bab2
DESCRIPTION
rrttTRANSCRIPT
-
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma
1. Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa
mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama pada malam
dan atau dini hari yang umunya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang
tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Untuk
menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah (Depkes, 2009) :
a. Pemicu : Alergen dalam ruangan, seperti tungau, debu rumah,
binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur,
kapang, ragi serta pajanan asap rokok.
b. Pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian 2 agonis.
c. Pencetus : Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah aktivitas
fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.
Berdasarkan hasil penelitian, faktor presdiposisi terkuat yang berperan
dalam perkembangan penyakit asma adalah adanya riwayat atopi, namun
obesitas juga semakin diakui sebagai salah satu faktor risiko terjadinya
asma. Pajanan alergen yang terhirup oleh pasien yang sensitif dapat
-
5
meningkatkan gejala inflamasi dan hiperresponsivitas saluran pernapasan.
Gejala dapat berkembang segera 4-6 jam setelah paparan alergen. Alergen
yang sifatnya umum, contohnya tungau debu rumah (sering ditemukan
pada bantal, kasur, perabotan, karpet, tirai), kecoa, bulu kucing, dan serbuk
sari. Apabila pajanan tersebut dapat dihindari, maka dapat mengurangi
temuan patologis dan gejala klinis. Pencetus spesifik asma yang lain
adalah olahraga, infeksi saluran pernapasan atas, rhinitis, sinusitis,
postnasal drip, gastroesophageal reflux, perubahan cuaca, dan stress
(Departement of Health and Human Service, 2010).
2. Mekanisme Kerja
Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma
(Depkes, 2009) :
a. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan
apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitizer) maka akan
timbul sensitisasi pada dirinya.
b. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu
menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi
pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama
atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus.
c. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseoraang terpajan oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).
-
6
Reaksi awal dipicu oleh pengikatan silang IgE (yang dipicu oleh
antigen) yang terikat ke reseptor IgE (FcR) pada sel mast (makrofag dan
eosinofil juga mengekspresikan FcR) di jalan napas. Sel-sel ini
mengeluarkan mediator-mediator untuk membuka taut erat (tight-junction)
antara sel-sel epitel. Antigen kemudian dapat masuk untuk mengaktifkan
eosinofil dan sel mast mukosa yang pada gilirannya mengeluarkan lebih
banyak mediator. Secara kolektif, mediator-mediator, baik secara langsung
maupun refleks neuron, menginduksi bronkospasme, meningkatkan
permeabilitas vaskular, dan meningkatkan produksi mukus serta merekrut
sel pelepas mediator lain dari darah (Kumar dkk., 2007).
Oleh karena itu, terjadi sumbatan saluran napas yang disebabkan oleh
(Sherwood, 2012) :
a. Menebalnya dinding saluran napas, yang ditimbulkan oleh
peradangan dan edema yang dipicu oleh histamin dan berbagai
mediator lain.
b. Sekresi berlebihan mukus kental.
c. Hiperresponsivitas saluran napas, yang ditandai oleh kontraksi
hebat saluran napas kecil akibat spasme otot polos di dinding
saluran napas.
3. Klasifikasi
Asma saat tanpa serangan (MENKES, 2008).
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan terdiri dari:
1. Intermitten
2. Persisten ringan
-
7
3. Persisten sedang
4. Persisten berat
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa
Derajat asma
Gejala
Gejala
malam
Faal paru
Intermitten Bulanan APE80%
- Gejala1x/minggu tetapi2 kali
sebulan
- VEP180% nilai prediksi
APE80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE 20-30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari. - Serangan
mengganggu aktifiti
dan tidur.
- Membutuhkan bronkodilator setiap
hari.
>2 kali
sebulan
- VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-
80% nilai
terbaik.
- Variabiliti APE>30%.
Persisten berat Kontinyu APE 60%
- Gejala terus menerus
- Sering kambuh - Aktifiti fisik
terbatas
Sering - VEP160% nilai prediksi
APE60% nilai terbaik
- Variabiliti APE>30%
-
8
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan
di Indonesia, 2004
Sedangkan pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi:
1. Asma episodik jarang
2. Asma episodik sering
3. Asma presisten
Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada anak
Parameter klinis,
kebutuhan obat
dan faal paru asma
Asma
episodik
jarang
Asma
episodik
sering
Asma persisten
1
Frekuensi
serangan
1x/bulan
Sering
2 Lama serangan 1minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
periode bebas serangan
3 Intensitas
serangan
Biasanya
ringan
Biasanya
sedang
Biasanya berat
4 Diantara
serangan
Tanpa gejala Sering ada
gejala
Gejala siang dan
malam
5 Tidur dan
aktifitas
Tidak
tergganggu
Sering
tergganggu
Sangat tergganggu
6 Pemeriksaan
fisik diluar
serangan
Normal (
tidak
ditemukan
kelainan)
Mungkin
tergganggu
(ditemukan
kelainan)
Tidak pernah normal
7 Obat
pengendali(anti
inflamasi)
Tidak perlu Perlu Perlu
-
9
8 Uji faal
paru(diluar
serangan)
PEFatauFEV
1>80%
PEFatauFE
V130%
Variabilitas 20-30%.
Variabilitas >50%
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas
puncak), FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi
paksa dalam 1 detik)
4. Algoritma Terapi
-
10
5.
