bab ii tinjauan umum tentang kecerdasan emosi a ...digilib.uinsby.ac.id/1034/4/bab 2.pdf · yang...

23
24 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECERDASAN EMOSI A. Universalitas Emosi Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa melakukan proses interaksi baik terkait dengan diri maupun dengan lingkungannya. Adanya proses interaksi tersebut tidak jarang manusia mengalami beragam rasa sebagai efek dari interaksi tersebut. Pada suatu saat manusia dapat dipastikan pernah mengalami kondisi marah ketika mendapat perlakuan orang yang dinilainya tidak adil. Pada saat yang lain ia merasa bahagia, tentram serta merasa puas atas kondisinya tatkala keberuntungan sedang memihak pada dirinya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan ini, sekaligus menjadi fakta bahwa manusia mengalami berbagai macam peristiwa yang melibatkan emosi. Deretan peristiwa-peristiwa yang ada baik itu rasa senang atau sedih sangat mempengaruhi kualitas diri seseorang dalam memandang kehidupan. Dengan demikian ada ‘warna’ yang berbeda dalam menjalani kehidupan. Aneka ekspresi dalam merespon berbagai situasi yang dialami manusia sejatinya memperkaya makna kehidupan itu sendiri. Namun, memuncaknya emosi yang tidak terkendali akan memunculkan masalah baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Upload: trinhbao

Post on 06-Jun-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

24

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KECERDASAN EMOSI

A. Universalitas Emosi

Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa melakukan proses

interaksi baik terkait dengan diri maupun dengan lingkungannya. Adanya

proses interaksi tersebut tidak jarang manusia mengalami beragam rasa

sebagai efek dari interaksi tersebut. Pada suatu saat manusia dapat dipastikan

pernah mengalami kondisi marah ketika mendapat perlakuan orang yang

dinilainya tidak adil. Pada saat yang lain ia merasa bahagia, tentram serta

merasa puas atas kondisinya tatkala keberuntungan sedang memihak pada

dirinya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam

kehidupan ini, sekaligus menjadi fakta bahwa manusia mengalami berbagai

macam peristiwa yang melibatkan emosi.

Deretan peristiwa-peristiwa yang ada baik itu rasa senang atau sedih

sangat mempengaruhi kualitas diri seseorang dalam memandang kehidupan.

Dengan demikian ada ‘warna’ yang berbeda dalam menjalani kehidupan.

Aneka ekspresi dalam merespon berbagai situasi yang dialami manusia

sejatinya memperkaya makna kehidupan itu sendiri. Namun, memuncaknya

emosi yang tidak terkendali akan memunculkan masalah baik terhadap diri

sendiri maupun orang lain.

25

Emosi merupakan karunia yang telah Allah berikan kepada manusia,

yang dengannya manusia mampu berekspresi dalam menerima stimulus yang

ada. Emosi memiliki peran tersendiri bagi kehidupan manusia. Sebagaimana

yang diungkapkan oleh Coleman dan Hammen, setidaknya ada beberapa

fungsi emosi dalam kehidupan manusia1 :

1. Emosi berfungsi sebagai pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi

manusia ibarat orang yang tidak sadar atau sama dengan orang mati.

Hidup adalah proses merasa, mengalami, bereaksi serta bertindak. Dengan

adanya emosi manusia dapat membangkitkan dan memobilisasi energi

yang dimilikinya seperti marah menggerakkan manusia untuk menyerang,

takut menggerakkan manusia untuk lari, cinta mendorong manusia untuk

mendekat.

2. Emosi berfungsi sebagai pembawa informasi (messenger). Keadaan diri

sendiri dapat diketahui melalui emosi yang dialami. Saat seseorang sedih

pertanda hilangnya sesuatu yang ia senangi, sebaliknya saat bahagia

berarti memperoleh yang ia senangi atau berhasil menghindari dari hal

yang tidak disukai.

3. Emosi berfungsi sebagai komunikasi intrapersonal dan interpersonal

sekaligus.

Dengan adanya fungsi yang beragam tersebut menunjukkan

dengan jelas bahwa emosi sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Meskipun

demikian keterbangkitan emosi harus tetap terkontrol agar tidak merusak

1M. Darwis Hude, Emosi (Jakarta: Airlangga, 2006), 24.

26

tatanan kehidupan. Demikian pula dengan aspek psikis emosi harus

terkontrol dari kemungkinan adanya ketegangan jiwa. Keberadaan emosi

dapat diibaratkan dengan pisau bermata dua, sisi yang satu memberi

manfaat dalam kehidupan agar bergairah dan bermakna sedang sisi yang

lain berpotensi menimbulkan ketegangan baik dalam diri maupun

kehidupan sosial. Oleh karena itu keberadaan kecerdasan emosi pantas

dimiliki seseorang agar dapat menciptakan keseimbangan kehidupan

dalam mengelola universalitas emosi yang ada.

B. PengertianKecerdasan Emosi

Emotional intelligence atau kecerdasan emosipada mulanya

dimunculkan pada tahun 1990 oleh dua Psikolog Peter Salovey dari Harvard

University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk

menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi

keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Pada perkembangan berikutnya

kecerdasan emotional semakin populer berkat Daniel Goleman melalui salah

satu karyanya yang berjudul Emotional Intelligence : Why It Can Matter

More than IQ.2

Istilah emotional intelligencemenurut etimologi, merupakan

gabungan dariduasuku kata, yakni emotional dan intelligence. Kata

emotiondalamCambridge Dictionary mengandung makna,strong feeling in

general such as love and anger (secara umum emosi dapat diartikan perasaan

2 Peter Salovey et al, Emotional Intelligence (USA: Quality Books, 2007),

27

yang sangat kuat, sebagai contohnya adalah rasa cinta dan marah), sedang

emotional memiliki arti relating to emotion, showing strong feeling, person

(emotional merupakan kata sifat dari emosi yang mengandung makna

sesuatu yang berhubungan dengan emosi serta dapat diartikan dengan diri).3

Kata emotion juga memiliki beragam derivasi dari berbagai bahasa,

seperti emouvoir (bahasa perancis) yang berarti kegembiraan,

movere/emovere (bahasa latin) yang berarti luar dan juga bermakna

gerak.Kata moveremendapat imbuhan ‘e’ untuk memberi makna bergerak

menjauh.4Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak adalah

hal yang mutlak dalam emosi. Oleh karena itu emosi disebut motus anima

yaitu jiwa yang menggerakkan.5

Salovey dan Mayer mendefinisikan emosi sebagai respon

terorganisasi, termasuk sistem fisiologis yang melewati berbagai batas sub

sistem psikologis seperti: kognisi, motivasi dan pengalaman.6 Emosi

merupakan respon terhadap stimulus yang diperoleh baik dari dalam diri

maupun lingkungan. Emosi sebagai bagian dari psikologis manusia memiliki

ciri-ciri : bersifat subyektif, fluktuatif dan banyak bersangkut paut dengan

pengenalan panca indera.

3 Cambridge University, Cambridge Dictionary (London: Cambridge University Press, 2008), 246. 4 Daniel Goleman, Emotional Intelligence(Kecerdasan emosi Mengapa Lebih Penting daripada IQ) terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 7. 5 Abdul Syukur, Beragam Cara Terapi Gangguan Emosi (Yogyakarta: DIVA Press, 2011), 11. 6 Tekad Wahyono, “Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik” dalam Anima Indonesian Psikological Vol.17 No.1 (Surabaya: Wangsa Manggala, 2001), 37.

28

Sedangkan Daniel Goleman mendefinisikan emosi dengan perasaan

dan pikiran-pikiran khasnya. Emosi merupakan suatu keadaan biologis,

psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi juga

dapat diartikan dengan reaksi kompleks dalam diri beserta segala perubahan

yang mendalam dan diikuti dengan feeling (perasaan) yang kuat.

Keberadaan emosi seringkali dibangkitkan oleh motivasi, sehingga

antara emosi dan motivasi terjadi hubungan yang interaktif.7 Dari beberapa

definisi yang telah disebutkan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa emosi

merupakan afek (perasaan) yang mendorong individu untuk merespon atau

bertingkah laku terhadap stimulus baik yang berasal dari dalam diri atau dari

lingkungannya.

Sementara kata kecerdasan, dalam bahasa Inggris disebut

intelligenceyang memiliki arti being able to think, learn and understand

quickly and well,8yakni kemampuan berfikir dan memahami secara cepat dan

akurat. Dalam istilah Psychology,intelligence mencakup kemampuan berpikir

secara abstrak serta kemampuan untuk merespon secara baik terhadap fakta

yang ada.9Sebagaimana yang dikutip Casmini, Wechsler mendefinisikan

intelligence sebagai, “the aggregate or global capasity of individual to act

purposefully, to think rationally and to deal effectivelly with his

7 J.P. Chaplin, Dictionary of Psycology ter. Kartini (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 253. 8 Alison Waters, Oxford Essential Dictionary (New York: Oxford Universiy Press, 2009), 213. 9 Andrew M. Colman, A Dictionary of Psychology (New York: Oxford University Press, 2003), 371.

29

environtment” 10(kecakapan menyeluruh yang dimiliki individu untuk

melakukan suatu maksud dengan tujuan yang jelas dan mampu berpikir

secara rasional serta beradaptasi dengan lingkungannya secara efektif).

Dalam bahasa Arab kecerdasan disebut al-dhaka> yang mengandung

arti pemahaman, kecepatan dan kesempurnaan sesuatu. Ia juga bermakna al-

qudrah atau kemampuan memahami sesuatu secara cepat dan sempurna.

Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibn Sina menyebut kecerdasan

sebagai al-hads(kekuatan intuitif).11 Sedangkan menurut Derk, kecerdasan

adalah kemampuan memproses informasi dan memecahkan masalah.

Sebagaimana yang dikutip oleh Crow, William Sterm memberikan

pengertian yang lebih luas berkenaan dengan kecerdasan. Ia mengemukakan

bahwa intelegensi berarti kapasitas umum dari seorang individu yang dapat

dilihat pada kesanggupan dalam mengatasi tuntutan kebutuhan, keadaan

ruhaniah dalam ruang lingkup kehidupan.12 Berkenaan dengan pengertian

tersebut dapat dipahami bahwa kecerdasan tidak hanya menyangkut dunia

akademik, namun lebih luas, menyangkut hal-hal yang di luar akademik baik

itu meliputi masalah jiwa dan juga tingkah laku sosial.

Sedangkan menurut terminologi, ada beragam definisi yang diberikan

oleh para pakar, berkenaan dengan kecerdasan emosi diantaranya;John

Mayer dan Peter Salovey mengungkapkan, kecerdasan emosi sebagai

10 Casmini, Emotional Parenting: Dasar-dasar Pengasuhan Kecerdasan Emosi Anak (Yogyakarta: Idea, 2007), 14. 11 Yusuf Murad, Maba>di’ ‘Ilm al-Nafs al-‘A>m (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th.), 318. 12 Lester D. Crow dan Alice Crow, Educational Psychologyterj. Z. Kasijan (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), 205.

30

kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan juga

orang lain, serta menggunakan perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan

tindakan.13

Senada dengan definisi tersebut, Steiner mendefinisikankecerdasan

emosi sebagai suatu kemampuan yang dapat memahami emosi diri sendiri

dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi tersebut terekspresikan

untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. Kekuatan

pribadi tersebut disamakan dengan tact(kebijaksanaan) yaitu ketrampilan

dalam berkata serta bertindak secara tepat dan bijaksana.14

Patton juga mengemukakan kecerdasan emosi sebagai kemampuan

untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan dan

membangun hubungan yang produktif untuk meraih suatu keberhasilan.

Sedangkan Reuven Bar-On salah satu ahli Psikologi, mendefinisikan

kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial

yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi

tututan dan tekanan lingkungan.15Menurutnya kecerdasan emosi merupakan

kumpulan kecakapan seperti optimisme, fleksibiltas, menangani stres dan

juga sikap dalam berhubungan dengan orang lain.16

13 Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak terj. Alex Tri Kantjono (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), 8. Lihat juga, Ary Ginanjar Agustian, ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), 387. 14 James Drever, Kamus Psikologi terj. Nacy Simanjutak (Jakarta: Bina Aksara, 1988), 449. 15Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 180. 16 Jeanne Anne, Bukan Seberapa Cerdas Diri Anda Tetapi Bagaimana Anda Cerdas, (Batam: Interaksar, 2004), 18.

31

Sementara Cooper dan Sawaf mengatakan bahwa kecerdasan

emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif

menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh

yang manusiawi.17 Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk

belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta

menanggapinya dengan tepat untuk diterapkan secara efektif dalam

kehidupan sehari-hari.

Menurut Davies sebagaimana yang dikutip oleh Satiadarma

kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan

emosi diri serta orang lain dan mampu mendayagunakan emosi tersebut

untuk menuntun dalam berfikir dan juga bertindak.18Pengertian tersebut

sebagaimana yang tertera dalam A Dictionary of Psychologi yang

mendefinisikan dengan, “the ability to perceive, appraise and express

emotion accurately and the ability to comprehend emotional message and to

make use of emotional information”19bahwa kecerdasan emosi adalah

kemampuan merasakan, menilai serta mengekspresikan berbagai emosi

secara tepat serta mampu menggunakan pesan-pesan emosi secara tepat.

Daniel Goleman sendiri memberikan definisi kecerdasan emosi

sebagai“ emotional intelligence refers to the capacity for recognising our

own feelings and those of others, for motivating ourselves, and for managing

17 Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ : Kecerdasan emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1998), 2. 18 Satiadarma dan Waruru, Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi Orang tua dan Guru dalam Mendidik Anak yang Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), 27. 19 Andrew M. Colman, A Dictionary of Psychology..., 687.

32

emotions well in ourselves and in our relationships.” 20 bahwa manusia

dikatakan memiliki kecerdasan emosi, bilamana memiliki beberapa aspek

yang melekat pada dirinya, meliputi kesadaran diri, manajemen emosi,

motivasi, empati, dan mengatur hubungan dengan orang lain. Ciri utama

kecerdasan ini adalah respon yang cepat namun tidak ceroboh serta

mendahulukan perasaan dari pada pemikiran.

Berpijak dari makna bahasa serta beberapa pendapat tokoh di atas

dapat diambil pengertian bahwa kecerdasan emosi (emotional intelligence)

adalah sebuah kecerdasan tersendiri meliputi kecakapan mengelola emosi

dengan penuh kesadaran jiwa yang ada dalam diri (intrapersonal) serta

kesadaran berkenaan dengan emosi orang lain(interpersonal)sebagai acuan

untuk dapat berfikir dan bertindak terhadap stimulus yang ada.

Berbeda dengan pemahaman tentang emosi pada umumnya yang

cenderung lebih mengarah pada makna emosi yang sifatnya negatif,

pengertian emosi dalam lingkupkecerdasan emosional lebih mengarah pada

kemampuan yang bersifat positif. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan

oleh Cooper, bahwa kecerdasan emosi memungkinkanindividu untuk dapat

merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan

daya dan kepekaan emosinya sebagai energi positif untuk berfikir serta

bertindak. Sebaliknya bila individu tidak memiliki kematangan emosi maka

akan sulit mengelola emosinya secara baik, akibatnya individu semacam ini

tidak akan mampu beradaptasi terhadap perubahan.Secara sederhana

20 Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, (London: Bloomsbury Publishing, 1998), 22.

33

kecerdasan emosi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengendalikan

emosi serta mengarahkan pada hal-hal yang positif.

C. Diferensiasi antaraIntelligence Quotient (IQ) dan Kecerdasan Emosi

Munculnya karya Daniel Goleman, Emotional Intelligence : Why It

Can Matter More than IQ pada tahun 1995, telah membangkitkan minat

yang sangat besar mengenai peran kecerdasan emosi dalam kehidupan

manusia. DevelopmentResearch (penelitian pengembangan) terhadap teori

para pakar emosi sebelumnya yang dilakukan Goleman berkenaan dengan

fungsi psikologis serta kecakapan antar pribadi telah menghasilkan teori

kecerdasan baru yakni emotional intelligence (kecerdasan emosi). Penemuan

tersebut seolah menggeser intelligence quotient (IQ) yang selama ini

menjadi tolak ukur dari kecerdasan manusia.

Selama bertahun-tahun (sejak perang Dunia I hingga abad XX)

Kecerdasan Intelegensi (IQ) telah diyakini menjadi ukuran standar

kecerdasan. IQ kemudian menjadi satu-satunya alat untuk mengukur

kesuksesan seseorang dalam meniti karier kehidupan.

Seseorang yang memiliki IQ tinggi pada umumnya akan dinobatkan

sebagai orang yang cerdas dan brilian, sebaliknya seseorang yang memiliki

IQ rendah dapat dipastikan termasuk golongan individu yang bodoh. Citra

yang demikian ini terjadi dikarenakan IQ masih menjadi ‘raja’ sebagai tolak

ukur kecerdasan. Cerdas tidaknya seseorang dapat diukur melalui parameter

34

tes IQ yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT) yakni

semacam Tes Potensi Akademik.

Tes SAT ini memiliki kekhasan tersendiri, sebagaimana disimpulkan

oleh Gardner yang menyatakan tes tersebut membentuk cara berpikir IQ.

Kekhasan berpikir IQ ini terutama terletak pada pemikiran rasional dan logis

sehingga IQ menjadi fakultas rasional manusia.21 Sehingga dapat dikatakan

cerdas tidaknya otak seseorang sepertinya sudah taken for granted (diterima

apa adanya). Hal ini sebagaimana yang dilukiskan oleh Roshni Datta yang

menyatakan, “Thus, the possibility of potential success of these people were

thought to be genetically pre-determined through their scores in the IQ test

as intelligence was largely held to be genetically determined characteristic

rather than something shaped by socio-cultural environments and

evolutionary process.”22

Jadi, kemungkinan keberhasilan yang potensial dari orang-orang yang

ber-IQ tinggi dianggap telah ditentukan sejak awal secara genetik, serta

dapat diketahui melalui skor mereka dalam tes IQ. Kecerdasan ini lebih luas

juga dipahami sebagai karakter yang ditentukan secara genetik dari sesuatu

yang dibentuk oleh lingkungan sosio-kultur serta proses yang bersifat

evolusi.

21 Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasan Spiritual, Mengapa SQ Lebih Penting dari pada IQ dan EQ (Jakarta: Gramedia, 2002), 38. 22 Roshni Datta, “The Spiritual Secret of Success” dalam http://www.indiainfoline.com/bisc/imtart29.html diakses tanggal 29 Juni 2013.

35

Sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba

kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan dan sekaligus

menggugah perhatian di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan

bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat

kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Di antara tokoh yang interest

(menaruh perhatian) untuk menggali potensi manusia itu adalah Daniel

Goleman yang banyak berkecimpung dalam bidang Neurosains dan

Psikologi. Pada akhirnya Goleman mampu meruntuhkan legenda tentang IQ

yang bertahta selama betahun-tahun melalui temuan yang ia sebut sebagai

emotional intelligence (kecerdasan emosi), yaitu sebuah kecerdasan yang

lebih menekankan pada penguasaan serta pengendalian diri (nafsu) dan

emosidan kecerdasan ini berbanding terbalik dengan IQ yang cenderung pada

tataran rasional.

Hasil penelitian panjang Goleman membuktikan bahwa banyak sekali

individu yang memiliki IQ tinggi justru banyak menuai kegagalan dalam

realitas sosialnya. Kegagalan tersebut diakibatkan karena individu yang

memiliki IQ tinggi tidak mampu mengatur emosi serta ketidak-sabaran

dalam mengatasi berbagai peristiwa dalam kehidupan. IQ yang dimiliki

individu tersebuttidak mampu mengontrol ledakan emosi yang meletup

sehingga daya berpikirnyamenjadi redup. Hal ini membawa dampak negatif,

yang pada akhirnya menutup nalar intelektualnya. Keadaan demikian ini

berakibat pada kelabilan, sehingga tidak dapat berpikir secara rasional dan

objektif.Faktor inilah yang sering kali menjadikan seseorang mengalami split

36

personality (kepribadian yang terbelah), karena tidak ada kesimbangan

antara intelektual dan emosi.

Kondisi ketidak stabilan emosi seseorang menurut Sayid Mujtaba

Musawi mampu membutakan pikiran manusia serta dapat menurunkan

derajat kemanusiaan, sehingga memungkinkan melakukan kejahatan dalam

realitas kehidupannya.23

Akibat nalar intelektualnya yang tidak dapat bekerja secara normal

disebabkan emosi yang tidak stabil, maka seringkali keputusan yang diambil

pun cenderung tidak rasional dan apologetik, sehingga tidak bisa berinteraksi

dan berkomunikasi dengan orang lain secara baik, bijak serta harmonis. Hal

ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Cooper bahwa kecerdasan emosilah

yang menjadi pendukung dalam pengambilan keputusan yang baik bukan IQ

atau kecerdasan otak semata.24

Kenyataan tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Goleman yang

menyimpulkan bahwa peran IQ dalam kehidupan seseorang hanya berkisar

20%25 selebihnya adalah potensi lainnya yang diantaranya adalah kecerdasan

dalam mengelola emosi diri. Senada dengan Goleman, Howard Gardner juga

memberikan pernyataan bahwa untuk meraih kesuksesan dalam hidup

diperlukan kecerdasan lain selain kecerdasan intelektual (IQ) karena potensi

kecerdasan manusia tidak hanya pada IQ melainkan masih memiliki beragam

kecerdasan bagi setia individu, ragam kecerdasan ini dalam teorinya Howard

23 Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Youth and Morals terj. M. Hashem (Jakarta: Lentera, 1998), 125. 24Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan emosi.., 13. 25Daniel Goleman, Emotional Intelligence(Kecerdasan emosi Mengapa Lebih Penting daripada IQ)..., 44.

37

Gardner disebut sebagai multiple intelligence (kecerdasan

majemuk).26Kenyataan tersebut juga sesuaidengan adanya statementyang

menjelaskan bahwa status akhir seseorang dalam masyarakat pada

umumnya ditentukan oleh faktor-faktor bukan IQ melainkan relasi sosial.27

Goleman juga menyimpulkan bahwa IQ saja tidak cukup dalam

menggapai kesuksesan hidup, karena masih ada elemen lain yang dibutuhkan

individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya, yaituemotional

intelligence (kecerdasan emosi), sebagaimana pernyataannya “emotional

intelligence was a basic requirement for the use of IQ. If the areas of our

brain that feel damaged, our abilitty to think effectively is diminished”

(kecerdasan emosi merupakan syarat utama untuk bisa memfungsikan IQ,

karenapada IQ jika ada bagian otak yang rusak maka kemampuan berpikir

secara efektif pun juga akan berkurang).28

Dari pernyataan Goleman di atas, dapat dipahami bahwa kecerdasan

emosi mampu melengkapi kelemahan pada IQ. Kecerdasan emosi mampu

membantu seseorang untuk menciptakan asosiasi antar berbagai hal yang

dialami dalam kehidupannya. Hal inilah yang memaksimalkan fungsi IQ

secara lebih efektif dan maksimal bagi berlangsungnya hubungan dan

komunikasi interpersonal.

26 Tim Sparrow dan Amanda Knight, Applied EI The Importance of Attitudes in Developing Emotional Intelligence (England: Jossey-Bass, 2006), 13-14. 27 Arief Rachman, “Dengan Emotional Intelligence Meningkatkan Pendidikan” dalam Menyinari Relung-relung Ruhani, Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi, editor Cecep Ramli Bihan Anwar, (Jakarta: Hikmah, 2002), 156. 28 Gerald Mattews, Emotional Intelligence Science and Myth (London: Cambridge, 2002), 7.

38

Walaupun demikian,Goleman memandang kecerdasan emosi

memiliki peran lebih besar terhadap kesuksesan seseorang, sebagaimana ia

memberikan sebuah kesimpulan akhir terkait diferensiasi antara IQ dan

kecerdasan emosi melalui pernyataannya “a person’s emotional intelligence

is a better predictor of future success than a person’s intelligence

quotient”29(kecerdasan emosi seseorang merupakan indikasi yang lebih baik

untuk kesuksesan di masa depan daripada IQ seseorang).

D. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki

tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut

memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding

orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus seseorang yang memiliki

tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang

memiliki tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ

(Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih

kesuksesan.

Daniel Goleman, salah seorang pakar psikologi dari Universitas

Harvard menjelaskan bahwa ada standar lain yang menentukan tingkat

kesuksesan seseorang. Dalam salah satu karya-tulisnya yang berjudul

emotional intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia

29 Mark Sichel, “What is Spiritual Intelligence” dalam www.webtrendlive.com/redrect.asp/siteID=4634 diakses pada tanggal 29 Juni 2013.

39

lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.30Aspek-aspek

emotional intelligence meliputi :

1. Self Awareness(Kesadaran Diri)

Kesadaran diri menjadi bagian penting dalam kecerdasan emosi.

Maksud dari kesadaran diri ini mencakup kemampuan mengetahui serta

memahami apa yang sedang dirasakan dan mampu menggunakan

kemampuan tersebut untuk memandu dalam pengambilan keputusan diri

sendiri, di samping itu juga memiliki tolak ukur tersendiri yang realistis

terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga membangkitkan

kepercayaan diri yang kuat.

Kesadaran terhadap emosi merupakan kemampuan mendasar dari

emotional intelligence, para ahli Psikologi menyebut kesadaran diri ini

sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang terhadap emosinya

sendiri. Menurut Mayer kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana

hati dan juga pikiran. Kesadaran ini memang belum menjamin

penguasaan emosi, namun hal ini menjadi prasyarat dalam memiliki

kecerdasan emosi.31

Unsur-unsur yang terkandung dalam kesadaran diri ini meliputi :

pertama, emotional awareness(kesadaran emosional) yaitu mampu

mengenali emosi diri beserta efeknya. Kedua, accurate self

awareness(penilaian diri secara teliti) yaitu mengetahui kekuatan dan

30 Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, (Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 2005), 64. 31 Ibid.

40

batas-batas diri sendiri. Ketiga, self confidence(percaya diri) yakni

keyakinan tentang kemampuan diri dan harga diri (self estem).

2. Self Regulation (Pengaturan Diri)

Pengaturan diri berkaitan dengan upaya menangani emosi diri

sehingga berdampak positif dalam pelaksanaan tugas, peka terhadap kata

hati dan mampu menahan hal-hal yang menyenangkan sebelum

tercapainya suatu sasaran serta mudah untuk bangkit dari tekanan emosi

negatif.

Dalam pengaturan diri terdapat kecakapan untuk menangani

perasaan agar tetap selaras sehingga tercapai keseimbangan emosi dalam

diri individu. Kemampuan ini mencakup upaya dalam menghibur diri,

melepas kecemasan, kemurungan serta kemampuan untuk bangkit dari

keterpurukan.32

Unsur-unsur pengaturan diri meliputi : pertama, self control

(kendali diri), yaitu mampu mengelola perasaan serta desakan-desakan

nafsu yang merusak. Kedua, trustworthiness (sifat dapat dipercaya),

yaitu mampu memelihara norma kejujuran serta memiliki integritas yang

tinggi. Ketiga, conscientiousness (kehati-hatian), yaitu bertanggung

jawab terhadap kinerja pribadi. Keempat, adaptability(adaptasi), yaitu

keluwesan dalam mengalami perubahan. Sedang yang kelima, innovation

32 Ibid., 42.

41

(inovasi), yaitu mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan,

pendekatan serta informasi baru.

3. Motivation (Motivasi)

Motivasi erat kaitannya dengan dorongan atau hasrat yang paling

dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu

mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan

untuk menghadapi kegagalan dan rasa frustasi.33

Motivasi juga diartikan sebagai satu variabel yang digunakan

untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu yang dapat membangkitkan,

mengelola, mempertahankan dan menyalurkan tingkah laku menuju satu

sasaran.34 Sebagaimana yang dinyatakan oleh Winkel bahwa motivasi

adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu. Maksud dari

motif itu adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan

kegiatan tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan.35

Di samping itu motivasi juga berperan besar untuk memberikan

spirit (semangat) baru kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang

baik dan bermanfaat. Hal ini dikarenakan adanya semangat tersebut

mengandung suatu harapan serta sikap optimisme yang tinggi dengan

begitu seseorang akan memiliki kekuatan untuk melakukan aktifitas

tertentu dengan antusiasme. Semakin tinggi motivasi seseorang maka

33 Harold Koontz dan Heinz Weihrich, Management(McGraw Hill: Kogaguska, 1980), 115. 34 James P. Chaplin, Dictionary of Psychology (Kamus Lengkap Psikologi) terj. Kartini Kartono (Jakarta: Rajwali, 1999), 310. 35 W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran (Jakarta: Gramedia, 1996), 151.

42

semakin tinggi pula intensitas tindakannya baik secara kuantitatif

maupun kualitatif.

Unsur-unsur motivasi ini meliputi, pertama, achievement drive

(dorongan prestasi) yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik untuk

meraih sebuah keberhasilan. Kedua, commitment (komitmen) yaitu

mampu memiliki prinsip yang kokoh. Ketiga, initiative (inisiatif) yaitu

mampu membaca peluang dan mendayagunakan kesempatan yang ada.

Keempat, optimism (optimisme) yaitu mempunyai sikap yang gigih

dalam berjuang kendati ada halangan dan juga kegagalan.

4. Empathy (Empati)

Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan

oleh orang lain. Orang yang memiliki empati mampu memahami

perspektif orang lain, sehingga dapat menumbuhkan hubungan saling

percaya dan menyelaraskan diri dengan banyak orang.

Istilah empati seringkali dikaitkan dengan simpati. Perbedaan

kedua istilah tersebut terletak pada intensitasnya. Hude mengutip

pendapat Baron dan Byrne tentang empati, “When you are simply aware

of another person’s problem you may feel sympathy, when you attempt

to understand that person’s sujective experience, empathy occurs” 36Jika

seseorang sekedar mencoba ingin mengetahui apa yang dialami orang

36 M. Darwis Hude, Emosi Penjelajahan Religio-Psikologi tentang Emosi Manusia di dalam al Quran..., 274. ; Robert Baron dan Donn Byrne, Social Psychology: Understanding Human Interaction, (Boston: Allyn and Bacon Inc, 1991), 277.

43

lain, maka pada intensitas ini, seseorang telah memiliki simpati. Namun

jika mencoba untuk dapat memahaminya lebih jauh menurut cara

pandang orang lain maka itulah yang dinamakan empati.

Kesadaran merupakan pangkal dari timbulnya empati, kesadaran

pula yang membedakan antara empati dan emotional contagiao

(penularan emosi). Dengan adanya kesadaran berempati seseorang

mampu menggali pengalaman serta bagaimana mereduksi gejolak emosi

tatkala peristiwa yang sama terjadi pada dirinya. Upaya menghayati apa

yang dialami oleh orang lain akan memperkaya kognisi terhadap berbagai

hal yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Sikap empati mampu

melahirkan ketulusan untuk menolong orang lain. Hal ini sebagaimana

yang dikatakan oleh J. Fultz “it is important to note that those high in

empathy are helpfuleven if no one knows about their action”37bahwa

kepemilikan rasa empati yang tinggi mampu melahirkan sikap yang tulus

pada orang lain meskipun orang lain tidak melihat tindakan orang

tersebut.

Unsur-unsur yang meliputi empati diantaranya : pertama,

understanding others (memahami orang lain) yaitu mengindra perasaan

orang lain serta menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.

Kedua, developing others (mengembangkan orang lain) yaitu mampu

merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha

menumbuhkan kemampuan mereka. Ketiga, service oriented (orientasi

37 Ibid., 275.

44

pelayanan) yaitu upaya untuk mengantisipasi, mengenali serta membantu

untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Keempat, leveraging diversity

(memanfaatkan keragaman) yaitu menumbuhkan peluang dari

lingkuangan yang ada. Kelima, political awareness (kesadaran politis)

yaitu mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok serta

hubungannya dengan perasaan.

5. Social Skills (Ketrampilan sosial)

Social Skills merupakan ketrampilan untuk membina hubungan

dengan orang lain. Seseorang yang memiliki ketrampilan sosial akan

mampu menangani emosi secara baik ketika menjalin hubungan dengan

orang lain. Di samping itu ia pun dapat berinteraksi secara lancar dan

mampu berperan aktif dalam bekerja sama, bermusyawarah serta

menyelesaikan perselisihan.

Term social skills pada mulanya dikemukakan oleh Psikolog

terkemuka E.L. Thorndike pada tahun 1920-an melalui salah satu

artikelnya di Harpers Magazine yang menyatakan bahwa salah satu aspek

kecerdasan emosi adalah kecerdasan sosial yaitu kemampuan untuk

memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan

antar sesama.38

38 Daniel Goleman, Social Intelligence: Ilmu Baru tentang Hubungan Antar-Manusia, terj. Hariono S. Imam (Jakarta: Gramedia, 2007), 44. Lihat juga Daniel Goleman, Emotional Intelligence ..., 56.

45

Dalam kecerdasan sosial juga terdapat social consciousness

(kesadaran sosial), yaitu sebuah kesadaran yang merujuk pada spektrum

yang beragam, mulai dari yang sederhana seperti merasakan keadaan

batiniah orang lain hingga memahami perasaan serta pikiran orang lain

untuk mendapatkan social situation (situasi sosial).39Secara sederhana

kesadaran sosial adalah kesadaran yang terkait dengan hubungan

seseorang dengan kelompok sosialnya.

Disamping adanya kesadaran sosial dalam kecerdasan sosial, juga

terdapat social facilitation (fasilitas sosial) yaitu apa yang kemudian

dapat dilakukan dengan adanya kesadaran sosial. Spektrum fasilitas

sosial meliputi sinkronisasi, presentasi diri, pengaruh serta kepedulian.

Sebagaimana yang dikutip Toto Tasmara,40David Coleman

memberikan beberapa karakteristik kecerdasan emosisehubungan dengan

social skill diantaranya meliputi: pertama, influence (pengaruh),

memiliki taktik untuk melakukan persuasi. Kedua, communication

(komunikasi), mampu mengirim pesan secara jelas dan meyakinkan.

Ketiga, conflict management (manajemen konflik), mampu melakukan

negosisasi dan pemecahan silang pendapat. Keempat, leadership

(kepemimpinan), mampu membangkitkan inspirasi dalam memandu

kelompok dan juga orang lain. Kelima, change catalyst (ketalisator

39Social Situation merupakan lingkungan sosial, yakni suatu pola stimulus yang menuntut adanya tanggapan. Lihat, James Drever, Kamus Psikologi ..., 449. Situasi Sosial tersebut meliputi empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik serta pengertian sosial. Lihat, Daniel Goleman, Social Intelligence ..., 111. 40 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah (Transendental Intelligence), (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 229.

46

perubahan) menjadi pencetus perubahan. Keenam, building bonds

(membangun hubungan), mampu menumbuhkan hubungan yang

membawa manfaat satu sama lain. Ketujuh, collaborationand

cooperation (kerja sama) mampu menjalin kerja sama dengan orang lain

demi menggapai tujuan bersama. Kedelapan, team capabilities

(kemampuan tim) yaitu mampu menciptakan kekompakan dalam

kelompok.