tutorial (1)
DESCRIPTION
t5rTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Demam typhoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung
meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik
dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita
yang aktif, penderita dalam fase konfalesen, dan kronik karier. Demam typhoid juga dikenali dengan
nama lain yaitu, Typhus Abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Demam typhoid adalah
penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteristik demam, sakit kepala dan ketidakenakan
abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu, yang juga disertai perut membesar, limpa dan erupsi
kulit. Demam typhoid (termasuk para–typhoid) disebabkan oleh kuman salmonella typhi, S paratyphy
A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphy, gejalanya lebih ringan
dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.
Demam typhoid abdominalis atau demam typhoid masih merupakan masalah besar di indonesia
bersifat sporadik endemik dan timbul sepanjang tahun. Kasus demam typhoid di Indonesia, cukup
tinggi berkisar antara 354- 810/100.000 penduduk pertahun. Di Palembang dari penelitiaan
retrospektif selama periode 5 tahun (2003-2007) didapatkan sebanyak 3 kasus (21,5%)
B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah selain untuk menyelesaikan salah satu tugas
kepaniteraan klinik stase pediatri, juga untuk mengetahui serta mempelajari lebih jauh
mengenai demam tifoid hingga penatalaksanaan yang tepat pada pasien di lapangan.
Sekenario
Seorang anak datang dengan ibunya ke rumah sakit dengan demam berlangsung 1minggu, demam
turun di pagi hari dan meninggi pada sore, demam tidak di sertai epistaksis, dan demam tidak disertai
menggigil. Dan demam disertai dengan BAB cair yg 2x/hari yang berlangsung selama 2hari sebelum
masuk rumah sakit. BAB cair tanpa ampas dan tidak di sertai lendir dan darah. BAK lancar berwarna
kuning. Terdapat nyeri perut pada ke4 kuadran perut, perut di rasa kembung. Dan nyeri perut
dirasakan sejak awal demam. Riwayat perdarahan disangkal, batuk pilek disangkal, riwayat penyakit
TBC pada usia 1tahun 6bulan dan berobat tuntas diklinik. Memiliki alergi cuaca dingin.
Riwayat lahir cukup bulan langsung menangis dengan G1P1A1 dengan berat 2800gram. Status gizi
buruk dengan BB:10kg dan TB:90cm, OS susah makan dan minum dengan berat badan menurut 2kg
semenjak sakit. Porsi makan dirumah dengan (Nasi+sayur bayam+telor dadar) rata2 intake ¼ porsi
ibunya. Riwayat perkembangan 6bulan tengkurep 7bulan duduk 12bulan berjalan. Riwayat makan 0-
6bulan asi, 7-9bulan asi+bubur saring, 9-12bulan asi+nasi. Riwayat imunisasi lengkap sampai umur
9bulan. Pada pemfis ditemukan konjugntiva anemis dan coated tongue
Pertanyaan
1. jelaskan DD tentang demam diatas 7hari dan di bawah 7 hari. Patomekanisme terjadinya
alergi pada cuaca dingin.
2. jelaskan mekanisme dan kompensasi demam. Klasifikasi demam, dan tatalaksana demam
3. penilaian tumbuh kembang anak usia 3tahun dan imunisasi yang harus di lengkapi anak usia
3tahun. Jelaskan cara menghitung status gizi pada anak. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan
anak kesulitan makan jelaskan kebutuhan kalori atau nutrisi pada anak. Pencegahal gizi buruk
pada anak dan tatalaksana gizi buruk dan kurang
4. jelaskan klasifikasi KEP. Alur diagnostik KEP dan patomekanisme konjungtiva anemis pada
skenario
5. jelaskan hubungan gizi buruk dan tbc. Alur diagnostik TBC
6. mekanisme terjadinya coated tongue, alur diagnostik tifoid. Mekanisme BAB cair pada kasus
skenario. Dan mekanisme nyeri perut dan perut kembung
1. jelaskan DD tentang demam diatas 7hari dan di bawah 7 hari. Patomekanisme terjadinya
alergi pada cuaca dingin.
Differential DiagnosisDemam <7 Hari
Gejala
Pneumonia (penyakit peradangan parenkim paru )
Recuired Pneumonia = Demam ada/tidakHospital Aquired Pneumonia = Demam >38,3 C + leukositosis atau leukopenia
Rinitis (ISPA yang disebabkan oleh virus)
Demam tidak begitu tinggi.
Influenza Demam >38 c, disertai batuk dan nyeri tenggorokDifteri Demam ringan nonspesifik (<38,5C). Demam tidak tinggi namun anak lemas. Demam
hari pertama disertai faring hiperemis. Setelah 2-3 hari terlihat pseudomembrane.
Staphylococcal Toxic Shock Syndrome
Demam akut (suhu >38,8 C).
Demam Skarlet (Streptococcus B Hemo group A)
Bersifat akut dengan demam, muntah, nyeri kepala, sakit menelan, menggigil.
Infeksi virus dengue
Demam tinggi berlangsung 1-3 hari. Fase kritis hari ke 3-7 (Demam bisa ada/hilang. Dilanjut fase pemulihan 48-72 jam.
Morbili 3-5 hari biasanya ringan tetapi pada ahir stadium erupsi dapat mencapai 40C. Ditemukan tanda 3C. Timbul ruam setelah demam 3 hari.
Varisela dan herpes zoster
Diawali demam tidak begitu tinggi selama 1-2 hari sebelum timbul ruam, disertai malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri tenggorok, batuk.
Otitis Media Akut Demam <7hari disertai keluar cairan dari telinga.
Chikungunya Onset demam 40C demam akut. Lama demam 1-2 hari. Disertai ruam makulopapular dan atralgia.
Cytomegalovirus Demam persisten, hepatitis, ruam morbiliform.
Leptospirosis
(penyakit zoonotic yang disebabkan oleh patogen spirochaeta)
Demam tinggi dan bersifat remiten mencapai 40C sebelum suhu tubuh turun. Congjungtival suffusion yg khas timbul pada hari ke 3-4. fase septikemia berlangsung 3-9 hari. Diikuti suhu tubuh turun 2-3 hari.
Differential DiagnosisDemam >7 Hari
Gejala
Tuberkulosis
(Penyakit infeksi yang disebabkan oleh m.tuberculosis)
Panas lama, Panas badan >38 C selama 14 hari, tetapi bukan karena infeksi saluran respiratori, malaria, sepsis, bakteremia.
Demam tifoid
(penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri genus salmonella)
Demam >1minggu. Demam sampai hari ke-4 bersifat remiten, dengan pola seperti anak tangga (stepwise fashion), sesudah hari ke 5 atau paling lambat akhir minggu pertama demam berbentuk kontinua
Fever of unkown origin (FUO)
Demam dengan suhu lebih dari 38 C yang berlangsung lebih dari 14 hari tanpa ditemukan penyebab yang jelas walaupun sudah dilakukan anamnesis yang lengkap, pemfis, dan pemeriksaan laboratorium.
Malaria Demam tinggi, menggigil, berkeringat, pucat, hepatosplenomegali. Dapat disertai sakit kepalam mual, muntah, diare, dan nyeri otot.
Meningitis Demam tidak terlalu tinggi. Hilang timbul. Siang = malam. Disertai kejang.
Cytomegalovirus Demam persisten, hepatitis, ruam morbiliform.Sle Demam >7hariHepatitis Demam >7hari
Mekanisme Alergi Cuaca Dingin
2. jelaskan mekanisme dan kompensasi demam. Klasifikasi demam, dan tatalaksana demam
Definisi:
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan
dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu
tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah
rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C
(Kaneshiro & Zieve, 2010).
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu
keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang
parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello
& Gelfand, 2005).
Etiologi:
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat
infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang
pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis,
osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto,
2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia,
influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti
H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson
& Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan
(Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan
(antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-
anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi
selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi
penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status
epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Risiko demam:
Risiko antara anak dengan terjadinya demam akut terhadap suatu penyakit serius bervariasi
tergantung usia anak. Pada umur tiga bulan pertama, bayi memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terkena infeksi bakteri yang serius dibandingkan dengan bayi dengan usia lebih tua.
Demam yang terjadi pada anak pada umumnya adalah demam yang disebabkan oleh infeksi
virus. Akan tetapi infeksi bakteri yang serius dapat juga terjadi pada anak dan menimbulkan
gejala demam seperti bakteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, dan
osteomyelitis (Jenson & Baltimore, 2007). Pada anak dengan usia di diantara dua bulan
sampai dengan tiga tahun, terdapat peningkatan risiko terkena penyakit serius akibat
kurangnya IgG yang merupakan bahan bagi tubuh untuk membentuk sistem komplemen yang
berfungsi mengatasi infeksi. Pada anak dibawah usia tiga tahun pada umumnya terkena
infeksi virus yang berakhir sendiri tetapi bisa juga terjadi bakteremia yang tersembunyi
(bakteremia tanpa tanda fokus). Demam yang terjadi pada anak dibawah tiga tahun pada
umumnya merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi seperti influenza, otitis media,
pneumonia, dan infeksi saluran kemih. Bakteremia yang tersembunyi biasanya bersifat
sementara dan dapat sembuh sendiri akan tetapi juga dapat menjadi pneumonia, meningitis,
arthritis, dan pericarditis (Jenson & Baltimore, 2007
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah
zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah
pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk
mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen
klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain
dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh
pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari
pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain
juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan
neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-
sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen
(IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat
termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari
suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan
panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai
selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas
yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut
(Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase
pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan
vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk
memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu
fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di
titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang
berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal &
Zhukovsky, 2006).
Penatalaksanaan
Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan titik
patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh
yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat dibagi
menjadi dua garis besar yaitu: nonfarmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan
penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur < 3 bulan
dengan suhu rectal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan dengan suhu >39°C, penderita
dengan suhu >40,5°C, dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro
& Zieve, 2010)
Terapi non-farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam: 1.
Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang
cukup. 2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil.
Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan
satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita. 3. Memberikan
kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah
pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan
menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010)
Terapi farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol
(asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas
sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak,
dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak
dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak
(Kaushik, Pineda, & Kest, 2010). Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi:
Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk
mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi
bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri apabila
memungkinkan (Graneto, 2010).
3. penilaian tumbuh kembang anak usia 3tahun dan imunisasi yang harus di lengkapi anak usia
3tahun. Jelaskan cara menghitung status gizi pada anak. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan
anak kesulitan makan jelaskan kebutuhan kalori atau nutrisi pada anak. Pencegahal gizi buruk
pada anak dan tatalaksana gizi buruk dan kurang
3.1. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Cara penilaian pertumbuhan anak
Pengukuran antropometrik
Berat badan
Untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh
(tulang, otot, lemak, cairan tubuh ) sehingga akan diketahui status gizi anak atau tumbuh
kembang anak. BB dapat juga sebagai menghitung dosis obat. Penilaian berat badan
berdasarkan umur menurut WHO dengan baku NCHS, berdasarkan tinggi badan menurut
WHO, dan NCHS yaitu; persentil ke 75 -25 dikatakan normal, persentil 10-5 malnutrisi
sedang dan <>
Kenaikan berat badan pada bayi cukup bulan kembali pada hari ke-10.
Umur 10 hari : BBL
Umur 5 balan : 2 x BBL
Umur 1 tahun : 3 x BBL
Umur 2 tahun : 4 x BBL
Pra sekolah : meningkat 2 kg/tahun
Adolecent : meningkat 3-3,5 kg/tahun
Kenaikan BB pada tahun pertama kehidupan
Trimester I : 700-1000 gram/bulan
Trimester II : 500-600 gram/bulan
Trimester III : 350-450 gram/bulan
Trimester IV : 250-350 gram/bulan
Perkiraan BB dalam kilogram
Usia 3-12 bulan : umur (bulan) + 9
2
Usia 1-6 tahun : umur (tahun) x 2 + 8
Usia 6-12 tahun : umur (tahun) x 7 – 5
2
Tinggi Badan
Pengukuran tinggi badan untuk menilai status perbaikan gizi disamping faktor
genetik. Penilaian TB dapat dilakukan dengan sangat mudah dalam menilai gangguan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Penilaian TB daat berdasarkan umur menurut WHO
dengan baku NCHS yaitu dengan cara presentase dari median dengan penilaian ; ≥90& adalah
normal, <>
TB meningkat sampai tinggi maksimaldicapai, meningkat pesat pada usia bayi dan
adolecent dan berhenti pada usia 18 – 20 tahun.
TB dapat diperkirakan sebagai berikut :
Umur 1 tahun = 1,5 x TB lahir
Umur 4 tahn = 2 x TB lahir
Umur 6 tahun = 1,5 x TB setahun
Umur 13 tahun = 3 x TB lahir
Dewasa = (3,5 x TB lahir ) atau (2 x TB umur 2 tahun)
Atau dengan rumus Behrman :
Lahir = 50 cm
Umur 1 tahun = 75 cm
Umur 2 – 12 tahun = umur (tahun) x 6 + 77
Atau berdasarkan potensi genetik TB akhir :
Wanita = (TB ayah – 13 cm) +TB ibu ±8,5 cm
2
Pria = (TB ibu + 13 cm) + TB ayah ± 8,5 cm
2
Lingkar kepala
Dapat digunakan untuk menilai pertumbuhan otak. Penilaian ini dapat dilihat apabila
pertumbuhan otak kecil (mikrosefali) maka menunjukkan adanya retardasi mental, sebaliknya
apabila otaknya besar (volume kepala meningkat) akibat penyumbatan pada aliran cairan
cerebrospinalis.
Peningkatan volume
6 -9 bulan kehamilan = 3 gram/24 jam
Lahir-6 bulan = 2 gram/24 jam
6 blan- 3 tahun = 0,35 gram/24 jam
3-6 tahun = 0,15 gram/24 jam
Pengukuran lingkar lengan atas
Digunakan untuk menilai jaringan lemak dan otot, tetapi penilaian ini banyak
berpengaruh pada keadaan jaringan tubuh apabila dibanding dengan BB. Penilaian ini juga
dapat dipakai untuk menilai status gizi pada anak usia pra sekolah.
Pemeriksaan fisik
Untuk menilai pertumbuhan dan perkembangan dengan cara melakukan pemeriksaan
fisik, dengan melihat bentuk tubuh, perbandingan bagian tubuh dan anggota gerak lainnya,
menentukan jaringan otot dengan memeriksa lengan atas, pantat dan paha, menentukan
jaringan lemak dilakukan pada triseps, rambut dan geligi
Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk menilai keadaan pertumbuhan dan perkembangan dengan status
keadaan penyakit, adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan ; pemeriksaan Hb, serum
protein (albumun, globulin), hormonal, dll.
.
Pemeriksaan radiologi
Dilakukan untuk menilai umur pertumbuhan dan perkembangan seperti tulang
(apabila dicurigai adanya gangguan pertumbuhan )
Penilaian perkembangan anak
Tujuan
Mengetahui kelainan perkembangan anak dan hal-hal lain yang merupakan isiko terjadinya
perkembangan tersebut
Mengetahui berbagai masalah perkembangan yang memerlukan pengobatan atau konseling
genetik
Mengetahui anak perlu dirujuk
Cara deteksi perkembangan
DDST (Denver development screnning test)
KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
KPAP ( Kuesioner Perilaku Anak Pra Sekolah
Tes Daya Lihat dan tes Kesehataan Mata Anak Pra Sekolah
Tes Daya Dengar Anak (TDD)
DDST II ( Denver Development Screening Test )
DDST II merupakan alat untuk menemukan secara dini masalah penyimpangan
perkembangan anak umur 0 s/d < 6 tahun.
Instrumen ini merupakan revisi dari DDST yang pertama kali dipublikasikan tahun
1967 untuk tujuan yang sama. Pemeriksaan yang dihasilkan DDST II bukan merupakan
pengganti evaluasi diagnostik, namun lebih ke arah membandingkan kemampuan
perkembangan seorang anak dengan anak lain yang seumur.
DDST II digunakan untuk menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya pada
anak yang mempunyai tanda-tanda keterlambatan perkembangan maupun anak sehat.
DDST II bukan merupakan tes IQ dan bukan merupakan peramal kemampuan
intelektual anak di masa mendatang. Tes ini tidak dibuat untuk menghasilkan diagnosis,
namun lebih ke arah untuk membandingkan kemampuan seorang anak dengan kemampuan
anak lain yang seumur.
Menurut Pedoman Pemantauan Perkembangan Denver II (Subbagian Tumbuh
Kembang Ilmu Kesehatan Anak RS Sardjito, 2004), formulir tes DDST II berisi 125
item yg terdiri dari 4 sektor, yaitu:
a. Sektor personal sosial meliputi komponen penilaian yang berkaitan dengan
kemampuan penyesuaian diri anak di masyarakat dan kemampuan memenuhi kebutuhan
pribadi anak.
b. Sektor motorik halus-adaptif berisi kemampuan anak dalam hal koordinasi
mata-tangan, memainkan dan menggunakan benda-benda kecil serta pemecahan masalah.
c. Sektor bahasa meliputi kemampuan mendengar, mengerti, dan menggunakan bahasa.
d. Sektor motorik kasar terdiri dari penilaian kemampuan duduk, jalan, dan gerakan-gerakan
umum otot besar.
Selain keempat sektor tersebut, itu perilaku anak juga dinilai secara umum untuk
memperoleh taksiran kasar bagaimana seorang anak menggunakan kemampuannya.
KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP)
KPSP merupakan suatu daftar pertanyaan singkat yang ditujukan pada orang tua dan
dipergunakan sebagai alat untuk melakukan skrining pendahuluan untuk perkembangan anak
usia 3 bulan sampai 6 tahun. Daftar pertanyaan tersebut berjumlah 10 nomor yang harus
dijawab oleh orang tuaatau pengasuh yang mengetahui keadaan perkembangan anak.
Pertanyaan dalam KPSP dikelompokan sesuai usia anak saat dilakukan pemeriksaan,
mulai kelompok usia 3 bulan, 3-6 bulan,dst sampai kelompok 5-6 tahun. Untuk usia
ditetapkan menurut tahun dan bulan dengan kelebihan 16 hri dibulatkan menjadi 1 bulan.
Pertanyaan dalam KPSP harus dijawab dengan ’ya’ atau ’tidak’ oleh orang tua.
Setelah semua pertanyaan dijawab, selanjutnya hasil KPSP dinilai.
1. apabila jawaban ’ya’ berjumlah 9-10, berarti anak tersebut normal (perkembangan baik)
2. apabila jawaban ’ya’ kurang dari 9,maka perlu diteliti lebih lanjut mengenai
Apakah cara menghitung usia dan kelompok pertanyaannya sudah sesuai???
Kesesuaian jawaban orang tua dengan maksud pertanyaan. Apabila ada kesalahan,
maka pemeriksaan harus diulang, apabila setelah diteliti jawaban ’ya’ berjumlah 7-8, berarti
hasilnya meragukan dan perlu diperiksa ulang1 minggu kemudian, apabila jawaban ’ya’
berjumlah 6 atau kurang, berarti hasilnya kurang atau positif untuk perlu dirujuk guna
pemeriksaan lebih lanjut
KUESIONER PERILAKU ANAK PRA SEKOLAH (KPAP)
KPAP adalah sekumpulan perilaku yang digunakan sebagai alat untuk mendeteksi
secara dini kelainan-kelainan perilaku pada anak prasekolah (usia 3-6) tahun. Kuesioner ini
berisi 30 perilaku yang perlu ditanyakan satu per satu pada orang tua.
Setiap perilaku perlu ditanyakan apakah ‘sering terdapat’, ‘ kadang-kadang terdapat’,
atau ‘ tidak terdapat’. Apabila jawaban yang diperoleh adalah ‘sering terdapat’ , maka
jawaban tersebut dinilai 2, ‘kadang-kadang terdapat’ diberi nilai 1 dan ‘tidak terdapat’ diberi
nilai 0. Apabila jumlah nilai keseluruhan kurang dari 11, maka anak perlu di rujuk, sedangkan
jika jumlah nilai 11 atau lebih maka anak tidak perlu dirujuk.
TES DAYA LIHAT DAN TES KESEHATAN MATA ANAK PRASEKOLAH
Tes ini untuk memeriksa ketajaman daya lihat serta kelainan mata pada anak berusia
3- 6 tahun. Tes ini juga digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan daya lihat pada anak
usia prasekolah secara dini, sehingga jika ada penyimpangan dapat segera ditangani.
Untuk melakukan tes daya lihat diperlukan ruangan dengan penyinaran yang baik dan
alat ’kartu E’ yang digantungkan setinggi anak duduk. Kartu E berisi 4 baris. Baris pertama
huruf E berukuran paling besar kemudian berasngsur-angsur mengecil pada baris keempat.
Apabila pada baris ketiga , anak tidak dapat melihat maka perlu di rujuk.
Selain tes daya lihat, anak juga perlu diperiksakan kesehatan matanya. Perlu ditanyakan ;
1. keluhan seperti mata gatal, panas, penglihatan kabur atau pusing
2. perilaku seperti sering menggosok mata, membaca terlalu dekat, sering mengkedip-
kedipkan mata
kelainan mata seperti bercak bitot, juling, mata merah dan keluar air apabila ditemukan satu
kelainan atau lebih pada mata maka, maka anak tersebut perlu dirujuk
TES DAYA DENGAR ANAK (TDD)
Tes daya dengar berupa pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan denga usia anak,
yaitu kelompok 0-6 bulan, > 16 bulan, > 9 bulan, > 11 bulan, > 12 bulan, > 24 bulan dan > 36
bulan. Setiap pertanyaan perlu dijawab ’ya’ atau ’tidak’. Apabila jawabannya adalah tidak
maka pendengaran anak tidak normal sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut.
3.2. Imunisasi Anak
Selain imunisasi wajib (vaksin BCG, polio tetes minum (polio oral), DPT, hepatitis B dan
campak) yang direkomendasi oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Anda juga
perlu tahu imunisasi yang dianjurkan. Imunisasi yang dianjurkan ini diteliti bisa mencegah
berbagai penyakit, antara lain: radang paru-paru (pneumonia), radang selaput otak
(meningitis), campak Jerman, Hepatitis A, dan kanker mulut rahim. Vaksin tersebut belum
masuk dalam daftar imunisasi PPI dan tidak disubsidi pemerintah –sehingga disebut tidak
wajib atau ‘hanya’ dianjurkan saja. Apa saja imunisasi yang dianjurkan?
Hib
Manfaat: Melindungi tubuh dari virus Haemophilus influenza type B, yang bisa menyebabkan
meningitis, pneumonia, dan epiglotitis (infeksi pada katup pita suara dan tabung suara).
Waktu pemberian: Umur 2, 4, 6, dan 15 bulan. Catatan khusus: Bisa diberikan secara terpisah
atau kombinasi.
Pneumokokus (PCV)
Manfaat: Melindungi tubuh dari bakteri pnemukokus yang bisa menyebabkan meningitis,
pneumonia, dan infeksi telinga. Waktu pemberian: Umur 2, 4, 6 bulan, serta antara 12 – 15
bulan. Catatan khusus: Kalau mama belum memberikannya hingga usia anak di atas 1 tahun,
PCV hanya diberikan dua kali dengan interval 2 bulan. Jika usia anak sudah 2 – 5 tahun, PCV
hanya diberikan 1 kali.