-
11
5. Farmakologi dari Tiap Golongan
Pengobatan asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan nafas, terdiri atas pelega (reliever) dan pengontrol
(controller) (PDPI, 2004).
a) Pelega (reliever)
Pelega (reliever) prinsip pengobatannya adalah dilatasi jalan
napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Obat asma
yang termasuk pelega adalah:
1) Agonis beta-2 kerja cepat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,
fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama (PDPI, 2004).
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu
relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
modulasi pelepasan mediator dari sel mast. Efek sampingnya
adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004).
2) Kortikosteroid sistemik
-
12
Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil
belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain (PDPI, 2004).
Mekanisme kerjanya yakni mengurangi aktivasi mediator
inflamasi sehingga menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah,
penurunan permeabilitas pembuluh darah, mengurangi edema
mukosa, dan menghambat pelepasan leukotrien. Secara tidak
langsung, kortikosteroid dapat merelaksasikan otot polos saluran
nafas.
Kortikosteroid per oral dan parenteral hanya boleh
digunakan untuk terapi reliever, tidak boleh diberikan secara
kronis. Untuk terapi controller bias digunakan kortikosteroid
aeorosol. Contoh obat yang digunakan dalam golongan ini
antara lain prednisone, metilprednisolon, beklometason,
budesonid, flunisonid, dan triamsinolon.
3) Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya
memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada
jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan (PDPI, 2004).
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium
bromide dan tiotropium bromide. disarankan menggunakan
-
13
kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja cepat
sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau
pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2
saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Efek
samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (PDPI,
2004).
4) Aminofillin
Aminofillin adalah bronkodilator kuat dan sangat
bermanfaat jika bronkospasme terhadap epinefrin. Dosisnya 250
sampai 500 mg, diberikan perlahan-lahan secara intravena.
Berdasarkan sifatnya sebagai bronkodilator yang kuat,
aminofilin kerja cepat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
gejala asma akut, walau disadari onsetnya lebih lama daripada
agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).
Aminofilin merupakan bentuk garam dari teofilin.
Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat enzim
fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP
dan cGMP masing-masing menjadi 5-AMP dan 5-GMP.
Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP
dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos termasuk
otot polos bronkus (Farmakologi dan Terapi Edisi 5, 2007).
Di Indonesia, aminofilin tersedia dalam bentuk ampul 10
ml yang mengandung 24 mg aminofilin setiap mililiternya untuk
penggunaan IV. Terdapat juga sediaan dalam bentuk tablet 100
-
14
mg dan 200 mg dengan nama dagang aminophilin (Farmakologi
dan Terapi Edisi 5, 2007).
5) Adrenalin
Adrenalin (epinefrin) mempunyai efek meningkatkan
tekanan darah melalui aktivasi adrenoreseptor-1 jantung yang
terjadi setelah pelepasan atau pemberian adrenalin (epinefrin)
berhubungan dengan kerja kronotropik positif dan inotropik
positif atas jantung. Dengan demikian adrenalin (epinefrin) juga
mempunyai efek kronotopik positif (meningkatkan kecepatan
denyut jantung) dan inotropik positif (memperkuat kontraksi
myokardium) sehingga cardiac out put (curah jantung)
meningkat. Adrenalin (epinefrin) juga berefek pada timbulnya
vasokontriksi karena stimulasi adrenoreseptor- pada otot poos
dinding pembuluh darah perifer. Kedua hal tersebut berakibat
tekanan darah meningkat. Efek adrenalin (epinefrin) terutama
pada arteriola kecil dan sfingter prekapiler sehingga tahanan
perifer meningkat.
Pada saluran nafas, adrenalin (epinefrin) mempunyai
efek bronkodilatasi melalui stimulasi adrenoreseptor-2 pada
otot polos bronkus. Efek tersebut tampak jelas jika sebelumnya
sudah ada bronkokontriksi (misalnya pada serangan asma
bronkial). Adrenalin (epinefrin) yang mempunyai efek
vasokontriksi sehingga dapat mengurangi kongesti mukosa dan
dapat memperkuat efek pelebaran saluran nafas.
-
15
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang
sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak
respons dengan agonis beta-2 kerja cepat. Pemberian secara
subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian IV dapat
diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat
(bedside monitoring) (PDPI, 2004).
Efek samping dari adrenalin (epinefrin) adalah disritmia
ventrikel, angina pektoris, nyeri kepala, tremor, pengeluaran
urine berkurang, ketakutan, serta ansietas. Penatalaksanaannya
adalah Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat dilang 15-30 menit
kemudian.
b) Pengontrol (controller)
Pengontrol (controller) adalah pengobatan asma jangka
panjang yang diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Obat
pengontrol asma adalah:
1) Glukokortikosteroid inhalasi
Glukokortikosteroid inhalasi adalah pengobatan jangka
panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Steroid
inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan
sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman
pada dosis yang direkomendasikan. Contoh obatnya yaitu
-
16
beklometason propionat, budenosid, flunisolid, flutikason, dan
triamsolon asetonid (PDPI, 2004).
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal
seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi
saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah
dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan
berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi (PDPI,
2004).
Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui
absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik
bergantung kepada dosis dan potensi obat sistemik. Penelitian
menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai
efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason
dipropionat dan triamsinolon (PDPI, 2004).
