bab ii lasus

51
BAB I LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : R. Sdr Umur : 18 tahun Jenis kelamin : laki-laki Suku bangsa : Jawa Agama : Islam Alamat : Asrama Tanggal masuk : 13 Agustus 2014 Alloanamnesis : 13 Agustus 2014 Nomor Rekam Medik : 007078 II. SUBJEKTIF 1. Keluhan Utama Bentol – bentol pada daerah kedua tangan Onset :dirasakan sudah 2 minggu belakangan ini Memperingan :dengan tidak menggaruk Memperberat :semakin gatal pada saat lingkungan berdebu dan dingin. Lebih sering pada malam hari dan 1

Upload: shalikhafitriah

Post on 07-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Lasus

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : R. Sdr

Umur : 18 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Alamat : Asrama

Tanggal masuk : 13 Agustus 2014

Alloanamnesis : 13 Agustus 2014

Nomor Rekam Medik : 007078

II. SUBJEKTIF

1. Keluhan Utama

Bentol – bentol pada daerah kedua tangan

Onset :dirasakan sudah 2 minggu belakangan ini

Memperingan :dengan tidak menggaruk

Memperberat :semakin gatal pada saat lingkungan berdebu dan

dingin. Lebih sering pada malam hari dan saat suhu

lingkungan menurun.

2. Keluhan tambahan

gatal, nyeri bila ditekan, baal

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli kulit dengan keluhan bentol-bentol sejak 2

minggu yang lalu, bentol awal nya hanya muncul sebesar koin logam

1

Page 2: BAB II Lasus

lama- kelamaan menjadi membesar. Bentol dirasa gatal yang hilang

timbul. Jika digaruk gatal bertambah. Bentol dirasakan nyeri jika

ditekan kuat. Bentol tersebut juga dirasakan tebal dan kurang sensitif

bila di pegang.

Keluhan dirasakan semakin memberat ketika lingkungan kurang

bersih yang berdebu dan pada lingkungan dengan suhu yang menurun.

4. Riwayat penyakit dahulu

a. Riwayat keluhan serupa : diakui , 2 bulan lalu

b. Riwayat asma : disangkal

c. Riwayat alergi : diakui alergi debu dan suhu dingin

5. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat asma : disangkal

c. Riwayat alergi : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi

a. Home

Pasien tinggal di asrama.

b. Personal habit

Pasien sehari teratur 3 kali dengan menu yaitu nasi, sayur, lauk-

pauk dan sering minum susu setelah makan.

III. OBJEKTIF

Pemeriksaan Fisik

o Keadaan Umum : baik

o Kesadaran : compos mentis

o BB : 75 kg

o TB : 176

o BMI : 24,21

2

Page 3: BAB II Lasus

o Status Generalis

o Kepala : dalam batas normal

o Pulmo : dalam batas normal

o Cor : dalam batas normal

o Abdomen : dalam batas normal

o Ekstremitas : dalam batas normal

Status dermatologis :

- Predileksi : Pada bagian ekstensor daerah cubiti dextra dan sinistra

- Efloresensi dextra et sinistra :

o Eritema dengan edema berbatas tegas, ukuran

lentikular sampai plakat (Urtika)

Pemeriksaan penunjang : -Tidak dilakukan-

o Pemeriksaan darah rutin

o Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, complenen

o Test kulit ( uji gores, uji tusuk, tes intradeermal

untuk mencari alergen inhalan, makanan, dermatofit dan kandida.

o Test elminasi makanan

IV. ASSESSMENT

1. Diagnosis Kerja:

Urtikaria

2. Diagnosis Banding

Purpura anafilaktoid

Pitiriasis rosea bentuk papular

Urtikaria pigmentosa

V. PLANNING

Terapi

a. Farmakologi

- Ranitidin tab 150 mg

3

Page 4: BAB II Lasus

∫ 2 dd tab 1 . ac

- Interhistin 50 mg

∫ 2 dd tab 1 . pc

- Loratadin tab 10 mg

∫ 2 dd tab 1 . pc

b. Non Farmakologi

- Menghindari pencetus debu dan udara dingin

- Meningkatkan higienitas

.

Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

4

Page 5: BAB II Lasus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit

Anatomi Kulit

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh.

Lapisan luar kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis

atau korium.

Epidermis terdiri atas lima lapisan yaitu stratum korneum, stratum

lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale

(stratum germinativum). Fungsi epidermis sebagai proteksi barier,

organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi

sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel langerhans).5

Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papiler dan lapisan

retikuler yang merupakan lapisan tebal terdiri dari jaringan ikat padat.

Fungsi dermis berfungsi sebagai struktur penunjang, mechanical strength,

suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. Subkutis

merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari

lapisan lemak, berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk

regenerasi.5

5

Gambar 1. Lapisan Epidermis Kulit.

Page 6: BAB II Lasus

Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh

diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi

lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),

sensasi, eskresi, dan metabolisme.

Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari

elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi

mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan

keseimbangan cairan elektrolit.

B. Urtikaria

Urtikaria atau dikenal juga dengan “hives” adalah kondisi kelainan kulit berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya disebabkan oleh suatu reaksi alergi, yang mempunyai karakteristik gambaran kulit kemerahan (eritema) dengan sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan menghilang perlahan-lahan. Dalam istilah awam lebih dikenal dengan istilah “kaligata” atau “biduran”.

6

Gambar 2. Anatomi Kulit.

Page 7: BAB II Lasus

Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.

C. Epidemiologi

Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Usia, ras,

jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi agen

predisposisi bagi urtikaria. Berdasarkan data dari National Ambulatory

Medical Care Survey dari tahun 1990 sampai dengan 1997 di USA, wanita

terhitung 69% dari semua pasien urtikaria yang datang berobat ke pusat

kesehatan. Distribusi usia paling sering adalah 0-9 tahun dan 30-40 tahun.

Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. Paling

sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi merugikan atau

efek samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Episode

urtikaria yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik dan paling

sering adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena

autoimun. Sekitar 50% pasien dengan urtiakria sendirian tanpa lesi kulit

lainnya dapat bebas dari lesi dalam 1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan 85%

dalam 5 tahun; kurang dari 5% lesi hilang lebih dari 10 tahun.

Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan

bahwa urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25%

populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic

urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya.

Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden

urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data

epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut

paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih

sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.

Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada

7

Page 8: BAB II Lasus

perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik

berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.

Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih

dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara

signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang

dari 500.000.

D. Etiologi

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.

Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:

1. Obat

Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara

imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin,

sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I

atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang

sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.

2. Makanan

Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya

akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria

adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang,

dan semangka.

3. Gigitan atau sengatan serangga

Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat,

hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).

4. Bahan fotosenzitiser

Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid,

bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.

8

Page 9: BAB II Lasus

5. Inhalan

Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap,

bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria

alergik (tipe I).

6. Kontaktan

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang,

serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan

kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan

kosmetik.

7. Trauma Fisik

Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor

tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik

maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan

benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena

ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.

8. Infeksi dan infestasi

Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya

infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.

9. Psikis

Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan

peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .

10. Genetik

Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang

menunjukkan penurunan autosomal dominant.

11. Penyakit sistemik

Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan

urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.

E. Klasifikasi

9

Page 10: BAB II Lasus

Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis

daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau

patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.3 Terdapat

bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan

berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang

lain tampak pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria

Ordinary urticarias

Acute urticaria

Chronic urticaria

Contact urticaria

Physical urticarias

Dermatographism

Delayed dermatographism

Pressure urticaria

Cholinergic urticaria

Vibratory angioedema

Exercise-induced urticaria

Adrenergic urticaria

Delayed-pressure urticaria

Solar urticaria

Aquagenic urticaria

Cold urticaria

Special syndromes

Schnitzler syndrome

Muckle-Wells syndrome

Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy

Urticarial vasculitis

1. Urtikaria Akut

10

Page 11: BAB II Lasus

Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6

minggu atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.

Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada

anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien

dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.

2. Urtikaria Kronik

Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6

minggu, pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya

harian) selama lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36

jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait

dengan kualitas hidup.

3. Urtikaria Kontak

Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial

wheals di tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit

atau mukosa. Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi

(melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-independen).3

4. Urtikaria Fisik

a. Dermographism

Dermographism merupakan bentuk paling sering dari

urtikaria fisik dan merupakan suatu edema setempat berbatas tegas

yang biasanya berbentuk linier yang tepinya eritem yang muncul

beberapa detik setelah kulit digores. Dermographism tampak

sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran

yang sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam

30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus sehingga

bekas garukan dapat muncul.

b. Delayed dermographism

11

Gambar 3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear

Page 12: BAB II Lasus

Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi,

baik dengan atau tanpa immediate reaction, dan berlangsung

sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi

ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9

c. Delayed pressure urticaria

Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi

erythematous, edema lokal, sering disertai nyeri, yang timbul

dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode

spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah

sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah

mengerjakan pekerjaan dengan tangan.

d. Vibratory angioedema

Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan

idiopatik didapat, dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria,

atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi okupasional

seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-

getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal

dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering

disertai dengan flushing pada wajah.

e. Cold urticaria

Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan

diturunkan (herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit

setelah paparan yang meliputi perubahan dalam temperatur

lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara

paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5

jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam.

12

Gambar 4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.

Page 13: BAB II Lasus

f. Cholinergic urticaria

Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti

tubuh. Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap

sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat,

ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema

sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.

g. Local heat urticaria

Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana

biduran terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas

secara lokal, biasanya muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas

diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar,

tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10

13

Gambar 5. Cold Urticaria.

Gambar 6. Cold Urticaria.

Gambar 7. Local Heat Urticaria.

Page 14: BAB II Lasus

h. Solar urticaria

Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan

pruritus, dan kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam

beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari atau sumber

cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan

neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan

sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.9

i. Exercise-induced anaphylaxis

Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang

kompleks terdiri dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus,

laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari cholinergic

urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan

olahraga/exercise sebagai stimulusnya.

14

Gambar 8. Solar Urticaria.

Gambar 9. Exercise-induced anaphylaxis.

Page 15: BAB II Lasus

j. Adrenergic urticaria

Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang

dikelilingi oleh white halo yang terjadi selama stress emosional.

Adrenergic urticaria terjadi karena peran norepinefrin. Biasanya

muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus seperti

emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.

k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus

Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan

urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena

bertindak sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut

air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan

cholinergic urticaria.

4. Sindrom Khusus

a. Schnitzler syndrome

Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis

yang ditandai oleh pruritic non-wheals yang berulang, demam

intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau radang sendi, terdapat

peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan monoclonal

IgM gammopathy.

b. Muckle-Wells syndrome

Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang

berhubungan dengan autoinflammatory yang ditandai dengan

urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural yang progresif, dan

amiloidosis.

c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy

Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria

dan plak disertai gatal yang dikenal dengan Pruritic Urticarial

15

Page 16: BAB II Lasus

Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP). Erupsi muncul secara

tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari dapat

menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.

d. Urticarial vasculitis

Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari

urtikaria kronis. Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari

urticarial vasculitis cenderung bertahan lebih lama dari 24 jam dan

berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini juga

digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura

karena garukan.

F. Patofisiologi

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang

meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan

pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema

setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator

misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of

anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2

Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang

sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10).

Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono

phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator.

Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-

obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik

berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin,

dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum

diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan

mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X,

dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan

misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang

16

Page 17: BAB II Lasus

langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas.2

Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada

yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel

basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan

dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan

mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),

misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan,

aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif

menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu

merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau

toksin bakteri.

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi

sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat

anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya

setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan

sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik

menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

17

Pengaruh komplemen

Reaksi tipe IV (kontaktan)

Reaksi tipe I (IgE)

(inhalan, obat, makanan,

Bahan kimia pelepas mediator

Faktor fisik

(panas, dingin, trauma,

FAKTOR IMUNOLOGIKFAKTOR NON IMUNOLOGIK

Page 18: BAB II Lasus

G. Gejala dan Tanda

1. Gejala

Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:

a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.

b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.

18

Page 19: BAB II Lasus

c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru

dapat mucul seterusnya.

d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri

perut diare, muntah dan nyeri kepala.

2. Tanda

Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:

a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan

kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat.

b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.

c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala

hipotensi, respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal

distress.

d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih

jika ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang

dapat meninggalkan perubahan pigmentasi.

e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores

dengan objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan

eritema dalam 5-15 menit.

f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada

angioedema.

H. Diagnosis Banding

1. Angioedema

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh

meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit,

lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang terjadi pada saluran

napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh

mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada

angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan

subkutaneus. Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan

eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak

19

Page 20: BAB II Lasus

pada urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan

biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran nafas dan

saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen

berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema

laring.

2. Pitiriasis rosea

Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak

sering dijumpai. Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong

dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi

oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh,

terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa

makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi

hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak

berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan

kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi inisial

(herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular,

berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.

3. Urtikaria pigmentosa

Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa

hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai

pembengkakan dan rasa gatal. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit

pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai

ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-

kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh,

dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.

4. Dermatitis atopik

Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu

dengan riwayat atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu

riwayat asma bronchial, rhinitis alergika, dan reaksi alergi terhadap

serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi

20

Page 21: BAB II Lasus

faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit.

Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul

sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.

Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul papul,

likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Diagnosis

dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria

minor dari Hanifin dan Rajka.

5. Dermatitis kontak alergi

Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh

bahan/substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah

mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya

mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut

dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian

diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula

dapat pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang

kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan

mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.

I. Diagnosis

1. Anamnesis

Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam,

dan gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai

akut, rekuren, atau kronik.

Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-

alergi adalah sebagai berikut:

a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada

makanan baru yang ditambahkan dalam menu makanan?

b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau

menggunakan obat baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut?

21

Page 22: BAB II Lasus

c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat

penyakit kronik?

d. Apakah pasien sedang hamil?

e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas,

dingin, tekanan, vibrasi?

f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup

atau kontak dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat

kerja?

g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan

serangga?

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:

a. Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.

b. Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas

dengan elevasi kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak

pucat.

c. Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.

d. Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.

e. Dermographism.

Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang

memungkinkan menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi

mengancam nyawa, diantaranya adalah:

a. Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada

anak-anak.

b. Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.

c. Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang

mengindikasikan adanya hepatitis atau penyakit kolestatik hati.

d. Pembesaran kelenjar tiroid.

e. Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.

f. Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit

jaringan penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus

erythematosus (SLE).

22

Page 23: BAB II Lasus

g. Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau

bronchospasm (asthma).

h. Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau

jamur.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada

tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat

dalam. Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat untuk

mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta.

Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi,

elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan

urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis.

Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting

pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria. Cryoglubulin

dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.

b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan

vagina.

Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi

fokal.

c. Tes Alergi

Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi

dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan

pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs).

Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri

(autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes

penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya

faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies.

d. Tes Provokasi

Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik,

bila tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif.

23

Page 24: BAB II Lasus

Namun demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan secara

hati-hati untuk menjamin keamanannya.

e. Tes eleminasi makanan

Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan

yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya

kembali satu demi satu.

f. Tes foto tempel

Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat

sinar.

g. Suntikan mecholyl intradermal

Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa

urtikaria kolinergik.

h. Tes fisik

Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat

apabila dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.

i. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu

diagnosis. Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu

dramatis. Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada dermis

mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-

serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain

itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis

dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu

terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin

sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit

yang bersangkutan.

Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut

dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran

infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit, polymorphonuclear

leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.

Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi

dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris

24

Page 25: BAB II Lasus

yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis

pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat

keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke

vaskulitik (parah).

J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy,

second-line therapy, dan third-line therapy.

First-line therapy

First-line therapy terdiri dari:

1. Edukasi kepada pasien:

a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan

menggunakan bahasa verbal atau tertulis.

b. Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria

yang tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi

yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak

dapat ditemukan.

2. Langkah non medis secara umum, meliputi:

a. Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas,

stres, alcohol, dan agen fisik.

b. Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE

inhibitor.

c. Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan

urtikaria.

d. Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1%

atau 2%.

3. Antagonis reseptor histamin

Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya

menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat

bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas

yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara

klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema

25

Page 26: BAB II Lasus

dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor

H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek

samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya

terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat

terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai

antihistamin nonklasik.

Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah

terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin.

Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak

dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek

maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan

aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.

Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1

yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah

pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal

sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain

AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak

dapat menembus sawar darah otak.2

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan

pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada

kulit adalah tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak

digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada pruritus.

Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine,

nizatidine, dan famotidine.3

Second-line therapy

Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-

line therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan

non-farmakologi.

1. Photochemotherapy

26

Page 27: BAB II Lasus

Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen

plus UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian

menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola

urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.

2. Antidepresan

Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis

reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit

mempunyai efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan

urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan

urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk

pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi

hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis.

Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan

pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan

untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-

pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.

3. Kortikosteroid

Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin

mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping

bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya

respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon,

maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya,

keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat

digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon

dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral

(diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering)

atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan

untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.

Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang

pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti

hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.

27

Page 28: BAB II Lasus

Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,

methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah

menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan

dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari

dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4

dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler,

diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau

dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari

PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat

membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan

dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8

mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.

4. Leukotriene Receptor Antagonist

Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan

mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan

urtikaria kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor

antagonist seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan

keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan

pasien dengan urtikaria kronik.

5. Antagonis saluran kalsium

Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan

whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri

atau dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin

berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast

kutaneus.

6. Third-line therapy

Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang

tidak berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line

therapy menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi

cyclosporine, tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide,

mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).

28

Page 29: BAB II Lasus

Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai

bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya

meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol (salbutamol),

asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan

warfarin.

7. Immunomudulatory Agents

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam

mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter.

Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat

pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon

terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari

dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.

Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen

pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun

mekanisme yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa

IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan

IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau

memperbanyak klirens IgG endogen.

8. Plasmapheresis

Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan

urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak

cukup untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang

melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya

dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.

9. Obat lainnya

Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam

mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis,

tetapi mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis.

Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan

29

Page 30: BAB II Lasus

dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan

dengan respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial

vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist terbutaline telah

dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya

umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan

insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.

30

URTIKARIA

Third-line TherapySecond-line TherapyFirst-line Therapy

Gambar 11. Alur Penatalaksanaan Urtikaria.

URTIKARIA

Third-line Therapy

Immunomodulatory agent

Cyclosporine TacrolimusPlasmapheresis

Obat lain:

Colchicine Dapsone

Second-line Therapy

Farmakologi

Non-farmakologi

PUVA Antidepresan Kortikosteroid Leukotriene

First-line Therapy

Edukasi Langkah non-

medis ↓

Antihistamin H1 non sedatif

+

Tambahan obat:

antihistamin H1 pada malam hari, antidepresan

NAC

Antihistamin H1 non sedatif

NAC

Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit

(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)

Identifikasi dan menghilangkan penyebab.

Page 31: BAB II Lasus

penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non

sedatif. Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif

menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai

tambahan antihistamin H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan

kortikosteroid jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus

penyakit.

K. Prognosis

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat

diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya

sulit dicari.

31

Third-line TherapySecond-line TherapyFirst-line Therapy

Page 32: BAB II Lasus

BAB IIIPEMBAHASAN

Pada kasusini dapat kita temukan dari anamnesa dan pemeriksaan

fisik yang dilakukan. Dari anamnesa pasien mengeluhkan keluarnya

bentol-bentol kurang lebih selama sejak 2 minggu di bagian lengan

kanan dan kiri, bentol dirasakan gatal , nyeri bila ditekan dan terasa

baal. bentol awal nya hanya muncul sebesar koin logam lama-

kelamaan menjadi membesar. Bentol dirasa gatal yang hilang timbul.

Jika digaruk gatal bertambah. Bentol dirasakan nyeri jika ditekan kuat.

Bentol tersebut juga dirasakan tebal dan kurang sensitif bila di pegang.

Keluhan dirasakan semakin memberat ketika lingkungan kurang bersih

yang berdebu dan pada lingkungan dengan suhu yang menurun.

32

Page 33: BAB II Lasus

Riwayat keluhan yang sama di akui 2 bulan yang lalu sudah di berikan

pengobatan dan sembuh. Riwayat asma disangkal. Riwayat alergi

diakui alergi debu dan dingin. Riwayat Atopi di keluarga disangkal.

Dari pemeriksaan Fisik keadaan umum baik, kesadaran compos

mentis dan BMI normal 24, 21. Status generalis dtemukan dalam batas

normal. Status dermatologis tempat predileksi yaiutu pada bagian

ekstensor daerah cubiti dextra dan sinistra. Efloresensi dextra et sinistra

yang ditemukan yaitu eritema dengan edema berbatas tegas, ukuran

lentikular sampai plakat (Urtika).

Pemeriksaan penunjang pada kasus ini tidak dilakukan.

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat kita simpulkan

bahwa pasien R, sdr menderita penyakit urtikaria sebagai penectus nya

lingkungan yang berdebu dan suhu lingkungan yang dingin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 17 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print

2. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.

4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print

33

Page 34: BAB II Lasus

5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-penyembuhan.html

6. Anonim. (2009). Epidermal Layer. Wordpress, Gambar. Diakses 16 Desember 2009, dari http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg

7. Anonim. (2009). Skin Anatomy and Physiology. Gambar. Diakses 16 desember 2009, dari http://www.essentialdayspa.com/images/emerginc/Skin_Anathomy_and_Physiology.gif

8. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220

9. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 15 desember 2009, dari http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc

10. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html

11. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 16 Desember 2009, dari http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg

12. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg

13. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg

14. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg

15. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf

34

Page 35: BAB II Lasus

16. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf

17. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.

18. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html

19. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.

20. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UMY.

35