bab2

45
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asma 1. Definisi Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umunya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah (Depkes, 2009) : a. Pemicu : Alergen dalam ruangan, seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok. b. Pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian β2 agonis. c. Pencetus : Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin. Berdasarkan hasil penelitian, faktor presdiposisi terkuat yang berperan dalam perkembangan penyakit asma adalah adanya riwayat atopi, namun obesitas juga semakin diakui sebagai salah satu faktor risiko terjadinya asma. Pajanan alergen yang terhirup oleh pasien yang sensitif dapat

Upload: max-andrew

Post on 26-Sep-2015

15 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

rrtt

TRANSCRIPT

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Asma

    1. Definisi

    Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik

    saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap

    berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa

    mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama pada malam

    dan atau dini hari yang umunya bersifat reversible baik dengan atau tanpa

    pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang

    tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan

    gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Untuk

    menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan

    faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah (Depkes, 2009) :

    a. Pemicu : Alergen dalam ruangan, seperti tungau, debu rumah,

    binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur,

    kapang, ragi serta pajanan asap rokok.

    b. Pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian 2 agonis.

    c. Pencetus : Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah aktivitas

    fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.

    Berdasarkan hasil penelitian, faktor presdiposisi terkuat yang berperan

    dalam perkembangan penyakit asma adalah adanya riwayat atopi, namun

    obesitas juga semakin diakui sebagai salah satu faktor risiko terjadinya

    asma. Pajanan alergen yang terhirup oleh pasien yang sensitif dapat

  • 5

    meningkatkan gejala inflamasi dan hiperresponsivitas saluran pernapasan.

    Gejala dapat berkembang segera 4-6 jam setelah paparan alergen. Alergen

    yang sifatnya umum, contohnya tungau debu rumah (sering ditemukan

    pada bantal, kasur, perabotan, karpet, tirai), kecoa, bulu kucing, dan serbuk

    sari. Apabila pajanan tersebut dapat dihindari, maka dapat mengurangi

    temuan patologis dan gejala klinis. Pencetus spesifik asma yang lain

    adalah olahraga, infeksi saluran pernapasan atas, rhinitis, sinusitis,

    postnasal drip, gastroesophageal reflux, perubahan cuaca, dan stress

    (Departement of Health and Human Service, 2010).

    2. Mekanisme Kerja

    Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma

    (Depkes, 2009) :

    a. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan

    apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitizer) maka akan

    timbul sensitisasi pada dirinya.

    b. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu

    menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi

    terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi

    pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama

    atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan

    hiperreaktivitas bronkus.

    c. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseoraang terpajan oleh

    pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).

  • 6

    Reaksi awal dipicu oleh pengikatan silang IgE (yang dipicu oleh

    antigen) yang terikat ke reseptor IgE (FcR) pada sel mast (makrofag dan

    eosinofil juga mengekspresikan FcR) di jalan napas. Sel-sel ini

    mengeluarkan mediator-mediator untuk membuka taut erat (tight-junction)

    antara sel-sel epitel. Antigen kemudian dapat masuk untuk mengaktifkan

    eosinofil dan sel mast mukosa yang pada gilirannya mengeluarkan lebih

    banyak mediator. Secara kolektif, mediator-mediator, baik secara langsung

    maupun refleks neuron, menginduksi bronkospasme, meningkatkan

    permeabilitas vaskular, dan meningkatkan produksi mukus serta merekrut

    sel pelepas mediator lain dari darah (Kumar dkk., 2007).

    Oleh karena itu, terjadi sumbatan saluran napas yang disebabkan oleh

    (Sherwood, 2012) :

    a. Menebalnya dinding saluran napas, yang ditimbulkan oleh

    peradangan dan edema yang dipicu oleh histamin dan berbagai

    mediator lain.

    b. Sekresi berlebihan mukus kental.

    c. Hiperresponsivitas saluran napas, yang ditandai oleh kontraksi

    hebat saluran napas kecil akibat spasme otot polos di dinding

    saluran napas.

    3. Klasifikasi

    Asma saat tanpa serangan (MENKES, 2008).

    Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan terdiri dari:

    1. Intermitten

    2. Persisten ringan

  • 7

    3. Persisten sedang

    4. Persisten berat

    Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

    Derajat asma

    Gejala

    Gejala

    malam

    Faal paru

    Intermitten Bulanan APE80%

    - Gejala1x/minggu tetapi2 kali

    sebulan

    - VEP180% nilai prediksi

    APE80% nilai terbaik.

    - Variabiliti APE 20-30%.

    Persisten sedang Harian APE 60-80%

    - Gejala setiap hari. - Serangan

    mengganggu aktifiti

    dan tidur.

    - Membutuhkan bronkodilator setiap

    hari.

    >2 kali

    sebulan

    - VEP1 60-80% nilai

    prediksi

    APE 60-

    80% nilai

    terbaik.

    - Variabiliti APE>30%.

    Persisten berat Kontinyu APE 60%

    - Gejala terus menerus

    - Sering kambuh - Aktifiti fisik

    terbatas

    Sering - VEP160% nilai prediksi

    APE60% nilai terbaik

    - Variabiliti APE>30%

  • 8

    Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan

    di Indonesia, 2004

    Sedangkan pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak

    (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi:

    1. Asma episodik jarang

    2. Asma episodik sering

    3. Asma presisten

    Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada anak

    Parameter klinis,

    kebutuhan obat

    dan faal paru asma

    Asma

    episodik

    jarang

    Asma

    episodik

    sering

    Asma persisten

    1

    Frekuensi

    serangan

    1x/bulan

    Sering

    2 Lama serangan 1minggu Hampir sepanjang

    tahun, tidak ada

    periode bebas serangan

    3 Intensitas

    serangan

    Biasanya

    ringan

    Biasanya

    sedang

    Biasanya berat

    4 Diantara

    serangan

    Tanpa gejala Sering ada

    gejala

    Gejala siang dan

    malam

    5 Tidur dan

    aktifitas

    Tidak

    tergganggu

    Sering

    tergganggu

    Sangat tergganggu

    6 Pemeriksaan

    fisik diluar

    serangan

    Normal (

    tidak

    ditemukan

    kelainan)

    Mungkin

    tergganggu

    (ditemukan

    kelainan)

    Tidak pernah normal

    7 Obat

    pengendali(anti

    inflamasi)

    Tidak perlu Perlu Perlu

  • 9

    8 Uji faal

    paru(diluar

    serangan)

    PEFatauFEV

    1>80%

    PEFatauFE

    V130%

    Variabilitas 20-30%.

    Variabilitas >50%

    PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas

    puncak), FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi

    paksa dalam 1 detik)

    4. Algoritma Terapi

  • 10

    5.

  • 11

    5. Farmakologi dari Tiap Golongan

    Pengobatan asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala

    obstruksi jalan nafas, terdiri atas pelega (reliever) dan pengontrol

    (controller) (PDPI, 2004).

    a) Pelega (reliever)

    Pelega (reliever) prinsip pengobatannya adalah dilatasi jalan

    napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau

    menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti

    mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi

    jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Obat asma

    yang termasuk pelega adalah:

    1) Agonis beta-2 kerja cepat

    Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,

    fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.

    Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol

    mempunyai onset cepat dan durasi yang lama (PDPI, 2004).

    Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu

    relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan

    mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan

    modulasi pelepasan mediator dari sel mast. Efek sampingnya

    adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan

    hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit

    menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004).

    2) Kortikosteroid sistemik

  • 12

    Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila

    penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil

    belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan

    bronkodilator lain (PDPI, 2004).

    Mekanisme kerjanya yakni mengurangi aktivasi mediator

    inflamasi sehingga menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah,

    penurunan permeabilitas pembuluh darah, mengurangi edema

    mukosa, dan menghambat pelepasan leukotrien. Secara tidak

    langsung, kortikosteroid dapat merelaksasikan otot polos saluran

    nafas.

    Kortikosteroid per oral dan parenteral hanya boleh

    digunakan untuk terapi reliever, tidak boleh diberikan secara

    kronis. Untuk terapi controller bias digunakan kortikosteroid

    aeorosol. Contoh obat yang digunakan dalam golongan ini

    antara lain prednisone, metilprednisolon, beklometason,

    budesonid, flunisonid, dan triamsinolon.

    3) Antikolinergik

    Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya

    memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada

    jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan

    tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat

    refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan (PDPI, 2004).

    Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium

    bromide dan tiotropium bromide. disarankan menggunakan

  • 13

    kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja cepat

    sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau

    pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2

    saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Efek

    samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (PDPI,

    2004).

    4) Aminofillin

    Aminofillin adalah bronkodilator kuat dan sangat

    bermanfaat jika bronkospasme terhadap epinefrin. Dosisnya 250

    sampai 500 mg, diberikan perlahan-lahan secara intravena.

    Berdasarkan sifatnya sebagai bronkodilator yang kuat,

    aminofilin kerja cepat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi

    gejala asma akut, walau disadari onsetnya lebih lama daripada

    agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).

    Aminofilin merupakan bentuk garam dari teofilin.

    Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat enzim

    fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP

    dan cGMP masing-masing menjadi 5-AMP dan 5-GMP.

    Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP

    dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos termasuk

    otot polos bronkus (Farmakologi dan Terapi Edisi 5, 2007).

    Di Indonesia, aminofilin tersedia dalam bentuk ampul 10

    ml yang mengandung 24 mg aminofilin setiap mililiternya untuk

    penggunaan IV. Terdapat juga sediaan dalam bentuk tablet 100

  • 14

    mg dan 200 mg dengan nama dagang aminophilin (Farmakologi

    dan Terapi Edisi 5, 2007).

    5) Adrenalin

    Adrenalin (epinefrin) mempunyai efek meningkatkan

    tekanan darah melalui aktivasi adrenoreseptor-1 jantung yang

    terjadi setelah pelepasan atau pemberian adrenalin (epinefrin)

    berhubungan dengan kerja kronotropik positif dan inotropik

    positif atas jantung. Dengan demikian adrenalin (epinefrin) juga

    mempunyai efek kronotopik positif (meningkatkan kecepatan

    denyut jantung) dan inotropik positif (memperkuat kontraksi

    myokardium) sehingga cardiac out put (curah jantung)

    meningkat. Adrenalin (epinefrin) juga berefek pada timbulnya

    vasokontriksi karena stimulasi adrenoreseptor- pada otot poos

    dinding pembuluh darah perifer. Kedua hal tersebut berakibat

    tekanan darah meningkat. Efek adrenalin (epinefrin) terutama

    pada arteriola kecil dan sfingter prekapiler sehingga tahanan

    perifer meningkat.

    Pada saluran nafas, adrenalin (epinefrin) mempunyai

    efek bronkodilatasi melalui stimulasi adrenoreseptor-2 pada

    otot polos bronkus. Efek tersebut tampak jelas jika sebelumnya

    sudah ada bronkokontriksi (misalnya pada serangan asma

    bronkial). Adrenalin (epinefrin) yang mempunyai efek

    vasokontriksi sehingga dapat mengurangi kongesti mukosa dan

    dapat memperkuat efek pelebaran saluran nafas.

  • 15

    Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang

    sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak

    respons dengan agonis beta-2 kerja cepat. Pemberian secara

    subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut

    atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian IV dapat

    diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat

    (bedside monitoring) (PDPI, 2004).

    Efek samping dari adrenalin (epinefrin) adalah disritmia

    ventrikel, angina pektoris, nyeri kepala, tremor, pengeluaran

    urine berkurang, ketakutan, serta ansietas. Penatalaksanaannya

    adalah Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat dilang 15-30 menit

    kemudian.

    b) Pengontrol (controller)

    Pengontrol (controller) adalah pengobatan asma jangka

    panjang yang diberikan setiap hari untuk mencapai dan

    mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Obat

    pengontrol asma adalah:

    1) Glukokortikosteroid inhalasi

    Glukokortikosteroid inhalasi adalah pengobatan jangka

    panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Steroid

    inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan

    sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman

    pada dosis yang direkomendasikan. Contoh obatnya yaitu

  • 16

    beklometason propionat, budenosid, flunisolid, flutikason, dan

    triamsolon asetonid (PDPI, 2004).

    Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal

    seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi

    saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah

    dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan

    berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi (PDPI,

    2004).

    Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui

    absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik

    bergantung kepada dosis dan potensi obat sistemik. Penelitian

    menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai

    efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason

    dipropionat dan triamsinolon (PDPI, 2004).

    2) Glukokortikosteroid sistemik

    Glukokortikosteroid sistemik diberikan secara oral atau

    parenteral. Untuk jangka panjang penggunaan

    glukokortikosteroid inhalasi lebih baik daripada steroid oral

    karena efek samping sistemik pemberian oral maupun parental

    lebih banyak. Namun, obat ini cocok untuk asma persisten dan

    berat (PDPI, 2004).

    Lebih baik menggunakan steroid oral yang diminum selang

    1 hari daripada penggunaan melalui jalur parenteral. Prednison,

    prednisolon, dan metilprednisolon pun menjadi pilihan yang

  • 17

    terbaik karena karena mempunyai efek mineralokortikoid

    minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal

    (PDPI, 2004).

    Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid

    oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi,

    diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,

    glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.

    Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi

    herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,

    maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan (PDPI,

    2004).

    3) Sodium kromoglikat dan nedokromil sodium

    Jalur pemberian obat ini adalah secara inhalasi. Mekanisme

    kerjanya belum diketahui secara jelas tetapi diketahui

    merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan

    mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE.

    Efek sampingnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak

    enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004).

    4) Metilsantin

    Metilsantin mempunyai efek bronkodilator dan

    antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan

    hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi

    tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui

    mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-

  • 18

    10 mg/dl). Harga obat ini jauh lebih murah dibandingkan agonis

    beta2 kerja lama inhalasi (PDPI, 2004).

    Contoh obat yaitu aminofilin dan teofilin. Efek samping

    berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( >10 mg/kgBB/ hari atau

    lebih). Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek

    samping yang paling dulu dan sering terjadi, selain itu takikardi,

    aritmia, dan merangsang pusat nafas (PDPI, 2004).

    5) Long Acting 2 Agonist (LABA)

    Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah

    salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>

    12 jam). Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka

    lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang

    bronkokonstriktor (PDPI, 2004).

    a) Mekanisme Kerja

    Obat golongan LABA, yaitu selective 2 receptor

    agonist memiliki durasi waktu kerja yang diperpanjang

    yaitu >12 jam karena memiliki sifat lipofilik tinggi. Selain

    itu ia memiliki efek kerja 50 kali lipat dari albuterol

    (salbutamol).

    Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan fungsi

    paru dan melegakan gejala. Salmeterol dan golongannya

    bekerja lebih efektif dari teofilin oral, sehingga sama

    efektifnya seperti ipratropium (golongan antagonis

    kolinergik). Sifat lipofilik yang dimiliki obat ini

  • 19

    meningkatkan durasi ikatannya dengan reseptor sehingga

    memperpanjang aktivasi reseptor tersebut. (Brunton et al.,

    2006).

    b) Contoh Obat

    Menurut Ducharme, et al (2010), beberapa contoh

    obat yang termasuk Long Acting 2 Agonist (LABA) adalah

    salmeterol, bambuterol, formoterol, dan clenbuterol.

    c) Farmakokinetik

    Obat golongan agonis 2 kerja lama absorbsinya

    lambat, mula kerja lambat, dan juga waktu paruh dalam

    tubuh panjang atau lama. Sifat tersebut lebih efektif jika

    melalui jalur inhalasi dan sering digunakan sebagai

    controller .Obat ini kebanyakan dieliminiasi melalui ginjal

    (Katzung, 2010).

    d) Farmakodinamik

    Reseptor beta-adrenergik ini terkait dengan protein

    G stimulatori. Subunit alfa protein G akan mengaktivasi

    adenilil siklase yang mengkatalisis produksi cAMP. cAMP

    akan menyebabkan penurunan kalsium intraseluler. Melalui

    aktivasi protein kinase A, cAMP akan menonaktifkan

    myosin light chain kinase dan mengaktivasi myosin light

    chain phosphatase (Ramanujan, 2006).

    Obat ini juga akan meningkatkan konduktansi kanal

    kalium yang diaktivasi kalsium sehingga menyebabkan

  • 20

    hiperpolarisasi otot polos saluran nafas. Kombinasi

    penurunan kalsium intraseluler, peningkatan konduktansi

    kalium membran, dan penurunan aktivitas myosin light

    chain kinase menyebabkan relaksasi otot polos dan

    bronkodilatasi. Fermeterol dapat digunakan bersamaan

    dengan agonis O2 dan teofilin (Goldsmith and Keating,

    2004).

    e) Efek Samping Obat

    Menurut Sweetman (2009), beberapa efek samping

    dari obat golongan LABA adalah memberikan efek adiktif

    saat dikombinasikan bersama ipratropium (inhalasi) atau

    teofilin (oral), meningkatkan denyut jantung sehingga

    timbul takikardi dan palpitasi, menimbulkan tremor,

    meningkatkan kadar glukosa darah, menurunkan kadar

    kalium plasma, peningkatan produksi keringat, agitasi,

    insomnia, tirotoksikosis, stenosis subaorta, pusing, dan

    migrain.

    f) Kontra Indikasi

    Kontra indikasi bagi obat golongan LABA menurut

    Brunton et al (2006) antara lain untuk pengobatan reliever,

    kehamilan, dan gangguan fungsi hepar.

    g) Sediaan

    Menurut Sweetman (2009) salah satu contoh obat

    golongan LABA adalah clenbuterol. Clenbuterol memiliki

  • 21

    rentang dosis 20-60 g perhari, dengan dosis maksimal 20

    g untuk wanita dan40 g untuk pria. Contoh lainnya adalah

    formoterol yang memiliki dosis 12 g, dan salmeterol yang

    memiliki dosis 50 g.

    6) Leukotrien modifiers

    a) Mekanisme Kerja dan Contoh Obat

    Terdapat dua tipe leukotrien modifiers yaitu

    menghambat enzim 5-lipoksigenase sehingga dapat

    menghambat produksi leukotriene dari asam arakidonat

    (contohnya zileuton), kemudian tipe yang kedua bekerja

    dengan cara menjadi antagonis kompetitif reseptor

    leukotrien/ leukotriene receptor antagonist/ LTRA

    (contohnya zafirlukast, montelukast, dan pranlukast). Namun

    efek leukotriene modifiers tidak sekuat kortikosteroid

    sehingga jarang menjadi prioritas terapi dalam asma (Fanta,

    2009).

    b) Farmakokinetik

    Obat leukotrien modifiers diaadministrasikan per oral

    dan diabsorpsi secara cepat di usus halus. Zafirlukast

    memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu diatas 90%.

    Sedangkan montelukast memiliki bioavailabilitas 60%-70%

    Pada konsentrasi plasma terapeutik, obat ini > 99% terikat

    pada protein (Bharathi et al., 2008).

  • 22

    Metabolisme terjadi di hepar oleh enzim CYP3A4

    dan CYP2C9. Perlu diketahui bahwa metabolit hanya

    memiliki efektifitas 10% sehingga yang memiliki efek

    terapeutik adalah obat dasarnya. Waktu paruh zafirlukast 12-

    20 jam dengan rata-rata 5,6 jam (Bharathi et al., 2008).

    Waktu paruh montelukast berkisar 3-6 jam.

    Sedangkan zileuton dimetabolisme oleh enzim CYP dan

    UDP-glukorosiltransferase dengan waktu paruh 2,5 jam

    (Brunton et al., 2006).

    c) Farmakodinamik

    Sisteinil leukotrien (cyst-LT) merupakan sebuah

    mediator yang poten untuk menimbulkan efek

    bronkokonstriksi. Beberapa contoh cyst-LT adalah LTC4,

    LTD4, LTE4. Reseptor yang bertanggung jawab adalah

    reseptor cyst-L1 (Montuschi et al., 2010).

    Maka dari itu obat LTRA bekerja ada reseptor

    tersebut untuk menghalangi cyst-LT berikatan padanya. Efek

    dari obat LTRA antara lain mencegah kebocoran

    mikrovaskuler, peningkatan produksi mukus, dan

    peningkatan influks basofil serta eosinofil pada saluran nafas.

    Sedangkan obat inhibitor 5-lipoksigenase seperti zileuton

    akan menghambat kerja enzim tersebut sehingga asam

    arakidonat tidak tersintesis. Dengan demikian, leukotrien

  • 23

    juga tidak akan bisa diproduksi, terutama LTB4 (Montuschi

    et al., 2010).

    d) Efek Samping Obat

    Untuk obat antagonis reseptor leukotrien, beberapa

    efek samping yang dapat ditemukan menurut Brunton, et al

    (2006) adalah eosinofilia sistemik, vaskulitis, churg-strauss

    syndrome, meningkatkan prothrombin time, gangguan

    gastrointestinal, hipersensitivitas, insomnia, peningkatan

    tendensi perdarahan.

    Untuk obat inhibitor enzim 5-lipoksigenase, beberapa

    efek samping yang dapat ditemukan menurut Lu, et al (2008)

    adalah peningkatan enzim hepar pada 4%-5%, meningkatkan

    konsentrasi plasma teofilin, dan gangguan neuropsikiatrik.

    e) Kontra Indikasi

    Menurut Lu, et al (2008), kontraindikasi penggunaan

    obat golongan ini adalah kasus darurat (reliever) dan

    gangguan hepar.

    f) Sediaan

    Obat zileuton memiliki sediaan lazim 300 mg/600

    mg, dosis dewasa 2400 mg/hari QID (Kelly et al, 2005).

    B. OBAT TB

    1. Prinsip Pengobatan

    Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut

    (Menkes,2009) :

  • 24

    a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

    dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

    pengobatan.

    b) Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-

    Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan

    sangat dianjurkan.

    c) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

    pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh

    seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

    d) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif)

    dan lanjutan.

    Tahap awal (intensif) (Menkes,2009)

    a) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan

    perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi

    obat.

    b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

    biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu

    2 minggu.

    c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

    (konversi) dalam 2 bulan.

    Tahap Lanjutan (Menkes,2009)

    a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

    namun dalam jangka waktu yang lebih lama

  • 25

    b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

    mencegah terjadinya kekambuhan.

    Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Menkes,2009)

    a) WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and

    Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :

    Kategori 1 :

    o 2HRZE/4H3R3

    o 2HRZE/4HR

    o 2HRZE/6HE

    Kategori 2 :

    o 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

    o 2HRZES/HRZE/5HRE

    Kategori 3 :

    o 2HRZ/4H3R3

    o 2HRZ/4HR

    o 2HRZ/6HE

    b) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

    Penanggulangan TB di Indonesia:

    o Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.

    o Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.

    Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan :

    HRZE dan OAT Anak : 2HRZ/4HR

    c) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk

    paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan

  • 26

    kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT

    kombipak (Menkes,2009).

    d) Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat

    dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.

    Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien

    (Menkes,2009).

    e) Paket Kombipak.

    Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,

    Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

    Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam

    pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

    Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk paket,

    dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

    kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)

    paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan

    (Menkes,2009).

    2. OAT Anak

    Prinsip dasar pengobatan tuberkulosis anak adalah minimal 3 macam

    dan diberikan dalam waktu 6 bulan. Obat-obatan ini diberikan setiap hari,

    baik dalam tahap intensif maupun tahap lanjutan. Dosis yang digunakan

    harus sesuai dengan berat bada anak.Pedoman pemberain dosis OAT pada

    anak adalah (DEPKES 2012):

  • 27

    Jenis Obat BB

  • 28

    Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya

    setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan

    sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat

    perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang,

    batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan

    meningkat.

    1) Pengobatan di evaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan

    pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.

    2) Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping

    obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit

    3) Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan,dan

    pemeriksaan fisik.

    b) Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/9 bulan pengobatan)

    Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai

    menjadi negative. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan

    sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA

    langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang

    memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir

    bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir

    bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir

    bulan ke 2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan

    pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah setelah tahap

    intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan

    pengobatan ulang (retreatment).

  • 29

    c) Evaluasi Radiologik (0-2-6/9 bulan pengobatan)

    Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

    Sebelum pengobatan

    Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga

    dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan

    pengobatan)

    Pada akhir pengobatan.

    d) Evaluasi Keteraturan berobat

    Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat

    dan minum obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting

    penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan

    berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada

    pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan

    menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

    Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada dewasa

    dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis

  • 30

    lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam

    memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan

    pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali

    (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila dua

    spesimen tersebut negatif. Bila salah satu atau kedua spesimen

    positif, maka hasil pemeriksaaan ulang dinyatakan positif. Tindak

    lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat

    pada tabel di bawah ini (DEPKES, 2012):

    4. Farmakologi Obat

    a) Rifamfisin

    Mekanisme Kerja

    Rifampisin bekerja menghambat DNA-dependent RNA

    polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan

    menekan mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA.

    Farmakokinetik

    Pemberian rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak

    dalam plasma setelah 2-4 jam. Setelah diserap di saluran cerna,

    obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami

    sirkulasi enterohepatik. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi

    antara 1,5 sampai 5jam dan akan memanjang bila ada kelainan

    fungsi hepar. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar

    efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh, termasuk

    cairan otak. Luasnya distribusi rifampisin tercermin dengan warna

    merah pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata, dan keringat.

  • 31

    Efek Samping

    Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diinginkan,

    yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah.

    Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti

    rasa lemah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung,

    sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, serta melemahnya

    otot juga dapat terjadi.

    Interaksi Obat

    Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang kuat,

    sehingga berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan

    kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila diberikan

    bersama rifampisin. Rifampisin mungkin juga mengganggu

    metabolisme vitamin D, sehingga dapat menimbulkan kelainan

    tulang dengan berupa osteomalasia.

    Sediaan dan Dosis

    Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg

    dan 300 mg. Selain itu, terdapat pula tablet 450 mg dan 600mg

    serta suspense yang mengandung 100 mg/5 mL rifampisin. Obat ini

    biasanya diberikan sehari sekali satu jam sebelum makan atau dua

    jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan

    kurang dari 50 kg yaitu 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih

    dari 50 kg ialah 600 mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20

    mg/kgBB per hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari.

    b) Isoniazid

  • 32

    Mekanisme Kerja

    Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi terdapat

    hipotesis yang diajukan yaitu menghambat biosintesis asam

    mikolat yag merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.

    Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak

    yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat.

    Farmakokinetik

    Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun

    parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah

    pemberian oral. Masa paruhnya antara 1 sampai 4 jam. Isoniazid

    diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya

    dalam bentuk metabolit.

    Efek Samping

    Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai

    kelainan kulit berbentuk morbiliform, makulopapular, dan

    urtikaria. Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis 5

    mg/kgBB/hari.

    Sediaan dan Dosis

    Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400

    mg serta sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah

    ditambahkan vitamin B6. Dosis biasa 5 mg/kgBB dan dosis

    maksimum 300 mg/hari.

    c) Pirazinamid

    Farmakokinetik

  • 33

    Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh

    tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/mL

    pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama

    melalui filtrasi glomerulus. Masa paruh eliminasi obat ini adalah

    10-16 jam.

    Efek Samping

    Efek samping paling umum dan serius ialah kelainan hati. Jika

    jelas timbul kerusakan hati, terapi dengan pirazinamid harus

    dihentikan. Efek samping lain adalah arthralgia, anoreksia, mual

    dan muntah, disuria, malaise, dan demam.

    Sediaan dan Dosis

    Pirazinamid teradapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.

    Dosis oral ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 g), diberikan

    dalam satu atau beberapa kali sehari.

    d) Etambutol

    Farmakokinetik

    Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di

    saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-

    4 jam setelah pemberian. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol

    yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin dan

    10% sebagai metabolit.

    Efek Samping

    Etambutol menimbulkan efek samping yaitu pruritus, nyeri

    sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening,

  • 34

    bingung, disorientasi, dan halusinasi. Efek samping paling penting

    adalah gangguan penglihatan yang merupakan neuritis retrobulbar

    yaitu berupa turunnyatajam penglihatan, hilangnya kemampuan

    membedakan warna, dan mengecilnya lapang pandang.

    Sediaan dan Dosis

    Etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.

    Dosis biasanya 15 mg/kgBB. Pada pasien gangguan fungsi ginjal

    dosisnya perlu disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam

    badan.

    e) Streptomisin

    Farmakokinetik

    Setelah diserap dari tempat injeksi, hampir semua streptomisin

    berada dalam plasma. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang

    diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam

    waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada orang dewasa

    normal antara 2-3 jam dan dapat sangat memanjang pada gagal

    ginjal.

    Efek Samping

    Streptomisin bersifat neurotoksin pada saraf kranial VIII bila

    diberikan dalam dosis besar dan jangka lama. Dianjurkan untuk

    melakukan pemeriksaan audiometrik basal dan berkala. Obat ini

    juga bersifat nefrotoksik. Efek samping lain adalah reaksi

    anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik, dan demam obat.

  • 35

    Selain itu, dosis total obat tidak boleh melebihi 20 gram dalam 5

    bulan terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi.

    Sediaan dan Dosis

    Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1

    dan 5 gram. Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, dosis maksimum

    1gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Dosis harus dikurangi untuk

    pasien usia lanjut, anak-anak, orang dewasa yang badannya kecil,

    dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

    C. Farmakologi Obat Pernafasan Lain

    1. Antihistamin

    Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses

    fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis

    efek histamin. Epinefrin merupakan antagonis fisiologik pertama yang

    digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan

    dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda.

    Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin, dan

    tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema, eritema,

    dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipesekresi lambung akibat

    histamin. Antihistamin tersebut digolongkan kedalam penghambat reseptor

    H1 (AH1) (Dewoto,2012).

    Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu

    burimamid, metiamid, dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam

    lambung akibat histamin (Dewoto,2012).

  • 36

    Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan

    menghambat antihistamin dan reseptor histamin H1 atau H2

    (Dewoto,2012).

    Farmakokinetik

    Obat-obat ini mudah diabsorbsi dan distribusi. Obat-obat ini mudah

    didistribusikan ke seluruh tubuh sesudah pemberian oral dengan puncak

    kosentrasi dalam darah terjadi 1-2 jam. Obat-obat dimetabolisasi secara

    luas terutama oleh sistem mikrosomal hati. (Katzung, 2009)

    Farmakodinamik

    Antagonis reseptor H1 bAanyak mempunyai kerja yang tidak dapat

    dijelaskan sebagai penghambat kerja histamin. Sebagian besar dari kerja

    tersebut mungkin dihasilkan dari kesamaan struktur umum terhadap

    struktur obat yang mempunyai efek kolinoseptor muskarinik,

    adrenoreseptor alfa, serotonin, dan reseptor anestetik lokal. Beberapa kerja

    obat ini mempunyai efek yang tidak diharapkan seperti sedasi. (Katzung,

    2009)

    Antagonis H1 dibagi menjadi obat generasi pertama dan generasi

    kedua. Dua kelompok ini dibedakan berdasarkan efek sedasinya :

    Antihistamin generasi pertama yang banyak digunakan antara lain

    adalah CTM, difenhidramin, feniramin, sedangkan generasi kedua

    loratadin, cetirizin. Efek samping yang paling mengganggu dari

    antihistamin generasi pertama ini adalah sedasi, yang dapat

    membahayakan jika mengemudikan kendaraan atau mengoperasikan

  • 37

    mesin. Efek sa mping sedasi ini semakin diperparah jika pasien

    mengonsumsi alkohol. Efek samping antihistamin lainnya adalah mata dan

    mulut kering, pusing dan penglihatan kabur. Meskipun kini telah ada

    antihistamin generasi kedua yang kurang menimbulkan sedasi, namun

    antihistamin ini tidak memiliki efek antikolinergik, sehingga tidak efektif

    untuk mengurangi gejalagejala salesma atau flu yang disertai produksi

    mukus yang berlebihan (Katzung,2009).

    Efek Samping Obat

    Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah

    vertigo, tinitus, lelah penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia,

    euforia, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering

    juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada

    epigastrium, konstipasi, atau diare; efek samping ini akan berkurang bila

    AH1 diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu antihistamin

    non sedatif, selama lebih dari dua minggu dilaporkan dapat menyebabkan

    bertambahnya nafsu makan dan berat badan (Dewoto,2012).

    2. Dekongestan

    Mekanisme kerja

    Dekongestan merupakan obat simpatomimetik yang menyebabkan

    vasokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor 1 sehingga

    mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi sumbatan

    hidung. Reseptor 2 terdapat pada arteriol yang membawa suplai makanan

    bagi mukosa hidung. Vasokonstriksi arteriol ini oleh 2- agonis dapat

  • 38

    menyebabkan kerusakan structural pada mukosa tersebut. Pengobatan

    dnegan dekongestan nasal seringkali menimbulkan hilangnya efektivitas,

    rebound hyperemia dan memburuknya gejala pada pemberian kronik atau

    bila obat dihentikan. Mekanismenya belum jelas, tetapi mungkin

    melibatkan desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa. 1-agonis yang

    selektif lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan

    mukosa (Zunilda, 2007).

    Jenis-jenis dekongestan

    1) Dekongestan sistemik

    Dekongestan sistemik diberikan secara oral. Meskipun

    efeknya tidak secepat topical, tetapi kelebihannya tidak

    mengiritasi hidung. Dekongestan sistemik harus digunakan

    secara hati-hati pada penderita hipertensi, pria dengan hipertrofi

    prostat, dan lanjut usia. Hal ini disebabkan karena dekongestan

    memiliki efek efek sentral sehingga menimbulkan takikardi,

    aritmia, peningkatan tekanan darah, atau stimulasi ususnan saraf

    pusat. Contoh obat dekongestan sistemik aalah pseudoefedrin,

    efedrin, dan fenilpropanolamin (Tjay, 2008).

    2) Dekongestan Topikal

    Dekongestan topical digunakan untuk rinitis akut yang

    merupakan radang selaput lendir hidung. Bentuk sediaan

    dekongestan topikal berupa balsam, inhaler, tetes hidung atau

    semprot hidung. Dekongestan topikal (semprot hidung) yang

    biasa digunakan yaitu oxymetazolin, xylometazolin, naphazolin,

  • 39

    tetrahydrozoline yang merupakan derivat imidazolin karena

    efeknya dapat menyebabkan depresi. Susunan saraf pusat bila

    banyak terabsorbsi terutama pada bayi dan anak-anak, maka

    sediaan ini tidak boleh untuk bayi dan anak-anak (Tjay, 2008).

    Obat Dosis Pemakaian dan Pertimbangan

    Efedrin D; PO; 25-50 mg , t.i.d.,

    q.i.d.

    Obat bebas yang dapat dipakai

    sendiri atau dalam kombinasi.

    Menyebabkan vasokonstriksi

    selapt lender hidung

    Fenilefrin (Neo-

    Synephrine Sinex)

    Larutan 0,25 1% Untuk rhinitis. Bermacam-macam kombinasi. Efek pada

    SSP tidak sebanyak efedrin.

    Fenilpropanolamin

    (Propadrine,

    Dristan, Diemtapp)

    D; PO; 25-50 mg, t.i.d.,

    q.i.d.

    Untuk rhinitis. Perangsangan

    pada SSP dan hipertensi tidak

    seberat efedrin.

    Pseudoefidrin

    (Actifed, Novafed,

    Sudafed)

    D; PO; 50 mg, setiap 4-

    6 jam

    Dekongestan dengan masa kerja

    panjang. Dipakai kali sehari,

    pagi dan sore hari. Dapat

    menyebabkan kongesti rebound.

    Oksimetazolin

    (Afrin)

    Semprot 0,05%, tetes Dapat menyebabkan kongesti

    rebound, hipertensi yang

    sementara, bradikardi, dan

    aritmia yang lain.

    Nafazolin (Provine) Semprot 0,05%

    3. Antitusif

    Mekanisme Kerja

    Antitusif bekerja pada pusat pengendali batuk di medulla untuk

    menekan reflek batuk. Batuk adalah cara tubuh untuk mengeluarkan secret

    atau material lain dari saluran napas. Sakit leher bisa menyebabkan batuk

    yang meningkatkan iritasi tenggorok. Jika batuk tidak produktif dan

  • 40

    mengiritasi,boleh diberikan antitusif. Secara umum berdasarkan tempat

    kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan

    antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi

    atas golongan narkotik dan nonnarkotik (Yunus, 2007).

    a) Golongan Antitusif

    1) Antitusif yang bekerja di perifer

    Obat golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi

    lokal di saluran napas, yaitu pada reseptor iritan perifer dengan

    cara anestesi langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi

    lendir saluran napas (Yunus, 2007).

    a) Obat-obat anestesi (Menthol Vapor)

    Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol,

    fenol, dan garam fenol digunakan dalam pembuatan lozenges.

    Obat ini mengurangi batuk akibat rangsang reseptor iritan di

    faring, tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk mengatasi

    batuk akibat kelainan saluran napas bawah.

    b) Topikal Lokal Anestesi

    Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti

    tetrakain, kokain dan lidokain sangat bermanfaat dalam

    menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan

    bronkoskopi.

    c) Demulcent

    Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah

    kekeringan selaput lendir. Obat ini dipakai sebagai pelarut

  • 41

    antitusif lain atau sebagai lozenges yang mengandung madu,

    akasia, gliserin dan anggur. Secara obyektif tidak ada data

    yang menunjukkan obat ini mempunyai efek antitusif yang

    bermakna, tetapi karena aman dan memberikan perbaikan

    subyektif obat ini banyak dipakai.

    2) Antitusif yang bekerja sentral

    Obat ini bekerja menekan batuk dengan meninggikan ambang

    rangsang yang dibutuhkan untuk merangsang pusat batuk. Dibagi

    atas golongan narkotik dan nonnarkotik (Yunus, 2007).

    a) Golongan narkotik

    Opiat dan derivatnya mempunyai beberapa macam efek

    farmakologik, sehingga digunakan sebagai analgesik,

    antitusif, sedatif, menghilangkan sesak karena gagal jantung

    kiri dan anti diare. Di antara alkaloid ini, morfin dan kodein

    sering digunakan. Efek samping obat ini adalah penekanan

    pusat napas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah,

    serta efek adiksi. Opiat dapat menyebabkan terjadinya

    bronkospasme karena penglepasan histamin, tetapi efek ini

    jarang terlihat pada dosis terapeutik untuk antitusif. Di

    samping itu narkotik juga dapat mengurangi efek

    pembersihan mukosilier dengan menghambat sekresi

    kelenjar mukosa bronkus dan aktivitas silia. Terapi kodein

    kurang mempunyai efek tersebut (Yunus, 2007).

    i. Kodein

  • 42

    Obat ini merupakan antitusif narkotik yang paling

    efektif dan salah satu obat yang paling sering

    diresepkan. Pada orang dewasa dosis tunggal 20-60 mg

    atau 40-160 mg per hari biasanya efektif. Kodein

    ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan

    ketergantungan. Di samping itu, obat ini sangat sedikit

    sekali menyebabkan penekanan pusat napas dan

    pembersihan mukosilier. Efek samping pada dosis

    biasa jarang ditemukan. Pada dosis agak besar dapat

    timbul mual, muntah, konstipasi, pusing, sedasi,

    palpitasi, gatal-gatal, banyak keringat dan agitasi

    (Yunus, 2007).

    ii. Hidrokodon

    Merupakan derivat sintetik morfin dan kodein,

    mempunyai efek antitusif yang serupa dengan kodein.

    Efek samping utama adalah sedasi, penglepasan

    histamin, konstipasi dan kekeringan mukosa. Obat ini

    tidak lebih unggul dari kodein (Yunus, 2007).

    b) Golongan nonnarkotik

    i. Dekstrometorfan

    Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan

    ketergantungan, sering digunakan sebagai antitusif

    nonnarkotik. Obat ini efektif bila diberikan dengan dosis

    30 mg setiap 4-8 jam. Dosis dewasa 10-20 mg, setiap 4

  • 43

    jam, anak-anak umur 6-11 tahun 5-10 mg, sedangkan

    anak umur 2-6 tahun dosisnya 2,5- 5 mg setiap 4 jam

    (Yunus, 2007).

    ii. Noskapin

    Noskapin tidak mempunyai efek adiksi meskipun

    termasuk golongan alkaloid opiat. Efektivitas dalam

    menekan batuk sebanding dengan kodein. Kadang-

    kadang memberikan efek samping berupa pusing, mual,

    rinitis, alergi akut dan konjungtivitis. Dosis dewasa 15-

    30 mg setiap 4- 6 jam, dosis tunggal 60mg aman dalam

    menekan batuk paroksismal. Anak berumur 2-12 tahun

    dosisnya 7,5-15 mg setiap 3-4 jam dan tidak melebihi 60

    mg per hari (Yunus, 2007).

    iii. Difenhidramin

    Obat ini termasuk golongan antihistamin,

    mempunyai manfaat mengurangi batuk kronik pada

    bronkitis. Efek samping yang dapat timbul ialah

    mengantuk, kekeringan mulut dan hidung, kadang-

    kadang menimbulkan perangsangan susunan saraf pusat.

    Obat ini mempunyai efek antikolinergik, karena itu harus

    digunakan secara hati-hati pada penderita glaukoma,

    retensi urin dan gangguan fungsi paru. Dosis yang

    dianjurkan sebagai obat batuk ialah 25 mg setiap 4 jam

    tidak melebihi 100 mg/hari untuk dewasa. Dosis untuk

  • 44

    anak berumur 6-12 tahun ialah 12,5 mg setiap 4 jam dan

    tidak melebihi 50 mg/hari, sedangkan untuk anak 2-5

    tahun ialah 6,25 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 25

    mg/hari (Yunus, 2007).

    4. Ekspektoran

    a) Mekanisme Kerja

    Obat golongan ekspektoran meningkatkan produksi sekresi

    respiratorik sehingga menyebabkan viskositas sekret berkurang. Hal ini

    memudahkan ekspulsi sekret keluar dari jalan nafas melalui batuk (Roach

    et al., 2011). Dapat juga dikatakan bahwa ekspektoran membantu

    peningkatan volume sekret respiratorik. Dengan demikian efisiensi batuk

    dapat meningkat untuk memfasilitasi keluarnya sekret (Gutierrez, 2007).

    Contoh Obat

    Menurut Gutierrez (2011), beberapa contoh obat yang termasuk

    expectorant adalah :

    1. guaifenesin (gliseril guaiakolat)

    2. terpin hydrate

    3. iodida

    4. creosote

    5. antimoni pentasulfida

    6. guaiakolsulfonat

    7. levoverbenone

  • 45

    8. senega

    9. tyloxapol

    b) Farmakokinetik

    Obat ini akan dikonsumsi peroral kemudian diabsorpsi melalui

    mukosa gastrointestinalis. Setelah itu obat akan berdifusi dan

    didistribusikan ke seluruh tubuh terutama di area respiratori oleh peredaran

    darah. Obat akan dimetabolisme di liver (hepar) untuk kemudian

    diekskresikan secara primer melalui renal (Gutierrez, 2011).

    c) Farmakodinamik

    Memblokade transmisi impuls saraf pada level saraf internuncial di

    area subcortex otak, batang otak, dan medulla spinalis. Obat ini (misalnya

    guaifenesin) merelaksasi otot laring dan faring sehingga memudahkan

    intubasi. Guaifenesin juga memiliki efek analgesik dan sedatif ringan

    (Roach et al, 2011).

    d) Efek Samping Obat

    Menurut Bennet et al (2012), beberapa efek samping dari ekspektoran

    adalah :

    1) nausea

    2) vomitus

    3) uric acid nephrolithiasis

    4) diare atau konstipasi

    5) mulut kering

  • 46

    6) meningkatkan efek analgetik paracetamol

    7) peningkatan efek sedatif alkohol, tranquiliser, pil tidur, dan

    anestetik total

    8) peningkatan efek obat penurun tonus otot

    e) Kontra Indikasi

    Kontra indikasi bagi obat ekspektoran menurut Bennet (2012) antara

    lain sebagai berikut :

    1) infeksi saluran nafas bawah

    2) bayi baru lahir

    3) bayi prematur

    4) laktasi

    f) Sediaan

    Menurut Roach et al (2011) beberapa sediaan dan dosis yang dapat

    diterapkan bagi obat ekspektoran adalah :

    1) Guaifenesin memiliki rentang dosis 100-400 mg PO q4h untuk usia

    >12 tahun. Untuk anak usia 6-12 tahun dosisnya 100-200 mg PO

    q4h sedangkan usia 2-6 tahun 50-100 mg PO q4h.

    2) Kalium iodida memiliki rentang dosis 300-100 mg PO setelah

    makan

    3) Terpin hydrate memiliki rentang dosis 85-170 mg TID atau QID

    PO.

    5. Mukolitik

  • 47

    a) Mekanisme kerja

    Mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan benang-benang

    mukoprotein dan mukopolisakarida dari dahak. Sebagai hasil akhir dahak

    tidak lagi bersifat kental dan dengan begitu tidak dapat bertahan berada di

    tenggorokan lagi. Membuat saluran nafas bebas dari dahak (Hayes, 2012).

    b) Indikasi

    Untuk meringankan dan menghilangkan batuk berdahak (Hayes,

    2012)

    c) Farmakokinetik

    Mukolitik tersedia dalam bentuk tablet dan cair (syrup).

    d) Efek samping

    - Takikardia

    - Mulut kering

    - Gangguan saluran pencernaan

    - Retensi urine

    Contoh

    - Bromheksin

    - Ambroxol

    - Asetilsistein

    e) Efek samping obat dan kontraindikasi

  • 48

    Mual, muntah maka penderita tukak lambung harus waspada. Sebagai

    obat inhalasi zat ini menimbulkan bronchi pada penderita asma. Pada dosis

    tinggi menimbulkan reaksi anafilaktis dengan rash, gatal, edema, hipotensi

    dan bronkospasme (Hayes, 2012).

    f) Interaksi obat

    Menignkatkan antibiotika doksisiklin, amoxsisiklin, dan tiamfenikol

    (Fauzi, et al 2012).

    g) Dosis

    Oral : 3-6 dd 200mg atau 1-2 dd 600 mg granulat

    Anak-anak (2-7 thn) : 2 dd 200 mg

    Anak-anak (