peran badan nasional penanggulangan terorisme...
TRANSCRIPT
PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME (BNPT)
DAN MASYARAKAT SIPIL DALAM MENCEGAH RADIKALISME
AGAMA DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh
Sadawi
NIM: 1113032100047
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
Abstrak
Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Masyarakat
Sipil dalam Mencegah Radikalisme Agama di Indonesia
BNPT melalui Perpres dan Undang-undang memilki wewenang dalam
menentukan strategi melalui soft approach maupun hard approach. Diantaranya;
pertama, kontra radikalisasi ini dilakukan secara langsung atau tidak langsung
melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi melalui seminar,
workshop dan FGD. Kedua, deradikalisasi merupakan upaya mentransformasi paham
radikal menjadi tidak radikal dalam konteks ini bisa melalui pembinaan, FGD,
workshop dan seminar. Selain itu dalam proses deradikalisasi juga, para narapidana
terorisme (Napiter) dibekali dengan tiga aspek, wawasan kebangasaan, wawasan
keagamaan dan yang tidak kalah penting adalah pelatihan kewirausahaan kepada para
Napiter. Dengan tujuan setelah dinyatakan bebas para napiter dapat membuat usaha
mandiri, tentunya dengan bantuan modal dari BNPT. Ketiga, membentuk Forum
Koodinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 propinsi. Keempat, kerjasama dengan
seluruh Kementrian/Lembaga dan saat ini BNPT telah bekerjasama dengan 36 K/L.
dengan tujuan agar dapat mendeteksi radikalisme dini dalam masyarakat. Salain itu
BNPT juga mulai melakukan pendakatan sosial budaya terutama melalui kearifan
lokal (local wisdom).
Selain BNPT masyarakat sipil juga melakukan upaya pencegahan radikalisme.
Masyarakat sipil merupakan bagian dari masyarakat atau dari masyarakat itu sendiri
dan menjadi kontrol sosial. Keterlibatan masyarakat sipil memudahkan BNPT dalam
menganalisis perkembangan radikalisme pada masyarakat melalui laporan survei
masyarakat sipil. Karena masyarakat lebih terbuka kepada masyarakat sipil sehingga
pencegahan radikalisme dari akar rumput akan lebih mudah. Namun keterlibtan atau
peran masyarakat sipil hanya terbatas pada memberikan sumbangsih ide, melakukan
survei atau riset, FGD, seminar atau workshop dan membantu proses deradikalisasi
dalam konteks ini masyarakat sipil beperan aktif dalam memberikan wawasan
kebangasaan, wawasan keagamaan dan pelatihan kewirausahaan kepada para
Napiter. Dalam skripsi penulis menggunakan pendekatan sosiologis.
Kata kunci: radikalisme, pencegahan, BNPT dan masyarakat sipil.
ii
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis dibawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan غ
ha
f Ef ف
q I ق
k Ka ك
l L ل
m Em م
n En ن
w We و
ـ
ھ
h Ha
iii
Kata Pengantar
Allahamdulillah adalah ucapan begitu indah untuk ucapan rasa syukur kepada
Tuhan yang maha kasih sebab dengan kasihnya penulis dapat berpikir secara kritis
dalam menguraikan permasalahan yang ada dalam skrisip ini secara terstruktur dan
sistematis.
Dengan selasainya skripsi ini, maka selasai pula tugas akademis Strata I pada
jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis bangga dan bahagia bisa menjadi bagian dari kampus ini. Tugas akademis
sebagai mahasiswa telah paripurna. Dengan selesainya skripsi ini yang tentunya
dengan proses tidak singkat dan berbagai tantangan yang ada. Penulis sadar bahwa
karya ini bukan murni dari pikiran penulis, tetapi juga inspirasi dari karya-karya
terdahulu yang memberikan cakrawala pengetahuan terhadap pola dan sistematika
berpikir penulis.
Dalam perjaungan ini penulis sadar bahwa banyak telah terlibat baik langsung
atau tidak langsung. Maka dari itu sudah sepatutnya penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada mereka. Atas dukungannya penulis persembahkan karya ini
kepada:
1. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta jajarannya.
2. Syaiful Azmi, MA., selaku Ketua Program studi Studi Agama-agama.
3. Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Sekretaris Program studi Studi Agama-agama.
iv
4. Dr. Media Zainul Bahri, MA., selaku pembimbing dalam perjuangan penyelesaian
skripsi ini.
5. Kepada seluruh dosen Ushuluddin khususnya Studi Agama-agama yang telah
dengan sabar memberikan arahan serta membuka cakrawala pengetahuan kepada
penulis.
6. Kapada Emak dan Bapak yang melimpahkan cinta, kasih penulisng, perjaungan
dan doa di sepertiga malamnya kepada penulis sehingga penulis bisa menjadi
bagian dari kampus ini. Sungguh sangat bangga penulis kepadamu dan anak petani
ini pun telah menjadi sarjana. Sekali lagi terimakasih Emak dan Bapak atas
segalanya.
7. Kepada kakakku terima kasih atas cinta dan kasihnya kau berikan pada adik
bungsumu ini.
8. Kepada Drs. Dadi Darmadi, MA., sebagai guru, panutan sekaligus teman dalam
diskusi-diskusi kecil. Yang memberikan isnpirasi dan dukungan kapada penulis
dalam upaya menjadi insan akademis yang berkualitas.
9. Kepada Mary Silvita, Khadori Mahdan Abddallah, dan Sabilurrasyad (mas Acun),
teman sekaligus kakak-kakaku yang luar biasa.
10. Kawan-kawan Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB)
Jabodetabek yang telah menjadi bagian penting dalam petualangan penulis di
sini.
11. Kawan-kawan studi agama agama 2013 yang telah menjadi kawan akademik dan
kawan dalam senda gurau.
v
12. Kawan-kawan sehimpun secita kaum akademisi yang juga menjadi bagian
penting dari kehidupan akademis di sini
13. Kawan kawan KKN BINTANG (Dadan H, Erlangga P, Fenindya N C, Kurnia
Nur I, Kurnia Dwi S, Marta D (Alm), Melinda O, Riska W, Vicky D, Yunita K
S.).
14. Kawan kawan FORMAD (Forum Mahasiswa Madura).
“Kehidupan adalah perjalanan singkat yang harus kau gunakan dengan baik
dan penuh perhitungan dalam setiap langkah.”
“Perjalananmu tak kan pernah usai meski dirimu telah berada di puncak. Justru
kau harus segara berfikir bagaimana jalan pulang.”
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Abstrak ...................................................................................................................... .. i
Pedoman Transliterasi ............................................................................................. . ii
Kata Pengantar......................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... . 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 11
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 12
E. Kajian Pustaka .............................................................................. 12
F. Metode Penelitian ......................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 16
BAB II PROBLEMATIKAN RADIKALISME DI INDONESIA
A. Radikalisme .................................................................................. 18
B. Pencegahan Paham Radikal ......................................................... 24
C. Sejarah BNPT ............................................................................... 35
BAB III PERAN BNPT DAN MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA
A. Peran BNPT dalam Mencegah Radikalimse ................................ 40
B. Masyarakat sipil ........................................................................... 48
vii
C. Peran masyarakat sipil dalam Mencegah Radikalisme ................ 53
BAB IV ANALISIS PERAN BNPT DAN MASYARAKAT SIPIL DALAM
MENCEGAH RADIKALISME
A. Badan nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) .................... 66
B. Masyarakat sipil .......................................................................... 70
C. Tabel Analisis peran BNPT dan Masyarakat sipil ...................... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 77
B. Kritik dan saran ............................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tragedi bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 merupakan aksi teror
terbesar dalam sejarah terorisme dan radikalisme di Indonesia, tragedi tersebut
menewaskan 202 korban jiwa dan 209 korban luka-luka. Bom yang terjadi secara
acak dengan modus utama adalah para turis atau orang asing yang sedang
menikmati liburan di Indonesia. Kejadian itu menimbulkan efek kepanikan dan
rasa takut bukan hanya bagi warga Indonesia tetapi juga warga asing sebagaimana
kita ketahui korban merupakan mayoritas warga asing terutama warga negara
Australia. Kejadian tersebut menimbukan citra negatif bagi Indonesia terutama
pada stabilitas keamanan negara dan sudah tentu sangat merugikan bagi Indonesia
bukan hanya yang bersifat materil tetapi juga moril.
Martha Crenshaw berpendapat bahwa terorisme merupakan aksi kekerasan
yang bertujuan untuk melawan pemerintah serta kebijakan negara.1Kejadian bom
Bali pada tahun 2002 merupakan terorisme baru (new terorism). Crenshaw
mendefinisikan new terorism adalah aksi yang berpegang pada paradigma sama
dengan bentuk terorisme masa lalu, namun cara yang digunakan berubah dan
1Martha Crenshaw, “The Causes of Terorism”, Comparative Politics13, no 4. (Juli 1981):
h. 379.
2
sedikit berbeda seiring dengan perkembangan zaman. Cara tersebut dapat kita
ketahui dengan modus operasi untuk melakukan aksi teror.2
Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya.
Namun lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar
keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat.
Tumbuh suburnya terorisme tergantung lahan di mana ia tumbuh dan
berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan
tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat
berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat
yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrem atau radikalisme
keagamaan.3
Terorisme selalu menjadi ancaman yang menakutkan bagi setiap kalangan,
baik pemerintah maupun masyarakat luas. Terorisme merupakan buah dari
radikalisme. Mengapa demikian, sebab radikalisme adalah paham yang
mengakibatkan seseorang atau kelompok melakukan aksi terror demi tercapainya
keinginan atau misi tertentu. Misalkan, menginginkan kekuasan atau membuat
ketakutan pada kelompok lain, seperti ISIS dan tindakan-tindakan bom bunuh diri
yang menimbulkan kepanikan pada kelompok dan masyarakat tertentu. Maka dari
itu radikalisme merupakan titik awal berkembangnya terorisme.
Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme
merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat
2 Jeli Agri Famela. “Pro dan Kontra pelaksanaan program deradikalisasi Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme”. (Skripsi S1fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas
Indonesia,2013), h. 1. 3 BNPT “Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS”, h. 1.
3
revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat
kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa
dikenali dari sikap dan paham radikal. Pertama, intoleran (tidak mau menghargai
pendapat &keyakinan orang lain). Kedua, fanatik (selalu merasa benar sendiri;
menganggap orang lain salah). Ketiga, eksklusif (membedakan diri dari umat
Islam umumnya). Keempat, revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara
kekerasan untuk mencapai tujuan).4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “radikal” mempunyai
“makna secara mendasar atau perubahan yang amat keras untuk menuntut
pembaharuan”. Sedangkan “radikalisme” dalam KKBI adalah “paham atau aliran
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis”. Dari definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa
radikalisme merupakan cara pandang yang dimiliki seseorang untuk suatu
perubahan dengan cara kekerasan, tentu tidak semua radikalisme melakukan hal
tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Petrus Reinhard Golose, radikalisme
menurutnya merupakan cara pandang yang dianut seseorang untuk perubahan
yang mendasar sesuai interprestasi ideologi dan kondisi sosial yang ada.
Perubahan tersebut dapat dilakukan secara persuasif damai namun juga terkadang
bersifat frontal atau dengan cara kekerasan fisik dan kekerasan simbolik. Namun
pada akhirnya radikalisme cenderung dan identik dengan kekerasan bahkan
sampai pada bunuh diri demi tercapainya kemuliaan hidup yang diyakini.5
4 BNPT “Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS”, h. 1.
5Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan
Menyentuh Akar Rumput (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009), h. 38.
4
Dari pemaparan Golose di atas memberikan asumsi bahwa radikalisme
selalu identik dengan ideologi dan realitas sosial yang ada. Maka kecenderungan
radikalisme adalah keinginan pada perubahan yang sesuai dengan interpretasi
ideologi penganut paham tersebut. Meskipun perubahan tersebut harus melalui
cara kekerasan atau bahkan dengan membunuh. Di dalam pemahaman agama,
radikalisme sering di artikan sebagai wujud dari pemurnian agama, seperti Islam
radikalis yang menginginkan suatu perubahan atau mengembalikan Islam pada
masa keemasannya (golden age). Pada dasarnya untuk mencapai masa itu tidak
harus dengan kekerasan tetapi dengan cara lain seperti ilmu pengetahuan,
peradaban dan lainnya. Namun ada sebagian orang yang menganggap bahwa cara
radikal adalah jalan terbaik untuk menggapai itu, dan mereka menggunakan ayat-
ayat Al-Qur’an sebagai pembenaran terhadap tindakannya seperti ayat berikut:
م وٱعل
ة
ظ
م غل
فيك
يجدوا
ار ول ف
ك
ن ٱل م م
ك
ىه
ذين يل
ٱل
ىا
تل
ق
ذين ءامنىا
ها ٱل ي
أه مع ي
ن ٱلل
أ
قينىا ت
(ٱل
٣٢١(
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah (qatil) orang-orang kafir di
sekelingmu dan hendaklah mereka merasakan kekerasanmu (dan permusuhan
terhadap mereka) dan ketahuilah bahwa Allah sesungguhnya bersama orang
yang bertakwa (dan beramal kebaikkan) (Q.S. At. Taubah [9]: 123)”6
Jika dilihat dari teks ayat di atas maka tidak ada alasan untuk tidak
memerangi atau membunuh orang kafir. Akan tetapi apakah benar jika itu
dilakukan di masa sekarang khususnya di Indonesia.? Tentu saja tidak, bahkan hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama di negeri ini.
6 Al-Qur’an terjemah Kementrian Agama RI
5
Sachedina memberikan gambaran, bahwa ayat tersebut turun pada abad ke-7
dimana pada waktu itu umat Islam berusaha untuk melindungi dirinya. Maka dari
itu, Islam dan al-Qur’an adalah suatu kewajiban moral religius yang diemban oleh
orang-orang yang bertakwa, untuk membela dirinya dari ancaman dan gangguan
orang-orang kafir waktu itu.7
Jika kita lihat dari teks al-Qur’an di atas, mungkin yang menjadi landasan
pengeboman di Bali pada tahun 2002 tersebut, merupakan hasil dari interprestasi
dalam al-Qur’an yang memerintahkan untuk memerangi bahkan membunuh
orang-orang non-Islam.
Pemahaman terhadap al-Qur’an yang bersifat radikal atau terhadap teks al-
Qur’an yang secara teks memang mengandung arti untuk berbuat radikal haruslah
menjadi perhatian khusus bagi BNPT, masyarakat sipil dan para cendekiawan
Muslim agar tindakan radikal yang mengatasnamakan agama tidaklah semakin
berkembang. Dengan memaparkan teks-teks al-Qur’an yang berhubungan dengan
kasih sayang, keadilan, dan juga menghormati perbedaan keyakinan, sebab agama
manapun tidak akan pernah setuju dengan kekerasan.
Paham-paham radikal dewasa ini semakin memperhatikan hal ini
dibuktikan oleh survei nasional BNPT bersama The Nusa Institute serta Forum
Koordinasi Pencegahan Terorisme di 32 Propinsi dengan mengambil 9.600
responden yang hasil cukup memprihatinkan terutama di lima provinsi; Bengkulu
58,58%, Gorontalo 58,48%, Sulsel 58,42%, Lampung 58,38% dan Kal.Utara
7Abdulaziz Sachedina, Beda Tapi Setara; Pandangan Islam Terhadap Non-Islam
(Jakarta; PT. Serambi Ilmu Semesta, cet, II 2004), h. 196.
6
58,30%. Menurut Nasarudi Umar persentase tersebut merupakan peringatan bagi
bangsa Indonesia sehingga tidak menganggap hal ini sepele.8
Tidak hanya itu di lingkungan sekolah dan kampus pun paham radikal juga
begitu memprihatinkan, hal ini dapat dibuktian dengan survei yang dilakukan oleh
PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017. Dengan 2.181 responden
terdiri dari siswa dan mahasiswa dan guru di 34 provinsi menunjukkan angka
37,71% setuju bahwa jihad itu berarti perang (qital) dan membunuh orang lain,
33,34 tidak masalah jika ada tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas, dan
23,35% setuju bom bunuh diri sebagai salah satu bentuk jihad. Tidak hanya itu
saja paham radikal juga terjadi pada kalangan mahasiswa, survei PPIM UIN
Syarif Hidayatullah 2017 menunjukan angka yang begitu memperihatinkan
sebanyak 34% sangat radikal, 18% radikal, 22% netral, 10% moderat dan 15%
sangat moderat, maka jika kita asumsikan dari 1000 mahasiswa maka ada lebih
dari 500 mahasiswa yang berpaham radikal selebihnya netral dan moderat.
Melihat fenomena ini maka pemerintah sangat perlu waspada terhadap bahaya
paham radikal yang mengacu pada tindakan terorisme sebab ini akan merugikan
bangsa dan Negara.9
Selaian itu hasil riset Wahid Foundation dalam tiga tahun terakhir
menunjukkan bahwa paham radikal yang bersifat sosial keagamaan masih
8 Lihat https://m.merdeka.com/peristiwa/survei-BNPT-lima-daerah-ini-memiliki-potensi-
radikal-cukup-tinggi.html diakses pada 17 Juli 2017. 9 Andhika Chrisnayudhanto “Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme
Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme” (Direktur Kerjasama Regional Dan
Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2018) (dukomen ini didapatkan ketika
wawancara pertama bersama, Alamsyah M Djafar melalui Whatsapp pada tanggal 29 oktober
2018).
7
8
dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan dibidang penanggulangan
terorisme. Dan Ketiga, melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan
terorisme dengan membentuk Satuan-Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-
unsur instansi Pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.
Tidak hanya cukup pada BNPT saja masyarakat atau lebih tepatnya
masyarakat sipil (civil society) harus berperan aktif. Sebab masyarakat sipil
merupakan masyarakat yang mempunyai sikap terbuka, egaliter, bebas dari
dominasi dan tekanan Negara.10
Maka dari itu masyarakat sipil dipandang penting
berpartisipasi, mencegah dan menanggulangi adanya gerakan radikalisme agama
yang mengacu pada tindakan terorisme terutama para LSM (lembaga Swadya
Masyarakat) yang memang konsen dibidangnya.
