bab ii landasan teori - sinta.unud.ac.id ii.pdf · destinasi pariwisata (tourism destination)...

37
26 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Konsepsi tentang Destinasi Pariwisata A. Pengertian Destinasi Pariwisata Destinasi pariwisata (tourism destination) merupakan salah satu elemen yang paling penting dalam sistem kepariwisataan karena menjadi pull motivation bagi wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata serta daya tarik dan atraksi wisata destinasi tersebut akan mengiming-imingi wisatawan untuk berkunjung (Cooper, dkk. 1993). Destinasi pariwisata adalah satu kesatuan wilayah geografis, di dalamnya terdapat berbagai atraksi sebagai daya tarik wisata, sarana dan prasarana wisata serta aksessibilitas yang memadai, sehingga wilayah tersebut dengan mudah dapat dikunjungi wisatawan. Ritchie & Geoffrey (1993) berpendapat bahwa destinasi pariwisata itu bersifat multidimensional dengan penekanan pada keragaman unsur fasilitas dan jasa pariwisata dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, ditandai oleh banyaknya atribut yang melekat pada destinasi tersebut. Dalam pandangan ahli lain, destinasi pariwisata dikatakan memiliki tiga unsur penting, yakni: tempat atau lokasi khusus, manajemen dan organisasi. Definisi selengkapnya adalah destinasi pariwisata merupakan suatu wilayah yang secara khusus ditetapkan dan dipromosikan sebagai tempat berkunjung bagi wisatawan, dan di dalamnya seluruh produk pariwisata dikoordinasikan oleh satu organisasi tertentu (European Communities, 2003). Dalam rangka pengembangan

Upload: nguyendung

Post on 17-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

26

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Konsepsi tentang Destinasi Pariwisata

A. Pengertian Destinasi Pariwisata

Destinasi pariwisata (tourism destination) merupakan salah satu elemen

yang paling penting dalam sistem kepariwisataan karena menjadi pull motivation

bagi wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata serta daya tarik dan atraksi

wisata destinasi tersebut akan mengiming-imingi wisatawan untuk berkunjung

(Cooper, dkk. 1993). Destinasi pariwisata adalah satu kesatuan wilayah geografis,

di dalamnya terdapat berbagai atraksi sebagai daya tarik wisata, sarana dan

prasarana wisata serta aksessibilitas yang memadai, sehingga wilayah tersebut

dengan mudah dapat dikunjungi wisatawan. Ritchie & Geoffrey (1993)

berpendapat bahwa destinasi pariwisata itu bersifat multidimensional dengan

penekanan pada keragaman unsur fasilitas dan jasa pariwisata dalam satu kesatuan

wilayah yang utuh, ditandai oleh banyaknya atribut yang melekat pada destinasi

tersebut. Dalam pandangan ahli lain, destinasi pariwisata dikatakan memiliki tiga

unsur penting, yakni: tempat atau lokasi khusus, manajemen dan organisasi.

Definisi selengkapnya adalah destinasi pariwisata merupakan suatu wilayah yang

secara khusus ditetapkan dan dipromosikan sebagai tempat berkunjung bagi

wisatawan, dan di dalamnya seluruh produk pariwisata dikoordinasikan oleh satu

organisasi tertentu (European Communities, 2003). Dalam rangka pengembangan

27

destinasi pariwisata di Indonesia, definisi yang lebih operasional dirumuskan

dalam UU No.10 tahun 2009 yang menegaskan bahwa:

“.........destinasi pariwisata merupakan kawasan geografis yang

berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya

terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,

aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi

terwujudnya kepariwisataan.

Syarat utama agar suatu wilayah dapat digolongkan sebagai destinasi

pariwisata adalah daerah tersebut harus memiliki : tourist attraction, accessibility

amenities, dan tourist organization (Bukart & Medlik, 1976). Ahli pariwisata

lain Gunn & Var (2002) menyatakan bahwa destinasi pariwisata merupakan

tempat atau lokasi yang selain memiliki daya tarik yang dapat dilihat oleh

wisatawan, juga tersedia berbagai aktivitas yang dapat dilakukan wisatawan di

tempat tersebut, sehingga wisatawan terpikat untuk berkunjung. Cooper, et al

(1993) menyatakan bahwa destinasi terdiri atas beberapa komponen yaitu:

1). Attraction, 2). Accessibility, 3). Amenities dan 4). Ancillary Service. Ke empat

komponen destinasi yang diungkapkan Cooper, et al (1993) ini pada dasarnya

tidak berbeda dengan yang diungkapkan oleh Burkart & Medlik (1976).

Perbedaannya hanya terletak pada penyebutan komponen ke-4, dimana tourist

organization menurut Burkart & Medlik (1976) disebut sebagai ancillary service

oleh Cooper et al (1993).

Mill & Morrison (2012) menggunakan istilah lain tentang destinasi ini,

yakni Destination Mix, yaitu sekumpulan elemen yang memiliki ketergantungan

satu dengan lainnya dalam menciptakan pengalaman berwisata bagi wisatawan.

Destination mix terdiri atas: 1). Attraction, 2). Facilities, 3). Infrastructure,

28

4). Transportation, dan 5). Hospitality. Sementara itu, Morrison (2013)

menyatakan secara lebih terinci bahwa destination mix terdiri atas akomodasi,

restoran, daya tarik wisata, event, transportasi, infrastruktur dan hospitality.

Pendapat Mill & Morrison (2012) dan Morrison (2013) dapat disimpulkan bahwa

produk yang harus disediakan oleh destinasi bagi pengunjungnya terdiri atas daya

tarik wisata (termasuk di dalamnya event), akomodasi, transportasi, infrastruktur

dan hospitality.

B. Kualitas Destinasi Pariwisata

Setiap destinasi pariwisata di seluruh dunia memiliki berbagai jenis

produk berbeda yang dapat ditawarkan kepada wisatawan, dimana kualitas

destinasi semakin menjadi faktor penting untuk menarik wisatawan dalam jumlah

yang lebih banyak, sehingga kualitas dengan cepat menjadi alat bersaing yang

menentukan keberhasilan industri pariwisata tersebut. Pada berbagai penelitian

pasar di bidang pariwisata menunjukkan bahwa wisatawan menuntut kualitas yang

lebih tinggi ketika mereka berwisata. Wisatawan akan memilih destinasi yang

mampu menawarkan pelayanan yang lebih baik, pengalaman berwisata yang lebih

variatif, keramahan penduduk lokal, dan harga yang reasonable guna

mendapatkan value for money. Disisi lain pengelola destinasi pariwisata dan para

pelaku usaha yang ada di dalamnya akan dihadapkan pada perubahan ekpektasi

dan tuntutan konsumen serta tingginya tingkat persaingan antar destinasi di

tingkat lokal maupun international. Kurangnya perhatian pada isu kualitas saat ini

akan membawa konsekuensi serius di kemudian hari dalam kaitannya dengan

29

menurunnya image, dan menurunnya tingkat pendapatan destinasi tersebut

(European Communities, 2003).

Kualitas destinasi salah satunya diindikasikan oleh tingkat kepuasan

wisatawan yang berkunjung ke destinasi tersebut yang tidak hanya ditentukan

oleh pengalaman mereka dalam menikmati pelayanan, namun juga lebih pada

faktor-faktor yang bersifat tidak nyata (intangible), seperti hospitality, keamanan

dan kenyamanan serta kebersihan. Oleh karena itu suksesnya sebuah destinasi

pariwisata ditentukan oleh banyak faktor independen, sehingga dibutuhkan

pendekatan terintegrasi untuk mengelola kualitas destinasi pariwisata secara

berkelanjutan. Kualitas sangat penting bagi suksesnya industri pariwisata karena

akan menjadi instrumen yang menentukan kemampuan daya saing produk

pariwisata. Produk yang berkualitas sangat penting untuk bisnis yang layak dan

keberlanjutan dari industri pariwisata. Memastikan peningkatan kualitas produk

secara konstan, apakah itu destinasi wisata secara keseluruhan maupun atraksi

individu dan layanan yang ada di dalamnya, merupakan proses yang terus

menerus. Untuk mengukur kualitas destinasi ada sejumlah tools yang digunakan,

salah satunya dikembangkan oleh European Communities (RAMBØLL Water &

Environment, Denmark, 2003) yang disebut "QUALITEST" yaitu sebuah

panduan atau manual yang menyediakan alat untuk memfasilitasi pengukuran,

pemantauan dan benchmarking kinerja kualitas dari destinasi pariwisata dan jasa

yang ada di dalamnya. Alat tersebut berisi 16 items tentang kualitas, terdiri dari

dua kelompok utama yaitu kualitas destinasi dan kualitas produk wisata yang

30

dikelompokkan menjadi dua indikator utama yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi kinerja kualitas destinasi tersebut.