Influenza
Manfaat: Melindungi tubuh dari beberapa jenis virus influenza. Waktu pemberian: Setahun
sekali sejak usia 6 bulan. Bisa terus diberikan hingga dewasa. Catatan khusus: Untuk usia di
atas 2 tahun, vaksin bisa diberikan dalam bentuk semprotan pada saluran pernapasan.
MMR (Measles, Mumps, Rubella)
Manfaat: Melindungi tubuh dari virus campak, gondok, dan rubella (campak Jerman). Waktu
pemberian: Usia 15 bulan, dan diulang saat anak berusia 6 tahun. Catatan khusus: Bisa
diberikan pada umur 12 bulan, jika belum mendapat campak di usia 9 bulan.
Tifoid
Manfaat: Melindungi tubuh dari bakteri Salmonella typhi yang menyebabkan demam tifoid
(tifus). Waktu pemberian: Pada umur di atas 2 tahun, dan diulang setiap 3 tahun. Catatan
khusus: Terdapat dua jenis, yaitu oral dan suntik. Tifoid oral diberikan pada anak di atas 6
tahun.
Hepatitis A
Manfaat: Melindungi tubuh dari virus Hepatitis A, yang menyebabkan penyakit hati. Waktu
pemberian: Pada umur di atas 2 tahun, dua kali dengan interval 6 – 12 bulan.
Varisela
Manfaat: Melindungi tubuh dari cacar air. Waktu pemberian: Pada umur di atas 5 tahun.
HPV (Humanpapilloma Virus)
Manfaat: Melindungi tubuh dari Humanpapilloma Virus yang menyebabkan kanker mulut
rahim. Waktu pemberian: Pada anak umur di atas 10 tahun, diberikan 3 kali dengan jadwal 0,
1-2 bulan kemudian, serta 6 bulan kemudian.
3.3. Penilaian Status Gizi, Kalori dan Nutrisi
Keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-
zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara
antropometri dan dikategorikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U,
TB/U dan BB/TB.
Penilaian menurut WHO
Status gizi anak < 2 tahun ditentukan dgn menggunakan tabel Berat Badan
menurut Panjang Badan (BB/PB)
Anak umur ≥ 2 tahun ditentukan dgn menggunakan tabel Berat Badan
menurut Tinggi Badan (BB/TB).
Berat Badan per Umur
Paling sederhana
Menggambarkan status gizi saat ini
Secara luas digunakan untuk menentukan MEP
Kerugiannya : tidak dapat menentukan adanya wasting
INTERPRETASI
BB/U diplot pada kurva (CDC 2000)
• BB/U < persentil 10 : defisit
• BB/U > persentil 90 : kelebihan
BB/U dibandingkan standar yang diacu (%):
• > 120 : gizi lebih
• 80 – 120 % : gizi baik
• 60 – 80 % : gizi kurang
• < 60 % : gizi buruk
TB/U < persentil 5 : defisiensi berat
TB/U antara persentil 5 dan 10 : evaluasi laju pertumbuhan untuk membedakan perawakan
pendek yg disebabkan:
• Defisiensi gizi kronis
• Faktor konstitusional atau genetik
TB/U dibandingkan dgn standar baku (%) :
• 90 – 110% : tinggi baik
• 70 – 90 % : tinggi kurang
• < 70 % : tinggi sangat kurang
Penilaian status gizi berdasar persentase TB/BB
>120% : obesitas
110-120% : overweight
90-110% : normal
70-90%: gizi kurang
<70% : gizi sangat kurang
Periode penyapihan adalah tahap penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi
dan anak. Waktu penyapihan, pilihan makanan, metode mereka persiapan, dan bagaimana
weanlings diberi makan, semua mempengaruhi hasilnya. Persiapan komersial makanan
penyapihan dan fortifikasi beberapa makanan tradisional yang dipandang oleh beberapa
sebagai cara yang paling berkelanjutan dan biaya-efektif mengurangi defisiensi mikronutrien
pada bayi dan anak-anak. Hal ini mungkin benar di negara-negara industri, tapi sama tidak
bisa serta merta dikatakan miskin, negara-negara berkembang. Menunjukkan bahwa di
masyarakat miskin, adalah sangat mungkin untuk menggabungkan sumber makanan sedikit
dengan cara yang hemat biaya untuk merumuskan multimixes yang akan memenuhi
kebutuhan energi, protein dan mikronutrien, tanpa fortifikasi. Mengusulkan bahwa
pendekatan tersebut dapat digunakan dalam program pendidikan masyarakat gizi untuk
membantu mengurangi kekurangan gizi anak dan program darurat masalah gizi.
Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menentukan kebutuhan nutrisi anak balita :
Menentukan Desirable Body Weight (DBW) atau Berat Badan Ideal Penentuan berat
badan ideal untuk anak balita (1-5 tahn) secara sederhana dapat menggunakan rumus BBI =
(usia dalam tahun x 2) + 8
Menentukan Estimasi Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Total Per Hari
1. Kebutuhan energi/kalori pada anak balita dapat dilakukan dengan rumus :
a. Keb. energi = 1000 + (100 x usia dalam tahun)
b. Keb energi usia 1-3 tahun = 100 kalori/kg BBI
Keb energi usia 4-5 tahun = 90 kalori/kg BBI
2. Kebutuhan protein adalah sebesar 10% dari total kebutuhan energi sehari, dapat dihitung :
(10% x Total Energi Harian) : 4 = x gram
3. Kebutuhan Lemak yaitu sebesar 20% dari total energi harian yaitu : (20% x Total Energi
Harian) : 9 = x gram
4. Kebutuhan Karbohidrat adalah sisa dari total energi harian dikurangi prosentase protein dan
lemak
Contoh :
Balita kita berusia 3 tahun, maka BBI nya adalah: (3 thn x2)+8 =12kg
Kebutuhan kalori:
100 kal/kg BBI, yaitu 100×13 kg = 1300 kal/hari atau menggunakan rumus pertama : 1000 +
(100 x usia dalam tahun ), yaitu 1000 + (100 x 2 thn) = 1300 kal/hari
Kebutuhan zat gizi :
Protein 10% dari total kalori = (10% x 1300 kal) : 4 = 40 gram
Lemak 20% dari total kalori = (20% x 1300 kal) : 9 = 35 gram
Karbohidrat, sisa dari total kalori dikurangi prosentase protein dan lemak =
(70% x 1200 kal) : 4 = 290 gram
Pembagian Makanan Sehari Diet 1300 kalori 35 gram Protein :
Nasi 3P = 300 gram (2 1/2 gelas)
Protein hewani 3P = 150 gram ( 31/2 potong sedang)
Protein nabati 2,5P = 90 gram tempe/30 gram kacang hijau (1,5 potong tempe/2,5 sendok
makankc.hijau)
Sayuran 1,5P = 150 gram (1 1/2 gelas sayuran masak)
Buah 3P = +/- 350 gram
Minyak 2,5P = 12,5 gram (3 sendok teh)
3.4. Penyebab Anak Sulit Makan
Penyebab Anak Susah Makan
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan seorang anak atau bayi dan balita menjadi susah makan.
Dua diantaranya dibedakan karena faktor secara fisik pada anak dan balita dan juga faktor psikis yang
ada pada balita.
Faktor fisik yang menjadi penyebab anak menjadi susah makan contoh mudahnya adalah adanya
gangguan di organ pencernaan anak maupun terdapatnya infeksi dalam tubuh anak.
1. Mulai eksplorasi ke mana-mana
Ketika sudah mahir berjalan, anak akan lebih mengutamakan kegiatan eksplorasi ketimbang acara
makan. Lihat saja cara bermainnya yang disertai gerakan berjalan, memanjat, atau berlari seolah tidak
pernah lelah. Tak heran jika acara makan dianggapnya sebagai kegiatan buang-buang waktu, apalagi
kalau diminta duduk diam.
2. Sedang sakit
Tidak mau makan yang disebabkan alasan medis biasanya disertai ciri-ciri badan lemas, sering
demam, bolak-balik diare, berat badannya tak bergerak naik atau malah mengalami penurunan, dan
adanya perubahan tingkah laku. Kalau semula anak terlihat aktif, riang dan "cerewet", maka di kala
sakit ia lebih suka diam dan terlihat malas-malasan.
Kalau anak menunjukkan gejala seperti itu, tentu harus segera diperiksakan ke dokter. Sebab dilihat
dari indikasinya, besar kemungkinan problema sulit makan ini disebabkan radang tenggorok, lambung
terganggu, atau malah kena vlek paru-paru, bahkan TBC.
Sedangkan faktor psikis yang bisa menjadi penyebab anak bayi menjadi susah makan antara lain
adalah jarena adanya gangguan psikologis pada anak, seperti kondisi rumah tangga yang bermasalah,
suasana makan yang kurang menyenangkan, tidak pernah makan bersama orangtua, maupun anak
dipaksa untuk memakan makanan yang tidak disukainya.
Dilihat dari segi psikologis anak susah makan, penyebabnya adalah:
1. Cemas
Rasa cemas ini paling sering dialami anak batita. Contoh, cemas berpisah dari orangtua karena
berpikir akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa orangtuanya; cemas berada di lingkungan baru,
semisal ketika mulai bersekolah, dan sebagainya. Kecemasan yang timbul sering kali disertai gejala-
gejala fisiologis maupun perilaku seperti gelisah, berkeringat dingin, berdebar-debar, sulit
konsentrasi, susah tidur, dan sebagainya. Kondisi-kondisi ini berpengaruh pada pola makan anak,
termasuk membuat anak jadi susah makan.
2. Depresi
Anak yang depresi bisa mengalami dua masalah makan, yaitu makan berlebihan/tidak terkendali
sehingga membuatnya obesitas atau ia menjadi sulit makan. Depresi banyak dialami anak usia
sekolah. Penyebabnya bermacam-macam. Ada yang karena menjadi korban bully seperti diejek,
digoda, mendapatkan kekerasan, dan sebagainya.
3. Pola relasi yang tak bagus dengan orangtua.
Ketika anak makan dan rewel, lalu direspons orangtua dengan tidak sabar dan memaksa anak, maka
peristiwa makan menjadi hal yang tidak menyenangkan. Akibatnya, anak pun jadi susah makan.
Dalam hal pola asuh, orangtua tidak mengajari anak untuk mengonsumsi makanan yang bervariasi
alias hanya menyediakan makanan yang itu-itu saja. Ini membuat anak tidak belajar mengenal rasa
dan jenis makanan yang beragam. Akibatnya, anak menjadi pilah-pilih makanan dan makan yang itu-
itu saja. Ujung-ujungnya, anak pun akan susah makan.
Selain itu faktor psikologis yang dapat mengganggu anak susah makan, seperti kondisi rumah tangga
yang bermasalah, suasana makan yang kurang menyenangkan, tidak pernah makan bersama orangtua,
maupun anak dipaksa memakan makanan yang tidak disukai.
Cara Mengatasi Anak Susah Makan
Cara mengatasi anak susah makan ini harus dilihat secara detai apa faktor penyebabnya, apabila
secara medis tak ada masalah, biasanya anak yang sulit makan akan dirujuk kepada psikiater/psikolog.
Psikiater/psikolog akan mencari latar belakang masalah dari segi kejiwaan si anak. Para ahli juga akan
memberikan saran untuk mengatasi masalah psikis tersebut, sehingga bila sudah berhasil diatasi,
diharapkan perilaku makan anak akan membaik.
Di rumah, orangtua sebenarnya bisa mengenali masalah psikis pada anak lewat terapi
bermain. Biasanya cara ini dilakukan pada anak yang masih kecil hingga usia batita. Saat bermain,
orangtua bisa mengamati dan menganalisis bagaimana pola bermain anak dari kisah-kisah yang
diperlihatkan. Misal, dalam bermain anak selalu memilih peran utama binatang buas yang menerkam
binatang lemah. Bila pola ini selalu berulang, ini merupakan pertanda penting, anak merasa dirinya
selalu jadi objek/korban dari pola asuh /perilaku, apakah orangtua atau teman. Lewat terapi bermain,
konflik permasalahan anak dapat ditelusuri, kemudian diatasi sesuai penyebabnya.
Terapi bermain juga dapat digunakan untuk memperbaiki relasi antara orangtua dan
anak. Karena dalam bermain, orangtua dapat belajar bagaimana merespons anaknya. Namun, perlu
dipahami, terapi bermain yang dilakukan ini tidak serta merta berdampak langsung pada pola makan
anak. Artinya, setelah relasi/pola asuh diubah tidak serta merta perilaku sulit makan anak teratasi.
Perlu proses dan waktu yang cukup hingga akhirnya terjadi perubahan perilaku makan pada anak.
Selain terapi bermain, orangtua juga bisa melakukan terapi kognitif, utamanya pada anak yang lebih
besar. Anak dibantu mengatasi kondisi cemas atau depresinya dengan mengubah cara berpikirnya.
Lakukan dengan pendekatan komunikatif, anak diajak mengungkapkan perasaannya, sehingga ia
merasa nyaman dan tenang. Lakukan komunikasi pada anak sesuai tahapan usianya.
Lakukan introspeksi diri atas sikap dan pola asuh terhadap anak, mungkinkah selama ini
kerap bersikap otoriter atau overprotektif, sehingga membuat anak merasa cemas, marah, dan tak
nyaman. Orangtua diharapkan bisa mengubah cara berpikirnya.
Mengajarkan perilaku makan yang baik. Sediakan menu makanan yang bervariasi agar
anak mengenal banyak rasa dan jenis makanan. Jadilah model yang baik dengan membiasakan makan
bersama di meja makan. Makan bersama merupakan ajang interaksi penting antara orangtua dan anak.
Orangtua juga bisa menjadi teman menyenangkan di meja makan. Dengan begitu, hubungan orangtua
dan anak semakin erat.
Jadikan saat makan menyenangkan. Hindari mengancam, menghukum, atau menakut-
nakuti anak agar ia makan lebih banyak. Ini akan membuatnya merasa bahwa saat makan merupakan
saat yang tidak menyenangkan. Dan bukan tak mungkin menimbulkan trauma psikologis baginya.
4. jelaskan klasifikasi KEP. Alur diagnostik KEP dan patomekanisme konjungtiva anemis pada
skenario
B. Pengertian dan Dasar Diagnosis KEP
Kurang Energi Protein atau Kurang Kalori Protein adalah keadaan kurang gizi pada anak
yang disebabkan oleh kurangnya asupan energi dan protein. Balita usia 6-59 bulan merupaka
golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, diantaranya adalah masalah kurang energi
protein (KEP) yang merupakan masalah gizi utama di Indonesia.4
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, MEP diklasifikasikan menjadi
MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan MEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum
menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.
Pada gizi buruk, di samping gejala klinis, didapatkan juga kelainan biokimia sesuai dengan bentuk
klinis. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwarshiorkor, marasmus, dan marasmus-
kwarshiorkor, walaupun demikian, penatalaksanaannya tetap sama.3
Klasifikasi KEP
1. KEP ringan / gizi kurang adalah bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai
berikut: BB/TB < -2 s/d -3 SD, LiLA 11,5 s/d 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik,
tidak ada komplikasi medis, maka anak dikategorikan gizi kurang dan perlu diberikan PMT
Pemulihan.4
Pada pemeriksaan fisik KEP ringan biasanya ditemukan gangguan pertumbuhan, anemia
ringan, dan berkurangnya aktivitas dan konsentrasi.3
2. KEP berat / gizi buruk tanpa komplikasi adalah bila dalam pemeriksaan pada anak
didapatkan satu atau lebih tanda berikut: tampak sangat kurus, edema minimal pada kedua
punggung kaki atau tanpa edema, BB/PB atau BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak
usia 6-59 bulan), nafsu makan baik, maka anak dikategorikan gizi buruk tanpa komplikasi dan
perlu diberikan penanganan secara rawat jalan.3
3. KEP berat / gizi buruk dengan komplikasi adalah bila hasil pemeriksaan anak ditemukan
tanda-tanda sebagai berikut: tampak sangat kurus, edema pada seluruh tubuh, BB/PB atau
BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan) dan disertai dari salah satu
atau lebih tanda komplikasi medis sebagai berikut: anoreksia, pneumonia berat, anemia berat,
dehidrasi berat, demam sangat tinggi, penurunan kesadaran, maka anak dikategorikan gizi
buruk dengan komplikasi sehingga perlu penanganan secara rawat inap.3
Gejala klinis KEP berat/Gizi buruk yang dapat ditemukan: 3
a. Kwashiorkor
- Perubahan mental sampai apatis
- Anemia
- Edema simetris, terutama pada kedua punggung kaki (dorsum pedis), dapat sampai
seluruh tubuh
- Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok
- Pembesaran hati
- Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
- Gangguan sistem gastrointestinal
b. Marasmus:
- Wajah seperti orang tua
- Perubahan mental, cengeng, rewel
- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat
tampak seperti memakai celana longgar/”baggy pants”)
- Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas
- Kadang-kadang disertai bradikardi
c. Marasmik-Kwashiorkor:
- Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klnik Kwashiorkor dan
Marasmus
- terlihat sangat kurus
- Edema nutrisional, simetris
- BB/TB < -3 SD
- Lingkar lengan atas < 11,5 cm
Patofisiologi 5
1. Respon Metabolik Terhadap Pemasukan Energi Inadekuat
KEP merupakan hasil dari tidak tercukupinya kebutuhan energi dan nutrisi dalam waktu yang
lama. Manifestasinya tergantung dari beberapa faktor, misalnya umur, infeksi, status nutrisi awal
dan kebiasaan mengurangi makan.
Pada keadaan puasa terjadi pengurangan lemak dan perubahan endokrin yang mempunyai tujuan
untuk menjaga fungsi vital dan bertahan hidup sampai didapatkan lagi energi dari makanan.
Akibatnya akan terjadi perubahan-perubahan yaitu berkurangnya aktivitas, pertumbuhan yang
lambat dan perubahan komposisi badan. Selain itu akan terjadi penurunan laju metabolisme dan
peningkatan total cairan tubuh terutama di ekstaselular.
Hormon cortisol akan meningkat pada keadaan kelaparan dan stress. Sekresi insulin akan
menurun dan akan terjadi resistensi insulin di perifer. Aktivitas insulin-growth faktor 1 serta
efektor metabolik pertumbuhan yang mempengaruhi hormon pertumbuhan juga berkurang. Efek
keseluruhan dari perubahan hormon ini adalah mobilisasi lemak, degradasi protein otot, dan
penurunan basal metabolic rate. Peningkatan aldosterone yang berperan dalam kehilangan
potassium sudah diikuti oleh pengurangan energi dan penurunan sintesis adenosin trifosfat dalam
sodium pump.
2. Adaptasi Terhadap Penurunan Pemasukan Protein
Selama kehilangan protein, otot skelet yang hilang akan diganti untuk menjaga enzim yang
penting dan memberikan energi untuk proses metabolisme, sehingga terjadi proses pembentukan
protein otot dan peningkatan pemecahan yang akan memberikan asam amino essensial untuk
sintesis protein dan glukoneogenesis. Di dalam hepar, terdapat pertukaran laju sintesis dari protein
yang berbeda : sintesis albumin, transferrin dan apolipoprotein B akan menurun sedangkan
sintesis protein lain akan dijaga.
3. Perubahan Elektrolit
Pada marasmus dan kwashiorkor akan terjadi retensi sodium sehingga akan terjadi peningkatan
total sodium dalam tubuh, meskipun kadar serumnya rendah sedangkan total potasium dalam
tubuh akan menurun. Selain sodium dan potasium, elektrolit lain juga akan berubah seperti
fosfat , magnesium dan kalsium.
Hipofosfatemia ditemukan dalam anak-anak yang malnutrisi dan berhubungan dengan tingginya
angka mortalitas. Kadar fosfat yang rendah berhubungan dengan diare dan dehidrasi. Selain
hipofosfatemia, hipokalemia juga bisa menyebabkan hipotonus dan kematian mendadak (sudden
death).
4. Interaksi dengan Infeksi
Infeksi dan nutrisi saling berhubungan. Kondisi dimana pemasukan energi dan protein yang tidak
cukup berhubungan dengan kondisi peningkatan bakteri dan mikroba lain. Produk makanan yang
berasal dari daging seperti daging merah, daging unggas, ikan, susu dan telur merupakan sumber
nutrisi yang penting untuk melawan infeksi. Lemak dibutuhkan untuk memfasilitasi penyerapan
dari vitamin seperti E, D dan A serta untuk menjaga infeksi.
Selama infeksi, terdapat perubahan metabolik yang akan meningkatkan produksi protein fase
akut. Produksi protein fase akut dan perubahan metabolik pada infeksi diperantarai oleh sitokin,
lipid-derived factor termasuk prostaglandin, leukotrien, dan platelet aktivating factor. Perubahan
endokrin juga berperan; hormon-hormon katabolik juga meningkat seperti glukokortikoid,
glukagon, dan epinefrin. Sebagai tambahan bahwa perubahan efek metabolisme terhadap infeksi
sesuai dengan status nutrisinya.
5. Sitokin
Sintesin sitokin dipercepat oleh infeksi, trauma, iskemi dan keadaan lain. Sitokin berperan dalam
metabolisme protein dan otot, puasa, dan cachexia pada kanker.
Pada anak yang malnutrisi berat didapatkan penurunan reaksi inflamasi dan menumpulnya respon
febrile.
6. Protein Fase Akut
Sitokin memodulasi pembentukan protein fase akut. Pembentukan protein tersebut adalah di
dalam hati dan meningkat bila ada stress seperti infeksi. Pada anak malnutrisi berat akan terjadi
penurunan protein fase akut negatif seperti albumin, prealbumin, fibronektin dan retinol binding
protein. Hal tersebut akan mengakibatkan meningkatnya sistesis protein dalam hepar.
7. Kwashiorkor
Kwashiorkor berhubungan dengan kurangnya diet protein dan edema yang terjadi adalah akibat
dari rendahnya albumin, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa kwashiorkor tergantung
dari intake energi bukan protein dan edema tidak tergantung dari albumin.
8. Perubahan Organ dan Sistem
PEMERIKSAAN PENUNJANG 3, 4, 5
Darah : Hb, Leukosit, Eritrosit, Nilai Absolut Eritrosit, Hematokrit, Apus Darah Tepi,
Albumin, Protein Total, Ureum, Kreatinin, Kolesterol, HDL, Trigliserida, Fe, TIBC,
Transthyretin Serum, Elektrolit, Glukosa, Bilirubin, Indeks Protrombin dan Biakan
Urin : Kultur, Urea N, Hidroksiprolin
Apus Rektal
Tes mantoux
Radiologi (dada, AP, Lateral)
EKG
Ciri-ciri biokimia dan histopatologis dari KEP berat
Penemuan biokimia umum sebagai berikut :
1. Konsentrasi total protein serum dan terutama albumin secara nyata berkurang pada KEP
edematus, dan normal atau rendah pada marasmus.
2. Hemoglobin dan hematokrit biasanya rendah, terlebih pada kwashiorkor daripada marasmus.
3. Rasio asam amino nonesensial dan esensial plasma meningkat pada kwashiorkor dan biasanya
normal pada marasmus.
4. Level Free Fatty Acid (FFA) serum meningkat, terutama pada kwashiorkor.
5. Level glukosa darah normal atau rendah setelah puasa 6 atau lebih.
6. Eksresi urin kreatinin, hidroksiprolin, 3-metil histidin, dan urea nitrogen rendah.
Banyak perubahan biokimia lain yang sudah diterangkan pada KEP berat, meskipun
mempunyai sedikit pengaruh pada diagnosis penyakit.
Penelitian histopatologis menunjukkan atrofi nonspesifik, terutama pada jaringan dengan
angka turnover sel yang besar seperti mukosa usus, sumsum tulang merah, dan epitel testikular,
sedangkan pada vili usus dan enterosit kehilangan penampakan columnarnya. Perubahan kulit terdiri
atas atrofi dermal, ekimosis, ulserasi, dan deskuamasi hiperkeratosis, terlihat pada daerah yang iritasi.
Hepar pada kwashiorkor besar dengan infiltrasi lemak; lemak periportal terlihat pertama dan berlanjut
sejalan dengan meningkatnya kehebatan penyakit.
ALUR PEMERIKSAAN DAN PENEMUAN KASUS
Berikut penjelasan alur pemeriksaan yang dapat di gunakan untuk menentukan langkah-
langkah yang dilakukan dalam menangani penemuan kasus anak gizi buruk berdasarkan kategori yang
telah ditentukan :
1. Penemuan Anak Gizi Buruk, dapat menggunakan data rutin hasil penimbangan anak di
posyandu, menggunakan hasil pemeriksaan di fasilitas kesehatan (Puskesmas dan
jaringannya, Rumah Sakit dan dokter/bidan praktek swasta), hasil laporan masyarakat, media
massa, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya) dan skrining aktif (operasi timbang
anak).
2. Penapisan Anak Gizi Buruk, anak yang dibawa oleh orangtuanya atau anak yang berdasarkan
hasil penapisan Lila < 12,5 cm, atau semua anak yang dirujuk dari posyandu (2T dan BGM)
maka dilakukan pemeriksaan antropometri dan tanda klinis, semua anak diperiksa tanda-tanda
komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi,
penurunan kesadaran), semua anak diperiksa nafsu makan dengan cara tanyakan kepada
orang tua apakah anak mau makan/tidak mau makan minimal dalam 3 hari terakhir berturut-
turut.
3. Bila dalam pemeriksaan pada anak didapatkan satu atau lebih tanda berikut: tampak sangat
kurus, edema minimal pada kedua punggung kaki atau tanpa edema, BB/PB atau BB/TB < -3
SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan), nafsu makan baik, maka anak
dikategorikan gizi buruk tanpa komplikasi dan perlu diberikan penanganan secara rawat jalan.
4. Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: tampak sangat kurus,
edema pada seluruh tubuh, BB/PB atau BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-
59 bulan) dan disertai dari salah satu atau lebih tanda komplikasi medis sebagai berikut:
anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi, penurunan
kesadaran, maka anak dikategorikan gizi buruk dengan komplikasi sehingga perlu
penanganan secara rawat inap.
5. Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: BB/TB < -2 s/d -3 SD,
LiLA 11,5 s/d 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik, tidak ada komplikasi medis,
maka anak dikategorikan gizi kurang dan perlu diberikan PMT Pemulihan.
6. Bila kondisi anak rawat inap sudah membaik dan tidak lagi ditemukan tanda komplikasi
medis, tanda klinis membaik (edema kedua punggung tangan atau kaki), dan nafsu makan
membaik maka penanganan anak tersebut dilakukan melalui rawat jalan.
7. Bila kondisi anak rawat inap sudah tidak lagi ditemukan tandatanda komplikasi medis, tanda
klinis baik dan status gizi kurang, nafsu makan baik maka penanganan anak dengan
pemberian PMT pemulihan.
8. Anak gizi buruk yang telah mendapatkan penanganan melalui rawat jalan dan PMT
pemulihan, jika kondisinya memburuk dengan ditemukannya salah satu tanda komplikasi
medis, atau penyakit yang mendasari sampai kunjungan ke tiga berat badan tidak naik
(kecuali anak dengan edema), timbulnya edema baru, tidak ada nafsu makan maka anak perlu
penanganan secara rawat inap.
Untuk lebih jelasnya alur pemeriksaan atau penemuan kasus dapat dilihat pada bagan berikut :
LANGKAH PELAKSANAAN
A. PRINSIP DASAR PELAYANAN RUTIN KEP BERAT/GIZI BURUK
Pelayanan rutin yang dilakukan di puskesmas berupa 10 langkah penting yaitu:
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Obati/cegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)
8. Koreksi defisiensi nutrien mikro
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.
Dalam proses pelayanan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase transisi,
dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang sesuai untuk
setiap fase. Tata laksana ini digunakan pada pasien Kwashiorkor, Marasmus maupun Marasmik-
Kwashiorkor.
Bagan dan jadwal pengobatan sebagai berikut:
No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 MulaiPemberian
makanan
7 Tumbuh kejar
(Meningkatkan
Pemberian Makanan)
8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe
9 Stimulasi
10 Tindak lanjut
B. SEPULUH LANGKAH UTAMA PADA TATA LAKSANA KEP BERAT/GIZI BURUK
1. Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia (kadar gula dalam darah rendah)
Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan KEP berat/Gizi
buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Jika anak sadar dan dapat
menerima makanan usahakan memberikan makanan saring/cair 2-3 jam sekali. Jika anak
tidak dapat makan (tetapi masih dapat minum) berikan air gula dengan sendok. Jika anak
mengalami gangguan kesadaran, berikan infus cairan glukosa dan segera rujuk ke RSU
kabupaten.
2. Pengobatan dan pencegahan hipotermia (suhu tubuh rendah)
Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 360 C. Pada keadaan ini anak
harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu atau orang dewasa lain mendekap
anak di dadanya lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga agar anak tetap dapat
bernafas.
Cara lain adalah dengan membungkus anak dengan selimut tebal, dan meletakkan lampu
didekatnya. Lampu tersebut tidak boleh terlalu dekat apalagi sampai menyentuh anak. Selama
masa penghangatan ini dilakukan pengukuran suhu anak pada dubur (bukan ketiak) setiap
setengah jam sekali. Jika suhu anak sudah normal dan stabil, tetap dibungkus dengan selimut
atau pakaian rangkap agar anak tidak jatuh kembali pada keadaan hipothermia.
Tidak dibenarkan
penghangatan anak dengan menggunakan
botol berisi air panas
3. Pengobatan dan Pencegahan kekurangan cairan
Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak penderita KEP berat/Gizi buruk dengan
dehidrasi adalah :
Ada riwayat diare sebelumnya
Anak sangat kehausan
Mata cekung
Nadi lemah
Tangan dan kaki teraba dingin
Anak tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah :
Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan setiap setengah jam sekali tanpa
berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan rehidrasi oral dengan memberi
minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap 30 menit dengan sendok. Cairan rehidrasi
oral khusus untuk KEP disebut ReSoMal (lampiran 4).
Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat/Gizi buruk dapat menggunakan
oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak dapat minum, lakukankan rehidrasi
intravena (infus) cairan Ringer Laktat/Glukosa 5 % dan NaCL dengan perbandingan 1:1.
4. Lakukan pemulihan gangguan keseimbangan elektrolit
Pada semua KEP berat/Gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan elektrolit diantaranya :
Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah.
Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)
Ketidakseimbangan elektrolit ini memicu terjadinya edema dan, untuk pemulihan
keseimbangan elektrolit diperlukan waktu paling sedikit 2 minggu.
Berikan :
- Makanan tanpa diberi garam/rendah garam
- Untuk rehidrasi, berikan cairan oralit 1 liter yang diencerkan 2 X (dengan penambahan 1
liter air) ditambah 4 gr KCL dan 50 gr gula atau bila balita KEP bisa makan berikan
bahan makanan yang banyak mengandung mineral ( Zn, Cuprum, Mangan, Magnesium,
Kalium) dalam bentuk makanan lumat/lunak
Contoh bahan makanan sumber mineral
Sumber Zink : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam
Sumber Cuprum : daging, hati.
JANGAN OBATI EDEMA DENGAN PEMBERIAN DIURETIKA
Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai.
Sumber Magnesium : kacang-kacangan, bayam.
Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang2an, apel, alpukat, bayam, daging tanpa
lemak.
5. Lakukan Pengobatan dan pencegahan infeksi
Pada KEP berat/Gizi buruk, tanda yang umumnya menunjukkan adanya infeksi seperti
demam seringkali tidak tampak, oleh karena itu pada semua KEP berat/Gizi buruk secara
rutin diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis sebagai berikut :
UMUR
ATAU
BERAT BADAN
KOTRIMOKSASOL
(Trimetoprim + Sulfametoksazol)
Beri 2 kali sehari selama 5 hari
AMOKSISILIN
Beri 3 kali
sehari untuk
5 hari
Tablet dewasa
80 mg trimeto
prim + 400 mg
sulfametok
sazol
Tablet Anak
20 mg trimeto
prim + 100 mg
sulfametok
sazol
Sirup/5ml
40 mg trimeto
prim + 200 mg
sulfametok
sazol
Sirup
125 mg
per 5 ml
2 sampai 4 bulan
(4 - < 6 kg) ¼ 1 2,5 ml 2,5 ml
4 sampai 12 bulan
(6 - < 10 Kg) ½ 2 5 ml 5 ml
12 bln s/d 5 thn
(10 - < 19 Kg) 1 3 7,5 ml 10 ml
Vaksinasi Campak bila anak belum diimunisasi dan umur sudah mencapai 9 bulan
Catatan :
Mengingat pasien KEP berat/Gizi buruk umumnya juga menderita penyakit infeksi, maka
lakukan pengobatan untuk mencegah agar infeksi tidak menjadi lebih parah. Bila tidak
ada perbaikan atau terjadi komplikasi rujuk ke Rumah Sakit Umum.
Diare biasanya menyertai KEP berat/Gizi buruk, akan tetapi akan berkurang dengan
sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati. Berikan metronidasol 7,5 mg/Kgbb
setiap 8 jam selama 7 hari. Bila diare berlanjut segera rujuk ke rumah sakit
6. mulai pemberian makanan balita KEP berat/Gizi buruk
a) Fase Stabilisasi ( 1-2 hari)
Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan yang sangat hati-hati, karena keadaan faali anak
sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian
rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisma basal saja.
Formula khusus seperti Formula WHO 75/modifikasi/Modisco ½ yang dianjurkan dan jadwal
pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut
diatas dengan persyaratan diet sebagai berikut :
- Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa
- Energi : 100 kkal/kg/hari
- Protein : 1-1.5 gr/kg bb/hari
- Cairan : 130 ml/kg bb/hari (jika ada edema berat 100 ml/Kg bb/hari)
- Bila anak mendapat ASI teruskan , dianjurkan memberi Formula WHO
75/pengganti/Modisco ½ dengan menggunakan cangkir/gelas, bila anak terlalu lemah
berikan dengan sendok/pipet
- Pemberian Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½ atau pengganti dan jadwal pemberian
makanan harus disusun sesuai dengan kebutuhan anak
Keterangan :
BILA DIARE BERLANJUT ATAU MEMBURUKANAK SEGERA DIRUJUK KE RUMAH SAKIT
Pada anak dengan selera makan baik dan tidak edema, maka tahapan pemberian formula
bisa lebih cepat dalam waktu 2-3 hari (setiap 2 jam)
Bila pasien tidak dapat menghabiskan Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½ dalam
sehari, maka berikan sisa formula tersebut melalui pipa nasogastrik ( dibutuhkan
ketrampilan petugas )
Pada fase ini jangan beri makanan lebih dari 100 Kkal/Kg bb/hari
Pada hari 3 s/d 4 frekwensi pemberian formula diturunkan menjadi setiap jam dan pada
hari ke 5 s/d 7 diturunkan lagi menjadi setiap 4 jam
Lanjutkan pemberian makan sampai hari ke 7 (akhir minggu 1)
Pantau dan catat :
- Jumlah yang diberikan dan sisanya
- Banyaknya muntah
- Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja
- Berat badan (harian)
- selama fase ini diare secara perlahan berkurang pada penderita dengan edema , mula-
mula berat badannya akan berkurang kemudian berat badan naik
7. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)
Pada fase ini meliputi 2 fase yaitu fase transisi dan fase rehabilitasi :
b) Fase Transisi (minggu ke 2)
Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara berlahan-lahan untuk menghindari
risiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah
banyak secara mendadak.
Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan
formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam jangka
waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan
kandungan energi dan protein yang sama.
Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa,
biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali pemberian (200 ml/kgbb/hari).
Pemantauan pada fase transisi
1. frekwensi nafas
2. frekwensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 kali/menit dan denyut nadi > 25 kali /menit
dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.
Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.
3. Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan
Setelah fase transisi dilampaui, anak diberi:
- Formula WHO 100/pengganti/Modisco 1 dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
- Energi : 150-220 Kkal/kg bb/hari
- Protein 4-6 gram/kg bb/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula WHO
100/Pengganti/Modisco 1, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh-kejar.
Setelah fase rehabilitasi (minggu ke 3-7) anak diberi :
- Formula WHO-F 135/pengganti/Modisco 1½ dengan jumlah tidak terbatas dan sering
- Energi : 150-220 kkal/kgbb/hari
- Protein 4-6 g/kgbb/hari
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI, ditambah dengan makanan Formula
( lampiran 2 ) karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.
- Secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga
Pemantauan fase rehabilitasi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan badan :
- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
- Setiap minggu kenaikan bb dihitung.
Baik bila kenaikan bb 50 g/Kg bb/minggu.
Kurang bila kenaikan bb < 50 g/Kg bb/minggu, perlu re-evaluasi menyeluruh.
TAHAPAN PEMBERIAN DIET
FASE STABILISASI : FORMULA WHO 75 ATAU PENGGANTI
FASE TRANSISI : FORMULA WHO 75 FORMULA WHO 100
ATAU PENGGANTI
FASE REHABILITASI : FORMULA WHO 135 (ATAU PENGGANTI)
MAKANAN KELUARGA
8. Lakukan penanggulangan kekurangan zat gizi mikro
Semua pasien KEP berat/Gizi buruk, mengalami kurang vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa terjadi, jangan tergesa-gesa memberikan preparat besi (Fe). Tunggu sampai anak
mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya pada minggu ke 2). Pemberian besi
pada masa stabilisasi dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari :
Tambahan multivitamin lain
Bila berat badan mulai naik berikan zat besi dalam bentuk tablet besi folat atau sirup besi
dengan dosis sebagai berikut :
Dosis Pemberian Tablet Besi Folat dan Sirup Besi
UMUR
DAN
TABLET BESI/FOLAT
Sulfas ferosus 200 mg + 0,25
SIRUP BESI
Sulfas ferosus 150 ml
BERAT BADAN mg Asam Folat
Berikan 3 kali sehari
Berikan 3 kali sehari
6 sampai 12 bulan
(7 - < 10 Kg)
¼ tablet 2,5 ml (1/2 sendok teh)
12 bulan sampai 5 tahun ½ tablet 5 ml (1 sendok teh)
Bila anak diduga menderita kecacingan berikan Pirantel Pamoat dengan dosis tunggal
sebagai berikut :
UMUR ATAU BERAT BADAN PIRANTEL PAMOAT (125mg/tablet)
(DOSIS TUNGGAL)
4 bulan sampai 9 bulan (6-<8 Kg) ½ tablet
9 bulan sampai 1 tahun (8-<10 Kg) ¾ tablet
1 tahun sampai 3 tahun (10-<14 Kg) 1 tablet
3 Tahun sampai 5 tahun (14-<19 Kg) 1 ½ tablet
Vitamin A oral berikan 1 kali dengan dosis
Umur Kapsul Vitamin A Kapsul Vitamin A
200.000 IU 100.000 IU
6 bln sampai 12 bln - 1 kapsul
12 bln sampai 5 Thn 1 kapsul -
Dosis tambahan disesuaikan dengan baku pedoman pemberian kapsul Vitamin A
9. Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional
Pada KEP berat/gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenanya berikan :
- Kasih sayang
- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
- Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
- Rencanakan aktifitas fisik segera setelah sembuh
- Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb)
10.Persiapan untuk tindak lanjut di rumah
Bila berat badan anak sudah berada di garis warna kuning anak dapat dirawat di rumah dan
dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas atau bidan di desa.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah pasien
dipulangkan dan ikuti pemberian makanan seperti pada lampiran 5, dan aktifitas bermain.
Nasehatkan kepada orang tua untuk :
- Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di Puskesmas
- Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMT-Pemulihan
selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran 5) dan berat badan anak
selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di posyandu/puskesmas.
- pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat
- penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu
- Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal
- Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000 SI ) sesuai umur
anak setiap Bulan Februari dan Agustus.
PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA GIZI BURUK
Malnutrisi energi protein menghasilkan berbagai perubahan dalam tubuh termasuk profil
hematologi. Penelitian di Nigeria tahun 2012 menyimpulkan bahwa profil hematologi anak manutrisi
energi dan protein berbeda dengan anak normal. Jumlah sel darah merah yang rendah menyebabkan
anemia normokromik normositik, mikrositik hipokromik, atau makrositik. Anemia terkait malnutrisi
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : defisiensi zat besi, dan atau penurunan produksi sel
darah merah karena adapsi massa otot tubuh yang mengecil, defisiensi eritopoietin, defisiensi vitamin
(asam folat, B12), atau mineral mikro (Cu, Zn), infeksi dan penyakit kronis (Saka et al, 2012).
Perubahan sel darah merah dapat berkaitan dengan adaptasi dari kebutuhan metabolisme
oksigen yang lebih rendah dan penurunan massa otot tubuh. Perubahan tersebut juga berpengaruh
pada perubahan volume plasma sesuai dengan air pada intraseluler dalam tubuh. Sebuah konsekuensi
dari perubahan level hematrokit dan hemoglobin ketika penurunan keduanya dalam cairan intraseluler
yang merupakan tanggung jawab yang terlihat pada MCHC (Saka et al, 2012).
Anemia pada malnutrisi berat biasanya bersifat normokromik dan tidak disertai oleh
retikulositosis meskipun cadangan Fe cukup adekuat. Penyebab anemia pada anak yang asupan
proteinnya tidak adekuat adalah karena menurunnya sintesis eritopoeietin, sedang apabila tidak
mengasup protein sama sekali karena timbul stem cell pada sumsum tulang belakang yang tidak
berkembang, dan juga penurunan produksi eritopoeietin. Anemia zat gizi Fe ditandai dengan Hb
rendah (hipokromia) dan sel darah merah kecil (mikrositosis), menurunnya MCV (Mean Corpuscular
Hemoglobin), MCH (Mean Corpuscular Concentration), dan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration). Anemia zat gizi asam folat dan B12 berkaitan dengan membesarnya sel darah merah
atau meningkatnya MCV, MCH, namun MCHC normal. Anemia secar umum dapat menyebabkan
gejala klinis seperti pucat, mudah lelah, takikardia, sesak napas, yang akan mempengaruhi
produktifitas. Bagian tubuh yang terlihat pucat antara lain : telapak tangan, kuku, konjungtiva
palpebral. Anemia berat dapat menyebabkan hipoksia (Arisman, 2009 dan Supariasa, 2012).
Anemia gizi berkaitan dengan kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan Hb,
baik karena kekurangan asupan atau gangguan adsorbsi. Fe dan protein berfungsi untuk pembentukan
Hb, vitamin B6 (piridoksin) sebagai katalisator sintesis hem di dalam molekul Hb, vitamin C
mempengaruhi adsorbsi dan pelepasan besi dan transferrin ke dalam jaringan tubuh, asam folat
sebagai pembawa carbon dalam pembentukan hem, untuk pembentukan sel darah merah dalam
sumsum tulang belakang dan untuk pendewasaannya, vitamin B12 untuk mengubah folat menjadi
bentuk aktif, Zn sebagai pembentuk enzim dalam metabolisme, sintesis DNA dan RNA, serta vitamin
E yang mempengaruhi stabilitas membran sel darah merah (Almatsier, 2002).
Pada penatalaksanaan anak gizi buruk, diberikan suplementasi zat gizi pada hari pertama fase
stabilisasi hingga fase rehabilitasi. Suplementasi ditujukan tidak hanya untuk memperbaiki anemia,
namun juga untuk meningkatkan status imunitas dan fungsi fisiologis tubuh lainnya. Akan tetapi,
hanya suplementasi Fe yang tidak diberikan pada fase stabilisasi dan transisi. Fe diberikan pada fase
rehabilitasi ketika berat badan bayi atau anak sudah mulai naik, atau penyakit infeksi sudah mulai
membaik. Hal tersebut berkaitan dengan efek suplementasi Fe yang akan memperburuk tingkat
infeksi (WHO, 2013).
Fe berfungsi sebagai nutrisi yang penting dalam metabolisme manusia dan mikroorganisme baik
pathogen, bakteri, jamur, dan protozoa untuk pertumbuhan dan poliferasi sel. Sebagai strategi
pertahanan, host atau penderita infeksi telah mengembangkan mekanisme untuk mengurangi
ketersediaan Fe yang dapat digunakan untuk perkembangbiakan pathogen. Pergantian terapi ditujukan
untuk mempertahankan oksigenasi sistemik yang memadai dan meningkatkan eritopoiesis. Selain
fungsi untuk transportasi oksigen dan jalur metabolic, Fe memainkan peran penting dalam fungsi
kekebalan tubuh manusia dengan meningkatkan aktivasi limfosit dan proliferasi sel. Namun apabila
kelebihan Fe, dapat melemahkan efek tersebut dan menghambat neutrophil fagositosis dan proliferasi
(Cherayil, 2011).
Homeostasis Fe dijaga melalui regulasi adsorbsi pada usus duabelas jari dan perombakan cadangan
Fe. Dalam konsisi normal, Fe tidak tersedia secara langsung untuk digunakan oleh host agar tidak
digunakan oleh pathogen. Sekitar 75% dari Fe host terdapat di Hb eritrosit, dan sisanya disimpan
dalam intraseluler sebgai ferritin atau terikat pada protein ekstraseluler seperti transferrin (Cherayil,
2011).
Infeksi dan inflamasi mengubah homeostasis Fe melalui mekanisme imun yang akan
membatasi suplai Fe yang tersedia. Sitokin merangsang hepcidin protein fase akut untuk menekan
penyerapan Fe, yang disertai peningkatan cadangan Fe pada retikuloendotelial. Strategi ini berfungsi
sebagai pertahanan yang efektif terhadap pathogen, dan suplementasi Fe selama infeksi akan
menghalangi strategi pelindung tersebut (Cherayil, 2011).
Oleh karena itu suplementasi Fe diberikan pada fase rehabilitasi. Perlu koordinasi dengan tenaga
medis lain mengenai suplementasi Fe. Penatalaksanaan dietetic adalah memberikan asupan makanan
dan minuman sesuai dengan kebutuhan gizi dan kondisi bayi dan anak gizi malnutrisi. Pemberian
makanan pada fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi menggunakan formula F75, F100, F135 yang
mengandung mineral mix sebagai tambahan sumber asupan mikronutrien. Kandungan formula
tersebut tidak mengandung Fe. Saat memasuki fase rehabilitasi, bayi >6bulan – 2 tahun telah
mendapat makanan tambahan ASI (MPASI) dan >2 tahun telah mengonsumsi makanan lokal
sehingga pemilihan bahan makanan sangat diperhatikan untuk mencukupi makro dan mikronutrien
yang dibutuhkan untuk tumbuh kejar dan memperbaiki kondisi medis termasuk anemia (Kemenkes,
2011).
Pemberian makanan untuk mengatasi dan menghindari anemia zat gizi Fe adalah dengan
mengonsumsi bahan makanan sumber Fe terutama Fe heme karena nilai bioavailbilitasnya lebih
tinggi dari pada Fe non heme, mengonsumsi bahan makanan yang dapat meningkatkan adsorbsi Fe,
serta menghindari mengonsumsi bahan makanan yang dapat mengahambat penyerapan Fe bersamaan
dengan sumber Fe. Bahan makanan sumber Fe heme berasal dari hewani seperti daging, hati, susu,
telur, ikan, sedang sumber non heme berasal dari nabati dan tumbuhan seperti sayuran hijau (bayam,
sawi, kangkung, daun papaya, daun ketela), kentang, umbi, gandum. Zat gizi yang dapat mempercepat
adsorbsi Fe adalah vitamin C yang terkandung dalam buah dan sayur serta mencukupi kebutuhan
protein. Zat gizi yang dapat mengahambat penyerapan Fe adalah asam fitat atau asam oksalat (daun
ketela pohon dan beberapa di sayuran), polifenol seperti tannin serta cafein (teh, kopi). Bahan
makanan sumber Fe juga mengandung zat gizi lain seperti asam folat, vitamin B6, B12, Zn. Guna
mencukupi kebutuhan mikronutrien lainnya, perlu mengonsumsi bahan makanan yang bervariasi dan
seimbang (Almatsier, 2002; Arisman, 2009).
Salah satu intervensi untuk menangani defisiensi zat gizi mikro adalah dengan pemberian
fortifikasi. Fortifikasi makanan dengan mikronutrien bubuk yang dilakukan di rumah merupakan
intervensi yang efektif dalam menurunkan prevalensi anemia dan defisiensi Fe pada anak usia 6 – 23
bulan. Pemberian fortifikasi mikronutrien bubuk yang dilakukan di rumah dapat menurunkan anemia
hingga 31% dan defisiensi Fe 51% pada balita di Nigeria (De-Regil et al, 2013). Pelaksanaan program
intervensi tersebut merupakan hal kompleks yang dapat berdiri sendiri, atau pun merupakan bagian
atau berdampingan dengan program gizi atau kesehatan yang lain baik yang berhubungan dengan gizi
maupun tidak, seperti program cuci tangan, atau program di sekolah (Pena-Rosas et al, 2012).
Intervensi lain yang dapat dicoba adalah pemberian susu dengan prebiotik. Penelitian di Indonesia
tahun 2013 memberikan intervensi susu dengan probiotik Lactobacillus reuteri dan Lactobacillus
casei pada anak usia 1 – 6 tahun. Probiotik dapat meningkatkan resistensi saluran intestinal terhadap
infeksi dan meningkatkan penyerapan zat gizi seperti Ca, Fe, dan Zn. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa intervensi susu dengan probiotik Lactobacillus reuteri secara signifikan
meningkatkan berat badan, merubah z-score BB/U dan BB per bulan, tinggi badan, dan kecepatan
pertumbuhan. Sedang intervensi susu dan probiotik Lactobacillus casei secara signifikan dapat
meningkatkan kecepatan penambahan berat badan per bulan. Intervensi probiotik (apapun jenisnya)
dan susu skim (tinggi kalsium) regular tidak mempengaruhi peningkatan status Fe dan Zn (Agustina
et al, 2013).
5. jelaskan hubungan gizi buruk dan tbc. Alur diagnostik TBC
DIAGNOSIS TB PADA ANAK
A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu
dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil
pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.
Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab
profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena
adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa
juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau
tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam
saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-
gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan
saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah
panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai
kecurigaan adanya infeksi TB.
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di
Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada
pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari
beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan biakan kuman TB. Pada anak dengan
gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi
yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana
diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada
bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan
diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan
bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang
lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang
dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel
datia langhans dan atau kuman TB.
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan
diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan
metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification
Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara
karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun
2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB
MDR pada anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa
kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert
MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan
mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis
klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit
TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak.
Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada
pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan
hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1
sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan
peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Secara lebih lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai tempat
masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman
M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam
sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui
pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan penegakan
diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang
sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin
yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein)
yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang
masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin
positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau
imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka
pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi
TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan
kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala spesifik, karena
gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah
membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin
yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas
pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB
adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun
apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu
pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan
diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung
oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis
TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga
kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan
penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis
maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada
anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon
klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan
sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB di fasyankes
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium.
Penentuan status gizi:
. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5
tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada
kurva CDC 2000 (lihat lampiran).
. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran
kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar,
milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat
diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH
profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik
utama pada TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau
sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat
perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi
TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan
atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada
anak tersebut pada saat diagnosis.
D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal dengan gejala klinis
yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan kecacatan. Pada beberapa
kasus, dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.
Tingkat layanan primer dengan fasilitas terbatas, mungkin tidak mampu melakukan diagnosis
dan tatalaksana pasien TB dengan gejala klinis yang berat. Dokter dan petugas layanan primer
harus mampu mengenali gejala awal TB dengan gejala klinis yang berat dan mengetahui
waktu yang tepat untuk merujuk. Sehubungan dengan itu, akan diuraikan secara ringkas, hal-
hal yang penting untuk pengenalan dan tatalaksana awal kasus TB dengan gejala klinis yang
berat pada anak. Pelayanan kesehatan sekunder wajib mencatat kasus TB dengan gejala klinis
yang berat ini sesuai dengan Program Nasional Pengendalian TB
1. TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena sulitnya mendapatkan
spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak
ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak.
TB dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan pemeriksaan BTA,
biakan maupun tes cepat.
TB anak yang sudah mengalami perjalanan penyakit post primer, dapat ditemukan hasil BTA
positif pada pemeriksaan dahak, sama dengan pada dewasa. Hal ini biasa terjadi pada anak
usia remaja awal. Anak dengan BTA positif ini memiliki potensi untuk menularkan kuman M
tuberculosis kepada orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu pada anak terutama dengan
gejala utama batuk dan dapat mengeluarkan dahak sangat dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis. Selain itu apabila memungkinkan, spesimen untuk
pemeriksaan laboratorium dapat diperoleh melalui aspirasi dahak, bilasan lambung atau
induksi sputum,
Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan pada tahun 2011, prosentase kasus TB
BTA positif pada anak 0-14 tahun adalah 6,3 % dari seluruh kasus TB anak, angka ini
meningkat dari tahun 2010 yaitu sebesar 5,3%.
2. Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem Saraf Pusat yang
sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB dengan gejala klinis berat yang dapat
mengancam nyawa, atau meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala, diikuti kejang
berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti bahwa anak telah kontak
dengan pasien TB dewasa BTA positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus
segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan
sistem skoring tidak direkomendasikan.
Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dilengkapi dengan
uji tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan cairan serebrospinal untuk dianalisis.
Apabila didapatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan edema
papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan
komplikasi seperti hidrosefalus. Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati
masa kritis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
3. TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis berat dan merupakan
3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada
bayi). TB milier terjadi oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata,
bisa ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat mata pada foto
torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu
1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi
campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid
jangka lama
3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara,
merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosioekonomi).
Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai sesak nafas, ronki
dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi hipoksia, pneumotoraks, dan atau
pneumomediastinum, sampai gangguan fungsi organ, serta syok.
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2—3 minggu setelah penyebaran
kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir
seragam (1—3 mm).
Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan klinis diduga TB
milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan. Diagnosis ditegakkan melalui rewayat kontak
dengan pasien TB BTA positif, gejala klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu
dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan
kesadaran.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat. Respon
keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2—3 minggu
pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan
berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5—10
minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah
dipulangkan dari RS dapat melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.
4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB ekstrapulmonal yang
mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang
sering terkena adalah: tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi
lutut (gonitis).
Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada
pergerakan dan sering ditemukan setelah trauma. Bisa ditemukan gibbus yaitu benjolan pada
tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda
peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan
abses dingin. Kelainan neurologis terjadi pada keadaan spondilitis yang lanjut, membutuhkan
operasi bedah sebagai tatalaksananya
Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika pasien berjalan pincang dan kesulitan
berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan di daerah lutut, anak sulit berdiri dan
berjalan, dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan dan MRI. Prognosis
TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau tulangnya. Pada
kelainan minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut
dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.
5. Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula, merupakan bentuk
TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe
leher. Kebanyakan kasus timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi
beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran kelenjar limfe
yang sering adalah di servikal anterior, submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal,
epitroklear, atau daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal penyakit. Pembesaran
kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar
sering terfiksasi pada jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi
unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan
leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran
foto toraks terlihat normal.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan bakteriologis yang diperoleh
melalui biopsi, yang dapat dilakukan di fasilitas rujukan.
6. Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura. Salah satu etiologi
yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura
TB bisa ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak
dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang gagal mengalami
resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk nonproduktif (94%), nyeri
dada (78%), biasanya unilateral (95%). Pasien juga sering datang dalam keadaan sesak nafas
yang hebat. Pemeriksaan foto toraks dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir
selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya. Untuk diagnosis definitif
dan terapi, pasien ini harus segera dirujuk.
Penunjang diagnostik yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah analisis cairan pleura,
jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura. Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika
cairan sangat banyak. Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.
7. Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas dan paling sering dijumpai
pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang
terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang mempunyai
kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan
daerah lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh,
yang disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras
(firm), berwarna merah kebiruan, dan tidak menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat
kemudian meluas/ membesar dan menjadi padat kenyal (matted and doughy). Selanjutnya
mengalami pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan kulit), membentuk ulkus
berbentuk linear atau serpiginosa, dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi
bergaung (inverted), berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang sedikit
lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks berupa pita/benang fibrosa padat,
yang membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada
pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang
mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.
Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/ BAJAH/ fine needle aspiration
biopsy=FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy). Pada pemeriksaan tersebut
dicari adanya M. tuberculosis dengan cara biakan dan pemeriksaan histopatologis jaringan.
Hasil PA dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat sel datia
Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA.
Tatalaksana pasien dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana lokal/topikal dengan
kompres atau higiene yang baik.
8. Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum (TB
peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M tuberculosis sampai ke organ tersebut
secara hematogen ataupun penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak
yang jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada
dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).
Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu
kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya, omentum dapat menggumpal di daerah
epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar,
menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan
asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB anak.
Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa intraabdomen dan adanya asites.
Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan
adanya massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus dan
asites.
Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen melalui vena porta atau
jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke
hati. Lesi TB di hati dapat berupa granuloma milier kecil (tuberkel). Granuloma dimulai
dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap
adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk tuberkel yang
mengandung sel-sel epiteloid, sel datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan limfosit T.
Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan. Beberapa pemeriksaan
lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos abdomen, analisis cairan asites dan biopsi
peritoneum. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan
operasi.
9. Tuberkulosis Mata
Tuberkulosis pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea, sehingga sering disebut
sebagai keratokonjungtivitis fliktenularis (KF). Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah
penyakit pada konjungtiva dan kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul
inflamasi yang disebut flikten pada daerah limbus, disertai hiperemis di sekitarnya. Umumnya
ditemukan pada anak usia 3—15 tahun dengan faktor risiko berupa kemiskinan, kepadatan
penduduk, sanitasi buruk, dan malnutrisi.
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan dapat
mengeluarkan sekret mata, disertai gejala umum TB. Untuk menyingkirkan penyebab
stafilokokus, perlu dilakukan usap konjungtiva.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari penyebabnya seperti uji
tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan feses. Komplikasi yang mungkin timbul
adalah ulkus fasikuler, parut kornea, dan perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid topikal
mempunyai efek yang baik tetapi dapat menyebabkan glaukoma dan katarak.
