan Yanes, 1983).
Tukimin et al. (2007a) melaporkan bahwa fase
telur pada tanaman wijen berkisar 1 -2 hari.
Larva
Larva yang baru menetas berukuran sangat
kecil (0,1 mm), berbentuk oval, berwarna putih,
dan mempunyai tiga pasang kaki yang belum
sempurna. Selama perkembangan larva, warna
berubah dari kuning kehijauan atau hijau gelap
sampai kuning kecoklatan. Setelah dua hari, larva
akan berubah menjadi nimfa. Tukimin et al. (2007
a) melaporkan fase larva pada tanaman wijen
berlangsung selama 1- 3 hari dan pada masa
tersebut pergerakan larva tidak terlalu aktif.
Nimfa
Pada masa nimfa, tungau P. latus mempunyai
tiga pasang tungkai yang sudah sempurna dan
akan tumbuh sepasang tungkai baru sehingga
menjadi empat pasang tungkai. Pada ujung
tungkai keempat nimfa jantan terbentuk kuku
yang berfungsi sebagai pengait, sedangkan pada
nimfa betina pada satu pasang tungkai keempat
terbentuk seperti cambuk (satu pasang kaki
keempat tereduksi/semu). Saat pergantian
kulit/ekdisis, nimfa jantan banyak ditemukan
membawa nimfa betina dengan tungkai
belakang. Nimfa jantan tersebut menunjukkan
telah dewasa dan siap untuk kopulasi (Gambar 5)
(Tukimin et al., 2007a). Apabila telah menjadi
dewasa/imago, nimfa tersebut siap untuk
kopulasi/kawin dan menjadi pasangan kopulasi.
Gambar 5. Nimfa jantan membawa larva betina.
Sumber: Pena dan Cambell, 2005.
Fluktuasi populasi tungau kuning sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan pakan untuk
kelangsungan hidup dan berkembang biak.
Keadaan lingkungan, suhu, dan kelembapan
berpengaruh positif terhadap fluktuasi populasi
hama (Montasser et al., 2011; Gerson dan
Weintraub, 2012). Tanaman yang sudah mulai
tua dengan kandungan nutrisi mulai berkurang
tidak cocok untuk perkembangan tungau.
Kandungan nutrisi terletak pada jaringan
pengangkut yaitu floem atau jaringan yang
tersusun atas tapis, sel-sel parenkim, dan
sklereid. Sel-sel parenkim ini mempunyai fungsi
khusus yaitu tempat cadangan makanan
(Pudjoarianto dan Sumardi, 1992). Pada fase
nimfa sampai fase imago/dewasa, aktivitas
tungau sangat tinggi yang mengakibatkan
intensitas kerusakan daun menjadi parah.
Intensitas kerusakan pada daun, kuncup bunga,
bunga, dan buah dapat mengakibatkan
penurunan produksi.
Telur 1- 2
hari
Larva 1-3 hari
Nimfa 3-4 hari
Imago 10-18 hari
Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 107
Pada tahun 2005, populasi imago pada
tanaman wijen umur 35 hari setelah tanam (HST)
mencapai 9,33 ekor/daun contoh, dan pada tahun
2006 populasi meningkat hingga mencapai 187,67
ekor/daun contoh pada tanaman berumur 35
HST. Fluktuasi populasi imago dari tahun 2005 –
2006 pada musim tanam wijen dipengaruhi oleh
faktor suhu dan kelembapan. Tertariknya tungau
untuk meletakkan telur di bagian bawah
permukaan daun dan berkembang biak pada
tanaman wijen dipengaruhi oleh tersedianya
cukup makanan (faktor abiotik), yang ditentukan
oleh organ peraba dan reseptor kimia, sifat fisik
tanaman, dan rangsangan kimia untuk
berkembangbiak (Manuwoto, 1991; Smith, 1989;
Pena dan Cambell, 2005).
