bab iv hasil dan pembahasan 4.1 hasil fermentasi cuka...
TRANSCRIPT
33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Fermentasi Cuka Aren (A. pinnata)
Cuka aren yang digunakan dalam kegiatan penelitian adalah air nira
(A. pinnata) yang difermentasikan secara alami selama 1 bulan tanpa penambahan
agen fermentasi sehingga menjadi asam, proses ini disebut dengan fermentasi
spontan. Kadar asetat yang diperoleh rata-rata adalah 0,8 % (Lampiran 1).
Pembentukan asetat pada fermentasi nira aren diduga dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya keberadaan mikroorganisme fermentasi dan kandungan
alkohol.
Cuka hasil fermentasi selama 1 bulan diduga masih mengandung banyak
alkohol yang menghambat kerja mikroba fermentasi (Acetobacter sp.) yang
membentuk asam asetat. Hardoyo dkk (2007) yang menguji kadar asam asetat
pada nira dengan penambahan starter melaporkan bahwa alkohol akan
menghambat aktivitas mikroba fermentasi untuk membentuk asam asetat.
Sholikah (2010) dalam penelitian tentang uji kadar etanol dan asam asetat pada
nira siwalan yang difermentasi secara spontan, menyatakan bahwa semakin lama
proses pendiaman (fermentasi) nira, maka akan semakin meningkatkan kadar
alkohol dalam cuka.
Cuka yang difermentasikan dengan tambahan mikroorganisme fermentasi
(Acetobacter sp.) menghasilkan kadar asetat yang lebih tinggi dengan waktu
fermentasi yang lebih singkat. Dalam penelitian Hardoyo dkk (2007), kadar asam
asetat tertinggi yang dihasilkan dengan bantuan bakteri Acetobacter adalah 6%
dengan lama fermentasi 11 hari. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa kadar
34
alkohol dalam cuka berpengaruh terhadap kadar asetat. Jika konsentrasi alkohol di
dalam media (cuka) tinggi (sekitar 11%) maka asetat yang terbentuk kurang dari
2% asetat. Pada penelitian Sholikah (2010), kadar alkohol sekitar 8,654%, asam
asetat yang dihasilkan sekitar 0,556%. Pada penelitian Baharudin dkk (2012),
melaporkan kadar etanol yang terbentuk pada proses fermentasi nira 4%
menghasilkan kadar asam asetat 7,2%.
4.2 Karakteristik Fisik Gelatin Tulang Ikan Tuna
4.2.1 Rendemen gelatin
Rendemen gelatin merupakan jumlah (g) gelatin yang terbentuk
berbanding dengan jumlah bahan segar tulang ikan. Rendemen akan menentukan
tingkat efisien dari perlakuan yang digunakan. Rendemen gelatin hasil penelitian
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 1. Histogram rendemen gelatin tulang ikan tuna hasil perlakuan
perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3 : 1; G2 yaitu 5 : 1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama)
Gambar 8 menunjukan bahwa terjadi peningkatan nilai rendemen gelatin
hasil perlakuan sejalan dengan bertambahnya volume cuka yang digunakan.
a2.81
a4.75
a6.09
01234567
G1 G2 G3
Ren
dem
en (%
)
Perlakuan
Histogram Rendemen
35
Rendemen terendah (2,81%) merupakan hasil perlakuan G1 (3:1) sedangkan
rendemen tertinggi (6,09%) merupakan hasil perlakuan G3 (7:1). Namun
berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 2g) menunjukan
bahwa perlakuan volume cuka aren tidak memberikan pengaruh yang nyata
(P > 0,05) terhadap nilai rendemen gelatin.
Nilai rendemen dalam penelitian ini tidak berbeda nyata kemungkinan
disebabkan oleh nilai pH dari larutan cuka hasil fermentasi yang digunakan sama
yaitu 3,6 dan perbandingan volume cuka dan tulang yang sama. Peningkatan nilai
rendemen gelatin penelitian ini diduga disebabkan oleh bertambahnya jumlah
asam-asam organik selain asam asetat seperti asam laktat, asam format dan asam
propoinat. Asam-asam organik diduga membantu menyediakan jumlah ion asam
(H+), ion asam berperan dalam memutuskan ikatan hidrogan antara kolagen pada
saat perendaman. Tingginya volume cuka maka cadangan jumlah ion asam
menjadi lebih banyak sehingga ikatan hidrogen dalam tropokolagen untuk saling
lepas menjadi lebih banyak. Menurut Courts (1977) diacu dalam Wiratmaja
(2006), rendemen gelatin dipengaruhi oleh pH, suhu ekstraksi dan konsentrasi
asam. Pada saat perendaman, asam akan memecahkan ikatan heliks kolagen yang
terdapat di dalam matriks tulang melalui ion asam yang ada di dalamnya, semakin
asam suatu pelarut (semakin menurun nilai pH) maka jumlah heliks kolagen yang
terurai akan semakin banyak.
Jika dibandingkan dengan menggunakan asam-asam lainnya, nilai
rendemen gelatin tulang ikan tuna hasil penelitian rata-rata lebih rendah (2,81-
6,09%) jika dibandingkan dengan rendemen gelatin tulang ikan tuna yang
menggunakan asam klorida 5% yaitu 5,33% hasil penelitian Wiratmaja (2006) dan
36
hasil penelitian Fatimah (2008) dengan menggunakan asam sitrat 5% dari tulang
ikan bandeng yang menghasilkan 5,14% rendemen. Namun, nilai rendemen
gelatin tulang ikan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitiian
Karlina dan Atmaja (2010) menggunakan asam asetat 5% yang menghasilkan
1,91% rendemen gelatin dari tulang ikan pari.
4.2.2 Titik gel gelatin
Titik gel (gelation point) akan menentukan suhu pengaplikasian gelatin
hasil perlakuan pada produk pangan maupun non pangan. Nilai titik gel dari
gelatin hasil perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 2. Histogram titik gel gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka
(ml) dengan berat tulang (g) (keterangan: G1 yaitu 3 : 1; G2 yaitu 5 : 1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama)
Gambar 9 menunjukan bahwa terjadi peningkatan titik gel dari gelatin tuna
seiring dengan bertambahnya volume cuka yang digunakan dalam penelitian.
Titik gel terendah adalah hasil perlakuan G1 (3:1) yaitu 10ºC sedangkan titik gel
tertinggi adalah hasil perlakuan G3 (7:1) yaitu 10,6ºC. Menurut Fahrul (2005),
a10
a10.4
a10.6
9,79,89,910
10,110,210,310,410,510,610,7
G1 G2 G3
Titik
gel
(ºC
)
Perlakuan
Histogram Nilai Titik Gel
37
titik gel dari gelatin ikan komersial berkisar 10ºC maka titik gel dari gelatin hasil
perlakuan hampir sama dengan gelatin komersil. Analisis sidik ragam (ANOVA)
(Lampiran 3g) menunjukan bahwa perlakuan volume cuka aren tidak berpengaruh
nyata ( P > 0,05).
Gelatin memilki ciri khas dapat larut dalam air dan membentuk gel yang
reversible seiring dengan naik atau turunnya suhu. Nilai titik gel gelatin hasil
perlakuan dianggap tidak berbeda nyata, sebab titik gel dipengaruhi oleh jumlah
gelatin yang dilarutkan dalam air. Jumlah gelatin yang dilarutkan dalam air pada
penelitian ini sama yaitu sebesar 6,67% sehingga menghasilkan titik gel gelatin
yang sama. Hal ini sesuai dengan Stainsby (1997) diacu dalam Wiratmaja (2006)
yang menyatakan bahwa titik gel dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin dalam
larutan, pH dan besarnya molekul gelatin.
Titik gel gelatin hasil penelitian meningkat diduga disebabkan oleh
meningkatnya kadar protein (Gambar 12) seiring dengan bertambahnya volume
cuka sebagai perlakuan. Kadar protein pada gelatin menentukan jumlah
kandungan asam amino hidroksiprolin dalam gelatin. Berdasarkan Amiruldin
(2007) yang melakukan penelitian pada asam amino gelatin tulang ikan tuna
bahwa titik gel dipengaruhi oleh jumlah asam amino hidroksiprolin, titik gel akan
lebih rendah jika jumlah asam amino hidroksiprolin sedikit dan rendahnya
hidroksiprolin membuat ikatan hidrogen dalam gelatin sedikit. Berdasarkan
Fatimah (2008), bahwa konsentrasi protein yang tinggi mengandung
hidroksiprolin yang tinggi. Jumlah hidroksiprolin yang terdapat dalam gelatin
serta berbanding lurus dengan banyaknya ikatan hidrogen yang kemungkinan bisa
terbentuk ketika gelatin terdispersi dalam air.
38
Gelatin yang padat (sol) akan mengembang ketika didispersikan ke dalam
air. Pada saat didispersikan dalam air, maka daya tarik menarik antara molekul
gelatin lemah sehingga bentuk sol tersebut menjadi cairan (larutan gelatin) dan
membentuk sistem koloid. Jika suhu diturunkan (didinginkan) molekul-molekul
gelatin hasil hidrolisis akan menggulung satu sama lain dan terjadi ikatan
sambung-silang satu sama lain sehingga akan membentuk struktur yang kompak
(semi-padat) dan merupakan saat dimana gel mulai terbentuk (Wiratmaja, 2006).
4.2.3 Titik leleh gelatin
Titik leleh (melting point) merupakan suhu dimana gelatin mulai mencair,
parameter ini akan menentukan suhu pengaplikasian gelatin baik pada produk
pangan maupun non pangan. Nilai titik leleh dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 3. Histogram titik leleh gelatin hasil perlakuan perbandingan volume
cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama)
Gambar 10 menunjukan kenaikan nilai titik leleh gelatin ikan tuna hasil
perlakuan. Titik leleh terendah merupakan hasil perlakuan G1 (3:1) yaitu 36,5ºC
a36.5
a37.2
a37.3
36
36,2
36,4
36,6
36,8
37
37,2
37,4
G1 G2 G3
Titik
lele
h (º
C)
Perlakuan
Histogram Nilai Titik Leleh
39
dan titik gel tertinggi G3 (7:1) yaitu 37,3ºC. Menurut Poppe (1997) dalam Fahrul
(2005), titik leleh gelatin komersial adalah berkisar 37ºC atau dapat meleleh di
dalam mulut, sedangkan Astawan dan Aviana (2003) menyatakan bahwa titik
leleh gelatin ikan berkisar antara 24 - 33ºC. Titik leleh gelatin hasil perlakuan
dianggap masih memiliki sifat menyerupai gelatin komersial
Analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 4g) menunjukan bahwa
perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap titik leleh
gelatin. Hal ini diduga disebabkan karena titik leleh berhubungan dengan naiknya
titik gel dari gelatin hasil perlakuan. Sama halnya dengan titik gel, titik leleh
gelatin dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin dalam larutan, pH dan besarnya
molekul gelatin (Stanbsy, 1977 diacu dalam Wiratmaja 2006).
Kenaikan titik leleh gelatin hasil perlakuan berhubungan dengan titik gel
gelatin. Pembentukan gel dipengaruhi oleh jumlah ikatan hidrogen yang
terbentuk, demikian pula saat gelatin mulai meleleh. Gelatin dengan jumlah ikatan
hidrogen yang sedikit akan membentuk gel pada suhu yang lebih rendah namun
ikatan antar molekul gelatin lemah sehingga ketika mudah terlepas menjadi
gulungan acak dan membuat gelatin cepat meleleh. Sebaliknya, jumlah ikatan
hidrogen yang banyak akan membuat gelatin lebih cepat membentuk gel dengan
ikatan antar molekul gelatin lebih kuat sehingga ketika terjadi kenaikan suhu
lingkungan ikatan sambung-silang akan lepas dengan perlahan dan meleleh pada
suhu lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fatimah (2008), bahwa
naiknya titik leleh disebabkan oleh banyaknya jumlah ikatan Hidrogen yang
terbentuk antar molekul gelatin.
40
4.3 Karakteristik Kimia Gelatin Ikan Tuna
4.3.1 Kadar air gelatin
Kadar air dalam bahan pangan sangat penting untuk diketahui sebab air
akan menentukan sifat bahan seperti ketahanan umur simpan suatu produk
pangan. Kadar air pada gelatin hasil perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 4. Histogram kadar air gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka
(ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama)
Gambar 11 menunjukan bahwa terjadi penurunan kadar air seiring dengan
bertambahnya volume cuka aren yang digunakan. Kadar air terendah adalah hasil
perlakuan G3 (7:1) yaitu 6,22% sedangkan kadar air tertinggi adalah hasil
perlakuan G1 (3:1) yaitu 6,83 %. Kadar air gelatin hasil perlakuan memenuhi
syarat SNI mutu gelatin (01-3735-1995) yaitu maksimum 18%, syarat FAO
(2003) yaitu maksimum 16% dan syarat Global Agri System yaitu maksimum
12%.
Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 5g) menunjukan bahwa
perlakuan volume cuka aren tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05)
a6.83 a
6.77
a6.20
5,85,9
66,16,26,36,46,56,66,76,86,9
G1 G2 G3
Kad
ar a
ir (%
)
Perlakuan
Histogram Kadar Air
41
pada kadar air gelatin. Kadar air gelatin dianggap sama diduga karena suhu
pengeringan larutan gelatin (50-60º) dan lama pengeringan 24 jam. Berdasarkan
Amiruldin (2007) yang melakukan ektraksi gelatin dari tulang ikan tuna dengan
metode basa, bahwa kadar air gelatin yang rendah dipengaruhi oleh suhu
pengeringan larutan gelatin dan lama pengeringan. Lebih lanjut dilaporkan bahwa
larutan gelatin tulang ikan tuna yang dikeringkan dengan menggunakan oven
(suhu 60ºC) menghasilkan gelatin dengan kadar air berkisar 6,08%.
Penurunan kadar air gelatin hasil perlakuan seiring dengan bertambahnya
volume cuka aren diduga karena banyaknya ikatan hidrogen antar kolagen yang
terputus akibat ion asam yang ada pada cuka pada saat perendaman sehingga pada
proses pemanasan (perebusan) ossein, ikatan hidrogen akan terbentuk dengan
molekul air (H2O). Makin banyak ikatan hidrogen yang terputus antar kolagen,
kemungkinan besar akan mengikat jumlah air yang makin besar pula. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Wijaya (2001) bahwa hidrogen bersifat polar (suka air),
sifat tersebut yang akan menyebabkan banyaknya air yang menguap saat
pengeringan dalam oven sehingga kadar air akan semakin menurun.
4.3.2 Kadar abu gelatin
Kadar abu sangat penting dalam analisis bahan pangan sebab kadar abu
menunjukan tingkat kemurnian bahan dan kebersihan dari zat-zat anorganik. Abu
menggambarkan sejumlah komponen mineral kasar yang mengabu jika
dipanaskan pada suhu tinggi (500ºC). Kadar abu gelatin tulang tuna dapat dilihat
pada Gambar 12.
42
Gambar 5. Histogram kadar abu gelatin hasil perlakuan perbandingan volume
cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang berbeda pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang berbeda)
Gambar 12 menunjukan bahwa kadar abu gelatin yang terendah pada
perlakuan G3 (7:1) yaitu 5,63% dan kadar abu tertinggi pada perlakuan G2 (5:1)
yaitu 8,54%. Kadar abu gelatin hasil perlakuan masih lebih tinggi dari jumlah
kadar abu yang disyaratkan oleh SNI (3735.1995) yaitu 3,25 %.
Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 6g) menunjukan terdapat
perlakuan yang memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar abu
gelatin. Uji lanjut BNT (Lampiran 6h) menunjukan bahwa perlakuan G1 dan G2
berbeda sangat nyata ( P>0,01) dengan G3 sedangkan perlakuan G1 dan G2 tidak
berbeda nyata (P<0.05). Pengaruh banyaknya volume cuka aren yang dipakai
diduga terjadi pada saat perendaman (demineralisasi) dengan tulang ikan tuna.
Cuka aren hasil fermentasi mengandung berbagai macam asam organik (golongan
asam karboksilat) dan salah satunya adalah asam asetat dengan konsentrasi 0,8%.
Sifat senyawa asam organik bereaksi dengan beberapa komponen mineral yang
terdapat dalam tulang ikan tuna dengan reaksi subtitusi (penggantian). Gugus
karboksil yang berperan sebagai anion dan gugus asam (H+) sebagai kation.
a8.54
a8.81
b5.63
0123456789
10
G1 G2 G3
Kad
ar a
bu (%
)
Perlakuan
Histogram Kadar Abu Gelatin
43
Dalam proses pengikatan dengan mineral, gugus karboksil (COO-) dimungkinkan
berikatan dengan komponen mineral tulang seperti kalsium (Ca2+) dengan cara
pergantian (subtitusi). Hal ini sangat mungkin terjadi sebab tulang ikan
mengandung sejumlah besar kalsium. Kemungkinan yang terjadi jika volume
cuka semakin besar maka ion karboksil yang berasal komponen asam organik
lebih banyak untuk berikatan dengan mineral kalsium sehingga jumlah mineral
yang terikat semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat pada kadar abu perlakuan G3
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan G1 dan G2. Namun konsentrasi asam
organik yang rendah belum dapat mengoptimalkan proses pengikatan mineral. Hal
ini didasari atas pernyataan Ismangil dan Hanudin (2005), bahwa sifat asam-asam
organik ditentukan oleh gugus karboksil (COO-) yang akan membentuk ikatan
kompleks dengan logam dan mineral seperti Fe, Al, Ca dan Mg serta kereaktifan
asam organik dengan mineral dipengaruhi oleh konsentrasi asam organik.
Tingginya kadar abu pada perlakuan diduga disebabkan oleh masih
terdapatnya sisa-sisa daging dan tulang yang ikut terbawa sampai proses ekstraksi
gelatin. Menurut Astawan dan Aviana (2003) bahwa tingginya kadar abu
disebabkan oleh masih terikutnya komponen non-kolagen pada saat ekstraksi
gelatin.
4.3.3 Kadar protein gelatin
Gelatin merupakan hasil hidrolisis kolagen, salah satu jenis protein yang
menyusun tulang ikan tuna yang digunakan sebagai bahan baku. Kadar protein
gelatin hasil perlakuan dapat dilihat pada Gambar 13.
44
Gambar 6. Histogram kadar protein gelatin hasil perlakuan perbandingan volume
cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang berbeda pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang berbeda)
Gambar 13 menunjukan bahwa semakin tinggi volume cuka aren maka
semakin tinggi kadar protein gelatin. Kadar protein terendah berasal dari
perlakuan G1 (3:1) yaitu 69,50% (kadar N=11,12%) sedangkan kadar protein
tertinggi berasal dari perlakuan G3 (7:1) yaitu 75,20% (kadar N=12,03%).
Kenaikan kadar protein akan mempengaruhi parameter titik gel dari gelatin hasil
perlakuan. Berdasarkan Global Agri System (2009), gelatin standar disyaratkan
mengandung N minimal 15% (jika dikonversi ke kadar protein menjadi 98%).
Jika dilihat dari standar tersebut maka gelatin hasil perlakuan belum memenuhi
syarat kandungan protein gelatin komersial.
Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 7g) menunjukan bahwa
perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata tehadap kadar protein gelatin. Uji
BNT (Lampiran 7h) menunjukan perlakuan G1 berbeda sangat nyata ( P > 0,01)
dengan G2 dan G3, sedangkan perlakuan G2 dan G3 tidak berbeda nyata. Kadar
protein gelatin hasil dipengaruhi oleh semakin meningkatnya volume cuka pada
a69.50
b74.46
b75.20
66,0067,0068,0069,0070,0071,0072,0073,0074,0075,0076,00
G1 G2 G3
Kad
ar p
rote
in (%
)
Perlakuan
Histogram Kadar Protein
45
saat perendaman diduga disebabkan oleh ketersediaan ion asam dari komponen
asam-asam organik yang terdapat dalam cuka. Pada saat perendaman dengan
asam, molekul tropokolagen akan terpecah menjadi 3 untaian sebab putusnya
ikatan hidrogen antara heliksnya oleh ion H+. Ion asam lebih efesien dalam
memutuskan ikatan Hidrogen antar kolagen jika dibandingkan dengan ion
hidroksil dalam senyawa basa. Semakin bertambahnya volume asam cuka yang
digunakan pada saat perendaman, diduga akan menyediakan jumlah ion H+ yang
lebih besar untuk membantu memutuskan ikatan hidrogen antara komponen
kolagen sehingga jumlah kolagen yang terekstrak lebih banyak. Namun rendahnya
kandungan protein dari gelatin tuna hasil perlakuan disebabkan karena golongan
asam yang digunakan merupakan golongan asam organik yang tergolong sebagai
asam lemah sehingga dalam proses pemutusan ikatan antar molekul kolagen
dianggap belum optimal. Berdasarkan Mulyani dkk (2012) yang melakukan
ekstraksi gelatin dari tulang ikan kakap dengan menggunakan berbagai jenis
asam,bahwa kadar protein dipengaruhi oleh konsentrasi asam dan kemampuan
jenis asam itu sendiri.
4.3.4 Kadar lemak gelatin
Kadar lemak merupakan salah satu karakteristik pada zat penambah
makanan (food additive) seperti gelatin sebab menentukan tingkat kemurnian
gelatin yang dihasilkan dan juga menentukan ketahanan produk selama
penyimpanan. Kadar lemak gelatin dapat dilihat pada Gambar 14.
46
Gambar 7. Histogram kadar lemak gelatin hasil perlakuan perbandingan volume
cuka (ml) dengan berat tulang (g) (keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang berbeda pada puncak Histogram menunjukan pengaruh yang berbeda)
Gambar 14 menunjukan kadar lemak gelatin tulang ikan tuna pada ketiga
perlakuan. Kadar lemak tertinggi adalah hasil perlakuan G1 (3:1) yaitu 13,33 %
dan kadar lemak terendah hasil perlakuan G2 (5:1) yaitu 9,23%. Hasil analisis
sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 8g) menunjukan bahwa perlakuan volume cuka
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak gelatin. Uji lanjut
BNT (Lampiran 8h) menunjukan pula bahwa perlakuan G1 dan G3 berbeda
sangat nyata (P > 0.01) dengan perlakuan G2 dan perlakuan G1 berbeda nyata
(P > 0.05) dengan perlakuan G3. Kadar lemak gelatin yang diperoleh masih di
luar standar gelatin komersial. Menurut Global Agri System (2009), standar kadar
lemak gelatin komersial diharapkan mendekati 0%.
Besarnya volume cuka yang digunakan berpengaruh pada kadar lemak.
Hal ini diduga karena cuka aren yang mengandung asam asetat bersifat mengikat
lemak. Besarnya volume cuka akan menentukan ketersediaan jumlah asam asetat
sehingga menentukan jumlah lemak yang dapat diikat. Namun dengan konsentrasi
a13.33
b9.23
c11.75
0,002,004,006,008,00
10,0012,0014,00
G1 G2 G3
Kad
ar L
emak
(%)
Perlakuan
Histogram Kadar Lemak
47
asam asetat 0,8% diduga belum dapat mengoptimalkan proses pengikatan asam
dengan lemak sehingga masih terdapat lemak yang ikut terbawa pada proses
pemanasan. Pengikatan oleh senyawa asam organik umumnya masih bersifat
lemah. Hal ini dapat dilihat dari penurunan kadar lemak hasil perlakuan G2 dan
G3 yang tidak sama. Hal ini diduga disebabkan oleh komponen-komponen asam-
asam organik lainnya seperti asam laktat, asam format dan asam propoinat yang
ikut mempengaruhi ketidakstabilan proses pengikatan lemak. Menurut teori
Kusnandar (2011), lemak dapat diikat oleh kelompok asam lemah atau asam encer
yang salah satunya adalah asam asetat dan proses ini disebut dengan proses
degumming.
Tingginya kadar lemak gelatin hasil penelitian kemungkinan juga
disebabkan oleh kondisi bahan baku ikan yang digunakan. Bahan baku tulang
yang dipakai diduga berasal dari jenis tuna yang memiliki kadar lemak tinggi
sehingga kadar lemak gelatin masih tinggi. Berdasarkan penelitian Amiruldin
(2007) yang melaporkan bahwa terdapat salah satu jenis tuna yaitu
Thunnus albacores yang mengandung lemak tinggi. Hasil analisis lemak yang
telah dilakukannya pada tulang tuna yang telah bersih yaitu berkisar antara 15,38
– 15,66 %.
Penyebab lain yang membuat tingginya kadar lemak gelatin hasil
penelitian adalah tidak dilakukannya proses pemisahan antara larutan dengan
lemak pada saat setelah perebusan sehingga lemak gelatin masih tinggi. Lemak
dipisahkan dengan menggunakan alat rotary evaporator vacuum. Lemak yang
tinggi dapat menyebabkan warna dari gelatin menjadi lebih gelap, hal ini dapat
dilihat pada gelatin hasil perlakuan. Larutan gelatin yang dipekatkan dengan alat
48
rotary evaporator vacuum membuat gelatin yang dihasilkan menjadi lebih cerah.
Perbedaan warna gelatin ini dapat dilihat pada Gambar 15.
4.3.5 Nilai pH gelatin
Nilai pH gelatin merupakan parameter yang akan menentukan aplikasi
gelatin. Nilai pH gelatin yang diharapkan mendekati pH netral (7) agar dapat
diaplikasikan secara luas. Nilai pH gelatin tulang ikan tuna hasil perlakuan dapat
dilihat pada Gambar 16.
Gambar 9. Histogram nilai pH gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak Histogram menunjukan pengaruh yang sama)
a6.60
a6.1 a
6.0
5,60
5,80
6,00
6,20
6,40
6,60
6,80
G1 G2 G3
Nila
i pH
Perlakuan
Histogram Nilai pH
Gambar 8. Perbandingan antara warna gelatin tulang tuna (a) hasil penelitiandengan gelatin tulang ikan bandeng (b) (keterangan: a.tanpa menggunakan alat rotary evaporator vacuum; b. menggunakan alat rotary evaporator vacuum, *Fatimah, 2008)
49
Gambar 16 menunjukan bahwa nilai pH gelatin menurun seiring dengan
bertambahnya volume cuka aren yang digunakan sebagai perlakuan. Analisis sidik
ragam (ANOVA) (Lampiran 9g) menunjukan bahwa perlakuan tidak memberikan
pengaruh yang nyata (P > 0.05) terhadap nilai pH gelatin. Nilai pH terendah
merupakan hasil dari perlakuan G3 (7:1) yaitu 6.0 dan tertinggi merupakan hasil
dari perlakuan G1 (3:1) yaitu 6.6. Hal ini diduga karena cuka yang digunakan
memiliki pH yang sama.
Nilai pH yang diperoleh dari hasil perlakuan umumnya telah mendekati
netral, hal ini disebabkan oleh asam cuka aren yang dipakai yang merupakan asam
organik (asam lemah) sehingga pengaruh asam akan menurun jika mengalami
pencucian. Gelatin hasil perlakuan G1 memiliki nilai pH 6.6 (mendekati netral)
sebab jumlah volume cuka yang digunakan hanya sedikit sehingga ketika dicuci
asam akan ikut terbawa dengan air mengalir sedangkan gelatin hasil perlakuan G3
memiliki pH yang rendah sebab jumlah cuka yang digunakan lebih banyak
sehingga pada saat pencucian masih terdapat sedikit sisa cuka. Sesuai dengan
pendapat Astawan dan Aviana (2003), nilai pH gelatin dipengaruhi oleh jenis
asam yang digunakan pada saat perendaman. Jika asam yang digunakan adalah
jenis asam kuat maka nilai pH dari gelatin yang dihasilkan rendah begitu pula
sebaliknya.