2) Glukokortikosteroid sistemik
Glukokortikosteroid sistemik diberikan secara oral atau
parenteral. Untuk jangka panjang penggunaan
glukokortikosteroid inhalasi lebih baik daripada steroid oral
karena efek samping sistemik pemberian oral maupun parental
lebih banyak. Namun, obat ini cocok untuk asma persisten dan
berat (PDPI, 2004).
Lebih baik menggunakan steroid oral yang diminum selang
1 hari daripada penggunaan melalui jalur parenteral. Prednison,
prednisolon, dan metilprednisolon pun menjadi pilihan yang
-
17
terbaik karena karena mempunyai efek mineralokortikoid
minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
(PDPI, 2004).
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid
oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi,
diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,
glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.
Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi
herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,
maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan (PDPI,
2004).
3) Sodium kromoglikat dan nedokromil sodium
Jalur pemberian obat ini adalah secara inhalasi. Mekanisme
kerjanya belum diketahui secara jelas tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE.
Efek sampingnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak
enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004).
4) Metilsantin
Metilsantin mempunyai efek bronkodilator dan
antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan
hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi
tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui
mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-
-
18
10 mg/dl). Harga obat ini jauh lebih murah dibandingkan agonis
beta2 kerja lama inhalasi (PDPI, 2004).
Contoh obat yaitu aminofilin dan teofilin. Efek samping
berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( >10 mg/kgBB/ hari atau
lebih). Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek
samping yang paling dulu dan sering terjadi, selain itu takikardi,
aritmia, dan merangsang pusat nafas (PDPI, 2004).
5) Long Acting 2 Agonist (LABA)
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>
12 jam). Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka
lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor (PDPI, 2004).
a) Mekanisme Kerja
Obat golongan LABA, yaitu selective 2 receptor
agonist memiliki durasi waktu kerja yang diperpanjang
yaitu >12 jam karena memiliki sifat lipofilik tinggi. Selain
itu ia memiliki efek kerja 50 kali lipat dari albuterol
(salbutamol).
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan fungsi
paru dan melegakan gejala. Salmeterol dan golongannya
bekerja lebih efektif dari teofilin oral, sehingga sama
efektifnya seperti ipratropium (golongan antagonis
kolinergik). Sifat lipofilik yang dimiliki obat ini
-
19
meningkatkan durasi ikatannya dengan reseptor sehingga
memperpanjang aktivasi reseptor tersebut. (Brunton et al.,
2006).
b) Contoh Obat
Menurut Ducharme, et al (2010), beberapa contoh
obat yang termasuk Long Acting 2 Agonist (LABA) adalah
salmeterol, bambuterol, formoterol, dan clenbuterol.
c) Farmakokinetik
Obat golongan agonis 2 kerja lama absorbsinya
lambat, mula kerja lambat, dan juga waktu paruh dalam
tubuh panjang atau lama. Sifat tersebut lebih efektif jika
melalui jalur inhalasi dan sering digunakan sebagai
controller .Obat ini kebanyakan dieliminiasi melalui ginjal
(Katzung, 2010).
d) Farmakodinamik
Reseptor beta-adrenergik ini terkait dengan protein
G stimulatori. Subunit alfa protein G akan mengaktivasi
adenilil siklase yang mengkatalisis produksi cAMP. cAMP
akan menyebabkan penurunan kalsium intraseluler. Melalui
aktivasi protein kinase A, cAMP akan menonaktifkan
myosin light chain kinase dan mengaktivasi myosin light
chain phosphatase (Ramanujan, 2006).
Obat ini juga akan meningkatkan konduktansi kanal
kalium yang diaktivasi kalsium sehingga menyebabkan
-
20
hiperpolarisasi otot polos saluran nafas. Kombinasi
penurunan kalsium intraseluler, peningkatan konduktansi
kalium membran, dan penurunan aktivitas myosin light
chain kinase menyebabkan relaksasi otot polos dan
bronkodilatasi. Fermeterol dapat digunakan bersamaan
dengan agonis O2 dan teofilin (Goldsmith and Keating,
2004).
e) Efek Samping Obat
Menurut Sweetman (2009), beberapa efek samping
dari obat golongan LABA adalah memberikan efek adiktif
saat dikombinasikan bersama ipratropium (inhalasi) atau
teofilin (oral), meningkatkan denyut jantung sehingga
timbul takikardi dan palpitasi, menimbulkan tremor,
meningkatkan kadar glukosa darah, menurunkan kadar
kalium plasma, peningkatan produksi keringat, agitasi,
insomnia, tirotoksikosis, stenosis subaorta, pusing, dan
migrain.
f) Kontra Indikasi
Kontra indikasi bagi obat golongan LABA menurut
Brunton et al (2006) antara lain untuk pengobatan reliever,
kehamilan, dan gangguan fungsi hepar.
g) Sediaan
Menurut Sweetman (2009) salah satu contoh obat
golongan LABA adalah clenbuterol. Clenbuterol memiliki
-
21
rentang dosis 20-60 g perhari, dengan dosis maksimal 20
g untuk wanita dan40 g untuk pria. Contoh lainnya adalah
formoterol yang memiliki dosis 12 g, dan salmeterol yang
memiliki dosis 50 g.
