bab ii tinjauan umum tentang kecerdasan emosi a ...digilib.uinsby.ac.id/1034/4/bab 2.pdf · yang...
TRANSCRIPT
24
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KECERDASAN EMOSI
A. Universalitas Emosi
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa melakukan proses
interaksi baik terkait dengan diri maupun dengan lingkungannya. Adanya
proses interaksi tersebut tidak jarang manusia mengalami beragam rasa
sebagai efek dari interaksi tersebut. Pada suatu saat manusia dapat dipastikan
pernah mengalami kondisi marah ketika mendapat perlakuan orang yang
dinilainya tidak adil. Pada saat yang lain ia merasa bahagia, tentram serta
merasa puas atas kondisinya tatkala keberuntungan sedang memihak pada
dirinya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam
kehidupan ini, sekaligus menjadi fakta bahwa manusia mengalami berbagai
macam peristiwa yang melibatkan emosi.
Deretan peristiwa-peristiwa yang ada baik itu rasa senang atau sedih
sangat mempengaruhi kualitas diri seseorang dalam memandang kehidupan.
Dengan demikian ada ‘warna’ yang berbeda dalam menjalani kehidupan.
Aneka ekspresi dalam merespon berbagai situasi yang dialami manusia
sejatinya memperkaya makna kehidupan itu sendiri. Namun, memuncaknya
emosi yang tidak terkendali akan memunculkan masalah baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain.
25
Emosi merupakan karunia yang telah Allah berikan kepada manusia,
yang dengannya manusia mampu berekspresi dalam menerima stimulus yang
ada. Emosi memiliki peran tersendiri bagi kehidupan manusia. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Coleman dan Hammen, setidaknya ada beberapa
fungsi emosi dalam kehidupan manusia1 :
1. Emosi berfungsi sebagai pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi
manusia ibarat orang yang tidak sadar atau sama dengan orang mati.
Hidup adalah proses merasa, mengalami, bereaksi serta bertindak. Dengan
adanya emosi manusia dapat membangkitkan dan memobilisasi energi
yang dimilikinya seperti marah menggerakkan manusia untuk menyerang,
takut menggerakkan manusia untuk lari, cinta mendorong manusia untuk
mendekat.
2. Emosi berfungsi sebagai pembawa informasi (messenger). Keadaan diri
sendiri dapat diketahui melalui emosi yang dialami. Saat seseorang sedih
pertanda hilangnya sesuatu yang ia senangi, sebaliknya saat bahagia
berarti memperoleh yang ia senangi atau berhasil menghindari dari hal
yang tidak disukai.
3. Emosi berfungsi sebagai komunikasi intrapersonal dan interpersonal
sekaligus.
Dengan adanya fungsi yang beragam tersebut menunjukkan
dengan jelas bahwa emosi sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Meskipun
demikian keterbangkitan emosi harus tetap terkontrol agar tidak merusak
1M. Darwis Hude, Emosi (Jakarta: Airlangga, 2006), 24.
26
tatanan kehidupan. Demikian pula dengan aspek psikis emosi harus
terkontrol dari kemungkinan adanya ketegangan jiwa. Keberadaan emosi
dapat diibaratkan dengan pisau bermata dua, sisi yang satu memberi
manfaat dalam kehidupan agar bergairah dan bermakna sedang sisi yang
lain berpotensi menimbulkan ketegangan baik dalam diri maupun
kehidupan sosial. Oleh karena itu keberadaan kecerdasan emosi pantas
dimiliki seseorang agar dapat menciptakan keseimbangan kehidupan
dalam mengelola universalitas emosi yang ada.
B. PengertianKecerdasan Emosi
Emotional intelligence atau kecerdasan emosipada mulanya
dimunculkan pada tahun 1990 oleh dua Psikolog Peter Salovey dari Harvard
University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Pada perkembangan berikutnya
kecerdasan emotional semakin populer berkat Daniel Goleman melalui salah
satu karyanya yang berjudul Emotional Intelligence : Why It Can Matter
More than IQ.2
Istilah emotional intelligencemenurut etimologi, merupakan
gabungan dariduasuku kata, yakni emotional dan intelligence. Kata
emotiondalamCambridge Dictionary mengandung makna,strong feeling in
general such as love and anger (secara umum emosi dapat diartikan perasaan
2 Peter Salovey et al, Emotional Intelligence (USA: Quality Books, 2007),
27
yang sangat kuat, sebagai contohnya adalah rasa cinta dan marah), sedang
emotional memiliki arti relating to emotion, showing strong feeling, person
(emotional merupakan kata sifat dari emosi yang mengandung makna
sesuatu yang berhubungan dengan emosi serta dapat diartikan dengan diri).3
Kata emotion juga memiliki beragam derivasi dari berbagai bahasa,
seperti emouvoir (bahasa perancis) yang berarti kegembiraan,
movere/emovere (bahasa latin) yang berarti luar dan juga bermakna
gerak.Kata moveremendapat imbuhan ‘e’ untuk memberi makna bergerak
menjauh.4Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak adalah
hal yang mutlak dalam emosi. Oleh karena itu emosi disebut motus anima
yaitu jiwa yang menggerakkan.5
Salovey dan Mayer mendefinisikan emosi sebagai respon
terorganisasi, termasuk sistem fisiologis yang melewati berbagai batas sub
sistem psikologis seperti: kognisi, motivasi dan pengalaman.6 Emosi
merupakan respon terhadap stimulus yang diperoleh baik dari dalam diri
maupun lingkungan. Emosi sebagai bagian dari psikologis manusia memiliki
ciri-ciri : bersifat subyektif, fluktuatif dan banyak bersangkut paut dengan
pengenalan panca indera.
3 Cambridge University, Cambridge Dictionary (London: Cambridge University Press, 2008), 246. 4 Daniel Goleman, Emotional Intelligence(Kecerdasan emosi Mengapa Lebih Penting daripada IQ) terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 7. 5 Abdul Syukur, Beragam Cara Terapi Gangguan Emosi (Yogyakarta: DIVA Press, 2011), 11. 6 Tekad Wahyono, “Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik” dalam Anima Indonesian Psikological Vol.17 No.1 (Surabaya: Wangsa Manggala, 2001), 37.
28
Sedangkan Daniel Goleman mendefinisikan emosi dengan perasaan
dan pikiran-pikiran khasnya. Emosi merupakan suatu keadaan biologis,
psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi juga
dapat diartikan dengan reaksi kompleks dalam diri beserta segala perubahan
yang mendalam dan diikuti dengan feeling (perasaan) yang kuat.
Keberadaan emosi seringkali dibangkitkan oleh motivasi, sehingga
antara emosi dan motivasi terjadi hubungan yang interaktif.7 Dari beberapa
definisi yang telah disebutkan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa emosi
merupakan afek (perasaan) yang mendorong individu untuk merespon atau
bertingkah laku terhadap stimulus baik yang berasal dari dalam diri atau dari
lingkungannya.
Sementara kata kecerdasan, dalam bahasa Inggris disebut
intelligenceyang memiliki arti being able to think, learn and understand
quickly and well,8yakni kemampuan berfikir dan memahami secara cepat dan
akurat. Dalam istilah Psychology,intelligence mencakup kemampuan berpikir
secara abstrak serta kemampuan untuk merespon secara baik terhadap fakta
yang ada.9Sebagaimana yang dikutip Casmini, Wechsler mendefinisikan
intelligence sebagai, “the aggregate or global capasity of individual to act
purposefully, to think rationally and to deal effectivelly with his
7 J.P. Chaplin, Dictionary of Psycology ter. Kartini (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 253. 8 Alison Waters, Oxford Essential Dictionary (New York: Oxford Universiy Press, 2009), 213. 9 Andrew M. Colman, A Dictionary of Psychology (New York: Oxford University Press, 2003), 371.
29
environtment” 10(kecakapan menyeluruh yang dimiliki individu untuk
melakukan suatu maksud dengan tujuan yang jelas dan mampu berpikir
secara rasional serta beradaptasi dengan lingkungannya secara efektif).
Dalam bahasa Arab kecerdasan disebut al-dhaka> yang mengandung
arti pemahaman, kecepatan dan kesempurnaan sesuatu. Ia juga bermakna al-
qudrah atau kemampuan memahami sesuatu secara cepat dan sempurna.
Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibn Sina menyebut kecerdasan
sebagai al-hads(kekuatan intuitif).11 Sedangkan menurut Derk, kecerdasan
adalah kemampuan memproses informasi dan memecahkan masalah.
Sebagaimana yang dikutip oleh Crow, William Sterm memberikan
pengertian yang lebih luas berkenaan dengan kecerdasan. Ia mengemukakan
bahwa intelegensi berarti kapasitas umum dari seorang individu yang dapat
dilihat pada kesanggupan dalam mengatasi tuntutan kebutuhan, keadaan
ruhaniah dalam ruang lingkup kehidupan.12 Berkenaan dengan pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa kecerdasan tidak hanya menyangkut dunia
akademik, namun lebih luas, menyangkut hal-hal yang di luar akademik baik
itu meliputi masalah jiwa dan juga tingkah laku sosial.
Sedangkan menurut terminologi, ada beragam definisi yang diberikan
oleh para pakar, berkenaan dengan kecerdasan emosi diantaranya;John
Mayer dan Peter Salovey mengungkapkan, kecerdasan emosi sebagai
10 Casmini, Emotional Parenting: Dasar-dasar Pengasuhan Kecerdasan Emosi Anak (Yogyakarta: Idea, 2007), 14. 11 Yusuf Murad, Maba>di’ ‘Ilm al-Nafs al-‘A>m (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th.), 318. 12 Lester D. Crow dan Alice Crow, Educational Psychologyterj. Z. Kasijan (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), 205.
30
kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan juga
orang lain, serta menggunakan perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan
tindakan.13
Senada dengan definisi tersebut, Steiner mendefinisikankecerdasan
emosi sebagai suatu kemampuan yang dapat memahami emosi diri sendiri
dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi tersebut terekspresikan
untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. Kekuatan
pribadi tersebut disamakan dengan tact(kebijaksanaan) yaitu ketrampilan
dalam berkata serta bertindak secara tepat dan bijaksana.14
Patton juga mengemukakan kecerdasan emosi sebagai kemampuan
untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan dan
membangun hubungan yang produktif untuk meraih suatu keberhasilan.
Sedangkan Reuven Bar-On salah satu ahli Psikologi, mendefinisikan
kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial
yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi
tututan dan tekanan lingkungan.15Menurutnya kecerdasan emosi merupakan
kumpulan kecakapan seperti optimisme, fleksibiltas, menangani stres dan
juga sikap dalam berhubungan dengan orang lain.16
13 Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak terj. Alex Tri Kantjono (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), 8. Lihat juga, Ary Ginanjar Agustian, ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), 387. 14 James Drever, Kamus Psikologi terj. Nacy Simanjutak (Jakarta: Bina Aksara, 1988), 449. 15Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 180. 16 Jeanne Anne, Bukan Seberapa Cerdas Diri Anda Tetapi Bagaimana Anda Cerdas, (Batam: Interaksar, 2004), 18.
31
Sementara Cooper dan Sawaf mengatakan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh
yang manusiawi.17 Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk
belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat untuk diterapkan secara efektif dalam
kehidupan sehari-hari.
Menurut Davies sebagaimana yang dikutip oleh Satiadarma
kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan
emosi diri serta orang lain dan mampu mendayagunakan emosi tersebut
untuk menuntun dalam berfikir dan juga bertindak.18Pengertian tersebut
sebagaimana yang tertera dalam A Dictionary of Psychologi yang
mendefinisikan dengan, “the ability to perceive, appraise and express
emotion accurately and the ability to comprehend emotional message and to
make use of emotional information”19bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan merasakan, menilai serta mengekspresikan berbagai emosi
secara tepat serta mampu menggunakan pesan-pesan emosi secara tepat.
Daniel Goleman sendiri memberikan definisi kecerdasan emosi
sebagai“ emotional intelligence refers to the capacity for recognising our
own feelings and those of others, for motivating ourselves, and for managing
17 Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ : Kecerdasan emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1998), 2. 18 Satiadarma dan Waruru, Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi Orang tua dan Guru dalam Mendidik Anak yang Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), 27. 19 Andrew M. Colman, A Dictionary of Psychology..., 687.
32
emotions well in ourselves and in our relationships.” 20 bahwa manusia
dikatakan memiliki kecerdasan emosi, bilamana memiliki beberapa aspek
yang melekat pada dirinya, meliputi kesadaran diri, manajemen emosi,
motivasi, empati, dan mengatur hubungan dengan orang lain. Ciri utama
kecerdasan ini adalah respon yang cepat namun tidak ceroboh serta
mendahulukan perasaan dari pada pemikiran.
Berpijak dari makna bahasa serta beberapa pendapat tokoh di atas
dapat diambil pengertian bahwa kecerdasan emosi (emotional intelligence)
adalah sebuah kecerdasan tersendiri meliputi kecakapan mengelola emosi
dengan penuh kesadaran jiwa yang ada dalam diri (intrapersonal) serta
kesadaran berkenaan dengan emosi orang lain(interpersonal)sebagai acuan
untuk dapat berfikir dan bertindak terhadap stimulus yang ada.
Berbeda dengan pemahaman tentang emosi pada umumnya yang
cenderung lebih mengarah pada makna emosi yang sifatnya negatif,
pengertian emosi dalam lingkupkecerdasan emosional lebih mengarah pada
kemampuan yang bersifat positif. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan
oleh Cooper, bahwa kecerdasan emosi memungkinkanindividu untuk dapat
merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan
daya dan kepekaan emosinya sebagai energi positif untuk berfikir serta
bertindak. Sebaliknya bila individu tidak memiliki kematangan emosi maka
akan sulit mengelola emosinya secara baik, akibatnya individu semacam ini
tidak akan mampu beradaptasi terhadap perubahan.Secara sederhana
20 Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, (London: Bloomsbury Publishing, 1998), 22.
33
kecerdasan emosi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengendalikan
emosi serta mengarahkan pada hal-hal yang positif.
C. Diferensiasi antaraIntelligence Quotient (IQ) dan Kecerdasan Emosi
Munculnya karya Daniel Goleman, Emotional Intelligence : Why It
Can Matter More than IQ pada tahun 1995, telah membangkitkan minat
yang sangat besar mengenai peran kecerdasan emosi dalam kehidupan
manusia. DevelopmentResearch (penelitian pengembangan) terhadap teori
para pakar emosi sebelumnya yang dilakukan Goleman berkenaan dengan
fungsi psikologis serta kecakapan antar pribadi telah menghasilkan teori
kecerdasan baru yakni emotional intelligence (kecerdasan emosi). Penemuan
tersebut seolah menggeser intelligence quotient (IQ) yang selama ini
menjadi tolak ukur dari kecerdasan manusia.
Selama bertahun-tahun (sejak perang Dunia I hingga abad XX)
Kecerdasan Intelegensi (IQ) telah diyakini menjadi ukuran standar
kecerdasan. IQ kemudian menjadi satu-satunya alat untuk mengukur
kesuksesan seseorang dalam meniti karier kehidupan.
Seseorang yang memiliki IQ tinggi pada umumnya akan dinobatkan
sebagai orang yang cerdas dan brilian, sebaliknya seseorang yang memiliki
IQ rendah dapat dipastikan termasuk golongan individu yang bodoh. Citra
yang demikian ini terjadi dikarenakan IQ masih menjadi ‘raja’ sebagai tolak
ukur kecerdasan. Cerdas tidaknya seseorang dapat diukur melalui parameter
34
tes IQ yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT) yakni
semacam Tes Potensi Akademik.
Tes SAT ini memiliki kekhasan tersendiri, sebagaimana disimpulkan
oleh Gardner yang menyatakan tes tersebut membentuk cara berpikir IQ.
Kekhasan berpikir IQ ini terutama terletak pada pemikiran rasional dan logis
sehingga IQ menjadi fakultas rasional manusia.21 Sehingga dapat dikatakan
cerdas tidaknya otak seseorang sepertinya sudah taken for granted (diterima
apa adanya). Hal ini sebagaimana yang dilukiskan oleh Roshni Datta yang
menyatakan, “Thus, the possibility of potential success of these people were
thought to be genetically pre-determined through their scores in the IQ test
as intelligence was largely held to be genetically determined characteristic
rather than something shaped by socio-cultural environments and
evolutionary process.”22
Jadi, kemungkinan keberhasilan yang potensial dari orang-orang yang
ber-IQ tinggi dianggap telah ditentukan sejak awal secara genetik, serta
dapat diketahui melalui skor mereka dalam tes IQ. Kecerdasan ini lebih luas
juga dipahami sebagai karakter yang ditentukan secara genetik dari sesuatu
yang dibentuk oleh lingkungan sosio-kultur serta proses yang bersifat
evolusi.
21 Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasan Spiritual, Mengapa SQ Lebih Penting dari pada IQ dan EQ (Jakarta: Gramedia, 2002), 38. 22 Roshni Datta, “The Spiritual Secret of Success” dalam http://www.indiainfoline.com/bisc/imtart29.html diakses tanggal 29 Juni 2013.
35
Sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba
kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan dan sekaligus
menggugah perhatian di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan
bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat
kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Di antara tokoh yang interest
(menaruh perhatian) untuk menggali potensi manusia itu adalah Daniel
Goleman yang banyak berkecimpung dalam bidang Neurosains dan
Psikologi. Pada akhirnya Goleman mampu meruntuhkan legenda tentang IQ
yang bertahta selama betahun-tahun melalui temuan yang ia sebut sebagai
emotional intelligence (kecerdasan emosi), yaitu sebuah kecerdasan yang
lebih menekankan pada penguasaan serta pengendalian diri (nafsu) dan
emosidan kecerdasan ini berbanding terbalik dengan IQ yang cenderung pada
tataran rasional.
Hasil penelitian panjang Goleman membuktikan bahwa banyak sekali
individu yang memiliki IQ tinggi justru banyak menuai kegagalan dalam
realitas sosialnya. Kegagalan tersebut diakibatkan karena individu yang
memiliki IQ tinggi tidak mampu mengatur emosi serta ketidak-sabaran
dalam mengatasi berbagai peristiwa dalam kehidupan. IQ yang dimiliki
individu tersebuttidak mampu mengontrol ledakan emosi yang meletup
sehingga daya berpikirnyamenjadi redup. Hal ini membawa dampak negatif,
yang pada akhirnya menutup nalar intelektualnya. Keadaan demikian ini
berakibat pada kelabilan, sehingga tidak dapat berpikir secara rasional dan
objektif.Faktor inilah yang sering kali menjadikan seseorang mengalami split
36
personality (kepribadian yang terbelah), karena tidak ada kesimbangan
antara intelektual dan emosi.
Kondisi ketidak stabilan emosi seseorang menurut Sayid Mujtaba
Musawi mampu membutakan pikiran manusia serta dapat menurunkan
derajat kemanusiaan, sehingga memungkinkan melakukan kejahatan dalam
realitas kehidupannya.23
Akibat nalar intelektualnya yang tidak dapat bekerja secara normal
disebabkan emosi yang tidak stabil, maka seringkali keputusan yang diambil
pun cenderung tidak rasional dan apologetik, sehingga tidak bisa berinteraksi
dan berkomunikasi dengan orang lain secara baik, bijak serta harmonis. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Cooper bahwa kecerdasan emosilah
yang menjadi pendukung dalam pengambilan keputusan yang baik bukan IQ
atau kecerdasan otak semata.24
Kenyataan tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Goleman yang
menyimpulkan bahwa peran IQ dalam kehidupan seseorang hanya berkisar
20%25 selebihnya adalah potensi lainnya yang diantaranya adalah kecerdasan
dalam mengelola emosi diri. Senada dengan Goleman, Howard Gardner juga
memberikan pernyataan bahwa untuk meraih kesuksesan dalam hidup
diperlukan kecerdasan lain selain kecerdasan intelektual (IQ) karena potensi
kecerdasan manusia tidak hanya pada IQ melainkan masih memiliki beragam
kecerdasan bagi setia individu, ragam kecerdasan ini dalam teorinya Howard
23 Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Youth and Morals terj. M. Hashem (Jakarta: Lentera, 1998), 125. 24Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan emosi.., 13. 25Daniel Goleman, Emotional Intelligence(Kecerdasan emosi Mengapa Lebih Penting daripada IQ)..., 44.
37
Gardner disebut sebagai multiple intelligence (kecerdasan
majemuk).26Kenyataan tersebut juga sesuaidengan adanya statementyang
menjelaskan bahwa status akhir seseorang dalam masyarakat pada
umumnya ditentukan oleh faktor-faktor bukan IQ melainkan relasi sosial.27
Goleman juga menyimpulkan bahwa IQ saja tidak cukup dalam
menggapai kesuksesan hidup, karena masih ada elemen lain yang dibutuhkan
individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya, yaituemotional
intelligence (kecerdasan emosi), sebagaimana pernyataannya “emotional
intelligence was a basic requirement for the use of IQ. If the areas of our
brain that feel damaged, our abilitty to think effectively is diminished”
(kecerdasan emosi merupakan syarat utama untuk bisa memfungsikan IQ,
karenapada IQ jika ada bagian otak yang rusak maka kemampuan berpikir
secara efektif pun juga akan berkurang).28
Dari pernyataan Goleman di atas, dapat dipahami bahwa kecerdasan
emosi mampu melengkapi kelemahan pada IQ. Kecerdasan emosi mampu
membantu seseorang untuk menciptakan asosiasi antar berbagai hal yang
dialami dalam kehidupannya. Hal inilah yang memaksimalkan fungsi IQ
secara lebih efektif dan maksimal bagi berlangsungnya hubungan dan
komunikasi interpersonal.
26 Tim Sparrow dan Amanda Knight, Applied EI The Importance of Attitudes in Developing Emotional Intelligence (England: Jossey-Bass, 2006), 13-14. 27 Arief Rachman, “Dengan Emotional Intelligence Meningkatkan Pendidikan” dalam Menyinari Relung-relung Ruhani, Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi, editor Cecep Ramli Bihan Anwar, (Jakarta: Hikmah, 2002), 156. 28 Gerald Mattews, Emotional Intelligence Science and Myth (London: Cambridge, 2002), 7.
38
Walaupun demikian,Goleman memandang kecerdasan emosi
memiliki peran lebih besar terhadap kesuksesan seseorang, sebagaimana ia
memberikan sebuah kesimpulan akhir terkait diferensiasi antara IQ dan
kecerdasan emosi melalui pernyataannya “a person’s emotional intelligence
is a better predictor of future success than a person’s intelligence
quotient”29(kecerdasan emosi seseorang merupakan indikasi yang lebih baik
untuk kesuksesan di masa depan daripada IQ seseorang).
D. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki
tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut
memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding
orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus seseorang yang memiliki
tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang
memiliki tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ
(Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih
kesuksesan.
Daniel Goleman, salah seorang pakar psikologi dari Universitas
Harvard menjelaskan bahwa ada standar lain yang menentukan tingkat
kesuksesan seseorang. Dalam salah satu karya-tulisnya yang berjudul
emotional intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia
29 Mark Sichel, “What is Spiritual Intelligence” dalam www.webtrendlive.com/redrect.asp/siteID=4634 diakses pada tanggal 29 Juni 2013.
39
lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.30Aspek-aspek
emotional intelligence meliputi :
1. Self Awareness(Kesadaran Diri)
Kesadaran diri menjadi bagian penting dalam kecerdasan emosi.
Maksud dari kesadaran diri ini mencakup kemampuan mengetahui serta
memahami apa yang sedang dirasakan dan mampu menggunakan
kemampuan tersebut untuk memandu dalam pengambilan keputusan diri
sendiri, di samping itu juga memiliki tolak ukur tersendiri yang realistis
terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga membangkitkan
kepercayaan diri yang kuat.
Kesadaran terhadap emosi merupakan kemampuan mendasar dari
emotional intelligence, para ahli Psikologi menyebut kesadaran diri ini
sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang terhadap emosinya
sendiri. Menurut Mayer kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana
hati dan juga pikiran. Kesadaran ini memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun hal ini menjadi prasyarat dalam memiliki
kecerdasan emosi.31
Unsur-unsur yang terkandung dalam kesadaran diri ini meliputi :
pertama, emotional awareness(kesadaran emosional) yaitu mampu
mengenali emosi diri beserta efeknya. Kedua, accurate self
awareness(penilaian diri secara teliti) yaitu mengetahui kekuatan dan
30 Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, (Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 2005), 64. 31 Ibid.
40
batas-batas diri sendiri. Ketiga, self confidence(percaya diri) yakni
keyakinan tentang kemampuan diri dan harga diri (self estem).
2. Self Regulation (Pengaturan Diri)
Pengaturan diri berkaitan dengan upaya menangani emosi diri
sehingga berdampak positif dalam pelaksanaan tugas, peka terhadap kata
hati dan mampu menahan hal-hal yang menyenangkan sebelum
tercapainya suatu sasaran serta mudah untuk bangkit dari tekanan emosi
negatif.
Dalam pengaturan diri terdapat kecakapan untuk menangani
perasaan agar tetap selaras sehingga tercapai keseimbangan emosi dalam
diri individu. Kemampuan ini mencakup upaya dalam menghibur diri,
melepas kecemasan, kemurungan serta kemampuan untuk bangkit dari
keterpurukan.32
Unsur-unsur pengaturan diri meliputi : pertama, self control
(kendali diri), yaitu mampu mengelola perasaan serta desakan-desakan
nafsu yang merusak. Kedua, trustworthiness (sifat dapat dipercaya),
yaitu mampu memelihara norma kejujuran serta memiliki integritas yang
tinggi. Ketiga, conscientiousness (kehati-hatian), yaitu bertanggung
jawab terhadap kinerja pribadi. Keempat, adaptability(adaptasi), yaitu
keluwesan dalam mengalami perubahan. Sedang yang kelima, innovation
32 Ibid., 42.
41
(inovasi), yaitu mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan,
pendekatan serta informasi baru.
3. Motivation (Motivasi)
Motivasi erat kaitannya dengan dorongan atau hasrat yang paling
dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu
mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan
untuk menghadapi kegagalan dan rasa frustasi.33
Motivasi juga diartikan sebagai satu variabel yang digunakan
untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu yang dapat membangkitkan,
mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku menuju satu
sasaran.34 Sebagaimana yang dinyatakan oleh Winkel bahwa motivasi
adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu. Maksud dari
motif itu adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan
kegiatan tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan.35
Di samping itu motivasi juga berperan besar untuk memberikan
spirit (semangat) baru kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang
baik dan bermanfaat. Hal ini dikarenakan adanya semangat tersebut
mengandung suatu harapan serta sikap optimisme yang tinggi dengan
begitu seseorang akan memiliki kekuatan untuk melakukan aktifitas
tertentu dengan antusiasme. Semakin tinggi motivasi seseorang maka
33 Harold Koontz dan Heinz Weihrich, Management(McGraw Hill: Kogaguska, 1980), 115. 34 James P. Chaplin, Dictionary of Psychology (Kamus Lengkap Psikologi) terj. Kartini Kartono (Jakarta: Rajwali, 1999), 310. 35 W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran (Jakarta: Gramedia, 1996), 151.
42
semakin tinggi pula intensitas tindakannya baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
Unsur-unsur motivasi ini meliputi, pertama, achievement drive
(dorongan prestasi) yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik untuk
meraih sebuah keberhasilan. Kedua, commitment (komitmen) yaitu
mampu memiliki prinsip yang kokoh. Ketiga, initiative (inisiatif) yaitu
mampu membaca peluang dan mendayagunakan kesempatan yang ada.
Keempat, optimism (optimisme) yaitu mempunyai sikap yang gigih
dalam berjuang kendati ada halangan dan juga kegagalan.
4. Empathy (Empati)
Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain. Orang yang memiliki empati mampu memahami
perspektif orang lain, sehingga dapat menumbuhkan hubungan saling
percaya dan menyelaraskan diri dengan banyak orang.
Istilah empati seringkali dikaitkan dengan simpati. Perbedaan
kedua istilah tersebut terletak pada intensitasnya. Hude mengutip
pendapat Baron dan Byrne tentang empati, “When you are simply aware
of another person’s problem you may feel sympathy, when you attempt
to understand that person’s sujective experience, empathy occurs” 36Jika
seseorang sekedar mencoba ingin mengetahui apa yang dialami orang
36 M. Darwis Hude, Emosi Penjelajahan Religio-Psikologi tentang Emosi Manusia di dalam al Quran..., 274. ; Robert Baron dan Donn Byrne, Social Psychology: Understanding Human Interaction, (Boston: Allyn and Bacon Inc, 1991), 277.
43
lain, maka pada intensitas ini, seseorang telah memiliki simpati. Namun
jika mencoba untuk dapat memahaminya lebih jauh menurut cara
pandang orang lain maka itulah yang dinamakan empati.
Kesadaran merupakan pangkal dari timbulnya empati, kesadaran
pula yang membedakan antara empati dan emotional contagiao
(penularan emosi). Dengan adanya kesadaran berempati seseorang
mampu menggali pengalaman serta bagaimana mereduksi gejolak emosi
tatkala peristiwa yang sama terjadi pada dirinya. Upaya menghayati apa
yang dialami oleh orang lain akan memperkaya kognisi terhadap berbagai
hal yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Sikap empati mampu
melahirkan ketulusan untuk menolong orang lain. Hal ini sebagaimana
yang dikatakan oleh J. Fultz “it is important to note that those high in
empathy are helpfuleven if no one knows about their action”37bahwa
kepemilikan rasa empati yang tinggi mampu melahirkan sikap yang tulus
pada orang lain meskipun orang lain tidak melihat tindakan orang
tersebut.
Unsur-unsur yang meliputi empati diantaranya : pertama,
understanding others (memahami orang lain) yaitu mengindra perasaan
orang lain serta menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
Kedua, developing others (mengembangkan orang lain) yaitu mampu
merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha
menumbuhkan kemampuan mereka. Ketiga, service oriented (orientasi
37 Ibid., 275.
44
pelayanan) yaitu upaya untuk mengantisipasi, mengenali serta membantu
untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Keempat, leveraging diversity
(memanfaatkan keragaman) yaitu menumbuhkan peluang dari
lingkuangan yang ada. Kelima, political awareness (kesadaran politis)
yaitu mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok serta
hubungannya dengan perasaan.
5. Social Skills (Ketrampilan sosial)
Social Skills merupakan ketrampilan untuk membina hubungan
dengan orang lain. Seseorang yang memiliki ketrampilan sosial akan
mampu menangani emosi secara baik ketika menjalin hubungan dengan
orang lain. Di samping itu ia pun dapat berinteraksi secara lancar dan
mampu berperan aktif dalam bekerja sama, bermusyawarah serta
menyelesaikan perselisihan.
Term social skills pada mulanya dikemukakan oleh Psikolog
terkemuka E.L. Thorndike pada tahun 1920-an melalui salah satu
artikelnya di Harpers Magazine yang menyatakan bahwa salah satu aspek
kecerdasan emosi adalah kecerdasan sosial yaitu kemampuan untuk
memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan
antar sesama.38
38 Daniel Goleman, Social Intelligence: Ilmu Baru tentang Hubungan Antar-Manusia, terj. Hariono S. Imam (Jakarta: Gramedia, 2007), 44. Lihat juga Daniel Goleman, Emotional Intelligence ..., 56.
45
Dalam kecerdasan sosial juga terdapat social consciousness
(kesadaran sosial), yaitu sebuah kesadaran yang merujuk pada spektrum
yang beragam, mulai dari yang sederhana seperti merasakan keadaan
batiniah orang lain hingga memahami perasaan serta pikiran orang lain
untuk mendapatkan social situation (situasi sosial).39Secara sederhana
kesadaran sosial adalah kesadaran yang terkait dengan hubungan
seseorang dengan kelompok sosialnya.
Disamping adanya kesadaran sosial dalam kecerdasan sosial, juga
terdapat social facilitation (fasilitas sosial) yaitu apa yang kemudian
dapat dilakukan dengan adanya kesadaran sosial. Spektrum fasilitas
sosial meliputi sinkronisasi, presentasi diri, pengaruh serta kepedulian.
Sebagaimana yang dikutip Toto Tasmara,40David Coleman
memberikan beberapa karakteristik kecerdasan emosisehubungan dengan
social skill diantaranya meliputi: pertama, influence (pengaruh),
memiliki taktik untuk melakukan persuasi. Kedua, communication
(komunikasi), mampu mengirim pesan secara jelas dan meyakinkan.
Ketiga, conflict management (manajemen konflik), mampu melakukan
negosisasi dan pemecahan silang pendapat. Keempat, leadership
(kepemimpinan), mampu membangkitkan inspirasi dalam memandu
kelompok dan juga orang lain. Kelima, change catalyst (ketalisator
39Social Situation merupakan lingkungan sosial, yakni suatu pola stimulus yang menuntut adanya tanggapan. Lihat, James Drever, Kamus Psikologi ..., 449. Situasi Sosial tersebut meliputi empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik serta pengertian sosial. Lihat, Daniel Goleman, Social Intelligence ..., 111. 40 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah (Transendental Intelligence), (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 229.
46
perubahan) menjadi pencetus perubahan. Keenam, building bonds
(membangun hubungan), mampu menumbuhkan hubungan yang
membawa manfaat satu sama lain. Ketujuh, collaborationand
cooperation (kerja sama) mampu menjalin kerja sama dengan orang lain
demi menggapai tujuan bersama. Kedelapan, team capabilities
(kemampuan tim) yaitu mampu menciptakan kekompakan dalam
kelompok.