bab iv analisis problematika pendidikan islam...

25
81 BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN PEMBEBASAN MENURUT PAULO FREIRE A. Beberapa Permasalahan (Problematika) dalam Pendidikan Islam Berbicara tentang problematika pendidikan Islam sebelumnya kita harus tahu tentang Islam itu sendiri. Penulis mengajak tidak hanya potongan- potongan ayat yang diambil untuk kepentingan egoisme dan nafsu kesombongan. Banyak realitas yang ada dalam perkembangan Islam sehingga muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Pemahaman yang utuh terhadap Islam tentulah harus menyertakan pula dimensi sejarah (historis) yang merupakan bangunan dasar atas situasi masa kini. Kita tahu yang banyak terjadi “banyak orang yang belajar sejarah, tetapi tidak belajar dari sejarah”. Islam sebagai sebuah agama tidak saja memiliki pendekatan teologis sebagaimana kisah-kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas dalam al-Qur’an, tetapi lebih dari itu Islam juga tidak mengabaikan kausalitas sosial, tidak salah kalau Asghar Ali Engineer mencermati sejarah Islam memberi perimbangan antara pendekatan teologis dan pendekatan sosiologis. Sebelum penulis membidik apa yang menjadi problematika pendidikan Islam, akan sedikit menyinggung tentang asal usul Islam. Bagaimanapun juga asal usul Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, dengan Makkah sebagai settingnya, sebagaimana asbab al-nuzul penurunan ayat-ayat al-Qur’an oleh Allah SWT. Kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.

Upload: phungxuyen

Post on 28-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

81

BAB IV

ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DALAM

PERSPEKTIF PENDIDIKAN PEMBEBASAN MENURUT

PAULO FREIRE

A. Beberapa Permasalahan (Problematika) dalam Pendidikan Islam

Berbicara tentang problematika pendidikan Islam sebelumnya kita

harus tahu tentang Islam itu sendiri. Penulis mengajak tidak hanya potongan-

potongan ayat yang diambil untuk kepentingan egoisme dan nafsu

kesombongan. Banyak realitas yang ada dalam perkembangan Islam sehingga

muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa.

Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama

sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Pemahaman yang utuh terhadap

Islam tentulah harus menyertakan pula dimensi sejarah (historis) yang

merupakan bangunan dasar atas situasi masa kini. Kita tahu yang banyak

terjadi “banyak orang yang belajar sejarah, tetapi tidak belajar dari sejarah”.

Islam sebagai sebuah agama tidak saja memiliki pendekatan teologis

sebagaimana kisah-kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan

penggambaran yang jelas dalam al-Qur’an, tetapi lebih dari itu Islam juga

tidak mengabaikan kausalitas sosial, tidak salah kalau Asghar Ali Engineer

mencermati sejarah Islam memberi perimbangan antara pendekatan teologis

dan pendekatan sosiologis.

Sebelum penulis membidik apa yang menjadi problematika

pendidikan Islam, akan sedikit menyinggung tentang asal usul Islam.

Bagaimanapun juga asal usul Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial,

dengan Makkah sebagai settingnya, sebagaimana asbab al-nuzul penurunan

ayat-ayat al-Qur’an oleh Allah SWT.

Kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan

mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata

persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.

Page 2: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

82

Kita tahu makkah adalah tempat kelahiran Islam, seperti dimaklumi

pada saat kedatangan Nabi (Muhammad) dikenal sebagai pusat perdagangan

internasional. Banyak pedagang elit di sana, mereka yang kaya ini membuat

konglomerat antar suku dan memonopoli perdagangan di kawasan kerajaan

Byzantium. Hal ini mereka lakukan demi mengeruk keuntungan tanpa

mendistribusikannya kepada suku yang miskin dan membutuhkan. Tentu saja

kelompok pedagang ini berbeda dengan suku asli Islam Makkah seperti Badui

misalnya yang memiliki cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misal

watak egalitarian (kebersamaan) di sinilah benturan terjadi antara kaum

pedagang yang senantiasa mengembangkan kepemilikan pribadi,

memperbanyak keuntungan, menumbuhkan disparitas ekonomi dan

pemusatan kekayaan. Ini yang membuat berbeda dengan suku asli Makkah.

Maka Allah SWT. Mengutus Nabi Muhammad untuk menyelamatkan

Makkah. Dan dengan tegas Nabi Muhammad menentang praktek akumulasi

harta kekayaan dan mengingatkan bahaya dan konsekuensi dari tidak

membelanjakan harta di jalan Allah, kemudian bersama orang-orang lemah

dan tersingkir dari persaingan bebas di Makkah, Nabi Muhammad bergabung

dalam asosiasi yang dikenal atas dasar sebutan mereka terhadap persekutuan

ini dengan nama hilf al-fudul (tiga orang-orang tulus).

Dari latar historis, jelaslah bahwa Islam sebagai agama memiliki

potensi pembebasan atau yang biasa disebut sebagai agama pembebasan.

Islam pada kenyataannya tidak hanya gerakan keagamaan semata, namun

lebih dari itu merupakan gerakan transformasi yang tentu saja

mengembangkan paradigma transformasi.

Muhammad telah diutus untuk membimbing dan membebaskan

rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukan

kekayaan yang berlebihan, sehingga menyebabkan kebangkrutan dan

kesemrawutan sosial. Masa itu Islam merupakan tantangan serius bagi kaum

monopilis Makkah.1

1 Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam Pembebasan, (Jakarta: Penerbit Pena,2000).,

hlm. 81-85.

Page 3: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

83

Dengan latar belakang inilah penulis ingin mengupas problematika

pendidikan Islam, tentunya penulis menelusuri buku-buku yang sudah ada dan

dikaitkan dengan realitas yang sudah nampak untuk dijadikan bahan penguat

analisis ini.

Berbicara tentang problem, khususnya pada pendidikan Islam

hakekatnya merupakan persoalan yang berhubungan langsung dengan

kehidupan manusia itu sendiri. dan persoalan (problem) itu mengalami

perubahan serta perkembangan sesuai dengan kehidupan tersebut baik teori

ataupun perkembangan sesuai dengan kehidupan tersebut baik teori ataupun

konsep operasionalnya. Tentunya di sini dibutuhkan kejelian dalam berfikir

dan menganalisis. Maka penulis ingin menginteraksikan literatur yang sudah

ada untuk diambil sebagai bahan untuk penunjang dan penguat analisis.

Setidak-tidaknya problematika pendidikan Islam meliputi:

1. Problem kerangka sistem dan metode pendidikan Islam

Dalam menghadapi masa depan negara maju dan berkembang telah

megidentifikasikan problema kependidikan masing-masing problema yang

mereka temukan pada dasarnya pada kerangka sistem (sistem yang

membelenggu kreativitas siswa atau guru) dan metode, apa dan bagaimana

pendidikan Islam yang mereka selenggarakan itu mampu berperan secara

efektif dan efisien dalam mempersiapkan generasi muda di masa depan.

