benjolan pada leher
DESCRIPTION
penyakit penyakit neoplasmaTRANSCRIPT
BENJOLAN PADA LEHER
Epidemiologi
Umumnya tumor primer dapat ditemukan kecuali pada 5-15% penderita. Umumnya
dari jumlah tersebut 60% diantaranya tumor primernya tidak pernah ditemukan. Sejak tahun
1976 di temukan 2 orang penderita dimana terdapat metastasis kelenjar getah bening di leher
dengan tumor primer yang tidak diketahui asalnya. Tahun 1974, ROCHANI menunjukan 1
kasus dengan tumor metastasis yang asalnya tidak diketahui, tetapi tumor metastasis ini tidak
terdapat di leher melainkan terdapat di daerah costovetebral.. kebanyakan penulis
mendapatkan perbandingan dalam jenis kelamin wanita lebih banyak dari laki-laki = 3 : 1
dengan umur rata-rata 40-70 tahun. 60% penderita kebanyakan datang dengan hanya satu
keluhan, yaitu benjolan di daerah leher.
Mekanisme
Terdapat bebearpa faktor yang menyebabkan terjadinya benjolan pada leher seperti
trauma, infeksi, hormonal, keganasan dan kelainan kongenital yang diturunkan. Setiap faktor
memiliki jalan tersendiri untuk menyebabkan terjadinya benjolan pada leher. Hal yang harus
diketahui adalah tidak semua benjolan pada leher berasal dari gangguan pada daerah sekitar
leher seperti kelainan sistemik ataupun penyakit TBC.
Hampir semua struktur pada leher dapat mengalami benjolan mulai dari tiroid,
paratiroid dan kelenjar getah bening serta lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menyebabkan benjolan pada leher melalui beberapa cara yaitu dengan
invasi bakteri langsung pada jaringan ataupun merupakan efek dari imunitas tubuh yang
bekerja dalam kelenjar getah bening
Trauma memiliki mekanisme yang mirip dengan infeksi tetapi trauma tanpa infeksi
sekunder tidak menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening
Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa
histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan
yang ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada
daerah yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan
tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius
sedangkan agen infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama
eritrisot agar bisa mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan
pembesaran kelenjar limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun
menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak
menyebar ke organ tubuh lain.
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel
limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan
metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi
sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti
peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini
berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan
pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar
tiroid-adenoma tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun
akibat dari metastase kanker dari organ di luar leher.
Berikut adalah pembagian benjolan pada leher menurut penyebabnya
I. Kongenital
a. Kistik Higroma
Higroma kistik berasal dari sistem limfe sehingga secara patologi anatomi lebih tepat
disebut kistik limfangioma. Higroma kistik dapat terjadi pada anak lelaki maupun anak
perempuan dengan rasio yang sama. Kebanyakan (75%) higroma kistik terdapat di leher.
Sekitar 75% kasus terjadi saat lahir maupun masa neonatus.
Anyaman pembuluh limfe yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena
mengalami dilatasi dan bergabung membentuk jala yang di daerah tertentu akan berkembang
menjadi sakus limfatikus.
Pada embrio usia dua bulan, pembentukan sakus primitif telah sempurna. Bila
hubungan saluran ke arah sentral tidak terbentuk, timbulah penimbunan cairan yang akhirnya
membentuk kista berisi cairan. Hal tersebut sering terjadi di daerah leher. Kelainan ini dapat
meluas ke segala arah seperti ke jaringan sublingualis di mulut.
Pada mulanya bagian dalam kista dilapisi oleh selapis sel endotel dan berisi cairan
jernih kekuningan yang sesuai dengan cairan limfe. Pada permukaaan ditemukan kista besar
yang makin ke dalam menjadi makin kecil seperti buih sabun. Higroma kistik dapat mencapai
ukuran yang besar dan menyusup ke otot leher dan daerah sekitarnya seperti faring, laring,
mulut dan lidah. Saat akhir dapat menyebabkan makroglosia.
Keluhan adalah adanya benjolan di leher yang telah lama atau sejak lahir tanpa nyeri
atau keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik, berbenjol-benjol dan lunak. Permukaannya
halus dan lepas dari kulit, dan sedikit melekat pada jaringan dasar. Kebanyakan terletak di
regio trigonum posterior colli. Sebagai tanda khas, pada pemeriksaan transiluminasi positif
tampak terang sebagai jaringan tembus cahaya.
Benjolan ini jarang menimbulkan gejala akut, tetapi suatu saat dapat cepat membesar
karena radang dan menimbulkan gejala gangguan pernafasan akibat pendesakan saluran nafas
seperti trakea, orofaring, maupun laring. Bila terjadi perluasan ke arah mulut dapat timbul
gangguan menelan. Perluasan ke aksila dapat menyebabkan penekanan pleksus brakialis
dengan berbagai gejala neurologik.
b. Kista Branchial
Kelainan brankial dapat berupa fistel, kista, dan tulang rawan ektopik. Arkus brankial
ke-3 membentuk os hioid, sedangkan arkus brankial ke-4 membentuk skelet laring, yaitu
rawan tiroid, krikoid, dan aritenoid.
