teori sistem hukum friedman
TRANSCRIPT
Teori Sistem Hukum Friedman
Menurut Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari Stanford University, ada
empat elemen utama dari sistem hukum (legal system), yaitu:
1. Struktur Hukum (Legal Structure)
2. Isi Hukum (Legal Substance)
3. Budaya Hukum (Legal Culture)
4. Dampak Hukum (Legal Impact)
Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada:
Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Pertama: Substansi
Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem substansial yang
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka
keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam
kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law
Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga
telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-
peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan
hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah
adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan
pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau
tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan
pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori
Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau
tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun
1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana
(Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus”-
meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila
tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa
bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak
hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak
hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak
transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum
memainkan peran penting dalam memfingsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya
buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih
terbuka.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Ketiga: Budaya Hukum: Kultur hukum menurut Lawrence
Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan,
nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya
hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum
masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir
masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan mekanik.
Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh
mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia, Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan
patokan dalam mengukur proses penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah bagian dari
struktur bersama dengan organ jaksa, hakim, advokat, dan lembaga permasyarakatan. Interaksi
antar komponen pengabdi hukum ini menentukan kokoh nya struktur hukum. Walau demikian,
tegaknya hukum tidak hanya ditentukan oleh kokohnya struktur, tetapi juga terkait dengan kultur
hukum di dalam masyarakat. Namun demikian, hingga kini ketiga unsur sebagaimana dikatakan
oleh Friedman belum dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam struktur hukum dan
budaya hukum. Sebagai contoh, dalam struktur hukum, Anggota polisi yang diharapkan
menjadi penangkap narkoba, polisi sendiri ikut terlibat dalam jaringan narkoba. Demikian halnya
para jaksa, sampai saat ini masih sangat sulit mencari jaksa yang benar-benar jujur dalam
menyelesaikan perkara.
Senada dengan M. Friedman, Sajtipto Rahardjo menyebutkan bahwa berbicara soal hukum pada
dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri atas fundamental
hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental hukum diantaranya legislasi, penegakan dan
peradilan sedangkan sistem hukum meliputi substansi, struktur dan kultur hukum. Kesemuanya
itu sangat berpengaruh terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum. Dari beberapa definisi
tersebut, dapat diartikan bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum
tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi
masyarakat dalam pergaulan hidup.
Tingkat efektivitas hukum juga ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat kepatuhan warga
masyarakat terhadap aturan hukum yang telah dibuat. Menurut Achmad Ali jika suatu aturan
hukum dapat ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, maka dapat
diartikan bahwa aturan hukum tersebut efektif. Namun demikian meskipun sebuah aturan yang
ditaati dapat dikatakan efektif, derajat keefektivannya masih bergantung pada kepentingan
mentaatinya. Jika ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena kepentingan yang
bersifat compliance (takut sanksi), maka derajat ketaatannya dinilai sangat rendah. Berbeda
ketika ketaatannya berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization, yakni ketaatan karena
aturan hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat
ketaatan seperti inilah yang merupakan derajat ketaatan tertinggi
TEORI HUKUM
BAB I
PENDAHULAUN
Masyarakat diajak untuk memasuki dromologi berpikir, yang aktualisasinya muncul melalui
kritik, pembalikan pemikiran, bahkan penghancuran (dekonstruksi). pada pembahasan pertama
dalam makalah ini, penulis ingin mencoba menjelaskan tentang Teori Hukum, apa dan
bagaimana hubungannya dengan Dogmatik Hukum dan Filsafat Hukum.
Pada pembahasan kedua dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang pokok-pokok
pembahasan teori hukum murni, yang terdiri atas pengertian Teori Hukum Murni Hans Kelsen,
serta perdebatan mengenai Teori ini di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen
disebut the pure theory of law mendapat tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub
pendekatan yang berbeda antara mazhab hukum alam dan positivisme empiris. Beberapa ahli
menyebut pemikiran Kelsen sebagai jalan tengah dari dua aliran hukum yang telah ada
sebelumnya.
Pada bagian ketiga dari makalah ini, penulis menjelaskan tentang perdebatan para ahli hukum
seputar Struktur hukum, substansi hukum, dan Budaya Hukum, sebagaimana di kemukakan oleh
L. Friedman, serta relevansi teori hukum ini pada tananan hukum di Indonesia. Lawrence M.
Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya
semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga
komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),
budaya hukum (legal culture)
Pada bagian keempat dari makalah ini, penulis menjelaskan perdebatan seputar Teori hukum
responsif yang dikemukakan oleh Nonet dan Zelnick, serta perkembangannya apakah relevan
dengan konteks di Indonesia. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan
Zelnick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai
pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu
menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai
fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Dan pada bagian kelima atau bagian terakhir dari makalah ini, penulis ingin menjelaskan tentang
perkembangan Teori hukum Progresif di Indonesia sebagaiman dicetuskan oleh Sartjipto
Raharjo. Hukum Progresif lahir di Indonesia akibat gagalnya reformasi yang terjadi di Indonesia
dimana hal ini dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TEORI HUKUM
a. Pengertian Teori Hukum
Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Teori hukum merupakan disiplin mandiri yang
perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan ajaran hukum umum.
Perkembangan definitif dari teori hukum menjadi sebuah disiplin pada paruh waktu kedua dari
abad duapuluh diinspirasi oleh timbulnya ilmu ilmu baru atau cabang-cabang dari ilmu yang
sudah ada, seperti informatika, logika deontik, kibernetika, sosiologi hukum, Etiologi (hukum)
dan sejenisnya.
Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan
berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan
sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Menurut Bruggink, definisi di atas
memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yakni seluruh pernyataan yang saling
berkaitan itu adalah hasil dari kegiatan teoritik bidang hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan
teoritik tentang hukum atau pada dapat mengandung makna ganda lainnya, yaitu teori hukum
dalam arti luas dan teori hukum dalam arti sempit. Dalam arti luas, berarti menunjuk kepada
pemahaman tentang sifat berbgai bagian(cabang sub-disiplin) teori hukum, yaitu sosiologi
hukum, berbicara tentang keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dari hukum. Teori
hukum dalam arti sempit, berbicara tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif dari
hukum. Filsafat hukum berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir adalah
dogmatik hukum, atau ilmu hukum dalam arti sempit. Terhadap keempat kegiatan penelitian
teoritik bidang hukum sendiri.
Disamping mengandung makna ganda diatas, teori hukum menurut Bruggink kajian diatas itu
Bruggink menjelaskan bahwa teori hukum dalam arti luas itu terdiri atas bagian bagian apa saja,
adalah masalah sulit sebab setiap penulis mengajukan pembagian sendiri dengan menggunakan
definisi yang sesuai dengannya.
b. Hubungan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum
Sebelum saya berbicara jauh atau melangkah jauh dalam membahas hubungan dogmatik hukum
dan teori hukum, maka ada baiknya kita mengenal lebih dulu apa yang dimaksud dengan
Dogmatik Hukum. Dogmatik hukum (rechtsleer) atau Dogmatik hukum (rechtdogmatiek), juga
sering disebut sebagai ilmu hukum (rechtswetenschap), dalam arti sempit bertujuan untuk
memaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum
positif yang berlaku. Walaupun demikian dogmatik hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas
nilai. Sehingga jika cermati hubungan dogmatik hukum dengan teori hukum tidak saling
tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana
dibawah ini :
a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal
(walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang
dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum
c. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-
undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya
teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan
sejenisnya lagi.
c. Hubungan Filsafat hukum dan teori hukum
Sebelum saya membahas lebih jauh tentang hubungan filsafat hukum dan teori hukum, maka
saya ingin menjelaskan sedikit tentang pengertian daripada Filsafat Hukum. Filsafat hukum
adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat
pertanyaan-pertanyaan yang palingdalam dibahas dalam hubungannya dengan landasan, struktur,
dan sejenisnya dari kenyataan. Menururt Jan Gijssels dan Mark van Hoecke filsafat hukum
memiliki telaah sebagai berikut :
a. Ontologi hukum, penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi,
hubungan hukum dengan moral
b. Aksiologi hukum, penentuan isi dan nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan
dan lain-lain.
c. Idiologi hukum (ajaran idea)
d. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan), bentuk metafilsafat
e. Teleologi Hukum, hal menetukan makna dan tujuan hukum
f. Ajaran ilmu dari hukum, meta teori dari ilmu hukum
g. Logika hukum.
Hubungan Filsafat Hukum dan Teori hukum
a. Jika Teori Hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan dogmatik hukum, maka
Filsafat Hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-displin berkenaan dengan Teori Hukum.
b. Secara struktural Teori Hukum terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama
seperti Dogmatik Hukum, terhadap Teori Hukum.
c. Filsafat Hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
d. Filsafat Hukum sebagai ajaran nilai dari Teori hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran ilmu
dari Teori Hukum.
e. Filsafat Hukum sebagai ajaran ilmu dari teori Hukum dan sebagai ajaran pengetahuan
mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan
lebih jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dan
Teori Hukum itu sendiri sebagai objek studi.
Dari hal di atas dapatlah disimpulkan bahwa hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat
dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori
hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif
sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum.
Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya
sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya teori
hukum itu rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria umum,
yang diterima setiap orang.
B. POKOK POKOK PEMBAHASAN TEORI HUKUM MURNI HANS KELSEN
a. Perkembangan Pemikiran Hans kelsen
Jika dilihat dari karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang dikemukakan
meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasioanl. Ketiga
masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait
dan dikembangkan secara konsisten dan dikembangkan secara konsisten secara logika hukum
formal. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting,
yaitu hukum statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek
dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Dari asal usulnya, teori hukum murni merupakan suatu bentuk pemberontakan yang ditujukan
terhadap Ilmu Hukum yang Ideologis, yaitu ajaran yang hanya mengembangkan hukum sebagai
alat pemerintahan suatu rezim dari Negaranegara totaliter. Teori ini hanya menerima hukum
sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Bagian lain dari teori
Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm. Kecuali berfungsi sebagai
dasar juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada.
Semua hukum yang berada didalam kawasan rejim grundnorm tersebut harus mengait
kepadanya, oleh karena itu bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan
hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata
hukum.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada
dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan
karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan
pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu
analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang
bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin
menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur
yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Friedman mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikran Kelsen sebagai berikut :
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan
meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum
yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukanilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yng spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu
sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut the pure theory of law mendapat tempat
tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mazhab hukum
alam dan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai jalan tengah
dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya. Fokus utama teori hukum, menurut Hans
Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum
murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari
orang tua yang suci.
Menurut Kelsen, Hukum adalah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang
harus dilakukan. Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial.
Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non
empiris. Norma tersebut memeliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Disisi lain
berbeda dengan mazhab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh
pertimbangan moral.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu
semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang
hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia.
Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau
permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan
sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu
akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang
menonjol pada teori Kelsen adalah paksanaan.
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm).
Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi.
Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang
menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.
42 Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia
sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa, Jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan
silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah
tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum
lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat
bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah
validitas hukum tertinggi.teori tertentu yang dikembangkan ole kelsen dihasilkan dari analisis
perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang yang
dapat menggambarkan komunitas hukum. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum
adalah norma hukum (legal norm) elemen-elemen, hubungannya, tata hukum sebagai suatu
kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum
di dalam tata hukum positif yang plural.the pure theory of law menekankan pada pembedaan
yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari ruang
lingkup kajian hukum.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant.
Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan
merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan
itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap
orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan
memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu
Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil
Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti
politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan
objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu
perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan
subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif.
Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi,
tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-
norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang
bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-
hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga
tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
b. Penerapan Teori Hukum Murni Hans kelsen di Indonesia
Dengan masuknya kekuasaan Eropa ke Indonesia, masuk pulalah perkembangan pemikiran yang
terjadi di Eropa. Terutama ketika orang-orang Indonesia diberi kesempatan untuk
belajar/menempuh pendidikan di Eropa. Mahasiswa Indonesia yang membentuk Perhimpunan
Indonesia (Indische Vereniging) berkenalan dengan elemen-elemen ideologi Aufklarung sebagai
suatu ideologi sekuler yang terkait erat dengan perkembangan Rasionalisme, Empirisme,
Idealisme dan Posistivisme. Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak azasi,
kemerdekaan, persamaan, demokrasi, republik, konstitusi, hukum, negara, dan masyarakat.
Pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Hobbes, Rousseeua, Voltaire, Imanuel Kant, Hans
Kelsen, Hegel, Adam Smith dan Karl Marx mulai diketahui. Individualisme, Liberalisme,
Kapitalisme, Sosialisme, dan Marxisme juga telah dialami.
Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep.
1. Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre)
Bahwa hukum itu harus dipisahkan dari sosiologis, moral, politis, historis, dan sebagainya.
Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional.
Baginya tidak mempersoalkan hukum itu dalam kenyataannya, tetapi mempersoalkan apa
hukumnya. Bahkan dalam ajaran hukum murni ini menolak keadilan dijadikan pembahasan
dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional.
2. Stufenbau Thery
Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl kemudian dipopulerkan oleh Hans
Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma yang
berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang
lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah
suatu norma semakin kongkrit sifatnya.
Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak
tertulis yang pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan
oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori Hukum Murni masih banyak
dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya beberapa
pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas
hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan
Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan
undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undangundang dan selain itu juga
dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis.
Bahkan peraturan, perundang-undangan yang tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di
Indonesia.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem
hukum yang berkembanga di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial
Belanda masih tetap berlaku. teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan
keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat
bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan
karena teori bersifat instruktif.
C. TEORI HUKUM L. FRIEDMAN
a. Perdebatan Para Ahli Hukum seputar Substansi Hukum, Struktur Hukum, dan Budaya Hukum
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan
berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri
dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance)
merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam
sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu,
mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan
komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-
keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Struktur Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri dari :
1. Kehakiman (Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan
Kehakiman)
2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan)
3. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI)
4. Advokat (Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat)
Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya,
hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik.
Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana Undang-undangnya,
apakah sudah perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada
upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman
masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata
kembali materi peraturan terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai
instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara
pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter
yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari
Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai
hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.
Pembangunan hukum mrupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum
bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan
hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif, sebagai suatu tindakan politik, maka
pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik.
Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan
materinya. Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang. Secara formal
kelembagaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada dijantung utama pembentukan hukum.
Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi politik dibentuk dan atau diformulasikan secara
normatif menjadi kaedah hukum.
Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Secondary rules
yang dikonsepkan H.A.L Hart esensinya sama yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang
tentang hukum atau hal hal yang berada diluar norma hukum positif model hart, memainkan
peranan yang amat menetukan bagi kapasitas hukum positif. Walaupun norma-norma hukum
yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupaka panduan nilai dan
orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja ada cacatcelahnya.perilaku
orang selalu tidak sejalan dengan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang.
Penyebabnya sangat beragam, salah satunya adalah norma-norma itu tidak sejalan dengan
orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan
hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum
hanyalah mitos yang indah.
Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap
sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu
direncankan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang
hendak diatur. Perlu pula dperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk
perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik
yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip
pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat
dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan
undang-undang apa saja, kesetaraan antar lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis
antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak sosial,
ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji
substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya
hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai
masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik
hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk
mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan
perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga
hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang
perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada
masyarakat yang berbeda.
Aspek kultural menurut Friedman melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut
dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang
merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-
faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga
perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan
hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu
kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis
masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.
Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika
masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik,
sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan
menganggap hukum tidak ada.membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum.
Tetapi mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter
tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya
hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar
hukum.
D. TEORI HUKUM RESPONSIF
a. Sejarah Pemikiran Teori Responsif
Lahirnya teori hukum ini dilatararbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial seperti
protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan
penyagunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada
pada saat itu ternyata tidak cukup untuk mengatasi keadaan tersebut. Di tengah rangkaian kritik
atas realitas krisis otooritas hukum itulah, Nonet-Zelnick mengajukan model hukum responsif.
Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. kebutuhan ini
sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat
fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), sepertinya Roscou Pound,
para penganut paham realisme hukum dan kritikus-kritikus kontemporer.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan tiga
klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif
(hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai
respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). diantara ketiga tipe tersebut,
Nonet dan Zelnick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan terteb
kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet dan Zelnick lewat hukum Responsif,
menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi
publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi
untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Kepedulian pada akomodasi sosial. Menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological
juurisprudence dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut pada intinya menyatakan kajian
hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasaan pengetahuan hukum,
dan peran kebijakan dalam putusan hukum.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi.
Apa yang dipikrkan oleh Nonet dan Zelnick, menurut Prof. Satjipto Raharjo, sebetulnya bisa
dikembalikan kepada pertentangan antara analitical jurisprudence di satu pihak dan sociological
jurisprudence di pihak lain. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang
dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka
hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus
mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin
dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.
Apa yang dikatakan Nonet dan Zelnick itu, sebetulnya ingin mengkritik model analitical
jurisprudence atau rechtdogmatic yang hanya berkutat di dalam sisten aturan hukum positif.
Model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum responsif sebaliknya pemahaman
mengenai hukum melapaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil
akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Analitical yurisprudence berkutat didalam sistem
hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analistis maupun
Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak
dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis, teori
ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa
memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat langsung
dalam proses penegakan hukum, mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat untuk bisa
membebaskan diri dari belenggu hukum murni yang kakuh dan analistis. Produk hukum yang
berkarekter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-
banyaknya partsipasi semua elemen masyarakat, baik ari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari
masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan dari penguasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya.
Bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat
dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan
fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial,
berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan
kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M. Schur, sekalipun hukum itu
nampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses
sosial, sebab hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di
dalam keadaan yang berubah pula.
Menurut catatan Nonet dan Zelnick masa dua puluh tahun terakhir merupakan masa bangkitnya
kembalai ketertarikan persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana
institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai
keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, paradilan,
penyelenggara keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan
itu sendiri. Kebangkitan ini mereflesikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi
ilmu sosial berlaku pula unutk analisis atas institusi hukum maupun semangat pembaharuan.
Dalam konteks itulah, hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya
dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial.
Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan
kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik.
Ilmu hukum selalu lebih dari sekedar bidang akademik yang dpahami oleh hanya segelintir
orang. Teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh
sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan
implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan atau perencanaan kelembagaan. Menurut
Nonet dan Zelnick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada
reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial. Teori Pound mengenai
keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit
untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu.
b. Teori Hukum Responsif Dalam Konteks Hukum di Indonesia
Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu dekade hukum responsif masih
dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan
sebenar- benarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-
undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk
dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial
yang kontemporer.
Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang sesungguhnya karena krisis
hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi massa sudah sangat sulit dikendalikan baik
dengan cara yang represif ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde
baru terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak. Adalah hal yang
wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang kecewa dengan
rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendiri-
sendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan
yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin
akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu
mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan
tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif.
Cita-cita reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu mengalami
kendala baik dari dalam ataupun dari luar. Dapat kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di
Indonesia begitu mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu,
Perda dan produk hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena pemerintah belum
berani meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur
mendalam.
Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang mengatakan lebih parah
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo : “Rupanya reformasi sudah mulai
menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai akar rumput, tetapi didibaratkan akuarium.
Maka pasir dan kotoran ikut terobok-obok sampai ke permuakaan. Akuarium menjadi keruh”.
Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya bahwa saat ini Negara
kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu decade namun kondisi bangsa kita malah jauh
lebih buruk dari sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya umum
(general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti
ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara baik ekskutif,
yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto
Rahardjo sebagai akuarium.
Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin memprihatinkan, seolah-olah hukum
hanya berpihak pada mereka-mereka yang berkompeten di dalamnya, termasuk pihak swasta
sebagai pengusaha yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing, yang juga ikut dalam pembuatan
produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan dan premanisme di mana-mana,
hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan oleh para intelektual-intelektual semu yang
berkultur preman dan sebenarnya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi penguasa. Mereka
hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di sekitarnya.
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk membantu terwujudnya
reformasi salah satunya adalah memunculkan atau mengangkat orang-orang baik yang memiliki
mentalitas dan kualitas yang terpuji. Seberanya mereka pernah menjadi bagian dari penguasa,
namun mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut kultur preman yang dimiliki
oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di negera kita, oleh jarena itu
marilah kita bersatu memunculkan dan mengangkat mereka dan menolak massa permanisme.
Mudah-mudahan dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang berbekal mentalitas dan
kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia.
E. TEORI HUKUM PROGRESIF
a. Sejarah Pemikiran Hukum Progresif
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang
secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang
menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde
baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat
dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat
tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa
keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu
tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang
dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran
rasa keadilan masyarakat tidak jelas.
Dalam diskursus pemikiran hukum di Indonesia, label tentang "hukum progresif" sudah sangat
sering terdengar. Salah satu faktor dari cepatnya penyebaran gaung tersebut tidak lain karena
memang eksponen utamanya, yakni Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., adalah seorang kolumnis
yang sangat produktif. Produktivitas Pak Tjip (demikian panggilan akrab untuk beliau),
tampaknya berangkat dari motto hidupnya sebagai intelektual, yakni seorang intelektual adalah
orang yang berpikir dengan tangannya. Faktor lain yang mempopulerkan hukum progresif adalah
munculnya sekelompok orang-orang muda yang "tergoda" dengan corak berpikir di luar arus
utama (mainstream) seperti diajukan Pak Tjip. Berkat semangat dan bantuan orang-orang muda
inilah karya-karya lama Pak Tjip itu dapat dikompilasi dan dikemas ulang untuk kemudian
disajikan kembali kepada para pemerhati dan pegiat hukum di Tanah Air.
Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum
progresif , yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu.
Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk
yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang
rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan
menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu. Proses pemaknaan itu digambarkannya
sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui
periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bangunnya sebuah teori, yang dalam terrminologi
kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatik”
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara
matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan
orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana
tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya.
Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut
(metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.
Menurut Pak Tjip, semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif dapat dipadatkan ke
dalam konsep progresivisme. Ada beberapa kata kunci yang layak untuk diperhatikan tatkala kita
ingin mengangkat pengertian progresivisme itu. Kata-kata kunci tersebut dapat pula ditempatkan
sebagai postulat yang melekat pada pemikiran hukum progresif. Kata-kata kunci tersebut antara
lain adalah:
1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pada hakikatnya setiap
manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan
berhukumnya. Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi
rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum,
hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksapaksa untuk dimasukkan
ke dalam skema hukum.
2. Hukum progresif itu harus pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada
rakyat. Keadilan harus didudukkan di atas peraturan. Para penegak hukum harus berani
menerobos kekakuan teks peraturan (diistilahkan sebagai "mobilisasi hukum" jika memang teks
itu mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat dan pro-keadilan ini merupakan ukuran-
ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerosotan,
penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya.
3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan.
Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada
falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan
dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan.
4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Hukum
bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia.
Ia terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang
lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna
mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap
putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak
pernah bisa meminggirkan sama sekali kekuatankekuatan otonom masyarakat untuk mengatur
ketertibannya sendiri. Kekuatankekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk
terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil alih pekerjaan yang
tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum negara. Maka, sebaiknya memang hukum itu
dibiarkan mengalir saja.
5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum
terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas
berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff),
sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau perilaku
manusia. Di tangan perilaku buru, sistem hukum akan menjadi rusak, tetapi tidak di tangan
orangorang dengan perilaku baik.
6. Hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan
selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, yang disebut oleh
Nonet dan Selznick sebagai "the souverignity of purpose". Pendapat ini sekaligus mengritik
doktrin due process of law. Tipe responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak
dapat digugat.
7. Hukum progersif membangun negara hukum yang berhatinurani. Dalam bernegara hukum,
yang utama adalah kultur, "the cultural primacy." Kultur yang dimaksud adalah kultur
pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada "the legal
structure of the state" melainkan harus lebih mengutamakan "a state with conscience". Dalam
bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi: "bernegara hukum untuk apa?" dan dijawab
dengan: "bernegara untuk membahagiakan rakyat."
8. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak
sikap status quo dan submisif. Sikap status quo menyebabkan kita tidak berani melakukan
perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap
demikian hanya merujuk kepada maksim "rakyat untuk hukum".
Hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di pengadilan,tapi ada dimana-
mana,dan itu kelebihan utama dari pemikiran hukum progresif. Anggapan ini bisa
menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan tidak bertanggung jawab,sebab pemberian
diskresi yang berlebihan akan menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol
sosial. Hukum tidak dapat lagi mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap
keadilan, maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa kuat dia yang
menang karena aturan bersifat fleksibel.
Penegakan hukum berdasarkan perubahan dalam masyarakat juga bisa berakibat pada sulitnya
keteraturan itu diciptakan, sebab masyarakat selain mempunyai sifat selalu berubah juga
terbentuk dari banyak identitas dan unsur serta bersifat majemuk tentang pemahaman keadilan.
Kondisi ini akan melahirkan hukum yang bisa mengakibatkan ketimpangan, juga karena hukum
berlaku adalah kehendak mayoritas, maka akan terjadi diskriminasi terhadap kelompok
minoritas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan
berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan putusan hukum, dan
sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. hubungan dogmatik hukum dengan
teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-
sendiri (mandiri), sebagaimana dibawah ini :
a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal
(walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang
dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
c. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-
undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya
teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan
sejenisnya lagi.
Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin
(filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara
esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu
pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu
semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang
hipotetis. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-
kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan
teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan
definisi hukum sebagai suatu perintah.
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan
berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri
dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance)
merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam
sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu,
mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan
komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-
keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi.
Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa
memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial.
Hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab
tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu
sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali
persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik
Salah satu dari sekian banyak ide Sartjipto Raharjo adalah tentang hukum adalah apa yang
disebut pemikiran hukum progresif , yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama
menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan
sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera
menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah
berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu.
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara
matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan
orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana
tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya.
Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut
(metafisis), terumus secara filosofis oleh hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arinanto Satya , Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008
Assiddiqie Jimly &M Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum Sekretariat Jenderal &
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Ayyub Andi Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action”
Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006
Dimyati Khudzaifah , Teorisasi Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta, 2004
Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunann I), judul
asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta,PT Raja Grafindo
Persada 1993)
Friedman Lawrence M, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc
Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Bandung: Binacipta
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang‐undangan; Dasar‐Dasar dan Pembentukannya, Sekretariat
KIH – UI, Jakarta, 1996, hal. 28. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State,
New York, Russell & Russell, 1945
Nonet Philippe & Philip Zelnick, Law and Society in Transition:Toward Tanggapanive Law,
London:Harper and Row Publisher, 1978
Pound Roscoe , 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Jakar-ta: Bhratara, hal. 51. Mochtar
Rahardjo Satjipto , Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, Makalah
pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN, Jakarta
Raharjo Satjipto , hukum progresif (penjelajak suatu gagasan) makalah disamapaikan pada acara
jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semaraang, tanggal 4 september 2004
Raharjo Sartjipto , Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.
Rahardjo Satjipto dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori
Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Surabaya: Kita, 2006)
Rahardjo Satjipto , Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009)
Rahardjo Satjipto , Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006)
Rahardjo Satjipto , Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007)
Rahardjo Satjipto , Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009)
Rahardjo Satjipto , Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009
Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths
Rahardjo Satjipto , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cet.6
Salman Otje S &Anton Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan, dan membuka
kembali) PT Rafika Aditama, Bandung, 2010
Artikel
Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002
Internet
www.setneg.go.id arah pemikiranpembangunan hukum pasca Perubahan UUD 1945
PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA
2.1.Pengertian Sistem Hukum
Sistem Hukum berasal dari dua kata yaitu ‘sistem’ dan ‘hukum’. Yang keduanya dapat berdiri
sendiri dan memiliki arti tersendiri. Sistem berasal dari bahasa Latin systema dan bahasa Yunani
systema pula, sistem dapat berarti sebagai keseluruhan atau kombinasi keseluruhan.
Sedangkan hukum tidak dapat diartikan secara pasti seperti halnya ilmu eksak, karena dalam
ilmu hukum, hukum itu sangat komleks dan terdapat berbagai sudut pandang serta berbeda-beda
pula masalah yang akan dikaji. Sehingga, setiap ahli memberikan pengertian-pengertian yang
berbeda mengenai pengertian hukum sendiri. Berikut diantaranya :
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada
tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam
melaksanakan tugasnya.( Prof. Mr. E.M. Meyers)
Hukum adalah himpunan peratuan ( perintah dan larangan ) yang mengurus tata tertib
suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.( Drs. E. Utrecht, S.H)
Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan
tujuan mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia. (S.M. Amin, S.H)
Hukum adalah peratuan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan
yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman terentu.
( J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H)
Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan peraturan yang
bersifat memaksa dan mengikat seseorang agar tercipta kehidupan yang serasi dan selaras
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Sehingga, sistem hukum dapat diartikan sebagai sekumpulan peraturan yang bersifat
memaksa demi terciptanya kehidupan yang serasi dan selaras dengan norma.
2.2. Bangsa Indonesia Menggunakan Sistem Hukum Campuran
Seperti yang dikatakan pada bagian pendahuluan bahwa Bangsa Indonesia menggunakan sistem
hukum campuran antara Eropa Kontinental, Hukum Adat, Hukum Agama khususnya Hukum
Syariah Islam, serta tidak mengesampingkan sistem hukum Anglo-Saxon.
Saat pertama mendengar istilah Hukum Eropa Kontinental yang ada dipikiran kita pasti adalah
negara-negara yang terletak di Benua Eropa. Namun, ternyata meski berada dalam Benua Asia,
Bangsa Indonesia juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental sebagai salah satu sistem
hukumnya.
Hal tersebut terjadi dikarenakan Bangsa Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda selama
350 tahun yang tidak lain Belanda merupakan salah satu pendukung utama sistem hukum Eropa
Kontinental. Dan selama masa penjajahan tersebut Belanda menerapkan asas konkordansi, yang
berarti sistem hukum Hindia-Belanda (Indonesia) berjalan selaras dengan sistem hukum
Belanda. Sehingga, secara mutatis mutandis sistem hukum Eropa Kontinental telah diterapkan
kepada Bangsa Indonesia.
Walaupun dominan menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental, Belanda juga melaksanakan
sistem hukum adat (adatrechtpolitiek) kepada masyarakat golongan pribumi asli. Sehingga, pada
masa penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pluralisme hukum. Yang dalam perkembangannya
lebih banyak ditinggalkan karena pengaruh hukum kolonial yang cenderung kuat.
Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat untuk
melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang
lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum
sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-
undangan.
2.3.Pembangunan Sistem Hukum Indonesia Menurut Lawrence M.Friedman
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang
dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa
sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi
juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Namun, pada masa-masa seperti sekarang ini banyak kalangan yang memberikan penilaian yang
kurang baik terhadap sistem hukum Indonesia.
Bobroknya sistem hukum di Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika
dianalogikan, orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika sakitnya karena
rokok. “Kalau perokok, datang ke dokter, akan selalu bilang, saya sakit. Tapi pasti tidak mau
mengaku karena rokok, karena ingin tetap merokok,” kata Guru Besar Luar Biasa UI, Mardjono
Reksodiputra dalam diskusi hukum di kantor Komisi Hukum Nasional (KHN), Jalan Diponegoro
64, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, (7/5/2010). Analogi tersebut sebagai perumpamaan kepada
institusi polisi, jaksa dan hakim yang tidak pernah mengakui institusinya salah. Setiap kali ada
kasus, mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. “Harusnya mereka mengakui supaya tidak
mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau mengaku merokok,” (detiknews, 2010)
Untuk mengetahui lebih mendalam lagi, kita perlu mempelajari apa yang menjadi unsur-
unsur pokok sistem hukum itu. Para ahli memiliki pendapat sendiri-sendiri mengenai sistem
hukum. Namun, pada kesempatan kali ini penulis lebih terfokus pada sistem hukum menurut
Lawrence M.Friedman.
Sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur,
yaitu: (1) Struktur; (2) Substansi; (3) Kultur Hukum (Lawrence M. Friedman, The Legal System:
A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).
Berdasarkan pendapat tersebut, jika kita berbicara tentang sistem hukum, maka ketiga unsur
tersebut secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, tidak mungkin kita kesampingkan.
Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi:
kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara
dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan
asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara
berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.
Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja
keras dari seluruh elemen yang ada di Negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum
bukan hanya hak lembaga-lembaga Negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang
bercirikan prinsip check and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga
merupakan hak dari setiap warga Negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi
hukum di Negara kita. Pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum,
sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa Substansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk
berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M Friedman menekankan kepada pentingnya
Budaya Hukum (Legal Culture).
Karena, menurut Friedman sistem hukum diumpamakan sebagai suatu pabrik , jika Substansi itu
adalah produk yang dihasilkan, dan Aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk,
sedangkan Budaya Hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan
mesin, dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya.
Kita ambil contoh mengapa aparatur hukum ada bahkan banyak yang tidak taat hukum? Jika kita
mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal culture), begitu juga,
ruang lingkup budaya hukum, apabila kita ingin mengetahui ,tidak sedikit orang yang tak
bersalah menjadi bulan-bulanan aparat hukum.
Pada sektor pembentukan hukum, seringkali kita menemukan suatu substansi aturan hukum baik
berupa Undang-undang, Peraturan pemerintah, Perpres, hingga Perda yang tidak mencerminkan
aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substantif dirasa merugikan kepentingan
masyarakat luas pada umumnya.
Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang dinilai justru
mencederai rasa keadilan masyarakat. Dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang
hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap
sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture)
hukumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki
uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli
hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi
hukum di Indonesia.
teori I.W Friedman dalam buku yang berjudul Legal Theory dalam sub bab ilmu hukum
1. RUMUSAN
Kendati para ahli hukum belum sepakat mengenai definisi ilmu hukum, akan tetapi dari
berbagai pendapat yang pernah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa hukum mempunyai
empat unsur, yakni :
1. di dalamnya termuat aturan atau ketentuan
2. bentuknya dapat tertulis dan tidak tertulis
3. aturan atau ketentuan tersebut mengatur kehidupan masyarakat, dan
4. tersedia sanksi bagi para pelanggarnya
Jika keempat unsur tersebut dirangkai, maka hukum dapat didefinisikan sebagai "semua
peraturan maupun ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mempunyai materi mengatur
kepentingan masyarakat, dan apabila terjadi pelanggaran, maka sanksi hukum akan dikenakan
pada si pelanggar".
Tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum, yakni keadilan dan
kepastian hukum (perlindungan hukum). Tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat dicapai
dengan cara melindungi kepentingan- kepentingan yang ada dalam masyarakat secara seimbang.
Implementasi tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan dalam suatu negara berdasarkan atas
hukum.
Untuk mencapai tujuannya, hukum haruslah ditegakkan. Dalam hal ini hukum
diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga hukum yang tidak baik). Jika
kita membicarakan penegakan hukum, maka itu berarti harus membahas sistem hukum.
Lawrence Meir Friedman menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum yaitu:
1. Struktur (structure)
2. Substansi (substance)
3. Kultur hukum (legal culture)
Menurut Friedman struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian
yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia, misalnya jika
kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur
institusi institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan
lembaga permasyarakatan.
Yang dimaksud substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di
dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka
susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup),dan bukan hanya aturan yang
ada dalam kitab undang undang atau law books.
Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan). nilai, pemikiran,
serta harapannya. Kultur hukum juga adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Jadi kultur hukum
sedikit banyak menjadi penentu ialah proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah
suasana pikiran, sosial,dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan,
dihindari atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tak berdaya,
seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, dan bukan seperti ikan yang berenang di laut.
Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan
mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan
oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan