bahan tutorial geraitri 1

Upload: antogantengbangetz

Post on 06-Jul-2015

321 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

A. Fisiologi dan Biologi Penuaan Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 1999). Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia secara perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini dapat mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia. Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Menurut WHO, ada empat tahap, yakni: a. Usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun b. Lanjut usia (elderly) 60-74 tahun c. Lanjut usia tua (old) 75-90 tahun d. Usia sangat tua (very ole) di atas 90 tahun Hingga sekarang belum ada mekanisme pasti dari penuaan. Banyak teori penuaan yang dikembangkan di masyarakat, antara lain yaitu: a. Teori Genetik Teori Genetik Clock. Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Setiap spesies di dalam nukleusnya memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri dan mempunyai batas usia yang berbedabeda. Teori Mutasi Somatik. Menurut teori ini, penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini terjadi terus-menerus sehingga akhirnya terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel menjadi kanker atau penyakit. b. Teori Non Genetik Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory). Mutasi berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi yang merusak membran sel, akan menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal ini yang mendasari peningkatan penyakit auto imun pada lansia. Teori kerusakan akibat radikal bebas. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat beregenerasi. Teori menua akibat metabolisme. Pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur. Teori rantai silang. Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) berekasi terhadap zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perbahan pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua. Teori fisiologis. Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stress, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory). Di sini terjadi kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel tubuh lelah terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan normal). Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada penuaan terjadi kemuduran struktur dan fungsi organ. Oleh karena itu, pada lansia terdapat beberapa perubahan fisik seperti: Sistem Saraf Sistem Endokrin a. Berat otak menurun 10-20%. a. Produksi semua hormon menurun. b. Cepatnya menurun hubungan persarafan. b. Menurunnya aktivitas tyroid dan BMR c. Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, c. Menurunnya produksi aldosteron.

1

d. e. a.

b. c.

a.

b. c. d. e. f.

khususnya dengan stres. Mengecilnya saraf panca indra. Kurang sensitif terhadap sentuhan. Sistem Pendengaran Presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi. Otosklerosis akibat atrofi membran tympani . Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin. Sistem Penglihatan Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar; lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap Kornea lebih berbentuk sferis (bola). Kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak. . Hilangnya daya akomodasi. Menurunnya lapangan pandang Menurunnya daya membedakan warna

d. Menurunya sekresi hormon kelamin misalnya, progesteron, estrogen, dan testosteron. Sistem Gastrointestinal a. Kehilangan gigi b. Kemampuan indera pengecap menurun c. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun. d. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. e. Daya absorbsi melemah. Sistem Kardiorepirasi Kemampuan jantung memompa darah menurun Kehilangan elastisitas pembuluh darah Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku. Paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun. Sistem Perkemihan Nefron menjadi atrofi dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%. Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.

a. b. c. d. e.

a. b. c. d. e.

Sistem Muskuloskeletal Tulang kehilangan density dan makin rapuh. a. Pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas. Persendiaan membesar dan menjadi kaku. b. Tendon mengerut dan mengalami skelerosis. Atrofi serabut otot tapi otot-otot polos tidak begitu berpengaruh.

B. Hipertensi pada Usia Lanjut Usia lanjut merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya. Pada orang lanjut usia, jenis hipertensi yang sering terjadi adalah hipertensi sistolik. Hal itu karena tekanan darah sistolik (TDS) meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Berbeda dengan peningkatan tekanan darah diastolik (TDD) yang seiring peningkatan TDS hanya sampai usia 55 tahun dan kemudian menurun karena proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Sekitar usia 60 tahun, dua pertiga pasien hipertensi menderita hipertensi sistolik terisolasi (HTS) sedangkan di atas 75 tahun tiga perempat pasien mempunyai hipertensi sistolik. HTS didefinisikan sebagai TDS 140 mmHg dengan TDD 90 mmHg, diakibatkan oleh kehilangan elastisitas arteri keran proses menua. Kekakuan aorta akan meningkatkan TDS dan pengurangan volume aorta, yang pada akhirnya akan menurunkan TDD. Semakin besar perbedaan TDS dan TDD semakin besar risiko komplikasi kardiovaskular. Tekanan nadi yang meningkat pada usia lanjut dengan HTS berkaitan dengan besarnya kerusakan pada organ target seperti jantung, otak, dan ginjal. Pada usia lanjut, hasil pengobatan tidak hanya diukur oleh keberhasilan penurunan tekanan darah pada morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, tetapi juga oleh berbagai hal seperti efek terhadap diabetes, pencegahan demensia atau penurunan kognitif, dan pengaruhnya terhadap indeks massa tubuh (IMT atau obesitas). Pasien DM mempunyai risiko kardiovaskular yang lebih besar dibandingkan tanpa DM. Sedangkan untuk masalah indeks massa tubuh, diketahui bahwa pasien hipertensi yang gemuk mempunyai prognosis baik dibandingkan yang kurus. Penurunan kognitif atau demensia adalah bentuk

2

komplikasi dari hipertensi kronik pada usia lanjut tetapi pengobatan dengan antihipertensi terbukti dapat mengurangi perburukan. Penatalaksanaan hipertensi pada umumnya sama pada setiap tingkatan usia kecuali adanya perbedaan seperti dibicarakan di atas. Direkomendasikan agar tekanan darah dapat mencapai kuang dari 140/ 90 mmHg. Sedangkan untuk pasien dengan DM sasaran tekanan darah adalah kurang 130/ 85 mmHg. Diuretika dianjurkan untuk pengobatan hipertensi sistolik terisolasi. Sedangkan untuk pengobatan hipertensi dengan nefropati diabetes atau non-diabetes, pengobatan dengan ACE inhibitor atau Angiotensin Reseptor Blocker harus dipergunakan sebagai pilihan utama. Yang perlu diperhatikan adalah pada pasien hipertensi dengan DM, pemberian antihipertensi biasanya dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Disebut hipotensi ortostatik jika ditemukan perbedaan TD pada posisi berbaring dengan posisi berdiri > 20 mmHg sistolik atau > 10 mmHg diastolik. Hipotensi ortostatik umum menimbulkan komplikasi seperti jatuh atau fraktur sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. C. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit kronis metabolik yang berhubungan dengan gangguan hormonal, yaitu akibat terganggunya sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Ditandai dengan kondisi hiperglikemia serta berbagai komplikasi seperti kerusakan saraf, ginjal, mata dan pembuluh darah. Secara klinis DM dapat digolongkan ke dalam 2 tipe yaitu DM Tergantung Insulin (DM tipe 1) dan DM Tidak Tergantung Insulin (DM tipe 2). DM tipe 1 disebabkan oleh destruksi sel pulau Langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan DM tipe 2 disebabkan kegagalan relatif insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Resistensi insulin sendiri sering dikaitkan dengan obesitas. Hal itu karena pada obesitas terjadi mekanisme down regulation untuk menurunkan jumlah reseptor insulin pada sel. Akibatnya sel menjadi kurang sensitif trerhadap insulin. Tujuan mekanisme tersebut adalah mencegah hiperinsulinemia kronis (Sherwood, 2001) Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Gejala tersebut merupakan manifestasi dari gangguan metabolisme insulin di dalam tubuh. Glukosa yang seharusnya dapat diambil dan diproses di dalam jaringan perifer tetap berada di dalam darah sehingga jaringan tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Akibatnya, penderita DM akan terus merasa lapar. Kadar glukosa yang tinggi di dalam darah menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam urin sehingga terjadi peningkatan produksi urin. Penderita akan mengalami poliuri dan polidipsi. Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) Kadar glukosa darah sewaktu Plasma vena Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa Plasma vena Darah kapiler Bukan DM < 110 < 90 < 110 < 90 Belum pasti DM 110 199 90 199 110 125 90 109 DM > 200 > 200 > 126 > 110

