problematika sejarah

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu komponen yang menjadi sasaran peningkatan kualitas pendidikan adalah sistem pembelajaran di kelas. proses pembelajaran ini merupakan tanggung jawab guru dalam mengembangkan segala potensi yang ada pada siswa. Tujuan pokok proses pembelajaran adalah untuk mengubah tingkah laku siswa berdasarkan tujuan yang telah di rencanakan dan di susun oleh guru sebelum proses kegiatan pembelajaran berlangsung. Perubahan tingkah laku itu mencangkup aspek intelektual. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal- soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan kering dan membosankan. Menurut cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominant group 1

Upload: rudi-andrianto

Post on 08-Aug-2015

37 views

Category:

Data & Analytics


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Problematika sejarah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Salah satu komponen yang menjadi sasaran peningkatan kualitas

pendidikan adalah sistem pembelajaran di kelas. proses pembelajaran ini

merupakan tanggung jawab guru dalam mengembangkan segala potensi yang ada

pada siswa. Tujuan pokok proses pembelajaran adalah untuk mengubah tingkah

laku siswa berdasarkan tujuan yang telah di rencanakan dan di susun oleh guru

sebelum proses kegiatan pembelajaran berlangsung. Perubahan tingkah laku itu

mencangkup aspek intelektual.

Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap

sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak

lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat

kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak

dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Pembelajaran sejarah

yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan kering dan membosankan.

Menurut cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap

lebih banyak memenuhi hasrat dominant group seperti rezim yang berkuasa,

kelompok elit, pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran

siswa sebagai pelaku sejarah zamannnya (Anggara, 2007:101).

Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat

penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat

Indonesia umumnya. Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Namun

sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena

kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin

hari makin diragukan eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada

sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pendidikan sejarah (Alfian,

2007:1).

1

Page 2: Problematika sejarah

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, Rumusan Masalah yang akan di bahas,

adalah :

1. Teori-teori pembelajaran menurut para ahli.

2. Problematika Pelajaran Sejarah dan Solusinya

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah,untuk mengetahui teori-

teori dan Problematika Pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah.

2

Page 3: Problematika sejarah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori dan model pembelajaran sejarah

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi pada tingkat satuan

pendidikan (KTSP) merupakan suatu kegiatan tugas professional pendidikan,

yang bertolak dari perubahan kondisi pembelajaran saat ini dan merekonstruksi

suatu model pembelajaran ke masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal itu

perlu dipahami terlebih dahulu apa dan bagaimana model dalam konteks praktik

pembelajaran.

Menurut Mills (1989:4), model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai

proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba

bertindak berdasarkan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil

observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.Perumusan model

mempunyai tujuan:

1.      Memberikan gambaran kerja sistem untuk periode tertentu, dan di dalamnya

secara implisit terdapat seperangkat aturan untuk melaksanakan perubahan;

2.      Memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut diferensiasi

waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan

sebuah sistem;

3.      Memproduk model yang mempresentasikan data dan format ringkas dengan

kompleksitas rendah.

  Dengan demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita

memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model

pembelajaran dalam konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil

penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang dirancang

berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan

implikasinya pada tingkat operasional dalam pembelajaran. Model mengajar dapat

diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun

kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada

3

Page 4: Problematika sejarah

pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran. Untuk menetapkan model

mengajar yang tepat, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena

memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai materi yang akan diberikan

dan model mengajar yang dikuasai.

Memilih suatu model mengajar, harus juga disesuaikan dengan realitas

yang ada dan situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang

dilakukan antara guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan model

mengajar yang cocok itu tidak mudah, tetapi guru harus memiliki asumsi, bahwa

hanya ada model mengajar yang sesuai dengan model belajar. Apabila guru

mengharapkan peserta didiknya menjadi produktif, maka guru harus

membiarkannya berkembang sesuai dengan gayanya masing-masing. Guru hanya

berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar peserta didik.

Banyak model mengajar yang telah dikembangkan oleh para ahli.

