tutorial (1)

98
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demam typhoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konfalesen, dan kronik karier. Demam typhoid juga dikenali dengan nama lain yaitu, Typhus Abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Demam typhoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteristik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu, yang juga disertai perut membesar, limpa dan erupsi kulit. Demam typhoid (termasuk para–typhoid) disebabkan oleh kuman salmonella typhi, S paratyphy A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphy, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi. Demam typhoid abdominalis atau demam typhoid masih merupakan masalah besar di indonesia bersifat sporadik endemik dan timbul sepanjang tahun. Kasus demam typhoid di Indonesia, cukup tinggi berkisar antara 354- 810/100.000 penduduk pertahun. Di Palembang dari penelitiaan retrospektif selama periode 5 tahun (2003-2007) didapatkan sebanyak 3 kasus (21,5%) B. Tujuan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah selain untuk menyelesaikan salah satu tugas kepaniteraan klinik stase pediatri, juga untuk mengetahui serta mempelajari lebih jauh

Upload: anisah-noviariyanti

Post on 17-Feb-2016

43 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

t5r

TRANSCRIPT

Page 1: Tutorial (1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Demam typhoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung

meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik

dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita

yang aktif, penderita dalam fase konfalesen, dan kronik karier. Demam typhoid juga dikenali dengan

nama lain yaitu, Typhus Abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Demam typhoid adalah

penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteristik demam, sakit kepala dan ketidakenakan

abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu, yang juga disertai perut membesar, limpa dan erupsi

kulit. Demam typhoid (termasuk para–typhoid) disebabkan oleh kuman salmonella typhi, S paratyphy

A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphy, gejalanya lebih ringan

dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.

Demam typhoid abdominalis atau demam typhoid masih merupakan masalah besar di indonesia

bersifat sporadik endemik dan timbul sepanjang tahun. Kasus demam typhoid di Indonesia, cukup

tinggi berkisar antara 354- 810/100.000 penduduk pertahun. Di Palembang dari penelitiaan

retrospektif selama periode 5 tahun (2003-2007) didapatkan sebanyak 3 kasus (21,5%)

B. Tujuan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah selain untuk menyelesaikan salah satu tugas

kepaniteraan klinik stase pediatri, juga untuk mengetahui serta mempelajari lebih jauh

mengenai demam tifoid hingga penatalaksanaan yang tepat pada pasien di lapangan.

Page 2: Tutorial (1)

Sekenario

Seorang anak datang dengan ibunya ke rumah sakit dengan demam berlangsung 1minggu, demam

turun di pagi hari dan meninggi pada sore, demam tidak di sertai epistaksis, dan demam tidak disertai

menggigil. Dan demam disertai dengan BAB cair yg 2x/hari yang berlangsung selama 2hari sebelum

masuk rumah sakit. BAB cair tanpa ampas dan tidak di sertai lendir dan darah. BAK lancar berwarna

kuning. Terdapat nyeri perut pada ke4 kuadran perut, perut di rasa kembung. Dan nyeri perut

dirasakan sejak awal demam. Riwayat perdarahan disangkal, batuk pilek disangkal, riwayat penyakit

TBC pada usia 1tahun 6bulan dan berobat tuntas diklinik. Memiliki alergi cuaca dingin.

Riwayat lahir cukup bulan langsung menangis dengan G1P1A1 dengan berat 2800gram. Status gizi

buruk dengan BB:10kg dan TB:90cm, OS susah makan dan minum dengan berat badan menurut 2kg

semenjak sakit. Porsi makan dirumah dengan (Nasi+sayur bayam+telor dadar) rata2 intake ¼ porsi

ibunya. Riwayat perkembangan 6bulan tengkurep 7bulan duduk 12bulan berjalan. Riwayat makan 0-

6bulan asi, 7-9bulan asi+bubur saring, 9-12bulan asi+nasi. Riwayat imunisasi lengkap sampai umur

9bulan. Pada pemfis ditemukan konjugntiva anemis dan coated tongue

Pertanyaan

1. jelaskan DD tentang demam diatas 7hari dan di bawah 7 hari. Patomekanisme terjadinya

alergi pada cuaca dingin.

2. jelaskan mekanisme dan kompensasi demam. Klasifikasi demam, dan tatalaksana demam

3. penilaian tumbuh kembang anak usia 3tahun dan imunisasi yang harus di lengkapi anak usia

3tahun. Jelaskan cara menghitung status gizi pada anak. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan

anak kesulitan makan jelaskan kebutuhan kalori atau nutrisi pada anak. Pencegahal gizi buruk

pada anak dan tatalaksana gizi buruk dan kurang

4. jelaskan klasifikasi KEP. Alur diagnostik KEP dan patomekanisme konjungtiva anemis pada

skenario

5. jelaskan hubungan gizi buruk dan tbc. Alur diagnostik TBC

6. mekanisme terjadinya coated tongue, alur diagnostik tifoid. Mekanisme BAB cair pada kasus

skenario. Dan mekanisme nyeri perut dan perut kembung

Page 3: Tutorial (1)

1. jelaskan DD tentang demam diatas 7hari dan di bawah 7 hari. Patomekanisme terjadinya

alergi pada cuaca dingin.

Differential DiagnosisDemam <7 Hari

Gejala

Pneumonia (penyakit peradangan parenkim paru )

Recuired Pneumonia = Demam ada/tidakHospital Aquired Pneumonia = Demam >38,3 C + leukositosis atau leukopenia

Rinitis (ISPA yang disebabkan oleh virus)

Demam tidak begitu tinggi.

Influenza Demam >38 c, disertai batuk dan nyeri tenggorokDifteri Demam ringan nonspesifik (<38,5C). Demam tidak tinggi namun anak lemas. Demam

hari pertama disertai faring hiperemis. Setelah 2-3 hari terlihat pseudomembrane.

Staphylococcal Toxic Shock Syndrome

Demam akut (suhu >38,8 C).

Demam Skarlet (Streptococcus B Hemo group A)

Bersifat akut dengan demam, muntah, nyeri kepala, sakit menelan, menggigil.

Infeksi virus dengue

Demam tinggi berlangsung 1-3 hari. Fase kritis hari ke 3-7 (Demam bisa ada/hilang. Dilanjut fase pemulihan 48-72 jam.

Morbili 3-5 hari biasanya ringan tetapi pada ahir stadium erupsi dapat mencapai 40C. Ditemukan tanda 3C. Timbul ruam setelah demam 3 hari.

Varisela dan herpes zoster

Diawali demam tidak begitu tinggi selama 1-2 hari sebelum timbul ruam, disertai malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri tenggorok, batuk.

Otitis Media Akut Demam <7hari disertai keluar cairan dari telinga.

Chikungunya Onset demam 40C demam akut. Lama demam 1-2 hari. Disertai ruam makulopapular dan atralgia.

Cytomegalovirus Demam persisten, hepatitis, ruam morbiliform.

Leptospirosis

(penyakit zoonotic yang disebabkan oleh patogen spirochaeta)

Demam tinggi dan bersifat remiten mencapai 40C sebelum suhu tubuh turun. Congjungtival suffusion yg khas timbul pada hari ke 3-4. fase septikemia berlangsung 3-9 hari. Diikuti suhu tubuh turun 2-3 hari.

Page 4: Tutorial (1)

Differential DiagnosisDemam >7 Hari

Gejala

Tuberkulosis

(Penyakit infeksi yang disebabkan oleh m.tuberculosis)

Panas lama, Panas badan >38 C selama 14 hari, tetapi bukan karena infeksi saluran respiratori, malaria, sepsis, bakteremia.

Demam tifoid

(penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri genus salmonella)

Demam >1minggu. Demam sampai hari ke-4 bersifat remiten, dengan pola seperti anak tangga (stepwise fashion), sesudah hari ke 5 atau paling lambat akhir minggu pertama demam berbentuk kontinua

Fever of unkown origin (FUO)

Demam dengan suhu lebih dari 38 C yang berlangsung lebih dari 14 hari tanpa ditemukan penyebab yang jelas walaupun sudah dilakukan anamnesis yang lengkap, pemfis, dan pemeriksaan laboratorium.

Malaria Demam tinggi, menggigil, berkeringat, pucat, hepatosplenomegali. Dapat disertai sakit kepalam mual, muntah, diare, dan nyeri otot.

Meningitis Demam tidak terlalu tinggi. Hilang timbul. Siang = malam. Disertai kejang.

Cytomegalovirus Demam persisten, hepatitis, ruam morbiliform.Sle Demam >7hariHepatitis Demam >7hari

Page 5: Tutorial (1)

Mekanisme Alergi Cuaca Dingin

Page 6: Tutorial (1)

2. jelaskan mekanisme dan kompensasi demam. Klasifikasi demam, dan tatalaksana demam

Definisi:

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan

dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu

tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah

rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C

(Kaneshiro & Zieve, 2010).

Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu

keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang

parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello

& Gelfand, 2005).

Etiologi:

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat

infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang

pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis,

osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,

meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto,

2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia,

influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti

H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain

coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada

umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson

& Baltimore, 2007).

Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor

lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),

penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan

(Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan

(antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-

anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi

selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi

penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status

epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).

Risiko demam:

Page 7: Tutorial (1)

Risiko antara anak dengan terjadinya demam akut terhadap suatu penyakit serius bervariasi

tergantung usia anak. Pada umur tiga bulan pertama, bayi memiliki risiko yang lebih tinggi

untuk terkena infeksi bakteri yang serius dibandingkan dengan bayi dengan usia lebih tua.

Demam yang terjadi pada anak pada umumnya adalah demam yang disebabkan oleh infeksi

virus. Akan tetapi infeksi bakteri yang serius dapat juga terjadi pada anak dan menimbulkan

gejala demam seperti bakteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, dan

osteomyelitis (Jenson & Baltimore, 2007). Pada anak dengan usia di diantara dua bulan

sampai dengan tiga tahun, terdapat peningkatan risiko terkena penyakit serius akibat

kurangnya IgG yang merupakan bahan bagi tubuh untuk membentuk sistem komplemen yang

berfungsi mengatasi infeksi. Pada anak dibawah usia tiga tahun pada umumnya terkena

infeksi virus yang berakhir sendiri tetapi bisa juga terjadi bakteremia yang tersembunyi

(bakteremia tanpa tanda fokus). Demam yang terjadi pada anak dibawah tiga tahun pada

umumnya merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi seperti influenza, otitis media,

pneumonia, dan infeksi saluran kemih. Bakteremia yang tersembunyi biasanya bersifat

sementara dan dapat sembuh sendiri akan tetapi juga dapat menjadi pneumonia, meningitis,

arthritis, dan pericarditis (Jenson & Baltimore, 2007

Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah

zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah

pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk

mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen

klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain

dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh

pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari

pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain

juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).

Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan

neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-

sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen

(IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang

endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).

Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat

termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari

suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan

panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai

selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas

Page 8: Tutorial (1)

yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut

(Sherwood, 2001).

Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase

pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan

vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk

memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu

fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di

titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase

penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang

berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal &

Zhukovsky, 2006).

Penatalaksanaan

Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan titik

patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh

yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat dibagi

menjadi dua garis besar yaitu: nonfarmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan

penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur < 3 bulan

dengan suhu rectal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan dengan suhu >39°C, penderita

dengan suhu >40,5°C, dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro

& Zieve, 2010)

Terapi non-farmakologi

Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam: 1.

Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang

cukup. 2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil.

Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan

satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita. 3. Memberikan

kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah

pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan

menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010)

Terapi farmakologi

Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol

(asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas

sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak,

dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak

Page 9: Tutorial (1)

dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak

(Kaushik, Pineda, & Kest, 2010). Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi:

Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk

mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi

bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri apabila

memungkinkan (Graneto, 2010).

3. penilaian tumbuh kembang anak usia 3tahun dan imunisasi yang harus di lengkapi anak usia

3tahun. Jelaskan cara menghitung status gizi pada anak. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan

anak kesulitan makan jelaskan kebutuhan kalori atau nutrisi pada anak. Pencegahal gizi buruk

pada anak dan tatalaksana gizi buruk dan kurang

3.1. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Cara penilaian pertumbuhan anak

Pengukuran antropometrik

Berat badan

Untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh

(tulang, otot, lemak, cairan tubuh ) sehingga akan diketahui status gizi anak atau tumbuh

kembang anak. BB dapat juga sebagai menghitung dosis obat. Penilaian berat badan

berdasarkan umur menurut WHO dengan baku NCHS, berdasarkan tinggi badan menurut

WHO, dan NCHS yaitu; persentil ke 75 -25 dikatakan normal, persentil 10-5 malnutrisi

sedang dan <>

Kenaikan berat badan pada bayi cukup bulan kembali pada hari ke-10.