6) Leukotrien modifiers
a) Mekanisme Kerja dan Contoh Obat
Terdapat dua tipe leukotrien modifiers yaitu
menghambat enzim 5-lipoksigenase sehingga dapat
menghambat produksi leukotriene dari asam arakidonat
(contohnya zileuton), kemudian tipe yang kedua bekerja
dengan cara menjadi antagonis kompetitif reseptor
leukotrien/ leukotriene receptor antagonist/ LTRA
(contohnya zafirlukast, montelukast, dan pranlukast). Namun
efek leukotriene modifiers tidak sekuat kortikosteroid
sehingga jarang menjadi prioritas terapi dalam asma (Fanta,
2009).
b) Farmakokinetik
Obat leukotrien modifiers diaadministrasikan per oral
dan diabsorpsi secara cepat di usus halus. Zafirlukast
memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu diatas 90%.
Sedangkan montelukast memiliki bioavailabilitas 60%-70%
Pada konsentrasi plasma terapeutik, obat ini > 99% terikat
pada protein (Bharathi et al., 2008).
-
22
Metabolisme terjadi di hepar oleh enzim CYP3A4
dan CYP2C9. Perlu diketahui bahwa metabolit hanya
memiliki efektifitas 10% sehingga yang memiliki efek
terapeutik adalah obat dasarnya. Waktu paruh zafirlukast 12-
20 jam dengan rata-rata 5,6 jam (Bharathi et al., 2008).
Waktu paruh montelukast berkisar 3-6 jam.
Sedangkan zileuton dimetabolisme oleh enzim CYP dan
UDP-glukorosiltransferase dengan waktu paruh 2,5 jam
(Brunton et al., 2006).
c) Farmakodinamik
Sisteinil leukotrien (cyst-LT) merupakan sebuah
mediator yang poten untuk menimbulkan efek
bronkokonstriksi. Beberapa contoh cyst-LT adalah LTC4,
LTD4, LTE4. Reseptor yang bertanggung jawab adalah
reseptor cyst-L1 (Montuschi et al., 2010).
Maka dari itu obat LTRA bekerja ada reseptor
tersebut untuk menghalangi cyst-LT berikatan padanya. Efek
dari obat LTRA antara lain mencegah kebocoran
mikrovaskuler, peningkatan produksi mukus, dan
peningkatan influks basofil serta eosinofil pada saluran nafas.
Sedangkan obat inhibitor 5-lipoksigenase seperti zileuton
akan menghambat kerja enzim tersebut sehingga asam
arakidonat tidak tersintesis. Dengan demikian, leukotrien
-
23
juga tidak akan bisa diproduksi, terutama LTB4 (Montuschi
et al., 2010).
d) Efek Samping Obat
Untuk obat antagonis reseptor leukotrien, beberapa
efek samping yang dapat ditemukan menurut Brunton, et al
(2006) adalah eosinofilia sistemik, vaskulitis, churg-strauss
syndrome, meningkatkan prothrombin time, gangguan
gastrointestinal, hipersensitivitas, insomnia, peningkatan
tendensi perdarahan.
Untuk obat inhibitor enzim 5-lipoksigenase, beberapa
efek samping yang dapat ditemukan menurut Lu, et al (2008)
adalah peningkatan enzim hepar pada 4%-5%, meningkatkan
konsentrasi plasma teofilin, dan gangguan neuropsikiatrik.
e) Kontra Indikasi
Menurut Lu, et al (2008), kontraindikasi penggunaan
obat golongan ini adalah kasus darurat (reliever) dan
gangguan hepar.
f) Sediaan
Obat zileuton memiliki sediaan lazim 300 mg/600
mg, dosis dewasa 2400 mg/hari QID (Kelly et al, 2005).
B. OBAT TB
1. Prinsip Pengobatan
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut
(Menkes,2009) :
-
24
a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan.
b) Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
c) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
d) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif)
dan lanjutan.
Tahap awal (intensif) (Menkes,2009)
a) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.
b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan (Menkes,2009)
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
-
25
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Menkes,2009)
a) WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :
Kategori 1 :
o 2HRZE/4H3R3
o 2HRZE/4HR
o 2HRZE/6HE
Kategori 2 :
o 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
o 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 :
o 2HRZ/4H3R3
o 2HRZ/4HR
o 2HRZ/6HE
b) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan TB di Indonesia:
o Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan :
HRZE dan OAT Anak : 2HRZ/4HR
c) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan
-
26
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak (Menkes,2009).
d) Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien
(Menkes,2009).
e) Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)
paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan
(Menkes,2009).
2. OAT Anak
Prinsip dasar pengobatan tuberkulosis anak adalah minimal 3 macam
dan diberikan dalam waktu 6 bulan. Obat-obatan ini diberikan setiap hari,
baik dalam tahap intensif maupun tahap lanjutan. Dosis yang digunakan
harus sesuai dengan berat bada anak.Pedoman pemberain dosis OAT pada
anak adalah (DEPKES 2012):
-
27
Jenis Obat BB
-
28
Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya
setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan
sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat
perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang,
batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan
meningkat.
1) Pengobatan di evaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan
pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.
2) Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
3) Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan,dan
pemeriksaan fisik.
b) Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/9 bulan pengobatan)
Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai
menjadi negative. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA
langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang
memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir
bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir
bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir
bulan ke 2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan
pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah setelah tahap
intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang (retreatment).