Kualitas sumber daya manusia harus mampu memberdayakan sumber

daya alam dan lingkungan yang ada. Tentunya kreativitas serta berfikir

kritis merupakan langkah awal untuk membenahi sistem dan metode

dalam pembinaan, agar tunas-tunas bangsa memiliki kualitas hidup, dan

kehidupan lebih tinggi mutunya dalam segala bidang, tidak saja dalam

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi dalam bidang mental

dan moralitas salah satu yang tidak boleh dinafikan.2

Ketika terjadi tawuran siswa antar sekolah, lembaga pendidikan

Islam menjadi sasaran kritik. Mereka (siswa) begitu tega dan berani saling

menyakiti bahkan saling bunuh (begitu naif). Menurut A. Qodri A. Azizy,

2 M. Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan, ( Jakarta: PT Rineka Cipta,1994)., hlm. 65.

Page 4: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

84

ada dua hal yang perlu dicermati a) Mengapa tega, dan b) Mengapa berani.

Yang pertama berkaitan dengan moral dan yang kedua berkaitan dengan

sistem hukum. Yang pertama erat sekali kaitannya dengan lembaga

pendidikan kita (pendidikan Islam), adapun yang kedua, di samping erat

dengan pendidikan Islam (agar mengajarkan taat terhadap hukum) terlebih

lagi erat kaitannya dengan materi ketentuan hukum dan penegakannya

(low enforcement). Demikian pula ada penegakan hukum namun materi

hukumnya jelek atau tidak mempunyai nilai keadilan (moral) sama saja

artinya dengan tidak ada penegakan hukum.3

2. Problem komersialisasi pada lembaga pendidikan Islam

Komersialisasi lembaga pendidikan merupakan salah satu problem

yang timbul pada pendidikan itu sendiri. di sini akan memunculkan

ketidakseimbangan (timbul persaingan tak sehat) antara si kaya dan si

miskin. Dengan adanya komersialisasi pendidikan justru itu akan lebih

memihak antara si kaya yang akan terus menjadi penguasa, mendominasi

segala sesuatu yang ada.4 “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin

miskin”.

Jika pendidikan Islam lebih mementingkan komersialisasi

pendidikan berarti pemerataan pendidikan hanya menjadi “slogan” belaka.

Yang terjadi penguatan terhadap yang sudah kuat sementara si miskin

dilarang untuk tidak sekolah sebab tidak mampu untuk membiayai

sekolah. Walaupun ada orang yang miskin yang sekolah di situ “melewati

jalan terjal”, kekurangan fasilitas, sarana, pasti akan tersingkir bahkan

putus sekolah (kuliah).

3. Problem pendidikan Islam memasuki abad ke 21

Memasuki abad ke-21, suatu bangsa dihadapkan perubahan global

menuntut adanya sistem keterbukaan politik, ekonomi dan budaya. Banyak

3 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membanggun Etika Sosial, (Semarang:

Aneka Ilmu, 2003), hlm. 3. 4 Ainurrofiq Dawam, “Emoh Sekolah” Menolak Komersialisasi Pendidikan dan

Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Pers, 2003)., hlm. 29-30.

Page 5: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

85

orang mengatakan “era ini disebut dengan era persaingan bebas dan

keunggulan teknologi informasi”. Ini menyebabkan tatanan masyarakat

baru, akan melahirkan tuntutan dan tantangan baru pula. Tuntutan adanya

keterbukaan politik, pembagian keukasaan serta sumber daya alam,

menghargai hukum dan hak asasi manusia serta transparansi dalam

kebijakan pemerintah semakin kuat. Atas dasar inilah, maka untuk

memasuki era baru ini masyarakat menghendaki adanya desentralisasi

serta otonomi di segala bidang.5 Dalam bidang pendidikan, khususnya

pendidikan Islam apakah mampu bersaing untuk memenuhi tuntutan

masyarakat serta mampu menghadapi tantangan baru pula. Dengan adanya

desentralisasi serta otonomi pendidikan, apakah mampu membina dan

mempersiapkan generasi yang berkualitas di segala bidang. Ini merupakan

problem pendidikan Islam yang harus disikapi dan ditindak lanjuti.