Fistel kranial dari tulang hioid yang berhubungan dengan meatus akustikus eksternus
berasal dari celah brankial pertama. Fistel antara fosa tonsilaris ke pinggir depan
m.sternokleidomastoideus berasal dari celah brankial kedua. Fistel yang masuk ke sinus
piriformis berasal dari celah ketiga. Sinus dari celah brankial keempat tidak pernah
ditemukan. Sinus atau fiste mungkin berupa saluran yang lengkap atau mungkin menutup
sebagian.
Fistel brankial sisa celah brankial ke-2 akan terdapat tepat di depan
m.sternokleidomastoideus. bila penutupan terjadi sebagian, sisanya dapat membentuk kista
yang terletak agak tinggi di bawah sudut rahang. Bila terbuka ke kulit, akan terjadi fistel. Bila
masih ada sinus tonsilaris, fistel selalu berjalan melalui percabangan a.karotis.
Pada anamnesis diketahui kista merupakan benjolan sejak lahir. Fistel terletak di
depan m.sternocleidomastoideus dan mengeluarkan cairan. Fistel yang buntu akan
membengkak dan merah, atau merupakan lekukan kecil yang dapat ditemukan unilateral atau
bilateral.
Kista dapat langsung diekstirpasi bersama saluran menuju orofaring. Seringkali
diperlukan insisi multipel sejajar di atas insisi pertama (stepladder incision). Fistel diisi
bahan warna seperti biru metilen, kemudian dapat diekstirpasi melalui insisi kecil multipel.
Operasi ini tidak tergolong bedah minor karena fistel harus dikeluarkan seluruhya melalui
percabangan a.karotis komunis sampai ke sinus tonsilaris. Bila sebagian saja, fistel tertinggal
akan kambuh dan biasanya mengalami infeksi.
c. Kista Ductus Tiroglosus
Benjolan kista duktus tiroglosus terdapat di sekitar os. Hyoid, di garis tengah, dan ikut
bergerak waktu menelan atau pada penjuluran lidah.
Duktus yang menandai jaringan bakal tiroid akan bermigrasi dari foramen sekum di
pangkal lidah ke daerah di ventral laring dan mengalami obliterasi. Obliterasi yang tidak
lengkap akan membentuk kista. Kista terletak di garis tengah, di cranial atau kaudal dari os.
Hyoid. Bila terletak di bagian depan tulang rawan dari os. Hyoid mungkin tergeser sedikit ke
paramedian. Jika di tarik kearah kaudal, umumnya teraba atau terlihat sisa duktus berupa tali
halus di subkutis.
Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di atas
atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di
tempat timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah
digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau
menjulurkan lidah.
Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadang-kadang lebih besar.9Bila terinfeksi,
benjolan akan terasa nyeri. Pasien mengeluh nyeri saat menelan dan kulit di atasnya berwarna
merah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada setiap
benjolan di garis tengah leher. Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan menggunakan
suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan dilakukan foto Rontgen
Kelainan ini ditangani dengan ekstripasi seluruh kista dan duktus. Biasanya os hyoid
harus dibelah dulu karena duktus sering menembus os. Hyoid. Kista harus diekstripasi
dengan seluruh sisa duktus sampai ke foramen sekum. Jika ada sisa duktus tertinggal, akan
terbentuk fistel di luka operasi setelah beberapa waktu.
II. Infeksi
a. Limfadenitis Leher Akut
Limfadenitis leher akut merupakan pembesaran kelenjar getah bening akibat
kegagalan mengatasi infeksi di daerah pertahanan regionalnya. Limfadenitis leher dapat
disebabkan oleh infeksi daerah telinga, gigi, tenggorokan, hidung. Dapat mengenai satu
kelenjar limfe atau satu kelompok kelenjar limfe, bisa unilateral atau bilateral leher.
Limfadenitis sendiri disebabkan oleh berbagai infeksi dari berbagai organisme, seperti
bakteri, virus, protozoa, riketsia, dan jamur. Nama-nama bakteri yang masuk dalam kategori
bakteri penyebab limfadenitis adalah Streptokokus beta hemolitikus. Grup A atau
stafilokokus aureus. Bakteri anaerob bila berhubungan dengan caries dentis (gigi berlubang)
dan penyakit gusi. Difteri, Haemophilus influenza tipe b jarang menyebabkan hal ini. Untuk
penyebarannya ke kelenjar getah bening melaluiinfeksi pada kulit, hidung, telinga, dan mata.
Tatalaksana pada limfadenitis akut lebih disarankan untuk mengobati penyakit dasar
sebagai penyebabnya. Jika dengan konservatif atau penatalaksanaan penyakit dasar tidak
berhasil, dapat dilakukan pembedahan, namun hanya dapat menghilangkan benjoannya saja
tidak menghilangkan penyakit dasar.
b. Limfadenitis TBC
Bacteria dapat masuk melalui makan ke rongga mulut dan melalui tonsil mencapai
kelenjar limf di leher, sering tanpa tanda tbc paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak,
dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar didekatnya satu demi satu
terkena radang yang khas dan dingin ini. Disamping itu dapat terjadi juga perilimfadenitis
sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain membentuk suatu massa. Bila mengenai
kulit dapat meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan
jebol, mengeluarkan bahan seperti keju. Tukak yang terbentuk berwarna pucat dengan tepi
membiru, disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan
jaringan parut yang tipis atau berbinti-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan
mengeluarkan bahan seperti keju, demikian berulang-ulang, kulit seperti ini disebut
skrofuloderma.
Pengobatan dilakukan dengan tuberkulostatik. Bila terjadi abses, perlu dilakukan
aspirasi, dan bila tidak berhasil, sebaiknya dilakukan insisi serta pengangkatan dinding abses
dan kelenjar getah bening yang bersangkutan
c. Tiroiditis
Tiroiditis adalah peradangan kelenjar tiroid. Penyebab pasti untuk penyakit ini belum
diketahui. Fakta yang ada menunjukkan bahwa penyakit ini lebih banyak menyerang wanita
daripada pria.
Radang tiroid dapat terrjadi akut, subakut atau menahun. Radang akut biasanya
disebabkan oleh infeksi S. aureus. Tiroiditis bakterial akut sangat jarang ditemukan. Tiroiditis
subakut yang juga jarang ditemukan umumnya terjadi pada infeksi virus di saluran nafas.
Tiroiditis menahun pada umumnya adalah penyakit autoimunyang disertai kenaikan kadar
antibodi terhadap hormon tiroid/produk tiroid di dalam darah.
Gejala paling awal adalah kelenjar tiroid yang terlalu aktif (hipertiroidisme). Gejala-
gejala ini dapat berlangsung selama 3 bulan, kadang ada yang kurang dari 3 bulan. Gejala
biasanya ringan, gejala tersebut antara lain kelelahan, sering buang air besar, nafsu makan
meningkat, banyak keringat, gangguan menstruasi, iritabilitas meningkat, kram, gugup
gelisah, berat badan menurun.
Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis kronik yang sering dijumpai adalah tiroiditis limfositik atau tiroiditid
Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto didapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh kelenjar tiroid
yang menyebabkan destruksi progresif folikel kelenjar. Dalam beberapa tahun terjadi atrofi
kelenjar dengan fibrosis. Berbagai macam antibodi antitiroid dapat ditemukan dalam kadar
tinggi di darah sebagai tanda reaksi autoimun.
Penyakit ini sering ditemukan dan sering dijumpai pada wanita. Biasanya mulai pada
usia dewasa dengan atau tanpa pembesaran kelenjar tiroid. Jika terdapat pembesaran kelenjar
tiroid, akan dirasakan sedikit nyeri, padat pada palpasi, dan nyeri pada penekanan. Pada
awalnya penderita eutiroidisme, kemudian berubah secara bertahap menjadi hipotiroidisme
yang memerlukan terapi substitusi dengan sediaan hormon tiroid. Struma Hashimoto sering
asimetrik. Diagnosis banding adalah karsinoma karena itu sering kali diperlukan tindakan
biopsi guna konfirmasi diagnosis. Pengobatannya trutama bersifat tindak bedah paliatif dan
simptomatik.
Tiroiditis de Quervain
Tiroiditis menurut de Quervain merupakan inflamasi akut yang mengenai seluruh
kelenjar tiroid, yang mungkin disbabkan oleh infiltrasi sel neurofil yang disusul oleh sel
limfosit dan histiosit, jenis radang ini jarang ditemukan.
Gambaran klinis berupa pembesaran tiroid sedang atau ringan yang sangat nyeri
disertai gejala dan tanda sistemik. Penyakit ini biasanya mereda setelah beberapa minggu,
tetapi sering kambuh kembali. Umumnya penderita eutiroidisme, tetapi pada tahap akut
mungkin terjadi hipertiroidisme. Pengobatan dengan sediaan salisilat untuk menghilangkan
nyeri. Pada stadium akut juga digunakan kortikosteroid untuk menekan inflamasi.
Tiroiditis Riedel
Tiroiditis Riedel merupakan jenis yang sangat jarang ditemukan, juga dianggap sebagai
reaksi autoimun. Kelenjar tiroid menjadi keras sehingga kelainan ini disebut juga “struma
kayu”. Kelenjar sering berbentuk asimetris sehingga sukar dibedakan dengan
adenokarsinoma anaplastik karena konsistensinya sangat padat. Diagnosis hanya dapat
ditentukan dengan biopsi insisi. Struma Riedel mungkin mengakibatkan kompresi trakea
sehingga kadang membutuhkan dekompresi dengan pembelahan istmus atau istmektomi.
III. Neoplasma
a. KarsinomaNasofaring
Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah berkembang dari sel
epithelium. Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx berdasarkan gambaran
histopatologisnya. Menurut WHO, dibagi:
WHO type 1,atau squamous karsinoma sel
WHO type 2,atau non-keratin carcinoma
WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah leher dari bidang
ilmu penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan
tempat predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga
sulit mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak
khas.Angka kematiannya cukup tinggi.Di Indonesia penyakit ini termasuk dalam sepuluh
besar keganasan dari seluruh tubuh.Banyak menyerang pada usia 40-60 tahun,
perbandingannya antara laki-laki dan perempuan 2,5:1.
Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada berbagai macam, antara lain genetik, virus
(Epstein Barr), paparan karsinogen, sosial ekonomi lingkungan, ras dan keturunan serta
radang kronis nasofaring
Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma nasopharynx. Titer
antibodi (imunoglobulin A) terhadap virus ini akan meningkat bagi setiap penderita
karsinoma nasopharynx.Maka ia di gunakan sebagai tumor maker.untuk menilai
keberkesanan terapi.Menurut pemerhatian bahawa 80% penderita nasopharynx carsinoma
menunjukkan adanya produk BCL2.Produk ini menyebabkan terjadinya penghalangan proses
apoptosis.Ini menyebabkan perkembangan kanser tersebut.Menurut pemerhatian,memakan
ikan asin dan bahan kimia tertentu dapat memicu terjadinya kanser nasopharynx karsinoma
tersebut.
Asal tumor adalah dari epitel sel squamosa pada daerah nasofaring dan tempat
predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak
khas. Adapun tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana perluasan tumor.
Apabila perluasannya ke arah atas, penderita akan merasakan diplopia. Apabila
perluasannya ke arah lateral, sebelumnya penderita merasakan adanya lendir dibelakang
hidung terus menerus yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh ditelinga, telinga berdenging
(tinitus), otalgia, adanya radang pada telinga tengah sampai dengan terjadinya robekan
gendang telinga tanpa sebab yang jelas, dan tidak sembuh dengan pengobatan serta terjadi
berulang-ulang. Hal ini karena adanya tumor pada daerah tenggorok bagian atas (nasofaring)
menutupi saluran yang menuju keliang telinga tengah (oklusi Tuba eustachi).
Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas kerongga hidung
bagian belakang (koana) dengan keluhan adanya hidung tersumbat ataupun mimisan
bercampur dengan ingus dalam jumlah yang bervariasi .Keluhan pada tenggorok merupakan
gangguan bicara,bernafas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah membesar karena
mendesak kerongga tenggorok.
Sementara keluhan penglihatan dobel, karena tumor sudah meluas kedasar tengkorak
sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-syaraf otot penggerak bola mata, dan mata
menjadi juling yakni nervus okulomotorius dan abdusen. Adanya gejala neurology pada
syaraf cranial seperti nyeri kepala dan nyeri disekitar wajah juga sering dijumpai pada
penderita kanker tenggorok akibat dari penekanan tumor pada syaraf disekitar kepala yakni
nervus trigeminus, glossofaringeus, vagus, assesorius .
Stadium lanjut, karsinomanya mengalami metastasis ke kelenjar getah bening
bermanifestasi sebagai benjolan yang teraba keras umumnya pada rantai kelenjar limfe
jugularis profunda superior.
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan anti virus.
Pemberian adjuvant kemoterapi cis – platinum, bleomycin, dan 5 –fluorouracil sedang
dikembangkan dengan hasil sementara cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan
penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis platinum, meskipun
ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kehidupan yang cukup baik.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radio sensitizer memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasopharing.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadapa benjolan dileher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologik.Operasi tumor sisa (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa
kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran.
Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak
kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan
yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya aar liur. Gangguan lain adalah mukositis
rongga mulut karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat
penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang kadang muntah dan rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada atau kambuh kembali. Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan
seperti ketulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan
medis yang dapat diberikan selain pengobatan simptomatis untuk meningkatan kualitas
hidup.
b. Karsinoma Tiroid
Etiologi pasti dari Karsinoma Tiroid ini belum dapat dipastikan, karena secara umum
penyebab dari kanker itu sendiri sampai sekarang belum diketahui pasti.Namun terdapat
beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan karsinoma tiroid, yang antara lain ialah
riwayat radiasi, genetik, nodul pada tiroid, struma pada wanita lebih dari 45 tahun dan anak
anak
Karsinoma tiroid jarang ditemukan, yaitu sekitar 3 – 5% dari semua tumor malignant.
Insidennya lebih tinggi dinegara dengan struma endemik, terutama jenis tidak
berdeferensiasi. Karsinoma tiroid didapat pada segala usia dengan puncak pada usia muda
dan usia40-60 tahun
Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada
paparan dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka sel
normal tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui beberapa
tahap, yakni Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum
menimbulkan ekspresi gen, sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari gen
gen meningkat Namun belum menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada proses
promosi dimana pada tahap ini terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat serupa
dengan bahan pada saat tahap inisisai Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini terjadi
ekspresi gen dimana sel sel telah menjadi sel abnormal Namun pada tahap ini sel sel tersebut
bersifat reversible dengan kata lain apabila pada tahap ini kita dapat mengobati dengan
komplit maka sel tersebut dapat kembali menjadi sel normal kembali Namun apabila tidak
komplit maka dapat menjadi sel kanker, dan selanjutnya pada tahap progresi maka terjadi
perubahan serta perbanyakan sel secara cepat dan tidak terkendali lagi.
Dan perubahan dari sel normal menjadi sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa
disini terjadi perubahan dari protoonkogen menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari
supresor sehingga tidak ada lagi penghambat bagi sel tersebut untuk terus memperbanyak
diri, maka jadilah sel normal tersebut menjadi sel ganas.
c. Karsinoma Laring
Karsinoma laring merupakan keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau
daerah lainnya di tenggorokan.
Karsinoma laring jarang ditemukan pada wanita, rasio antara laki-laki dan wanita oleh
beberapa peneliti disebutkan sebesar 10-15 : 1. Data terakhir rasio ini memperlihatkan
kecenderungan peningkatan jumlah kasus penderita wanita. Usia penderita umumnya telah
menginjak usia tua antara 45-75 tahun.
Penelitian epidemiologik tumor ganas laring memperlihatkan beberapa faktor yang
diduga berhubungan langsung atau tidak langsung dengan timbulnya keganasan, tersebut.
Banyak bahan tertentu yang terdapat di lingkungan kita yang mempunyai sifat karsinogen
atau pencetus aktivitas karsinogen.
Rokok sering diasumsikan mempunyai peranan penting dalam timbulnya karsinoma
laring, meskipun masih perlu dipertimbangkan faktor lain yang dapat bekerja sama dalam
proses timbulnya tumor ganas.
Etiologi karsinoma laring sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi para
ahli menghubungkannya dengan bahan asing yang mengakibatkan iritasi kronis pada laring,
sehingga dengan kemajuan industri dan perubahan kebiasaan mungkin insidensinya akan
meningkat.Bahan karsinogen tersebut antara lain, asbes, etanol, gas mustard, nikel, polisiklik
hidrokarbon, tembakau, nitrosamin, vinyl, benzene dan lain lain
Gejala awal yang memaksa penderita datang berobat umumnya karena perubahan
suara serak. Dokter yang memeriksa pertama kali biasanya menghubungkannya dengan
penyakit infeksi tuberkulosa laring. Suara serak menunjukkan adanya gangguan mekanisme
getar pita suara karena adanya penambahan masa laring, kerusakan atau kelumpuhan. Hal ini
dapat terjadi' pada semua tingkat usia. Suara serak, akibat penambahan massa dapat terjadi
pada. radang atau trauma yang menyebabkan edema laring. Penambahan massa oleh tumor
disebabkan oleh perubahan struktur histologis secara bertahap. Oleh karena itu akan mudah
dibedakan kelainan suara serak secara akut dan disebabkan karena trauma, radang akut atau
benda asing, sedangkan kelainan yang berlangsung kronis mungkin disebabkan radang kronis
atau tumor. Pada tumor laring suara serak dimulai dengan gejala hilang timbul yang berjalan
progresif dan akhirnya menetap. Biasanya gejala dini berupa suara serak pada pagi hari tanpa
disertai gejala batuk. Bilamana disertai batuk umumnya berupa batuk kering non produktif.
Karsinoma laring berdasarkan lokasi anatomis dibedakan atas karsinoma laring
supraglotis, glotis dan subglotis. Karsinoma laring glotis dan subglotis akan menimbulkan
gejala suara serak, sedangkan karsinoma laring supraglotis pada keadaan awal tidak
memberikan gangguan suara penderita.
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan,
radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.
d. Limfoma Maligna
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya Epstein-Barr virus yang ditemukan pada
limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma pada kelompok penderita
AIDS pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit
ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan
limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran
ke sumsum tulang dan jaringan lain.
Limfoma dibedakan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang
terlibat. Penggolongan tersebut terdiri dari Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin. Walaupun
tanda dan gejala limfoma saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma
saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma tetap berlainan. Dengan
demikian adalah suatu keharusan untuk menegakkan diagnosis secara tepat. Untuk tujuan ini,
diambil sebuah kelenjar limfe atau lebih untuk diperiksa secara mikroskopis. Limfoma
dibedakan menurut jenis sel yang mencolok yang terdapat pada kelenjar limfe. Umumnya,
prognosis yang lebih baik dihubungkan dengan distribusi nodular dimana terdapat limfosit
yang menonjol. Untuk mengenali asal neoplastik baik sebagai limfosit B ataupun sebagai
limfosit T, dilakukan pemeriksaan imunologis dan sitokimiawi.