Imago
Ciri fisiologis tungau dewasa yaitu ukuran
panjang 1,5 mm, transparan, dan warna kuning
kecoklatan. Selama masa hidup (5-6 hari), seekor
tungau betina dapat meletakkan telur sebanyak
36-40 butir atau 5-8 butir per hari pada suhu 30o C
dan kelembapan 73%. Perbandingan antara
tungau jantan dan betina adalah 1 : 2 atau 1 ekor
jantan dan 2 ekor betina (Tukimin, 2007 a). Hill
(1983) dan Brown dan Yanes (1983) juga
melaporkan bahwa tungau P. latus dewasa betina
dapat hidup sampai hampir mencapai 10 hari
dan menghasilkan telur rata-rata 2-5 butir per
hari (20-50 butir) dan dapat dipengaruhi oleh
faktor kesuburan tungau. Siklus hidup tungau P.
latus pada tanaman wijen berkisar antara 10,27 -
18,64 hari (Tukimin et al., 2007b).
Penelitian pada tahun 2005 menginforma-
sikan bahwa rata-rata ditemukan 9,1 ekor nimfa
per daun pada tanaman wijen umur 35 HST dan
mencapai 13,87 ekor/daun pada umur 45 HST.
Keadaan ini mengakibatkan daun tanaman wijen
menjadi keriting dan melengkung ke bawah
sehingga akhirnya mengering. Pada umur 35
HST tahun 2006, jumlah nimfa mencapai 47,33
ekor/daun tanaman wijen dan mencapai 94,67
ekor/daun pada 45 umur HST (Tukimin, 2010).
Dibanding tahun 2006, populasi nimfa menurun
pada tahun 2007, yaitu 0,36 ekor/daun pada
umur 35 HST dan 5,49 ekor/daun pada 45 HST.
Fluktuasi populasi tersebut dipengaruhi curah
hujan, suhu (27,68oC), dan kelembapan (79,03%)
yang sesuai bagi imago untuk berkembang biak
dengan cepat (Gambar 6). (Tukimin et al., 2007a).
Gambar 6. Populasi nimfa dan imago tungau P.
latus. 2005-2007 (ekor/daun contoh).
PENGENDALIAN P. latus
Pemanfaatan bahan tanaman sebagai sumber
bahan pengendalian hama tanaman bukanlah hal
yang baru, mungkin sejak awal peradaban
manusia. Contoh nyata kalium polisulfida
(sulfur) telah digunakan sejak zaman Romawi
dan pada abad XI. Pada tahun 1960 garam asenat
dari bahan timah asenat, ekstrak daun tembakau
(nikotin), dan ekstrak piretrum (piretrin) telah
digunakan sebagai insektisida botani. Kemudian
ekstrak Deris (retenon) dan Bubur bordeaux dari
bahan terusi, kapur dan air juga dimanfaatkan
sebagai fungisida dan populer pada tahun 1883
(Klocke, 1987). Indonesia adalah salah satu dari 8
pusat keragaman genetik di dunia yang memiliki
kira-kira 3.000 spesies tanaman, 15.000 spesies
hewan, dan 10.000 spesies mikroba (Ahmed dan
Grainge, 1986; Rupprecht et al., 1990). Saat ini
penggunaan insektisida sintetis/insektisida kimia
tidak banyak memberikan hasil yang baik dan
bahkan dapat mengakibatkan dampak negatif
terhadap lingkungan. Sebagai contoh hama
menjadi resisten dan residu yang ditinggalkan
dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan
(Sitepu, 2000; Untung, 2006; Zeledon, 1997).
Insektisida jenis akarisida dilaporkan efektif
untuk mengendalikan hama tungau, namun
hingga kini belum dimanfaatkan secara baik
untuk mengendalikan hama tungau P. latus.
Jenis mitisida untuk pengendalian hama tungau
juga tidak menunjukkan efektivitas terhadap
mortalitas tungau, sehingga penggunaannya
dengan cara memperpendek interval penyem-
protan (Stumpt and Nauen, 2001).
108 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111
Penggunaan insektisida nabati dengan
menggunakan ekstrak Daun paitan + Daun
tembakau + Daun sirsak sudah pernah digunakan
untuk pengendalian hama daun P. latus dan
Eriophyidae pada tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas L.). Hasil penelitian menunjukkan
perlakuan maserasi dengan konsentrasi 1 Bagian
ekstrak + 1 bagian air (1:1) dapat membunuh
hama daun P. latus dan Eriophyidae 75,90% pada
48 jam setelah penyemprotan LC50 = 2,68 ml/l air.