Dalam bukunya A. Qodri A. Azizy dijelaskan abad 21 disebut pula

dengan millenium ketiga dan abad globalisasi. Konon, millenium ketiga

kelanjutan abad modern (dan modernisasi) yaitu antara lain kemajuan

Iptek, semakin besar materialisme, kompetisi global dan persaingan bebas

yang semakin ketat. Salah satu dampak negatif modernisasi adalah

menurunnya nilai agama. Sehingga pendidikan Islam di samping bayangan

tugas begitu berat menghadapi arus globalisasi, masih ada tugas yang lebih

berat lagi yaitu memperbaiki moralitas bangsa yang berpangkal dari

moralitas insan Indonesian melalui pendidikan agama (Islam).6

Mengantisipasi abad 21UNESCO (United Nations Educational

Scientific and Cultural Organization) telah merumuskan visi dasar

pendidikan yaitu learning to think (belajar bagaimana berfikir); learning to

do (belajar hidup atau belajar bagaimana berbuat/bekerja); learning to be

(belajar bagaimana tetap hidup, atau sebagai dirinya); learning to live

together (belajar untuk hidup bersama-sama). Ini artinya, pendidikan masa

depan menurut UNESCO haruslah mengacu pada empat dasar itu. Atau

5 Abdurrahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa,( Jakarta:PT Raja Grafindo Persada)., hlm. 79.

6 A. Qodri A. Azizy, op. cit., hlm. 28.

Page 6: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

86

dapat dikatakan, jika tidak mengacu pada empat dasar tersebut maka

pendidikan tidak akan sesuai dengan tantangan kehidupan millenium

ketiga ini.7

Learning to think, membimbing siswa untuk berfikir secara

rasional, tidak semata-mata mengikuti “membeo” bahkan juga tidak

mandeg atau tumpul. Hasilnya akan menjadikan seseorang independen,

gemar membaca, mau selalu belajar, mempunyai pertimbangan rasional,

tidak semata-mata emosional, dan selalu curious untuk tahu segala

sesuatu. Learning to do, pendidikan dituntut untuk menjadikan anak didik

setelah selesai (lulus) mampu berbuat dan sekaligus mampu memperbaiki

kualitas hidupnya, sesuai dengan tantangan zaman. Ketatnya kompetisi

global, seseorang dituntut untuk semakin profesional, mempunyai skill

yang berkualitas untuk mampu berkompetisi. Learning to be, pendidikan

harus mampu membimbing peserta didik pada sikap tahu diri, sikap

memahami diri sendiri, sadar kemampuan diri sendiri dan nantinya akan

mampu menjadikan dirinya mandiri. Di samping itu, learning to be

(belajar untu hidup) juga memberi arti mengajarkan sadar lingkungan

untuk menjaga bumi yang dihuni dari kerusakan. Learning to live together,

pendidikan memiliki kemampuan untuk menyadarkan siswa akan

“pluralisme”. Hal ini dapat terwujud jika setiap orang bersedia menerima

kenyataan akan adanya perbedaan.8

4. Problem dikotomi dalam sistem pendidikan Islam

Masalah ini klasik namun tetap aktual sebab selama ini masih

sering dipersoalkan, para pakar pendidikan (Islam), padahal dualisme

dikotomik menjebak pada pemasungan diri atau pembelengguan diri

menuju pada kejumudan dan kemunduran. Dualisme dikotomi ini,

nampaknya sudah berkembang dan dianggap sebagai sistem pendidikan

modern yang sesuai dengan zaman, sebenarnya hal ini tidak semestinya

terjadi dalam pendidikan Islam, misal perbedaan dunia dan akhirat bukan

7 Ibid., hlm. 29-34. 8 Ibid.

Page 7: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

87

berarti menafikan salah satu namun memperjelas satu sama lain agar

manusia tidak terjebak dalam kebodohan dan kelalaian.

Memang ada sementara pihak yang mengklaim bahwa pada

awalnya pihak Barat justru pernah belajar kepada Islam, tetapi sekarang

sejarah sudah terbalik yaitu orang Islam yang belajar di Barat. Ini

menunjukkan ilmuan Barat mampu mengolah epistimologi yang mereka

pelajari dari Islam. Jadi sekarang cendekiawan muslim harus mampu pula

mengolah kembali agar epistimologi Barat dapat bersahabat dengan

Islam.9

Seharusnya pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya

dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan

sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalis-empiris, intuitif

dan matrealistis. Keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat

yang mampu melahirkan peradaban Islam. Kita tahu Islam untuk semua,

bukan milik pribadi, kelompok bahkan Nabi sekalipun. Dengan kata lain

tidak ada yang “monopoli Islam”. Penulis tegaskan Islam adalah Islam

untuk semua makhluk.10

5. Problem lemahnya semangat iqra’ dalam pendidikan Islam

Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkembangkan semangat

iqra’ serta menanamkan dalam jiwa, alam berfikir dan berperilaku

terhadap umat Islam.11 Iqra’ haruslah diartikan dengan lebih luas lagi

yaitu “membaca, melihat, observasi, atau meneliti”. Apa yang harus

dibaca? Apa yang harus diteliti atau diobservasi? Yang harus dibaca

adalah semua ayat-ayat Allah baik yang tertulis di dalam al-Qur’an yang

dikenal sebagai ayat-ayat qauliyah, seperti al-Qur’an, Injil, Zabur maupun

Taurat, dan juga ayat-ayat Allah yang tersebar di seluruh jagat raya ini,

yang merupakan fenomena-fenomena alam, dan ini dikenal sebagai ayat-

9 Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta ,( Yogyakarta: Tiara

Wacana,1991)., hlm. 3-4. 10 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jilit 2, ( Jakarta Raja

Grafindo Persada)., hlm. 6-7. 11 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pusataka Pelajar Offset,

1996 )., hlm. 15-16.

Page 8: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

88

ayat kauniyah/ ini menunjukkan bahwa perintah kepada semua umat

manusia, khususnya umat Islam untuk mencari ilmu pengetahuan.12

Mencari ilmu harus terkait erat dengan keyakinan akan eksistensi Allah

Sang Pencipta, dan dengan ilmu pengetahuan itulah dapat menjalankan

tugas kekhalifahan.13

Penulis menambahi semangat iqra’ di sini harus diimbangi dan

disertai dengan semangat menulis (al-qalam).14 Minimnya umat Islam

untuk menulis karya tulis ini merupakan bagian dari problem pendidikan

Islam, bagaimana pendidikan Islam menumbuhkan pada anak didik, tidak

ketinggalan juga para guru atau dosen harus menjadikan tulis menulis

suatu kewajiban, untuk memperkaya khasanah keilmuan dan penemuan

baru dalam penelitian.

6. Problem metodologis dalam pendidikan Islam

Problem metodologis juga persoalan dalam pendidikan Islam, di

samping perlu kajian mengenai filsafat dan pendidikan juga perlu kajian

secara mendalam mengenai Islam sebagai agama yang diwahyukan bagi

petunjuk hidup manusia. Sebagaimana fungsi substansial suatu agama

dalam membimbing gerak dinamis akan tetapi juga mengajak manusia

menemukan jati dirinya yang mulia.15

Banyak orang menjadi segan untuk mengkaji dan menelaah ulang

bagaimana sesungguhnya tata kerja dan mekanisme proses pelaksanaan

pendidikan dan pengajaran Islam di lapangan karena terhalang oleh sikap

mental yang lebih mendahulukan isi keyakinan umat Islam yang tidak

dapat diganggu gugat. Karena itulah, sangat penting mempertimbangkan

konteks perubahan sosial yang begitu cepat. Demikian pula faktor historis

yang melatarbelakangi setiap konsepsi ilmu-ilmu keagamaan, termasuk

12 M. Amin abdullah, dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan

Umum¸(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 108. 13 Ibid. 14 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004), hlm. 172. 15 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS,1993).,

hlm. 1-5.

Page 9: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

89

corak metodologi yang disusun dan digunakannya. Itulah sebabnya dalam

wilayah metodologi yakni wilayah bagaimana proses pendidikan

dilaksanakan di lapangan perlu diteliti dan ditelaah ulang. Jika tidak

dikhawatirkan justru misi utama yang hendak diemban oleh pendidikan

Islam yakni untuk mentransfer nilai-nilai agama kepada anak didik dan

masyarakat pada umumnya justru malah tidak atau kurang mencapai

sasaran.

Untuk maksud itulah ilmu pendidikan Islam tidak boleh hanya

bersikukuh pada metodologi ajar-mengajar agama dengan pola

konvensional-tradisional perlu dicari terobosan baru sehingga isi dan

metodologi pendidikan agama menjadi aktual-kontekstual. Dengan

demikian, pelaksanaan pendidikan Islam akan relevan dan sesuai dengan

gerak perubahan dan tuntutan zaman.16

7. Problem epistimologis pendidikan Islam

Epistimologis adalah satu cabang filsafat yang memperbincangkan

seluk beluk pengetahuan, seperti sudah dikenal bahwa memperbincangkan

epistimologi tidak dapat meninggalkan persoalan sumber ilmu

pengetahuan dan beberapa teori tentang kebenaran.

Persoalan pertama, terkait dengan pertanyaan: Dengan apa ilmu

pengetahuan dapat diperoleh? Apakah lewat akal pikiran semata seperti

yang tampak ditemukan dalam bahasan mengenai aliran rasionalisme, atau

lewat pengamatan semata seperti dalam aliran empirisme, atau juga

dimungkinkan lewat cara lain yakni instuisi seperti dalam aliran

intuisionisme.