-
29
c) Evaluasi Radiologik (0-2-6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan)
Pada akhir pengobatan.
d) Evaluasi Keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat
dan minum obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan
berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan
menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis
-
30
lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila dua
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu atau kedua spesimen
positif, maka hasil pemeriksaaan ulang dinyatakan positif. Tindak
lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat
pada tabel di bawah ini (DEPKES, 2012):
4. Farmakologi Obat
a) Rifamfisin
Mekanisme Kerja
Rifampisin bekerja menghambat DNA-dependent RNA
polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan
menekan mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA.
Farmakokinetik
Pemberian rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak
dalam plasma setelah 2-4 jam. Setelah diserap di saluran cerna,
obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami
sirkulasi enterohepatik. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi
antara 1,5 sampai 5jam dan akan memanjang bila ada kelainan
fungsi hepar. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar
efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh, termasuk
cairan otak. Luasnya distribusi rifampisin tercermin dengan warna
merah pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata, dan keringat.
-
31
Efek Samping
Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah.
Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti
rasa lemah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung,
sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, serta melemahnya
otot juga dapat terjadi.
Interaksi Obat
Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang kuat,
sehingga berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan
kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila diberikan
bersama rifampisin. Rifampisin mungkin juga mengganggu
metabolisme vitamin D, sehingga dapat menimbulkan kelainan
tulang dengan berupa osteomalasia.
Sediaan dan Dosis
Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg
dan 300 mg. Selain itu, terdapat pula tablet 450 mg dan 600mg
serta suspense yang mengandung 100 mg/5 mL rifampisin. Obat ini
biasanya diberikan sehari sekali satu jam sebelum makan atau dua
jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan
kurang dari 50 kg yaitu 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih
dari 50 kg ialah 600 mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20
mg/kgBB per hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari.
b) Isoniazid
-
32
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi terdapat
hipotesis yang diajukan yaitu menghambat biosintesis asam
mikolat yag merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.
Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak
yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat.
Farmakokinetik
Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun
parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah
pemberian oral. Masa paruhnya antara 1 sampai 4 jam. Isoniazid
diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya
dalam bentuk metabolit.
Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai
kelainan kulit berbentuk morbiliform, makulopapular, dan
urtikaria. Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis 5
mg/kgBB/hari.
Sediaan dan Dosis
Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400
mg serta sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah
ditambahkan vitamin B6. Dosis biasa 5 mg/kgBB dan dosis
maksimum 300 mg/hari.
c) Pirazinamid
Farmakokinetik
-
33
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh
tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/mL
pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama
melalui filtrasi glomerulus. Masa paruh eliminasi obat ini adalah
10-16 jam.
Efek Samping
Efek samping paling umum dan serius ialah kelainan hati. Jika
jelas timbul kerusakan hati, terapi dengan pirazinamid harus
dihentikan. Efek samping lain adalah arthralgia, anoreksia, mual
dan muntah, disuria, malaise, dan demam.
Sediaan dan Dosis
Pirazinamid teradapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
Dosis oral ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 g), diberikan
dalam satu atau beberapa kali sehari.
d) Etambutol
Farmakokinetik
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di
saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-
4 jam setelah pemberian. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol
yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin dan
10% sebagai metabolit.
Efek Samping
Etambutol menimbulkan efek samping yaitu pruritus, nyeri
sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening,
-
34
bingung, disorientasi, dan halusinasi. Efek samping paling penting
adalah gangguan penglihatan yang merupakan neuritis retrobulbar
yaitu berupa turunnyatajam penglihatan, hilangnya kemampuan
membedakan warna, dan mengecilnya lapang pandang.
Sediaan dan Dosis
Etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
Dosis biasanya 15 mg/kgBB. Pada pasien gangguan fungsi ginjal
dosisnya perlu disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam
badan.
e) Streptomisin
Farmakokinetik
Setelah diserap dari tempat injeksi, hampir semua streptomisin
berada dalam plasma. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang
diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam
waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada orang dewasa
normal antara 2-3 jam dan dapat sangat memanjang pada gagal
ginjal.
Efek Samping
Streptomisin bersifat neurotoksin pada saraf kranial VIII bila
diberikan dalam dosis besar dan jangka lama. Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan audiometrik basal dan berkala. Obat ini
juga bersifat nefrotoksik. Efek samping lain adalah reaksi
anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik, dan demam obat.
-
35
Selain itu, dosis total obat tidak boleh melebihi 20 gram dalam 5
bulan terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi.
Sediaan dan Dosis
Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1
dan 5 gram. Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, dosis maksimum
1gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Dosis harus dikurangi untuk
pasien usia lanjut, anak-anak, orang dewasa yang badannya kecil,
dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
C. Farmakologi Obat Pernafasan Lain
1. Antihistamin
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses
fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis
efek histamin. Epinefrin merupakan antagonis fisiologik pertama yang
digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan
dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda.
Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin, dan
tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema, eritema,
dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipesekresi lambung akibat
histamin. Antihistamin tersebut digolongkan kedalam penghambat reseptor
H1 (AH1) (Dewoto,2012).
Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu
burimamid, metiamid, dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam
lambung akibat histamin (Dewoto,2012).
-
36
Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan
menghambat antihistamin dan reseptor histamin H1 atau H2
(Dewoto,2012).