Pengembangan model tersebut didasarkan pada konsep teori yang selama ini

dikembangkan. Mengingat banyaknya model mengajar yang telah dikembangkan,

Bruce Joyce et.al (2000) mengelompokkan menjadi empat rumpun yaitu: model

pemrosesan informasi (processing information model), model pribadi (personal

model), model interaksi sosial (social model), dan model perilaku (behavior

model).

Model mengajar pemrosesan informasi terdiri dari model mengajar yang

menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon terhadap stimulus yang

datang dari lingkungan. Dalam prosesnya ditempuh langkah-langkah seperti

mengorganisasi data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana

pemecahan masalah, serta penggunaan simbol verbal dan non verbal. Banyak

model mengajar yang tergolong pada kelompok model ini, yaitu: Inductive

thinking (classification-oriented), Concept attainment, Scientific inquiry, Inquiry

Tarining.

Model pribadi berorientasi pada perkembangan diri individu. 

Pelaksanannya lebih menekankan pada upaya membantu individu dalam

membentuk dan mengorganisasikan realita yang unik serta lebih memperhatikan

kehidupan emosional peserta didik. Upaya pengajaran lebih diarahkan pada

4

Page 5: Problematika sejarah

menolong peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya dalam

mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya.

Yang tergolong pada kelompok model mengajar ini adalah: Nondirective

teaching dan Enhancing self esteem.

Model Interaksi Sosial mengutamakan pada hubungan individu dengan

masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses dimana

realita yang ada dipandang sebagai negosiasi sosial. Prioritas utama diletakkan

pada kecakapan individu dalam berhubungan dengan orang lain.

Model mengajar perilaku dibangun atas dasar teori yang umum, yaitu

kerangka teori perilaku. Salah satu cirinya adalah kecenderungan memecahkan

tugas belajar kepada sejumlah perilaku yang kecil-kecil dan berurutan serta dapat

terukur. Belajar dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyeluruh, tetapi

diuraikan dalam langkah-langkah yang konkrit dan dapat diamati. Mengajar

berarti mengusahakan terjadinya perbuatan dalam perilaku siswa, dan perubahan

tersebut haruslah teramati.

B. Faktor yang mempengaruhi pembelajaran

1. Quantum Learning

Keberhasilan proses belajar yang dialami oleh seseorang, tidak terlepas

dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari luar diri

individu maupun yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan. Faktor

yang berasal dari dalam diri individu berupa: motivasi, partisipasi, konfirmasi,

pengulangan, dan aplikasi. Adapun yang berasal dari luar diri individu dapat

berasal dari bahan ajar, pengajar, ataupun lingkungan tempat dia belajar. Proses

belajar yang terjadi pada individu yang belajar, erat kaitannya dengan struktur

otak yang dimilikinya. Berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan

otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara

berfikir logis, sekuensial, linier, dan rasional. Adapun otak kiri memiliki

karakteristik dalam berfikir yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Agar

dalam proses belajar terjadi keseimbangan, harus diupayakan kerja otak kanan dan

otak kiri seimbang.

5

Page 6: Problematika sejarah

Quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah

menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh karena itu, belajar dalam

konsep quantum learning adalah memberdayakan seluruh potensi yang ada,

sehingga proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan bukan sebagai sesuatu

yang memberatkan. Quantum learning mengonsep tentang "menata pentas:

lingkungan belajar yang tepat." Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya

membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset

penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan

belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Target penataannya ialah

menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai.

Lingkungan makro ialah "dunia yang luas". Peserta didik diminta untuk

menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas

lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan

masyarakat yang diminatinya. "Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan,

semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah

Anda mempelajari informasi baru". Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif

dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka

mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi.

Pola yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu diharapkan

muncul sikap tanggung jawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar dan

berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Kemampuan dalam

menyerap informasi selanjutnya dikenal dengan istilah modalitas belajar. Adapun

kemampuan dalam mengatur dan mengolah informasi dikenal dengan istilah

dominasi otak.

