bioekologi dan upaya konservasi gajah kalimantan (elephas maximus borneensis)
DESCRIPTION
BIOEKOLOGI DAN UPAYA KONSERVASI GAJAH KALIMANTAN (Elephas maximus borneensis)KARYA ILMIAHOleh TAUFIK MEI MULYANAFAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA 20101FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONALKarya Ilmiah, Jakarta Juni 2010Taufik Mei Mulyana Bioekologi dan Upaya Konservasi Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) ix + 47 halaman, 1 tabel, 6 gambar Salah satu mamalia besar di Pulau Kalimantan adalah gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis). Menurut hasil uji genetTRANSCRIPT
1
BIOEKOLOGI DAN UPAYA KONSERVASI
GAJAH KALIMANTAN (Elephas maximus borneensis)
KARYA ILMIAH
Oleh
TAUFIK MEI MULYANA
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2010
2
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL
Karya Ilmiah, Jakarta Juni 2010
Taufik Mei Mulyana
Bioekologi dan Upaya Konservasi Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis)
ix + 47 halaman, 1 tabel, 6 gambar
Salah satu mamalia besar di Pulau Kalimantan adalah gajah kalimantan
(Elephas maximus borneensis). Menurut hasil uji genetika melalui uji DNA, terbukti
bahwa gajah kalimantan secara nyata (signifikan) berbeda dengan gajah lainnya di
Asia maupun Afrika. Diperkirakan bahwa gajah kalimantan sudah terpisah dari
populasi gajah lain di daratan Asia dan Sumatera sekitar 300.000 tahun lalu. Gajah
kalimantan memiliki ciri-ciri antara lain tubuh yang lebih bulat, gading lebih lurus
dan tubuh yang paling kecil di antara gajah asia lainnya sehingga dikenal dengan
gajah kerdil Borneo atau Bornean Pygmy Elephant. Persebaran gajah kalimantan ada
di dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Wilayah Sebuku (Indonesia) dan Sabah
(Malaysia) merupakan habitat alami gajah kalimantan.
Hilangnya habitat merupakan ancaman terbesar keberlangsungan gajah
kalimantan. Konversi hutan menjadi ancaman terbesar dalam menghilangkan habitat
gajah. Selain itu, terfragmentasinya habitat, perburuan, dan konflik dengan
masyarakat juga menjadi ancaman gajah kalimantan. Perkiraan jumlah total gajah
kalimantan sekitar 1000 ekor, 45-65 ekor ada di wilayah Sebuku (Indonesia) dan
sisanya di Sabah (Malaysia).
Upaya konservasi sudah beberapa kali dilakukan oleh pihak pemerintah dan
LSM antara lain melakukan survei populasi gajah kalimantan, diskusi dengan
masyarakat dan perusahaan HPH, rencana pembentukan kawasan lindung habitat
gajah di Indonesia.
Daftar bacaan : 47 (1939-2010)
3
Judul Karya Ilmiah : BIOEKOLOGI DAN UPAYA
KONSERVASI GAJAH KALIMANTAN
(Elephas maximus borneensis)
Nama Mahasiswa : Taufik Mei Mulyana
Nomor Pokok : 063112620150018
MENYETUJUI
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua
Imran Said Lumban Tobing, Drs. MSi Tatang Mitra Setia, Drs. MSi.
Dekan
Imran Said Lumban Tobing, Drs. MSi.
Tanggal Lulus : 18 Juni 2010
4
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dan
Rasulullah SAW karena atas rahmat, hidayah dan pertolongan-NYA yang telah
dilimpahkan kepada penulis sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat berjalan
dengan lancar. Judul karya ilmiah ini adalah “Bioekologi dan Upaya Konservasi
Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis)”.
Banyak pihak yang telah membantu dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk
itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua dan adik serta seluruh keluarga atas perhatian, kasih sayang, doa,
motivasi, kepercayaan yang tiada henti kepada penulis.
2. Bapak Drs. Imran Said Lumban Tobing, MSi dan Bapak Tatang Mitra Setia, drs.
M.Si sebagai pembimbing sekaligus orang tua yang telah membimbing penulis
dalam memberikan pengarahan, saran, kritik, doa dan diskusi yang berguna bagi
penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
3. Ibu Dra. Noverita, MSi sebagai Pembimbing Akademik yang telah membimbing
penulis, memberikan saran, dukungan, dan doa yang berguna bagi penulis.
4. Bapak Drs. Imran Said Lumban Tobing, MSi sebagai Dekan Fakultas Biologi
Universitas Nasional.
5. Rekan-rekan seperjuangan di KSPL “C” (Kelompok Studi Penyu Laut
“Chelonia”) dari pendiri, pembina, angkatan ke I hingga angkatan ke IX. Yunita
Nurdini S.Si, Fembri Ariyanto S.Si, adik-adik KSPL “C”, Apriyanto S.Si, Mba
5
Eawa S.Si dan C. Simanjuntak MSi atas ilmu, rasa kekeluargaan, canda tawa
selama ini.
6. Teman-teman seperjuangan: Dicky R. P, Chiko, Citra Pertiwi, Rima Paramita,
Ririn Diah Ramadani, Siti Mardiyana Ulfah, Hesmi, Sugeng, A. Syafiih, Husnul,
Zahra dan lainnya. Terima kasih atas jalinan pertemanan, keceriaan, kekompakan,
keakraban serta keusilan yang telah kita rajut bersama.
7. Hendro D, kakak Lufti Alfianto, kakak Herlembang, Arif, Maulana Akbar, M.
Ridwan, Ismoyo Basuki, Rahmat Wahyudi, Teddy atas doa dan dukungan bagi
penulis.
8. WWF Indonesia, mas Prima dan mas Dinda atas info yang berguna bagi penulis.
9. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Biologi Universitas Nasional.
10. Seluruh civitas akademika Fakultas Biologi Universitas Nasional atas saran,
dukungan dan motivasinya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik
yang berguna untuk penulisan karya ilmiah ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya khususnya bagi konservasi
gajah di Indonesia.
Jakarta, Juni 2010
Penulis
6
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR …………………………………………………… v
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. viii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. ix
BAB
I. PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
II. BIOEKOLOGI GAJAH KALIMANTAN …………………………… 4
A. Klasifikasi ………………………………………………………… 4
B. Morfologi ………………………………………………………... 4
C. Sumber pakan dan air ……………………………………………. 7
D. Perilaku sosial ……………………………………………………. 8
E. Habitat ……………………………………………………………. 11
F. Distribusi dan populasi ……..…………………………………….. 18
III. ANCAMAN DAN UPAYA KONSERVASI
A. Ancaman ………………………………………………………….. 25
B. Status ……………………………………………………………… 28
C. Upaya Konservasi Gajah Kalimantan …………………………….. 39
D. Rekomendasi ……………………………………………………… 32
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 42
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….... 44
7
DAFTAR TABEL
TABEL Halaman
Naskah
1. Perbedaan morfologi gajah kalimantan dan gajah sumatera ……….. 6
8
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman
Naskah
1. Morfologi gajah ………………………………...……………….. 5
2. Pergerakan Home Range Rozelis ………………………………... 10
3. Topografi wilayah Sebuku, Indonesia...……………………......... 14
4. Pohon filogeni berdasarkan perbedaan haplotipe gajah asia dan
gajah afrika ……………………………………………………… 20
5. Distribusi gajah di pulau Kalimantan ……………………............ 23
6. Konsep kawasan “Heart of Borneo” ……………………………. 31
9
BAB I
PENDAHULUAN
Kekayaan spesies fauna Indonesia memilki jumlah mamalia terbanyak di
dunia yaitu 515 jenis (BAPPENAS, 2003). Data terkini mengenai jumlah mamalia
telah direvisi menjadi 704 jenis mamalia kecil dan besar (Maryanto dkk, 2007).
Pulau Kalimantan memiliki jumlah mamalia sebanyak 222 jenis (MacKinnon dkk,
2000). Salah satu mamalia besar Kalimantan adalah gajah kalimantan (Elephas
maximus borneensis).
Gajah kalimantan hanya dijumpai di bagian timur dan selatan Sabah
(Malaysia). Gajah kalimantan di Indonesia hanya dijumpai di bagian paling utara
Kalimantan Timur. Kawasan ini merupakan kawasan alamiah gajah-gajah tersebut
(Wullfraat dkk, 2007).
Gajah kalimantan merupakan salah satu jenis gajah asia. Gajah kalimantan
mempunyai ukuran tubuh terkecil dibandingkan dengan gajah-gajah asia lainnya.
Selain itu, ciri-ciri lainnya adalah tubuh yang lebih bulat, ekor yang panjang serta
lebih beradaptasi di daerah perbukitan.
Gajah kalimantan berperan penting dalam regenerasi hutan, baik sebagai
penyebar biji dan juga untuk perlindungan sumber-sumber air di hulu Sungai Sebuku
(Wullfraat dkk, 2007). Menurut Lekagul dan McNelly (1997) ukuran, kekuatan dan
cara makan gajah menyebabkan bekas areal mencari makan menjadi terbuka,
sehingga vegetasi muda mendapat cahaya matahari untuk pertumbuhannya.
10
Pertumbuhan penduduk Kalimantan diprediksi akan meningkat dari 5,5%
pada tahun 2000 hingga 6,5% pada tahun 2025 (www.datastatistik-indonesia.com,
2010). Sebagai konsekuensinya, kegiatan pembangunan untuk mengatasi
pertumbuhan penduduk di wilayah ini juga akan meningkat. Hal ini, mendorong
peningkatan konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan kehutanan dan non
kehutanan (Wullfraat dkk, 2007).
Menurut Eltringham (1982) dan Yong (2002), pembukaan areal (lahan) hutan
yang cukup luas untuk berbagai keperluan manusia memberikan dampak serius pada
kehidupan gajah. Sukumar (1992), menyebutkan bahwa pembukaan lahan hutan tidak
hanya berdampak pada mengecilnya habitat gajah, tetapi juga populasi gajah terpecah
menjadi kelompok-kelompok kecil (“pocketed herd”) di dalam habitatnya, termasuk
yang terfragmentasi dan selanjutnya populasi-populasi tersebut akan makin tertekan
dan dapat menuju kepunahan.