Salah satu determinan utama dari pengobatan maupun prognosis adalah stadium
klinik penderita waktu diagnosis itu dibuat. Setelah diagnosis jaringan ditegakkan, harus
dilakukan penggolongan meurut stadiumnya. Ini biasanya berupa :
1. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada system limfatik (kelenjar limfe, hati
dan limpa)
2. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan diferensiasi dan hitung trombosit
3. Pemeriksaan kimiawi darah (fungsi ginjal dan hati; asam urat)
4. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hillus (pembesaran
kelenjar limfe bronkial)
5. CT Scan dada, abdomen dan pelvis
6. Limfangiogram bipedal untuk memeriksa adanya keterlibatan kelenjar retroperitoneal
dan iliaka.
7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang
Biopsi sumsum tulang bilateral merupakan indikasi bagi penderita yang disertai gejala
sistemik atau pada stadium III. Pada keadaan dimana sumsum tulang tidak terlibat, biasanya
dilakukan laparatomi dengan splenektomi dan biopsi hati untuk mendapatkan diagnosis
akurat pada penderita penyakit Hodgkin. Tindakan ini tidak rutin dilakukan pada penderita
limfoma non-hodgkin.
Limfoma Non-Hodgkin
Limfoma non hodgkin merupakan salah satu jenis limfoma maligna atau keganasan
sel limfoid. Keganasan ini dapat berasal dari sel limfosit B, Limfosit T atau berasal dari sel
Natural Killer. Limfoma Non Hodgkin yang berasal dari Limfosit B adalah yang paling
sering (85 %) sedangkan yang berasal dari Limfosit T dan NK berjumlah 15 %. Kemajuan
ilmu pengetahuan dalam bidang imunologi dan fisiologi limfosit, seperti membedakan
limfosit dalam jenis sel B atau sel T memberikan klasifikasi yang lebih pasti dari limfoma
non Hodgkin. Secara garis besar berdasarkan gradenya Limfoma Non Hodgkin dibedakan
atas low-grade, intermediate–grade dan high-grade.
Median umur penderita limfoma non hodgkin adalah usia > 50 tahun kecuali untuk
jenis Limfoma Non Hodgkin yang high-grade utamanya terjadi pada anak-anak dan usia
dewasa muda. Low-grade limfoma insidensnya dalam masyarakat sekitar 37 % dengan usia
diantara 35-64 tahun
Berdasarkan gradenya manifestasi klinik yang timbul pada penderita Limfoma ini
antara lain sebagai berikut :
Low-grade lymphomas
o Limfadenopati difus tanpa rasa sakit dan dapat menyerang satu atau seluruh
kelenjar limfe perifer
o Regresi spontan kelenjar limfe yang membesar
o Gejala konstitusional berupa demam (>38°C), penurunan berat badan,
berkeringat pada malam hari
o Apabila menginfiltrasi atau menginvasi sumsum tulang belakang akan
menyebabkan cytopenia.
o Lemah dan lesu
Intermediate-grade lymphomas & High-grade lymphomas
o Adenopathy
o Gejala konstitusional
o Lymphoblastic lymphoma, high-grade lymphoma, menunjukkan adanya
massa mediastinum anterior dan posterior
o Pasien dengan limfoma burkitt menunjukkan adanya massa abdomen yang
besar dan adanya gejala obstruksi dari saluran pencernaan
o Hidronefrosis obstruksi terjadi pada penderita limfoma burkitt akibat
obstruksi dari ureter
o Gejala-gejala lain pada saluran pencernaan, kulit, tulang, traktus urinarius,
tiroid dan susunan saraf.
Limfoma Hodgkin
Limfoma hodgkin adalah suatu penyakit keganasan yang melibatkan kelenjar getah
bening yang ditandai dengan adanya sel Reed Stenberg.
Penyebabnya belum diketahui, tetapi bukti menunjukkan adanya hubungan dengan
virus seperti virus Ebstein Barr. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan DNA virus
ebstein barr pada sel Reed Stenberg. Penyakit Hodgkin bia muncul pada berbagai usia, jarang
ditemukan pada usia dibawah 10 tahun, ditemukan pada usia 20-40 tahun, dan diatas 60
tahun.
Penyakit Hodgkin biasanya ditemukan jika seseorang mengalami pembesaran kelenjar
getah bening yang tidak nyeri, paling sering di leher,tapi kadang-kadang penyebarannya
sistemik. Walaupun biasanya tidak nyeri, pembesaran tersebut bisa menimbulkan nyeri dalam
beberapa jam setelah penderita meminum alkohol dalam jumlah yang banyak.
Gejala lainnya adalah symtom B yaitu demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.
