bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2 new.pdfderet peluruhan dari unsur radionuklida alam ini...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radiasi Alam
Dikatakan sebagai sumber radiasi alam karena sumber-sumber itu sudah ada
sejak alam ini lahir. Secara garis besar, radiasi alam atau sering kali juga disebut
sebagai radiasi latar dapat dikelompokkan menjadi dua bergantung pada asal
sumbernya, yaitu radiasi teresterial (berasal dari permukaan bumi) dan radiasi ekstra
teresterial (berasal dari angkasa luar) (Dewi, 2004).
2.1.1. Radiasi Teresterial
Sumber-sumber radiasi alam yang berada di permukaan bumi berasal dari
bahan-bahan radioaktif alam yang disebut radionuklida primordial. Radionuklida ini
dapat ditemukan dalam lapisan tanah atau batuan, air serta udara (Sofyan, 2004).
Radionuklida primordial terbentuk ketika bumi diciptakan. Beberapa
radionuklida ini memiliki waktu paruh yang sangat panjang, miliaran tahun, dan masih
ada sampai sekarang. Karena radionuklida tidak stabil, maka terjadilah peluruhan,
sehingga muncul berbagai jenis atom. Karena sebagian besar radionuklida alam adalah
unsur yang berat (yang ditemukan di baris kelima atau lebih tinggi dalam tabel
periodik), diperlukan lebih dari satu peluruhan untuk mencapai keadaan yang stabil
(Thormod, 2013).
Deret peluruhan dari unsur radionuklida alam ini dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu :
a. Deret Uranium seperti pada Tabel 2.1, dimulai dari 238U dan berakhir pada timah
hitam (206Pb) yang stabil. Deret ini juga disebut deret (4n + 2) karena nomor
massa dari unsur-unsur radioaktif yang terdapat dalam deret ini habis dibagi 4
dengan sisa 2 (Sofyan, 2004).
5
Tabel 2.1. Radionuklida yang terdapat pada deret Uranium [Sumber : Sofyan, 2004]
b. Deret thorium (Th), mulai dari 232Th dan berakhir pada 208Pb yang stabil.
Disebut juga deret 4n karena nomor massa unsur-unsur radioaktif yang terdapat
dalam deret seperti pada Tabel 2.2, selalu habis dibagi 4 (Sofyan, 2004).
Tabel 2.2. Radionuklida yang terdapat pada deret Thorium [Sumber : Sofyan, 2004]
6
c. Deret aktinium, mulai dari 235U dan berakhir pada 207Pb yang stabil. Deret
seperti pada Tabel 2.3 juga disebut deret (4n+3) karena unsur-unsur radioaktif
anak luruh yang dihasilkannya bernomor massa habis dibagi 4 dengan sisa 3.
Tabel 2.3.Radionuklida yang terdapat pada deret Aktinium [Sumber : Sofyan, 2004]
2.2. Proteksi Radiasi Eksternal
Sumber-sumber radiasi yang berpotensi sebagai sumber radiasi eksternal adalah
sumber radiasi alam, sumber pemancar sinar-β, pesawat sinar-X, sumber pemancar
sinar-γ dan sumber pemancar neutron. Bahaya radiasi dari sumber-sumber eksternal ini
dapat dikendalikan dengan menggunakan tiga prinsip dasar proteksi radiasi, yaitu
pengaturan waktu, pengaturan jarak, dan penggunaan perisai (Akhadi, 2000).
2.2.1.Pengaturan waktu
Seseorang yang berada di dalam medan radiasi akan menerima dosis radiasi yang
besarnya sebanding dengan lamanya seseorang tersebut berada di dalam medan radiasi.
7
Dosis radiasi yang diterima oleh seseorang selama berada di dalam medan radiasi dapat
dirumuskan (Akhadi, 2000).
� = �� . � (2.1)
di mana:
D = dosis akumulasi yang diterima (Sv)
�� = laju dosis serap dalam medan radiasi (Sv/s)
t = lamanya seseorang berada di dalam medan radiasi (s)
Dengan kata lain, makin lama seseorang berada dalam medan radiasi, makin besar dosis
serap yang diterima. Faktor waktu ini memegang peranan dalam hal terjadi kecelakaan
atau keadaan darurat di dalam medan radiasi yang kuat. Agar hal tersebut dapat dicegah
maka pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan tepat serta cermat sekali (Elisa,
2010).
2.2.2. Pengaturan jarak
a) Untuk Sumber Berbentuk Titik
Faktor jarak berkaitan erat dengan fluks (�) radiasi. Fluks radiasi pada suatu titik
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara titik tersebut dengan sumber radiasi.
Untuk mengetahui pengaruh jarak terhadap fluks radiasi, diberikan sumber yang
memancarkan radiasi dengan jumlah pancaran S (radiasi/s). Fluks radiasi didefinisikan
sebagai jumlah radiasi yang menembus luas permukaan (dalam cm2) per satauan waktu
(s) (Akhadi, 2000).
Hubungan jumlah pancaran (S) dengan fluks radiasi (�) pada jarak r dituliskan
sebagai berikut:
� = ��� (2.2)
Dari persamaan 2.2 terlihat bahwa fluks radiasi pada suatu titik berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak titik tersebut terhadap sumber radiasi (Akhadi, 2000).
Laju dosis radiasi berbanding lurus dengan fluks radiasi, sehingga laju dosis pada
suatu titik juga berbanding terbalik dengan kuadrat jarak titik tersebut terhadap sumber.
Namun ketentuan ini hanya berlaku apabila sumber radiasi berbentuk titik dan tidak ada
absorbsi radiasi oleh medium. Dari persamaan (2.2) laju dosis pada suatu titik dapat
dirumuskan dengan (Akhadi, 2000)
8
D � : D�� : D�� = �� :
�� :
��
atau
D � . � � = D�� . ��� = D�� . ��� (2.3)
di mana:
�� = laju dosis serap pada suatu titik (Sv/s)
R = jarak antara titik dengan sumber radiasi (m)
Jika dinyatakan dengan laju dosis ekuivalen (�� ), maka persamaan (2.3) dapat diubah
H � . � � = H�� . ��� = H�� . ��� (2.4)
Di mana
�� = laju dosis ekivalen pada suatu titik (Sv/s)
R = jarak antara titik dengan sumber radiasi (m)
Sedangkan untuk radiasi elektromagnetik (sinar-X dan �) dapat pula dinyatakan
dalam laju paparan (�)� , sehingga persamaan (2.5) dapat pula ditulis
X � . � � = X�� . ��� = X�� . ��� (2.5)
�� = laju dosis serap pada suatu titik (Sv/s)
R = jarak antara titik dengan sumber radiasi (m)
Dari persamaan (2.3), (2.4) dan (2.5) dapat diambil kesimpulan bahwa jika jarak
menjadikan dua kali lebih besar, laju dosis berkurang menjadi 1/(2)2. Atau 4 kali lebih
kecil. Jika jarak diperbesar 3 kali, laju dosis berkurang menjadi 1/(3)2 atau 9 kali lebih
kecil. Sebaliknya bila jarak sumber radiasi diperpendek 1/2 kali, laju dosis radiasi akan
menjadi 4 kali lebih besar dan bila jarak diperpendek menjadi 1/3 kali, maka laju dosis
menjadi 9 kali lebih besar. Jadi bila terlalu dekat pada sumber, misalnya langsung
menyentuh atau memegang sumber radiasi, maka laju dosis pada tangan sangat besar.
Oleh karena itu dilarang memegang sumber radiasi langsung dengan tangan. Untuk
menangani sumber radiasi diperlukan perlengkapan khusus misalnya tang jepit panjang
atau pinset. Walaupun aktivitas sumber radiasi kecil dan merupakan sumber radiasi
9
terbungkus, namun larangan memegang sumber secara langsung tetap berlaku, jadi
harus menggunakan peralatan tersebut di atas untuk menghindari penerimaan dosis
radiasi yang berlebihan pada tangan (Elisa, 2010).
b) Untuk Sumber Berbentuk Garis
Dalam kasus radiasi sumber garis, seperti pipa yang membawa limbah yang
terkontaminasi bahan radionuklida, variasi dosis radiasi terhadap jarak secara
matematika lebih kompek dibandingkan sumber radiasi berbentuk titik (Herman, 1986).
Jika konsenterasi aktivitas pada sumber garis adalah Ci Currie per unit panjang Gamma
emitter, dan kekuatan sumber radiasi Γ, jadi rata-rata dosis radiasi di titik p pada jarak h
diberikan oleh Persamaan (2.6). Geometri perhitungan dosis radiasi dengan jarak h dari
sumber radiasi berbentuk garis ditunjukkan pada Gambar 2.1
Gambar 2.1.Geometri perhitungan dosis radiasi dengan jarak h dari sumber radiasi berbentuk
garis[Sumber : Herman, 1986]
��� = � !" #$$�%&� (2.6)
Sehingga persamaan (2.6) bisa ditulis dengan Persamaan (2.7)
�� = à '( ) �**� + ,�
$�
-+ Γ '( ) �*
*� + ,�$�
-
= Γ'(h /tan3 * h + tan3�* h4
�� = � !" 56 (2.7)
10
c) Untuk Sumber Berbentuk Luasan
Gambar 2.2. Geometri perhitungan dosis radiasi dengan jarak h dari sumber radiasi berbentuk luasan .
Jika sebuah sumber radiasi berbentuk luasan memiliki diagonal seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.2, Aktivitas luasan Ca currie per unit luas dan kekuatan
sumber radiasi Γ, maka dosis radiasi pada titik p1 dengan jarak h1 sepanjang pusat axis
ditunjukkan oleh Persamaan (2.8)
� = 4Γ'8 9: ;6 (ytan3 => +
� ln h|A + B�|) (2.8)
Perbandingan dosis radiasi pada jarak h1 dengan jarak yang lain yaitu h2 ditunjukkan
oleh Persamaan (2.9)
C�C� =
6�9:; (;DE:F�GH%�� 9: 6�I=%>�I)
6� 9: ;(;DE:F�GH%�� 9: 6�|=%>�|)
(2.9)
2.2.3.Penggunaan perisai.
Bila harus bekerja pada jarak yang dekat dengan sumber radiasi dan dalam waktu
yang lama, perisai dapat mereduksi pemaparan hingga serendah-rendahnya. Keefektifan
perisai ditentukan oleh interaksi radiasi dengan atom-atom perisai yang juga tergantung
pada macam energi radiasi dan nomor atom materi perisai (Elisa, 2010).
a. Partikel alpha
Partikel alpha mudah sekali diserap. Biasanya sehelai kertas tipis saja sudah cukup
untuk menahan seluruh pancaran alpha. Dengan demikian partikel alpha tidak
11
merupakan persoalan pelik dalam bidang proteksi terhadap sumber radiasi eksternal
(Elisa, 2010).
b. Perisai untuk sinar-β
Partikel beta mempunyai daya tembus lebih besar daripada partikel alpha.
Energinya biasanya antara 1 dan 10 MeV (Elisa, 2010). Perisai yang digunakan untuk
radiasi sinar-β adalah aluminium. Tebal perisai dapat ditentukan dengan rumus (Alatas,
2012)
�# = � . J (2.10)
di mana:
td = tebal densitas (g/cm2)
t1 = tebal bahan perisai (cm)
J = massa jenis bahan perisai (g/cm3)
Dengan menggunakan konsep tebal densitas ini, maka dalam setiap perancangan perisai
untuk sinar-β hanya diperlukan data mengenai massa jenis bahan parisai.
c. Perisai untuk radiasi elektromagnetik
Interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan materi menyebabkan pengurangan
intensitas radiasi elektromagnetik seperti ditunjukkan pada persamaan (2.11) berikut
(Alatas, 2012) :
K = KL . M3N= (2.11)
Laju dosis radiasi elektromagnetik berbanding lurus dengan intensitas radiasinya,
sehingga dalam pembahasan mengenai perisai radiasi elektromagnetik ini berlaku
persamaan
�� = ��L . M3N= (2.12)
di mana:
�� = laju dosis radiasi elektromagnetik setelah melalui bahan perisai (Sv/s)
�L� = laju dosis radiasi elektromagnetik sebelum melalui bahan perisai (Sv/s)
O = koefisien absorbs linier bahan perisai (m-1)
x = tebal perisai (m)
12
2.3. Nilai Batas Dosis
Nilai Batas Dosis yang selanjutnya disingkat NBD adalah dosis terbesar yang
diizinkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang dapat diterima oleh
pekerja radiasi dan anggota masyarakat dalam jangka waktu tertentu tanpa
menimbulkan efek genetik dan somatik yang berarti akibat pemanfaatan tenaga nuklir
(Pasal 1 ayat 16 Peraturan Kepala BAPETEN, 2013).
Nilai Batas Dosis berlaku untuk (Pasal 14 Peraturan Kepala BAPETEN, 2013):
a. Pekerja radiasi.
b. Pekerja magang untuk pelatihan kerja, pelajar, atau mahasiswa yang berumur 16
tahun sampai dengan 18 tahun dan
c. Anggota masyarakat.
Nilai Batas Dosis untuk pekerja radiasi ditetapkan dengan ketentuan (Pasal 15
Peraturan Kepala BAPETEN, 2013) :
a. Dosis efektif rata-rata sebesar 20 mSv per tahun dalam periode 5 tahun, sehingga
dosis yang terakumulasi dalam 5 tahun tidak boleh melebihi 100 mSv.
b. Dosis efektif sebesar 50 mSv dalam 1 tahun.
c. Dosis ekivalen untuk lensa mata rata-rata sebesar 20 mSvper tahun dalam periode
5 tahun dan 50 mSv dalam 1 tahun tertentu.
d. Dosis ekivalen untuk kulit sebesar 500 mSv per tahun
e. Dosis ekivalen untuk tangan atau kaki sebesar 500 mSv per tahun.
Nilai batas dosis pekerja magang untuk pelatihan kerja, pelajar, atau mahasiswa
yang berumur 16 tahun sampai dengan 18 tahun ditetapkan dengan ketentuan (Pasal 16
Peraturan Kepala BAPETEN, 2013) :
a. Dosis efektif sebesar 6 mSv per tahun.
b. Dosis ekivalen untuk lensa mata sebesar 50 mSv per tahun.
c. Dosis ekivalen untuk kulit sebesar 150 mSv per tahun dan
d. Dosis ekivalen untuk tangan atau kaki sebesar 150 mSv per tahun.
Dalam hal pekerja magang untuk pelatihan kerja, pelajar, atau mahasiswa yang
berumur di atas 18 tahun, diberlakukan nilai batas dosis sama dengan nilai batas dosis
yang ditetapkan untuk pekerja radiasi (Pasal 17 Peraturan Kepala BAPETEN, 2013).
Nilai Batas Dosis untuk anggota masyarakat ditetapkan dengan ketentuan (Pasal
23 Peraturan Kepala BAPETEN, 2013) :
13
a. Dosis efektif sebesar 1 mSv per tahun.
b. Dosis ekivalen untuk lensa mata sebesar 15 mSv pertahun.
c. Dosis ekivalen untuk kulit sebesar 50 mSv pertahun.
Dimana dosis ekivalen adalah besaran dosis yang khusus digunakan dalam
proteksi radiasi untuk menyatakan besarnya tingkat kerusakan pada jaringan tubuh
akibat terserapnya sejumlah energi radiasi dengan memperhatikan faktor bobot radiasi
yang mempengaruhinya (Perka BAPETEN pasal 1 ayat 19, 2013). Dosis ekivalen dapat
ditentukan melalui persamaan (2.13) (Akhadi, 2000)
�P. = Q . �P. (2.13)
di mana:
�P. = dosis ekivalen (Sv)
�P. = dosis serap (Sv)
Q = faktor bobot radiasi
Sedangkan dosis efektif adalah besaran dosis yang khusus digunakan dalam
proteksi radiasi untuk mencerminkan risiko terkait dosis, yang nilainya adalah jumlah
dosis ekivalen yang diterima jaringan dengan faktor bobot jaringan (Perka BAPETEN
pasal 1 ayat 20, 2013). Dosis efektif dapat ditentukan dengan persamaan (2.14) (Akhadi,
2000)
�R = QP . �P (2.14)
di mana:
�R = dosis efektif (Sv)
�P = dosis ekivalen (Sv)
QP = faktor bobot organ
2.4. Gipsum
Gipsum adalah batu putih yang terbentuk karena pengendapan air laut. Gipsum
merupakan mineral terbanyak dalam batuan sedimen dan lunak bila murni. Merupakan
bahan baku yang dapat diolah menjadi kapur tulis. Dalam perdagangan biasanya gipsum
mengandung 90% CaSO4.H2O (Saragih, 2011).
Kata gipsum berasal dari kata kerja dalam bahasa Yunani yang artinya
memasak. Gipsum merupakan mineral yang tidak larut dalam air dalam waktu yang
lama, sehingga gipsum jarang ditemui dalam bentuk butiran atau pasir (Danial, 2012).
14
Komposisi kimia bahan gipsum adalah (Saragih, 2011) :
1. Calcium (Ca) : 23,28 %
2. Hidrogen (H) : 2,34 %
3. Calcium Oksida (CaO) : 32,57 %
4. Air (H2O) : 20,93 %
5. Sulfur (S) : 18,62 %
Adapun sifat Fisis Gipsum adalah (Saragih, 2011) :
1. Warna : putih, kuning, abu-abu, merah, jingga, hitam bila tak murni
2. Massa Jenis : 2,31 - 2,35
3. Keras seperti mutiara terutama permukaan
4. Bentuk mineral : Kristalin, serabut
Bebrapa penelitian menunjukkan gipsum memiliki kandungan yang radionuklida
yang cukup tinggi. Berdasarkan data BATAN pada tahun 2005 gipsum memiliki
kandungan radionuklida cukup tinggi yang ditunjukkan pada Tabel 2.4
Tabel 2.4. Konsenterasai radionklida pada beberapa bahan bangunan (BATAN, 2005)
Jenis bahan bangunan Aktivitas (ppm)
Thorium Kalium
Granit 2 4
Batu pasir 1.7 1.4
Semen 5.1 0.8
Batako Kapur 2.1 0.3
Batako semen 2.1 1.3
Gipsum 16.1 0.02
Kayu - 11.3
15
Konsenterasi radionuklida gipsum di berbagai belahan dunia lain bisa dilihat dalam
Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Perbandingan konsentrasi radionuklida (Bq.kg-1)dalam sampel gipsum yang diperoleh dari
data penelitian berbagai belahan dunia (Ahmed, 2014)
Country 40K 232Th Cina 35 35
Nordic Countries 40 49
West Germany 14 18,5
Finlandia 37 43
Bangladesh 88,1 68,2
Spain 14,1 17,39
Turki 44,5 3,6
USSR 14,8 140,8
India 22 9,3
2.5. Surveymeter
Surveymeter harus dapat memberikan informasi laju dosis radiasi pada suatu
area secara langsung. Jadi, seorang pekerja radiasi dapat memperkirakan jumlah radiasi
yang akan diterimanya bila akan bekerja di suatu lokasi selama waktu tertentu. Dengan
informasi yang ditunjukkan surveymeter ini, setiap pekerja dapat menjaga diri agar
tidak terkena paparan radiasi yang melebihi batas ambang yang diizinkan. Sebagaimana
fungsinya, suatu surveymeter harus bersifat portable meskipun tidak perlu sekecil
sebuah dosimeter personal. Konstruksi surveymeter terdiri atas detektor dan peralatan
penunjang seperti terlihat Gambar 2.3. Cara pengukuran yang diterapkan adalah cara
arus (current mode) sehingga nilai yang ditampilkan merupakan nilai intensitas radiasi.
Secara elektronik, nilai intensitas tersebut dikonversikan menjadi skala dosis, misalnya
dengan satuan roentgent/jam. (BATAN, 2013)
16
Gambar 2.3 Skema Surveymeter[Sumber: BATAN, 2013]
2.5.1. Jenis-Jenis Surveymeter
Surveymeter yang digunakan dalam proteksi radiasi terdapat beberapa jenis
diantaranya: surveymeter gamma, surveymeter beta gamma, surveymeter alfa,
surveymeter neutron, dan surveymeter multi-guna. Surveymeter gamma merupakan
surveymeter yang sering digunakan dan pada prinsipnya dapat digunakan untuk
mengukur radiasi sinar-X. Detektor yang digunakan adalah detektor isian gas
proporsional, Geiger Mullard (GM), dan detektor sintilasi NaI (TI). Berbeda dengan
surveymeter gamma biasa, surveymeter beta gamma mempunyai detektor di luar badan
surveymeter dan dilengkapi dengan sistem slide. Jika digunakan untuk mengukur
radiasi beta, maka slide harus dibuka. Sebaliknya untuk mengukur radiasi gamma, slide
ditutup. Detektor yang digunakan yaitu detektor isian gas proporsional dan GM.
Surveymeter alfa mempunyai detektor yang terletak di luar badan surveymeter dan
terdapat satu permukaan detektor yang terbuat dari lapisan film yang sangat tipis,
biasanya terbuat dari berrilium sehingga mudah sobek bila tersentuh atau tergores benda
tajam. Surveymeter alfa menggunakan detektor isian gas proporsional dan detektor
sintilasi ZnS(Ag) (Wahyulianti, 2014).
Surveymeter neutron biasanya menggunakan detektor proporsional yang diisi
dengan gas boron triflorida (BF3) atau gas helium (He). Karena yang dapat berinteraksi
dengan unsur boron atau helium adalah neutron termal saja, maka surveymeter neutron
dilengkapi dengan moderator yang terbuat dari parafin atau polietilen yang berfungsi
untuk menurunkan energi neutron cepat menjadi neutron termal. Moderator ini hanya
digunakan bila radiasi neutron yang diukur adalah neutron cepat. Surveymeter multi-
guna (multipurpose) dapat mengukur intensitas radiasi secara langsung dan dapat
17
mengukur intensitas radiasi selama selang waktu tertentu, serta dapat diatur seperti
sistem pencacah dan bahkan bisa menghasilkan spektrum distribusi energi radiasi
seperti sistem spektroskopi (Wahyulianti, 2014).
2.5.2. Prosedur Menggunakan Surveymeter
Tiga langkah penting yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan surveymeter
adalah:
1) Memeriksa baterai
Hal ini dilakukan untuk menguji kondisi catu daya tegangan tinggi detektor. Bila
tegangan tinggi detektor tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, maka detektor tidak
peka atau tidak sensitif terhadap radiasi yang mengenainya, akibatnya
surveymeterakan menunjukkan nilai yang salah (BATAN, 2013).
2) Memeriksa sertifikat kalibrasi
Pemeriksaan sertifikat kalibrasi harus memperhatikan faktor kalibrasi alat dan
memeriksa tanggal validasi sertifikat. Faktor kalibrasi merupakan suatu parameter
yang membandingkan nilai yang ditunjukkan oleh alat ukur dan nilai dosis
sebenarnya (BATAN, 2013).
Untuk mengukur nilai dosis sebenarnya menggunakan persamaan (2.15)
(Wahyulianti, 2014)
Ds = Du . Fk (2.15)
di mana
Fk = faktor kalibrasi
Ds = nilai dosis sebenarnya (Sv)
Du = nilai yang ditampilkan alat ukur. (Sv)
3) Mempelajari pengoperasian dan pembacaan
Langkah ini perlu dilakukan, khususnya bila akan menggunakan surveymeter
“baru”. Setiap surveymeter mempunyai tombol-tombol dan saklar-saklar yang
berbeda-beda, biasanya terdapat beberapa faktor pengalian misalnya x1; x10; x100
dan sebagainya. Sedang display-nya juga berbeda-beda, ada yang berskala roentgent
/ jam ; rad / jam ; Sievert /jam atau mSievert / jam atau bahkan masih dalam cpm
(counts per minutes) (BATAN, 2013).
18
2.5.3. Bagian-Bagian Surveymeter RGD 27091 (Rontgen-Gamma-Dosimeter
27091)
RGD 27091 merupakan jenis surveymeter yang dioperasikan oleh baterai dan
dilengkapi dengan ionization chamber (ruang ionisasi). Alat ini biasa digunakan untuk
mengukur sinar Rontgen dan juga mengukur laju dosis. Sensivitas pengukuran
perangkat ini cukup tinggi. Bagian-bagian RGD 27091 dijelaskan pada Gambar 2.4
Probe pengukur dengan dilengkapi pelindung
Display unit bagian atas
Display unit bagian bawah
Pegangan
BNC Koneksi perekam
Layar LCD
Tingkat peringatan yang dipilih
Pembaca laju dosis digital
Satuan yang dipilih
Nilai akhir atau nilai maksimal yang dipilih
Horn symbol (akan berkedip jika level yang diukur melebihi batas yang sudah ditentukan)
Penunjuk tingkat radiasi
Simbol baterai
19
Gambar 2.4. Bagian RGD 27091
2.5.4. Kalibrasi Alat
Definisi kalibrasi menurut ISO/IEC Guide17025:2005 dan Vocabulary of
International Metrology (VIM) adalah serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan
antara nilai yang ditunjukkan oleh instrumen ukur atau sistem pengukuran, atau nilai
yang diwakili oleh bahan ukur, dengan nilai-nilai yang sudah diketahui yang berkaitan
dari besaran yang diukur dalam kondisi tertentu atau kegiatan untuk menentukan
kebenaran konvensional nilai penunjukkan alat ukur dan bahan ukur dengan cara
membandingkan terhadap standar ukur yang mamputelusur (traceable) ke standar
nasional untuk satuan ukuran dan/atau internasional (BATAN, 2013).
Sudah merupakan suatu ketentuan bahwa setiap alat ukur proteksi radiasi harus
di kalibrasi secara periodik oleh instansi yang berwenang.Hal ini dilakukan untuk
menguji ketepatan nilai yang ditampilkan alat terhadap nilai sebenarnya. Perbedaan nilai
antara yang ditampilkan dan yang sebenarnya harus dikoreksi dengan suatu parameter
Tombol kontrol satuan
Lampu
Kontrol penyesuaian titik nol
Kontrol nilai skala pengali
20
yang disebut sebagai faktor kalibrasi ( Fk ). Dalam melakukan pengukuran, nilai yang
ditampilkan alat harus dikalikan dengan faktor kalibrasinya. Secara ideal, faktor
kalibrasi ini bernilai satu, akan tetapi pada kenyataannya tidak banyak alat ukur yang
mempunyai faktor kalibrasi sama dengan satu. Nilai yang masih dapat 'diterima'
berkisar antara 0,8 sampai dengan 1,2. Faktor Kalibrasi dapat dihitung dengan
persamaan (2.12) (BATAN, 2013). Faktor kalibrasi biasanya sudah tertera pada label
yang tertempel di alat ukur. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di Gambar 2.5 dan 2.6
Gambar 2.5 Label kalibrasi yang ada di dalam garis merah.
Untuk lebih jelas isi dari label kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 2.11
Gambar 2.6 Label kalibrasi.
21
2.6. Laser Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS)
Laser Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS) merupakan teknik baru untuk
menganalisis unsur berdasarkan plasma yang dihasilkan setelah ditembak oleh laser.
Dalam teknik ini pulsa laser digunakan untuk ablasi sampel, sehingga penguapan dan
ionisasi sampel dalam plasma yang panas yang kemudian dianalisis dengan
menggunakan spectrometer (Hussain, 2013).
Proses fisik utama yang merupakan inti dari teknologi LIBS adalah
pembentukan suhu tinggi plasma, yang disebabkan oleh pulsa laser. Ketika pulsa sinar
laser difokuskan ke permukaan sampel, massa sampel mengalami ablasi. Massa yang
terablasi ini berinteraksi dengan bagian pulsa laser untuk membentuk plasma yang
sangat aktif yang berisi elektron bebas, atom yang tereksitasi dan ion. Banyak proyek
penelitian fundamental telah menunjukkan bahwa suhu plasma dapat melebihi 30,000K
(Russo, 1999).
Ketika pulsa laser berakhir, plasma mulai dingin. Selama proses pendinginan
plasma, elektron dari atom dan ion pada elektron yang tereksitasi kembali kekeadaan
dasar, menyebabkan plasma memancarkan cahaya dengan puncak spektrum diskrit.
Cahaya yang dipancarkan dari plasma dikumpulkan dan disatukan dengan ICCD atau
modul detektor spektograf untuk analisis spektral pada LIBS. Setiap elemen dalam tabel
periodik mempunyai puncak spectrum yang unik dan berbeda-beda. Dengan
mengidentifikasi puncak yang berbeda untuk sampel yang dianalisis, komposisi
kimianya dapat dengan cepat ditentukan (Russo, 1999).
Rangkaian LIBS ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Rangkaian skematik LIBS [Sumber : Wahyuliati, 2014]
laser
Lensa fokus
Plasma spark Broadbandspectrometer
detector
Control computer