Akhir-akhir ini pemanfaatan bahan tanaman
untuk pestisida telah berkembang dengan meng-
gunakan tanaman yang mengandung racun,
antara lain : tanaman paitan (mengandung asam
palmitat, 9-pentadekadien-1-0l, benzyl benzoate,
steraldehida, dan metilamina), tembakau dengan
senyawa utama nikotin, dan daun sirsak
(mengandung senyawa asetogenin, antara lain
asimisin, bulatocin, dan squamosin) (Tukimin
dan Asbani, 2007c). Pestisida nabati memiliki
potensi besar untuk digunakan dalam pengen-
dalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
Sitepu et al., 2000).
Sejak dasawarsa yang lalu, kebangkitan
kembali minat dalam memanfaatkan insektisida
nabati dan telah menghasilkan informasi
berharga mengenai kandungan sekunder
tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk
pengendalian hama dan penyakit, misalnya dari
family Meliaceae, Annonaceae, Nicotin dari
family Solanaceae, Rutaceae, Labiarae,
Piperraceae, dan Coneliaceae yang sekarang
digunakan sebagai sumber bahan baku
insektisida botani. Peluang yang cukup besar
untuk mengembangkan hasil-hasil penelitian
dengan memanfaatkan pestisida nabati sudah
menunjukkan efektivitasnya sebagai insektisida
dari bahan metabolik sekunder (secondary
metabolic) bioaktif, terutama terhadap serangga,
misalnya srikaya dan sirsak (Annonaceae), daun
paitan (Tithonia diversifolia), bagian yang
mengandung racun (daun, akar, buah, atau
minyak biji) pada mimba (Azadirachtin), tanaman
tembakau (Nicotiana tabacum), daun gamal
(Gliricidia sepium), bagian yang mengandung
racun (bagian daun) pada ubi gadung (Dioscorea
hispida), akar tuba (Derris eliptica) biji jarak pagar/
minyak (Jatropha curcas), dan masih banyak yang
lain (Rupprecht et al., 1990; Tukimin, 2007).
Penggunaan bahan alami yang lain sebagai
insektisida adalah kalium polisulfida yang
merupakan campuran dari belerang dan kapur
dengan perbandingan 2 : 1. Insektisida jenis ini
dapat membunuh hama kutu daun yaitu kutu
sisik hijau (Cucus viridis), tungau, dan jamur pada
tanaman hortikultura. Pada penelitian lain,
penggunaan kalium polisulfida (belerang : kapur
= 2:1) dengan konsentrasi 5-10 ml/l air sudah
cukup efektif untuk membunuh kutu Eriophyidae
pada tanaman jarak pagar (Amir dan Asbani,
2008). Di Cuba penggunaan agensia hayati
seperti predator Amblyseius largoensis (Muma)
(Acaric: Phytyoselidae) untuk mengendalikan
hama P. latus pada tanaman kentang, buncis,
cabai, jeruk, dan lada (Rodriques et al., 2011;
Montasser et al., 2011).
PRODUKSI
Serangan tungau P. latus pada tanaman wijen
dapat memengaruhi penurunan produktivitas.
Pada umur 75 HST tahun I (2005) produksi wijen
tertinggi pada aksesi Si 3 (sebanyak 837 kg/ha)
dengan tingkat serangan mencapai 33%, dan
terrendah pada aksesi Si 8 (115 kg/ha) dengan
tingkat serangan mencapai 51%. Pada tahun II
(2006) umur 75 HST, produksi wijen tertinggi
dijumpai aksesi Si 48 (771 kg/ha) dengan tingkat
serangan mencapai 60%, dan terrendah pada
aksesi Si 29 (122 kg/ha) dengan tingkat serangan
mencapai 68%. Pada tahun III (2007), produksi
wijen terus menurun karena serangan tungau P.
latus cukup tinggi hingga mencapai 79% (Gambar
7 dan Tabel 1).
Gambar 7. Grafik penurunan produksi wijen
akibat serangan hama tungau P.
latus. (Tukimin, 2007).
Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 109
Penurunan produksi dari tahun 2005, 2006
dan 2007 pada tanaman wijen di KP. Sumberrejo
menunjukkan indikasi bahwa daerah penelitian
di KP. Sumberrejo sering ditemukan hama
tungau. Daerah endemik hama tungau pada
tanaman inang non wijen dapat berkembang biak
pada saat tanaman wijen dibudidayakan. Pada
umur 25 HST telah ditemukan serangan hama
tungau P. latus. Langkah awal untuk untuk
mendapatkan varietas tahan terhadap serangan
hama tungau P. latus mutlak diperlukan dari
sumber ketahanan plasma nutfah yang tersedia
di Balittas.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Bioekologi tungau Polyphagotarsonemus latus
pada tanaman wijen sangat singkat. Siklus
hidup tungau P. latus berlangsung dari telur
1-2 hari, larva 1-3 hari, nimfa 3-4 hari dan
imago 10-18 hari, dapat mengakibatkan
kerusakan tanaman wijen dengan cepat.
2. Faktor yang mempengaruhi bioekologi
tungau P. latus adalah: tanaman inang
tersedia dengan nutrisi yang sesuai untuk
berkembangbiak, suhu berkisar 30o C dan
kelembapan 73-79%.
3. Intensitas kerusakan pada tanaman wijen
oleh tungau P. latus dapat mencapai 75%,
yang dapat mengakibatkan kerusakan daun,
bunga, buah/polong dan penurunan
produksi.
4. Penggunaan pestisida nabati dan insektisida
alami polisulfida efektif mengendalikan
hama tungau dan kutu daun pada tanaman
wijen.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, A.M. dan N. Asbani. 2008. Toksisitas
pestisida Kalsium polisulfida terhadap
tungau Eriophyidae pada tanaman jarak
pagar (Jatropha curcas L.). Prosiding
Lokakarya Nasional III Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat, Malang.
2008. Hlm. 265- 269.
Anonymous. 2004. Polyphagotarsonemus latus
(Banks) Common Name Broad Mite.
Exotic Pre Sent, http://www.ento.cairoav/
aren/name.s /3344.htm. (Juni 2004).
Beker, J.R. 1997. Cyclamen mite and Broad mite .
Ornamental and Turf insect Information
Notes. Http://www.Ces.Nesu.edu/depts./
ent /Notes/O&T/flawer/Nate 28.html. (14
September 2005).
Tabel 1. Produksi wijen tahun 2005-2007
Tahun I (2005) Tahun II (2006) Tahun III (2007)
No. PerlaKuan (aksesi)
kg/ha Tingkat serangan (%)
PerlaKuan (aksesi)
kg/ha Tingkat serangan (%)
PerlaKuan (aksesi)
kg/ha Tingkat serangan
(%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Si 1 Si 2 Si 3 Si 4 Si 5 Si 6 Si 7 Si 8 Si 9 Si 10 Si 11 Si 12 Si 13 Si 14 Si 15 Si 16 Si 17 Si 18 Si 19 Si 20 Si 21 Si 24 Si 25 Si 28 Sbr 1
502 687 837 628 440 444 377 115 439 109 285 390 491 361 425 558 450 345 455 469 254 498 645 630 780
57 32 33 44 50 43 57 51 67 54 33 34 33 44 41 39 42 51 49 33 60 62 43 33 29
Si 22 Si 23 Si 26 Si 27 Si 29 Si 30 Si 31 Si 33 Si 34 Si 35 Si 36 Si 37 Si 38 Si 39 Si 40 Si 41 Si 42 Si 43 Si 44 Si 45 Si 46 Si 47 Si 48 Si 49 Sbr1
331 768 677 744 122 155 454 564 561 332 497 224 226 182 292 271 537 232 161 424 591 297 771 770 686
45 52 55 45 68 72 71 45 57 45 58 66 74 56 49 50 50 50 68 40 68 48 60 75 61
Si 50 Si 51 Si 52 Si 53 Si 54 Si 55 Si 56 Si 57 Si 58 Si 59 Si 60 Si 61 Si 62 Si 63 Si 64 Si 65 Si 66 Si 69 Si 45
Cina Hitam Sbr 1 Sbr 2 Sbr 3 Sbr 4 Si 75
121 116 120 145 143 142 68
163 138 126 146 89
116 385 75
116 68
137 57 83
102 139 157 92 73
35 41 40 64 71 79 55 44 35 29 40 45 63 38 68 40 40 45 58 25 40 50 50 50 35
Sumber: Tukimin S.W., 2007.