Keluhan dan gejala khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. bila hasil pemeriksaan

3

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

meragukan, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Cara pemeriksaan TTGO adalah: Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa, Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan, Pasien puasa 10 12 jam mulai malam sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan, Periksa kadar glukosa darah puasa, Berikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 Periksa kadar glukosa darah 2 jam setelah pembebanan, Selama pemeriksaan, pasien tetap istirahat dan tidak merokok. D. Osteoartritis (OA) Osteoarthritis adalah penyakit sendi degeneratif yang berkembang lambat, progresif dan menyebabkan kerusakan cartilago sendi (Isbagio, 2000). Karakteristik penyakit ini antara lain menipisnya rawan sendi secara progresif disertai dengan pembentukan tulang baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya rawan sendi dan tulang baru pada tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik, proses OA ditandai dengan menipisnya rawan sendi disertai pertumbuhan dan remodelling tulang di sekitarnya (bony overgrowth) diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang di sekitarnya. Beberapa faktor risiko OA adalah: 1. Umur : jarang pada usia < 40 tahun dan tersering usia > 60 tahun 2. Jenis kelamin : wanita (khususnya mengenai banyak sendi dan sendi lutut), laki-laki (biasanya sendi pinggul, pergelangan tangan, leher) dan setelah menopause lebih sering pada wanita dibanding laki-laki 3. Suku bangsa : orang Kaukasoid lebih sering tekena daripada orang Asia dan kulit hitam; orang Indian lebih sering dari orang kulit putih (Soeroso et al, 2007) Klasifikasi osteoarthritis menurut etiologinya : 1. Osteoarthritis primer : kausanya tidak diketahui (idiopatik) 2. Osteoarthritis sekunder : pekerjaan dan olahraga (tekanan berlebih), obesitas (beban tubuh berlebih), usia lanjut (proses penuaan), gangguan endokrin (menopause), cedera sendi (inflamasi), genetik, kelainan pertumbuhan (Isbagio, 2007). Manifestasi klinis osteoartritis antara lain nyeri sendi, hambatan gerak (keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat gesekan kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi, kaku pagi, tanda-tanda radang (kalor, dolor, tumor, oedema, fungsiolaesa), deformitas sendi, perubahan gaya berjalan (Cicaherlina, 2006). Diagnosis OA dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Beberapa pemeriksaan dalam penegakkan diagnosis OA antara lain (Amalia, 2008) : 1. Fisik : terdapat gambaran gejala klinis seperti yang disebut di atas 2. Radiologis : terdapat gambaran penyempitan celah sendi asimetris, peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada tepi sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi. 3. Laboratorium darah : pemeriksaan darah tepi dan imunologis (ANA, faktor rematoid dan komplemen) dalam keadaan normal. Namun jika terjadi peradangan akan terlihat penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan sel radang dan protein. Gejala klinis : nyeri sendi, hambatan gerak (keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat gesekan kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi, kaku pagi, tanda-tanda radang (kalor, dolor, tumor, oedema, functio laesa), deformitas sendi, perubahan gaya berjalan (Cicaherlina, 2006) Pemeriksaan (Amalia, 2008) :

4

4. fisik : terdapat gambaran gejala klinis seperti yang disebut di atas 5. radiologis : terdapat gambaran penyempitan celah sendi asimetris, peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada tepi sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi. 6. Laboratorium darah : pemeriksaan darah tepi dan imunologis (ANA, faktor rematoid dan komplemen) dalam keadaan normal. Namun jika terjadi peradangan akan terlihat penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan sel radang dan protein. Patogenesis (Soeroso, et al, 2007) Jejas mekanik pada sinovial sendi

Merangsang terbentuknya molekul abnormal

Degenerasi kartilago sendi + inflamasi

Kompensatorik

aktivitas fibrinogenik aktivitas fibrinolitik

regenerasi cartilago

remodelling tulang

Trombus + kompleks lipid menyumbat pembuluh darah

sintesis kolagen, proteoglikan, menekan enzim streptomisin, proliferasi sel

pembentukan osteofit di tepi sendi

Iskemik dan nekrosis jaringan

menyebabkan penekanan periosteum dan radiks saraf

Merangsang mediator kimiawi prostaglandin dan interleukin nyeri

Nyeri

merangsang monosit menjadi osteoklast dan meresorpsi matriks cartilago

Gangguan homeostasis sendi

5

perlunakan, perpecahan, dan pengelupasan lapisan tulang rawan sendi (osteoarthritis) Penatalaksanaan OA antara lain: 1. Terapi Farmakologis a. Acetaminophen. Merupakan obat pertama yang di rekomendasikan oleh dokter karena relatif aman dan efektif untuk mengurangi rasa sakit. b. NSAIDs. Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Mempunyai efek samping, yaitu menyebabkan sakit perut dan gangguan fungsi ginjal. c. Topical pain. Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan langsung pada kulit yang terasa sakit. d. Tramadol (Ultram). Tidak mempuyai efek samping seperti yang ada pada acetaminophen dan NSAIDs. e. Milk narcotic painkillers. Mengandung analgesic seperti codein atau hydrocodone yang efektif mengurangi rasa sakit pada penderita osteoarthritis. f. Corticosteroids. Efektif mengurangi rasa sakit. g. Glucosamine dan chondroitin sulfate. Mengurangi pengobatan untuk pasien osteoarthritis pada lutut. 2. Terapi Non-farmakologis Ada beberapa cara dalam penanganan osteoarthritis non farmakologi, diantaranya : a. Olahraga : mengurangi rasa sakit dan dapat membantu mengontrol barat badan.Olahraga untuk osteoarthritis misalnya berenang dan jogging. b. Menjaga sendi : menggunakan sendi dengan hati-hati dapat menghindari kelebihan stres pada sendi. c. Panas/dingin : panas didapat, misalnya dengan mandi air panas. Panas dapat mengurangi rasa sakit pada sendi dan melancarkan peredaran darah. Dingin dapat mngurangi pembengkakan pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Dapat didapat dengan mengompres daerah yang sakit dengan air dingin. d. Viscosupplementation : Merupakan perawatan dari Canada untuk orang yang terkena osteoarthritis pada lutut, berbentuk gel. e. Pembedahan : Apabila sendi sudah benar-benar rusak dan rasa sakit sudah terlalu kuat, akan dilakukan pembedahan. Dengan pembedahan, dapat memperbaiki bagian dari tulang. f. Akupuntur : Dapat mengurangi rasa sakit dan merangsang fungsi sendi.Pijat. Pemijatan sebaiknya dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya. g. Vitamin D, C, E, dan beta karotin. Untuk mengurangi laju perkembangan osteoarthritis. E. Osteoporosis (OP) Osteoporosis didefinisikan sebagai pengurangan densitas tulang dan pemburukan mikroarsitekstur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan gampang patah. Densitas tulang mencapai maksimal di usia 3034 tahun. Faktor risiko untuk osteoporosis adalah usia, lama menopause, dan kadar estrogen yang rendah. Faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi dan olah raga atau latihan. Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan compromised bone strength sehingga gampang terjadi patah tulang karena tulang menjadi rapuh.Osteoporosis juga bias didefinisikan sebagi pengurangan densitas tulang dan pemburukan mikroarsitekstur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan gampang patah.Densitas tulang mencapai maksimal di usia 30-34 tahun.Faktor risiko untuk osteoporosis adalah usia,lama menopause,dan kadar estrogen yang rendah.Faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi,obesitas,dan olah raga atau latihan.