Beberapa penderita mengalami demam Pel- Ebstein dimana suhu tubuh meninggi selama
beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari
atau beberapa minggu.
Stadium Limfoma Hodgkin
Stadium Penyebaran Penyakit
I Mengenai kelenjar getah bening pada satu bagian tubuh
II Mengenai dua atau lebih kelenjar getah bening pada sisi yang sama
III Mengenai kelenjar getah bening diatas dan dibawah diafragma
IV Mengenai kelenjar getah bening di bagian tubuh lainnya misalnya sum
sum tulang, paru paru, hati
Keempat stadium dikelompokkan lagi menjadi A (tidak adanya) atau B (adanya) salah
satu atau lebih dari gejala berikut :
1. Demam dengan suhu 37,8 C
2. Keringat malam
3. Penurunan berat badan
Pada penyakit hodgkin kelenjar getah bening membesar dan tidak menimbulkan
nyeri, tanpa adanya infeksi, jika pembesaran ini berlangsung lebih ari 1 minggu maka dapat
dicurigai penyakit Hodgkin, terutama jika demam, berkeringat malam dan disertai penurunan
berat badan.
Untuk mengetahui secara pasti penyakit Hodgkin dilakukan biopsi kelenjar getah
bening yang hasilnya positif jika ditemukan sel Reed Stenberg.
IV. Penyebab Lain
a. Struma
Struma atau Goiter atau gondok adalah suatu keadaan pembesaran kelenjar tiroid
apapun sebabnya. Pembesaran dapat bersifat difus yang berarti bahwa seluruh kelenjar tiroid
membesar, atau nodusa yang berarti bahwa terdapat nodul dalam kelenjar tiroid. Pembesaran
nodusa dapat dibagi lagi menjadi uninodusa, bila hanya terdapat satu nodul dan multinodular
bila terdaapt lebih dari satu nodul pada satu obus atau dua lobus.
1.) Penyakit Graves
Penyakit Graves disebut juga penyakit Basedow jika dijumpai trias Basedow yaitu
adanya struma tiroid difus, hipertiroidisme dan eksoftalmus yang merupakan
hipertiroidisme yang sering dijumpai. Penyakit ini sering ditemui pada orang muda.
Secara klinis sering dijumpai adanya pembesaran kelenjar tiroid.
Walaupun etiloginya belum diketahui dengan pasti, tampaknya ada peranan suatu
antibodi yang dapat ditangkap oleh reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap
peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi
yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.
Goiter dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
- Kekurangan yodium akibat autoregulasi kelenjar tiroid
- Stimulasi oleh TSH karena rendahnya kadar hormon tiroksin dalam darah
- Masuknya bahan goitrogenik yang terkandung dalam makanan, air, obat dan rokok
yang mengganggu masuknya yodium ke dalam sel folikuler kelenjar tiroid
- Adanya kelenjar kongenital yang emnimbulkan gangguan sistem hormon tiroid
- Terjadi kelebihan yodium, sehingga proses iodinasi dalam kelenjar tiroid menjadi
terhambat
Gejala dan tanda dari penyakit ini merupakan manifestasi peningkatan metabolisme di
semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas. Peningkatan
metabolisme menyebabkan meningkatnya kebutuhan kalori sehingga berat badan menurun
drastis bila asupan kalori tidak tercukupi.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovascular terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain meningkatnya curah jantung sampai dua-tiga kali
normal, yang juga terjadi pada keadaaan istirahat. Irama nadi naik dan denyut nadi
bertambah sehingga menjadi pulsus seler, penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi.
Beban miokard dan rangsangan saraf autono dapat mengacaukan irama jantung, berupa
ekstrasistol, fibrilasi atrium dan fibrilasi ventrikel.
Terjadi peningkatan sekresi maupun peristaltis saluran cerna sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, susah tidur, dan
sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan,
kekacauan pikiran dan ketakutan tidak beralasan.
Pada saluran nafas, hipermetabolisme menimbulkan dispneu dan takipnea yang tidak
terlalu mengganggu. Kelemahan otot, terutama otot bagian proksimal, biasanya cukup
mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit
yang dipacu oleh hipertiroidisme. Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder
atau metroragia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor terhadap jaringan ikat dan otot ekstrabulbi di dalam rongga mata. Jaringan ikat
dengan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong keluar dan otot
mata terjepit. Akibatnya, terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya bola mata
akibat keratitis. Gangguan faal bola mata menyebabkan strabismus.
Terapi penyakit Graves ditujukan dalam pengendalian keadaan
tirotoksikosis/hipertiroidisme dengan anti tiroid, seperti propiltiourasil (PTU) atau
karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio
dengan yodium radioaktif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid pada keadaan
hipertiroidisme dilakukan terutama jika terapi medikamentosa gagal dan ukuran tiroid besar.
Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembhan yang permanen meskipun kadang
dijumpai adanya hipotiroidisme dan kompliksai yang minimal.
2.) Struma Nodosa
Struma nodosa merupakan pembesaran kelenjar tiroid dimana terdapat nodul di
dalamnya. Struma nodosa ini biasanya merupakan struma endemik atau struma adenomatosa
yang terutama ditemukan di daerah pegunungan yang airnya kurang mengandung yodium. Di
luar daerah endemik, struma nodosa dijumpai pada keluarga tertentu. Etioogi umumnya
multifaktor. Biasanya tiroid membesar pada usia muda. Awalnya difus, dan berkembang
menjadi multinodular.
Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita usia lanjut, dan perubahan yang
terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang hiperplasia dan bagian yang
berinvolusi. Pada awalnya, sebagian struma multinododsa dapat dihambat pertumbuhannya
dengan pemberian hormon tiroksin.
Biasanya, penderita struma nodosa tidak mempunyai keluhan karena tidak mengalami
hipotiroid atau hipertiroidisme. Nodul dapat tunggal, tetapi kebanyakan berkembang/berubah
menjadi multinoduler tanpa perubahan fungsi. Degeneraasi jaringan menyebabkan
terbentuknya kista atau adenoma. Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat
membesar tanpa memberikan gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan
terutama atas alasan kosmetik. Sebagian besar penderita struma nodosa dapat hidup dengan
struma tanpa keluhan.
Walaupun sebagian besar struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
pertumbuhannya ke arah lateral atau anterior, sebagian lain dapat menekan trakea jika
pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral dapat terlihat melalui foto rontgen polos
leher sabagai “trakea pedang”. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan
trakea ke arah kontralateral tanpa menimbulkan gangguan akibat obstruksi pernafasan.
Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan pernafasan dengan gejala stridor
inspiratoar.
Secara umum, struma adenomatosa benigna, walaupun besar, tidak menyebabkan
gangguan neurologik, muskuloskeletak, vaskular, atau respirasi, atau menyebabkan gangguan
menelan akibat tekanan atau dorongan.
Keluhan yang sering timbul ialah rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak
naik turun waktu menelan, dan alasan kosmetik. Jarang terjadi hipertiroidisme pada struma
adenomatosa. Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna. Berbagai tanda
keganasan yang dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk, pertumbuhan (lebih cepat), dan
tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan sekitar, serta fiksasi dengan jaringan sekitar. Dapat
terjadi penekanan atau infiltrasi ke nervus rekurens (perubahan suara), trakea (dispnea), atau
esofagus(disfagia). Adanya nodul tunggal harus tetap mendapat perhatian karena dapat
merupakan nodul koloid, kistik, adenoma tiroid, dan atau suatu karsinoma tiroid. Nodul
maligna sering ditemukan terutama pada pria usia muda dan usia lanjut.
Struma dapat meluas sampai ke mediatinum anterior superior, terutama pada bentuk
nodulus yang disebut struma retrosternum. Umumnya struma retrosternum ini tidak turun
naik pada gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit. Sering kali, struma ini
berlangsung lama dan bersifat asimtomatik, sampai terjadi penekanan pada organ atau
struktur sekitar. Penekanan ini akan memberikan gejala dan tanda penekanan trakea atau
esofagus. Diagnosis ditentukan dengan foto roentgen toraks atau pemeriksaan yodium
radioaktif.
Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi oleh
pengobatan supresi hormon tiroid atau pemberian hormon tiroid. Penanganan struma lama
adalah dengan tiroidektomi subtotal atas indikasi yang tepat.
Pembedahan struma retrosternum dapat dilakukan melalui insisi di leher dan tidak
mmerlukan torakotomi karena perdarahan berpangkal pada pembuuh darah leher. Jika
letaknya di dorsal arteri subklavia, pembedahan dilakukan dengan cara torakotomi.
Indikasi tindakan pembedahan struma nodosa non-toksik, sebagai berikut :
- Kosmetik (tiroidektomi subtotal)
- Eksisi nodulus tunggal (yang mungkin ganas)
- Struma multinodular yang berat
- Struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain
- Struma retrosternum yang menyebabkan kompresi trakea atau struktur lain
DAFTAR PUSTAKA
1. Faiz O, Moffat D, editors. At a Glance Anatomi. Germany: Berlyn, 2002. Hal 122-57
2. Soepard E.A, Nurbaiti Iskandar, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 6. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2007. Hal 94-110.
3. George L. Adams, Lawrence R. Boeis. Buku ajar penyakit THT Boies. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Ed. 6 2000; (VI): 3-39, hal 119-139.
4. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. Summit, NJ : CIBA-GEIGY Corp; 1989
5. Ballenger, John Jacob. Disease of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Fabiger 14th edition. Philadelphia 1991.
6. Pincus RL. Congenital Neck Masses and Cysts. In: Head & Neck Surgery –
Otolaryngology, 3rd ed., Bailey BJ (Ed), Lippincott Williams & Wilkins, New York
2001. p.933.