Populasi gajah di bagian utara Kalimantan Timur tidaklah terlalu besar,
namun sangat penting artinya bagi ilmu pengetahuan dan ekologi Kalimantan Timur.
Kawasan Kalimantan Timur bagian utara adalah bagian dari daerah jelajah alami
gajah. Sementara itu, kuantitas habitat gajah di wilayah Indonesia (bagian utara
Kalimantan Timur dan daerah Sabah) telah mengalami penurunan secara signifikan
dalam dekade terakhir ini (Wullfraat dkk, 2007). Penelitian mengenai gajah
kalimantan di Indonesia sangat kurang, sehingga data mengenai jumlah populasi
keberadaan gajah masih belum jelas. Di Indonesia, gajah kalimantan diperkirakan
berjumlah sekitar 45-65 ekor (www.bksdakaltim.dephut.go.id, 2010).
11
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini
adalah untuk memberikan informasi mengenai bioekologi gajah kalimantan (Elephas
maximus borneensis) serta upaya konservasi dalam menjaga salah satu kekayaan
fauna yang dimiliki Indonesia ini.
12
BAB II
BIOEKOLOGI GAJAH KALIMANTAN
A. Klasifikasi
Klasifikasi dari gajah kalimantan adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Anak Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Bangsa : Proboscidea
Suku : Elephantidae
Marga : Elephas
Jenis : Elephas maximus
Anak Jenis : Elephas maximus borneensis
B. Morfologi
Gajah asia mempunyai panjang kepala dan badan berkisar 5,5-6,4 m, dan
tinggi bahu 2,5-3 m. Individu jantan beratnya dapat mencapai 5.000 kg. Gajah
sumatera memiliki tinggi bahu sekitar 1,7-2,6 m pada individu jantan dewasa dan 1,5-
2,2 m pada individu betina dewasa (Payne dkk, 2000). Gajah sumatera umumnya
memiliki garis punggung cembung, daun telinga yang lebih kecil, kulit berkerut dan
belalai dengan tonjolan pada ujungnya (Table 1) (Gambar 1. B) (Fauna & Flora
Internasional-Sumatran Elephant Conservation Programme, 1998).
13
Menurut Wulffrat dkk (2007), ukuran gajah kalimantan terkecil diantara
gajah-gajah asia lainnya, bentuk tubuh lebih bulat, ekor panjang hampir ke tanah,
gading lebih lurus, kepala bagian dorsal terdapat cekungan dibagian tengahnya, serta
lebih teradaptasi untuk hidup di daerah perbukitan (Table 1) (Gambar 1. A). Gajah
kalimantan mempunyai telinga lebih besar, tinggi individu jantan 2,5 meter,
sedangkan gajah asia lainnya dapat mencapai 3 meter, mempunyai warna yang sama
dengan gajah asia lainnya (www.wwf.or.id, 2010).
A B
Gambar 1. Morfologi gajah A. gajah kalimantan (A atas : Alfred, 2006; A bawah www.flickr.com, 2010)
B. gajah sumatera (B atas : Putra, 2007; B bawah : Dephut, 2007)
14
Tabel 1. Perbedaan morfologi gajah kalimantan dan gajah sumatera (Putra, 2007)
Ukuran diameter jejak kaki gajah sumatera dewasa bervariasi sekitar 35-44
cm, sedangkan gajah muda berkisar antara 18-22 cm (Poniran, 1974). Berdasarkan
hasil penelitian, gajah kalimantan mempunyai ukuran rata-rata panjang jejak kaki
depan individu dewasa adalah 53 cm, lebar rata-rata 41,5 cm dan untuk panjang jejak
kaki belakang adalah 58 cm dan lebar rata-rata jejak kaki belakang kelas umur
dewasa adalah 43 cm, Panjang tapak kaki depan individu remaja adalah 42 cm
dengan kisaran 35-49 cm, lebar rata-rata 30,7 cm dengan kisaran 18-39 cm dan untuk
panjang jejak kaki belakang adalah 43 cm dengan kisaran 39-48 cm dan lebar rata-
rata jejak kaki belakang kelas umur remaja adalah 32,25 cm dengan kisaran 28-38 cm
dan ukuran rata-rata panjang jejak kaki belakang individu anak adalah 16 cm dan
lebar rata-rata jejak kaki belakang kelas umur anak adalah 12 cm (Putra, 2007).
No
Morfologi gajah
Gajah kalimantan Gajah sumatera
1 Bentuk tubuh pendek
dan bulat
Bentuk tubuh lebih tinggi
dan ramping
2 Bentuk gading lurus Bentuk gading melengkung
3 Panjang ekor sampai
menyentuh tanah
Panjang ekor tidak sampai
menyentuh tanah
4 Ukuran telinga lebih
besar
Ukuran telinga kecil
15
B. Sumber pakan dan air
Gajah adalah hewan herbivora yang menghabiskan 16 jam sehari untuk
mengumpulkan makanan. Makanan gajah meliputi ± 50% rumput, ditambah dengan
dedaunan, ranting, akar, dan buah, benih dan bunga (www.wwf.or.id, 2010).
Berdasarkan pedoman pengelolaan satwa langka I Direktorat PHPA tahun 1978
menyebutkan bahwa selain gajah menyukai jenis-jenis tanaman budidaya, daun dan
inti batang pisang merupakan makanan yang disukai gajah, terutama di musim
kemarau (Haerurrizal, 2007).
Gajah membutuhkan ketersediaan makanan hijau yang cukup di habitatnya.
Untuk setiap ekor gajah dewasa, jumlah makanan yang dibutuhkan sangat banyak,
yaitu berkisar 200-300 kg atau 5-10% dari berat badannya (www.wwf.or.id, 2010).
Gajah kalimantan dewasa dapat makan hingga 150 kg tumbuhan per hari, pakannya
kebanyakan jenis palem, rumput dan pisang liar (www.panda.org, 2010).
Air merupakan kebutuhan penting bagi gajah, setiap individu gajah
membutuhkan air sehingga pada sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum,
mandi dan berkubang. Di musim kemarau sumber air bukan saja berfungsi sebagai
sumber air minum bagi gajah, tetapi berfungsi sebagai tempat untuk menahan panas
(Siregar, 1999). Gajah juga membutuhkan garam-garam mineral, antara lain kalsium,
magnesium, dan kalium. Garam-garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan
tanah yang mengandung garam, menggemburkan tanah tebing yang keras dengan
kaki depan dan gadingnya, dan makan pada saat hari hujan atau setelah hujan
(www.wwf.or.id, 2010).
16
Gajah asia melakukan perjalanan jauh untuk mencari makan, air dan sumber
mineral (garam). Pada pergerakan ini, rombongan dipimpin gajah betina dewasa
sedangkan betina yang lain dan anak-anaknya mengikuti dari belakang. Gajah jantan
adakalanya mengikuti dari belakang beberapa puluh meter dari rombongan (Lekagul
dan McNelly, 1997).
C. Perilaku sosial
Gajah asia hidup dalam sistem sosial yang terstruktur, sehingga kehidupan
sosial dari jantan dan betina berbeda. Betina menghabiskan hampir seluruh hidupnya
di dalam satu kelompok keluarga yang terdiri atas ibu dan anak, kelompok ini
dipimpin oleh gajah betina dewasa. Jantan dewasa menghabiskan waktunya dalam
kehidupan sendiri atau soliter. Sementara itu, gajah betina muda tetap menjadi
anggota kelompok dan bertindak sebagai pengasuh di dalam kelompok
(www.wwf.or.id, 2010). Kehidupan sosial gajah dijelaskan sebagai berikut:
1. Hidup Berkelompok
Di habitat alamnya, gajah hidup berkelompok (gregarius). Perilaku
berkelompok ini merupakan perilaku sosial yang sangat penting. Perilaku
berkelompok ini bertujuan untuk melindungi anggota kelompoknya. Besarnya
anggota setiap kelompok sangat bervariasi tergantung pada musim dan kondisi
sumber daya habitatnya, terutama makanan dan luas wilayah jelajah yang tersedia.
Jumlah anggota satu kelompok gajah sumatera berkisar 20-35 ekor (www.wwf.or.id,
2010). Kelompok gajah kalimantan yang berada di daerah sungai Agison (Kalimantan
Timur) terdiri dari 6-8 ekor (WWF, 2002).
17
Selain pola hidup berkelompok, gajah juga hidup soliter (menyendiri). Gajah
soliter ini merupakan gajah yang berkelana sendirian tanpa kelompok atau kadang-
kadang bersama satu gajah lainnya berjenis kelamin yang sama. Oleh sebab itu, gajah
jantan dewasa umumnya menghabiskan sebagian besar hidupnya sendiri atau
ditemani oleh gajah jantan lainnya. Gajah jantan dewasa yang sudah matang
mungkin akan berjalan tidak jauh dari kelompoknya, tetapi gajah yang baru
dewasa dapat mengembara jauh sekali dari kelompoknya (Wulffrat dkk 2007).
Gajah jantan yang telah mencapai usia dewasa akan keluar dari kelompoknya, hanya
tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompoknya
(www.wwf.or.id, 2010).
2. Menjelajah
Eltringham (1982), mengungkapkan bahwa gajah memiliki wilayah jelajah
(home range) yang luas, tetapi tidak memiliki wilayah yang intensif dipertahankan
(teritori). Kelompok gajah bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya
dengan mengikuti ketersediaan makanan, tempat berlindung dan berkembang biak.
Luasan daerah jelajah akan sangat bervariasi bergantung dari ketiga faktor tersebut.
Secara alami gajah melakukan penjelajahan dengan berkelompok mengikuti
jalur tertentu yang tetap dalam satu periode penjelajahan. Jarak jelajah gajah bisa
mencapai 7 km dalam sehari, bahkan pada musim kering mampu mencapai 15 km.
