bab iv makna hkm

Upload: granizo11

Post on 22-Jul-2015

180 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

84

ARTI DAN MAKNA PROGRAM HUTAN KEMASYARAKATAN mst Hutan bagi masyarakat mempunyai arti dan makna yang khusus, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya melihat hutan sebagai ssumberdaya potensial saja, melainkan memang merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal meraka. Bahkan ada sebagian masyarakat tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai spiritual, yakni percaya bahwa hutan atau komponen biotik dan abiotik yang ada di dalamnya sebagai obyek yang memiliki kekuatan dan/atau pesan supranatural yang patut mereka patuhi. Sebagai sumber pangan, masyarakat sekitar hutan mengelola lahan hutan dengan pola tradisional-sederhana shifting cultivation (perladangan berpindah). Peladang membuka hutan seluas sekitar 2 ha setiap KK untuk ditanami dengan tanaman pangan (palawija) selama 2-3 tahun, kemudian berpindah-pindah secara berputar dengan daur rotasi normal sekitar 15-20 tahun. Menurut para pakar arkeolog, sistem perladangan seperti ini sudah ada sejak 7000 tahun Sebelum Masehi. Sebagai sumber obat-obatan dan energi, masyarakat tradisional memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan liar yang hidup di hutan sebagai bahan obat- obatan dan bahan bakar. Bahan obat ini mereka peroleh dengan cara pemungutan langsung dari alam baik dengan kegiatan pengayaan maupun tanpa pengayaan.

Budidaya tanaman bahan jamu (kunyit) di kebun/tegalan secaratumpangsari dengan tanaman jati. Sumber: yoenempura.com/archive/2010/4

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

85

Dalam hal pemenuhan kebutuhan akan sandang, masyarakat sekitar hutan memiliki teknologi sederhana yang cukup arif dalam memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai bahan baku sandang. Dalam perkembangan peradaban selanjutnya, masyarakat tradisional tidak lagi menggantungkan sumber pangan, pakaian dan obat-obatan dari hutan secara langsung. Akan tetapi mereka menjadikan hutan sebagai sumber kegiatan ekonomi. Produkproduk hasil hutan yang mereka peroleh tidak lagi berorientasi kepada kebutuhan komsumsi mereka, melainkan juga diperdagangkan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Nilai ekonomis ini muncul dari kemampuan produk-produk hutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahan baku untuk sejumlah produk dagangan, maupun melalui perannya sebagai pengumpul bahan baku di dalam sistem yang lebih besar. Ada fenomena menarik yang perlu menjadi komitmen bersama berkaitan dengan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan. Aktivitas ekonomi masyarakat di dalam hutan yang sudah merupakan kegiatan turuntemurun dan menjadi sumber ketergantungan hidup selalu dicap sebagai sesuatu yang negatif. Sebutan liar selalu dilekatkan kepada kelompok masyarakat yang sudah terbiasa menggantungkan hidupnya dari mengelola lahan hutan untuk tanaman pangan dengan berladang. Kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi dengan mangumpulkan hasil hutan sebagai bahan baku untuk diperjualbelikan maupun untuk konsumsi sendiri selalu disebut dengan pencuri . Padahal mereka memang kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai pencari" kayu atau hasil hutan lainnya.

Tumpang Sari Jati dgn Padi Gogo (Usia panen 3 bulan, 1 ha menghasilkan 6 ton padi) Sumber: teak-investation.blogspot.com/20...sta.html

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

86

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN MASYARAKAT : WACANA ATAU PILIHAN?

BERBASIS

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSHBM) merupakan salah satu alternatif atau pilihan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang saat ini sedang mengalami keterpurukan, sebagai akibat akumulasi dari kesalahan kesalahan pengurusan dimasa lalu. Kesalahan dari pengelolaan dimasa lalu pada intinya adalah pada pengurusan yang sektoral dan sentralistik dan tidak patuh pada prinsip pengelolaan berkelanjutan yang secara jelas menekankan pada aspek ekonomi, ekologi dan equity (keadilan). Ketidakpatuhan tersebut juga memperlihatkan pada pengurusan yang mangkir terhadap amanah Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 yang memandatkan bahwa hutan sebagai sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pilihan sistem PSHBM ini diharapkan dapat memberikan alternatif ataupun mengganti sistem yang selama ini digunakan. Namun demikian bukanlah hal yang mudah dan dapat dipahami secara keseluruhan, baik oleh Pemerintah, Praktisi maupun oleh Masyarakat itu sendiri. Bagi kepentingan dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan, prasyarat utama yang tidak bisa ditawar lagi apalagi diperdebatkan adalah pilihan terhadap sistem pengelolaan yang dapat memenuhi aspek ekonomi, ekologi dan equity (triple e). Bangkitnya pilihan baru dalam pembangunan kehutanan juga adalah disebabkan oleh pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah, tidak cukup mampu memenuhi prasyarat utama tersebut, yang dibuktikan dengan adalanya de-forestrasi dan degradasi lingkungan serta dengan semakin banyaknya jumlah masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Model pengelolaan yang ada tidak mampu memperlihatkan keseimbangan triple e tersebut . Sehingga pertanyaan kritis pada konsep maupun praktik PSHBM adalah apakah berbasis masyarakat dapat memberikan jaminan bahwa triple e dapat dipenuhi oleh PSHBM?. Apapun argumentasinya (secara tradisionil maupun ilmiah), praktik-praktik PSHBM harus dapat menjawab pertanyaan kritis tersebut dengan memperlihatkan dan membuktikanya di lapangan. Berbasis Masyarakat ? Berbasis masyarakat dalam banyak istillah yang digunakan oleh banyak pihak yang selama ini mendorong akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, yaitu community forestry , social forestry, farm atau atau agro forestry, Kehutanan Masyarakat, Sistem Hutan Kerakyatan, Hutan Kemasyarakatan dan lain-lain. Pada intinya perbedaan

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

87

istilah semantik tersebut berpijak pada hal yang sama yaitu akses masyarakat secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Berbasis Masyarakat juga mengandung arti bahwa masyarakat dengan segala kemampuan yang ada mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Kata basis itu sendiri mengandung makna alas atau dasar, sehingga berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan mempunyai makna yang lebih mendalam dari hanya sekedar mewujudkan penyediaan hasil hutan bagi masyarakat atau melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, melainkan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama pengelolaan hutan, baik sebagai pengelola hutan yang diusahakan pada lahan milik, maupun lahan negara. Sehingga status penguasaan atas lahan menjadi sangat esensial dalam pengembangan kehutanan masyarakat. Berbasis masyarakat juga dapat dimaknai sebagai proses perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif dan metoda manajemen dari pengelolaan sumberdaya hutan. Tahapan yang diusulkan adalah 20 (dua puluh) langkah pergeseran yang diperlukan dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (kehutanan masyarakat) disajikan dalam Tabel 1. Pada awal social forestry diperkenalkan sebagai bentuk dari pemikiran berbasis masyarakat, sering mengacu kepada bentuk kehutanan Industrial (konvensional) yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada masyarakat. Sedangkan community forestry lebih menekankan bahwa kehutanan harus dikontrol oleh masyarakat lokal. Social Forestry umumnya digunakan sebagai istilah payung yang mencakup program-program dan kegiatan kehutanan yang sedikit atau banyak melibatkan peranan masyarakat atau rakyat lokal, atau dikembangkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Dalam hal ini status lahan (lahan umum atau lahan milik individu) dijadikan dasar untuk membedakan praktik social forestry yang beragam. Ada tiga strategi umum dalam social forestry, yaitu (a) community or communal forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif, dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan, maupun lahan negara; (b) farm forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh individu atau perorangan, dapat dilaksanakan pada lahan yang dikuasai oleh masyarakat secara kolektif, lahan milik perorangan maupun milik negara; dan (c) public managed forestry for local community development, yaitu hutan yang dikelola oleh negara untuk pembangunan masyrakat lokal yang dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan maupun lahan negara.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

88

Tabel 1. Pergeseran Konseptual yang di perlukan No: A 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. B 8. 9. 10. 11. 12. 13. Dari Menuju

SIKAP DAN ORIENTASI Pengendalian Dukungan/fasilitasi Penerima manfaat Mitra Pengguna Pengelola Pembuatan keputusan unilateral Partisipatif Orientasi penerimaan Orientasi sumberdaya Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal Diarahkan oleh rencana Proses belajar/evolusi INSTITUSIONAL dan ADMINISTRATIF Sentralisasi Desentralisasi Manajemen (perencanaan, Kemitraan pelaksanaan, monitoring) oleh Partisipatif/negosiatif Pemerintah Orientasi proses Top down Anggaran yang fleksibel dengan Orientasi target rencana mikro Anggaran kaku untuk rencana Penyelesaian konflik kerja besar Aturan-aturan untuk menghukum METODE MANAJEMEN Kaku Tujuan tunggal Keseragaman Produk tunggal Menu manajemen yang tetap dengan aturan silvicultur Tanaman Tenaga kerja/buruh/Pengumpul Fleksibel Tujuan ganda/beragam Keanekaragaman Produk beragam Beragam pilihan aturan silvicultur untuk spesifik lokasi Regenarasi alam Manager/pelaksanan/pemroses/pe masar

C 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20

Sumber : Campbell, 1997 Di Indonesia dikenal dengan Hutan Kemasyarakatan (HKM). Penggunaan kata community forstry, social foresrty dan partisipatory forestry

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

89

jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahan dan perkembangan pemikiran selanjutnya menunjukan kesamaan maksud yaitu menggeser paradigma pembangunan dari atas dan tersentralisasi menuju pembangunan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal, mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari perlindungan hutan terhadap gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat. PSHBM merupakan pendekatan yang berpusat pada masyarakat, disamping terdapat pula pendekatan-pendekatan lain seperti pendekatan berbasis pasar, berbasis negara/perwakilan, berbasis wilayah, berbasis sumber daya alam, berbasis pengentasan kemiskinan, atau pendekatan berbasis hak asasi. Hal penting dari setiap pendekatan berbasis masyarakat adalah menjawab hal-hal berikut: Prioritas siapa? 1. Tujuan apa dan Kepentingan apa? 2. Siapa pengambil keputusan? 3. Siapa yang diuntungkan dan Siapa yang dirugikan? 4. Bagaimana akses terhadap kekuasaan dan bagaimana mengukur akumulasi kekuasaan? 5. Apa hak-hak khusus, tanggung jawab, dan dukungan yang memberi sumbangan kepada pemerintahan internal? 6. Bagaimana cek dan balance secara internal dan eksternal? 7. Apabila terjadi sengketa, bagaimana cara pemecahannya? 8. Bagaimana akses, hak milik, keuntungan, hak dan tanggung jawab diatur? 9. Bagaimana kesetaraan dan keadilan dapat dilihat di dalam sistem? Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membantu dalam menganalisis institusi, norma, dan struktur tata kelola pemerintahan yang menggarisbawahi pendekatan yang beragam atau unit-unit analisis. Pengelolaan kehutanan di Indonesia selama ini berbasis pada produksi kayu dan berorientasi pada pasar ekspor. Dengan hanya berfokus pada sumberdaya alam tertentu saja mengakibatkan kita tidak dapat melihat celah-celah yang belum terjangkau, sebagai contoh adalah mangrove, karena sering kali berada di luar sektor tertentu. Demikian juga, berfokus semata-mata pada hak dan akses saja juga membuat kita tidak bersinggungan dengan isu-isu teknis dan keberlanjutan atau isu-isu pemerintahan. Pendekatan berbasis pasar dapat dengan mudah dipermainkan oleh harga pasar dunia yang berfluktuasi. Pendekatan berbasis wilayah bisa menjebak pada biaya transaksi untuk integrasi yang tinggi dan bisa mengganggu perkembangan daerah pedesaan yang memakan biaya koordinasi dan transaksi yang tinggi.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

90

Mengapa Berbasis Masyarakat? PSHBM menjadi salah satu strategi kunci dalam melihat permasalahan yang saling terkait antara kemiskinan daerah pedesaan, degradasi lingkungan dan pemerintahan yang demokratis. Ada suatu keyakinan bahwa cara terbaik dalam mengatasi tantangan ini adalah dengan mendorong inisiatif-inisiatif dari mereka yang tinggal dan bekerja paling dekat dengan dimana masalah tersebut berada. Selain itu, alasan atau asumsinya adalah apabila masyarakat lokal diberi peran dalam hal ketersediaan sumber daya di masa datang, mereka akan ikut melindunginya. Hal ini secara luas telah menjadi dasar pemikiran dari perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya pesisir, hutan, kehidupan liar dan pengelolaan air. Pendekatan yang berpusat pada masyarakat ini memiliki banyak daya tarik, khususnya apabila melihat kegagalan manajemen pada pemerintahan pusat atau manajemen yang menitikberatkan pada teknologi. Logikanya adalah, pembangunan berkelanjutan (terutama dengan sasaran konservasi sumber daya dan kehidupan masyarakat lokal) dapat dicapai apabila masyarakat turut serta dalam pengelolaan sumber daya. Selanjutnya, apabila masyarakat mengelola sumber daya dan mendapat keuntungan dari hal tersebut, masyarakat akan lebih berdaya dan kehidupan akan lebih demokratis, sehingga akan tercapai konservasi yang efektif dan keadilan sosial. Di berbagai penjuru dunia, alasan memilih metode pengelolaan berbasis masyarakat adalah: (a) kurangnya keampuhan dan ketidakberlanjutan secara ekonomi daripada metode konservasi yang menge-sampingkan masyarakat yang diwariskan dari masa kolonial; (b) pentingnya melindungi sumber daya alam dimana populasi masyarakat yang tinggal disekitarnya berada dalam proporsi besar; (c) kebutuhan untuk menyediakan insentif ekonomi kepada masyarakat lokal sehingga mereka dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan; (d) kelangsungan pengelolaan hak milik bersama; (e) adanya bukti-bukti kemanjuran pendekatan bottom-up terhadap pembangunan daerah pedesaan; dan (f) berfokus semata-mata pada hak dan akses saja juga membuat kita tidak bersinggungan dengan isu-isu teknis dan keberlanjutan atau isu-isu pemerintahan. Pendekatan berbasis pasar dapat dengan mudah dipermainkan oleh harga pasar dunia yang berfluktuasi. Pendekatan berbasis wilayah dapat

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

91

menjebak pada biaya transaksi yang tinggi dan dapat mengganggu perkembangan daerah pedesaan yang memakan biaya koordinasi dan transaksi yang tinggi.

Sumber: Diah Y. Raharjo dan Ujjwal Pradhan. 2008. Dari gambaran di atas memperlihatkan pilihan terhadap sistem pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat telah memiliki dasar ketentuan batas yang jelas di lapangan. Hasil kesimpulan dari studi kolaboratif FKKM terhadap beberapa pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjawab secara jelas mengapa berbasis masyarakat sangat layak dijadikan alternatif pengelolaan hutan di masa depan, yaitu : 1 1) Penguasaan dan pemanfaatan individual memperlihatkan orientasi pengelolaan yang komersial, sedangkan penguasaan dan pemanfaatan komunal lebih berorientasi subsisten. Namun terdapat indikasi bahwa penguasaan dan pemanfaatan individual sangat memperhatikan kepentingan masyarakat luas. 2 2) Kinerja pengelolaan hutan berbasis masyarakat menunjukan keberlanjutan yang relatif tinggi dan cukup dikenal secara luas, baik dari aspek ekonomi dan ekologi; 3 3) Struktur dan komposisi pengelolaan hutan berbasis masyarakat menunjukan bentuk agroforestry dengan beragam lapisan tajuk dan beragam jenis produk. Sehingga mempunyai pengaruh yang cukup positif terhadap aspek pemanfaatan secara komersial yang menjadi sumber ekonomi (utama) keluarga jangka panjang.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

92

4 4)

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat menunjukan kinerja yang sangat baik, tidak saja dalam pencapaian produktifitas dan efisiensi, tetapi juga dalam hal penjaminan keadilan dan berkerlanjutan.

Dari pengamatan terhadap praktik-praktik dan perdebatan wacana mengenai berbasis masyarakat dalam pengelolaan hutan, terdapat elemenelemen dalam tinjauan mengenai prakti-praktik PSHBM yaitu: 1 (1) Sedikitnya keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat lokal dibandingkan dengan yang diharapkan, sehingga insentif yang didapat juga lebih kecil terhadap konservasi keragaman hayati; 2 (2) Kurang adanya bukti tentang dampak positif terhadap keragaman hayati; 3 (3) Adanya asumsi yang naif mengenai hubungan dalam masyarakat pedalaman dan meremehkan kesulitan-kesulitan dalam proses pengambilan keputusan bersama; 4 (4) Masalah-masalah dalam mengembangkan institusi lokal yang kuat dan efektif; 5 (5) Kurangnya komitmen politik dalam pengambilan keputusan; 6 (6) Perebutan keuntungan oleh birokrat pada institusi menengah; dan 1 (7) Alasan bahwa konservasi keragaman hayati dan perkembangan daerah pedesaan adalah dua hal yang tidak sejalan. Masalah lainnya berkenaan dengan pendekatan yang terlalu sempit dalam pembangunan PSHBM dan kurangnya integrasi dengan programprogram yang lebih luas seperti pembaharuan lahan dan pertanian dan pembangunan ekonomi lokal. Program-program ini sering kali tidak mendapat perhatian yang cukup. Beberapa kritik mengatakan bahwa PSHBM gagal dalam mengantarkan gerak politik pada level yang bervariasi - lokal, nasional, regional dan internasional, dan bahwa menitikberatkan pada masyarakat adalah terlalu sempit. Secara khusus, pertanyaan apakah PSHMB dapat memberikan sumbangan terhadap perubahan ketidaksetaraan struktur yang diwariskan dari masa kolonial dan apartheid yang lalu, belum dapat ditentukan jawabannya secara memadai. Beberapa masalah muncul sebagai akibat dari kurang baiknya perencanaan program dan proyek, dan implementasinya yang tidak memadai. Kadangkala kelemahan berasal dari kurangnya komitmen dari organisasi yang bersangkutan. Bagaimanapun, beberapa masalah yang dihadapi sangat nyata dan tidak dapat diabaikan. Seperti rendahnya keuntungan yang didapat dari PSHBM dibandingkan mata pencaharian lain, dan perkembangan institusi dan

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

93

kapasitas pada tingkat masyarakat yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi berkaitan dengan pendekatan pembangunan daerah yang berkelanjutan tidak dapat disangkal. Perkembangan terbaru dalam hal pembaharuan lahan (land reform) telah menciptakan konteks baru untuk PSHBM dan belum jelas bagaimana keduanya dapat berhubungan. Akan ke mana PSHBM? Perkembangan PSHBM sedang melalui saat kritis dalam evolusinya, perdebatan wacana yang sangat tidak menguntungkan menjadikannya pada titik nadir kritis. Sangat penting bagi perwakilan atau individu yang terlibat dalam kebijakan dan implementasinya merespon kritik-kritik yang ditujukan kepada PSHBM dengan menganalisis dan memahami masalah dan tantangan yang ada, dan kemudian mengembangkan pendekatan, kebijakan dan program yang tepat untuk mengatasinya. Seperti yang -sudah, peneliti memegang peranan penting dalam menjernihkan isu-isu kunci dan membantu dalam mengevaluasi hasil, melalui investigasi dan analisis yang empiris dan teliti secara konseptual. Kontribusi para praktisi sangat penting dalam berbagi pengalaman mengenai apa yang berhasil di lapangan dan apa yang tidak. Singkatnya, suatu usaha yang koheren dan terkoordinasi sangat dibutuhkan untuk menilai kekuatan dan kelemahan pengelolaan sumber daya alam yang berpusat dan berbasis pada masyarakat dan untuk menggabungkan pelajaranpelajaran menjadi sebuah rencana untuk menghasilkan program dan proyek PSHBM generasi baru. Melihat program PSHBM yang luas dan menyebar, jelas bahwa komunikasi lintas sektoral dan pembelajaran sangat diperlukan. Begitu juga dengan kebutuhan akan analisis dan kebijakan yang saling berhubungan dengan sub-sektor yang terdapat dalam PSBMM (contohnya programprogram yang berbasis sumber daya alam seperti kehidupan liar, air, tanah hutan, perikanan, dsb.), juga sama pentingnya. Mungkin akan lebih baik jika tidak hanya berfokus pada masyarakat sebagai unit utama daripada analisis sosio-ekonomi dan institusional, tetapi mengarah pada pengembangan dan penggunaan sudut pandang analistis dan kebijakan terhadap konservasi dan pembangunan berkelanjutan pada skala yang bervariasi, termasuk masyarakat (dalam semua menifestasi variabelnya dan stratifikasi sosial di dalam masyarakat). Dasar pemikirannya adalah: (i) pertanyaan mengenai kegunaan masyarakat sebagai fokus tunggal dalam analisis dan intervensi dan manajemen, (ii) kebutuhan untuk secara jelas menganalisis faktor dan melakukan intervensi terhadap hubungan yang kompleks diantara kondisi, pelaku, dan institusi yang menjalankan dalam skala dari mikro-, individu, lokal, melalui bermacam-macam latar sosio-ekonomi, sampai pada makro-,

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

94

suatu sistem internasional dan global yang secara mendalam mempengaruhi strategi dan keputusan para pelaku pada tingkat lokal dan menengah. Dengan adanya desentralisasi dan pembaharuan agraria di Indonesia, dimungkinkan terjadinya konsolidasi dari NGO, jaringan kerja, organisasi masyarakat adat, akademisi dan aktivis, dengan kelompok petani hutan, ke arah suatu gerakan masyarakat berdasarkan advokasi, pembelajaran dan pengalaman mengenai isu-isu kesetaraan dan keuntungan serta pengambilan keputusan tentang kehutanan masyarakat. Isu-isu mengenai terjaminnya hak dan tanggung jawab serta keadilan lingkungan akan menjadi sangat penting. Ada kesadaran yang lebih besar bahwa pembaharuan sumber daya alam atau hutan dan penguatan institusi pengelolaan hutan sangat bergantung justru pada faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan sektor tersebut. Demikian juga, ada batasan atau kelemahan mengenai basis-masyarakat apabila orang beranggapan bahwa semua perubahan dapat dihasilkan dari dalam. Penting untuk memahami konteks di mana sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat ditanamkan. Hubungan antara pembelajaran dan pengalaman dari wilayah pilot dapat memberi sumbangan bagi kebutuhan akan pengetahuan untuk mengadakan pembaharuan kebijakan dan praktek dalam meningkatkan kehutanan masyarakat. Pemahaman yang baik bahwa network dan institusi dapat digunakan sebagai alat kekuasaan untuk memperbesar kekayaan sendiri, menyebabkan pentingnya mendukung pemerintahan internal yang baik dan menyampaikan isu-isu keragaman, kesetaraan dan keadilan. Salah satu masalah penting adalah bahwa apabila terdapat kesetaraan, pembaharuan sumberdaya, dan peningkatan mata pencaharian yang berbasis masyarakat; kita perlu memahami bahwa masih ada keterbatasanketerbatasan sistem tersebut dan memerlukan cek dan balance, dan tidak menjadikan konsep ini sebagai solusi dari semua permasalahan. Apa yang harus dipersiapkan? Makna berbasis masyarakat adalah proses pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, untuk menggeser perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen; oleh karenanya perlu dipersiapkan praktik-praktik pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Adat, Sistem Hutan Kerakyatan, system pengelolaan lokal maupun sosial forestry. Beberapa hal yang harus disiapkan adalah : 1 1. Kepastian wilayah kelola jangka panjang. Kepastian wilayah kelola berkaitan dengan lahan dan akses masyarakat pada kawasan yang saat ini dinyatakan sebagai Hutan Negara, serta status dan fungsi lahan dan atau kawasan. Kepastian wilayah kelola yang

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

95

dimaksud bukan membagi-bagikan kepemilikan lahan (owneship) tapi lebih pada kepastian akses pengelolaan jangka panjang. Persoalan kepastian kelola sampai saat ini belum dituntaskan oleh Pemerintah, seperti bentuk-bentuk pengelolaan oleh masyarakat yang diamanahkan dalam UU 41 Tahun 1999. 2. Kelembagaan unit usaha PSHBM. Kelembagaan unit usaha menjadi sangat penting sebagai alat bukti bahwa PSHBM dapat mempunyai aturan main yang jelas dan dapat membangun mekanisme pertanggung-jawaban atas hak kelola yang diberikan. Aspek ini menjadi prasyarat yang harus dikembangkan berdasarkan kelembagaan lokal dari praktik-praktik pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Kejelasan tata kelola hak, kewajiban dan tanggung-jawab serta insentif dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, menjadi dasar pengembagan kapasitas kelembagaan unit usaha PSHBM. 1 3. Kepastian unit usaha PSHBM sebagai bentuk pengelolaan. Kepastian unit usaha berkaitan dengan skim ekonomi dimana modal, pengetahuan lokal, akses informasi, pengembangan komoditi, dan pasar menjadi substansi dasar dalam praktik PSHBM di lapangan. Kepastian unit usaha digunakan juga sebagai instrument dalam memlakukan mandate usaha ekonomi yang layak untuk dikelola dan memberikan kepastian hasil dan peningkatan ekonomi masyarakat. 2 4. Kapasitas sumberdaya manusia. Dalam pengembangan PSHBM maka sumberdaya manusia pengelola dan pendamping teknis menjadi kebutuhan yang kuat, baik dari skill praktik praktik ekonomi, ekologi maupun equity (dalam pembagian resiko dan manfaat). Persiapan dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia adalah prasyarat mutlak karena pengelolaan berbasis masyarakat saat ini sudah tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat tetapi lebih besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3 5. Mekanisme penyelesaian sengketa lahan dan sosial dalam memberikan kepastian dan perlindungan hak pengelolaan dan unit usaha kelola. Penyelesaiakan sengketa yang berkaitan dengan akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dapat dijadikan isntrument untuk melakukan tahapan pergeseran perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen 4 6. Kebijakan yang mendorong dan melindungi kepastian hak dan insentif pengelolaan jangka panjang. pengelolaan dan unit usaha kelola dari PSHBM jangka panjang. PSHBM juga dihadapkan pada

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

96

kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan mengemban amanah untuk memperbaiki dari kerusakan kerusakan yang telah terjadi . Hutan Kemasyarakatan Pada awal dekade 90-an berkembanglah sutau sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan kepentingan peningkatan kelestarian fungsi hutan dan kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan atau yang dikenal dengan hutan kemasyarakatan. Konsep dasar yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan (Departemen Kehutanan, 1996). Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies). Hutan kemasyarakatan menurut Departemen Kehutanan (1996) adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi hutan. Reformasi dalam bidang kehutanan menyempurnakan konsepsi tentang hutan kemasyarakatan dengan memfokuskan kegiatan pada kawasan hutan negara (bukan hutan rakyat). Hutan kemasyarakatan dirumuskan berdasarkan Kepmenhutbun No. 677/Kpts-II/1998 sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan pada kepentingan menyejahterakan masyarakat. Prinsip-prinsip yang dikembangkan lebih berpihak lagi kepada masyarakat, yakni: 1) Masyarakat sebagai pelaku utama, 2) Masyarakat sebagai pengambil keputusan, 3) Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh pengambil keputusan, 4) Kepastian hak dan kewajiban semua pihak, 5) Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau program, 6) Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya (Dephutbun, 1999).

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

97

Secara teoritis konsep ini sudah mengarah kepada pola yang konstruktif, yakni menempatkan rakyat sebagai pelaku secara intrasistemik dalam kegiatan pengelolaan hutan. Hanya saja konsep ini belum terealisir dalam level operasional dan terbukti secara teknis mampu menjamin terwujudnya prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan. Konversi hutan oleh peladang berpindah memang merupakan masalah. Secara ekologis sistem perladangan tersebut secara drastis menurunkan kualitas daya dukung lingkungan dari lahan hutan. Perburuan oleh masyarakat tradisional juga bisa merupakan ancaman bagi kelestarian jenis-jenis satwa tertentu yang kelimpahannya dibawah kemampuan daya dukung lingkungan (carring capacity). Begitu juga pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu oleh masyarakat dalam skala tertentu juga merupakan ancaman bagi kelestarian. Akan tetapi penghentian aktivitas-aktivitas ekonomi masyarakat dalam dan sekitar hutan tersebut menimbulkan masalah baru, yaitu dari mana mata pencaharian mereka selanjutnya. Pengurangan peran masyarakat tradisional dalam kegiatan pengelolaan hutan berarti memutuskan sumber kehidupan mereka. Di sisi lain, sistem pengelolaah hutan yang berlaku selama ini banyak disorot karena memiliki banyak kelemahan, terutama berkaitan dengan kontribusinya terhadap negara dan masyarakat. Dari aspek finansial, nilai investasi HPH hanya sekitar 1 % dari pendapatan tahunannya, sehingga HPH dijuluki sebagai free rider (penunggang gratis). Apabila digunakan kriteria kelayakan dengan tingkat suku bunga riil sebesar 11 %, secara finansial pengusahaan hutan tergolong layak dengan nilai IRR sekitar 40. Akan tetapi dalam kenyataannya biaya operasional pengusahaan hutan naik sebesar ratarata 40 % sehingga nilai IRR turun menjadi sekitar kurang 10%. Secara normal kondisi ini sama sekali tidak menguntungkan swasta, sehingga memicu pengusaha untuk melakukan penebangan ilegal di luar areal penebangan yang di sahkan dan/atau di kawasan untuk penggunaan lain. Hal ini terbukti dari laju berkurangnya primary forest (PF) pada areal yang seharusnya tidak ditebang sebesar rata-rata 2.5 % per tahun dan luas areal yang sudah ditebang rata-rata mencapai 140 % dari luas yang seharusnya diperbolehkan. Secara kelembagaan, ketidak-pastian status kepemilikan dan jangka waktu pengelolaan sering disinggung sebagai penyebab yang mendorong eksploitasi hutan. Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam polapola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

98

masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut Departemen Kehutanan (1999) dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral, silvofishery, sericulture, dll), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri. Dari aspek ekologis maupun produktivitas lahan diharapkan hutan kemasyarakatan merupakan alternatif yang lebih baik, karena banyak penelitian yang membuktikan bahwa persaingan antara tanaman hutan/perkebunan dengan tanaman palawija lebih menguntungkan dibandingkan dengan persaingan dengan alang-alang. Sepanjang penanaman tanaman pangan di lahan hutan dan kebun untuk produksi pangan harus tidak menggangu fungsi hutan sehingga sesuai dengan salah satu kesepakatan Quebec 1997 yaitu pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) yang menjamin kelestarian lingkungan hidup termasuk air. Program hutan kemasyarakatan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Tujuan ini mencerminkan pengelolaan HKm oleh masyarakat tidak sebatas untuk peningkatan ekonomi tetapi tetap memperhatikan aspek konservasi untuk mendukung kelestarian kawasan hutan secara berkelanjutan. Hutan Kemasyarakatan (HKM) mengandung makna suatu proses perubahan yang mengarah kepada keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam pengelolaan hutan. Sebagai suatu proses, konsep HKM juga tidak memiliki sebuah sistem atau definisi yang baku, tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan, kondisi masyarakat dan sistem sosial ekonomi, serta kesepakatan-kesepakatan di antara pihak-pihak yang terlibat. Oleh sebab itu, sering terjadi perbedaan pola pelaksanaannya di berbagai daerah sesuai dengan evolusi sistem sosial, ekonomi dan politik setempat. Misalnya di suatu lokasi, harus melalui berbagai proses dan tahapan HKM sebelum sampai pada sistem yang ada sekarang. Sistem sekarangpun sedang dalam proses perubahan untuk mengakomodasi berbagai perubahan sistem sosial ekonomi masyarakat.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

99

Pada proses pelaksanaan program, interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan, dapat mempengaruhi pandangan hidupnya dan melahirkan citra atau pemahaman tentang sumberdaya hutan. Dengan mengamati lingkungan hidupnya, belajar dari pengalaman interaksi dengan lingkungannya, akan melahirkan citra tentang lingkungan; yaitu gambaran tentang sifat lingkungan, pengaruhnya terhadap dirinya dan reaksi lingkungan terhadap aktivitas hidupnya. Makna program HKm yakni citra yang terbangun dalam komunitas masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Sesaot dalam memandang program HKm. Citra tersebut terkait dengan pengetahuan, penilaian dan pemahaman masyarakat terkait fungsi konservasi dan fungsi ekonomi secara terintegrasi dalam satuan areal kelola lahan maupun dalam satuan kawasan hutan. Citra atau pemahaman masyarakat dalam memaknai program HKm dapat mendukung tujuan program HKm ataukah sebaliknya. Dalam proses wawancara, masing-masing informan memiliki pemaknaan dan ungkapan yang beragam dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Namun demikian, maksud yang disampaikan secara substansi tidak berbeda. Pada sub bahasan ini, disajikan pemahaman masyarakat mengenai makna program HKm dan pemahaman mengenai makna konservasi. Makna Program HKm Hutan Kemasyarakatan menurut Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 adalah hutan negara yang utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kebijakan ini ditujukan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan berazaskan kelestarian fungsi hutan dari aspek ekosistem, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik serta kepastian hukum. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan program HKM adalah keinginan untuk ikut serta dalam kegiatan HKM datang dari masyarakat tanpa ada unsur paksaan. Dalam pelaksanaan program, sangat ditekankan rasa pemilikan oleh kelompok masyarakat terhadap program HKM yang mereka ikuti. Implikasinya adalah dalam program ini masyarakat tidak mendapat

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

100

bayaran dari pihak manapun tetapi partisipasi yang dilakukan bersifat sukarela. Keuntungan yang diperoleh masyarakat dengan mengikuti program HKM adalah mereka mendapat akses secara legal atas lahan hutan negara, selain tentu saja mendapat bantuan teknis dan sedikit subsidi dalam hal penyiapan bibit tanaman. Selain itu semua keuntungan ekonomi dan ekologi di masa yang akan datang akan manjadi milik peserta HKM. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutan No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan, disebutkan bahwa hasil hutan dari hutan kemasyarakatan adalah komoditi hasil hutan bukan kayu. Menurut Departemen Kehutanan (1999), hasil komoditi bisa berupa kayu dan non kayu, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan. Komoditi kayu sudah jelas merupakan komiditi yang sangat prospektif, terutama jenis-jenis kayu lunak yang umumnya banyak diproduksi dari kegiatan hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat seperti sengon (Paraserianthes falcataria) dan Pinus (Pinus spp). Hasil hutan non kayu yang dimungkinkan biasanya berupa komoditi pangan, sumber energi, bahan baku obat-obatan dan kosmetik, bahan baku pakaian, kerajinan, satwa dan lain-laian termasuk komoditi pariwisata alam. Untuk komoditi pangan, dari hasil perhitungan kasar dari 52 juta ha hutan yang kita kelola dapat menghasilkan selain kayu juga pangan sebanyak 1.560.000 ton per tahun. Dengan potensi ini apabila dapat diwujudkan kiranya Indonesia suatu saat justru dapat menjadi pusat cadangan pangan dunia. Beberapa contoh tanaman pangan nasional non padi yang direkomendasikan untuk diprioritaskan dalam kegiatan hutan kemasyarakatan melalui program Hutan Cadangan Pangan antara lain ubi kayu/cassava roots (Manihot utilissima), garut/arrowrot (Maranta arundinacea), Ganyong/a tuber (Canna edulis), sukun (Artocarpus communis), Ubi jalar/sweet potato (Ipomoea batatas), jagung/maize (Zea mays), Kacang tanah/peanuts (Arachis hypogea), Kedelai/soybean (Glycine max), Talas komoditi tanaman pangan tersebut merupakan sumber kalori dan gizi yang tinggi dan sangat dibutuhkan pagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Untuk mencapai hal ini pengembangan program Hutan Cadangan pangan hendaknya bukan sekedar proyek mercusuar belaka. Secara ekonomis, usaha tani komoditi-komoditi tersebut pun memiliki tingkat keuntungan yang tinggi. Komoditi hutan kemasyarakatan non pangan juga memiliki prospek yang sangat bagus. Komoditi rotan misalnya, FAO dan Dephut (1990)

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

101

memproyeksikan produksi rotan Indonesia pada tahun 2000 mencapai 170.464 ton. Komoditi hasil hutan kemasyarakatan non pangan umumnya merupakan bahan baku kegiatan industri hilir padat karya, sehingga memiliki multiplier efect yang tinggi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah dan kecil. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa program HKm sebagai kesempatan untuk memperoleh hak kelola lahan di dalam kawasan hutan untuk mendapatkan manfaat ekonomi bagi peningkatan kesejahteraannya; sedangkan aspek konservasi hutan cenderung diabaikan. Salah seorang tokoh masyarakat lokal yang memberikan pendapatnya adalah Darwite seorang tokoh masyarakat yang saat ini menjadi pemangku awig-awig (penegak aturan) dan menjadi ketua ketua kelompok tani HKm. Menurutnya, program HKm dapat dijadikan kesempatan untuk memperoleh lahan di dalam kawasan hutan sebagai sumber penghidupan keluarga, juga menjadi harapan keberlangsungan hidup sampai anak cucu dari generasi ke generasi. Baginya penguasaan lahan di dalam kawasan hutan atas izin dari Dinas Kehutanan, dapat memberikan keleluasaan untuk mengatur pola tanam dan jenis-jenis tanaman yang dapat memberikan manfaat ekonomi baginya. Ketua Forum Kawasan memandang bahwa program HKm merupakan bentuk kompromi kebijakan pemerintah dengan kemauan masyarakat dalam perbaikan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Ditanyakan lebih lanjut pendapat secara pribadi mengenai program HKm, ia kemudian menyampaikan bahwa ; saya jujur saja bahwa, konsep saya tentang HKm ini pada awalnya bagaimana menjawab persoalan ekonomi masyarakat, itu saja yang dulu, jadi kami tidak berpikir tentang hal-hal lain. Kenapa saya berpikir demikian, karena orang-orang Sesaot ini sebagian besar miskin, termasuk saya. Jadi untuk menjawab persoalan itu, saya melihat sebatas untuk menjawab persoalan ekonomi, sehingga pola tanam lebih mengedepankan tanaman yang bernilai ekonomi, sedangkan konservasi memang kita tinggalkan. Demikian pula masyarakat lainnya, mereka hanya berpikir bagaimana memperoleh hasil dari lahan HKm, yang laku dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan untuk membiayai pendidikan anaknya, termasuk untuk konsumsi sendiri. Ke dua untuk menjawab agar kawasan tidak terganggu oleh masyarakat adalah bagaimana kami bisa mendapatkan kesejahteraan

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

102

dari model pengelolaan HKm. Jika kami sudah sejahtera, secara otomatis kawasan ini tidak akan diganggu lagi. Pola tanamnya adalah menanam tanaman yang dapat memberikan hasil secara kontinyu dan jangka pendek. Contoh ketika pembukaan lahan kita tanam cabe, berproduksinya cepat dan dengan meniadakan tanaman kayu yang disuruh oleh Dinas Kehutanan. Tata kelola lahan murni tanaman yang memberikan nilai ekonomi termasuk tanaman pohon ada buahnya. Sejumlah informan lainnya juga berpendapat yang sama bahwa program HKm dilihat untuk mendapatkan hak penguasaan lahan di dalam kawasan hutan untuk memperoleh manfaat ekonomi sebesar-besarmya. Konteks orientasi ekonomi yang dimaksud yakni jumlah produksi (hasil panen) dari beberapa jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh pendapatan (nilai jual) untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan termasuk membeli perlengkapan rumah tangga. Untuk mendapatkan produksi yang dimaksud dilakukan dengan mengatur pola tanam dengan cara memperbanyak jenis-jenis tanaman yang dapat memberikan hasil atau yang dapat dipanen dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Tanaman yang dapat berproduksi jangka pendek seperti tanaman pisang direncanakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pertimbangannya, usia berbuahnya pendek dan dapat dipanen berkali-kali karena banyak tumbuh anakannya. Tanaman jangka menengah seperti buah-buahan dapat dipanen musiman dua kali setahun. Tanaman jangka panjang cukup penting bagi petani dan dapat ditinggalkan untuk diambil manfaat oleh anak cucu. Dengan pengaturan pola tanam tersebut masyarakat berharap akan memperoleh kesejahteraan dan meninggalkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan kelak oleh keturunannya. Sejumlah informan juga menyadari bahwa sudah ada perjanjian antara masyarakat dengan Dinas Kehutanan tentang komposisi tanam di areal kelola dengan perbandingan 70 % tanaman MPTS (buah-buahan) dan 30 % tanaman kayu. Dengan perbandingan tersebut sudah diperhitungkan jarak tanaman kayu 6 x 6 meter sehingga ada ruang untuk tanaman MPTS diantara tanaman kayu tersebut. Namun demikian, perjanjian tersebut umumnya sengaja dilanggar. Seperti diungkapkan oleh informan: praktek di lapangan tidak demikian, bisa 80 % bahkan 100 tanaman MPTS, dan tanaman sela. Dari pihak kehutanan seringkali menegur dengan kata mana bukti implementasi perjanjian anda menanam 30 % tanaman kayu. Dari pihak masyarakat hanya menjawab, karena areal kelola oleh masyarakat terlalu minim,

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

103

jika menanam satu batang kayu saja bisa mempengaruhi pertumbuhan tanaman MPTS maupun tanam semusim bahkan akan membunuh tanaman produktif. Contoh yang sudah dilakukan oleh masyarakat yakni pemerintah menganjurkan tanaman kayu mahoni. Jenis kayu tersebut jika ditanam di sekitar tanaman MPTS maka sulit akan berproduksi, karena akan menaungi tanaman lain dan kalah dalam menyerap unsur hara. Contoh lain yang pernah dikembangkan adalah tanaman gaharu, tetapi masyarakat tidak dapat mengikuti perlakuan yang harus diberikan seperti disuntik dan perlakuan lainnya. Akibatnya masyarakat merasa tidak cocok dengan tanaman tersebut, sehingga dicabut. Untuk menjembatani agar masyarakat tidak mengedepankan tanaman MPTS dan tanaman sela seperti pisang, maka pohon yang perlu direkomendasikan adalaj jenis-jenis yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi tanaman produktif. Hal itu juga diungkapkan oleh Ahmad Muliadi selaku ketua Forum Kawasan. Ia mengungkapkan bahwa; . saat ini kita sedang mendorong bagaimana supaya tanaman coklat dimasukan sebagai tanaman dominan di lahan HKm. Hal itu untuk mendorong petani kita menanam kayu sengon. Bahkan kita biarkan masyarakat menebang tanaman kopi yang kurang produktif dan diganti dengan tanaman coklat. Tanaman coklat membutuhkan naungan yang cukup dan kayu Sengon cocok sebagai naungannya. Dengan begitu agar tanaman coklat berhasil maka masyarakat mau tidak mau harus menanam kayu sengon. Namun demikian, ide ini masih baru dimulai. Ada beberapa masyarakat sudah berhasil menanam kayu sengon, namun terkendala karena pencurian. Ketika dicuri tanaman coklatnya rusak, sehingga ide tersebut masih belum banyak diterapkan. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai program HKm dimaknai sebagai kesempatan untuk mendapatkan hak kelola lahan di dalam kawasan hutan. Tujuannya yakni (i) sebagai sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi dan jangka panjang; (ii) sebagai investasi keluarga untuk mendapatkan manfaat jangka pendek, jangka menengah jangka panjang dan (iii) lahan HKm agar dapat diwariskan kepada keturunannya. Dengan pemahaman tersebut maka semua upaya yang dilakukan berusaha untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari luasan lahan yang dikelola. Akibatnya, masyarakat cenderung berprilaku mengeksploitatif

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

104

terhadap sumberdaya hutan. Hal seperti ini juga terjadi di tempat lain, di sekitar hutan Gunung Betung, Lampung Selatan, pada kelompok pengelola dan pelestarian hutan. Warga masyarakat menganggap bahwa sumberdaya hutan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, mereka cenderung berperilaku eksploitatif terhadap sumberdaya hutan; masyarakat hanya memanfaatkan hutan untuk diambil hasilnya. Makna Konservasi Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat sebenarnya tidak mengenal istilah konservasi namun karena sering mengikuti pertemuanpertemuan yang diadakan oleh pemerintah dan beberapa LSM, kemudian masyarakat mengenal istilah tersebut. Namun demikian, pemahaman masyarakat tentang konservasi adalah disuruh menanam pohon-kayu. Sebenarnya masyarakat sudah mempraktekkan konservasi sejak dahulu dengan cara menanam tanaman kayu di lahan yang miring. Alasannya agar tanah yang miring tidak longsor dan tanahnya tidak hilang terbawa aliran air hujan pada saat musim hujan. Artinya masyarakat sebenarnya sudah menerapkan konsep-konsep konservasi. Perlakuan di lahan kelola juga menggunakan model konservasi, karena jika di lahan kelola ada lahan yang miring biasanya juga ditanami kayu. Pemahaman masyarakat mengenai makna konservasi disampaikan oleh I Wayan Suandi, ketua kelompok tani: .dengan tidak ada longsor, kemudian tidak ada banjir dan masih ada beberapa tanaman kayu berarti konservasi sudah berhasil. Pendapat berbeda juga disampaikan oleh Darwite. Ia menjelaskan: yang penting di atas tanah tutupannya rindang dan permukaan tanah tertutupi tapi tidak terlalu padat. Seperti pohon durian dan rambutan cabangnya lebar dan daunnya rimbun berarti memiliki konservasi bagus. Pendapat yang lebih luas disampaikan oleh Ahmad Muliadi. Ia mengungkapkan: . sebenarnya jika kita membandingkan tutupan vegetasi dulu sebelum program HKm dengan sekarang setelah adanya program HKm, tutupan vegetasi kawasan hutan lebih bagus. Artinya konservasi sudah berhasil. Jika kita mengambil pengertian konservasi seperti yang dibicarakan pada forum-forum diskusi, maka konservasi hanya dilihat dari percampuran tanaman antara tanaman kayu, tanaman buah, tanaman

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

105

dibawah tegakan dan tanaman penutup tanah. Bagi saya belum tentu juga dengan tanaman kayu yang homogen akan menjamin konservasi lebih baik, tetapi perlu ada beberapa strata tanaman dalam lahan tersebut. Ketika terjadi hujan, airnya tidak langsung jatuh ke tanah tetapi ditahan oleh tanaman kayu (strata satu) kemudian jatuh dan ditahan oleh tanaman buah-buahan (strata II), jatuh lagi kemudian ditahan oleh tanaman dibawah tegakan dan terakhir air hujan diterima oleh tanaman penutup tanah sehingga jatuhnya air tidak sebagian besar langsung jatuh dari pohon kayu yang cukup tinggi langsung ke tanah. Lebih disampaikan bahwa selama ini pemerintah memandang hutan hanya tanaman kayu tetapi tidak melihat hutan sebagai rantai nilai ekonomi dan konservasi. Sebagai contoh pohon durian tidak dianggap pohon kayu dan tidak bernilai konservasi, tapi jika dilihat dari fisik pohonnya, batangnya cukup besar dan perakarannya cukup dalam sama seperti pohon jenis Albasia (Pteospermum javanicum), tapi pihak kehutanan tetap saja tidak dianggap bernilai konservasi. Meski demikian sebagian besar masyarakat tetap beranggapan asal ada tanaman yang memiliki batang berarti kayu dan bernilai konservasi. Pendapat tersebut dipertegas oleh Darwite dengan mencontohkan : . pohon durian tidak dianggap pohon kayu dan tidak bernilai konservasi, tapi jika dilihat dari fisik pohonnya, batangnya cukup besar dan perakarannya cukup dalam sama seperti kayu jenis albasia, tapi pihak kehutanan tetap saja tidak dianggap bernilai konservasi. Jika pihak Dinas Kehutanan mengecek lahan dan ditemukan 10 pohon kayu sengon di luasan 0,20 ha maka dianggap bagus dan konservasi berhasil. Tetapi, jika menemukan tanaman durian pada lahan 0,20 ha, lebih dari 10 batang atau kepadatan tanaman lebih rapat tetap saja dianggap tidak memiliki nilai konservasi. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa, pemaknaan mengenai keberhasilan konservasi oleh masyarakat ditunjukan melalui simbol-simbol seperti kerapatan vegetasi untuk mencegah erosi tanah akibat aliran permukaan (surface run of), kanopi tanaman yang rindang untuk mencegah tumbukan air hujan yang langsung ke tanah, tidak adanya banjir dan kejadian tanah longsor. Pemaknaan masyarakat dalam kaitannya dengan kelestarian hutan melalui idiom hutan lestari masyarakat sejahtera sudah diketahui oleh semua informan. Pada saat wawancara, diketahui bahwa salah satu indikator kelestarian hutan yang disampaikan oleh masyarakat yakni ketersediaan debit

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

106

air baik debit mata air maupun debit sungai. Seperti yang diungkapkan oleh informan dulu sebelum tahun 2000-an kondisi vegetasi di kawasan hulu cukup baik sehingga air sungai di sana (sambil menunjuk ke arah sungai) cukup besar dan debit mata air Ranget yang dijadikan sumber air minum untuk PDAM tidak pernah berkurang. Tetapi sejak kerusakan hutan sekitar antara tahun 2000 sampai 2002 debit air berkurang. Kemudian ada upaya untuk perbaikan lahan, tujuannya untuk mengembalikan ketersediaan debit air. Karena kawasan ini sebagai daerah tangkapan air. Kemudian sekitar tahun 2006 kawasan hutan di atas sana banyak yang gundul, pohon-pohonnya banyak yang dicuri. Debit air kemudian berkurang lagi. Tetapi untuk mengembalikan vegetasi seperti dulu sangat sulit, karena tingkat ketergantungan masyarakat dulu dengan sekarang berbeda, ungkapnya. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya pemahaman masyarakat tentang hubungan antara intervensi masyarakat dengan kondisi sumberdaya alam bersifat fungsional dan menjadi satu kesatuan sosio-biofisik, sebagai bentuk cara pandang imanen atau holistik. Ketika simbol-simbol tersebut telah berubah atau rusak maka simbol tersebut tidak dapat memberikan fungsi sebagaimana pemahaman sebelumnya. Namun demikian, tidak semua pengetahuan yang baik dapat melahirkan tindakan yang baik. Hal itu dapat terjadi ketika masyarakat dalam posisi harus mengambil keputusan dalam kondisi keterdesakan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek ataukah mempertahankan simbol-simbol yang dipahami. Perilaku pengerusakan hutan di dalam kawasan hutan lindung Sesaot masih ditemukan melalui tindakan-tindakan perambahan dan pencurian kayu di dalam dan di luar kawasan hutan. Indikasi lainnya yakni hasil penelitian WWF Nusa Tenggara Tahun 2002 menunjukan bahwa telah terjadi penurunan debit sungai Aik Nyet, di Desa Sesaot pada kurun waktu enam tahun (1996 2002) sebesar 18,32 m3/detik. Menurut Oka Ngakan et al. (2006), ketergantungan, persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap sumberdaya hayati hutan di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, merupakan sebagian dari indikator untuk menilai adanya kearifan lokal di masyarakat. Para peneliti sering menetapkan bahwa suatu masyarakat lokal itu arif hanya dari adanya istilah-istilah tertentu dalam bahasa lokal, misalnya ada istilah yang berarti hutan keramat, semak belukar, padang rumput, bekas ladang, pohon, perdu, anakan pohon, musim buah, musim burung kawin, musim mencari

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

107

madu dan banyak lagi yang lainnya, tanpa menganalisis secara mendalam apa makna dari istilah tersebut. Semua masyarakat yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi memiliki istilah-istilah tertentu untuk menyatakan benda-benda yang ada di lingkungannya. Adanya istilah-istilah yang berkaitan dengan lingkungan tempat tinggal mereka bukan jaminan masyarakat tersebut arif dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Hal itu memberikan pelajaran bahwa jangankan hanya sekedar istilah dalam bahasa-lokal, persepsi yang baik sekalipun tidak menjamin adanya partisipasi positif, dengan kata lain tidak menjamin adanya kearifan dalam memanfaatkan sumberdaya. Pemaknaan masyarakat mengenai program HKm yang disajikan di atas, kadangkala dapat berbeda dengan pemaknaan konservasi oleh Dinas Kehutanan. Pihak Dinas Kehutanan memberikan alokasi 30% tanaman kayu (tanaman keras) untuk ditanam di lahan HKm, namun kenyataannya sebagian besar masyarakat tidak melaksanakan kesepakatan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang masih memelihara tanaman kayu sebagai strata I dan hampir tidak ada masyarakat yang menerapkan komposisi tanam 30 % tanaman kayu di lahan kelola. Perbedaan pemaknaan terletak pada percampuran tanaman dengan menyertakan penanaman pohon sebagai strata I. Dinas Kehutanan memahami, model agroforestry yang dikembangkan mengharuskan penanaman pohon (jenis tegakan kayu hutan) sebagai strata I untuk mendukung fungsi konservasi lahan. Sedangkan masyarakat memandang untuk mendukung fungsi konservasi, penanaman pohon dapat digantikan dengan tanaman yang secara fisik, batangnya besar, perakaran dalam atau lebar, percabangan atau kanopi yang lebar seperti tanaman durian, juga dengan memperhatikan densitas atau kerapatan tanaman. Konteks perbedaan makna tentang konservasi tersebut didasari oleh perbedaan dalam memaknai terminologi pohon atau kayu. Pihak Dinas Kehutanan sesuai dengan misi kehutanan, memaknai penanaman pohon yakni tanaman yang tidak produktif (jenis tegakan kayu hutan) dan beberapa jenis tanaman produktif yang tumbuh secara alami yang direkomendasikan oleh pihak Dinas Kehutanan. Makna tersebut tunjukan dengan simbol-simbol seperti batang berkayu (keras), diameter pohon besar, ukurannya tinggi, kanopi lebar, perakaran kuat dan dalam, seperti mahoni (Swetinia mahagoni), sengon (Paraserianthes falcataria), albasia (Pteospermum javanicum), klokos (Eugenia Spp), dan sebagian tanaman dapat berproduksi namun jenis tertentu saja yang selama ini tumbuh secara alami seperti kesambi (Seleichera oleosa), ketimus (Protium javanicum burn), kemiri (Aleurites moluccana), kepundung dan beberapa jenis alami lainnya. Dengan demikian, kombinasi tanaman kayu di antara tanaman MPTS dan tanaman lainnya sebagai bentuk

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

108

penegasan bahwa kawasan tersebut sebagai kawasan hutan. Dalam kaitan dengan program HKm, sebagai wujud pengintegrasian fungsi konservasi dengan fungsi ekonomi. Sedangkan tanaman durian dan rambutan lebih tepat dikatakan tanaman perkebunan. Masyarakat memaknai kayu sebagai pohon. Kayu atau pohon bagi masyarakat dimaknai berdasarkan fungsi ekonomi dan konservasi. Kayu atau pohon ditunjukan berdasarkan simbol-simbol yakni memiliki batang (keras), kanopi lebar, perakaran kuat dan dalam, ukuran tinggi, serta dapat menghasilkan buah yang bernilai ekonomi. Tanaman tersebut antara lain nangka (Arthocarpus integra), durian (Durio zybetinus), rambutan, dan beberapa jenis lainnya. Semua simbol-simbol tersebut memiliki nilai konservasi. Bagi masyarakat, tidak sebatas penanaman pohon yang dapat mendukung konservasi, semak-semak yang disimbolisasikan dengan tanaman perdu, juga mempunyai nilai konservasi. Sedangkan jenis-jenis tanaman yang simbolisasi tersebut dikenal dengan istilah tanaman multiguna atau MPTS. Menurut masyarakat tanaman MPTS disamping dapat memberikan manfaat ekonomi juga berfungsi sebagai tanaman pelindung, pencegah erosi, banjir, longsor. Dengan demikian, kombinasi tanaman MPTS dengan tanaman sela dan tanaman penutup tanah, dimaknai sebagai kesatuan fungsi tanaman dalam mendukung fungsi konservasi. Perbedaan terkait dengan pemaknaan pohon, Suharjito et al. (2003), menyebutkan keberadaan pohon dalam sistem agroforestri mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Ke dua, hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan (i) produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; (ii) input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta (iii) produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga. Pemaknaan oleh Dinas Kehutanan mengenai konservasi lebih kepada keberadaan pohon pada peran yang pertama, dan pemahaman masyarakat lebih cenderung pada peran ke dua. Selain perbedaan pemaknaan tentang pohon/kayu, terdapat beberapa alasan mendasar yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan untuk menanam kayu yakni :a. Tanaman kayu (tanaman keras/pohon) rentan dicuri. Masyarakat cenderung trauma menanam pohon/kayu karena selalu menjadi target pencurian. Akibatnya tanaman MPTS maupun tanaman

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

109

lainnya rusak akibat tumbangnya kayu/pohon secara sembarangan. Pemahaman tentang penanaman pohon yang berkembang dimasyarakat yakni petani sudah bersusah payah menanam dan memelihara kayu, orang lain yang mendapatkan hasilnya, masyarakat hanya mendapat kerugian akibat rusaknya tanaman MPTS dan tanaman lainnya. Seperti ungkapan yang disampaikan oleh seorang informan mengatakan; .... uah endaraq angen talet kayu, beh sik maling doang. Angkak piran waktu sak lalo jok gawah, dait te bewen-bewen doank, malik taletan te beh sede, nyumpak nyenak ke doank. Angkak ite sak lelah nalet, pelihara maute lelah doang kance tesedaan taletan doang. (Sudah tidak berminat menanam kayu karena habis diambil oleh pencuri saja. Kemarin saat saya pergi ke hutan/lahan HKm, saya hanya menemukan ranting-rantingnya saja, dan tanaman habis rusak, akhirnya saya hanya bisa sumpah serapah saja. Kita yang capek menanam dan pelihara hanya mendapatkan capek saja dan tanaman kita jadi rusak)b. Tanaman kayu (tanaman keras/pohon) tidak boleh ditebang.

Pemahaman masyarakat tentang tanaman kayu adalah tanaman yang boleh ditebang ketika sudah masa tebang. Hal itu didasari oleh sejarah hutan sesaot yang dulunya hutan produksi terbatas. Selain itu masih ada pendapat yang berkembang dengan menanam kayu berarti kita boleh menebang. Seperti ungkapan salah seorang informan mengatakan, kita yang nanam, kita pelihara dan kita yang mengambil hasilnya. Seperti yang diungkapkan oleh I Wayan Suandi, dengan nada bertanya; . jika menanam kayu di kawasan hutan lindung, masyarakat dapat apa ungkapnya singkat. Lebih jauh informan mengungkapkan pandangannya bahwa, selain tanaman kayu sebenarnya tidak masalah seperti tanaman kemiri dan durian yang memiliki batang yang besar dan perakaran yang kuat. Para pencuri, tidak berani mencuri tanaman produktif seperti kemiri dan durian, mereka masih berperasaan juga. Luas lahan kelola HKm sempit Sebagian besar petani menguasai luasan lahan antara 0,20 0,50 ha. Dengan luas lahan tersebut sebagian petani beranggapan bahwa hasil yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya selama satu tahun.c.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

110

Selain hasilnya terbatas, juga harus membiayai tenaga kerja dan sarana produksi seperti bibit. Jika ditanami tanaman kayu/pohon, selain mengurangi ruang kelola, juga mengganggu pertumbuhan tanaman produktif. Seperti ungkapan informan; ....... luasan lahan 0,25 ha.- 0,50 ha, hasilnya sebatas untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Tapi jika dibandingkan dengan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan hidup selama satu tahun tidak cukup. Hasilnya sudah terbatas, belumdikurangi biaya pemeliharaan. Luasan lahan 0,50 ha,- 0,75 ha. hasilnya dapat mencukupi kebutuhan untuk konsumsi, bisa menyekolahkan anak, dan untuk sosial. Sedangkan luasan lahan 0,75 ha - 1 ha lebih, hasilnya selain dapat meningkatkan kesejahteraan, sebagian hasil dapat digunakan untuk membangun rumah, membeli kebutuhan pendukung seperti kendaraan dan untuk sosial. Kepemilikan lahan yang sempit berimplikasi terhadap dua hal yakni : (a) Perhatian masyarakat untuk mengelola lahan kurang serius. sehingga lahan kurang terurus. Pemilik kemudian berupaya untuk mencari alternatif sampingan dan cenderung berpikiran sempit. pada kondisi tertentu dapat berlaku merusak seperti merambah untuk perluasan lahan, menjual lahan atau dikenal dengan istilah ganti rugi lahan ke pihak lain dan mencuri kayu untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Seperti yang diungkapkan oleh informan bahwa : .kita tidak bisa menjamin mereka dapat beraktivitas usaha tani terus disana, karena mereka menganggap sebagai kerja sampingan. Akibatnya lahan tidak terurus, sehingga cenderung berpikiran sempit, seperti melakukan pencurian kayu atau perambahan.(b) Masyarakat berupaya memaksimalkan pemanfaatan ruang kelola

untuk mendapatkan manfaat ekonomi sebesar-besarnya, sehingga berlaku eksploitatif. Dengan demikian fungsi konservasi diabaikan, minat menanam kayu kurang bahkan tanaman kayu dianggap mengganggu tanaman produktif. Ke depan berpeluang dapat merusak kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibuat seperti keharusan menanam kayu. Akibat kebutuhan keuangan yang mendesak dimungkinkan masyarakat yang mengelola lahan tersebut menebang kayu untuk menjawab persoalannya.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

111

Sejalan dengan pendapat diatas, hasil penelitian Van Der Poel dan Van Dijk (1987), dalam Suhardjito et al. (2003) menyebutkan pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon-pohon di pedesaan Banjarnegara, Wonosobo, dan Gunung Kidul. Peningkatan kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif. Hasil penelitian Guthigha (2008) di hutan Kakamega Kenya, menyebutkan luas lahan mempengaruhi keputusan petani melakukan konservasi dalam lahan kelola. Pendapat dari sudut pandang yang berbeda, dimana luas lahan dan tingkat kekayaan mempengaruhi minat menanam pohon. Hal itu disampaikan oleh, Brokensha dan Riley (1987), dalam Suharjito et al. (2003) menyebutkan bahwa, penanaman pohon-pohon ditentukan oleh faktor tingkat kekayaan (menurut ukuran lokal) dan status lahan. Jumlah rumah tangga miskin (menguasai lahan sempit) yang menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada rumah tangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit daripada jumlah pohon rumah tangga kaya (menguasai lahan luas). Rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon-pohon. d. Keuntungan (profitability) yang diperoleh. Selain alasan-alasan di atas, pertimbangan lain adalah jenis tanaman kayu yang direkomendasikan oleh Dinas Kehutanan dilihat dari keuntungan dan kerugian. Kenyataan di lapangan ditemukan minat masyarakat untuk menanam kayu cukup rendah (bukan berati tidak ada) karena tidak mendapat keuntungan dari menanam dan memelihara kayu. Pada saat pengamatan lapangan ditemukan sebagian kecil masyarakat menanam kayu, karena beberapa jenis kayu dapat memberikan keuntungan. Jenis tanaman kayu yang dapat diterima dengan baik (acceptable) seperti kayu sengon yang dipahami cukup baik untuk naungan tanaman kakao/coklat. Untuk mendukung produktivitas tanaman kakao maka, petani harus memelihara dan menjaga tanaman sengon sebagai naungannya. Lain halnya dengan tanaman kayu mahoni yang dianggapnya tidak memberikan keuntungan. Masyarakat memahami kayu mahoni tidak cocok berdampingan dengan tanaman MPTS atau tanaman sela. Kayu jenis mahoni kemudian dihindari bahkan jika berada dalam areal kelola, masyarakat berusaha untuk dimatikannya. Salah satu yang faktor yang menentukan persepsi seseorang adalah pengalaman. Pendapat tersebut sejalan dengan temuan penelitian yang menunjukan bahwa persepsi yang terbangun di kalangan masyarakat di sekitar kawasan hutan Sesaot tidak terlepas dari pengalaman seiring dengan

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

112

sejarah perubahan status kawasan hutan dan kejadian-kejadian atau peristiwaperistiwa yang terjadi dalam kawasan hutan. Pengalaman dan kejadian atau peristiwa yang dialami melahirkan pemahaman masyarakat dalam memaknai program HKm sebagai berikut: (a) Pelibatan masyarakat pada proses penebangan kayu pada saat kawasan hutan masih berstatus hutan produksi terbatas mulai tahun 1951 - 1982. Implikasinya tumbuh pemahaman (i) dulu masyarakat boleh menebang kayu; (ii) jika kayu sudah masa usia tebang, maka boleh ditebang dan (iii) kita yang nanam, kita pelihara dan kita yang mengambil hasilnya (b) Program penanaman kopi secara swadaya di bawah tegakan kayu mahoni pada kawasan hutan penyangga mulai tahun 1982 - 1994. Hal itu mengakibatkan tanaman kopi dan tidak dapat berproduksi maksimal. Imlikasinya masyarakat tidak akan mengikuti kesepakatan jika program penanaman kayu dianggap tidak memberikan keuntungan bagi tanaman MPTS dan tanaman lainnya. (c) Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan kayu limbah pada tahun 2000. Realisasi kebijakan tersebut dilakukan dengan tebang habis sehingga kawasan hutan lindung menjadi rusak dan banyak lahan terbuka. Modus tebang habis diketahui kerena aparat kehutanan membayar masyarakat untuk melakukan penebangan pada malam hari. Implikasinya, masyarakat beranggapan bahwa yang merusak hutan sebenarnya pemerintah bukan masyarakat akibatnya kepatuhan terhadap aparat kehutanan rendah. (d) Pihak Kehutanan dianggap tidak tegas menegakan aturan. Implikasinya pemahaman masyarakat mengenai program HKm yang mengedepankan orientasi ekonomi masih kuat, sehingga, pencurian kayu, komposisi tanam, ganti rugi lahan dan perambahan hutan tidak dipatuhi secara konsisten. Kunci kesuksesan HKM swadana adalah adanya keinginan oleh masyarakat sendiri untuk terlibat dalam pengelolaan hutan dan tentu saja rasa memiliki terhadap program yang mereka laksanakan ditambah dengan bantuan teknis dari Dinas Kehutanan setempat. Hal seperti ini dapat memicu semangat untuk berhasil, karena masyarakat telah menginvestasikan dana dan tenaga untuk mengembangkan HKM tersebut. Sementara itu, program yang didanai oleh Dep. Kehutanan dapat saja mengalami kegagalan karena rendahnya komitmen masyarakat dan masih lemahnya kelembagaan HKM di tingkt lokal. Masyarakat berpartisipasi karena ada harapan mendapat keuntungan ekonomi dan finansial; sementara itu program pemerintah dapat menjadi goyah karena tidak ada perekat

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

113

kelembagaan yang dapat mengikat untuk menyukseskan program secara berkelanjutan. Sebagai suatu proses, kegiatan HKM bersifat dinamis dan terus berkembang sesuai dengan dinamika sosial-masyarakat. Banyak program HKM yang tidak-berhasil karena pelaksana kegiatan kurang menaruh perhatian pada aspek penguatan institusi lokal. Hal yang sering terjadi adalah bagaimana program tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan target tanpa melewati tahapan-tahapan yang tepat. Program pengembangan HKM yang sedang dilaksanakan masyarakat bersama instansi terkait harus mampu memberikan perhatian yang besar pada penyiapan institusi dan insfrastruktur sosial masyarakat. Dalam hal ini konsep HKM yang dikembangkan mencoba mempertemukan dua level institusi, yaitu level pusat dan daerah yang terdiri dari unsur terkait; dan level masyarakat dalam bentuk kelompok tani. Dengan adanya pertemuan kedua level institusi ini diharapkan nantinya akan lebih mudah untuk menyelesaikan semua permasalahan baik di level atas maupun di level bawah. Permasalahan yang dihadapi a. Status dan fungsi lahan Permasalahan yang cukup pelik dalam hal lahan, khususnya untuk kegiatan hutan kemasyarakatan di luar hutan milik adalah masalah status kepemilikan lahan. Salah satu karakter transformasi masyarakat tradisional menuju modern adalah adanya perubahan orientasi dari orientasi memenuhi kebutuhan fisik menuju orientasi komersial dan keutungan yang besar. Hal ini memicu perilaku dan orientasi masyarakat untuk tidak sekedar memanfaatkan hutan dengan komoditi yang tidak merusak fungsi hutan, melainkan mengeliminir fungsi hutan itu sendiri dan menguasai lahan untuk memaksimumkan keuntungannya. Hal ini yang sering memicu konflik lahan dalam program- program hutan kemasyarakatan. b. Tingkat penguasaan teknologi oleh masyarakat Kemampuan pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan yang dimiliki masyarakat relatif rendah, terutama jika dikaitkan dengan penerapan kaidah pengelolaan lahan dan hutan lestari. Indegenous technology yang dimiliki masyarakat tradisional tidaklah komprehenshif sehingga belum mampu memecahkan masalah manajemen lahan hutan yang lestarai sesuai prinsipprinsip hutan kemasyarakatan. c. Model-model Kehutanan Masyarakat

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

114

Belum adanya model kehutanan masyarakat sesuai dengan paradigma baru kehutanan konsep reformatif hutan kemasyarakatan, terutama untuk lokasi di kawasan produksi hutan alam. Model-model hutan kemasyarakatan yang ada lebih berupa optimalisasi lahan rakyat baik yang bervegetasi hutan maupaun non hutan dengan introdusir multi purpose tree spesies, seperti model kebun campuran, alley cropping, hutan pekarangan, kebun talun dan lain-lain. Sedangkan model hutan kemasyarakatan untuk kawasan produksi kebanyakan baru dikembangkan di hutan tanaman, terutama di Jawa (Perum Perhutani), dengan model tumpangsari, cemplongan, perhutanan sosial, management regim dan sebagainya. Secara keseluruhan masih banyak kendala yang perlu dikaji bersama secara komprehensif yang melibatkan semua kalangan yang terkait, baik itu pemerintah, institusi akademik, lembaga-lembaga riset dan kalangan LSM. Hal itu perlu diawali adanya penyamaan persepsi tentang kehutanan masyarakat sebagai sebuah konsepsi pengelolaan hutan yang berpihak kepada masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal Sebagian besar kabupaten di Indonesia mempunyai wilayah yang berupa hutan. Hal inilah yang menjadi latar belakang mengapa hutan di Indonesia perlu untuk dilestarikan. Alasan ke dua adalah bahwa kondisi hutan di Indonesia khususnya di pulau Jawa saat ini dalam kondisi yang sangat kritis. Sedangkan beraneka ragam ekosistem hidup dan tumbuh di lingkungan hutan. Hutan sebagai bagian wilayah yang terintegrasi secara geografis pada tiap daerah hukum pemerintahan tersebut tentunya memiliki peranan yang sangat penting. Tentu tidak semua kawasan yang didominasi oleh pepohonan bisa diplot sebagai kawasan hutan. Untuk menetapkan suatu kawasan menjadi kawasan hutan diperlukan adanya mekanisme penetapan oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang sebagian isinya diubah melalui Perpu No. 1 tahun 2004 dan ditetapkan menjadi UU dengan UU No. 19 tahun 2004. Dengan demikian melihat kondisi wilayah Indonesia khususnya kawasan darat yang didominasi oleh kawasan hutan, maka jelas keberadaan hutan di tengah-tengah kehidupan masyarakat sangatlah vital. Menurut pasal 1 huruf b UU No. 41 tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan-nya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa dalam hutan terdiri dari beberapa unsur, yaitu adanya

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

115

ekosistem, hamparan lahan, Sumberdaya alam hayati, pepohonan yang satu dengan lain unsurnya yang menjadi satu kesatuan tidak dapat dipisahkan. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem yang terdiri dari beberapa elemen di dalamnya yang saling berpengaruh tersebut tentu sangat luas pengertiannya. Bisa berupa Ekosistem Flora maupun Fauna. Dan satu lagi adalah Ekosistem berupa manusia yang mendiami dan bersinergi dengan lingkungannya. Luasnya pengertian tentang ekosistem tersebut lantas disebutkan pula beberapa unsur pembentuknya di antaranya adalah terdiri dari hamparan lahan, sumber daya alam hayati dan pepohonan yang mendominasi. Bisa dibayangkan betapa sangat esensial sekali keberadaan hutan di tengah-tengah kehidupan manusia. Dari sisi pepohonan yang ada, hutan yang terdiri dari mayoritas pohon ternyata sangat berperan dalam memproduksi gas Oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Pada era industrialisasi yang ditandai oleh semakin sedikitnya pepohonan hutan, dapat berdampak semakin menipisnya cadangan Oksigen. Jika hal tersebut tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin asupan gas-gas toksik yang berbahaya dapat menjadi santapan setiap hari yang tanpa sadar juga dapat berakibat buruk bagi kehidupan manusia. Hutan dalam kaitan sebagai produsen oksigen dapat dihitung dengan metode Gerakis (1974), yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988), sebagai berikut: Lt = (Pt+Tt+Kt) / (54)(0.9375)(2) m2 dimana: Lt adalah luas hutan pada tahun ke t (m2); Pt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke t; Kt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke t; Tt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke t; 54 adalah tetapan yang menunjukan bahwa 1 m2 luas lahan menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari; 0,9375 adalah tetapan yang menunjukan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0,9375 gram; angka 2 adalah jumlah musim di Indonesia.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

116

Dalam konteks Indonesia, menurut data Dalam duplikat Guiness World Record antara lain mencantumkan "1,871 juta hektar hutan di Indonesia dihancurkan antara 2000-2005, fenomena degradasi hutan sebesar 2 % setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari". Kondisi semacam ini tentu saja sangat memprihatinkan dan kiranya tidak dapat dibiarkan begitu saja. Deforestasi yang menjangkit bumi Indonesia akan sangat potensial pula mengancam kehidupan manusia secara perlahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung jelas bahwa asupan oksigen akan berkurang jika deforestasi ini terus terjadi, secara tidak langsung jika kondisi hutan sudah tidak memungkinkan lagi pohonnya sebagai resapan air maka sudah barang tentu air yang seharusnya teresap oleh hutan akan mengalir ke daerahdaerah yang tidak semestinya sehingga berakibat pada bencana banjir, tanah longsor, badai dan lain sebagainya. Masyarakat Indonesia tersebar ke seluruh pelosok wilayah Indonesia. Salah satunya adalah di wilayah hutan. Sejumlah warga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di Indonesia mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Keterbatasan sarana pembelajaran, transportasi dan keterampilan membuat masyarakat di wilayah hutan tersebut sangat bergantung hidupnya pada hasil hutan. Mereka cenderung melakukan upaya-upaya pemanfaatan hutan tanpa memperhatikan aspek penyelamatan lingkungan. Keadaan demikian tentunya tidak bijak manakala dipersalahkan dengan hanya melihat satu sisi, yaitu sisi kerusakan lingkungan hutan saja. Aspek yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat desa hutan tersebut merupakan suatu bentuk upaya mempertahankan hidupnya. Jika dikembalikan lagi secara filosofis tujuan negara dimaksudkan dalam rangka menuju suatu kesejahteraan bagi rakyat. Kesejahteraan rakyat dimaksud sangatlah kompleks dan menyeluruh tidak terbatas pada kalangan masyarakat atau rakyat tertentu, melainkan di dalamnya termasuk pula masyarakat di kawasan hutan.

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

117

Sang Kakek Memikul Kayu Bakar (sumber: www.bawean.net/2009/05/aktivitas...ari.html) Ambil kayu dihutan Bawean adalah aktivitas warga yang kerap kita temukan disore hari. Kenapa masih banyak warga Bawean memasak dengan menggunakan kayu bakar? Alasannya, hasil masakannya seperti nasi lebih enak daripada mengunakan kompor atupun lainnya.

Masyarakat hutan atau masyarakat yang hidup di lingkungan hutan pada masa sekarang nampak seperti masyarakat terasing dan ketinggalan peradaban di banding masyarakat kota. Bahkan terkotak dengan sebutan wong ndeso. Namun sebenarnya ada hal yang terlupakan dari pola hidup masyarakat sekitar hutan yang tidak dimiliki oleh masyarakat di daerah perkotaan, yaitu adanya pola kehidupan sosial yang benar-benar menjunjung tinggi adat-istiadat dan religiusitas dalam berperilaku. Hal itu terbukti bahwa masyarakat adat yang masih asli, mayoritas di Indonesia adalah terletak di lingkungan hutan. Kondisinya yang jauh dari perkotaan justru menjadikan masyarakat sekitar hutan masih murni memegang teguh nilai-nilainya tanpa adanya kontaminasi kebudayaan baru. Salah satu konsep yang ditawarkan dalam rangka penyelamatan hutan adalah pelibatan masyarakat sekitar hutan dengan kearifan lokalnya untuk berperan dalam penyelamatan hutan. Program Penyelamatan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang ditawarkan oleh Perum Perhutani sebagai pemangku hutan di Indonesia saat ini tengah dijalankan. Implementasinya juga dibentuk lembaga-lembaga yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sebenarnya konsep ini adalah konsep yang membangun dan selaras dengan konsep

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

118

penyelamatan hutan berorientasi pada kearifan lokal yang ada. Hanya saja kajian kritis yang muncul adalah apakah konsep yang demikian telah benarbenar berjalan dengan efektif? Sebenarnya sangat sempit manakala menterjemahkan penyelamatan hutan bersama masyarakat tersebut hanya pada satu sisi insidental kegiatan dengan masyarakat saja, haruslah dipahami bahwa media PHBM yang demikian tentu akan tidak bertahan lama. Sebagai contoh, ketika ada efent tertentu perum perhutani melakukan penanaman bersama dengan masyarakat hutan. Dengan asumsi bahwa ketika masyarakat hutan dilibatkan untuk menanam, mereka pun akan segan untuk merusak tanamannya. Secara sepintas memang hal ini masuk akal. Akan tetapi perlu dipahami pula bahwa kondisi kehidupan sosial masyarakat hutan tidak lah bisa disamakan dengan peradaban masyarakat modern saat ini. Di bidang pendidikan jelas mereka sangat tertinggal. Oleh karena itu perlu adanya suatu terobosan baru yang solutif dan berkesinambungan untuk melibatkan masyarakat sekitar hutan dengan kearifan lokalnya untuk bersama-sama menyelamatkan dan memelihara kelestarian hutan secara berkelanjutan. Masyarakat lokal dalam hal ini adalah masyarakat di sekitar kawasan hutan, tentu saja sudah memiliki beragam kearifan lokal dan pola susunan kemasyarakatan tersendiri. Keberadannya yang belum banyak terpengaruh oleh dunia luar, bahkan terisolir, kadangkala memiliki sistem hukum tersendiri dalam meredam konflik. Misalnya Adat musyawarah mufakat dalam penyelesaian persoalan-persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang menurut sistem hukum nasional hal itu adalah termasuk perbuatan pidana dengan diberlakukannya UU PKDRT. Berkaitan dengan sistem hukum nasional, beberapa sanksi tegas terhadap pelaku illegal logging yang dituangkan dalam UU No. 41 tahun 1999 dengan sedemikian berat ancamannya seakan tak berarti keberadannya bagi pelaku khususnya jika pelakunya adalah masyarakat yang termasuk kriteria di atas. Justru sang tetua masyarakat atau tokoh masyarakat yang berpengaruh di wilayah itu yang lebih diprioritaskan manakala telah mengultimatum sesuatu. Sebut saja guru kanuragan misalnya. Karena kharismatik dan disegani oleh masyarakat, ketika sang Guru memberikan larangan untuk menebang pohon, tanpa ada aparat penegak hukum pun masyarakat akan mematuhi hal itu. Berbeda dengan peraturan di negeri ini, telah ada peraturan sekaligus penegak hukumnya, toh pelanggaran olehnya tetap saja terjadi. Sangat diragukan kharismatiknya. Hal inilah salah satu contoh bentuk betapa pentingnya kearifan lokal dalam ikut melestarikan hutan. Oleh karenanya keberadaan masyarakat sekitar hutan harus diperhatikan. Perlakuan baik dan santun dari pemerintah kepadanya bukan tidak mungkin akan terbalas oleh kebaikan pula. Walaupun untuk keselamatan hutan juga kebutuhan mereka, namun untuk menumbuhkan kesadaran akan rasa memiliki dan keperluan jangka panjang terhadap hutan baginya pun membutuhkan proses yang panjang. Oleh karena

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

119

itu, proses transformasi pengetahuan dan penyadaran akan pentingnya melestarikan hutan dan sumberdayanya tidak cukup hanya pada kalangan masyarakat sekitar hutan, tetapi harus pula diarahkan pada semua elemen masyarakat. Beberapa waktu terakhir ini sumberdaya hutan di Indonesia telah mengalami degradasi (diikuti penurunan kualitas lingkungan) karena berbagai faktor, antara lain akibat dari pengolahan hutan yang tidak tepat, pembukaan hutan untuk pembangunan di luar kehutanan, perambahan, penjarahan dan kebakaran hutan dan lain-lain.

Marak Perambahan Hutan di Bulu Mario Sumber: apakabarsidimpuan.com/2009/12/ma...u-mario/ Warga Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan melalui tokoh adat, meminta pada pemerintah agar menghentikan penebangan kayu di lokasi hutan adat Desa Bulu Mario. Pasalnya, penebangan tersebut akan mendatangkan dampak yang sangat berbahaya bagi kehidupan ekosistem di wilayah tersebut mulai dari bencana erosi, longsor sampai pada pemanasan global. Disinyalir penebangan hutan tersebut diduga bersifat liar. Perambahan hutan adat Bulu Mario belakangan ini marak dilakukan oknum-oknum tertentu tanpa ada ijin dari Raja Panusunan (tokoh adat) yang sudah dipercaya menjaga hutan tersebut. Secara keseluruhan masyarakat merasa keberatan dengan penebangan tersebut karena dapat merusak hutan dan mengakibatkan berbagai bencana ekologis. Pemukiman

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

120

masyarakat sangat rentan terhadap ancaman terjadinya bencana longsor, erosi dan dampak lainnya. Pemerintah harus segera turun tangan menghentikan penebangan tersebut, instansi terkait harus dapat menghentikan penebangan tersebut sebelum mendatangkan bencana bagi masyarakat sekitar.

Degradasi hutan akibat kegiatan manusia yang paling sulit untuk dikendalikan adalah penebangan liar (illegal logging). Akibat dari kegiatan seperti ini adalah semakin terancamnya kelestarian sumberdaya hutan dan ekosistemnya, menurunnya kualitas lingkungan hidup serta berkurangnya penerimaan negara dari sektor kehutanan. Disadari atau tidak, kerusakan hutan yang banyak dijumpai ini telah mengundang kerusakan yang lebih besar terhadap alam, yakni bencana alam. Hutan sebagai suatu ekosistem penjaga keseimbangan alam dan berbagai ekosistem di dalamnya, tidak mampu lagi memainkan peran dan fungsinya secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, sebagian kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, seperti bencana kekeringan, banjir dan tanah longsor. Degradasi hutan dengan dampak negatif yang ditimbulkannya juga terjadi di kawasan Sumatera Barat. Selama beberapa tahun terakhir Sumatera Barat mengalami bencana alam yang cukup memprihatinkan dalam bentuk tanah longsor, banjir dan kekeringan, yang menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat seperti kehilangan tempat tinggal dan harta benda serta meninggal dunia. Masyarakat Minang Kabau sudah memiliki kearifan lokal dalam kegiatan pengelolaan, pengamanan dan perlindungan hutan dengan filosofinya; Ka Lauik Babungo Karang, Ka Sungai Babungo Pasie, Ka Rimbo Babungo Kayu atau adanya para tuo-tuo rimbo (tetua rimba/tetua nagari). sebagai sebutan anggota masyarakat adat yang bertugas menjaga hutan. Nilai-nilai luhur tersebut mulai terbaikan sejak adanya pola penyeragaman struktur pemerintahan melalui Desa sebagaimana diatur Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 yang secara tidak langsung telah berpengaruh terhadap struktur sosial budaya masyarakat, sehingga proses pengelolaan hutan kurang didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Di Provinsi Sumatera Barat ditengarai masih terjadi praktek kegiatan illegal logging dan illegal trading. Secara interen keberadaan Polisi

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

121

Kehutanan (POLHUT) sebagai ujung tombak tenaga pengamanan hutan juga mengalami penurunan, saat ini jumlahnya hanya 201 orang dengan luas kawasan hutan sekitar 2,6 juta ha sehingga 1 orang POLHUT mengawasi + 13.000 Ha sedangkan idialnya 1 orang Polhut mengawasi paling luas + 5.000 Ha kawasan hutan. Dengan dikembalikannya sistem pemerintahan nagari sebagai pengganti pemerintahan desa membawa beragam peluang dan kesempatan, dimana nagari sebagai unit pemerintahan terendah (terdepan) memegang peran amat strategis dalam pembangunan termasuk pembangunan kehutanan. Apalagi pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada salah satu butir pasalnya menyatakan bahwa masyarakat berperan serta dalam menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu, pada akhir 2005 Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membuat suatu program Pengamanan dan Perlindungan Hutan Berbasis Nagari yang lebih populer dengan PPHBN. Program PPHBN dilaksanakan dengan maksud untuk membantu aparat kehutanan di daerah dan sekaligus mengembalikan peran serta masyarakat nagari dalam mengamankan dan melindungi hutan di nagari yang bersangkutan. Program PPHBN ini telah diawali dengan kegiatan sosialisasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat kepada seluruh Dinas Kabupaten/Kota se Sumatera Barat. Untuk mempertajam program ini juga dilakukan pula workshop dengan stake horder terkait seperti LKAAM Provinsi Sumatera Barat, kalangan perguruan tinggi, dan LSM yang beregerak dibidang Kehutanan/Lingkungan. Selanjutnya, juga dilakukan pelatihan tentang bentuk-bentuk kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan dan fasilitasi pembentukan kelembagaan kepada Wali Nagari dan tokoh-tokoh masyarakat di beberapa nagari di Sumatera Barat. Berdasarkan data, pada akhir tahun 2008, kelembagaan PPHBN di Sumatera Barat sudah berdiri pada 5 (lima) Kabupaten pada 86 Nagari dengan rincian sebagai berikut Kabupaten Solok Selatan 32 Nagari, Solok 20 Nagari, Pasaman Barat 12 Nagari, Pesisir Selatan 2 Nagari dan Lima Puluh Kota 20 Nagari. Sebagai perpanjangan tangan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, kelembagaan PPHBN ini bertugas mengawasi dan melindungi kawasan hutan di wilayah nagarinya. Personil lembaga PPHBN dipilih dari tetua nagari, yakni orang-orang yang disegani di nagari serta cinta hutan dan lingkungan hidup yang ditunjuk oleh walinagari dengan personil

Bab IV. Makna Program Hutan Kemasyarakatan

122

tertentu dalam bentuk regu-regu yang jumlah personil disesuaikan kebutuhan (8-10) orang yang berasal dari sekitar kawasan hutan HUTAN NAGARI ATAU HUTAN DESA (sumber: Nurul Firmansyah, kajidirilebihdalamlagi.blogspot....esa.html)

2009;

Hak ulayat bagi nagari tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi belaka, namun sudah mengakar dan merasuk ke dalam relung sosial dan budaya masyarakat. Keberadaan hak ulayat menjamin ikatan sosial dan budaya, seperti yang tersirat dalam adigium adat; Sako Pusako, yang bermakna; keutuhan struktur sosial masyarakat nagari berbanding lurus dengan keutuhan hak ulayat. Pandangan seperti ini kemudian melahirkan kesadaran kolektif masyarakat nagari, bahwa; hak ulayat harus dimanfaatkan, di kelola dan dipelihara untuk keberlangsungan antar generasi. Eksistensi hak ulayat merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari nagari. Pendapat ini bukan hanya diusung oleh masyarakat nagari sebagai pemangku hak ulayat, namun juga di pahami oleh pelbagai pihak, termasuk didalamnya, para pengambil kebijakan di tingkat daerah (Sumatera Barat). Realitas Hutan Nagari. Realitas hak ulayat dalam wacana publik dan konstruksi adat tidak sebanding dengan kenyataan peminggiran hak ulayat oleh kebijakan pengelolaan sumberdaya alam terutama kebijakan kehutanan nasional. UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan memposisikan hak ulayat atas hutan (hutan nagari / hutan adat) terabaikan oleh posisi hutan negara yang kemudian diikuti oleh pe