Dalam model IQM (Integrated Quality Management), kualitas destinasi

pariwisata dinilai dari kombinasi empat elemen kunci dalam pendekatannya,

yakni: (a) tingkat kepuasan wisatawan, (b) tingkat kepuasan pelaku usaha

pariwisata lokal, (c) kesejahteraan masyarakat lokal, dan (d) kualitas lingkungan

hidup. Masing-masing dari ke empat komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut (RAMBØLL Water & Environment, Denmark, 2003):

1. Tingkat kepuasan wisatawan, yaitu kegiatan memantau tingkat kepuasan

wisatawan terhadap produk dan pelayanan yang diberikan oleh berbagai

usaha pariwisata maupun anggota masyarakat di destinasi;

2. Tingkat kepuasan pelaku usaha pariwisata lokal, yakni mengevaluasi

kualitas pekerjaan, kesejahteraan dan karir para karyawan serta kondisi

usaha pariwisata yang ada di destinasi;

3. Kualitas hidup masyarakat lokal, yakni kepedulian terhadap tingkat

kesejahteraan penduduk lokal yaitu mencari tahu apa yang penduduk lokal

fikirkan atau persepsikan tentang dampak pariwisata terhadap kehidupan

mereka;

4. Kualitas lingkungan hidup, mengukur dampak positif dan negatif

pariwisata terhadap lingkungan, seperti terhadap asset alam, budaya dan

buatan manusia.

31

Ketidak seimbangan salah satu dari ke empat elemen tersebut akan

berdampak nyata terhadap kualitas secara keseluruhan dari destinasi wisata yang

akan dinilai.

C. Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Destinasi Pariwisata

Intervensi pemerintah pusat dan atau daerah pada pembangunan destinasi

pariwisata di suatu wilayah mutlak diperlukan agar kontribusi sektor pariwisata

terhadap sektor-sektor lainnya, khususnya pada pertumbuhan perekonomian suatu

wilayah dapat meningkat dan kemiskinan terentaskan. Markandya et al. (2003)

menyatakan salah satu peran utama pemerintah di bidang kepariwisataan adalah

membuat kebijakan dan kerangka legislasi, dengan memperhatikan dua alasan

berikut:

1. Industri pariwisata memiliki berbagai pengaruh negatif (negative

externalities) khususnya dampak-dampak negatif di bidang sosial, budaya,

dan lingkungan. Hal ini menyebabkan sangat diperlukan adanya peraturan

serta regulasi di tingkat lokal dan atau nasional yang ditujukan untuk

meminimalisasi dampak-dampak negatif ini;

2. Industri pariwisata menawarkan berbagai kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha, termasuk bagi anggota suatu komunitas yang

memiliki kompetensi rendah. Hal ini menyebabkan industri pariwisata

dapat diandalkan untuk meningkatkan dan mengembangkan perekonomian

suatu wilayah serta dapat dijadikan alternatif pada upaya pengentasan

kemiskinan.

Peran pemerintah dalam kegiatan pembangunan adalah untuk

menyediakan layanan dan bantuan teknis serta dukungan eksternal bagi

32

masyarakat. Layanan dan dukungan pemerintah yang disampaikan kepada

masyarakat telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan ekonomi,

infrastruktur, dan kualitas kehidupan masyarakat. Namun demikian bantuan

teknis tersebut perlu disikapi secara berhati-hati, karena sisi negatif yang

ditimbulkannya yakni dapat membatasi kapasitas masyarakat dan mengakibatkan

ketergantungan serta menekan organisasi lokal dan kepemimpinan (Kretzmann &

McKnight, 1993; McKnight, 1995).

Sementara itu Cameron, A. M, et al (2001) menyatakan bahwa

pemerintah daerah (kabupaten/kota) memiliki dua fungsi utama yang berkaitan

dengan pariwisata yakni: 'pemberdayaan' pembangunan pariwisata, dan

pengelolaan dampak pariwisata. Untuk fungsi pertama, pemerintah daerah dapat

melakukannya dengan :

a. mendorong inisiatif pembangunan ekonomi, seperti penyediaan pendanaan

untuk organisasi pariwisata daerah, dan melakukan studi kelayakan bisnis,

b. membantu mengembangkan fasilitas lokal dan atraksi wisata, seperti

kebun binatang, galeri seni , taman rekreasi dan konservasi, serta

c. mempromosikan events , seperti festival budaya atau olahraga .