Peran masyarakat sipil begitu penting dalam mencegah radikalisme agama,
seperti yang di sampaikan oleh Hamka Hasan bahwa aksi terorisme harus dicegah
dengan langkah-langkah konkret, terkoordinasi, dan berkesinambungan dengan
bertumpu pada sinerginitas potensi dan peran aktif masyarakat di daerah, Selain
itu juga memberdayakan kemampuan masyarakat untuk melakukan sistem deteksi
dini terhadap kemungkinan munculnya aksi kelompok RT di sekitar tempat
tinggal masing-masing.11
Oleh sebab itu penting bagi BNPT untuk melakukan kerja sama dengan
berbagai LSM/masyarakat sipil terutama dalam bidang pencegahan, atau dalam
10
Ubaedillah dkk, Pendidikan Kewarganegaran (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia Dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidaytullah Jakarta edisi ketiga,
2009), h. 47. 11
Lihat http://id.beritasatu.com/home/nusa-institute-gandeng-BNPT-cegah-
terorisme/47244 diakses pada 17 Juli 2017.
9
10
Dari sekian banyak LSM (masyarakat sipil) yang bermitra dengan BNPT
ada dua LSM yang menurut penulis cukup sering berkolaborasi dengan BNPT
dalam hal pencegahan, perlindungan dan deradikasasi yaitu:
1. The Nusa Institute
Merupakan organisasi yang mempunyai konsen dalam hal permasalahan
radikalisme agama seperti yang tertera dalam visi dari organisasi ini yaitu menjadi
lembaga terkemuka dalam menciptakan masyarakat sipil yang ramah, toleran dan
berke-adaban.12
Dilihat dari visi lembaga ini maka The Nusa Institute merupakan lembaga
yang begitu peduli dan konsen terhadap permasalahan radikalisme agama yang
terjadi di negeri ini melihat problema radikalisme agama yang mengacu pada
tindakan teroris begitu memperihatinkan sehingga kiprah dari The Nusa Institute
sangat penting.
2. Wahid Foundation
Organisasi ini didirikan pada tanggal 7 September 2014, organisasi ini
memiliki visi yang sangat kental dengan pribadi Gus Dur yaitu kemanusiaan dari
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam memajukan pengembangan toleransi,
keberagaman dalam masyarakat Indonesia, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat miskin, membangun demokrasi dan keadilan fundamental, dan
memperluas nilai-nilai perdamaian dan non-kekerasan di Indonesia dan di seluruh
dunia.13
Dari visi ini sudah sangat jelas bahwa lembaga ini merupakan lembaga
yang menjunjung tinggi perdamaian dan mengecam kekerasan oleh sebab itu
12
Lihat https://thenusainstitute.wordpress.com/profil /, diakses pada 17 Juli 2017. 13
Lihat http://wahidfoundation.org/index.php/page/index/About-Us, diakses pada 17 Juli
2017.
11
Wahid Foundation selalu menjadi yang terdepan dalam permasalahan toleransi
dan mengecam tindakan kekerasan dalam hal ini radikalisme agama yang
mengacu pada tindakan radikal sebagaimana kita ketahui bahwa tindakan RT
sangatlah merugikan bagi bangsa ini.
Dengan adanya kolaborasi atau kerja sama dengan masyarakat sipil diatas
tentu BNPT sebagai aktor utama berharap kerja sama dalam mencegah paham
radikalisme agama yang mengacu pada tindakan terorisme dapat ditekan dan
mengurangi angka paham RT yang tentu sangat merugikan dan mengkhawatirkan
stabilitas Nasional. Namun sejauh mana efektifitas organisasi diatas melakukan
kontra radikalisme agama dan menekan adanya pertumbuhan paham-paham
radikal yang ada di negara ini seperti yang telah dilakukan di berbagai daerah
diseluruh negeri ini sehinga presentase timbulnya tidakan RT dapat ditekan
bahkan mengurangi presentase14
tersebut. Tidak hanya semakin meningkatnya
radikalisme dan terorisme, akan tetapi masih ada beberapa mantan narapidana
terorisme yang sudah bebas kemabali menjadi dalang atau aktor tindakan teror,
seperti bom di Sarinah Jakarta Pusat. Maka dari ini penulis mengambil judul pada
skripsi ini “Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan
Masyarakat Sipil dalam Mencegah Radikalisme Agama di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana peran BNPT dan Masyarakat sipil dalam mengatasi
radikalisme agama?
14
Sebegaimana yang survey yang dilkukan oleh The Nusa Institute serta Forum
Koordinasi Pencegahan Terorisme dengan mengambil 9.600 responden dari 32 provinsi
diantarnya; Bengkulu 58,58%, Gorontalo 58,48%, Sulsel 58,42%, Lampung 58,38% Kal.Utara
58,30% .
12
C. Tujuan Penellitian
Mengetahui peran BNPT dan Masyarakat sipil dalam mengatasi
radikalisme agama
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut;
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan akhir
perkuliahan untuk meraih gelar Sarjana Agama (S.Ag) dalam Jurusan Studi
Agama-Agama Fakultas Ushuluddin (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran atau
memperkaya konsep-konsep dan teori-teori terhadap ilmu pengetahuan dari
penelitian yang sesuai dengan bidangnya. Suatu penelitian secara teoritis dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan tentang peran
masyarakat sipil dalam menghadapi dan mengatasi perkembangan paham
radikalisme agama, juga memberikan pemahaman tentang peran penting
masyarakat sipil dan BNPT dalam memberikan solusi agar radikalisme agama
tidak dapat terjadi atau bisa dicegah.
3. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan penulis dapat mengerti apa itu
masyarakat sipil, BNPT, radikalisme, terorisme dan peran masyarakat sipil dan
BNPT dalam mencegah radikalisme dan terorisme yang beralasan Agama.
13
E. Kajian Pustaka
Dewasa ini kajian radikalisme dan terorisme sangat banyak namun yang
menjadi konsentrasi adalah bagaimana mengatasi adanya terorisme dan
radikalisme yang mengancam stabilitas keamanan bagi bangsa dan Negara.
Meskipun telah banyak yang mengupas dan menulis karya ilmiah maupun skripsi,
namun penelusuran penulis tentang radikalisme agama dan masyarakat sipil dalam
penulisan skripsi, penulis menemukan dua, pertama, ditulis oleh Taufiqurrahan
mahasiswa jurusan hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Malang tahun 2017 dengan judul Peran Nahdhatul Ulama
Dalam Menangkal Gerakan Radikalisme Global di Indonesia. Kedua, Tesis yang
ditlulis oleh Rima Sari Indra Putri Sekolah Kajian Pertahanan dan Strategi
Program Studi Menagemen Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia dengan
judul Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) dan Masyarakat sipil
(Studi Kasus: Ketidakterlibatan Muhammadiyah Dalam Nota Kesepahaman
Bersama Antara BNPT dan Organisasi Islam Tahun 2011).
Sedangkan kajian yang saya bahas merupakan kajian yang berbeda dengan
judul skripsi, tesis, dan journal di atas, kajian yang akan saya tulis merupakan
kajian yang menurut saya merupakan kajian yang komprehensip mengenai BNPT
dan masyarakat sipil dalam menangani radikalisme agama di Indonesia yang lebih
fokus pada masyarakat sipil dan radikalisme agama yang dewasa ini menjadi
tantangan besar untuk tercapainya stabilitas keamanan tentu juga tidak
menjadikan agama sebagai kambing hitam akibat perbuatan kaum radikal.
14
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan
Melihat jenis permasalahan di atas dan untuk menjelaskan permasalahan
yang terjadi maka penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, penelitian
kualitatif adalah kerangka penelitan yang disusun untuk mencari makna
pemahaman, pengertian, tentang suatu fenomena, kejadian, maupun kehidupan
manusia dengan cara terlibat langsung dan atau tidak langsung dalam setting yang
diteliti, kontekstual dan menyeluruh.15
Selanjutnya dalam memahami dan
menggambarkan suatu gejala sosial keagamaan, maka dipandang penting
penelitian kualitatif dengan penelitian diskriptif. Sebab penelitian diskriptif
merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengambarkan gejala sosial, politik,
ekomoni dan budaya.16
Dalam dalam kasus ini penelitian kualitatif dan deskriptif
berusaha menjelaskan permasahan mengambarkan sejauh mana BNPT dan
masyarakat sipil berusaha mengatasi dan mencegah radikalisme agama di
Indonesia dan bagaimana peran masyarakat sipil (LSM terkait; Wahid Foundation
dan The Nusa Institute) dalam menekan pertumbuhan paham RT.
Untuk memahami suatu gejala atau kejadian maka dibutuhkan pendekatan
yaitu pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang
melihat atau berusaha menjelaskan sejauh mana pengaruh agama terhadap prilaku
individu maupun kelompok dengan menggunakan teori-teori sosiologi.17
15
Prof. Dr. S. Nasution, MA, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung:
PT.Tarsito Bandung), h. 30. 16
Drs. U. Maman Kh., M.Si, dkk, Metodologi Penelitian Agama Teori Dan Praktik
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 20012), h.29. 17
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 61.
15
2. Sumber penelitian
a. Data Primer
Data disini merupakan data pokok yang dikaji sebagai bahan utama untuk
memperoleh jawaban atas persoalan yang ada. Data primer ini, digali dari
berbagai berupa wawancara dengan BNPT (Bapak Nanda), The nusa institute
(Syahrullah Iskandar) dan Wahid Foundation (Alamsyah M Djafar) dan literatur
yang ditulis secara langsung oleh tokoh yang dikaji dalan hal ini Wahid
Foundation, The Nusa Institute serta BNPT atau literatur yang ditulis oleh para
sarjana atau ahli dalam bidangnya.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data penunjang dari data primer. Diantaranya buku-
buku yang berhubungan dengan radikalisme agama, baik melalui literature
maupun media online, maupun media cetak dan juga hasil penelitian para ahli.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Tahapan Penelitian
a. Metode Observasi
Metode observasi merupakan metode yang menggunakan pengamatan
langsung terhadap benda, kondisi, situasi, proses atau perilaku.18
Dari metode ini
maka penelitian ini berusaha untuk mengamati BNTP dan masyarakat sipil dalam
mengatasi paham radikalisme agama yang mengacu pada tindakan teroris yang
terjadi pada masyarakat dan pola yang dipakai oleh masyarakat sipil (The Nusa
Isntitute dan Wahid Foundation) dalam mengatasi adanya paham tersebut.
18
Sanapiah Faisal, Format Format Penelitian Sosial (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada,
2008) h. 52.
16
b. Metode wawancara
Medode wawancara merupakan metode untuk mendapatkan informasi dari
informan dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, metode ini pertanyaan yang
terkadang berubah sesuai dengan kebutuhan.19
Dalam metode ini penelitian
dilakukan dengan wawancara langsung kepada The Nusa Isntitute (Syahrullah
Iskandar) dan Wahid Foundation (Alamsyah M Djafar) tentang apa yang
dilakukan bersama BNPT (Bapak Nanda) dalam mencegah dan menangulangi
paham-paham radikal.
c. Studi Kepustakaan
Selain dari dua metode di atas, studi kepustakaan merupakan hal yang
penting. Sebab untuk menunjang penelitian ini maka dibutuhkan refrensi baik dari
jurnal, skripsi, tesis, disertasi maupun buku yang berhubungan dengan penelitian
yang diambil
4. Analisis Data
Seperti yang peneliti sebutkan di atas bahwa penelitian kualitatif dan
deskriptif dalam artian, bahwa penulis akan menguraikan dan menjelaskan secara
objektif terhadap temuan atau hasil dari penelitan. Oleh karena itu maka dalam
analisis data ini, metode diskriptif analitis sangatlah penting karena metode
tersebut meminta penulis untuk bisa menguraikan dan menjelaskan secara rinci
terhadap temuan-temuan yang diperoleh oleh peneliti agar menghasilkan
penelitian yang maksimal dan dapat diambil kesimpulan.20
19
Sanapiah Faisal, Format Format Penelitian Sosial, h. 52. 20
Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 337.
17
Penyusunan skripsi ini berpedoman pada keputusan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta nomor 507 tahun 2017 tentang pedoman penulisan karya
ilmiah (Skripsi, Tersis, dan Disertasi).
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini dibagi mejadi lima bab atau lima bagian; Pertama
merupakan pendahuluan. Dalam bab ini tercakup di dalamnya lima pasal
pembahasan yang terdiri dari latar belakang masalah; rumusan masalah; tujuan
penelitian; metode penelitian; dan sistematika penulisan. Kedua, problematika
radikalisme dan upaya pencegahannya. Ketiga, menjelaskan bagaimana peran
Badan Nasionl Penangulangan Terorisme (BNPT) masyarakat sipil atau LSM
(Wahid Foundation, The Nusa Institute) dalam mencegah dan menangggulangi
radikalisme. Keempat, tetang anilisis peran BNPT dan masyarakat sipil dalam
uapaya pencegahan paham radikal. Dan yang kelima, kesimpulan, kritik dan
saran.
18
BAB II
BNPT DAN PROBLEMATIKA RADIKALISME DI
INDONESIA
A. Radikalisme
Kata radikalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
“paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik dengan cara kekerasan atau drastis”. Yang dimaksud dengan radikalisme
adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan
dalam mengajarkan keyakinan mereka. Mereka suka melakukan tindakan-
tindakan teror, yang berarti menakut-nakuti atau menyebabkan ketakutan.1 Dari
dua definisi tersebut maka dapat kita artikan bahwa radikalisme merupakan
paham yang bermuara pada tindakan kekerasan atau tidakan yang merugikan
berbagai pihak atau kelompok.
Manurut Horace M. Callen ada tiga ciri khas dari radikalisme, pertama.
radikalisme merupakan reaksi terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Hal itu
bias memicu munculnya suatu evaluasi, penolakan atau perlawanan terhadap ide
yang dianggap bertentangan dengan kondisi yang ada. Kedua, radikalisme tidak
hanya berhenti pada sekedar penolakan, tetapi ada upaya untuk mengganti tatanan
yang sudah ada dengan tatanan lain karena ada keyakinan pada tatanan yang
1Nur Khamid, “Bahaya Radikalisme terhadap NKRI”, Millati, Journal of Islamic Studies
and Humanities1, no. 1 (juni 2016): h. 123-153.
19
sudah dipersiapkan untuk menggantinya. Ketiga, berpegang teguh pada keyakinan
atau ideologi yang mereka bawa.2
Membahas masalah radikalisme sebenarnya tidak lepas dari pada spektrum
politik, maka tidak heran jika definisi radikalisme kental dengan aroma politik.
Seperti penjelasan pada paragraf pertama bahwa radikalisme adalah usaha politis
untuk mewujudkan suatu tujuan dengan berbagai cara, mulai dari tindakan yang
soft atau lobi politik dan tindakan yang keras seperti upaya tindakan kekerasan
demi tercapainya tujuan.
Ada beberapa faktor yang menimbul terjadinya paham radikal, pertama,
adalah faktor politik atau tekanan kekuasan, di berbagai dunia termasuk di
Indonesia fenomena radikalisme dan fundamentalisme muncul merupakan buah
dari otoritarianisme. Pada masa orde baru radikalisme merupakan common enemy
sehingga pemerintah membabat habis gerakan tersebut, permerintah waktu tidak
mebeda-bedakan antara radikalisme kanan dan kiri.3
Kedua, faktor keagamaan, tidak dapat dibantah lagi bahwa salah satu
penyebab munculnya radikalisme adalah faktor sentiment keagamaan. Termasuk
juga aksi solidariats kegamaan untuk suadara seimannya yang tertindas oleh
kalangan tertentu. Dalam kondisi seperti itu lebih tepat menggunakan istialah
keagamaan bukan agama, sebab radikalisme selalu menggunkan simbol atau
bendera sebagai dalih untuk membela Agama, jihad dan syahid. Maka dari itu
dalam konteks ini emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas
2 Horace M. Kallen. “Radicalism”, Dalam Encycolopedia of the Sosial Science, ed. Edwin
R. A Seligman, (The Macmillan Company XIII and XIV 1963), h. 51-52. 3 Sun Choirol Ummah, “Akar Radikalisme Islam Di Indonesia”, Humanika,no. 12 (Sept,
2012): h. 118-121.
20
yang sifatnya inetepretatif.4 Sebagai contoh untuk kasus ini adalah kerusahan
sebelum reformasi di mana banyak geraja dan usaha, toko dan perusahaan etnis
Cina dijarah dirusak bahkan dibakar.
Ketiga, faktor kultural merupakan faktor yang efeknya cukup besar dalam
melatarbelakngi munculnya radikalisme, yang dimaksudnya dengan faktor
kulutural adalah sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme. Oleh sebab itu
dalam kehidupam sosial, kita sering melihat ada beberapa bagian masyarakat yang
berusaha keluar dari kebudayaan yang dinggap tidak sesuai dengan kehidupan
secara umum, atau menyimpang dari kebiasaan sebelmunya seperti budaya
sekuler. Bahkan memushi sekulerisme, kerana mereka menganggap budaya
tersebut berasal dari Barat yang berusaha merongrong budaya Islam.5
Keempat, faktor ideologis antiwesternisme, westernisme merupakan suatu
pemikiran yang membahayakan dalam mengaplikasikan syariat Isalm. Sehingga
simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi tegaknya syariat Islam. Tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa, sikap antiweternisme menjadi salah faktor timbulnya
radikalisme. Meskipun cara radikal tersebut menunjukkan ketidakmampuan
meraka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di
negara-negara Islam Untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya
frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi,
militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Seperti yang terjadi pada
negara-negara Islam. Sebab pemrintah dianggap tidak bisa menacari solusi
4 Sun Choirol Ummah, “Akar Radikalisme Islam Di Indonesia”, h. 118-121.
5 Sun Choirol Ummah, “Akar Radikalisme Islam Di Indonesia”, h. 118-121.
21
terhadap apa yang terjadi pada negerinya. Sehinga tindakan kekerasan muncul
sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah.6
Keenam, adalah faktor pers atau media massa Barat yang selalu
memojokan Islam juga menjadi faktor munculnya raeksi kekerasan yang
dilakukan oleh umat Islam, faktor ini juga menjadi salah faktor yang membuat
seakan akan radikalisme semakin masif dan semakin berkembang.7
Dalam kajian ideologis, radikalisme mempunyai dua makna; Pertama,
ideologi non-kompromis yang berhubungan dengan penerimaan pembangunan,
perubahan, dan konsep kemajuan. Kelompok yang memiliki pemikiran dan
orientasi tersebut merupakan radikal kanan sedangkan ideologi non kompromis
yang berpegang nilai-nilai berdasarkan masa lalu atau berpegang teguh pada nilai-
nilai yang ada di masa lalu dan tidak mau terhadap perubahan disebut radikal kiri.
Dalam perspektif politik, radikalisme adalah orientasi politik yang cenderung
melakukan perubahan melalui revolusi. Dalam perspektif ini istilah radikalisme
adalah suatu keyakinan akan adanya perubahan pada masyarakat dan perubahan
tersebut akan terwujud melalui cara-cara revolusi. Perspektif ini kemudian disebut
ekstrem kanan dan ekstrem kiri, lawan dari moderat. Dalam pemikiran
radikalisme kita dapat menemukan pada berbagai kelompok atau golongan, baik
modernis maupun tradisonalis, baik skularis maupun puritanis, pluralis maupun
konservatif dan globalis maupun nasionalis. Maka dari itu paham radikal atau
radikalisme terjadi jika antara satu sama lain tidak mau menerima perbedaan ide
pemikiran. Karena keduanya akan sama-sama mempertahankan kebenaran yang
6 Sun Choirol Ummah, “Akar Radikalisme Islam Di Indonesia”, h. 118-121.
7Sun Choirol Ummah, “Akar Radikalisme Islam Di Indonesiah. 118-121.
22
mereka anut dan tidak mau menerima kebeneran yang lain, dan cendrung saling
menyalahkan.8
Di Indonesia masalah radikalisme yang selalu menjadi sorotan dan
menadatpakan lebel kaum radikal adalah kelompok kedua (tradisonalis,
konsevatif, puritanis, dan nasionalis) yang selalu menolak adanya perubahan yang
terjadi pada masyarakat. Namun pada kenyataannya kelompok pertama
(modernis, sekularis, pluralis dan globalis) juga tidak kalah ngototnya dalam
mempertahankan dan memaksakan pada kelompok lain.9
Kedua, radikalisme dalam gerakan mempunyai kecendurungan pendekatan
non-kompromis terhadap problematika sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut
terjadi karena ketidakpuasan yang sangat tinggi terhadap status quo dan keinginan
adanya perubahan yang cepat dengan mengunakan cara-cara ekstrem. Dalam
gerakan radikal kita dapat menemukan ekstrem kanan dan ekstrem kiri.
Kaduannya sama menginginkan perubahan yang fundamental terhadap
masyarakat dan kemimpinan. Meskipun pada dasarnya mereka menggunakan cara
yang berbeda. 10
Radikalisme muncul dengan berbagai sudut pandang seperti radikalisme
Islam. Radikalisme dalam Islam sebenarnya tidaklah lepas dari spektrum politik
yang terjadi di masa lalu yang berujung pada bahwa agama sebagai simbol, pada
masa ke-khalifahan Umar, radikalisme sudah ada yang berujung pada
penyerangan khalifah Umar. Tidak hanya sampai di situ, puncak pemasalahnya
8 Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme (Surabaya: Intran Publishing, Juni 2016) h.
27. 9 Achmad Jainuri, Radikalisme, h. 27.
10 Achmad Jainuri, Radikalisme, h. 28.
23
adalah peristiwa tahkim yang kemudian muncul aliran khawarij yang merupakan
awal dari pada gerakan radikal atau disebut radikalisme khawarij.11
Meskipun
Islam merupakan rahmatan lil alamin, namun melihat sejarah dan kejadian yang
terjadi dewasa ini dan sering dihubungkan dengan Islam radikal. Maka tidak bisa
dibantah, bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam
tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis, atau
mempertahankan paham keagamaannya secara kaku. Yang dalam bahasa
peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.12
Paham radikal tidak hanya terjadi pada Islam, tetapi juga pada agama lain.
Istilah radikalisme terus berkembang dan ada pada setiap agama seperti Kristen,
Hindu dan Budha. Dalam agama Kristen radikalisme muncul sejak abad
pertengahan mulai dari perang salib, kolonialisme pada 18 dan 19 atas dunia
muslim bukan tanpa kekerasan tapi serat akan kekerasan. Sementara kasus
radikalisme dalam agama Kristen dimulai pada abab 15. Di mana Martin Luther
King seorang deklator Protestan diangggap sebagai radikalis oleh para pendeta
Katholik, sebab memunculkan perpecahan antar ummat Nasrani.13
Di Indonesia
pembakaran masjid pada 17 juli 2015 di Tolikara yang dilakukan oleh
sekelompok orang Kristen (Gidi) menjadi bukti bahwa radikalisme agama dalam
Kristen tidak dapat dipungkiri. Sedangkan radikalisme dalam agama Buddha
dapat kita lihat dalam kasus di Myanmar terhadap para menoritas muslim
Rohingya.
11
Anzar Abdullah “Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis”. Addin 10, no.
1 (2016): h. 1-28. 12
Sun Choirol Ummah, “Akar Radikalisme Islam di Indonesia”, h. 112-124. 13
Ruslan Ismail Mage, “Prospek Gerakan Radikalisme di Indonesia”.Jurnal Populis 2,
No.3 (Juni 2017): h. 246.
24
Di Indonesia gerakan Islam radikal di mulai pada awal 1950-an yang
disebut dengan Darul Islam, yang didirikan oleh Kartosuwirjo. Namun perlu
dicatat bahwa secara tidak resmi Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII)
sudah berdiri sejak Mei 1948 namun baru diproklamasikan14
pada 7 Agustus 1949
di Cisamapak Kecamatan Cilugagar Kebupaten Tasikmalaya.15
Dalam sejarah
gerakan ini berhasil digagalkan. Kemudian pada 1976 muncul gerakan Komando
Jihad (Komji), gerakan ini melakukan aksinya dengan meledakkan tempat ibadah.
Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Tidak lama
kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan yang beraroma radikal
yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan gerakan-gerakan radikal
lainnya yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dan
yang lainnya. Semangat radikalisme tentu tidak luput dari persoalan politik,
persoalan politik memang seringkali menimbulkan gejala-gejala tindakan yang
radikal. Sehingga berakibat pada kenyamanan umat beragama yang ada di
Indonesia dari berbagai ragamnya.16
B. Pencegahan Paham Radikal
Kata “pencegahan” berasal dari kata “cegah” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) yang mempunyai arti “menahan atau merintangi” sendangkan
14
Bunyi proklmasi Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII) “Kami umat Islam
Indonesia menyatakan berdirinnya negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara
Islam adalah Islam”. Dikutip dari buku NII sampai JI Salafi Jihadisme di Indonesia oleh
Solehuddin. 15
Solahuddin, NII sampai JI Salafi Jihadisme di Indonesia (Jakarta: Komonitas Bambu,
2011), h. 65. 16
Ahmad Asrori, “Radikalisme di Indonesia: Antara Historis dan Antropisitas”.Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 9, no. 2 (Des, 2015): h. 235-268.
25
pencegahan sendiri mempunyai arti “proses, cara, perbuatan mencegah,
penegahan, dan penolakan.”
Dalam kaitannya dengan pencegahan radikalisme agama dan terorisme
adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan BNPT dalam menolak paham-
paham radikal yang terjadi pada masyarakat demi ketentraman dan utuhnya
NKRI. Sebagaimana kita ketahui bahwa radikalisme agama merupakan salah satu
pintu kejahatan yaitu terorisme. Maka dari itu pemerintah membuat beberapa
kebijakan yang berhubungan langsung bagaimana cara atau proses pemerintah
mecegah radikalisme agama tersebut. Seperti yang dijelasakan dalam blue print
BNPT yaitu ada dua kebijakan yang dilakukan untuk mencegah paham RT;
Pertama, mencegah penyebaran ideologi. Kedua, melindungi masyarakat dari aksi
terorisme dengan mengedepankan partisipasi aktif dari masyarakat, sinergi antar
Kementrian dan Lembaga terkait. Agar tercipta rasa aman di tengah masyarakat
guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari kedua
kebijakan diatas maka untuk melakukan hal tersebut tidak hanya pemerintah saja
tetapi masyarakat dan masyarakat sipil mempunyai andil penting untuk mencegah
paham radikal.
Setidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan dalam mencegah paham
radikal atau radikalisme yang mengancam segala aspek di negara ini;
1. Bersifat Pre-emptif untuk mengeliminasi paham-paham tersebut sejak dini, hal
ini dapat dilakukan para permerhati sosio-struktural masyarakat dibidang
ideologi, politik, sosial, ekonomi, dan ketahanan keamanan untuk melihat
potensi-potensi ancaman paham radikal sejak dini. Aparat pemerintahan dan
26
masyarakat lokal harus bekerjasama untuk menangani hal ini, secara sosiologis
kultural dan tidak mengedepankan otoritas apalagi kekuasaan. Tetapi, lebih
pada upaya saling asah, asih dan asuh. Upaya ini berlandaskan pada upaya
membangun kohesivitas sosial ditingkat komunitas, yang pada akhirnya
membangun otonomi secara devolusi dan bukan sekedar otonomi
administratif ruang publik harus disediakan pada tataran bawah.
2. Bersifat Preventif, pencegahan berupa mengurangi peluang (kesempatan)
penyebarannya, hal ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang didukung oleh
aparat keamanan secara sinergi, yang mengedepankan ketertiban sebagai
tujuan sosial, dan tidak semata-mata mengedepankan hukum dan pene-
gakannya.
3. Bersifat Repressif, melakukan tindakan hukum bagi mereka melanggar hukum
sebab upaya pre-emtif dan preventif tidak lagi bisa menjadi solusi utama bagi
mereka yang melanggar hukum atau telah melakukan tindakan yang merugikan
bagi orang lain dan terutama bagi Negara.17
Dari tiga aspek tersebut tentu pemerintah tidak bisa melakukan sendiri
perlu ada kerjasama dengan semua elemen dan tentunya masyarakat luas sehingga
radikalisme dapat dicegah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa radikalisme merupakan gejala awal
munculnya terorisme yang merupakan kejahatan dan bahkan tergolong extra
ordinary crime yang harus kita lawan dan cegah. Untuk mencegah tindak
17
Chairuddin Ismail. Paham Radikal dan Transisi Demokrasi serta Keutuhan NKRI.
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Penyebaran-Paham-Radikal-
Berbahaya-Bagi-NKRI-1435206305.pdf, diakses pada 22 Februari 2018.
27
kejahatan harus mengunakan cara atau strategi yang tepat untuk mengatasinya,
setidaknya ada dua strategi untuk mencegah tindak kejahatan;
1. Strategi Tidak Langsung yaitu; pertama, Peningkatan kualitas hidup. Kedua,
Menyediakan pendidikan yang baik. Ketiga, Menyediakan kegiatan mengisi
waktu senggang yang konstruktif. Keempat, Menyediakan kesempatan kerja.
Kelima, Membangun masyarakat. Keenam, Kesejahteraan dan bantuan
keuangan.
2. Strategi Langsung yaitu; Pertama, Penyelesaian masalah. Kedua Mengurangi
kesempatan. Ketiga, Patroli. Keempat, Kampanye publikasi. Kelima, Kujungan
ke penjara.18
Lalu bagaimana dengan strategi pemerintah, Undang-undang, BNPT, dan
masyarakat sipil dalam mencegah paham radikal yang mengacu pada tindakan
terorisme yang sudah jelas menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat kita bahkan
bagi keutuhan NKRI. Pemerintah melalui undang-undang nomor 5 tahun 2018
dalam pasal 43A ayat 3 tentang pencegahan terorisme; pencegahan dilaksanakan
melalui, a). Kesiapsiagaan Nasional. b), kontra radikalisasi. c). deradikalisasi.
Maka dari itu terbitnya undang-undang menjadi acuan langsung bagi BNPT dan
lembaga-lembaga terkait untuk mencegah agar paham RT. Tidak hanya itu,
masyarakat sipil dan seluruh masyarakat turut berperan aktif menangkal dan
mencegah paham-paham RT yang membahayakan bagi ketentraman dan keutuhan
NKRI
18
Jend. Pol. (Purn) Drs Kunarto, terj, Tern Kejahatan Dan Perdialan Pidana (Jakarata:
Cipta Manunggal,1996), h. 57-64.
28
UU NO. 5. 2018
PASAL 34A AYAT 3
KESIAPSIAGAAN NASIONAL KONTRA RADIKALISASI DERADIKLALISASI
PEMERINTAH
BNPT
KEMENTRIAN/LEMBAGA
PEMERINTAH
BNPT
KEMENTRIAN/LEMABAG
TOKOH AGAMA/AKADEMISI
PEMERINTAH
BNPT
LEMABAGA/LEMABAG
MASYARAKAT SIPIL Melalui pemberdayaan
masyarakat, peningkatan
kemampuan aparatur,
pelindungan dan
peningkatan sarana
prasarana,
pengembangankajian
Terorisme, serta
pemetaan wilayah rawan
paham RT
Dilakukan secara
langsung atau tidak
langsung melalui
kontranarasi,kontra
propaganda,ataukontra
ideologi melaui seminar,
workshop dan FGD
a. Identifkasi
b. Rehabilitasi
c. Redeukasi
d. Resosialisasi
Selain itu untuk mencegah agar tidak kembali menjadi
radikal dan teroris maka
diberi pembakalan:
a. Wawasan kebangsaan
b. Wawsan
keagamaan
c. Wirausaha
Dari UU No. 5 Tahun 2018 Pemerintah melakukan berbagai upaya
tindakan strategi agar paham radikal tidak terus berkembang, meskipun pada
faktanya masih banyak paham radikal yang menghantui masyarakat.
Perubahan dari UU No 15 tahun 2003 pada UU No 5 tahun 2018 ada
beberapa elemen yang ikut terlibat diantaranya, a), pelibatan meliter, keterlibatan
meliter ini tentu dilakukan secara hati-hati dan mengacu pada Pasal 26 Perpu No 1
Tahun 2002 jo UU No 15 Tahun 2003 dan juga pelibatan TNI yang bersifat
temporer sesuai kondisi darurat yang terjadi. b), Lembaga Pengawasan
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, lembaga ini diperlukan sebab untuk
29
mengawasi dan menjaga kehormatan Hak Asasi Manusia (HAM). c), masa
Penangkapan, pada pembahasan ini dikembalikan pada ketentuan Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1x24 jam. d), penyadapan, hal ini tentut
harus ada izin dari pengadilan dan sesuai dengan pasa 31A dan sudah ada bukti
permulaan yang cukup sesuai pasal 31. e), masa penahanan. f), perlindungan
korban tindak pidana terorisme. g), penelitian berkas seperti barang bukti. h),
Deradikalisasi. j), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). i),
Keterlibatan anak dalam tindak pidana terorisme. k), Aksi terror di luar wilayah
teritori Indonesia. l), pelibatan koorporasi. m), munjungjung tinggi HAM dan
aparat yang melanggar dapat dipidana.19
Pelibatan ini tentu memberikan angina
segar pagi upaya pencegahan paham radikal yang terus berkembang. Upaya
pelibatan tersebut merupakan usaha penuh pemerintah untuk mencegah paham
radikal yang berkembang pada masyarakat dari hulu hingga hilir. Atau lebih
tepatnya pencegahan paham radikal mulai dari akar rumput.
Selain itu perubahan Undang-undang tersebut merupakan aksi nyata
pemerintah. Dan benar-benar serius dalam upaya mencegah paham radikalisme
dan terorisme (RT). Perubahan tersebut merupakan upaya penting untuk
mencegah RT. Sebab Undang-undang tersebut tidak hanya membahas masalah
radikalisme dan terorisme, tetapi juga membahas masalah cara atau aturan
bagaimana aparat dan hukum harus bertindak agar tidak melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM). Undang undang tersebut juga membahas para korban tindak
pidana terorisme. Sebagaimana kita ketahui, korban tindak pidana terorisme
19
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluarga Paradoks Radikalisme dalam
Keluarga Indonesia (Jakarta: Pusat Riset Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas
Indonesia, 2018), h. 49-51.
30
mengalami terauma fisik dan psikologis sehingga butuh pemdampingan atau
konseling agar bisa kembali beraktifitas seperti semula. Pendampingan tersebut,
bertujuan agar korban tidak terpapar paham radikal.
Dalam upaya pencagahan radikalisme pemerintah harus lebih waspada
dalam segala aspek terutama pada tiga aspek berikut:
1. Sektor keuangan.20
Mengapa sektor keungan harus diwaspadai dalam upaya pencegahan
radikalisme. Karena pada dasarnya suatu pergerakan tanpa adanya dukungan
secara finansial akan sulit terealisasi atau tidak akan mampu bergerak tanpa adanya
kepastian pendanaan. Dalam kegiatan radikalisasi yang terjadi ditangah tengah
masyarakat hampir dapat dipastiakan ada insiator dan pendana yang sepakat dan
bertemu untuk menyebarkan paham-paham tertentu. Yang pada akhirnya akan
mengganggu kesetabilan politik negara tersebut. Menurut Croissant & Barlow,
kawasan Asia tenggara merupakan kawasan yang subur akan dana dan infrastuktur
bagi para teroris. Semestinya publik sadar bahwa setiap gerakan pasti ada
pendanaan. Terdapat tiga cara cara utama pendanaan dari lokal maupun
internasional untuk para aktivis radikalis dan teroris di Asia Tenggara. Tiga cara
utama tersebut adalah criminal activities, charities, serta front companies and
investment
Aktivitas criminal atau criminal activities dalam hal pendanaan gerakan
teroris seringkali didapati dari hasil perdagangan obat terlarang dan penjualan kecil
persenjataan ke kelompok-kelompok kriminal lainnya. Pada kasus Bom Bali dan
20
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluarga Paradoks Radikalisme dalam
Keluarga Indonesia, h. 62.