Umur 10 hari : BBL

Umur 5 balan : 2 x BBL

Umur 1 tahun : 3 x BBL

Umur 2 tahun : 4 x BBL

Pra sekolah : meningkat 2 kg/tahun

Adolecent : meningkat 3-3,5 kg/tahun

Kenaikan BB pada tahun pertama kehidupan

Trimester I : 700-1000 gram/bulan

Trimester II : 500-600 gram/bulan

Trimester III : 350-450 gram/bulan

Trimester IV : 250-350 gram/bulan

Perkiraan BB dalam kilogram

Page 10: Tutorial (1)

Usia 3-12 bulan : umur (bulan) + 9

2

Usia 1-6 tahun : umur (tahun) x 2 + 8

Usia 6-12 tahun : umur (tahun) x 7 – 5

2

Tinggi Badan

Pengukuran tinggi badan untuk menilai status perbaikan gizi disamping faktor

genetik. Penilaian TB dapat dilakukan dengan sangat mudah dalam menilai gangguan

pertumbuhan dan perkembangan anak. Penilaian TB daat berdasarkan umur menurut WHO

dengan baku NCHS yaitu dengan cara presentase dari median dengan penilaian ; ≥90& adalah

normal, <>

TB meningkat sampai tinggi maksimaldicapai, meningkat pesat pada usia bayi dan

adolecent dan berhenti pada usia 18 – 20 tahun.

TB dapat diperkirakan sebagai berikut :

Umur 1 tahun = 1,5 x TB lahir

Umur 4 tahn = 2 x TB lahir

Umur 6 tahun = 1,5 x TB setahun

Umur 13 tahun = 3 x TB lahir

Dewasa = (3,5 x TB lahir ) atau (2 x TB umur 2 tahun)

Atau dengan rumus Behrman :

Lahir = 50 cm

Umur 1 tahun = 75 cm

Umur 2 – 12 tahun = umur (tahun) x 6 + 77

Atau berdasarkan potensi genetik TB akhir :

Wanita = (TB ayah – 13 cm) +TB ibu ±8,5 cm

2

Pria = (TB ibu + 13 cm) + TB ayah ± 8,5 cm

2

Lingkar kepala

Dapat digunakan untuk menilai pertumbuhan otak. Penilaian ini dapat dilihat apabila

pertumbuhan otak kecil (mikrosefali) maka menunjukkan adanya retardasi mental, sebaliknya

apabila otaknya besar (volume kepala meningkat) akibat penyumbatan pada aliran cairan

cerebrospinalis.

Page 11: Tutorial (1)

Peningkatan volume

6 -9 bulan kehamilan = 3 gram/24 jam

Lahir-6 bulan = 2 gram/24 jam

6 blan- 3 tahun = 0,35 gram/24 jam

3-6 tahun = 0,15 gram/24 jam

Pengukuran lingkar lengan atas

Digunakan untuk menilai jaringan lemak dan otot, tetapi penilaian ini banyak

berpengaruh pada keadaan jaringan tubuh apabila dibanding dengan BB. Penilaian ini juga

dapat dipakai untuk menilai status gizi pada anak usia pra sekolah.

Pemeriksaan fisik

Untuk menilai pertumbuhan dan perkembangan dengan cara melakukan pemeriksaan

fisik, dengan melihat bentuk tubuh, perbandingan bagian tubuh dan anggota gerak lainnya,

menentukan jaringan otot dengan memeriksa lengan atas, pantat dan paha, menentukan

jaringan lemak dilakukan pada triseps, rambut dan geligi

Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan untuk menilai keadaan pertumbuhan dan perkembangan dengan status

keadaan penyakit, adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan ; pemeriksaan Hb, serum

protein (albumun, globulin), hormonal, dll.

.

Pemeriksaan radiologi

Dilakukan untuk menilai umur pertumbuhan dan perkembangan seperti tulang

(apabila dicurigai adanya gangguan pertumbuhan )

Penilaian perkembangan anak

Tujuan

Mengetahui kelainan perkembangan anak dan hal-hal lain yang merupakan isiko terjadinya

perkembangan tersebut

Mengetahui berbagai masalah perkembangan yang memerlukan pengobatan atau konseling

genetik

Page 12: Tutorial (1)

Mengetahui anak perlu dirujuk

Cara deteksi perkembangan

DDST (Denver development screnning test)

KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan

KPAP ( Kuesioner Perilaku Anak Pra Sekolah

Tes Daya Lihat dan tes Kesehataan Mata Anak Pra Sekolah

Tes Daya Dengar Anak (TDD)

DDST II ( Denver Development Screening Test )

DDST II merupakan alat untuk menemukan secara dini masalah penyimpangan

perkembangan anak umur 0 s/d < 6 tahun.

Instrumen ini merupakan revisi dari DDST yang pertama kali dipublikasikan tahun

1967 untuk tujuan yang sama. Pemeriksaan yang dihasilkan DDST II bukan merupakan

pengganti evaluasi diagnostik, namun lebih ke arah membandingkan kemampuan

perkembangan seorang anak dengan anak lain yang seumur.

DDST II digunakan untuk menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya pada

anak yang mempunyai tanda-tanda keterlambatan perkembangan maupun anak sehat.

DDST II bukan merupakan tes IQ dan bukan merupakan peramal kemampuan

intelektual anak di masa mendatang. Tes ini tidak dibuat untuk menghasilkan diagnosis,

namun lebih ke arah untuk membandingkan kemampuan seorang anak dengan kemampuan

anak lain yang seumur.

Menurut Pedoman Pemantauan Perkembangan Denver II (Subbagian Tumbuh

Kembang Ilmu Kesehatan Anak RS Sardjito, 2004), formulir tes DDST II berisi 125

item yg terdiri dari 4 sektor, yaitu:

a. Sektor personal sosial meliputi komponen penilaian yang berkaitan dengan

kemampuan penyesuaian diri anak di masyarakat dan kemampuan memenuhi kebutuhan

pribadi anak.

b. Sektor motorik halus-adaptif berisi kemampuan anak dalam hal koordinasi

mata-tangan, memainkan dan menggunakan benda-benda kecil serta pemecahan masalah.

c. Sektor bahasa meliputi kemampuan mendengar, mengerti, dan menggunakan bahasa.

d. Sektor motorik kasar terdiri dari penilaian kemampuan duduk, jalan, dan gerakan-gerakan

umum otot besar.

Selain keempat sektor tersebut, itu perilaku anak juga dinilai secara umum untuk

memperoleh taksiran kasar bagaimana seorang anak menggunakan kemampuannya.

Page 13: Tutorial (1)

KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP)

Page 14: Tutorial (1)

KPSP merupakan suatu daftar pertanyaan singkat yang ditujukan pada orang tua dan

dipergunakan sebagai alat untuk melakukan skrining pendahuluan untuk perkembangan anak

usia 3 bulan sampai 6 tahun. Daftar pertanyaan tersebut berjumlah 10 nomor yang harus

dijawab oleh orang tuaatau pengasuh yang mengetahui keadaan perkembangan anak.

Pertanyaan dalam KPSP dikelompokan sesuai usia anak saat dilakukan pemeriksaan,

mulai kelompok usia 3 bulan, 3-6 bulan,dst sampai kelompok 5-6 tahun. Untuk usia

ditetapkan menurut tahun dan bulan dengan kelebihan 16 hri dibulatkan menjadi 1 bulan.

Pertanyaan dalam KPSP harus dijawab dengan ’ya’ atau ’tidak’ oleh orang tua.

Setelah semua pertanyaan dijawab, selanjutnya hasil KPSP dinilai.

1. apabila jawaban ’ya’ berjumlah 9-10, berarti anak tersebut normal (perkembangan baik)

2. apabila jawaban ’ya’ kurang dari 9,maka perlu diteliti lebih lanjut mengenai

Apakah cara menghitung usia dan kelompok pertanyaannya sudah sesuai???

Kesesuaian jawaban orang tua dengan maksud pertanyaan. Apabila ada kesalahan,

maka pemeriksaan harus diulang, apabila setelah diteliti jawaban ’ya’ berjumlah 7-8, berarti

hasilnya meragukan dan perlu diperiksa ulang1 minggu kemudian, apabila jawaban ’ya’

berjumlah 6 atau kurang, berarti hasilnya kurang atau positif untuk perlu dirujuk guna

pemeriksaan lebih lanjut

KUESIONER PERILAKU ANAK PRA SEKOLAH (KPAP)

KPAP adalah sekumpulan perilaku yang digunakan sebagai alat untuk mendeteksi

secara dini kelainan-kelainan perilaku pada anak prasekolah (usia 3-6) tahun. Kuesioner ini

berisi 30 perilaku yang perlu ditanyakan satu per satu pada orang tua.

Setiap perilaku perlu ditanyakan apakah ‘sering terdapat’, ‘ kadang-kadang terdapat’,

atau ‘ tidak terdapat’. Apabila jawaban yang diperoleh adalah ‘sering terdapat’ , maka

jawaban tersebut dinilai 2, ‘kadang-kadang terdapat’ diberi nilai 1 dan ‘tidak terdapat’ diberi

nilai 0. Apabila jumlah nilai keseluruhan kurang dari 11, maka anak perlu di rujuk, sedangkan

jika jumlah nilai 11 atau lebih maka anak tidak perlu dirujuk.

TES DAYA LIHAT DAN TES KESEHATAN MATA ANAK PRASEKOLAH

Tes ini untuk memeriksa ketajaman daya lihat serta kelainan mata pada anak berusia

3- 6 tahun. Tes ini juga digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan daya lihat pada anak

usia prasekolah secara dini, sehingga jika ada penyimpangan dapat segera ditangani.

Untuk melakukan tes daya lihat diperlukan ruangan dengan penyinaran yang baik dan

alat ’kartu E’ yang digantungkan setinggi anak duduk. Kartu E berisi 4 baris. Baris pertama

Page 15: Tutorial (1)

huruf E berukuran paling besar kemudian berasngsur-angsur mengecil pada baris keempat.

Apabila pada baris ketiga , anak tidak dapat melihat maka perlu di rujuk.

Selain tes daya lihat, anak juga perlu diperiksakan kesehatan matanya. Perlu ditanyakan ;

1. keluhan seperti mata gatal, panas, penglihatan kabur atau pusing

2. perilaku seperti sering menggosok mata, membaca terlalu dekat, sering mengkedip-

kedipkan mata

kelainan mata seperti bercak bitot, juling, mata merah dan keluar air apabila ditemukan satu

kelainan atau lebih pada mata maka, maka anak tersebut perlu dirujuk

TES DAYA DENGAR ANAK (TDD)

Tes daya dengar berupa pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan denga usia anak,

yaitu kelompok 0-6 bulan, > 16 bulan, > 9 bulan, > 11 bulan, > 12 bulan, > 24 bulan dan > 36

bulan. Setiap pertanyaan perlu dijawab ’ya’ atau ’tidak’. Apabila jawabannya adalah tidak

maka pendengaran anak tidak normal sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut.

3.2. Imunisasi Anak

Selain imunisasi wajib (vaksin BCG, polio tetes minum (polio oral), DPT, hepatitis B dan

campak) yang direkomendasi oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Anda juga

perlu tahu imunisasi yang dianjurkan. Imunisasi yang dianjurkan ini diteliti bisa mencegah

berbagai penyakit, antara lain: radang paru-paru (pneumonia), radang selaput otak

(meningitis), campak Jerman, Hepatitis A, dan kanker mulut rahim. Vaksin tersebut belum

masuk dalam daftar imunisasi PPI dan tidak disubsidi pemerintah –sehingga disebut tidak

wajib atau ‘hanya’ dianjurkan saja. Apa saja imunisasi yang dianjurkan?

Hib

Manfaat: Melindungi tubuh dari virus Haemophilus influenza type B, yang bisa menyebabkan

meningitis, pneumonia, dan epiglotitis (infeksi pada katup pita suara dan tabung suara).

Waktu pemberian: Umur 2, 4, 6, dan 15 bulan. Catatan khusus: Bisa diberikan secara terpisah

atau kombinasi.

Pneumokokus (PCV)

Manfaat: Melindungi tubuh dari bakteri pnemukokus yang bisa menyebabkan meningitis,

pneumonia, dan infeksi telinga. Waktu pemberian: Umur 2, 4, 6 bulan, serta antara 12 – 15

Page 16: Tutorial (1)

bulan. Catatan khusus: Kalau mama belum memberikannya hingga usia anak di atas 1 tahun,

PCV hanya diberikan dua kali dengan interval 2 bulan. Jika usia anak sudah 2 – 5 tahun, PCV

hanya diberikan 1 kali.