Farmakokinetik
Obat-obat ini mudah diabsorbsi dan distribusi. Obat-obat ini mudah
didistribusikan ke seluruh tubuh sesudah pemberian oral dengan puncak
kosentrasi dalam darah terjadi 1-2 jam. Obat-obat dimetabolisasi secara
luas terutama oleh sistem mikrosomal hati. (Katzung, 2009)
Farmakodinamik
Antagonis reseptor H1 bAanyak mempunyai kerja yang tidak dapat
dijelaskan sebagai penghambat kerja histamin. Sebagian besar dari kerja
tersebut mungkin dihasilkan dari kesamaan struktur umum terhadap
struktur obat yang mempunyai efek kolinoseptor muskarinik,
adrenoreseptor alfa, serotonin, dan reseptor anestetik lokal. Beberapa kerja
obat ini mempunyai efek yang tidak diharapkan seperti sedasi. (Katzung,
2009)
Antagonis H1 dibagi menjadi obat generasi pertama dan generasi
kedua. Dua kelompok ini dibedakan berdasarkan efek sedasinya :
Antihistamin generasi pertama yang banyak digunakan antara lain
adalah CTM, difenhidramin, feniramin, sedangkan generasi kedua
loratadin, cetirizin. Efek samping yang paling mengganggu dari
antihistamin generasi pertama ini adalah sedasi, yang dapat
membahayakan jika mengemudikan kendaraan atau mengoperasikan
-
37
mesin. Efek sa mping sedasi ini semakin diperparah jika pasien
mengonsumsi alkohol. Efek samping antihistamin lainnya adalah mata dan
mulut kering, pusing dan penglihatan kabur. Meskipun kini telah ada
antihistamin generasi kedua yang kurang menimbulkan sedasi, namun
antihistamin ini tidak memiliki efek antikolinergik, sehingga tidak efektif
untuk mengurangi gejalagejala salesma atau flu yang disertai produksi
mukus yang berlebihan (Katzung,2009).
Efek Samping Obat
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah
vertigo, tinitus, lelah penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia,
euforia, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering
juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada
epigastrium, konstipasi, atau diare; efek samping ini akan berkurang bila
AH1 diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu antihistamin
non sedatif, selama lebih dari dua minggu dilaporkan dapat menyebabkan
bertambahnya nafsu makan dan berat badan (Dewoto,2012).
2. Dekongestan
Mekanisme kerja
Dekongestan merupakan obat simpatomimetik yang menyebabkan
vasokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor 1 sehingga
mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi sumbatan
hidung. Reseptor 2 terdapat pada arteriol yang membawa suplai makanan
bagi mukosa hidung. Vasokonstriksi arteriol ini oleh 2- agonis dapat
-
38
menyebabkan kerusakan structural pada mukosa tersebut. Pengobatan
dnegan dekongestan nasal seringkali menimbulkan hilangnya efektivitas,
rebound hyperemia dan memburuknya gejala pada pemberian kronik atau
bila obat dihentikan. Mekanismenya belum jelas, tetapi mungkin
melibatkan desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa. 1-agonis yang
selektif lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan
mukosa (Zunilda, 2007).
Jenis-jenis dekongestan
1) Dekongestan sistemik
Dekongestan sistemik diberikan secara oral. Meskipun
efeknya tidak secepat topical, tetapi kelebihannya tidak
mengiritasi hidung. Dekongestan sistemik harus digunakan
secara hati-hati pada penderita hipertensi, pria dengan hipertrofi
prostat, dan lanjut usia. Hal ini disebabkan karena dekongestan
memiliki efek efek sentral sehingga menimbulkan takikardi,
aritmia, peningkatan tekanan darah, atau stimulasi ususnan saraf
pusat. Contoh obat dekongestan sistemik aalah pseudoefedrin,
efedrin, dan fenilpropanolamin (Tjay, 2008).
2) Dekongestan Topikal
Dekongestan topical digunakan untuk rinitis akut yang
merupakan radang selaput lendir hidung. Bentuk sediaan
dekongestan topikal berupa balsam, inhaler, tetes hidung atau
semprot hidung. Dekongestan topikal (semprot hidung) yang
biasa digunakan yaitu oxymetazolin, xylometazolin, naphazolin,
-
39
tetrahydrozoline yang merupakan derivat imidazolin karena
efeknya dapat menyebabkan depresi. Susunan saraf pusat bila
banyak terabsorbsi terutama pada bayi dan anak-anak, maka
sediaan ini tidak boleh untuk bayi dan anak-anak (Tjay, 2008).
Obat Dosis Pemakaian dan Pertimbangan
Efedrin D; PO; 25-50 mg , t.i.d.,
q.i.d.
Obat bebas yang dapat dipakai
sendiri atau dalam kombinasi.
Menyebabkan vasokonstriksi
selapt lender hidung
Fenilefrin (Neo-
Synephrine Sinex)
Larutan 0,25 1% Untuk rhinitis. Bermacam-macam kombinasi. Efek pada
SSP tidak sebanyak efedrin.
Fenilpropanolamin
(Propadrine,
Dristan, Diemtapp)
D; PO; 25-50 mg, t.i.d.,
q.i.d.
Untuk rhinitis. Perangsangan
pada SSP dan hipertensi tidak
seberat efedrin.