DePorter (2002) mengelompokkan modalitas seseorang menjadi tiga

kelompok yaitu visual, auditorial, dan kinestesik. Dalam proses belajar modalitas

tersebut dapat dibantu dengan menggunakan suatu alat yang dinamakan media,

yakni media pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya,

akan benar-benar menyadari terhadap modalitas, khususnya modalitas belajar

yang dimilikinya.

6

Page 7: Problematika sejarah

2. Quantum Teaching

Mengajar merupakan salah satu tugas seseorang yang menyandang

predikat sebagai pengajar. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki seorang

pengajar yaitu kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa,

melaksanakan proses pembelajaran, menguasai bahan ajar, dan melakukan

evaluasi hasil belajar. Mengajar pada hakekatnya merujuk pada aktivitas yang

dilakukan oleh pengajar dalam rangka menciptkan proses belajar pada pembelajar.

Dengan demikian, mengajar merupakan upaya guru untuk menciptakan kondisi-

kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi proses

interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan guru, alat

pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut, diharapkan pada

diri peserta didik terjadi proses yang dikenal dengan nama proses belajar.

Dalam konsep di atas, tersirat bahwa peran pengajar adalah pemimpin dan

fasilitator belajar. Dengan demikian, mengajar bukan hanya menyampaikan bahan

pelajaran, tetapi suatu proses dalam upaya membelajarkan peserta pembelajar.

Mengingat sasaran utama dalam proses pembelajaran adalah terjadinya proses

belajar, maka komponen-komponen pembelajaran disesuaikan dengan

karakteristik peserta didik, terutama modalitas yang dimilikinya.

Quantum teaching, merupakan konsep yang dikembangkan tentang

mengajar ini didasarkan pada asas utama, yaitu "bawalah dunia mereka ke dunia

kita dan bawalah dunia kita ke dunia mereka". Selain itu, dikembangkan juga lima

prinsip dasar, yaitu segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman

sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan jika layak dikerjakan layak juga

dihargai (DePorter, 2002). Model yang dikembangkan terdiri dari dua komponen

yaitu konteks yang memiliki empat aspek (suasana, landasan, lingkungan, dan

rancangan) dan isi yang mencakup presentasi. Kerangka rancangan belajarnya

adalah tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan

(TANDUR).

7

Page 8: Problematika sejarah

C. Beberapa Permasalahan Dalam Pembelajaran Sejarah

Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat

tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya

masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku

ajar atau buku teks, profesionalisme guru sejarah dan lain sebagainya.

Yang pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid

Hasan dalam Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran

sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan

kehidupan masa kini dan masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA,

pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi

utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak

memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari

sebuah peristiwa sejarah.

Taufik Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia

sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan

chronicle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah

dalam Alfian, 2007:2). Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa

guna memahami dinamika suatu perubahan.

Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari

pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu

arah dimana guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan

pembelajaran menjadi sangat sulit untuk dirubah. Pembelajaran sejarah saat ini

mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi

terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya

atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga

menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto,

dkk, 2009:10). Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar

akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja,

1989:13).

8

Page 9: Problematika sejarah

Kedua adalah masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu

komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan

dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan guna mengembangkan potensi

peserta didik menjadi berkualitas. Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai

komponen, seperti, tujuan, konten dan organisasi konten, proses yang

menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar dan asessmen hasil belajar.

Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat pula

berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau

program.

Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan

mata pelajaran sejarah berada didalamnya. Akan tetapi materi-materi yang

diberikan dalam kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun

para pemerhati sejarah baik dari pemilihannya, teori pengembangannya dan

implimentasinya yang seringkali digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian,

2007:3).

Ketika Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara

sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan

untuk mendukung maksut tersebut. Tentu saja kurikulum sekolahan

dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang

berlaku pada awal masa Orde Baru kemudian mengalami pergantian menjadi

kurikulum 1975, kurikulum sejarah juga mengalami penyempurnaan. Demikian

seterusnya terjadi beberapa perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994

dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3). Kurikulum yang dipakai arahannya

kurang jelas dan sangat berbau politis, artinya kurikulum yang digunakan tidak

lepas dari adanya kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa. Sejarah

dijadikan alat untuk membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai

perjalanan sejarah bangsa dengan mengagung-agungkan rezim yang mempunyai

kekuasaan. Sistem pembelajaran yang diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk

berfikir kritis mengenai suatu peristiwa sejarah, sehingga siswa seakan-akan

dibohongi oleh pelajaran tentang masa lalu (Anggara, 2007:103).

9

Page 10: Problematika sejarah

Selain masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak

kalah pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah. Menurut

Lerissa (dalam Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem

pendidikan nasional mulai diterapkan di Indonesia tahun 1946. Saat buku ajar

yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah adalah karangan Sanusi Pane yang

berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas permintaan pihak Jepang

pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950.

Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah

menengah (3 Jilid). Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang

ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang dikarang

oleh Subantardjo.

Pada tahun 1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan

Indonesia (MSI) mengadakan “Seminar Sejarah II” di Jogjakarta dan

menghasilkan sebuah keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan

perguruan tinggi dan bisa dijadikan sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku

yang terdiri dari 6 jilid itu, kemudian juga tidak luput dari permasalahannya dan

sempat memunculkan pertentangan. Tidak semua penulis menggunakan

metodo;logi yang sama yang telah ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono

Kartodirdjo (pendekatan structural); masing-masing penulis membawa tradisi

ilmiah yang telah melekat pada dirinya (i structural atau naratif/kisah). Pada masa

itu perbedaan antara pendekatan structural dan pendekatan naratif secara

metodologis tidak bisa dijembatani sama sekali. Masing-masing mempunyai

domain sendiri-sendiri. Konflik yang berkepanjangan ini menyebabkan Sartono

mengundurkan diri dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Setelah buku tersebut

dicetak ulang (1983-1984) sebagi editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr.

Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian,

2007:5). Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Lerissa dan Anhar

Gonggong dan kawan-kawan, namun entah kenapa kabarnya buku itu tidak

diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105).

Hampir seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah

sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi. Hampir seluruh penulis buku

10

Page 11: Problematika sejarah

hanya membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami

jiwa kurikulum dengan baik. Sebagian besar penulis buku juga tidak paham

sejarah sebagi ilmu, historiografi, dan tertinggal sangat jauh dalam referensi

mutahkir penulisan (Purwanto, 2006:268).

Masalah profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini

masih berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa

pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan

masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan

kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan

ceramah mengulangi apa isi yang ada dalam buku (Anggara, 2007:102).

Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi

orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Bahkan

banyak kasus ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai

siswa agar yang bersangkutan dapat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru

juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir

sejarah Indonesia. Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan

bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi guru

sejarah itu hanya berkutat pada substansi historis dan metode pengajaran sejarah

yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268).

Pengajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal.

Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang

tidak berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah

(Hariyono, 1995:143).

D. Solusi Permasalahan Pembelajaran Sejarah

Salah satu metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan siswa aktif

dan guru sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme, inquiry, dan cooperatif

learning. Kontruktivisme adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia

sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas

(Anggara, 2007:104). Pembelajaran sejarah kontruktivisme berkaitan dengan

pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh

11

Page 12: Problematika sejarah

siswa dalam kehidupan sehari-hari. Metode inquiry juga sesuai dalam

pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa

diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari

menemukan sendiri. Penggunaan model pembelajaran cooperatif learning

menempatkan guru sebagai fasilitator, director-motivator dan evaluator bagi siswa

dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan

kemampuan berfikir kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu

bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi sosial dengan

masyarakat.

Kurikulum sejarah merupakan suatu konsep atau kontrak yang merencanakan

pendidikan sejarah bagi sekelompok penduduk usia muda tertentu yang mengikuti

jenjang pendidikan tertentu. Tujuan dari lembaga pendidikan pada jenjang

pendidikan tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus

dikembangkan bagi peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu

kurikulum pendidikan sejarah digambarkan dalam bentuk tujuan, materi/pokok

bahasan, cara belajar peserta didik, dan asessmen hasil belajar baik dalam bentuk

perencanaan tertulis maupun imlementasinya. Untuk kemudian dilakukan evaluasi

kurikulum untuk mengetahui keberhasilan atau kagagalan kurikulum dalam

mencapai tujuan (Hasan dalam Nursam, dkk. (ed)., 2008:421).