Sedangkan persoalan kedua terkait dengan pertanyaan: Dengan

apakah kebenaran ilmu pengetahuan manusia itu dapat digambarkan?

Dengan pola korespondensi, koherensi, atau praktis-pragmatis?

Namun, patut disayangkan literatur yang dapat dijadikan

pembimbing ke arah perbincangan epistimologi terhadap kerangka bangun

16 Abdul Munir Mulkhan, Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998),

hlm. 51-52.

Page 10: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

90

keilmuan pendidikan Islam tergolong langka. Hal ini mengakibatkan

sulitnya perbincangan dan diskursus mengenai dasar keilmuan pendidikan

Islam tersebut. Apalagi bila keilmuan pendidikan Islam hanya terbatas

pada sekumpulan “doktrin agama Islam” yang harus ditransmisikan begitu

saja kepada generasi penerus lewat jalur pendidikan formal atau informal.

Dalam pengertian itu keilmuan pendidikan Islam terkesan lebih

banyak memfokuskan pada isi muatan materi yang harus ditransfer kepada

orang lain dan bukannya pada proses dan metodologinya. Bagaimana

sesungguhnya pendidikan Islam dilaksanakan dalam situasi dan zaman

yang terus berkembang dan berubah, merupakan persoalan penting yang

perlu dikaji.17

Dengan demikian pendidikan Islam harus mampu

mengintegrasikan agama dan ilmu dalam praktek kependidikan. Jangan

sampai ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama

secara terpisah, yang sekarang berjalan, sedang sekarang terjangkit krisis

relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan) mengalami

kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif

yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan

(keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban),

maka gerakan rappochment dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan

atau reintegrasi epistimologi. Keilmuan adalah suatu keniscayaan dan

mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan

yang serba kompleks dan tak terduga pada millenium ketiga serta

tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola

sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia yang

berkualitas sebagai khalifah Allah di bumi.18

8. Problem nilai (dekadensi moral) pendidikan Islam

Pendidikan Islam memiliki peranan penting dalam persoalan

akhlak atau moral, apakah dengan era kebebasan ini pendidikan Islam

17 Ibid., hlm. 49-50. 18 M. Amin Abdullah, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, op. cit., hlm.

6.

Page 11: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

91

mampu memberikan pengaruh terhadap jiwa insan yang beradab,

berperilaku manusiawi.

Sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa di antara faktor

terpenting yang memberi sumbangan terhadap merosotnya ekonomi dan

peradaban umat dengan segala pranta sejarahnya adalah mundurnya etika

dan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat atau dalam “bahasa” agama

sebagai akhlak. Tampaknya hipotesis ini dapat dibuktikan Qunar Mirdal,

peraih di bidang ekonomi yang berasal dari Swiss, mengadakan penelitian

di sebelas negara tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab

keterbelakangan bangsa di bidang ekonomi. Pada akhir kesimpulannya, ia

mengatakan bahwa faktor akhlaklah yang menjadi penyebab utama

keterbelakangan tersebut. Apalagi dekadensi moral ini didukung oleh

sistem pendidikan yang menjadi kebijakan nasional tampaknya kurang

memberi perhatian terhadap pengembangan akhlak, di samping

manajemen pendidikan yang masih kurang baik.19

Secanggih apapun teknologi, sekaya apapun negara apabila KKN

menjamur dari tingkat bawah sampai elit (atas) ini akan menggerogoti

keberhasilan yang sudah ada. Mampukah pendidikan Islam mensikapi

problem dekedensi moral yang sudah menasional dan bahkan kemerosotan

moral internasional.

9. Kurangnya relevansi program pendidikan di sekolah dengan kebutuhan

pembangunan dalam pendidikan Islam

Sekolah yang mendukung kepentingan elitis non populis (tidak

berpihak pada rakyat atau masyarakat), tidak demokratis, tidak

berorientasi kearah kepentingan pembangunan tidak akan

mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat.20

Dengan demikian pendidikan Islam harus mampu merancang dan

mengimplementasikan program yang dapat mencakup di segala bidang

baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya bahkan bidang keilmuan dan

19 Suwandi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 170-171. 20 Ibid., hlm. 179.

Page 12: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

92

teknologi. Misal, manusia dalam kehidupan sangat memerlukan IPTEK

karena dengan jalan itu manusia bisa mencapai cita-citanya, contoh: untuk

makan saja kita memerlukan sokongan ilmu pengetahuan kedokteran,

kesehatan, kimia, dan banyak lagi lainnya, ini hanyalah contoh kecil saja.21

10. Problem modernisasi sebagai tantangan pendidikan Islam

Pendidikan Islam harus dapat tampil ke permukaan sejarah di

tengah laju modernisasi dirinya sendiri,22 bukan berarti mengajak terlalu

matrealistis. Menengok kesalahan utama yang dilakukan budaya modern,

yang berpijak pada budaya Barat zaman renaisans karena terlalu

matrealistis, jangan sampai pendidikan Islam terjebak pada sejarah yang

sama.

Perlu dimengerti Islam tidak menentang kemodernan, sejauh

kemodernan itu dimanfaatkan bagi kepentingan membangun kesejahteraan

umat manusia, bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi sebagaimana yang

dianut oleh budaya Barat. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan

diakui oleh Islam sebagai ketentuan yang telah ditetapkan atas manusia.

Penyimpangan kemanfaatan kemajuan itu berarti penyelewengan terhadap

ketentuan yang ada karena Allah SWT. telah menetapkan sunnah-Nya

sebagai jalan yang lurus.23

Namun modernisasi memunculkan gejolak, lihat setiap modernis

dalam melontarkan gagasan-gagasannya senantiasa berangkat dari

keprihatinannya terhadap keterbelakangan umat Islam dibanding dengan

masyarakat modern Barat, dan seterusnya mencari jalan pemecahan untuk

membawa umat Islam kepada kemajuan. Penulis menambahi umat Islam

itu demikian terbelakang disebabkan tangan dan kakinya terikat oleh sikap

taklid pada pemahaman para pendahulu agama tanpa berfikir kritis dan

21 Farid Nasution (eds.), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan: Pustaka Widya Sarana,

1993), hlm. 121. 22 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 15. 23 Ibnu Musthofa, Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, (Bandung: Mizan, 1993), hlm.

91-92.

Page 13: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

93

kreatif.24 Inilah sebuah fenomena yang menjadi problem pendidikan Islam,

apakah mampu menepis keterbelakangan dan mampu menciptakan

peradaban baru yang didukung dengan kualitas umat manusia, khususnya

umat Islam.