6

Faktor risiko osteoporosis: 1. USIA Tiap peningkatan 1 dekade,risiko meningkat 1,4-1,8 2. GENETIK Etnis kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia Perempuan>Laki-laki Riwayat keluarga 3. Lingkungan Defisiensi kalsium Aktivitas fisik kurang Obat-obatan (kortikosteroid,anti konvulsan.heparin,heparin,siklosporin) Merokok,alcohol Risiko terjatuh yang meningkat 4. Hormonal dan penyakit kronik Defisiensi estrogen,androgen Tirotoksikosis,hiperparatiroidisme primer,hiperkortisolisme Penyakit kronis (sirosis hepatic,gagal jantung,gastrektomi) 5. Sifat fisik tulang Densitas (massa) Ukuran dan geometri Mikroarsitekstur Komposisi Osteoporosis dibagi menjadi tipe primer dan tipe sekunder.Tipe primer karena sebab yang tidak diketahui dan tipe sekunder karena sebab yang sudah diketahui.tipe primer dibagi menjadi tipe I dan tipe II.Tipe I berhubungan dengan hormone estrogen dan disebut juga tipe pasca menopause sedangkan tipe II berhubungan dengan absorbsi kalsium yang terganggu di pencernaan disebut juga tipe senilis.Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa tipe I maupun tipe II terkait dengan estrogen karena pemberian calcium ke tipe II tidak memberikan efek berarti. PATOGENESIS OSTEOPOROSIS TIPE 1 Setelah menopause resorbsi tulang akan meningkat terutama pada decade awal menopause,risiko patah tulang meningkat,dapat dicegah dengan estrogen.Hormon ini mempunyai peranan untuk menurunkan produksi berbagai sitokin seperti IL-1,IL-6,TNF alfa ,dan M-CSF melalui Bone marrow stromal cell dan sel mononuclear.Jika kadar estrogen turun produksi sitokin ini meningkat dan aktivitas osteoklas meningkat.Menopause juga menurunkan absorbsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.Menopause juga menurunkan sintesis protein pembawa 1,25 dihiroksi vitamin D sedangkan pemberian estrogen akan meningkatkan kadar 1,25 dihidroksi vitamin D di dalam plasma darah karena terjadi gangguan keseimbangan kalsium karena menopause,maka kadar parathormon meningkat dan memperparah osteoporosis.Sering didapatkan bahwa kadar kalsium plasma meningkat karena volum plasma berkurang,albumin meningka,dan bikarbonat meningkat (terjadi penurunan rangsang respirasiasidosis respiratorik relative) PATOGENESIS OSTEOPOROSIS TIPE 2 Pada decade ke 8 dan ke 9 terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang di mana resorpsi tulang meningkat sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun.Hal ini menyebabkan tulang menjadi rapuh dan gampang terjadi fraktura.Osteokalsin ditemukan meningkat pada orang tua dan adalah tanda peningkatan turn over tulang.Aktivitas osteoblas juga menurun karena penurunan estrogen dan IGF-1.Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering terjadi karena anoreksia,penyerapan terganggu dan kurangnya paparan sinar matahari.Karena defisiensi kalsium maka akan terjadi

7

hiperparatiroidisme dan akhirnya memperparah kejadian osteoporosis.Risiko terjatuh lebih tinggi pada orang tua karena penurunan kekuatan otot,gangguan keseimbangan dan stabilitas postural,gangguan penglihatan,lantai yang licin dan sebagainya. Osteoporosis secara toeritis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas atau meningkatkan kerja osteoblas.Obat yang beredar kebanyakan adalah anti resorptif,yang termasuk dalam obat anti resorptif adalah estrogen,anti estrogen,bifosfonat,dan kalsitonin,yang termasuk stimulator tulang adalah natrium flourida,PTH dan lain-lain.Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti resoptif maupun stimulatir tulang tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah forasi oleh osteoblas.Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH yang dapat menyebabkan pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.

A. JATUH Jatuh terjadi ketika sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kegagalan ini antara lain disebabkan oleh pergeseran pusat gravitasi tubuh yang besar, cepat dan terjadi tiba-tiba, gangguan lingkungan serta faktor intrinsik maupun ekstrinsik. 1. Faktor risiko a. Intrinsik Pada lansia terjadi penurunan seistem sensorik : visus, pendengaran, fungsi vestibuler dan propioseptif sehingga akan menimbulkan berbagai gangguan seperti vertigo tipe perifer dan neuropati perifer. Drop attack merupakan kelemahan tungkai bawah yang mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa hilang kesadaran. Kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler yang dipicu oleh perubahan posisi kepala. Sekitar 10-20 % orang usia lanjut mengalami hipotensi ortostatik yang sebagian yang tidak bergejala. Namun beberapa kondisi (curah jantung rendah akibat gagal jantung atau hipovolemia, disfungsi otonom, gangguan aliran balik vena, tirah baring lama, dan obat-obatan) dapat menyebabkan hipotensi ortostatik yang berat sehingga memicu timbulnya jatuh. Selain itu, berbagai penyakit terutama kardiovaskular dan neurologis dapat berkaitan dengan jatuh. b. Ekstrinsik Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berada di lingkungan yang memudahkan orang usia lanjut mengalami jatuh, antar lain lampu ruangan yang kurang terang, lantai licin, basah atau tidak rata, furniture terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi/closet terlalu rendah atau tinggi, dan tak memiliki alat bantu untuk berpengangan. 2. Komplikasi Komplikasi dapat berupa perlukaan, perawatan di rumah sakit, disabilitas, risiko masuk dalam rumah perawatan dan kematian. Perlukaan yang terjadi dapat berupa rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit (berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena); patah tulang : pelvis, femur (terutama kollum), humerus, lengan bawah, tungkai bawah, kista; hematom subdural. Perawatan rumah sakit menyebabkan komplikasi tidak dapat bergerak ( imobilisasi) dan risiko penyakit-penyakit iatrogenic. Disabilitas yaitu berupa penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak 3. Pencegahan

