chapter ii (saksi ahli)

70
BAB II KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAN DALAM PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI A. Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur dalam Tindak Pidana Korupsi Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara, maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan negara. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan tentang pengertian keuangan negara. Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 57 Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena : 58 57 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal.4. 58 Penjelasan Pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Sumatera Utara

Upload: dandaru02

Post on 22-Jun-2015

29 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Chapter II (Saksi Ahli)

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II (Saksi Ahli)

BAB II

KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAN DALAM PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERHADAP

TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur dalam Tindak Pidana Korupsi

Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya

kerugian keuangan negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara,

maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan negara.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan

tentang pengertian keuangan negara. Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 Tahun

2003 Tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak

dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.57

Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2

dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau

yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan

segala hak dan kewajiban yang timbul, karena :58

57 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik dan

Kritik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal.4. 58 Penjelasan Pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II (Saksi Ahli)

a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga

negara, baik tingkat pusat maupun di daerah.

b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab Badan Usaha Milik

Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang

menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak

ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian

keuangan negara dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan Undang-undang

No. 31 Tahun 1999 adalah sejalan. Keuangan negara tidak semata-mata berbentuk

uang, tetapi termasuk segala hak dan kewajiban (dalam bentuk apapun) yang dapat

diukur dengan nilai uang. Pengertian keuangan negara juga mempunyai arti yang

luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN,

BUMD dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem

keuangan negara. Jika menggunakan pendekatan proses, keuangan negara dapat

diartikan sebagai segala sesuatu kegiatan atau aktifitas yang berkaitan erat dengan

uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk

kepentingan publik.

Walaupun peraturan perundang-undangan sebagaimana dilihat di atas telah

mengatur secara tegas mengenai pengertian keuangan negara, namun hukum tidak

otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II (Saksi Ahli)

pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga kwalitas :

“predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya

kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara

telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan

ekonomi.

Masalah keuangan negara ini, masih sering menimbulkan kerancuan

khususnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Kerancuan tersebut,

antara lain adalah bahwa asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan

negara? Analisa mengenai hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha

Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut

Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi

dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)

sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar

keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala

ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. 59

Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan

hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan

59 Erman Rajagukguk, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara, Disampaikan

pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II (Saksi Ahli)

Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari

kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang

Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum

terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri

Yayasan.

Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan

Pengurus dan Anggota Koperasi. BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan

Hukum. Pasal 35 ayat (2) Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha

Milik Negara menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak

diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang

Perseroan Terbatas, BUMN Persero memperoleh status badan hukum setelah akte

pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan

HAM). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kekayaan BUMN Persero maupun

kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan

negara dalam penjelasan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana

Korupsi yang menyatakan : “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh

kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II (Saksi Ahli)

termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban

yang timbul karena :60

a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat

lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;

b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan

Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan

perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

“Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan

harta kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Seseorang baru dapat

dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang bila seseorang dengan

sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara

melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham

tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan

perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi).

Namun dalam prakteknya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan

kepada tindakan-tidakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan

dapat merugikan keuangan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan

60 Ibid., hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II (Saksi Ahli)

penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Begitu juga tidak ada yang

salah dengan definisi keuangan negara dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003

Tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa

uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).

Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri

atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain

yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

negara/perusahaan daerah. Kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam

lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan

BUMN tersebut. Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini

tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan :

“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II (Saksi Ahli)

tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.”

Penjelasan Pasal 2 huruf g sendiri adalah cukup jelas. Kesalahan terjadi lagi

dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan

Piutang Negara/Daerah. Pasal 19 menyatakan Penghapusan secara bersyarat dan

penghapusan secara mutak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20

menyatakan bahwa tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan

secara mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutang

diserahkan kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Dengan demikian peraturan ini tidak memisahkan antara kekayaan BUMN Persero

dan kekayaan Negara sebagai pemegang saham. Tampaknya pemerintah menyadari

kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika menghadapi kredit bermasalah (non-

performing loan/NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT.

Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14

Tahun 2005. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan :“Selanjutnya, pengurusan

piutang perusahaan negara/daerah dilakukan berdasarkan Undang-undang

Perseroan Terbatas dan Undang-undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi

disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah Undang-undang

Perseroan dan Undang-undang BUMN.”

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II (Saksi Ahli)

Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di

dalam Komisi XI karena dianggap membatalkan Pasal 2 ayat g Undang-undang No.

17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk perubahan

PP No. 24 Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula

yang berpendapat, Pemerintah harus membuat peraturan pemerintah pengganti

undang-undang (perpu) untuk membatalkan Pasal 2 huruf g Undang-undang

Keuangan Negara.

1. Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi

Kerugian negara berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-

undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-

undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyebutkan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkapkan

terjadinya tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-

undang No. 31 Tahun 1999 tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas

mengenai apa yang disebut dengan kerugian keuangan negara. Dalam Penjelasan

Pasal 32 hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara

adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II (Saksi Ahli)

instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.61 Adapun siapa instansi

yang berwenang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun demikian, mengacu

pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka

sekurang-kurangnya tiga instansi yang berwenang, yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat

baik di tingkat pusat dan daerah.

Dalam persfektif undang-undang tersebut, kerugian keuangan negara adalah

yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan

wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau

kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Dengan memperhatikan rumusan keuangan negara sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, maka kerugian keuangan negara tersebut

dapat berbentuk :62

a. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang,

barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.

b. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari yang

seharusnya menurut kriteria yang berlaku.

c. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima

(termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif).

61 Penjelasan Pasal 32 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999. 62 Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur

Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Fakutals Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hal. 3-4.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II (Saksi Ahli)

d. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang

seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak

sesuai).

e. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.

f. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang

seharusnya.

g. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima

menurut aturan yang berlaku.

h. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.

Hal-hal yang dapat merugikan keuangan negara dapat ditinjau dari beberapa

aspek, antara lain aspek pelaku, sebab, waktu dan cara penyelesaiannya.

1. Ditinjau dari aspek pelaku.

a. Perbuatan Bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan

perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran, pemberian

atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak, pertangungjawaban/laporan

yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak pidana korupsi dan

kecurian karena kelalaian.

b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan negara dengan

cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi,

dan menaikkan harga atau merubah mutu barang.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II (Saksi Ahli)

c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan cara

anara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat yang

berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi).

2. Ditinjau dari aspek pelaku.

a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang sengaja seperti diuraikan pada point

sebelumnya, perbuatan yang tidak disengaja, karena kelalaian, kealpaan,

kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap penggunaan

keuangan negara yang tidak memadai.

b. Kejadian alam, seperti bencana alam (antara lain, gempa bumi, tanah longsor,

banjir dan kebakaran) dan proses alamiah (antara lain, membusuk, menguap,

mencair, menyusut dan mengurai).

c. Peraturan perundang-undangan dan atau situasi moneter/perekonomian, yakni

kerugian keuangan negara karena adanya pengguntingan uang (sanering),

gejolak moneter yang mengakibatkan turunnya nilai uang sehingga

menaikkan jumlah kewajiban negara dan sebagainya.

3. Ditinjau dari aspek waktu.

Tinjauan dari aspek waktu disini dimaksudkan untuk memastikan apakah

suatu kerugian keuangan negara masih dapat dilakukan penuntutannya atau tidak,

baik terhadap bendaharawan, pegawai negeri non bendaharawan, atau pihak ketiga.

Dalam Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan

Negara disebutkan :

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II (Saksi Ahli)

b. Dalam hal bendahara, pengawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain

yang dikenai tuntutan ganti kerugian negara/daerah berada dalam

pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan

penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli

waris, terbatas kepada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang

berasal dari bendahara, pengawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain

yang bersangkutan.

c. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar

ganti kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi

hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang

menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan

bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau

meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi

tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara/daerah.

Dalam hal tuntutan ganti rugi perlu diperhatikan ketentuan kadaluarsa,

sebagaimana diatur dalam Pasal 65 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang

Perbendaharaan Negara, yang menyebutkan bahwa kewajiban bendahara, pegawai

negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi

kadaluarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau

dalam waktu 9 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan

ganti rugi terhadap yang bersangkutan.

4. Ditinjau dari aspek cara penyelesaiannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II (Saksi Ahli)

a. Tuntutan Pidana/Pidana Khusus (Korupsi).

b. Tuntutan Perdata

c. Tuntutan Perbendaharaan (TP)

e. Tuntutan Ganti Rugi (TGR)

4. Kerugian negara ditinjau dari aspek akuntansi.

Menurut Eric L. Kholer dalam buku A Dictionary for Accountants, Loss

adalah:63

a. Any item of expense, as in the term profit and loss. b. Any sudden, enexpected, involuntary expense or irrecoverable cost, often

reffered to as a form of non recurring charge an expenditure from which no present or future benefit ay be expected. Examples : the undepreciated cost of building destroyed by fire and non covered by insurance : damages paid in an accident suit : an amount of money stolen.

c. The excess of the cost or depreciated cost of an asset over its selling price. Jika ditijau dari segi akuntasi, maka kerugian diakui dalam laporan laba rugi

dalam hal terjadi penurunan manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan

penurunan aset atau kenaikan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur dengan andal.

Untuk itu perlu pemahaman mengenai konsep asset dan konsep kewajiban.

1. Pengertian Aset

Paton mendefinisikan asset sebagai kekayaan baik dalam bentuk fisik atau

bentuk lainnya yang memiliki nilai bagi suatu entitas bisnis.64 Vatter meninjau aset

dari manfaat yang dihasilkan dengan mendefinisikan aktiva sebagai manfaat ekonomi

63 A Dictionary for Accountants, Fifth Edition 1978, Prentice Hall of India, New Delhi (dalam

artikel Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, hal.8)

64 W.A. Paton, Accounting Theory, Scholar Book Company, 1962.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II (Saksi Ahli)

masa yang akan dating dalam bentuk potensi jasa yang dapat diubah, ditukar atau

disimpan.65

Hal ini sejalan dengan definisi IAI yang menyebutkan bahwa manfaat

ekonomi masa depan yang terwujud dala asset adalah potensi dari aset tersebut untuk

memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, arus kas dan setara

kas kepada pereushaan.66 Demikian juga dengan Financial Accounting Standard

Board mendefinisikan asset sebagai manfaat ekonomi yang muengkin terjadi di masa

mendatang yang diperoleh atau dikendalikan oleh suatu entitas tertentu sebagai akibat

transaksi atau peristiwa masa lalu.67 Sedangkan Sparague menyatakan bahwa aset

yang dimiliki perusahaan harus memiliki nilai dan perusahaan dapat

menikmati/memanfaatkan nilai tersebut.68

Manfaat yang diperoleh perusahaan berkaitan dengan pemilikian aset dapat

dengan cara-cara :

a) Digunakan baik sendiri maupun bersama dengan aset lain dalam produksi barang

dan jasa yang dijual oleh perusahaan.

b) Dipertukarkan dengan aset lain.

c) Digunakan untuk menyelesaikan kewajiban.

d) Dibagikan kepada pemilik perusahaan.

65 W. Vatter, The Fund Theory of Accounting and Its Implication for Financial Reporting, University of Chicago Press.

66 IAI, Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat, Jakarta, 2007. 67 Financial Accounting Standard Board, Statement of Financial Accounting Concepts, No. 3

dan 5, Stamford, Connecticut, 1980. 68 C.Sprague dalam Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai

Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Fakutals Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II (Saksi Ahli)

Definisi aset menurut Standar Akuntansi Pemerintah tahun 2005 adalah

sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat

dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa

depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta

dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yagn

diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya

yagn dipelihara karensa alasan sejarah dan budaya.

Uraian diatas menunjukkan bahwa definisi aset menurut para ahli dan Standar

Akuntansi Keuangan maupun Standar Akuntasi Pemerintah tidak jauh berbeda.

Dengan demikian, dapat dirumukan karakteristik umum aset sebagai berikut :69

(1) Adanya karakteristik manfaat di masa yang akan datang.

(2) Adanya pengorbanan ekonomi untuk memperoleh aset.

(3) Berkaitan dengan entitas tertentu.

(4) Menunjukkan proses akuntansi.

(5) Berkaitan dengan dimensi waktu.

(6) Berkaitan dengan karakteristik keterukuran.

Dengan mendasarkan pada karakteristik aset tersebut, maka pengakuan aset

IAI adalah sebagai berikut :

69 Imama Ghozali dan Anis Chariri, Teori Akuntansi, Universitas Diponegoro Press,

Semarang, 2007, hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II (Saksi Ahli)

(1) Aset diakui dalam neraca kalau besar kemungkinan bahwa manfaat

ekonominya di masa depan diperoleh perusahaan dan aset tersebut

mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dan andal.

(2) Aset tidak diakui dalam neraca kalau pengeluaran telah terjadi dan manfaat

ekonominya dipandang tidak mungkin mengalir setelah periode akuntansi

berjalan. Sebagai alternatif transaksi semacam ini menimbulkan pengakuan

beban dalam laporan laba rugi.

Dengan demikian kerugian keuangan ditinjau dari aspek aset entitas adlah

terjadinya penurunan/kekurangan nilai aset entitas tidak menghasilkan manfaat

ekonomi masa depan atau kalau sepanjang manfaat ekonomi masa depan tidka

memenuhi syarat, atau tidak lagi memenuhi syarat, untuk diakui dalam neraca sebagai

aset. Dalam konteks keuangan negara, maka konsep ini diterapkan dalam hal terjadi

pengeluaran suatu sumber\kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang

seharusnya tidak dikeluarkan, seperti adanya pengeluaran kas untuk kegiatan fiktif

atau penggelapan kas atau aset negara lainnya. 70

2. Pengertian Kewajiban

Kam mendefenisikan kewajiban sebagai suatu keharusan bagi unit usaha

tersebut untuk menyerahkan asset/jasa pada pihak lain di masa mendatang sebagai

akibat dari transaksi di masa lalu. Financial Accounting Standard Board

menyebutkan bahwa kewajiban adalah pengorbanan manfaat ekonomi masa

mendatang yang mungkin timbul karena kewajiban sekarang suatu entitas untuk

70 Eddy Mulyadi Soepardi, Op.Cit., hal. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II (Saksi Ahli)

mnyerahkan asset atau memberikan jasa kepada entitas lain di masa mendatang

sebagai akibat transaksi masa lalu. Konsep yang sama dikemukakan oleh IAI yang

mengemukakan bahwa kewajiban merupakan hutang perusahaan masa kini yang

timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus

keluar dari sumber daya perusahaan yang menyangkut manfaat ekonomi.71

Definisi kewajiban menurut Standar Akuntansi Pemerintah tahun 2005 adalah

utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesainnya mengakibatkan

aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. Penjelasan lebih lanjut mengenai

kewajiban menurut IAI adalah sebagai berikut :

a) Kewajiban adalah suatu tugas atau tanggung jawab untuk bertindak atau untuk

melaksanakan sesuatu dengan cara tertentu.

b) Kewajiban dapat dipaksakan menurut hukum sebagai konsekuensi dari kontrak

mengikat atau perundang-undangan, biasanya disertai dengan jumlah terutang

dari barang atau jasa yang telah diterima.

c) Suatu perbedaan perlu dilakukan antara kewajiban sekarang dan komitmen di

masa depan. Keputusan manajemen perusahaan untuk membeli aset di masa

depan tidak dengan sendirinya menimbulkan kewajiban sekarang. Kewajiban

timbul pada saat aset telah diserahkan atau perusahaan telah membuat perjanjian

yang tidak dapat untuk membeli aset. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban

akan menimbulkan konsekuensi ekonomi, seperti sanksi yang menimbulkan

perusahaan mengeluarkan sumber daya kepada pihak lain.

71 Ibid., hal. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II (Saksi Ahli)

d) Penyelesaian kewajiban masa kini biasanya melibatkan perusahaan untuk

mengorbankan sumber daya yang memiliki manfaat masa depan demi untuk

memenuhi tuntutan pihak lain. Penyelesaian kewajiban yang ada sekarang dapat

dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan :

1. Pembayaran kas.

2. Penyerahan aset lain.

Dalam kewajiban diakui dalam neraca kalau besar kemungkinan bahwa

pengeluaran sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi akan dilakukan

dengan menyelesaikan kewajiban (obligation) sekarang dan jumlah yang harus

diselesaikan dapat diukur dengan andal.

Berdasarkan konsep kewajiban tersebut, maka kerugian keuangan terjadi

dalam hal adanya peningkatan kewajiban entitas, tidak menghasilkan manfaat

ekonomi masa depan atau kalau sepanjang manfaat ekonmi masa depan tidak

memenuhi syarat, atau tidak lagi memenuhi syarat, untuk diakui dalam neraca sebagai

aset. Dalam konteks keuangan negara, kerugian keuangan negara terjadi karena

adanya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada, utang kepada pihak

ketiga berkaitan dengan pembelian fiktif kendaraan. Kerugian keuangan negara juga

terjadi dalam hal adanya kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang

seharusnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II (Saksi Ahli)

Dalam praktek peradilan, dapat disimak Putusan Mahkamah Agung RI No.

2027/K/Pid/2008 yang telah berkekuatan hukum tetap dinyatakan bahwa : 72

1. Kerugian keuangan negara dihitung berdasarkan kerugian yang timbul dari

perbuatan terdakwa dalam jumlah tertentu setelah dikurangi jumlah biaya yang

telah dilaksanakan.

2. Dalam hal Terdakwa lebih dari satu orang, maka kewajiban membayar uang

pengganti harus ditanggung oleh para Terdakwa tersebut sesuai posisi peran dan

porsi kerugian keuangan negara yang menjadi tanggung jawab masing-masing

Terdakwa tersebut.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengakuan kerugian terjadi

bersamaan dengan pengakuan kenaikan kewajiban atau penurunan aset. Kerugian

segera diakui dalam laporan laba rugi dalam hal pengeluaran tidak menghasilkan

manfaat ekonomi masa depan atau kalau sepanjang manfaat ekonomi masa depan

tidak memenuhi syarat, untuk diakui dalam neraca sebagai aset.

Dengan demikian, kerugian keuangan negara menurut undang-undang sejalan

dengan pengertian kerugian keuangan negara menurut akuntasi sehinga dalam

menghitung kerugian keuangan negara dapat menggunakan teknik-teknik yang lazim

digunakan dalam akuntansi dan auditing.

72 Majalah Hukum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Tahun XXIII, No. 275 Oktober 2008,

hal. 33-34.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II (Saksi Ahli)

2. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi

Perhitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi baru

dapat dilakukan setelah ditentukan unsur melawan hukumnya sebagai penyebab

timbulnya kerugian keuangan negara. Berikut ini dideskripsikan beberapa hal yang

terkait dengan penghitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.

a. Tujuan

Dengan dipastikannya bahwa kerugian keuangan negara telah terjadi, maka

salah satu unsur/delik korupsi dan atau perdata telah terpenuhi, sedangkan tujuan

dilakukannya penghitungan jumlah kerugian keuangan negara antara lain, adalah :

1) Untuk menentukan jumlah uang pengganti/tuntutan ganti rugi yang harus

diselesaikan oleh pihak yang terbukti bersalah bila kepada terpidana

dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18

Undang-undang No. 31 Tahun 1999.

2) Sebagai salah satu patokan/acuan bagi Jaksa untuk melakukan penuntutan

mengenai berat/ringannya hukuman yang perlu dijatuhkan berdasarkan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bagi hakim sebagai bahan

pertimbangan dalam menetapkan keputusannya.

c. Dalam hal kasus yang terjadi ternyata merupakan kasus perdata atau

lainnya (kekurangan perbendaharaan atau kelalaian PNS), maka

perhitungan kerugian keuangan negara digunakan sebagai bahan

gugatan/penuntutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II (Saksi Ahli)

b. Bukti-Bukti dalam Penghitungan Kerugian Keuangan Negara

Perhitungan kerugian keuangan negara adalah merupakan jenis audit dengan

tujuan tertentu, yakni menghitung kerugian keuangan negara sebagai akibat dari

perbuatan melawan hukum. Metode/cara menghitung kerugian keuangan negara pada

dasarnya tidak dapat dipolakan secara seragam. Hal ini disebabkan sangat

beragamnya modus operandi kasus-kasus penyimpangan/tindak pidana korupsi yang

terjadi.

Auditor yang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara harus

mempunyai pertimbangan profesional untuk menggunakan teknik-teknik audit yang

tepat sepanjang dengan teknit audit yang digunakannya, auditor memperoleh bukti

yang relevan, kompeten dan cukup, serta dapat digunakan dalam proses peradilan.

Ungkapan yang sering dipakai sebagai panduan dalam melakukan

penghitungan kerugian keuangan negara adalah without evidence, there is no case.

Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sangat pentingnya bukti. Kesalahan dalam

memberikan dan menghadirkan bukti di sidang pengadilan akan berakibat kasus yang

diajukan akan ditolak dan atau tersangka akan dibebaskan dari segala tuntutan. Oleh

karena itu, auditor harus memahami secara seksama bukti-bukti apa saja yang dapat

diterima menurut hukum dalam rangka untuk mendukung ke arah litigasi. Praktisi

hukum, seperti penyidik juga perlu memahami bahwa auditor bekerja dengan bukti

audit bukan alat bukti, dengan demikian perlu pemahaman mengenai perbedaan alat

bukti dan bukti audit.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II (Saksi Ahli)

Dalam persfektif hukum positif di Indonesia, setidak-tidaknya ada 3 (tiga)

ketentuan yang mengatur masalah bukti, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang.

Pasal 183 KUHP menyatakan : ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah

ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Berdasarkan ketentuan di atas, penjatuhan pidana pada orang yang didakwa

melakukan suatu tindak pidana harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua)

alat bukti dan keyakinan hakim. Dari sisi auditor yang melakukan investiasi atas

suatu kasus, adanya ketentuan yang mensyaratkan minimal 2 (dua) alat bukti ini perlu

mendapat perhatian yagn seksama. Walaupun auditor dalam sistem hukum Indonesia

bukan merupakan Penyelidik atau Penyidik seperti yang diatur dalam KUHAP,

namun dalam pelaksanaan tugasnya auditor patut mempertimbangkan hal-hal yang

dapat mendukung dipenuhinya ketentuan sepert diatur dalam Pasal 183 KUHAP ini.

Pengaturan mengenai alat bukti sebagaimana diketahui bahwa alat bukti yang

sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 adalah

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Alat bukti

seperti keterangan saksi dan keterangan terdakwa dapat digunakan oleh penyidik

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II (Saksi Ahli)

dalam menentukan unsur melawan hukum, namun tidak serta merta dapat digunakan

auditor dalam menghitung kerugian keuangan, karena auditor memerlukan bukti

relevan berupa dokumen yang dapat diguankan untuk menggambarkan proses

akuntansi yang menyebabkan terjadinya kerungan keuangan negara.

Oleh karena itu, seorang auditor perlu memahami dan mengidenifikasi jenis-

jenis sumber informasi sehingga semua informasi yang diperoleh dapat menjadi alat

bukti yang bermanfaat dalam mendukung atau menguji suatu fakta/kejadian. Begitu

pentingnya alat bukti dalam mendukung dan menguji suatu fakta atau kejadian

sehingga perlu kiranya seorang auditor harus seksama dalam menggunakan metode

bagaimana bukti tersebut dapat diperoleh, dan bagaimana harus mengamanakan dan

mengelola bukti-bukti tersebut.

Dalam menyatakan ada/tidaknya kerugian keuangan negara dan berapa besar

kerugian tersebut, seorang auditor harus memperoleh bukti yang relevan, kompeten

dan cukup. Untuk memperoleh bukti-bukti audit terdapat 7 (tujuh) tehnik audit yang

dapat digunakan seorang auditor, yakni memeriksa fisik, konfirmasi, memeriksa

dokumen, review analitis, wawancara, menghitung ualng dan observasi.

Dalam proses persidangan dimungkinkan terjadinya perbedaan persepsi

mengenai nilai kerugian keuangan negara yang terjadi. Hal ini sejalan dengn dalil Mr.

Trapman yang berpendapat bahwa dalam suatu proses peradilan pidana, dapat

terjadi :73 ”masing-masing pihak dalam suatu persidangan, yakni Jaksa Penuntut

Umum, Pembela/Penasehat Hukum dan Hakim adalah mempunyai fungsi yang sama,

73 M.J. Van Bamelem, Straaf Voodering, dalam Eddy Mulyadi Soepardi, Op.cit., hal. 12.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II (Saksi Ahli)

meskipun mereka masing-masing mempunyai posisi yang berbeda, maka sudah

selayaknyalah masing-masing pihak mempunyai pendirian yang berbeda pula”.

Dari dalil di atas, mengenai adanya perbedaan posisi tersebut, maka dalam

proses persidangan, semua pihak selalu berusaha menggali dan menemukan fakta-

fakta hukum dari setiap alat bukti yang diperiksa, dengan tujuan untuk mengetahui

kebenaran materiil yang sesungguhnya. Dengan demikian, setiap kasus yang

dianggap kontroversi sekalipun pasti akan disertai dengan adanya argumen dari

pihak-pihak yang terlibat dalam proses persidangan.

Untuk itu perlu diatur tentang metode yang dapat dilakukan jasa penilai agar

diperoleh hasil yang standar yang dapat diterima semua pihak. Keterangan ahli ini

diperlukan untuk menjelaskan dan membuktikan kerugian negara yang timbul dan

berasal dari berbagai transaksi yang disebutkan di atas yang terkait dengan terdakwa.

Dalam hal ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

dapat membantu dengan memberikan laporan hasil analisisnya tentang berbagai

transaksi yang menimbulkan kerugian negara tersebut. Di samping itu,PPATK juga

dapat membantu melihat perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri

atau orang lain dengan melihat berbagai transaksi dari pihakpihak yang terkait,

misalnya melihat apakah ada penyuapan (kickback) yang diterima seorang pejabat

negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II (Saksi Ahli)

B. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Negara terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi

Sejarah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak dapat

dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan lembaga pengawasan sejak sebelum

era kemerdekaan. Dengan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 secara eksplisit

ditetapkan bahwa Djawatan Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst) bertugas

melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan

jabatan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan aparat pengawasan pertama di

Indonesia adalah Djawatan Akuntan Negara (DAN). Secara struktual DAN yang

bertugas menguasai pengelolaan perusahaan negara berada dibawah Thesauri

Jenderal pada Kementrian Keuangan. Dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun

1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara (DAN), kedudukan

DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di

bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas

melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen,

jabatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi pengawasan

anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal. Selanjutnya dengan Keputusan

Presiden Nomor 239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral Pengawasan

Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN (dikenal

kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan

usaha/jabatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal. 74

74 BPKP, Profil Organisasi, 25 Tahun BPKP, Jakarta, 2007, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II (Saksi Ahli)

DJPKN mempunyai tugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan

anggaran negara, anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/daerah.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1971 ini, khusus pada Departemen

Keuangan, tugas Inspektorat Jendral dalam bidang pengawasan keuangan negara

dilakukan oleh DJPKN. Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun

1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah

lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung

jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan

Presiden No. 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga

pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami

kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek

pemeriksaannya. Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan

bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan

proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan

kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu

dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif. 75

Pada tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 103 tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja

Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali

diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52

disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang

75 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II (Saksi Ahli)

pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

1. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dalam Menentukan Unsur Kerugian Negara terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi

Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103

Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,

Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2005, BPKP mempunyai

tugas melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan

pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu tugas pemerintahan di bidang pengawasan yang dilaksanakan oleh

BPKP adalah penugasan bidang investigasi yang meliputi audit investigatif, audit

dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara, pemberian keterangan ahli,

audit investigatif hambatan kelancaran pembangunan, audit eskalsai harga dan audit

klaim serta penugasan investigatif lainnya yang berkaitan dengan upaya pencegahan

korupsi.76

Dalam melaksanakan tugas, BPKP menyelenggarakan fungsi :

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan

dan pembangunan;

76 BPKP, Deputi Bidang Investigasi, Pedoman Penugasan Bidang Investigasi, Jakarta, 2009,

hal 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II (Saksi Ahli)

b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan

pembangunan;

c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP;

d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan

pengawasan keuangan dan pembangunan;

e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang

perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian,

keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, BPKP mempunyai kewenangan :

a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;

b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara

makro;

c. Penetapan sistem informasi di bidangnya;

d. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi

pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya;

e. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga

profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya;

f. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yaitu :

1) Memasuki semua kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-tempat

penimbunan, dan sebagainya;

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II (Saksi Ahli)

2) Meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku perhitungan, surat-

surat bukti, notulen rapat panitia dan sejenisnya, hasil survei laporan-laporan

pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang diperlukan dalam pengawasan;

3) Pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan dan lain-lain;

4) Meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil pengawasan, baik hasil

pengawasan BPKP sendiri maupun hasil pengawasan Badan Pemeriksa

Keuangan, dan lembaga pengawasan lainnya.

Adapun yang menjadi kegiatan-kegiatan BPKP dapat dikelompokkan ke

dalam empat kelompok, yaitu:

1. Audit, Kegiatan audit mencakup:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

b. Laporan Keuangan dan Kinerja BUMN/D/Badan Usaha Lainnya

c. Pemanfaatan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri

d. Kredit Usaha Tani (KUT) dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP)

e. Peningkatan Penerimaan Negara, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak

(PNBP)

f. Dana Off Balance Sheet BUMN maupun Yayasan yang terkait

g. Dana Off Balance Budget pada Departemen/LPND

h. Audit Tindak Lanjut atas Temuan-Temuan Pemeriksaan

i. Audit Khusus (Audit Investigasi) untuk mengungkapkan adanya indikasi

praktik Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan penyimpangan lain sepanjang hal

itu membutuhkan keahlian di bidangnya

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II (Saksi Ahli)

j. Audit lainnya yang menurut pemerintah bersifat perlu dan urgen untuk segera

dilakukan

2. Konsultasi, asistensi dan evaluasi

3. Pemberantasan KKN, dan

4. Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan

a) Kewenangan BPKP dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah lembaga

pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung

kepada Presiden dan Wakil Presiden. Tugas utama BPKP adalah membantu Presiden

dan Wakil Presiden mengawasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan

negara dan pembangunan, agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, sekaligus memberikan masukan bagi pembuatan kebijakan

terkait dengan itu.77

Sesuai dengan Pasal 52, 53 dan 54 Keppres Presiden RI No. 103 Tahun 2001

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja

Lembaga Pemerintah Non Departemen, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

77 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Profil Organisasi, 25 Tahun BPKP,

Jakarta, 2007, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II (Saksi Ahli)

Berdasarkan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang tentang Kedudukan,

Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non Departemen, BPKP adalah institusi pemerintah yang diberi tanggung

jawab luas di tingkap pemerintah pusat untuk merumuskan dan menyusun rencana

dan program-program pengendalian, melaksanakan pengendalian umum atas

keuangan pemerintah pusat dengan mengadakan audit intern atas kegiatan

kementerian-kementerian negara dan kantor-kantor proyek mereka.

Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 dalam Pasal 52 disebutkan,

BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan

keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Kewenangan BPKP tidak hanya sampai disitu saja, BPKP juga dapat

melakukan pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk membongkar kasus-

kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian

negara atau menguntungkan sebagian orang. Bila ada indikasi terjadinya tindak

pidana korupsi maka acuan yang digunakan BPKP dalam melakukan audit

investigasnya adalah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan fungsi dan

wewenangnya, di sini terlihat bahwa peran BPKP dalam upaya pemberantasan

korupsi dapat dijadikan modal dasar yang kuat dalam memerangi kejahatan korupsi di

negeri ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II (Saksi Ahli)

Saat ini, BPKP boleh dibilang adalah lembaga pemerintah yang paling

canggih dalam fungsi pengawasan di lingkungan pemerintahan. Bagaimana tidak,

didukung dengan tata kerja organisasi yang sudah cukup mapan dalam perencanaan,

penugasan, pertanggungjawaban. Tidak cuma itu, BPKP juga memiliki kapasitas

besar dalam hal audit investigasi yang kiranya dapat diandalkan untuk melacak

berbagai penyimpangan dan kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara.

Dengan kapasitas yang dimiliki, BPKP berperan khsusnya dalam

pengungkapan tindak pidana korupsi sebagai berikut :

1. BPKP berperan sebagai internal auditor pemerintah dengan tugas memanfaatkan

hasil kerja ITJEN, BAWASDA Aparat Pengawasan Pemerintah lainnya.

Kemudian mengolah temuan dan rekomendasi serta memantau pelaksanaan

tindak lanjutnya. Hal ini memungkinkan BPKP dapat melakukan pemeriksaan

lapangan secara langsung, jika dipandang perlu. Dengan demikian BPKP dapat

menjadi mitra kerja dan memberikan dukungan kepada BPK.

2. BPKP sebagai analisis kebijakan dengan memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat

pengawasan lainnya sebagai bahan analisis kebijakan publik. Kemudian

memberikan rekomendasi perbaikan atas kebijakan publik.

3. Sebagai lembaga investigasi, yaitu menjadi pendukung utama bagi BPK,

Kejaksaan dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan korupsi. Ditambah lagi

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II (Saksi Ahli)

BPKP menjadi bagian dalam Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama

KPK, Kejaksaan dan Kepolisian.78

Pada dasarnya semangat audit investigatif oleh BPKP berdasarkan persfektif

undang-undang di atas bukan merupakan audit yang hasilnya dapat dijadikan dasar

untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan pengawasan

(bukan pemeriksaan) internal pemerintahan yang bersifat preventif, yaitu berupa

laporan pertanggungjawaban kepada presiden. Artinya BPKP memperoleh

kewenangannya melalui delegasi Presiden sebagai sistem internal pengendali

pemerintah. BPKP sebagai pengawas internal memberikan peringatan dini sebelum

adanya temuan BPK. Sehingga seharusnya BPKP kalaupun sampai pada tindak

pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium),

setelah melalui proses tuntutan ganti rugi ataupun proses administratif internal

lainnya. 79

Dalam kaitannya dengan penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap

tindak pidana korupsi, auditor BPKP lebih banyak melakukan perhitungan kerugian

keuangan negara yaitu audit telah dilakukan oleh Penyidik sedangkan auditor BPKP

dalam hal ini menilai apakah perhitungan keuangan negara yang telah dilakukan oleh

Penyidik telah relevan, kompeten dan cukup dalam menentukan besarnya kerugian

78 Masyarakat Transparansi Indonesia, Analisa Peraturan Perundang-Undangan dan

Lembaga Pemberantasan Korupsi, diakses dari situs : http://www.transparansi.or.id/id=150&pilih=lihatpopulerberita, diakses pada hari Selasa pada tanggal 20 Juli 2010 pukul 16.00 WIB.

79 Ibid., Duke Arie, Kewenangan Audit Investigatif BPKP dan Korupsi, diakses dari situs : http://gorontalomaju.com/opini/artikel-lainnya/kewenangan-audit-investigatif-bpkp-dan-korupsi.html, diakses pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2010 pukul 15.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Chapter II (Saksi Ahli)

keuangan negara, sedangkan audit investigasi meurpakan suatu audit yang dilakukan

pada proses penyelidikan yang dilakukan auditor BPKP dengan Penyidik dan hasil

dari audit tersebut menjadi suatu pertimbangan oleh penyidik apakah sudah diperoleh

bukti yang cukup untuk meningkatkan kasus ke tahap penyidikan.80

Selanjutnya dalam audit investigasi ada suatu kesepakatan diantara para

praktisi audit bahwa audit investigasi tak selalu harus berarti menghasilkan temuan

adanya korupsi atau adanya kerugian keuangan negara. Memang, secara umum,

publik memahami bahwa sekali audit investigasi dilakukan, maka ujung-ujungnya

harapan yang dicanangkan adalah bahwa audit investigatif tersebut menghasilkan

temuan adanya kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, audit investigatif pun bisa

dilakukan untuk kepentingan yang tidak dalam konteks penghitungan kerugian

keuangan negara.81

Lazimnya audit investigatif dipahami sebagai audit untuk mengungkap ada

tidaknya penyimpangan signifikan yang terjadi di suatu kegiatan akibat kebijakan dan

prosedur yang diambil. Audit investigatif biasanya, meski tidak selalu dikembangkan

dan hasil audit rutin yang menemukan indikasi adanya penyimpangan dan ketentuan

perundang-undangan yang berpotensi merugikan keuangan negara.

80 BPKP, Biro Hukum, Pengkajian Hukum tentang Kedudukan Pejabat BPKP sebagai Ahli

dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi,Op.cit., hal. 21 81 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Chapter II (Saksi Ahli)

Sedangkan metode atau cara yang dilakukan oleh auditor BPKP dalam

menentukan besaran kerugian keuangan negara dilakukan tergantung dari kasus yang

terjadi antara lain dengan cara :82

a. Membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayar dengan nilai pekerjaan

berdsarkan hasil pemeriksaan fisik oleh ahli fisik.

b. Membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayarkan dengan harga

perbandingan (standar Pemda, harga pasar, harga indeks dan lain-lain).

c. Membandingkan antara nilai pekerjaan yang dibayar dengan pengeluaran yang

seharusnya.

Hingga kini penugasan penghitungan kerugian negara merupakan salah satu

produk unggulan yang dihasilkan oleh BPKP. Penugasan tersebut direalisasikan

dalam bentuk perbantuan, baik kepada Penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan. Ada

2 (dua) hal utama yang menjadi latar belakang penugasan tersebut, yaitu :

1. Komitmen BPKP untuk mewujudkan visi antara lain dengan menjalin kerjasama

dengan aparat Penyidik, baik Kepolisian maupun Kejaksaan.

2. Pengakuan para stakeholder akan kompetensi BPKP dalam urusan keuangan

negara

Sejalan dengan gencarnya tuntutan masyarakat terkait dengan

penyelenggaraan negara yang bebas KKN, sebagaimana telah diamanatkan dalam

82 BPKP, Deputi Bidang Investigasi, Acuan bagi Auditor BPKP dalam Melakukan

Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus-Kasus Penyimpangan yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi dan Perdata, Juni, Jakarta, 2003.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Chapter II (Saksi Ahli)

TAP MPR NO. XI Tahun 1998, maka aparat penegak hukum jgua dituntut untuk

responsif dalam menangani pengaduan masyarakat berkaitan dengan tindak pidana

korupsi, terutama yang melibatkan penyelenggara negara. Dalam penanganan kasus

tindak pidana korupsi seringkali Kejaksaan maupun Kepolisian dihadapkan pada

permasalahan menyangkut seluk beluk keurangan negara/daerah. Oleh karena itu,

sungguh tepat apabila mereka meminta bantuan kepada BPKP khususnya dalam

rangka menghitung besarnya potensi kerugian keuangan negara yang terjadi dalam

suatu kasus tindak pidana korupsi, sehingga diharapkan penanganan kasus tindak

pidana korupsi oleh penyidik dapat lebih profesional dan memenuhi rasa keadilan

masyarakat.

Penugasan penghitungan kerugian keuangan negara bertujuan :83

1. Menentukan jumlah yang dapat menjadi acuan bagi Penyidik dalam melakukan

penuntutan suatu perkara berkaitan dengan berat/ringannya hukuman yang perlu

dijatuhkan dan bagi Hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan

keputusannya.

2. Menentukan jumlah uang pengganti kerugian negara yang harus diselesaikan oleh

pihak yang terbukti bersalah bila kepadanya dikenakan pidana tambahan.

Dalam penghitungan tersebut dimungkinkan untuk menggunakan berbagai jenis

penilaian (accounting measurement) seperti nilai perolehan, nilai jual, nilai ganti,

nilai pasar, nilai jual objek pajak, nilia buku dan sebagainya, namun harus tetap

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman

83 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Chapter II (Saksi Ahli)

yang dpat dipertanggungjawabkan secara profesional dan dapat diterima secara

hukum,.

Penugasan penghitungan kerugian keuangan negara ini dimaksudkan semata-

mata untuk membantu Penyidik dalam menghitung kerugian keuangan negara

terhadap dugaan suatu tindak pidana korupsi, bukan memberi opini hukum atas kasus

yang diperiksa. Dengan demikian, unsur melawan hukum dalam kasus tersebut

ditetapkan oleh Penyidik, bukan oleh tenaga ahli dari BPKP.

Namun demikian, dalam prakteknya kita tidak dapat lepas dari keharusan

untuk memahami dan mempelajari baik modus operandi maupun kriteria-kriteria

peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Karena tidak mungkin kita

menghitung suatu kerugian keuangan negara tanpa mengetahui atau memastikan

lebih dahulu adanya suatu kondisi yang bertentangan dengan kriteria hukum.

Bagaimanapun kita tetap dituntut untuk mengerti “jalan cerita” permasalahan yang

diduga suatu tindak pidana korupsi serta hukum atau peraturan yang dilanggarnya.

Karena apabila kita sendiri ragu akan adanya penyimpangan terhadap suatu kriteria,

maka kecil kemungkinan kita mampu menetapkan bahwa permasalahan tersebut

mengakibatkan suatu kerugian keuangan negara.

Untuk dapat menghitung kerugian keuangan negara sehubungan dengan

adanya dugaan tindak pidana korupsi, maka prosedur yang lazim ditempuh sebagai

berikut :84

1. Memperhatikan pemaparan kasus posisi yang dilakukan oleh Penyidik.

84 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Chapter II (Saksi Ahli)

2. Memperoleh dan mempelajari peraturan perundang-undangan terkait.

3. Memperoleh dan meneliti bukti-bukti yang terkait dengan suatu kasus.

4. Memperoleh dna mempelajari prosedur kegiatan berkaitan dengan suatu kasus.

5. Memperoleh dan mempelajari Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat oleh

Penyidik,

6. Melakukan expose intern dengan pihak Penyidik.

Dalam penugasan penghitungan kerugian keuangan negara biasanya data

sudah diperolah dan disusun oleh Penyidik. Bahkan ada kemungkinan berkas perkara

sudah siap dilimpahkan untuk penuntutan dan tinggal menunggu hasil perhitungan

kerugian keuangan negara oleh auditor BPKP. Walaupun begitu, auditor tetap harus

objektif dan independen. Artinya bila memang data atau bukti yang ada masih dirasa

kurang untuk dapat menetapkan besarnya kerugian, maka tentunya auditor harus

berusaha memperoleh lebih dulu data atau bukti yang belum cukup tersebut.

Berikut ini metode yang dapat diterapkan dalam penghitungan kerugian

keuangan negara bila data atau bukti yang disediakan oleh Penyidik telah cukup :85

1) Mengidentifikasikan penyimpangan yang terjadi, dapat dilakukan dengan cara :

a. Meneliti dan mempelajari suatu kasus untuk mengidentifikasi jenis

penyimpangan yang terjadi yaitu dapat berupa mark up, pengeluaran fiktif,

penyalahgunaan wewenang kesempatan dan sebagainya.

85 Heru Cahyanto, Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP, Artikel Warta

Pengawasan Volume XI/No.1/Januari/2004. Hal. 5

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Chapter II (Saksi Ahli)

b. Menelaah dasar-dasar hukum yang terkait dengna pelaksaan/kegiatan kasus

yang menyimpang tersebut. Dimulai dari urutan tertinggi, yaitu Undang-

undang, Keppres,Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan seterusnya

hingga Petunjuk Pelaksanaan, bahkan bila perlu sampai ke ketetapan yang

dibuat oleh pejabat yang berwenang pada tingkat paling bawah.

c. Meneliti apakah penyimpangan tersebut terkait dengan keuangan negara

dengan mengacu pada pengertian keuangan negara yang dinyatakan dalam

Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Hal ini penting untuk mempertegas

bahwa kasus tersebut berada dalam lingkup Undang-undang No. 31 Tahun

1999. Dan perlu diingat bahwa pengertian keuangan negara cukup luas,

dimana di dalamnya antara lain termasuk keuangan daerah (APBD).

d. Mengidentifikasi waktu dan lokasi terjadinya penyimpangan atau perbuata

nmelawan hukum. Metode ini relatif sama dengan mempelajari modus

operandi dalam penugasan investigasi kasus tindak pidana korupsi, dan

biasanya data lokasi dan waktu dapat diperoleh dari berkas yang disusun oleh

Penyidik. Dalam penugasan perbantuan penghitungan kerugian keuangan

negara, baik modus maupun unsur-unsur melawan hukum perlu dipelajari dn

dipahami untuk memudahkan proses pernghitungan kerugian.

2) Mengidentifikasi, verifikasi dan analisis bukti.

Bukti-bukti yang telah dihimpun oleh Penyidik kemudian diidentifikasi,

dilakukan verifikasi dan dianalisis untuk mendukung proses perhitungan kerugian

keuangan negara atas kasus penyimpangan yang terjadi. Dalam prosedur ini

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Chapter II (Saksi Ahli)

nantinya dapat dikembangkan terutama utnuk melengkapi atau menyempurnakan

dta/bukti yagn dianggap penting namun belum dapat diperoleh Penyidik.

3) Menghitung jumlah kerugian keuangan negara.

Pada prinsipnya terdapat 3 (tiga) hal pokok yang perlu dilakukan penelitian dan

pendalaman materi dalam kaitannya dengan penghitungan kerugian keuangan

negara atas suatu kasus tindak pidana korupsi, yaitu :

a. Membuktikan atau menentukan adanya kerugian keuangan negara.

Sebelum ktia menghitung jumlah kerugian, maka sudah seharusnya kita

meyakinkan lebih dulu apakah keuangan negara dirugikan. Karena bisa saja

kerugian tersebut tidak terkait dengan keuangan negara (dan atau

perekonomian negara). Oleh karena itu kita harus cermat dan teliti

mempelajari modus operandi, kriteria yang dilanggar serta bukti-bukti atau

data yang ada. Seandainya prosedur yang telah dijalankan masih belum cukup

meyakinkan kita, maka kita hanya dapat menyajikan asumsi suatu jumlah

perhitungan dengan persyaratan tertentu. Bahkan ada kemungkinan kita tidak

dapat menghitung sama sekali jumlah kerugian bila datanya tidak cukup.

b. Menghitung dan menetapkan besarnya potensi kerugian keuangan negara

yang terjadi. Proses penghitungan kerugian sebenarnya relatif mudah apabila

prosedur telah dijalankan dan didukung data atau bukti yang cukup dan

relevan. Yang penting kita harus tetap independen dan obyektif sesuai data

atau bukti yang valid. Di samping itu kita juga harus fair, misalnya apabila

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Chapter II (Saksi Ahli)

sebagian telah disetorkan ke kas negara sebagai pajak maka tentu jumlah

kerugian juga hendaknya dikurangi.

c. Hambatan penghitungan kerugian keuangan negara.

Hasil penghitungan kerugian keuangan negara merupakan salah satu bahan

sarana yang akan digunakan oleh Penyidik dalam proses penuntutan, sehingga

harus dilakukan oleh pihak yang kompeten agar dapat mendukung upaya

penuntutan itu sendiri. Kecerobohan dalam melakukan penghitungan akan

berakibat fatal dalam suatu pembuktian dugaan tindak pidana korupsi di

pengadilan nantinya. Oleh karena itu, apbila dalam melakukan penghitungan

masih terdapat data atau bukti penting yang bleum diperoleh maka hal itu

sudah dapat menjadi hambatan/keraguan dalam menetapkan jumlah kerugian.

Dan sebaiknya agar diupayakan untuk memperoleh data atau bukti tersebut

sehingga terdapat kepastian untuk menetapkan jumlah kerugian.

Output dari penugasan perbantuan penghitungan kerugian keuangan negara

adalah laporan. Laporan tersebut terutama memuat potensi jumlah kerugian keuangan

negara, sedangkan modus operandi maupun unsur melawan hukum tidak dimuat

dalam laporan tersebut. Hal itu pula yang membedakannya dengan laporan hasil audit

investigatif. Selain laporan tersebut ditandatangani oleh Kepala Perwakilan, juga

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Chapter II (Saksi Ahli)

ditandatangani oleh tim penugasan mulai dari Pengendalian Mutu, Pengendali Teknis,

Ketua Tim dan Anggota Tim.86

Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPKP adalah lembaga pengawas keuangan

yang ada selain BPK. Dimana kedua lembaga yakni BPK dan BPKP memiliki

kompetensi yang berbeda atas tindak lanjut kerugian negara melalui audit investigatif

dalam kaitannya dengan unsur pidana. BPK memperoleh kewenangan berdasarkan

Pasal 23 E Undang-Undang Dasar 1945, sebagai lembaga pemeriksa keuangan yang

memperolah kewenangan berdasarkan atributif melalui undang-undang. Pemeriksa

menurut Undang-undang No. 15 Tahun 2004 adalah orang yang melakukan tugas

pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama

BPK yang dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya

indikasi kerugian negara/daerah dan atau unsur tindak pidana korupsi.

Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangan melakukan audit

investigatif berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 yang hanya merupakan bagian dari

sistem pengendalian intern pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan intern

atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat preventif.

Artinya BPKP tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan pemeriksaan

investigatif berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi. Sehingga ketika

ditemukana adanya kerugian negara yang mengandung unsur pidana, maka

kewenangan tindak lanjut atas temuan tersebut sampai pada proses hukumnya adalah

menjadi kewenangan BPK. Dalam hal ini BPK sebagai pihak yang paling berwenang

86 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Chapter II (Saksi Ahli)

menyatakan ada tidaknya kerugian negara yang berkaitan dengn tindak pidana korupi

setelah memperoleh laporan dari lembaga pengawasan internal seperti Inspektorat

Jenderal, Inspektorat Propinsi/Kabupaten/Kota dan BPKP, maupun atas temuan hasil

audit investigatif BPK itu sendiri.

b) Hasil Audit BPKP Sebagai Alat Bukti dalam Persidangan Kasus Korupsi

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa hasil audit adalah hasil kerja

seorang auditor yang memiliki keahlian dalam bidang pekerjaannya. Auditor yang

melakukan perhitungan/audit akan diminta keterangan ahli yang diterangkan dalam

berita acara pemeriksaan ahli, maka pada saat persidangan auditor akan tampil di

persidangan dan keterangan tersebut juga akan berfungsi sbagia alat bukti yaitu

keterangan ahli sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Laporan audit dan keterangan

auditor pada sistem pembuktian Pasal 184 KUHAP adalah merupakan dua alat bukti,

sehingga Penyidik cukup mencari keterangan saksi yang mendukung maka hakim

sudah dapat menjatuhkan hukuman kepada seseorang walaupun terdakwanya tidka

mengakui perbuatannya.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara

pidana guna kepentingan pemeriksaan.87 Apa isi yang harus diterangkan oleh ahli,

serta syarat apa yang harus dipenuhi agar keterangan ahli mempunyai nilai tidaklah

diatur dalam KUHAP, tetapi dapat dipikirkan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 28

KUHAP, secara khusus ada dua syarat dari keterangan seorang ahli, yaitu :

87 Pasal 1 angka 28 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Chapter II (Saksi Ahli)

1. Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk

dalam ruang lingkup keahliannya.

2. Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat

dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

Kekuatan alat bukti keterangan ahli secara khusus adalah terletak pada dua

syarat tersebut, tetapi secara umum juga terletak pada syarat-syarat umum

pembuktian dari alat-alat bukti yang lain, terutama keterangan saksi.88 Namun

karena merupakan syarat, maka apabila ada keterangan seorang ahli yang tidak

memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat, maka keterangan ahli itu tidaklah

berharga dan harus diabaikan.

Masalah pembuktian yang dilakukan oleh BPKP selaku auditor dan

dikategorikan sebagai keterangan ahli masih menimbulkan pro dan kontra. Beberapa

kasus menyatakan bahwa hasil auditor BPKP tidak selamanya dapat dijadikan alat

bukti di persidangan. Misalnya pada kasus PLTG Borang dimana Kejaksaan tetap

bersikeras menginginkan hasil audit BPKP karena menurutnya saksi ahli lain tidak

dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga penyidikan pun dihentikan karena hanya

menggunakan ahli independen untuk menyatakan ada unsur kerugian negara.

Namun berbeda dengan kasus korupsi KBRI di Thailand. Pihak Kejaksaan Agung

tidak serta merta menggunakan hasil audit BPKP yang menemukan kerugian

keuangan negara sebesar 2,4 milyar karena sebelumnya hasil audit BPK hanya

88 Adam Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006,

hal. 63.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Chapter II (Saksi Ahli)

menemukan kesalahan administrasi. Oleh karena itu, hasil audit BPKP tidak akan

langsung dijadikan alat bukti.

Inkonsistensi ini yang kemudian pada akhirnya memberikan pandangan

bahwa ternyata hasil audit BPKP tidak selamanya dapat dijadikan alat bukti dalam

kasus tindak pidana korupsi atau setidaknya masih ada kemungkinan dipatahkan

oleh aparat penegak hukum sendiri. Bahkan beberapa pendapat menyatakan

bahwa seharusnya ahli dari BPKP tidak bisa dikategorikan sebagai ahli. Keahlian

adalah pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal yang sifatnya sangat mendalam.

Sedangkan auditor BPKP hanya dianggap bisa melakukan audit karena itu

memang pekerjaannya, disamping sebagai alat pemerintah. Seharusnya saksi ahli

di luar pemerintah. Dalam prakteknya, perkara tindak pidana korupsi selama ini

mnggunakan hasil perhitungan kerugian keuangan negara, walaupun tidak

konsisten.

Tentunya pendapat tersebut sangat logis mengingat secara struktrual

BPKP, Kejaksaan maupun Kepolisian sama-sama berada dalam pemerintahan

eksekutif yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden. Sehingga

dikhawatirkan akan terjadi conflict of interest jika hasil audit investigatif BPKP

dijadikan satu-satunya alat bukti yang menentukan ada tidaknya kerugian

keuangan negara untuk kasus korupsi, terutama jika kasus tersebut mengandung

nuansa politis.

Namun berbeda lagi dengan persfektif hakim. Menurut hakim, pembuktian

masalah kerugian keuangan negara akan didasarkan pada hal-hal yang relevan

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Chapter II (Saksi Ahli)

(dengan pokok perkara) secara yuridis yang terungkap sah di persidangan. Hakim

Agung Artijo memberi contoh bahwa hasil perhitungan atau hasil audit investigatif

dari BPKP sebagai salah satu pihak instansional yang berkompeten dan memilik

iekahlian (lege artis) dalam menentukan kerugian keuangan negara.89

Terlepas dari pro dan kontra di atas, untuk dapat menjadi alat bukti di

persidangan, maka hasil audit investigatif BPKP harus memenuhi syarat umum dalam

pembuktian. Syarat umum dari kekuatan alat bukti termasuk keterangan ahli auditor

BPKP adalah harus didukung atau bersesuaian dengan fakta-fakta yang didapat dari

bukti lain. Suatu alat bukti hasil audit harus memiliki kesamaan dengan alat bukti

ketarnagna ahli dari seorang auditor BPKP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo

Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka satu-satunya alat bukti, keterangan ahli, tidakla

dapat dipergunakan sebagai dasar untuk membentuk keyakinan hakim. Kekuatan

bukti keterangan ahli bukanlah sebagai tambahan bukti seperti saksi tidak disumpah

sebagaimana saksi keluarga menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP atau saksi anak dan

saksi yang sakit ingatan (Pasal 171). Hal ini disebabkan keterangan ahli adalah

merupakan alat bukti tersendiri seperi juga alat bukti lainnya.

Peran auditor BPKP sebagai ahli dalam pembuktian perkara tindak pidana

korupsi, bahwa auditor BPKP dapat mengeluarkan beberapa produk yang dapat

89 Albert Usada, Kerugian Keungan Negara dan Praktik Penerapan dalam Putusan Hakim,

diakses dari situs : http://www.legalitas.org, diakses pada hari Kamis tanggal 22 Juli 2010 pukul 20.25 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Chapter II (Saksi Ahli)

digunakan Penyidik sebagai dasar penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pdana

korupsi, seperti :90

1. Laporan hasil audit.

2. Laporan perhitungan kerugian keuangan negara.

3. Pemberian keterangan ahli dalam BAP.

4. Pemberian keterangan ahli dalam persidangan.

2. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi

Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, penggantian undang-undang membawa pengaruh tersendiri

terhadap kedudukan dari kejaksaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-

undang No. 5 Tahun 1991 disebutkan bahwa kejaksaan RI adalah lembaga

pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Sejak itulah

dapat dikatakan kedudukan kejaksaan beralih menjadi di bawah kekuasaan eksekutif.

Berdasarkan perkembangan pengaturan tentang keberadaan kejaksaan tersebut

dapat dilihat bahwa kedudukan kejaksaan pada dasarnya belum pernah diatur secara

tegas dalam UUD 1945.91 Kedudukan kejaksaan yang sebelumnya berada pada

90 BPKP, Biro Hukum, Pengkajian Hukum tentang Kedudukan Pejabat BPKP sebagai Ahli

dalma Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 1999. 91 Sampai dengan Amandemen IV UUD 1945 kedudukan kejaksaan tidak diatur dalam UUD

1945. Sebenarnya Rancangan Perubahan UUD 1945 hasil Badan Pekerja MPR RI Tahun 1999-2000 telah mengatur masalah kekuasaan kehakiman dan melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman menjadi kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum. Adapun pasal yang mengatur masalah kejaksaan adalah Pasal 25c, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Chapter II (Saksi Ahli)

kekuasaan kehakiman telah berubah menjadi mandiri sejak tanggal 22 Juli 1960, akan

tetapi kekuasaan tersebut berubah menjadi di bawah kekuasaan eksekutif sampai

dengan sekarang. Dalam sistem ketatanegaraa Indonesia, secara nyata dapat dilihat

bahwa kedudukan kejaksaan telah mengalami pergeseran. Dimulai dari menempatkan

kedudukan kejaksaan di bawah kekuasaan legislatif, menjadi mandiri dan berubah

menjadi di bawah kekuasaan eksekutif. Adanya perubahan tersebut tidak hanya

dipengaruhi oleh sejarah pada masa sebelumnya, tetapi juga sistem pemerintahan dan

keadaan politik yang terjadi.

Kedudukan kejaksaan akan sangat berpengaruh dalam mengimplementasikan

fungsi, peran dan wewenangnya. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan kinerja dari

kejaksaan itu sendiri,92 yang mengimplementasikan tugas dan wewenangnya

diharapkan diamati pada saat ini dan prediksi tantangan ke depan antara lain harus

memperhatikan perkembangan globalisasi, opini yang berkembang di masyarakat dan

reformasi yang melahirkan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, serta terjadinya perubahan kepemimpinan yang akan melahirkan

(1) Kejaksaan merupakan lembaga negara yang mandiri dalam melaksanakan kekuasaan penuntutan

dalma perkara pidana. (2) Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat).

(3) Susunan, kedudukan dan kewenangan lain kejaksaan diatur dengan undang-undang. Namun dalam kenyataannya, rancangan perubahan tersebut tidak satu pasal pun yang

direalisir dalam UUD 1945 setelah Amandemen II tahun 2000. 92 Suhadibroto, Reprofesionalisasi Kinerja Kejaksaan, http://www.khn.or.id, diakses pada

hari Kamis tanggal 25 Februari 2008 pukul 21.00 WIB. Suhadibroto menyatakan bahwa kinerja kejaksaan ditentukan atau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu Jaksa Agung, Jaksa Agung sebagai pejabat fungsional dan organisasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Chapter II (Saksi Ahli)

perubahan kebijakan dalam bidang pemerintahan termasuk kebijakan dalam

penegakan hukum.93

Seperti yang dicatat seorang pengamat, sistem peradilan masih dipandang luas

sebagai mafia yang dijalankan pemerintah, hukum Indonesia perlu ditinjau kembali

secara luas dan diperbaharui, mengingat fungsi hukum untuk menertibkan dan

mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang

timbul.94

Hal tersebut pada saat ini cukup memadai untuk keperluan masa peralihan bila

kejaksaan dan sistem peradilan dapat diandalkan dan difungsikan sebagaimana

seharusnya, seperti yang tertera dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tersebut.

Tentu saja kesungguhan dan rasa tanggungjawab oleh para penegak hukum secara

keseluruhan sangat diperlukan, khususnya dalam menata struktur hukum negara

Indonesia.

Peran jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum,

bertindak untuk dan atas nama negara dalam perkara pidana, merupakan salah satu

wujud penegakan ketertiban dan perlindungan terhadap semua kepentingan hukum

yang dimiliki oleh setiap orang berlaku subjek hukum seperti yang tertera pada

93 Notulen Presentasi Makalah Diskusi Panel berjudul : “Strategi Peningkatan Kinerja

Kejaksaan dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum”, Jakarta : Kejati DKI Jakarta, Agustus 2001, hal. 2.

94 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jayakarta : Sinar Grafika, 1992), hal. 53. Bahwa dalam perkembangan masyarakat fungsi hukum dapat terdiri dari : 1). Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. 2). Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, 3). Sebagai sarana penggerak pembangunan. 4). Sebagai fungsi kritis.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: Chapter II (Saksi Ahli)

Undang-undang No. 5 Tahun 1991, Undang-undang No. 16 Tahun 2004, jo Keppres

No. 55 Tahun 1991 dan peraturan perundang-undangan kejaksaan lainnya.

Tugas dan wewenang kejaksaan sangat luas menjangkau area hukum pidana,

perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini

pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh

seseorang yang diberi predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peranan Jaksa Agung

dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan menjadi sangat krusial, lebih-lebih

pada saat ini dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu

agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum.95 Di sisi lain, Jaksa Agung adalah

“a man of law”yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi

negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi pada presiden dengan kepentingan

politiknya. Dalam mewujudkan agenda reformasi yaitu supremasi hukum, rasanya

kita memerlukan seorang Jaksa Agung dengan kualifikasi sebagai abdi hukum, yang

memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dan tepat disertai sifat yang jujur.96

95 Frans E. Likadja, Daniel Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional,

(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal. 9, lihat juga UU No. 15 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, pada dasarnya telah ditetapkan berbagai kebijakan yang mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik. Program-program tersebut adalah : (1). Program pembentukan peraturan perundang-undangna; (2). Program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya; (3) Program penuntasan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia; (4). Program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.

96 Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hal. 22. Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur. Elit penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur. Dengan mengacu pada Marryman, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan 3 (tiga) macam tradisi hukum yang kemudian dikaitkan dengan strategi pembangunan hukum. Ada 2 (dua) macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 51: Chapter II (Saksi Ahli)

Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.

Sedangkan pengertian jabatan fungsional jaksa dirumuskan dalam Undang-undang

No. 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 4 sebagai jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam

organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan

tugas kejaksaan.

Lembaga kejaksaan pada dasarnya merupakan suatu institusi. Pada umumnya

di dalam sebuah institusi terdapat :

(a) Norma, budaya dan etika, yang merupakan suatu ketentuan yang tak tertulis tetapi

dipraktekkan;

(b) Rules, yaitu peraturan-peraturan formal yang tertulis; dan

(c) Structure, yaitu organisasi.

Keberadaan kejaksaan di Indonesia, sepenuhnya didasarkan pada paradigma

atau visi tentang jati diri dan lingkungannya sebagai aparatur negara yang menempati

posisi sentral, upaya dan proses penegakan hukum dalam rangka mewujudkan fungsi

hukum dan supremasi hukum dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang

berdasarkan atas hukum (rechtstaat).97 Oleh karena itu, basis pengabdian institusi

“ortodoks” dan pembangunan hukum “responsif”, lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta : Yayasan LBHI, 1988), hal. 26-34.

97 J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Cet. Keenam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal. 142. Recht secara objektif berarti undang-undang, peraturan hukum, hukum secara subjektif berarti hak, kuasa.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: Chapter II (Saksi Ahli)

kejaksaan dan profesi jaksa adalah sebagai penyelenggara dan pengendali penuntutan

atau selaku dominus litis dalam batas jurisdiksi negara.98

Akuntabilitas kejaksaan RI adalah perwujudan kewajiban kejaksaan RI untuk

mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan misi

organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan secara

periodik. Perlu diketahui bahwa pengertian akuntabilitas ini berbeda dengan

pengertian akuntabilitas yang dimaksud dalam Pasal 3 angka (7) Undang-undang

No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini, akuntabilitas tidak

dilakukan secara periodik tetapi hanya pada saat penyelenggara negara tersebut

berakhir jabatannya.

Meskipun jangkauan pengawasannya lebih menyeluruh, termasuk kinerja

institusi yang menyangkut fungsi yudisial, tetapi terbatas pada aparatur eselon

struktural atau fungsional tertentu. Perlu tidaknya proses atau tindak lanjut berkaitan

dengan pengawasan tersebut sangat tergantung pada kebijaksanaan Jaksa Agung.

Oleh karena itu, partisipasi masyarakat untuk mengawasi kinerja kejaksaan sebagai

institusi penegak hukum sudah diwadahi dalam bentuk Komisi Kejaksaan (vide Pasal

38 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jo Peraturan Presiden

RI No. 18 Tahun 2005 Tentang Komisi Kejaksaan RI) yang mulai diberlakukan pada

98 Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pokok-Pokok

Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Plattform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, (Jakarta : Kejaksaan Agung RI, 1999), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: Chapter II (Saksi Ahli)

tanggal 7 Februari 2005. Adapun tugas Komisi Kejaksaan diatur dalam Pasal 10

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2005, yaitu:

(1). Komisi Kejaksaan mempunyai tugas : a. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja jaksa

dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya; b. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap sikap dan

perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan;

c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan; dan

d. Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan, pemantauan dan penilaian sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c untuk ditindaklanjuti.

(2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Kejaksaan wajib :

a. Menaati norma hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia

Komisi Kejaksaan yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.

Kewenangan Komisi Kejaksaan diatur dalam Pasal 11 PP No. 18 Tahun 2005

tentang Komsi Kejaksaan RI, yang berbunyi sebagai berikut :

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Komisi Kejaksaan berwenang : a) Menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku jaksa dan pegawai

kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun di luar kedinasan; b) Meminta informasi dari badan pemerintah, organisasi atau anggota masyarakat

berkaitan dengan kondisi dan kinerja di lingkungan kejaksaan atas dugaan pelanggaran peraturan kedinasan kejaksaan maupun yang berkaitan dengan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan di dalam atau di luar kedinasan;

c) Memanggil dan meminta keterangan kepada jaksa dan pegawai kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kedinasan kejaksaan;

d) Meminta informasi kepada badan di lingkungan kejaksaan berkaita ndengan kondisi organisasi, personalia, sarana dan prasarana;

e) Menerima masukan dari masyarakat tentang kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan;

Universitas Sumatera Utara

Page 54: Chapter II (Saksi Ahli)

f) Membuat laporan, rekomendasi, atau saran yang berkaitan dengan perbaikan dan penyempurnaan organisasi serta kondisi lingkungan kejaksaan, atau penilaian terhadap kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan kepada Jaksa Agung dan Presiden.

Kejaksaan merupakan institusi sentral dalam penegakan hukum yang dimiliki

oleh semua negara yang menganut paham rule of law.99 Penerapan ini bersifat

beranekaragam dengan memperhatikan posisi, tugas, fungsi dan kewenangan sesuai

dengan sistem hukum yang dianut suatu negara. Dari berbagai peraturan dapat

diketahui bahwa peran, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan sangat luas dan

menjangkau area hukum pidana, perdata dan tata usaha negara. Tugas dan wewenang

yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta

dipertanggungjawabkan oleh seorang yang diberi predikat Jaksa Agung.

Kejaksaan adalah lembaga yang independen atau mandiri100 dari lembaga

penegak hukum lain maupun lembaga pemerintahan dan lembaga politik.

Kemandirian kejaksaan secara lembaga bukan berarti melepaskan independensi

kejaksaan dengan lembaga lain, melainkan lepas dari segala bentuk intervensi.

Dalam hal ini kemandirian secara institusional adalah kemandirian secara eksternal,

99 Konsep dari rule of law diberikan oleh beberapa ahli. A.V. Dicey, menyatakan bahwa the

rule of law harus memenuhi unsur-unsur tertentu, yaitu : 1. Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam negara

adalah hukum (kedaulatan hukum). 2. Persamaan dalam kedaulatan hukum bagi setiap orang. 3. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi itu

diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi. 100 Tri Rahadian memberi asumsi bahwa independent adalah kemerdekaan. Independence,

adalah kebebasan, kemerdekaan yang berarti merdeka, bebas dan tidak dipengaruhi orang lain. Sedangkan mandiri, juga mempunyai arti yang hampir sama dengan independen tersebut, yakni mandiri, adalah dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, sedangkan kemandirian merupakan hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Page 55: Chapter II (Saksi Ahli)

yang memiliki dampak kemandirian secara personal terhadap aparatur kejaksaan

dalam menjalankan fungsi penuntutannya.101

Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan RI secara normatif

dapat dilihat bahwa dalam beberapa ketentuan undang-undang mengenai kejaksaan

seperti yang ditegaskan dalam Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004, yaitu :

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan.102

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.103

101 Integrated Prosecution Justice System, Suatu Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Penuntutan

Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, http://www.ipjs.com, terakhir diakses pada hari Kamis tanggal 8 April 2008 pukul 19.00 WIB. Pembaruan dalam tubuh kejaksaan tidak bisa lepas dari permasalahan visi lembaga kejaksaan yang akan dibangun di masa mendatang. Tak dapat dipungkiri bahwa visi adalah hal yang penting dalam merumuskan bentuk kejaksaan yang sama sekali baru. Pemikiran yang liar tentang kejaksaan bukanlah hal yang harus ditakutkan, karena keliaran pemikiran akan menghasilkan suatu pemikiran yang sama sekali baru. Dalam rangka pembaruan kejaksaan, keliaran pemikiran tentang visi kejaksaan yang baru akan membawa angin perubahan yang sifatnya idealis pragmatis.

Perumusan visi hendaknya dilatarbelakangi ole hsuatu pemikiran yang filosofis, sehingga pemaknaan dalam bentuk kata-kata dapat diterjemahkan secara luas dalam visi kejaksaan baru. Visi kejaksaan yang independen harus dipandang sebagai suatu kebutuhan bukan keharusan. Makna independent adalah Free from the Authority, control or influence of others, self-governing, self-supporting, not committed to an organized political party. Dengan kata lain perkataan bahwa independensitas kejaksaan bergantung pada dirinya dalam mengambil jarak terhadap berbagai institusi yang ada di luar dirinya (External Institution).

102 Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a dijelasakan bahwa dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

103 Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengsampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanakan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.

Universitas Sumatera Utara

Page 56: Chapter II (Saksi Ahli)

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.104

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-

undang.

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat

bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau

pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut

menyelenggarakan kegiatan :

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum.

c. Pengamanan peredaran barang cetakan.

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan

negara.

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

104 Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c bahwa yang dimaksud dengan “keputusan lepas

bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 57: Chapter II (Saksi Ahli)

Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan

wewenang yang tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas

dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur

bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina kerja sama

dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi

lainnya.105 Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa kejaksaan dapat memberikan

pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Di samping tugas dan wewenang kejaksaan RI di atas, Jaksa Agung memiliki

tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 35 Undang-undang No. 16 Tahun

2004, yaitu :

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan

dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

b. Mengaktifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang.

c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.106

d. Mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada mahkamah agung dalam

perkara pidana, perdata dan tata usaha negara.107

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam

pemeriksaan kasasi pidana.

105 Penjelasan Pasal 33 menyatakan : adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.

106 Penjelasan Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 huruf c, yang dimaksud dengan kepentingan umuum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

107 Penjelasan Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 huruf d yang menyatakan bahwa : pengajukan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara

Page 58: Chapter II (Saksi Ahli)

f. Mencegah atau menangkap orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah

kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Kejaksaan sebagai lembaga yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan

wewenang kejaksaan di daerah hukumnya mempunyai wewenang untuk melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yaitu meliputi tindak

pidana korupsi yang :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyeleggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).108

Menurut hasil wawancara dengan Bintang Simatupang Kepala Seksi Tindak

Pidana Kejaksaan Negeri Stabat.disebutkan, bahwa Kejaksaan:

a. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.

b. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

c. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi

d. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.109

108 Evi Hartanti., Op.Cit, hal.162. 109 Hasil Wawancara dengan Bintang Simatupang Kepala Seksi Tindak Pidana Cabang

Kejaksaan Negeri Stabat diPangkalan Berandan, Pada Hari Jumat Tanggal 11 Juni 2010 Pukul 11.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: Chapter II (Saksi Ahli)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bintang Simatupang, SH. Kepala Seksi

Tindak Pidana Cabang Cabang Kejaksaan Negeri Stabat di Pangkalan Berandan,

bahwa Kejaksaan mempunyai tugas :

a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

c. Melakukan Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi e. Melakkan monitor-monitor penyelenggaraan pemerintahan negara.110

Dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, maka Kejaksaan

berwenang :

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi d. Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.111

Dalam melaksanakan tugas supervisi, Kejaksaan berwenang :

a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

b. Kejaksaan berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

110 Ibid. 111 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: Chapter II (Saksi Ahli)

c. Dalam hal Kejaksaan mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Kejaksaan Tinggi.112

Jadi, kejaksaan RI dengan segala tugas dan wewenangnya, seyogyanya dapat

mewujudkan hukum yang berkeadilan, karena tanpa adanya hukum yang berkeadilan,

sulit diharapkan bahwa hukum dapat akan diterima dan dijadikan panutan. Tentu

harus diingat bahwa melakukan pembaruan hukum dan aparatnya tidak dapat

dilakukan dengan cepat, memang diperlukan cukup waktu, namun harus diupayakan

agar pembaruan ini dapat dicapai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jaksa sebagai aparat Negara yang diberi kepercayaan menempatkan hukum

pidana yang secara umum tugasnya sebagai penuntut umum yang melakukan

“tindakan penuntutan”113 dan eksekutor saja, tetapi dalam tindak pidana korupsi

dapat melakukan penyidikan serta penyelidikan lanjutan berdasarkan Pasal 284 ayat

(2) KUHAP jo Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 yang menegaskan bahwa penyidikan

dalam delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik

yang berwenang lain berdasarkan peraturan perundangundangan. Sementara dalam

Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 disebutkan bahwa

Kejaksaan juga berwenang mengadakan penyidikan terhadap tindak pidana khusus,

hal ini sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) huruf d, yang menyatakan “ melakukan

112 Ibid. 113 Tindakan penuntutan adalah melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

Universitas Sumatera Utara

Page 61: Chapter II (Saksi Ahli)

penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang.” Hal ini

jelas bahwa Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

khusus. Dalam tindak pidana korupsi, Kejaksaan berwenang melakukan penyelidikan

dan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 284 ayat 2 KUHAP jo Pasal

17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 dan sekaligus berwenang dalam tahap

penuntutan sebagai penuntut umum dalam tindak pidana korupsi.114

Dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 disebutkan : “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimkasud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP dilaksanakan oleh Penyidik, jaksa, dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan perturan peruundang-undang.”

Berdasarkan uraian diatas, Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi berperan

sebagai penyidik. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan keterampilan

yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan

tersangkanya.

Dalam kaitannya dengan penentuan kerugian keuangan negara terhadap kasus

tindak pidana korupsi, apabila kejaksaan dalam penanganan penyimpangan tindak

pidana korupsi sudah pada tahap penyidikan, biasanya memerlukan bantuan BPKP.

Bentuk bantuan BPKP adalah melakukan perhitungan kerugian termasuk di dalamnya

memberikan masukan-masukan dalam mengungkapkan tambahan fakta-fakta lainnya

yang mungkin ada. Jika dalam tahap penyidikan cukup dasar dan alasan yang kuat

(memenuhi kriteria), hal ini bisa ditingkatkan ke tahap penuntutan. Sehingga

114 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 62: Chapter II (Saksi Ahli)

penyelesaian perhitungan kerugian keuangan negara lebih baik. Selanjutnya bila

kasus sudah dilimpahkan ke pengadilan, maka pada waktunya nanti tim BPKP

diminta menjadi saksi ahli/pemberi keterangan ahli di persidangan.

Terkait dengan masalah penentuan unsur kerugian keuangan negara dalam

kasus tindak pidana korupsi, Kejaksaan pada umumnya meminta bantuan dari

BPKP untuk melakukan audit. Hasil audit ini nantinya akan dilaporkan kepada

instansi Kejaksaan. Dalam beberapa kasus memberikan fakta akan adanya

koordinasi yang harus dibangun antara BPKP dengan Kejaksaan, karena seringkali

ada kesan bahwa beberapa kasus hanya mengakui BPKP sebagai satu-satunya alat

bukti yang dapat menentukan besarnya kerugian negara. Hal ini terbukti dari

banyaknya perkara korupsi di tingkat kepolisian maupun kejaksaan yang berkas

perkaranya belum lengkap karena menunggu hasil audit BPKP. misalnya pada

kasus PLTG Borang dimana Kejaksaan tetap bersikeras menginginkan hasil audit

BPKP karena menurutnya saksi ahli lain tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sehingga penyidikan pun dihentikan karena hanya menggunakan ahli independen

untuk menyatakan ada unsur kerugian negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: Chapter II (Saksi Ahli)

C. Mekanisme Koordinasi antara BPKP dan Kejaksaan dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan ini terlihat

semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada

berbagai level masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga

secara bertahap korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak dilenyapkan sama

sekali. Untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan integritas yang tinggi dari aparat

penegak hukum yang tergabung dari criminal justice system, khususnya Kejaksaan

dan BPKP sub sistem.

KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas

kejaksaan. Disisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor

terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dalam rangka melaksanakan

tugasnya Kejaksaan harus melakukan koordinasi dengan sub sistem lain yang

tergabung dengan criminal justice system, seperti KPK, Kepolisian maupun lembaga

terkait lainnya seperti BPKP dan BPK.

Sebagai eksekutor dalam perkara tindak pidana korupsi, khususnya dalam

proses pengembalian kerugian negara, maka Kejaksaan harus melakukan koordinasi

dengan BPKP yang memiliki wewenang melakukan audit investigatif terhadap

keuangan maupun jalannya pembangunan. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam

Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, di dalam Pasal 6 diatur bahwa KPK mempunyai tugas melakukan koordinasi

dan supervisi dengan/terhadap ”instansi yang berwenang” melakukan pemberantasan

Universitas Sumatera Utara

Page 64: Chapter II (Saksi Ahli)

tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan ”instansi yang berwenang” adalah

Kepolisian, Kejaksaan, termasuk BPK, BPKP, KPKPN, Inspektorat pada Departemen

atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Kerjasama antara Kejaksaan khususnya dengan BPKP, telah lama terjalin.

Kerjasama antara BPKP dan Kejaksaan Agung RI sejak tahun 1983 yang dilegitimasi

dalam beberapa peraturan, sebagai berikut :

I. Tahun 1983

1. Keppres No. 31 Tahun 1983 Pasal 44 hasil audit yang diperkirakan terdapat

unsur tindak pidana korupsi, Kepala BPKP melapor kepada Jaksa Agung.

2. Inpres No. 15 Tahun 1983, Pasal 16 butir (2) huruf c :

a. Tindak Pidana Umum, perkaranya diserahkan kepada Kepolisian RI.

b. Tindak Pidana Khusus, perkaranya diserahkan kepada Kejaksaan RI.

II. Tahun 1988

1. Instruksi Kepala BPKP kepada Kepala Perwakilan BPKP di seluruh Indonesia

No. INS-416 a/K/1998 tanggal 20 April 1988 tentang Pemantapan Kerjasama

BPKP dan Kejaksaan. Dalam instruksi tersebut penanganan kasus tindak

pidana korupsi sejak bahan awal, penyelidikan dan penyidikan dan prioritas

penanganannya.

2. Instruksi Jaksa Agung kepada seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh

Indonesia No. R-046/A-6/4/1988 tanggal 20 April 1988 dalam upaya

memantapkan kerjasama Kejaksaan dan BPKP dalam penanganan kasus yang

Universitas Sumatera Utara

Page 65: Chapter II (Saksi Ahli)

berindikasi korupsi. Isi instruksi tersebut sama dengan instruksi Kepala

BPKP.

3. Surat Edaran Deputi Bidang Pengawasan Khusus No. SE-213/DVII/1988

tanggal 22 April 1988 tentang upaya memantapkan kerjasama dengan

Kejaksaan. Dalam surat edaran tersebut diatur bahwa bila hasil audit dijumpai

adanya indikasi korupsi, sebelum LHPK terbit, agar disusun flow chart modus

operandi secara lengkap sebagai bahan pembicaraan dengan pihak Kejaksaan

Tinggi. Selain itu, diatur mengenai expose intern dan ekstern serta

kesepakatan penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan.

III. Tahun 1989

Petunjuk Pelaksanan Jaksa Agung RI dan Kepala BPKP No. : Juklak-

001/J.A./2/1989 dan No. : KEP-145/K-1989 tanggal 25 Februari 1989 tentang upaya

memantapkan kerjasama Kejaksaan dan BPKP dalam penanganan kasus yang

berindikasi korupsi. Dalam juklak tersebut mengatur mekanisme kerjasama

penanganan kasus berindikasi korupsi baik yang ditemukan BPKP maupun Kejaksaan

sejak awal penyelidikan dan atau penyidikan.

IV. Tahun 1994

Keputusan Bersama Jaksa Agung RI dan Kepala BPKP No. : Kep-

017/J.A/2/1994 dan No. : Kep-42/K/1989 tanggal 25 Februari 1994 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Kerjasama Kejaksaan dengan BPKP dalam Menangani Kasus yang

menimbulkan Kerugian Keuangan/Kekayaan Negara. Dalam JUKLAK Kerjasama ini

diatur mengenai mekanisme penanganan kasus dari hasil audit BPKP.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: Chapter II (Saksi Ahli)

V. Tahun 2005

Kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP juga diatur berdasarkan INPRES No.

5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dalam Diktum 11 butir 9

huruf c, menyebutkan bahwa Jaksa Agung RI untuk meningkatkan kerjasama dengan

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan

hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

VI. Tahun 2008

1. Nota Kesepahaman antara Kejaksaan RI, Kepala Kepolisian RI dan Kepala

BPKP, No. : KEP-109/A/JA/09/2007, No. Pol – B/2718/IX/2007 dan No. : KEP-

1093/K/D6/2007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam

Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang

Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.

2. Untuk propinsi Sumatera Utara, pada tahun 2008 ditandatangani Nota

Kesepahaman antara Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kepolisian Daerah

Sumatera Utara dan Perwakilan BPKP Propinsi Sumatera Utara No. : Kep-

101/N.2/Fjp/06/2008, No. Pol. : B-01/VI/2008 dan No. : KEP-

2032/PW.02/5/2008 tanggal 27 Juni 2008 mengenai Kerjasama dalam

Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang

Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: Chapter II (Saksi Ahli)

Secara singkat ruang lingkup kerjasama dalam Nota Kesepahaman antara

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan

Perwakilan BPKP Propinsi Sumatera Utara ini, adalah : 115

1) Tukar menukar informasi kasus/masalah dan penanganan perkara penyimpangan

pengelolaan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi, termasuk

dana non budgeter.

2) Penanganan kasus/masalah yang dapat menghambat laju pembangunan nasional.

Sedangkan mekanisme koordinasi yang disepakati dalam Nota Kesepahaman

ini, adalah : 116

1) Untuk memperlancar dan mengatasi hambatan dalam pelaksanaan kerjasama

dilakukan koordinasi antar pejabat instansi sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan

sekali.

2) Pimpinan instansi dapat saling mengakses penanganan perkara penyimpangan

pengelolaan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi, termasuk

dana non budgeter.

115 Pasal 2 Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kepolisian Daerah

Sumatera Utara dan Perwakilan BPKP Propinsi Sumatera Utara No. : Kep-101/N.2/Fjp/06/2008, No. Pol. : B-01/VI/2008 dan No. : KEP-2032/PW.02/5/2008 tanggal 27 Juni 2008 mengenai Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.

116 Pasal 7 Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Perwakilan BPKP Propinsi Sumatera Utara No. : Kep-101/N.2/Fjp/06/2008, No. Pol. : B-01/VI/2008 dan No. : KEP-2032/PW.02/5/2008 tanggal 27 Juni 2008 mengenai Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: Chapter II (Saksi Ahli)

3) Hasil koordinasi dan gelar perkara dilaporkan kepada pimpinan instansi secara

tertulis dan berkala.

Kejaksaan, Kepolisan dan BPKP telah membuat sebuah Nota Kesepahaman

dengan No. : KEP-109/A/JA/09/2007, No. Pol – B/2718/IX/2007 dan No. : KEP-

1093/K/D6/2007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan

Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana

Korupsi termasuk Dana Non Budgeter. Beberapa hal penting dalam kaitannya dengan

mekanisme koordinasi yang diatur dalam nota kesepahaman ini, adalah sebagai

berikut :

1. Mekanisme loordinasi yang dilakukan antara kejaksaan dan BPKP dalam hal

menentukan unsur kerugian keuangan negara.

2. Mekanisme kerjasama antara kejaksaan dan BPKP selalu memperhatikan

infomasi dari berbagai pihak, seperti informasi yang berasal dari instansi

penyidik, instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, dan badan lainnya

dimana pemerintah memiliki kepentingan dan masyarakat.

3. Seluruh informasi diterima oleh Sekretariat Forum Koordinasi antara Kejaksaan

dan BPKP ditelaah terlebih dahulu oleh Tim Gabungan. Hasil telaah dibahas

melalui gelar pekara maupun gelar kasus untuk memutuskan apakah suatu

informasi merupakan masalah atau kasus atau perkara.

4. Mekanisme kerja tim gabungan adalah bahwa dalam hal forum instansi

memutuskan bahwa informasi tersebut adalah masalah, maka penanganannya

dilakukan oleh BPKP dengan dukungan dari Kejaksaan baik selaku peyidik

Universitas Sumatera Utara

Page 69: Chapter II (Saksi Ahli)

maupun penuntut umum. Dalam hal forum instansi memutusakan bahwa

informasi merupakan kasus yang memerlukan pendalaman, maka terlebih dahulu

harus dilakukan audit investigatif oleh BPKP. Dalam hal forum instansi

memutuskan bahwa informasi bukan merupakan kasus/masalah, maka dibuat

kesimplan atas hasil telaah dan diarsipkan.

5. Dalam mekanisme penanganan kasus, setelah berkas diterima oleh tim gabungan,

sekretariat forum instansi meneruskan penanganannya kepada BPKP untuk

dilakukan audit dengan berpedoman pada mekanisme yang berlaku di BPKP. Tim

BPKP dalam melaksanakan audit investigatif dapat menggunakan bantuan ahli

teknis lainnya. Sebelum diterbitkannya laporan hasil audit, BPKP melaksanakan

gelar/pemaparan hasil audit. Sebelum diterbitkan, laporan hasil audit investigatif,

BPKP melakukan gelar kasus. Hasil gelar kasus dituangkan dalam risalah hasil

gelar kasus yang ditandatangani peserta gelar.

6. Dalam hal gelar kasus atas hasil audit investigatif memutuskan bahwa kasus telah

memenuhi unsur tindak pidana korupsi, maka proses akan dilanjutkan dengan

tindakan penyelidikan dan dilanjutkan dengan penyidikan.

Sebagaimana diketahui, dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan

negara, BPKP menentukan ada tidaknya unsur kerugian keuangan negara, sedangkan

kejaksaan menentukan ada tidaknya perbuatan melawan hukum.117 Namun demikian,

117 Pasal 6 Nota Kesepahaman antara Kejaksaan RI, Kepala Kepolisian RI dan Kepala BPKP,

No. : KEP-109/A/JA/09/2007, No. Pol – B/2718/IX/2007 dan No. : KEP-1093/K/D6/2007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter.

Universitas Sumatera Utara

Page 70: Chapter II (Saksi Ahli)

pada kenyataannya kejaksaan masih mungkin melakukan penolakan terhadap hasil

audit investigatif yang dilakukan oleh BPKP sehingga suatu perkara tidak dilanjutkan

penyidikannya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan persfektif, walaupun tidak ada

indikator yang mutlak dari kejaksaan untuk hal itu. Kenyataan tersebut pada akhirnya

dinilai karena adanya konflik kepentingan tertentu. Kondisi-kondisi ini merupakan

pekerjaan rumah bersama antara kejaksaan dan BPKP, karena apabila dibiarkan

berlanjut akan mengancam keadilan dan kepastian hukum dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi di negara ini.

Universitas Sumatera Utara