problematika supervisi ( sutrisno )

21
PROBLEMATIKA DAN SIKAP GURU TERHADAP SUPERVISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksanakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran. Karakteristik supervisi pengajaran, berbeda dengan supervisi jenis pekerjaan lainnya. Faktor pertama yang menyebabkan perbedaan tersebut, adalah dari segi karakteristik pekerjaan yang disupervisi. Pekerjaan mengajar tentu tidak dapat disamakan dengan pekerjaan manual di perusahaan, karena mengajar yang dihadapi Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 1

Upload: sutrisno-spd

Post on 24-Jun-2015

1.300 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi ( Sutrisno MP C2 )

TRANSCRIPT

Page 1: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

PROBLEMATIKA DAN SIKAP GURU

TERHADAP SUPERVISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib

dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi

dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan

pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang

dilaksanakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan

dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar

merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa

atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk

mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk

memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Karakteristik supervisi pengajaran, berbeda dengan supervisi jenis

pekerjaan lainnya. Faktor pertama yang menyebabkan perbedaan tersebut, adalah

dari segi karakteristik pekerjaan yang disupervisi. Pekerjaan mengajar tentu tidak

dapat disamakan dengan pekerjaan manual di perusahaan, karena mengajar yang

dihadapi adalah peserta didik, melibatkan unsur intelektual dan emosional,

sehingga sifat pekerjaannya tidak rutin. Kata kunci dalam supervisi pengajaran

bukanlah pengawasan, namun bantuan pada guru untuk meningkatkan

pembelajaran (Oliva, 1984: 9).

Perbedaan supervisi pengajaran dengan supervisi jenis pekerjaan lain juga

dapat ditemukan pada aspek tujuan. Supervisi pengajaran tujuan akhirnya tidak

hanya pada kinerja guru, namun harus sampai pada meningkatkan hasil

pembelajaran peserta didik. Seperti ditegaskan oleh Glickman (1981) bahwa

supervisi pengajaran adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan

kemampuannya mengelola proses belajar mengajar demi pencapaian tujuan

pengajaran. Inilah tujuan ideal dari supervisi pengajaran. Apabila konsep-konsep

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 1

Page 2: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

ideal tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan kualitas pendidikan di

Indonesia akan meningkat secara signifikan.

Idealitas supervisi pengajaran tersebut, praktiknya di lapangan selama ini

masih jauh dari harapan. Berbagai kendala baik yang disebabkan oleh aspek

struktur birokrasi yang rancu, maupun kultur kerja dan interaksi supervisor dengan

guru yang kurang mendukung, telah mendistorsi nilai ideal supervisi pengajaran di

sekolah-sekolah. Apa yang selama ini dilaksanakan oleh para Pengawas

Pendidikan, belum bergeser dari nama jabatan itu sendiri, yaitu sekedar

mengawasi.

1.2 Permasalahan

Tulisan ini ingin mengupas berbagai problematika supervisi pengajaran

dalam birokrasi pendidikan dan sikap guru terhadap supervisi pengajaran,

dibandingkan dengan konsep-konsep teoritik supervisi. Dari identifikasi terhadap

kesenjangan tersebut, akan diberikan tawaran solusi bagi upaya perbaikan

pelaksanaan supervisi di masa mendatang.

1. Bagaimana konsep ideal supervisi ?

2. Bagaimana problematika pelaksanaan supervisi pengajaran ?

3. Bagaimana sikap guru terhadap pelaksanaan Supervisi pengajaran?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

       Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

penulisan ini diarahkan untuk mengetahui :

1. Konsep ideal supervisi.

2. Problematika pelaksanaan supervisi pengajaran.

3. Sikap guru terhadap pelaksanaan Supervisi pengajaran.

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 2

Page 3: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Ideal Supervisi

2.1.1 Peranan Supervisor Pengajaran

Supervisor pengajaran, tentu memiliki peran berbeda dengan “pengawas”.

Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya guru” yang siap membantu kesulitan

guru dalam mengajar. Supervisor pengajaran bukanlah seorang pengawas yang

hanya mencari-cari kesalahan guru.

Oliva (1984) mengemukakan peran supervisor yang utama, ada empat hal,

yaitu: (a) sebagai koordinator, berperan mengkoordinasikan program-program dan

bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru dalam

pembelajaran dan harus membuat laporan mengenai pelaksanaan programnya; (b)

sebagai konsultan, supervisor harus memiliki kemampuan sebagai spesialis dalam

masalah kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan staf, sehingga

supervisor dapat membantu guru baik secara individual maupun kelompok; (c)

sebagai pemimpin kelompok (group leader), supervisor harus memiliki

kemampuan me-mimpin, memahami dinamika kelompok, dan menciptakan

berbagai ben-tuk kegiatan kelompok; dan (d) sebagai evaluator, supervisor harus

dapat memberikan bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasi pelaksanaan

pembelajaran dan kurikulum, serta harus mampu membantu mengidentifikasi

permasalahan yang dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan

pengembangan dalam pembelajaran dan sebagainya.

2.1.2 Kompetensi Supervisor

Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, supervisor harus memiliki

beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu berkaitan dengan substantive

aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru

terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru

tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan

dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru

mengetahui bagaimana mengerja-kan tugas (know how to do), dapat mengerjakan

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 3

Page 4: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

(can do), mau mengerja-kan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya

(will grow) (Ba-fadal, 1992: 10-11).

Glatthorn (1990) menyatakan kompetensi yang harus dimiliki su-pervisor

meliputi hal-hal yang berkaitan dengan the nature of teaching, the nature of adult

development, dan tentu saja juga the characteristics of good and effective school.

Berkaitan dengan hakikat pengajaran, supervisor harus memahami

keterkaitan berbagai variabel yang berpengaruh. Pertama, adalah faktor-faktor

organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga profesional

lainnya dalam lembaga pendidikan. Kedua, berkaitan dengan pribadi guru,

menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil

keputusan, motivasi kerja, tahapan perkembangan atau kematangan, dan

keterampilan guru. Ketiga, berkaitan dengan support system dalam pengajaran,

yaitu kurikulum, berbagai buku teks, serta ujian-ujian. Terakhir, adalah siswa

sendiri yang keberadaannya di dalam kelas sangat bervariasi.

Dalam hal adult development, supervisor harus mengetahui tahapan

perkembangan dan kematangan kerja seorang guru, tahapan perkembangan moral,

tahapan pengembangan profesional, serta berbagai prinsip dan teknik pembelajaran

orang dewasa.

Ketiga, supervisor harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan

sebuah sekolah. Hal ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan bersama

para guru dan kepala sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di dalam

kelas, supervisor juga harus siap membantu kepala sekolah dalam bidang

manajerial secara umum.

2.1.3 Teknik-teknik Supervisi

Dengan bekal kompetensi di atas, supervisor diharapkan dapat melaksanakan

tugasnya dengan baik. Dalam pelaksanaan supervisi terdapat berbagai teknik dan

pendekatan yang dapat diterapkan oleh supervisor.

Teknik supervisi, dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.

Neagley, Ross, Evans dan Dean (1980) mengidentifikasi berbagai teknik

supervisi individual meliputi kegiatan di dalam dan di luar kelas. Aktivitas

supervisi individual yang dilakukan di dalam ruang kelas, anta-ra lain: (a)

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 4

Page 5: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

kunjungan dan observasi kelas, (b) supervisi dengan tujuan un-tuk mengetahui

kompetensi, (c) supervisi klinis, dan (d) perbincangan supervisor dengan guru.

Secara individual, program supervisi di luar ruang kelas dalam arti

pengembangan profesional guru secara umum, antara lain berupa: (a) mengambil

matakuliah di perguruan tinggi, (b) keterlibatan dalam evaluasi, (c) konferensi dan

kegiatan profesi lainnya, (d) pemilihan buku teks dan bahan-bahan pembelajaran

lainnya, (e) membaca jurnal/bacaan profesi, (f) menulis artikel mengenai profesi,

(g) pemilihan guru/staf profesional, (h) pertemuan informal supervisor dengan

guru, dan (i) berbagai bentuk pengalaman lain yang memungkinkan peningkatan

profesional guru.

Berbagai kegiatan supervisi yang dilakukan secara kelompok, antara lain (a)

orientasi bagi guru baru, (b) ujicoba di kelas atau penelitian tindakan kelas, (c)

pelatihan sensitivitas, (d) pertemuan guru yang efektif, (e) melakukan teknik

Delphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan pengajaran/sekolah, (f)

mengunjungi guru lain yang profesional, (g) pengembangan instrument ujian

secara bersama, dan (h) pusat kegiatan guru.

Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu saja peran supervisor yang

menonjol adalah sebagai koordinator dan group leader. Sementara itu dalam

kegiatan supervisi individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan.

Berbagai bentuk kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat tergantung

pada inisiatif supervisor.

