bab ii - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/1208/7/08410075_bab_2.pdf · pengertian...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kecerdasan emosional maupun strategi coping
stres telah beberapa kali dilakukan oleh para peneliti terdahulu.
Penelitian tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Iffah Nur
Fidyatin (2010), yang berjudul “Hubungan antara Kecerdasan Emosional
dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas II MTSN Tembelang Jombang”,
yang dilakukan dengan teknik korelasi product moment. Dari penelitian
tersebut telah diperoleh hasil 0,735 yang artinya terdapat hubungan yang
erat antara tingkat kecerdasan emosional dan tingkat prestasi belajar
siswa.
Selanjutnya dari penelitian yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan
Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EI), dan Kecerdasan Spiritual
(SI) Terhadap Agresivitas pada Mahasiswa UIN Malang” oleh Rahmat
Aziz, M.Si dan Retno Mangestuti, M.Si. (2006) penelitian tersebut
dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi, yang kemudian
diperoleh hasil bahwa dari ketiga jenis kecerdasan tersebut, secara
bersama-sama mempengaruhi agresivitas sebesar 32,5%. Sehingga telah
membuktikan bahwa salah satu cara untuk mengendalikan atau
mengatasi masalah agresivitas pada mahasiswa adalah dengan
mengembangkan kecerdasan khususnya kecerdasan spiritual.
12
Penilitian lainnya adalah penelitian yang berjudul “Hubungan
antara Tingkat Religiusitas dengan Strategi Coping pada Santri Pondok
Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang” oleh Khulaimata Zalfa,
(2009). Teknik yang digunakan adalah teknik korelasi product moment,
dengan kesimpulan bahwa sejumlah 15.58% santri tergolong memiliki
tingkat religiusitas yang tinggi, 71.43% sedang dan 12.99% rendah. Di
sisi lain 46.75% termasuk kategori problem-focused coping dan 53.25%
termasuk emotion-focused coping. Hasil analisis menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan problem-
focused coping, sedangkan antara religiusitas dengan emotion-focused
coping tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan.
Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Riena Widahastuti Effendi
dan Evy Tjahjono (1999), yang berjudul “Hubungan Antara Perilaku Coping dan
Dukungan Sosial dengan Kecemasan pada Ibu Hamil Anak Pertama”. Teknik
yang digunakan adalah teknik analisis regresi dua prediktor dan teknik
korelasi parsial jenjang kedua. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa
Terdapat hubungan yang signifikan antara problem focused coping, emotion
focused coping dan dukungan sosial dengan kecemasan ibu hamil anak
pertama (F=5,753 , p<0,001).
Berdasarkan pada beberapa penelitian diatas, jelas terlihat kesamaan
dalam mengambil variabel-variabel penelitiannya, yakni variabel kecerdasan
emosianal maupun strategi coping stres. Perbedaan yang membedakan
antara peneliti ini dengan penelitian terdahulu adalah, bahwa variabel bebas
13
yang ditentukan peneliti adalah kecerdasan emosial dan variabel terikatnya
adalah strategi coping stres. Yang kemudian, penelitian ini diujikan kepada
mahasiswa baru JAFEB UB Malang
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Emosi
Emosi berasal dari bahasa latin, yaitu movere, yang berarti
“menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan ”e-” untuk memberi arti
“bergerak menjauh”, yang menyiratkan bahwa kecendrungan bertindak
merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 1997: 7). Selain itu,
para psikolog memberikan definisi yang bervariasi, dan dengan
orientasi teoritis yang berbeda-beda tentang emosi, antara lain sebagai
berikut :
a. Emosi dapat dirumuskan sebagai satu keadaan yang terangsang
dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari,
yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku (Chaplin, 2004:
163)
b. Campos; Saarni, dkk (dalam Santrock, J.W. 2007: 6-7)
mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi yang timbul
ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu
interaksi yang dianggap penting olehnya terutama well-being
(kesejahteraan) dirinya.
14
c. Sarwono (Yusuf, 2004: 115) berpendapat bahwa emosi merupakan
“setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif
baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat luas
(mendalam).
d. Yusuf (2004: 115) mengungkapkan bahwa, emosi itu merupakan
warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku
individu. Sedangkan warna afektif sendiri berarti perasaan-
perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati)
suatu situasi tertentu.
Sedangkan Goleman (1997: 411-412) mengemukakan beberapa
macam emosi yang diantaranya, yaitu:
a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati,
terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan yang
barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian
patologis.
b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani
diri, kespian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis,
depresi berat.
c. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut
sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali,
kecut; sebagai patologi, fobia dan panik.
d. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang,
terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa
15
puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali,
dan batas ujungnya mania.
e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f. Terkejut: terkesiap, terkejut, takjub, terpana.
g. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
h. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati
hancur lebur.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa “emosi”
adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami individu pada saat
menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu yang menyertai setiap
keadaan atau perilaku.
2. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun
1990 oleh Peter Salovey dari Havard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas
emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Yang selanjutnya
berkat buku best-seller karya Daniel Goleman yang laris pada tahun 1995,
Emotional Intelligence, konsep ini menyebar luas dan menyeruak
menyadarkan masyarakat, dijadikan judul utama pada sampul majalah
Time dan dijadikan pokok pembicaraan dikelas-kelas dan di ruang rapat.
(Shapiro, L. E. 1998: 5).
16
Kecerdasan emosional ini, dapat dijelaskan dengan bermacam-macam
definisi. Reuven Bar-On (1996) menyebutnya sebagai serangkaian
kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungannya.Sedangkan Peter Salovey dan Jack Mayer (1990), pencipta
istilah "kecerdasan emosional”, menjelaskannya sebagai kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu
pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan
secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
(Stein, 2004: 30)
Sedangkan Goleman, mendefinisikan “kecerdasan emosional” atau
emotional intelligencese sebagai kemampuan mengenali perasaan kita
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain. Selanjutnya, Goleman juga menjelaskan
bahwa kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang
berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik, yaitu
kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ
(Goleman, 2005: 512).
3. Aspek- Aspek Kecerdasan Emosional
Pada buku terbarunya yang membahas kompetensi EQ, "The
Emotionally Intelligent Workplace”, Goleman menegaskan bahwa
17
perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ
melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-cluster-nya.
Kemampuan penyadaran sosial (social awareness) misalnya, tidak hanya
tergantung pada kompetensi empati semata, melainkan juga pada
kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi.
Dikatakannya pula, ada kaitan antara dimensi EQ yang satu dengan
lainnya. Jadi tidaklah mungkin bagi seseorang untuk memiliki keterampilan
sosial, tanpa memiliki baik kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri
(self management) maupun kesadaran sosial (social awareness). (Martin,
2003: 28-29)
Selanjutnya, sebuah terobosan pemikiran mengenai EQ yang paling
penting terjadi pada tahun 1980, ketika seorang pakar psikologi Israel
kelahiran Amerika, Dr. Reuven Bar-On, memulai penelitiannya di bidang ini.
Sejumlah pertanyaan dasar telah membuatnya penasaran, namun baru pada
tahun 1985, beliau merasa sudah menemukan sebagian jawabannya pada
sesuatu yang disebutnya Emotional Quotient (EQ), suatu kesetaraan yang
jelas dengan ukuran kemampuan kognitif dan rasional yang dikenal
sebagai IQ, atau Intelligence Quotient, yang telah dikenal sejak lama
(Stein, 2004:18). Singkatnya, Reuven Bar-On akhirnya menemukan cara
untuk merangkum kecerdasan emosional dengan membagi EQ ke dalam
lima area atau ranah yang menyeluruh, dan 15 sub-bagian atau skala.
18
Gambar 1
Model Kecerdasan Emosional Bar-On
Sumber: Ledakan EQ, 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses (Steven, 2004) Dicetak setelah mendapat izin dari Multi-Health Systems, Inc., Toronto, Kanada
Ranah tersebut meliputi:
1. Ranah lntrapribadi, terkait dengan kemampuan kita untuk mengenal
dan mengendalikan diri sendiri. Ini melingkupi:
a. Kesadaran diri, kemampuan untuk mengenali dan memilah-milah
perasaan, memahami hal yang sedang kita rasakan, mengapa kita
merasakannya dan mengetahui penyebab munculnya perasaan
tersebut. Kesadaran diri yang sangat rendah dialami penderita alexithymia
(tidak mampu mengungkapkan perasaan secara lisan).
Contoh: ketika mengetahui bahwa tugas yang sedang dikerjakan
tidak cukup waktu, maka lain kali akan lebih berhati-hati
merencanakan waktu. Saat menghadapi ujian mampu memilah
perasaanya sendiri dan mengalihkan emosi dan rasa frustasi pada
hal yang lebih membangun. Mampu mengakui kekurangannya
sendiri
19
b. Sikap asertif, (ketegasan, keberanian menyatakan pendapat)
meliputi tiga komponen dasar:
1) Kemampuan mengungkapkan perasaan (misalnya untuk
menerima dan mengungkapkan perasaan marah, hangat, dan
seksual)
Contoh: saat ingin marah, seseorang mampu menunjukkannya
tanpa menyakiti orang lain. Ketika mengagumi sesuatu mampu
menyampaikannya dengan cara yang baik.
2) Kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara
terbuka (mampu menyuarakan pendapat, menyatakan ketidak-
setujuan dan bersikap tegas, meskipun secara emosional sulit
melakukan ini dan bahkan sekalipun kita mungkin harus
mengorbankan sesuatu)
Contoh: dalam diskusi kelompok, mampu menyuarakan
pendapatnya meskipun itu berbeda dengan yang lain.
3) Kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi (tidak
membiarkan orang lain mengganggu dan memanfaatkan kita).
Contoh: berbagi tugas kelompok secara adil, bukannya
menerima mengerjakan sendiri tugas kelompoknya.
c. Kemandirian, kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan
diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa
bergantung pada orang lain secara emosional. Kemampuan ini juga
bergantung pada tingkat kepercayaan diri, kekuatan batin
20
seseorang, dan keinginan untuk memenuhi harapan dan kewajiban
tanpa diperbudak oleh kedua jenis tuntutan itu.
Contoh: mampu bertanggung jawab atas diri sendiri dengan belajar
bersungguh-sungguh untuk keberhasilan masa depannya.
d. Penghargaan diri, kemampuan untuk menghormati dan menerima
diri sendiri sebagai pribadi yang pada dasarnya baik, menyukai diri
sendiri apa adanya, mampu mensyukuri diri kita, memahami
kelebihan dan kekurangan kita, merasa puas dengan diri kita, serta
mampu mengenali kekuatan dan kelemahan kita.
Contoh: mampu menjaga kehormatan dirinya dengan bersikap
santun, serta menghormati orang lain. Tidak terbawa pengaruh
negatif dari lingkungannya.
e. Aktualisasi diri, kemampuan mewujudkan potensi yang kita miliki dan
merasa senang (puas) dengan prestasi yang kita raih di tempat kerja
maupun dalam kehidupan pribadi. Unsur kecerdasan emosional ini
diwujudkan dengan ikut serta dalam perjuangan untuk meraih
kehidupan yang bermakna, kaya, dan utuh. Berjuang mewujudkan
potensi kita berarti mengembangkan aneka kegiatan yang dapat
menyenangkan dan bermakna, dan bisa juga diartikan sebagai
perjuangan seumur hidup dan kebulatan tekad untuk meraih sasaran
jangka panjang. Aktualisasi diri adalah suatu proses perjuangan
berkesinambungan yang dinamis, dengan tujuan mengembangkan
kemampuan dan bakat kita secara maksimal, dan berusaha dengan
21
gigih dan sebaik mungkin untuk memperbaiki diri kita secara
menyeluruh.
Contoh: mempersiapkan ujian dengan sebaik-baiknya, sehingga
memperoleh hasil yang memuaskan. Berusaha memaksimalkan
kelebihannya dengan mengikuti organisasi, seminar, atau
pelatihan-pelatihan yang mendukung potensinya, demi kesuksesan
masa depan.
2. Ranah Antarpribadi, berkaitan dengan "keterampilan bergaul" yang kita
miliki, kemampuan kita berantaraksi dan bergaul baik dengan orang lain.
Wilayah ini terdiri atas tiga skala:
a. Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran
orang lain, kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang
lain. Dengan kata lain empati adalah kemampuan untuk menyadari,
memahami, menghargai, peka terhadap apa, bagaimana, dan latar
belakang perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut
merasakan dan memi-kirkannya. Bersikap empatik artinya mampu
"membaca orang lain dari sudut pandang emosi".
Contoh: peduli bencana alam baik dengan materi maupun dukungan.
Menghibur dan membantu teman yang kesusahan tanpa terlarut dalam
emosinya.
b. Tanggung jawab sosial adalah kemampuan untuk menjadi anggota
masyarakat yang dapat bekerja sama dan bermanfaat bagi kelompok
masyarakatnya meskipun tanpa mendapatkan keuntungan pribadi,
22
melakukan sesuatu untuk dan bersama orang lain, bertindak sesuai
dengan hati nurani, menjunjung tinggi norma yang berlaku, sangat
peduli pada orang lain, memiliki kepekaan antarpribadi, serta dapat
menggunakan bakatnya demi kebaikan bersama.
Contoh: membuang sampah pada tempatnya, ikut serta dalam bakti
sosial
c. Hubungan antarpribadi, berkaitan dengan kemampuan membina dan
memelihara hubungan yang saling memuaskan, penuh keakraban dan
saling memberi serta menerima kasih sayang. Keterampilan menjalin
hubungan antarpribadi yang positif dicirikan oleh kepedulian pada
sesama, tidak hanya keinginan untuk membina persahabatan dengan orang
lain, tetapi juga mampu merasa tenang dan nyaman berada dalam jalinan
hubungan tersebut, serta memiliki harapan positif yang menyangkut
antaraksi sosial.
Contoh: mengikuti setiap acara yang diadakan kampus dan mampu
menikmatinya.
3. Ranah Penyesuaian diri berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap
lentur dan realistis, dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul.
Ketiga skalanya adalah;
a. Uji realitas, kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan
kenyataannya, bukan seperti yang kita inginkan atau takuti. Secara
sederhana, uji realitas adalah kemampuan untuk secara akurat
menilai, menyimak situasi yang ada di depan kita, dan kemampuan
23
melihat hal secara objektif. Aspek penting unsur kecerdasan
emosional ini meliputi kemampuan berkonsentrasi dan memusatkan
perhatian ketika berusaha menilai dan menghadapi situasi yang ada
didepan kita. Uji-realitas ini berkaitan dengan tidak menarik diri dari
dunia luar, penyesuaian diri dengan situasi langsung, dan ketenangan
serta kejelasan persepsi dan proses
Contoh: ketika mengalami suatu peristiwa, seseorang dapat
memandang masalah sebagaimana adanya, tanpa rasa takut,
harapan, dan prasangka.
b. Sikap fleksibel, kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan
tindakan kita dengan keadaan yang berubah-ubah. Unsur kecerdasan
emosional ini mencakup seluruh kemampuan kita untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak biasa, tidak
terduga, dan dinamis, tangkas, mampu bekerja sama yang
menghasilkan sinergi, dapat menanggapi perubahan secara luwes,
bersedia berubah pikiran jika ada bukti yang menunjukkan bahwa
mereka salah, terbuka dan mau menerima gagasan, orientasi,
cara,dan kebiasaan yang berbeda.
Contoh: ketika seseorang menyadari bahwa pendapatnya salah, dan
mau menerima pendapat yang lebih benar. Seseorang mampu
bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda di lingkungan yang
belum pernah ia kunjungi.
24
c. Pemecahan masalah, kemampuan untuk mengenali dan merumuskan
masalah, serta menemukan dan menerapkan pemecahan yang ampuh.
Yang meliputi;
1) Memahami masalah dan percaya pada diri sendiri, serta termotivasi
untuk memecahkan masalah secara efektif
2) Menentukan dan merumuskan masalah sejelas mungkin (misalnya
dengan mengumpulkan informasi yang relevan)
3) Menemukan sebanyak mungkin alternatif pemecahan (misalnya
curah gagasan)
4) Mengambil keputusan untuk menerapkan salah satu alternatif
pemecahan (misalnya menimbang-nimbang kekuatan dan
kelemahan setiap alternatif, kemudian memilih alternatif
terbaik.)
5) Menilai hasil penerapan alternatif pemecahan yang digunakan
6) Mengulang proses di atas apabila masalahnya tetap belum
terpecahkan.
Contoh: Dalam usaha memecahkan masalah, seseorang dapat
melihat semua kemungkinan lalu memutuskan mana yang
terbaik.
4. Ranah pengendalian stres terkait dengan kemampuan kita untuk tahan
menghadapi stres dan mengendalikan impuls. Kedua skalanya adalah:
a. Ketahanan menanggung stres, kemampuan untuk tetap tenang dan
berkonsentrasi, dan secara konstruktif bertahan menghadapi kejadian
25
yang gawat dan tetap tegar menghadapi konflik emosi. Kemampuan
ini didasarkan pada;
1) Kemampuan memilih tindakan untuk menghadapi stres (banyak
akal dan efektif, dapat menemukan cara yang pas, tahu apa yang
harus dilakukan dan bagaimana melakukannya)
2) Sikap optimis menghadapi pengalaman baru atau perubahan
pada umumnya dan optimis pada kemampuan sendiri untuk
mengatasi masalah yang tengah dihadapi
3) Perasaan bahwa kita dapat mengendalikan atau berperan dalam
menangani situasi stres dengan tetap tenang dan memegang
kendali. Orang yang tahan menghadapi stres akan menghadapi,
bukan menghindari, krisis dan masalah, tidak menyerah pada
rasa tidak berdaya atau putus asa.
Contoh: ketika menerima beberapa tugas sekaligus dan harus
menyelesaikannya dalam waktu singkat, tidak menyerah dan
berusaha menyelesaikannya tepat waktu dan dengan sebaik-
baiknya.
b. Pengendalian impuls, kemampuan untuk menahan atau menunda
keinginan untuk bertindak. Pengendalian impuls ini mencuatkan
kemampuan menampung impuls agresif, tetap sabar dan mengendalikan
sikap agresif, permusuhan, serta perilaku yang tidak bertanggung jawab.
Masalah dalam hal pengendalian impuls ini akan muncul dalam bentuk
sering merasa frustrasi, impulsif, sulit mengendalikan amarah, bertindak
26
kasar, kehilangan kendali diri, menunjukkan perilaku yang meledak-
ledak dan tak terduga. Contoh: ketika merasa kecewa karena
pendapatnya tidak diterima dalam diskusi, seseorang mampu
menahan diri dan bersabar.
5. Ranah Suasana Hati Umum. Ranah kecerdasan emosional ini berkaitan dengan
pandangan kita tentang kehidupan, kemampuan kita bergembira sendirian dan
dengan orang lain, serta keseluruhan rasa puas dan kecewa yang kita rasakan.
Ranah suasana hati umum memiliki dua skala.
a. Optimisme (optimis) adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap
positif yang realistis, mampu melihat sisi terang kehidupan terutama
dalam menghadapi masa-masa sulit. Optimis meng-asumsikan adanya
harapan dalam cara orang menghadapi kehidupan. Optimis adalah
pendekatan yang positif terhadap kehidupan sehari-hari. Optimis
adalah lawan pesimis, yang merupakan gejala umum depresi.
Contoh: ketika menghadapi masalah, seseorang merasa yakin bahwa
masalah tersebut akan berlalu selama tetap berusaha
menyelesaikannya dan tidak menyerah.
b. Kebahagiaan adalah kemampuan untuk mensyukuri kehidupan,
menyukai diri sendiri dan orang lain, dan untuk bersemangat serta
bergairah dalam melakukan setiap kegiatan. Orang yang bahagia
sering merasa senang dan nyaman, baik selama bekerja maupun
pada waktu luang, mereka menikmati hidup dengan bebas, dan
menikmati kesempatan untuk bersenang-senang. Kebahagiaan
27
berhubungan dengan perasaan riang dan penuh semangat. Orang
yang derajat kebahagiaannya rendah dapat menderita gejala depresi,
seperti cenderung merasa cemas, merasa tidak pasti akan masa
depan, menarik diri dari pergaulan, kurang semangat, berpikiran
murung, merasa bersalah, tidak puas pada hidup dan, dalam kasus
yang ekstrem, memikirkan dan berperilaku yang mengarah ke
bunuh diri (Stein, 2004: 73-252). Contoh: mahasiswa baru mampu
menikmati setiap kesibukan dan tugas-tugas yang didapatkannya.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi tidak sepenuhnya tergantung pada faktor
lingkungan dan pengalaman belajar seseorang, faktor keturunan juga
memberikan pengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang. Untuk lebih
jelasnya, faktor-faktor tersebut antara lain;
a. Faktor keturunan
Kondisi mental dan emosi seorang ibu hamil sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan emosi bayi yang dikandungnya, ibu yang
berkarakter mudah tersinggung, marah-marah dan gampang meluap
kejengkelannya cenderung membentuk anak yang berangasan dan
mudah marah. Begitupun sebaliknya. Meskipun muncul kontroversi
tentang hal tersebut, seorang tokoh psikologi perkembangan, Elizabeth
Hurlock, membenarkan adanya perkembangan emosi yanga tampak
nyata pada bayi sejak ia lahir. (Martin, 2003:104-105)
28
b. Faktor fisik
Menurut Joseph LeDoux, terdapat dua struktur penting dalam otak
manusia yang mempengaruhi kecerdasan emosi. Pertama adalah
“limbik”, sistem pusat emosi manusia, dan yang kedua adalah sistem
“neo-korteks”, pusat berfikirnya manusia. Pada limbik itulah terdapat
“amygdala”, bagian otak yang mengakses informasi yang kita peroleh
melalui sebuah sistem di bagian “thalamus”, lalu memberi reaksi
terhadap apa yang dialami. Di amygdala inilah terletak memori emosi
manusia. Impuls-impuls yang terjadi di amygdala erat terkait dengan
neo-korteks yang dihubungkan dengan lobus pre-fontal. Kadang-
kadang reaksi emosi yang menuju atau ke arah amygdala bisa terjadi
tanpa dipikir, atau tidak melalui korteks, sehingga reaksi yang
timbulpun lebih sulit di prediksi. (Martin, 2003: 94)
c. Faktor lingkungan dan pengalaman belajar
Menurut Martin (2003: 105) Emosi mirip dengan inteligensi
manusia. Tidak sepenuhnya merupakan bawaan sejak lahir. Budaya, pola
pendidikan dan pengalaman hidup nyata-nyata mempengaruhi cara
seseorang mengelola dan menyatakan emosi.
C. Strategi Coping Stres
1. Pengertian Stres
Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi
bermasalah lainnya dalam kehidupan (an internal and eksternal
29
pressure and other troublesome condition in life). Dalam kamus
psikologi (Chaplin, 2004:488) stres merupakan suatu keadaan tertekan
baik itu secara fisik, maupun psikologis. Stres bersumber dari frustasi
dan konflik yang dialami individu yang dapat berasal dari berbagai
bidang kehidupan manusia (Ardani, 2008: 80).
Menurut Fieldman (Widury & Fausiah, 2005: 9-10) stres
adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang
mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu
merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan
perilaku. Perilaku yang memunculkan stres bisa saja positif (misalnya:
merencanakan perkawinan) atau negatif, contoh: kematian keluarga.
Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressful event)
atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu
terhadapnya. Untuk mengetahui apakah seseorang mengalami stres,
maka perlu dilihat apakah gejala-gejala stres telah muncul. Menurut
Yusuf (2004: 95-96), gejala-gejala stres yang muncul meliputi:
d. Gejala Fisik; antara lain sakit kepala, jantung berdebar debar,
insomnia (susah tidur), mudah lelah, keluar keringat dingin, dan
kurang selera makan.
e. Gejala Psikis; antara lain gelisah atau cemas, konsentasi belajar
menurun, kehilangan rasa humor, sering melamun dan sering
marah-marah
30
2. Pengertian Strategi Coping
Menurut S. Lazarus dan Folkman (Taylor, 2003) coping adalah
proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir
sebagai beban karena diluar kemampuan diri individu. Coping terdiri
atas upaya-upaya yang berorientasi kegiatan dan intrapsikis untuk
mengelola (seperti menuntaskan, tabah, mengurangi, atau
meminimalkan) tuntutan internal dan eksternal dan konflik diantaranya.
Sementara Weiten dan Lloyd mengemukakan bahwa "coping" merupakan
"Upaya-upaya untuk mengatasi, mengurangi. atau mentoleransi ancaman dan
beban perasaan yang tercipta karena stres" (Yusuf, 2004: 115).
Hude (2006: 278) memaknai coping sebagai menanggulangi,
menerima menguasai. Segala sesuatu yang terjadi dan bersangkutan
dengan diri kita seharusnya dihadapi dan ditanggulangi sesuai
kemampuan yang ada. Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2004:112),
coping behavior diartikan sebagai sembarang perbuatan, dalam mana
individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan
tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas atau masalah).
Selanjutnya menurut Lazarus & Folkman (1984), coping
berbeda dengan perilaku adaptif otomatis, karena coping
membutuhkan suatu usaha, yangmana hal tersebut akan menjadi
perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping dipandang sebagai
suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan
akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu
31
usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua
situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, coping yang efektif
untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk
mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan
tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Wangsajaya, n.d).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa strategi coping adalah segala usaha, cara, kesiapan
individu baik disadari maupun tidak dalam mengatasi permasalahan
yang dihadapi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
3. Macam-Macam Strategi Coping Stres
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smet, 1994: 143-146)
terdapat dua macam cara dalam strategi coping, yaitu:
a. Emotional focused coping (strategi coping yang berorientasi pada
emosi), yaitu: usaha untuk mengatur respon emosional terhadap
stres dengan mengubah cara dalam merasakan permasalahan atau
situasi yang mendatangkan stress. Strategi coping ini meliputi:
1) Kontrol diri (self control), menjaga keseimbangan dan menahan
emosi dalam dirinya. Contoh: Berani mengatakan “tidak” pada
ajakan dan paksaan tawuran serta perbuatan tercela,
2) Membuat jarak (distancing), menjauhkan diri dari teman-teman
dan lingkungan sekitar. Contoh: tidak suka bergaul dengan
teman, ketika mendapat masalah lebih sering memendamnya.
32
3) Penilaian kembali secara positif (positive reapraisal), dapat
menerima masalah yang sedang terjadi dengan berfikir secara
positif dalam mengatasi masalah. Contoh: karena pernah
kehilangan dompet, maka akan lebih berhati-hati menjaga
barangnya.
4) Lari atau menghindar (escape), menjauh dari permasalahan
yang dialami. Contoh: lebih memilih untuk mendengarkan
musik, dan menonton televisi seharian ketika akan menghadapi
ujian.
5) Menerima tanggung jawab (acceptance), menerima tugas
dalam keadaan apapun saat menghadapi masalah dan bisa
menanggung segala sesuatunya. Contoh: ketika mendapati hasil
ujiannya menurun karena kurang persiapan, dia menerima hal
ini sebagai kesalahannya.
b. Problem focused coping (strategi coping yang berorientasi pada
masalah), yaitu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan stres
dengan mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan baru
untuk memodifikasi permasalahan yang mendatangkan stres.
Bentuk ini meliputi:
1) Konfrontasi, yaitu individu berpegang teguh pada pendiriannya
dan mempertahankan apa yang diinginkannya, mengubah
situasi secara agresif dan adanya keberanian mengambil resiko.
Contoh: ketika tidak ada biaya dan dukungan untuk
33
melanjutkan ke perguruan tinggi, dia tetap berusaha dengan
mencari kerja sambilan.
2) Mencari dukungan social (seeking social support for emotional
reason); individu berusaha untuk mendapatkan bantuan dari
orang lain. Contoh: untuk mendapatkan hasil yang terbaik,
seorang mahasiswa tidak segan-segan bertanya kepada ahlinya.
3) Merencanakan pemecahan masalah (planful problem solving),
dengan memikirkan, membuat, dan menyusun rencana untuk
menyelesaikan masalah. Contoh: mahasiswa membuat
manajemen waktu yang baik, karena sering tidak ada waktu
untuk belajar.
Menurut Aldwin & Revenson (dalam Afandi, 2004) beberapa
hal yang menunjukkan strategi coping pada Problem-focused dan
Emotion-focused
1. Tipe Problem-focused ini antara lain sebagai berikut:
a. Instrumental Action (tindakan secara langsung)
Seseorang melakukan usaha dan menetapkan langkah-langkah
yang mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung
serta menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya.
Contoh: tidak menunda untuk segera menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen..
b. Cautiousness (kehati-hatian)
34
Seseorang berfikir, meninjau dan mempertimbangkan beberapa
alternatif pemecahan masalah, berhati-hati dalam memutuskan
atau dengan meminta pendapat orang lain tentang pemecahan
masalah tersebut dan mengevaluasi tentang strategi yang
pernah diterapkan. Contoh: tidak terburu-buru mengambil
kesimpulan atas suatu masalah, terlebih dahulu mengevaluasi
penyelesaian masalah bersama orang lain.
c. Negotiation (negosiasi)
Seseorang membicarakan serta mencari penyelesaian dengan
orang lain yang terlibat dalam permasalahan yang dihadapinya
dengan harapan agar masalah dapat terselesaikan. Contoh:
berunding dengan orang lain demi menyelesaikan masalah
yang berhubungan dengan masa depannya.
2. Tipe Emotion-focused ini antara lain sebagai berikut:
a. Escapism (pelarian diri dari masalah)
Cara individu mengatasi stres dengan berkhayal atau
membayangkan hasil yang akan terjadi atau mengandaikan
dirinya berada dalam situasi yang lebih baik dari situasi yang
dialaminya saat ini. Contoh: ketika mengahadapi masalah
serius, seseorang meringankan bebannya dengan menghayal
bahwa masalah tersebut sudah terselesaikan.
b. Minimization (meringankan beban masalah)
35
Cara individu mengatasi stres dengan menolak memikirkan
masalah dan menganggapnya seakan-akan masalah tersebut
tidak ada dan membuat masalah menjadi ringan. Contoh: saat
terjadi masalah dalam keluarga dia memilih untuk jalan-jalan
ke mall.
c. Self Blame (menyalahkan diri sendiri)
Cara individu mengatasi stres dengan memunculkan perasaan
menyesal, menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas
tekanan masalah yang terjadi. Strategi ini bersifat pasif dan
ditunjukkan pada diri sendiri. Contoh: menyalahkan diri sendiri
atas semua masalah yang dia hadapi.
d. Seeking Meaning (mencari arti)
Cara individu mengatasi stres dengan mencari makna atau
hikmah dari kegagalan yang dialaminya dan melihat hal-hal
lain yang penting dalam kehidupan. Contoh: mencari makna
atau manfaat dari setiap musibah yang dia alami.
Dari kedua strategi coping tersebut, individu cenderung untuk
menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-
masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya.
Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping
dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk
dikontrol (Lazarus & Folkman, 1984). Namun, terkadang individu
dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan,
36
meskipun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu
(Taylor, 1991, dalam Wangsajaya: n.d).
Dalam menghadapi permasalahan yang berat, setiap orang
adakalanya memilih untuk berpura-pura bahwa masalah tersebut tidak
terjadi, namun adapula yang memilih untuk langsung bertindak
mengatasinya. Yang manakah yang paling sesuai dengan diri kita,
Lazarus & Folkman, 1984, juga berpendapat, bahwa berpura-pura
seakan masalah tidak ada atau tidak terjadi merupakan suatu bentuk
penyangkalan. Penyangkalan merupakan suatu contoh coping yang
berfokus pada emosi (emotion focused coping). Pada coping yang
berfokus pada emosi, orang berusaha segera mengurangi dampak
stressor, dengan menyangkalnya stresor atau menarik diri dari situasi.
Namun, coping yang berfokus pada emosi tidak tidak menghilangkan
stressor (sebagai contoh, suatu penyakit yang serius) atau tidak juga
membantu individu dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk
mengatur stressor. Sebaliknya, pada coping yang berfokus pada
masalah (problem focused coping) orang menilai stresor yang mereka
hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stressor atau
memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stressor
tersebut (Nevid, 2005: 144-145).
37
4. Proses Terjadinya Coping Stres
Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya coping, mari
kita cermati gambar berikut ini (Yusuf, 2004: 115);
Gambar 2 Proses Coping Stres
Pada gambar di atas dijelaskan bahwa, diantara faktor-faktor yang
mempengaruhi "coping" sebagai upaya untuk mereduksi atau
mengatasi stres adalah dukungan sosial (social support) dan kepribadian.
Kedua faktor tersebut lebih lanjut jika dijelaskan adalah sebagai berikut;
1. Dukungan Sosial, dapat diartikan sebagai "Pemberian bantuan atau
pertolongan terhadap seseorang yang mengalami stres dari orang
lain yang memiliki hubungan dekat (saudara atau teman)". House
(1981) mengemukakan bahwa dukungan sosial memiliki empat
fungsi, yaitu sebagai berikut.
38
a. Emotional support, yang meliputi pemberian curahan kasih
sayang, perhatian, dan kepedulian.
b. Appraisal support, yang meliputi bantuan orang lain untuk
menilai dan mengembangkan kesadaran akan masalah yang
dihadapi, termasuk usaha-usaha untuk mengklarifikasi hakikat
masalah tersebut, dan memberikan umpan balik tentang hikmah
dibalik masalah tersebut.
c. Informational support, yang meliputi nasihat dan diskusi
tentang bagaimana mengatasi atau memecahkan masalah.
d. Instrumental support, yang meliputi bantuan material, seperti
memberikan tempat tinggal, meminjamkan uang, dan menyertai
kunjungan ke biro layanan sosial (Yusuf, 2004: 115-116).
2 Kepribadian. Tipe atau karakteristik kepribadian seseorang
mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap "coping” atau
usaha dalam mengatasi stres yang dihadapinya. Diantara tipe atau
karaktersitik kepribadian tersebut adalah sebagai berikut;
a. Hardiness (Ketabahan, Daya tahan). Dapat diartikan sebagai 'Tipe
kepribadian yang ditandai dengan sikap komitmen, internal locus
control, dan kesadaran akan tantangan (challenge)’. Suzanne Kobasa
(1979) sebagai pencetus istilah "hardiness" menjelaskan ketiga
karakteristik tersebut sebagai berikut:
1) Commitment, yaitu keyakinan seseorang tentang apa yang
seharusnya dilakukan, seperti keterlibatannya dalam
39
kehidupan di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, dan
lembaga-lembaga sosial.
2) Internal Locus Control, yaitu dimensi kepribadian tentang
keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau
kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh faktor internal
(berasal dari dirinya sendiri). Sementara external locus control
merupakan keyakinan seseorang bahwa kesuksesan atau
kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh faktor dari luar.
3) Challenge, yaitu kecenderungan persepsi seseorang
terhadap situasi, atau tuntutan yang sulit atau mengancam
sebagai suatu tantangan, (peluang) yang harus dihadapi.
b. Optimism. Menurut Weiten/ Lloyd, 1994, optimis merupakan
suatu kecenderungan umum untuk mengharapkan hasil-hasil
yang baik. Sikap optimis memungkinkan seseorang dapat
meng-"cope" stres secara lebih efektif, dan dapat mereduksi
dampaknya, yaitu jatuh sakit.
c. Humoris. Orang yang senang humor (humoris) cenderung
lebih toleran dalam menghadapi situasi stres dari pada orang
yang tidak senang humor (seperti orang yang bersikap kaku,
dingin, pemurung, atau pemarah). Dalam studinya tentang
beberapa cara "coping", McCrae (1984) menemukan bahwa 40%
sikap humor itu dapat mengurangi stres. Dixon (1980)
mengemukakan bahwa humor, joke, atau ketawa dapat berfungsi
40
sebagai upaya untuk menilai kembali situasi stres dengan cara
yang kurang mengancam dan dapat melepaskan emosi-emosi
negatif yang terpendam (seperti perasaan marah). Beberapa orang
ahli psikologi sudah lama memperkirakan bahwa humor
merupakan respon "coping" yang positif. Dalam hal ini, Martin
dan Lefcourt (1983) menemukan bahwa humor dapat berfungsi
untuk mengurangi dampak negatif stres terhadap suasana hati
atau perasaan seseorang (Yusuf, 2004: 118-119).
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping
Menurut Smet (1994: 130-131), proses pemilihan strategi
coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Variabel dalam kondisi individu; umur, tahap kehidupan, jenis
kelamin, temperamen, pendidikan, inteligensi, suku, kebudayaan,
status ekonomi, dan kondisi fisik.
2) Karakteristik kepribadian; introvert-ekstrovert, stabilitas emosi
secara umum, kepribadian ‘ketabahan’, locus of control, kekebalan
dan ketahanan.
3) Variabel sosial kognitif; dukungan sosial yang dirasakan, jaringan
sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.
4) Hubungan dengan lingkungan sosial; dukungan sosial yang
diterima, integrasi dalam jaringan sosial.
41
6. Dampak Coping Stres (Coping Outcome)
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan coping yang efektif
adalah coping yang membantu seseorang untuk menoleransi dan
menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak
dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Cohen dan
Lazarus (Taylor, 1991) mengemukakan, agar coping dilakukan dengan
efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas
coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :
1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan
prospek untuk memperbaikinya
2. Menoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang
negatif.
3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
4. Mempertahankan keseimbangan emosional.
5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.
Menurut Taylor (1991), efektivitas coping tergantung dari
keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi
semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping
dengan baik. Setelah coping dapat memenuhi sebagian atau semua
fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome
yang dialami tiap individu. Coping outcome adalah kriteria hasil
coping untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu:
42
a. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila
coping yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal
stres seperti menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak
nadi, dan sistem pernapasan.
b. Apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia
mengalami stres, dan seberapa cepat ia dapat kembali. Coping
dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa
individu kembali pada keadaan seperti sebelum individu
mengalami stres.
c. Efektivitas dalam mengurangi psychological distress. Coping
dinyatakan berhasil jika coping tersebut dapat mengurangi rasa
cemas dan depresi pada individu.
Dampak suatu peristiwa memang berbeda pada setiap individu
(Wulandari, tanpa tahun).
D. Kajian Keislaman tentang Kecerdasan Emosional dan Strategi Coping
Stres
1. Kecerdasan Emosional dalam Islam
Menurut Umar (Hude, 2006), kajian atas cerdas emosi di
dalam dunia Islam, bukanlah barang baru. Di dalam hadis
diriwayatkan:
43
اد بن أوس رضى هللا عنھ عن النبى صلى هللا علیھ عن أبى یعلى شدمن وسلم قال: الكیس من دان نفسھ وعمل لما بعد الموت ,والعاجز
. حدیث حسن :وقال, رمذىرواه الت هللا. , وتمنى علىأتبع نفسھ ھواھا
.: معنى دان نفسھ حاسبھاذى وغیره من العلماءقال الترم
Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus ( رضى هللا عنھ),
Rasulullah (صلى هللا علیھ وسلم) bersabda: “Orang yang cerdas
adalah yang bisa mengendalikan hawa nafsunya dan berbuat
untuk (kepentingan) masa setelah kematiannya. Orang yang
lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-
angan pada (kemurahan) Allah” (HR Turmudzi, beliau
berkata: Hadis ini hasan)
Al-Qur’an juga banyak menyinggung aktifitas kecerdasan
emosional, yangmana seringkali dihubungkan dengan kalbu. Oleh
karena itu kata kunci utama kecerdasan emosional didalam al-Qur’an
dapat ditelusuri melalui kata kunci qalb (kalbu), dan tentu saja dengan
istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (nafs),
intuisi, dan beberapa istilah lainnya. Selanjutnya menurut Umar, jenis-
jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam al-Qur’an dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kalbu yang positif:
1. Kalbu yang damai (qalb salim)
2. Kalbu yang bertaubat (qalb munib)
3. Kalbu yang tenang (qalb muthmainnah)
4. Kalbu yang berfikir (qalb ya’qilun)
5. Kalbu yang mukmin (qalb al-mu’minin)
44
b. Kalbu yang negatif:
a) Kalbu yang sewenang-wenang (qalb mutakabbir)
b) Kalbu yang sakit (qalb maridh)
c) Kalbu yang melampaui batas (qalb al-mu’tadin)
d) Kalbu yang berdosa (qalb al-mujrimin)
e) Kalbu yang terkunci/tertutup (khatama Allah ‘ala qulubihim)
f) Kalbu yang terpecah-pecah (qulubuhum syatta)
Apabila memandang kalbu diatas sebagai emosi, maka dapat
difahami akan adanya emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi yang
cerdas dapat dilihat pada sifat-sifat yang positif, sedangkan emosi
yang tidak cerdas dapat dilihat pada sifat-sifat yang negatif.
Kecerdasan emosional dijelaskan didalam Al-Quran Surah Al Haj ayat
46, surah Al-A’raf ayat 179, dan Surah Al Jatsiah ayat 23, seperti
berikut ini:
Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. al-Haj ayat: 46)
45
Artinya: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. al-A'raf ayat: 179)
Artinya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. al-Jatsiyah ayat: 23)
Ayat-ayat tersebut di atas, menggambarkan kepada kita
bahwa faktor kecerdasan emosional ikut serta dalam menentukan
eksistensi martabat manusia di depan Tuhan. Sedangkan upaya
46
mendapatkan kecerdasan emosional dalam Islam sangat terkait dengan
upaya memperoleh kecerdasan spiritual. Keduanya memiliki beberapa
persamaan metode dan mekanisme, yaitu keduanya menuntut latihan-
latihan yang sifatnya telaten dan sungguh-sungguh (mujahadah)
dengan melibatkan kekuatan dalam (inner power) manusia.
Sedangkan bedanya mungkin terletak pada sarana dan proses
perolehan. Aktivitas kecerdasan emosional seolah-olah masih tetap
berada dalam lingkup diri manusia (sub-conciousnes), sedangkan
kecerdasan spiritual sudah melibatkan unsur asing dari diri manusia
(supra-consiousnes) (Hude, 2006: ix-xi).
2. Strategi Coping Stres dalam Pandangan Islam
Riwayat para nabi dan rasul yang penuh cobaan memberikan
pedoman tentang bagaimana implementasi ayat pada kehidupan nyata
sehari-hari. Dalam sebuah kisah, Nabi Ayub a.s mengalami banyak
peristiwa hidup, yang dalam teori stres dapat digolongkan dalam stres
tingkat berat. Beliau secara berturut-turut kehilangan harta benda,
mata pencaharian, terserang penyakit kulit kurang lebih selama 7
tahun yang menyebabkannya kesulitan berkomunikasi dengan orang
lain, serta ditinggalkan istri dan anak-anak yang dicintainya. Namun
demikian, beliau memiliki kemampuan untuk bertahan dan kesabaran
dalam menghadapi stres (coping stres). (Hasan, 2008: 86). Dalam al-
Qur’an dinyatakan:
47
Artinya: Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang."Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. (QS al-Anbiya, ayat: 83-85)
Melalui ayat tersebut diatas, ditunjukkan bagaimana Islam
mengajarkan pada umatnya dalam menghadapi stres, yang diantaranya
dengan kesabaran dan mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan
stres sendiri dapat terjadi, karena seseorang memandang besar akibat
dari kejadian yang menegangkan, dan dia tidak memiliki kemampuan
untuk mengatasinya. Dalam al-Qur’an dinyatakan:
48
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS al-Baqarah, ayat: 286)
Secara garis besar terdapat tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam menghadapi stres, yaitu hubungan dengan Allah,
pengaturan perilaku, dan dukungan sosial. Hal ini sesuai dengan
ajaran Islam yang memandang bahwa tidak ada yang paling penting
selain Allah. Manusia wajib berusaha dan bersabar, namun Allah-lah
yang akan menentukan hasilnya, dan hal itu sesuai dengan apa yang
diupayakan manusia. Manusia menyadari dan berusaha memperbaiki
kesalahannya dengan memohon ampunan dan pertolongan Allah.
Selain itu hubungan antar sesama manusia juga penting sebagai usaha
memupuk dukungan sosial dalam mengatasi segala masalah, terutama
49
untuk bersabar dan untuk melakuakan hal yang benar sesuai dengan
jalan Allah (Hasan, 2008: 82).
E. Hubungan antara Kecerdasan Emosional (EI) dengan Strategi Coping
Stres
Salovey dan Mayer mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi
merupakan himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik pada diri-sendiri maupun
kepada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi
untuk membimbing pikiran dan tindakan serta menjalin hubungan dengan
orang lain. Sehingga, seseorang yang memiliki kecerdasan pada dimensi
emosionalnya, yaitu mampu menguasai situasi yang penuh tantangan,
yang biasanya dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan (stres) akan
lebih tangguh menghadapi berbagai persoalan hidup, juga akan berhasil
mengendalikan reaksi dan perilakunya, sehingga mampu menghadapi
kegagalan dengan baik (Rahayu, 2005: 174-175).
Lazarus, Kanner dan Folkman (McGraw-Hill, 2005) menunjukkan
bahwa emosi yang positif (cerdas) memainkan tiga peran penting dalam
proses stres:
1) Emosi yang positif dapat mendukung usaha coping stres
2) Emosi yang positif memberikan suatu jeda dalam menghadapi stres
50
3) Emosi yang positif memberikan seseorang waktu dan kesempatan
untuk mengembalikan kembali energi yang telah dikeluarkan,
termasuk memulihkan hubungan dengan orang lain
Selanjutnya, Goleman (1997: 45) mengungkapkan bahwa,
kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan (stres),
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan
jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat
menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan
mengatur suasana hati.
Craig (2004: 25) juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang
memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu mengasimilasi tingkat stres
yang tinggi dan mampu berada disekitar orang-orang pencemas tanpa
menyerap dan meneruskan kecemasan tersebut. Selain itu, orang-orang
yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mempunyai kualitas belas
kasih, mendahulukan kepentingan orang lain, disiplin diri, optimis,
fleksibilitas dan kemampuan memecahkan berbagai masalah dan
menangani stres.
Dalam bukunya yang berjudul “Kecerdasan Emosional, Mengapa
EI lebih penting daripada IQ”, Goleman (1997: 60) mengungkapkan
bahwa, bagi kaum pria yang tinggi kecerdasan emosionalnya, secara sosial
mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau gelisah.
Mereka berkemampuan melibatkan diri dengan orang-orang atau
51
permasalahan, untuk memikul tanggung jawab, dan mempunyai
pandangan moral; mereka simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan
mereka. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar; mereka merasa
nyaman dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dunia pergaulan
lingkungannya.
Selanjutnya, Goleman (1997: 61) juga menambahkan bahwa untuk
kaum wanita yang cerdas secara emosional cenderung bersikap tegas,
mampu mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, dan
memandang dirinya sendiri secara positif; selain itu, kehidupan memberi
makna bagi mereka. Sebagaimana kaum pria mereka mudah bergaul dan
ramah, serta mengungkapkan perasaan mereka dengan takaran yang wajar
(tanpa meledak-ledak); mereka mampu menyesuaikan diri dengan beban
stres. Kemantapan pergaulan mereka membuat mereka mudah menerima
orang-orang baru; mereka cukup nyaman dengan dirinya sendiri sehingga
selalu ceria, spontan, dan terbuka. Berbeda dengan kaum wanita yang
semata-mata ber-IQ tinggi, mereka yang ber-EI tinggi jarang merasa
cemas atau bersalah atau tenggelam dalam kemurungan.
Oleh karena sebab tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dengan
tingginya kecerdasan emosional, akan membantu seseorang, baik pria
maupun wanita dalam menghadapi serta menyesuaikan diri dengan beban
stres (coping stres).
52
F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini terdiri atas sebuah hipotesis mayor dan
dua buah hipotesis minor. Hipotesis mayor yang diajukan adalah sebagai
berikut: terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan
strategi coping stres pada mahasiswa baru. Sehingga, semakin tinggi
kecerdasan emosional mahasiswa baru, akan semakin tinggi pula strategi
coping stresnya. Semakin rendah kecerdasan emosional mahasiswa baru, akan
semakin rendah pula strategi coping stresnya.
Hipotesis mayor akan diterima apabila dua buah hipotesis minor yang
diajukan diterima. Adapun hipotesis minor yang diajukan oleh peneliti adalah
sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan
pemilihan untuk menggunakan emotional focused coping pada mahasiswa
baru. Sehingga, semakin tinggi kecerdasan emosional mahasiswa baru,
akan semakin tinggi pula emotional focused coping-nya
2. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan
pemilihan untuk menggunakan problem focused coping pada mahasiswa
baru. Sehingga, semakin tinggi kecerdasan emosional mahasiswa baru,
akan semakin tinggi pula problem focused coping-nya.