110 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 103 - 111
BPS. 2001. Statistik Perdagangan Luar Negeri
Indonesia. BPS. Jakarta. Indonesia.
Brown, R.D. and V.P. Yanes. 1983. The Broad
mite on lemons in Southern California.
California Agriculture. 37 (7/8): 21- 22.
Denmark, H.A. 2000. Broad Mite, Polyphagotar-
sonenus latus (Banks) (Arachnidae:
Acarina: Tarsonemidae). University of
Florida. http://creatures.ifas.uft.edu.
Deacon, J.W. 1983. Microbial control of plant
pests and diseases. Van Nostrand
Reinhold (VK) Co. Ltd.
FAO. 1990. FAO Production Year Book. Vol 44.
Food and Agriculture Organization of the
United Nations Rome.
Gerson, U. and P.G. Weintraub. 2012. Mites
(Acarina) as a Factor in Greenhouse
Management. Journal Entomology
57:229-247.
Hill, D.S. 1983. Polyphagotarsonemus latus (Banks)
Agriculture Insect Pest of Tropics and
Their Control. Cambridge University
Press. 746 p.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crop in Indonesia.
Rev. Translated by P.A. Van der Laan.
PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 701p.
Kaul, A.K. and M.L. Das. 1986. Oil seeds in
Bangladesh. Bangladesh, Canada Agric.
Sector Team. Ministry of Agric. Gov. of
the People Rep of Bangladesh. 13p.
Manuwoto, S. 1991. Interaksi Serangga-tanaman,
Tanaman Resisten, dan Pengendalian
Hayati. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. 17 hlm.
Mardjono, R., Suprijono, dan H. Sudarmo. 2007.
Pelepasan Varietas Unggul Wijen Sbr 3
dan Sbr 4. SK Mentan No. 113/kpts/SK/
120/2/2007. Jakarta. 20 Pebruari 2007.
Montasser, A.A., A.S. Marzouk, A.R.I. Hanafy,
and G.M. Hassan. 2011. Seasonal
fluctuation of the broad mite Polyphago-
tarsonemus latus (Acari: Tarsonemidae)
and its predatory mite on some pepper
cultivars in Egypt. International Journal
of environmental Science and
Engineering (IJESE). 2 : 9-20.
Pena, J.E. and C.W. Cambell. 2005. Broad mite
Edis. http://www.edis.ifas.ufl.edu/ch020.
(13 September 2005).
Pudjoarianto, A. dan Sumardi. 1992. Struktur dan
Perkembangan Tumbuhan. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta. Hlm 66-75.
Rachman, A.H. 2006. Status wijen (Sesamum
indicum L.) di dalam dan luar negeri.
Seminar Memacu Pengembangan Wijen
untuk Mendukung Agroindustri.
Malang, 9 November 2006. 5 hlm.
Rodriques, H., M. Ramos, A. Montoya, Y.
Rodriques, R. Chico, I. Miranda, and
T.L. Depestre. 2011. Development of
Amblyseius largoensis as biological
control agent of the broad mites
(Polyphagotarsonemus latus). Cuba,
Biomol. April 28 (3): 1-7.
Rupprecht, J.K., Y.H. Hui, and J.L. Melaughlin.
1990. Annonaceous scetogeninms; a
review. J. Niat. Prod 53: 237-278p.
Smith, R.C. 1989. Plant Resistence to Insects.
Departement of Plant, Soil and
Entomologi Col Sciences . University of
Idoko Moskow, Idoko. 286p.
Sudhiyam, P. and S. Maneekhao. 1997. Sesame
(Sesamum indicum L.). A Guide Book for
Field Crops Production in Thailand. Field
Crops Research Institute. 166p.
Subiyakto dan Harwanto. 1996. Hama Tanaman
Wijen dan Pengendaliannya. Monograf
Balittas (2) : 31- 37
Soenardi. 1996. Budidaya Tanaman Wijen.
Monograf Balittas (2): 14-25.
Sitepu, D., A. Kardinan, dan A. Asnan. 2000.