8

a. Identifikasi faktor risiko Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor intrinsik risiko jatuh, perlu dialakukan assesmen keadaan sensorik. Neurologis, musculoskeletal dan penyakit sistemik yang sering mendasari/menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyababkan jatuh harus dihilangkan. Obat-obatan yang menyebabkan hipotensi postural, hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan harus diberikan sangat selektif dan dengan penjelasan yang komprehensif pada lansia dan kelauarganya tentang risiko terjadinya jatuh akibat minum obat tersebut. b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangan berisiko, maka diperlukan bantuan latihan oleh rebhabilitasi medik. c. Mengatur/mengatasi faktor situasional Fator situasional yang bersifat serangan akut/eksaserbasi akut penyakit yang diderita lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik 4. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, dan mengembalikan kepercayaan diri mereka. Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan funsional, terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi penyebabnya/faktor yang mendasarinya. Penderita dengan dissines sindrom, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskular yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan hipotensi postural : beta bloker, diuretik, antidepresan, dan lain-lain. Selain itu, tidak lupa untuk memperbaiki lingkungan untuk mencegah terjadinya jatuh. B. FRAKTUR Untuk bisa terjadi fraktur pada usia lanjut sering terjadi hanya dengan trauma ringan atau bahkan tanpa ada kekerasan yang nyata. Adanya tekanan berat dari lantai saat jatuh hanya merupakan sebagian dari penyebab fraktur tersebut. Pada lansia, stress utama pada tulang justru datang dari daya yang sangat kuat dari otot yang berinsersi di tulang tersebut.. 1. Jenis Fraktur a. Fraktur sendi koksa (fraktur leher/kollum femur) merupakan jenis fraktur ini merupakan yang terpenting dan sering terjadi. Insiden pada wanita tiga kali dibanding pria dan osteoporosis. Merupakan faktor predisposisi utama. Fraktur femur seringkali menjadi buruk, menyebabkan mortalitas tinggi dan komplikasi berat dan kecacatan. b. Fraktur pergelangan tangan (fraktur Colles) merupakan fraktur pada distal radius biasa terjadi karena terjatuh dengan posisi tangan menahan tubuh, Terapi dilakukan dengan mengadakan reposisi dan fiksasai gips. Tanpa komplikasi akan sembuh dalam 6 8 minggu. c. Fraktur kolumna vertebralis : jenis crush, multiple atau wedge (baji). Fraktur ini sebagai akibat osteoporosis bisa terjadi dalam bentuk crush (wanita pasca menopause) maupun bentuk multiple, seperti baji (wanita / pria sebagai akibat osteoporosis senilis) 2. Penatalaksanaan

9

a. Tindakan terhadap fraktur : untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan tindakan operatif atau hanya dilakukan tindakan konvesional, perlu dilakukan kerjasama yang erat dengan bagian ortopedi. b. Tindakan terhadap jatuh : mengurangi faktor risiko terjadinya jatuh merupakan salah satu cara untuk mengurangi terjadinya fraktur. c. Tindakan terhadap kerapuhan tulang : biasanya tidak bisa mengembalikan tulang seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan fraktur. d. Keperawatan dan rehabilitasi saat penderita imobil : berupa pencegahan komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, konfusio) agar penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi. Darmojo R.B., Martono H., 2006. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Setiati S., Laksmi P.K., 2006. Gangguan keseimbangan, jatuh dan fraktur. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. F. Demensia Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran (Rochmah dan Harimurti, 2007). Secara umum, demensia dapat dibagi menjadi demensia Alzheimer dan demensia vaskuler. Disebut demensia alzheimer bila dalam pemeriksaan tidak didapatkan serangan apoplektik mendadak atau gejala neurologis kerusakan otak fokal. Sedangkan diagnosis demensia vaskuler ditegakkan bila dalam pemeriksaan CT-scan dan neuropatologis jelas terlihat adanya gejala neurologis fokal. Berikut ini adalah kriteria diagnosis demensia menurut DSM IV. Kriteria diagnosis demensia menurut DSM IV A. Munculnya defisit kognitif multiple yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut : 1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari) 2. Satu atau lebih gangguan kognisi berikut a. Afasia (gangguan berbahasa) b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motoris walaupun fungsi motorik masih normal) c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasu benda walaupun fungsi sensorik masih normal) d. Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir runut dan berpikir abstrak) B. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

Diagnosis pasti demensia ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik bertujuan mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan kognitif pada demensia. Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik yang dilakukan antara lain mini mental state examination (MMSE) dan clock drawing test (CDT). Sedangkan pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah CT-scan, MRI, pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit, dan VDRL.

10

G. Manajemen Terpadu Geriatri Terdapat dua prinsip utama yang harus dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada lansia, yaitu pendekatan holistic serta tatakerja dan tatalaksana secara tim (Hadimartono, 1995). Prinsip holistic pada pelayanan kesehatan lanjut usia menyangkut berbagai aspek : 1. Seorang penderita lansia dipandang sebagai manusia seutuhnya, meliputi lingkungan kejiwaan dan social ekonomi. 2. Sifat holistik mengandung artian baik secara vertical maupun horizontal 3. Pelayanan holistik juga harus mencakup aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). 4. WHO menganjurkan diagnosis penyakit lansia harus meliputi 4 tingkatan penyakit, yaitu disease, impairment, disability, dan handicap. Tim geriatri merupakan bentuk kerja sama multi disipliner yang bekerja secara interdisipliner. Rehabilitasi medik adalah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan mengembangkan kemampuan fungsional dan psikologik dan kalau perlu mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat mandiri. Perubahan yang terjadi pada lansia dapat mengakibatkan ketidakstabilan sistem lokomotor / neuromuskular. Penurunan fungsi yang berkaitan dengan disuse mengakibatkan fleksibilitas menurun dan pada akhirnya akan menghambat aktivitas kehidupan sehari-hari. Rehabilitasi pada lansia seperti pada umumnya terapi modalitas antara lain: fisioterapi, okupasiterapi, psikologi, ortotik-prostetik, terapi wicara, dan sosial medik, terapi modalitas berupa pemanasan secara alamiah maupun dengan alat diatermi, dan pacu listrik. Indeks Katz merupakan instrumen yang cukup sederhana dan mudah diterapkan untuk menilai kemampuan fungsional AKS (aktivitas kehidupan sehari-hari). Adapun aktivitas yang dinilai adalah Bathing, Dressing, Toiletting, Transfering, Continence, dan Feeding. Beberapa jenis rehabilitasi pada geriatri antara lain: 1. Program fisioterapi Penanganan terapi lansia dimulai dari aktivitas fisik paling ringan bertahap hingga maksimal yang bisa dicapai oleh individu tersebut: a. Aktivitas di tempat tidur: positioning, alih baring, latihan pasif dan aktif ROM. b. Mobilisasi: latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri, jalan, melakukan aktivitas kehidupan sendiri seperti mandi, makan, dan berpakaian. 2. Program okupasi terapi untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari 3. Program ortotik-prostetik untuk membuat alat penopang atau pengganti tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita. 4. Program terapi wicara untuk latihan wicara dan bagi pasien dengan gangguan fungsi menelan. 5. Program sosial medik Petugas sosial-medik memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal bersama lansia, bagaimana struktur rumah, tingkat sosial ekonomi. 6. Program psikologi Dalam menghadapi lansia, sering harus memperhatikan keadaan emosional apakah tipe agresif, konstruktif, dan lain-lain. Juga memberikan motivasi agar lansia mau melakukan latihan, berkomunikasi, sosialisasi, dan lain-lain. Yang perlu diingat dari pasien geriatri adalah semakin bertambah usia, penyakit yang terjadi makin bermacam-macam. Oleh karena itu, dalam pemberian obat diperlukan pengetahuan yang baik tentang dosis, interaksi, dan efek samping obat. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah polifarmasi. Selain biaya pengobatan yang makin besar, polifarmasi juga membahayakan kesehatan pasien itu sendiri. Pemberian obat seharusnya dimulai dari dosis rendah misalnya setengah dosis standar baru kemudian dinaikkan perlahan dengan pemantauan yang ketat. Dalam banyak hal diperlukan pengukuran kadar obat plasma dalam darah. Periode pengobatan jangan terlalu lama, jumlah/jenis obat haruslah dibuat seminimal

11

mungkin, dan frekuensi pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin. Obat harus diberikan atas diagnosis pasti, harus diketahui jelas efek obat, mekanisme kerja, dosis dan efek samping. Jika diperlukan pemberian polifarmasi, prioritaskan untuk mengurangi gangguan fungsional. BAB III PEMBAHASAN Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien, penyakit yang diderita pasien sangat kompleks. Namun, beberapa keluhan pasien sulit dibedakan dengan gejala penuaan normal. Penyakit-penyakit kronis yang diderita pasien juga berpengaruh terhadap keluhan lainnya. Polifarmasi yang diberikan pada pasien semakin memperberat keluhan-keluhan yang ada. Pada skenario disebutkan bahwa saat muda pasien sangat gemuk (BB 90kg) dan menderita DM sejak usia 40 tahun. Dengan asumsi tinggi badan pasien saat muda sama dengan tinggi badan sekarang, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami obesitas (IMT = 33.87 kg/m2). Obesitas sendiri merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit kardiovaskuler dan metabolik. Bahkan obesitas pun termasuk dalam salah satu kriteria penegakkan diagnosis sindrom metabolik menurut NCEP ATP III selain hipertensi, dislipidemia, dan gangguan metabolisme glukosa. Obesitas juga sering dikaitkan dengan DM tipe 2. Hal itu karena kebanyakan orang gemuk (obesitas) mengalami hiperglikemia akibat asupan yang berlebihan. Mekanisme kompensasi tubuh adalah peningkatan sekresi insulin sehingga kadar insulin pada DM tipe 2 biasanya normal atau bahkan meningkat. Pada orang gemuk yang rentan DM, pembebanan pankreas yang berkepanjangan oleh kelebihan kronik zat gizi, pada akhirnya mengalahkan kapasitas sel-sel pankreas yang secara genetis sudah lemah. Di sisi lain, hiperinsulinemia kronis merangsang mekanisme down regulation yang berakibat pada penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin karena jumlah reseptor yang berkurang. Kombinasi penurunan kapasitas sel-sel pankreas dan mekanisme down regulation adalah munculnya gejala-gejala diabetes mellitus. Pada DM, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi tanpa bantuan insulin, sel-sel tubuh tidak dapat menggunakannya. Akhirnya terjadi katabolisme lemak dan protein secara besar-besaran dalam tubuh. Hal tersebut yang menyebabkan berat badan pasien DM semakin menurun. Pada skenario ini, pasien juga mengalami penurunan berat badan. Namun, perlu diingat bahwa penurunan berat badan yang terjadi pada pasien tidak hanya disebabkan oleh DM. Hal itu juga dapat disebabkan oleh intake yang berkurang. Apalagi pasien juga mengalami penurunan nafsu makan dan minum. Penurunan nafsu makan dan minum merupakan proses alamiah yang terjadi pada usia lanjut. Pada lansia terjadi atrofi pada papil-papil lidah sehingga terjadi penurunan sensitivitas terhadap rasa terutama rasa manis dan asin. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi nafsu makan. Selain itu, lansia juga mengalami gangguan kontrol haus karena endorfin yag berkurang. Akibatnya keinginan untuk minum pun berkurang. DM yang berlangsung lama memiliki komplikasi mikroangiopati seperti retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati diabetik. Nefropati terjadi karena hiperglikemia kronis menyebabkan pembentukan AGEs (advanced glycation end products) yang bersifat ireversibel. Selanjutnya AGEs tersebut menimbulkan ekspresi adhesion molecules, hipertrofi sel, sintesa matrix ekstraseluler, dan inhibisi sintesis NO (nitric oxide). Hasil akhir kondisi tersebut adalah kerusakan ginjal berupa sklerosis nefron. Kerusakan ginjal menyebabkan spasme arteriol eferen intrarenal/intraglomerulus sehingga juga dapat terjadi hipertensi. Pada skenario tidak dijelaskan dengan rinci sejak kapan pasien menderita hipertensi sehingga sulit untuk dipastikan apakah hipertensi pada pasien terjadi berhubungan atau tidak dengan DM atau justru hipertensi tersebut terjadi karena proses penuaan. Yang jelas hipertensi sistemik juga dapat memperburuk prognosis kerusakan ginjal apalagi bila dikombinasikan dengan DM. Hal itu karena hipertensi juga dapat menyebabkan sklerosis nefron. Ketika terjadi sklerosis nefron, sisa nefron yang sehat akan mengadakan mekanisme kompensasi berupa hiperfiltrasi glomerulus. Namun, hiperfiltrasi glomerulus lambat laun juga menyebabkan sklerosis nefron tersebut. Akhirnya terbentuklah suatu lingkaran setan. Semakin banyak sklerosis nefron yang terjadi, makin berat

12

kerusakan ginjal. Hal tersebut menyebabkan glomerulus makin permeabel terhadap semua zat bahkan yang memiliki berat molekul besar seperti protein. Akhirnya protein dapat muncul dalam urin (proteinuria). Tanda telah terjadi kerusakan ginjal lainnya adalah peningkatan kadar kreatinin (N: 0.9-1.3 mg/dl). Namun kecurigaan telah terjadi gagal ginjal pada pasien masih memerlukan serangkaian pemeriksaan lainnya. Kerusakan ginjal juga menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), suatu hormon yang diperlukan dalam pembentukan eritrosit. Kekurangan EPO jelas akan mengganggu produksi eritrosit yang berakibat pada anemia (Hb pasien 8.1 gr%). Penurunan penglihatan dapat merupakan bagian proses alami penuaan. Namun, mengingat riwayat peyakit pasien, tidak menutup kemungkinan bahwa penurunan daya penglihatan pasien disebabkan oleh retinopati diabetik. Hiperglikemia kronis memaksa beberapa jaringan untuk melakukan glikolisis tidak sempurna sehingga metabolismenya bergeser ke jalur aldosa reduktase yang menghasilkan produk-produk alkohol termasuk sorbitol, galaktosa hingga dulcitol. Karena alkohol dan derivatnya tidak dapat menembus membrana basalis, zat-zat tersebut akhirnya tertimbun dalam jumlah banyak di dalam sel termasuk lensa dan retina. Akumulasi zat-zat tersebut akan meningkatkan tekanan osmotik sel sehingga menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel. Perubahan fungsi sel juga disebabkan oleh radikal bebas dan protein kinase C (PKC). Radikal bebas terbentuk akibat glikosilasi nonenzimatik protein dan DNA yang terjadi selama hiperglikemia kronis. Hiperglikemia juga meningkatkan sintesis de novo diasilgliserol (regulator PKC). Diasilgliserol (DAG) mengaktifkan PKC yang berpengaruh terhadap aktivitas dinamis kapiler retina terutama perubahan permeabilitas. Membrana basalis menjadi tebal tebal, sel perisit hilang, dan terjadi proliferasi endotel. Bahkan rasio sel perisit dan endotel berubah mejadi 1:10. Hiperglikemia kronis juga menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam aqeuos humor. Padahal glukosa sendiri bersifat menarik air sehingga tekanan osmotik membesar. Peningkatan tekanan osmotik menyebabkan influks air ke dalam lensa dan terjadi pembengkakan serat-serat lensa. Akhirnya terjadi penurunan kekuatan refraksi lensa. Penurunan pendengaran pada lansia disebabkan oleh degenerasi primer organ corti berupa hilangnya sel epitel syaraf yang dimulai pada usia pertengahan. Keadaan yang sama terjadi pula pada serabut aferen dan eferen sel sensorik dari cochlea. Di samping itu, elastisitas membran basalis di cochlea dan membran timpani juga menurun. Pasokan darah dari reseptor neurosensorik mengalami gangguan sehingga baik jalur audiotorik maupun lubus temporalis otak sering terganggu. Osteoarthristis yang dialami oleh pasien, dipengaruhi oleh faktor usia. Perlu diingat bahwa osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago tulang. Dalam perjalanan penyakitnya stress mekanik yang diterima oleh sendi di sepanjang usia pemakaiannya akan menimbulkan jejas mekanik dan kimiawi sehingga merangsang pembentukkan molekul abnormal dan produk degradasi kartilago dalam cairan sinovial yang pada akhirnya akan mengakibatkan inflamasi sendi dan kerusakkan kondrosit. Keseluruhan dari patogenesis tersebut bermanifestasi sebagai rasa nyeri ketika sendi digerakkan seperti yang dialami oleh pasien. Predileksi tersering penyakit ini terjadi pada sendi lutut karena sendi tersebut menopang sebagian besar beban tubuh sehingga stess mekanik yang diterimanya lebih besar dibandingkan sendi lainnya. Bengkak pada kedua kaki pasien dapat pula berkaitan dengan penyakit osteoarthritis ini. Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi. Sebab lainnya adalah adanya osteofit yang mengubah permukaan sendi. Rasa nyeri dan pembengkakan yang dialami oleh sendi lutut pasien ini yang mendasari keluhan pasien mengalami kesulitan berjalan. Gangguan mobilisasi pada pasien juga ditunjukkan oleh hasil pemeriksaan get up dan go test. Waktu normal yang digunakan seseorang untuk berdiri dari tempat duduk, jalan 10 kaki atau 3 meter, berbalik, jalan kembali ke kursi dan duduk lagi adalah 7-10 detik. Apabila seseorang melakukannya lebih dari 20 detik, maka ia mengalami gangguan mobilitas. Pada skenario, lansia tersebut melakukan tes bejalan 15 meter selama lebih dari 5 menit. Maka waktu normal yang seharusnya dicapai lansia ini adalah 35-50 detik, namun lansia ini melakukannya lebih dari 5 menit. Ini membuktikan bahwa ia mengalami gangguan mobilisasi. Gangguan berjalan dan penurunan penglihatan serta pendengaran merupakan faktor risiko jatuh pada lansia. Hal itu karena ketiga hal tersebut menurunkan kewaspadaan pasien terhadap kondisi lingkungan

13

sekitar. Hal tersebut semakin diperparah oleh kondisi rumah yang memiliki banyak tangga. Perubahan lain pada lansia adalah penurunan komposisi tulang. Pada lansia wanita, penurunan komposisi tulang disebabkan oleh penuaan dan diperparah oleh menopouse. Telah diketahui bahwa sejak usia 30 tahun mulai terjadi penyusutan tulang sekitar 0.7% per tahun. Penurunan massa tulang terbesar terjadi pada tulang trabekular dan disebabkan oleh penurunan aktivitas osteoblas serta peningkatan aktivitas osteoklas yang berkaitan dengan usia. Karena setelah dekade ketiga, pada setiap siklus remodeling, pembentukan tulang baru tidak dapat mengompensasi kehilangan tulang sehingga terjadi pengurangan massa tulang secara bertahap. Ketidakseimbangan proses remodeling semakin diperparah dengan defisiensi estrogen yang terjadi pada wanita monopouse. Oleh karena itu, trauma ringan seperti jatuh (terpeleset) pada lansia dapat menyebabkan fraktur. Predileksi fraktur pada lansia kebanyakan adalah di collum femur, colles (pergelangan tangan), dan columna vertebralis (terutama vertebrae lumbal I). Biasanya penyembuhan fraktur pada lansia tidak dapat berjalan dengan sempurna karena proses remodeling yang tidak lagi seimbang dan penurunan vaskularisasi terutama pada caput serta collum femoris. Pada skenario juga disebutkan bahwa pasien mengalami gangguan daya ingat sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan tersebut dapat merupakan bagian dari proses penuaan alami atau justru berkaitan dengan hipertensi kronis yang diderita pasien. Diketahui bahwa sejak usia 45 tahun mulai terjadi penurunan massa otak. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Hipertensi juga dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Hal itu akibat penyempitan dan sklerosis kecil di daerah subkortikal yang menyebabkan hipoperfusi, kehilangan autoregulasi, penurunan sawar otak, dan akhirnya terjadi proses demyelinisasi white matter subkortikal, mikroinfark, dan penurunan kognitif. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal yang baru, tetapi masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Masalah lain pasien adalah polifarmasi yang ia terima. Setiap penyakit pasien menggunakan lebih dari satu obat. Obat-obatan tersebut antara lain glurenom, metformin, meloksikam, deksametason, antalgin, bisoprolol, dan furosemid. Glurenorm dan metformin digunakan untuk mengobati penyakit DM tipe-2 pasien. Glurenorm atau nama lainnya adalah glukuidon merupakan golongan sulfonylurea, bekerja merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel beta pankreas. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis besar dapat menyebabkan hipoglikemia. Obat ini biasanya tidak digunakan tunggal, bisa ditambah obat lain dengan tujuan membuat efek potensiasi sehingga lebih mengefektifkan penurunan kadar glukosa pasien. Sedangkan obat metformin bekerja dengan menurunkan produksi glukosa maupun glukoneogenesis di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Obat ini dipandang sesuai untuk diduetkan bersama glukorenorm sebab dibanding jenis obat yang lain, obat ini cenderung aman terhadap organ-organ vital dan jarang menyebabkan asidosis. Efek dari metformin adalah penurunan nafsu makan sehingga hal tersebut juga dapat berperan dalam penurunan berat badan pasien. Obat bisoprolol dan furosemid digunakan untuk menerapi penyakit hipertensi pasien. Bisoprolol merupakan golongan beta bloker selektif, yang kerjanya antara lain melalui: 1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard untuk menurunkan curah jantung, 2)menghambat sekresi renin; dan 3) efek sentral untuk mempengaruhi aktifitas saraf simpatis. Golongan obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam. Penting menjadi perhatian bahwa semua jenis obat beta bloker dikontraindikasikan dengan asma bronkial. Selain itu, kalaupun obat beta bloker terpaksa digunakan pada pasien diabetes maka lebih aman memakai jenis beta bloker yang selektif. Namun alangkah baiknya untuk dihindari pemakaiannya, bila pada pasien DM juga mendapat terapi insulin atau OAD lain. Hal itu karena beta bloker dapat menutupi gejala hipoglikemik. Obat yang lain yaitu furosemid, merupakan obat diuretik kuat golongan sulfonamid yang bekerja deengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na +/K+/2Cldi ansa henle. Penggunaan diuretik merupakan first line sebagai terapi hipertensi. Pemilihan furosemid adalah tepat sebab gangguan saluran cerna yang ditimbulkan lebih ringan dan kurva dosis responsnya kurang curam dibanding obat lainnya. Efek samping lain dari obat ini adalah gangguan cairan dan elektrolit serta menyebabkan ototoksisitas.

14

Untuk pemberian obat yang berkaitan dengan penyakit osteoarthritis yang dialami oleh pasien dalam kasus scenario kali ini dirasakan tidak rasional. Untuk lini pertama pemberian medikamentosa pada pasien OA , sudah tepat bila diberikan meloxicam 2x7,5 mg. Meloxicam ialah golongan Asam Enolat yang merupakan salah satu jenis obat AINS. Meloxicam bekerja menghambat enzim siklooksigenase, sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Pemilihan meloxicam dianggap tepat karena meloxicam memiliki kelebihan dibandingkan dengan obat golongan oxicam lainnya, yakni meloxicam memiliki efek menghambat enzim siklooksigenase 2 (COX-2), namun tidak menghambat enzim siklooksigenase 1(COX-1). Perlu diingat bahwa enzim siklooksigenase 1(COX-1) memiliki fungsi protektif terhadap mukosa lambung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa meloxicam tidak memiliki efek samping mengiritasi lambung seperti golongan oxicam lainnya. Untuk dosis, pemberian meloxicam 2x7,5 mg sudah dianggap tepat dosis, karena dosis maksimum untuk pemberian obat ini ialah 15 mg. Untuk lini kedua penatalaksanaan medikamentosa kepada pasien OA, ialah AINS ditambah dengan kortikosteroid. Akan tetapi, bukan steroid oral seperti yang diberikan dalam scenario, melainkan steroid injeksi intraartrikuler. Penyebab tidak diberikannya steroid oral ialah lebih banyaknya efek samping yang ditimbulkan dibandingkan dengan pemberian steroid intra-artikuler. Preparat steroid intraartikuler yang dapat digunakan dalam pengobatan OA ialah triamsinolon asetonid 5-20mg. Ketidaktepatan pemilihan obat tidak hanya didasari dari cara pemberiannya, tetapi juga dari pemilihan obatnya. Dexametason merupakan jenis corticosteroid kerja lama (waktu paruh 36-72 jam) dengan kontraindikasi pasien DM seperti pada kasus scenario kali ini. Dexametason dapat memberikan efek peningkatan glukosa, peningkatan resistensi insulin, penurunan toleransi terhadap glukosa, dan glukosuria. Kesemuanya terjadi akibat proses glukoneogenesis dari dexametason yang terjadi di perifer maupun di hepar. Di perifer steroid ini menyebabkan mobilisasi asam amino dari beberapa jaringan. Asam amino ini akan dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen. Pemberian antalgin sebagai pengurang rasa nyeri, pada dasarnya dapat ditiadakan karena fungsi pengurang rasa nyeri telah didapati dari pemberian meloxicam maupun kortikosteroid. Meloxicam berfungsi sebagai penghambat pembentukkan prostaglandin, dimana prostaglandin itu sendiri yang menyebabkan sesitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Selain itu, steroid yang merupakan obat anti inflamasi juga telah memiliki efek pengurang rasa nyeri. BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. Pada geriatri terjadi penurunan kemampuan untuk menghadapi berbagai jejas sehingga trauma ringan pun dapat membahayakan diri para geriatri. 2. Jatuh yang dialami pasien disebabkan oleh faktor intrinsik dan ektrinsik. Faktor intrinsik berupa gangguan berjalan dan penurunan penglihatan serta pendengaran. Sedangkan faktor ekstrinsik seperti keadaan rumah yang memiliki banyak tangga. 3. Fraktur mudah terjadi pada lansia karena penurunan komposisi tulang akibat penuaan dan menopouse. Predileksi fraktur tersering pada lansia yaitu pergelangan tangan, collum femur, dan columna vertebralis. 4. Penyakit kronis yang diderita pasien memiliki pengaruh besar dalam progresivitas keluhan pasien. Seperti DM yang dapat menyebabkan gangguan ginjal dan penglihatan pasien. 5. Gangguan daya ingat yang dialami pasien dapat merupakan bagian dari proses penuaan atau juga akibat hipertensi kronis. 6. Pasien ini mengalami polifarmasi dan pengobatan irasional pada OA oleh karena pemberian dexametason oral serta antalgin.

15

B. Saran 1. Bagi keluarga dengan lansia, hendaknya rumah dibuat seaman dan senyaman mungkin dengan cara meminimalkan jumlah anak tangga, mencegah lantai licin, pencahayaan yang baik, dan membuat pegangan tangan di kamar mandi. 2. Para dokter hendaknya meminimalkan pemberian obat pada lansia untuk mencegah efek negatif polifarmasi. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang baik tentang dosis, interaksi, serta interaksi obat.

DAFTAR PUSTAKA Amalia. 2008. Osteoarthritis. http://fkuii.org/tikidownload/wiki/attachment.php. Diunduh tanggal 17 Maret 2010. Ambarwati E. 2009. Prinsip Program Rehabilitasi Medik pada Lanjut Usia. Dalam Martono H.H dan Pranarka K (eds). Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Budiman A., Hasrul H. A., Dwi A. S., Dian P. R., Nova H., Siti A., et al. 2010. Jatuh. http://www.agingeye.net. Diunduh tanggal 17 Maret 2010. Cicaherlina. 2006. Arthritis. www.kalbefarma.com/files/cdk/files/04penyakitpenyakitartritis023.pdf/04penyakitpenyakit023.html. Diunduh tanggal 17 Maret 2010. Darmojo, Boedhi dan Dr. Hadi Martono. 1999. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas, Indonesia. Gustaviani R. 2006. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam : Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M. dan Setiati S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI Isbagio, Harry. 2000. Struktur Rawan Sendi dan Perubahannya Pada Osteoarthritis. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_129_penyakit_sendi.pdf. Diunduh tanggal 17 Maret 2010. Ismayadi. 2004. Proses Menua (Aging Proses). http://subhankadir.files.wordpress.com/2008/01/perkembangan-lansia.pdf Diunduh tanggal 19 Maret 2010. Mansjoer A., Triyanti K., Savitri R., Wardhani W.I. dan Setiowulan W. (editor). 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta: Media Aesculapius, hlmn : 580-1 Martono H.H. 2009. Pelayanan Kesehatan pada Lanjut Usia. In: Martono H.H dan Pranarka K (eds). Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Martono H.H., Nasution I., Andayani R.R. 2009. Penggunaan obat secara rasional pada usia lanjut. Dalam Martono H.H dan Pranarka K (eds). Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC. Rianto Setiabudy Nafrialdi, 2007. Antihipertensi In: Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy Nafrialdi dan Elysabeth (editor). Farmakologi dan Terapi Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Edisi ke5. Gaya Baru: Jakarta. Pp: 346-347 dan 389-393

16

Setiati S dan Laksmi PW. 2007. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur. In: Aru W. S., Bambang S., Idrus A., Marcellus S. K., and Siti S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Setiati S, Harimurti K, Rosssheroe AG. 2006. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya In: Sudoyo, Aru [et al]. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 1345-1349 Setiati S, Roosheroe AG, Harimurti K. 2007. Proses menua dan implikasi kliniknya. In: Aru W. S., Bambang S., Idrus A., Marcellus S. K., and Siti S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Soeroso Joewono, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo. 2007. Osteoarhritis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : FKUI Suhardjono, 2006. Hipertensi pada Uusia Lanjut In: Sudoyo, Aru [et al]. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 1461-1462 Suharti K. Suherman, 2007. Insulin dan Antidiabetik Oral In: Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy Nafrialdi dan Elysabeth (editor). Farmakologi dan Terapi Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Edisi ke-5. Gaya Baru: Jakarta. Pp: 490-491 Sylvia A. Price and Lorraine . Wilson, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Edisi ke-6. EGC: Jakarta. Taslim H. 2001. Gangguan muskuloskeletal pada usia lanjut. Medika. 7: 1-5. Apoptosis adalah kematian sel terprogram yang merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak dan proliferasi fisiologis dan dengan demikian memelihara agar fungsi jaringan normal. Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada kanker. Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl2. Gangguan regulasi dan proliferasi sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor suppressor genes ada hubungannya dengan kontrol apoptosis. Dalam literatur lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara internal melalui serangkaian produk gen. Adapun terjadinya penyebab diatas sebagai berikut: A. Selama proses perkembangan B. Sebagai suatu mekanisme homeostatik untuk memelihara sel di jaringan. C. Sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun D. Apabila sel-sel dihancurkan oleh penyakit atau agent-agent yang berbahaya. E. Proses Penuaan. Faktor-faktor yang bertanggungjawab dari serangkaian peristiwa apoptosis baik fisiologis, adaptif, maupun patologis adalah: 1. Kerusakan sel yang terprogram selama embriogenesis termasuk implantasi, organogenesis, involusi perkembangan dan metamorfosis yang tidak selalu didefinisikan secara fungsional sebagai kematian sel yang terprogram, Oleh ahli Embriologi terminologi ini sering digunakan. 2. Proses involusi yang tergantung hormon pada orang dewasa seperti penurunan sel endometrium selama siklus menstruasi, atresia folikuler ovarium pada menopause, regresi payudara setelah menyapih dan atropi prostat setelah katrasi 3. Delesi sel pada populasi sel-sel yang berproliferasi seperti epitel kripta usus (intestinum). 4. Kematian sel pada tumor paling sering selama regresi tapi juga pada tumor dengan pertumbuhan sel yang aktif. 5. Kematian neutrofil selama respon respon inflamasi akut

17

6. Kematian sel-sel imun baik limfosit B & T, setelah deflesi sitokin, seiring dengan delesi sel-sel T autoreaktif pada timus yang sedang berkembang 7. Kematian sel yang diinduksi oleh sel-sel T Sitotoksik, seperti pada penolakan imum seluler 8. Atropi patologis pada organ parenkim setelah obtruksi duktus, seperti yang terjadi di pankreas, kelenjer parotis & ginjal. 9. Lesi sel pada penyakit virus tertentu, misalnya pada hepatitis virus, dimana sel-sel yang mengalami apoptosis dihepar yang dikenal sebagai badan Councilman 10. Kematian sel akibat berbagai stimulus lesi yang mampu menyebabkan nekrosis, kecuali bila diberikan dosis rendah, contohnya panas, radiasi, obat-obat anti kanker sitotoksik & hipoksia dapat menyebabkan apoptosis jika kerusakan ringan, tapi dosis besar dengan stimulus yang sama menyebabkan kematian sel nekrotik. Peranan Apoptosis Pada mamalia dewasa, apoptosis terjadi secara berkesinambungan dalam polulasi sel yang berproliferasi lambat seperti epitel hati, prostat dan korteks adrenal dan dalam populasi yang berproliferasi cepat seperti epitel intestinal yang membentukkan kripta dan deferensiasi spermatogonia. Walaupun banyak sel yang hilang dalam populasi pada tipe yang lebih lambat secara jelas adalah hasil dari kumpulan selsel dijaringan, dalam kenyataannya, mitosis dan apoptosis seimbang satu sama lain dibawah kondisi yang siap. Ada yang sedang tumbuh membuktikan bahwa apoptosis diatur dalam suatu mode resiprokal ke mitosis oleh faktor pertumbuhan (growth factor) dan hormon - hormon tropik. Raff telah menegaskan bahwa kebanyakan sel-sel pada binatang yang lebih tinggi mungkin memerlukan simulasi tropik yang terus menerus untuk kehidupan. Raff juga menyatakan bahwa suatu peningkatan dalam jumlah sel pada tempat-tempat khusus dapat memimpin kompetisi seluler yang lebih besar untuk faktor tropik yang menstimulasi mitosis dan menghambat apoptosis, ini berbalik secara temporer terhadap keseimbangan antara kedua proses, mengakibatkan populasi sel kebentuk levelnya. Walaupun demikian, terdapat bukti bahwa substansi yang aktif menstimulasi apoptosis juga mungkin terlibat didalam hemostatis populasi sel normal. Dalam kultur primer sel endokrin kelinci, faktor yang menginduksi mitosis dan apoptosis telah ditemukan disekresi ke dalam siklik kecuali model reciprocal, dengan hasil bahwa sejumlah sel menunjukkan fluktuasi pada dasar harian tetapi relatif tetap konstan untuk berlanjut ke periode waktu tertentu. Sejumlah proses involusi tumor dalam mamalia dewasa normal telah ditunjukkan berhubungan dengan peningkatan apoptosis. Dokumentasi yang baik mencontohkan termasuk reversi mamae laktasi menjadi keadaan istirahat setelah menyapi, atresia folikel ovarium dan involusi folikel rambut. Tanggung jawab triger untuk peningkatan apoptosis yang terjadi selama involusi mamae tepatnya hormonal, tetapi dalam contoh lain secara alamiah stimulasi awal dapat ditentukan. Pada sistem imun, apoptosis memiliki aturan fisiologi spesifik yang eksklusif untuk kebutuhan fungsi sistem tersebut. Sebagai contoh tanggung jawab untuk penghapusan sel-sel T autoreaktif dalam thymus bertanggungjawab untuk batas toleransinya sendiri dan untuk seleksi sel-sel B dalam pusat germinal limfoid selama respon imune humoral. Fungsi spesialis lain adaptasi dalam hewan normal adalah menghapus sel-sel yang tak berguna, seperti leukosit netropil yang tua dan megakaryosit yang telah menumpahkan sitoplasmanya selama pembentukan platelet. Anonim. 2009. Apoptosis. http://digilib.unsri.ac.id/download/apoptosis.pdf (20 Maret 2010).

18

Kreatinin (dari kreas''''Yunani, daging) adalah produk-down istirahat fosfat creatine pada otot, dan biasanya diproduksi pada tingkat yang cukup konstan oleh tubuh (tergantung pada massa otot). Kimia, kreatinin merupakan turunan siklik secara spontan terbentuk dari creatine. Kreatinin adalah terutama disaring dari darah oleh ginjal, meskipun sejumlah kecil secara aktif disekresi oleh ginjal ke dalam urin. Ada sedikit-untuk-tidak reabsorpsi tubular kreatinin. Jika penyaringan ginjal kekurangan, darah naik tingkat. Oleh karena itu, kadar kreatinin dalam darah dan urine dapat digunakan untuk menghitung pengeluaran kreatinin (CrCl), yang mencerminkan laju filtrasi glomerulus (GFR). GFR ini secara klinis penting karena merupakan pengukuran fungsi ginjal. Namun, dalam kasus disfungsi ginjal berat, tingkat clearance kreatinin akan "berlebihan" karena sekresi aktif dari kreatinin akan menjelaskan sebagian besar dari total kreatinin dibersihkan. Ketoacids, simetidin dan trimetoprim mengurangi sekresi tubular kreatinin dan karenanya meningkatkan ketepatan estimasi GFR, khususnya dalam disfungsi ginjal berat. (Dengan tidak adanya sekresi, kreatinin berperilaku seperti inulin.) DEWASA : Laki-laki : 0,6-1,3 mg/dl. Perempuan : 0,5-1,0 mg/dl. (Wanita sedikit lebih rendah karena massa otot yang lebih rendah daripada pria). ANAK : Bayi baru lahir : 0,8-1,4 mg/dl. Bayi : 0,7-1,4 mg/dl. Anak (2-6 tahun): 0,3-0,6 mg/dl. Anak yang lebih tua : 0,4-1,2 mg/dl. Kadar agak meningkat seiring dengan bertambahnya usia, akibat pertambahan massa otot. LANSIA : Kadarnya mungkin berkurang akibat penurunan massa otot dan penurunan produksi kreatinin

19