Jalur penjelajahan biasanya melintasi sungai yang dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan akan air. Gajah mampu berenang menyeberangi sungai yang dalam dengan
menggunakan belalainya sebagai "snorkel" atau pipa pernapasan. Selama menjelajah,
18
kawanan gajah melakukan komunikasi untuk menjaga keutuhan kelompoknya. Gajah
berkomunikasi dengan menggunakan suara yang dihasilkan dari getaran pangkal
belalainya (www.wwf.or.id, 2010).
Gajah kalimantan bernama Rozelis dengan anggota kelompok sebanyak 12
individu di Kalabakan Forest Reserve (Malaysia) menjelajah rata-rata hingga 4
kilometer sehari dalam tiga hari pertama setelah pemasangan GPS. Pada hari keenam
setelah pemasangan GPS, pergerakan Rozelis dan kelompoknya sekitar 0,5 – 1
kilometer per hari. Wilayah jelajah (home range) kelompok Rozelis dalam dua
minggu sebesar 1,2 km2 (Gambar 2) (Alfred dkk, 2006).
Gambar 2. Pergerakan Home Range Rozelis (Alfred dkk, 2006)
3. Kawin
Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap tetapi dapat melakukan
perkawinan sepanjang tahun. Namun secara umum frekuensinya mencapai puncak
19
bersamaan dengan masa puncak musim hujan di daerah tersebut. Ada masa atau
periode unik yang dimiliki oleh gajah dan tidak terjadi pada hewan lain, yaitu musht.
Musht muncul ketika gajah jantan sehat memproduksi testosteron yang banyak dan
mulai terjadi pada usia lebih kurang 15 tahun sampai usia tua. Perilaku ini terjadi 3-5
bulan sekali selama 1-4 minggu dan perilaku ini sering dihubungkan dengan musim
birahi, walaupun belum ada bukti penunjang yang kuat untuk itu (www.wwf.or.id,
2010).
Usia aktif bereproduksi pada gajah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan,
ketersedian sumber daya makanan dan faktor ekologinya (McKay 1973; Sukumar
1992; Ishwaran 1993). Menurut Eltringham (1982), tajuk hutan diperlukan oleh
gajah untuk berlindung dari suhu tinggi dan tempat bersembunyi sambil melakukan
aktivitas tertentu, seperti kawin dan melahirkan.
Gajah betina siap bereproduksi setelah berumur 8-10 tahun, sementara gajah
jantan setelah berumur 12-15 tahun. Gajah betina mempunyai masa reproduksi 4
tahun sekali, lama kehamilan 19-21 bulan dan hanya melahirkan 1 ekor anak setiap
periode kelahirannya. Anak gajah akan disusui induknya selama 2 tahun dan hidup
dalam pengasuhan selama 3 tahun (Sukumar, 2003).
D. Habitat
Menurut Shumon (1966), habitat adalah tempat suatu populasi satwa untuk
memenuhi keperluan hidupnya, menjamin ketersedian makanan, air dan tempat
berlindung (cover). Eisenberg (1981) menyatakan bahwa habitat gajah merupakan
20
kesatuan wilayah yang luas, meliputi hutan, tempat terbuka, sumber-sumber air dan
tempat mencari garam atau mineral.
Tempat berlindung penting artinya bagi gajah, umumnya gajah tidak
menempati habitat yang seluruhnya terbuka. Fungsi tempat berlindung bagi gajah
adalah untuk menahan panas matahari pada waktu siang, melindungi gajah dari
gangguan-gangguan yang dapat mempengaruhi kehidupannya dan berfungsi dalam
aktivitas yang khusus dari kelompok gajah seperti melakukan perkawinan dan
melahirkan anak (Haerurrizal, 2007).
Faktor-faktor yang menentukan gajah dapat cocok/sesuai di suatu kawasan
sebagai habitatnya antara lain adalah topografi, ketersediaan kandungan garam dan
jenis hutan (Wullfraat dkk, 2007).
1. Topografi
Gajah kalimantan di Indonesia berada di daerah aliran sungai Sebuku
(Gambar 3), di bagian barat sungai Sebuku dibatasi oleh komplek pegunungan dan
perbukitan yang luas dan umumnya memiliki lereng-lereng yang curam. Tanahnya
tidak subur, membatasi berlimpahnya tanaman non-kayu (herba) yang dimakan oleh
gajah (Wullfraat dkk, 2007). Menurut Momberg dkk (1998), bagian barat sungai
Sebuku merupakan daerah bukit berhutan dengan batuan gamping.
Kabupaten Nunukan memiliki wilayah yang cukup bervariasi berdasarkan
bentuk relief, kemiringan lereng dan ketinggian dari permukaan laut. Wilayah barat
terdapat daerah perbukitan terjal, bagian tengah agak berbukit sedangkan bagian
timur mempunyai daerah dataran bergelombang sampai landai yang memanjang
21
hingga ke arah timur. Sedangkan, perbukitan di sebelah selatan bagian tengah
mempunyai ketinggian 500-1.500 meter di atas permukaan laut (ppk-
kaltim.tripod.com/kabupaten_nunukan, 2010).
Sebelah timur sungai Sebuku terdiri dari tanah rendah dan tanah rawa dengan
ketinggian yang sangat rendah. Banyak diantara dataran tanah-tanah rendah di
sebelah timur ini, tetapi perbukitan Moyo membentuk barrier bagi gajah.
Sedangkan, daerah sebelah selatan sungai Sebuku merupakan dataran rendah yang
luas mulai dari daerah yang datar sampai terjal diikuti oleh daerah dataran rawa
yang luas (Wullfraat dkk , 2007).
Perbatasan utara sungai Apan dan Tampilon dibentuk oleh pegunungan dan
bukit-bukit (Gambar 3). Lereng tercuram di sebelah selatan sungai Apan dan
Tampilon membentuk satu batas yang tidak dapat dilewati oleh gajah. Hal ini
membuat kelompok gajah tidak melakukan perjalanan dari kawasan atas Tampilon
ke habitat terdekatnya di Sabah. Lembah-lembah sungai Tampilon, Apan, Agison,
Sibulu dan Kapakuan sampai ke pegunungan dan perbukitan cukup datar dan
memiliki ketinggian yang rendah. Anak sungai dari sungai-sungai ini seperti
Sibuda sampai jarak tertentu juga masih cukup datar dan rendah. Lembah-lembah di
antara pegunungan di sekitar bagian tengah sungai Agison merupakan habitat yang
bagus untuk gajah, dan tanahnya yang subur menjamin ada banyak pakan gajah
tumbuh di sini (Wullfraat, 2007). Perbukitan terjal di sebelah utara bagian barat
merupakan wilayah pegunungan yang memanjang dengan ketinggian 1.500-3.000
meter dpl (ppk-kaltim.tripod.com/kabupaten_nunukan, 2010).
22
Gambar 3. Topografi wilayah Sebuku, Indonesia (Wullfraat dkk, 2007).
Dataran sungai Tulid dan wilayah sekitarnya memiliki ketinggian rendah
membentang sepanjang puluhan kilometer. Lereng-lereng kaki komplek gunung
sebelah barat naik secara bertahap dengan sedikit kecuraman. Gajah-gajah akan
menemui beberapa kesulitan menjelajahi kawasan ini. Dataran ini sering dikunjungi
oleh gajah jantan soliter yang mengembara, namun kelompok gajah tidak
memanfaatkan daerah ini. Jumlah sungai yang relatif sedikit di kawasan ini mungkin
menjadi faktor kendala bagi gajah, karena gajah menyukai aliran sungai sebagai tempat
minum dan berkubang (Wullfraat dkk, 2007).
Dataran gambut meliputi daerah bagian tenggara aliran Sebuku. Tumbuhan
non kayu yang biasanya tumbuh subur menyediakan banyak peluang bagi gajah-
gajah untuk memperoleh makanan (Wullfraat dkk, 2007).
S.Tampilon S. Agison
S.Kepakuan
S. Sebuku S.Tulid
23
Wilayah Kalabakan (Malaysia) merupakan bukit-bukit dan gunung-gunung
curam hingga ketinggian 1.500 meter dpl, tetapi ada banyak hutan, dasar lembah
yang datar merupakan habitat gajah yang baik. Ulu Kalumpang / Tawau Hills di
Sabah merupakan hutan lindung. Daerah ini umumnya hutan dipterocarpaceae yang
curam yang berisi beberapa lembah-lembah sungai. Rentang kawasan ini berbatasan
dengan daerah Kalabakan, tetapi terpotong oleh pengembangan hutan tanaman
industri, minyak sawit dan kakao selama dua puluh tahun terakhir (Ambu dkk,
2003).
2. Kaolin dan kandungan garam (salt licks)
Menurut Payne (2003), hampir dapat dipastikan bahwa tanah liat yang
mengandung kaolin sangat penting bagi gajah. Ketersediaan kaolin bisa menjadi
satu faktor kendala sehingga gajah tidak dapat hidup di daerah-daerah di mana
mineral ini tidak dapat dikonsumsi dalam waktu beberapa hari tertentu. Kaolin
sangat diperlukan oleh gajah untuk menyerap racun tanaman. Kaolin digunakan oleh
manusia untuk menyembuhkan sakit perut. Kaolin ialah bahan endapan
(sedimentasi). Bahan-bahan endapan seperti batu pasir merupakan bahan dasar
permukaan kawasan Kalimantan.
Gajah juga memanfaatkan mata air asin untuk mendapatkan beberapa mineral
penting. Sumber garam ini tersebar luas di seluruh Kalimantan dan didatangi oleh
banyak binatang berbeda. Mata air asin yang sering dikunjungi gajah terdapat di
hulu sungai Sibuda (Wullfraat dkk, 2007).
24
3. Jenis hutan
Gajah banyak melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah yang luas, sehingga
gajah menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Kawasan hutan berikut ini
merupakan tipe-tipe habitat bagi gajah (www.wwf.or.id, 2010) :
a. Hutan dataran rendah
Tipe hutan ini berada pada ketinggian 0-750 m di atas permukaan air laut.
Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae
(www.wwf.or.id, 2010). Hutan Dipterocarpaceae kawasan Sebuku pernah menutupi
seluruh dataran di sekitar sungai Tulid dan Tikung, dan lembah-lembah sungai
Agison, Apan, dan Tampilon bawah. Hampir semua hutan Dipterokarpa dataran
rendah wilayah Sebuku telah ditebangi. Oleh karenanya penebangan hutan
menunjukkan pembukaan kanopi di banyak lokasi. Perbandingan jumlah pohon-
pohon dari keluarga semacam Euphorbiaceae, Moraceae dan Lauraceae lebih
banyak di hutan bekas penebangan (logging) daripada di hutan primer. Tumbuhan
tak berkayu lebih banyak berkembang di dasar hutan, dan banyak diantaranya
dimakan oleh gajah seperti pisang hutan yang merupakan sumber makanan
kegemaran gajah (Wullfraat dkk, 2007).
b. Hutan hujan pegunungan rendah
Tipe hutan ini berada pada ketinggian 750-1.500 meter di atas permukaan air
laut. Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah Altingia excelsa, Dipterocarpus spp,
Shorea spp, Quercus spp dan Castanopsis spp (www.wwf.or.id, 2010). Sebagian
besar habitat kelompok gajah wilayah Sebuku tertutup oleh Dipterocarpaceae.
25
Jenis hutan ini dapat diperbandingkan dengan hutan dataran rendah, tetapi
mempunyai ragam jenis yang lebih sedikit. Banyak hutan hujan pegunungan
rendah wilayah Sebuku telah ditebangi, tetapi di utara dan barat atas masih
terdapat kawasan hutan primer hujan pegunungan rendah. Hutan hujan pegunungan
rendah yang telah ditebangi juga memiliki banyak tumbuhan non-kayu di dasar
hutannya yang merupakan makanan gajah (Wullfraat dkk, 2007).
c. Hutan di sekitar tepi sungai
Jenis hutan ini tumbuh di bidang tanah yang sempit sepanjang sungai.
Hutan ini memiliki komposisi tumbuh-tumbuhan khas didominasi oleh
Dipterocarpus oblongifolius. Tumbuhan non-kayu lebih melimpah dibandingkan
di tepi hutan lainnya, dan seringkali didominasi oleh rerumputan Saccharum
yang merupakan sumber makanan bagi gajah (Wullfraat dkk, 2007).
d. Hutan pegunungan rendah yang didominasi oleh Ek-Jambuan
Daerah tertinggi di bagian paling utara dan beberapa komplek pegunungan
tertinggi di sebelah barat Kalimantan tertutup oleh hutan-hutan Ek-Jambuan (Oak-
Myrtle) pegunungan rendah. Hutan-hutan ini umumnya didominasi oleh Lithocarpus
dan Syzygium. Kurang tersedianya tumbuhan yang merupakan pakan gajah,
topografinya yang curam, membuat hutan-hutan gunung bagian ini jadi habitat yang
tidak cocok bagi gajah (Wullfraat dkk, 2007).
e. Hutan rawa gambut
Hutan rawa gambut adalah habitat yang kemungkinan besar cocok bagi
gajah. Meskipun demikian, hingga kini gajah-gajah belum pernah mencapai hutan
26
rawa gambut yang luas di bagian sebelah timur wilayah Sebuku. Perbukitan Moyo
merupakan barrier bagi gajah di wilayah timur Sebuku (Wullfraat dkk, 2007). Jenis-
jenis vegetasi pada tipe hutan ini antara lain: Gonystilus bancanus, Dyera costulata,
Licuala spinosa, Shorea spp, Alstonia spp dan Eugenia spp (www.wwf.or.id, 2010).
E. Distribusi dan Populasi
Adanya sifat-sifat dan keanekaragaman habitat atau lingkungan hidup satwa
menyebabkan terjadinya penyebaran atau distribusi, penjelajahan serta status populasi
(Haerurrizal, 2007). Menurut Sambasiviah (1981) penyebaran satwa adalah proses
dinamis, hal ini disebabkan selalu ada individu baru yang lahir dari individu-individu
yang lebih tua, sehingga memerlukan daerah yang baru. Penyebaran satwa termasuk
gajah dipengaruhi oleh:
• Hambatan atau faktor pembatas (barrier) yang terdapat dalam lingkungan.
• Model dispersal satwa liar (sebaran individu-individu jenis dari daerah asalnya).
• Kemampuan satwa dalam mengatasi hambatan (barrier) tersebut.
• Kemampuan satwa dalam beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya.
1. Sejarah Gajah Kalimantan
Dahulu hingga sekarang masih ada orang menganggap bahwa gajah di
Kalimantan bukan populasi asli, melainkan dimasukkan (diintroduksi) ke kawasan ini
sekitar 300 tahun yang silam. Menurut cerita, gajah kalimantan liar di Negara Bagian
Sabah, Malaysia, adalah keturunan gajah milik Sultan Sulu. British East India
Trading Company (Kongsi perdagangan Inggris di Hindia Timur) menghadiahkan
27
gajah kepada Sultan Sulu pada tahun 1750. Sultan Sulu lalu melepaskannya ke hutan
untuk diliarkan kembali (Ambu dkk, 2003).
Pada tahun 2003 WWF (World Wildlife Fund for Nature) Asian Rhino and
Elephant Action Plan Strategy dan peneliti dari Universitas Columbia, melakukan tes
DNA Mitokondria. Sampel penelitian berasal dari kotoran gajah. Sampel-sampel itu
diambil dari Kinabatangan bawah, Hutan Lindung Kalabakan, Hutan Lindung
Gunung Rara dan Hutan Lindung Ulu Segama. Sampel-sampel itu kemudian diteliti
di Universitas Colombia dan dibandingkan dengan sampel dari gajah India, Bhutan,
Bangladesh, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya dan Sumatera
(Ambu dkk, 2003).
Menurut hasil uji genetika melalui uji DNA, terbukti bahwa gajah kalimantan
secara nyata (signifikan) berbeda dengan gajah lainnya di Asia maupun Afrika.
Selanjutnya diperkirakan bahwa gajah Kalimantan sudah terpisah dari populasi gajah
lain di daratan Asia dan Sumatera sekitar 300.000 tahun silam. Ini merupakan bukti
yang jelas bahwa gajah-gajah tersebut asli dari Kalimantan (Wullfraat dkk, 2007).
Berdasarkan hasil uji DNA tersebut, diketahui bahwa mitokondria gajah
kalimantan bertipe haplotipe β yang juga dimiliki gajah-gajah “Sundaland”
(semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan). Namun, gajah Kalimantan memiliki
haplotipe β yang unik. Keunikannya tersebut berdasarkan dari perbedaan nilai
penyimpangan mitokondria DNA yang cukup besar antara gajah kalimantan dan
Sundaland lainnya, yaitu berkisar dari 0.012 (haplotipe BQ, BV, BO, BS, BU) hingga
0.020 (haplotipe BE), dengan rata-rata 0.014 (Gambar 4). Berdasarkan penelitian
28
DNA yang lebih mendalam, ada indikasi bahwa karakteristik gajah kalimantan
cenderung lebih dekat (langsung) ke nenek moyangnya (Fernando dkk, 2003).
Gambar 4. Pohon filogeni berdasarkan perbedaan haplotipe gajah asia dan
gajah afrika (Fernando dkk, 2003).
Keberadaan gajah kalimantan di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia
telah didokumentasikan pada awal tahun 1930-an. Hal ini disebutkan dalam
beberapa laporan bekas Perkumpulan Hindia Belanda Timur untuk Konservasi
Alam. Salah satu dari laporan ini, yang disajikan sebagai suatu tinjauan informasi
yang ada terhadap konservasi alam di Borneo, bahkan tersedia sebuah peta dengan
penyebaran beberapa jenis binatang penting (Westerman, 1939). Dilaporkan bahwa
“gajah terdapat di paling utara Bulungan sampai ke sungai Sebuku. Binatang ini
tidak diburu, penduduk yang jarang bahkan takut kepada gajah dan akan segera
29
pindah bilamana beberapa gajah muncul di ladang-ladang, karena mereka tidak
memiliki senjata untuk mengusir gajah-gajah tersebut” (Wullfraat dkk, 2007).
Selama bertahun-tahun gajah wilayah Sebuku tidak mendapat banyak
perhatian dari pihak luar. Pada tahun 1998 kehadiran gajah-gajah ini diselidiki dan
dipastikan dengan suatu survei yang dikoordinasi oleh WWF. Hasil yang didapat
dalam survei ini adalah di Sungai Agison ditemukan minimal 40 ekor gajah,
sedangkan di Sungai Apan terdapat jejak berupa bekas kaki dan kotoran gajah
(Momberg dkk, 1998). Survei berikutnya dilaksanakan pada tahun 2000 dan 2001
(WWF, 2002) memastikan kembali kehadiran gajah di sekitar sungai Agison, sungai
Apan dan dekat perbukitan Mayo.
2. Distribusi gajah di Kalimantan Timur (Indonesia)
Keberadaan gajah kalimantan ada di wilayah Sebuku, Nunukan,
Kalimantan Timur (Gambar 4). Kelompok gajah ada di daerah aliran sungai
Agison dan sungai Sibuda di barat dan sungai Apan dan sungai Tampilon di timur.
Sungai Agison dan Sibuda merupakan salah satu koridor bagi gajah untuk menjelajah
dari kawasan Sabah (Malaysia) ke Sebuku (Indonesia) atau sebaliknya. Menurut
WWF (2002), Kelompok gajah yang ditemui disini biasanya terdiri dari 6 hingga 8
ekor. Selama survei gajah terdahulu pada tahun 2001, sejumlah jejak gajah yang
relatif banyak ditemukan di kawasan ini.