Pemanfaatan Pestisida Nabati. Buletin
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
11 (2): 24-33.
Suprijono dan R. Mardjono. 2002. Inovasi
teknologi untuk pengembangan wijen.
Makalah Lokakarya dan Pameran
Pengembangan kapas, jarak dan wijen.
Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan
Serat Malang. Oktober 2002. 6 hlm.
(Tidak dipublikasikan)
Stumpt, N. and R. Nauen. 2001. Cross resisteance,
inheritance, and biochemistry of mito-
chondrial electron transport inhibitor-
acaricide resistance in Tetranychus urticae
(Acari: Tetranychidae). Journal Econ.
Entomol, 94: 1577-1583.
Bioekologi dan Teknik Pengendalian Tungau Kuning pada Tanaman Wijen (TUKIMIN S.W.) 111
Sintim, H.O. and V.I.Y. Badu. 2010. Evaluation of
Sesame (Sesamum indicum) production in
Ghana. Journal of Animal and Plant
Sciences 6(3) : 653-662.
Tukimin, S.W. dan B. Heliyanto. 2008a. Pengaruh
intensitas kerusakan daun terhadap
penurunan produksi pada empat varietas
wijen (Sesamum indicum L.). Jurnal
Agritek, Juli 17: 1243-1257.
Tukimin, S.W. dan D. Winarno. 2008b. Observasi
Hama Tungau Kuning Polyphago-
tarsonemus latus (Banks) pada beberapa
tanaman inang alternatif. Jurnal Agritek.
Februari 16 (2):171-176.
Tukimin, S.W. 2007. Beberapa aspek biologi
tungau kuning Polyphagotarsonemus latus
(Banks) pada beberapa aksesi wijen
(Sesamum indicum L.). Journal Agritek,
April 2007. 15 (2) : 297 – 304.
Tukimin, S.W., T. Yulianti, dan N. Wakhidah.
2007a. Siklus hidup tungau kuning
Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada
beberapa aksesi wijen (Sesamum indicum
L.). Journal Agritek April 2007. 15(2):448-
452.
Tukimin, S.W., R. Mardjono, dan Suhartono,
2007b. Laporan Hasil Evaluasi Ketahanan
plasma nutfah wijen terhadap hama
utama Polyphagotarsonemus latus (Banks)
di KP. Sumberrejo. Laporan Balittas. 23
hlm. (Tidak dipublikasikan)
Tukimin, S.W. dan N. Asbani. 2007c.
Pemanfaatan Ekstrak Daun Paitan dan
Ekstrak Daun Tembakau + Daun Sirsak
untuk Pengendalian Hama Tungau
Eriophyidae pada jarak pagar (Jatropha
curcas L.). Jurnal Agritek. Edisi Ulang
Tahun ke 15 Juli 15:153-157.
Tukimin, S.W., Suprijono, R. Mardjono, A.M.
Amir, dan Suhartono. 2005. Laporan
Hasil Evaluasi Ketahanan plasma nutfah
wijen terhadap hama utama Polyphago-
tarsonemus latus (Banks) di KP.
Sumberrejo. Laporan Balittas. 20 hlm.
(Tidak dipublikasikan)
Tukimin, S.W. 2010. Populasi dan Tingkat
Serangan Tungau Kuning Polyphagotar-
sonemus latus (Banks) Pada Tanaman
Wijen (Sesamum indicum L.) Jurnal
Agrivita. 12(1):47-57 hlm.
Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama
Terpadu. Gajah Mada Press. Edisi II,
Yogyakarta. Hlm. 132-150.
Vichitbandha, P. and A. Chandrapatya. 2011.
Broad mite effects on Chilli Shoot
damage and Yield. Pakistan J. Zool.,
43(4) : 637-649.
Weiss, E.A. 1971. Castor, sesame, and safflower.
Leonard Hill, London, 876p.
Waterhouse, D.F. and K.R. Norris. 1987. Chaper
31: Polyphagotarsonemus latus (Banks). In :
Biological Control Pacific Prospects.
Inkata Press: Melbourne. 454p.
Zeledon, I.H. 1997. Alternatives to Synthetic
Pesticides were Emphasis on neem. Proc.
National conference on Biopesticides,
Surabaya 11- 13 Agustus 1977. 10p.