Pengelolaan dampak pariwisata di bidang sosial dan lingkungan yang

merugikan, dapat dilakukan pemerintah daerah dengan:

a. mengatur pengembangan pariwisata, misalnya membuat standar-standar

kelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan,

b. merencanakan utilitas, seperti jaringan transportasi, pengelolaan sampah,

dan saluran pembuangan, dan

33

c. memantau pengembangan pariwisata dan kecenderungannya, seperti

melakukan survei terhadap kepuasan tuan rumah dan pemantauan

terhadap kualitas lingkungan .

Pemerintah daerah melalui aturan main yang dibuatnya memiliki pengaruh

besar terhadap keberhasilan industri pariwisata lokal, dan berperan dalam

melestarikan asset-asset yang ada di destinasi. Dengan aturan tersebut destinasi

pariwisata akan terpelihara keberadaannya dan tetap menarik bagi sebagian besar

pengunjung, yang ditandai oleh tiga faktor utama, yakni : image positif dari

destinasi dan pengalaman berwisata, keamanan dan kenyamanan, serta kualitas

lingkungan secara keseluruhan (Clark, B. 2006).

Dua buah organ dari Perserikatan Bangsa-bangsa, United Nations

Environtment Programme (UNEP) dan World Tourism Organization (WTO),

menyatakan bahwa manfaat dari industri pariwisata yang ada di destinasi dapat

dioptimalkan dan dampak-dampak negatifnya bisa diminimalisasi melalui

sejumlah instrumen regulasi, yang dikategorikan menjadi: (1) measurement

instrument, (2) command and control instruments, (3) economic instrument,

(4) voluntary instruments, dan (5) supporting instruments (UNEP - WTO, 2005).

Penggunaan dari kelima jenis instrumen ini akan ditentukan oleh situasi wilayah,

tujuan yang ingin dicapai, serta struktur kepemerintahan (Markandya et al., 2003).

2.1.2 Partisipasi Masyarakat

A. Pengertian Partisipasi Masyarakat

Secara epistimologis partisipasi berasal dari bahasa Latin participatio yang

terdiri dari dua kata yaitu pars yang memiliki arti “bagian” dan capere yang ber-

34

arti “mengambil bagian”. Kata participatio berasal dari kata kerja participare

yang memiliki makna “ikut serta”. Selanjutnya, kata participare diserap ke dalam

bahasa Inggris menjadi kata to participate yang bermakna “ikut serta” atau “ikut

mengambil bagian” (Wojowarsito, 1976: 278). Oleh karena itu, partisipasi

memiliki pengertian aktif yang terindikasi dari adanya kegiatan atau aktivitas

(Sukanto, 1983: 425). Secara harfiah, partisipasi diartikan sebagai “turut berperan

serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peranserta dalam suatu kegiatan”,

atau “peranserta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”. Secara luas partisipasi

didefinisikan sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam

suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sukarela, baik disebabkan oleh

alasan-alasan yang berasal dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya

atau ekstrinsik (Irfani dalam Madiun, 2008: 40).

Pada tataran aplikatif, partisipasi dapat bersifat pasif maupun aktif.

Partisipasi pasif memiliki arti bahwa dalam sikap, prilaku, dan tindakannya;

seseorang tidak melakukan hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya suatu

kegiatan. Selanjutnya, Siagian menjelaskan partisipasi aktif dapat terlihat dari satu

atau lebih bentuk-bentuk aktivitas, seperti :

“.........(1) turut memikirkan nasib sendiri dengan memanfaatkan

lembaga-lembaga sosial dan politik yang ada di masyarakat sebagai

saluran aspirasi; (2) menunjukkan adanya kesadaran bermasyarakat

dan bernegara yang tinggi dengan tidak menyerahkan penentuan

nasib kepada orang lain, seperti kepada pimpinan, tokoh masyarakat,

baik yang bersifat formal maupun informal; (3) memenuhi

kewajiban sebagai warga negara yang bertanggung jawab seperti

membayar pajak secara jujur serta berkewajiban lainnya; (4) ketaat-

an kepada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

dan (5) kerelaan melakukan pengorbanan yang dituntut oleh pem-

bangunan demi kepentingan bersama yang lebih luas (Siagian, S.P.

1985).

35

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dimungkinkan bagi setiap anggota

masyarakat berpartisipasi dan memberikan kontribusi dalam pembangunan demi

terwujudnya masa depan yang lebih baik. Bahkan partisipasi merupakan hak dan

kewajiban bagi setiap warga negara untuk memberikan kemampuan terbaiknya

kepada pencapaian tujuan kelompok, sehingga masyarakat diberikan kesempatan

untuk ikut serta dalam pembangunan dengan segala inisiatif dan kreativitasnya.

Sumbangan dan kreativitas tersebut dapat disalurkan dalam berbagai rapat dan

pertemuan, baik yang bersifat formal maupun informal.

Menurut Soetrisno (1995), terdapat dua jenis definisi tentang partisipasi

masyarakat yang lazim digunakan, yaitu:

1. Partisipasi masyarakat yang didefinisikan sebagai dukungan masyarakat pada

rencana pembangunan yang dirancang dan tujuannya ditentukan oleh pihak

perencana. Pada definisi ini, partisipasi masyarakat bisa dimaknai sebagai

‘silakan masyarakat berpartisipasi, tetapi pemerintahlah yang merencanakan

dan menentukan tujuan pembangunan’. Ukuran keberpartisipasian

masyarakat pada jenis ini dinilai dari besarnya kesanggupan masyarakat untuk

berkontribusi, baik dalam bentuk materi ataupun tenaga yang bisa

dialokasikannya;

2. Partisipasi masyarakat yang didefinisikan sebagai kerjasama atau kolaborasi

dari perencana (pemerintah) dengan masyarakat dalam merencanakan, me-

lestarikan, dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Definisi kedua ini merupakan definisi yang lebih baik daripada definisi

sebelumnya dan lebih bersifat universal. Tidak seperti halnya pada definisi

36

pertama, ukuran keberpartisipasian masyarakat pada definisi ini tidak hanya

diukur dari sisi material atau waktu, tetapi juga mempertimbangkan hak

masyarakat untuk menentukan arah dan tujuan dari proyek-proyek

pembangunan yang berlokasi di wilayahnya. Selain itu, definisi ini juga

mempertimbangkan kemauan masyarakat untuk secara mandiri dapat

melestarikan dan mengembangkan hasil-hasil dari aktivitas pembangunan

yang telah diperolehnya.

Mengacu kepada uraian di atas, maka kalimat “partisipasi masyarakat

dalam pembangunan” bisa dimaknai sebagai keikutsertaan masyarakat dalam

aktivitas perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi program-

program pembangunan. Partisipasi dalam pembangunan berarti ikut mengambil

bagian atau berperan dalam pembangunan, baik dalam bentuk kesediaan untuk

mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian,

modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil

pembangunan. Secara lebih tegas, partisipasi masyarakat dalam pembangunan

adalah bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat secara perorangan, kelompok,

ataupun dalam satu kesatuan masyarakat, pada suatu proses pembangunan dimana

masyarakat ikut terlibat mulai dari tahap penyusunan program, perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan,

penerapan keputusan, menikmati hasil, dan evaluasi kegiatan (Cohen & Uphoff,

1980; Korten & Alfonso, 1983; Murphy, 1985).

Dalam upaya mencari solusi dan pemecahan suatu permasalahan,

partisipasi masyarakat berhubungan dengan keikutsertaannya pada proses

37

identifikasi potensi dan masalah yang ada di wilayahnya, pemilihan alternatif

solusi dan pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang

ditemukenali, meng-implementasikan berbagai upaya dalam menangani masalah,

serta peran aktif masyarakat dalam mengevaluasi perubahan yang dirasakan

(Isbandi, 2007). Lebih jauh dijelaskan bahwa:

“........partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk

memberikan kesempatan dan wewenang yang lebih luas kepada

masyarakat untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai

persoalan. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat

keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut

yang ditujukan untuk mencari solusi yang lebih baik melalui

peningkatan kesempatan bagi masyarakat untuk berkontribusi, sehingga

implementasi kegiatan berjalan lebih efektif dan efesien (Isbandi,

2007).

B. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat

Pada hakekatnya, terdapat dua kelompok partisipasi masyarakat, yaitu

partisipasi nyata atau berwujud (tangible) dan partisipasi tidak nyata atau abstrak

(intangible). Partisipasi nyata merupakan partisipasi yang dapat berbentuk materi,

harta benda, tenaga dan keahlian; sedangkan partisipasi dalam bentuk pemikiran,

partisipasi sosial, partisipasi pengambilan keputusan dan partisipasi representatif

termasuk ke dalam partisipasi tidak nyata (Holil, 1980; Hamijoyo, 2007).