31
Bom JW Marriot di Jakarta, Al-Qaeda diketahui mendanai langsung Jama’ah
Islamiyah (JI) untuk aktivitas terornya. Dana yang didapat oleh Al-Qaeda
bersumber dari penjualan senjata api dan penjualan opium atau obat terlarang.
Terkadang juga didapat dari perampokan kepada orang-orang yang memang
diincar untuk diambil hartanya. Bahkan, pendanaan bisa datang melalui aktivitas
amal atau charity. Dari sini dapat kita pahami bahwa kegiatan kejahatan terutama
yang berhubungan dengan kegiatan terorisme dapat kita pastikan bahwa ada yang
menjadi inisiator atau pendana yang bergerak di belakang. Sehingga kegiatan
tersebut terus berlangsung dengan menggunakan jasa seseorang yang terkadang
tidak tahu dan bahkan seseorang tersebut hanya menjadi tumbal untuk melekukan
tindakan terorisme berkedok ideolgi agama.21
Yang menjadi catatan kita adalah pengumpulan dana untuk kegiatan-
kegiatan yang berafiliasi terhadap paham radikal melalui charity dan ini sering
dilakukan oleh Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) yang berafiliasi dengan
kelompok atau kegiatan terorisme. Kegiatan LSM tersebut secara tidak lansung
membantu dan melancarkan kegiatan-kegiatan radikalisasi yang ada negeri ini
seperti yang dilakukan KOMPAK (Komite Penanggulangan Dampak Krisis) di
Indonesia yang disinyalir memiliki hubungan erat dengan pimpinan Jama’ah
Islamiyah (JI). Oleh karena itu masyarakat harus lebih hati-hati dalam memberikan
batuan kepada LSM terutama pada LSM yang tidak jelas payung hukumnya atau
tidak terdaftar di Kemenkumham.
21
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluarga Paradoks Radikalisme dalam
Keluarga Indonesia, h. 62.
32
Investasi dari sebuah perusahaan kemudian menghasilkan keuntungan
yang sebagian diberikan secara cuma-cuma kepada kelompok tertentu guna
mendukung operasinya. Salah satu yang saat ini paling aktif melakukan metode ini
untuk mendanai kelompok-kelompok yang berafiliasi dengannya adalah ISIS atau
DAESH. ISIS merebut kilang-kilang minyak, lalu menjual hasilnya secara illegal
dan membagikan keuntungannya untuk operasional grup-grup terafiliasi di
berbagai belahan dunia. ISIS adalah grup teroris yang dilabeli Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai yang paling kaya di antara grup-grup teroris lain.
Beberapa perusahaan dari Timur Tengah memang disinyalir melakukan pendanaan
kepada beberapa kelompok di Asia Tenggara, salah satu penerimanya adalah JI,
simpatisan ISIS. Akan tetapi, ada kecenderungan juga ISIS didanai oleh negara-
negara adikuasa, seperti Amerika Serikat dan Israel untuk mempertahankan keka-
cauan di Timur Tengah dan negara-negara mayoritas Muslim.22
2. Sektor pendidikan
Sektor pendidikan menjadi salah satu sektor yang harus kita waspadai.
Sebab pada sektor ini pemahaman-pemahaman akan lebih mudah masuk dan
berkembang. Hal ini dapat kita lihat pada hasil penelitian BNPT dalam tiga tahun
terakhir telah terindentifikasi banyak kampus telah tepapar paham radikal sejak 30
tahun lalu. Tidak hanya itu PPIM telah merilis survei yang hasilnya 37,71% setuju
bahwa jihad itu berarti perang (qital) dan membunuh orang lain, 33,34 tidak
masalah jika ada tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas, dan 23,35%
setuju bom bunuh diri sebagai salah satu bentuk jihad. Survei tersebut dilakukan
22
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluarga Paradoks Radikalisme dalam
Keluarga Indonesia, h. 63.
33
di 34 provinsi dengan 2.181 responden terdiri dari siswa dan mahasiswa dan guru.
Yang memperihatinkan adalah kampus yang menajadi lahan yang subur dalam
menghasilkan paham ekslusif dan radikal.
Seharusnya, kampus menjadi tempat berkembangnya pemikiran-pe-
mikiran yang menunjang perbaikan pendidikan dan kehidupan pada bangsa.
Kampus bagi mahasiswa adalah surga pengembangan ide-ide brilian bagi
kemajuan, bukan tempat berkembangbiaknya paham-paham radikal yang
mengarah kepada terorisme dan kegiatan makar yang merugikan bangsa.
Penyebaran paham radikal tidak hanya terjadi di kampus, tetapi benihnya sudah
tertanam sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA).23
Melihat fakta tersebut, maka sektor pendidikan harus kita awasi terutama
kurikulum yang digunakan. Sehingga pencegahan paham radikal melalui sektor
pendidikan dapat kita cegah sejak dini.
3. Sektor Media
Sektor menjadi salah sektor yang harus diperhatikan lebih maksimal.
Sebab di era digital ini penyebaran paham-paham radikal lebih mudah. Penyebran
paham radikal yang semakin masif malalui pesan singkat seperti telegram yang
berakibat pada pembelokiran pasan singkat (chatting) tersebut, karena pemerintah
menenukan berbagai indikasi yang menjurus pada paham radikal yang mengacu
pada tindakan teror. Hal ini dapat kita lihat pada kasus Dita Siska Millenia (18)
mangaku bahwa dia mendapat pemahaman radikal melalui grup WhatsApp dan
23
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluarga Paradoks Radikalisme dalam
Keluarga Indonesia, h. 64.
34
channel Telegram sejak November 2017 yang dimasukan oleh ikhwannya yang
dia kenal lewat Instagram.24
Di satu sisi kehadiran media sosial mampu mempererat hubungan dan
memudahkan komunikasi banyak orang. Dari satu tempat ke tempat lainnya
dalam waktu singkat. Namun di sisi lain apabila media sosial tersebut
dimanfaatkan untuk penyebaran paham radikal, tentu dapat mendestruksi
tatanan sosial yang sudah terbentuk. Fungsi destruksi tersebut lebih mematikan
ketimbang fungsi disrupsi yang diciptakan oleh media sosial pada kehidupan
masyarakat. Orang-orang tertentu dipilih, lalu dibrainwash pemikirannya sehingga
ia memiliki ideologi radikal kemudian didorong untuk menyebarkan ke teman
terdekat atau keluarga mereka.25
Menurut Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) pada tahun
2018 merilis penelitian dikutip dari Thoyibi dan Khisbiyah menunjukkan media
sosial dapat meningkatkan kesempatan individu atau kelompok untuk menjadi
radikal melalui jangkauan pengaruh, pelibatan aksi, penyebaran informasi,
komunikasi serta propaganda keyakinan berbahaya. Menurut Thoyibi dan
Khisbiyah pada akhir Mei 2017 menunjukkan setidaknya ada tiga media sosial
yang menjadi arus utama dan berpotensi menjadi wadah penyebaran paham
radikal dikarenakan penggunanya yang masif, yaitu Faceobok dengan 1,94 miliar
akun, Youtube dengan satu miliar akun dan Instagram dengan 700 juta akun
pengguna. Luasnya daya jangkau media sosial berbasis aplikasi ini menjadikan
24
Lihat https://nasiomal.tagar.id/abg-jadi-teroris-saya-belajar-dari-grup-whatsapp-
telegram-instagram, diakses pada 22 Februari 2018. 25
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluarga Paradoks Radikalisme dalam
Keluarga Indonesia, h. 67.
35
perubahan pada pola hubungan sosial di masyarakat yang selalu lekat dengan
berbagi informasi pada setiap momen kepada pihak-pihak yang berada di lain
tempat.26
C. Sejarah BNPT
Setalah peristiwa bom bali I Presiden Indonesia pada waktu itu Megawati
memandatkan kepada MenkoPolkam yang pada waktu itu dijabat oleh Susilo
Bambang Yudhoyono membuat kebijakan untuk menanggulangi terorisme,
berdasarkan keputusan MenkoPolkam No.Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 yang
merupakan satuan kerja yang bersifat non struktural yang berada di lingkungan
Kementrian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan untuk membantu
MenkoPolkam dalam upaya mengkoordinasi pemberantasan terorisme.27
Selanjutnya tugas dari pada DKPT adalah pertama, membantu MenkoPolkam
dalam merumuskan kebijakan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme yang
meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian,
penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan. Kedua, membantu
MenkoPolkam dalam mengendalikan langkah-langkah operasional pemberantasan
terorisme. Ketiga, melaporkan pelaksanaannya secara berkala sewaktu-waktu
diperlukan oleh MenkoPolkam.28
Pemberantasan dan pencegahan terorisme terus ditingkatkan oleh
pemerintah Indonesia agar terorisme dan radikalisme berkurang dan juga bisa
26
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluarga Paradoks Radikalisme dalam
Keluarga Indonesia, h. 66. 27
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik Dan Keamanan Republik Indonesia
Nomor: Kep-26 /Menko/Polkam/11/2002 T E N T A N G Pembentukan Desk Koordinasi
Pemberantasan Terorisme Menteri Koordinator Bidang Politik Dan Keamanan Republik
Indonesia, Pasal II. 28
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik Dan Keamanan.
36
mencegah adanya paham radikalisme dan terorisme. Oleh sebab itu dibentuklah
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BNPT adalah lembaga non
kementerian yang dipimpin oleh seorang kepala setingkat Menteri. BNPT
dibentuk pada tahun 2010 melalui kebijakan politik negara dalam rangka
penanggulangan terorisme yang lebih komprehensif dan integratif. Dasar lahirnya
BNPT adalah Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Perpres ini kemudian diperkuat dengan
Perpres No. 12 Tahun 2012.
Pembentukan BNPT merupakan Kebijakan Nasional Pencegahan
Terorisme di Indonesia. Badan ini merupakan pengembangan dari Desk
Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002. Saat
itu DKPT memiliki tugas membantu Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan dalam merumuskan kebijakan bagi pemberantasan tindak pidana
terorisme, yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan,
penghentian penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan.
Sebagaimana tertera dalam Perpres No. 46 Tahun 2010 pasal 2 ayat I yaitu
mengenai tugas BNPT;
1. Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional dibidang penanggu-
langan terorisme;
2. Mengkoordinasi instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan me-
laksanakan kebijakan dibidang penanggulangan terorisme;
3. Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan
membentuk Satuan-Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi
37
Pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-
masing
Maka dari itu kita bisa lihat bahwa BNPT merupakan kebijakan yang
menjadi leading sector yang memiliki wewenang untuk merumuskan, membuat
kebijakan, strategi dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme.
Sehingga dapat diharapkan kebijakan pencegahan terorisme dan radikalisme
berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, terlembaga, dan
berkelanjutan.
Untuk mempermudah kinerja BNPT, maka BNPT membentuk beberapa
deperterent atau dalam susunan organisasi BNPT disebut dengan Deputi yaitu;
1. Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi; adapun tugas
dari deputi ini seperti yang dijelaskan pada pasal 13 Perpres No. 46 Tahun
2010 bahwa tugas dari pada deputi ini adalah; pertama, monitoring, analisa,
dan evaluasi mengenai ancaman terorisme di bidang pencegahan,
perlindungan, dan deradikalisasi. Kedua, penyusunan kebijakan, strategi, dan
program nasional penanggulangan terorisme di bidang pencegahan,
perlindungan, dan deradikalisasi. Ketiga, koordinasi pelaksanaan
penanggulangan terorisme di bidang pencegahan ideologi radikal. Keempat,
pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal. Kelima,
pelaksanaan sosialisasi penanggulangan terorisme di bidang pencegahan,
perlindungan, dan deradikalisasi. Keenam, koordinasi pelaksanaan program-
program re-edukasi dan re-sosialisasi dalam rangka deradikalisasi. Ketujuh,
38
koordinasi pelaksanaan program-program pemulihan terhadap korban aksi
terorisme.
2. Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan. Adapun tugas dari
deputi ini seperti yang dijelaskan pada pasal 16 Perpres No. 46 tahun 2010.
Pertama. monitoring, analisa, dan evaluasi mengenai ancaman terorisme di
bidang penindakan, pembinaan kemampuan, dan penyiapan kesiapsiagaan
nasional. Kedua, penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional
penanggulangan terorisme di bidang penindakan, pembinaan kemampuan,
dan penyiapan kesiapsiagaan nasional. Ketiga, koordinasi dalam penentuan
tingkat ancaman dan upaya persiapan penindakan. Keempat, koordinasi
pelaksanaan perlindungan korban, saksi, dan aparat penegak hukum terkait
ancaman terorisme. Kelima, koordinasi pelaksanaan pembinaan kemampuan
organisasi dan penyiapan kesiapsiagaan nasional dalam penanggulangan
terorisme. Keenam. pelaksanaan sosialisasi penanggulangan terorisme di
bidang penindakan, pembinaan kemampuan, dan penyiapan kesiapsiagaan
nasional.
3. Deputi Bidang Kerjasama Internasional. deputi ini seperti yang dijelaskan
pada pasal 16 Perpres No. 46 tahun 2010. Pertama, monitoring, analisa, dan
evaluasi mengenai ancaman terorisme internasional dan kerjasama
internasional dalam menanggulangi terorisme. Kedua, penyusunan kebijakan,
strategi, dan program kerjasama internasional di bidang penanggulangan
terorisme. Ketiga, pelaksanaan dan pengembangan kerjasama internasional di
bidang penanggulangan terorisme. Keempat, koordinasi pelaksanaan
39
perlindungan warga negara Indonesia dan kepentingan nasional di luar negeri
dari ancaman terorisme.
Tentang peran dan fungsi terbentuknya BNPT tidak hanya tertera dalam
Perpres tahun 2010 tetapi juga dalam Udang-undang No. 5 tahun 2018 bab VIIB
pasal 43E hingg pasal 43H.
40
BAB III
PERAN BNPT DAN MASYARAKAT SIPIL DALAM
MENCEGAH RADIKALISME DI INDONESIA
A. Peran BNPT Dalam Mecegah Radikalisme
BNPT selaku aktor utama dalam menangkal atau mencegah paham
radikalimse dan terorimse (RT) terus berupaya dan melakukan berbagai cara, baik
langsung atau tidak langsung. Upaya dan strategi BNPT dalam mencegah paham
radikal tidaklah jauh berbeda dengan yang termaksud pada undang-undang diatas
tetapi BNPT mempunyai kewenangan khusus untuk membuat cara atau stretegi
sebagaimana yang telah dimandatkan oleh pemerintah dan Undang-undang
Republik Indonesia.
BNPT sendiri mempunyai dua starategi khusus dalam mengatasi dan
mencegah radikalisme agama yang mengacu pada tindakan teror. Mengacu pada
Perpres No. 46 tahun 2010 yang telah diubah menejadi Perpres No. 12 tahun 2012
tentang Badang Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BNPT memiliki
kewenangan khusus untuk menyusun dan mengeluarkan kebijakan, strategi,
sekaligus menjadi koordinator dalam bidang pencegahan, perlindungan,
deradikalisasi, (soft approach), penindakan (hard approach), penyiapan
kesiapsiagaan nasional serta kerja sama internasional. BNPT sendiri
mengimplementasikan strategi untuk mencegah paham radikal teroris lebih pada
pendekatan persuasive (soft approach), BNPT menggunakan dua strategi
pencegahan, pertama, strategi deradikalisasi merupakan upaya mentransformasi
paham radikal menjadi tidak radikal dalam konteks ini bisa melalui pembinaan,
41
FGD, workshop dan seminar. Selain itu dalam proses deradikalisasi juga, para
narapidana terorisme (Napiter) juga dibekali dengan tiga aspek, wawasan
kebangasaan, wawasan keagamaan dan yang tidak kalah penting adalah pelatihan
kewirausahaan kepada para Napiter. Kedua, strategi kontra radikalisasi, ini
dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontranarasi, kontra
propaganda, atau kontra ideologi melaui seminar, workshop dan FGD.1 Selain itu
BNPT juga membentuk organisasi untuk membantu kinerja BNPT dalam
mencegah paham radikal teroris, yaitu FKTP (Forum Koordinsasi Pencegahan
Terorisme). FKPT dibentuk berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Forum
Koordinasi Pencegahan Terorisme di daerah, dituntut berperan aktif untuk
menggandeng berbagai elemen masyarakat dalam menggaungkan semangat
perdamaian dan anti radikalisme terorisme. Pada tahun 2016 telah terbentuk di 32
propinsi dan 500 kabupaten kota.2 Dengan terbentuknya forum ini maka
diharapkan kinerja BNPT akan lebih mudah dan menjadi wadah bagi masyarakat
untuk sama-sama mencegah paham RT. BNPT mendirikan organisasi tentu bukan
sendirian tetapi dibantu oleh bebagai lapisan masyarakat mulai dari Pemda dan
LSM atau masyarakat sipil seperti The Nusa Institute yang juga ambil bagian dari
salah satu pembentukan FKPT di Sumatera.3
Selaku aktor utama dalam pencegahan paham RT, BNPT mengadakan
seminar dan workshop serta FGD, yang merupakan bagian sterategi BNPT untuk
1Agus SB, Merintis Jalan Mencegah Terorisme: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta:
Semarak Lautan Warna, 2014), h. 327-328. 2Laporan Akuntabilitas Kinerja Kedeputian VI (Kesbang 2016), h. v.
