bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/46900/3/bab ii.pdf · penatalaksanaan tb paru sendiri di...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Situasi TB di dunia memburuk
dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil
disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, WHO
melaporkan dalam Global Tuberkulosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna
dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka
kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini.
Pengobatan kasus TB paru merupakan salah satu strategi utama pengendalian
karena dapat memutus rantai penularan. Peran penetapan diagnosis dan pengobatan
sangat penting dalam menunjang pengobatan tersebut. Penatalaksanaan TB paru
sendiri di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi
Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan
berdasar International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC) (Kemenkes RI,
2014).
Insiden TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun
2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat
TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7
juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena
7
TB. Secara global diperkirakan insiden TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan
20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian
akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang (WHO, 2011).
Pada tahun 2015 Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina.
Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang
berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan
kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006 (Kemenkes RI,
2011).
2.1.1 Patogenesis Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberkulosis. Kuman penyebab penyakit ini berukuran 0,3-0,6 mikron berbentuk
bacilli lurus atau filament. Organ bakteri ini tersusun atas protein, lipid dan
polisakarida, sedangkan penyusun organ terbesar adalah lipid yang mana
menyebabkan bakteri tersebut tahan terhadap asam. Adanya cord faktor merupakan
mikosida yang berhubungan dengan virulensi. Suhu optimal pertumbuhan bakteri ini
adalah 37ͦ C, bakteri ini sangat mampu bertahan dalam kondisi asam dengan pH
optimum 6,5 – 6,8. Mycobacterium tuberkulosis dikenal dengan bakteri tahan asam
yang masuk dalam kategori positif (Crofton, Horne & Fred, 2002).
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
menular melalui droplet nuclei. Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang
8
disebut sarang primer (afek primer). Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
keadaan:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum).
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya, contohnya
epituberkulosis, yaitu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas, dan
mengakibatkan atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus tersebut.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya.
9
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan kesembuhan meninggalkan
sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah
mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal (PDPI,
2006).
2.1.2 Terapi Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Apabila
paduan obat yang digunakan tidak adekuat, kuman TB berkembang menjadi kuman
yang kebal obat (resisten). Untuk itu perlu dilakukan pengawasan langsung DOTS
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Kemenkes, 2011).
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pengendalian
TB. Indonesia mulai menerapkan strategi DOTS secara bertahap sejak tahun 1995
10
dimulai dari Puskesmas hingga seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. OAT yang
digunakan adalah paduan OAT jangka pendek yaitu yang terdiri dari INH,
Rifampisisn, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin selama 6 bulan (Kemenkes RI,
2011).
Pengobatan tuberkulosis merupakan suatu terapi jangka panjang dengan lebih
dari satu macam obat yang membutuhkan ketelatenan. Kepatuhan biasanya menjadi
suatu problem bagi pasien penyakit kronik dengan terapi jangka panjang. Ada
berbagai faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan minum obat pada pasien TB.
Kepatuhan pasien dapat dipengaruhi oleh faktor pasien, faktor terkait obat, faktor
terkait tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan (CMSA, 2007).
Salah satu resiko ketidakpatuhan adalah munculnya resistensi obat. Kasus TB
yang tidak diobati maupun diobati namun tidak dengan sesuai standar hingga
pengobatannya tuntas dapat memicu terjadinya TB-MDR. Secara global, prevalensi
TB-MDR kini semakin meningkat dan mengkhawatirkan baik kasus TB baru maupun
yang sebelumnya pernah dirawat (WHO, 2012).
2.1.3 TB-MDR (Tuberculosis Multi Drug Resistant)
TB-MDR adalah salah satu jenis resistensi basil TB terhadap setidaknya dua
OAT lini pertama yaitu isoniazid dan rifampisin, dua OAT yang paling efektif. TB-
MDR menjadi tantangan baru dalam program pengendalian TB karena penegakan
diagnosis yang sulit, tingginya angka kegagalan terapi dan kematian. Pengobatan bagi
penderita TB-MDR lebih sulit, dengan angka keberhasilan hanya sekitar 50% dan
11
biaya pengobatan yang mahal bahkan sampai 100 kali lebih mahal dibandingan
dengan pengobatan TB tanpa MDR, sehingga bagi negara berkembang menjadi beban
yang sangat berat dalam penanggulangannya (Kemenkes, 2012).
Setiap tahun selalu muncul kasus TB-MDR baru yang dilaporkan. Tahun
2008 ada sekitar 440.000 kasus TB-MDR, sedangkan sejumlah 650.000 kasus TB-
MDR pada tahun 2010, kejadian TB-MDR ini kemudian disebut 27 high burden
MDR-TB countries oleh WHO Global Report, dimana Indonesia berada pada urutan 9
dibawah India, China, Rusia, Pakistan, Afrika Selatan, Philipina, Ukraina dan
Kazakstan. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa TB-MDR di Indonesia
cenderung meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 jumlahnya mencapai
6.427 kasus. Angka TB-MDR diperkirakan sebesar 2% dari kasus TB pengobatan
ulang (WHO, 2011).
Sedangkan hasil survei resistensi OAT pada tahun 2010 oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur menunjukkan angka kejadian TB-MDR di antara pasien TB
baru adalah 2% dan dari pasien TB pengobatan ulang adalah 9,7%. Pada survei ini
didapatkan proporsi kasus pengobatan ulang sekitar 10%. Berdasarkan survei
tersebut, dengan memperhitungkan jumlah pasien TB yang tercatat, maka
diperkirakan kasus TB-MDR di Jawa Timur adalah 626 dengan perincian 526 (84%)
berasal dari kasus pengobatan ulang dan 100 (16%) berasal dari kasus baru (Dinkes
Provinsi Jawa Timur, 2013).
2.1.3.1 Etiologi Munculnya TB-MDR
Analisis beberapa penyebab utama terjadinya resistensi obat telah
diidentifikasi, antara lain:
12
(1) Implementasi DOTS rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang masih
rendah kualitasnya.
(2) Peningkatan co-infection TB-HIV.
(3) Sistem surveilans yang masih lemah.
(4) Penanganan kasus TB resisten obat yang belum memadai (Kemenkes
RI, 2013).
Masalah utama yang muncul pada pasien TB-MDR adalah sulitnya
pengobatan, tingginya kematian, biaya yang mahal dan berpotensi menularkan basil
resisten kepada orang lain. Angka kematian yang lebih banyak dikarenakan oleh
faktor penjamu (host), dimana penderita TB-MDR mengalami penurunan daya tahan
tubuh yang dapat disebabkan oleh asupan gizi tidak seimbang dan kuantitas yang
kurang dan kondisi metabolisme tubuh yang tidak baik (Aditama et al., 2000).
2.1.3.2 Prinsip Terapi TB-MDR (Second Line Drug TB)
Mikrobakteri secara intrinsik resisten terhadap sebagian besar antibiotik. Sel
mikrobakteri juga bersifat dorman, oleh karena itu bakteri banyak mengalami resisten
terhadap banyak obat atau hanya dapat dimatikan secara lambat. Adanya resistensi
dari bakteri tersebut, maka diperlukan kombinasi dua atau lebih obat untuk mengatasi
hambatan dan mencegah resistensi selama pengobatan tak terkecuali pada kasus TB-
MDR.Terapi TB-MDR harus diberikan selama beberapa bulan hingga beberapa
tahun. Obat TB-MDR yang biasa digunakan yakni obat lini kedua atau Second Line
Drug (Katzung, 2013).
Secara alami, kuman tuberkulosis akan menjadi resisten meskipun dalam
jumlah kecil. Kuman resisten ini ada diantara populasi kuman tuberkulosis yang
13
berjumlah jutaan yang terdapat di setiap kavitas. Oleh karena itu, untuk
menanggulangi bakteri-bakteri yang resisten berkembang biak, maka diperlukan
prinsip pengobatan tuberkulosis dengan memberikan obat anti tuberkulosis tidak
hanya satu jenis obat. Bila pengobatan tuberkulosis diberikan hanya satu jenis obat,
maka obat ini akan berefek pada bakteri yang sensitif terhadap obat sedangkan
bakteri yang resisten akan terus berkembang biak. Pencegahan resistensi dari bakteri
Mycobacterium tuberkulosis maka prinsip pengobatan pada penderita diberikan
dengan kombinasi OAT standar sesuai kategori penderita (Crofton, Horne & Fred,
2002).
Terapi TB-MDR menggunakan beberapa jenis obat sehingga menyebabkan
beberapa permasalahan dalam hal toleransi terhadap obat-obatan tersebut. Respon
masing-masing individu tidak dapat diprediksi, tetapi pengobatan tidak boleh
dihentikan hanya karena ketakutan terhadap reaksi yang timbul (Fattiyah et al, 2011).
Kriteria Obat TB-MDR berdasarkan data biological dibagi menjadi 3
kelompok, yakni :
1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, etionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam.
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon.
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik: etambutol, cycloserin dan PAS (PDPI,
2006).
Cara yang rasional untuk memilih OAT secara tepat adalah menggunakan
obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas paling rendah sampai
yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan obat untuk kasus TB-
14
MDR antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif, satu obat injeksi,
mempergunakan obat golongan flurokuinolon, menggunakan obat untuk kelompok 4
(lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan obat kelompok 5
untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat jenis obat yang efektif
dari kelompok sebelumnya (Caminero et al., 2010).
(Bird, Etminan, Brophy et al., 2013)
Gambar 2.1
Second Line Drug
Pengobatan TB-MDR terdiri atas dua fase, fase intensif dan fase lanjutan.
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin
atau kapreomisin) yang digunakan setidaknya selama enam bulan atau empat bulan
setelah konversi biakan. Sementara fase lanjutan adalah fase setelah injeksi
dihentikan, yang berlangsung minimal selama 18 bulan setelah konversi biakan
(Nawas, Novizar & Burhan, 2010) (PDPI, 2011).
Menyusun rejimen OAT untuk TB-MDR memiliki berbagai tantangan,
dipersulit dengan keterbatasan pilihan obat disertai dengan toksisitas yang lebih
besar dan kurangnya efektivitas terapi. Penggunaan obat kombinasi merupakan
suatu keharusan untuk mencegah timbulnya resistensi lebih lanjut. Resistensi silang
15
juga perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat saat menyusun rejimen
pengobatan MDR-TB. Saat ini terdapat 3 strategi terapi yang direkomendasikan
WHO yaitu terapi standar, terapi empiris, terapi individual (Wiratmoko, 2015).
Rejimen terapi terdiri dari sedikitnya 4 obat yang dipastikan atau hampir
pasti efektif. Jika bukti efikasi suatu obat tidak jelas, maka obat tersebut dapat tetap
masuk dalam rejimen terapi namun tidak dianjurkan menjadi andalan keberhasilan
terapi. Lebih dari 4 macam obat dapat digunakan pada permulaan terapi jika data uji
kepekaan obat belum tersedia, efektivitas suatu obat diragukan, atau bila terdapat
lesi paru yang luas dan bilateral.
Pemilihan obat sebaiknya mempertimbangkan riwayat OAT sebelumnya,
hasil uji kepekaan OAT baik lini pertama maupun lini kedua serta daftar obat-
obatan yang umum digunakan pada suatu daerah/negara tertentu. Uji kepekaan obat
sebaiknya menggunakan uji dengan reprodusibilitas dan realibilitas tinggi dari
laboratorium yang dapat dipercaya. Uji kepekaan obat beberapa OAT lini pertama
serta OAT lini kedua masih belum dapat diandalkan sepenuhnya sehingga
interpretasi terhadap hasil uji kepekaan obat-obat tersebut harus dilakukan dengan
hati-hati. Uji kepekaan obat juga tidak dapat memastikan efikasi suatu obat ataupun
sebaliknya (Wiratmoko, 2015).
Pemberian pirazinamid, etambutol dan fluorokuinolon sebaiknya diberikan
dalam dosis tunggal jika memungkinkan karena dianggap memiliki efikasi yang
lebih tinggi. Pemberian dosis tunggal juga dapat dilakukan untuk obat lini kedua
jika dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien kecuali untuk etionamid/ protionamid,
sikloserin dan PAS yang dianjurkan dalam dosis terbagi guna mengurangi efek
16
samping yang tidak diinginkan. Pada pasien yang mendapatkan sikloserin harus
ditambahkan piridoksin (vitamin B6) dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg
sikloserin (Wiratmoko, 2015).
Dari 5 kelompok OAT yang ada, rejimen terapi individual sebaiknya
mengikutsertakan OAT kelompok 1 yang masih sensitif atau diduga efektif (lini
pertama). Salah satu OAT injeksi pada kelompok 2, ditambahkan dengan salah satu
fluorokuinolon serta OAT kelompok 4 sampai tercukupi minimal kebutuhan 4
macam obat yang dipastikan atau hampir pasti efektif pada pasien. Obat pada
kelompok 5 tidak digunakan untuk MDR-TB dan hanya untuk kasus TB-XDR
(tuberculosis extensively-drug resistant) (Wiratmoko, 2015).
Tabel 2.1 Langkah-langkah Penyusunan Rejimen Terapi TB-MDR.
Langkah Terapi Keterangan
Langkah I Menggunakan OAT lini
pertama yang biasa
digunakan Kelompok I
Pirazinamid
Etambutol
• Memulai dengan OAT lini pertama
yang masih sensitive atau hampir pasti
efektif
• Bila kemungkinan resisten tinggi,
sebaiknya tidak digunakan
• Hati-hati menginterpretasikan uji
kepekaan obat
Langkah 2 Ditambah dengan kelompok
2 OAT injeksi
Kanamisin (atau amikasin,
kapreomisin, streptomisin)
• Penambahan dilakukan berdasarkan
uji kepekaan dan riwayat pengobatan
sebelumnya
• Penggunaan streptomisin hendaknya
dihindari walaupun uji kepekaan obat
masih sensitive karena tingginya
angka resisten pada berbagai galur
MDR-TB dan toksisitas yang lebih
tinggi
Langkah 3 Ditambah dengan kelompok
3:
Florokuinolon
Levofloksasin
Moksifloksasin
Ofloksasin
• Penambahan florokuinolon
berdasarkan uji kepekaan obat dan
riwayat pengobatan sebelumnya.
• Pada kasus dengan resisten ofloksasin
atau TB XDR dapat menggunakan
florokuinolon generasi yang lebih baru
17
tetapi bukan sebagai obat andalan.
Langkah 4 Pilih salah satu atau lebih
obat kelompok 4:
Bakteriostatik oral lini
kedua asam para-
aminosalisilat (PAS),
sikloserin (atau terizadone),
etionamid (atau
protionamid)
• Tambahkan obat kelompok 4 sampai
tercukupi kebutuhan minimal 4
macam obat yang efektif atau hampir
pasti efektif
• Pilihan obat berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, efek samping
dan biaya
• Uji kepekaan obat bukan merupakan
standar untuk pemilihan obat
kelompok ini
Langkah 5 Pertimbangkan penambahan
obat kelompok 5 : obat-
obatan yang belum jelas
diketahui efektivitasnya
dalam terapi MDR-TB
Klofazamin
Linezolid
Amoksisilin/klavulanat
Tiosetazon
Imipenem/silastatin
Isoniazid dosis tinggi
Klaritromisin
• Penambahan obat kelompok 5
hendaknya berkonsultasi lebih dahulu
dengan ahli MDR-TB dan dilakukan
bila kebutuhan minimal 4 macam obat
belum terpenuhi dari 4 langkah
sebelumnya.
• Penambahan obat kelompok 5
sebaiknya lebih dari 1, sekurang-
kurangnya 2 macam.
• Uji kepekaan obat bukan merupakan
standar pemilihan obat.
• Obat ini tidak diberikan pada terapi
MDR-TB. (Wiratmoko, 2015)
2.2. Obat TB Lini Kedua (Second Line Drug)
2.2.1 Etambutol (E)
Etambutol adalah suatu senyawa sintetik, larut air, stabil
panas, isomer dekstro, dan dibuat garam sebagai dihidroklorida
(Katzung, 2013). Hampir semua galur Mycobacterium tuberkulosis
dan M. kansasii sensitive terhadap isoniazid dan streptomisin.
Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel
terhambat dan sel mati. Oleh karena itu, obat ini hanya aktif terhadap
18
sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik (Syarif,
Estuningtyas, Muchtar et al., 2007).
Etambutol diserap dengan baik dari usus. Setelah ingesti 25
mg/kg, kadar darah puncak 2-5 mcg/mL dicapai dalam 2-4 jam.
Sekitar 20% obat diekskresikan di feses dan 50% di urin tanpa
berubah. Etambutol mengalami penimbunan pada gagal ginjal, dan
dosis perlu dikurangi hingga separuh jika klirens kreatinin kurang dari
10 mL/mnt (Katzung, 2013).
Dosis harian sebesar 15 mg/kgBB menimbulkan efek toksik
yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2% pasien akan mengalami
efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit,dan
demam. Efek samping lain adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan
saluran cerna, malaise, sakit kepala, pusing, bingung, disorientasi, dan
mungkin juga halusinasi. Rasa kaku dan kesemutan di jari sering
terjadi. Efek samping yang paling penting adalah gangguan
penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar
yaitu berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan
membedakan warna, mengecilnya lapang pandangan, dan scotoma
sentral maupun lateral. Insiden efek samping ini makin tinggi sesuai
dengan peningkatan dosis, tetapi bersifat mampu pulih. Intensitas
gangguan pun berhubungan dengan lamanya terapi (Syarif,
Estuningtyas, Muchtar et al., 2007).
19
Seperti semua obat antituberkulosis lainnya, resistensi
terhadap etambutol muncul cepat jika obat digunakan secara tersendiri.
Oleh karena itu, etambutol selalu diberikan dalam kombinasi dengan
obat antituberkulosis lain (Katzung, 2013).
2.2.2 Pirazinamid (PZA)
Pirazinamid merupakan keluarga nikotinamid. Obat ini stabil
dan sedikit larut dalam air. Obat ini inaktif pada PH netral, tetapi pada
pH 5,5 obat ini menghambat basil tuberkel pada konsentrasi sekitar 20
mcg/mL. Obat ini diserap oleh makrofag dan memiliki aktivitas
terhadap mikrobakteri yang berada dalam lingkungan asam lisisom
(Katzung, 2013).
Pirazinamid merupakan obat lini depan yang penting digunakan
bersama dengan isoniazid dan rifampin dalam rejimen jangka pendek
(6 bulan) sebagai obat pensterilisasi yang aktif terhadap organisme
intrasel sisa yang dapat menyebabkan kekambuhan. Basil tuberkel
membentuk resistensi terhadap pirazinamid dengan cara yang cukup
cepat tetapi tidak terdapat resistensi silang dengan isoniazid atau obat
anti tiberkulosis lain (Katzung, 2013).
Pirazinamid diabsorbsi baik dari saluran GI dan terdistribusi
luas di seluruh tubuh, termasuk SSP, paru, dan hati. Waktu paruh
plasma sebesar 9-10 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Obat diekskresikan terutama melalui filtrasi glomerulus. Pirazinamid
20
dihidrolisis menjadi asam pirazinoat dan kemudian dihidroksi menjadi
asam 5-hidroksipirazinoat (Hardman & Limbird, 2012).
Senyawa induk dimetabolisasi oleh hati tetapi metabolitnya
dibersihkan oleh ginjal, karena itu pirazinamid perlu diberikan dengan
dosis 25-35 mg/kg tiga kali seminggu /bukan setiap hari) pada pasien
hemodialysis dan mereka yang klirens kreatininnya kurang dari 30
mL/mnt. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, digunakan dosis
40-50 mg/kg untuk rejimen pengobatan tiga atau dua kali seminggu
(Katzung, 2013).
Efek samping yang ditimbulkan pirazinamid adalah luka
hepatik. Jika terdapat bukti terjadinya kerusakan hati, terapi harus
dihentikan. Efek merugikan lainnya mencakup atralgia, mual dan
muntah, disuria, rasa tidak enak, dan demam (Istiantoro & Setiabudy,
2009).
2.2.3 Levofloksasin (Lfx)
Levofloksasin adalah antibakteri sintetik golongan florokuinolon
yang merupakan isomer dari ofloksasin dan memiliki aktivitas
antibakteri dua kali lebih besar dari ofloksasin. Levofloksasin
memiliki efek antibakterial spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif termasuk bakteri anaerob (Sweetman
& Sean, 2005).
Levofloksasin merupakan obat golongan floroquinolon yang
memiliki mekanisme kerja dengan menghambat enzim DNA-gyrase,
21
yang mengakibatkan kerusakan rantai pada DNA. DNA-gyrase
merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh kuman atau bakteri
untuk memelihara struktur superheliks DNA, dan juga diperlukan
untuk replikasi, transkripsi serta perbaikan DNA (Syarif, Estuningtyas,
Muchtar et al., 2007).
Florokuinolon merupakan tambahan penting bagi obat-obat
untuk tuberkulosis, khususnya untuk galur yang resisten terhadap obat
lini pertama. Resistensi yang mungkin timbul dari salah satu dari
beberapa mutase titik tunggal di subunit gyrase A, cepat timbul jika
florokuinolon digunakan sebagai obat tunggal, karena itu obat
golongan ini harus dikombinasikan dengan dua atau lebih obat aktif
lain. Dosis levofloksasin adalah 500-700 mg sekali sehari (Katzung,
2013).
Levofloksasin mengalami absorbsi yang cepat dan hampir
sempurna setelah pemberian secara oral, dimana konsentrasi
maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 1 sampai 2 jam.
Bioavaibilitas absolut dari tablet levofloksasin 500 mg dan 750 mg
adalah sebsar 99% atau lebih besar. Levofloksasin mengalami
metabolisme terbatas dan diekskresikan terutama melalui urine dalam
bentuk tidak berubah. Setelah pemberian secara oral, hampir 87% dari
dosis yang diberikan, ditemukan dalam bentuk tidak berubah di urine
dalam waktu 48 jam, kurang dari 4% ditemukan di feses dalam waktu
72 jam (Sweetman & Sean, 2005).
22
2.3 Ginjal (Ren)
2.3.1 Anatomi Ginjal
(Drake et al., 2014)
Gambar 2.2
Letak Anatomis Ginjal (Ren)
Ginjal memiliki bentuk seperti kacang polong yang terletak pada
retroperitoneal (antara dinding tubuh dorsal dan peritoneum parietal) di daerah
lumbal superior. Proyeksi ginjal terhadap tulang belakang setinggi T12 samapi L3.
Ginjal kanan terdesak oleh hepar dan terletak sedikit lebih rendah dari ginjal kiri.
Ginjal orang dewasa memiliki massa sekitar 150 g (2 ons) dan dimensi rata-rata
panjangnya 12 cm, lebar 6 cm, dan tebal 3 cm atau seukuran sabun besar. Permukaan
lateral berbentuk cembung. Permukaan medial berbentuk cekung dan memiliki celah
vertikal yang disebut hilus renal yang mengarah ke ruang internal di dalam ginjal
yang disebut sinus ginjal. Saluran ureter, pembuluh darah ginjal, limfatik, dan saraf
semuanya bergabung dengan masing-masing ginjal di hilum dan menempati sinus. Di
atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal (atau suprarenal), merupakan kelenjar
endokrin yang secara fungsional tidak terkait dengan ginjal (Marieb & Hoehn., 2015).
23
Ginjal memiliki tiga lapis jaringan penyokong yang mengelilinginya, yakni :
1. Fascia renalis, merupakan lapisan terluar berupa jaringan ikat fibrosa padat yang
menyandarkan ginjal dan kelenjar adrenal ke struktur sekitarnya.
2. Perirenal fat capsule, merupakan massa lemak yang mengelilingi ginjal dan
bantalannya terhadap pukulan.
3. Fibrous capsule, merupakan kapsul transparan yang mencegah infeksi di daerah
sekitarnya menyebar ke ginjal (Marieb & Hoehn, 2015).
(Drake et al., 2014)
Gambar 2.3
Penampang Ginjal (Ren)
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang
dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular
disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi
24
yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011;
Moore & Anne, 2012).
Nefron adalah kesatuan unit fungsional dari ginjal, tiap nefron terdiri dari
glomerulus, kapsula Bowman, tubulus kontortus proksimal, loop henle, tubulus
kontortus distal. Bagian luar ginjal disebut korteks dan bagian dalam disebut medulla,
serta bagian paling dalam disebut pelvis. Dibagian medulla ada bentukan piramida
sebagai saluran pengumpul (tubulus collectivus) yang membawa filtrat dari nefron
korteks menuju pelvis. Permukaan medial ginjal yang cekung ada bentukan Hilus.
Hilus merupakan tempat keluar-masuknya vasa renalis, dan tempat keluarnya pelvis
renalis. Ginjal mempunyai pembungkus dari dalam ke luar yaitu capsula renalis,
perirenal fat dan paling luar adalah fascia renalis (Maulana, 2014).
Aliran darah ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan yang mengalirkan darah balik adalah
vena renalis yang merupakan cabang vena kava inferior (Marieb & Hoehn, 2015).
Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai
anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga apabila terdapat
kerusakan salah satu cabang arteri, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah
yang dilayaninya (Purnomo, 2012). Persarafan ginjal berasal dari pleksus simpatikus
renalis dan tersebar sepanjang cabang-cabang arteri vena renalis. Serabut aferen yang
berjalan melalui pleksus renalis masuk ke medulla spinalis melalui nervus torakalis
X, XI, dan XII (Netter, 2014).
25
(Martini, Nath & Bartholomew, 2012)
Gambar 2.4
Struktur pada Ginjal
2.3.2 Fisiologi Ginjal
(Slomianka, 2009).
Gambar 2.5
Struktur Fisiologi Ginjal Umum
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat
26
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah
melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah
yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price & Wilson, 2012).
Menurut Sherwood (2013), ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
peraturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolism tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal menjalankan banyak fungsi homeostatik penting, antara lain ekskresi
produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan
elektrolit, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit,
pengaturan tekanan arteri, pengaturan keseimbangan asam basa, sekresi,
metabolisme, dan ekskresi hormon (Guyton & Hall, 2008).
Menurut Sherwood pada tahun 2013, dalam pembentukan urin terdapat tiga
proses dasar yang terlibat yakni filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi
tubulus.
2.3.2.1 Filtrasi Glomerulus
27
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein tersaring
melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Dalam keadaan normal, 20%
plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses ini, dikenal sebagai filtrasi
glomerulus, adalah langkah pertama dalam pembentukan urin. Secara rerata, 125 ml
filtrat glomerulus terbentuk secara kolektif dari seluruh glomerulus setiap menit.
Jumlah ini sama dengan 180 liter setiap harinya. Dengan mempertimbangkan bahwa
volume rerata plasma pada orang dewasa adalah 2,75 liter, maka hal ini berarti
bahwa ginjal menyaring keseluruhan volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika
semua yang difiltrasi keluar sebagai urin, semua plasma akan menjadi urin dalam
waktu kurang dari setengah jam. Namun, hal ini tidak terjadi karena tubulus ginjal
dan kapiler peritubulus berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehigga bahan-
bahan dapat diperlukan antara cairan di dalam tubulus dan darah dalam kapiler
peritubulus.
2.3.2.2 Reabsorbsi Tubulus
Sewaktu filtrat mengalir melalui tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat bagi
tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif bahan-
bahan dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini disebut
reabsorbsi tubulus. Bahan-bahan yang direabsorbsi tidak keluar dari tubuh melalui
urin tetapi dibawa oleh kapiler peritubular ke sistem vena dan kemudian ke jantung
untuk diresirkulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5 liter
direabsorbsi. Sisa 1,5 liter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk
dikeluarkan sebagai urin. Secara umum, bahan-bahan yang perlu dihemat oleh
28
tubuh secara selektif direabsorbsi, sementara bahan – bahan yang perlu dihemat
oleh tubuh secara selektf direabsorbsi, seentara bahan – bahan yang tidak
dibutuhkan dan harus dikeluarkan tetap berada di urin.
2.3.2.3 Sekresi Tubulus
Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif bahan-bahan
dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini merupakan rute kedua
bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah sedangkan yang pertama
adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20% dari plasma yang mengalir
melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul bowman, 80% sisanya
mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus
merupakan mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan
mengekstraksi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di
kapiler peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus
sebagai hasil filtrasi.
2.3.2.4 Ekskresi urin
Ekskresi urin adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam urin. Ini
bukan merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga proses pertama di
atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi tidak
direabsorbsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk dieksresikan
sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh. Perhatikan bahwa semua yang difiltrasi dan
kemudian direabsorbsi, atau tidak difiltrasi sama sekali, masuk ke darah vena dari
kapiler peritubulus dan karenanya dipertahankan di dalam tubuh dan tidak
dieksresikan di urin, meskipun mengalir melewati ginjal.
29
(Sherwood, 2011)
Gambar 2.6
Struktur Nefron
2.3.3 Histologi Ginjal
Ginjal dibagi menjadi korteks di sebelah luar yang berwarna gelap dan medula
di sebelah dalam yang berwarna terang. Korteks dilapisi oleh jaringan ikat regular
padat, kapsul ginjal. Korteks mengandung tubulus kontortus proksimal dan distal,
glomerulus serta medullary rays. Medula terdiri dari piramid-piramid ginjal. Bagian
basal piramid terletak dekat dengan korteks dan apeksnya membentuk papila ginjal
menonjol ke dalam struktur berbentuk corong, kaliks minor. Terdapat arteri dan vena
interlobaris pada sinus renalis yang merupakan cabang dari arteri dan vena renalis.
Pembuluh darah ini masuk ke ginjal dan nantinya membentuk kapiler glomerulus
(Eroschenko, 2015).
30
2.3.3.1 Korpuskulum Ginjal
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2.7 Histologi Korpuskulum
dan Tubulus
Korpuskulum ginjal terdiri dari glomerulus, berkas kapiler yang terbentuk dari
arteriol aferen glomerulus ditopang oleh jaringan ikat halus dan dilingkupi oleh
kapsul glomerulus (bowman). Lapisan internal (viseral) kapsul menyelubungi kapiler
glomerulus dengan epitel termodifikasi yang disebut podosit. Lapisan parietal atau
eksternal membentuk permukaan luar kapsul tersebut yang merupakan epitel
skuamosa. Setiap korpuskel ginjal memiliki kutub vaskular, tempat masuknya arteriol
aferen dan keluarnya arteriol eferen, serta memiliki kutub urin, tempat tubulus
kontortus proksimal berasal. Epitel skuamosa kutub urin berubah menjadi epitel
selapis kuboid tubulus proksimal (Mescher, 2012)
Tubulus
Proksimal Glomerolus
Tubulus
Distal
31
2.3.3.2 Tubulus Kontortus Proksimal
Aktivitas dari tubulus kontortus proksimal adalah sebagai tempat reabsorpsi
dan ekskresi. Filtrat glomerulus yang terbentuk di korpuskel ginjal akan masuk ke
dalam Tubulus Kontortus Proksimal (TKP). Di TKP, akan terjadi absorpsi seluruh
glukosa dan asam amino, ±85% NaCl, dan air dari filtrat selain fosfat dan kalsium.
Mekanisme absorpsi ini terjadi secara transport aktif yang melibatkan pompa Na+/K+
ATPase. Di bagian ini, juga terjadi ekskresi dari kreatinin dan substansi asing bagi
organisme dari plasma interstitial ke dalam filtrat (Junqueira, Carneiro & Kelley,
2007).
Air dan zat terlarutnya diangkut secara langsung melalui dinding tubulus dan
segera diambil oleh kapiler peritubular. Sel-sel tubulus proksimal memiliki
sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya sejumlah besar mitokondria.
Apeks sel memiliki banyak mikrovili panjang yang membentuk suatu brush border
untuk reabsorpsi (Mescher, 2012).
2.3.3.3 Gelung Nefron (Ansa Henle)
Tubulus kontortus proksimal berlanjut sebagai tubulus lurus yang lebih
pendek dan memasuki medula serta menjadi gelung nefron. Gelung ini merupakan
struktur berbentuk U dengan segmen desenden dan segmen asenden, keduanya terdiri
atas epitel selapis kuboid di dekat korteks, tetapi berupa epitel skuamosa di dalam
medula (Mescher, 2012).
Di kutub vaskular, terdapat sel epitelioid termodifikasi dengan granula
sitoplasma menggantikan sel otot polos di tunika media arteriol aferen glomerulus.
Sel-sel ini adalah sel jukstaglomerulus (Eroschenko, 2015).
32
2.3.3.4 Tubulus Kontortus Distal
Tubulus kontortus distal memiliki perbedaan dengan tubulus kontortus
proksimal, yakni tidak memiliki brush border dan ukuran yang lebih kecil. Sel-sel
pada tubulus yang lebih kecil ini membuat jumlah sel dan intinya tampak lebih
banyak di dinding epitelnya (Eroschenko, 2015).
Tubulus ini mengadakan kontak dengan kutub vaskular di korpuskel ginjal
sehingga mengakibatkan terjadinya modifikasi dari Tubulus Kontortus Distal (TKD)
yaitu bentuknya menjadi silindris dan intinya berhimpitan. Bagian dengan susunan
sel-sel yang lebih padat dan lebih gelap di tubulus kontortus distal ini dinamai makula
densa. Dalam tubulus distal terjadi pertukaran ion, natrium akan diabsorpsi dan ion
kalium diekskresi. Selain itu bagian ini juga menyekresi ion hidrogen dan amonium
ke dalam urin tubulus yang penting untuk mempertahankan keseimbangan asam basa
(Junqueira, Carneiro & Kelley, 2007).
2.3.3.5 Tubulus Koligentes
Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid. Di sepanjang
perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes terdiri atas sel–sel yang tampak pucat
dengan pulasan biasa. Epitel duktus koligentes responsif terhadap vasopresin arginin
atau hormone antidiuretik, yang disekresi hipofisis posterior. Jika masukan air
terbatas, hormon antidiuretik disekresikan dan epitel duktus koligentes mudah dilalui
air yang diabsorbsi dari filtrat glomerulus (Junqueira, Carneiro & Kelley, 2007).
2.3.3.6 Interstitium Ginjal
Celah yang terdapat di antara tubulus uriniferus, dan pembuluh darah dan
limfe disebut interstitium ginjal. Celah ini berada di ruang kecil di korteks ginjal yang
33
melebar hingga medula. Pada bagian ini terdapat sedikit jaringan fibroblas dan sedikit
serat kolagen. Di dalam medula ini terdapat substansi dasar berhidrasi tinggi yang
kaya dengan proteoglikan, serta terdapat sel-sel sekresi yang disebut sel interstitial
(Junqueira, Carneiro & Kelley, 2007).
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2.8
Histologi Ginjal Normal Manusia
2.3.4 Induksi Obat TB-MDR Terhadap Histopatologi Ginjal
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang vital, karena berfungsi
mengekskresikan sisa-sisa metabolisme tubuh. Peningkatan ekskresi sisa-sisa
metabolit dapat menyebabkan kerusakan ginjal, karena keracunan yang diakibatkan
kontak dengan bahan-bahan tersebut. Kerusakan jaringan ini bila dibiarkan dapat
mengakibatkan gagal ginjal yang berakhir dengan kematian (Wilson, 2005).
Seringkali ginjal mengalami kerusakan akibat paparan berbagai macam bahan toksik
34
dan penggunaan obat-obatan kimia maupun herbal dalam dosis yang berlebihan
(Sarjadi, 2003).
Secara histologis, ginjal terdapat empat komponen yakni glomerulus, tubulus,
interstitial dan pembuluh darah. Pola kerusakan ginjal akibat induksi obat bergantung
dimana kerusakan yang terkena pada empat komponen tersebut. Namun, sebagian
besar diketahui bahwa kerusakan ginjal akibat induksi obat yakni interstitial ginjal
dan tubulus proksimal (Markowitz & Perazella, 2005). Pada umumnya, proses
kekebalan humoral dan seluler berperan dalam kerusakan jaringan sela (interstitial).
Mekanisme kerusakan jaringan melibatkan efektor yang terdiri dari aktivasi
komplemen dan kemotaksis sel pengakibat (Yedid L., Sulina YW., Mansyur A.,
2010).
Obat-obatan dengan efek nefrotoksik langsung dapat merangsang terjadinya
cedera ginjal melalui berbagai mekanisme. Mekanisme tersering adalah obat-obatan
yang diekskresikan oleh ginjal langsung memberikan efek toksik kepada tubulus
ginjal, menyebabkan cedera seluler atau menyebabkan terjadinya inflamasi di
interstitial ginjal. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa adanya infiltrasi sel
radang pada interstitial disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang
sebagian besar adalah obat (Kodner & Kudrimoti, 2003).
Infiltrasi sel radang interstitial dapat disebabkan oleh berbagai obat yang
berbeda, namun antibiotik golongan quinolon seperti levofloksasin sebagian besar
diketahui sebagai obat yang dianggap sebagai antigen tersering dari terjadinya
infiltrasi sel radang interstitial (Markowitz & Perazella, 2005; Chatzikyrkou et al.,
35
2010). Etambutol juga diketahui sebagai salah satu obat yang dapat menyebabkan
infiltrasi sel radang pada ginjal (Thaha, 2012). Pirazinamid, etambutol serta
levofloksasin mampu meningkatkan ROS yang mana dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel ginjal (Talla V. & Veerareddy PR., 2013; Dunn Alvarez, Zhang et
al., 2015).
Pirazinamid dan levofloksasin merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal.
Secara umum antibiotik yang bersifat bakterisidal dapat meningkatkan ROS dengan
melibatkan siklus metabolisme asam trikarboksilat atau siklus krebs yang
menyebabkan deplesi NADH. Adanya deplesi NADH juga akan mengakibatkan
deplesi GSH, yaitu antioksidan dalam tubuh yang merupakan mekanisme proteksi
dalam menetralkan radikal bebas. Penurunan GSH dapat menyebabkan peningkatan
ROS intraseluler. (Vatansever, Melo, Avci et al, 2013; Dykens & Will, 2008; Rubin
et al., 2005).
Kerusakan sel ginjal bisa disebabkan oleh adanya peningkatan stres oksidatif
yang dikarenakan adanya peningkatan ROS, RNS, dan penurunan kadar antioksidan
di dalam tubuh (Palipoch, 2013). Peningkatan ROS dapat berkontribusi pada proses
kerusakan ginjal baik secara langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan
inflamasi. Inflamasi dapat memberikan umpan balik untuk meningkatkan
pembentukan ROS atau merangsang produksi sitokin dan faktor pertumbuhan
(Hosohata, 2016). Selain itu, ROS juga memodulasi produksi sel Th 2 dan produksi
IL-4 (Yarosz EL. & Chang CH., 2018). Aktivasi sel Th 2 yang akan memproduksi
sitokin pro inflamasi seperti IL-4 dan IL-5, aktivasi makrofag, sel mast dan respon
36
eosinofil nantinya akan menimbulkan infiltrasi sel radang pada interstitial (Krishnan
M., Perazella MA., 2015).
ROS adalah senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat
reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan kelompok nonradikal. Kelompok
radikal bebas antara lain anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (HO-), dan radikal
peroksil (RO2). Sedangkan nonradikal misalnya H2O2 dan peroksida organik (ROOH)
(Halliwell & Whiteman, 2004). ROS dapat menyebabkan kerusakan pada semua
makromolekul utama dalam sel tubuh dan dapat berujung pada peroksidasi lipid.
Fosfolipid plasma dan membran organel merupakan subjek bagi peroksidasi lipid,
sebuah reaksi berantai radikal bebas yang diinisiasi oleh penghilangan hidrogen dari
asam lemak lemak jenuh ganda oleh radikal hidroksil. Radikal lemak tersebut
kemudian bereaksi dengan O2 untuk membentuk lipid peroksida.
Salah satu akibat signifikan dari peroksidasi lipid adalah peningkatan
permeabilitas membran yang mengarah pada influx Ca2+ dan ion lainnya yang
disusul dengan pembengkakan sel (Devlin, 2011). Untuk menghindari kerusakan
yang disebabkan oleh ROS, seperti lipid peroxidation (LPO), modifikasi protein, dan
kerusakan rantai DNA, mekanisme yang bisa digunakan ialah mengurangi dan atau
mencegah terbentuknya ROS (Rawi, Mourad, Arafa et al, 2011).
Sitokin adalah polipeptida yang mengatur banyak proses biologis penting
bertindak sebagai mediator peradangan dan respon kekebalan tubuh. Sitokin
berhubungan erat dengan perbaikan jaringan yang rusak dan berpotensi sebagai
37
biomarker nefrotoksisitas karena mereka terlibat dalam kerusakan dan perbaikan
(Finn & Porter, 2003; Kim & Moon, 2012).
Menurut Krishnan & Perazella (2015), obat menjadi immunogenik bergantung
kemampuan setiap obat tersebut dalam berpartisipasi pada beberapa mekanisme
seperti:
1) Obat diikat oleh molekul besar seperti protein untuk menjadi substansi aktif yang
bersifat antigenik. Protein tersebut berada di sirkulasi maupun di jaringan seperti
ginjal. Proses pengikatan obat oleh protein tersebut disebut proses haptenisasi.
Adanya ikatan tersebut mampu menstimulasi respon dari sel limfosit T. Proses
haptenisasi ini dapat terjadi di sirkulasi dan ikatan substansi aktif yang bersifat
antigenik ini dapat terperangkap di ginjal selama proses filtrasi.
2) Dalam beberapa kasus, obat dapat bertindak sebagai prohapten dan
membutuhkan metabolisme suatu senyawa reaktif yang kemudian dapat diikat
oleh protein spesifik untuk mengalami proses haptenisasi. Tubulus proksimal
diketahui mampu menghidrolisis dan memetabolisme antigen eksogen seperti
obat dan menyajikannya ke APC melalui MHC.
3) Beberapa obat juga dapat bersifat neo-antigen yang menyebabkan efek toksik
secara langsung yang dapat merusak struktur interstitial ginjal.
4) Obat juga mampu memiliki kemampuan sebagai Antigen-mimicry yakni obat
meniru antigen endogen yang terdapat pada Renal Tubular Epitel atau
interstitium dan menginduksi respon imun yang akan diarahkan pada sumber
antigen.
38
5) Obat dapat menstimulasi produksi antibodi dan disimpan serta beredar di
interstitial sebagai kompleks antigen-antibodi.
(International Society of Nephrology, 2001)
Gambar 2.9
Reaksi Obat dalam Induksi Inflamasi Interstitial
Adanya beberapa reaksi obat yang mampu bersifat imunogenik nantinya akan
merangsang APC melalui MHC yang berada di interstitial ginjal sebagai respon
apabila terdapat adanya suatu antigen eksogen maupun endogen atau cidera pada
ginjal. Ketika antigen telah ditangkap oleh APC melalui MHC akan dibawa ke KGB
regional untuk dipresentasikan ke sel limfosit T naif terutama CD4+ dan akhirnya
melepaskan sitokin pro inflamasi, makrofag dan sel inflamasi non spesifik lain
setelah itu akan dibawa pada sumber antigen ataupun area cidera dan timbul reaksi
infiltrasi sel radang di interstitial (Krishnan M., Perazella MA., 2015).
Obat golongan floroquinolon menyebabkan cedera ginjal akut melalui reaksi
hipersensitivitas. Golongan floroquinolon yang digunakan salah satunya ialah
39
levofloksasin. Selain itu dari bukti-bukti sebelumnya didapatkan bahwasanya
penggunaan floroquinolon dapat menyebabkan granulomatous interstitial nephritis,
yang ditandai dengan adanya inflitrasi histiosit dan limfosit T ke dalam jaringan
ginjal dan akan membentuk granuloma (Bird, Etminan, Brophy et al., 2013).
2.3.4.1 Kerusakan Histopatologi Ginjal
Beberapa tanda kerusakan pada ginjal salah satunya dapat dilihat melalui
adanya infiltrasi sel radang interstitial. Infiltrasi sel radang yaitu penyusupan sel atau
masuknya sel-sel radang dari luar jaringan. Secara mikroskopik, jaringan infiltrasi sel
seluruhnya ditandai dengan adanya sel radang berwarna keunguan (Himawan, 1992
dalam Sugihartini N., Fajri MA., 2016).
Pada paparan toksik akut, hanya daerah glomerulus saja yang mengalami
infiltrasi sel radang, bila paparan toksik berlangsung lama, maka infiltrasi sel radang
akan difus dan menyebar sampai pada tubulus ginjal. Infiltrasi sel limfosit dan
neutrofil menunjukkan radang ginjal ringan. Infiltrasi sel limfosit dan neutrofil yang
difus dan menyebar sampai tubulus ginjal menunjukkan radang ginjal berat (Muljadi,
Givano, Fauzi et al., 2010).
40
(Seely JC., Brix A., 2014)
Gambar 2.10
Infiltrasi Sel Radang Interstitial
2.4 Tikus Putih Rattus Norvegicus Strain Wistar
Tikus Putih Rattus Novergicus merupakan spesies mamalia yang sering
digunakan untuk kepentingan penelitian eksperimental. Tikus putih sangat mudah
beradaptasi dengan baik dan cenderung tahan terhadap berbagai macam perlakuan
saat penelitian (Koolhaas, 2010). Selain itu, tikus putih mewakili kelas mamalia
sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem
reproduksi, pernafasan, peredaran darah, serta ekskresinya menyerupai manusia
(Animal Care Program, 2011). Klasifikasi tikus putih sebagai hewan percobaan
dalam taksonomi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Odontoceti
41
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus Norvegicus
(Koolhaas, 2010).
(Koolhaas, 2010)
Gambar 2.11
Rattus Norvegicus Strain Wistar