Partisipasi dalam bentuk materi merupakan partisipasi yang bertujuan

memperlancar upaya pemenuhan keperluan masyarakat yang membutuhkan

uluran tangan. Partisipasi dalam bentuk harta benda wujudnya beragam, seperti

alat-alat kerja maupun jenis perkakas lainnya. Partisipasi tenaga merupakan

partisipasi dalam wujud tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan yang dapat

menunjang kesuksesan suatu program atau kegiatan, sedangkan partisipasi

38

keterampilan, merupakan partisipasi untuk mendorong anggota masyarakat yang

membutuhkan untuk melaksanakan suatu kegiatan dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan sosial mereka melalui keterampilan yang dimilikinya.

Partisipasi dalam bentuk pemikiran merupakan wujud partisipasi berupa

sumbangan ide atau gagasan, dan buah pikiran yang konstruktif, yang

disampaikan baik dalam tahap penyusunan program maupun dalam meng-

implementasikan dan mewujudkan suatu program. Hal ini dilakukan dengan cara

membagi pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk mengembangkan

aktivitas yang dilakukannya. Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai

tanda paguyuban. Partisipasi pada proses pengambilan keputusan dicirikan

dengan keterlibatan seseorang dalam setiap diskusi/forum yang diselenggarakan

dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi demi kepentingan

bersama. Partisipasi dengan cara memberikan kepercayaan kepada orang lain

untuk mewakilinya dalam setiap forum, organisasi maupun panitia termasuk

dalam klasifikasi partisipasi representatif.

C. Tipologi Partisipasi Masyarakat

Pendapat-pendapat tentang tipologi partisipasi masyarakat muncul seiring

dengan semakin dipahaminya esensi partisipasi pada berbagai aktivitas manusia.

Arnstein (1969) berpendapat tipologi partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi

tiga kategori dengan delapan tingkatan. Kategori terendah adalah kondisi tidak

adanya partisipasi (non-participation) masyarakat, kategori berikutnya adalah

partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk aktivitas warga (degrees of citizen

39

tokenism), dan kategori tertinggi ditunjukkan oleh adanya kekuatan warga dalam

penentuan aktivitas yang terkait dengan keberadaannya (degrees of citizen power).

Sementara itu, Pretty et al. (1995) dan Tosun (1999) juga membangun

tipologi partisipasi masyarakat secara berbeda. Pretty et al. (1995) mengembang-

kan tipologi partisipasi masyarakat yang dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan.

Tingkat terendah berupa partisipasi manipulatif (manipulative participation) dan

tingkat tertinggi berupa mobilisasi pribadi (self mobilization). Sementara itu,

Tosun (1999) mengelompokkan tipologi partisipasi masyarakat menjadi tiga bagi-

an utama, yaitu partisipasi secara spontan (spontaneous participation), partisipasi

koersif (coercive participation), dan partisipasi karena adanya dorongan pribadi

untuk melakukannya (induced participation).

Ketiga jenis tipologi partisipasi masyarakat ini memiliki persamaan dan

perbedaan. Persamaannya terletak pada jumlah dari kelompok utama partisipasi.

Ketiga pendapat ini membentuk 3 kelompok tipe partisipasi, yaitu: (1) tipe

partisipasi rendah, (2) tipe partisipasi menengah, dan (3) tipe partisipasi tinggi.

Perbedaannya ada pada cara pandang untuk melakukan stratifikasi lanjutan pada

masing-masing kelompok yang terbentuk (Tosun, 2006). Gambar 2.1 berikut

menunjukkan keterkaitan antara ketiga pendapat tentang tipologi partisipasi

masyarakat di atas:

40

Degrees ofCitizenPower

Citizen Control8

Delegated Power7

Partnership6

Degrees ofCitizen

Tokenism

Placation5

Consultation4

Informing3

NonPartici-pation

Therapy2

Manipulation1

Self-mobilization7

Interactive Participation6

Functional Participation5

Participation forMaterial Incentives

4

Participation by Consultation

3

Passive Participation2

Manipulative Participation1

Spontaneous Participation:

Bottom-up; active participation; direct participation; participation in decision making; authentic participation; self-planning

Induced Participation:

Top-down; passive participation; formal; mostly indirect; degree of tokenism; manipulation; pseudo participation; participation in implementation and sharing benefit; choice between proposed alternatives and feedback

Coercive Participation:

Top-down; passive participation; formal; mostly indirect; participation in implementation but not necessarily sharing benefits; choice between proposed alternatives or no choice; paternalism; non-participation; high

degree of tokenism and manipulation

Tipologi Partisipasi Masyarat MenurutTosun (1999)

Tipologi Partisipasi Masyarat MenurutArnstein (1971)

Tipologi Partisipasi Masyarat MenurutPretty (1995)

Gambar 2. 1

Komparasi Tipologi Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein, Pretty, dan Tosun

Sumber: Tosun (2006)

Gambar 2.1 menunjukkan adanya kemiripan. Pertama, ketiga model

partisipasi masyarakat dibedakan secara umum menjadi tiga kelompok tipologi,

yaitu tipologi rendah, sedang, dan tipologi tinggi. Kedua, terdapat perbedaan

dalam penamaan dan jumlah sub kelompok yang terbentuk. Ketiga, model

tipologi yang telah ada disempurnakan oleh model yang dikembangkan pada

periode berikutnya.

Sebagai misal, model tipologi Arnstein yang membedakan partisipasi ke

dalam 3 kelompok besar yaitu non-participation, degrees of citizen tokenism, dan

degrees of citizen power, disempurnakan oleh tipologi Tosun (1999) dengan me-

lengkapi masing-masing tipologi ini dengan atribut-atribut pencirinya. Apabila

tipologi Arnstein dikomparasikan dengan tipologi Pretty, pada kelompok tipologi

non-participation, kategori manipulation dan therapy identik dengan kategori

41

manipulative dan passive participation dan kategori partnership, delegated

power, dan citizen control identik dengan kategori interactive participation dan

self-mobilization pada tipologi Pretty.

Partisipasi secara spontan (spontaneous participation) merupakan tipe

partisipasi tertinggi pada tipologi Tosun (1999), memiliki kesamaan dengan

tingkatan citizen control (kendali ada pada masyarakat) pada model Arnstein, dan

mobilisasi mandiri serta partisipasi interaktif pada model Pretty. Beberapa penciri

dari partisipasi tertinggi pada model Tosun ini adalah: partisipasi bersifat bottom

up (dilakukan dari bawah ke atas), berlangsung secara aktif (active participation)

dan langsung (direct participation), berpartisipasi dalam bentuk pembuatan

keputusan (participation in decision making), bersifat asli (authentic participa-

tion) dan mandiri (self participation).

Partisipasi masyarakat pada tipologi Tosun yang dilakukan karena adanya

dorongan (induced participation), umumnya dilaksanakan dari atas (top down),

bersifat pasif (pasif), formal (formal), sebagian besar bersifat tidak langsung

(mostly indirect), manipulatif (manipulative), semu (pseudo participation),

partisipasi dalam implementasi dan pembagian manfaat (participation in

implementation and sharing benefits), serta pilihan diantara berbagai alternatif

yang diusulkan dan umpan balik (choice between proposed alternatives and

feedback). Tipe partisipasi pada tingkatan ini sama dengan tingkatan aktivitas

masyarakat pada model Arnstein dan partisipasi fungsional, partisipasi karena

insentif material serta partisipasi melalui konsultasi pada model Pretty.

42

Partisipasi koersif (coercive participation) yang merupakan tingkatan

partisipasi paling bawah dalam model Tosun setara dengan tidak adanya

partisipasi (non participation) dalam model Arnstein dan partisipasi yang

dimanipulasi (manipulative participation) serta partisipasi pasif (passive

participation) dalam tipologi Pretty. Partisipasi koersif ini maknanya tidak

berbeda dengan tidak ada partisipasi, dengan ciri-ciri bersifat top-down, pasif,

umumnya bersifat tidak langsung, formal, masyarakat berpartisipasi dalam

implementasi namun tidak selalu berbagi manfaat, memilih diantara alternatif

terbatas yang diusulkan atau tidak ada pilihan, bersifat paternalisme, tidak

berpartisipasi, serta tingkat tokenisme yang tinggi dan manipulatif.

D. Arti Penting Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memiliki arti yang sangat

penting, karena keberhasilannya sangat ditentukan oleh sejauhmana masyarakat

peduli dan ikut ambil bagian dalam pembangunan tersebut, serta seberapa besar

manfaat yang akan diperoleh masyarakat atas pembangunan yang dilakukan di

wilayah mereka. Beberapa hal penting yang dapat digunakan sebagai tolok ukur

keberhasilan pembangunan, disampaikan oleh Mely G. Tan dan Koentjaraningrat

(dikutip Murtiyanto, N. 2011), yaitu: (1) hasil pembangunan tersebut secara nyata

dapat dilihat dalam waktu yang singkat, (2) hasil pembangunan tersebut harus ber-

manfaat bagi masyarakat lokal, dan (3) kegiatan pembagunan tersebut tidak boleh

bertentangan dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat tersebut.