Untuk dapat kembali mengajarkan sejarah secara baik dan menarik, pendidik

mempunyai keleluasaan mengolah dan menata materi yang ada. Sudah barang

tentu tidak mungkin topik yang ada dalam kurikulum dapat diselesaikan dengan

alokasi waktu yang tersedia. Untuk itulah bagaimana pendidik mengontrol

berbagai materi pengajaran yang memungkinkan dipelajari di luar kelas.

Kurikulum yang baik untuk kelas tertentu adalah yang cocok, terencana dengan

baik, sesuai, menyajikan pemikiran yang bijaksana dan sistematis. Tujuan

kurikulum adalah membuka peluang melalui perencanaan yang bijaksana bagi

tumbuhkembangnya mata pelajaran dan para siswanya (Hariyono, 1995:172 ;

Kochar, 2008:68).

12

Page 13: Problematika sejarah

Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19

tahun 2005, maka pengembanagn kurikulum pendidikan sejarah dimasa

mendatang adalah tanggungjawab satuan pendidikan. Artinya, pengembangan

kurikulum pendidikan sejarah SD, SMP, SMA menjadi tanggungjawab masing-

masing sekolah tersebut. Melalui pengembangan dan penempatan sejarah lokal

sebagai materi kurikulum yang dasar, terlepas apakah materi tersebut dikemas

dalam mata pelajaran sejarah ataukah mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah

lokal dalam kurikulum dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari

lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota

masyarakat terdekat (Hasan, 2007:8-13). Kurikulum sejarah tersebut harus

mampu mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa mendatang, yaitu (1)

semangat yang kuat, (2) kemampuan berpikir baik yang bersifat proaktif maupun

reaktif (3) memiliki kemampuan mencari, memilih, menerima, mengolah dan

memanfaatkan informasi melalui berbagai media (4) mengambil inisiatif (5)

tingkat kreativitas yang tinggi dan (6) kerjasama yang tinggi (Musnir dalam

Gunawan (ed), 1998:130).

Sedangkan untuk mengatasi permasalahan buku teks harus ada kriteria yang baik.

Salah satu kriteria buku cetak yang baik menurut Kochar (2008) adalah buku

cetak harus bersih dari indoktrinasi. Buku cetak harus menyajikan pandangan

yang adil tentang berbagai macam ide yang disampaikan pada fase kehidupan

tertentu. Buku ini harus tidak mengandung sekumpulan pendapat yang sempit,

tidak mengandung terlalu banyak nasionalisme hingga cenderung membelenggu,

kaku, dan resmi. Buku ini harus tidak menanamkan kebiasaan memberikan

tanggapan secara spontan tanpa berpikir terlebih dahulu, penilaian yang

menyakitkan dan tanggapan yang emosional. Pandangan yang bias dan prasangka

penulis harus tidak tercermin didalam lembaran buku cetak. Buku cetak yang

dipergunakan siswa harus mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak

ada yang lain selain kebenaran.

Ada bahaya dibalik pemakaian buku cetak tunggal karena akan menciptakan

batasan-batasan. Siswa cenderung mengembangkan ide yang salah bahwa sejarah

sama artinya dengan buku cetak. Dan sebagus apapun buku tersebut tidak akan

13

Page 14: Problematika sejarah

cukup untuk mendukung siswa dalm belajar. Jadi, saran alternatifnya adalah

gunakan buku cetak tunggal sebagi pendukung, dan sediakan serangkaian buku

cetak lainnya yang masing-masing mewakili subjek permasalahan dari sudut

pandang yang berbeda. Cara ini akan meminimalkan kecenderungan untuk

bergantung sepenuhnya pada buku cetak. Selain itu, siswa akan mampu

membandingkan dan menyelaraskan sudut-sudut pandang yang berbeda (Kochar,

2008:175).

Sejarah haruslah diinterpretasikan seobjektif dan sesederhana mungkin. Ini dapat

terlaksana hanya jika guru sejarah memilki beberapa kualitas pokok. Menurut

Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimilki guru sejarah adalah

penguasaan materi dan penguasaan teknik. Dalam penguasaan materi, guru

sejarah harus lengkap dari segi akademik. Meskipun ia mengajar kelas-kelas

dasar, guru sejarah harus sekurang-kurangnya bergelar sarjana dengan spesialisasi

dalam periode tertentu dalam sejarah. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, sebagi

tambahan untuk subjek yang menjadi spesialisasinya, guru sejarah harus dapat

memasukkan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Setiap guru harus sejarah harus

memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa modern, sejarah

filsafat, sejarah sastra, dan geografi. Dalam penguasaan teknik, guru sejarah harus

meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam pembelajaran sejarah. Ia

harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses

belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik.

Pendidikan dan pembinaan guru perlu ditingkatkan untuk menghasilkan guru

yang bermutu dan dalam jumlah yang memadai, serta perlu ditingkatkan

pengembangan karier dan kesejahteraannya termasuk pemberian penghargaan

bagi guru yang berprestasi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998: 129). Maka dari

itu secara professional, guru sejarah harus memilki pemahaman tentang hakikat

pembelajaran sejarah, tujuan pembelajaran sejarah, kompetensi-kompetensi apa

yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, nilai-nilai apa yang

dibutuhkan dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, sebelum

nantinya guru dapat menentukan metode atau pendekatan yang digunakan

(Anggara, 2007:102-103).

14

Page 15: Problematika sejarah

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat di simpulkan bahwa Pembelajaran

merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan.

Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari

berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro,

pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional seorang

guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa

dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal.

Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga

pendidikan bertanggungjawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang

berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual,

sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara

eksternal maupun internal diidentifikasikan sebagai berikut. Faktor-faktor

eksetrnal mencakup guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi

belajar dan sistem. Masih ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam

mengevaluasi siswa menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan.

Dengan kata lain siswa tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif. Guru juga

mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia

mengetahui perkembangan terakhir dibidangnya (state of the art) dan

kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang

(frontier of knowledge). Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh siswa

terlalu teoritis, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal (Anggara,

2007:100).

15

Page 16: Problematika sejarah

DAFTAR PUSTAKA

Aliya, (2009). Model Pembelajaran Sejarah. [online]. Tersedia: http://blog.

bukukita.com/user/ermawati/?postld=6387 [Maret 2015]

Evaluasi Pembelajaran [online]. Tersedia: http://ktiptk.blogspirit.com/ archive/

2009/01/26/evaluasi-pembelajaran.html [Maret 2015]

Gunawan, Restu (ed). 1998. Simposium Pengajaran Sejarah (kumpulan makalah diskusi). Jakarta : Depdikbud

Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya

16

Page 17: Problematika sejarah

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, syukuri kepada Tuhan Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat rahmat dan kasih sayang-Nya lah juga penulis Makalah Masalah Sosial ini

dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis

merasa bahwa Tugas ini masih banyak terdapat kekurangannya, oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

pembaca demi kesempurnaan Tugas ini.

            Disadari bahwa penyusun makalah ini belum lah sempurna, maka

masukakn yang positif dari pembaca sangat diharapkan demi perbaikan di masa

datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaan untuk kita semua.

                                                                              Bandar Lampung, Maret 2015

                                                                                                   Penulis

17

Page 18: Problematika sejarah

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................2

C. Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Masalah Sosial, Batasan dan Pengertian.....................................................3

B. Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-Sebabnya.........................................6

C. Ukuran-Ukuran Sosiologi Terhadap Masalah Sosial...................................7

D. Beberapa Masalah Sosial Penting...............................................................8

E. Pemecahan Masalah Sosial.........................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................8

B. Saran..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

18

Page 19: Problematika sejarah

TUGAS KELOMPOK

PROBLEMATIKA PELAJARAN SEJARAH

Dosen pengampu : Putut Wisnu K, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 9

1. Alia Januarti 11140002

2. Aji Prasetyo 13140006

3. Yessy Afrida Sari 13140034

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

(STKIP-PGRI) BANDAR LAMPUNG

2015

19

Page 20: Problematika sejarah

20