Pseudoefidrin
(Actifed, Novafed,
Sudafed)
D; PO; 50 mg, setiap 4-
6 jam
Dekongestan dengan masa kerja
panjang. Dipakai kali sehari,
pagi dan sore hari. Dapat
menyebabkan kongesti rebound.
Oksimetazolin
(Afrin)
Semprot 0,05%, tetes Dapat menyebabkan kongesti
rebound, hipertensi yang
sementara, bradikardi, dan
aritmia yang lain.
Nafazolin (Provine) Semprot 0,05%
3. Antitusif
Mekanisme Kerja
Antitusif bekerja pada pusat pengendali batuk di medulla untuk
menekan reflek batuk. Batuk adalah cara tubuh untuk mengeluarkan secret
atau material lain dari saluran napas. Sakit leher bisa menyebabkan batuk
yang meningkatkan iritasi tenggorok. Jika batuk tidak produktif dan
-
40
mengiritasi,boleh diberikan antitusif. Secara umum berdasarkan tempat
kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan
antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi
atas golongan narkotik dan nonnarkotik (Yunus, 2007).
a) Golongan Antitusif
1) Antitusif yang bekerja di perifer
Obat golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi
lokal di saluran napas, yaitu pada reseptor iritan perifer dengan
cara anestesi langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi
lendir saluran napas (Yunus, 2007).
a) Obat-obat anestesi (Menthol Vapor)
Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol,
fenol, dan garam fenol digunakan dalam pembuatan lozenges.
Obat ini mengurangi batuk akibat rangsang reseptor iritan di
faring, tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk mengatasi
batuk akibat kelainan saluran napas bawah.
b) Topikal Lokal Anestesi
Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti
tetrakain, kokain dan lidokain sangat bermanfaat dalam
menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan
bronkoskopi.
c) Demulcent
Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah
kekeringan selaput lendir. Obat ini dipakai sebagai pelarut
-
41
antitusif lain atau sebagai lozenges yang mengandung madu,
akasia, gliserin dan anggur. Secara obyektif tidak ada data
yang menunjukkan obat ini mempunyai efek antitusif yang
bermakna, tetapi karena aman dan memberikan perbaikan
subyektif obat ini banyak dipakai.
2) Antitusif yang bekerja sentral
Obat ini bekerja menekan batuk dengan meninggikan ambang
rangsang yang dibutuhkan untuk merangsang pusat batuk. Dibagi
atas golongan narkotik dan nonnarkotik (Yunus, 2007).
a) Golongan narkotik
Opiat dan derivatnya mempunyai beberapa macam efek
farmakologik, sehingga digunakan sebagai analgesik,
antitusif, sedatif, menghilangkan sesak karena gagal jantung
kiri dan anti diare. Di antara alkaloid ini, morfin dan kodein
sering digunakan. Efek samping obat ini adalah penekanan
pusat napas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah,
serta efek adiksi. Opiat dapat menyebabkan terjadinya
bronkospasme karena penglepasan histamin, tetapi efek ini
jarang terlihat pada dosis terapeutik untuk antitusif. Di
samping itu narkotik juga dapat mengurangi efek
pembersihan mukosilier dengan menghambat sekresi
kelenjar mukosa bronkus dan aktivitas silia. Terapi kodein
kurang mempunyai efek tersebut (Yunus, 2007).
i. Kodein
-
42
Obat ini merupakan antitusif narkotik yang paling
efektif dan salah satu obat yang paling sering
diresepkan. Pada orang dewasa dosis tunggal 20-60 mg
atau 40-160 mg per hari biasanya efektif. Kodein
ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan
ketergantungan. Di samping itu, obat ini sangat sedikit
sekali menyebabkan penekanan pusat napas dan
pembersihan mukosilier. Efek samping pada dosis
biasa jarang ditemukan. Pada dosis agak besar dapat
timbul mual, muntah, konstipasi, pusing, sedasi,
palpitasi, gatal-gatal, banyak keringat dan agitasi
(Yunus, 2007).
ii. Hidrokodon
Merupakan derivat sintetik morfin dan kodein,
mempunyai efek antitusif yang serupa dengan kodein.
Efek samping utama adalah sedasi, penglepasan
histamin, konstipasi dan kekeringan mukosa. Obat ini
tidak lebih unggul dari kodein (Yunus, 2007).
b) Golongan nonnarkotik
i. Dekstrometorfan
Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan
ketergantungan, sering digunakan sebagai antitusif
nonnarkotik. Obat ini efektif bila diberikan dengan dosis
30 mg setiap 4-8 jam. Dosis dewasa 10-20 mg, setiap 4
-
43
jam, anak-anak umur 6-11 tahun 5-10 mg, sedangkan
anak umur 2-6 tahun dosisnya 2,5- 5 mg setiap 4 jam
(Yunus, 2007).
ii. Noskapin
Noskapin tidak mempunyai efek adiksi meskipun
termasuk golongan alkaloid opiat. Efektivitas dalam
menekan batuk sebanding dengan kodein. Kadang-
kadang memberikan efek samping berupa pusing, mual,
rinitis, alergi akut dan konjungtivitis. Dosis dewasa 15-
30 mg setiap 4- 6 jam, dosis tunggal 60mg aman dalam
menekan batuk paroksismal. Anak berumur 2-12 tahun
dosisnya 7,5-15 mg setiap 3-4 jam dan tidak melebihi 60
mg per hari (Yunus, 2007).
iii. Difenhidramin
Obat ini termasuk golongan antihistamin,
mempunyai manfaat mengurangi batuk kronik pada
bronkitis. Efek samping yang dapat timbul ialah
mengantuk, kekeringan mulut dan hidung, kadang-
kadang menimbulkan perangsangan susunan saraf pusat.
