bab ii lasus
DESCRIPTION
kulitTRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : R. Sdr
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Asrama
Tanggal masuk : 13 Agustus 2014
Alloanamnesis : 13 Agustus 2014
Nomor Rekam Medik : 007078
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Bentol – bentol pada daerah kedua tangan
Onset :dirasakan sudah 2 minggu belakangan ini
Memperingan :dengan tidak menggaruk
Memperberat :semakin gatal pada saat lingkungan berdebu dan
dingin. Lebih sering pada malam hari dan saat suhu
lingkungan menurun.
2. Keluhan tambahan
gatal, nyeri bila ditekan, baal
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli kulit dengan keluhan bentol-bentol sejak 2
minggu yang lalu, bentol awal nya hanya muncul sebesar koin logam
1
lama- kelamaan menjadi membesar. Bentol dirasa gatal yang hilang
timbul. Jika digaruk gatal bertambah. Bentol dirasakan nyeri jika
ditekan kuat. Bentol tersebut juga dirasakan tebal dan kurang sensitif
bila di pegang.
Keluhan dirasakan semakin memberat ketika lingkungan kurang
bersih yang berdebu dan pada lingkungan dengan suhu yang menurun.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui , 2 bulan lalu
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : diakui alergi debu dan suhu dingin
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Home
Pasien tinggal di asrama.
b. Personal habit
Pasien sehari teratur 3 kali dengan menu yaitu nasi, sayur, lauk-
pauk dan sering minum susu setelah makan.
III. OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik
o Keadaan Umum : baik
o Kesadaran : compos mentis
o BB : 75 kg
o TB : 176
o BMI : 24,21
2
o Status Generalis
o Kepala : dalam batas normal
o Pulmo : dalam batas normal
o Cor : dalam batas normal
o Abdomen : dalam batas normal
o Ekstremitas : dalam batas normal
Status dermatologis :
- Predileksi : Pada bagian ekstensor daerah cubiti dextra dan sinistra
- Efloresensi dextra et sinistra :
o Eritema dengan edema berbatas tegas, ukuran
lentikular sampai plakat (Urtika)
Pemeriksaan penunjang : -Tidak dilakukan-
o Pemeriksaan darah rutin
o Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, complenen
o Test kulit ( uji gores, uji tusuk, tes intradeermal
untuk mencari alergen inhalan, makanan, dermatofit dan kandida.
o Test elminasi makanan
IV. ASSESSMENT
1. Diagnosis Kerja:
Urtikaria
2. Diagnosis Banding
Purpura anafilaktoid
Pitiriasis rosea bentuk papular
Urtikaria pigmentosa
V. PLANNING
Terapi
a. Farmakologi
- Ranitidin tab 150 mg
3
∫ 2 dd tab 1 . ac
- Interhistin 50 mg
∫ 2 dd tab 1 . pc
- Loratadin tab 10 mg
∫ 2 dd tab 1 . pc
b. Non Farmakologi
- Menghindari pencetus debu dan udara dingin
- Meningkatkan higienitas
.
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit
Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh.
Lapisan luar kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis
atau korium.
Epidermis terdiri atas lima lapisan yaitu stratum korneum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale
(stratum germinativum). Fungsi epidermis sebagai proteksi barier,
organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi
sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel langerhans).5
Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papiler dan lapisan
retikuler yang merupakan lapisan tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Fungsi dermis berfungsi sebagai struktur penunjang, mechanical strength,
suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. Subkutis
merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak, berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk
regenerasi.5
5
Gambar 1. Lapisan Epidermis Kulit.
Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi, dan metabolisme.
Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari
elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi
mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan
keseimbangan cairan elektrolit.
B. Urtikaria
Urtikaria atau dikenal juga dengan “hives” adalah kondisi kelainan kulit berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya disebabkan oleh suatu reaksi alergi, yang mempunyai karakteristik gambaran kulit kemerahan (eritema) dengan sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan menghilang perlahan-lahan. Dalam istilah awam lebih dikenal dengan istilah “kaligata” atau “biduran”.
6
Gambar 2. Anatomi Kulit.
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.
C. Epidemiologi
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Usia, ras,
jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi agen
predisposisi bagi urtikaria. Berdasarkan data dari National Ambulatory
Medical Care Survey dari tahun 1990 sampai dengan 1997 di USA, wanita
terhitung 69% dari semua pasien urtikaria yang datang berobat ke pusat
kesehatan. Distribusi usia paling sering adalah 0-9 tahun dan 30-40 tahun.
Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. Paling
sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi merugikan atau
efek samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Episode
urtikaria yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik dan paling
sering adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena
autoimun. Sekitar 50% pasien dengan urtiakria sendirian tanpa lesi kulit
lainnya dapat bebas dari lesi dalam 1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan 85%
dalam 5 tahun; kurang dari 5% lesi hilang lebih dari 10 tahun.
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan
bahwa urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25%
populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic
urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya.
Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden
urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data
epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut
paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih
sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada
7
perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik
berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.
Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih
dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara
signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang
dari 500.000.
D. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin,
sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I
atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang
sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria
adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang,
dan semangka.
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat,
hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid,
bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
8
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap,
bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe I).
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang,
serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan
kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan
kosmetik.
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor
tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik
maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan
benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena
ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya
infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominant.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan
urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.
E. Klasifikasi
9
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis
daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau
patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.3 Terdapat
bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan
berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang
lain tampak pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria
Ordinary urticarias
Acute urticaria
Chronic urticaria
Contact urticaria
Physical urticarias
Dermatographism
Delayed dermatographism
Pressure urticaria
Cholinergic urticaria
Vibratory angioedema
Exercise-induced urticaria
Adrenergic urticaria
Delayed-pressure urticaria
Solar urticaria
Aquagenic urticaria
Cold urticaria
Special syndromes
Schnitzler syndrome
Muckle-Wells syndrome
Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy
Urticarial vasculitis
1. Urtikaria Akut
10
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6
minggu atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.
Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada
anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien
dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6
minggu, pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya
harian) selama lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36
jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait
dengan kualitas hidup.
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial
wheals di tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit
atau mukosa. Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi
(melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-independen).3
4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari
urtikaria fisik dan merupakan suatu edema setempat berbatas tegas
yang biasanya berbentuk linier yang tepinya eritem yang muncul
beberapa detik setelah kulit digores. Dermographism tampak
sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran
yang sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam
30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus sehingga
bekas garukan dapat muncul.
b. Delayed dermographism
11
Gambar 3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi,
baik dengan atau tanpa immediate reaction, dan berlangsung
sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi
ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi
erythematous, edema lokal, sering disertai nyeri, yang timbul
dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode
spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah
sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah
mengerjakan pekerjaan dengan tangan.
d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan
idiopatik didapat, dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria,
atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi okupasional
seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-
getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal
dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering
disertai dengan flushing pada wajah.
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan
diturunkan (herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit
setelah paparan yang meliputi perubahan dalam temperatur
lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara
paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5
jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam.
12
Gambar 4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.
f. Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti
tubuh. Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap
sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat,
ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema
sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.
g. Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana
biduran terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas
secara lokal, biasanya muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas
diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar,
tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10
13
Gambar 5. Cold Urticaria.
Gambar 6. Cold Urticaria.
Gambar 7. Local Heat Urticaria.
h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan
pruritus, dan kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam
beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari atau sumber
cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan
neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan
sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.9
i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang
kompleks terdiri dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus,
laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari cholinergic
urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan
olahraga/exercise sebagai stimulusnya.
14
Gambar 8. Solar Urticaria.
Gambar 9. Exercise-induced anaphylaxis.
j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang
dikelilingi oleh white halo yang terjadi selama stress emosional.
Adrenergic urticaria terjadi karena peran norepinefrin. Biasanya
muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus seperti
emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan
urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena
bertindak sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut
air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan
cholinergic urticaria.
4. Sindrom Khusus
a. Schnitzler syndrome
Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis
yang ditandai oleh pruritic non-wheals yang berulang, demam
intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau radang sendi, terdapat
peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan monoclonal
IgM gammopathy.
b. Muckle-Wells syndrome
Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang
berhubungan dengan autoinflammatory yang ditandai dengan
urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural yang progresif, dan
amiloidosis.
c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria
dan plak disertai gatal yang dikenal dengan Pruritic Urticarial
15
Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP). Erupsi muncul secara
tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari dapat
menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.
d. Urticarial vasculitis
Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari
urtikaria kronis. Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari
urticarial vasculitis cenderung bertahan lebih lama dari 24 jam dan
berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini juga
digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura
karena garukan.
F. Patofisiologi
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan
pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema
setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang
sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10).
Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono
phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator.
Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-
obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik
berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin,
dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum
diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan
mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X,
dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan
misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang
16
langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas.2
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada
yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel
basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan
dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan
mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan,
aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif
menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu
merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau
toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi
sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat
anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya
setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan
sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik
menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
17
Pengaruh komplemen
Reaksi tipe IV (kontaktan)
Reaksi tipe I (IgE)
(inhalan, obat, makanan,
Bahan kimia pelepas mediator
Faktor fisik
(panas, dingin, trauma,
FAKTOR IMUNOLOGIKFAKTOR NON IMUNOLOGIK
G. Gejala dan Tanda
1. Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:
a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.
18
c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru
dapat mucul seterusnya.
d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri
perut diare, muntah dan nyeri kepala.
2. Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:
a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan
kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala
hipotensi, respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal
distress.
d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih
jika ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang
dapat meninggalkan perubahan pigmentasi.
e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores
dengan objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan
eritema dalam 5-15 menit.
f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada
angioedema.
H. Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh
meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit,
lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang terjadi pada saluran
napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh
mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada
angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan
subkutaneus. Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan
eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak
19
pada urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan
biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran nafas dan
saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen
berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema
laring.
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak
sering dijumpai. Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong
dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi
oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh,
terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa
makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi
hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak
berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan
kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi inisial
(herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular,
berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa
hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai
pembengkakan dan rasa gatal. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit
pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai
ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-
kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh,
dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu
dengan riwayat atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu
riwayat asma bronchial, rhinitis alergika, dan reaksi alergi terhadap
serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
20
faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit.
Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.
Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul papul,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Diagnosis
dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria
minor dari Hanifin dan Rajka.
5. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya
mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang
kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan
mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.
I. Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam,
dan gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai
akut, rekuren, atau kronik.
Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-
alergi adalah sebagai berikut:
a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada
makanan baru yang ditambahkan dalam menu makanan?
b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau
menggunakan obat baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut?
21
c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat
penyakit kronik?
d. Apakah pasien sedang hamil?
e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas,
dingin, tekanan, vibrasi?
f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup
atau kontak dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat
kerja?
g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan
serangga?
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:
a. Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
b. Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas
dengan elevasi kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak
pucat.
c. Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
d. Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
e. Dermographism.
Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang
memungkinkan menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi
mengancam nyawa, diantaranya adalah:
a. Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada
anak-anak.
b. Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.
c. Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang
mengindikasikan adanya hepatitis atau penyakit kolestatik hati.
d. Pembesaran kelenjar tiroid.
e. Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.
f. Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit
jaringan penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus
erythematosus (SLE).
22
g. Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau
bronchospasm (asthma).
h. Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau
jamur.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada
tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat
dalam. Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta.
Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi,
elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan
urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis.
Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting
pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria. Cryoglubulin
dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan
vagina.
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi
fokal.
c. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi
dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan
pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs).
Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri
(autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes
penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya
faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies.
d. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik,
bila tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif.
23
Namun demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan secara
hati-hati untuk menjamin keamanannya.
e. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan
yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya
kembali satu demi satu.
f. Tes foto tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat
sinar.
g. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa
urtikaria kolinergik.
h. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat
apabila dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.
i. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu
diagnosis. Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu
dramatis. Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada dermis
mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-
serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain
itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis
dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu
terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin
sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit
yang bersangkutan.
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut
dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran
infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit, polymorphonuclear
leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi
dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris
24
yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis
pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat
keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke
vaskulitik (parah).
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy,
second-line therapy, dan third-line therapy.
First-line therapy
First-line therapy terdiri dari:
1. Edukasi kepada pasien:
a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan
menggunakan bahasa verbal atau tertulis.
b. Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria
yang tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi
yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak
dapat ditemukan.
2. Langkah non medis secara umum, meliputi:
a. Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas,
stres, alcohol, dan agen fisik.
b. Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE
inhibitor.
c. Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan
urtikaria.
d. Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1%
atau 2%.
3. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya
menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat
bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas
yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara
klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema
25
dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor
H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek
samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya
terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat
terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai
antihistamin nonklasik.
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah
terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin.
Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak
dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek
maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan
aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.
Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1
yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah
pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal
sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain
AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak
dapat menembus sawar darah otak.2
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan
pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada
kulit adalah tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak
digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada pruritus.
Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine,
nizatidine, dan famotidine.3
Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-
line therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan
non-farmakologi.
1. Photochemotherapy
26
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen
plus UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola
urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
2. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit
mempunyai efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan
urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan
urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk
pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi
hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis.
Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan
pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan
untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-
pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.
3. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin
mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping
bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya
respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon,
maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya,
keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat
digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon
dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral
(diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering)
atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan
untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang
pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti
hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.
27
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,
methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah
menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan
dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari
dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4
dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler,
diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau
dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari
PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat
membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan
dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.
4. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan
mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan
urtikaria kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor
antagonist seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan
keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan
pasien dengan urtikaria kronik.
5. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan
whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri
atau dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin
berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast
kutaneus.
6. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang
tidak berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line
therapy menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi
cyclosporine, tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide,
mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).
28
Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai
bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya
meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol (salbutamol),
asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan
warfarin.
7. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter.
Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat
pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon
terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari
dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen
pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun
mekanisme yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa
IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan
IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau
memperbanyak klirens IgG endogen.
8. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak
cukup untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang
melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya
dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.
9. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam
mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis,
tetapi mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis.
Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan
29
dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan
dengan respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial
vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist terbutaline telah
dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya
umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan
insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.
30
URTIKARIA
Third-line TherapySecond-line TherapyFirst-line Therapy
Gambar 11. Alur Penatalaksanaan Urtikaria.
URTIKARIA
Third-line Therapy
Immunomodulatory agent
Cyclosporine TacrolimusPlasmapheresis
Obat lain:
Colchicine Dapsone
Second-line Therapy
Farmakologi
Non-farmakologi
PUVA Antidepresan Kortikosteroid Leukotriene
First-line Therapy
Edukasi Langkah non-
medis ↓
Antihistamin H1 non sedatif
+
Tambahan obat:
antihistamin H1 pada malam hari, antidepresan
NAC
Antihistamin H1 non sedatif
NAC
Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit
(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)
Identifikasi dan menghilangkan penyebab.
penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non
sedatif. Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif
menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai
tambahan antihistamin H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan
kortikosteroid jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus
penyakit.
K. Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya
sulit dicari.
31
Third-line TherapySecond-line TherapyFirst-line Therapy
BAB IIIPEMBAHASAN
Pada kasusini dapat kita temukan dari anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang dilakukan. Dari anamnesa pasien mengeluhkan keluarnya
bentol-bentol kurang lebih selama sejak 2 minggu di bagian lengan
kanan dan kiri, bentol dirasakan gatal , nyeri bila ditekan dan terasa
baal. bentol awal nya hanya muncul sebesar koin logam lama-
kelamaan menjadi membesar. Bentol dirasa gatal yang hilang timbul.
Jika digaruk gatal bertambah. Bentol dirasakan nyeri jika ditekan kuat.
Bentol tersebut juga dirasakan tebal dan kurang sensitif bila di pegang.
Keluhan dirasakan semakin memberat ketika lingkungan kurang bersih
yang berdebu dan pada lingkungan dengan suhu yang menurun.
32
Riwayat keluhan yang sama di akui 2 bulan yang lalu sudah di berikan
pengobatan dan sembuh. Riwayat asma disangkal. Riwayat alergi
diakui alergi debu dan dingin. Riwayat Atopi di keluarga disangkal.
Dari pemeriksaan Fisik keadaan umum baik, kesadaran compos
mentis dan BMI normal 24, 21. Status generalis dtemukan dalam batas
normal. Status dermatologis tempat predileksi yaiutu pada bagian
ekstensor daerah cubiti dextra dan sinistra. Efloresensi dextra et sinistra
yang ditemukan yaitu eritema dengan edema berbatas tegas, ukuran
lentikular sampai plakat (Urtika).
Pemeriksaan penunjang pada kasus ini tidak dilakukan.
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat kita simpulkan
bahwa pasien R, sdr menderita penyakit urtikaria sebagai penectus nya
lingkungan yang berdebu dan suhu lingkungan yang dingin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 17 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
33
5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-penyembuhan.html
6. Anonim. (2009). Epidermal Layer. Wordpress, Gambar. Diakses 16 Desember 2009, dari http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg
7. Anonim. (2009). Skin Anatomy and Physiology. Gambar. Diakses 16 desember 2009, dari http://www.essentialdayspa.com/images/emerginc/Skin_Anathomy_and_Physiology.gif
8. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220
9. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 15 desember 2009, dari http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc
10. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html
11. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 16 Desember 2009, dari http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg
12. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg
13. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg
14. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
15. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
34
16. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
17. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
18. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html
19. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.
20. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UMY.
35