3 Wawancara dengan Nasrulllah Iskanadar sekretaris utama The Nusa Institute pada
tanggal 02 Oktober 2018.
42
mencegah paham tersebut. Diantara beberapa materi yang disampaikan oleh
BNPT dan selalu menekankan akan bahaya paham RT, BNPT juga
menyampaikan beberapa strategi dengan beberapa pendekatan antaranya:
1. Bidang Ideologi
a. Memperkuat pancasila sebagai ideologi bangsa.
b. Memperkuat Islam moderat melalaui lembaga lemabaga orgainsasi
keislaman seperti, NU, Muhammadiyah dan MUI sebagai counter terhadap
paham radikal, pemahaman moderat terhadap doktrin agama (al-Qur‟an dan
Hadist), Pemahaman mendalam terhadap dinamika gerakan radikalisme
global dan keterkaitannya dengan radikalisme Indonesia dan Kajian khusus
radikalisme. Keterlibatan NU dan Muhammadiyah dalam hal tersebut
terutama dalam hal deradikalisasi, sejak tahun 2011 BNPT berinsiatif
melibatkan NU dan Muhammadiyah dalam upaya deradikalisasi. Meskipun
berbagai argumen muncul bahwa NU lebih sejalan dengan BNPT terutama
tentang istilah deradikalisai dan Muhammadiyah menkritik keras. Meskipun
begitu Muhammadiyah mengusulkan istilah lain yang dinilai cocok yaitu
moderasi karena Muhammadiyah menganggap bahwa dengan istilah
tersebut pelaku teror merasa lebih dimanusiakan. Tidak hanya itu
keterlibatan kedua ormas tersebut sangat penting. Sabab keduanya
mempunyai program dan jaringan pendidikan yang luas, mereka bisa
membuat program beasiswa afirmasi bagi anak-anak pelaku teror.4
4 Lihat https://www.tempo.co/abc/1677/nu-dan-muhammadiyah-dan-program-
deradikalisasi-di-indonesia, diakses pada 23 Juni 2018.
43
2. Bidang Politik
a. Pemerintah dan DPR harus bersikap tegas dalam menghadapi tindakan
kekerasan dan anarkisme terutama yang berlatar belakang radikalisme atas
nama Agama dan isu SARA dengan cara; pertama, Kehadiran negara
secara cepat dan tepat dalam konflik SARA. Kedua, Polri harus didukung
agar berani menerapkan kewenangannya bertindak berdasarkan
pertimbangan sendiri (azas diskresi).5
b. Perlu segera dibangkitkan kesadaran para pemimpin bangsa (Pemerintah
dan kelompok Islam Moderat) tentang ancaman serius radikalisme
terhadap sendi-sendi bangsa dan negara.
c. Mensosialisasikan semangat Islam Damai (Rahmatan Lil Alamin). Pada 7
Desember 2017 BNPT melakukan seminar atau whorkshop di UIN Malang
juga bekerjasama Metro TV dengan tema “Generasi Pecinta Damai”.
Kagiatan ini dilakuakan untuk mengajak para generasi muda untuk
menjadi penggerak perdamaian agar terhindar dari paham kekerasan dan
terorisme. Pada acara tersebut juga dihadiri oleh Suci (mantan anggota
ISIS) yang telah bertaubat dan menyesali perbuatannya. Pada kesempatan
tersebut dia memeparkan kenapa dia terjarat oleh paham tersebut dan
mengajak para kaula muda untuk waspada terhadap paham paham RT.6
Selanjutnya pada 5 Juli 2018 Yayasan Lintas Peremupuan Nusatara (LPN)
mengadakan “Seminar dan Diskusi Islam Ramatan Lil Alamin antara
5Drs. Ansyaad Mbai MM, “Strategi Menangkal Propaganda ISIS (islamic state of Irak
and Syiria)”, (paper diperentasikan di Jakarta oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme pada Agustus 2014), h. 16-18. 6 Lihat https://www.bnpt.go.id/tangkal-radikalisme-generasi-muda-harus-cinta-
damai.html, diakses pada 15 Mei 2019.
44
Ajaran dan Budaya” di jakarta yang dihadiri langsung oleh kepala BNPT
Suhardi Alius. Dia memaparkan bahwa masalah terorisme adalah masalah
intoleransi, masalah anti NKRI dan pancasila. Pada kesemapatan tersebut
Suhardi Alius juga memaparkan tentang pentingnya kaum perempuan
terutama ibu-ibu dalam upaya pencagahan paham radikal sejak usia dini.7
Tidak cukup sampai di situ, BNPT juga membuat situs
damailahindonesiaku.com. situs ini memuat tentang artikel Islam damai
dan toleran serta garakan pemuda cinta damai melalui situs ini juga BNPT
membuat terobosan baru yaitu berupa duta damai.
d. Sinergi pemimpin Islam Moderat dengan aparat penegak hukum untuk
merespon radikalisme.
3. Bidang Hukum
a. Merekomendasikan Undang-Undang untuk melindungi ideologi bangsa.
b. Memperkuat Undang-Undang Anti Teror antara lain; pertama,
Kriminalisasi propaganda yang mengarah pada penanaman kebencian dan
penyebaran permusuhan. Kedua, Kriminalisasi terhadap siapapun yang
melakukan pelatihan militer di luar negeri & dalam negeri (selain instansi
pemerintah yang berwenang). Ketiga. Perberat ancaman hukuman. Ke-
empat. Realisasikan asset freezing atau pembekuan aset dari kelompok
teroris.
7 Lihat https://www.bnpt.go.id/kepala-bnpt-berikan-pencerahan-dan-pemahaman-akan-
bahaya-radikalisme-dan-terorisme-pada-seminar-islam-rahamatan-lil-alamin-antara-ajaran-dan-
budaya.html, diakses pada 15 Mei 2019.
45
c. Menegakan UU Kewarganegaraan (Pasal 23 (f) UU No.12/th.2006);
“WNI kehilangan kewarganegaraannya jika secara sukarela
mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing
atau bagian dari negara asing tersebut”.
d. Melakukan kajian Hukum tentang Radikalisme.
e. Memperketat Keimigrasian.8 Dalam upaya ini BNPT telah melakukan
kerja sama dengan Direktorat Jendral Imigrasi Kemenkumham
setidaknnya ada empat hal yang menjadi perhatian khusus dalam
perjanjian kerja sama ini: Pertama, pertukaran data dan informasi. Kedua,
penyalinan jaringan komunikasi data. Ketiga, penanganan orang atau
kelompok terpapar paham RT yang keluar masuk Indonesia dan keempat,
peningkatan kapasitas sumber daya manusia.9 Sebelumnya Menkumham
Yosana Laoly mengatkan bahwa pihaknya telah berkoodinasi dengan
BNPT, POLRI, dan BIN serta instansi terkait untuk mengantisipasi WNI
yang keluar negeri bergabung dengan ISIS. Tentu dengan data yang telah
BNPT, POLRI, dan BIN miliki tetang warga yang berafiliasi dan
terindikasi untuk bergabung dengan ISIS.10
8Drs. Ansyaad Mbai MM, “Strategi Menangkal Propaganda ISIS (Islamic State of Irak
and Syiria)”, (Paper diperentasikan di jakarta oleh Kepala Badan Nasional Penanggulanagn
Terorisme pada Agustus 2014), h. 16-18. 9Lihat https://www.bnpt.go.id/perkuat-peran-keimigrasian-dalam-penanggulangan-
terorisme-bnpt-direktorat-jendral-imigrasi-jaring-perjanjian-kerja-sama.html, diakses pada 15 Mei
2019. 10
Lihat https://www.voaindonesia.com/a/menkumham-antisipasi-wni-gabung-isis-
pemerintah-perketat-sistem-keimigrasian/2700985.html, diakses pada 15 Mei 2019.
46
Melalui tiga perpektif diatas BNPT telah berupaya maksimal dalam
mencegah radikalisme. Sebab dengan tiga usur tesebut memungkinkan upaya
pencegahan akan lebih efektif serta efisien.
Selain itu BNPT terus berupaya meningkatkan kerjasama semua aspek
terutama kementrian dan lembaga agar paham RT bisa dicegah diantaranya BNPT
telah melakukan MoU dengan Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan dalam rangka mencegah berkembangnya paham radikal di
Indonesia.
Strategi tersebut membutuhkan kerja sama semua pihak. Sebab strategi
tersebut memerlukan peranan tokoh agama, akademisi, masyarakat sipil dan
seluruh masyarakat sangat penting. Sebab masyarakat dan lingkungan sosial juga
bisa berperan aktif dalam mencegah dan pendeteksian dini terhadap paham RT,
dan bahkan perannya sangat penting dalam upaya pencegahan dalam memutus
BNPT
Seminar, Workshop dan FGD
Ideologi
Pemerintah
Akademisi
Tokoh agama
Masyarakat
sipil
Politik
Pemerintah
DPR
Tokoh
Masyarakat
sipil
Hukum
Undang-Undang
Pemerintah
Imigrasi
Semua elemen Masyarakat
Ahli Hukum
47
mata rantai terorisme. Maka BNPT terus berupaya meningkatkan kerjasama
dengan berbagai kelangan dari pemerintah hingga non pemerintah. Dari kalangan
pemerintah BNPT telah bekerja sama dengan 36 kementrian dan lembaga hal ini
serperti yang diungkapkan oleh Suhardi Alius kepada media online detik.com
bahwa “Pada awalnya koordinasi dalam rangka sinergisitas antar
kementerian/lembaga ini hanya terdiri dari 17 Kementerian/lembaga sebagai
anggota dari 4 kementerian koordinator. Namun selanjutnya bertambah menjadi
27 Kementerian/lembaga, kemudian menjadi 34 Kementerian/lembaga, dan
terakhir di akhir tahun 2017 menjadi 36 Kementerian/lembaga”.11
Selain telah maakukan kerja sama dengan berbagai kementrian dan
lembaga, BNPT juga menggunaka strategi pendekatan melalui kebudayaan atau
lebih tepatnya kearifan lokal (local wisdom). Dengan pendekatan ini BNPT yakin
dapat menecgah berkambangnya paham radikal atau radikalisme. Hal tersebut
berdasarkan pada survei yang dilakukan oleh BNPT pada 2018 menunjukan
kearifan lokal efektif menangkal atau mencegah paham radikal menujukkn 63.60
% dari 14.400 yang terdiri dari para akademisi di seluuh provinsi responden
survei percaya bahwa kearifan lokal mampu mencegah radikalisme. Meski
demikian pemahaman masyarakat tentang terhadap kearifan lokal hanyalah
30,09% hal tersebut menunjukan bahwa kearifan lokal hanyal sebatas
kepercayaan. Itu disebabkan oleh minimnya sosialisasi dan pemahaman dari
pemerintah, ujar Suhardi Alius kepada media Tempo online.12
11 Lihat https://m.detik.com/news/berita/d-4044872/bnpt-libatkan-36-kementrian-
lembaga-tanggulangi-terorisme , diakses pada 15 Mei 2019 12
Lihat https://nasional.tempo.co/read/11507781/survei-bnpt-kearifan-lokal-dipercaya-
efektif-tangkal-radikalism. diakses pada 15 Mei 2019.
48
Dan jika kita lihat dari diagram diatas maka peran masyarakat sipil
sangatlah penting menjadi mediator BNPT dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya dalam upaya pencegahan paham RT. Sebagaimana kita ketahui salah
satu definsi atau fungsi dari pada masyarakat sipil adalah sebagai kontrol sosial,
sehingga untuk mencegah paham radikal masyarakat sipil mempunyai andil dan
peran yang cukup ideal.
B. Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil (civil society) sebagai sebuah konsep kata ini merupakan
proses dari masyarakat Barat, menurut Dawam Raharjo menyatakan bahwa
secara harfiyah civi society merupakan terjemahan dari istilah Latin (civilis
societas), yang awalnya dipakai oleh Cicero (106-43 SM), adalah seorang orator
dan pujangga Roma yang hidup pada pertama sebelum Kristus yang
pengertiannya mengacu pada budaya individu dan masyarakat. Masyarakat sipil
disebut juga masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum
sebagai dasar peraturan hidup. Adanya hukum yang mengatur kehidupan individu
menandai adanya jenis masyarakat tersendiri. Pengertian tersebut ada kaitannya
bahkan merupakan bagian dari konsep tentang bangsa atau warga romawi yang
umumnya hidup di kota-kota yang mempunyai kode hukum dan mempunyai ciri
khas masyarakat yang berpolitik dan beradab yang betolak belakang dengan
masyarakat luar romawi yang dianggap belum beradab. Masyarakat sipil dalam
49
definisi ini merupakan sebuah tatanan masyarakat yang mempunyai kode hukum
dan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan. 13
Dalam perkambanga sejarah para filsuf utamanya Hobbes dan Locke
mempunyai pandangan tesendiri tentang masyarakat sipil bagi Hobbes
kemunculan masyarakat sipil merupakan kontrol sosial dan harus memiliki
kekuasaan penuh untuk mengontrol dan mengawasi setiap interaksi masyarakat
terutama perilaku politiknya. Sedangkan Locke berpendapat bahwa masyarakat
sipil mempunyai tanggung jawab penuh untuk melindungi kebebasan dan hak
milik warga negara dan memberi perlindungan kepda warga dari keabsolutan raja
aatu pemerintah.14
Dari pemaparan Hobbes dan Locke kita bisa menggambarkan
pada fenomena yang terjadi pada sekeliling kita. Di mana masyarakat sipil
mempunyai peran pentingn dalam menyuarakan hak hak warga negara misalnya,
memperjuangkan kebebasan berpendapat, menyuarakan keadilan, kebebasan
beragama dll.
Masyarakat sipil dapat berfungsi sebagai “modal sosial” bagi masyarakat
atau negara yang bersangkutan. Modal sosial, dalam pengertian ini, mengacu
pada “norma-norma dan jaringan yang memungkinkan orang untuk bertindak
secara kolektif, memberikan kerangka acuan umum untuk melakukan percakapan
tentang isu-isu penting lintas disiplin, metodologis, ideologi, dan budaya,
merupakan percakapan yang penting, memang diperlukan untuk resolusi banyak
13
M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah Dan Perubahan
Sosial ( Jakarta: LP3ES,Cet, pertama 1999), h.137. 14
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi Dan Msayarakat Madani (Bandung; Mizan cet.
Ke 1 1993), h. 296.
50
masalah mereka sendiri, tetapi yang sebaliknya terjadi terlalu jarang”.15
Oleh
sebab itu peran masyarakat sipil dalam kehidupan sosial, agama dan politik
sangat dibutuhkan sebab masyarakat sipil bisa menjadi antitesa dari berbagai
masalah sosial, kebijakan hingga pada norma atau hukum yang berlaku.
Dawam Raharjo berpendapat bahwa masyarakat madani (masyarakat
sipil) adalah masyarakat yang mengacu pada nilai al-khair. Masyarakat seperti itu
harus dipertahankan dengan membentuk persekutuan-persekutuan, perkumpulan,
perhimpunan atau asosiasi yang memiliki visi dan pedoman prilaku. Dasar utama
masyarakat madani adalah persatuan atau integrasi sosial yang didasarkan pada
suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang
menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.16
Dari pernyataan
ini kita dapat mengambil narasi bahwa masyarakat sipil mempunyai arti penting
dalam meyelesaikan berbagai masalah terutama radikalisme agama. Mengapa,
sebab adanya peran serta masyarakat sipil dalam mencegah paham RT pekerjaan
pemerintah terutama BNPT akan lebih mudah serta bisa mengoptimalkan potensi
yang ada dalam mencegah radikalisme agama yang mengacu pada tindakan
terorisme.
Di Indonesia sendiri istilah masyarakat madani diperkenalkan oleh P.M
Malaysia Anwar Ibrahim pada dasawarsa 90-an lebih tepatnya pada festival
Itiqlal tahun 1995. Pada acara tersebut Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa
agama merupakan sumber peradaban adalah proses dan masyarakat kota adalah
15
Asfa Widiyanto, “Constitution, civil society and The Fight Against Radicalism: The
Experience of Indonesia and Autria”.Analisa: Journal of Sosial Science and Religion 1, no. 2
(December 2016): h. 145. 16
Syamsul Arifin, “Konstruksi Wacana Pluralisme Agama di Indonesia”.HUMANITY 5,
no.1 (2009): h. 85.
51
hasilnya. Maka itu masyarakat sipil diterjemahkan sebagai masyarakat madani
adalah mengandung tiga hal, agama, peradaban, dan perkotaan. Kalo kita melihat
dari sejarah maka bangsa kita sudah mengenal dan mempraktikkan masyarakat
sipil sejak zaman Kolonial hal ini dapat kita lihat dari berdirinya beberapa
organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Taman
Siswa dll.17
Kenapa masyarakat sipil itu penting.? Keberdaan masyarakat sipil di
Indonesia menjadi sebuah wadah publik yang efektif untuk menampung semua
aspirasi dari semua kalangan tidak hanya dari pejabat publik dan politikus tetapi
juga semua elemen masyarakat dari semua lapisan hal ini dapat kita lihat dari
beberapa fungsi masyarakat sipil;
1. Masyarakat sipil memberikan batasan kekuasaan negara, kontrol negara oleh
masyarakat, dan menumbuhkan institusi-institusi politik.
2. Kehadiran masyarakat sipil sebagai pelengkap peran dari parpol dalam
merangsang partisipasi politik, meningkatkan efektivitas dan keterampilan
demokrasi warga negara.
3. Adanya masyarakat sipil yang membangun banyak saluran politik di luar
parpol untuk mengartikulasikan, menampung, dan mempresentasikan
berbagai kepentingan.
4. Masyarakat sipil nantinya dapat mendorong perubahan dari kekuasaan
segelintir orang menjadi milik warga negara secara luas.
17
M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah Dan Perubahan
Social, h. 145-151.