Lembah sungai Sibuda dan anak sungainya merupakan kawasan yang sangat
sering digunakan oleh kelompok gajah. Di lembah ini terdapat tempat dengan mata
air asin besar yang sering dikunjungi oleh kelompok gajah. Masyarakat setempat
30
sering mengatakan bahwa koridor Sibuda lebih sering dipakai daripada koridor
Agison. Ukuran kelompok gajah kawasan ini tidak berbeda dari wilayah Agison,
yakni 6-8 ekor. Kelompok gajah bergerak ke selatan hingga lembah sungai
Kapakuan (Wullfraat dkk, 2007).
Di antara kawasan Agison dan Sibuda di barat dan kawasan Apan dan
Tampilon di timur terdapat kawasan yang agak luas dan relatif datar yang sering
dilewati oleh kelompok-kelompok gajah. Kawasan ini mungkin juga merupakan
koridor gajah tambahan dari dan ke Sabah. Meskipun demikian, karena tidak adanya
lembah sungai yang luas di kawasan ini, koridor tambahan ini tidak terlalu sering
dimanfaatkan sebagaimana koridor Sibuda dan Agison (Wullfraat dkk, 2007).
Kelompok gajah kalimantan sering berada di bagian tengah daerah aliran
sungai Apan dan Tampilon, tetapi jumlah gajah dan kelompok gajah di sini lebih
rendah daripada di daerah Agison dan Sibuda. Hal ini disimpulkan berdasarkan
survei gajah di kawasan Apan dan Tampilon yang dilakukan secara serentak
dengan survei di kawasan Agison, dimana jumlah jejak gajah di kawasan Apan dan
Tampilon lebih sedikit daripada di kawasan Agison (WWF, 2002). Daerah timur
dari sungai Tampilon adalah sungai Sibulu, sedikit lebih kecil daripada Tampilon.
Kelompok gajah kadang-kadang berjalan terus hingga ke lembah dan hamparan
tanah di sekitar kedua sisi sungai Sibulu (Wullfraat dkk, 2007).
Gajah jantan soliter yang mengembara lebih sering terlihat daripada gajah
berkelompok, karena gajah soliter sering memasuki kawasan yang secara intensif
31
dipakai oleh manusia. Jumlah total jantan soliter ini tidak terlalu tinggi, paling banyak
mencapai 10-20 ekor (Wullfraat dkk, 2007).
Perkiraan populasi gajah kalimantan adalah 1.000 ekor termasuk di Sabah.
Dari jumlah itu, hanya 45-65 ekor yang berhabitat di Sebuku. Gajah kalimantan
terdeteksi di 12 desa yang berada di daerah aliran Sungai Sebuku
(www.bksdakaltim.dephut.go.id, 2010).
3. Distribusi gajah di kawasan Sabah, Malaysia
Penyebaran gajah di Malaysia ada di negara bagian Sabah (Gambar 4).
Penyebaran gajah telah didokumentasikan sejak tahun 1980-an. Habitat gajah di
bagian paling selatan Sabah berbatasan dengan wilayah Sebuku adalah bagian dari
kawasan gajah Kalabakan (Ambu dkk, 2003).
Gambar 4. Distribusi gajah di pulau Kalimantan (WWF German, 2005)
32
Jumlah populasi gajah di seluruh kawasan Kalabakan diperkirakan antara 280
dan 330 individu (Ambu dkk, 2003). Tetapi, di bagian sebelah selatan kawasan
ini tidak sesuai/cocok untuk gajah karena bentang daratnya terutama terdiri dari
perbukitan dan pegunungan yang curam. Lokasi-lokasi yang disukai gajah di
kawasan ini terutama, yaitu dasar lembah di antara perbukitan dan pegunungan.
Beberapa dekade yang lalu, jumlah gajah mencapai lebih dari 1.600 di Sabah
(Ambu dkk, 2003). Hasil pelacakan survei satelit tahun 2007 oleh World Wide Fund
for Nature Malaysia diperkirakan hanya 1.000 gajah mendiami habitat hutan dan
sungai dari Sabah, sebagian besar di sepanjang bawah dan atas Sungai Kinabatangan
(www.wwf.or.id.2010).
33
BAB III
ANCAMAN DAN UPAYA KONSERVASI
A. Ancaman
Ancaman terbesar terhadap kepunahan gajah disebabkan oleh kegiatan
manusia. Kegiatan manusia yang dapat menyebabkan kepunahan gajah adalah
perusakan habitat (fragmentasi habitat) dan eksploitasi hutan yang berlebihan.
Kerusakan habitat yang sering dilakukan biasanya berupa pembukaan lahan yang
dikonversi menjadi lahan pertambangan, perkebunan, pertanian, perumahan hingga
industri (Nursahid, 1999).
Menurut Wullfrat dkk (2007), perkebunan kelapa sawit saat ini sedang dibuat
dengan skala besar di Kabupaten Nunukan. Beribu-ribu hektar hutan telah alokasikan
untuk industri kelapa sawit. Lokasi terbesar di wilayah Sebuku terdapat di Utara
sungai Tikung dan suatu kawasan luas di sekitar bagian tengah dan atas sungai Tulid.
Sedangkan, perkebunan akasia sedang dibuat di kawasan yang membentang dari sisi
timur sungai Tulid sampai kaki bukit Mayo. Rencana penggunaan tanah untuk
Kabupaten Nunukan (RTRWK) menunjukan bahwa sebagian habitat untuk
konservasi hutan sebelah timur akan dijadikan perkebunan.
Degradasi habitat juga merupakan ancaman bagi konservasi gajah. Kebakaran
hutan, kemarau panjang yang mengakibatkan berkurangnya sumber air, pengembalan
hewan ternak yang berlebihan, penebangan hutan baik legal maupun ilegal dapat
mengurangi sumber daya pakan gajah di habitat aslinya secara signifikan. Degradasi
34
habitat juga dapat terjadi karena aktivitas manusia yang mengintroduksi jenis eksotik
yang dapat berdampak negatif terhadap komposisi vegetasi, misalnya Acacia
mangium. Menurut Wulffrat dkk (2007), jenis tanaman ini tidak tumbuh secara alami
di Kalimantan dan tidak dimakan oleh gajah.
Menurut Kemf dan Jackson (1994), selain kerusakan habitat sebagai faktor
paling dominan yang mengakibatkan penurunan populasi gajah, kematian gajah pada
saat penangkapan liar juga merupakan ancaman lainnya bagi gajah. Penangkapan
gajah liar untuk digunakan secara domestik (untuk dijinakkan) telah menjadi
ancaman yang serius bagi populasi gajah liar karena mengakibatkan menurunnya
populasi gajah pada kehidupan liar. Menurut Ambu dkk (2003), ada sekitar 15 ekor
gajah yang ditangkap dan dikirim ke perusahaan penangkaran di luar negeri. Gajah–
gajah ini merupakan hasil penangkapan di daerah perkebunan kelapa sawit.
Nursahid (1999), menyatakan bahwa eksploitasi berlebihan seperti perburuan
liar merupakan pemanfaatan satwa yang jauh melampaui kemampuan satwa tersebut
untuk berkembang biak secara alami. Menurut Kemf dan Jackson (1994), perburuan
liar yang sering dilakukan biasanya dilakukan untuk mendapatkan bagian tubuh gajah
seperti kulit, gading dan tulang. Kulit gajah yang diburu dapat digunakan untuk bahan
tas, sepatu serta obat bisul dan luka. Tulang gajah digunakan sebagai obat sakit perut.
Gading gajah merupakan bagian tubuh gajah yang paling banyak diminati oleh
pemburu karena mempunyai nilai jual yang cukup tinggi untuk dijadikan souvenir.
Konflik manusia dan gajah (KMG) merupakan masalah bagi konservasi gajah
kalimantan. Akibat konflik dengan manusia, gajah mati diracun, ditangkap dan
35
dipindahkan ke Pusat Konservasi Gajah yang mengakibatkan terjadinya kepunahan
lokal (misalnya di provinsi Riau, Sumatera). Di sisi lain, KMG juga mengakibatkan
kerugian yang signifikan bagi manusia. Kerusakan tanaman, terbunuhnya manusia
dan kerusakan harta benda sering terjadi akibat konflik dengan gajah. Dari ketiga
jenis KMG tersebut yang paling sering terjadi adalah kerusakan tanaman (crop
raiding) oleh gajah (Soehartono dkk, 2007).
Kerusakan tanaman oleh gajah juga diduga oleh tingginya tingkat kesukaan
(palatability) gajah terhadap jenis tanaman yang ditanam oleh petani (Sukumar,
2003). Beberapa jenis tanaman yang sering mengalami gangguan gajah adalah padi,
jagung, pisang, singkong, dan kelapa sawit (Sitompul, 2004; Fadhli, 2004).
Ancaman utama bagi gajah kalimantan di Malaysia adalah perubahan status
lahan dari hutan untuk pertanian. Pada tahun 1989 total 716.394 hektar hutan alam,
telah diubah menjadi lahan pertanian permanen (terutama perkebunan kelapa sawit).
Total hutan alam yang dikonversi tersebut merupakan 9,7 persen dari total luas lahan
Sabah. Pada tahun 2000 kawasan hutan yang telah dikonversi untuk pertanian telah
meningkat menjadi lebih dari satu juta hektar yang mewakili 14 persen dari total area
Sabah, sebagian besar yaitu habitat gajah (Ambu dkk, 2003).
Perburuan gajah juga merupakan masalah serius di Sabah (Tuuga 1992).
Sesekali insiden pembunuhan ilegal memang terjadi tetapi ini biasanya terkait dengan
masuknya gajah kalimantan ke kebun kelapa sawit dan dapat menyebabkan
kerusakan. Selama delapan tahun terakhir kurang dari satu persen dari populasi gajah
telah dibunuh secara ilegal setiap tahun (Sale, 1997).
36
B. Status
Gajah terdaftar dalam red list book IUCN (International Union for
Conservation of Nature), dengan status terancam punah/genting (Endangered). Suatu
taksa dikatakan genting bila taksa tersebut tidak tergolong kritis, namun mengalami
resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam. Sementara itu CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah
mengkategorikan gajah Asia dalam kelompok Appendix I sejak tahun 1990.