2.1.4 Pendekatan Supervisi

Dalam pelaksanaan supervisi, karakteristik guru yang dihadapi oleh supervisor

pasti berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi usia dan kematangan,

pengalaman kerja, motivasi maupun kemampuan guru. Karena itu, supervisor harus

menerapkan pendekatan yang sesuai dengan karakteritik guru yang dihadapinya.

Apabila pendekatan yang digunakan tidak sesuai, maka kegiatan supervisi

kemungkinan tidak akan berjalan dengan efektif.

Sergiovanni (1982), mengemukakan berbagai pendekatan supervisi, antara lain (a)

supervisi ilmiah (scientific supervision), (b) supervisi klinis (clinical supervision),

(c) supervisi artistik, (d) integrasi di antara ketiga pendekatan tersebut.

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 5

Page 6: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

a. Supervisi Ilmiah

John D. McNeil (1982), menyatakan bahwa terdapat tiga pandangan mengenai

supervisi ilmiah sebagai berikut :

Pertama, supervisi ilmiah dipandang sebagai kegiatan supervisi yang dipengaruhi

oleh berkembangnya manajemen ilmiah dalam dunia industri. Menurut pandangan

ini, kekurang berhasilan guru dalam mengajar, harus dilihat dari segi kejelasan

pengaturan serta pedoman- pedoman kerja yang disusun untuk guru. Oleh karena

itu, melalui pendekatan ini, kegiatan mengajar harus dilandasi oleh penelitian, agar

dapat dilakukan perbaikan secara tepat.

Kedua, supervisi ilmiah dipandang sebagai penerapan penelitian ilmiah dan

metode pemecahan masalah secara ilmiah bagi penyelesaian permasalahan yang

dihadapi guru di dalam mengajar. Supervisor dan guru bersama-sama mengadopsi

kebiasaan eksperimen dan mencoba berbagai prosedur baru serta mengamati

hasilnya dalam pembelajaran.

Ketiga, supervisi ilmiah dipandang sebagai democratic ideology. Maksudnya

setiap penilaian atau judgment terhadap baik buruknya seorang guru dalam

mengajar, harus didasarkan pada penelitian dan analisis statistik yang ditemukan

dalam action research terhadap problem pembelajaran yang dihadapi oleh guru.

Intinya supervisor dan guru harus mengumpulkan data yang cukup dan menarik

kesimpulan mengenai problem pengajaran yang dihadapi guru atas dasar data yang

dikumpulkan. Hal ini sebagai perwujudan terhadap ideologi demokrasi, di mana

seorang guru sangat dihargai keberadaannya, serta supervisor menilai tidak atas

dasar opini semata.

Keempat, pandangan tersebut tentunya sampai batas tertentu saat ini masih relevan

untuk diterapkan. Pandangan bahwa guru harus memiliki pedoman yang baku dalam

mengajar, perlu juga dipertimbangkan. Demikian pula pendapat bahwa guru harus

dibiasakan melakukan penelitian untuk memecahkan problem mengajarnya secara

ilmiah, dapat pula diadopsi. Pandangan terakhir tentunya harus menjadi landasan

sikap supervisor, di mana ia harus mengacu pada data yang cukup untuk menilai

dan membina guru.

b. Supervisi Artistik

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 6

Page 7: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

Supervisi artistik dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap supervisi ilmiah.

Supervisi ini bertolak dari pandangan bahwa mengajar, bukan semata-mata sebagai

science tapi juga merupakan suatu art. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan

dalam meningkatkan kinerja mengajar guru juga harus mempertimbangkan dimensi

tersebut.

Elliot W. Eisner (1982) menyatkan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan

supervisi artistik, ialah pendekatan yang menekankan pada sensitivitas,

perceptivity, dan pengetahuan supervisor untuk mengapresiasi segala aspek yang

terjadi di kelas, dan kemudian menggunakan bahasa yang ekspresif, puitis serta ada

kalanya metaforik untuk mempengaruhi guru agar melakukan perubahan terhadap

apa yang telah diamati di dalam kelas. Dalam supervisi ini, instrumen utamanya

bukanlah alat ukur atau pedoman observasi, melainkan manusia itu sendiri yang

memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi. Tujuan utama pendekatan ini adalah

untuk meningkatkan kualitas kehidupan (suasana) kependidikan di sekolah.

Dari pengertian tersebut, mungkin dapat dianalogikan dengan pendekatan penelitian.

Supervisi ilmiah paradigmanya identik dengan penelitian kuantitatif sementara itu

supervisi artistik lebih dekat dengan pendekatan penelitian kualitatif.

c. Supervisi Klinis

Supervisi klinis berangkat dari cara pandang kedokteran, yaitu untuk mengobati

penyakit, harus terlebih dahulu diketahui apa penyakitnya. Inilah yang harus

dilakukan oleh supervisor terhadap guru apabila ia hendak membantu

meningkatkan kualitas pembelajaran mereka.

Supervisi klinis dilakukan melalui tahapan-tahapan: (a) pra observasi, yang berisi

pembicaraan dan kesepakatan antara supervisor dengan guru mengenai apa yang

akan diamati dan diperbaiki dari pengajaran yang dilakukan, (b) observasi, yaitu

supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan fokus yang telah

disepakati, (c) analisis, dilakukan secara bersamasama oleh supervisor dengan guru

terhadap hasil pengamatan, dan (d) perumusan langkah-langkah perbaikan, dan

pembuatan rencana untuk perbaikan.

2.2 Problematika Pelaksanaan Supervisi

2.2.1 Jabatan Supervisor dan Legalitasnya

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 7

Page 8: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

Kenyataan yang pertama kali harus disadari sebelum berbicara mengenai

pelaksanaan supervisi yang ideal, adalah bahwa dalam peraturan mengenai

kependidikan di Indonesia ini, tidak dikenal adanya jabatan supervisor. Pasal

39 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi, “Tenaga

kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,

pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada

satuan pendidikan”.

Ayat tersebut selanjutnya diberikan penjelasan bahwa “Tenaga

kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar,

pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber

belajar.

Berdasarkan pada landasan hukum di atas, maka konteks supervisi

pengajaran di Indonesia tercakup dalam konsep pembinaan dan pengawasan. Sejak

1996 pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya,

telah menetapkan (pejabat) Pengawas sebagai pelaksana tugas

pembinaan/supervisi guru dan sekolah. Teknis pelaksanaan Keputusan Menpan

tersebut dijabarkan dalam Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN

Nomor 0322/O/1996 dan nomor 38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kerditnya. Dalam peraturan ini

yang dimaksud dengan Pengawas Sekolah adala” Pegawai Negeri Sipil yang

diberi tugas untuk melakukan pengawasan dengan melaksanakan penilaian dan

pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan

pra sekolah, dasar, dan menengah“.

Sebagai tenaga fungsional kependidikan, Jabatan Pengawas selanjutnya

dibuat penjenjangan sebagaimana jabatan pendidik/guru. Dengan demikian

jabatan pengawas telah diakui secara resmi sebagai jabatan fungsional. Jabatan

tersebut mencerminkan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas

sebagaimana jabatan fungsional lainnya.

2.2.2 Pelaksanaan Supervisi oleh Pengawas

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 8

Page 9: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

Penelitian yang dilakukan oleh Ekosusilo (2003:75) menunjukkan

kenyataan pelaksanaan supervisi oleh pengawas sungguh bertolak belakang

dengan konsep ideal supervisi. kegiatan supervisi yang dilakukan oleh

pengawas, masih jauh dari substansi teori supervisi. Supervisi yang dilakukan

oleh pengawas lebih dekat pada paradigma inspeksi atau pengawasan. Upaya

“membantu guru” dengan terlebih dahulu menjalin hubungan yang akrab sebagai

syarat keberhasilan supervisi pengajaran, belum dilakukan oleh para pengawas.

2.2.3 Pelaksanaan Supervisi oleh Kepala Sekolah

Salah satu tugas pokok kepala sekolah, selain sebagai administrator adalah

juga sebagai supervisor (Mulyasa, 2003). Tugas ini termasuk dalam kapasitas

kepala sekolah sebagai instructional leader.

Dalam kenyataannya, pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah,

sebagaimana pengawas, juga masih terfokus pada pengawasan administrasi.

Pada umumnya kepala sekolah akan melakukan supervisi pengajaran pada guru

melalui kunjungan kelas, apabila dia mendapat laporan mengenai kinerja guru

yang kurang baik, atau berbeda dari teman-temannya. Bahkan seringkali

dijumpai, seorang kepala sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan belajar

mengajar yang dilakukan guru dengan cara mengintip dari balik pintu atau

jendela, agar tidak diketahui.

Perilaku kepala sekolah tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya (Jawa)

yaitu pekewuh yang dipersepsikan secara salah. Dalam pemahaman yang salah

tersebut, apabila kepala sekolah melakukan supervisi kunjungan kelas dan

mengamati PBM yang dilakukan guru, maka ia dianggap tidak percaya pada

kemampuan guru. Hal ini akan menimbulan konflik dalam hubungan guru

dengan kepala sekolah.

2.2.4 Kendala-kendala Pelaksanaan Supervisi

Kendala pelaksanaan supervisi yang ideal dapat dikategorikan dalam dua

aspek, yaitu struktur dan kultur.

Pada aspek struktur birokrasi pendidikan di Indonesia ditemukan kendala

antara lain sebagai berikut :

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 9

Page 10: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

Pertama, secara legal yang ada dalam nomenklatur adalah jabatan pengawas

bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma berpikir tentang

pendidikan yang masih dekat dengan era inspeksi.

Kedua, lingkup tugas jabatan pengawas lebih menekankan pada pengawasan

administrasi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru. Asumsi yang

digunakan adalah apabila administrasinya baik, maka pengajaran di sekolah

tersebut juga baik. Inilah asumsi yang keliru.

Ketiga, rasio jumlah pengawas dengan sekolah dan guru yang harus

dibina/diawasi sangat tidak ideal. Di daerah-daerah luar pula Jawa misalnya,

seorang pengawas harus menempuh puluhan bahkan ratusan kilo meter untuk

mencapai sekolah yang diawasinya; dan

Keempat, persyaratan kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta evaluasi dan

promosi terhadap jabatan pengawas juga belum mencerminkan perhatian yang

besar terhadap pentingnya implementasi supervisi pada ruh pedidikan, yaitu

interaksi belajar mengajar di kelas.

Pada aspek kultural dijumpai kendala antara lain :

Pertama, para pengambil kebijakan tentang pendidikan belum berpikir tentang

pengembangan budaya mutu dalam pendidikan. Apabila dicermati, maka mutu

pendidikan yang diminta oleh customers sebenarnya justru terletak pada kualitas

interaksi belajar mengajar antara siswa dengan guru. Hal ini belum menjadi

komitmen para pengambil kebijakan, juga tentu saja para leksana di lapangan.

Kedua, nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif, dibawa dalam interaksi

fungsional dan professional antara pengawas, kepala sekolah dan guru. Budaya

ewuh-pakewuh, menjadikan pengawas atau kepala sekolah tidak mau “masuk

terlalu jauh” pada wilayah guru.

Ketiga, budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka dan membangun

hubungan professional yang akrab dengan kepala sekolah dan pengawas. Guru

menganggap mereka sebagai “atasan” sebaliknya pengawas menganggap kepala

sekolah dan guru sebagai “bawahan”. Inilah yang menjadikan tidak terciptanya

rapport atau kedekatan hubungan yang menjadi syarat pelaksanaan supervisi.

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 10

Page 11: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

2.3 Sikap Guru Terhadap Supervisi Pengajaran

Supervisi pengajaran merupakan upaya membantu guru-guru

mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pengajaran. Dengan demikian,

berarti, esensial supervisi pengajaran adalah membantu guru mengembangkan

kemampuan profesionalismenya. Mengembangkan kemampuan dalam konteks

ini janganlah ditafsirkan secara sempit, semata-mata ditekankan pada

peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada

peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan (willingness) atau motivasi

(motivation) guru, sebab dengan meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja

guru, kualitas pengajaran akan meningkat.

Glickman (1985) menguraikan bahwa tujuan supervisi pengajaran adalah

untuk membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan atau

kapasitasnya agar para siswa dapat mewujudkan tujuan belajar yang telah

ditetapkan.

Supervisi pengajaran tidak bisa terlepas dari penilaian performansi guru

dalam mengelola proses belajar mengajar. Apabila di atas dikatakan, bahwa

supervisi pengajaran merupakan serangkaian kegiatan membantu guru

mengembangkan kemampuannya mengelola proses belajar-mengajar, maka

menilai performansi guru dalam mengelola proses belajar-mengajar merupakan

salah satu kegiatan yang tidak bisa dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987).

Penilaian performansi guru dalam mengelola proses belajar-mengajar sebagai

suatu proses pemberian estimasi penampilan guru dalam mengelola proses

belajar-mengajar, merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan supervisi

pengajaran. Apabila dikatakan bahwa supervisi pengajaran merupakan

serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya, maka

dalam pelaksanaannya terlebih dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan

guru, sehingga bisa ditetapkan aspek yang perlu dikembangkan dan cara

mengembangkannya

Untuk itu, guru harus mempunyai sikap positif terhadap pelaksanaan supervisi

yang dilakukan oleh pengawas atau kepala sekolah. Sikap positif ini bisa

diwujudkan dengan jalan :

1) Guru melihat dengan jelas tujuan pendidikan.

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 11

Page 12: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

2) Guru harus mampu membimbing pengalaman siswa.

3) Guru memanfaatkan sumber-sumber pengalaman belajar.

4) Guru lebih kreatif dalam menggunakan metode dan alat pelajaran modern.

5) Guru harus berusaha memenuhi kebutuhan belajar siswa.

6) Guru harus lebih cermat dalam menilai kemajuan siswa.

7) Guru mampu mencurahkan perhatian, waktu , dan tenaganya untuk

kemajuan dan pembinaan di sekolah.

Namun, kenyataan yang sering terjadi ada beberapa guru (oknum guru)

yang bersikap acuh tak acuh terhadap pelaksanaan supervisi, tidak pernah siap

disupervisi, bahkan ada yang menghindari supervisi dengan berbagai alasan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Demikianlah uraian mengenai problematika dan sikap guru rerhadap

supervisi pengajaran, antara konsep teoritik dan kenyataannya. Pelaksanaan

supervisi pengajaran di lapangan, kenyataannya masih jauh dari konsep teoritik

yang dikembangkan di jurusan/program manajemen pendidikan. Untuk

mengatasi kesenjangan tersebut, diperlukan sosialisasi dan “tekanan” dari pihak-

pihak yang komit terhadap kualitas pendidikan di Indonesia kepada para

pengambil kebijakan dan pengelola pendidikan. Hal ini secara bersama-sama harus

dilakukan dengan pengembangan budaya mutu dalam pendidikan, yang intinya

terletak pada kualitas proses pembelajaran di dalam kelas.

3.2 Saran-saran

Berangkat dari kenyataan dan problematika pelaksanaan supervisi di

Indonesia, maka untuk menuju pada supervisi yang ideal diperlukan langkah-

langkah antara lain :

Pertama, menegaskan, dan apabila perlu memisahkan jabatan supervisor

dengan jabatan pengawas dalam struktur birokrasi pendidikan di Indonesia. Dalam

hal ini, terdapat dua pilihan, yaitu mengarahkan jabatan pengawas agar

terartikulasi pada peran dan tugas sebagai supervisor, atau mengangkat supervisor

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 12

Page 13: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

secara khusus dan tetap membiarkan jabatan pengawas melaksanakan fungsi

pengawasan.

Kedua, memperbaiki pola pendidikan prajabatan maupun inservice

rekrutmen, seleksi, penugasan, serta penilaian dan promosi jabatan

supervisor/pengawas.

Ketiga, dalam konteks otonomi daerah, jabatan supervisor dapat diangkat

sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.

Keempat, membangun kesadaran budaya mutu dalam pendidikan bagi

pengelola-pengelola pendidikan pada semua tingkatan.

Kelima, mengikis pola hubungan yang paternalistik antara pengawas/kepala

sekolah dengan guru dan mengembangkan hubungan profesional yang akrab dan

terbuka untuk meningkatkan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Aqib, Zainal dan Rohmanto, Elham, 2007. Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah. Bandung: CV. Yrama Widya.

Bafadal, 1992. Supervisi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Ekosusilo, Madyo. 1998. Supervisi Pengajaran dalam Latar Budaya Jawa. Sukoharjo: Univet Bantara Press.

Encok, Mulyasa. 2003. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Glatthorn, Allan A.1990. Supervisory Leadeship: Introduction to Instructional Supervision. USA: HarperCollins Publishers.

Glickman, Carl. D. 1981. Developmental Supervision: Alternative Practice for Helping Teacherss Improve Instruction. Alexandria: ASCD.

Keputusan MENPAN Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya.

Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 0322/O/1996 dan Nomor 38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kerditnya.

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 13

Page 14: PROBLEMATIKA SUPERVISI ( sutrisno )

Mantja, W. 2007, Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas

Oliva, Peter. F. 1984. Supervison for Today’s School. 2nd Edition. New York: Longman.

Sergiovanni, T.J. Ed. 1982. Supervision of Teaching. Alexandria: ASCD.

Sergiovanni, T.J. dan Starrat, R.J. 1993. Supervision A Redefinition. 5th Ed. New York: McGraw-Hill Book Co.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wiles, Jon dan Bondi, Joseph. 1986. Supervision A Guide to Practice. 2nd Ed. Columbus: Char.

Problematika dan Sikap Guru Terhadap Supervisi 14