52
5. Masyarakat sipil diharapkan dapat meringankan adanya polaritas potensi
konflik politik dengan banyaknya teknis media dan resolusi konflik yang
dihasilkan dari berbagai peristiwa konflik.
6. Masyarakat sipil menjadi sarana dalam menciptakan pemimpin-pemimpin
masyarakat serta yang dapat berkontribusi dalam arena politik.
7. Masyarakat sipil memiliki tujuan pembangunan demokrasi yang jelas,
terutama dalam perubahan-perubahan kelembagaan politik.
8. Masyarakat sipil memiliki kontribusi dalam menyebar luaskan informasi
kepada seluruh warga negara sehingga pengetahuan akan hak-hak warga
negara dapat disampaikan dengan baik.
9. Masyarakat sipil nantinya diharapkan membantu dalam membangun
legitimasi sistem politik yang berbasiskan kepentingan sesungguhnya dari
warga negara.18
Dilihat dari uraian tersebut maka masyarakat sipil memilik peran penting
dalam aspek kehidupan social. masyarakat sipil menjadi rangkaian solusi untuk
mencegah adanya paham radikal, sebab masyarakat sipil merupakan warga, semua
individu, organisasi, institusi yang berada diantara keluarga dan negara yang
secara sukarela melakukan sesuatu demi kepentingan bersama.19
Maka dari itu
akan lebih mudah bagi BNPT untuk bertindak dan berkomunikasi langsung
dengan semua lapisan masyarakat bahkan pada yang cenderung memiliki paham
radikal.
18
Susanti “Kendala Radikalisme dalam Mewujudkan Civil Society di Indonesia”
Universitas Terbuka (2011): h, 5. http://repository.ut.ac.id/2448/1/fisip201211.pdf, diakses pada
23 Mei 2018. 19
Crelisnten. R, Counter Terrorism (Cambridge UK:Polity Press ,2009), h. 235.
53
Masyarakat sipil di Indonesia selalu mengambil bagian dalam mengatasi
radikalisme agama, terutama Muhammadiyah dan NU selalu menjadi garda
terdepan dalam mencegah dan mangatasi paham RT, hal ini dapat kita lihat dari
peran para tokoh Muhammadiyah dan NU diantaranya, KH. Abduraman Wahid
(NU), Syafi‟i Maarif (Muhammadiyah), Said Aqil Sirajd, Din Syamsuddin dan
masih banyak tokoh yang lain. Bahkan Indonesia merupakan nagara yang
dianggap sukses dalam mencegah, mengatasi dan mengurangi paham-paham
radikal disebabkan oleh kuatnya peran masyarakat sipil dalam mempromosikan
Islam yang toleran,20
Seperti Islam Nusantara, kemudian Muhammadiyah dengan
„Islam Berkemajuan‟. Setidaknya ada tiga hal yang dilakukan oleh
Muhammadiyah yang pertama melalui sruktural, kedua ranah kultural, dan yang
ketiga ranah politik.21
C. Peran Masyarakat Sipil dalam Mencegah Radikalisme
Ada beberapa alasan mengapa peran masyarakat sipil begitu penting
dalam mencegah paham radikal yang berbuah tindakan terorisme. Pertama,
bagaimana pun pelaku teror merupakan dari masyarakat. Kelompok radikal yang
merupakan embrio terbentuknya kelompok terorisme berkembang mengikuti
perkembangan masyarakat. Sejak runtuhnnya orde baru kelompok radikal
semakin bermunculan yang semakin hari semakin jelas. pada tahun 2017 sekitar
100 orang terduga terorisme berhasil diamankan oleh pihak kepolisian yang
20
Asfa Widiyanto “Constitution, civil society and The Fight Against Radicalism: The
Experience of Indonesia and Autria”, h. 156. 21
Saefudin Zuhri. “Muhammadiyah dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah” Ma’arif; Arus Pemikiran Sosial 12, no 2 (Desember
2017): h. 79.
54
tersebar diberbagai daerah, Medam, Jambi Jakarta, Garut, Cianjur, Bandung dan
lain lain. Dan bahkan pada tahun 2016 tejadi pengeboman didepan apotek printis
farma, dusun Krajan Megelang Jawa Tengah dan pelakunya merupakan ketua RT
setempat. Dalam konteks ini masyarakat sipil yang merupakan bagian dari
masyarakat, tentu akan sangat efektif serta bertindak secara akurat sesuai dengan
kapasitasnya, bahkan melakukan dialog. Secara teoritis keberadaan masyarakat
sipil jauh lebih diterima kerana secara entitas mereka berada di kelas yang sama.
Dalam konteks tertentu aksi terorisme tersebut dialamatkan pada pemerintah.
Kedua, masyarakat sipil memiliki mekanisme independen dan dinamis sehingga
cara-cara kreatif atau alternatif pemecahan masalah terorisme dimungkinkan
berkembang dengan baik. Penemuan berbagai pihak menyebutkan bahwa
persoalan terorisme di Indonesia bukan hanya persoalan teologis tetapi juga
persoalan ekonomi dan sosial sehingga tidak mungkin bisa menyelesaikan
persoalan-persoalan terorisme tanpa memperhatikan dan menyelesaikan
persoalan tersebut. 22
Dengan posisi yang sentral dan memiliki peran peting dalam masyarakat
dan pemerintah.Tidak bisa dipungkiri, bahwa menciptakan sistem baru di luar
pemerintah yang lebih efektif sangat penting. Oleh sebab itu eksistensi
masyarakat sipil lebih diterima oleh masyarakat dari pada pemerintah, yang tidak
jarang memberikan kesan menghegemoni dan bahkan cenderung terkesan
memaksa. Sehingga pencegahan yang melibatkan masyarakat sipil meliputi
beberapa aspek inti sangatlah penting yaitu, a) sebagai early warning system dan
22
Imam Malik, “Peran Penting civil society Organization Dalam Penaganan Terorisme”.
CSAVE Indonesia masyarakat sipil against violent extremism, Jakarta: (2018): h. 3-5
55
preventing violent extremism (PVE) mechanism atau sistem pencegahan dini
berkembangnya ideologi kekerasan. b) Masyarakat sipil sebagai vocal point of
disengagement atau titik pemisah antara mantan teroris dari komunitas teroris
sebelumnya. c) Masyarakat sipil sebagai media dan wadah pemasyarakatan
mantan napi teror untuk dapat hidup bermasyarakat secara “normal”.23
Peran masyarakat sipil dalam menjaga adanya radikalisme agama tidak
dapat dipungkiri lagi. Beberapa oragnisasi yang terlibat langsung dalam upaya
pencegahan radikalisme agama, yaitu The Nusa Institute, Wahid Foundation
Daulah Bangsa,24
IMCC (Indonesian Muslim Crisis Center), Yayasan Prasasti
Perdamain, KontraS, imparsial, INFID (International NGO forum on Indonesian
development), CDCC (center for dialogue and cooperation amang civilization),
SFCG Indonesia (Search For Common Ground Indonesia ), HRWG (Human
Right Working Group), C-SAVE (Masyarakat sipil Against Violent Extremism),
Pusat Kajian Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan
Global Universtas Indonesia dan masih banyak Organisasi-Organisasi di
Indonesia yang Memiliki Fokus terhadap Isu-Isu Radikalisme dan Terorisme25
seperti pada gambar berikut ini;
23
Imam Malik, “Peran Penting Civil Society Organization Dalam Penaganan Terorisme”.
CSAVE Indonesia Civil Society Against Violent Extremism, Jakarta: (2018): h. 3-5 24
Wawancara dengan Nasrullah Iskandar sekretaris The Nusa Institute pada 10 oktober
2018.
.25
Muhammad Lutfi Zuhdi, dkk. Ketahanan Keluraga Paradoks Radikalisme Dalam
Kelauraga Indonesia (Jakarta: Pusat Riset Seolah Kajian Stratejik Dan Global Universitas
Indonesia, cetakan pertama 2018), h, 83-85.
56
57
belakang yang sangat mendasar dan fundamental terhadap keutuhan NKRI dan
demi kenyamanan dan ketentraman umat Bergama.26
Penguatan Masyarakat Sipil (empowering civil soceity) sebuah upaya
untuk meningkatkan kemampuan dan kesadaran masyarakat atau warga negara
dalam membangun dirinya sebagai entitas yang merdeka dan mandiri dalam
merespon dinamika sosial, budaya, keagamaan, ekonomi, dan politik. Masyarakat
sipil harus terus didorong agar mampu berperan sebagai pelaku (main subjects)
pembangunan untuk menciptakan masyarakat yang berkeadaban (civilized
community). Masyarakat berkeadaban memiliki penghargaan yang tinggi terhadap
keragaman serta kesepakatan terhadap nilai-nilai dasar universal dalam dimensi
sosial, politik, budaya, dan agama. Masyarakat berkeadaban tidak dapat dibangun
dalam suatu sistem yang didasari pada klaim keunggulan nilai atau hegemoni
agama, sosial, dan budaya. Sesuai visinya, The Nusa Institute berusaha memberi
kontribusi pada sektor kajian, riset, pelatihan dan publikasi dan informasi serta
memfasilitasi berbagai inisiatif untuk penguatan masyarakat sipil yang
berorientasi pada interaksi yang inklusif dan konstruktif bagi terciptanya kultur
masyarakat yang damai, adil, toleran, dan demokratis.27
Orgnisasi ini mempunyai visi yaitu; “Menjadi lembaga terkemuka dalam
menciptakan masyarakat sipil yang ramah, toleran dan berkeadaban”. Sedangkan
misi terbentuknya organisasi ini diantaranya;
1. Berperan aktif dalam gerakan kontra radikalisme dan terorisme yang terkait
dengan faktor keagamaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
26
Wawancara langsung dengan Nasrullah iskandar (sekretaris The Nusa Institute) pada
tanggal 10 Oktober 2018. 27
Wawancara dengan Nasrullah Iskandar pada 10 Oktober 2018.
58
2. Melakukan riset, pelatihan, advokasi, dan konsultasi gerakan damai dalam
kehidupan sosial keagamaan.
3. Melakukan kajian kemasyarakatan dan keagamaan yang mendorong pada
pemahaman yang inklusif dan toleran.
4. Mengembangkan pendidikan yang berbasis multikulturalisme
5. Aktif dalam kajian Good Governance dan demokrasi.
6. Melakukan kegiatan-kegiatan bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat.
7. Menerbitkan karya-karya bermutu dan berkualitas bagi pengembangan Islam
yang damai, moderat, dan berkeadaban.
8. Mengembangkan jaringan kelembagaan bagi penguatan program. 28
Pada visi dan misi yang telah diuraikan diatas, dapat kita pahami bahwa
arah dan tujuan terbentuknya organisasi ini adalah terwujudnya Indonesia yang
toleran dan berupaya mencegah adanya paham radikal serta menjadi mediator
bagi seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah. Sehingga kemudian bisa
terbentuknya Good Governance. Dalam dua tahun terakhir ini The Nusa Institute
aktif bersama BNPT dalam program dan kegiatan yang berkaitan dengan isu-isu
ektrimisme dan radikalisme seperti yang dipaparkan oleh Nasrullah Iskandar
selaku sekretaris utama The Nusa Institute berikut:
Pada tahun 2016 setidaknya ada enam kegiatan bersama BNPT yang
bekaitan dengan isu-isu radikalisme terutama pada aspek pencegahan berupa;
1. Dialog Pelibatan Dai, Tokoh Pendidikan, Takmir Masjid di 26 Provinsi Kerja
Sama FKPT-BNPT. Kegiatan ini dilakukan selama 10 bulan di antara 26
28
Wawancara dengan Nasrullah Ikandar pada 10 Oktober 2018.
59
provinsi tersebut adalah Gorontalo, Sumatra Selatan, Riau, Banten dan Jabar.
Kegiatan ini berupa FGD antara Dai, Imam Masjid, Pimpinan Pesantren dan
FKTP yang ada di provinsi tersebut.
2. Penyusunan modul keagamaan kerja sama BNPT dan penyusunan modul
pendidikan kerjasama dengan BNPT kegiatan ini dilakukan selama dua bulan
dan pembuatan modul tersebut untuk buku saku FKTP sebagai panduan khusus
dalam mencegah paham radikal.
3. Penelitian terhadap mantan narapidana terorisme di 10 Provinsi Kerjasama
dengan BNPT. Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana kadar paham radikal yang dimiliki para mantan
Napiter, terutama bagi Napiter yang bebas bersyarat dalam penelitian ini
meliputi aspek yang menjadi perhatian khusus pertama, wawasan keagamaan,
kedua kebangsaan dan yang ketiga interpreneur yang mereka lakukan selama
ini, kegitan ini juga bekerja sama dengan Bapas Kemenkumham diantara 10
provinsi tersebut, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Medan, Jawa Tengah, Jawa
Barat, dan Poso.
4. Penyusunan Buku Saku Islam Damai29
penyusunan buku ini merupakan bagian
dari nomor satu di atas.
Kemudian pada tahun 2017 The Nusa Institute bersama BNPT melakukan
kegiatan berupa penilitian dan pembinaan berupa; Pertama, survei Daya Tangkal
Masyarakat terhadap Potensi Radikalisme dan Terorisme di 32 Provinsi kerjasama
dengan BNPT-FKPT. hasil survei tersebut telah dipublikasikan pada 28
29
Wawancara dengan Nasrullah Iskandar pada 10 Oktober 2018.
60
November 2017 dan hasilnya menunjukan bahwa kearifan lokal menjadi salah
satu daya tangkal paling efektif untuk mencegah adanya paham radikal yaitu
63,60% bahkan meskipun aktifitas keagamaan masyarakat masih tinggi yaitu
77,73% namun survei menunjukkan bahwa bekal pemahaman keagamaan masih
rendah yaitu di angka 25,82%.30
Namun perlu kita ketahui bahwa dari hasil survei
tersebut ada lima daerah yang tangkal rendah atau potensi radikalismenya tinggi
seperti yang terjadi pada beberapa provinsi berikut; Provinsi Bengkulu nilainya
58,58 % kemudian Gorontalo 58,48%, Sulawesi Selatan 58,42%, Lampung
58,38% serta Kalimantan Utara 58,30%.31
Kedua, pembinaan Dalam Lapas bagi
Narapidana Terorisme. Pembinaan meliputi tiga unsur, a), wawsan keagamaan
seperti tentang toleransi. b), wawasan kebangsaan seperti bagaimana pandangan
mereka terhadap upacara bendera. c), tentang enterpreneur atau wirausaha
kegiatan ini berjtuan agar para Napiter bebas bisa membuka usaha dan bisa
bertahan hidup sehingga tidak mudah tergoda lagi terhadap iming-iming dari luar
yang menjerumuskan lagi pada perbuatan radikal dan seterusnya seperti contoh
berdagang dan lain-lain.32
b. Wahid Foundation
Wahid Foundation (sebelumnya dikenal sebagai Wahid Institute) dibentuk
pada tanggal 7 September 2004, di Four Seasons Hotel di Jakarta. Didirikan pada
saat dunia belum sembuh dari rasa sakit dan panik yang disebabkan oleh tragedi
30
Lihat https://www.BNPT.go.id/BNPT-gelar-fgd-survei-nasional-efektivitas-kearifan-
lokal-dalam-menangkal-radikalisme-di-era-milenial-di-32-provinsi.html/amp, diakses pada 25 Mei
2018. 31
Lihat http://mentari.online/diklaim-valid-survei-nasional-daya-tangkal-masyarakat-
terhadap-radikalisme-tahun-2017/, diakses pada 25 Mei 2018. 32
Wawancara langsung Nasrullah Iskandar pada tanggal 10 Oktober 2018.
61
2001/11/09 di New York, dan ketika Indonesia telah mengalami berbagai wabah
kekerasan komunal yang dipicu oleh sengketa atas nama agama
Organisasi ini berdiri tidak lepas dari tokoh utama yaitu KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan bapak pluralisme dan bapak bangsa,
sebagai tokoh pluralisme Gus Dur tidak hanya berterori tetapi juga aktif dalam
berbagai kegiatan yang menjunjung tinggi adanya sikap plural, maka tak jarang
Gus Dur mendapat tudingan sebagai penghianat ummat dan bahkan dituduh
sekuler. Meskipun tujuannya adalah untuk menujukkan sikap keislamannya secara
utuh dan maksimal, tidak hanya Islam simbolik.33
Sebagai contok konkrit sikap
plural Gus Dur dengan diakuinya Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia
setelah menjabat sebagai presiden Republik Indonesia ke-4. Sebagaimana kita
ketahui bahwa Gus Dur merupakan mantan ketua PBNU yang membawa
perubahan besar terhadap NU dari yang sebelumnya eklusif menjadi inklusif,
modern dan moderat.34
Wahid Foundation didirikan untuk memajukan visi kemanusiaan dari KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam memajukan pengembangan toleransi,
keberagaman dalam masyarakat Indonesia, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat miskin, membangun demokrasi dan keadilan fundamental, dan
memperluas nilai-nilai perdamaian dan non-kekerasan di Indonesia dan di seluruh
dunia.
33
Indo Santalia “K.H. abdrahman wahid: Agama dan Negara, Pluralisme, Demokrasi dan
Pribumisasi”.Jurnal Al Adyan 1, no. 2(Desember 2015): h. 143. 34
Ahmad Syafii Maarif dan Muhamad Najib, “Upaya Memehami Sosok Kontrovrsial
Gus Dur” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abdallah, edit, Gila Gus Dur; Wacana Pemabaca
Abdurahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 4.
62
Meskipun transisi demokrasi Indonesia dimulai dengan reformasi hukum
pada tahun 1998, diikuti oleh pemilihan umum yang bebas pada tahun 1999,
pecahnya kekerasan komunal membuat jelas bahwa prinsip-prinsip budaya dalam
demokrasi belum tertanam dalam masyarakat Indonesia. Banyak faktor yang
bermain, tapi salah satu yang paling penting adalah peran agama Islam khususnya
di negara Muslim terbesar di dunia yang dalam kombinasi dengan identitas etnis
telah lama membentuk karakter masyarakat. Sementara itu, dunia secara
keseluruhan penuh dengan ketakutan yang disebabkan oleh kekerasan dan aksi
teror.35
Organisasi ini mempunyai visi yaitu; “Terwujudnya cita-cita intelektual
Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia yang sejahtera dan umat
manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme,
multikulturalisme, demokrasi, HAM yang diinspirasi nilai-nilai Islam”. Wahid
Foundation berusaha memperjuangkan terciptanya dunia yang damai dan adil
dengan mengembangkan pandangan Islam yang toleran dan moderat dan bekerja
untuk terbangunnya kesejahteraan bagi semua manusia. Sedangkan misi
terbentuknya organisasi ini diantaranya:
1. Mengembangkan, merawat dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang damai
dan toleran.
2. Mengembangkan dialog-dialog antara budaya lokal dan internasional demi
memperluas harmoni Islam dengan berbagai kebudayaan dan agama di dunia.
35
Lihat wahidfoundation.org/index.php/page/index/About-Us diakses pada 25 Mei 2018.
63
3. Mendorong beragam inisiatif untuk memperkuat masyarakat sipil dan tata
kelola pemerintah yang baik di Indonesia dalam penguatan demokrasi.
4. Mempromosikan partisipasi aktif dari beragam kelompok agama dalam
membangun dialog kebudayaan dan dialog perdamaian.
5. Mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan
sosial.36
Melihat latar belakang, visi serta misi Wahid Foundation maka sangat
jelas bahwa organisasi ini merupakan organisasi yang ingin merawat cita-cita dan
perjuangan Gus Dur dalam memperkenalkan Islam yang ramah bukan islam
marah, Islam yang toleran bukan Islam yang intoleran, Islam anti terhadap segala
bentuk kekerasan dan Islam yang menolak adanya radikalisme maka sangat patut
jika BNPT melakukan kerja sama atau menjadikan Wahid Foundation salah satu
organisasi yang terlibat langsung dalam mencegah radikalisme agama karena
sudah jelas untuk melawan narasi radikalisme adalah dengan narasi toleran atau
bisa kita sebut dengan rahmatan lil alamin.
Untuk itu dalam dua tahun terakhir ini Wahid Foundation aktif dalam
pembinaan Napiter, dalam lapas kegiatan ini sama seperti yang dilakukan oleh
The Nusa Institute yaitu mengenai wawasan keagamaan, wawasan kebangsaan,
dan entrepreneur atau wirausaha. Tidak hanya itu Wahid Foundation menjadi
36
Lihat wahidfoundation.org/index.php/page/index/Vision-Mission, diakses pada 25 Mei
2018.
64
bagian penting dalam terbentuknya blue print atau modul Rencana Aksi Nasioanl
Penanggulangan Ekstrimisne (RAN PE).37
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) adalah
sebuah agenda strategis BNPT dalam upaya pencegahan radikalisme RAN PE
disebut sebagai Living Document sebagai prinsip “Whole of Government and
Whole of Society Approach” menjadi rujukan bagi seluruh pemangku kepentingan
(aktor utamas) pemerintah dan non pemerintah yang bekerja dan berkontribusi
pada upaya penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan mengarah pada
terorisme.
Yang menjadi tujuan terbentuknya RAN PE, Pertama, meningkatkan
koordinasi antar Kementerian/Lembaga (K/L) dalam rangka menanggulangi
ekstremisme berbasis kekerasan. Kedua, meningkatkan partisipasi dan sinergitas
pelaksanaan program-program penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan,
yang dilakukan baik oleh K/L, masyarakat sipil, dan mitra lainnya. Ketiga,
Meningkatkan penelitian dan pengembangan guna mendukung program-program
penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan, maupun memberikan opsi-opsi
kebijakan dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan, yang berbasis
bukti (evidence based and informed decision)38
.
Keempat, meningkatkan kapasitas (pembinaan kemampuan) sumber daya
manusia di bidang penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan. Kelima,
37
Wawacara dengan Alamsyah M Djafar Wahid Foundation pada tanggal 9 Januari
2019. 38
Andhika Chrisnayudhanto “Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme
Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme” (Direktur Kerjasama Regional Dan
Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2018) (dukomen ini didapatkan ketika
wawancara pertama bersama, Alamsyah M Djafar melalui Whatsapp pada tanggal 29 oktober
2018).
65
meningkatkan pengawasan, deteksi dini, dan cegah dini terhadap tindakan-
tindakan dan pesan-pesan ekstremisme berbasis kekerasan. Keenam,
meningkatkan pengembangan narasi dan nilai terkait cinta tanah air, kebhinekaan,
toleransi dan moderatisme dalam mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.
Ketujuh, meningkatkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta
pembinaan pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
Kedelapan, meningkatkan perhatian terhadap para korban tindak pidana teroris
dan perlindungan objek-objek vital serta infrastruktur kritis (ciritical
infrastructures) lainnya.
Kesembilan, melengkapi dan mengharmonisasi kerangka hukum dan
peraturan perundang-undangan dalam penanggulangan ekstremisme berbasis
kekerasan. Kesepuluh, mengembangkan lebih lanjut program-program pada pilar
pencegahan, yang terkait dengan kontra-radikalisasi, perlindungan, kesiapsiagaan,
dan deradikalisasi dalam rangka penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
Kesebelas, meningkatkan kerjasama Internasional baik yang bersifat formal
maupun informal dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
Keduabelas, Mengefektifkan bantuan teknis dari kerja sama bilateral, regional dan
multilateral. Ketigabelas, Membangun mekanisme monitoring dan evaluasi dalam
pelaksanaan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.39
39
Andhika Chrisnayudhanto, “Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme
Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme”.
66
BAB IV
ANALISIS PERAN BNPT DAN MASYARAKAT SIPIL DALAM
MENCEGAH PAHAM RADIKAL
A. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Peran BNPT dan masyarakat sipil dalam mencegah paham radikal sangat
penting karena kombinasi peran kedua lembaga tersebut tentu akan lebih mudah
medeteksi penyebaran paham radikal. Mencegah berkembangnya paham tersebut
merupakan tugas besar BNPT, sebab paham radikal merupakan gejala awal
adanya tindakan terorisme yang menjadi musuh bersama.
BNPT merupakan bagian dari pemerintah terkadang sulit untuk mengakses
beberapa masyarakat yang mempunyai pandangan negatif terhadap BNPT atau
cenderung menghindar. Oleh sebab itu peran masyarakat sipil sangatl penting.
Sebab faktor psikologis masyarakat yang cenderung lebih menerima dan terbuka
terhadap mereka. Masyarakat sipil juga bagian dari masyarakat, sehingga dengan
pendekatan ini lebih mudah untuk mengedukasi atau mencari tahu sejauh mana
paham radikal yang ada di masayarkat.
Untuk melihat perkembangan yang tejadi pada masyarakat terkait paham
radikal, tentu diperlukan strategi khusus pemerintah (BNPT). Maka dari itu,
pemerintah menyusun beberapa kebijakan khusus untuk mencegah
berkembangnnya paham tersebut. Mulai dari RUU, UU, hingga Perpres. Maka
dari itu, pemerintah melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 melibatkan TNI
dalam mencegah, dan menaggulangi radikalisme dan terorisme yang semakin
67
memperihatinkan. Tentu, melibatkan TNI sesuai kebutuhan dan Undang-undang
yang berlaku.
Peran BNPT tidak lepas dari fungsi yang telah ditetapkan oleh Perpres
nomor 46 tahun 2010 pasal 3 dan juga Undang-undang nomor 5 tahun 2018 pasal
34F. Inti dari dua pasal dan dua Undang-udang tersebut adalah memberikan
wewenang penuh pada BNPT untuk membentuk, menyusun, memonitoring dan
koordinasi terkait permasalahan radikalisme dan terorisme. Melihat Perpres dan
Undang-undang tersebut, maka BNPT mempunyai kebebasan untuk meyusun
strategi mulai dari bersifat soft approach hingga hard approach.
Pendekatan melalui soft approach merupakan pendekatan yang
mengunakan strategi, seperti pendekatan budaya, agama, psikologi dan lain-lain.
Pendekatan ini digunakan oleh Bidang Deradikalisasi dan Pencegahan. Meskipun
pendekatan ini dilakukan secara masif dan terstruktur. Akan tetapi masih banyak
yang harus dibenahi, seperti contoh masih ada mantan narapidana terorisme
(Napiter) yang sudah dideradikalasi dan bahkan sudah keluar dari penjara kembali
menjadi aktor dibalik kegiatan teror. Atau mantan napiter yang masih mempunyai
dendam atau tidak suka terhadap BNPT seperti yang dikatakan oleh Nasrullah
Iskandar The Nusa Institute, dia menyampaikan bahwa mereka tidak mau
diwawancara jika ada petugas BNPT yang ingin wawancara dengan mantan
Napiter tersebut. Dalam artian mereka tidak mau lagi berurusan dengan BNPT
dan cenderung memusuhi BNPT. Mengapa demikian, mungkinkah ini merupakan
efek dari hard approach yang dilakukan oleh BNPT. Misalnya, penggerebekan
yang dilakukan oleh pihak berwajib sehingga mengakibat beberapa temanya
68
tewas, yang pada akhirnya ada rasa dendam atau memang deradikalisasi belum
sepenuhnya berhasil.
Mengingat beberapa kasus diatas maka BNPT harus lebih kreatif dalam
melakukan tindakan pencegahan. Pencegahan dengan pola hard approach
terutama dengan kekerasan seminimal mungkin harus dikurangi atau dicegah
kecuali dalam kondisi darurat. Sehingga BNPT tidak akan selalu berbenturan
dengan HAM dan membuat citra BNPT makin buruk dan cenderung dipandang
sebagai musuh.
BNPT seharusnya menggunkan metode pencegahan yang lebih halus atau
menggunakan pendekatan positif dalam artian lebih bisa membuat citra BNPT
tidak lagi negatif atau dimusuhi oleh berbagai pihak. Sebagai contoh misalkan
mengunakan pendekatan, keluarga (parenting) dan kebudayaan atau kearifan lokal
yang akhir-akhir ini BNPT gunakan. Pendekatan melalui kearifan lokal ini
membuat tugas BNPT lebih mudah, sebagaimana survei yang dilakukan The Nusa
Isntitute, menyatakan bahwa hampir 50% kearifan lokal mampu mencegah paham
radikal.
Upaya BNPT dalam mencegah paham radikal melalui pnedekatan kearifan
lokal merupakan sebuah terobosan baru. Pendekatan ini tentu akan memberikan
efek besar terhadap upaya tersebut. Kerana dengan pendekatan ini BNPT akan
lebih mudah dan menyentuh lansung pada tokoh atau budaya. Dalam kasus ini
teori Oteritas Tradisonal dan Oteritas Karismatik Weber menjadi landasan
penulis. Otoritas Tradisonal berfungsi mencagah paham paham yang tidak sesuai
dengan budaya setempat. Meskipun pada dasarnya otoritas tradisional merupakan
69
terori yang digunakan pada sebuah kepercayaan yang mengkuduskan tradisi
zaman dahulu, akan tetapi pada kasus ini otoritas tradisional cukup relevan di
mana budaya serta legitimasinya mampu mencegah adanya paham paham luar
terutama paham radikal. Karena keterikatan dengan budaya dan adat istiadat yang
ada di daerah tersebut. Salain itu hubungan anatara tokoh (terutama tokoh adat)
yang memiliki otoritas dan bawahanya merupakan hubungan pribadi. Sebab kunci
dari hubungan tersebut adalah sebagai perpanjangan dari hubungan keluarga.
Yang pada dasarnya adalah kesetian kepada pimpinan atau tokoh adat begitupun
sebaliknya.1 Melihat kecendurungan dalam otoritas tradisional ini maka sangat
penting BNPT dan pemerintah pada umunya mengaktifkan kembali budaya dan
adat istiadat lokal. Sehingga masyarakat mempunyai tokoh yang dianggap penting
dan menjadi panutan.
Sedangkan Otoritas Karismatik istilah karismatik diambil dari “karisma”
yang mempunyai arti daya tarik pribadi seseorang sebagai pemimpin. Untuk itu
untuk mencagah adanya paham-paham radikal harus ada tokoh masyarakat
maupun tokoh adat sebuah wilayah mempunyai jiwa karismatik dan mempunyia
paham yang moderat bukan paham sebaliknya.2 Kehadiran tokoh yang
mempunyai jiwa kepemimpin karismatik yang berasal dari daerahnya sendiri
sangat penting. Oleh sebab itu BNPT harus bekerja keras untuk menukan bahkan
menciptakan tokoh tokoh tersebut apa lagi dengan terbentuknnya Forum
Koordinasi Pencegahan terorisme (FKPT), tentu akan mempermudah menukan
1 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiolgi Klasik dan Modern, terj. Robet M.Z Lawang
(Jakart: PT Gramedia, 1986), h, 22. 2 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, h. 22.
70
tokoh tokoh setempat yang karismatik, yang- mempu membarikan stimulun dan
arahan agar masyarakat jauh dari paham radikal.
B. Masyarakat Sipil
Lalu bagaimana dengan peran masyarakat sipil atau NGO, Pada dasarnya
Masyarakat sipil akan terus berupaya memperkenalkan akan bahaya paham
radikal. Meskipun tidak ada kerja sama dengan BNPT, seperti dilakukan Wahid
Foundation. Kerena masyarakat sipil adalah keseimbangan antara pemerintah dan
masyarakat atau lebih tepatnya sebagai kontrol sosial. Seperti yang dijelaskan
pada bab sebelumnya bahwa masyarakat sipil adalah modal sosial. Sehingga peran
masyarakat sipil sangat penting sabagai antitesa terhadap pemerintah yang
terkadang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat atau sebaliknya. Tidak hanya
itu kehadiran masyarakat sipil juga memberikan kemudahan bagi pemerintah
untuk mengakses tentang kondisi masyarakat, karena masyarakat sipil merupakan
bagian dari masyarakat dan dekat dengannya.
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa peran masyarakat
sipil hanyalah terbatas untuk membantu BNPT atau sebagai mitra dalam upaya
pencegahan paham radikal. Tentu masyarakat sipil menggunakan pencegahan soft
approach, seperti survey, riset, pelatihan bagi Napiter (dalam proses
deradikalisasi), workshop tentang Islam toleran terutama bagi para Da’i dan Imam
masjid atau seminar tentang bahaya paham radikalisme. Masyarakat sipil
menggunakan wewenangnya tidak lebih hanya sebatas membantu BNPT untuk
mempermudah BNPT dalam menganalisa dan menkaji sejauh mana masyarakat
tertentu telah terjaring paham radikal. Sehingga BNPT akan lebih muda mecari
71
solusi agar masalah paham radikal tidak terus tumbuh dan dapat dicegah
semaksimal mungkin. Dan tentu dengan berkurangnya paham radikal maka
tindakan terorisme lebih mudah diatasi.
Peran masyarakat sipil sangat penting terutama dalam mempermudah
kinerja BNPT dalam mencegah berkembangnya paham radikal. Keberadaan
masyarakat sipil lebih mudah diterima oleh masyarakat. Sebagaimana dijelaskan
diatas bahwa terkadang masyarakat tertentu tidak menginginkan kedatangan
BNPT. Kehadiran masyarakat sipil ditengah-tengah masyarakat dalam upaya
mencari titik terang tentang sejauh mana kadar paham radikal berkembang akan
lebih mudah di deteksi, baik melalui wawancara langsung, pengamatan secara
berkala atau dengan menghadiri majlis-majlis tertentu, dengan tujuan mengetahui
paham yang dianut.
Selain itu kegiatan berupa survei dan riset mengenai radikalisme tentu
lebih mudah dilakukan oleh masyarakat sipil. Sebab, mereka mempunyai koneksi
langsung dengan masyarakat serta mempunyai mobilitas tinggi. Sehingga banyak
survei dan riset yang dilakukan oleh masyarakat sipil menjadi acuan BNPT dalam
mencegah paham radikal seperti riset yang dilakukan oleh The Nusa Institute
tentang daya tangkal Radikalisme di 34 Propinsi. Tidak hanya itu The Nusa
Institute juga melakukan riset tentang natpiter yang sudah bebas hal ini atas
permintaan BNPT. Karena BNPT paham bahwa jika BNPT langsung turun
kelapangan maka dapat dipastikan para mantan Napiter tidak akan menerima dan
bahkan tutup mulut.
72
Masyarakat sipil tidak hanya fokus survei atau riset tetapi juga berperan
aktif dalam pemulihan Napiter agar tidak lagi menjadi teroris, biasa disebut
Deradikalisi. Hal ini biasa dilakukan oleh Wahid Foundation dan The Nusa
Institute dalam beberapa tahun terakhir ini mereka membantu BNPT agar para
Napiter bisa kembali kepada masyarakat dengan normal dalam artian tidak lagi
menganut paham radikal yang ujung-ujungnya melakukan tindakan teror. Tidak
hanya mengubah cara berfikir tetapi masyarakat sipil juga membekali mereka
dengan berbagai keahlian dalam dunia usaha dengan tujuan akan terciptanya
kemandirian usaha setelah mereka lepas dari penjara. Wahid foundation juga
menjadi salah aktor promotor sekaligus yang membuat draft blue print Rencana
Aksi Nasional Penangggulangan Ekstremisme (RAN PE).
Keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan radikalisme adalah
sebagai kontrol sosial tetapi juga sebagai kontrol terhadap keabsolutan pemerintah
hal ini senada dengan teori yang dikemukan olek Hobbes dan Locke. bagi Hobbes
kmunculan masyarakat sipil merupakan kontrol sosial. Dan harus memiliki
kekusaan penuh untuk mengontrol dan mengawasi setiap interaksi masyarakat
terutama perilaku politiknya. Sedangkan Locke memandang bahwa kehadiran
masyarakat sipil mempunyai tanggung jawab penuh untuk melindungi kebebasan
dan hak milik warga negara dan memeberi perlindungan kepda warga dari
keabsolutan raja atau pemerintah. Maka dari keterlibatan masyarakat sipil dalam
upaya pencegahan radikalisme sangat penting. Karena selain kontrol sosial dan
juga sebagai kontrol pemerintah dapat mememcah kebuntuan kominkasi antara
masyarakat yang tidak berhungan langsung terhadap pemerintah terutama BNPT
73
karena stigma negatif terhadap BNPT dan juga menjadi kepanjangan tangan
pemerintah dalam uapaya menyebarkan bahaya paham radikal atau radikalisme.
Keterlibatan masyarakat sipil mempunyai arti penting bagi BNPT terutama
dalam pencegahan paham radikal yang semakin hari semakin memperihatinkan.
Namun keterlibatan masyarakat sipil hanyalah menyangkut tentang bagaimana
cara mencegah paham radikal dari akar rumput. Sehingga, kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat sipil hanya berupa survei, riset, workshop dan seminar
bahkan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial seperti bina damai, festival
toleransi atau kegiatan yang berhubungan dengan bahaya radikalisme.
Masalah survei atau riset tetang radikalisme yang selalu menjadi acuan
BNPT dalam upaya pencegahan paham radikal. Yang juga menjadi konsumsi
publik akan mambentuk justifikasi terhadap wilayah yang rentan atau paham
radikal, yang ada pada wilayah tersebut cukup tinggi misalnya hampir atau lebih
50%. Munculnya citra negatif pada satu wilayah dengan asumsi bahwa
radikalisme pada wilayah tersebut cukup tinggi. Hal ini akan menimbulkan
keresahan tersendiri selain dianggap daerah paling retan terhadap radikalisme juga
dianggap sarang radikalisme. Padahal jika kita teliti dalam survei tersebut hanya
menggunakan sampel dari 100-1000 yang kemudian dianggap mewakili daerah
tersebut. Sehingga akan menimbulkan beberapa reaksi baik negatif atau positif
oleh masyarakat setempat diantaranya:
1. Meningkatnya kewaspadaan terhadap paham radikal di wilayahnya.
2. Merasa tidak aman karena wilyahnya banyak yang berpaham radikal.
74
3. Menimbulkan gejolak di dalam masyarakat bahkan kemungkin akan
mengecam terhadap survei tersebut sebab mengakibatkan citra wilayah atau
kelompoknya buruk dan menjadi perhatian dunia luar.
4. Orang-orang radikal yang berada dalam wilayah tersebut akan pindah
ketempat lain dan akan membuat klan baru sehingga paham radikal tersebar
ke berbagai walayah yang sebelumnya tidak terpapar paham radikal. Sehinga
banyak kajadian teror bukanlah berasal dari wilyah tersebut.
Dari empat permaslahan yang terjadi di atas, merupakan akibat dari hasil
survie yang mengindikasikan sebuah wilayah radikal dengan presentase yang
cukup mengejutkan. Maka kemunculan respon terhadap hasil survei tersebut bisa
tidak terhindarkan. Hal tersebut juga didasarkan pada solidaritas yang terjadi
ditangah masyarakat yang tidak mau wilayahnya dicap sebagai wilayah ratan
radikal meskipun ada sebagian yang terima dan lebih waspada terhadap paham
radikal. Hal ini senada dengan teori yang dikemukan oleh Durkhiem tentang
ancamn solidaritas sosial,3 meskipun teori ini ditujakan kepada pada serikat buruh
atau pekerja. Namun pada kasus ini menurut saya sangat relevan, sebab hal ini
mengakibatkan terjadinya pemebelahan pada masyarakat. Pertama, masyarakat
yang merasa dirugikan yang kemudian dianggap mendukung gerakan radikal atau
tidak taat hukum. Kedua, masyarakat yang semakin waspada akan paham radikal
dan berusaha mencegahnya yang kemudian bisa kita sebut memdukung gerakan
pemerintah dalam upaya pencagahan radikalisme.
3 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiolgi Klasik dan Modern, h. 189
75
C. Tabel Perbandinga Peran BNPT dan Masyarakat sipil
Berikut tabel analisis peran BNPT dan masyarakat sipil dalam mencegah
paham radikal
No BNPT Masyarakat sipil
1
Berpedoman pada UUD, perpres
No. 46 tahun 2010 dan Undang-
undang No. 5 tahun 2018
Berpedoman pada UUD
2 Terikat dengan pemerintah Tidak terikat dengan pemerintah
(NGO) independent
3
Bertanggung jawab terhadap
permasalahan radikalisme dan
terorisme (bertanggung jawab
langsung kepada presiden)
Bertanggung jawab terhadap
permasalahan radikalisme dan
terorisme (tetapi tidak bertanggung
jawab pada presiden) independent
4 Sebagai aktor utama
Sebagai praktisi lapangan secara
inedependent dan membantu serta
menjadi bagian dari BNPT
5
Menyusun kebijakan strategis
masalah pencegahan dan
penanggulangan radikalisme dan
terorisme (RT)
Ikut serta atau sumbangsih ide
terhadap strategi pencegahan RT
6 Melakukan deradikalisasi Membantu proses deradikalisasi
7
Mengadakan penyuluhan,
whorkshop, dan seminar tengtang
bahaya RT
a. Mengadakan penyuluhan,
whorkshop, dan seminar
tentang bahaya RT dengan
inisitif sendiri atau ada
seponsor dari pihak ketiga
b. Mengadakan penyuluhan,
whorkshop, dan seminar
tentang bahaya radikaliseme
76
dan terorisme (membantu
BNPT atau bekerja sama
dengan BNPT)
8 Melakukan survei dan riset
dengan bantuan masyarakat sipil
Melakukan survei dan riset tentang
radikalisme
a. Atas inisiatif sendiri dengan
menggunakan dana pihak
ketiga (sponsor)
b. Bersama BNPT terutama
tentang mantan Napiter
9
Membentuk lembaga yang
bergerak dalam upaya pecegahan
paham RT seperti FKTP
Membantu pembentukan lembaga
yang bergerak dalam upaya pecegahan
paham RT seperti FKTP
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya radikalisme agama merupakan musuh bersama. Mengapa
demikian, sebab radikalisme dapat menganggu stabilitas dan kenyamanan
bersama serta mengancam keutuhan NKRI. Untuk itu pemerintah terus berupaya
mencegah radikalisme, sebab radikalisme merupakan titik awal munculnya
terorisme.
Pemerintah telah membuat Undang-undang dan lembaga khusus untuk
mencegah adanya paham radikalisme dan terorisme yaitu, Badan Nasional
Penangulangan Terorisme (BNPT). Dengan terbentuknya lembaga ini dan
undang-undang No. 5 tahun 2018 diharapkan dapat mencegah radikalisme dan
terorisme secara efektif. Dan BNPT dengan kewenangannya terus berupaya
mencegah paham radikal; Pertama, kontra radikalisasi ini dilakukan secara
langsung atau tidak langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau
kontra ideologi melalui seminar, workshop dan FGD. Kedua, deradikalisasi
merupakan upaya mentransformasi paham radikal menjadi tidak radikal dalam
konteks ini bisa melalui pembinaan, FGD, workshop dan seminar. Selain itu
dalam proses deradikalisasi juga, para narapidana terorsime (Napiter) dibekali
dengan tiga aspek, wawasan kebangasaan, wawasan keagamaan dan yang tidak
kalah penting adalah pelatihan kewirausahaan kepada para Napiter. Dengan tujuan
setelah dinyatakan bebas para napiter dapat membuat usaha mandiri, tentunya
dengan bantuan modal dari BNPT. Ketiga, membentuk Forum Koordinasi
78
Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 propinsi. Keempat, kerjasama dengan
seluruh Kementrian/Lembaga dan saat ini BNPT telah bekerjasama dengan 36
K/L. Kelima, kerjasama dengan masyarakat sipil. Dengan terbentuknya FKTP
maka BNPT dapat dengan mudah berkomunikasi langsung dengan seluruh lapisan
masyarakat dan juga lebih mudah mendeteksi adanya paham-paham radikal dini
yang berkembang dikalangan masyarakat. Dengan kerjasama dengan seluruh
kementrian dan lembaga maka BNPT akan lebih mudah mengakses berbagai data
yang sesuai dengan kebutuhan misalnya dengan Lembaga Sensus dan Dinas
Catatan Sipil.
Selanjutnya peran masyarakat sipil menjadi sangat penting sebab
masyarakat sipil tidak hanya sebagai kontrol pemerintah tetapi juga menjadi
kontrol sosial. Keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan
radilkalisme agama mempermudah langkah BNPT dalam upaya pencegahan
paham radikal yang terjadi pada masyarakat. Sebab masyarakat sipil lebih dekat
dengan masyarakat, terutama dengan masyarakat yang sudah terpapar paham
radikal dan sudah mulai menjauh dari pemerintah. Maka masyarakat sipil
dianggap paling tepat untuk berkomunikasi dan berkonsiliasi kepada meraka
supaya tidak terus bersikukuh pada paham radikal. Pekerjaan ini telah dilakukan
oleh The Nusa Institute dan Wahid Foundation.
The Nusa Institute memiliki peran penting dalam upaya pencegahan
radikalisme agama. The Nusa Institute terus berkontribusi dan turun langsung
terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat misalkan dengan penyuluhan baik
dalam lapas maupun luar lapas. Selanjutnya Wahid Foundation juga ikut ambil
79
bagian dalam upaya pencegahan radikalisme, Wahid Foundation mengambil
bagian penting terutama dengan terbentuknya rencana stertegis BNPT yaitu
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme (RAN PE) dan juga aktif
dalam pembinaan dalam lapas.
Keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya mencegah paham radikal
memberikan kemudahan tersendiri bagi BNPT, sebab masyarakat sipil lebih
mudah berinteraksi langsung dengan berbagai lapisan masyarakat. Namun
keterlibtan masyarakat sipil hanya terbatas pada memberikan sumbangsih ide,
melakukan survei atau riset, membantu proses deradikalisasi dalam konteks ini
masayarakat sipil beperan aktif dalam memberikan wawasan kebangasaan,
wawasan keagamaan dan pelatihan kewirausahaan kepada para Napiter.
B. Saran
BNPT harus lebih banyak lagi mambangun kerjasama dengan berbagai
elemen masyarakat tidak hanya melibatkan kapala daerah tetapi juga melibatkan
tokoh masyarakat atau katua Adat itu lebih penting. Sebab keterlibatan tokoh
masyarakat terutama ketua Adat akan lebih efektif dalam uapaya pencegahan
paham radikal. Apalagi pencegahan dengan metode pendekatan kearifan lokal.
Masyarakat sipil harus lebih aktif lagi dalam menyuarakan adanya
toleransi dan juga memberikan contoh langsung terhadap masyarakat bagaimana
berperilaku toleran. Sebagai bagian dari masyarakat masyarakat sipil harus berani
medampingi masyarakat dalam uapaya pencegahan paham radikal. Misalnya,
memberiakan pelatihan atau pendidikan tetang bahaya radikalisme yang bersifat
berkelanjutan bukan sekedar seremonial.
80
Fakultas Ushuluddin seharusnya memperkaya perpustakan dengan
khazanah keilmuan terutama di bidang radikalisme dan teroisme. Dalam konteks
ini perpustakaan Ushuluddin harus mengumpulkan jurnal, artikel, buku, dan draft
dari BNPT yang kaitannya dengan radikalisme dan terorisme. Tidak hanya itu
fakultas juga mengumpulkan jurnal, artikel, dan buku dari masyarakat sipil yang
berkaitan dengan radikalisme dan terorisme.
81
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Social. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Golose, Petrus Reinhard. Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach,
dan Menyenuh Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu
Kepolisian, 2009.
Jainuri, Achmad. Radikalisme dan Terorisme Surabaya: Intran Publishing, Juni
2016.
Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiolgi Klasik dan Modern, terj Robet M.Z Lawang
Jakart: PT Gramedia, 1986.
Kallen, Horace M. “Radicalism”, Dalam Encycolopedia of the Sosial Science, ed.
Edwin R. A Seligman, The Macmillan Company XIII and XIV 1963.
KH, Maman U. dkk. Metodologi penelitian Agama teori dan praktik. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2012.
Kunarto. terj, Tren Kejahatan Dan Peradilan Pidana. Jakarta : Cipta Manunggal,
1996.
Maarif, Ahmad Syafii dan Muhamad Najib “Upaya Memahami Sosok
Kontroversial Gus Dur” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abdallah, edit,
Gila Gus Dur; Wacana Pembaca Abdurahman Wahid. Yogyakarta: LKIS,
2000.
Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik kualitatif. Bandung; PT. Tarsito
Bandung 2010.
R, Crelisnten. Counter Terrorism, Cambridge UK: Polity Press, 2009
Raharjo, M. Dawam. Masyarakat Madani; Agama, Kelas Menengah Dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, cet.pertama 1999.
Ratna, Nyoman, Kutha. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Sachedina, Abdulaziz. Beda Tapi Setara; Pandangan Islam Terhadap Non-Islam.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, cet, II 2004.
82
SB, Agus Merintis Jalan Mencegah Terorisme: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:
Semarak Lautan Warna, 2014.
Solahuddin, NII sampai JI Salafi Jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2011.
Ubaedillah dkk,. Pendidikan Kewarganegaran (Civic Education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidaytullah
Jakarta edisi ketiga, 2009.
Yusuf, A. Muri. Metode penelitian kuatitatif, kualitatif & penelitian gabungan.
Jakarta: Kencana c et, 1, 2014.
Zuhdi, Muhammad Lutfi dkk. Ketahanan Keluraga Paradoks Radikalisme Dalam
Keluarga Indonesia, Jakarta: Pusat Riset Seolah Kajian Stratejik Dan Global
Universitas Indonesia, Cetakan Pertama 2018.
Journal dan Artikel
Abdullah, Anzar. “Gerakan Radikalisme dalam Islam Perspektif Historis”. Addin
10, no. 1 (2016): 1-28.
Ansyaad, “Strategi menangkal propaganda isis (ismlamic state of irak and
syiria)”. Paper diperentasikan di Jakarta oleh Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme pada Agustus 2014.
Asrori, Ahmad. “Radikalismedi Indonesia: Antara Historis dan Antropisitas”.
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 9, no, 2 (Des, 2015): 235-
268.
Chrisnayudhanto, Andhika “Rencana Aksi Nasional Penanggulangan
Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme” (Direktur
Kerjasama Regional Dan Multilateral Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme, 2018) dukomen ini didapatkan ketika wawancara pertama
bersama, Alamsyah M Djafar melalui Whatsapp pada tanggal 29 oktober
2018.
Crenshaw, Martha. “The Causes of Terrorism”. Comparative Politics 13 no. 4
(Juli 1981): 370-399.
Famela, Jeli Agri. “Pro dan Kontra pelaksanaan program deradikalisasi Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme.” Skripsi S1 fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, Universitas Indonesia, 2013.
83
Ismail, Chairuddin “Paham Radikal dan Transisi Demokrasi serta Keutuhan
NKRI” diunduh pada laman web.
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Penyebaran-
Paham-Radikal-Berbahaya-Bagi-NKRI-1435206305.pdf, diakses pada 22
Februari 2018.
Khamid, Nur “Bahaya Radikalisme terhadap NKRI”.Millati, Journal of Islamic
Studies and Humanities1, no. 1 (Juni2016): 123-152.
Mage, Ruslan Ismail. “Prospek Gerakan Radikalisme di Indonesia”. Jurnal
Populis2, no.3 (Juni 2017): 237-252.
Malik, Imam “Peran Penting Civil Society Organization Dalam Penaganan
Terorisme” CSAVE Indonesia civil society against violent extremism Jakarta
2018.
Santalia, Indo “K.H. Abdurrahman Wahid: Agama dan Negara, Pluralisme,
Demokrasi dan Pribumisasi” Jurnal Al Adyan 1, no 2 (Desember 2015).
Susanti “Kendala Radikalisme dalam Mewujudkan Civil Society di Indonesia”
Universitas Terbuka 2011, http://repository.ut.ac.id/2448/1/fisip201211.pdf,
diakses pada 23 Mei 2018.
Ummah, Sun Choirol, “Akar Radikalisme Islam Di Indonesia” Humanika 12
(Sept, 2012): 112-124.
Widiyanto, Asfa “Constitution, Civil society and The Fight Against Radicalism:
The Experience of Indonesia and Austria” Analisa; Journal of Sosial Science
and Religion1, no. 2 (December 2016): 139-159.
Zuhri, Saefudin “Muhammadiyah dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah”. Ma’arif: Arus Pemikiran Sosial 12,
no.2 (Desember 2017): 73-82.
Website Resmi dan Media
Bnpt.go.id
Mentari.onlie
Merdeka.com
Id.beritasatu.com
Sindonews.com
84
Detik.com
Tempo.com
Thenusainstitute,wordpress.com
Wahidfoundation.org
www.voaindonesia.com
Dokumen Pemerintah
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik Dan Keamanan Republik
Indonesia Nomor: Kep-26 /Menko/Polkam/11/2002 Tentang Pembentukan
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Menteri Koordinator Bidang
Politik Dan Keamanan Republik Indonesia.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Ke-deputian VI, Kesbang, Jakarta 2016
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor Per-01 /
K.Bnpt/I/2017.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme.
UU. 5 Tahun 2018.
UU.15 Tahun 2003.
Wawancara Langsung
Wanawacara dengan Sayahrulllah Iskandar sekretaris utama The Nusa Institute
pada tanggal 02 Oktober 2018.
Wawancara dengan Alamsyah M Djafar Wahid Foundation pada tanggal 9
januari 2019.
Wawancara dengan Nasrullah Iskandar pada 10 Oktober 2018
Wawancara dengan Nasrullah Iskandar sekretaris The Nusa Institute pada 10
oktober 2018.