Apendiks I adalah jenis tumbuhan dan satwa yang jumlahnya di alam sudah sangat
sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Perdagangan komersial untuk jenis-jenis yang
termasuk kedalam Apendiks I ini sama sekali tidak diperbolehkan.
Di Indonesia, sejak tahun 1931 (Ordonansi Perlindungan Binatang Liar tahun
1931), gajah telah dinyatakan sebagai satwa dilindungi Undang-undang dan hampir
punah sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dan dilestarikan (Fleischer dkk,
2001; Fernando dkk, 2004). Gajah merupakan satwa liar yang dilindungi berdasarkan
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati
dan Ekosistem dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar.
C. Upaya Konservasi Gajah Kalimantan
Untuk perlindungan dan pelestarian gajah kalimantan, berbagai upaya
konservasi telah dilakukan Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan
melalui BKSDA Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Nunukan dan WWF-
Indonesia. Upaya-upaya konservasi yang telah dilakukan sebagai berikut :
37
• Dimulai pada tahun 1998, 2000, 2003 dan 2004 telah dilaksanakan survei
kerjasama Dephut (Dirjen PHKA) dan WWF-Indonesia untuk mengetahui
keberadaan gajah ini namun hasilnya kurang memuaskan karena tim survey hanya
menemukan jejak, kotoran dan tanaman di pekarangan serta kebun masyarakat
yang dirusak oleh gajah (www.bksdakaltim.dephut.go.id, 2010).
• Pengusulan pembentukan daerah Taman Nasional Sebuku-Sembakung (Momberg
dkk, 1998).
• Pada bulan September tahun 2006 tim survey dan masyarakat berhasil
menemukan 1 ekor gajah yang mempunyai gading sepanjang ± 80 cm dengan
tinggi ± 280 cm. Belum diketahui secara pasti apakah gajah ini berpasangan atau
hidup soliter. Diduga gajah tersebut terpisah dari kelompoknya atau merupakan
peninjau kondisi diluar homerange yang biasa dilaluinya untuk mengetahui
ketersediaan pakan. Gajah yang berhasil ditemukan tersebut berada dalam masa
kawin sehingga terlihat agak agresif (www.bksdakaltim.dephut.go.id, 2010).
• Pada bulan September tahun 2006 dilaksanakan kegiatan pelatihan upaya
penanggulangan konflik gajah. Pelatihan ini menghasilkan sebuah forum diskusi
penangggulangan gangguan gajah liar yang berfungsi sebagai wadah koordinasi
dan komunikasi mengatasi konflik gajah dengan manusia yang ada di Kecamatan
Sebuku. Wadah ini dibentuk secara demokratis dan diberi nama “Kelompok Kerja
Penanggulangan Gangguan Gajah Sebuku” (www.bksdakaltim.dephut.go.id,
2010).
38
• Pada bulan Februari s/d Maret 2007 dilaksanakan survei sebaran gajah soliter.
Berdasarkan laporan dari masyarakat Desa Sebuku, saat ini sudah ada 3 (tiga)
ekor gajah yang berkeliaran, 2 (dua) ekor terdapat di hutan sekitar Desa
Kalunsayan dan sisanya 1 (satu) ekor di hutan sekitar Desa Sekikilan. Tetapi tim
survey hanya menemukan satu gajah yang berbeda dengan gajah yang ditemui
pada survey pertama pada bulan September 2006 (www.bksdakaltim.
dephut.go.id, 2010).
• WWF Indonesia melakukan kerja sama dengan pihak-pihak perusahaan PT MTI
(perusahan kayu), PT Adindo (perkebunan Akasia) dan PT KHL (pekebunan
kelapa sawit) untuk membahas dampak gajah di kawasan mereka (Wullfrat dkk,
2007).
• Pada tahun 2008 dilakukan pemasangan GPS Colars untuk mengetahui daerah
jelajah gajah kalimantan (Wullfrat dkk, 2007).
• Pembentukan konsep kawasan lindung yang disebut “Heart of Borneo (HoB)”.
Konsep ini adalah inisiatif yang dipelopori WWF tentang konservasi dan
pembangunan berkelanjutan (sustainable conservation and development) di
kawasan jantung Borneo pada wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia serta
mencakup juga sebagian wilayah Brunei Darussalam. Konektivitas dan integritas
hutan di wilayah ini perlu dipertahankan selamanya terutama karena perannya
sebagai menara air di Pulau Borneo, disamping produktivitas dan kekayaan
keanekaragaman hayatinya. Konsep wacana HoB ini meliputi kawasan seluas +
39
22 juta hektar, dengan 59 % berada di wilayah Indonesia (termasuk Taman
Nasional Bentung Kerihun, Taman Nasional Danau Sentarum dan Taman
Nasional Kayan Mentarang serta Cagar Alam Gn. Nyiut dan Sapat Hawung)
(Gambar 5) (www.wwf.or.id, 2010).
Gambar 5. Konsep kawasan “Heart of Borneo” (www.wwf.or.id, 2010).
Negara Malaysia juga telah melakukan upaya konservasi terhadap gajah
kalimantan. Upaya-upaya itu antara lain pembentukan kawasan lindung yang
dilengkapi oleh manejemen pengelolaan hutan. Kawasan yang dijadikan sebagai
kawasan lindung tersebut antara lain Kinabatangan Wildlife, Danum Valley, Lower
Kinabatangan Wildlife Sanctuary and the Tabin Wildlife Reserve. Seluruh kawasan
ini merupakan habitat gajah di Malaysia. Selain itu, pembentukan manejemen untuk
gajah-gajah yang terlibat konflik juga telah dibuat di Sabah. Selama periode tahun
40
1995 sampai 2001, sebanyak 40 individu gajah telah ditranslokasi dari lahan
pertanian ke habitat gajah (Ambu dkk, 2003).
D. Rekomendasi
Selain usaha–usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah dan LSM seperti
diatas, ada beberapa rekomendasi untuk kedepan agar kelangsungan hidup gajah
kalimantan tetap lestari. Rekomendasinya antara lain :
a. Pengelolaan Populasi dan Sebaran Gajah
Identifikasi habitat dan daerah penyebaran utama dari kawanan gajah harus
diketahui dengan pasti melalui penelitian yang akurat. Tindakan yang tepat perlu
diambil untuk melindungi daerah inti kawanan gajah, yaitu dengan memberikan
status kawasan lindung. Dalam jangka panjang perlu menyiapkan areal/hutan sebagai
habitat satwa gajah sehingga dapat mengurangi konflik yang terjadi
(www.bksdakaltim.dephut.go.id, 2010).
Pengetahuan tentang status populasi dan distribusi sangat diperlukan dalam
menentukan kebijakan dan perencanaan konservasi serta mengoptimalkan intervensi
manajemen konservasi. Lengkap dan akuratnya data populasi gajah di Kalimantan
akan membantu intervensi manajemen konservasi secara optimal. Selain itu
diharapkan distribusi gajah di Kalimantan dapat dipetakan dengan akurat dan
dijadikan bahan pertimbangan dan acuan penting oleh para pemangku kepentingan
untuk memperhatikan agenda konservasi gajah dalam melaksanakan kegiatan
pembangunan sehingga konflik dengan keperluan lahan dengan habitat gajah dapat
41
menghindari atau meminimalisir (Soehartono dkk, 2007). Beberapa rekomendasi
sebagai berikut :
• Melakukan survei dan monitoring jumlah, distribusi, keragaman genetis
populasi gajah yang tersisa di Kalimantan.
• Membentuk database yang standar dan digabungkan dengan sistem informasi
geografis (Geographic Information System) untuk melihat perubahan
distribusi dalam rentang waktu tertentu.
• Melakukan pengaktualisasian data dengan melaksanakan monitoring secara
sistematis pada kantong-kantong populasi gajah.
• Menunjuk instansi tertentu pada tingkat nasional dan regional yang akan
mengelola database gajah kalimantan yang didukung oleh sumber daya dan
tenaga ahli dari berbagai pihak yang peduli tentang gajah
• Mempertahankan jumlah populasi gajah yang lestari dan mengupayakan
ketersambungan suatu populasi dengan populasi lainnya.
• Melakukan intervensi manajemen konservasi terhadap populasi gajah yang
dinilai tidak lestari sehingga populasi gajah tersebut dapat pulih kembali.
Intervensi manajemen dapat dilakukan dengan mengatur keseimbangan
jumlah populasi, rasio seks dan keragaman genetik.
b. Pengelolaan Habitat Gajah
Dalam pengelolaan habitat gajah di alam diperlukan kolaborasi antar
pemangku kepentingan secara terpadu. Aktivitas pembangunan di kawasan yang
42
merupakan habitat gajah harus dikelola dengan mengedepankan aspek konservasi.
Pendekatan baru yang lebih berpihak kepada konsep pembangunan lestari dan
konservasi gajah di alam harus dapat disosialisasikan dan diterima oleh para
pemangku kepentingan. Hal penting lainnya adalah pengelolaan habitat harus
dilakukan dengan pendekatan kawasan dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi
politik dan status kawasan. Koordinasi antar instansi harus ditingkatkan dan
memegang peranan penting dalam pengelolaan habitat gajah (Soehartono dkk, 2007).
Penebangan liar perlu segera dihentikan karena kegiatan tersebut memiliki
dampak yang menghancurkan sisa hutan yang sudah pernah ditebang. Penghentian
kegiatan penebangan mungkin bisa dilakukan dengan membekali masyarakat lokal
dengan sumber penghasilan alternatif. Konsesi penebangan yang terlanjur diberikan
kepada perusahaan HPH pada areal-areal yang menjadi habitat gajah (termasuk
wilayah jelajahnya) agar diwajibkan untuk menerapkan sistem penebangan
berdampak rendah dan menyisakan hutan sebagai habitat yang baik bagi gajah,
sehingga HPH bisa hidup berdampingan dengan gajah. Selain itu para pengembang
perkebunan sawit dan perkebunan lainnya harus menyediakan koridor sepanjang
tempat gajah bisa bergerak, dengan cara membiarkan tempat yang sering mereka
datangi untuk tidak dikonversi (www.bksdakaltim. dephut.go.id, 2010).
