bab ii teori, asas dan sistem hukum pemilihan...

57
20 BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN UMUM KDH DAN WKDH A. Teori Teori dalam Pemilihan Umum KDH dan WKDH 1. Teori Keberlakuan Hukum Suatu sistem hukum yang berlaku di masyarakat tidaklah berdiri sendiri tanpa dipengaruhi faktor lainnya, semisal faktor sosial, politik, ekonomi, budaya dan lainnya. 1 Hal ini mengawali dikenalnya sosiologi hukum sebagai suatu ilmu yang menelaah hubungan antara faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi efektifitas keberlakuan hukum. Hal ini seperti diungkapkan Chambliss dan Seidman seperti dikutip Satjipto Raharjo berikut : 2 “Para justisiabel yang menjadi sasaran dari peraturan perundang-undangan tidak hanya menerima pengaruh dari norma-norma hukum saja, melainkan dari berbagai macam faktor dan kekuatan disekelilingnya, seperti adat istiadat, norma-norma agama, kehidupan ekonomi, dan sebagainya. Bahkan masih dapat ditambahkan bekerjanya kekuatan-kekuatan intern psikis di dalam diri pemegang peranan itu sendiri” 1 Satjipto Raharjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung: 1980. Hal 117. 2 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Genta Publishing, Bandung: 2010. Hal 54.

Upload: vumien

Post on 24-Apr-2018

251 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

20

BAB II

TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM

PEMILIHAN UMUM KDH DAN WKDH

A. Teori – Teori dalam Pemilihan Umum KDH

dan WKDH

1. Teori Keberlakuan Hukum

Suatu sistem hukum yang berlaku di

masyarakat tidaklah berdiri sendiri tanpa

dipengaruhi faktor lainnya, semisal faktor sosial,

politik, ekonomi, budaya dan lainnya.1 Hal ini

mengawali dikenalnya sosiologi hukum sebagai

suatu ilmu yang menelaah hubungan antara

faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi

efektifitas keberlakuan hukum. Hal ini seperti

diungkapkan Chambliss dan Seidman seperti

dikutip Satjipto Raharjo berikut :2

“Para justisiabel yang menjadi sasaran dari

peraturan perundang-undangan tidak hanya menerima pengaruh dari norma-norma hukum

saja, melainkan dari berbagai macam faktor dan

kekuatan disekelilingnya, seperti adat istiadat,

norma-norma agama, kehidupan ekonomi, dan

sebagainya. Bahkan masih dapat ditambahkan

bekerjanya kekuatan-kekuatan intern psikis di dalam diri pemegang peranan itu sendiri”

1 Satjipto Raharjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni,

Bandung: 1980. Hal 117. 2 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Genta Publishing, Bandung: 2010.

Hal 54.

Page 2: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

21

Senada dengan Chambliss dan Seidman,

Lawrence Friedman memberikan gambaran

mengenai kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja

mempengaruhi hukum dan menyebutnya sebagai

kultur hukum sebagai berikut :3

“kekuatan-kekuatan sosial terus – menerus

menggerakkan hukum-merusak di sini,

memperbaharui di sana; menghidupkan di sini, mematikan di sana; memilih bagian mana dari

„hukum‟ yang akan beroperasi, bagian mana yang

tidak; mengganti, memintas dan melewati apa

yang muncul; perubahan-perubahan apa yang

akan terjadi secara terbuka atau diam-diam. Karena tidak ada istilah lain yang tepat lagi, kita

bisa namakan sebagian dari kekuatan-kekuatan

ini sebagai kultur hukum”

Menurut Friedman, suatu sistem hukum

dalam operasi aktualnya merupakan sebuah

organisme kompleks di mana struktur, substansi,

dan kultur hukum berinteraksi. Demikian halnya

dengan sistem hukum dalam Pemilihan Umum

KDH dan WKDH yang sarat dengan muatan

politis, pengaruh-pengaruh faktor non-hukum

sangat mempengaruhi keberlakuan dan

penegakan dari norma hukum yang ada.

Pengaruh kepentingan-kepentingan sosial

dan ekonomis semakin menguat dalam

masyarakat Indonesia yang cenderung membuka

diri terhadap liberalisme dimana pengakuan

terhadap hak-hak individual semakin menguat

yang mengarah pada kapitalisme. Tekanan pada

3 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial, penerjemah:M. Khozim, Nusa Media, Bandung: 2009. Hal 17.

Page 3: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

22

kepentingan yang bertentangan ini didekati

dengan pendekatan konflik seperti dikemukakan

Chambliss seperti dikutip Soerjono Soekanto :4

“… every detailed study of the emergence of legal norms has consistently shown the immense

importance of interest-group activity, not „the public interest,‟ as the critical variable in determining the content of legislation.”

Selanjutnya Chambliss mengatakan,5

“Deviancy is not a moral question; it is a political question. No act, nor any set of acts can be defined as inherently „beyond the pale‟ of „community tolerance.‟ Rather, there are in effect an infinite number and variety of acts occurring in any society which may or may not be defined and treated as criminal. Which acts are so designated depends on the interest of the persons with sufficient political power and influence to manage to have their views prevail. Once it has been established that certain acts are to be designated as deviant, then how the laws are implemented will likewise reflects the political power of the various affected groups.”

Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan

bahwa kutub-kutub kekuasaan politis begitu

mempengaruhi penegakan hukum dan

keberlakuan hukum sehingga pada akhirnya

mempengaruhi pola hidup masyarakat. Pula

dalam pelaksanaan pemilihan KDH dan WKDH

dimana kekuasaan dalam hal ekonomi(modal)

begitu kentara.

4 Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta: 1985. Hal 58-59. 5 Loc. Cit.

Page 4: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

23

Lebih jauh bila terjadi suatu situasi dimana

pemegang wewenang gagal untuk menurunkan

gangguan-gangguan terhadap tertib sosial maka

akan terjadi pembubaran terhadap tertib sosial

tersebut yang kemudian berdampak pada

terciptanya suatu tatanan struktur sosial baru

dengan tertib sosial yang baru pula.

2. Teori Negara Hukum dan Negara Hukum

Pancasila

“Omnes legume servi sumus ut liberi esse

posimus”(kita semua harus tunduk kepada

hukum jika kita tetap ingin hidup bebas)6,

ungkapan tersebut merupakan ungkapan

mengenai konsep negara hukum (Rechstaat) yang

dianut banyak negara termasuk Indonesia

dimana kebebasan masyarakat tercipta dengan

adanya hukum dan hukum merupakan dasar

dari segala tindakan masyarakat.

Istilah Rechstaat muncul di kawasan Eropa

Kontinental(Civil Law Sistem) sekitar abad ke-18,

yang diawali dengan kodifikasi hukum oleh

Bangsa Romawi, sehingga sistem ini sering

disebut pula sistem hukum Eropa Kontinental

atau secara historis disebut sistem hukum

6 Ungkapan Cicero yang dikutip oleh Munir Fuady dalam bukunya M. Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, Bandung:

2009. Hal 1.

Page 5: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

24

Romawi-Jerman7. Adapun kodifikasi modern yang

diakui secara nasional adalah Code Napoleon

pada tahun 1804. Elemen – elemen hukum dalam

sistem ini hampir sama dengan sistem rule of

Law (Common Law) hanya penekanan dalam

sistem hukum ini adalah pada kodifikasi undang

– undang dalam kitab undang – undang yang

diberlakukan dalam sistem peradilannya.

Dalam sistem Civil Law Sistem menurut

Freidrich Julius Stahl dalam bukunya

Constitutional Government and Democracy:

Theory and Practice in Europe and America,

seperti dikutip oleh Mukhtie Fajar8, ditandai

dengan empat unsur, yaitu adanya:

“a) hak-hak dasar manusia; b) pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi

manusia itu yang biasa dikenal sebagai Trias

Politika; c) pemerintah berdasarkan peraturan-

peraturan (wetmatigheid van bestuur); dan d)

peradilan administrasi dalam perselisihan.”

Dalam tradisi Anglo Amerika, konsep

negara hukum dipelopori oleh A. V. Dicey dengan

istilah rule of Law, yang mengartikan negara

hukum dalam tiga pandangan yaitu :9

1. Supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif

penguasa.

7 Satjipto Rahardjo , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung:

1991. 8 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,

Malang : 2005. 9 M. Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama,

Bandung: 2009.

Page 6: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

25

2. Berlakunya prinsip persamaan dalam hukum

(equality before the law), dimana semua orang

harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun yang berada di atas hukum (above

the law).

3. Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum

bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini,

hukum yang berdasarkan konstitusi harus

melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan

kemerdekaan rakyat.

Dalam sistem hukum rule of Law, penekanan

lebih ditujukan pada putusan hakim

(yurisprudensi) yang dianggap netral dalam

memberikan pertimbangan dalam memutus

suatu perkara. Dalam perkembangannya, Jimly

Asshidiqqie dalam buku berjudul Konstitusi dan

Konstitusionalisme Indonesia, merumuskan 12

prinsip pokok negara hukum (Rechstaat) sebagai

prasyarat utama dari sebuah negara hukum,

yakni sebagai berikut:10

“(1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law); (2)

Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law);

(3) Asas Legalitas (Due Process of Law); (4)

Pembatasan Kekuasaan; (5) Organ-Organ Eksekutif

Independen; (6) Peradilan Bebas dan Tidak

Memihak; (7) Peradilan Tata Usaha Negara; (8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court); (9)

Perlindungan Hak Asasi Manusia; (10) Bersifat

Demokratis (Democratische Rechsstaat); (11)

Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan

Bernegara (Welfare Rechtsstaat); (12) Transparansi

dan Kontrol Sosial.”

Perkembangan pemikiran negara

hukum(Rechstaat) itu sendiri menggambarkan

dinamisnya konsep negara hukum di era modern

10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,

Konsititusi Press, Jakarta: 2005.Hal 127-133.

Page 7: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

26

ini. Selain konsep negara hukum Rechstaat dan

rule of Law terdapat sistem hukum lain yang

berkembang di negara-negara sosialis, komunis

atau di negara bekas negara komunis.

Menurut Munir Fuady, sistem hukum sosialis

banyak dipengaruhi oleh mazhab hukum alam

antara lain : 11

a) Prinsip pacta sun servanda (janji itu

mengikat), antara lain yang dikembangkan oleh

Grotius; b) Doktrin kontrak sosial dari Thomas

Hubbes; c) konsep aequum et bonum, sebagaimana yang terdapat dalam hukum tentang restitusi dalam

sistem hukum sosialis; d) kewajiban melakukan

ganti kerugian bagi yang bersalah dan merugikan

orang lain.

Masih menurut Munir Fuady bahwa dalam

sistem hukum sosialis sangat erat kaitannya

dengan ideologi sosialis yang dianut oleh negara

tersebut sehingga dinyatakan oleh Munir :

“….sesuai dengan ideologinya yang komunis , mempunyai karakter yang amat fundamental untuk

lebih melindungi kepentingan masyarakat dari

kepentingan individu, dan lebih melindungi

kepentingan buruh dari kepentingan pengusaha,

sehingga organisasi buruh memegang peranan yang

penting. Dalam hal ini hukum merupakan

subordinat dari kondisi politik, sosial dan ekonomi ”

Hukum dalam sistem sosialis dapat dipahami

sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai(netral

dalam penegakannya) hal ini berkaitan erat

dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi serta

kecenderungan atau keberpihakan hukum pada

11 M. Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung:

2007.

Page 8: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

27

kepentingan masyarakat sekalipun merugikan

individu lainnya.

Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum

agama, dalam hal ini yang paling berkembang

dan agresif adalah sistem hukum Islam yang

mendasarkan diri pada al-quran dan sunnah

Nabi Muhammad. Dalam bukunya Tipe Negara

Hukum, Mukhtie Fadjar menjelaskan bahwa12,

“….Islam telah mengambil ketetapan bahwa hukumlah yang harus berkuasa setinggi-tingginya

dalam negara. Hal itu tersebut dalam surat

Almaidah ayat 27 sampai dengan 50. Dicelanya

dengan keras suatu negara yang tidak berdasarkan

hukum, yang diatur hanya menurut kemauan

orang seseorang atau segerombolan orang, mempermainkan nasib berjuta-juta rakyat dengan

tidak ada kepastian hukum yang harus dijunjung

bersama-sama. Dicapnya negara-negara yang tidak

berdasarkan hukum (hukum yang diridhoi Tuhan,

yaitu hukum yang benar dan adil), merupakan negara biadab, negara jahiliyah. „Dan siapa(negara)

yang tidak mendasarkan hukum dengan barang

yang diturunkan Allah maka mereka adalah kafir‟

(Alquran: S.V:44). „Dan siapa (negara) yang tidak

mendasarkan hukum dengan barang yang

diturunkan Allah maka mereka adalah negara yang Zalim‟ (Alquran: S.V:45). „Dan siapa (negara) yang

tidak mendasarkan hukum dengan barang yang

diturunkan Allah maka mereka adalah negara yang

fasik‟ (Alquran: S.V:45).”

Lebih lanjut Mukhtie Fadjar memberikan

penjelasan dari cita hukum negara Islam,13

“Negara hukum yang dikehendaki oleh Islam supaya hukum itu ditegakkan tanpa pilih bulu,

12 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,

Malang : 2005. 13 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,

Malang : 2005.

Page 9: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

28

tanpa memandang orangnya, berdasarkan

perasaan dan kejujuran, seperti tersebut dalam

Alquran: „Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu supaya menunaikan amanah kepada ahlinya dan

apabila kamu menghukum antara manusia supaya

kamu menghukum secara adil….‟. kemudian

disebutkan pula dalam Alquran yaitu

„…tegakkanlah hukum di antara manusia

berdasarkan kebenaran, janganlah mengikuti hawa nafsu sebab dia hanya menyesatkan engkau dari

jalan Allah. Sesungguhnya, orang-orang yang

keras, mereka lupa kepada hari perhitungan,

jaumul-hisab‟ “.

Meskipun Negara Indonesia mayoritas

masyarakat Islam, namun sejak awal

didirikannya tidak menghendaki suatu bentuk

Negara agama melainkan bentuk Negara modern

Republik dimana Pancasila sebagai landasan

negara. Hal ini seperti diungkapkan oleh

Soepomo dalam pidatonya di Sidang BPUPKI

tanggal 31 Mei 1945,14

“…..jadi seandainya kita disini mendirikan negara Islam, pertentangan pendirian itu akan timbul juga di masyarakat kita dan barangkali Badan Penyelidik inipun akan susah……….Oleh karena itu, cita-cita Negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita Negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang

telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.”

Dalam pidato yang sama Soepomo

menyampaikan konsep Negara integralistik yang

diidealkan bagi Negara Indonesia. Konsep Negara

Integralistik tidak berpihak pada kepentingan

14 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nanie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara

Republik Indonesia, Jakarta: 1995.

Page 10: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

29

pribadi maupun kepentingan golongan melainkan

kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai

persatuan. Konsep ini dinyatakan oleh Soepomo

sebagai berikut;15

“Negara ialah suatu susunan masyarakat yang

integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam Negara yang berdasarkan aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang

tidak dapat dipisah-pisahkan….”

Berdasarkan pemikiran yang dinyatakan oleh

Soepomo, Soekarnopun memberikan pandangan

terhadap bentuk dan dasar Negara yaitu Negara

berdasarkan Pancasila. Dalam konsep yang

dicetuskan Soekarno, Pancasila ditempatkan

sebagai Philosofische grounslag yang merupakan

fundamen, filasafat, pikiran sedalam-dalamnya,

jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk

diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka

yang kekal dan abadi. Berkenaan hal ini,

Soerjanto Poespowardojo menyatakan bahwa16

“…..Pancasila sebagai dasar negara. Artinya

sebagai landasan yang punya kekuatan yuridis

15 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nanie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara

Republik Indonesia, Jakarta: 1995. 16 Poespowardojo,S , Filsafat Pancasila, LPSP-Gramedia, Jakarta: 1989.

Page 11: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

30

konstitusional. Padahal Pancasila juga merupakan

landasan ideologis, artinya sebagai ideologi harus

mampu memberikan orientasi, wawasan, asas, dan pedoman yang normatif dalam seluruh bidang

kehidupan negara.”

Sedangkan Prof Sri Soemantri menyampaikan

empat unsur yang ditemukan dalam negara

hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila :17

1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak

asasi manusia dan warga negara;

2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya, pemerintah harus selalu

berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik

yang tertulis maupun yang tidak tertulis;

4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam

menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah,

sedang khusus untuk Mahkamah Agung harus

juga merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya.

Menurut Padmo Wahjono seperti dikutip oleh

Mukhtie Fadjar, negara hukum Pancasila

mengandung lima unsur sebagai berikut.18

1. Pancasila merupakan sumber dari segala

sumber hukum, yang berarti kita menghendaki satu sistem hukum nasional yang dibangun

atas dasar wawasan kebangsaan, wawasan

nusantara, dan wawasan bhinneka tunggal ika.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah

lembaga tinggi negara, yang berwenang

mengubah dan menetapkan undang-undang dasar yang melandasi segala peraturan

perundang-undangan lainnya, dimana undang-

undang dibentuk oleh DPR, DPR bersama-sama

presiden. Hal itu menunjukkan prinsip legislatif

17 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia,

penerbit alumni, Bandung, 1992. 18 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,

Malang : 2005.

Page 12: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

31

khas Indonesia, kekeluargaan, atau

kebersamaan.

3. Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, yaitu suatu sistem yang tertentu yang pasti dan

jelas dimana hukum yang hendak ditegakkan

oleh negara dan yang membatasi kekuasaan

penguasa/ pemerintahan agar pelaksanaannya

teratur dan tidak simpang siur harus

merupakan satu tertib dan satu kesatuan tujuan. Konstitusi merupakan suatu hukum

dasar yang dalam bernegara dimana semua

peraturan hukum (baik yang tertulis maupun

tidak tertulis) dapat dikembalikan. Rumusan itu berbeda dengan rumusan rechstaat atau rule of law yang lebih menekankan rumusan negara

berdasarkan undang-undang atau negara

berdasarkan atas hukum atau negara yang

bermanfaat jadi lebih luas.

4. Segala warga negara bersamaan kedudukannya

dalam hukum dan pemerintahan itu dengan

tiada kecualinya (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945). Prinsip itu lebih jelas dan lengkap daripada prinsip equality before the law dalam konsep

rule of law, karena selain menyangkut

persamaan dalam hak-hak politik, juga

menekankan persamaan dalam kewajiban.

5. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah. Prinsip itu

dimaksudkan terutama untuk menjamin

adanya suatu peradilan yang benar-benar adil dan tidak memihak (fair tribunal and independent yudiciary). Prinsip itu juga

merupakan salah satu prinsip negara hukum Indonesia seperti yang disimpulkan dalam

symposium negara hukum tahun 1966, juga menjadi prinsip rule of law yang dikembangkan

oleh International commission of jurist.

Dari berbagai pendapat dikemukakan diatas,

disimpulkan bahwa Negara Hukum Pancasila

merupakan suatu bentuk Negara Hukum yang

berbeda dari lainnya. Kekhususan terletak pada

konsep-konsep Pancasila yang digali dari kearifan

Page 13: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

32

lokal yang ada untuk kemudian menjadi suatu

landasan Negara.

3. Teori Demokrasi dan perkembangannya

di Indonesia

Sistem Negara Hukum Pancasila

berkonsekuensi logis pada sistem pemerintahan

yang dianut di Indonesia yaitu Demokrasi

Pancasila. Teori demokrasi menurut Sri

Soemantri M19, secara historis berasal dari kata

demos yang berarti rakyat dan cratein yang

berarti memerintah, sehingga demokrasi

diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.

Konsep demokrasi bermula dari pencarian

Aristoteles tentang konsep Negara ideal dengan

mengemukakan teori siklus. Konsep Negara ideal

dimulai dari bentuk monarki sebagai

pemerintahan Negara yang baik yang

memberikan ruang bagi para filsuf bijak untuk

memimpin, namun demikian manusia tidaklah

kekal sehingga konsep inipun akan runtuh.

Akhirnya muncullah konsep demokrasi yang

disebut juga mobocracy. Konsep sistem

demokrasi sendiri mengalami perkembangan dari

waktu ke waktu. Hal ini dipengaruhi pandangan

demokrasi secara material(substansial) dan

19 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia,

penerbit alumni, Bandung, 1992.

Page 14: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

33

formal(prosedural) seperti diungkapkan Sri

Soemantri:

“….demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu demokrasi dalam arti material dan

demokrasi dalam arti formal. Demokrasi dalam

arti yang pertama adalah demokrasi yang

diwarnai oleh falsafah atau ideologi yang dianut

oleh suatu bangsa atau Negara. Perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-

masing Negara menunjukkan adanya

perbedaan yang mendasar dalam demokrasi ini.

Oleh karena itu, dikenal adanya demokrasi

Pancasila, demokrasi terpimpin, demokrasi

liberal, demokrasi sosialis, demokrasi rakyat dan demokrasi sentralisme. Kedua, demokrasi

dalam arti formal mengalami perkembangan,

yaitu dari demokrasi langsung, sebagaimana

pernah dilaksanakan dalam Negara-Kota (City

State) di Yunani Kuno, menjadi demokrasi tidak

langsung…….”

Sejalan dengan Soemantri, Mukhtie Fadjar

menekankan bahwa pemilu merupakan suatu

proses demokrasi prosedural yang mungkin saja

tidak substansial namun demikian keduanya

tidak dapat dipisahkan satu sama lain, “qonditio

sine qua non”, the one can not exist without the

others.20

Demokrasi prosedural yang dijalankan untuk

memilih pejabat publik baik legislatif maupun

eksekutif ditinjau dari perspektif politik

20 Fadjar. M, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Jurnal

Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, April 2009.

Page 15: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

34

demokrasi dalam perspektif politik didefinisikan

oleh Hendry B. Mayo sebagai berikut :21

“A democratic political sistem is one in which publik policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under

conditions of political freedom (Sistem Politik

yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh

wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh

rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang

didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan

diselenggarakan dalam suasana terjaminnya

kebebasan politik)”

Kebebasan politik dalam masyarakat modern

yang dikemukakan Hendry B. Mayo berbasis

pada partisipasi aktif masyarakat sehingga sering

disebut sebagai demokrasi langsung atau

demokrasi partisipatif sehingga meninggalkan

model demokrasi lainnya yakni demokrasi

perwakilan dan demokrasi partai tunggal.22

Perkembangan pemikiran tentang demokrasi

memunculkan suatu konsep demokrasi

konstitusional atau konstitusionalisme. Konsep

ini memberikan peranan kepada eksekutif untuk

menjalankan pemerintahan berdasarkan

konstitusi yang telah dibuat oleh rakyat melalui

perwakilan parlemen sehingga pembatasan

kekuasaan eksekutif dapat dijangkau oleh

rakyat. Hal ini berarti dalam suatu negara

21 Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford

University Press, New York: 1960. Hal 70 22 M. Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung:

2007.Hal 134.

Page 16: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

35

hukum menghendaki adanya supremasi

konstitusi. Supremasi konstitusi disamping

merupakan konsekuensi dari konsep negara

hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan

demokrasi karena konstitusi adalah wujud

perjanjian sosial tertinggi.23

Dalam pembahasaan Arief Budiman konsep

negara konstitusionalisme disebut sebagai negara

pluralis, dimana setiap kebijaksanaan yang

dikeluarkan bukanlah timbul atas inisiatif dari

negara akan tetapi inisiatif tersebut timbul dari

rakyat melalui proses penjaringan aspirasi

masyarakat secara penuh melalui parlemen.24

Carl J. Friederick mengemukakan bahwa,

konstitusionalisme adalah gagasan bahwa

pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas

yang diselenggarakan atasnama rakyat, tetapi

yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang

dimaksudkan untuk memberi jaminan bahwa

kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah

itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang

mendapat tugas untuk memerintah. Hal ini

dalam rangka mencegah suatu negara totaliter

yang mengarah pada kekuasaan pada suatu

23 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,

Konsititusi Press, Jakarta: 2005. Hal 152-162. 24 Arief Budiman, Negara, Kelas dan Formasi Sosial, (wawancara

Majalah Keadilan, No 1 Tahun XII/1985), dalam Mahfud MD,

Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2003.

Page 17: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

36

partai politik tertentu maupun pribadi seorang

penguasa tertentu.25

Secara historis, pelaksanaan demokrasi di

Indonesia telah mengalami perubahan dari awal

kemerdekaan hingga saat ini. melampaui 4

(empat) masa dan bentuk, yaitu: demokrasi

liberal/parlementer (1950-1959), demokrasi

terpimpin (1959-1966), demokrasi orde

baru/Pancasila (1966-1997), dan demokrasi

pasca orde baru (1998-sekarang).26

Dalam era Demokrasi Liberal ada beberapa ciri

yang dikemukakan oleh JD Legge seperti dikutip

Sihombing F. B yaitu :27

“1) Masa Demokrasi Liberal adalah zaman

pemerintahan partai-partai. Masing-masing partai menonjolkan peranannya untuk

memegang tampuk pemerintahan.

2) Kesediaan untuk mengorbankan kepentingan

golongan demi kepentingan nasional sulit

dilaksanakan.

3) proses politik pada masa itu berkisar pada

masalah-masalah harmonisasi kehidupan

tradisional versus modern, kepentingan yang

sempit versus kepentingan skala nasional, dan

25 Carl J. Friederich, Constitutional Government and Democracy : Theory and Practice in Europe and America, (5th edition: Weldham,

Mass: Blaisdell Company, 1967), dalam Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta: 1993. 26 Wasino, 2009, Disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah

Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian

Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan

dan Pariwisata, di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret

2009. 27 Legge, JD, Indonesia, Englewood Cleffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc, 1974, dalam Sihombing, F. B, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik, Erlangga, Jakarta: 1984.

Page 18: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

37

keseimbangan kepentingan ekonomi versus

politik.

4) Partai-partai yang besar pada masa itu

adalah NU, PNI, Masyumi dan PKI.”

Selama masa itu juga terjadi beberapa kali

pergantian kabinet dalam waktu relatif singkat,

yaitu kabinet syahrir I, II, III serta kabinet

Syarifudin dalam kurun waktu (1945-1949). Hal

ini menunjukkan betapa partai politik dalam

parlemen memiliki kemampuan berlebih untuk

menjatuhkan pemerintahan yang dirasa tidak

sesuai. Ini pula yang menyebabkan kondisi

politik dan hukum menjadi kacau.

Setelah masa demokrasi liberal/parlementer,

Indonesia masuk pada era Demokrasi Terpimpin

yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Secara

konseptual model demokrasi ini baik seperti

dikemukakan oleh Syafii Maarif dalam kutipan

Mahfud MD:28

“Demokrasi kekeluargaan yang dia (Soekarno-pen) maksudkan adalah demokrasi

yang mendasarkan sistem pemerintahannya

kepada musyawarah dan mufakat dengan

pimpinan serta kekuasaan sentral ditangan

seorang „sesepuh‟ seorang tertua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin, mengayomi-.

Siapa yang dia maksudkan dengan terma-terma

„sesepuh‟ atau „tetua‟ pada waktu itu tidak lain

adalah dirinya sendiri sebagai penyambung

lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang

serba bijak dari keluarga besar Bangsa Indonesia.”

28 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty,

Yogyakarta: 1993.

Page 19: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

38

Konsep itupula oleh Ismail Suni dicatat

beberapa ciri yang terjadi selama masa itu

sebagai berikut:29

“1) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di

segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan

yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi,

sosial;

2) Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang

sehat dan yang membangunkan „diharuskan‟ dalam alam demokrasi terpimpin yang penting

adalah cara bermusyawarah dan

pemusyawaratan perwakilan yang harus

dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan;

3) Sebagai alat, maka demokrasi terpimpin

mengenal juga kebebasan berfikir dan

berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan Negara, batas

kepentingan rakyat banyak, batas kepribadian

bangsa dan batas pertanggungjawab kepada

Tuhan”

Meski secara konseptual ide demokrasi

terpimpin Soekarno ternyata mendapat banyak

pro dan kontra. Serta telah terjadi penyimpangan

dalam ketatanegaraan ketika dikeluarkannya

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan

konstituante dan mengembalikan konstitusi pada

UUD 1945 serta membentuk DPR-GR yang

ditunjuk oleh Soekarno sendiri. Dalam masa itu

pula Soekarno benar-benar melaksanakan apa

yang dianggapnya benar, terlebih setelah

29 Suni. I, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, dalam Sihombing, F.

B, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik, Erlangga, Jakarta:

1984.

Page 20: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

39

mundurnya Muhammad Hatta dari jabatan wakil

presiden.30

Masa orde baru demokrasi Pancasila (menurut

pembacaan penulis Demokrasi Pancasila yang

tidak sebenarnya) diawali ketika Jenderal

Soeharto diberi mandat dengan munculnya Surat

Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)31 untuk

menjaga stabilitas nasional. Supersemar

ditindaklanjuti dengan munculnya Ketetapan

MPRS melalui Sidang Istimewa 1967 untuk

mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden

Republik Indonesia. Meskipun dalam sidang

MPRS ini tidak jelas siapa yang menjadi anggota,

namun ketetapan tersebut menjadi legitimasi

bagi Soeharto untuk menyingkirkan Soekarno

beserta para pendukungnya.32

Sama halnya dengan Presiden Soekarno,

dalam tataran konsep, Demokrasi Pancasila

merupakan penggalian dari nilai-nilai luhur

Bangsa yang dinilai baik untuk diterapkan.

Konsep ini muncul dalam pidato Soekarno sendiri

30 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty,

Yogyakarta: 1993. 31 Beberapa akademisi mengkritisi keberadaan Surat Perintah 11

Maret 1966 yang hingga saat ini tidak pernah ada manuskrip asli

dari surat perintah tersebut. Hal ini kemudian hari dinyatakan sebagai suatu kebohongan publik serta pemutar balikan fakta

sejarah untuk menjatuhkan Presiden Soekarno. 32 Wasino, 2009, Disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian

Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan

dan Pariwisata, di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret 2009.

Page 21: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

40

sebagai Penggagas Pancasila yang kemudian

dikuatkan Soepomo dengan konsep integralistik.

Dalam era Demokrasi Pancasila, Presiden

Soeharto menetapkan suatu ideal dimana akan

menjalankan Pemerintahan berdasarkan UUD

1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Konsep Demokrasi Pancasila dinyatakan oleh

Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya

tanggal 16 Agustus 1967 seperti dikutip Mahfud

MD:33

“….menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi, kedaulatan rakyat yang

dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila

lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam

menggunakan hak-hak demokrasi haruslah

selalu disertai dengan rasa tanggung jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, haruslah

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan

sesuai dengan martabat dan harkat manusia,

haruslah menjamin dan mempersatukan

bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila

berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan

gotong royong.”

Jauh sebelum Presiden Soeharto

mengemukakan konsep kekeluargaan dan gotong

royong, Soekarno dalam pidatonya dalam Sidang

BPUPKI menyatakan:34

33 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty,

Yogyakarta: 1993. 34 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nanie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara

Republik Indonesia, Jakarta: 1995.

Page 22: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

41

“…Dan demokrasi yang bukan Barat, tapi politiekeconomische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid,

demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie……..Alangkah

hebatnya! Negara Gotong Royong!..........Gotong

Royong adalah faham yang dinamis, lebih

dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara!

Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu

usaha, satu amal, satu pekerjaan,………Gotong

Royong adalah pembantingan tulang bersama,

pemerasan keringat bersama, perjuangan

bantu-binantu bersama. Amal semua buat

kepentingan semua. Holopis-kuntul-baris buat

kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!”

Pandangan Sri Soemantri lebih lanjut

mengenai Demokrasi dibedakan menjadi tiga,

yakni: 35

1. Demokrasi yang mendasarkan diri atas kemerdekaan dan persamaan;

2. Demokrasi yang mendasarkan diri atas

kemajuan di bidang sosial dan ekonomi;

3. Demokrasi yang mendasarkan diri atas

kemerdekaan serta persamaan dan atas

kemajuan social dan ekonomi sekaligus.

“……..dengan demikian Demokrasi Pancasila

dilihat dari aspek materialnya tidak hanya

mendasarkan diri atas kemerdekaan dan

persamaan saja, ataupun hanya mendasarkan diri atas kemajuan di bidang sosial dan

ekonomi saja, melainkan mendasarkan diri atas

keduanya sekaligus.”

Dalam perkembangan Demokrasi Pancasila

masa kepemimpinan Presiden Soeharto terjadi

banyak penyimpangan mengatasnamakan

Demokrasi Pancasila. Penyimpangan yang terjadi

35 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia,

penerbit alumni, Bandung, 1992.

Page 23: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

42

dalam demokrasi Pancasila adalah tidak adanya

rotasi kekuasaan eksekutif khususnya

ditingkatan Pusat (Presiden) maupun Daerah;

Rekrutmen politik yang bersifat tertutup; sistem

Pemilihan Umum yang dikondisikan sedemikian

rupa untuk mengkondisikan agar terpilihnya

Presiden Soeharto kembali selama 6 kali

Pemilihan Umum yang berlangsung di Indonesia

dalam masa Orde Baru.36

Situasi Orde Baru berdampak pada krisis

kepercayaan terhadap pemerintah. Pada akhirnya

situasi dan kondisi nasional sangat tidak stabil

menuntut Presiden Soeharto mengundurkan diri

dari jabatannya sebagai Presiden Republik

Indonesia yang kemudian digantikan oleh Wakil

Presiden Republik Indonesia masa itu, B.J.

Habbibie.

Indonesia pasca orde baru, mengalami periode

pencarian konsep demokrasi yang diidealkan oleh

para pendiri bangsa atas nama rakyat Indonesia.

Model demokrasi yang diterapkan dikembalikan

pada Demokrasi Pancasila dimana kedudukan

perwakilan rakyat dikembalikan. Akan tetapi,

pola ini ternyata tidak diterima oleh masyarakat

sehingga menuntut pola demokrasi lansung,

dimana pemimpin eksekutif ditentukan langsung

oleh rakyat.

36 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogjakarta:2004.

Page 24: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

43

Model demokrasi pasca orde baru seolah

kembali pada suatu sistem demokrasi kuno

Athena dimana kedaulatan rakyat ada pada

masyarakat secara langsung, yang pada waktu

itu ada dalam suatu Majelis(Ecclesia) yang terdiri

dari 6.000 orang dengan intensitas pertemuan

untuk mengadakan pemilihan maupun

menyelesaikan masalah-masalah luar biasa

sebanyak 40 kali dalam setahun. Kisah

Xenophon dalam History of Greece digarisbawahi

oleh David held sebagai berikut :37

“Kisah Xenophon menggarisbawahi betapa

rakyat bertanggungjawab atas Majelis, kontrol

orang banyak atas pejabat, debat terbuka yang

sering terjadi, dan keputusan oleh sidang missal....cerita ini juga menggambarkan

ketergantungan partisipasi penuh atas

keterampilan dalam berorasi; pertentangan

antara kelompok-kelompok pemimpin yang

bermusuhan; jaringan informal dari komunikasi dan tipu daya; munculnya faksi-faksi yang

sangat bertentangan yang siap mendorong

secepatnya langkah-langkah yang menentukan;

mudah dipengaruhinya Majelis oleh keramaian

sesaat; landasan yang tidak tetap dari

keputusan tertentu yang melibatkan orang banyak; dan potensi ketidakstabilan politik

secara umum…..”

Hal ini pula berkembang dalam masa

pascaorde baru ketika euphoria demokrasi

seluas-luasnya menciptakan konsep sendiri dari

konsep Demokrasi Pancasila yang dicitakan para

pendiri bangsa.

37 Held. D, Models of Democracy, Polity press, Cambridge: 2006.

Page 25: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

44

Meski demikian diakui bahwa demokrasi

prosedural yang dilaksanakan selama kurun

waktu pasca orde baru dapat dinyatakan sukses,

meski tidak serta merta secara substansi

Demokrasi Pancasila itu terpenuhi.

4. Teori Pemerintahan Daerah

Sistem ketatanegaraan Indonesia menganut

negara kesatuan(unitary) sejak diproklamasikan

17 Agustus 1945, hal ini berarti Negara Indonesia

tidak menerapkan sistem negara serikat(federasi).

Meski Negara Indonesia menganut sistem negara

kesatuan, hadirnya pemerintahan dalam cakupan

yang lebih sempit(pemerintahan daerah) tidak

serta merta merubah sistem ketatanegaraan

Indonesia.

Alasan hadirnya pemerintahan daerah

dikemukakan oleh Umbu Rauta yaitu:38

1. Perwujudan fungsi negara modern, yang lebih

menekankan pada kesejahteraan umum(welfare state) sehingga diperlukan campur tangan pemerintah yang lebih luas hingga ke ranah lokal.

2. Pemencaran kekuasaan negara (dispersed of power) dari tingkatan suprastruktur hingga

infrastruktur.

3. Dari perspektif manajemen pemerintahan, adanya kewenangan yang diberikan kepada

daerah yaitu keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya, merupakan perwujudan dari

38 Umbu Rauta, Bunga Rampai hukum Tata Negara Indonesia, FH-

UKSW, Salatiga: 2000.

Page 26: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

45

adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi

mewujudkan kesejahteraan umum.

Tujuan Bernegara yang dikemukakan oleh

Umbu Rauta diimplementasikan dan

dilaksanakan secara luas dengan mendelegasikan

beberapa kewenangan dengan tujuan

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan The Liang Gie, seperti dikutip oleh

Umbu Rauta, mengemukakan sejumlah alasan

hadirnya satuan pemerintahan territorial yang

lebih kecil, yang memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya,

yaitu39

“(1) guna mencegah penumpukan kekuasaan yang bisa membuka ruang bagi terjadinya tirani; (2) sebagai upaya pendemokrasian; (3) untuk memungkinkan tercapainya pemerintahan yang efisien; (4) guna dapat memberikan perhatian terhadap kekhususan-kekhususan yang menyertai setiap daerah; dan (5) agar Pemerintah Daerah dapat lebih langsung membantu penyelenggaraan

pembangunan.”

Menurut Jimly Asshidiqie, Pemerintahan

daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi

(desentralisasi) dan tugas perbantuan. Oleh

karena itu, hubungan yang diidealkan antara

Pemerintah Pusat dan daerah adalah hubungan

yang tidak bersifat hierarkis. Namun demikian

fungsi koordinasi pembinaan otonomi daerah dan

39 Umbu Rauta, Bunga Rampai hukum Tata Negara Indonesia, FH-

UKSW, Salatiga: 2000.

Page 27: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

46

penyelesaian permasalahan antar daerah tetap

dilakukan oleh Pemerintah Pusat.40

Pandangan Riggs berkaitan dengan otonomi

daerah menyatakan bahwa desentralisasi

mengandung 2 makna yaitu: pelimpahan

wewenang sering disebut sebagai “delegation”

yang berarti pelimpahan wewenang atau

penyerahan tanggung jawab kepada bawahan

untuk mengambil keputusan tetapi

pengawasannya masih ada dalam tangan

Pemerintah Pusat. Makna yang kedua adalah

“devolution” atau pelimpahan kekuasaan yang

berarti adanya pelimpahan tanggung jawab

penuh kepada pihak bawahan atau daerah.41

Dalam desentralisasi (otonomi daerah),

menurut Uphroff, menganut tiga unsur utama

yaitu: terjadinya proses pertanggungjawaban oleh

penyelenggara pemerintahan kepada rakyat;

adanya partisipasi masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan yang dilakukan secara

transparan; dan dipegangnya kaidah-kaidah

demokrasi di dalam menjalankan

pemerintahannya.42 Selain itu, Cornelis Lay

40 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,

Konsititusi Press, Jakarta: 2005. Hal 220. 41 F Putra, Devolusi, Politik Desentralisasi sebagai media rekonsiliasi ketegangan politik negara-rakyat, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta: 1998. 42 Uphoff, N. T and John.N. Cohen, 1979. Development and Participation Operational Implication for Social Welfare. New York:

Colombia University Press dalam K Suwondo, Otonomi Daerah dan

Page 28: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

47

menyatakan ada 4 hal paling sensitif yang

diakomodasi dalam otonomi daerah yakni sharing

power, sharing of revenue, empowering lokalitas

serta pengakuan dan penghormatan terhadap

identitas kedaerahan.43

a. Asas Pemerintahan Daerah

Didalam konsep pemerintahan daerah

terdapat tiga asas utama yang digunakan44

yaitu:

i. Desentralisasi, menurut asal katanya,

desentralisasi terdiri dari gabungan

imbuhan “de-” yang bermakna penurunan

atau pelepasan dengan kata “sentral” yang

berarti pusat(dalam hal ini yang dimaksud

adalah Pemerintah Pusat) serta imbuhan

“-isasi” yang bermakna proses. Menurut

Sadu Wasistiono45, dekonsentrasi

dimaknai sebagai transfer kewenangan

dimana kewenangan sepenuhnya menjadi

hak dan kewajiban penerima kewenangan.

Sedangkan Bagir Manan seperti dikutip

Pipin Syarifin menyatakan bahwa tujuan

Dinamika Politik Lokal, Kritis, vol XIII No. 6, PPs-UKSW, Salatiga:

Maret 2001. 43 C Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”. Kompleksitas

Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Pustaka Pelajar,

Yogyakarta: 2006. 44 S Wasistiono, dkk, Memahami Tugas Asas Tugas Pembantuan,

Fokus media, Bandung: 2006. 45 Loc. Cit,

Page 29: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

48

penyelenggaraan pemerintahan daerah

dari perspektif desentralisasi yaitu:

“Meringankan beban pekerjaan pusat. Dengan desentralisasi, berbagai tugas dan pekerjaan dialihkan kepada daerah, dengan demikian Pusat lebih memusatkan perhatian

pada hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional atau negara secara keseluruhan. Pusat tidak perlu memiliki aparat sperti di daerah. Namun demikian, tidak berarti dalam lingkungan desentralisasi tidak boleh ada fungsi dekonsentrasi. Fungsi-fungsi dekonsentrasi dapat dilaksanakan pada alat kelengkapan daerah yang ada seperti yang selama ini berjalan, yaitu Kepala Daerah. Dalam hal demikian, Kepala Daerah merupakan „de

hand van central gouvernement‟ di daerah. Kepala Daerah adalah primat desentralisasi; bukan primat dekonsentrasi.”

ii. Dekonsentrasi, merupakan asas delegasi

kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah. Adapun tujuan dalam

pendelegasian ini adalah untuk menjadi

kepanjangan tangan dari Pemerintah

Pusat untuk menjangkau ke pelosok

daerah.

Dalam konsep dekonsentrasi,

Pemerintah Daerah melaksanakan tugas

yang diberikan oleh Pemerintah Pusat,

dalam hal ini terdapat perbedaan dengan

konsep desentralisasi dimana dalam

desentralisasi proses perencanaan,

pelaksanaan hingga evaluasi dilakukan

oleh Pemerintah Daerah sedangkan dalam

Page 30: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

49

konsep dekonsentrasi proses perencanaan,

keuangan dan lainnya dilakukan oleh

Pemerintah Pusat sedangkan Pemerintah

Daerah hanya melaksanakan saja.

iii. Tugas Pembantuan, Tugas pembantuan

atau dikenal dengan istilah “medebewind”

memiliki ciri pelaksanaan seperti

diungkapkan Sadu Wasistiono46 yaitu;

kewenangan tetap melekat pada institusi

pemberi, sedangkan dana dan personil

pelaksana dibantu dari pusat namun

sebagian besar personil pelaksananya

dibantu dari daerah.

b. Sistem Rumah Tangga Pemerintahan Daerah

Implementasi dari ketiga asas

pemerintahan daerah diwujudnyatakan dalam

suatu sistem sistem rumah tangga

pemerintahan daerah yang terbagi pula dalam

tiga kategori yakni:

i. Sistem Rumah Tangga Materiil, menurut

Umbu Rauta dan Darumurti47, sistem

rumah tangga (otonomi) daerah materiil

dinyatakan sebagai berikut;

“….antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas

46 S Wasistiono, dkk, Memahami Tugas Asas Tugas Pembantuan,

Fokus media, Bandung: 2006. 47 Rauta. U & Darumurti. K, Otonomi Daerah-Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti,

Bandung: 2003.

Page 31: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

50

(wewenang dan tanggungjawab) yang eksplisit (diperinci secara tegas) dalam undang-undang pembentukan daerah. Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti pula, apa yang tidak tercantum dalam undang-undang pembentukan daerah, tidak termasuk urusan Pemerintah Daerah Otonom, tetapi urusan pemerintah pusat.”

Dalam sistem rumah tangga

semacam ini pembagian tugas antara

pusat-daerah menjadi sangat jelas dan

memiiki legalitas hukum karena diatur

dalam undang-undang. Hal ini dalam

upaya mencegah ketidakteraturan dalam

pelaksanaan teknis urusan di daerah.

ii. Sistem Rumah Tangga Formil, dalam sistem

rumah tangga formil tidak dibedakan

unsur-unsur yang menjadi tugas Pusat

maupun Daerah karena asumsi bahwa

semua urusan yang bertujuan untuk

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

dapat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat

maupun Pemerintah Daerah. Dalam

implementasinya ketika ada pembagian

tugas antara Pusat-Daerah semata-mata

hanya didasarkan pada pertimbangan

rasional dan praktis saja.

Penggunaan sistem otonomi daerah

formil ini memiliki beberapa kendala

Page 32: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

51

seperti diungkapkan oleh Bagir Manan

yang dikutip Umbu Rauta, yaitu:48

“1)Tingkat hasil guna dan daya guna sistem otonomi formil sangat tergantung pada kreatifitas dan aktivitas daerah otonom. Daerah harus mampu melihat urusan yang

menurut pertimbangan mereka penting bagi daerah, wajar, tepat diatur dan diurus oleh pemerintah daerah. Bagi daerah-daerah yang kurang mampu memanfaatkan peluang, dalam kenyataannya akan banyak bergantung pada Pusat atau daerah-daerah tingkat atasnya; 2)Keterbatasan dalam hal keuangan daerah. Meskipun mempunyai peluang yang luas untuk mengembangkan urusan rumah tangga daerah, hal ini tidak mungkin terlaksana tanpa ditopang oleh sumber keuangan yang memadai;

3)Kemungkinan terjadi persoalan yang bersifat teknis. Daerah tidak dapat secara mudah mengetahui urusan yang belum diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya.”

iii. Sistem Rumah Tangga Nyata atau Riil,

sistem Rumah Tangga yang ketiga dan

merupakan perpaduan dari kedua sistem

yang telah disebutkan adalah Sistem

Rumah Tangga Nyata yang memiliki ciri

khas:49

“1)menurut urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah

tangga formil; 2)disamping urusan-urusan

48 Rauta. U & Darumurti. K, Otonomi Daerah-Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti,

Bandung: 2003. 49 Loc. Cit,

Page 33: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

52

rumah tangga yang ditetapkan secara materiil, daerah-daerah dalam rumah tangga riil dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atasnya; 3)Otonomi dalam rumah tangga riil didasarkan pada faktor-faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan-urusan rumah tangga daerah sesuai dengan

keadaan masing-masing.”

Dalam sistem rumah tangga riil,

lokalitas dari suatu daerah sangat

mewarnai kebijakan yang diambil oleh

seorang Kepala Daerah sehingga sistem ini

menjadi ideal bagi perkembangan suatu

daerah yang memiliki lokalitas yang begitu

beragam.

Penjelasan mengenai teori

pemerintahan daerah menjadi suatu

landasan filosofis untuk terlaksananya

demokrasi hingga tingkatan lokal dalam

hal ini Pemilihan KDH dan WKDH. Lebih

lanjut bila ditinjau dari segi pemilihan

KDH dan WKDH dalam bangunan sistem

pemerintahan daerah secara historis,

Indonesia mengalami beberapakali

perubahan dari awal kemerdekaan hingga

sekarang.

Page 34: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

53

5. Teori Pengisian Jabatan KDH dan

WKDH

Demokrasi berkonsekuensi pada

penyerahan kekuasaan secara “mutlak” kepada

rakyat, meski demikian tidak serta merta

pemimpin atau penguasa yang telah dipilih

rakyat akan selamanya berada pada posisi

tersebut. Apabila hal ini terjadi, justru akan

menimbulkan sebuah tirani yang berakibat pada

kekuasaan yang korup seperti disampaikan Lord

Acton.50

Aristoteles dalam karyanya, Politics,

menjelaskan bahwa :51

“The Basis of a democratic state is liberty;which, according to the common opinion of men, can only be enjoyed in such a state; this they affirm to be the great end of every democracy. One principle of liberty is for all to rule and be ruled in turn, and indeed democratic justice is the application of numerical not proportionate equality”

Pada dasarnya demokrasi menganut prinsip

keadilan numerik dan tidak berdasarkan pada

keadilan jasa dimana sebaik-baiknya pemimpin

atau penguasa tidak serta merta selamanya

berhak ditunjuk menjadi pemimpin. Sehingga

Aristoteles mengemukakan suatu pendapat

bahwa pada akhirnya satu prinsip dari

kebebasan adalah hukum dan kembali kepada

50 Lord Acton menyatakan bahwa Power tends to corrupt and absolutely Power tends to corrupt absolutely. 51 Aristoteles, Politics, translated by:Benjamin Jowet, Batoche

books, Kitchner:1999.

Page 35: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

54

hukum itu sendiri sehingga perlu suatu

mekanisme rotasi jabatan publik yang

merepresentasikan suara rakyat lewat Partisipasi

Politik.52

Sistem rotasi pengisian jabatan publik

merupakan suatu fenomena yang pasti terjadi

dalam suatu birokrasi pemerintahan. Pengisian

terkait jabatan publik (dan atau politis) sebagai

KDH dan WKDH pun tak lepas dari sistem

pengisian jabatan ini. Sistem pengisian jabatan

KDH dan WKDH tersebut dibagi menjadi dua

bagian besar yakni penunjukan langsung dan

sistem pemilihan. Sedangkan sistem pemilihan

sendiri dibagi lagi dalam sistem pemilihan melalui

perwakilan dan pemilihan langsung.53

Dalam studi ilmu politik, dikenal dua model

dalam rekrutmen politik, yakni sistem terbuka

dan sistem tertutup. Dalam sistem terbuka,

semua warga negara yang memenuhi syarat

tertentu (umur, kemampuan/kecakapan, dan

pendidikan) mempunyai peluang yang sama

untuk mengisi jabatan politik. Sementara, dalam

sistem tertutup, pengisian jabatan politik

52 Menurut Robert P Clark, ada tiga jenis konsep partisipasi politik

namun dalam hal ini yang dimaksud adalah pola perilaku untuk

ikut terlibat aktif mempengaruhi rotasi pejabat publik melalui

kegiatan pemilihan umum, memberikan suara, dan melakukan kampanye. (Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta : 1986) 53 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005. Hal 102-106.

Page 36: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

55

hanyalah melibatkan sekelompok kecil kalangan

elite.54

a. Sistem Pemilihan

i. Pemilihan Langsung, sistem pemilihan

langsung, dimaksudkan bahwa calon KDH

dan WKDH dipilih secara langsung oleh

rakyat yang memiliki Hak pilih. Sistem ini

populer di Negara yang menganut sistem

federal atau federasi, seperti Jerman,

Amerika dan Kanada. Pelibatan rakyat

secara langsung dalam pemilihan

menyebabkan legitimasi dari proses hingga

hasil pemilihan sangat besar.55

ii. Pemilihan Tak Langsung (perwakilan),

sistem pemilihan perwakilan digunakan

oleh dua pertiga negara yang menganut

sistem kesatuan. Sistem ini bertumpu pada

kemampuan elite politik dari parlemen atau

Dewan Perwakilan Rakyat (versi Indonesia)

sebagai subjek perwakilan masyarakat.

Melalui Dewan Perwakilan yang ada,

partisipasi masyarakat tidak secara

langsung dapat diberikan dalam memilih

KDH dan WKDH karena seringkali terbatas

pada suara anggota Dewan Perwakilan

Rakyat.

54 Mosche Czudnowski, Political Recruitment, dalam fredderick

Greenstein-Nelson W. Polsby, Handbook of Political Science, Vo 2, dalam Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005. 55 Loc. Cit.,

Page 37: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

56

Joko J. Prihatmoko mencatat, dalam

sistem ini lazimnya digunakan sistem

mayoritas absolut maupun mayoritas

sederhana. Dalam mayoritas absolut,

Kepala Daerah diduduki calon yang

memperoleh suara lebih dari separuh

jumlah pemilih (parlemen atau Dewan

Perwakilan Rakyat) dengan konsekuensi

pemilihan dilakukan dalam dua putaran.

Sedangkan dalam mayoritas sederhana,

calon yang memiliki suara terbanyaklah

yang berhak ditetapkan sebagai Kepala

Daerah.56

iii. Pemilihan Tak Langsung Semu, pemilihan

perwakilan semu adalah mekanisme atau

sistem Pemilihan Umum KDH dan WKDH

yang seolah-olah dilakukan oleh DPRD

namun penentu sesungguhnya adalah

pejabat pusat(pejabat yang memiliki

hierarki lebih tinggi).

b. Pengangkatan / Penunjukan langsung

Sistem penunjukan langsung

merupakan sistem yang sentralistik dari

Pemerintah Pusat kepada daerah dalam hal

pengangkatan KDH dan WKDH. Dalam sistem

ini pejabat pusat memiliki kewenangan sangat

tinggi dalam mengatur dan mengendalikan

56 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

Page 38: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

57

Kepala Daerah. Sistem ini berkembang di

Indonesia semasa pemerintahan Orde Baru.57

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan

daerah peran seorang KDH dan WKDH

sangatlah besar, hal ini tidak sama dengan

pejabat legislatif yang ada sehingga meskipun

dinyatakan bahwa kepala eksekutif sejajar

dengan anggota legislatif namun prinsip

Primus Inter Pares(yang terutama dari yang

utama) berlaku didalamnya. Syaukrani

memaparkan beberapa alasan prinsip Primus

Inter Pares berkaitan dengan jabatan KDH dan

WKDH sebagai berikut:58

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tugas dan kewenangan tidak hanya untuk membuat kebijaksanaan, tetapi juga mengimplementasikannya, dan mengadakan evaluasi terhadap kebijaksanaan tersebut. Sementara itu, DPRD hanyalah membentuk kebijaksanaan publik, dan bahkan hampir sama sekali tidak terlibat dalam implementasi kebijaksanaan tersebut.

Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tanggungjawab dalam bidang sosial, ekonomi

dan keuangan, serta politik karena memang dipilih untuk itu, sementara seorang anggota DPR/DPRD hanyalah memiliki tanggung jawab dalam bidang politik saja. Dalam bidang sosial seorang Kepala Eksekutif harus memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan warga masyarakatnya, kemudian mewujudkannya dalam sejumlah langkah kebijaksanaan tertentu. Dia harus memikirkan bagaimana lingkungannya mengalami perkembangan kearah yang lebih baik, merangsang dengan sejumlah

57 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005 58 Syaukani H, HR. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002.

Page 39: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

58

kebijaksanaan dengan insentif-insentif tertentu, sehingga akan membawa dampak yang positif bagi perkembangan perekonomian di daerahnya. Sementara itu, DPRD hanyalah mendukung dengan menyiapkan seperangkat legislasi yang kondusif.

Seorang Kepala Eksekutif harus memiliki kapasitas yang sangat tinggi untuk memobilisasi semua sumber daya yang ada di lingkungannya. Dia harus menggerakkan semua stafnya untuk terlibat secara maksimal, dan harus pula kreatif mendorong kegiatan ekonomi dan bisnis di daerahnya. Seorang Gubernur, Bupati, Walikota harus mencari inisiatif agar pajak dan retribusi di daerahnya dapat meningkat, melakukan lobi-lobi yang kuat dan meluas agar orang mau menanamkan modal di daerahnya sehingga, dengan demikian, lapangan kerja tersedia buat rakyatnya. Tugas-tugas seperti itu tidak merupakan hal-hal yang rutin yang dilakukan oleh DPRD. DPRD harus menyiapkan suasana politik lokal yang kondusif bagi masyarakat di daerahnya.

Sedemikian pentingnya peranan seorang

Kepala Daerah, menyebabkan pengisian

jabatan KDH dan WKDH menjadi begitu

kompleks karena dipengaruhi berbagai faktor

internal maupun eksternal. Pemilihan KDH

dan WKDH itu sendiri mengalami perubahan

konsep dan mekanisme dari waktu ke waktu.

6. Kepala Daerah dari waktu ke waktu

Secara historis, diawal kemerdekaan

pengangkatan pemerintah daerah dalam hal ini

Kepala Daerah (KDH) dilakukan oleh pemerintah

pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai

Kedudukan Komite Nasional Daerah. KDH pada

Page 40: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

59

saat itu merupakan KDH yang diangkat

sebelumnya pada masa penjajahan. Menurut

Syarifin,59 UU No. 1 Tahun 1945 menganut

sistem rumah tangga formal dimana KDH selain

berkedudukan sebagai organ daerah otonom,

berkedudukan juga sebagai alat pemerintah

pusat didaerah karena KDH diangkat oleh

Pemerintah Pusat, bukan dipilih oleh KND.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,

mengisyaratkan bahwa pemilihan KDH tingkat

Provinsi diangkat oleh Presiden, dalam Pasal 18

Ayat (1) sebagai berikut;

“Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya

empat orang calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah provinsi”

sedangkan untuk KDH Kota/Kabupaten diangkat

oleh Menteri Dalam Negeri, dalam Pasal 18 Ayat

(2) sebagai berikut;

“Kepala Daerah Kabupaten (Kota Besar) diangkat

oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua

atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang

diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten (Kota Besar)”

sedangkan untuk Kepala Desa dan Kota Kecil

diangkat oleh Gubernur, dalam Pasal 18 Ayat (3)

sebagai berikut;

59 Syarifin. P & Jubaedah. D, Hukum Pemerintahan Daerah,

Pustaka Bani Quraisy, Bandung: 2005.

Page 41: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

60

“Kepala Daerah Desa (Kota Kecil) diangkat oleh

Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-dikitnya dua

atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Desa (Kota Kecil)”

Menurut Joko J. Prihatmoko, berdasarkan

interpretasi dari Penjelasan Pasal 23 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, disebutkan

bahwa;

“Pada bagian penjelasan (Ad. 3) disebutkan,

ketentuan demikian karena Kepala Daerah adalah

orang yang dekat kepada dan dikenal baik oleh

rakyat didaerahnya. Oleh karena itu harus dipilih

secara langsung oleh rakyat. Atas dasar itu,

dibandingkan dengan UU terdahulu dan bahkan

setelahnya, nuansa demokrasi dalam arti membuka

akses rakyat berpartisipasi, sangat tampak dalam

Pemilihan KDH dan WKDH yang diatur dalam UU.

1/1957.”

Meski demikian dalam praktek demokrasi

sesungguhnya partisipasi masyarakat tidaklah

dilibatkan secara langsung. Hal ini dikarenakan

pembentukan undang-undang yang mengatur

mengenai hal tersebut perlu waktu lama, maka

disiasati untuk sementara waktu pemilihan

Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD yang

bersangkutan.60

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebagai berikut:

60 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

Page 42: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

61

Ayat (1) Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh

Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya

empat orang calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

Hal ini dipahami sebagai suatu proses pemilihan yang demokratis (demokrasi tidak langsung) dimana DPRD bertindak sebagai

reperesentasi rakyat. Akan tetapi dalam Ayat (2) dan (3) Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 1965

dinyatakan pula:

Ayat (2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada

calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri

dengan persetujuan Presiden, maka Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan

diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk

mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai

keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.

Ayat (3) Apabila juga dalam pencalonan yang

kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak

ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat

menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Presiden

mengangkat seorang Kepala Daerah diluar

pencalonan.

Hal ini dipahami sebagai bentuk pengambil alihan kekuasaan rakyat(pada DPRD) oleh

pemerintah pusat dalam menentukan Kepala Daerah.

9(sembilan) tahun setelah UU Nomor 18

Tahun 1965 muncul Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daeah sebagai revisi dari undang-undang

sebelumnya. Dalam Pasal 16 UU Nomor 5 Tahun

Page 43: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

62

1974 berisi mengenai cara pemilihan KDH tingkat

II(Kota/Kabupaten) :

Ayat (1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan

dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari

sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah

dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Gubernur

Kepala Daerah.

Ayat (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri

Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah

sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah

seorang diantaranya.

Dari interpretasi pasal tersebut terjadi

pergeseran cara pemilihan yang semula

penunjukkan langsung oleh Pemerintah Pusat

bergeser menjadi dicalonkan dan “dipilih” oleh

DPRD Daerah. Meskipun demikian pengaruh

Pemerintah Pusat sangat besar dalam pemilihan

KDH meskipun tidak dinyatakan secara terbuka.

Hal ini dinyatakan dalam proses pemilihan KDH

itu sendiri terdapat Gubernur yang merupakan

KDH yang lebih tinggi sebagai representasi dari

Pemerintah Pusat. Sehingga dalam sistem ini

Joko J. Prihatmoko menyebutnya sebagai sistem

pemilihan semu.

Sistem pemilihan umum KDH dan WKDH61

tingkat kota/kabupaten berubah setelah melalui

masa reformasi dimana terjadi aksi yang

61 Wakil kepala Daerah mulai diakui sejak ditetapkannya UU

Nomor 22 Tahun 1999. Dalam kaitan tugas, pokok, dan fungsi dari Wakil kepala Daerah diatur dalam Pasal 56, 57 dan 58.

Page 44: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

63

menentang pemerintahan rezim Soeharto.

Bergantinya orde Baru menjadi Orde Reformasi

memberikan dampak pada perubahan sistem

Pemilihan Umum KDH dan WKDH dengan

munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam

undang-undang ini mengatur tata cara pemilihan

KDH dan WKDH tingkat I(Provinsi) dan tingkat

II(Kota/Kabupaten), yang tidak berbeda. Dalam

Pasal 34 Ayat (1), (2), dan (3) disebutkan:

Ayat (1) Pengisian jabatan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan.

Ayat (2) Calon Kepala Daerah dan calon Wakil

Kepala Daerah, dite-tapkan oleh DPRD melalui

tahap pencalonan dan pemilihan.

Ayat (3) Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dibentuk Panitia Pemilihan.

Dalam beberapa pasal selanjutnya diatur

mengenai mekanisme Pemilihan KDH dan WKDH

secara teknis. Melalui peraturan ini, demokrasi

tak langsung dijalankan dalam sistem

ketatanegaraan di Indonesia. Dalam sistem ini

pengakuan terhadap kedaulatan rakyat melalui

DPRD mulai berkembang. Meski demikian,

tuntutan dari masyarakat terus berlangsung

untuk menuju suatu sistem demokrasi yang

partisipatif. Pada akhirnya memunculkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah sebagai Revisi dari undang-

undang sebelumnya.

Page 45: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

64

Sejak diundangkannya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, Indonesia mengalami babak baru dalam

sistem Pemilihan KDH dan WKDH. Dalam Pasal

24 Ayat (2) dan (3) didefinisikan:

Ayat (2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota

disebut walikota.

Ayat (3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala

daerah.

Lebih lanjut mengenai sistem pemilihan

KDH dan WKDH dinyatakan dalam Pasal 24 Ayat

(5) sebagai berikut:

Ayat (5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung

oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Sistem Pemilihan KDH dan WKDH yang

dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (5)

diimplementasikan lewat Pemilihan Umum KDH

dan WKDH yang melibatkan masyarakat secara

langsung untuk memilih pasangan calon KDH

dan WKDH didaerah setempat.

Secara keseluruhan sistem dan mekanisme

pemilihan KDH dan WKDH dari masa ke masa

disajikan dalam Tabel (1) Perbandingan

Mekanisme Pemilihan KDH dan WKDH dalam

beberapa Peraturan Perundangan-undangan.

Page 46: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

65

Peraturan Perundangan

Mekanisme Pengisian Mekanisme Pemberhentian

1. UU No.1/1945 Tidak diatur, dalam praktik sangat tergantung pada pejabat pusat. Tidak diatur, dalam praktik sangat tergantung pada pejabat

pusat.

2. UU No.22/1948 Diajukan DPRD Diangkat Presiden u/ KDH I &

MenDagri u/KDH II

Diusulkan DPRD Diberhentikan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH

II

---

3. UU No.1/1957 Pemilihan oleh Rakyat Disahkan Presiden u/ KDH I &

MenDagri u/KDH II

Karena situasi saat itu, dipilih DPRD dan disahkan

Presiden/Mendagri

Diberhentikan oleh DPRD

Disahkan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II

---

4. Penetapan

Presiden

No.6/1959

Diajukan DPRD

Diangkat Presiden

u/ KDH I & MenDagri u/KDH II

1. Memperhatikan pertimbangan instansi

sipil dan militer. 2. Boleh di luar

pencalonan.

Diajukan DPRD

Diberhentikan oleh Presiden

u/ KDH I & MenDagri u/KDH II

---

5. UU No.18/1965 Diajukan DPRD Diangkat Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II

Presiden/Mendagri dapat mengangkat di luar pencalonan

Tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD

Diberhentikan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II

---

6. UU No.5/1974

Dimusyawarahkan pimpinan DPRD, Fraksi, dan Gubernur untuk KDH II &

Menteri dalam Negeri untuk KDH I

Diangkat Presiden u/ KDH Tk I & MenDagri u/ KDH

Tk II

Presiden dan Mendagri tidak terikat pada jumlah suara pemilihan DPRD

--- Diberhentikan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II

---

7. UU No.22/1999 Pemilihan oleh DPRD Pengesahan oleh Presiden

Dipilih oleh DPRD Diusulkan oleh DPRD Pengesahan oleh Presiden ---

8. UU No.32/2004** Pemilihan Umum Pengesahan oleh Presiden

Dipilih langsung oleh rakyat

Diusulkan oleh DPRD Pengesahan oleh Presiden ---

* Dikutip dari Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

** Tambahan penulis.

Tabel 1. Perbandingan Mekanisme Pemilihan KDH dan WKDH Dalam Beberapa Peraturan Perundangan-undangan

Page 47: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

66

B. Asas – Asas Pemilihan Umum berdasarkan

Undang - Undang dan Konvensi

Internasional

1. Asas – Asas Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dinyatakan bahwa

berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengertian asas

Pemilu adalah :

a. Langsung Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak

untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

b. Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang

memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

c. Bebas

Setiap warga negara yang berhak memilih

bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

Page 48: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

67

d. Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

e. Jujur Dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap

penyelenggara Pemilu, aparat Pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

f. Adil

Dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan

yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Dalam penyelenggaraan Pemilihan KDH dan

WKDH, Undang-Undang mengatur pula mengenai

asas yang digunakan sebagai pedoman bagi

penyelenggara Pemilu untuk menjamin

terciptanya suatu Pemilu yang demokratis. Dalam

UU Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah

dirubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2011

tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

disebutkan mengenai asas yang dijadikan

pedoman bagi penyelenggara yaitu sebagai

berikut :62

a. mandiri;

b. jujur;

c. adil(tidak memihak pada salah satu peserta); d. kepastian hukum;

e. tertib penyelenggara Pemilu;

62 Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga Tahun 2011, Salatiga : 2011.

Page 49: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

68

f. kepentingan umum(melayani kepentingan masyarakat);

g. keterbukaan;

h. proporsionalitas;

i. profesionalitas;

j. akuntabilitas(akurat); k. efisiensi(cukup dari sisi penyajian informasi); dan

l. efektivitas(dampak bagi KPU dan masyarakat).

2. Asas – Asas dalam Pemilihan Umum berdasarkan Konvensi Internasional.

Secara internasional telah disepakati bersama

melalui berbagai deklarasi dan konvensi

internasional maupun regional, seperti Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia 1948, Perjanjian

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

1960, Konvensi Eropa 1950 untuk Perlindungan

Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi, juga

Piagam Afrika 1981 tentang Hak Manusia dan

Masyarakat. Berdasarkan dokumen-dokumen

tersebut, dirumuskan 15 aspek pemilu

demokratis, yaitu:63

1. Penyusunan Kerangka Hukum

Istilah ‟kerangka hukum pemilu‟ mengacu pada

semua undang-undang dan dokumen hukum

yang terkait dengan pemilu. Secara khusus, kerangka hukum pemilu meliputi ketentuan

konstitusional, undang-undang pemilu, dan

semua undang-undang lain yang berdampak

pada pemilu.

2. Pemilihan Sistem Pemilu

Standar internasional menyebutkan, di dalam sistem pemilu harus terdapat badan-badan

63 Topo Santoso, dkk., Penegakan Hukum PEMILU – Praktik PEMILU 2004, Kajian PEMILU 2009-2014, Tim PERLUDEM, Jakarta: 2006.

Page 50: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

69

yang dipilih, frekuensi pemilu, dan lembaga penyelenggara pemilu.

3. Penetapan Daerah Pemilihan

Kerangka hukum pemilu harus memastikan

bahwa daerah pemilihan dibuat sedemikian

rupa sehingga setiap suara setara untuk mencapai derajat keterwakilan yang efektif.

4. Hak untuk Memilih dan Dipilih

Kerangka hukum harus memastikan semua

warga negara yang memenuhi syarat dijamin

bisa ikut dalam pemilihan tanpa diskriminasi.

5. Badan Penyelenggara Pemilu Badan penyelenggara pemilu harus dijamin bisa

bekerja independen. Hal ini merupakan

persoalan penting karena mesin-mesin

pelaksana pemilu membuat dan melaksanakan

keputusan yang dapat mempengaruhi hasil

pemilu. 6. Pendaftaran Pemilih dan Daftar Pemilih

Kerangka hukum harus mewajibkan

penyimpanan daftar pemilih secara transparan

dan akurat, melindungi hak warga negara yang

memenuhi syarat untuk mendaftar, dan mencegah pendaftaran orang secara tidak sah

atau curang.

7. Akses Kertas Suara bagi Partai Politik dan

Kandidat

Semua partai politik dan kandidat dijamin

dapat bersaing dalam pemilu atas dasar perlakuan yang adil. Pendaftaran partai politik

dan ketentuan akses kertas suara pada waktu

pemilu perlu diatur secara berbeda.

8. Kampanye Pemilu yang Demokratis

Kerangka hukum harus menjamin setiap partai politik dan kandidat menikmati kebebasan

mengeluarkan pendapat dan kebebasan

berkumpul, serta memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak terkait (stakeholder)

dalam proses pemilihan.

9. Akses Media dan Kebebasan Berekspresi Semua partai politik dan kandidat memiliki

akses ke media. Kerangka hukum harus

menjamin mereka diperlakukan secara adil oleh

media yang dimiliki atau dikendalikan oleh

negara. Tidak ada pembatasan terhadap

kebebasan berekspresi partai politik dan para kandidat selama kampanye.

Page 51: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

70

10. Pembiayaan dan Pengeluaran Kerangka hukum harus memastikan semua

partai politik dan kandidat diperlakukan secara

adil oleh ketentuan hukum yang mengatur

pembiayaan dan pengeluaran kampanye.

11. Pemungutan Suara Kerangka hukum harus memastikan tempat

pemungutan suara dapat diakses semua

pemilih. Terdapat pencatatan yang akurat atas

kertas suara dan jaminan kerahasiaan kertas

suara. Standar internasional mengharuskan

suara diberikan dengan menggunakan kertas suara yang rahasia atau dengan menggunakan

prosedur pemungutan suara lain yang setara,

bebas, dan rahasia.

12. Penghitungan dan Rekapitulasi Suara

Penghitungan suara yang adil, jujur, dan

terbuka merupakan dasar dari pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, kerangka hukum

harus memastikan agar semua suara dihitung

dan ditabulasi atau direkapitulasi dengan

akurat, merata, adil, dan terbuka.

13. Peranan Wakil Partai dan Kandidat Guna melindungi integritas dan keterbukaan

pemilu, perwakilan partai dan kandidat harus

dapat mengamati semua proses pemungutan

suara. Kerangka hukum harus menjelaskan

hak dan kewajiban perwakilan partai dan

kandidat di tempat pemungutan suara dan penghitungan suara.

14. Pemantau Pemilu

Kehadiran pemantau pemilu dari dalam

maupun luar negeri di negara-negara yang

demokrasinya sedang berkembang cenderung menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap

proses pemilu yang dipantau. Pemantauan juga

berguna untuk mencegah kecurangan pemilu,

khususnya pada saat pemungutan suara.

15. Kepatuhan terhadap Hukum dan Penegakan

Peraturan Pemilu Kerangka hukum pemilu harus mengatur

mekanisme dan penyelesaian hukum yang

efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap

undang- undang pemilu. Dalam hal ini hak

memilih dan dipilih setiap warga harus dijamin dan pelanggaran terhadap penggunaan hak

memilih dan dipilih akan dikenakan sanksi.

Page 52: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

71

Lima belas standar tersebut secara

internasional diterapkan di negara-negara

demokrasi modern. Sehingga berdasarkan

standar ini pula pemantau internasional dapat

melaporkan maupun menilai proses pemilihan

umum di suatu negara.

C. Sistem Hukum Pemilihan Umum KDH

Dan WKDH.

Diagram alir 2. Sistem Hukum Pemilihan Umum KDH dan WKDH

Sistem hukum dalam Pemilihan Umum KDH

dan WKDH didasarkan pada konstitusi Pasal 18 ayat

(4) Perubahan kedua UUD 1945 yang menyatakan :

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing

sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,

kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

DPRD

Hukum Pilkada

Peserta Pilkada

Masyarakat Pemilih

KPUD

PPS PPK KPPS

PanWasLu

Page 53: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

72

Interpretasi dari kata demokratis kemudian

mengacu pada suatu sistem Pemilihan Umum KDH

dan WKDH yang dipilih secara langsung oleh rakyat

tanpa melalui perwakilannya(DPRD

Provinsi/Kabupaten/Kota).

Konsekuensi logis dari interpretasi hukum

mengenai sistem Pemilihan Umum yang diterapkan

menuntut dibentuknya suatu kerangka hukum

spesifik yang mengatur. Hal ini yang melatar

belakangi munculnya UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya

mengatur mengenai Pemilihan KDH dan WKDH.

Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004

menyatakan : “Pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang

bertanggungjawab kepada DPRD”. Sehingga

berdasarkan ini KPUD diberikan wewenang sebagai

penyelenggara dan DPRD(representatif dari rakyat)

sebagai penanggungjawab(lihat diagram alir 2).

Dalam rangka menjaga netralitas KPUD dalam

penyelenggaraan Pemilihan KDH dan WKDH, maka

dalam rekrutmen calon anggota KPUD dibentuklah

tim seleksi yang diatur dalam UU No. 22 Tahun

2007 Pasal 22 Ayat (2) :

Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berjumlah 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur akademisi, profesional, dan masyarakat yang

memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai

politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Page 54: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

73

Komisi Pemilihan Umum yang telah terbentuk

kemudian membentuk Panitia Pengawas, Panitia

Pemilihan Kecamatan(PPK), Panitia Pemungutan

Suara(PPS), dan Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara(KPPS).

Pasal 57 ayat (3) dan (4) UU No. 22 Tahun

2007 memberikan mandat untuk diadakan suatu

lembaga pengawasan(Panitia Pengawas Pemilu)

dengan tujuan memastikan suatu proses Pemilihan

Umum KDH dan WKDH yang demokratis secara

prosedural maupun substansial. Bunyi Pasal 57

Ayat (3) dan (4) adalah :

Ayat (3) Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk

panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur

kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan

tokoh masyarakat.

Ayat (4) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang

untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota

dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.

Dalam kaitannya dengan peserta Pemilihan

Umum KDH dan WKDH diatur dalam Pasal 58 UU

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua

atas UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, sebagaimana dipersyaratkan bagi calon

KDH dan WKDH :

Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah

warga negara Republik Indonesia yang memenuhi

syarat:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara,

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Page 55: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

74

Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada

Negara Kesatuan Republik Indonesia serta

Pemerintah;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah

lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)

tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan

berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima)

tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan

walikota/wakil walikota;

e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim

dokter;

f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan

bersedia untuk diumumkan;

j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara

perseorangan dan/atau secara badan hukum

yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

l. dihapus; m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau

bagi yang belum mempunyai NPWP wajib

mempunyai bukti pembayaran pajak;

n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang

memuat antara lain riwayat pendidikan dan

pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;

o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah

atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali

masa jabatan dalam jabatan yang sama;

p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan.

Page 56: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

75

q. mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih

menduduki jabatannya.

Proses rekrutmen politik untuk menetapkan

calon peserta Pemilihan Umum KDH dan WKDH

memberikan kesempatan bagi Partai Politik untuk

mengusulkan pasangan calon serta memberikan

kesempatan bagi perseorangan untuk mendaftarkan

diri dengan persyaratan yang telah ditentukan

dalam undang-undang. Proses ini diatur dalam

undang-undang sebagai norma publik serta

Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga maupun

mekanisme internal partai sebagai norma non-

publik.

Proses rekrutmen calon peserta Pemilihan

Umum KDH dan WKDH ini melibatkan partisipasi

masyarakat dan demokrasi prosedural dalam partai

politik untuk memberikan pertimbangan bagi KPU

dalam menentukan pasangan calon peserta

Pemilihan Umum KDH dan WKDH sesuai Pasal 59

Ayat (4) dan (4a) UU No 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut:

Ayat (4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik

memperhatikan pendapat dan tanggapan

masyarakat.

Ayat (4a) Dalam proses penetapan pasangan calon

perseorangan, KPU provinsi dan/atau KPU

kabupaten/kota memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

Page 57: BAB II TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM PEMILIHAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4041/3/T2_322011003_BAB II… · 3 Lawrence M. Friedman , Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial

76

Pengaturan Pemilihan Umum KDH dan WKDH

berlaku pula untuk masyarakat pemilih. Pengaturan

ini berkaitan dengan mekanisme pendaftaran

sebagai pemilih, mekanisme pencoblosan, peran

serta dalam kampanye dan mengawal proses

demokrasi itu sendiri.

Setelah seluruh proses Pemilihan Umum KDH

dan WKDH selesai KPUD harus menyampaikan

Laporan Pertanggungjawaban kepada DPRD seperti

dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (2) : “Dalam

melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan

laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah kepada DPRD.”