Influenza

Manfaat: Melindungi tubuh dari beberapa jenis virus influenza. Waktu pemberian: Setahun

sekali sejak usia 6 bulan. Bisa terus diberikan hingga dewasa. Catatan khusus: Untuk usia di

atas 2 tahun, vaksin bisa diberikan dalam bentuk semprotan pada saluran pernapasan.

MMR (Measles, Mumps, Rubella)

Manfaat: Melindungi tubuh dari virus campak, gondok, dan rubella (campak Jerman). Waktu

pemberian: Usia 15 bulan, dan diulang saat anak berusia 6 tahun. Catatan khusus: Bisa

diberikan pada umur 12 bulan, jika belum mendapat campak di usia 9 bulan.

Tifoid

Manfaat: Melindungi tubuh dari bakteri Salmonella typhi yang menyebabkan demam tifoid

(tifus). Waktu pemberian: Pada umur di atas 2 tahun, dan diulang setiap 3 tahun. Catatan

khusus: Terdapat dua jenis, yaitu oral dan suntik. Tifoid oral diberikan pada anak di atas 6

tahun.

Hepatitis A

Manfaat: Melindungi tubuh dari virus Hepatitis A, yang menyebabkan penyakit hati. Waktu

pemberian: Pada umur di atas 2 tahun, dua kali dengan interval 6 – 12 bulan.

Varisela

Manfaat: Melindungi tubuh dari cacar air. Waktu pemberian: Pada umur di atas 5 tahun.

HPV (Humanpapilloma Virus)

Manfaat: Melindungi tubuh dari Humanpapilloma Virus yang menyebabkan kanker mulut

rahim. Waktu pemberian: Pada anak umur di atas 10 tahun, diberikan 3 kali dengan jadwal 0,

1-2 bulan kemudian, serta 6 bulan kemudian.

3.3. Penilaian Status Gizi, Kalori dan Nutrisi

Page 17: Tutorial (1)

Keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-

zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara

antropometri dan dikategorikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U,

TB/U dan BB/TB.

Penilaian menurut WHO

Status gizi anak < 2 tahun ditentukan dgn menggunakan tabel Berat Badan

menurut Panjang Badan (BB/PB)

Anak umur ≥ 2 tahun ditentukan dgn menggunakan tabel Berat Badan

menurut Tinggi Badan (BB/TB).

Berat Badan per Umur

Paling sederhana

Menggambarkan status gizi saat ini

Secara luas digunakan untuk menentukan MEP

Kerugiannya : tidak dapat menentukan adanya wasting

INTERPRETASI

BB/U diplot pada kurva (CDC 2000)

• BB/U < persentil 10 : defisit

• BB/U > persentil 90 : kelebihan

BB/U dibandingkan standar yang diacu (%):

• > 120 : gizi lebih

• 80 – 120 % : gizi baik

• 60 – 80 % : gizi kurang

• < 60 % : gizi buruk

TB/U < persentil 5 : defisiensi berat

TB/U antara persentil 5 dan 10 : evaluasi laju pertumbuhan untuk membedakan perawakan

pendek yg disebabkan:

• Defisiensi gizi kronis

• Faktor konstitusional atau genetik

TB/U dibandingkan dgn standar baku (%) :

• 90 – 110% : tinggi baik

• 70 – 90 % : tinggi kurang

• < 70 % : tinggi sangat kurang

Page 18: Tutorial (1)

Penilaian status gizi berdasar persentase TB/BB

>120% : obesitas

110-120% : overweight

90-110% : normal

70-90%: gizi kurang

<70% : gizi sangat kurang

Periode penyapihan adalah tahap penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi

dan anak. Waktu penyapihan, pilihan makanan, metode mereka persiapan, dan bagaimana

weanlings diberi makan, semua mempengaruhi hasilnya. Persiapan komersial makanan

penyapihan dan fortifikasi beberapa makanan tradisional yang dipandang oleh beberapa

sebagai cara yang paling berkelanjutan dan biaya-efektif mengurangi defisiensi mikronutrien

pada bayi dan anak-anak. Hal ini mungkin benar di negara-negara industri, tapi sama tidak

bisa serta merta dikatakan miskin, negara-negara berkembang. Menunjukkan bahwa di

masyarakat miskin, adalah sangat mungkin untuk menggabungkan sumber makanan sedikit

dengan cara yang hemat biaya untuk merumuskan multimixes yang akan memenuhi

kebutuhan energi, protein dan mikronutrien, tanpa fortifikasi. Mengusulkan bahwa

pendekatan tersebut dapat digunakan dalam program pendidikan masyarakat gizi untuk

membantu mengurangi kekurangan gizi anak dan program darurat masalah gizi.

 

Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menentukan kebutuhan nutrisi anak balita :

Menentukan Desirable Body Weight (DBW) atau Berat Badan Ideal Penentuan berat

badan ideal untuk anak balita (1-5 tahn) secara sederhana dapat menggunakan rumus BBI =

(usia dalam tahun x 2) + 8

Menentukan Estimasi Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Total Per Hari

1. Kebutuhan energi/kalori pada anak balita dapat dilakukan dengan rumus :

a. Keb. energi = 1000 + (100 x usia dalam tahun)

b. Keb energi usia 1-3 tahun = 100 kalori/kg BBI

Keb energi usia 4-5 tahun = 90 kalori/kg BBI

2. Kebutuhan protein adalah sebesar 10% dari total kebutuhan energi sehari, dapat dihitung :

(10% x Total Energi Harian) : 4 = x gram

3. Kebutuhan Lemak yaitu sebesar 20% dari total energi harian yaitu : (20% x Total Energi

Harian) : 9 = x gram

4. Kebutuhan Karbohidrat adalah sisa dari total energi harian dikurangi prosentase protein dan

lemak

Page 19: Tutorial (1)

Contoh :

Balita kita berusia 3 tahun, maka BBI nya adalah: (3 thn x2)+8 =12kg

Kebutuhan kalori:

100 kal/kg BBI, yaitu 100×13 kg = 1300 kal/hari atau menggunakan rumus pertama : 1000 +

(100 x usia dalam tahun ), yaitu 1000 + (100 x 2 thn) = 1300 kal/hari

Kebutuhan zat gizi :

Protein 10% dari total kalori = (10% x 1300 kal) : 4 = 40 gram

Lemak 20% dari total kalori = (20% x 1300 kal) : 9 = 35 gram

Karbohidrat, sisa dari total kalori dikurangi prosentase protein dan lemak =

(70% x 1200 kal) : 4 = 290 gram

Pembagian Makanan Sehari Diet 1300 kalori 35 gram Protein :

Nasi 3P = 300 gram (2 1/2 gelas)

Protein hewani 3P = 150 gram ( 31/2 potong sedang)

Protein nabati 2,5P = 90 gram tempe/30 gram kacang hijau (1,5 potong tempe/2,5 sendok

makankc.hijau)

Sayuran 1,5P = 150 gram (1 1/2 gelas sayuran masak)

Buah 3P = +/- 350 gram

Minyak 2,5P = 12,5 gram (3 sendok teh)

Page 20: Tutorial (1)
Page 21: Tutorial (1)

3.4. Penyebab Anak Sulit Makan

Page 22: Tutorial (1)

Penyebab Anak Susah Makan

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan seorang anak atau bayi dan balita menjadi susah makan.

Dua diantaranya dibedakan karena faktor secara fisik pada anak dan balita dan juga faktor psikis yang

ada pada balita.

Faktor fisik yang menjadi penyebab anak menjadi susah makan contoh mudahnya adalah adanya

gangguan di organ pencernaan anak maupun terdapatnya infeksi dalam tubuh anak.

1. Mulai eksplorasi ke mana-mana

Ketika sudah mahir berjalan, anak akan lebih mengutamakan kegiatan eksplorasi ketimbang acara

makan. Lihat saja cara bermainnya yang disertai gerakan berjalan, memanjat, atau berlari seolah tidak

pernah lelah. Tak heran jika acara makan dianggapnya sebagai kegiatan buang-buang waktu, apalagi

kalau diminta duduk diam.

2. Sedang sakit

Tidak mau makan yang disebabkan alasan medis biasanya disertai ciri-ciri badan lemas, sering

demam, bolak-balik diare, berat badannya tak bergerak naik atau malah mengalami penurunan, dan

adanya perubahan tingkah laku. Kalau semula anak terlihat aktif, riang dan "cerewet", maka di kala

sakit ia lebih suka diam dan terlihat malas-malasan.

Kalau anak menunjukkan gejala seperti itu, tentu harus segera diperiksakan ke dokter. Sebab dilihat

dari indikasinya, besar kemungkinan problema sulit makan ini disebabkan radang tenggorok, lambung

terganggu, atau malah kena vlek paru-paru, bahkan TBC. 

Page 23: Tutorial (1)

Sedangkan faktor psikis yang bisa menjadi penyebab anak bayi menjadi susah makan antara lain

adalah jarena adanya gangguan psikologis pada anak, seperti kondisi rumah tangga yang bermasalah,

suasana makan yang kurang menyenangkan, tidak pernah makan bersama orangtua, maupun anak

dipaksa untuk memakan makanan yang tidak disukainya.

Dilihat dari segi psikologis anak susah makan, penyebabnya adalah:

1.     Cemas

Rasa cemas ini paling sering dialami anak batita. Contoh, cemas berpisah dari orangtua karena

berpikir akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa orangtuanya; cemas berada di lingkungan baru,

semisal ketika mulai bersekolah, dan sebagainya. Kecemasan yang timbul sering kali disertai gejala-

gejala fisiologis maupun perilaku seperti gelisah, berkeringat dingin, berdebar-debar, sulit

konsentrasi, susah tidur, dan sebagainya. Kondisi-kondisi ini berpengaruh pada pola makan anak,

termasuk membuat anak jadi susah makan.

2.     Depresi

Anak yang depresi bisa mengalami dua masalah makan, yaitu makan berlebihan/tidak terkendali

sehingga membuatnya obesitas atau ia menjadi sulit makan. Depresi banyak dialami anak usia

sekolah. Penyebabnya bermacam-macam. Ada yang karena menjadi korban bully seperti diejek,

digoda, mendapatkan kekerasan, dan sebagainya.

3.     Pola relasi yang tak bagus dengan orangtua.

Ketika anak makan dan rewel, lalu direspons orangtua dengan tidak sabar dan memaksa anak, maka

peristiwa makan menjadi hal yang tidak menyenangkan. Akibatnya, anak pun jadi susah makan.

Dalam hal pola asuh, orangtua tidak mengajari anak untuk mengonsumsi makanan yang bervariasi

alias hanya menyediakan makanan yang itu-itu saja. Ini membuat anak tidak belajar mengenal rasa

dan jenis makanan yang beragam. Akibatnya, anak menjadi pilah-pilih makanan dan makan yang itu-

itu saja. Ujung-ujungnya, anak pun akan susah makan.

Selain itu faktor psikologis yang dapat mengganggu anak susah makan, seperti kondisi rumah tangga

yang bermasalah, suasana makan yang kurang menyenangkan, tidak pernah makan bersama orangtua,

maupun anak dipaksa memakan makanan yang tidak disukai.

Cara Mengatasi Anak Susah Makan

Cara mengatasi anak susah makan ini harus dilihat secara detai apa faktor penyebabnya, apabila

secara medis tak ada masalah, biasanya anak yang sulit makan akan dirujuk kepada psikiater/psikolog.

Psikiater/psikolog akan mencari latar belakang masalah dari segi kejiwaan si anak. Para ahli juga akan

memberikan saran untuk mengatasi masalah psikis tersebut, sehingga bila sudah berhasil diatasi,

diharapkan perilaku makan anak akan membaik.

Di rumah, orangtua sebenarnya bisa mengenali masalah psikis pada anak lewat terapi

bermain. Biasanya cara ini dilakukan pada anak yang masih kecil hingga usia batita. Saat bermain,

Page 24: Tutorial (1)

orangtua bisa mengamati dan menganalisis bagaimana pola bermain anak dari kisah-kisah yang

diperlihatkan. Misal, dalam bermain anak selalu memilih peran utama binatang buas yang menerkam

binatang lemah. Bila pola ini selalu berulang, ini merupakan pertanda penting, anak merasa dirinya

selalu jadi objek/korban dari pola asuh /perilaku, apakah orangtua atau teman. Lewat terapi bermain,

konflik permasalahan anak dapat ditelusuri, kemudian diatasi sesuai penyebabnya.

Terapi bermain juga dapat digunakan untuk memperbaiki relasi antara orangtua dan

anak. Karena dalam bermain, orangtua dapat belajar bagaimana merespons anaknya. Namun, perlu

dipahami, terapi bermain yang dilakukan ini tidak serta merta berdampak langsung pada pola makan

anak. Artinya, setelah relasi/pola asuh diubah tidak serta merta perilaku sulit makan anak teratasi.

Perlu proses dan waktu yang cukup hingga akhirnya terjadi perubahan perilaku makan pada anak.

Selain terapi bermain, orangtua juga bisa melakukan terapi kognitif, utamanya pada anak yang lebih

besar. Anak dibantu mengatasi kondisi cemas atau depresinya dengan mengubah cara berpikirnya.

Lakukan dengan pendekatan komunikatif, anak diajak mengungkapkan perasaannya, sehingga ia

merasa nyaman dan tenang. Lakukan komunikasi pada anak sesuai tahapan usianya.

Lakukan introspeksi diri atas sikap dan pola asuh terhadap anak, mungkinkah selama ini

kerap bersikap otoriter atau overprotektif, sehingga membuat anak merasa cemas, marah, dan tak

nyaman. Orangtua diharapkan bisa mengubah cara berpikirnya.

Mengajarkan perilaku makan yang baik. Sediakan menu makanan yang bervariasi agar

anak mengenal banyak rasa dan jenis makanan. Jadilah model yang baik dengan membiasakan makan

bersama di meja makan. Makan bersama merupakan ajang interaksi penting antara orangtua dan anak.

Orangtua juga bisa menjadi teman menyenangkan di meja makan. Dengan begitu, hubungan orangtua

dan anak semakin erat.

Jadikan saat makan menyenangkan. Hindari mengancam, menghukum, atau menakut-

nakuti anak agar ia makan lebih banyak. Ini akan membuatnya merasa bahwa saat makan merupakan

saat yang tidak menyenangkan. Dan bukan tak mungkin menimbulkan trauma psikologis baginya.

4. jelaskan klasifikasi KEP. Alur diagnostik KEP dan patomekanisme konjungtiva anemis pada

skenario

B. Pengertian dan Dasar Diagnosis KEP

Kurang Energi Protein atau Kurang Kalori Protein adalah keadaan kurang gizi pada anak

yang disebabkan oleh kurangnya asupan energi dan protein. Balita usia 6-59 bulan merupaka

golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, diantaranya adalah masalah kurang energi

protein (KEP) yang merupakan masalah gizi utama di Indonesia.4

Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, MEP diklasifikasikan menjadi

MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan MEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum

menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.

Page 25: Tutorial (1)

Pada gizi buruk, di samping gejala klinis, didapatkan juga kelainan biokimia sesuai dengan bentuk

klinis. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwarshiorkor, marasmus, dan marasmus-

kwarshiorkor, walaupun demikian, penatalaksanaannya tetap sama.3

Klasifikasi KEP

1. KEP ringan / gizi kurang adalah bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai

berikut: BB/TB < -2 s/d -3 SD, LiLA 11,5 s/d 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik,

tidak ada komplikasi medis, maka anak dikategorikan gizi kurang dan perlu diberikan PMT

Pemulihan.4

Pada pemeriksaan fisik KEP ringan biasanya ditemukan gangguan pertumbuhan, anemia

ringan, dan berkurangnya aktivitas dan konsentrasi.3

2. KEP berat / gizi buruk tanpa komplikasi adalah bila dalam pemeriksaan pada anak

didapatkan satu atau lebih tanda berikut: tampak sangat kurus, edema minimal pada kedua

punggung kaki atau tanpa edema, BB/PB atau BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak

usia 6-59 bulan), nafsu makan baik, maka anak dikategorikan gizi buruk tanpa komplikasi dan

perlu diberikan penanganan secara rawat jalan.3

3. KEP berat / gizi buruk dengan komplikasi adalah bila hasil pemeriksaan anak ditemukan

tanda-tanda sebagai berikut: tampak sangat kurus, edema pada seluruh tubuh, BB/PB atau

BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan) dan disertai dari salah satu

atau lebih tanda komplikasi medis sebagai berikut: anoreksia, pneumonia berat, anemia berat,

dehidrasi berat, demam sangat tinggi, penurunan kesadaran, maka anak dikategorikan gizi

buruk dengan komplikasi sehingga perlu penanganan secara rawat inap.3

Gejala klinis KEP berat/Gizi buruk yang dapat ditemukan: 3

a. Kwashiorkor

- Perubahan mental sampai apatis

- Anemia

- Edema simetris, terutama pada kedua punggung kaki (dorsum pedis), dapat sampai

seluruh tubuh

- Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa

sakit, rontok

- Pembesaran hati

- Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk

- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi

coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)

- Gangguan sistem gastrointestinal

b. Marasmus:

- Wajah seperti orang tua

Page 26: Tutorial (1)

- Perubahan mental, cengeng, rewel

- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat

tampak seperti memakai celana longgar/”baggy pants”)

- Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas

- Kadang-kadang disertai bradikardi

c. Marasmik-Kwashiorkor:

- Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klnik Kwashiorkor dan

Marasmus

- terlihat sangat kurus

- Edema nutrisional, simetris

- BB/TB < -3 SD

- Lingkar lengan atas < 11,5 cm

Patofisiologi 5

1. Respon Metabolik Terhadap Pemasukan Energi Inadekuat

KEP merupakan hasil dari tidak tercukupinya kebutuhan energi dan nutrisi dalam waktu yang

lama. Manifestasinya tergantung dari beberapa faktor, misalnya umur, infeksi, status nutrisi awal

dan kebiasaan mengurangi makan.

Pada keadaan puasa terjadi pengurangan lemak dan perubahan endokrin yang mempunyai tujuan

untuk menjaga fungsi vital dan bertahan hidup sampai didapatkan lagi energi dari makanan.

Akibatnya akan terjadi perubahan-perubahan yaitu berkurangnya aktivitas, pertumbuhan yang

lambat dan perubahan komposisi badan. Selain itu akan terjadi penurunan laju metabolisme dan

peningkatan total cairan tubuh terutama di ekstaselular.

Hormon cortisol akan meningkat pada keadaan kelaparan dan stress. Sekresi insulin akan

menurun dan akan terjadi resistensi insulin di perifer. Aktivitas insulin-growth faktor 1 serta

efektor metabolik pertumbuhan yang mempengaruhi hormon pertumbuhan juga berkurang. Efek

keseluruhan dari perubahan hormon ini adalah mobilisasi lemak, degradasi protein otot, dan

penurunan basal metabolic rate. Peningkatan aldosterone yang berperan dalam kehilangan

potassium sudah diikuti oleh pengurangan energi dan penurunan sintesis adenosin trifosfat dalam

sodium pump.

Page 27: Tutorial (1)

2. Adaptasi Terhadap Penurunan Pemasukan Protein

Selama kehilangan protein, otot skelet yang hilang akan diganti untuk menjaga enzim yang

penting dan memberikan energi untuk proses metabolisme, sehingga terjadi proses pembentukan

protein otot dan peningkatan pemecahan yang akan memberikan asam amino essensial untuk

sintesis protein dan glukoneogenesis. Di dalam hepar, terdapat pertukaran laju sintesis dari protein

yang berbeda : sintesis albumin, transferrin dan apolipoprotein B akan menurun sedangkan

sintesis protein lain akan dijaga.

3. Perubahan Elektrolit

Pada marasmus dan kwashiorkor akan terjadi retensi sodium sehingga akan terjadi peningkatan

total sodium dalam tubuh, meskipun kadar serumnya rendah sedangkan total potasium dalam

tubuh akan menurun. Selain sodium dan potasium, elektrolit lain juga akan berubah seperti

fosfat , magnesium dan kalsium.

Hipofosfatemia ditemukan dalam anak-anak yang malnutrisi dan berhubungan dengan tingginya

angka mortalitas. Kadar fosfat yang rendah berhubungan dengan diare dan dehidrasi. Selain

hipofosfatemia, hipokalemia juga bisa menyebabkan hipotonus dan kematian mendadak (sudden

death).

4. Interaksi dengan Infeksi

Infeksi dan nutrisi saling berhubungan. Kondisi dimana pemasukan energi dan protein yang tidak

cukup berhubungan dengan kondisi peningkatan bakteri dan mikroba lain. Produk makanan yang

berasal dari daging seperti daging merah, daging unggas, ikan, susu dan telur merupakan sumber

nutrisi yang penting untuk melawan infeksi. Lemak dibutuhkan untuk memfasilitasi penyerapan

dari vitamin seperti E, D dan A serta untuk menjaga infeksi.

Selama infeksi, terdapat perubahan metabolik yang akan meningkatkan produksi protein fase

akut. Produksi protein fase akut dan perubahan metabolik pada infeksi diperantarai oleh sitokin,

lipid-derived factor termasuk prostaglandin, leukotrien, dan platelet aktivating factor. Perubahan

endokrin juga berperan; hormon-hormon katabolik juga meningkat seperti glukokortikoid,

glukagon, dan epinefrin. Sebagai tambahan bahwa perubahan efek metabolisme terhadap infeksi

sesuai dengan status nutrisinya.

5. Sitokin

Sintesin sitokin dipercepat oleh infeksi, trauma, iskemi dan keadaan lain. Sitokin berperan dalam

metabolisme protein dan otot, puasa, dan cachexia pada kanker.

Pada anak yang malnutrisi berat didapatkan penurunan reaksi inflamasi dan menumpulnya respon

febrile.

Page 28: Tutorial (1)

6. Protein Fase Akut

Sitokin memodulasi pembentukan protein fase akut. Pembentukan protein tersebut adalah di

dalam hati dan meningkat bila ada stress seperti infeksi. Pada anak malnutrisi berat akan terjadi

penurunan protein fase akut negatif seperti albumin, prealbumin, fibronektin dan retinol binding

protein. Hal tersebut akan mengakibatkan meningkatnya sistesis protein dalam hepar.

7. Kwashiorkor

Kwashiorkor berhubungan dengan kurangnya diet protein dan edema yang terjadi adalah akibat

dari rendahnya albumin, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa kwashiorkor tergantung

dari intake energi bukan protein dan edema tidak tergantung dari albumin.

8. Perubahan Organ dan Sistem

PEMERIKSAAN PENUNJANG 3, 4, 5

Darah : Hb, Leukosit, Eritrosit, Nilai Absolut Eritrosit, Hematokrit, Apus Darah Tepi,

Albumin, Protein Total, Ureum, Kreatinin, Kolesterol, HDL, Trigliserida, Fe, TIBC,

Transthyretin Serum, Elektrolit, Glukosa, Bilirubin, Indeks Protrombin dan Biakan

Urin : Kultur, Urea N, Hidroksiprolin

Apus Rektal

Tes mantoux

Radiologi (dada, AP, Lateral)

EKG

Ciri-ciri biokimia dan histopatologis dari KEP berat

Penemuan biokimia umum sebagai berikut :

1. Konsentrasi total protein serum dan terutama albumin secara nyata berkurang pada KEP

edematus, dan normal atau rendah pada marasmus.

2. Hemoglobin dan hematokrit biasanya rendah, terlebih pada kwashiorkor daripada marasmus.

3. Rasio asam amino nonesensial dan esensial plasma meningkat pada kwashiorkor dan biasanya

normal pada marasmus.

4. Level Free Fatty Acid (FFA) serum meningkat, terutama pada kwashiorkor.

5. Level glukosa darah normal atau rendah setelah puasa 6 atau lebih.

6. Eksresi urin kreatinin, hidroksiprolin, 3-metil histidin, dan urea nitrogen rendah.

Banyak perubahan biokimia lain yang sudah diterangkan pada KEP berat, meskipun

mempunyai sedikit pengaruh pada diagnosis penyakit.

Page 29: Tutorial (1)

Penelitian histopatologis menunjukkan atrofi nonspesifik, terutama pada jaringan dengan

angka turnover sel yang besar seperti mukosa usus, sumsum tulang merah, dan epitel testikular,

sedangkan pada vili usus dan enterosit kehilangan penampakan columnarnya. Perubahan kulit terdiri

atas atrofi dermal, ekimosis, ulserasi, dan deskuamasi hiperkeratosis, terlihat pada daerah yang iritasi.

Hepar pada kwashiorkor besar dengan infiltrasi lemak; lemak periportal terlihat pertama dan berlanjut

sejalan dengan meningkatnya kehebatan penyakit.

ALUR PEMERIKSAAN DAN PENEMUAN KASUS

Berikut penjelasan alur pemeriksaan yang dapat di gunakan untuk menentukan langkah-

langkah yang dilakukan dalam menangani penemuan kasus anak gizi buruk berdasarkan kategori yang

telah ditentukan :

1. Penemuan Anak Gizi Buruk, dapat menggunakan data rutin hasil penimbangan anak di

posyandu, menggunakan hasil pemeriksaan di fasilitas kesehatan (Puskesmas dan

jaringannya, Rumah Sakit dan dokter/bidan praktek swasta), hasil laporan masyarakat, media

massa, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya) dan skrining aktif (operasi timbang

anak).

2. Penapisan Anak Gizi Buruk, anak yang dibawa oleh orangtuanya atau anak yang berdasarkan

hasil penapisan Lila < 12,5 cm, atau semua anak yang dirujuk dari posyandu (2T dan BGM)

maka dilakukan pemeriksaan antropometri dan tanda klinis, semua anak diperiksa tanda-tanda

komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi,

penurunan kesadaran), semua anak diperiksa nafsu makan dengan cara tanyakan kepada

orang tua apakah anak mau makan/tidak mau makan minimal dalam 3 hari terakhir berturut-

turut.

3. Bila dalam pemeriksaan pada anak didapatkan satu atau lebih tanda berikut: tampak sangat

kurus, edema minimal pada kedua punggung kaki atau tanpa edema, BB/PB atau BB/TB < -3

SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan), nafsu makan baik, maka anak

dikategorikan gizi buruk tanpa komplikasi dan perlu diberikan penanganan secara rawat jalan.

4. Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: tampak sangat kurus,

edema pada seluruh tubuh, BB/PB atau BB/TB < -3 SD, LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-

59 bulan) dan disertai dari salah satu atau lebih tanda komplikasi medis sebagai berikut:

anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam sangat tinggi, penurunan

kesadaran, maka anak dikategorikan gizi buruk dengan komplikasi sehingga perlu

penanganan secara rawat inap.

Page 30: Tutorial (1)

5. Bila hasil pemeriksaan anak ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: BB/TB < -2 s/d -3 SD,

LiLA 11,5 s/d 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik, tidak ada komplikasi medis,

maka anak dikategorikan gizi kurang dan perlu diberikan PMT Pemulihan.

6. Bila kondisi anak rawat inap sudah membaik dan tidak lagi ditemukan tanda komplikasi

medis, tanda klinis membaik (edema kedua punggung tangan atau kaki), dan nafsu makan

membaik maka penanganan anak tersebut dilakukan melalui rawat jalan.

7. Bila kondisi anak rawat inap sudah tidak lagi ditemukan tandatanda komplikasi medis, tanda

klinis baik dan status gizi kurang, nafsu makan baik maka penanganan anak dengan

pemberian PMT pemulihan.

8. Anak gizi buruk yang telah mendapatkan penanganan melalui rawat jalan dan PMT

pemulihan, jika kondisinya memburuk dengan ditemukannya salah satu tanda komplikasi

medis, atau penyakit yang mendasari sampai kunjungan ke tiga berat badan tidak naik

(kecuali anak dengan edema), timbulnya edema baru, tidak ada nafsu makan maka anak perlu

penanganan secara rawat inap.

Untuk lebih jelasnya alur pemeriksaan atau penemuan kasus dapat dilihat pada bagan berikut :

LANGKAH PELAKSANAAN

Page 31: Tutorial (1)

A. PRINSIP DASAR PELAYANAN RUTIN KEP BERAT/GIZI BURUK

Pelayanan rutin yang dilakukan di puskesmas berupa 10 langkah penting yaitu:

1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

5. Obati/cegah infeksi

6. Mulai pemberian makanan

7. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)

8. Koreksi defisiensi nutrien mikro

9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental

10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.

Dalam proses pelayanan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase transisi,

dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang sesuai untuk

setiap fase. Tata laksana ini digunakan pada pasien Kwashiorkor, Marasmus maupun Marasmik-

Kwashiorkor.

Bagan dan jadwal pengobatan sebagai berikut:

No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI

Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7

1 Hipoglikemia

2 Hipotermia

Page 32: Tutorial (1)

3 Dehidrasi

4 Elektrolit

5 Infeksi

6 MulaiPemberian

makanan

7 Tumbuh kejar

(Meningkatkan

Pemberian Makanan)

8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe

9 Stimulasi

10 Tindak lanjut

B. SEPULUH LANGKAH UTAMA PADA TATA LAKSANA KEP BERAT/GIZI BURUK

1. Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia (kadar gula dalam darah rendah)

Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan KEP berat/Gizi

buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Jika anak sadar dan dapat

menerima makanan usahakan memberikan makanan saring/cair 2-3 jam sekali. Jika anak

tidak dapat makan (tetapi masih dapat minum) berikan air gula dengan sendok. Jika anak

mengalami gangguan kesadaran, berikan infus cairan glukosa dan segera rujuk ke RSU

kabupaten.

2. Pengobatan dan pencegahan hipotermia (suhu tubuh rendah)

Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 360 C. Pada keadaan ini anak

harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu atau orang dewasa lain mendekap

Page 33: Tutorial (1)

anak di dadanya lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga agar anak tetap dapat

bernafas.

Cara lain adalah dengan membungkus anak dengan selimut tebal, dan meletakkan lampu

didekatnya. Lampu tersebut tidak boleh terlalu dekat apalagi sampai menyentuh anak. Selama

masa penghangatan ini dilakukan pengukuran suhu anak pada dubur (bukan ketiak) setiap

setengah jam sekali. Jika suhu anak sudah normal dan stabil, tetap dibungkus dengan selimut

atau pakaian rangkap agar anak tidak jatuh kembali pada keadaan hipothermia.

Tidak dibenarkan

penghangatan anak dengan menggunakan

botol berisi air panas

3. Pengobatan dan Pencegahan kekurangan cairan

Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak penderita KEP berat/Gizi buruk dengan

dehidrasi adalah :

Ada riwayat diare sebelumnya

Anak sangat kehausan

Mata cekung

Nadi lemah

Tangan dan kaki teraba dingin

Anak tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama.

Tindakan yang dapat dilakukan adalah :

Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan setiap setengah jam sekali tanpa

berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan rehidrasi oral dengan memberi

minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap 30 menit dengan sendok. Cairan rehidrasi

oral khusus untuk KEP disebut ReSoMal (lampiran 4).

Page 34: Tutorial (1)

Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat/Gizi buruk dapat menggunakan

oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak dapat minum, lakukankan rehidrasi

intravena (infus) cairan Ringer Laktat/Glukosa 5 % dan NaCL dengan perbandingan 1:1.

4. Lakukan pemulihan gangguan keseimbangan elektrolit

Pada semua KEP berat/Gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan elektrolit diantaranya :

Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah.

Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)

Ketidakseimbangan elektrolit ini memicu terjadinya edema dan, untuk pemulihan

keseimbangan elektrolit diperlukan waktu paling sedikit 2 minggu.

Berikan :

- Makanan tanpa diberi garam/rendah garam

- Untuk rehidrasi, berikan cairan oralit 1 liter yang diencerkan 2 X (dengan penambahan 1

liter air) ditambah 4 gr KCL dan 50 gr gula atau bila balita KEP bisa makan berikan

bahan makanan yang banyak mengandung mineral ( Zn, Cuprum, Mangan, Magnesium,

Kalium) dalam bentuk makanan lumat/lunak

Contoh bahan makanan sumber mineral

Sumber Zink : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam

Sumber Cuprum : daging, hati.

JANGAN OBATI EDEMA DENGAN PEMBERIAN DIURETIKA

Page 35: Tutorial (1)

Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai.

Sumber Magnesium : kacang-kacangan, bayam.

Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang2an, apel, alpukat, bayam, daging tanpa

lemak.

5. Lakukan Pengobatan dan pencegahan infeksi

Pada KEP berat/Gizi buruk, tanda yang umumnya menunjukkan adanya infeksi seperti

demam seringkali tidak tampak, oleh karena itu pada semua KEP berat/Gizi buruk secara

rutin diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis sebagai berikut :

UMUR

ATAU

BERAT BADAN

KOTRIMOKSASOL

(Trimetoprim + Sulfametoksazol)

Beri 2 kali sehari selama 5 hari

AMOKSISILIN

Beri 3 kali

sehari untuk

5 hari

Tablet dewasa

80 mg trimeto

prim + 400 mg

sulfametok

sazol

Tablet Anak

20 mg trimeto

prim + 100 mg

sulfametok

sazol

Sirup/5ml

40 mg trimeto

prim + 200 mg

sulfametok

sazol

Sirup

125 mg

per 5 ml

2 sampai 4 bulan

(4 - < 6 kg) ¼ 1 2,5 ml 2,5 ml

4 sampai 12 bulan

(6 - < 10 Kg) ½ 2 5 ml 5 ml

12 bln s/d 5 thn

(10 - < 19 Kg) 1 3 7,5 ml 10 ml

Vaksinasi Campak bila anak belum diimunisasi dan umur sudah mencapai 9 bulan

Catatan :

Page 36: Tutorial (1)

Mengingat pasien KEP berat/Gizi buruk umumnya juga menderita penyakit infeksi, maka

lakukan pengobatan untuk mencegah agar infeksi tidak menjadi lebih parah. Bila tidak

ada perbaikan atau terjadi komplikasi rujuk ke Rumah Sakit Umum.

Diare biasanya menyertai KEP berat/Gizi buruk, akan tetapi akan berkurang dengan

sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati. Berikan metronidasol 7,5 mg/Kgbb

setiap 8 jam selama 7 hari. Bila diare berlanjut segera rujuk ke rumah sakit

6. mulai pemberian makanan balita KEP berat/Gizi buruk

a) Fase Stabilisasi ( 1-2 hari)

Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan yang sangat hati-hati, karena keadaan faali anak

sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.

Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian

rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisma basal saja.

Formula khusus seperti Formula WHO 75/modifikasi/Modisco ½ yang dianjurkan dan jadwal

pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut

diatas dengan persyaratan diet sebagai berikut :

- Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa

- Energi : 100 kkal/kg/hari

- Protein : 1-1.5 gr/kg bb/hari

- Cairan : 130 ml/kg bb/hari (jika ada edema berat 100 ml/Kg bb/hari)

- Bila anak mendapat ASI teruskan , dianjurkan memberi Formula WHO

75/pengganti/Modisco ½ dengan menggunakan cangkir/gelas, bila anak terlalu lemah

berikan dengan sendok/pipet

- Pemberian Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½ atau pengganti dan jadwal pemberian

makanan harus disusun sesuai dengan kebutuhan anak

Keterangan :

BILA DIARE BERLANJUT ATAU MEMBURUKANAK SEGERA DIRUJUK KE RUMAH SAKIT

Page 37: Tutorial (1)

Pada anak dengan selera makan baik dan tidak edema, maka tahapan pemberian formula

bisa lebih cepat dalam waktu 2-3 hari (setiap 2 jam)

Bila pasien tidak dapat menghabiskan Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½ dalam

sehari, maka berikan sisa formula tersebut melalui pipa nasogastrik ( dibutuhkan

ketrampilan petugas )

Pada fase ini jangan beri makanan lebih dari 100 Kkal/Kg bb/hari

Pada hari 3 s/d 4 frekwensi pemberian formula diturunkan menjadi setiap jam dan pada

hari ke 5 s/d 7 diturunkan lagi menjadi setiap 4 jam

Lanjutkan pemberian makan sampai hari ke 7 (akhir minggu 1)

Pantau dan catat :

- Jumlah yang diberikan dan sisanya

- Banyaknya muntah

- Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja

- Berat badan (harian)

- selama fase ini diare secara perlahan berkurang pada penderita dengan edema , mula-

mula berat badannya akan berkurang kemudian berat badan naik

7. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)

Pada fase ini meliputi 2 fase yaitu fase transisi dan fase rehabilitasi :

b) Fase Transisi (minggu ke 2)

Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara berlahan-lahan untuk menghindari

risiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah

banyak secara mendadak.

Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan

formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam jangka

waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan

kandungan energi dan protein yang sama.

Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa,

biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali pemberian (200 ml/kgbb/hari).

Page 38: Tutorial (1)

Pemantauan pada fase transisi

1. frekwensi nafas

2. frekwensi denyut nadi

Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 kali/menit dan denyut nadi > 25 kali /menit

dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.

Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.

3. Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan

Setelah fase transisi dilampaui, anak diberi:

- Formula WHO 100/pengganti/Modisco 1 dengan jumlah tidak terbatas dan sering.

- Energi : 150-220 Kkal/kg bb/hari

- Protein 4-6 gram/kg bb/hari

- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula WHO

100/Pengganti/Modisco 1, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk

tumbuh-kejar.

Setelah fase rehabilitasi (minggu ke 3-7) anak diberi :

- Formula WHO-F 135/pengganti/Modisco 1½ dengan jumlah tidak terbatas dan sering

- Energi : 150-220 kkal/kgbb/hari

- Protein 4-6 g/kgbb/hari

Bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI, ditambah dengan makanan Formula

( lampiran 2 ) karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.

- Secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga

Pemantauan fase rehabilitasi

Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan badan :

- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.

Page 39: Tutorial (1)

- Setiap minggu kenaikan bb dihitung.

Baik bila kenaikan bb 50 g/Kg bb/minggu.

Kurang bila kenaikan bb < 50 g/Kg bb/minggu, perlu re-evaluasi menyeluruh.

TAHAPAN PEMBERIAN DIET

FASE STABILISASI : FORMULA WHO 75 ATAU PENGGANTI

FASE TRANSISI : FORMULA WHO 75 FORMULA WHO 100

ATAU PENGGANTI

FASE REHABILITASI : FORMULA WHO 135 (ATAU PENGGANTI)

MAKANAN KELUARGA

8. Lakukan penanggulangan kekurangan zat gizi mikro

Semua pasien KEP berat/Gizi buruk, mengalami kurang vitamin dan mineral. Walaupun

anemia biasa terjadi, jangan tergesa-gesa memberikan preparat besi (Fe). Tunggu sampai anak

mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya pada minggu ke 2). Pemberian besi

pada masa stabilisasi dapat memperburuk keadaan infeksinya.

Berikan setiap hari :

Tambahan multivitamin lain

Bila berat badan mulai naik berikan zat besi dalam bentuk tablet besi folat atau sirup besi

dengan dosis sebagai berikut :

Dosis Pemberian Tablet Besi Folat dan Sirup Besi

UMUR

DAN

TABLET BESI/FOLAT

Sulfas ferosus 200 mg + 0,25

SIRUP BESI

Sulfas ferosus 150 ml

Page 40: Tutorial (1)

BERAT BADAN mg Asam Folat

Berikan 3 kali sehari

Berikan 3 kali sehari

6 sampai 12 bulan

(7 - < 10 Kg)

¼ tablet 2,5 ml (1/2 sendok teh)

12 bulan sampai 5 tahun ½ tablet 5 ml (1 sendok teh)

Bila anak diduga menderita kecacingan berikan Pirantel Pamoat dengan dosis tunggal

sebagai berikut :

UMUR ATAU BERAT BADAN PIRANTEL PAMOAT (125mg/tablet)

(DOSIS TUNGGAL)

4 bulan sampai 9 bulan (6-<8 Kg) ½ tablet

9 bulan sampai 1 tahun (8-<10 Kg) ¾ tablet

1 tahun sampai 3 tahun (10-<14 Kg) 1 tablet

3 Tahun sampai 5 tahun (14-<19 Kg) 1 ½ tablet

Vitamin A oral berikan 1 kali dengan dosis

Umur Kapsul Vitamin A Kapsul Vitamin A

200.000 IU 100.000 IU

6 bln sampai 12 bln - 1 kapsul

12 bln sampai 5 Thn 1 kapsul -

Page 41: Tutorial (1)

Dosis tambahan disesuaikan dengan baku pedoman pemberian kapsul Vitamin A

9. Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional

Pada KEP berat/gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,

karenanya berikan :

- Kasih sayang

- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan

- Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari

- Rencanakan aktifitas fisik segera setelah sembuh

- Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb)

10.Persiapan untuk tindak lanjut di rumah

Bila berat badan anak sudah berada di garis warna kuning anak dapat dirawat di rumah dan

dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas atau bidan di desa.

Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah pasien

dipulangkan dan ikuti pemberian makanan seperti pada lampiran 5, dan aktifitas bermain.

Nasehatkan kepada orang tua untuk :

- Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di Puskesmas

- Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMT-Pemulihan

selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran 5) dan berat badan anak

selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di posyandu/puskesmas.

- pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat

- penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu

- Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal

- Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000 SI ) sesuai umur

anak setiap Bulan Februari dan Agustus.

Page 42: Tutorial (1)

PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA GIZI BURUK

Malnutrisi energi protein menghasilkan berbagai perubahan dalam tubuh termasuk profil

hematologi. Penelitian di Nigeria tahun 2012 menyimpulkan bahwa profil hematologi anak manutrisi

energi dan protein berbeda dengan anak normal. Jumlah sel darah merah yang rendah menyebabkan

anemia normokromik normositik, mikrositik hipokromik, atau makrositik. Anemia terkait malnutrisi

disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : defisiensi zat besi, dan atau penurunan produksi sel

darah merah karena adapsi massa otot tubuh yang mengecil, defisiensi eritopoietin, defisiensi vitamin

(asam folat, B12), atau mineral mikro (Cu, Zn), infeksi dan penyakit kronis (Saka et al, 2012).

Perubahan sel darah merah dapat berkaitan dengan adaptasi dari kebutuhan metabolisme

oksigen yang lebih rendah dan penurunan massa otot tubuh. Perubahan tersebut juga berpengaruh

pada perubahan volume plasma sesuai dengan air pada intraseluler dalam tubuh. Sebuah konsekuensi

dari perubahan level hematrokit dan hemoglobin ketika penurunan keduanya dalam cairan intraseluler

yang merupakan tanggung jawab yang terlihat pada MCHC (Saka et al, 2012).

Anemia pada malnutrisi berat biasanya bersifat normokromik dan tidak disertai oleh

retikulositosis meskipun cadangan Fe cukup adekuat. Penyebab anemia pada anak yang asupan

proteinnya tidak adekuat adalah karena menurunnya sintesis eritopoeietin, sedang apabila tidak

mengasup protein sama sekali karena timbul stem cell pada sumsum tulang belakang yang tidak

berkembang, dan juga penurunan produksi eritopoeietin. Anemia zat gizi Fe ditandai dengan Hb

rendah (hipokromia) dan sel darah merah kecil (mikrositosis), menurunnya MCV (Mean Corpuscular

Hemoglobin), MCH (Mean Corpuscular Concentration), dan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin

Concentration). Anemia zat gizi asam folat dan B12 berkaitan dengan membesarnya sel darah merah

atau meningkatnya MCV, MCH, namun MCHC normal. Anemia secar umum dapat menyebabkan

gejala klinis seperti pucat, mudah lelah, takikardia, sesak napas, yang akan mempengaruhi

produktifitas. Bagian tubuh yang terlihat pucat antara lain : telapak tangan, kuku, konjungtiva

palpebral. Anemia berat dapat menyebabkan hipoksia (Arisman, 2009 dan Supariasa, 2012).

Anemia gizi berkaitan dengan kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan Hb,

baik karena kekurangan asupan atau gangguan adsorbsi. Fe dan protein berfungsi untuk pembentukan

Hb, vitamin B6 (piridoksin) sebagai katalisator sintesis hem di dalam molekul Hb, vitamin C

mempengaruhi adsorbsi dan pelepasan besi dan transferrin ke dalam jaringan tubuh, asam folat

sebagai pembawa carbon dalam pembentukan hem, untuk pembentukan sel darah merah dalam

sumsum tulang belakang dan untuk pendewasaannya, vitamin B12 untuk mengubah folat menjadi

bentuk aktif, Zn sebagai pembentuk enzim dalam metabolisme, sintesis DNA dan RNA, serta vitamin

E yang mempengaruhi stabilitas membran sel darah merah (Almatsier, 2002).

Page 43: Tutorial (1)

Pada penatalaksanaan anak gizi buruk, diberikan suplementasi zat gizi pada hari pertama fase

stabilisasi hingga fase rehabilitasi. Suplementasi ditujukan tidak hanya untuk memperbaiki anemia,

namun juga untuk meningkatkan status imunitas dan fungsi fisiologis tubuh lainnya. Akan tetapi,

hanya suplementasi Fe yang tidak diberikan pada fase stabilisasi dan transisi. Fe diberikan pada fase

rehabilitasi ketika berat badan bayi atau anak sudah mulai naik, atau penyakit infeksi sudah mulai

membaik. Hal tersebut berkaitan dengan efek suplementasi Fe yang akan memperburuk tingkat

infeksi (WHO, 2013).

Fe berfungsi sebagai nutrisi yang penting dalam metabolisme manusia dan mikroorganisme baik

pathogen, bakteri, jamur, dan protozoa untuk pertumbuhan dan poliferasi sel. Sebagai strategi

pertahanan, host atau penderita infeksi telah mengembangkan mekanisme untuk mengurangi

ketersediaan Fe yang dapat digunakan untuk perkembangbiakan pathogen. Pergantian terapi ditujukan

untuk mempertahankan oksigenasi sistemik yang memadai dan meningkatkan eritopoiesis. Selain

fungsi untuk transportasi oksigen dan jalur metabolic, Fe memainkan peran penting dalam fungsi

kekebalan tubuh manusia dengan meningkatkan aktivasi limfosit dan proliferasi sel. Namun apabila

kelebihan Fe, dapat melemahkan efek tersebut dan menghambat neutrophil fagositosis dan proliferasi

(Cherayil, 2011).

Homeostasis Fe dijaga melalui regulasi adsorbsi pada usus duabelas jari dan perombakan cadangan

Fe. Dalam konsisi normal, Fe tidak tersedia secara langsung untuk digunakan oleh host agar tidak

digunakan oleh pathogen. Sekitar 75% dari Fe host terdapat di Hb eritrosit, dan sisanya disimpan

dalam intraseluler sebgai ferritin atau terikat pada protein ekstraseluler seperti transferrin (Cherayil,

2011).

Infeksi dan inflamasi mengubah homeostasis Fe melalui mekanisme imun yang akan

membatasi suplai Fe yang tersedia. Sitokin merangsang hepcidin protein fase akut untuk menekan

penyerapan Fe, yang disertai peningkatan cadangan Fe pada retikuloendotelial. Strategi ini berfungsi

sebagai pertahanan yang efektif terhadap pathogen, dan suplementasi Fe selama infeksi akan

menghalangi strategi pelindung tersebut (Cherayil, 2011).

Oleh karena itu suplementasi Fe diberikan pada fase rehabilitasi. Perlu koordinasi dengan tenaga

medis lain mengenai suplementasi Fe. Penatalaksanaan dietetic adalah memberikan asupan makanan

dan minuman sesuai dengan kebutuhan gizi dan kondisi bayi dan anak gizi malnutrisi. Pemberian

makanan pada fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi menggunakan formula F75, F100, F135 yang

mengandung mineral mix sebagai tambahan sumber asupan mikronutrien. Kandungan formula

tersebut tidak mengandung Fe. Saat memasuki fase rehabilitasi, bayi >6bulan – 2 tahun telah

mendapat makanan tambahan ASI (MPASI) dan >2 tahun telah mengonsumsi makanan lokal

sehingga pemilihan bahan makanan sangat diperhatikan untuk mencukupi makro dan mikronutrien

yang dibutuhkan untuk tumbuh kejar dan memperbaiki kondisi medis termasuk anemia (Kemenkes,

Page 44: Tutorial (1)

2011).

Pemberian makanan untuk mengatasi dan menghindari anemia zat gizi Fe adalah dengan

mengonsumsi bahan makanan sumber Fe terutama Fe heme karena nilai bioavailbilitasnya lebih

tinggi dari pada Fe non heme, mengonsumsi bahan makanan yang dapat meningkatkan adsorbsi Fe,

serta menghindari mengonsumsi bahan makanan yang dapat mengahambat penyerapan Fe bersamaan

dengan sumber Fe. Bahan makanan sumber Fe heme berasal dari hewani seperti daging, hati, susu,

telur, ikan, sedang sumber non heme berasal dari nabati dan tumbuhan seperti sayuran hijau (bayam,

sawi, kangkung, daun papaya, daun ketela), kentang, umbi, gandum. Zat gizi yang dapat mempercepat

adsorbsi Fe adalah vitamin C yang terkandung dalam buah dan sayur serta mencukupi kebutuhan

protein. Zat gizi yang dapat mengahambat penyerapan Fe adalah asam fitat atau asam oksalat (daun

ketela pohon dan beberapa di sayuran), polifenol seperti tannin serta cafein (teh, kopi). Bahan

makanan sumber Fe juga mengandung zat gizi lain seperti asam folat, vitamin B6, B12, Zn. Guna

mencukupi kebutuhan mikronutrien lainnya, perlu mengonsumsi bahan makanan yang bervariasi dan

seimbang (Almatsier, 2002; Arisman, 2009).

Salah satu intervensi untuk menangani defisiensi zat gizi mikro adalah dengan pemberian

fortifikasi. Fortifikasi makanan dengan mikronutrien bubuk yang dilakukan di rumah merupakan

intervensi yang efektif dalam menurunkan prevalensi anemia dan defisiensi Fe pada anak usia 6 – 23

bulan. Pemberian fortifikasi mikronutrien bubuk yang dilakukan di rumah dapat menurunkan anemia

hingga 31% dan defisiensi Fe 51% pada balita di Nigeria (De-Regil et al, 2013). Pelaksanaan program

intervensi tersebut merupakan hal kompleks yang dapat berdiri sendiri, atau pun merupakan bagian

atau berdampingan dengan program gizi atau kesehatan yang lain baik yang berhubungan dengan gizi

maupun tidak, seperti program cuci tangan, atau program di sekolah (Pena-Rosas et al, 2012).

Intervensi lain yang dapat dicoba adalah pemberian susu dengan prebiotik. Penelitian di Indonesia

tahun 2013 memberikan intervensi susu dengan probiotik Lactobacillus reuteri dan Lactobacillus

casei pada anak usia 1 – 6 tahun. Probiotik dapat meningkatkan resistensi saluran intestinal terhadap

infeksi dan meningkatkan penyerapan zat gizi seperti Ca, Fe, dan Zn. Hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa intervensi susu dengan probiotik Lactobacillus reuteri secara signifikan

meningkatkan berat badan, merubah z-score BB/U dan BB per bulan, tinggi badan, dan kecepatan

pertumbuhan. Sedang intervensi susu dan probiotik Lactobacillus casei secara signifikan dapat

meningkatkan kecepatan penambahan berat badan per bulan. Intervensi probiotik (apapun jenisnya)

dan susu skim (tinggi kalsium) regular tidak mempengaruhi peningkatan status Fe dan Zn (Agustina

et al, 2013).

5. jelaskan hubungan gizi buruk dan tbc. Alur diagnostik TBC

DIAGNOSIS TB PADA ANAK

A. Penemuan Pasien TB Anak

Page 45: Tutorial (1)

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu

dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil

pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.

Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab

profilaksis TB pada anak.

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena

adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ

terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa

juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau

tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,

infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam

saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-

gejala sistemik/umum lain.

3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas

semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya

kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:

1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan

kadang saling melekat atau konfluens.

2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan

saraf-saraf otak yang terkena.

• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

3. Tuberkulosis sistem skeletal:

• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).

Page 46: Tutorial (1)

• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah

panggul.

• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.

• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

4. Skrofuloderma:

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

5. Tuberkulosis mata:

• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila

ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai

kecurigaan adanya infeksi TB.

B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di

Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan

menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada

pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi

jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari

beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan biakan kuman TB. Pada anak dengan

gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi

yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana

diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada

bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan

diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya

mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan

bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang

lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang

dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran

granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel

datia langhans dan atau kuman TB.

Perkembangan Terkini Diagnosis TB

Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan

diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan

metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification

Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara

karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.

Page 47: Tutorial (1)

WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi

pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun

2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB

MDR pada anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa

kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert

MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan

mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis

klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit

TB.

Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1. Berdahak

Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak.

Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.

2. Bilas lambung

Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat

mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada

pagi hari.

3. Induksi Sputum

Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan

hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1

sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan

peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.

Secara lebih lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran.

Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai tempat

masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman

M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara

pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam

sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui

pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya

pengambilan spesimen sputum.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan penegakan

diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang

sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu

informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan

apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin

yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein)

Page 48: Tutorial (1)

yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang

masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin

positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau

imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka

pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi

TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan

kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala spesifik, karena

gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan

ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah

membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin

yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute

Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas

pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun

gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.

Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis

TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB

adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain

dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Efusi pleura

d. Milier

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Kalsifikasi dengan infiltrat

h. Tuberkuloma

C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun

apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu

pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan

diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung

oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis

TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga

kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan

Page 49: Tutorial (1)

penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis

maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai

tertinggi yaitu 3.

• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada

anak dengan menggunakan sistem skoring.

• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon

klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan

sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk

ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB di fasyankes

fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:

1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas

2. Gibbus, koksitis

3. Tanda bahaya:

Kejang, kaku kuduk

Penurunan kesadaran

Kegawatan lain, misalnya sesak napas

Catatan:

Parameter Sistem Skoring:

Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil

laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil

laboratorium.

Penentuan status gizi:

. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).

. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5

tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada

kurva CDC 2000 (lihat lampiran).

. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

Page 50: Tutorial (1)

Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan

pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran

kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar,

milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan

kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat

diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan

tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji

tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH

profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik

utama pada TB anak

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka

pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut

Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada

fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau

sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat

perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi

TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak

Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB

Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan

atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan

dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.

Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya

diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan

diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan

kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.

Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada

anak tersebut pada saat diagnosis.

Page 51: Tutorial (1)

D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus

Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal dengan gejala klinis

yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan kecacatan. Pada beberapa

kasus, dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.

Tingkat layanan primer dengan fasilitas terbatas, mungkin tidak mampu melakukan diagnosis

dan tatalaksana pasien TB dengan gejala klinis yang berat. Dokter dan petugas layanan primer

harus mampu mengenali gejala awal TB dengan gejala klinis yang berat dan mengetahui

waktu yang tepat untuk merujuk. Sehubungan dengan itu, akan diuraikan secara ringkas, hal-

hal yang penting untuk pengenalan dan tatalaksana awal kasus TB dengan gejala klinis yang

berat pada anak. Pelayanan kesehatan sekunder wajib mencatat kasus TB dengan gejala klinis

yang berat ini sesuai dengan Program Nasional Pengendalian TB

1. TB dengan konfirmasi bakteriologis

Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena sulitnya mendapatkan

spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak

ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak.

TB dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan pemeriksaan BTA,

biakan maupun tes cepat.

TB anak yang sudah mengalami perjalanan penyakit post primer, dapat ditemukan hasil BTA

positif pada pemeriksaan dahak, sama dengan pada dewasa. Hal ini biasa terjadi pada anak

usia remaja awal. Anak dengan BTA positif ini memiliki potensi untuk menularkan kuman M

tuberculosis kepada orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu pada anak terutama dengan

gejala utama batuk dan dapat mengeluarkan dahak sangat dianjurkan untuk dilakukan

pemeriksaan dahak mikroskopis. Selain itu apabila memungkinkan, spesimen untuk

pemeriksaan laboratorium dapat diperoleh melalui aspirasi dahak, bilasan lambung atau

induksi sputum,

Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan pada tahun 2011, prosentase kasus TB

BTA positif pada anak 0-14 tahun adalah 6,3 % dari seluruh kasus TB anak, angka ini

meningkat dari tahun 2010 yaitu sebesar 5,3%.

2. Tuberkulosis Meningitis

Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem Saraf Pusat yang

sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB dengan gejala klinis berat yang dapat

mengancam nyawa, atau meninggalkan gejala sisa pada anak.

Page 52: Tutorial (1)

Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala, diikuti kejang

berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti bahwa anak telah kontak

dengan pasien TB dewasa BTA positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus

segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan

sistem skoring tidak direkomendasikan.

Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dilengkapi dengan

uji tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan cairan serebrospinal untuk dianalisis.

Apabila didapatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan edema

papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan

komplikasi seperti hidrosefalus. Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati

masa kritis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan

kesehatan primer.

3. TB Milier

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis berat dan merupakan

3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada

bayi). TB milier terjadi oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata,

bisa ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat mata pada foto

torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu

1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),

2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi

campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid

jangka lama

3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara,

merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosioekonomi).

Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai sesak nafas, ronki

dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi hipoksia, pneumotoraks, dan atau

pneumomediastinum, sampai gangguan fungsi organ, serta syok.

Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2—3 minggu setelah penyebaran

kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang

tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir

seragam (1—3 mm).

Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan klinis diduga TB

milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan. Diagnosis ditegakkan melalui rewayat kontak

dengan pasien TB BTA positif, gejala klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu

dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan

kesadaran.

Page 53: Tutorial (1)

Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat. Respon

keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2—3 minggu

pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan

berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5—10

minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah

dipulangkan dari RS dapat melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.

4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi

Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB ekstrapulmonal yang

mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang

sering terkena adalah: tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi

lutut (gonitis).

Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada

pergerakan dan sering ditemukan setelah trauma. Bisa ditemukan gibbus yaitu benjolan pada

tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda

peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan

abses dingin. Kelainan neurologis terjadi pada keadaan spondilitis yang lanjut, membutuhkan

operasi bedah sebagai tatalaksananya

Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika pasien berjalan pincang dan kesulitan

berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan di daerah lutut, anak sulit berdiri dan

berjalan, dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan dan MRI. Prognosis

TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau tulangnya. Pada

kelainan minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut

dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.

5. Tuberkulosis Kelenjar

Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula, merupakan bentuk

TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe

leher. Kebanyakan kasus timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi

beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran kelenjar limfe

yang sering adalah di servikal anterior, submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal,

epitroklear, atau daerah aksila.

Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal penyakit. Pembesaran

kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar

sering terfiksasi pada jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi

unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan

leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran

foto toraks terlihat normal.

Page 54: Tutorial (1)

Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan bakteriologis yang diperoleh

melalui biopsi, yang dapat dilakukan di fasilitas rujukan.

6. Tuberkulosis Pleura

Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura. Salah satu etiologi

yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura

TB bisa ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak

dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang gagal mengalami

resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.

Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk nonproduktif (94%), nyeri

dada (78%), biasanya unilateral (95%). Pasien juga sering datang dalam keadaan sesak nafas

yang hebat. Pemeriksaan foto toraks dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir

selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya. Untuk diagnosis definitif

dan terapi, pasien ini harus segera dirujuk.

Penunjang diagnostik yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah analisis cairan pleura,

jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura. Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika

cairan sangat banyak. Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.

7. Tuberkulosis Kulit

Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas dan paling sering dijumpai

pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang

terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.

Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang mempunyai

kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan

daerah lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh,

yang disebabkan oleh TB tulang dan sendi.

Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras

(firm), berwarna merah kebiruan, dan tidak menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat

kemudian meluas/ membesar dan menjadi padat kenyal (matted and doughy). Selanjutnya

mengalami pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan kulit), membentuk ulkus

berbentuk linear atau serpiginosa, dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi

bergaung (inverted), berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang sedikit

lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks berupa pita/benang fibrosa padat,

yang membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada

pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang

mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.

Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/ BAJAH/ fine needle aspiration

biopsy=FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy). Pada pemeriksaan tersebut

dicari adanya M. tuberculosis dengan cara biakan dan pemeriksaan histopatologis jaringan.

Page 55: Tutorial (1)

Hasil PA dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat sel datia

Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA.

Tatalaksana pasien dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana lokal/topikal dengan

kompres atau higiene yang baik.

8. Tuberkulosis Abdomen

TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum (TB

peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M tuberculosis sampai ke organ tersebut

secara hematogen ataupun penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak

yang jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada

dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).

Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu

kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya, omentum dapat menggumpal di daerah

epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya dapat

menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar,

menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan

asites.

Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB anak.

Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa intraabdomen dan adanya asites.

Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan

adanya massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus dan

asites.

Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen melalui vena porta atau

jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke

hati. Lesi TB di hati dapat berupa granuloma milier kecil (tuberkel). Granuloma dimulai

dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap

adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk tuberkel yang

mengandung sel-sel epiteloid, sel datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan limfosit T.

Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan. Beberapa pemeriksaan

lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos abdomen, analisis cairan asites dan biopsi

peritoneum. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan

operasi.

9. Tuberkulosis Mata

Tuberkulosis pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea, sehingga sering disebut

sebagai keratokonjungtivitis fliktenularis (KF). Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah

penyakit pada konjungtiva dan kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul

inflamasi yang disebut flikten pada daerah limbus, disertai hiperemis di sekitarnya. Umumnya

Page 56: Tutorial (1)

ditemukan pada anak usia 3—15 tahun dengan faktor risiko berupa kemiskinan, kepadatan

penduduk, sanitasi buruk, dan malnutrisi.

Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan dapat

mengeluarkan sekret mata, disertai gejala umum TB. Untuk menyingkirkan penyebab

stafilokokus, perlu dilakukan usap konjungtiva.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari penyebabnya seperti uji

tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan feses. Komplikasi yang mungkin timbul

adalah ulkus fasikuler, parut kornea, dan perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid topikal

mempunyai efek yang baik tetapi dapat menyebabkan glaukoma dan katarak.

