bab ii tinjauan pustaka 2.1 klasifikasi dan deskripsi ikan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tongkol
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tongkol adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Family : Scombridae
Genus : Euthynnus
Species : Euthynnus affinis
Menurut Djatikusumo dalam Setiawan (1992), ikan tongkol memiliki ciri-
ciri morfologis sebagai berikut : mempunyai bentuk badan fusiform (cerutu) dan
memanjang. Panjang badan kurang lebih 3,4-3,6 kali panjang kepala dan 3,5-4
kali tinggi badannya. Panjang kepala kurang lebih 5,7-6 kali diameter mata.
Kedua rahang mempunyai satu seri gigi berbentuk kerucut. Sisik hanya terdapat
pada bagian korselet. Garis rusuk (linea lateralis) hampir lurus dan lengkap.
Sirip dada pendek, kurang lebih hampir sama panjang dengan bagian
kepala dibelakang mata. Jari-jari keras pada sirip punggung pertama kurang lebih
sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata, kemudian diikuti dengan
jari-jari keras sebanyak 15 buah. Sirip punggung kedua lebih kecil dan lebih
pendek dari sirip punggung pertama. Permulaan sirip dubur terletak hampir di
akhir sirip punggung kedua dan bentuknya sama dengan sirip punggung pertama.
Sirip punggung pendek dan panjangnya kurang lebih sama dengan panjang antara
hidung dan mata. Bagian punggung berwarna kelam, sedangkan bagian sisi dan
perut berwarna keperak-perakan. Di bagian punggung terdapat garis-garis miring
ke belakang yang berwarna kehitam-hitaman.
Komponen kimia utama daging ikan adalah air, protein kasar dan lemak
komponen kimia tersebut semuanya sekitar 98 % dari total berat daging.
Komponen ini berpengaruh besar terhadap nilai nutrisi, sifat fungsi, kualitas
sensor dan stabilitas penyimpanan daging. Pada suhu ruang, kandungan air pada
ikan akan meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Beberapa
perubahan kimiawi yang disebabkan oleh aktivitas enzim, biasanya terjadi
sebelum berlangsungnya kerusakan karena aktivitas mikroorganisme. Reaksi
enzim ini terkait dengan proses rigor mortis. Proses ini mengakibatkan terjadinya
dekomposisi (pembusukan) beberapa komponen kimia seperti protein dan lemak.
Kerusakan protein dan oksidasi lemak biasanya terjadi pada tahap akhir dari
proses kerusakan ikan. Kecepatan reaksi oksidasi lemak tergantung pada jenis
ikan (ukuran, kadar lemak, musim). Kandungan lainnya seperti karbohidrat,
vitamin dan mineral hanya berjumlah sedikit, bagian ini juga berperan dalam
proses biokimia di dalam jaringan post-mortem. Zat tersebut berhubungan dengan
sifat sensor, nilai nutrisi dan penampakan produk (Sikorski, 1990). Penampakan
morfologi ikan tongkol ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Sumber: Chaerudin 2008 (http://www.balifish.com)
Ikan tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang tinggi
dimana nilai proteinnya mencapai 26%, kadar lemak rendah yaitu 2% dan
kandungan garam-garam mineral penting yang tinggi. Secara umum bagian ikan
yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50 % (Suzuki, 1981).
2.2 Pengasapan Dan Metode Pengasapan Panas
a. Pengasapan
Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia
alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Melalui pembakaran akan
terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan
panas. Senyawa asap tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air
yang ada di permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas
pada produk dan warnanya menjadi keemasan atau kecoklatan (Wibowo, 1995).
Menurut Afrianto dan Liviawati (1991), dalam proses pengasapan ikan,
unsur yang paling berperan adalah asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu.
Kandungan kimia asap terdiri dari air, asam asetat, alkohol, aldehid, keton, asam
formiat, phenol, karbon dioksida.
Tujuan pengasapan ikan yaitu untuk mendapatkan daya awet yang
dihasilkan asap, untuk memberikan aroma yang khas pada produk ikan asap dan
bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak
memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak. Melalui
pembakaran akan terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran
tar serta dihasilkan panas. Senyawa asap tersebut menempel pada ikan dan terlarut
dalam lapisan air yang ada di permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma
dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi keemasan atau kecoklatan
(Adawyah, 2007).
Adapun proses pengasapan ikan dapat dilihat pada Gambar 2
Gambar. 2 Skema Proses Pengasapan. (Wibowo, 1995)
Proses pengasapan dilakukan dengan cara mengasapi bahan pangan
dengan asap dari pembakaran kayu. Unsur yang paling berperan dalam proses
pengasapan ikan adalah asap yang dihasilkan dari bahan bakar yang digunakan
Ikan Segar
Penyiangan dan Pencucian
Perendaman Larutan Garam (10-15%)
Penggantungan dan Penirisan
Pengasapan
Ikan asap
pada proses pengasapan seperti kayu atau sabut kelapa. Asap yang dihasilkan
terdiri dari uap dan partikel padatan yang berukuran sangat kecil. Kedua unsur ini
mempunyai komposisi kimia yang sama tetapi dengan perbandingan yang
berbeda.
Faktor yang mempengaruhi proses pengasapan, diantaranya suhu
pengasapan, kelembaban udara, jenis kayu yang digunakan, jumlah asap, dan
kecepatan aliran asap. Jenis kayu yang baik untuk pengasapan adalah kayu dengan
proses pembakaran lambat, mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin dan
menghasilkan asam (Wibowo, 2002). Asap dari kayu keras mengandung banyak
senyawa kimia yang pada awalnya merupakan bagian dari proses metabolisme
kayu ketika masih dalam tahap pertumbuhan. Ikan yang diasapi akan menyerap
senyawa-senyawa kimia seperti komponen fenolik, formaldehida dan asam.
Proses pengeluaran ini disebut distillate destructive yaitu ketika kayu berubah
menjadi arang. Senyawa kimia alami dalam asap dari kayu keras bermanfaat baik
dalam membunuh maupun menghambat pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri.
Senyawa-senyawa kimia ini merupakan dasar utama akan kuatnya proses
pengawetan yang terjadi selama pengasapan (Spira, 2007 dalam Pratama, 2011).
Komposisi dan karakteristik asap tergantung dari jenis kayu, kandungan air kayu,
suhu dan cara pemanasan (untuk menimbulkan asap). Pengaruh pengawetan yang
berasal dari asap kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan sejumlah
komponen fenolik, formaldehida dan asam (Whittle & Howgate, 2000).
Asap mengandung senyawa asam fenolat, karbonil dan organik. Asam dan
senyawa karbonil terbentuk dari selulosa dan hemiselulosa, sedangkan fenol
dihasilkan dari proses pirolisis lignin. Asam terutama senyawa alifatik
berkontribusi terhadap rasa produk. Senyawa fenol memiliki peran sebagai rasa,
antioksidan dan komponen bakteriostatik. Senyawa karbonil akan bereaksi dengan
protein membentuk warna daging asap atau ikan yang diasapi. Asap bertindak
sebagai pengawet makanan karena efek desinfeksi formaldehid, asam asetat, dan
senyawa fenol (Giyatmi et al, 2002 dalam Siswina, 2011).
Senyawa penyusun asap terdiri dari gas, distilat cair dan distilat tar. Bagian
gasnya mengandung oksigen, hidrogen, nitrogen, karbondioksida dan
karbonmonoksida. Distilat cairnya mengandung alkohol, keton, aldehida, asam
format, asam asetat dan asam propionat, sedangkan distilat tar-nya mengandung
guiakol, kresol, katekol dan fenol. Asap juga mengandung polinukleo aromatic
hydrocarbon 3,4-benzopyrene yang merupakan senyawa bersifat karsinogen
(SCERT, 2006). Anion-anion format diketahui dapat mencegah proses peroksidasi
yang merupakan penangkap radikal yang ditemukan pada citarasa asap (Bower et
al, 2009). Komponen asap yang dominan adalah quaiakol, siringol dan
pirokatekol. Ketiga komponen ini termasuk dalam golongan fenol. Karena
komponen fenol mudah larut dalam lemak maka semakin banyak kadar lemak
bahan pangan makin sedap pula aroma asap yang didapat (Shahidi, 1994).
Komponen asap seperti formaldehida memiliki pengaruh dalam
mengeraskan protein otot. Komponen yang tersimpan dalam asap seperti fenol,
formaldehida dan nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada produk
(Njai 2000; Whittle & Howgate, 2000). Menurut Wibowo, (2002), fungsi
komponen asap tersebut adalah sebagai berikut:
1) Fenol berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan membentuk citarasa.
2) Alkohol memiliki fungsi utama membentuk citarasa, selain itu sebagai
antimikroba.
3) Asam-asam organik berfungsi sebagai antimikroba.
4) Karbonil memiliki fungsi untuk membentuk warna dan citarasa spesifik.
5) Senyawa hidrokarbon tertentu memiliki fungsi negatif karena bersifat
karsinogen.
Kualitas dan kuantitas komponen asap tergantung kepada jenis kayu yang
digunakan sebagai bahan bakar. Kayu yang baik untuk pengasapan ikan adalah
kayu yang banyak menghasilkan asap dengan proses pembakaran yang lama.
Bahan bakar untuk menghasilkan pengasapan yang paling baik adalah kayu yang
berjenis keras, sabut atau tempurung kelapa. Asap dari kayu yang lunak sering
mengandung zat-zat yang menyebabkan bau kurang baik pada hasil asapan. Hal
ini disebabkan bila dipakai kayu yang berjenis keras, maka bagian selulosenya
akan terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana antara lain alkohol
alifatik, aldehida-aldehida, keton-keton, asam-asam organik termasuk furfural,
formaldehida, asam-asam, dan fenol yang dapat bersifat sebagai pengawet. Bagian
ligninnya pecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol, guaiacol, dan pyrogalol
yang merupakan senyawa antioksidan dan antiseptik. Ini diperlukan, terutama
untuk pengasapan ikan berlemak (Moeljanto, 1992). Komposisi kimia asap kayu
dapat dilihat pada Tabel 1dan sabut kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Kayu
Komposisi Kimia Kandungan
% berat serbuk kayu mg/m3 asap
Formaldehid
Aldehit lain (termasuk furfural)
Keton (termasuk aseton)
Asam formiat
Asam asetat dan lainya
Metal Alcohol
Ter
Phenol
Air
0,16 30 - 50
0,19 180 - 830
0,13 190 - 200
0,43 115 - 160
1,8 600
1,04 -
5,28 1295
- 23 - 40
103,8 -
Sumber : Zaitsev et al. (1969)
Tabel 2. Komposisi Kimia Asap Sabut Kelapa
Komponen kimia Berat kering %
Pektin
Hemiselulosa
Komponen lain yang larut dalam air
Lignin
selulosa
Komponen lain yang tidak larut dalam air
Mineral
14,06
7,69
5,80
30,20
18,24
19,19
5,0
Sumber : Grimwood (1975)
b. Metode Pengasapan Panas
Metode pengasapan termasuk salah satu metode pengawetan produk
perikanan yang telah dilakukan sejak dulu. Cara melakukan pengasapan banyak
mengalami perkembangan mulai dari metode tradisional hingga modern.
Pemilihan metode pengasapan yang dilakukan akan bergantung pada tujuan
produk akhir yang dikehendaki dan sumber daya yang ada di lingkungan tempat
pengasapan.
Metode pengasapan yang umum dilakukan di Indonesia antara lain ialah
metode pengasapan panas yaitu ikan diasapi pada suhu ≥ 70 sehingga daging
menjadi matang selain terkena asap. Lapisan protein larut garam yang disebut
pellicle akan terbentuk pada permukaan daging selama proses. Lapisan ini
menyerap sebagian besar antioksidan dan komponen bakteriostatik dari asap.
Penghalang terhadap invasi bakteri terbentuk pada tahap berikutnya setelah
pengerasan (Lyhs 2002).
Ikan asap yang dijual di pasar tradisional ialah ikan yang diasapi dengan
cara panas (Spira, 2007). Ikan akan menjadi matang selama proses dan produk
dapat dimakan tanpa pemasakan lebih lanjut (Whittle & Howgate, 2000). Suhu
asap pada beberapa produk tertentu dapat ditingkatkan secara bertahap menjadi
95 . Pengasapan ini seringkali dikombinasikan dengan penggaraman dan
pengeringan yang lebih lama (Whittle & Howgate, 2000). Menurut Wibowo
(1995), konsentrasi garam yang dipakai berkisar 15-20% dan lamanya ± 1 jam,
dan penggunaan pengasapan panas dengan suhu 70-100 oC, dengan lama waktu
pengasapan 2-4 jam. Suhu internal produk pada pengasapan panas
≥ 71,12 tergantung dari produk yang diinginkan maka proses pengasapan
umumnya berlangsung selama 6-15 jam. Waktu pemasakan yang lebih singkat
akan menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih tinggi (Crapo 2000).
2.3 Penurunan Mutu Produk Pangan
Pengolahan pangan pada industry komersial umumnya bertujuan, untuk
menjaga mutu produk (warna, cita rasa, mutu gizi, dan tekstur), mempermudah
penanganan dan distribusi, meningkatkan nilai ekonomis bahan baku. Kriteria
atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan adalah keamanan,
kesehatan flavor, tekstur, warna, umur simpan, kemudahan, dan kehalalan.
Faktor yang harus diperhatikan pada produk pangan adalah mutu suatu
produk pangan. Hal ini dilakukan agar produk pangan yang dihasilkan aman
untuk dikomsumsi. Berkaitan dengan berkembangnya industry pangan skala usaha
kecil menengah (UKM), dipandang perlu untuk mengembangkan mengetahui
mutu produk selama masa penyimpanan sebagai bentuk jaminan keamanan
pangan. Namun, industri pangan skala usaha kecil menengah seringkali terkendala
oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas dan kurangnya pengetahuan produsen
pangan yang mereka terapkan hanyalah, pada saat produk baru diproduksi, mutu
produk dianggap dalam keadaan 100% dan penurunannya akan terjadi sejalan
dengan lamanya penyimpanan atau distribusi.
Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami
kehilangan bobot, nilai pangan, mutu dan harga jual dan kepercayaan terhadap
keamanan produk untuk dikonsumsi (Rahayu et al. 2003).
Hasil percobaan mengenai penentuan mutu produk pangan selama
penyimpanan hendaknya dapat memberikan informasi tentang suhu ideal dan
penyimpanan normal bagi konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu
yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim
atau tidak normal yang tidak sesuai dengan suhu penyimpanan produk akan
mempercepat terjadinya penurunan mutu produk. Suhu ekstrim ( suhu > 350C )
akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi
sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi, 2004). Pengendalian
suhu, kelembaban, dan penanganan fisik yang tidak sesuai dengan prosedur dapat
dikategorikan sebagai kondisi distribusi pangan yang tidak normal.
Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa terdapat enam faktor
utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada
produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi
atau bantingan dan bahan kimia toksik atau off flavor. Faktor-faktor tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida,
kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan,
perubahan unsur organoleptik dan kemungkinan terbentuknya racun.
2.4 Standar Mutu Produk Ikan Asap
Spesifikasi produk akhir yang diharapkan ialah ikan asap dan produknya
harus bebas dari mikroorganisme dalam jumlah yang membahayakan kesehatan
manusia, bebas dari parasit yang berbahaya bagi manusia dan tidak mengandung
bahan apapun yang berasal dari mikroorganisme, bebas dari kontaminan kimia,
bebas dari bahan yang tidak dikehendaki dan parasit dalam jumlah yang
membahayakan kesehatan manusia. Proses pengolahan ikan asap harus memenuhi
Good Manufacturing Practice (GMP) dan harus memenuhi semua ketentuan yang
ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission mengenai residu pestisida dan
bahan tambahan pangan (Codex Alimentarius 1979). Selain standar yang
ditetapkan oleh GMP juga harus memenuhi persyaratan mutu dan keamanan
pangan ikan asap menurut Standar Nasional Indonesia (SNI). Persyaratan mutu
dan keamanan pangan ikan asap menurut SNI 2725.1: 2009 dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap
Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka(1-9) Minimal 7
b. Cemaran mikroba*
- ALT
- Escherichia coli
- Salmonella
- Staphylococcus aureus*
- Vibrio cholerae*
Koloni/g
APM/g
per 25 g
Koloni/g
per 25 g
Maksimal 1x105
Maksimal<3
Negatif
Maksimal 1x103
Negatif
c. Kimia*
- Kadar air
- Kadar histamin
- Kadar garam
% fraksi massa
mg/kg
% fraksi massa
Maksimal 60
Maksimal 100
Maksimal 4
CATATAN *) Bila
diperlukan
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (SNI 2725.1: 2009)
Faktor lain yang harus diperhatikan pada produk perikanan adalah jumlah
cemaran mikroba. Adapun batas cemaran mikroba pada produk perikanan
menurut SNI 7388 : 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Batas cemaran mikroba pada produk perikanan
Kategori pangan Jenis cemaran mikroba Batas maksimum
Ikan asap ALT (300 C, 72 Jam) 5 x 10
5 koloni/g
APM Escherichia coli < 3/g
Salmonella sp negatif/25 g
Staphylococcus aureus 1 x 103 koloni/g
kapang < 1 x102 koloni/g
Ikan kering ALT (300 C, 72 Jam) 1 x 10
5 koloni/g
APM Escherichia coli < 3/g
Salmonella sp negatif/25 g
Vibrio cholera negatif/25 g
Ikan fermentase APM Escherichia coli < 3/g
Salmonella sp negatif/25 g
Staphylococcus aureus 1 x 103 koloni/g
Vibrio cholera negatif/25 g
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (SNI 7388 : 2009)
2.5 Kemasan
Kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat
yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya.
Fungsinya adalah membantu mencegah/mengurangi kerusakan, melindungi bahan
yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan,
benturan dan getaran (Junaedi, 2003). Dari segi promosi kemasan berfungsi
sebagai perangsang atau daya tarik pembeli.
Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian
untuk tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas
dan gelombang karton. Persiapan suatu hasil pertanian menjadi bentuk yang dapat
dimakan melibatkan pengolahan. Di dalam proses pengolahan makanan terjadi
perubahan-perubahan fisik maupun kimiawi yang dikehendaki atau tidak
dikehendaki. Perubahan-perubahan fisik maupun kimiawi yang dikehendaki
merupakan perubahan tekstur, warna, penampakan fisik, nilai gizi, maupun
makrobiologis sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang tidak diharapkan
adanya kerusakan perubahan tekstur, warna, penampakan fisik, nilai gizi yang
tidak sesuai dengan yang diharapkan akibat kesalahan dalam proses pengolahan
(Arpah, 2001).
Kemasan pada makanan mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan,
kemudahan, penyeragaman, promosi dan informasi. Ada begitu banyak bahan
yang digunakan sebagai pengemas primer pada makanan, yaitu kemasan yang
bersentuhan langsung dengan makanan.
Dalam pengemasan juga perlu dihindari interaksi dengan bahan lain atau
interaksi dengan lingkungan luar. Interaksi tersebut akan dapat menimbulkan
dampak yang merugikan bagi konsumen, produsen, bahkan bahan pangan
tersebut. Interaksi bahan pangan atau makanan dengan lingkungan dapat
menimbulkan dampak yang merugikan antara lain interaksi massa, interaksi
cahaya, dan interaksi panas. Interaksi massa meliputi kontaminasi mikroba seperti
jamur dan bakteri, kontaminasi serangga, penambahan air atau menguapnya air,
serta benturan atau gesekan yang terjadi pada bahan tersebut. Interaksi cahaya
dapat mengakibatkan oksidasi terhadap berbagai macam zat yang terkandung
dalam bahan pangan tersebut, contohnya seperti lemak, protein, dan vitamin.
Sedangkan interaksi panas akan mengakibatkan terjadinya gosong serta perubahan
warna dan rusaknya nutrisi serta case hardening (Junaedi, 2003).
Kemasan adalah wadah atau media yang digunakan untuk membungkus
bahan atau komoditi sebelum disimpan agar memudahkan pengaturan,
pengangkutan, penempatan pada tempat penyimpanan, serta memberikan
perlindungan pada bahan atau komoditi. Pengemasan terhadap produk bertujuan
untuk melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya
kontaminasi dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan
pengemasan, termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air,
perpindahan panas, kontaminasi dan serangan makhluk hayati (Harris dan Karnas,
1989).
a. Kemasan Kertas
Kertas adalah bahan kemasan buatan yang dibuat dari pulp (bubur kayu).
Kertas biasa digunakan untuk mengemas bahan atau produk pangan kering atau
untuk kemasan sekunder (tidak langsung kontak dengan bahan pangan yang
dikemas) dalam bentuk dus atau boks karton. Kelemahan kertas adalah mudah
robek dan terbakar, tidak dapat untuk mengemas cairan, dan tidak dapat
dipanaskan, akan tetapi sampah kertas dapat didegradasi secara alami (Junaedi,
2003). Kertas yang biasa digunakan untuk mengemas seperti kertas kraft, kertas
kraft karung, kertas manila, yang termasuk dalam kertas industri (Junaedi, 2003).
Salah satu sifat fisik kertas untuk keperluan pengemasan adalah ketahanan
atau kekuatan tarik kertas. Sifat ini berkaitan dengan daya tahan kemasan setelah
diisi terutama berhubungan dengan penanganan produk terkemas. Kekuatan tarik
adalah gaya tahan lembaran pulp atau kertas terhadap gaya yang bekerja pada
kedua ujungnya. Kekuatan tarik dibedakan menjadi kekuatan statis dinamis dan
kekuatan kelim pada sambungan. Uji kekuatan tarik memberi gambaran kekuatan
kertas jika kertas tersebut ditarik searah dengan alur kertas. Bahan pengemas
seperti kertas sampul, kertas pembungkus, dan lain sebagainya diuji dengan
berbagai perlakuan yang akan diterima bahan yaitu printing, pelapisan, dan
sebagainya. Umumnya kekuatan tarik kertas pada arah sejajar mesin kertas (MD)
lebih tinggi dibanding arah tegak lurus kertas (CD). Prinsip penentuan kekuatan
tarik dan regangan kertas (elongasi) berdasarkan jumlah gaya yang diperlukan
untuk memutuskan potongan kertas berukuran 1 x 10 inchi setelah kedua
ujungnya ditarik berlawanan.
Pengujian daya serap air dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penetrasi
cairan ke dalam kertas. Kertas memiliki sizer yang berpengaruh terhadap daya
serap air. Sizer merupakan tambahan untuk meningkatkan ketahaan kertas
terhadap cairan. Permukaan sizer umumnya selaput tipis tepung, getah, dan
polimer sintetis.
Kertas dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu kertas
kultural atau kertas halus, dan kertas industri atau kertas kasar (Junaedi, 2003).
Menurut macamnya, kertas digolongkan menjadi glassine, parchment paper,
waxed paper, karton (kertas manila dan chipboard), tyvek (kertas dengan kualitas
istimewa misalnya warnanya putih, sangat kuat, tidak mengkerut, tahan terhadap
bahan kimia) dan kertas berlapis polyethylene (Syarief dan Irawati, 1988).
b. Kemasan Plastik
Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer.
Monomer merupakan rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan
dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila
rantai tersebut dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola acak, menyerupai
tumpukan jerami maka disebut amorp, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin
dengan sifat yang lebih keras.
Klasifikasi plastik menurut struktur kimianya terbagi atas dua macam
yaitu:
a) Linear
Plastik dikatakan jenis linear apabila monomer membentuk rantai polimer
yang lurus (linear) maka akan terbentuk plastik thermop lastik yang mempunyai
sifat meleleh pada suhu tertentu, melekat mengikuti perubahan suhu dan sifatnya
dapat dibalik (reversible) kepada sifatnya yakni kembali mengeras bila
didinginkan.
b) Jaringan tiga dimensi
Plastik disebut jenis jaringan tiga dimensi apabila monomer berbentuk tiga
dimensi akibat polimerisasi berantai, akan terbentuk plastik thermosetting dengan
sifat tidak dapat mengikuti perubahan suhu (irreversible). Bila sekali pengerasan
telah terjadi maka bahan tidak dapat dilunakkan kembali. Sifat terpenting bahan
kemasan yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air, bentuk dan
permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan
mempengaruhi jumlah gas yang baik dan luas permukaan yang kecil
menyebabkan masa simpan produk lebih lama. Penggunaan plastik sebagai bahan
pengemas mempunyai keunggulan dibanding bahan pengemas lain karena
sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplatis dan selektif dalam
permeabilitasnya terhadap uap air, O2, CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap
uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang
kemas selama penyimpanan
Berikut ini merupakan jenis kemasan yang umumnya digunakan oleh
konsumen dan layak digunakan sebagai kemasan produk pangan (Syarief dan
Irawati, 1988):
1. Polyethylene
Polyethylene ialah kemasan yang lunak. Selain itu polyethylene juga
transparan dan fleksibel serta memiliki kekuatan benturan dan kekuatan sobek
yang baik. Polyethylene kerap digunakan sebagai kemasan dalam bahan pangan.
Polyethylene merupakan hasil dari proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang
diperoleh melalui hasil samping dari industry minyak dan batubara. Polyethylene
memiliki ketebalan 0,001 sampai 0,01 inchi.
Faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas pada kemasan plastik
Polyethylene antara lain adalah jenis permeabilitas, ada tidaknya ikatan silang
(cross linking), suhu, bahan tambahan elastis (plasticer), jenis polimer film, sifat
dan besar molekul gas, serta kelarutan bahan. Jenis permeabilitas film bergantung
pada bahan yang digunakan, dan permeabilitas film polyethylene (PE) lebih kecil
daripada polypropylene (PP).
Peningkatan suhu juga mempengaruhi pemuaian gas yang menyebabkan
terjadinya perbedaan konstanta permeabilitas. Keberadaan air akan menimbulkan
perenggangan pada pori-pori film sehingga meningkatkan permeabilitas ( Bucle et
al. 1987). Polimer film dalam bentuk kristal atau amorphous akan menentukan
permeabilitas. Permeabilitas low density polyethylene (LDPE) mencapai tiga kali
permeabilitas high density polyethylene (HDPE). Polyethylene banyak digunakan
sebagai pengemas makanan karena sifatnya yang thermoplastic. Polyethylene
dapat mudah dibuat menjadi kantung dengan derajat kerapatan yang baik.
2. LDPE (Low Density Polyethylene) dan HDPE HDPE (High Density
Polyethylene)
Plastik LDPE (Low Density Polyethylene) memiliki sifat mekanis yang
kuat, fleksibel, sedikit tembus cahaya, serta memiliki permukaan yang agak
berlemak. Akan resisten terhadap senyawa kimia apabila berada pada suhu di
bawah 60ºC. Sedangkan HDPE (High Density Polyethylene) memiliki sifat yang
keras, kuat, buram namun lebih tahan terhadap suhu tinggi.
3. Polypropylene
Polypropylene merupakan salah satu polimer yang sangat luas digunakan
dalam industri food packaging, moulding, synthetics fibre dan lain-lain. Kelebihan
dari polypropylene adalah memiliki kekuatan dan kekakuan tinggi. Melihat
kelebihan polypropylene tersebut, tentunya akan lebih memberi manfaat apabila
diolah menjadi produk lain tanpa menurunkan kualitas dari polypropylene sendiri
seperti melt flow rate, tensile strenght, impact strenght, dan elongation. Untuk
membuat TPE, kedua polimer (plastik dan elastomer) dipanaskan diatas suhu
glas dari masing-masing polimer kemudian dilakukan pencampuran dengan
metode meltmixing (pencampuran lelehan). Polypropylene (PP) inilah yang kerap
digunakan sebagai kemasan tepung. Sebagai usaha yang bergerak di bidang
produksi tepung, yaitu tepung wortel, maka produk akan dikemas dalam plastik
PP-OPP. Kemasan dalam plastik ini berkisar antara kemasan 1 kg sampai 2 kg.
Sifat dari PP ini adalah tahan panas sampai batas suhu tertentu dan fleksibel.
Polypropylene mempunyai titik leleh yang cukup tinggi (190-200ºC), sedangkan
titik kristalisasinya antara (130-135ºC).
Polypropylene mempunyai ketahanan terhadap bahan kimia (Chemical
Resistance) yang tinggi, tetapi ketahanan pukul (impact strength) rendah. PP juga
memiliki daya tarik yang lebih besar dibandingkan PE (polyethylene). Selain itu
apabila dibandingkan dengan PE, PP lebih kaku serta tidak mudah sobek.
c. Daun Lontar (Borassus flabellifer) Sebagai Pengemas
Dilihat dari kajian biologi tanaman lontar adalah jenis palem yang hidup
pada iklim yang agak kering, dapat dijumpai di Afrika, Myanmar, Tropika,
Malaysia, dan India, dan Indonesia. Di Indonesia lontar banyak dijumpai di NTT,
NTB, Bali, Madura, Jawa Tengah, dan Sulawesi. Lontar adalah tumbuhan atau
pohon memanjat dengan batang tidak bercabang dan mempunyai bekas pelepah
atau pangkal tangkai daun berbentuk cincin. Pohon ini tumbuh pada tempat
terbuka dekat pantai, tumbuh menyendiri, batang lurus dengan panjang mencapai
lebih dari 30 meter dengan permukaan batang berwarna kehitam-hitaman. Daun
bundar berbentuk seperti kipas yang tepinya mempunyai lekukan lancip. Buahnya
berdaging tebal, berbentuk bulat, ketika muda warnanya kecoklatan, setelah
matang warnanya menjadi kehitam-hitaman.
Pohon lontar terdiri dari dua jenis kelamin yaitu ada yang berjenis kelamin
jantan dan ada yang berjenis kelamin betina. Dimana perbedaan antara keduanya
adalah, kalau yang betina dapat menghasilkan buah namun yang jantan tidak
dapat menghasilkan buah tetapi menghasilkan tandan bunga lontar yang biasa
dipotong untuk dicari niranya. Seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi
manusia yaitu mulai dari daun sampai akar sehingga mendapat julukan “pohon
surga atau the tree of life ". Menurut madiya (2006), bahwa manfaat dari pohon
lontar yaitu daunnya digunakan sebagai bahan kerajinan, kemasan makanan dan
media penulisan naskah lontar, senyawa yang kandungan daun lontar terpenting
adalah lignin, selulosa, lilin, antimikroba (antijamur, antibakteri, antiparasit, dan
antivirus), serta senyawa silikat. Daun lontar sebagai bahan kemas biasanya
hanya dipakai untuk hasil pertanian atau hasil olahan yang berbentuk padatan dan
ukurannya relatif besar sebagai contoh pengemasan pada buah durian atau gula
merah dari aren. Keuntungan kemasan ini yaitu ukurannya yang relatif besar.
Kekurangannya yaitu keadaannya yang mudah pecah, sobek, patah atau belah,
oleh sebab itu daun lontar yang digunakan untuk mengemas biasanya daun yang
masih hijau, dan belum tua, sehingga mudah untuk dilipat.
Daun lontar digunakan sebagai pengemas pada hasil olahan, harus
mampu melindungi dan menutupi keseluruhan bagian produk. Oleh karena itu
daun lontar yang digunakannya harus disusun secara berlapis sehingga
produk yang dikemas dapat terlindungi dari air maupun panas
(http://rendangpadang2013.blogspot.com). Penggunaan daun lontar sebagai bahan
kemasan alami sudah lazim dipakai di seluruh masyarakat Indonesia, selain murah
dan praktis cara pemakaiannya, daun ini juga masih mudah didapat. Namun
kemasan daun lontar bukan merupakan kemasan yang bersifat representatif,
sehingga pada saat penanganannya harus ekstra hati-hati. Karena sifatnya yang
opak, kemasan daun ini dapat melindungi penguraian produk yang dikemasnya
dari pengaruh cahaya. Akan tetapi kelemahannya mudah robek atau pecah, dan
tidak dapat mempertahankan mutu produk dalam jangka waktu yang lama.