Obat ini mempunyai efek antikolinergik, karena itu harus
digunakan secara hati-hati pada penderita glaukoma,
retensi urin dan gangguan fungsi paru. Dosis yang
dianjurkan sebagai obat batuk ialah 25 mg setiap 4 jam
tidak melebihi 100 mg/hari untuk dewasa. Dosis untuk
-
44
anak berumur 6-12 tahun ialah 12,5 mg setiap 4 jam dan
tidak melebihi 50 mg/hari, sedangkan untuk anak 2-5
tahun ialah 6,25 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 25
mg/hari (Yunus, 2007).
4. Ekspektoran
a) Mekanisme Kerja
Obat golongan ekspektoran meningkatkan produksi sekresi
respiratorik sehingga menyebabkan viskositas sekret berkurang. Hal ini
memudahkan ekspulsi sekret keluar dari jalan nafas melalui batuk (Roach
et al., 2011). Dapat juga dikatakan bahwa ekspektoran membantu
peningkatan volume sekret respiratorik. Dengan demikian efisiensi batuk
dapat meningkat untuk memfasilitasi keluarnya sekret (Gutierrez, 2007).
Contoh Obat
Menurut Gutierrez (2011), beberapa contoh obat yang termasuk
expectorant adalah :
1. guaifenesin (gliseril guaiakolat)
2. terpin hydrate
3. iodida
4. creosote
5. antimoni pentasulfida
6. guaiakolsulfonat
7. levoverbenone
-
45
8. senega
9. tyloxapol
b) Farmakokinetik
Obat ini akan dikonsumsi peroral kemudian diabsorpsi melalui
mukosa gastrointestinalis. Setelah itu obat akan berdifusi dan
didistribusikan ke seluruh tubuh terutama di area respiratori oleh peredaran
darah. Obat akan dimetabolisme di liver (hepar) untuk kemudian
diekskresikan secara primer melalui renal (Gutierrez, 2011).
c) Farmakodinamik
Memblokade transmisi impuls saraf pada level saraf internuncial di
area subcortex otak, batang otak, dan medulla spinalis. Obat ini (misalnya
guaifenesin) merelaksasi otot laring dan faring sehingga memudahkan
intubasi. Guaifenesin juga memiliki efek analgesik dan sedatif ringan
(Roach et al, 2011).
d) Efek Samping Obat
Menurut Bennet et al (2012), beberapa efek samping dari ekspektoran
adalah :
1) nausea
2) vomitus
3) uric acid nephrolithiasis
4) diare atau konstipasi
5) mulut kering
-
46
6) meningkatkan efek analgetik paracetamol
7) peningkatan efek sedatif alkohol, tranquiliser, pil tidur, dan
anestetik total
8) peningkatan efek obat penurun tonus otot
e) Kontra Indikasi
Kontra indikasi bagi obat ekspektoran menurut Bennet (2012) antara
lain sebagai berikut :
1) infeksi saluran nafas bawah
2) bayi baru lahir
3) bayi prematur
4) laktasi
f) Sediaan
Menurut Roach et al (2011) beberapa sediaan dan dosis yang dapat
diterapkan bagi obat ekspektoran adalah :
1) Guaifenesin memiliki rentang dosis 100-400 mg PO q4h untuk usia
>12 tahun. Untuk anak usia 6-12 tahun dosisnya 100-200 mg PO
q4h sedangkan usia 2-6 tahun 50-100 mg PO q4h.
2) Kalium iodida memiliki rentang dosis 300-100 mg PO setelah
makan
3) Terpin hydrate memiliki rentang dosis 85-170 mg TID atau QID
PO.
5. Mukolitik
-
47
a) Mekanisme kerja
Mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida dari dahak. Sebagai hasil akhir dahak
tidak lagi bersifat kental dan dengan begitu tidak dapat bertahan berada di
tenggorokan lagi. Membuat saluran nafas bebas dari dahak (Hayes, 2012).
b) Indikasi
Untuk meringankan dan menghilangkan batuk berdahak (Hayes,
2012)
c) Farmakokinetik
Mukolitik tersedia dalam bentuk tablet dan cair (syrup).
d) Efek samping
- Takikardia
- Mulut kering
- Gangguan saluran pencernaan
- Retensi urine
Contoh
- Bromheksin
- Ambroxol
- Asetilsistein
e) Efek samping obat dan kontraindikasi
-
48
Mual, muntah maka penderita tukak lambung harus waspada. Sebagai
obat inhalasi zat ini menimbulkan bronchi pada penderita asma. Pada dosis
tinggi menimbulkan reaksi anafilaktis dengan rash, gatal, edema, hipotensi
dan bronkospasme (Hayes, 2012).
f) Interaksi obat
Menignkatkan antibiotika doksisiklin, amoxsisiklin, dan tiamfenikol
(Fauzi, et al 2012).
g) Dosis
Oral : 3-6 dd 200mg atau 1-2 dd 600 mg granulat
Anak-anak (2-7 thn) : 2 dd 200 mg
Anak-anak (