10. Tuberkulosis Ginjal
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya bertahun-tahun. TB ginjal
merupakan hasil penyebaran hematogen. Fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim
ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar akan terbentuk dekat
dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke dalam pelvis ginjal.
Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter, prostat, atau epididimis.
Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal, hanya ditandai piuria yang
steril dan hematuria mikroskopis. Disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria
makroskopis dapat terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit.
Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat
memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Hidronefrosis atau striktur ureter
dapat memperberat penyakitnya. BTA dalam urine dapat ditemukan. Pielografi intravena
(PIV) sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter-proksimal, filling defect kecil yang
multipel, dan hidronefrosis jika ada striktur ureter. Sebagian besar penyakit terjadi unilateral.
Pemeriksaan pencitraan lain yang dapat digunakan adalah USG dan CT scan.
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga dilakukan
penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila diperlukan tindakan bedah, dapat
dilakukan setelah pemberian OAT selama 4—6 minggu.
11. Tuberkulosis Jantung
Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis TB, tetapi hanya 0,5—
4% dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi akibat invasi kuman secara langsung atau
drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun. Nyeri dada jarang timbul
pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus
paradoksus. Terdapat cairan perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Basil
Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan perikardium, tetapi kultur dapat positif pada 30—
70% kasus. Hasil kultur positif dari biopsi perikardium yang tinggi dan adanya granuloma
sering menyokong diagnosis TB jantung. Selain OAT diberikan juga kortikosteroid.
Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi penyempitan perikard.
E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:
• Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak
• Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB anak yang
hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau
biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA
positif masuk dalam kelompok ini.
• Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak
memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi
dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah Pasien
TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:
• Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan
gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru
• Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis)
dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau
ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai
kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
• Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB primer
tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar,
TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
• Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah endemis HIV
atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada anak
diklasifikasikan sebagai:
a. HIV positif
b. HIV negatif
c. HIV tidak diketahui
d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan sebagai
HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil
negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia > 18
bulan.
• Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT
terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu jenis
OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Isoniazid (H)
dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan terhadap salah satu
OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan
yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok
ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug
Resistance, MDR dan XDR.
Patofisiologi Penurunan Berat Badan pada Pasien TB
Infeksi Mycobacterium tuberculosis
↓
Aktifasi makrofag oleh IFN-γ produksi pirogen endogen
IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α
↓
Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk
hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus.
↓
Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus
menyebabkan produksi prostaglandin.
↓
Prostaglandin merangsang cerebral cortex
( respon behavioral) → nafsu makan menurun & leptin meningkat
menyebabkan stimulasi dari hipotalamus → nafsu makan disupresi
↓
Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada
pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.
↓
Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB menyebabkan
penurunan BB
6. mekanisme terjadinya coated tongue, alur diagnostik tifoid. Mekanisme BAB cair pada kasus
skenario. Dan mekanisme nyeri perut dan perut kembung
I. Patogenesis
Setelah tertelan S. Typhi, melintasi sawar lambung mencapai usus halus. Infeksi manusia
secara eksperimental dengan strain Quailes telah menyatakan bahwa 103 kuman tidak dapat
menyebabkan penyakit simtomatik tetapi 105 bakteri dapat menyebabkan gejala pada 27 persen
relawan. Dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan penyakit yang lebih sering, terutama jika kuman
menghasilkan antigen polisakarida kapsuler Vi. Kuman ditelan oleh fagosit mononuklear, lalu
bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel sehingga menimbulkan penyakit.
Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk difagositosis dalam keadaan hidup.
Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor mikroba yang menunjang resistensi terhadap
pembinasaan dan pada imunitas yang diaktifkan oleh sel limfosit T pejamu, yang berada di bawah
kendali genetik.
Ketergantungan dosis pada penyakit klinis tampaknya diatur oleh keseimbangan antara
perbanyakan diri bakteri dan pertahanan ekstraselular dan intraseluar penjamu yang didapat. Jika
jumlah bakteri intraselular melampaui ambang batas kritis, bakteremia sekunder dapat terjadi dan
menimbulkan invasi pada kelenjar empedu dan Plaque Peyeri pada usus halus. Bakteremia yang
menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid klinis, sementara reaksi radang terhadap
invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis (kolesistitis, perdarahan usus atau perforasi).
Dengan invasi kelenjar empedu dan Plaque Peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan
dapat ditemukan pada biakan feses pada awal minggu kedua penyakit klinis.
Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi dalam jumlah yang jauh
lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin liposakarida pada S. typhi dapat
menyebabkan demam, leukopenia dan gejala sistemik lain, tetapi kejadian gejala ini pada individu
yang dibuat toleran terhadap endotoksin menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang
dilepaskan dari fagosit mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.
1. Bakteriemi I (1-7 hari)
Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (106-109) masuk ke dalam tubuh
manusia melalui esofagus, kuman masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke
dalam usus halus Di usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum
terminalis yang sudah mengalami hipertrofi (ditempat ini sering terjadi perdarahan dan perforasi)
Kuman menembus lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan mencapai kelenjar
mesenterial yang mengalami hipertrofi melalui ductus thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam
aliran darah yang menimbulkan bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk
kembali ke dalam hati.
2. Bakteriemi II (6 hari – 6 minggu)
Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke dalam hati kuman ditangkap
dan bersarang di bagian RES : plaque peyeri di ileum terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES
kemudian masuk kembali ke aliran darah menimbulkan bakteriemia II dan menyebar ke
seluruh tubuh.
Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid adalah disebabkan oleh
endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak
dan endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.
Alur Diagnosis
II. Anamnesa Umum
Gambaran klinik
- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada ahir minggu pertama,
minggu ke dua dan terus menerus tinggi
- Anak sering mengigau ( delirium ), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare
atau konstipasi, muntah , perut kembung
- Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.
Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan gejala toksik
umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan bradikardia. Demam ini khas karena gejala
peningkatan suhu setiap hari seperti naik tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan
nyeri kepala, malaise dan menggigil. Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang persisten
(4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati).
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya kelainan
hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi
seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi
dapat dapat sampai lima minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat
minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh
badan, letargi dan demam.
Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan hampir selalu
disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis.
Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga
ditemukan.
Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan penderita tampak sakit
berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai
perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi,
penderita mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia.
Pada minggu ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa
membesar lunak. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun
dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu
setelah demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi
sampai dua atau tiga kali.
III. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun,
delirium, sebagian besar anak memiliki lidah tifoid yaitu dibagian tengah kotor dan bagian pinggir
hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang
terdengar ronkhi pada pemeriksaan paru ( IDAI 2010 )
Demam yang tinggi.
Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit perut
bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika
ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai
empat hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan
kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang
ditemukan pada orang Indonesia).
Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.
Bradikardia relatif.
Hepatosplenomegali.
Jantung membesar dan lunak.
Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun, kesadaran
menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler akibat rangsangan peritoneum.
Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok
hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi, bising usus hilang,
pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa
sfingter yang lemah dan ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah
dan kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut
Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering disertai
gambaran ileus paralitik.
IV. Laboratorium
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik, leukopenia
dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel polimorfonuklear. Pada sebagian besar
pasien, jumlah sel darah putih normal, walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat
demam. Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian
perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi pada
fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan keempat.
Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90% penderita, sedangkan
pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia
menjadi pembawa kuman. Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria
lebih banyak dari pada wanita.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil usus. Ini
menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti peritonitis terdapat toksemia
basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya
sejajar dengan grafik demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena
ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah
diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi
silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan
berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan
dapat menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal
diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas
meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini
infeksi.
1....SGOT dan SGPT.
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah demam tifoid
sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
2....Biakan darah.
Terutama pada minggu ke 1-2 dari perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif
sampai minggu ke-4. Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah ()
tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah tergantung pada
beberapa faktor, yaitu :
a.. .Teknik pemeriksaan laboratorium.
b...Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
c.. .Vaksinasi di masa lampau.
d...Pengobatan dengan obat antimikroba.
3....Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen yang
bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum pasien yang disangka
menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap
Salmonella akan positif dalam serum pada :
a.. .Pasien demam tifoid.
b...Orang yang pernah tertular Salmonella.
c.. .Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat antibodi (aglutinin),
yaitu :
a...Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O yang berasal dari
tubuh kuman.
b...Aglutinin H.
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H yang berasal dari
flagela kuman.
c.. .Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi yang berasal dari
simpai kuman.
Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang ditentukan titernya
untuk menegakkan diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita
demam tifoid. Pada infeksi aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang
dilakukann selang paling sedikit 5 hari. Pembentukan aglutini terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap
tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutini O, kemudian diikuti
oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutini O masih dpat dijumpai setelah 4-6 bulan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu :
a.. .Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien.
- Keadaan umum pasien.
- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
- Pengobatan dini dengan antibiotik.
- Penyakit-penyakit tertentu.
- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.
- Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.
- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.
- Reaksi anamnestik.
b...Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis.
- Aglutinasi silang.
- Konsentrasi suspensi antigen.
- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Interprestasi uji Widal, yaitu :
•. . .Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid.
•. . .Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai diagnostik
pasti untuk demam tifoid.
•. . .Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis demam
tifoid.
•. . .Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.
•. . .Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan pasien, karena
pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah
untuk waktu yang lama.
•. . .Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab demam tifoid, karena
beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga dapat
menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama pula.
4. Tubex Tf
Tubex TF adalah suatu tes diagnostic in vitro semi kuantitatif 10 menit untuk deteksi Demam
Tifoid akut yang disebabkan oleh salmonella typhi, melalui deteksi spesifik adanya serum antibodi
lgM tersebut dalam menghambat (inhibisi) reaksi antara antigen berlabel partikel lateks magnetik
(reagen warna coklat) dan monoklonal antibodi berlabel lateks warna (reagen warna biru), selanjutnya
ikatan inhibasi tersebut diseparasikan oleh suatu daya magnetik. Tingkat inhibasi yang dihasilkan
adalah setara dengan konsentrasi antibodi lgM S. Typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.
Dasar konsep antibodi lgM spesifik terhadap salmonella typhi digunakan sebagai marker
penanda TUBEX TF menurut beberapa peneliti:
kadar ketiga kelas immunoglobin anti Lipopolisakarida (lgA, lgG dan lgM) lebih tinggi pada
pasien tifoid dibandingkan kontirol;pengujian lgM antipolisakarida memberikan hasil yang
berbeda bermakna antara tifoid dan non tifoid.
Dalam diagnosis serologis Demam Tifoid, deteksi antibodi lgM adalah lebih baik karena tidak
hanya meningkat lebih awal tetapi juga lebih cepat menurun sesuai dengan fase akut infeksi,
sedangkan antibodi lgG tetap bertahan pada fase penyembuhan.
TUBEX TF mendeteksi antibodi lgM dan bukan lgG. Hal ini membuat sangat bernilai dalam
menunjang diagnosa akut.
Intrepetasi Hasil
Skala Interpretasi Keterangan
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
3 BouderlinePengukuran tidak dapat disimpulkan.
Lakukan pengambilan darah ulang 3-5 hari kemudian
4-5 Positif Indikasi demam tifoid
>6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
V. Terapi Obat
Kloramfenikol yang merupakan gold standar
50 -100 mg/kgBB/hari , oral atau iv dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari.
Amoksisilin 100 mg/kg /hari , oral atau iv selama 10 hari
Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral selama 10 hari
Ceftriaxone 80 mg/kgbb/hari, iv atau im sekali sehari selama 5 hari
Cefixime 10mg/kgbb/hari iv dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik
Terapi Bedah : Tindakan bedah dilakukan untuk penyulit pada perforasi usus :
Suportif
- Demam tifoid ringan dapat dirawat dirumah
- Tirah baring
- Isolasi memadi
- Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi