bab iv hasil dan pembahasan...senyawa organik bersifat karsinogenik. konsentrasi kelarutan zat padat...
TRANSCRIPT
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengamatan Selintas
Lahan sawah salin yang digunakan untuk penelitian yaitu lahan sawah di Desa
Turunrejo, Kecamatan Brangsong, memiliki riwayat tahunan terkena dampak cekaman
hingga tingkat merugikan. Data parameter selintas mengenai kandungan hara tanah dan
jaringan tanaman merupakan data yang dianalisis dari sampel yang diambil di lapangan pada
saat penelitian berlangsung dan kemudian dilakukan analisis di Laboratorium BPTP Jawa
Tengah. Pada saat awal penelitian dilakukan pengambilan sampel tanah dan pengukuran
salinitas tanah untuk menentukan karakteristik tanah awal sawah di Desa Turunrejo,
Kecamatan Brangsong. Karakteristik tanah sebagaimana ditunjukan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Karakteristik Lahan Sawah Desa Turunrejo
No Parameter Satuan Nilai Kriteria
1 pH H2O - 7,93 agak alkalis
2 pH KCl - 6,73
3 C organik % 1,75 Rendah
4 N total % 0,18 Rendah
5 P2O5 tersedia Ppm 48,94 sangat tinggi
6 P2O5 HCl 25 % mg/100g 136,76 sangat tinggi
7 K2O HCl 25 % mg/100g 147,11 sangat tinggi
8 KTK cmol(+)kg-1 17,35 Sedang
9 Kation Dapat Ditukar
K cmol(+)kg-1 0,09 sangat rendah
Na cmol(+)kg-1 0,24 Rendah
Ca cmol(+)kg-1 1,99 sangat rendah
Mg cmol(+)kg-1 0,89 Rendah
10 DHL mS/cm 2,46 Sedang
11 TDS g/l 1,22 Sedang
18
Konsentrasi garam dalam tanah dan air dapat ditentukan dengan banyak cara dan
dinyatakan dalam beragam satuan. Total Dissolved Solid (TDS) merupakan suatu cara
mengukur jumlah senyawa organik dan anorganik dalam suatu larutan, baik dalam bentuk
ion maupun molekul. Metode ini ditentukan dengan menguapkan sampel air sampai kering
dan menimbang garam yang tersisa. Nilai pengukuran biasanya dalam satuan ppm meskipun
sekarang lebih sering menggunakan satuan mg/l. Metode lain untuk mengukur jumlah
total garam terlarut adalah Daya Hantar Listrik (DHL). Metode ini sekarang lebih disukai
karena hasil pengukuran TDS sering kurang akurat. Satuan pengukuran biasanya mS/cm
yang sama dengan mmho/cm (Ferro 2008).
Tan (1998) menyebutkan bahwa, nilai DHL > 4 mS/cm menyebabkan produksi
banyak jenis tanaman terbatas. Pada DHL antara 2 dan 4 mS/cm, tanaman-tanaman yang
sangat rentan yang akan terpengaruh, sedang pada nilai-nilai < 2 mS/cm pengaruh salinitas
kecil dapat diabaikan. Menurut Dobermann and Fairhurst (2000), padi tidak dapat
berkembang jika salinitas dengan DHL mencapai >3 mS/cm. Klasifikasi kategori nilai
salinitas dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Klasifikasi Salinitas Berdasarkan EC dan TDS (Rhoades et al., 1992)
Klasifikasi Salinitas EC (mS/cm)
TDS (g/l)
Non salin
< 0,7 <0,5
Agak salin
0,7–2,0 0,5–1,5
Salinitas sedang
2,0–10,0 1,5–7,0
Salinitas tinggi
10,0–20,5 7,0–15,0
Salinitas sangat tinggi
20,0–45,0 15,0–35,0
Brine
>45,0 >35,0
Menurut kriteria dari analisis laboratorium mengenai karakteristik tanah awal, lahan
sawah yang digunakan untuk penelitian termasuk dalam kategori agak salin dan salinitas
sedang yang mana tidak berpotensi menimbulkan kerusakan parah dan menyebabkan gagal
panen. Sedangkan menurut petani dan warga setempat, lahan sawah di Desa Turunrejo
mempunyai riwayat kerugian akibat cekaman salinitas hingga tingkat gagal panen maupun
tanaman mati setelah fase vegetatif.
19
Hal ini dapat juga disebabkan oleh tingginya curah hujan pada tahun 2016, sehingga
menyebabkan turunnya kadar cekaman salinitas di Kabupaten Kendal. Berikut merupakan
tabel data curah hujan bulanan pada periode 2011 sampai dengan 2016.
Tabel 4.3. Data Curah Hujan Bulanan di Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal
pada Periode 2011 sampai dengan 2016
Tahun Curah Hujan Bulanan (mm)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
2011 356 158 73 172 188 67 26 0 28 75 210 135
2012 484 238 174 128 73 71 0 0 33 110 134 274
2013 519 219 137 149 96 245 89 73 0 99 111 256
2014 865 374 163 54 63 100 74 30 0 51 127 177
2015 275 243 271 147 77 52 17 0 0 0 117 265
2016 220 240 168 345 199 277 219 115 340 - - -
Sumber: BMKG Jateng, 2016
Pada Tabel 4.3, pada musim tanam kedua yang biasanya jatuh pada bulan Juli, tingkat
curah hujan pada tahun 2016 menunjukan angka yang jauh lebih besar dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Schmidhalter dan Oertli pada penelitian
Arzie (2011), salinitas akan menghambat pertumbuhan tanaman pada daerah dengan curah
hujan yang rendah, dimana air hujan tidak dapat mencukupi kebutuhan untuk mencuci
kandungan garam dari tanah yang berhubungan langsung dengan akar tanaman, dengan kata
lain, semakin tinggi curah hujan, salinitas akan semakin dapat tercuci. Karena kondisi aktual
lahan sawah Desa Turunrejo masih memasuki kategori lahan salin dengan penurunan
produktivitas pada tingkat marjinal, penelitian tentang pengelolaan lahan salin pada sawah
Desa Turunrejo tetap perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil produktivitas yang optimum.
Untuk mengetahui mekanisme pengelolaan lahan salin dengan mengunakan
pemberian bahan amelioran, digunakan parameter pengamatan dengan parameter pengamatan
utama terdiri dari tingkat salinitas pada lahan, komponen vegetatif dan generatif tanaman
padi. Komponen tersebut meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai per rumpun,
jumlah butir per malai, produktivitas, kadar air, dan bobot 1000 biji. Sebagai parameter
selintas dilakukan juga pengambilan data mengenai kandungan hara tanah, analisis jaringan
tanaman, dan data curah hujan.
20
4.2. Pengamatan Utama
Data pengamatan utama dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, sedangkan
untuk mengetahui pengaruh dan pengujian antar perlakuan digunakan uji BNJ 5% (Beda
Nyata Jujur) sebagai uji lanjut. Pengamatan utama dipilah menjadi tiga bagian yaitu pengaruh
pemberian zat amelioran terhadap kadar salinitas tanah yang meliputi parameter daya hantar
listrik dan total padatan terlarut, pengaruh pemberian zat amelioran terhadap fase vegetatif
yang meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan, serta pengaruh pemberian zat amelioran
terhadap generatif yang meliputi panjang malai, jumlah gabah per malai, gabah isi per malai,
produktivitas hasil, bobot 1000 butir dan kadar air.
4.2.1 Pengaruh Pemberian Amelioran terhadap Kadar Salinitas Tanah
Pengaruh pemberian amelioran terhadap kadar salinitas tanah lahan sawah Desa
Turunrejo berdasarkan uji sidik ragam (uji F=5%) menunjukkan pengaruh nyata terhadap
TDS pada 60 HST, dan menunjukan pengaruh sangat nyata terhadap DHL pada awal tanam,
30 HST dan 100 HST, serta menunjukkan pengaruh sangat nyata pada parameter TDS awal
tanam, 30 HST dan 100 HST .
Tabel 4.4. Rekapitulasi Uji Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Amelioran
terhadap Kadar Salinitas Tanah
Peubah Satuan F Hitung
Awal tanam 30HST 60 HST 100 HST
Daya Hantar Listrik (EC) mS/cm 5,40 ** 7,17 ** 1,34 tn 10,29 **
Total Padatan Terlarut
(TDS)
g/l 25,25 ** 18,16 ** 2,76 * 70,73 **
Keterangan: ** = Berpengaruh sangat nyata
* = Berbengaruh nyata
tn = Tidak berpengaruh nyata
Pemberian amelioran berpengaruh nyata terhadap parameter TDS 60 HST, dan
berpengaruh sangat nyata terhadap parameter DHL dan TDS pada saat awal tanam, 30 HST,
60 HST dan 100 HST.
4.2.1.1 Pengaruh Pemberian Amelioran terhadap Daya Hantar Listrik Tanah
Menurut Dobermann and Fairhurst (2000), padi tidak dapat berkembang jika salinitas
dengan DHL mencapai >3 mS/cm. Sedangkan tingkat salinitas yang dapat dikatakan tidak
mengganggu pertumbuhan tanaman padi adalah pada tingkat < 2 mS/cm. Dari pernyataan
tersebut, pada penelitian ini akan dilihat amelioran yang dapat secara konsisten menekan
21
tingkat salinitas berdasarkan pengamatan dari awal tanam, 30 HST, 60 HST dan pada saat
menjelang panen.
Grafik 4.1. Pengaruh Pengaplikasian Perlakuan Zat Amelioran terhadap DHL Tanah
Pada Grafik 4.1, pemberian amelioran yang menunjukkan tingkat penekanan DHL
yang paling baik pada fase awal tanam yaitu P1 (perlakuan gypsum) yang mampu menekan
kadar DHL hingga 2,29 mS/cm. Pada fase 30 HST, penekanan DHL yang optimal ditunjukan
oleh perlakuan P4 (pemberian dolomit), dengan penurunan DHL terendah dibandingkan
perlakuan lain, yaitu 2,43 mS/cm. Pada 60 HST, perlakuan P2 (perlakuan zeolit)
memperlihatkan penekanan yang optimal, yaitu hingga sebesar 2,47 mS/cm. Pada fase
pengamatan menjelang panen, yaitu 100 HST, DHL terendah ditampilkan oleh P1 yaitu
sebesar 2,39 mS/cm. Pemberian gypsum (P1) menunjukan kemampuan untuk menekan DHL
secara konsisten pada 30 HST, 60 HST dan pada saat menjelang panen (100 HST).
Perlakuan Kontrol (P5) dari masing-masing fase pengamatan menampilkan nilai DHL yang
lebih tinggi dibandingkan pemberian perlakuan.
Berdasarkan data tersebut, amelioran berupa gypsum, pupuk organik, dan zeolit
terbukti memiliki kemampuan untuk menekan tingginya DHL pada lahan salin. Hal ini
berbanding lurus dengan berbagai penelitian terdahulu tentang pemanfaatan bahan amelioran
guna menekan tingginya DHL dan desalinisasi pada pada lahan salin dan sodik .
Pengalikasian gypsum terbukti dapat mengurangi kadar DHL dalam tanah dan juga
dapat memberikan efek untuk memperbaiki KTK dan efisiensi pemupukan. Parameter-
parameter dalam tanah seperti pH dan DHL juga mengalami penurunan (Haq et al., 2001).
Demikian juga penerapan zeolit menunjukkan hasil yang signifikan terhadap penurun DHL
dan kesetimbangan larutan dalam tanah (Ghorbani, 2008), meskipun penurunan DHL-nya
tidak setinggi perlakuan gypsum. Pada penelitian Hoshino dan Adachi (2016), aplikasi pupuk
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
P1 P2 P3 P4 P5
DH
L Ta
nah
(mS/
m)
Perlakuan
DHL Awal tanam
DHL 30HST
DHL 60HST
DHL 100HST
22
organik menunjukkan peningkatan soil solution electrical conductivity (SSEC) secara
signifikan meningkat dengan meningkatnya tingkat aplikasi pupuk organik.
4.2.1.2 Pengaruh Pemberian Amelioran terhadap TDS Tanah
Kelarutan zat padat dalam air atau juga disebut sebagai Total Dissolved Solid (TDS)
adalah terlarutnya zat padat, baik berupa ion, maupun senyawa koloid di dalam air.
TDS tidak diinginkan dalam badan air karena dapat menimbulkan warna, rasa, dan bau yang
tidak sedap. Beberapa senyawa kimia pembentuk TDS bersifat racun dan merupakan
senyawa organik bersifat karsinogenik. Konsentrasi kelarutan zat padat ini dalam keadaan
normal sangatlah rendah, sehingga tidak dapat terlihat oleh mata telanjang (Situmorang,
2007). Tebbut (1992) menyebutkan bahwa nilai TDS berhubungan erat dengan nilai DHL.
Grafik 4.2. Pengaruh Pengaplikasian Perlakuan Zat Amelioran terhadap TDS Tanah
Grafik 4.2 menunjukan bahwa pemberian amelioran yang memberikan pengaruh pada
penekanan TDS fase awal tanam, penekanan TDS yang optimal ditampilkan oleh P1
(perlakuan gypsum) yaitu mencapai 1,22 g/l. Pada fase 30 HST penekanan TDS yang optimal
ditampilkan oleh P4 (perlakuan dolomit) yaitu sebesar 1,27 g/l. Pada 60 HST, TDS terendah
ditampilkan oleh P1 yaitu sebesar 1,24 g/l, namun tidak berbeda nyata dengan P2 yaitu
sebesar 1,23 g/l. Pada fase pengamatan 100 HST, yaitu fase menjelang panen, TDS terendah
ditampilkan oleh perlakuan P1 yaitu 0,74 g/l. Pada parameter pengamatan TDS, pemberian
bahan amelioran menampakkan hasil yang nyata dalam hal menekan tingginya TDS dalam
air seperti pada parameter pengamatan DHL. Dapat dilihat pada grafik 4.2, perlakuan P1 dan
P2 menampakan hasil yang konsisten dalam parameter penekanan TDS pada lahan salin.
Data dari parameter-parameter diatas, kemudian direkapitulasi untuk mencari
pengaruh terbaik yang diberikan oleh amelioran terhadap penurunan kadar salinitas tanah.
0
0,5
1
1,5
2
P1 P2 P3 P4 P5
TDS
(g/l
)
Perlakuan
TDS Awal tanam
TDS 30HST
TDS 60HST
TDS100 HST
23
Berikut merupakan tabel rekapitulasi data yang telah dengan uji BNJ pada taraf 5% untuk
menentukan perlakuan yang memberikan hasil terbaik.
Tabel 4.5. Rekapitulasi Pengaruh Pemberian Perlakuan terhadap DHL dan TDS
Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan
Berdasarkan tabel diatas, parameter pengamatan DHL pada perlakuan P1 menunjukan
hasil terbaik pada fase awal tanam dan menjelang panen, P4 pada 30 HST, dan P2 pada 60
HST. Pada parameter pengamatan TDS, perlakuan P1 menunjukan hasil terbaik pada fase
awal tanam, 60 HST, dan 100 HST, dan P4 pada 30 HST. Berdasarkan data rekapitulasi
tersebut, pemberian amelioran memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap kemampuan
menekan DHL dan TDS pada lahan salin, namun sama-sama memberikan dampak positif
untuk menekan tingginya DHL dan TDS dibandingkan perlakuan tanpa pemberian zat
amelioran. Hal ini berbanding lurus dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Abdel-
Fattah (2012) mengenai penggunaan teknik kolom yang dilakukan untuk mengevaluasi
efisiensi gypsum, kompos eceng gondok, kompos jerami padi dan kombinasi yang berbeda
pada reklamasi tanah liat salin-sodik dari Sahl El-Hossinia, Provinsi El-Sharkia, Mesir, yang
menunjukkan bahwa semua perlakuan menurunkan kadar DHL tanah, pH, SAR, dan ESP
dibandingkan dengan kontrol.
Perlakuan
Daya Hantar Listrik TDS
Awal tanam 30 HST 60 HST 100 HST Awal tanam 30 HST 60 HST 100 HST
P1 2,29 a 2,77 b 2,51 b 2,39 a 1,10 a 1,42 d 1,24 a 0,73 a
P2 2,43 b 2,81 c 2,46 a 2,72 b 1,19 d 1,39 c 1,23 a 0,80 bc
P3 2,56 d 2,77 b 2,54 c 2,93 c 1,27 e 1,36 b 1,27 c 1,61 d
P4 2,39 c 2,43 a 2,52 bc 2,88 c 1,16 b 1,27 a 1,26 bc 1,42 c
P5 2,39 c 2,79 c 2,59 d 2,90 c 1,18 c
1,38 bc 1,30 d 1,29 c
24
4.2.2 Pengaruh Pemberian Amelioran terhadap Pertumbuhan Vegetatif
Hasil Penelitian pada fase vegetatif dirangkum dalam Tabel 4.6. Berdasarkan uji sidik
ragam (uji F=5%), pemberian berbagai macam amelioran memberikan pengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman 30 HST dan 60 HST, serta berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi
tanaman 100 HST dan jumlah anakan 30 HST.
Tabel 4.6. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Amelioran
terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Padi
Peubah Satuan F Hitung
30HST 60 HST 100 HST
tinggi tanaman cm 2,76 * 2,91 * 9,50 **
jumlah anakan batang 8,05 ** 1,14 tn 0,36 tn
Keterangan: ** = Berpengaruh sangat nyata
* = Berbengaruh nyata uji
tn = Tidak berpengaruh nyata
Pada parameter jumlah anakan, pemberian berbagai macam amelioran memberikan pengaruh
sangat nyata pada fase umur 30 hari setelah tanam, namun tidak berpengaruh nyata terhadap
umlah anakan 60 hari setelah tanam dan menjelang panen. Selanjutnya masing-masing
parameter akan dibahas lebih lanjut.
4.2.2.1 Tinggi Tanaman
Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa tinggi tanaman merupakan
parameter vegetatif yang sering diamati, baik sebagai parameter pertumbuhan maupun
sebagai indikator yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan
yang diterapkan. Parameter data tinggi tanaman pada penelitian ini ditampilkan oleh Grafik
4.3.
Nilai tinggi tanaman dari pemberian berbagai jenis amelioran yang dicobakan
menunjukan bahwa dari pengamatan 30 HST yang tertinggi adalah pada perlakuan P1, yaitu
perlakuan gypsum dengan tinggi 63,6 cm. Pada pengamatan 60 HST, perlakuan P1 juga
menampilkan hasil tertinggi dengan tinggi 90,8 cm. Pada pengamatan menjelang panen tinggi
tanaman tertinggi yaitu pada perlakuan P3, yaitu perlakuan pupuk organik dengan tinggi
116,5 cm. Menurut deskripsi dari Balai Besar Tanaman Padi, tinggi rata-rata varietas
Ciherang adalah 107-115 cm, jika dilihat dari pengamatan tinggi tanaman, maka semua
perlakuan memenuhi kriteria tinggi tanaman menurut deskripsi varietas.
25
Grafik 4.3. Pengaruh Pengaplikasian Varietas dan Amelioran terhadap Tinggi Tanaman
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa tinggi tanaman menjelang panen terbaik pada
ditampilkan oleh perlakuan P3 yaitu dengan pemberian pupuk organik. Pada Grafik 4.3, P3
menunjukkan bahwa pada pengamatan 30 tidak memberikan pengaruh nyata, namun pada
pengamatan tinggi tanaman umur 60 dan 100 HST perlakuan pupuk organik menampilkan
tinggi tanaman yang optimal. Hal ini disebabkan karena unsur hara yang terdapat dalam
pupuk organik tidak dapat langsung diserap oleh tanaman padi sawah. Pupuk organik
membutuhkan waktu untuk terdekomposisi secara sempurna agar unsur hara yang terdapat di
dalamnya dapat diserap oleh tanaman. Hal ini berbanding lurus dengan penelitian yang
dilakukan oleh Tufalia (2014) yang mengungkapkan bahwa perlakuan pupuk bokashi
berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tanaman padi sawah yang ditunjukkan oleh
tinggi tanaman pada umur 28 dan 35 HST.
4.2.2.2 Jumlah Anakan
Hasil pengamatan pengaruh pengaplikasian amelioran pada padi varietas Ciherang
pada parameter jumlah anakan dapat dilihat pada Grafik 4.4.
Grafik 4.4. Pengaruh Pengaplikasian Amelioran terhadap Jumlah Anakan
0
20
40
60
80
100
120
140
P1 P2 P3 P4 P5
Tin
ggi T
anam
an (c
m)
Perlakuan
Tinggi tanaman 30
Tinggi tanaman 60HST
Tinggi tanaman 100HST
0
10
20
30
40
50
P1 P2 P3 P4 P5
Jum
lah
An
akan
(bat
ang)
Perlakuan
Jumlah anakan 30Hst
Jumlah anakan 60Hst
Jumlah Anakan 100HST
26
Pada grafik 4.4, semua pemberian bahan amelioran menunjukan jumlah anakan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Jumlah anakan tertinggi dari
pengamatan 30 dan 60 HST ditampilkan oleh perlakuan P1 (perlakuan gypsum) yaitu
sebanyak 19 anakan (30 HST) dan 40,5 anakan (60 HST). Hal ini berbanding lurus dengan
parameter tinggi tanaman. Pada pengamatan menjelang panen, jumlah anakan tertinggi
ditampilkan oleh perlakuan P3 yaitu 32,4 anakan. Hal ini juga di ungkapkan oleh Septiana
(2007) sebagaimana terdapat interaksi antara pupuk kandang dan gypsum terhadap
peningkatan jumlah anakan.
Perlakuan P1 menunjukkan tinggi tanaman dan jumlah anakan tertinggi pada 30 dan
60 HST. Pada fase menjelang panen P3 menunjukkan hasil terbaik pada parameter tinggi
tanaman dan jumlah anakan. Data parameter-parameter diatas, kemudian direkapitulasi untuk
mencari pengaruh terbaik yang diberikan oleh amelioran terhadap pertumbuhan vegetatif
tanaman padi yang berupa tinggi tanaman dan jumlah anakan. Tabel 4.7 merupakan
rekapitulasi data yang telah dengan uji BNJ pada taraf 5% untuk menentukan perlakuan yang
memberikan hasil terbaik.
Pada Tabel 4.7, perlakuan P1 menunjukkan hasil terbaik pada parameter tinggi
tanaman pada fase 30 HST dan 60 HST, serta jumlah anakan pada 30 HST, 60 HST dan 100
HST. Perlakuan P2 menampilkan hasil terbaik pada parameter tinggi tanaman HST dan
jumlah anakan 100 HST yang tidak berbeda nyata dengan P1. Perlakuan P3 menampilkan
hasil terbaik pada parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan 100 HST.
Tabel 4.7. Rekapitulasi Pengaruh Pemberian Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman
dan Jumlah Anakan
Perlakuan
Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan (batang)
30 HST 60 HST 100 HST 30 HST 60 HST 100 HST
P1 63,6 a 90,8 a 100,6 d 19 a 40,5 a 31,7 a
P2 58,5 bc 90,3 a 106,86 c 15,9 b 35,1 c 31,8 ab
P3 56,3 d 88,9 ab 116,46 a 13,5 c 35,2 c 32,4 a
P4 57 cd 82,6 c 113,86 b 11,7 d 37,9 b 30,9 ab
P5 59,3 b 87,4 b 108,13 c 11,5 d 33,3 c 28,7 b
Keterangan: angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan
Perlakuan P4 menampilkan hasil yang baik pada parameter jumlah anakan 100 HST. Dari
data tersebut menunjukan bahwa pemberian bahan amelioran memberikan pengaruh yang
nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P5). Berdasarkan tabel tersebut, perlakuan P1
27
menampilkan hasil yang optimal pada parameter pertumbuhan vegetatif. Hal ini berbanding
lurus dengan pernyataan Ahmed et al (2014) menyebutkan bahwa berbagai tingkat sulfur dan
gypsum memiliki efek signifikan pada pertumbuhan vegetatif tanaman padi.
4.2.3. Pengaruh Pemberian Amelioran terhadap Pertumbuhan Generatif
Hasil penelitian pada fase generatif berupa panjang malai, jumlah gabah per malai, gabah
isi per malai, produktivitas, bobot 1000 butir, dan kadar air dirangkum dalam Tabel 4.8.
sebagai berikut.
Tabel 4.8. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Amelioran
terhadap Fase Generatif
Peubah Satuan F hitung
Panjang malai cm 1,49 tn
Jumlah gabah per malai butir 1,53 tn
Gabah isi per malai butir 4,23 **
Produktivitas ton/Ha 11,96**
Bobot 1000 butir
Kadar air
gram
%
19,76**
7,92**
Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata
* = berbengaruh nyata
tn = tidak berpengaruh nyata
Berdasarkan uji sidik ragam (uji F=5%), pemberian amrlioran memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap parameter gabah isi per malai, produktivitas tanaman padi, bobot 1000
butir dan kadar air, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang malai dan
jumlah gabah per malai. Selanjutnya masing-masing parameter akan dibahas lebih lanjut.
4.2.3.1 Panjang Malai
Malai adalah kumpulan bunga padi yang muncul pada buku paling atas. Sumbu utama
malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang, sedangkan bulir-bulir padi terletak pada
cabang pertama dan cabang kedua. Panjang malai dibedakan menjadi 3 golongan, yakni:
malai pendek, yaitu kurang dari 20 cm, malai sedang antara 20 sampai 30 cm, dan malai
panjang lebih dari 30 cm (Hasanah, 2007).
28
Grafik 4.5. Panjang Malai
Panjang malai yang dihasilkan tanaman padi pada penelitian ini termasuk dalam
kategori sedang yaitu antara 22,85 hingga 23,86 cm. Seperti dilihat dalam Grafik 4.5, panjang
malai tertinggi adalah pada perlakuan P4 yaitu pemberian perlakuan dolomit. Perlakuan P2,
P3, dan P5 tidak menampilkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan panjang malai terendah
ditampilkan oleh perlakuan P1.
4.2.3.2 Jumlah Gabah per Malai
Jumlah gabah per malai ditentukan pada fase reproduks. Semakin panjang malai
terbentuk, maka akan semakin banyak peluang banyaknya gabah yang mungkin
ditampung oleh malai yang bersangkutan (Soemedi, 1982). Seperti ditampilkan pada Grafik
4.6, gabah per malai tertinggi ditampilkan oleh perlakuan P3, yaitu 130,7 butir. Gabah per
malai terendah ditunjukan oleh P1, yaitu 119 butir.
Grafik 4.6. Jumlah Gabah per Malai dan Gabah Isi per Malai
Jumlah gabah isi per malai merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh
terhadap hasil padi. Pada parameter jumlah gabah isi per malai, P2 menampilkan hasil yang
optimal yaitu sebanyak 99,13 butir, namun tidak berbeda nyata dengan P3 yang berjumlah
20
21
22
23
24
25
P1 P2 P3 P4 P5
Pan
jan
g M
alai
(cm
)
Perlakuan
Panjang malai
0
20
40
60
80
100
120
140
P1 P2 P3 P4 P5
Gab
ah p
er M
alai
(b
uti
r)
Perlakuan
Jumlah gabah permalai
Gabah isi per malai
29
sebanyak 98,93 butir. Gabah isi per malai terendah ditampilkan oleh perlakuan P1 yaitu
sebanyak 84,53 butir yang tidak berbeda nyata perlakuan kontrol, yaitu sebanyak 85,13 butir.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pemberian pemberian zeolit dan pupuk organik
menampilkan hasil yang optimal pada parameter jumlah gabah isi per malai, namun
pemberian bahan amelioran gypsum tidak menampilkan hasil yang baik, yaitu tidak berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol.
4.2.3.3 Produktivitas Tanaman Padi
Seperti dilihat dalam Grafik 4.7 dibawah, hasil produktivitas tanaman padi yang
optimal ditampilkan oleh perlakuan P4 yaitu pemberian dolomit, namun tidak berbeda nyata
dengan P2, yaitu perlakuan zeolit dengan hasil sebesar 5,74 ton/Ha (P4) dan 5,73 ton/Ha
(P2). Sedangkan produktivitas terendah ditampilkan oleh perlakuan P1 dengan hasil gabah
sebesar 5,05 ton/Ha.
Grafik 4.7. Produktivitas Tanaman Padi
Al-Jabri (2009) dan Soewardi (1996) melaporkan bahwa pemberian zeolit
mampu meningkatkan efisiensi pemupukan Urea, KCl, dan Phonska. Struktur zeolit
yang berpori-pori dengan permukaan yang bermuatan negatif dapat mengurangi
pencucian hara NH4+dari Urea dan K
+ dari KCl atau pupuk Phonska di daerah perakaran.
Unsur-unsur hara tersebut akan tertahan atau tinggal lebih lama di daerah perakaran,
sehingga terjadi efisiensi penggunaan pupuk Urea dan KCl atau Phonska. Hara N, P, dan K
merupakan unsur hara primer yang sangat esensial yang mempengaruhi produktivitas
kedelai. Suwardi et al. (1995, 1996, dan 2007) menyatakan bahwa penambahan zeolit
meningkatkan luas permukaan akar tanaman, yang berakibat terhadap meningkatnya jumlah
hara yang dapat diserap oleh tanaman.
0
1
2
3
4
5
6
P1 P2 P3 P4 P5
Pro
du
ktiv
itas
(to
n/H
a)
Perlakuan
Produktivitas
30
4.2.3.4. Bobot 1000 butir Tanaman Padi
Jumlah gabah isi dan bobot 1000 biji yang terbentuk dalam satu malai sangat
tergantung dari proses fotosintesis (pengisian biji) dari tanaman selama pertumbuhannya
dan sifat genetis dari tanaman padi yang dibudidayakan.
Grafik 4.8. Bobot 1000 Butir Padi
Pada Grafik 4.8, bobot 1000 butir yang optimal ditampilkan oleh perlakuan P3 yaitu
aplikasi perlakuan pupuk organik yaitu 11,56 gram, namun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan P2 yaitu sebesar 11,39 gram. Bobot 1000 butir terendah ditampilkan oleh
perlakuan P5 yaitu kontrol dengan bobot sebesar 9,45 gram. Hal ini berbanding lurus dengan
penelitian Sinulingga (2003) yang melaporkan bahwa pemberian zeolit mampu meningkatkan
tinggi tanaman, berat kering tanaman, bobot 1000 butir melalui peningkatan KTK, K-tukar,
Mg-tukar dan Ca-tukar. Namun demikian, pada parameter pengamatan berat 1000 butir,
semua perlakuan menunjukan berat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan deskripsi
varietas yaitu antara 24-28 gram. Bobot 1000 butir dipengaruhi dengan peranan K dalam
peningkatan berat isi gabah. Hara K sangat berperan dalam pengisian biji pada serelia. Selain
itu, K juga terlibat dalam pengangkutan hasil-hasil fotosintesis (assimilate) dari daun ke
jaringan organ reproduksi dan penyimpanan (Munawar, 2011). Sehingga kahat K akan
menurunkan berat 1000 butir. Rosmarkam dan Yuwono (2002) menegaskan bahwa
kekurangan hara kalium menyebabkan produksi gabah tanaman padi merosot karena organ
penyimpanan memiliki berat yang rendah. Rendahnya K tanah pada penelitian ini ditunjukan
oleh analisis unsur hara tanah yang dilakukan di Laboratorium BPTP Jateng. Berikut
merupakan tabel analisis tanah pada saat menjelang panen pada varietas Ciherang.
0
2
4
6
8
10
12
14
P1 P2 P3 P4 P5
Bo
bo
t 100
0 b
uti
r (g
ram
)
Perlakuan
Bobot 1000
31
Tabel 4.9. Analisis Tanah Akhir pada Petak varietas Ciherang
Parameter Satuan Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5
K2O HCl 25 % mg/100g 141,31 165,38 143,36 144,47 154,96
Kation Dapat Ditukar
K cmol(+)kg-1 0,08 0,08 0,07 0,08 0,08
Ca cmol(+)kg-1 2,18 2,58 2,12 1,85 1,82
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semua perlakuan pada padi varietas Ciherang
menunjukan kandungan unsur hara K dan Ca dengan ketersediaan yang relatif rendah. Hal ini
berkaitan dengan pernyataan Grattan and Grieve dalam penelitian Yildirim et al (2006) yang
menyebutkan bahwa cekaman salinitas akan mengurangi ketersedian unsur Ca2+
dan K+ pada
larutan tanah dan akan menghambat proses mobilitas dan transportasi kedua unsur hara
tersebut ke kompleks pertumbuhan tanaman (growth region), sehingga akan memberikan
dampak negatif terhadap pertumbuhan, baik organ vegetatif maupun reproduktif.
4.2.3.5. Kadar Air
Seperti dilihat dalam Grafik 4.9 dibawah, kadar air tertinggi ditampilkan oleh
perlakuan P1 yaitu 20,16% dan kadar air terendah ditampilkan oleh perlakuan P5 yaitu
sebesar 17,57%.
Grafik 4.9. Kadar Air
Data dari parameter-parameter diatas kemudian direkapitulasi untuk mencari
pengaruh terbaik yang diberikan oleh amelioran terhadap penurunan kadar salinitas tanah.
Tabel 4.10 merupakan hasil rekapitulasi data yang telah dengan uji BNJ pada taraf 5% untuk
menentukan perlakuan mana yang memberikan hasil terbaik.
16
17
18
19
20
21
P1 P2 P3 P4 P5
Ka
dar
Air
(%
)
Perlakuan
Kadar Air
32
Tabel 4.10. Pengaruh Pemberian Perlakuan terhadap Panjang Malai, Jumlah Biji Per Malai , Gabah Isi
Per Malai, Bobot 1000 Butir, dan Hasil Gabah dengan Uji BNJ
Perlakuan Panjang
malai (cm)
Jumlah gabah per
malai ( butir)
Gabah isi per malai
(butir)
Hasil gabah
(ton/Ha)
Bobot 1000
Butir (gram)
Kadar air (%)
P1 22,85c 119,00c 84,53c 5,05d 9,71c 20,17a
P2 23,39b 120,66c 99,13a 5,73a 11,39a 19,89ab
P3 23,38b 130,73a 98,93a 5,58b 11,56a 19,63bc
P4 23,86a 121,8bc 92,73b 5,74a 10,37b 18,83c
P5 23,36b 124,87c 85,13c 5,34c 9,45d 17,57d
Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan
pada uji BNJ 5%
Berdasarkan data tersebut, perlakuan P1 menampilkan hasil terbaik pada parameter
kadar air. Perlakuan P2 menampilkan hasil terbaik pada parameter gabah isi per malai,
produktivitas hasil, bobot 1000 butir dan kadar air. P3 menampilkan hasil terbaik pada
parameter jumlah gabah per malai, gabah isi per malai, dan bobot 1000 butir. P4
menampilkan hasil terbaik pada parameter panjang malai dan produktivitas hasil tanaman
padi. Sedangkan perlakuan kontrol (P5) menampilkan hasil yang tidak lebih baik dari
perlakuan lainnya. Perlakuan P2 menampilkan hasil yang paling optimal jika dilihat dari
kemampuan peningkatan komponen hasil yang berupa gabah isi per malai, produktivitas
hasil tanaman padi, bobot 1000 butir, dan kadar air gabah.
4.3. Pembahasan Umum
Pertumbuhan tanaman yang optimal mempunyai pengaruh yang besar terhadap
hubungan antara fase generatif dengan produktivitas hasil. Tanaman yang tumbuh baik
mampu menyerap hara dalam jumlah banyak. Ketersediaan hara dalam tanah
berpengaruh terhadap aktivitas tanaman termasuk aktivitas fotosintesis, sehingga dengan
demikian tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan komponen hasil tanaman
(Yosida, 1981).
Pemberian amelioran dolomit (P4) tidak menampilkan hasil optimal pada parameter
penekanan salinitas dan pertumbuhan tanaman, namun mampu menampilkan hasil
produktivitas hasil padi terbaik walaupun tidak berbeda nyata dengan P2, sedangkan zeolit
(P2) menampilkan hasil yang baik pada parameter penekanan salinitas dan optimal dalam
berbagai parameter pengamatan vegetatif dan generatif. Pemberian amelioran gypsum (P1)
menampilkan hasil yang optimal pada parameter penekanan salinitas dan pertumbuhan
33
vegetatif, namun berbanding terbalik pada fase generatif. Pemberian perlakuan pupuk organik
tidak menampakkan hasil yang optimal pada parameter penekanan salinitas dan pertumbuhan
vegetatif namun mampu menampakan hasil yang baik pada fase generatif dan produktivitas
hasil padi. Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa pemberian amelioran menampilkan
kemampuan yang beragam terhadap parameter yang diamati, namun pemberian amelioran
terbukti mampu menampilkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Studi yang dilakukan Mikanová et al. (2012) menunjukkan bahwa ada korelasi yang
signifikan secara statistik (P ≤ 0,01) antara hasil gabah dan kandungan C organik tanah
setelah penerapan amelioran organik ke tanah. Penerapan amelioran dapat menyebabkan
peningkatan kandungan humus, nitrogen, fosfor, dan kalium yang tersedia (Verma et al
2012). Sebagai hasil dari peningkatan tingkat hara tanah, efek yang signifikan (P ≤ 0,05)
terhadap hasil per hektar ditentukan (Milosevic dan Milosevic 2009). Hasil ini juga sesuai
dengan penelitian Matula dan Pechová (2007), yang melaporkan amelioran organik
meningkatkan hasil panen gandum.
Dari berbagai parameter pengamatan pertumbuhan tanaman dan komponen hasil,
perlakuan P2 menampilkan hasil paling optimal diantara berbagai perlakuan lain. P2 tidak
menampilkan hasil terbaik pada parameter penekanan DHL dan TDS, namun pemberian
perlakuan tersebut tetap mampu menekan DHL dan TDS, dengan penekanan DHL hingga
<2.5 mS/cm. Sebagaimana disampaikan oleh Dobermann and Fairhurst (2000), padi tidak
dapat berkembang jika salinitas dengan DHL mencapai >3 mS/cm, sehingga dengan
kemampuan penekanan DHL yang ditampilkan oleh zeolit sebesar 2,43–2,72 tanaman padi
tetap masih dapat berkembang.
Berdasarkan rekapitulasi data dengan uji BNJ pada taraf 5%, pemberian amelioran
menunjukkan koding yang lebih baik daripada perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian amelioran pada lahan sawah salin berdampak positif pada pertumbuhan
dan hasil produksi padi sawah pada lahan salin.