10. Tuberkulosis Ginjal

Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya bertahun-tahun. TB ginjal

merupakan hasil penyebaran hematogen. Fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim

ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar akan terbentuk dekat

dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke dalam pelvis ginjal.

Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter, prostat, atau epididimis.

Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal, hanya ditandai piuria yang

steril dan hematuria mikroskopis. Disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria

makroskopis dapat terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit.

Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat

memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Hidronefrosis atau striktur ureter

dapat memperberat penyakitnya. BTA dalam urine dapat ditemukan. Pielografi intravena

(PIV) sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter-proksimal, filling defect kecil yang

multipel, dan hidronefrosis jika ada striktur ureter. Sebagian besar penyakit terjadi unilateral.

Pemeriksaan pencitraan lain yang dapat digunakan adalah USG dan CT scan.

Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga dilakukan

penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila diperlukan tindakan bedah, dapat

dilakukan setelah pemberian OAT selama 4—6 minggu.

11. Tuberkulosis Jantung

Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis TB, tetapi hanya 0,5—

4% dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi akibat invasi kuman secara langsung atau

drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal.

Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun. Nyeri dada jarang timbul

pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus

paradoksus. Terdapat cairan perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Basil

Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan perikardium, tetapi kultur dapat positif pada 30—

70% kasus. Hasil kultur positif dari biopsi perikardium yang tinggi dan adanya granuloma

Page 57: Tutorial (1)

sering menyokong diagnosis TB jantung. Selain OAT diberikan juga kortikosteroid.

Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi penyempitan perikard.

E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:

• Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak

• Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB anak yang

hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau

biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA

positif masuk dalam kelompok ini.

• Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak

memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi

dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah Pasien

TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:

• Lokasi atau organ tubuh yang terkena:

a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan

gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.

Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru

• Riwayat pengobatan sebelumnya:

a. Baru

Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis

sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.

b. Pengobatan ulang

Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis)

dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau

ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai

kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

• Berat dan ringannya penyakit

a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB primer

tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll

Page 58: Tutorial (1)

b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,

misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar,

TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.

• Status HIV

Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah endemis HIV

atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada anak

diklasifikasikan sebagai:

a. HIV positif

b. HIV negatif

c. HIV tidak diketahui

d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan sebagai

HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil

negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia > 18

bulan.

• Resistensi Obat

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT

terdiri dari:

a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis OAT lini

pertama.

b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu jenis

OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Isoniazid (H)

dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.

d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan terhadap salah satu

OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan

yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.

e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin dengan

atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan

yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok

ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug

Resistance, MDR dan XDR.

Page 59: Tutorial (1)

Patofisiologi Penurunan Berat Badan pada Pasien TB

Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Aktifasi makrofag oleh IFN-γ produksi pirogen endogen

IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α

Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk

hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus.

Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus

menyebabkan produksi prostaglandin.

Prostaglandin merangsang cerebral cortex

( respon behavioral) → nafsu makan menurun & leptin meningkat

menyebabkan stimulasi dari hipotalamus → nafsu makan disupresi

Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada

pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.

Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB menyebabkan

penurunan BB

6. mekanisme terjadinya coated tongue, alur diagnostik tifoid. Mekanisme BAB cair pada kasus

skenario. Dan mekanisme nyeri perut dan perut kembung

I. Patogenesis

Setelah tertelan S. Typhi, melintasi sawar lambung mencapai usus halus. Infeksi manusia

secara eksperimental dengan strain Quailes telah menyatakan bahwa 103 kuman tidak dapat

menyebabkan penyakit simtomatik tetapi 105 bakteri dapat menyebabkan gejala pada 27 persen

relawan. Dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan penyakit yang lebih sering, terutama jika kuman

menghasilkan antigen polisakarida kapsuler Vi. Kuman ditelan oleh fagosit mononuklear, lalu

bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel sehingga menimbulkan penyakit.

Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk difagositosis dalam keadaan hidup.

Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor mikroba yang menunjang resistensi terhadap

pembinasaan dan pada imunitas yang diaktifkan oleh sel limfosit T pejamu, yang berada di bawah

kendali genetik.

Page 60: Tutorial (1)

Ketergantungan dosis pada penyakit klinis tampaknya diatur oleh keseimbangan antara

perbanyakan diri bakteri dan pertahanan ekstraselular dan intraseluar penjamu yang didapat. Jika

jumlah bakteri intraselular melampaui ambang batas kritis, bakteremia sekunder dapat terjadi dan

menimbulkan invasi pada kelenjar empedu dan Plaque Peyeri pada usus halus. Bakteremia yang

menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid klinis, sementara reaksi radang terhadap

invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis (kolesistitis, perdarahan usus atau perforasi).

Dengan invasi kelenjar empedu dan Plaque Peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan

dapat ditemukan pada biakan feses pada awal minggu kedua penyakit klinis.

Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi dalam jumlah yang jauh

lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin liposakarida pada S. typhi dapat

menyebabkan demam, leukopenia dan gejala sistemik lain, tetapi kejadian gejala ini pada individu

yang dibuat toleran terhadap endotoksin menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang

dilepaskan dari fagosit mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.

1. Bakteriemi I (1-7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (106-109) masuk ke dalam tubuh

manusia melalui esofagus, kuman masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke

dalam usus halus Di usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum

terminalis yang sudah mengalami hipertrofi (ditempat ini sering terjadi perdarahan dan perforasi)

Kuman menembus lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan mencapai kelenjar

mesenterial yang mengalami hipertrofi melalui ductus thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam

aliran darah yang menimbulkan bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk

kembali ke dalam hati.

2. Bakteriemi II (6 hari – 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke dalam hati kuman ditangkap

dan bersarang di bagian RES : plaque peyeri di ileum terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES

kemudian masuk kembali ke aliran darah menimbulkan bakteriemia II dan menyebar ke

seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid adalah disebabkan oleh

endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi

membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak

dan endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada

jaringan yang meradang.

Page 61: Tutorial (1)

Alur Diagnosis

II. Anamnesa Umum

Gambaran klinik

- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada ahir minggu pertama,

minggu ke dua dan terus menerus tinggi

- Anak sering mengigau ( delirium ), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare

atau konstipasi, muntah , perut kembung

- Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.

Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan gejala toksik

umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan bradikardia. Demam ini khas karena gejala

peningkatan suhu setiap hari seperti naik tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan

nyeri kepala, malaise dan menggigil. Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang persisten

(4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati).

Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya kelainan

hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi

seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi

dapat dapat sampai lima minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat

minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh

badan, letargi dan demam.

Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan hampir selalu

disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis.

Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga

ditemukan.

Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan penderita tampak sakit

berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai

perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi,

penderita mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia.

Pada minggu ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa

membesar lunak. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun

dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu

setelah demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi

sampai dua atau tiga kali.

Page 62: Tutorial (1)

III. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun,

delirium, sebagian besar anak memiliki lidah tifoid yaitu dibagian tengah kotor dan bagian pinggir

hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang

terdengar ronkhi pada pemeriksaan paru ( IDAI 2010 )

Demam yang tinggi.

Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit perut

bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika

ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai

empat hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan

kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang

ditemukan pada orang Indonesia).

Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

Bradikardia relatif.

Hepatosplenomegali.

Jantung membesar dan lunak.

Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun, kesadaran

menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler akibat rangsangan peritoneum.

Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok

hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.

Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi, bising usus hilang,

pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa

sfingter yang lemah dan ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah

dan kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut

Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering disertai

gambaran ileus paralitik.

IV. Laboratorium

Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik, leukopenia

dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel polimorfonuklear. Pada sebagian besar

pasien, jumlah sel darah putih normal, walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat

demam. Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian

perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi pada

fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan keempat.

Page 63: Tutorial (1)

Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90% penderita, sedangkan

pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia

menjadi pembawa kuman. Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria

lebih banyak dari pada wanita.

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil usus. Ini

menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti peritonitis terdapat toksemia

basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya

sejajar dengan grafik demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena

ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah

diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi

silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan

berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan

dapat menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal

diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas

meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini

infeksi.

1....SGOT dan SGPT.

SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah demam tifoid

sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.

2....Biakan darah.

Terutama pada minggu ke 1-2 dari perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif

sampai minggu ke-4. Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah ()

tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah tergantung pada

beberapa faktor, yaitu :

a.. .Teknik pemeriksaan laboratorium.

b...Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

c.. .Vaksinasi di masa lampau.

d...Pengobatan dengan obat antimikroba.

3....Uji Widal.

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen yang

bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum pasien yang disangka

menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella

yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap

Salmonella akan positif dalam serum pada :

Page 64: Tutorial (1)

a.. .Pasien demam tifoid.

b...Orang yang pernah tertular Salmonella.

c.. .Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat antibodi (aglutinin),

yaitu :

a...Aglutinin O.

Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O yang berasal dari

tubuh kuman.

b...Aglutinin H.

Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H yang berasal dari

flagela kuman.

c.. .Aglutinin Vi.

Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi yang berasal dari

simpai kuman.

Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang ditentukan titernya

untuk menegakkan diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita

demam tifoid. Pada infeksi aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang

dilakukann selang paling sedikit 5 hari. Pembentukan aglutini terjadi pada akhir minggu pertama

demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap

tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutini O, kemudian diikuti

oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutini O masih dpat dijumpai setelah 4-6 bulan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu :

a.. .Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien.

- Keadaan umum pasien.

- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

- Pengobatan dini dengan antibiotik.

- Penyakit-penyakit tertentu.

- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.

- Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

- Reaksi anamnestik.

b...Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis.

- Aglutinasi silang.

Page 65: Tutorial (1)

- Konsentrasi suspensi antigen.

- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Interprestasi uji Widal, yaitu :

•. . .Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid.

•. . .Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai diagnostik

pasti untuk demam tifoid.

•. . .Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis demam

tifoid.

•. . .Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.

•. . .Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan pasien, karena

pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah

untuk waktu yang lama.

•. . .Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab demam tifoid, karena

beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga dapat

menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama pula.

4. Tubex Tf

Tubex TF adalah suatu tes diagnostic in vitro semi kuantitatif 10 menit untuk deteksi Demam

Tifoid akut yang disebabkan oleh salmonella typhi, melalui deteksi spesifik adanya serum antibodi

lgM tersebut dalam menghambat (inhibisi) reaksi antara antigen berlabel partikel lateks magnetik

(reagen warna coklat) dan monoklonal antibodi berlabel lateks warna (reagen warna biru), selanjutnya

ikatan inhibasi tersebut diseparasikan oleh suatu daya magnetik. Tingkat inhibasi yang dihasilkan

adalah setara dengan konsentrasi antibodi lgM S. Typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual

dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.

Dasar konsep antibodi lgM spesifik terhadap salmonella typhi digunakan sebagai marker

penanda TUBEX TF menurut beberapa peneliti:

kadar ketiga kelas immunoglobin anti Lipopolisakarida (lgA, lgG dan lgM) lebih tinggi pada

pasien tifoid dibandingkan kontirol;pengujian lgM antipolisakarida memberikan hasil yang

berbeda bermakna antara tifoid dan non tifoid.

Dalam diagnosis serologis Demam Tifoid, deteksi antibodi lgM adalah lebih baik karena tidak

hanya meningkat lebih awal tetapi juga lebih cepat menurun sesuai dengan fase akut infeksi,

sedangkan antibodi lgG tetap bertahan pada fase penyembuhan.

TUBEX TF mendeteksi antibodi lgM dan bukan lgG. Hal ini membuat sangat bernilai dalam

menunjang diagnosa akut.

Intrepetasi Hasil

Page 66: Tutorial (1)

Skala Interpretasi Keterangan

<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

3 BouderlinePengukuran tidak dapat disimpulkan. 

Lakukan pengambilan darah ulang 3-5 hari kemudian

4-5 Positif Indikasi demam tifoid

>6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

V. Terapi Obat

Kloramfenikol yang merupakan gold standar

50 -100 mg/kgBB/hari , oral atau iv dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari.

Amoksisilin 100 mg/kg /hari , oral atau iv selama 10 hari

Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral selama 10 hari

Ceftriaxone 80 mg/kgbb/hari, iv atau im sekali sehari selama 5 hari

Cefixime 10mg/kgbb/hari iv dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik

Terapi Bedah : Tindakan bedah dilakukan untuk penyulit pada perforasi usus :

Suportif

- Demam tifoid ringan dapat dirawat dirumah

- Tirah baring

- Isolasi memadi

- Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi