bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/bab ii.pdflpsk...

26
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 11 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan komisi pemberantasan korupsi atau biasa disingkat KPK ini, terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya merupakan pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah, sehingga pada sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja komisi pemberantasan korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tetap melekat pada komisi pemberantasan korupsi. 11 Tentang KPK/Sekilas KPK, www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk. Di akses Pada tanggal 25 Juni 2018

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah Lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 11

Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK

diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif,

dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat

independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari

kekuasaan manapun.

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang bersifat

independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari

kekuasaan manapun. Pimpinan komisi pemberantasan korupsi atau biasa

disingkat KPK ini, terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota

yang semuanya merupakan pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur

masyarakat dan unsur pemerintah, sehingga pada sistem pengawasan yang

dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja komisi pemberantasan korupsi

dalam melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan terhadap pelaku

tindak pidana korupsi tetap melekat pada komisi pemberantasan korupsi.

11

Tentang KPK/Sekilas KPK, www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk. Di akses

Pada tanggal 25 Juni 2018

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

13

2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi

Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu sebagai berikut :

1) Melakukan koordinasi dengan institusi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

2) Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi. instansi yang berwenang adalah

termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara,

Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah NonDepartemen;

3) Melakukan penyelidikan, Penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) berwenang : 12

1) Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi;

2) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi;

3) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

kepada instansi yang terkait;

4) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan;

5) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkewajiban :

1) Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan

laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana

korupsi;

2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau

3) memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan

denganhasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;

12

Tugas dan fungsi KPK, www.kpk.go.id, Diakses Pada Tanggal 25 Juni 2018

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

14

4) Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden

Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan

Badan Pemeriksa Keuangan;

5) Menegakkan sumpah jabatan dan ;

6) Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-

asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

B. Tinjauan Umum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

1. Kedudukan LPSK

Pasca amandemen UUD 1945 yang terjadi di Indonesia, banyak hal

yang telah berubah pada sistem ketatanegaraan. Salah satu sistem

ketatanegaraan Indonesia yang berubah pasca amandemen UUD 1945 adalah

mengenai format lembaga negara. Sebelum amandemen UUD 1945, format

lembaga negara Indonesia adalah dengan menggunakan sistem lembaga

tertinggi negara yang memegang kedaulatan tertinggi, yang kemudian lembaga

tertinggi negara membagi kekuasaan kepada lembaga-lembaga di bawahnya.

Akan tetapi, setelah amandemen UUD 1945 konsepsi lembaga tertinggi negara

tidak digunakan lagi. Kekuasaan tertinggi Negara dikembalikan kepada rakyat

yang dilakukan berdasarkan UUD 194513

.

Artinya, format lembaga negara pasca amandemen UUD 1945

kedudukan lembaga negara berada kedudukannya saling sejajar dan saling

mengimbangi (check and balances). UUD 1945 (amandemen) telah

mengamanatkan dibentuknya beberapa lembaga negara dengan fungsi dan

kewenangannya masing-masing yang berbeda satu sama lainnya, tetapi tetap

dalam semangat check and balances. Lembaga-lembaga negara di atas dalam

sistem ketatanegaraan disebut sebagai Lembaga Tinggi Negara. Dengan fungsi

dan kewenangannya lembaga-lembaga negara tersebut menjalankan roda

13

Sri Soemantri, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung.

1986, hal. 59

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

15

pemerintahan. Seiring perkembangan Negara yang demikian pesat, serta

kebutuhan kesejahteraan dan perlindungan terhadap warga negara semakin

meningkat.

Kurangnya lembaga-lembaga negara pasca amandemen UUD 1945

dalam memenuhi kebutuhan akan kesejahteraan dan perlindungan warga

negara, pada akhirnya memicu kelahiran lembaga-lembaga negara baru dengan

berpayung hukum pada peraturan perundang-undangan dibawah UUD1945.

Lembaga-lembaga negara baru yang lahir karena undang-undang cenderung

berbentuk komisi atau lembaga yang mempunyai sifat yang indenpenden.

Secara teoritik, lahirnya lembaga-lembaga negara baru tersebut sebagai akibat

dari gelombang baru demokrasi yang terjadi disejumlah negara, khususnya

yang mengalami proses transisi demokrasi dari otoritarian kedemokratis,

muncul organ-organ kekuasaan baru, baik yang sifatnya independen

(independent regulatory agencies), maupun yang sebatas sampiran negara

(state auxiliary agencies).

Kalaupun bukan merupakan bentuk kekalahan gagasan trias politica

terhadap perkembangan baru dan pergeseran paradigma pemerintahan dari

perspektif Huntingtonian, kelahiran organ-organ kekuasaan baru dapat dibaca

sebagai sebuah bentuk penyesuain diri negara untuk mempertahankan stabilitas

system dalam kerangka pengaturan trias politica untuk menuju suatu kondisi

tertib politik14

.

Sejumlah persoalan bangsa terkait dengan kesejahteraan dan

perlindungan warga negara bertolak pada penegakkan hukum, yang mana

dalam masa rezim otoritarian orde baru persoalan tersebut seperti tersimpan

14

Komisi Negara antaralatah, http://wahyudidjafar.files.wordpress.com, Diakses

Pada Tanggal 25 Juni 2018

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

16

tanpa pernah dipublikasikan. Oleh karenanya dalam masa transisi demokrasi

yang sedang berjalan saat ini, Indonesia banyak melahirkan lembaga dan

komisi baru untuk membantu jalannya tertib pemerintahan disegala bidang.

Periode sesudah tumbangnya Orde Baru komisi negara terbentuk hingga 2009,

Indonesia sedikitnya telah memiliki 14 komisi negara independen, yang bukan

perpanjangan dari salah satu organ kekuasaan tertentu. Dari 14 komisi-komisi

negara yang ada, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah

lembaga yang mempunyai kewenangan memberikan perlidungan terhadap

saksi dan korban pada suatu perkara hukum yang terjadi.

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 ayat (3) UU PSK menyatakan

bahwa: “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat

LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan

perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang ini”. Kemudian dalam Pasal 12 UU PSK

disebutkan bahwa: “LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian

perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan

kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Terkait dengan

tugas dan kewenangannya dalam memberikan perlindungan kepada saksi,

maka tugas yang paling utama dari LPSK itu sendiri adalah melindungi saksi

yang mengetahui tindak pidana agar tercipta penegakan hokum yang seadil-

adilnya, sama rata dan tidak pandang bulu. Hal ini sangat penting untuk

menciptakan iklim hukum yang sebenarnya di dalam suatu negara hukum.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

17

dibentuk untuk memberikan rasa aman terhadap setiap saksi dan/atau korban

dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Perlindungan dalam UU No. 13 Tahun 2006 diartikan sebagai segala

upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman

kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK. Undang-

Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban pada awalnya adalah amanat

yang didasarkan Ketetapan (TAP) MPR No. VIII Tahun 2001 tentang

Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang

yang mengatur tentang perlindungan saksi.Penjelasan Undang-Undang RI No.

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa

Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia

belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UU No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap

tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai

kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama memberikan

perlindungan terhadap saksi dan korban, LPSK telah menunjukkan rekam

jejak, yang walau masih sedikit, namun telah diacungi jempol dari berbagai

pihak. Beberapa perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam

kasus-kasus serius, dimana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam

menegakkan hukum demi mencapai keadilan15

.

Bila dilihat dari karakteristik tugas dan pekerjaan maka LPSK

sebenarnya merupakan model lembaga yang menjadi pendukung (supporting)

15

Rahmat, Kesaksian, Majalah Kesaksian Edisi II, 2012, hal. 3.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

18

dari pekerjaan lembaga/institusi lainnya16

. Implikasi atas karakteristik

pekerjaan tersebut menyebabkan LPSK tidak akan terlepas dari keberadaan

beberapa lembaga penegak hukum yang ada17

.

Dilihat dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan cara penempatan

yang baik agar bisa menempatkan diri pada posisi tersebut. Oleh karena itulah

maka LPSK dengan jelas harus membangun posisi kelembagaannya yang

berada diantara dua kepentingan yakni kepentingan pertama yang dimandatkan

oleh UU PSK sebagai lembaga yang bersifat mandiri, namun dari kepentingan

kedua yakni untuk menjalankan program juga harus didukung oleh instansi

terkait yang dalam prakteknya akan menimbulkan irisan kewenangan dengan

instansi tersebut.

2. Tugas dan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK)

Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk

memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan atau korban. Pada

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 12 menyebutkan bahwa LPSK

bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan

pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur

dalam undang-undang ini. Selanjutnya, dalam undang-undang perubahannya

yaitu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 telah disisipkan Pasal 12A

16

Lihat Notulensi Diskusi terbatas mengenai lembaga negara, tanggal 7 Maret 2006

yang di laksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi 17

Ibid, Lihat juga pembahasan Bagian Kerjasama Antar Lembaga

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

19

yang berbunyi : (1) Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12, LPSK berwenang:

a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan

pihak lain yang terkait dengan permohonan;

b. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk

mendapatkan kebenaran atas permohonan;

c. Meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang

diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;

e. Mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

f. Mengelola rumah aman;

g. Memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;

h. Melakukan pengamanan dan pengawalan;

i. Melakukan pendampingan saksi dan/atau korban dalam proses

peradilan; dan

j. Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan

kompensasi.

Dalam hal kewenangan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

dipenuhi oleh instansi yang bersangkutan atau pihak lain maka pejabat dari

instansi atau pihak lain tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Perumus Undang-Undang (UU) PSK pada

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

20

Pasal tersebut tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu

bagian atau bab tersendiri seperti peraturan lainnya, melainkan

menyebarkannya di seluruh UU. Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, yaitu :

1. LPSK bertugas melakukan pemeriksaan terhadap permintaan permohonan

saksi dan/atau korban yang mengajukan permohonan perlindunga (Pasal

29);

2. LPSK memberikan keputusan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari

sejak permohonan perlindungan diajukan (Pasal 29);

3. LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau

Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan

kesediaan (Pasal 31);

4. LPSK dapat menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban

(Pasal 32);

5. LPSK mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan dari korban)

berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia

yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi

tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7);

6. LPSK menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang

mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33);

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

21

7. LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau

Korban dan apabila saksi dan/atau korban layak diberi bantuan maka akan

ditentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan (Pasal 34);

8. LPSK dapat melakukan kerjasama dengan instansi terkait yang berwenang

dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (Pasal 36).

Dilihat dari tugas dan kewenangan yang diberikan oleh UndangUndang

(UU) PSK terhadap LPSK, maka secara umum dirasakan sudah mencukupi

tetapi di samping itu masih ada beberapa hal-hal penting yang sebaiknya

menjadi kewenangan LPSK guna meningkatkan perlindungan terhadap saksi

dan korban. Dalam melaksanakan kewenangannya, LPSK harus

memperhatikan kewenangannya agar tidak berbenturan dengan kewenangan

lembaga lainnya. Sehingga dalam kerja-kerja LPSK dimasa medatang harus

terus dilakukan pengkajian. Jika nantinya aka nada benturan kepentingan dan

mandat, sebaiknya segera mungkin diperkecil18

. Namun karena berdasarkan

dalam UU PSK sudah menentukan secara terbatas kewenangan, LPSK dalam

hal ini dapat melakukan pemetaan dan menyisir beberapa kelemahan dari

kewenangan dan menutupinya dengan menetapkan dalam sebuah keputusan

internal LPSK. Walau nantinya keputusan LPSK mungkin akan terbatas sekali

untuk diterapkan di luar LPSK. Namun dengan melakukan pemetaan

kebutuhan, yang dalam hal ini untuk memperbesar kewenangan dari LPSK

juga bisa menggunakan perjanjian atau membuat Surat Keterangan Bersama

18

Muhadar, 2010, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana,

Surabaya, PMN, Hal. 211.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

22

(SKB) dengan instansi lainnya. Penggunaan model perjanjian atau SKB

diharpkan agar problem kewenangan antar lembaga dapat diminimalisir.

Lingkup kerja LPSK dalam menjamin hak-hak saksi dan korban

yangsesuai dengan peran, tugas dan kewenangannya dapat diimplementasikan

sebagai berikut:

1. Memberikan jaminan perlindungan fisik, yakni : perlindungann atas

keamanan pribadi, keluarga dan harta benda serta perlindungan dari

ancaman (Pasal 5 ayat (1) a); mendapatkan identitas baru dan mendapatkan

tempat kediaman baru (Pasal 5 ayat (1) i) dan j).

2. Memberikan jaminan hukum yang berkaitan dengan administrasi peradilan

pada setiap tahapan proses hukum yang dijalankan, yakni: Saksi dan/atau

Korban memberikan keterangan tanpa tekanan dalam setiap tahapan proses

hukum yang berlangsung (Pasal 5 ayat (1) c); Saksi dan Korban terbebas

dari pertanyaan yang menjerat (Pasal 5 ayat (1) e); Saksi dan/atau Korban

mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus hingga batas waktu

perlindungan berakhir (Pasal 5 ayat (1) huruf f); Saksi dan/atau Korban akan

diberitahukan dalam hal terpidana dibebaskan (Pasal 5 ayat (1) huruf (h);

Saksi dan/atau Korban berhak didampingi oleh penasehat hukum untuk

mendapatkan nasehat-nasehat hukum (Pasal 5 ayat (1) huruf I); Bentuk tidak

digugat secara perdata, dituntut secara pidana karena laporannya (misalnya

terkait dengan pengungkapam kasus-kasus korupsi) (pasal 10 ayat (1)); serta

memberikan rekomendasi kepada hakim agar bagi tersangka yang

berkontribusi (sebagai saksi pelaku/Justice Collaborators) untuk diberikan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

23

keringanan hukuman atas partisipasinya dalam pengungkapan suatu tindak

pidana yang besar (Pasal 10 ayat (2));

3. Memberikan dukungan pembiayaan, yakni ; biaya transportasi (Pasal 5 ayat

(1) huruf k) dan biaya hidup sementara (Pasal 5 ayat (1) huruf m);

4. Memberikan dan memfasilitasi hak-hak reparasi (pemulihan) bagi korban

kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yakni : bantuan

medis (Pasal 6 huruf a); bantuan rehabilitasi psikososial (Pasal 6 huruf b),

pengajuan kompensasi bagi korban (Pasal 7 ayat (1) huruf a) dan pengajuan

restitusi bagi korban (Pasal 7 ayat (1) huruf b).

Dalam UU PSK Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa LPSK adalah

lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden sebagai pejabat

negara tertinggi harus memfasilitasi lembaga ini sesuai dengan mandat dan

tugasnya, mengingat bahwa Presiden yang bertanggungjawab atas kerja-kerja

dari LPSK. Selanjutnya pada Pasal 13 ayat (2) menugaskan LPSK membuat

laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas dari LPSK kepada DPR

paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Fungsi dari penugasan ini adalah

sebagai fungsi kontrol dari DPR selaku perwakilan rakyat Indonesia. Dalam

laporan tersebut perlu diperhatikan terkait isi serta format seperti apa yang

harus dilaporkan kepada DPR maupun Presiden. Karena laporan-laporan yang

akan diberikan harus terlebih dahulu dicermati sehingga tidak memuat hal-hal

yang dianggap privasi, jangan sampai ada keterbukaan informasi yang justru

telah ditetapkan sebagai rahasia oleh LPSK. Karena DPR dalam hal ini

seharusnya menjadi partner LPSK baik sebagai pendukung program maupun

pemberi rekomendasi yang dapat membantu pengembangan program LPSK.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

24

C. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum terhadap Saksi Pelapor

(Whistleblower) Tindak Pidana Korupsi

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib

diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga

masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,

Negara bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan

suatu hal yang sangat penting. Seperti yang jelas diuraikan dalam Pasal

28I ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang

berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban berlaku setelah diundangkan pada tanggal

11Agustus 2006 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64.

Undang-Undang ini merupakan perjuangan panjang dan kebutuhan mendesak

bagi kalangan aktivis antikorupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban merupakan lex specialis (ketentuan khusus) yang mengatur

perlindungan hukum bagi saksi dan/atau korban. Pengaturan perlindungan dan

tata cara pemberian perlindungan bagi saksi dan atau korban, sebelumnya

tersebar di beberapa peraturandan di beberapa lembaga Negara yang diberikan

kewenangan untuk memberikan perlindungan. Bagian penjelasan Undang-

Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

disebutkan:

“...dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk

mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengancara

memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang

mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap

tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak

hukum. Selanjutnya disebutkan pelapor yang demikian itu harus diberi

perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia

tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya...”

Berdasarkan penjabaran di atas dapat dikatakan bahwa berawal dari

pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat inilah yang

menjadi salah satu alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di undangkan pada 11

Agustus 2006. Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang

bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

25

pada saksi dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK). LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan

perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Lingkup perlindungan oleh

LPSK adalah pada semua tahap proses peradilan pidana, agar saksi dan/atau

korban merasa aman ketika memberikan keterangan.

Prinsip Universal sebagaimana termuat dalam The Universal

Declaration of Human Right (10 Desember 1948) dan The International

Covenanton Civil and Political Rights (16 Desember 1966) mengakui bahwa

semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas

perlindungan hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi

apapun. Setiap tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang di jamin oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Suatu pengungkapan atau

kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun Serious Crime oleh

whistleblower jelas merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan19

.

Pelaku kejahatan akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam

dan melakukan aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya

bersifat prevensial (mencegah sebelum terjadi) kehadiran whistleblower

memang sulitdibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang

whistleblower berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi

keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko terhadap

pekerjaan dan masa depannya.

Bedasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan

hukum bagi whistleblower dalam mengungkap fakta tindak pidana korupsi di

Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani mencegah dan

mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama rekan-rekannya. Namun

fakta yang sering terjadi justru kebalikannya, mereka diberikan sanksi dengan

19

Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif

Hukum, 2012, Penaku, Jakarta. hal. 11

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

26

direkayasa seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan indisipliner

atau perbuatan melawan hukum. Whistleblower perlu diberikan perlindungan

hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban dengan harapan whistleblower

yang lain mampu bekerjasama dan mempermudah aparat hukum untuk

mengungkap suatu tindak pidana korupsi guna menemukan alat bukti serta

menangkap tersangka yang lain.

UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jelas

diperlukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi

yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kasus korupsi. Selain itu

untuk mengungkap kasus tindak pidana perkara korupsi peran serta masyarakat

sangat menentukan. Peran saksi pelapor (whistleblower) dalam perkara korupsi

sangat menentukan, mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi oleh

masyarakat saat melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah

sewajarnya apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya.

Adanya penghargaan bagi peran serta masyarakat penting dilakukan untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana. Oleh

karena itu model perlindungan berlapis bagi whistleblower yang dapat

diberikan antara lain:20

20

Muhadar,dkk. Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana,

hal 19

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

27

1. Perlindungan yang Bersifat Represif

Bentuk perlindungan represif meliputi perlindungan hukum yang

diberikan terhadap whistleblower dalam segi antisipasi dari segala tindakan

atau resiko yang tidak diinginkan. Perlindungan yang diberikan dalam bentuk

secara yuridis maupun fisik. Sistem perlindungan antisipasi atau represif

dengan memanfaatkan lembaga atau badan yang telah ada melalui

penambahan bahkan menguatkan fungsi dan kewenangan dari lembaga

tersebut. Butuh suatu terobosan sebagai model perlindungan baik pada saksi

dan korban terutama whistleblower. Suatu aktivasi lembaga ini sudah di

nanti-nanti agar mampu memfasilitasi perlindungan bagi whistleblower.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah dibentuk pasca

dikeluarkan undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban, belum memberikan suatu jaminan perlindungan secara

maksimal. Perlindungan baik dalam bentuk fisik maupun hukum tidak

terlaksana dengan efektif. Perlindungan hukum tidak akan terlaksana jika

tidak ada motor penggerak untuk mewujudkan suatu jaminan perlindungan

hukum, dengan begitu dibutuhkan lembaga atau badan yang mampu

melaksanakan.

Di sisi lain model koordinasi antara Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban atau LPSK dengan instansi lain dalam memberikan perlindungan

hukum dapat digunakan sebagai upaya preventif agar mampu menciptakan

instrumen guna mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam kedudukan

whistleblower. Asas-asas umum pemerintahan yang baik menjadi dasar agar

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

28

tercipta koordinasi yang harmonis demi kepentingan negara sebagai

kebutuhan publik. Dari sinergitas tersebut dapat dihasilkan suatu program

maupun kebijakan lembaga agar menciptakan suatu pembebasan dalam

pertanggungjawaban pidana yang dipikul (suatu kondisi ketika whistleblower

tersangkut kasus dimana ia juga menjadi saksi pengungkap fakta).

Jenis instrumen yang dapat dihasilkan antara Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban dengan lembaga lain misal Kejaksaan, melalui Kejaksaan Agung

memunculkan suatu kebijakan guna melindungi status whistleblower.

Aplikasinya berupa pembuatan ketentuan peraturan yang berisi penempatan

whistleblower sebagai bagian dari penuntut umum atau dari pihak kejaksaan.

Demi kelangsungan tugas dan keberhasilan mengungkap suatu kejahatan

serta diperoleh pertanggungjawaban dari diri pelaku maka dalam aturan

tersebut dimunculkan kekebalan hukum atau legal imunity dari segala upaya

hukum yang ditujukan padanya. Dalam ketentuan tersebut juga dicantumkan

batasan perlindungan hukum yang diberikan oleh keduanya, agar tidak timbul

suatu chaos21

ketika terbit seorang whistleblower dengan segala ancaman

yang ditujukan. Jenis kordinasi lain melalui lembaga representasi masyarakat

dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yaitu menempatkan

klausula pengaturan seperti di atas atas binding power atau memiliki kekuatan

hukum mengikat ketika aturan yang demikian semakin dikembangkan oleh

badan representatif masyarakat. Bahwa whistleblower bukanlah seorang saksi

21

Peter Salim. The Contemporary English – Indonesian Dictionary.ed

8.2002(Jakarta:Modern English Press), hal. 314. Lihat juga Satjipto Rahardjo

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

29

maka pengaturannya harus secara khusus dengan diaplikasikan pada

kewenangan LPSK.

Klausul tersebut memberikan dampak yang sangat obyektif bagi

whistleblower dengan sistem perlindungan hukum yang bertaraf legal

national. Implikasi yuridis yang timbul bahwa lex specialis derogat legi

generalle dan lex superior derogat legi inferiori. Pengaturan yang dilakukan

koordinasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan

masih di bawah pengaturan yang dihasilkan pengaturan oleh legislatif

nasional. Pengaturan ini diharapkan mampu memberikan pengamanan bagi

seorang whistleblower demi kedudukan dan status hukum.

2. Perlindungan yang Bersifat Restoratif

Bentuk perlindungan selanjutnya berupa penerapan Restorative justice

yang termodifikasi. Restorative justice bertujuan untuk mewujudkan

pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku dan masyarakat berkepentingan

(stakeholder) melalui proses penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus

pada mengadili dan menghukum pelaku22

. Stakeholder disini antara lain

saksi, whistleblower dan masyarakat yang mungkin dirugikan. Proses

peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan

keadilan bukan urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu

harus memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan

kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakatnya23

. Mekanisme

restorative justice termodifikasi digunakan sesuai dengan karakter bangsa

22

Dr.Artidjo Alkostar,S.H.,LLM.Restorative Justice.Jurnal Varia Peradilan 2007 23

Opcit, hal. 9

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

30

Indonesia karena konsep restorative justice yang ada jika diterapkan maka

dapat mengakibatkan dampak negatif tanpa mempedulikan karakter bangsa

ini. Modifikasi yang dilakukan pada tahap peradilan pidana maupun konsep

bentuk perlindungan bagi whistleblower. Tahapan proses peradilan pidana

Indonesia sudah waktunya untuk direvisi demi tuntutan tujuan hukum yang

memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi keseluruhan pihak.

Tahap proses peradilan yang akan direvisi dalam bentuk menambahkan

ataupun mengganti tahap yang sudah selayaknya untuk dimodifikasi.

Pertama akan ditambahkan proses permulaan peradilan sehabis dilakukan

penyidikan namun sebelum masuk ke proses penuntutan berupa proses

untuk mempertemukan para pihak (stakeholder) baik pelaku korban maupun

kelurga korban, saksi maupun whistleblower sampai masyarakat kolektif

yang memiliki kepentingan didalamnya. Proses ini bisa disebut istilah

mediasi dalam proses peradilan perdata ataupun dismissal proses dalam

bidang peradilan Tata Usaha Negara.

Proses permulaan tersebut dapat disepakati bahwa baik pihak

keluarga korban, korban, saksi, masyarakat kolektif dan pelaku untuk tidak

meneruskan kasus kejahatan sampai pada tahap penuntutan. Yang

terpenting disini adalah kepentingan para pihak akhirnya mampu lebih

banyak diakomodir dan bisa menciptakan kemanfaatan bagi para pihak.

Proses selanjutnya yang sebaiknya ditambah dalam sistem peradilan

pidana Indonesia adalah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi

seorang whistleblower. Kelonggaran yang diberikan dalam sistem

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

31

peradilan pidana ini bisa berupa tidak diambil sumpah dalam keterangan

whistleblower. Untuk menguatkan hal tersebut juga perlu suatu instrumen

hukum sebagai payung hukum adanya perlindungan tersebut agar muncul

legalitas dalam pengaturan suatu mekanisme beracara di peradilan pidana.

Konsep restorative justice terekstrim adalah dalam hal

perundangan yang mengatur. Kemungkinan yang terjadi adalah revisi

klausul dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2006 yang memang sesuai

perkembangan beberapa tahun belakangan sudah terdapat beberapa hal

baru yang tidak dapat diakomodir dengan undang-undang tersebut.

Kemungkinan kedua dan yang terberat adalah membuat undang-undang

baru yang mengatur tentang whistleblower sehingga muncul payung

hukum bagi perlindungan hukumnya.

Saat ini praktik-praktik sistem pelaporan dan perlindungan

whistleblower di Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan secara luas di

lembaga-lembaga pemerintahan atau lembaga negara, institusi-institusi publik

atau sector swasta. Negara ini sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain,

seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan beberapa negara di Eropa yang

sudah lama menerapkan sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK), Ombudsman,

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Komisi Yudisial (KY),

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas),Komisi Kejaksaan, sedangkan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK) masih dalam tahap

pembangunan sistem. Selain itu beberapa perusahaanswasta dan BUMN sudah

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

32

membangun dan menerapkan system whistleblowing tersebut, seperti

Pertamina, United Tractors, Sinar Mas, dan sebagainya.Sistem whistleblower

yang diterapkan di berbagai instansi dan perusahaan BUMN atau swasta

tersebut juga dilengkapi dengan perlindungannya. Beberapa kasus tersebut

mereka tidak memahami kemana harus melaporkan kejahatan atau pelanggaran

yang mereka ketahui. LPSK sendiri menilai bahwa perlindungan saksi pelapor

(whistleblower) di masa depanakan semakin penting. Seiring dengan

menguatnya perekonomian makro, kompetisi ekonomi, liberalisasi politik,

tuntutan penegakanhukum, hingga pemberantasan korupsi yang gencar

dilakukan oleh pelbagai kalangan, maka keberadaan sang peniup peluit menjadi

signifikan.

Whistleblower dapat berperan besar dalam mengungkap praktik-

praktik koruptif lembaga-lembaga publik, pemerintahan maupun

perusahaan swasta. Tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan

whistleblower, partisipasi publik untuk membongkar suatu dugaan tindak

pidana atau pelanggaran menjadi rendah. Hal itu berarti praktik-praktik

menyimpang, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin berkembang

subur. Oleh karena itu peran whistleblower di Indonesia perlu terus

didorong, disosialisasikan, dan diterapkan, baik di perusahaan,

lembagapemerintah, dan institusi publik lain. Bagaimana peran

whistleblower di Indonesia dibangun dan dikembangkan memang

membutuhkan waktu dan sebuah proses karena praktik pelaporan dan

perlindungan terhadap whistleblower membutuhkan banyak tantangan.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

33

Akibat minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang

whistleblower dapat terancam karena laporan atau kesaksiannya atas

dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi. Pihak-pihak yang merasa

dirugikan kemungkinan besar akan memberikan perlawanan untuk

mencegah whistleblower memberikan laporan atau kesaksian. Bahkan tak

menutup kemungkinan mereka yang merasa dirugikan dapat mengancam

dan melakukan pembalasan dendam.Untuk itu, agar praktik pelaporan dan

pengungkapan fakta oleh whistleblower dapat berjalan lebih efektif,

dibutuhkan perubahan pengaturan didalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu SEMA

Nomor 4 tahun 2011 penting untuk diterapkan oleh semua hakim dalam

memutus perkara dan selalu dimonitor pelaksanaannya.

Pada Sistem pelaporan dan perlindungan ada kewajiban yang harus

dipenuhi oleh seorang whistleblower untuk memberi laporan atau

kesaksian dan mendapatkan perlindungan. Misalnya hal yang di ungkap

oleh whistleblower haruslah fakta dan bukan gossip atau isu semata.

Whistleblower juga tidak akan menyampaikan laporan atau kesaksian

kepada institusi lain atau kepada media massa jika whistleblower sudah

memberikan laporan atau kesaksian kepada lembaga yang berwenang

menangani.

Seorang whistleblower dalam upaya mengungkap suatu

pelanggaran atau kejahatan, baik di perusahaan atau suatu lembaga

pemerintahan, memang dapat di latari berbagai motivasi, seperti

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

34

pembalasan dendam,ingin “menjatuhkan” institusi tempatnya bekerja,

mencari “selamat”, atau niat untuk menciptakan lingkungan organisasi

tempatnya bekerja yang lebih baik.

D. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

Perlindungan merupakan suatu aspek yang penting yang harus dimiliki

oleh setiap warga masyarakat. Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa

Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan

untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib

dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini.

Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi dapat diberikan pada

tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang

pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum, aparat keamanan,

dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban24

.

Dengan adanya perlindungan hukum dari LPSK, penjaminan atas rasa

aman terhadap saksi dan korban pun menjadi semakin kuat. Bentuk

perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada korban adalah melalui

pemberian kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi sebagaimana yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Retribusi, Dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

E. Tinjauan Umum tentang Rumah Aman (Safe House)

Rumah aman menurut LPSK, ialah rumah untuk melindungi Saksi,

Korban, dan Pelapor yang keberadaannya harus di lindungi dari media dan

lain-lain sehingga terlindungi fisik atau jiwanya. Rumah aman yang LPSK

berikan harus berdekatan dengan ruang publik, contohnya Rumah Sakit,

fasilitas CCTV, serta tersedianya peralatan P3K. Rumah aman yang disediakan

oleh LPSK harus berstandar bebas dari kebakaran. Fasilitas yang disediakan

didalam Rumah Aman ini ialah berupa CCTV, ruang-ruang kosong yang

24

Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, PMN,

Surabaya, 2010, hal. 69

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

35

dipakai bagi pelindung atau penjaga untuk beristirahat dan beribadah, serta

adanya petugas kemanan dan petugas kebersihan. LPSK juga menyediakan

sarana rekreasi bagi Saksi, Korban, maupun Pelapor yang dilindungi agar tidak

merasa jenuh selama berada di rumah aman tersebut. Rumah aman mempunyai

3 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi.25

Saksi, Korban, maupun Pelapor, dalam kondisi khusus terlindung di

dalam Safe House sangat rentan terancam keselamatan jiwanya sehingga

penempatan dalam Safe House merupakan perlindungan yang paling maksimal.

Saksi yang ditempatkan di Safe House agar terlindung tidak mendapat tindak

kekerasan dan ancaman yang dapat memengaruhi keterangan dalam perkara

yang sedang di laporkan dan yang sedang di ketahui. Saksi, Korban, serta

Pelapor yang berada di dalam Rumah Aman tidak diperbolehkan membawa

alat komunikasi dan senjata tajam. Evaluasi tetap dilakukan oleh petugas atau

penjagaan di rumah aman. Evaluasi dilakukan setelah mendapat laporan dari

terlindung dan petugas apakah sudah cukup atau diperpanjang waktunya

berada di dalam rumah aman tersebut, karena LPSK tidak melakukan

pemeriksaan melainkan pendampingan terhadap Saksi, Korban, ataupun

Pelapor.

Pengelolaan Safe House berbeda dari rumah tinggal pada umumnya

karena adanya pengamanan, pengemudi yang terampil serta lokasi yang mudah

dituju bila terjadi keadaan darurat. Faktor kemanan, kenyamanan dan

kerahasiaan menjadi yang utama untuk Safe House. Dalam 26

UU No. 31 Tahun

2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 mengenai perlindungan

Saksi dan Korban, Pasal 12 A ayat (1) huruf F sampai H menyatakan LPSK

25

http://www.lpsk.go.id/. Di akses pada 27 Juni 2018 26

UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

36

berwenang mengelola rumah aman, memindahkan atau merelokasi terlindung

ke tempat yang lebih aman, serta melakukan pengamanan dan pengawalan.

27Pasal 5 UU PSK, LPSK juga memberikan perlindungan fisik meliputi:

1. Keamanan

2. Pengawalan

3. Penempatan di rumah aman (Safe House).

F. Konsep dan Dasar Perlindungan Saksi dan Korban

Pada awalnya keberadaan saksi dan korban kuranglah diperhitungkan.

Keselamatan baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga pada kasus-kasus

tertentu menjadi taruhannya atas kesaksian yang mereka berikan.

Dalam KUHAP cenderung lebih memberatkan pemberian perlindungan

kepada warga negara yang berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana. Pada

tahun 2003, good will (iktikad baik) dari pemerintah untuk melakukan

perlindungan terhadap saksi dan korban mulai tampak, tetapi baru sebatas pada

kasus-kasus tertentu28

.

Perlindungan yang diberikannya pun hanya dalam bentuk Peraturan

Pemerintah (PP), yaitu : PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara

Perlindungan terhadapa Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam

Perkara Tindak Pidana Terorisme. Dan PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata

Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian

Uang29

.

Barulah pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan peraturan

perundang-undangan berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban yang di undangkan pada 11 Agustus 2006.

27

Ibid, Pasal 5 28

Rocky Marbun, Cerdik & Taktis Menghadapi Kasus Hukum, Visimedia, Jakarta,

2009, hal. 86. 29

Ibid

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang …eprints.umm.ac.id/43515/3/BAB II.pdfLPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban dan apabila saksi

37

Peranan saksi dan juga korban sangatlah penting dalam rangka untuk

melahirkan sebuah keputusan yang adil dan obyektif. Untuk itulah

perlindungan terhadap saksi dan korban menjadi sangat penting juga