Modernisasi bukanlah sebuah ancaman akan tetapi sikap kebegoan

(kebodohan) terhadapnya merupakan ancaman serius dalam tubuh umat

pemeluk agama Islam itu sendiri (khususnya orang yang berperan dalam

pendidikan Islam).25

11. Problem proses belajar mengajar (interaksi guru – murid) dalam

pendidikan Islam

Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan hubungan yang

harmonis antara guru dan murid. Tentunya tidak hanya memiliki ikatan

secara lahiriah, struktural namun lebih dalam lagi harus memiliki ikatan

batin untuk belajar dan mengajar bersama; bukan berarti meninggalkan

kredibilatas atau eksistensi sebagai guru. Guru bukan segala-galanya,

namun guru adalah pembimbing dengan kasih sayang bukan sebagai

monster (killer).26

Sebaliknya murid jangan menjadikan guru sebagai orang yang

ditakuti dan dijauhi sehingga belajar hanya berkutat pada ruangan

keseharian yang menjenuhkan. Di mana saja dan kapan saja dapat belajar

bersama tidak ada sekat yang membatasi bukan berarti bebas yang tak

punya aturan.

Proses belajar mengajar tidak hanya berkutat pada materi

pelajaran. Persoalan hidup dan persoalan yang dihadapi harus menjadi

persoalan yang harus dipecahkan serta direspon oleh guru. Kegagalan

dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia adalah

merupakan kegagalan proses belajar mengajar oleh guru dan murid adalah

kegagalan pendidikan itu sendiri.

24 Syahrin Harahap, Islam Dinamis, Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur’an dalam

Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 179. 25 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, op. cit., hlm. 1-5. 26 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2005)., hlm. 132.

Page 14: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

94

Dalam teori pendidikan hal semacam ini tidak menjadi masalah

namun dalam realitas hal semacam ini menjadi problem pendidikan Islam.

12. Problem ketidakserasian kurikulum dalam pendidikan Islam

Kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah yang

melaksanakan pendidikan Islam sekarang ini, baik swasta maupun negeri,

hanya memuat mata pelajaran yang beraneka ragam, jumlah jam pelajaran,

dan nama buku-buku pegangan untuk setiap mata pelajaran itu. Dengan

demikian kurikulum yang terpakai hanya sebatas pengajaran saja. Dapat

dikatakan “sampai sekarang ini kurikulum hanya berlangsung pengajaran

teori-teori keagamaan saja”. Kiranya hal ini disebabkan oleh

pencampurbauran antara pengertian pendidikan dengan pengertian

pengajaran dan percampurbauran antara pengertian Islam dengan teori-

teori keagamaan sangat disayangkan. Tamatan-tamatan dari sekolah-

sekolah berpredikat Islam justru tidak tahu dengan jelas dan lengkap

seluruh isi Islam yang Allah paparkan di dalam al_Qur’an yang

pelaksanaan telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Tamatan sekolah-

sekolah berpredikat itu tidak bercorak diri sebagaimana yang Allah

maksudkan di dalam al-Qur’an.

Untuk dapat membuat kurikulum yang tepat dan serasi dengan

tujuan pendidikan, maka harus dimulai dari menganalisa tujuan

pendidikan itu. Tujuan pendidikan senantiasa berupa pengungkapan corak

diri bernilai tinggi (intelektual, kritis atau peka terhadap realitas sosial dan

bertakwa) yang dimaksudkan sebagai pengabdian terhadap Allah SWT.27

namun yang banyak kita lihat persoalan visi komitmen pemerintah dan

kontruksi kesadaran masyarakat yang masih bernuansa fatalistik membuat

keringnya kurikulum dari realitas sosial dengan segala perkembangan

perubahan dan kemajuannya.28

Inilah berbagai problem pendidikan Islam, tentunya ini akan terus ada

di setiap langkah dan proses dalam pendidikan. Yang terpenting bagaimana

27 Burlian Somad, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, ( Bandung: al Ma’arif,1981)., hlm. 103-104.

28 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis,( Yogyakarta: IRCiSoD, 2005)., hlm. 24-27.

Page 15: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

95

pendidikan Islam mensikapi perubahan baru yang tidak hanya berhenti pada

orientasi kekinian, akan tetapi juga masa depan.

B. Analisis Problematika Pendidikan Islam dalam Perspektif Pendidikan

Pembebasan Menurut Paulo Freire

Pada kenyataannya Islam adalah sebagai agama yang memiliki

potensi pembebasan atau yang biasa disebut sebagai agama pembebasan.

Islam tidak saja merupakan gerakan keagamaan, tetapi lebih dari itu

merupakan gerakan transformasi yang tentu saja mengembangkan paradigma

transformasi.29

Islam, oleh banyak penulis sejarah bukan saja dianggap sebagai

agama baru melainkan juga sebuah liberating force suatu kekuatan pembebas

lewat manusia.

Harap dicatat juga bahwa personifikasi muslim sejati dalam al-Qur’an

adalah pada diri Muhammad, yang hidup bersama dan merasakan penderitaan

kaum tertindas membangkitkan harga diri mereka dan membebaskan mereka.

Dialah Nabinya kaum tertindas, pemimpin Islam pembebas.30 Dalam segi

inilah yang menyebabkan Islam dahulu, begitu cepat menyebar di penjuru

dunia.

Dari sinilah penulis menganalisis problematika pendidikan Islam

dalam perspektif pendidikan pembebasan Paulo Freire.

Diawali dari latar belakang di atas, serta dari proses bedah pendidikan

pembebasan Paulo Freire problematika pendidikan Islam meliputi:

1. Problem demokrasi dalam pendidikan Islam

Dalam pemikiran Yunani demokrasi semula berarti bentuk politik

di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan

politik. Dasar pemikiran modern tentang demokrasi ialah ide politis

filosofis tentang kedaulatan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa semua

29 Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam Pembebasan, (jakarta: Penerbit Pena, 2000).,

hlm. 84. 30 Ibid., hlm. 90.

Page 16: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

96

kedaulatan rakyat dikembalikan pada rakyat sebagai subyek asli otoritas

manusia.

Masyarakat yang selaras dengan tradisi demokrasi biasanya akan

menggemparkan semua kekuatan yang cenderung memproduksi

perbedaan-perbedaan sosial dan kelas-kelas. Dapat dikatakan, “masyarakat

demokratis berusaha menjalin kehidupan bersama”. Di mana setiap orang

memiliki martabat sebagai manusia yang bebas. Martabat sebagai manusia

bebas ini menyebabkan manusia berhak memilih keyakinan dan pendirian

yang tidak diubah secara paksa oleh siapapun.

Demokrasi dan pendidikan mempunyai hubungan yang saling

menunjang karena pendidikan yang sifatnya demokratis akan

menempatkan anak-anak sebagai pusat perhatian, melalui pendidikan

anak-anak ditempatkan sebagai manusia yang dimanusiakan. Pendidikan

hanya memberikan layanan yang kondusif, bagi pertumbuhan dan

perkembangan optimal pada anak.

Suatu di sekolah harus merasakan bahwa sekolah bagi mereka

sungguh merupakan surga kecil yang menggembirakan, di sekolah siswa

harus dihargai, dipahami dan tidak dibodoh-bodohkan maupun diejek-

ejek, khususnya anak dari masyarakat miskin biasanya anak dari

masyarakat miskin sering dibodoh-bodohi, dipojok, diejek, dihina atau

dibiarkan semaunya. Peran guru sangat penting dalam hal ini.

Dengan kata lain pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran

dan membekali pengetahuan pada peserta didik menjadi masyarakat yang

demokratis. Dalam diri setiap peserta didik harus ditanam dan

dikembangkan sikap politik, meskipun sekolah bukan lembaga politik,

namun memiliki dampak yang signifikan atas proses politik lewat

tanggung jawab sekolah dalam membekali peserta didik dengan

pengetahuan dasar tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta

mengembangkan daya kritis dan kejujuran dalam berkomunikasi dengan

masyarakatnya. Lebih dari itu sekolah memiliki tanggung jawab

Page 17: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

97

melengkapi peserta didik dengan kemampuan memerankan fungsinya

sebagai anak bangsa di likungan masyarakat yang demokratis.31

Freire mengatakan bahwa tradisi yang terjadi di Brazil bukan

merupakan pertukaran ide-ide, melainkan pendiktean ide-ide. Semestinya

upaya yang dilakukan adalah mendiskusikan semua problema yang ada,

bukan pendiktean mata pelajaran pada murid tanpa boleh dibantah yang

terpenting seharusnya melakukan kerjasama dengan murid dalam

meluruskan permasalahan.32

Di sinilah letak problem pendidikan Islam belum maksimal dalam

menyikapi sesuatu. Pendidikan dilaksanakan apa adanya (tanpa

manajemen yang baik), tanpa mengurangi harga diri guru. Guru masih

menganggap orang yang serba tahu. Penulis tekankan lagi, bukan berarti

meremehkan guru. Dalam mendiskusikan masalah “ujungnya” kesimpulan

guru menjadikan jawaban yang harus dihafal karena dalam ujian keluar.

Inilah yang dimaksud Freire “pendiktean ide-ide”. Semestinya harus

mendiskusikan semua problema yang ada bukan pendiktean mata

pelajaran pada murid tanpa dibantah, akan tetapi bagaimana bekerjasama

dengan murid meluruskan permasalahan yang ada kaitannya dengan

realitas sosial yang ada.

Contoh kecil, pernah seorang guru baru selesai menerangkan suatu

materi pelajaran dan mengatakan, “pada pertemuan berikutnya ulangan”.

Ketika itu ada seorang siswa mengatakan bahwa ia belum mengerti materi

yang baru saja disampaikan oleh guru tersebut. Guru tersebut dengan

enaknya menjawab, “kalau enggak tahu, cari sendiri jawabannya!”,

sebegitu cuekkah guru terhadap muridnya yang tidak mampu ...?33

Dengan demikian, pembebasan haruslah dijalankan secara dialogis

dan demokratis. Dengan kata lain, “Tidak ada dominasi satu dengan yang

lain”. Seperti dalam perjuangan Freire di Brazil, Freire telah memulainya

31 Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung

Pustaka,2004)., hlm. 86-90. 32 Ibid., hlm. 87-88. 33 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 177.

Page 18: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

98

dengan jalan yang dialogis dan demokratis, ia tidak menetapkan dirinya

sebagai pendidik murni bagi rakyat, sebaliknya ia juga tidak menganggap

rakyat sebagai terdidik murni. Baik terdidik maupun pendidik, keduanya

diletakkan sejajar dalam suatu proses yang dialogis yang bermakna

“belajar bersama”.34

2. Problem dehumanisasi lembaga pendidikan Islam (menyangkut nilai

manusiawi)

Kepedulian terhadap pemanusiaan seketika membawa kita

pengakuan terhadap “dehumanisasi”. Keduanya merupakan sebuah

alternatif, hanya pemanusiaan yang menjadi fitrah manusia. Fitrah ini

kadang selalu diinjak-injak namun justru tiap kali diinjak ia makin

diteguhkan.35

Kita tahu Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, membimbing manusia

kembali pada fitrahnya. Tentunya pendidikan Islam harus pula

mengembalikan manusia pada fitrahnya, yaitu menghilangkan

dehumanisasi dan memperjuangkan humanisasi (memanusiakan) manusia.

Seringkali kita bersikap tidak “manusiawi” namun tidak menyadari

karena, terbelenggu oleh kebiasaan.36 Dapat dikatakan “kemapanan yang

menindas atau tidak manusiawi”, dianggap sebagai takdir yang tak dapat

diperjuangkan. Sama halnya dengan gagasan Freire pada dasarnya

mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah “proses

memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu

analisis bahwa sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya, mebuat

masyarakat mengalami proses “dehumanisasi”.

Untuk itu pendidikan Islam harus mampu membangkitkan

kesadaran kritis, mengajak untuk memahami sistem sosial, politik,

ekonomi dan budaya yang tidak manusiawi (dehumanisasi). Secara lebih

34 Muh. Hanif Mulkhan, Paulo Freire Islam Pembebasan, op. cit., hlm. 134-135. 35 Paulo Freire, dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Libera Anarkis,

( Yogyakarta: pustaka Pelajar,2001)., hlm. 434-435. 36 Muhammad Munir Mursa, at-Tarbiyatul Islamiyah, (Beirut: Ilmu al-Kitab, 1977), hlm.

25.

Page 19: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

99

rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisa

tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka

sendiri. ini yang belum dilakukan pendidikan pendidikan Islam, yaitu

menganalisa atau pandangan hidup umat Islam dan bertindak untuk

mengadakan perubahan yang lebih baik, lebih jelasnya merubah sistem

atau memperbaiki sistem dalam pendidikan Islam itu sendiri baik

manajemennya, administrasi kurikulum, pendidik dengan murid,

hubungan dengan masyarakat, hubungan denga pemerintah, hubungan

dengan orang tua, hubungan dengan lingkungan, dan yang terakhir

hubungan dengan Tuhan (Allah). Semua ini harus mencerminkan

humanisasi (nguwongke), terhadap murid, mahasiswa dan sebaliknya. Satu

sama lain tidak saling menonjolkan diri (mendominasi) akan tetapi

bersama untuk yang terbaik (insan kamil).37

Dengan demikian pendidikan pembebasan terwujud yaitu mereka

yang tertindas (istilah Freire) atau terkungkung suatu keadaan, menjadi

merdeka, mandiri, tak terikat dalam keadaan yang mendominasi dirinya.

Maka pendidikan Islam harus mengarahkan dengan pengarahan

pendidikan untuk manusia bebas, manusia otonom yang menguasai dirinya

sendiri, juga bagaimana mengarahkan pendidikan agar manusia berfikir

kritis dan menganggap dirinya subyek atas dunia dan realitas.38

3. Problem kurikulum mengambang (kekaburan kurikulum dalam pendidikan

Islam)

Selama ini apa saja yang diajarkan pada sekolah-sekolah hanya

gagasan idealis tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Orang kemudian

hafal dengan rumus-rumus kimia, fisika, matematika atau teori-teori lain

yang dihadapi peserta didik, seperti contoh, penulis adalah orang desa, tapi

tidak tahu menahu bagaimana memperdayakan memberdayakan desa yang

baik dan sebagainya. Desa, tidak asing lagi mayoritas “petani”, justru

37 Mansour Fakih, dkk., Raharjo, Toto (eds.), Pendidikan Populer; Panduan Pendidikan

untuk Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) , hlm. xiv. 38 Abdul Malik Haramain, Pemikiran-pemikiran Revolusioner, ( Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,2003)., hlm. 148.

Page 20: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

100

penulis tidak tahu bagaimana mengolah tanah yang baik, menanam dan

memelihara. Terkesan kalau apa yang diajarkan di sekolah-sekolah hanya

sebatas “memori” belaka dalam pikiran kita. Dan juga sebagai simbul atau

tanda-tanda seseorang itu pernah sekolah. Apakah pendidikan Islam harus

dibawa menuju seperti ini, “yang kering dengan realitas yang ada”. Ini

hanya gambaran kecil.

Untuk menjadikan atau membimbing insan-insan yang peka atau

tanggap pendidikan Islam harus peka dan tanggap terhadap persoalan

realitas. Jangan sampai semasa sekolah orang tidak merasakan kalau apa

yang dikerjakan di sekolah mampu menjadikan manusia secara utuh.

Tidak mampu mengajarkan suatu keahlian untuk bidang-bidang tertentu.

Wajar kalau ada selentingan “menyudutkan persoalan pendidikan kita ini”.

Pendidikan kita anti realitas, tidak bisa mengantarkan seseorang untuk

menghadapi persoalan yang dihadapinya.

Haruskah pendidikan Islam hanya dapat menghasilkan orang-orang

yang hafal hadits, al-Qur’an serta hafal fikih, tentu saja “tidak”.

Kurikulum harus mampu menyentuh persoalan yang dihadapi baik

kekinian dan masa depan. Di samping itu, al-Qur’an, hadits, dan keilmuan

Islam dapat diwujudkan dan dikembangkan dalam sebuah upaya untuk

mewujudkan kemanusiaan dan menghilangkan penindasan berbentuk

apapun.

Namun akhir-akhir ini terdapat sebuah gagasan segar dari hasil

diskusi-diskusi tentang pendidikan sampai melahirkan kurikulum berbasis

kompetensi (KBK). Setidak-tidaknya ini menjadi sebuah loncatan yang

cukup jauh ke depan berkaitan dengan penulis menyebut siklus

pendidikan.39

Ketika seseorang terjun di kehidupan nyata yang ditanyakan tidak

sekedar “kamu lulus apa”, “ijazah kamu apa” , namun “kamu mampu apa”

dan bisa apa kamu”.

39 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 134-135.

Page 21: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

101

Itulah sebuah fenomena problem yang ada pada pendidikan Islam.

Jangan sampai kurikulum itu “mengawang” akan tetapi mempunyai

“wajah” terhadap realitas sosial di berbagai bidang.

Kurikulum sendiri haruslah jelas tujuannya, “kata Freire”. Freire

berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri

dan sesama yaitu melalui tindakan sadar untuk megubah dunia. Dalam arti

“pengenalan tentang realitas” yang dilakukan yang tidak hanya bersifat

subyektif tetapi juga obyektif untuk memperoleh pengetahuan tentang

realitas. Freire tetap eksis dalam menyuarakan pendidikan kaum tertindas,

demikian filsafat pendidikannya yang luas dikenal.40

4. Problem kepincangan dalam proses belajar mengajar dalam pendidikan

Islam

Gaya mengajar atau cara bagaimana suatu mata pelajaran

disampaikan masih dinilai memperlihatkan kondisi yang statis tidak ada

prinsip dialogis dan partisipatoris dalam tiap-tiap pembelajaran. Yang

terjadi siswa sebagai obyek yang tertekan untuk menerima transfer nilai

keilmuan dari guru. Malah peran guru semakin dioptimalkan dengan

sekaligus memberikan kesan kalau guru itu sosok “maha tahu”. Hal

semacam ini akan menciptakan jurang pemisah antara guru dan murid,

kesenjangan dalam pendidikan semakin menciptakan kondisi statis dalam

proses pembelajaran.

Proses pendidikan atau pembelajaran membawa kelesuan-kelesuan

bagi peserta didik. Akibat kepincangan pengajaran yang diciptakan oleh

guru atau dosen. Kelesuan itu dialami oleh peserta didik ketika: Pertama,

ketika siswa yang sebenarnya vokal atau aktif dalam perkuliahan, hanya

saja sentimen-sntimen dari dosen killer itu menjadikan dirinya tegang dan

was-was serta khawatir jika terjadi yang tidak dinginkan. Dalam hal ini,

unsur represivitas (bersifat menekan) sangat jelas. Kedua, ketika peserta

didik justru merasa aman atau enjoy dengan sikap dosen atau guru, akan

tetapi dalam proses belajar mengajar itu menunjukkan sikap pasif. Peserta

40 Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas, op. cit., hlm. 49.

Page 22: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

102

didik tidak hanya menjadi obyek pengajaran yang statis tapi juga bisa

dibilang kalau dia tidak kreatif dan kering dengan idealisme.

Kalau bercermin dari pola pemikiran Paulo Freire, apa yang

disebut dengan pembungkaman kreatifitas secara terang-terangan itu lebih

identik dengan konsep “kesadaran naif” (naival consciousness), sedangkan

represivitas yang terselubung itu boleh dikatakan identik dengan konsep

kesadaran magic (magic consciousness). Yang pertama menunjukkan

ketidaktahuan guru atau dosen dalam penyampaian suatu mata kuliah.

Sementara kedua dilihat dari kekhawatiran seorang dosen atau guru yan

merasa prestisenya terancam, maka dengan dalih memenuhi aturan-aturan

atau norma-norma dalam pengajaran, represivitas itu semakin terbungkus

dengan rapi. Dengan demikian pendidikan Islam semacam ini berarti

meghantarkan peserta didik menjadi makin bungkam.

Demikianlah beberapa gejala yang harus segera diatasi bersama-

sama berkaitan dengan persoalan-persoalan pendidikan Islam. Maka dari

masing-masing gejala itulah seyogyanya mengajak kita untuk merubah

kondisi. Dengan bertahap kemudian merubahnya secara total, ini yang

dimaksud Freire salah satu dari manifestasi (perwujudan) atas konsep

kesadaran kritis Paulo Freire.41

5. Problem kapitalisme lembaga pendidikan Islam

Banyak kasus yang terjadi anak sekolah yang bunuh diri yang tidak

dapat bayar SPP padahal cuma 5000 perbulan, sudah tidak asing lagi di

media elektronik orang tua gantung diri dan anaknya diracun, mati

bersama karena tidak mampu menanggung beban yang berat untuk

menyekolahkan anak dan menghidupinya; sangat menyedihkan sekali.

Ada lagi kasus “Hariyanto” Sekolah Dasar Muara Sading IV Garut

yang bunuh diri gara-gara tidak mampu memberikan biaya kegiatan ekstra

kurikuler? Dia merasa malu dan putus asa karena orang tuanya tidak

mampu membayar biaya sebesar 2500 rupiah untuk kegiatan sekolah itu,

41 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 132-135.

Page 23: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

103

namun nyawanya masih bisa diselamatkan. Entah kapan kasus ini

berlanjut bila pendidikan kapitalisme mengakar dengan kuat.

Maka sekolah saat ini ibarat seperti pabrik yang memproduksi

barang-barang pasar untuk dikonsumsi oleh khalayak umum. Produk

sekolah berupa insan-insan untuk dengan status terdidik yang memakai

title bermacam-macam.42

Pendidikan kapitalis ditandai mahalnya biaya pendidikan, gedung

megah hanya orang kaya yang dapat masuk di sana. Banyak pendidikan

tersebar namun pendidikan yang kuatlah akan merobohkan pendidikan

yang lain. Dan ini mulai terlihat dalam pendidikan Islam.

Kalau pendidikan semacam ini akan banyak lagi korban-korban

yang akan terus berlanjut, kriminalitas, bunuh diri, putus sekolah dan

masih banyak lagi. Dengan demikian pendidikan tidak membebaskan dan

memanusiakan kaum tertindas, namun malah membelenggu yang

menjeratnya. Kekerasan tidak hanya bentuk penyiksaan yang dapat dilihat,

mahalnya pendidikan merupakan kekerasan, penindasan yang

memprihatinkan.43 Inilah problem pendidikan kita, khususnya pendidikan

Islam (semakin mahalnya biaya pendidikan yang diselenggarakan oleh

pendidikan Islam).

6. Problem kurangnya usaha penanaman kesadaran terhadap siswa dalam

pendidikan Islam

Kita tahu program-program “penyadaran” kini telah menjadi

agenda di seluruh dunia, misal Freire, melakukan gerakan melek hurufnya

dalam arti “penyadaran” terhadap proses berlangsungnya penindasan

politik di Ekuador dan Amerika Serikat.44

Apakah pendidikan Islam tidak melakukan hal baru atau melebihi

Freire sebagai pejuang sejati. Sangat naif bila pendidikan Islam berhenti

dalam debat “boleh berpolitik” atau “tidak boleh politik”, menigkatkan

42 Ibid., hlm. 137. 43 Abdul Malik Haramain, dkk., Pemikiran-pemikiran Revolusioner, op. cit., hlm. 163. 44 William A. Smith, Concientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire,( Yogyakarta:

Pustaka Pelajar,2001)., hlm. xii.

Page 24: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

104

pengamatan dan upaya untuk menghilangkan penindasan merupakan salah

satu problem tersendiri di dalam pendidikan Islam. Islam adalah agama

sempurna sangat kurang sempurna bila pendidikan Islam hanya

mengambil sepotong dari ajaran Islam. Menghilangkan kesempurnaan

sama halnya mengajak kepada kemunduran atau kemandekan (stagnan).

Penulis lihat dari tingkat kesadaran dari kacamata Freire

pendidikan Islam baru sampai tingkat kesadaran magic, seseorang tidak

mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. bahkan dalam

menghadapi kehidupan sehari-hari ia lebih percaya pada kekuatan takdir,

bukan berarti tidak percaya takdir Tuhan (Allah), namun pemahaman yang

salah itu yang menjadikan sesuatu menjadi kepercayaan “mitos inferioritas

alamiah” (kepercayaan rendah). Dengan kata lain menyesuaikan kondisi

yang ada walau itu sebuah penindasan, ketidakadilan dan hal lain yang

sama “untuk tidak memanusiakan” manusia seutuhnya.45 Ini yang pertama.

Kedua, pendidikan Islam sampai pada kesadaran naif itu dicirikan. Freire

melukiskan sikap naif dengan kata-kata sebagai berikut:

“Kesadaran naif ditandai dengan penyederhanaan masalah .... penjelasan yang fantastis .... dan argumentasi yang rapuh.46 Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti, namun kurang mampu menganalisa persoalan-persoalan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain, yang mendukung suatu upaya pembebasan dari penindasan, keterbelakangan sekaligus solusi dari problem yang ada”.

Ketiga, kesadaran ketiga ini yang menjadi problem pendidikan

Islam. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktural sebagai

sumber masalah dan lebih menganalisis baik dalam struktur dan sistem

sosial, politik, ekonomi, budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.

Kesadaran ketiga ini dinamakan “kesadaran kritis” (critical

consciousness).

Selama ini pendidikan Islam masih belum mampu memahami

persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta belum

45 Ibid., hlm. 60. 46 Ibid., hlm. 69.

Page 25: BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/jtptiain-gdl-s1... · muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa. Sejarah

105

mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Dan juga belum

mampu menawarkan solusi alternatif dari suatu problem sosial.

Pendidikan Islam terpecah-pecah sehingga dalam pelaksanaannya “apa

adanya” tanpa manajemen yang baik.

Bila dikaitkan dengan realitas sosial yang ada, baik dengan

kemajuan teknologi dan informasi, masih sangat ketinggalan jauh,

haruskah pendidikan kering dengan realitas sosial dengan perubahan dan

perkembangannya? Tentu saja harus mengupayakan kesadaran kritis untuk

mengadakan perubahan baru. Jenis kesadaran kritis merupakan paling

ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya.

Ada lagi yang disebut kesadaran transformatif adalah puncak dari

“kesadaran kritis”, orang makin praksis dalam merumuskan suatu

persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas (hasrat

untuk maju) berada dalam posisi seimbang. Walaupun dalam konsep Islam

ini sudah ada namun pendidikan Islam sendiri masih mengalami

kepincangan dalam hal ini.

Padahal untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas

khususnya dalam pendidikan. Freire menggagas gerakan “penyadaran”

(conscientizacao) sebagai usaha membebaskan manusia dari

keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang menakutkan.

Maksudnya agar manusia bisa mengenal realitas (lingkungan) sekaligus

dirinya sendiri serta mampu menganalisis persoalan-persoalan yang

menyebabkan dan memberikan solusi.47 Seharusnya pendidikan Islam

mampu mewujudkan itu.

47 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 81-82.