bab ii tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39619/3/bab ii.pdfsedangkan marasmus...

43
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Gizi Kurang Pada Balita 2.1.1 Pengertian Gizi Kurang Menurut Supriasa (2008), Gizi kurang adalah keadaan patologis akibat kekurangan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi sedangkan menurut Ayu (2008), Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Di Indonesia kelompok anak balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk menderita KKP (Kekurangan Kalori Protein) dan defisiensi vitamin Aserta anemia defisiensi gizi Fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat pelayanan kesehatan gizi dan kesehatan. menurut Agus Krisno (2009), Secara umum status gizi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang) Susunan makanan sehari – hari yang mengandung zat – zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memerhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktifitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal (Supranto, 2000).

Upload: trinhdien

Post on 15-Jun-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gizi Kurang Pada Balita

2.1.1 Pengertian Gizi Kurang

Menurut Supriasa (2008), Gizi kurang adalah keadaan patologis akibat

kekurangan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi sedangkan menurut

Ayu (2008), Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau

ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan

semua hal yang berhubungan dengan kehidupan.

Di Indonesia kelompok anak balita menunjukkan prevalensi paling tinggi

untuk menderita KKP (Kekurangan Kalori Protein) dan defisiensi vitamin Aserta

anemia defisiensi gizi Fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya

kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke

tempat pelayanan kesehatan gizi dan kesehatan.

menurut Agus Krisno (2009), Secara umum status gizi dibagi menjadi tiga kelompok,

yaitu:

a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)

Susunan makanan sehari – hari yang mengandung zat – zat gizi dalam jenis

dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memerhatikan prinsip

keanekaragaman atau variasi makanan, aktifitas fisik, kebersihan, dan berat badan

ideal (Supranto, 2000).

10

b. Gizi Kurang

Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat yang timbul karena tidak

cukup makan, atau tidak keseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan,

aktifitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. dengan

demikian konsumsi energi dan protein kurang selama jangka waktu tertentu

(Mubarak, 2009).

c. Gizi Lebih

Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makan. Penyakit

gangguan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang

mudah sekali menderita akibat kekurangan gizi dan juga kekurangan makanan

(dificiency) misalnya kwashiorkor, busung lapar, marasmus, beri-beri dan lain-lain.

Kegemukan (obesity), kelebihan berat badan (over weight) merupakan tanda gizi salah

yang berdasarkan kelebihan dalam makanan Harjosastro (2006).

Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat (2007), Keadaan penyakit

kekurangan gizi terbagi menjadi dua kelas, yaitu :

1. kelas pertama, penyakit kurang gizi primer, contohnya pada kekurangan zat

gizi esensial spesifik, seperti kekurangan vitamin C maka penderita

mengalami gejala scurvy.

2. kelas yang kedua yaitu penyakit kurang gizi sekunder, contohnya penyakit

yang disebabkan oleh adanya gangguan absorpsi zat gizi atau gangguan

metabolisme zat gizi.

Menurut departemen gizi dan kesehatan masyarakat (2007), kwashiorkor

(kekurangan protein) adalah istilah pertama dari afrika, artinya sindroma

perkembangan anak di mana anak tersebut disapih tidak mendapatkan ASI sesudah 1

11

tahun karena menanti kelahiran bayi berikutnya. Makanan pengganti ASI sebagian

besar terdiri dari pati atau air gula, tetapi kurang protein baik kualitas dan

kuantitasnya. Sedangkan marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan

kilokalori yang kronis. Karakteristik dari marasmus adalah berat badan sangat rendah.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gizi kurang adalah suatu

keadaan yang diakibatkan oleh konsumsi makanan yang kurang sumber protein,

penyerapan yang buruk atau kehilangan zat gizi secara berlebih.

2.1.2 Faktor Penyebab Gizi Kurang

Menurut Santoso dan Anne (2004) adalah

sebagai berikut :

a. Penyebab Langsung

Kurang gizi biasanya terjadi karena anak kurang mendapat masukan

makanan yang cukup lama. Tidak cukup asal anak mendapatkan makanan

yang banyak saja tetapi harus mengandung nutrisi yang cukup, yaitu

karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.

b. Penyebab Tak Langsung

1) Faktor Ekonomi

2) Faktor sosial budaya

3) Faktor fasilitas rumah dan sanitasi

4) Faktor pendidikan dan pengetahuan

5) Faktor pelayanan kesehatan.

12

2.1.3 Ciri Klinis Anak Dengan Gizi Kurang

Menurut buku pedoman pelayanan kesehatan anak gizi buruk Kemenkes RI

tahun 2011, hasil pemeriksaan klinis BB/PB, BB/TB, Lila di Poskesdes, pustu,

polindes, maupun puskesmas menyatakan hasil dari pemeriksaan anak dengan gizi

kurang apabila :

1. BB/TB <-2 SD s/d -3 SD

2. Bila Lila antara 11,5 – 12,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan)

3. Tidak ada edema

4. Nafsu makan baik

5. Tanpa komplikasi

Adapun cara klinis yang biasa menyertai anak dengan gizi kurang antara lain :

1. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, atau bahkan menurun secara

terus menerus.

2. Ukuran lila menurun

3. Maturasi tulang terlambat

4. Rasio berat badan terhadap tinggi, normal atau cenderung menurun

5. Tebal lipatan kulit normal atau semakin berkurang

2.1.4 Dampak yang ditimbulkan akibat Gizi Kurang

Keadaan gizi kurang pada anak – anak mempunyai dampak pada kelambatan

pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak

yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap

akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal. Gizi buruk terjadi bila

gizi kurang berlangsung lama, maka akan berakibat semakin berat tingkat

13

kekurangannya. Pada keadaan ini dapat menjadi kwashiorkor dan marasmus yang

biasanya disertai penyakit lain seperti diare, infeksi, penyakit pencernaan, infeksi

saluran pernapasan bagian atas, anemia dan lain – lain. (Santoso dan Anne, 2004).

Penyakit-penyakit atau gangguan kesehatan akibat kekurangan atau kelebihan

gizi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat antara lain adalah:

1. Penyakit KKP (Kurang Kalori / KEP)

Kurang kalori protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan

oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari

sehingga tidak mencukupi angka kecukupan gizi. Pada pemerikasaan klinis,

penderita KKP akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Marasmus

1) Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.

2) Wajah seperti orang tua.

3) Cengeng, rewel.

4) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai

tidak ada.

5) Sering disertai diare kronik atau konstipasi/ susah buang air besar, serta

penyakit kronik.

6) Tekanan darah, detak jantung, dan pernafasan berkurang.

b. Kwashiorkor

1) Oedema umumnya diseluruh tubuh dan terutama pada kaki (dorsum

pedis).

2) Wajahnya membulat dan sembab

3) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan

duduk, anak-anak berbaring terus-menerus.

14

4) Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis.

5) Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia).

6) Pembesaran hati.

7) Sering disertai infeksi, anemia, dan diare/mencret.

8) Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut.

9) Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi

hitam terkelupas (crazy pavement dermatosis)

10) Pandangan mata anak tampak sayu.

c. Marasmus-kwashiorkor

Tanda-tanda marasmus-kwashiorkor adalah gangguan dari tanda –

tanda yang ada pada marasmus dan kwashiorkor.

2. Penyakit kegemukan (obesitas)

Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari

penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Seseorang yang memiliki berat

badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal

dianggap mengalami obesitas. Adapun penggolongan obesitas ada tiga

kelompok, yaitu:

a. Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%

b. Obesitas sedang: kelebihan berat badan 41-100%

c. Obesitas berat: kelebihan berat badan > 100%

(Hariza Adnani, 2011)

15

2.2 Konsep Sosial Budaya

2.2.1 Pengertian Konsep Sosial Budaya

Sosial budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran

dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat secara sederhana kebudayaan

dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Budaya atau kebudayaan

berasal dari kata sansekerta yaitu budhayah , yang merupakan bentuk jamak dari buddhi

( budi atau akal ) diartikan sebagai hal – hal yang berkaitan dengan budi dan akal

manusia (Koentjaraningrat, 2002).

Perkembangan sosial budaya secara tidak langsung dibagi menjadi dua dimensi,

yaitu interaksi sosial dan proses kebudayaan. Jika dilihat interaksi sosial budaya di

dalam masyarakat secara menyeluruh maka akan merujuk kepada pengetahuan dari

suatu kelompok sosial. Pengetahuan tersebut tidak hanya terbatas oleh kebiasaan dan

perwujudan sosial, tetapi termasuk juga nilai-nilai. Terkadang nilai-nilai yang dianut

oleh masyarakat sosial tidak bisa diterima dan disesuaikan oleh ilmu dasar (Jurgen,

2008).

Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat akan menimbulkan

ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada di dalam masyarakat. Perubahan

sosial tidak dapat dilepaskan dari perubahan kebudayaan. Hal ini disebabkan

kebudayaan merupakan hasil dari adanya masyarakat, sehingga tidak akan ada

kebudayaan apabila tidak ada masyarakat yang mendukungnya dan tidak ada suatu

pun masyarakat yang tidak mamiliki kebudayaan (Elly, Kama, Ridwan, 2010).

16

2.2.2 Pembagian Sosial Budaya

Menurut pandangan antropologi tradisional, sosial budaya dibagi

menjadi dua yaitu :

1. Sosial Budaya Material

Sosial Budaya material dpat berupa objek, makanan, pakaian, seni,

benda – benda kepercayaan.

2. Sosial Budaya Non Material

Mencakup kepercayaan, pengetahuan, sikap, nilai, dan sebagainya.

2.2.2.1 Kepercayaan

Menurut Rousseau yang dikutip Andi (2006), kepercayaan adalah

bagian psikologis terdiri dari keadaan pasrah untuk menerima kekurangan

berdasarkan harapan positif dan niat atau perilaku orang lain. Sedangkan

menurut Robinson yang dikutip Lendra (2006), kepercayaan adalah harapan

seseorang, asumsi – asumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan

seseorang akan bermanfaat, menguntungkan atau setidaknya tidak mngurangi

keuntungan yang lainnya.

2.2.2.2 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini

terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

penting untuk terbntuknya perilaku seseorang (Notoadmojo, 2003).

17

2.2.2.3 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau subjek. Sikap secara nyata menunjukkan

konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam

kehidupan sehari – hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap

stimulus sosial.

2.2.2.4 Nilai

Nilai adalah suatu hal nyata yang dianggap baik dan apa yang dianggap

buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah. Kimball Young

mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari

tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat dan batasan wilayah

tertentu. Emil Durkheim mengatakan bahwa norma adalah sesuatu yang

berada diluar individu, membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku

mereka.

Menurut konsep Budaya Lainingen, karakteristik budaya dapat

digambarkan sebagai berikut :

a. Budaya adalah pengalaman yang bersifat univerbal sehingga tidak ada dua

budaya yang sama persis.

b. Budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut

diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan.

c. Budaya di isi dan ditentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa

disadari.

18

2.2.3 Unsur Budaya

Adapun unsur – unsur dari budaya adalah :

a. Sistem Religi

Terdiri dari sistem kepercayaan kesusastraan suci, sistem upacara

keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.

b. Sistem dan organisasi masyarakat

Terdiri dari sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi

dan perkumpulan – perkumpulan dan sistem kenegaraan.

c. Sistem Pengetahuan

Terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, pengetahuan tentang alam

flora, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan pengetahuan tentang

ruang, waktu dan bilangan.

d. Bahasa

Terdiri dari bahasa lisan dan tulisan

e. Kesenian

Kesenian terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis / gambar, seni rias,

seni vocal, seni instrumenseni kesusastraan dan seni drama.

f. Mata Pencaharian

Terdiri dari berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di ladang,

bercocok tanam menetap, peternakan, perdagangan.

g. Teknologi dan Peralatan

Terdiri dari alat – alat produktif, alat – alat distribusi dan transport, wadah

– wadah atau tempat menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan

perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.

19

2.2.4 Wujud Budaya

J.J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya

tiga gejala kebudayaan : yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact dan ini

diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkan dengan 3 wujud

kebudayaan :

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide – ide, gagasan –

gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia.

2.2.5 Sistem Budaya

Pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin Sistem berasal dari

Bahasa Yunani yang berarti :

a. Suatu hubungan yang tersusun atas sebagian bagian.

b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan – satuan atau komponen

komponen secara teratur.

Sosial berarti segala sesuatu yang beraliran dengan sistem hidup bersama atau

hidup bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang didalamnya sudah

tercakup struktur, organisasi, nilai – nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara

mncapainya. Budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya

tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, dan karya baik yang fisik materil maupun

yang psikologis, adil dan spiritual.

Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak

dan terdiri dari pikiran – pikiran, gagasan, konsep serta keyakinan. Dengan demikian

20

sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa indonesia

lebih sering disebut sebagai adat – istiadat (Koentjaraningrat, 2003).

Sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi – asumsi

dasar dalam kehidupan masyarakat.pemberian makna konsep sistem sosial budaya

dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan

sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan ekplanasi deskripsinya melalui

kenyataan didalam kehidupan masyarakat.

2.2.5.1 Problematika Sosial Budaya Terkait pemberian makanan di

Masyarakat

Dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan yang menentukan kualitas dan

kuantitas jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh

anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin

dan situasi-situasi tertentu. Hal ini menunjukan bahwa perilaku-perilaku kesehatan di

masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan kesehatan banyak sekali

dipengaruhi oleh faktor sosial budaya (Burhanudin, 2012).

Ketidakmampuan masyarakat disuatu wilayah untuk menerima kebijakan dari

pelayanan kesehatan adalah suatu permasalahan yang mendasar. Hal ini terjadi

dikarenakan adanya perubahan sosial budaya yang terlalu cepat dan berubah secara

dramatis. Tidak sedikit, hal ini akan menyebabkan masyarakat enggan untuk

memanfaatkan fasilitas kesehatan (Reinhard, 2010).

21

2.2.5.2 Sosial Budaya Sebagai Faktor Pemilihan Pelayanan Kesehatan

Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional di masyarakat masih

sangat rendah dari yang diharapakan. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan, sikap

terhadap keputusan untuk memanfaatkan tenaga ahli dalam melakukan tindak

kesehatan. Sebagian besar masyarakat juga masih menganggap bahwa tenaga medis

cenderung belum berpengalaman, karena rata - rata usia mereka sangat muda,

sehingga masyarakat masih belum sepenuhnya percaya terhadap tindak kesehatan

yang dilakukan (Elvistron, 2009).

Satu faktor adalah bahwa derajat kesehatan bergantung pada pelayanan

kesehatan yang ada. Baik tidaknya dan cukup tidaknya pelayanan kesehatan yang

disediakan, jelas berhubungan langsung. Namun dalam kenyataannya hal ini sering

mengecewakan karena pengaruhnya terbatas dan antusias masyarakat yang dalam

suatu wilayah yang berkurang. Faktor lain lagi adalah tingkah laku manusia yang tentu

saja mempengaruhi derajat kesehatan. Walaupun ada pelayanan kesehatan yang

memadai, tetapi bila manusia tidak mengerti atau tidak mau mempergunakannya,

maka program-program kesehatan tidak akan atau akan kurang berhasil

(Koentjaraningrat, 2005).

Dari segi sosial budaya khususnya di daerah pedesaan, masih banyak

masyarakat yang lebih suka memanfaatkan pengobatan tradisional dibanding fasilitas

pelayanan kesehatan modern. Sebagai contoh: kedudukan dukun bayi lebih

terhormat, lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan bidan sehingga mulai dari

pemeriksaan, pertolongan persalinan sampai perawatan pasca persalinan banyak yang

memutuskan untuk memilih tenaga dukun atau pengobatan tradisional (Lia, 2011).

Keputusan yang dibuat masyarakat untuk memilih pelayanan kesehatan juga

tidak lepas dari pengaruh sosial ekonomi. Bila suatu fasilitas kesehatan yang terdapat

22

dalam suatu wilayah masyarakat telah mengalokasikan biaya pengobatan bagi

masyarakat. Maka akan sangat mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memilih

pelayanan kesehatan (Reinhald, 2010).

Keputusan yang dibuat oleh masyarakat sangatlah berpengaruh untuk

menentukan kualitas kesehatan masyarakat. Mardzelah (2006) mengemukakan bahwa,

terdapat dua jenis keputusan yang mampu dibuat oleh suatu individu ataupun

masyarakat (1) Keputusan yang dapat dilakukan dengan menggunakan proses yang

ditetapkan, (2) keputusan yang berlaku secara tidak dirancangkan. Keputusan yang

bijak adalah keputusan yang dibuat dengan menyertai proses khusus didalamnya.

Pelayanan kesehatan seperti, rumah sakit daerah, pusat kesehatan masyarakat,

klinik masyarakat dan pos kesehatan desa, atau institusi pelayanan kesehatan lainnya,

merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait

saling tergantung. Dari semua hal tersebut maka akan saling mempengaruhi

komponen sosial budaya satu dengan lain (Bustami, 2011).

2.3 Konsep Dasar Balita

2.3.1 Pengertian Balita

Balita adalah bawah lima tahun, yaitu anak – anak yang berada dalam

kelompok usia 0-5 tahun. (Kamus KBKS, 2008).

Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni.DY, (2010), Balita adalah istilah umum

bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5) tahun. Saat usia batita,

anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting,

seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah

bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.

23

Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun.

Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. balita merupakan kelompok usia

tersendiri yang menjadi saran program KIA (Kesehatan Ibu Anak) di lingkup Dinas

Kesehatan. balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat

dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah

masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan

menentukkan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,

emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan

perkembangan berikutnya (Supartini, 2004).

Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu

periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari

satu sampai dengan lima tahun atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-

60 bulan (Suparyatno, 2011).

2.3.2 Periode Balita

1. Perkembangan Fisik

Di awal balita, pertambahan berat badan balita merupakan singkatan

bawah lima tahun, satu periode usia manusia dengan rentang usia dua hingga

lima tahun, ada juga yang menyebut dengan periode usia prasekolah. Pada

fase ini anak berkembang dengan sangat pesat. Pada periode ini, balita

memiliki cirri khas perkembangan menurun disebabkan banyaknya energi

untuk bergerak (Suhardjo, 2007).

24

2. Perkembangan Psikologis

a. Psikomotor

Dari sisi psikomotor, balita mulai terampil dalam pergerakannya

(locomotion), seperti berlari, memanjat, melompat, berguling, berjinjit,

menggenggam, melempar yang berguna untuk mengelola keseimbangan

tubuh dan mempertahankan rentang atensi (Suhardjo, 2007).

b. Motorik

Pada akhir periode balita, kemampuan motorik halus anak juga mulai

terlatih seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer

yaitu memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari

seperti memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan

menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu. Dari segi kognitif,

pemahaman terhadap obyek lebih dimengerti. Kemampuan bahasa balita

tumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita yaitu usia dua tahun kosa kata

rata – rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun telah menjadi diatas

1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai berbicara dengan kalimat

sederhana berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari bahasa

ibunya.

c. Aturan

Balita dilatih untuk memiliki aturan sendiri di usia ini, balita dilatih

untuk mengendalikan diri atau biasa disebut dengan toilet training. Freud

mengatakan bahwa pada usia ini, balita mulai mengikuti aturan melalui proses

penahanan keinginan untuk membuang kotoran.

d. Sosial dan Individu

25

Pada usia ini balita mulai belajar berinteraksi dengan lingkungan sosial

diluar keluarga, pada awal masa balita bermain bersama berarti bersama –

sama pada suatu tempat dengan teman sebaya, namun tidak bersama – sama

dalam suatu permainan interaktif. Pada akhir masa balita, bermain bersama

berarti melakukan kegiatan bersama – sama dengan melibatkan aturan

permainan dan pembagian peran.

Balita mulai memahami dirinya sebagai individu yang memiliki atribut

tertentu seperti nama, jenis kelamin, mulai merasa berbeda dengan orang lain

dilingkungannya. Mekanisme perkembangan ego yang drastis untuk untuk

membedakan dirinya dengan individu lainnya ditandai oleh kepemilikan yang

tinggi terhadap barang pribadi maupun orang signifikannya sehingga pada

usia ini balita sulit untuk dapat berbagi dengan orang lain.

Proses perbedaan diri dengan orang lain atau individu juga

menyebabkan anak pada usia tiga atau empat tahun memasuki periode negatif

sebagai salah satu latihan untuk mandiri.

Balita Dibagi menjadi tiga kelompok, Menurut BKKBN 2008 :

1. Kelompok usia 0-1 tahun disebut usia bayi

2. Kelompok usia 1-3 tahun disebut usia toddler

3. Kelompok usia 3-5 tahun disebut usia pra-sekolah (APRAS).

2.4 Konsep Dasar Status Gizi Balita

2.4.1 Pengertian

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan,

metabolisme, pengeluaran zat – zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan

26

kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal organ – organ yang menghasilkan

energi. (Sulistyoningsih, 2011)

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan

penggunaan zat – zat gizi (sulistyoningsih, 2011). Juga dapat didefinisikan keadaan

tingkat kecukupan dan penggunaan nutrient atau lebih yang mempengaruhi

kesehatan seseorang (Supriasa, 2002).

2.4.1.1 Penilaian Status Gizi Balita

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI (2010) menjelaskan bahwa

penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan

menggunakan metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang beresiko

atau dengan status gizi buruk. Dan untuk menentukan status gizi dapat menggunakan

metode secara langsung dan metode tidak langsung.

Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan

penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi

tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survey yang akan menghasilkan

data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara

mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara

yaitu secara biokimia, dietetika, klinik, dan antropometri (cara yang paling umum dan

mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan). Indeks antropometri yang

dapat digunakan adalah berat badan per umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur

(TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB), (Depkes RI, 2005).

A. Metode Pengukuran Langsung, antara lain :

1. Antropometri

Antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan

komposisi tubuh. Paling sering digunakan sebagai penilaian status gizi secara

27

langsung. Dalam menilai status anak balita dapat menggunakan indeks

antropometri. Adapun indeks antropometri yang umum digunakan dalam

menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan

menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

adalah sebagai berikut :

a) Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam

keadaan normal dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan

kebutuhan gizi terjamin maka berat badan berkembang mengikuti

perumbuhan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua

kemungkinan perkembangan, yaitu dapat berkembang cepat atau lambat.

b) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Pada keadaan normal, tinggi badan bertumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relative sensitive terhadap

masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Keuntungan indeks dapat

menilai status gizi masa lampau. Kelemahan indeks TB/U meliputi tinggi

badan tidak cepat naik, pengukuran juga relative sulit karena mengharuskan

balita untuk berdiri tegak, sehingga memerlukan dua orang untuk

melakukannya, dan ketepatan umur sulit didapati.

c) Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah

dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB

merupakan indicator yang baik untuk menilai status gizi saat sekarang.

Keuntungannya tidak memerlukan data umur, dapat membedakan proporsi

badan (gemuk, normal, kurus). Kelemahannya meliputi tidak dapat

28

memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau

kelebihan tinggi badan menurut umurnya karena factor umur tidak

dipertimbangkan (Supariasa, 2008).

2. Biokimia

Dengan test laboratorium meliputi pemeriksaan laboratorium

biokimia, hematologi dan parasitologi. Pada pemeriksaan biokimia

dibutuhkan specimen yang akan diuji, seperti darah, urin, tinja dan jaringan

tubuh seperti hati, otot, tulang, rambut dan kuku. Kelebihannya objektif,

sedangkan kekurangannya adalah mahal, keberadaan dari laboratorium,

kesulitan pada pengumpulan specimen, pengawetan dan transportasi.

3. Pemeriksaan Tanda Fisik

Penilaian tanda – tanda klinis berdasarkan perubahan yang terjadi

berdasarkan perubahan yang terjadi pada jaringan epitel mata, kulit, rambut,

mukosa mulut dan kelenjar tiroid. Kelebihannya adalah murah, cepat, tidak

menimbulkan rasa sakit. Kekurangannya subyektif, diperlukan staff yang

dilatih degan sangat baik, banyak tanda klinik yang muncul pada tingkat

defisiensi berat.

4. Pemeriksaan Biofisik

Penentuan status gizi berdasar kemampuan fungsi jaringan dan

perubahan struktur jaringan.

29

Tabel 2.1 Metode Pengukuran Langsung

Indeks Kebaikan Kelemahan

BB/U a. Baik untuk status gizi akut/kronis

b. Berat badan dapat berfluktuasi

c. Sangat sensitif terhadap perubahan kecil

Umur sering sulit ditaksir.

TB/U a. Baik untuk menilai gizi masa lampau

b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri

c. Murah dan mudah dibawa

a. Tinggi badan tidak cepat baik bahkan mungkin turun

b. Pengukuran relatif sulit

dilakukan karena anak

harus berdiri

c. Ketetapan umur sulit

BB/TB a. Tidak memerlukan data umur

b. Dapat membedakan proporsi badan

a. Membutuhkan 2 macam alat ukur

b. Pengukuran relatif lebih lama

c. Membutuhkan 2 orang untuk melakukannya

B. Metode Pengukuran Tidak Langsung

1. Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara

tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran

tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan

individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan

zat gizi (Surur, 2012).

2. Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan statistic vital adalah dengan

menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian

berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab

30

tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya

dipertimbangkan sebagai bagian dari indicator tiak langsung pengukuran

status gizi masyarakat.

3. Faktor Ekologi

Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah

ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan

lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari

keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain – lain. Pengukuran

faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab

malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program

intervensi gizi.

Sedangkan parameter yang cocok digunakan untuk balita adalah berat badan

per umur (BB/U), tinggi badan per umur (TB/U), berat badan per tinggi badan

(BB/TB), dan lingkar kepala serta survei konsumsi makanan dengan menggunakan

food recall 24 jam yang diberikan pada yang mengasuh balita. Lingkar kepala digunakan

untuk memberikan gambaran tentang perkembangan otak. Kurang gizi ini akan

berpengaruh pada perkembangan fisik dan mental anak (Etika Proverawati dan Erna

Kusuma Wati, 2010).

31

Tabel 2.2 Metode Pengukuran Tidak Langsung

Indeks Kebaikan Kelemahan

BB/U a. Baik untuk status gizi

akut/kronis

b. Berat badan dapat

berfluktuasi

c. Sangat sensitif terhadap

perubahan

kecil

Umur sering sulit ditaksir.

TB/U a. Baik untuk menilai gizi

masa

lampau

b. Ukuran panjang dapat

dibuat sendiri

c. Murah dan mudah dibawa

a. Tinggi badan tidak

cepat baik bahkan

mungkin turun

b. Pengukuran relatif

sulit dilakukan karena

anak harus berdiri

c. Ketetapan umur sulit

BB/TB a. Tidak memerlukan data

umur

b. Dapat membedakan

proporsi badan

a. Membutuhkan 2

macam alat ukur

b. Pengukuran relatif

lebih lama

c. Membutuhkan 2

orang untuk

melakukannya

32

2.4.1.2 Klasifikasi Status Gizi

Direktoral Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementrian

Kesehatan RI tahun 2010 menetapkan bahwa untuk menilai status gizi anak mengacu

pada Standart Antropometri World Health Organization (WHO) 2005 (Agustina,

2012).

Adapun ketentuan umum penggunaan standar antropometri WHO 2005

adalah sebagai berikut :

1. Umur dihitung dalam bulan penuh, contoh : umur 2 bulan 29 hari

dihitung sebagai umur 2 bulan.

2. Ukuran Panjang Badan (PB) digunakan untuk anak umur 0-24 bulan

yang diukur terlentang. Bila anak berumur 24 bulan diukur telentag,

maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7cm.

3. Ukuran Tinggi Badan (TB) digunakan untuk anak umur diatas 24 bulan

yang diukur berdiri. Bila anak umur diatas 24 bulan diukur telentang

maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7cm.

4. Gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks

berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah

underweight (gizi kurang) dan severly underweight (gizi buruk).

5. Pendek dan sangat pendek adalah istilah status gizi yang didasarkan pada

indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut

umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severly

stunted (sangat pendek).

Kurus dan sangat kurus adalah status gizi yang didasarkan pada

indeks berat badan menurut panjang badan (BB/PB) atau berat badan

33

menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted

(kurus) dan severly wasted (sangat kurus) (Riskesdas, 2013).

Tal 2.3 Kategori dan ambang batas status gizi anak

Indeks Kategori status Gizi Ambang Batas

(Z-score)

Berat Badan meurut umur (BB/U) anak umur 0-60

bulan

Gizi Buruk < - 3 SD

Gizi kurang -3D s/d <-2 SD

Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD

Gizi Lebih >2 SD

Panjang badan menurut umur (PB/U)

Tinggi Badan menurut umur (TB/U)

Sangat Pendek <-3 SD

Pendek -3 SD s/d <-2 SD

Normal -2 SD s/d 2 SD

Tinggi >2 SD

Berat badan menurut panjang badan (BB/PB)

atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Sangat kurus <-3 SD

Kurus <- 3 SD s/d <-2 SD

Normal -2 SD s/d 2 SD

Gemuk >2 SD

Indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) anak umur 0-60 bulan

Sangat Kurus <-3 SD

Kurus <- 3 SD s/d <-2 SD

Normal -2 SD s/d 2 SD

Gemuk >2 SD

Indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) anak umur 5-18 tahun

Sangat Kurus <-3 SD

Kurus <-3 SD s/d <-2 SD

Normal -2 SD s/d 2 SD

Gemuk >1 SD s/d 2 SD

Obesitas >2 SD

Sumber: Kep. Menkes. RI No: 1995/MENKES/SK/XII/2010

Klasifikasi menurut WHO pada dasarnya cara penggolongan

indekssama dengan cara waterlow. Indikator yang digunakan meliputi

BB/TB, BB/U dan TB/U. Standar yang digunakan adalah NHCS (National

Center for Health Statistic, USA). Klasifikasi status gizi menurut WHO

digambarkan dalam tabel berikut :

34

Tabel 2.4 Klasifikasi Status Gizi Menurut WHO

BB/TB BB/U TB/U Status Gizi

Normal Rendah Rendah Baik, pernah kurang

Normal Normal Normal Baik

Normal Tinggi Tinggi Jangkung, masih baik

Rendah Rendah Tinggi Kurang

Rendah Rendah Normal Buruk, kurang

Rendah Normal Tinggi Kurang

2.4.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Soekirman (2000), faktor penyebab kurang gizi atau yang

mempengaruhi status gizi seseorang adalah :

1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang

mungkin diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena

makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang

mendapatkan makanan cukup baik, tetapi sering diserang diare atau

demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak

yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya akan melemah.

Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi

nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Pada

kenyataannya keduanya baik makanan dan penyakit infeksi secara

bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan

(Hariza Adnina, 2011).

Secara medik, indikator yang dapat digunakan untuk menyatakan

masalah gizi adalah indikator antropometri (ukurannya adalah berat dan tinggi

35

badan yang dibandingkan dengan standar), indikator hematologi (ukurannya

adalah kadar hemoglobin dalam darah), dan sebagainya.

Di luar aspek medik, masalah gizi dapat diakibatkan oleh kemiskinan,

sosial budaya, kurangnya pengetahuan dan pengertian, pengadaan dan

distribusi pangan, dan bencana alam (Khumaidi, 2004).

1. Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya taraf ekonomi keluarga dan

ukuran yang dipakai adalah garis kemiskinan.

2. Masalah gizi karena sosial budaya indikatornya adalah stabilitas keluarga

dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di

lingkungan keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit

gizi kurang. Juga indikator demografi yang meliputi susunan dan pola

kegiatan penduduk.

3. Masalah gizi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan di bidang

memasak, konsumsi anak, keragaman bahan, dan keragaman jenis masakan

yang mempengaruhi kejiwaan, misalnya kebosanan.

4. Masalah gizi karena pengadaan dan distribusi pangan, indikator pengadaan

pangan (food supply) yang biasanya diperhitungkan dalam bentuk neraca

bahan pangan, diterjemahkan ke dalam nilai gizi dan dibandingkan dengan

nilai rata-rata kecukupan penduduk.

Gizi merupakan salah satu kehidupan manusia yang erat kaitannya dengan

kualitas fisik maupun mental manusia. Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan

penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan serta

aktivitas. Keadaan kurang gizi dapat terjadi akibat ketidakseimbangan asupan zat –

zat gizi, faktor penyakit pencernaan, absorbsi, dan penyakit infeksi.

36

Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa masalah gizi di Indonesia

masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan oleh banyak faktor,

diantaranya adalah tingkat sosial ekonomi keluarga (Depkes, 2002). Krisis ekonomi

yang melanda sejak 1997, telah menambah jumlah keluarga miskin dengan daya beli

yang rendah, sehingga memberikan dampak terhadap penurunan kualitas hidup

keluarga dan meningkatkan jumlah anak-anak yang kekurangan gizi.

Menurut Achmad Djaeni (2009), penyebab langsung dari gizi kurang adalah

konsumsi kalori dan protein yang kurang. Sebab tidak langsung ada beberapa yang

dominan, yaitu ekonomi negara yang kurang, pendidikan umum dan pendidikan gizi

yang rendah, produksi pangan yang tidak mencukupi, kondisi hygiene yang kurang

baik, dan jumlah anak yang terlalu banyak. Sebab antara adalah pekerjaan yang

rendah, penghasilan yang kurang, paska panen, sistem perdagangan, dan distribusi

yang tidak lancar dan tidak merata.

Menurut Soegeng santoso dan Anne (2009), masalah gizi yang terjadi pada

anak bisa dikaitkan dengan masalah makan anak. Ada beberapa pendapat mengenai

penyebab kesulitan makan anak, menurut Palmer dan Horn antara lain adalah

kelainan neuro-motorik, kelainan kongenital, kelainan gigi-geligi, penyakit infeksi

menahun, defisiensi nutrien, dan psikologik. Untuk faktor kelainan psikologik

disebabkan oleh kekeliruan orang tua dalam hal mengatur makan anaknya. Ada orang

tua yang bersikap terlalu melindungi dan ada orang tua yang terlalu memaksakan

anaknya makan terlalu banyak melebihi keperluan anaknya. Juga apabila anak jauh

dari ibunya, dapat terjadi tidak ada nafsu makan. Perasaan takut berlebih pada

makanan juga dapat mengakibatkan anak tidak mau makan.

37

2.4.1.5 Masalah Gizi

Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi

makro adalah masalah yang terutama disebabkan oleh kekurangan atau

ketidakseimbangan asupan energi dan protein (KEP). Bila terjadi pada anak balita

akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor, atau marasmik-kwashiorkor, dan

selanjutnya akan menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah.

Gejala klinis kwashiorkor meliputi odema menyeluruh, terutama pada

punggung kaki (dorsum pedis), wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu,

rambut tipis kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit

serta rontok, perubahan status mental, apatis dan rewel, perubahan hati, otot

mengecil, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna

menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, sering disertai penyakit akut, anemia dan

diare.

Gejala klinis marasmus antara lain tubuh tampak sangat kurus, wajah seperti

orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan subkutis sangat sedikit, perut

cekung, sering disertai penyakit infeksi kronis dan diare atau susah buang air.

Gejala klinis marasmus-kwashiorkor meliputi gabungan gejala klinis antara

kwashiorkor dengan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS

disertai oedema yang tidak mencolok.

2.5 Konsep Perilaku

2.5.1 Definisi Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicra, menangis,

tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian ini dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau

38

aktifitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar (Notoadmojo, 2007).

Lawrence Green (1980, dalam Notoadmojo, 2007), faktor – faktor yang

mempengaruhi perilaku, antara lain :

a. Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan,

sikap, kepercyaan, keyakinan, nilai – nilai dan sebagainya.

b. Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedianya fasilitas – fasilitas atau sarana – sarana kesehatan, misalnya

puskesmas, obat – obatan, alat – alat steril dan sebagainya.

c. Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.

Skinner (dalam Notoatmojo, 2010) perilaku merupakan respon atau reaksi

seseorang terhadap rangsangan dari luar (stimulus). Perilaku dapat dikelompokkan

menjadi dua :

a. Perilaku tertutup (covert behavior), perilaku tertutup terjadi bila respons

terhadap stimulus tersebut masih belum bisa diamati orang lain (dari luar)

secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian,

perasaan, persepsi, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

Bentuk “covert behavior” apabila respon tersebut terjadi dalam diri sendiri,

dan sulit diamati dari luar (orang lain) yang disebut dengan pengetahuan

(knowledge) dan sikap (attitude).

39

b. Perilaku terbuka (Overt behavior), apabila respon tersebut dalam bentuk

tindakan yang dapat diamati dari luar (orang lain) yang disebut praktek

(practice) yang diamati oleh orang lain dari luar.

Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan

kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skinner ini disebut teori “S-O-R”

(stimulus-Organisme-Respons). Berdasarkan batasan dari skinner tersebut, maka dapat

didefinisikan bahwa perilaku adalah kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh

seseorang dalam rangka pemenuhan keinginan, kehendak, kebutuhan, nafsu, dan

sebagainya. Kegiatan ini mencakup kegiatan kognitif : pengamatan, perhatian, berfikir

yang disebut Pengetahuan. Kegiatan emosi : merasakan, menilai yang disebut sikap

(afeksi). Kegiatan konasi : keinginan, kehendak yang disebut tindakan (practice).

2.5.2 Domain Perilaku

Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan

dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat bergantung

pada karakteristik atau faktor – faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini

berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap –

tiap orang berbeda (Notoatmojo, 2010).

Menurut penelitian Rogers (1974) seperti dikutip Notoatmodjo (2003),

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku didalam diri orang

tersebut terjadi proses berurutan, yakni :

1. Kesadaran (Awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2. Tertarik (interest), dimana orang mulai tertarik pada stimulus.

40

3. Evaluasi (Evaluation), menimbang – nimbang terhadap baik dan

tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap

responden sudah lebih baik lagi.

4. Mencoba (Trial), dimana orang telah mencoba perilaku baru.

5. Menerima (Adoption), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai

dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.5.3 Determinan Perilaku

Faktor determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku

merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal ataupun eksternal

(lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi

dari berbagai gejala kejiwaan, pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi,

persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Determinan perilaku manusia terbagi kedalam tiga wilayah yaitu :

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Setelah seseorang mengetahui

41

stimulus atau pbyek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap

stimulus atau obyek kesehatan tersebut.

Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk

berespon atau bertindak secara positif dan negatif, dengan kata lain sikap

membutuhkan penilaian. Ada penilaian positif, negatif dan netral tanpa reaksi

afektif. Sikap biasanya sedikit atau banyak berhubungan dengan kepercayaan,

sikap merupakan kumpulan kepercayaan (Setiawati, 2008). Sikap dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu faktor internal (fisiologis, psikologis, dan motif)

dan faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma, hambatan, dan pendorong)

(Maulana, 2007).

3. Praktek atau tindakan

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek kesehatan,

kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui,

proses selanjutnya diharapkan seseorang akan melaksanakan atau

mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya dinilai baik (Novita,

2011).

Suatu sikap belum terwujud dalam suatu tindakan. Sikap dapat

diwujudkan menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor

pendukung. Yaitu a). persepsi. Mengenal dan memilih berbagai objek

sehubungan dengan tindakan yang akan diambil; b). Respon terpimpin. Dapat

melakukan suatu tindakan sesuai dengan urutan yang benar, sesuai contoh; c).

mekanisme. Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis sudah merupakan kebiasaan; d). adaptasi. Suatu tindakan

42

yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi

sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Ali, 2010).

2.5.4 Tingkatan Perilaku

Proses adopsi perilaku, menurut Rogers (1974, dalam Notoadmojo, 2012),

sebelum seseorang mengadopsi perilaku, didalam diri orang tersebut terjadi suatu

proses berurutan yaitu a). Awrkness (kesadaran), individu menyadari adanya stimulus;

b). Interest (tertarik), individu mulai tertarik pada stimulus; c). Evaluation (menimbang

– nimbang), individu menimbang – nimbang tentang baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Pada proses ketiga ini subjek sudah memiliki sikap yang lebih

baik lagi; d). Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku baru; e).

Adoption, Individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap dan

kesadarannya terhadap stimulus.

2.5.5 Perilaku Kesehatan

Menurut Becker (dalam effendi dan makhfudli, 2009) mengatakan bahwa

konsep perilaku sehat merupakan pengembangan dari konsep perilaku yang

dikembangkan Bloom. Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi 3 domain,

yakni pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap kesehatan (health

attitude), dan praktik kesehatan (health practice). Konsep perilaku sehat ini berguna

untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku kesehatan individu yang menjadi

unit analisis penelitian. Becker mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi tiga

dimensi :

43

a. Pengetahuan kesehatan

Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh

seseorang terhadap cara – cara memelihara kesehatan, seperti

pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan tentang faktor –

faktor terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang

fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk mengindari

kecelakaan.

b. Sikap

Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang

terhadap hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti sikap

terhadap penyakit menular dan tidak menular, sikap terhadap faktor –

faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan. sikap tentang

fasilitas pelayanan kesehatan dan sikap untuk menghindari kecelakaan.

c. Praktek kesehatan

Praktek kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktifitas

orang dalam rangka memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap

penyakit menular dan tidak menular, tindakan terhadap faktor – faktor

yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, tindakan tentang fasilitas

pelayanan kesehatan dan tindakan untuk menghindari kecelakaan.

Menurut kutipan lain tentang perilaku kesehatan diungkapkan oleh: Sarwono

(2004), perilaku kesehatan merupakan segala untuk pengalaman dan interaksi individu

dengan lingkungannya, khusus yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang

kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Cals dan Cobb

44

(dalam Mappiare 2006) mengemukakan perilaku kesehatan sebagai : “perilaku untuk

mencegah penyakit pada tahap belum menunjukkan gejala (asymptomatic stage)”.

Skinner (dalam Notoadmodjo, 2012) perilaku kesehatan (healthy behavior) diartikan

sebagai respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat –

sakit, penyakit, dan faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan seperti lingkungan,

makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan

adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable)

maupun yang tidak bisa diamati (unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan

dan peningkatan kesehatan. pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau

melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan,

dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Perilaku

kesehatan merupakan suatu respon seseorang (organism) terhadap stimulus atau

obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan dan minuman serta lingkungan.

Dimensi perilaku kesehatan dibagi menjadi dua (Notoadmodjo, 2010), yaitu:

a. Healthy Behavior

Yaitu perilaku orang sehat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan

kesehatan. disebut juga perilaku preventif (tindakan atau upaya untuk

mencegah dari sakit dan masalah kesehatan yang lain : kecelakaan) dan

promotif (tindakan atau kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatannya). Contoh : 1) makan dengan gizi seimbang, 2) olahraga /

kegiatan fisik secara teratur, 3) tidak mengkonsumsi makanan / minuman

yang mengandung zat adiktif, 4) istirahat cukup, 5) rekreasi /

mengendalikan stress.

45

b. Health seeking behavior

Yaitu perilaku orang sakit untuk memperoleh kesembuhan dan

pemulihan kesehatannya. Disebut juga perilaku kuratif dan rehabilitative

yang mencakup kegiatan : 1) mengenali gejala penyakit, 2) upaya

memperoleh kesembuhan dan pemulihan yaitu dengan mengobati sendiri

atau mencari pelayanan (tradisional, profesional), 3) patuh terhadap

proses penyembuhan dan pemulihan (complientce) atau kepatuhan.

2.6 Konsep Pemberian Makanan

2.6.1 Pengertian Pemberian Makanan

Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena

anak yang sedang tumbuh kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa. Kekurangan

makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan anak dan makanan

yang berlebihan juga tidak baik karena menyebabkan obesitas. Kecukupan pemberian

makanan pada anak sangat penting sebab kekurangan energy / zat gizi dapat

mengganggu pertumbuhan yang optimal, dan dapat pula menimbulkan penyakit

gangguan gizi, baik yang dapat disembuhkan ataupun tidak Wiryo (2002).

Pemberian makanan pada anak tergantung dari beberapa hal sebagai berikut :

(1) jenis dan jumlah makanan yang diberikan. Jenis dan jumlah makanan tambahan

yang diberikan pada anak tergantung dari kemampuan pencernaan dan penyerapan

saluran pencernaan. (2) kapan saat yang tepat pemberian makanan. Waktu yang tepat

pemberian makanan pada anak tergantung pada beberapa faktor yaitu kemampuan

pencernaan dan penyerapan saluran pencernaan serta kemampuan mengunyah dan

menelan. (3) umur anak pada saat makanan padat tambahan dini biasa diberikan.

Pada umur berapa makanan padat tambahan biasanya diberikan kepada anak

tergantung kebiasaan dan sosiokultural masyarakat tersebut.

46

Makanan tambahan merupakan makanan yang diberikan kepada balita untuk

memenuhi kecukupan gizi yang diperoleh balita dari makanan sehari – hari yang

diberikan ibu. Makanan tambahan yang memenuhi syarat adalah makanan yang kaya

energi, protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin

C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada bahan kimia yang berbahaya, tidak ada

potongan atau bagian yang keras hingga membuat anak tersedak, tidak terlalu panas,

tidak pedas atau asin, mudah dimakan oleh si anak, disukai, mudah disiapkan dan

harga terjangkau. Makanan tambahan diberikan mulai usia anak enam bulan, karena

pada usia ini otot dan syaraf dalam mulut anak sudah cukup berkembang untuk

mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka

memasukkan sesuatu kedalam mulutnya dan suka terhadap rasa yang baru.

Karena kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu jenis bahan

makanan. Pola hidangan yang dianjurkan harus mengandung tiga unsur gizi utama

yakni sumber zat tenaga seperti naasi, roti, mie, bihun, jagung, singkong, tepung –

tepungan, gula dan minyak. Sumber zat pertumbuhan, misalnya ikan, daging, telur,

susu, kacang – kacangan, tempe dan tahu. Serta zat pengatur metabolisme, seperti

sayur dan buah - buahan. Pola pemberian makanan pada bayi dan anak sangat

berpengaruh pada kecukupan gizinya. Gizi yang baik akan menyebabkan anak

bertumbuh dan berkembang dengan baik pula (Depkes RI, 2005).

Makin bertambahnya usia anak makin bertambah pula kebutuhan

makanannya, secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhannya tidak

cukup dari susu saja. Di sampan itu anak mulai diperkenalkan pola makanan dewasa

secara bertahap dan anak mulai menjalani masa penyapihan. Adapun pola makanan

orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah hidangan yang bervariasi dengan

seimbang (Waryana, 2010).

47

Masa balita merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan yang

membutuhkan zat gizi. Konsumsi zat gizi yang berlebihan juga membahayakan

kesehatan. misalnya konsumsi energy dan protein yang berlebihan akan menyebabkan

kegemukan sehingga beresiko terhadap penyakit. Oleh karena itu untuk mencapai

kesehatan yang optimal disusun Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan

(Achadi, 2007).

Dasar perhitungan AKG tahun 2004 dilakukan dengan cara : (1) menetapkan

berat badan untuk berbagai golongan umur. (2) menggunakan rujukan WHO dimana

AKG untuk energy dan protein disesuaikan dengan ukuran berat dan tinggi badan

rata – rata penduduk sehat di Indonesia (Almatsier, 2009).

Tabel 3.1 Angka Kecukupan Gizi

Umur BB (Kg)

TB (cm)

Energi (kka)

Protein (g)

Vit. A (RE)

Vit. D (meg)

Vit. E (mg)

Tlamin (mg)

Riblofafin (mg)

Nissin

(mg)

Asam folat

(mcg)

0-6 bln 6 60 550 10 375 5 4 0,3 0,3 2 65 7-11 bln 8,5 71 650 15 400 5 5 0,4 0,4 4 80 1-3 th 12 90 1000 25 400 5 6 0,5 0,5 6 150 4-6 th 18 110 1550 39 450 5 7 0,8 0,6 8 200

Tabel 3.1 ( Lanjutan)

Umur BB (Kg)

TB (cm)

Piridoksin (mg)

Vit.B12 (mcg)

Vit. C (mg)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Besi (mg)

Lodium (mcg)

Seng (mg)

0-6 bln 6 60 0,1 0,4 40 200 100 0,5 90 1,3

7-11 bln 8,5 71 0,3 0,5 40 400 225 7 120 7,9

1-3 th 12 90 0,5 0,9 40 500 400 8 120 8,3

4-6 th 18 110 0,5 1,2 45 500 400 9 120 10,3

Sumber : Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004

Pola makan yang diberikan yaitu menu seimbang sehari – hari, sumber zat

tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Jadwal pemberian makanan

bagi bayi dan balita adalah tiga kali makanan utama (pagi, siang dan malam) dan dua

kali makan selingan (diantara dua kali makanan utama).

48

Berbagai kebijakan dan strategi telah diterapkan untuk mengurangi prevalensi

terjadinya kekurangan gizi. Untuk itu masyarakat perlu diberikan penyuluhan yaitu

petunjuk dan ilmu pengetahuan tentang cara mengolah makanan dari bahan yang ada

di sekitar (lokal) untuk bayi, balita, ibu hamil, dan menyusui. Petunjuk tersebut harus

disosialisasikan dengan lebih baik pada masyarakat (Wiryo, 2002).

PMT ada 2 (dua) macam yaitu PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan. PMT

penyuluhan diberikan satu bulan sekali di posyandu dengan tujuan disamping untuk

pemberian makanan tambahan juga sekaligus memberikan contoh pemberian

makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. PMT pemulihan adalah PMT yang

diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari pada balita gizi buruk

dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita tersebut. Dalam hal jenis PMT

yang diberikan harus juga memperhatikan kondisi balita karena balita dengan KEP

berat atau gizi buruk biasanya mengalami gangguan sistem pencernaan dan kondisi

umum dari balita tersebut.

Program PMT bertujuan untuk pemulihan berat badan balita gizi buruk dan

gizi kurang menjadi membaik dalam satu periode 60 s/d 90 hari sesuai dengan

kebijakan pemerintah setempat. Pelaksana adalah Dinas Kesehatan dalam hal ini

puskesmas yang diawali dengan penimbangan berat badan balita di posyandu. Pada

anak usia 6 bulan s/d 11 bulan diberi makanan tambahan berupa bubur susu, pada

anak usia 12 s/d 23 bulan dan pada anak usia 25 s/d 59 bulan diberi susu formula.

PMT pada prinsipnya adalah untuk menambah kekurangan kalori dan protein dalam

makanan balita sehari – hari.

Kegiatan PMT didasarkan atas pendapat yang menyatakan bahwa penyuluhan

gizi bagi golongan tidak mampu atau efektif jika disertai bantuan pangan berupa

49

makanan tambahan. Makanan tambahan merupakan makanan bergizi yang diberikan

kepada seseorang untuk mencukupi kebutuhannya akan zat – zat gizi agar dapat

memenuhi fungsinya di dalam tubuh manusia (Depkes RI, 2000).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan

balita gizi buruk / kurang adalah : (a) apabila anak belum mencapai umur 2 tahun

maka ASI tetap diberikan, (b) balita gizi buruk / kurang perlu diperhatikan dan

pengamatan secara terus menerus terhadap kesehatan dan gizi antara lain dengan

pemberian makanan tambahan yang sesuai, (c) anak yang menderita gizi buruk /

kurang terkadang mempunyai masalah pada fungsi alat pencernaan, hingga

pemberian makanan tambahan memerlukan perhatian khusus.

2.6.2 Pengaruh PMT Terhadap Status Gizi Balita

PMT merupakan suatu program dalam rangka mencegah semakin

memburuknya status kesehatan dan gizi masyarakat terutama keluarga miskin yang

diakibatkan adanya krisis ekonomi. Adapun tujuan dari PMT tersebut adalah

mempertahankan dan meningkatkan gizi anak balita terutama dari keluarga miskin,

meringankan beban masyarakat serta motivasi ibu – ibu untuk datang ke posyandu

(Thaha, 2000).

Dalam pengalaman di Poli Klinik rumah sakit daerah, untuk meningkatkan

status gizi dari gizi buruk ke gizi kurang diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT

selama sekitar 6 bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh petugas

/ kader setempat direkomendasikan untuk memperpanjang waktu PMT menjadi 10-

12 bulan (Jahari, 2000).

50

Pola asuh gizi merupakan praktek rumah tangga yang diwujudkan dengan

tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk

kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan. Pola asuh gizi juga

merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lainnya dalam hal kedekatan dengan

anak, memberi makan, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya.

Agar pola hidup anak sesuai dengan standar kesehatan, disamping harus

mengatur pola makan yang baik dan juga harus mengatur pola asuh yang baik. Pola

asuh yang baik bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih

sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup dengan menikmati kebersamaan

dengan seluruh keluarga. melalui keluarga dalam hal ini orang tua, anak beradaptasi

dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya. Dengan demikian dasar

pengembangan diri seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek

pengasuhan sejak ia masih balita (Soekirman, 2000).

2.7 Gambaran Perilaku terhadap Pemberian Makanan pada Balita Gizi

Kurang ditinjau dari Aspek Sosial Budaya

Sosial budaya adalah salah satu pemicu bagi masyarakat untuk membuat

keputusan dalam memilih pelayanan kesehatan. faktor - faktor lain seperti kebutuhan

konsumen sampai faktor yang berhubungan dengan penyedia pelayanan kesehatan.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan hasil interaksi

antara masyarakat (konsumen) dan penyelenggara jasa pelayanan kesehatan

(Khudhori, 2012).

Faktor sosial budaya sangat jelas terlihat pada masyarakat. Hal ini ditunjukkan

oleh suatu penelitian yang menjelaskan bahwa masyarakat lebih memilih dukun bayi

51

daripada berkunjung ke pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keyakinan musibah

yang datang berhubungan karena dosa terhadap alam dan sang pencipta (Sri, 2011).

Menurut teori kuncoro yang dikutip oleh Nursalam (2008), mengatakan

bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi

sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang dimiliki

oleh seorang ibu sangat berkesinambungan dengan perilaku terhadap pemenuhan

kesehatan gizi pada balita. menurut Wahidin (2006, dalam Lestari 2011) smakin tinggi

tingkat pengetahuan ibu semakin baik dampaknya bagi kesehatan anak.

Mutu perilaku ibu dalam gizi kurang pada balita sangat didasari dari tingkat

pendidikan dan pengetahuan tentang gizi kurang itu sendiri karena perubahan dalam

diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Belajar diartikan sebagai proses

perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terhadulu dan juga tingkat

pengetahuan ibu.