Membangun kerja sama yang erat dengan pemegang konsesi hutan yang
beroperasi dalam manajemen untuk memastikan bahwa hutan lindung dan praktek
manajemen yang cocok bagi kelangsungan jenis dan habitat gajah. Melakukan
koordinasi dengan departemen lain dan para pemangku kepentingan untuk
43
memastikan bahwa lahan konversi berdampak minimal pada populasi gajah (Ambu
dkk, 2003). Beberapa rekomendasi lainnya sebagai berikut :
• Memahami, memonitor dan mempublikasikan kondisi seluruh habitat gajah,
serta daerah jelajahnya sehingga dapat diketahui dan dipahami oleh
masyarakat luas dan aktor pembangunan untuk menghindari kegiatan
pembangunan yang dapat menimbulkan konflik dengan gajah.
• Meminimalisasi kehilangan habitat dengan menghindari kegiatan
pembangunan di sekitar dan di dalam kawasan yang diketahui memiliki
populasi gajah dan atau merupakan daerah jelajah gajah.
• Perlu dilakukan pengintegrasian habitat dan daerah jelajah dalam tata ruang,
perencanaan pembangunan dan pengelolaan konsesi.
• Melaksanakan program restorasi dan rehabilitasi habitat gajah untuk
meningkatkan daya dukung habitat.
• Mensinergikan habitat dan koridor gajah dalam program tata ruang dan
pembangunan nasional, provinsi serta kabupaten/kota di Kalimantan.
• Melaksanakan studi intensif pada ekologi pakan, pola pergerakan dan
penggunaan habitat untuk mengoptimalkan intervensi manajemen konservasi
gajah.
44
c. Penanganan Konflik Gajah – Manusia (KMG)
Membentuk pemantauan berkala dan meningkatkan patrol, usaha dan kegiatan
mitigasi konflik gajah-manusia yang melibatkan instansi pemerintah, masyarakat, dan
LSM (Ambu dkk, 2003).
Forum Penanggulangan Konflik Gajah Sebuku akan memerlukan bantuan
teknis dan finansial untuk menjadikan operasional secara penuh. Biaya transportasi
dan operasional perlu ditanggung pemerintah daerah (Wullfrat dkk, 2007).
Konflik gajah dan manusia dapat mengancam kedua belah pihak terutama
kelestarian gajah. Tingginya permintaan lahan untuk tujuan pembangunan di daerah
mendorong timbulnya konflik antara manusia dan gajah semakin besar dan rumit
diselesaikan dengan tuntas dan waktu yang pendek. Pada prinsipnya semua pihak
berharap agar populasi gajah di Kalimantan dapat hidup berdampingan dengan
manusia dan juga dengan aktivitas pembangunan. Perencanaan pembangunan yang
memperhatikan aspek kelestarian keanekaragaman hayati prinsipnya dapat
menghindari atau mengurangi terjadinya konflik antara manusia dengan hidupan liar
seperti populasi gajah liar (Soehartono dkk, 2007). Beberapa rekomendasi lainnya
sebagai berikut :
• Menghentikan pembangunan yang tidak terencana dan dapat mengakibatkan
kerusakan habitat, fragmentasi habitat dan degradasi habitat populasi gajah.
• Membentuk jaringan kordinasi penanganan KMG pada tingkat nasional yang
akan merumuskan kebijakan KMG dan provinsi serta kabupaten yang bersifat
45
operasional. Jaringan ini dapat di bantu oleh para pihak dari unsur non
pemerintah yang berfungsi sebagai penasehat teknis.
• Mendorong pelaksanaan pembangunan yang mengikuti kaidah-kaidah
perencanaan yang berpihak pada pelestarian lingkungan serta hidupan liar
seperti populasi gajah kalimantan.
• Menetapkan protokol nasional penyelesaian KMG dan meminta agar semua
pihak yang terlibat dalam KMG mengikuti aturan yang tertuang dalam
protokol tersebut.
• Secara bertahap membentuk tim penyelamatan gajah yang terkena korban
KMG, dengan didukung oleh sumberdaya profesional dan peralatan memadai
serta dana yang cukup.
• Melakukan studi dan penelitian secara regular tentang opsi-opsi penyelesaian
KMG yang efisien dengan teknologi yang sederhana serta metode adaptif.
• Perlu dilakukan kerjasama yang menyeluruh dengan pemerintah Kerajaan
Malaysia terutama Pemerintah Sabah.
d. Penanganan Perburuan dan Perdagangan Illegal
Perburuan dan perdagangan illegal gading gajah merupakan ancaman serius
terhadap kelestarian populasi gajah kalimantan. Resiko kepunahan lokal akibat
perburuan dan perdagangan illegal perlu diwaspadai dengan segera. Sistem
monitoring yang rutin seperti yang diterapkan dengan MIKE (Monitoring Illegal
Killing of Elephant) oleh CITES perlu segera diimplemetasikan. Dalam kaitan ini
46
pemerintah dan para pemerhati gajah kalimantan berharap agar penegakan hukum
terhadap perburuan dan perdagangan illegal gading gajah asal Kalimantan dapat
dilaksanakan secara konsisten, konsekuen dan benar serta tidak berpihak (Soehartono
dkk, 2007). Beberapa rekomendasi sebagai berikut :
• Melakukan monitoring perburuan gajah secara intensif di Kalimantan.
• Meregistrasi gajah captive dan stockpiles gading gajah yang di lembaga
konservasi pemerintah dan swasta untuk menghindari perdagangan illegal
gajah dan gading gajah.
• Memperbaiki sistem penegakan hukum, penerapan sanksi yang jelas dan
peningkatan kapasitas aparat penegak hukum.
• Mensosialisasikan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta
membentuk koordinasi lintas sektoral untuk mengefektifkan proses penegakan
hukum.
• Melakukan kampanye penyadartahuan dan konservasi gajah kalimantan
secara regular kepada semua lapisan masyarakat
• Menetapkan peraturan-peraturan daerah yang mendukung konservasi gajah.
f. Pengelolaan Gajah Captive (Ex-situ)
Gajah captive adalah merupakan gajah pemeliharaan yang ditangkap akibat
konflik dengan pemukiman, perkebunan dan kegiatan pembangunan lainnya. Gajah
ini memiliki peran yang potensial dalam upaya konservasi gajah di Indonesia.
Hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara konservasi gajah ex-situ dan in situ
47
membuat upaya konservasi keduanya harus berjalan secara simultan dan saling
mendukung (Soehartono dkk, 2007). Beberapa rekomendasi sebagai berikut :
• Meneruskan program registrasi dengan menggunakan microchip hingga
semua gajah captive teregistrasi dengan baik.
• Menentukan arah program pengembangan gajah captive dengan jelas
sehingga pengelolaannya dapat dilakukan dengan maksimal bersinergi
terhadap kebutuhan yang berkelanjutan dengan kestabilan keragaman genetik
gajah (breeding center program) dan pemanfaatannya terhadap kegiatan
konservasi penanganan konflik gajah manusia, patroli pengamanan habitat,
ekoturisme, penelitian dan pendidikan.
• Merasionalisasi populasi gajah dalam setiap PKG dan intitusi lain yang
memanfaatkan gajah khususnya dengan kondisi daya dukung PKG itu sendiri
(seperti: ketersedian pakan alami, sumber air dan luas wilayah) sesuai dengan
arah pemanfaatan gajah yang bersinergi dengan program pengembangbiakan.
• Mengembangkan fasilitas infrastruktur PKG, pemberdayaan, peningkatan
kesejahteraan mahout khususnya dalam mengembangkan kapasitas mahout
dalam pemahaman tingkah laku dan biologi gajah, keterampilan di bidang
konservasi, pelatihan dan pengendalian gajah, perawatan dan dukungan
medis, serta pemanfaatan gajah dalam konteks konservasi, ekowisata, dan
pendidikan.
48
• Membuka kesempatan pihak ketiga untuk dapat memanfaatkan gajah secara
lestari, serta mendorong kontribusi pengguna gajah captive untuk kepentingan
komersil agar dapat memberikan kontribusinya secara nyata bagi kegiatan
konservasi gajah in-situ dan ex-situ.
• Membangun strategi pendanaan melalui promosi terhadap pihak ketiga
(Perkebunan; HTI; Kebun Binatang; Lembaga Konservasi Lainnya) untuk
membantu dalam pengelolaan dan pemeliharaan gajah PKG.
g. Jejaring Kerja Antara Multipihak
Kunjungan studi banding oleh perwakilan dari masyarakat lokal Sebuku dan
pemerintah daerah ke proyek gajah di Sabah adalah kesempatan baik untuk menukar
informasi dan pengalaman, dan akan memperbaikan kerjasama (Wullfrat dkk, 2007).
Upaya pelestarian gajah kalimantan merupakan pekerjaan yang kompleks dan
memerlukan dukungan yang luas dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena
gajah memerlukan habitat yang luas untuk dapat bertahan hidup sementara itu
kebutuhan habitat yang luas tersebut sering kali berbenturan dengan kegiatan alokasi
lahan untuk kegiatan pembangunan. Untuk mengupayakan keberhasilan pelestarian
gajah dan habitatnya, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan dan memegang
peranan penting dalam strategi konservasi (Soehartono dkk, 2007). Beberapa
rekomendasi sebagai berikut :
• Mengembangkan program kampanye yang efektif secara nasional dengan
kelompok target yaitu pemerintah daerah dan sektor swasta
49
• Perlunya dilakukan survei tingkat dukungan masyarakat terhadap konservasi
gajah sebagai data dasar untuk memantau tingkat keberhasilan kampanye
konservasi gajah secara nasional dan lokal.
• Melibatkan unsur pemerintah daerah dan sektor swasta dalam
pengorganisasian kegiatan konservasi gajah dan program mitigasi konflik
manusia dan gajah
• Mengupayakan diterbitkannya Keputusan Presiden yang mendukung upaya
pelestarian gajah sumatera dan kalimantan.
• Memasukkan materi konservasi gajah dalam program pendidikan jenjang
karier di pemerintahan.
• Mengembangkan web-site konservasi gajah Indonesia.
50
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) merupakan subspecies gajah
asia yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil dan bulat.
2. Penyebaran gajah kalimantan dipengaruhi beberapa faktor antara lain topografi
(dataran rendah, perbukitan, sungai), ketersediaan kandungan garam dan jenis
hutan (hutan pegunungan rendah, hutan tepi sungai).
3. Keberadaan gajah kalimantan di Indonesia hanya terbatas di daerah sungai
Sebuku, Nunukan, Kalimantan Timur dengan jumlah populasi sekitar 45-65 ekor
dan sekitar 1.000 ekor berada di daerah Sabah, Malaysia.
4. Hilangnya habitat merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan gajah
kalimantan serta ditambah dengan ancaman lainnya seperti fragmentasi, degradasi
habitat, perburuan dan konflik dengan masyarakat.
5. Upaya konservasi yang telah dilakukan di Indonesia antara lain melakukan survei
gajah, sosialisasi dan berbagi informasi dengan masyarakat dan perusahaan di
sekitar habitat gajah, rencana pembentukan kawasan lindung di habitat alami
gajah. Sedangkan, di Malaysia habitat gajah sudah menjadi kawasan yang
dilindungi dan mengelola konflik gajah dengan manusia.
51
6. Pengelolaan habitat gajah dapat menjadi salah satu rekomendasi yang penting
agar keberadaan gajah kalimantan tetap ada dan konflik dengan masyarakat dapat
diminimalisir karena ketersediaan pakan di habitat alaminya.
B. Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai gajah kalimantan di Indonesia,
sehingga populasi dan distribusi dapat diketahui dengan pasti di habitat alaminya.
2. Perlu segera direalisasikan rencana pembentukan kawasan lindung di daerah
Sebuku-Sembakung agar keberadaan habitat gajah kalimantan dapat terus terjaga
hingga selamanya.
3. Perlu adanya pengawasan terhadap keutuhan habitat hutan di wilayah Sebuku-
Sembakung dan kinerja perusahaan di sekitar habitat gajah serta membatasi
pembukaan lahan oleh masyarakat agar tidak menggangu kelangsungan hidup
gajah kalimantan.
52
DAFTAR PUSTAKA
Alfred R, Williams C, Vertefeuille J, dkk. Satellite Tracking of Borneo’s Pygmy
Elephants June 2005 – June 2006. Asian Rhino and Elephant Action Strategy,
WWF-Malaysia. 2006
Ambu LN, Andua PM, Nathan S, dkk. Asian elephant action plan Sabah (Malaysia),
Wildlife Department, Sabah. 2003.
BAPPENAS. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan. National
Document. National Development Planning Agency (BAPPENAS). Jakarta.
2003.
De Silva GS. Elephants of Sabah. Sabah Society Journal 3: 169-181. 1968.
Einsenberg JF. The Mammalian Radiation. An Analysis of Trends in Evolution
Adaption and Behaviour. Chicago III. University of Chicago Press. 1981.
Eltringham SK. Elephants. Poole, Dorset: Blandfort Press. 1982.
Fadhli N. Resiko dan Keuntungan Menempatkan Gajah Liar yang ditangkap ke Tesso
Nilo. WWF Areas Riau Project (Unpublished Report). 2005.
Fernando P, Vidya TNC, dkk. DNA analysis indicate that Asian elephants are native
to Borneo and are therefore a high priority for conservation.Plos Biology, 1: 001-
006. 2003.
Fleischer, CR, Perry EA, K. Muralidharan, Stevens EE and Wemmer CN.
Phylogeography of The Asian Elephants (Elephas maximus) Based on
Mitochondrial DNA. Evolution 55 (9): 1882-1992. 2001.
Fauna dan Flora Internasional-Sumateran Elephant Conservation Programme. Survey
Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) Serta Habitatnya di
Tahura Cut Nya’ Dhien dan Sekitarnya, Kabupaten Aceh Besar. Nanggroe Aceh
Darussalam. 1998.
Haerurrizal. Studi Gangguan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus
Temminck, 1947) Terhadap Masyarakat di Taman Nasional Kerinci Seblat
(Kecamatan Mukomuko Selatan, Kabupaten Mukomuko Seksi Pengelolaan
53
Taman Nasional V Bengkulu Provinsi Bengkulu). Tugas Akhir. Program Diploma
III. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 2007
International Union for Conservation of Nature (IUCN). IUCN Red List of
Threatened Species. 2002
Ishwaran N. Ecology of The Asian Elephant in Lowland Dry Zone Habitat of The
Mahaweli River Basin. Sri Langka. Journal of Tropical Ecology. 1993: 9; 169-
182.
Kemf E. dan Jackson P. Gajah-Gajah Asia di Belantara Serial Harus Tetap Hidup.
World Wide Fund For Nature (WWF) Indonesia Programme. 1994.
Lekagul B dan McNelly JA. Elephants in Thailand: Imprortance, Status and
Conservation. Tigerpaper; 4: 22-25. 1997
MacKinnon K, Hatta G, Halim H, dan Mangalik A. Ekologi Kalimantan.
Prenhanllindo. Jakarta. 2000
Maryanto I, Achmadi AS, dan Sinaga MH. Nama daerah mamalia Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Perhimpunan Biologi Indonesia.
Jakarta. 2007.
McKay GM. Behaviour and Ecology of The Asiatic Elephant in Southeastern Ceylon.
Smithsonian Contribution to Zoology.: 125: 1-113. 1973
Momberg F, Jepson P, Van Noord H. Justifikasi dan usulan batas-batas kawasan
konservasi baru di wilayah Sebuku-Sembakung, Kalimantan Timur. WWF
Indonesia Memorandum Teknis I, Edisi kedua. 1998.
Nursahid R. Mengapa Satwa Liar Punah?. Pro Fauna Indonesia. 1-12. Jakarta. 1999.
Payne J. Asian elephant action plan Sabah (Malaysia), Wildlife Department, Sabah.
2003.
Payne J, Charles M. Francis, Karen Philipps, dan Sri Nurani Kartikasari. Panduan
Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. The
Society and Wildlife Conservation Society. Malaysia. 2000.
Poniran. Elephant in Aceh, Sumatera, Oryx. Journal of Fauna Preservation. Soc.
12(5). 1974.
54
Sale P. Paper on Elephants in Sabah. Asian Elephant Gajah Asia.Specialist Group
Meeting, Bangkok-Thailand. 1997.
Sambasiviah. Animal Physology and Ecology. New Delhi. 1981.
Shumon JJ. Wildlife Habitat Improvement, National Aubudon Society Inc, New
London. 1966, h. 10.
Siregar AR. Ancaman Kepunahan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus
Temmick, 1947) dan Upaya Pelestariannya. Karya Ilmiah. Fakultas Biologi
Universitas Nasional Jakarta.1999.
Sitompul AF. Conservation implication of human-elephant interactions in two
national parks in Sumatra. Master of Science, Thesis, University of Georgia,
Athens, GA, USA. 2004.
Soehartono T, Susilo, HD, Sitompul AF, dkk. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Gajah Sumatera dan Kalimantan 2007-2017. Direktorat Jendral PHKA-
Departeman Kehutanan RI . Jakarta. 2007.
Sukumar R. The Asian Elephant: Ecology and management. Cambridge University
Press, Cambridge. 1992.
Sukumar R. The Living Elephants: Evolutionary Ecology, Behavior and
Conservation. Oxford University Press, Oxford, UK. 2003.
Tuuga A. Conservastion of elephants in Sabah. presented in the Asian Elephant
Specialist Group Meeting on 22-22 May 1992 in Bogor, Indonesia.Unpublished.
1992.
Westermann JH. Natuur in Zuid- en Oost Borneo. In: Nederlandsch Indische
vereeniging tot natuurbescherming: 3 jaren Indisch natuurleven. Visser & Co.,
Batavia. 1939
Whitten T, Holmes D, dan MacKinnon K. Conservation Biology: A Displacement
behavior for Academia. Conservation Biology, 15: 1-3. 2001.
Williams AC, Johnsighn AJT, dan Krausman PR. Elephant Human-Conflict in Rajaji
National Park, Nortwestern India. Wildlife Society Bulletin, 29:1097-1104. 2001.
55
World Conservation Monitoring Centre 1998. Kalappia celebica. In: IUCN 2007.
2007 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>.
Wulffraat S, Dasra H, Surya E dkk. Gajah Kalimantan Timur. WWF-Indonesia dan
Departemen Kehutanan.2007
WWF. Reconnaissance survey of elephant in the trans-border area of Kalimantan
(Sebuku-Sembakung watersheds) WWF Indonesia & AREAS project. 2002
WWF Germany. Borneo : Treasure island at risk – map-. Frankfurt am Main. 2005
Yong, M.Y.M. Siri haiwan gajah. http://www.spancity.com/yosri. 2002.
www.bksdakaltim.dephut.go.id/gajah kalimantan (Diakses pada tanggal 12 Mei
2010).
www.datastatistik-indonesia.com (Diakses pada tanggal 1 Juli 2010).
www.flickr.com/photos/Borneo pygmy elephant by Toxostoma (Diakses pada tanggal
12 Mei 2010).
www.panda.org/what_we_do/.../elephants/asian_elephants. 2010 (Diakses pada
tanggal 12 Mei 2010).
www.perdhana-putra.blogspot.com/2009/03/selamatkan-habitat-gajah-
kalimantan.html (Diakses pada tanggal 20 Mei 2010).
www.ppk-kaltim.tripod.com/kabupaten_nunukan (Diakses pada tanggal 5 Juni 2010).
www.wwf.or.id/2010 (Diakses pada tanggal 12 Mei 2010).