Conyers (1991) mengemukakan pentingnya partisipasi masyarakat dalam

pembangunan, yakni: (1) sebagai alat untuk mendapatkan informasi tentang

43

kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat lokal, yang tanpa kehadirannya

program maupun proyek-proyek pembangunan kemungkinan tidak akan berhasil

dilaksanakan; (2) untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat, bahwa

masyarakat akan lebih percaya terhadap program maupun proyek pembangunan

jika mereka merasa dilibatkan dalam setiap proses yang dimulai dari masa

persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui segala hal

tentang proyek tersebut, sehingga masyarakat akan tumbuh sense of belongingnya

terhadap proyek tersebut; (3) partisipasi masyarakat adalah hak demokrasi

masyarakat, oleh karena itu pemrakarsa proyek memiliki kewajiban untuk

melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan di wilayah mereka sendiri.

Secara lebih terinci Moeljarto (1987) memberikan penjelasan tentang arti

pentingnya partisipasi sebagai berikut :

1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir dari pembangunan,

sehingga partisipasi masyarakat merupakan akibat logis dari dalil

tersebut,

2. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi

untuk turut serta dalam keputusan strategis yang menyangkut

kepentingan masyarakat,

3. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi

tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah, yang tanpa

keberadaannya tidak akan terungkap. Arus informasi ini tidak dapat

dihindari dan menjadi prasyarat untuk berhasilnya pembangunan,

4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan memulainya dari

dimana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki,

5. Partisipasi masyarakat dapat memperluas kawasan penerimaan

proyek pembangunan, dan akan memperluas jangkauan pelayanan

pemerintah kepada seluruh masyarakat,

6. Partisipasi masyarakat akan menopang pembangunan,

7. Partisipasi masyarakat menyediakan lingkungan yang kondusif baik

bagi artkulasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia,

8. Partisipasi merupakan cara efektif membangun kemampuan

masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna

memenuhi kebutuhan khas masing-masing daerah,

44

9. Partisipasi masyarakat dipandang sebagai cerminan hak-hak

demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan di

wilayah mereka sendiri.

Sumampouw, M. (2004) menjelaskan bahwa meningkatnya kemampuan

setiap individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam program

maupun proyek pembangunan yang berlangsung di wilayahnya merupakan

sasaran dari partisipasi masyarakat. Hal tersebut dilakukan melalui pelaksanaan

prinsip-prinsip partisipasi seperti yang tertuang dalam Panduan Pelaksanaan

Pendekatan Partisipatif yang mencakup hal-hal berikut:

1. Cakupan, yaitu semua orang atau wakil-wakil dari kelompok yang

terkena dampak dari keputusan atau proses dari sebuah proyek

pembangunan,

2. Kesetaraan dan kemitraan, bahwa setiap orang mempunyai

keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk

menggunakan prakarsanya itu guna melibatkan diri dalam setiap

proses dalam membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang

dan struktur masing-masing pihak,

3. Transparansi, bahwa semua pihak harus dapat menumbuh-

kembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi secara terbuka

dan kondusif, sehingga menimbulkan dialog yang terbuka dan saling

menghargai,

4. Kesetaraan kewenangan, bahwa berbagai pihak yang terlibat dalam

partisipasi harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan

kekuasaan untuk menghindari kemungkinan terjadinya dominasi satu

pihak,

5. Kesetaraan tanggung jawab, bahwa berbagai pihak mempunyai

tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya

kesetaraan kewenangan dan keterlibatannya dalam proses

pengambilan keputusan serta langkah-langkah selanjutnya,

6. Pemberdayaan, bahwa keterlibatan berbagai pihak tidak terlepas

dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki para pihak,

sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan,

akan terjadi proses saling belajar dan saling memberdayakan satu

sama lain,

7. Kerjasama, yakni diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang

terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai

kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan

dan kualitas sumber daya manusia (Sumampouw, M. 2004)

45

Berkenaan dengan tolok ukur tingkat keberpartisipasian masyarakat dalam

pembangunan, Soetrisno, (1995) menyatakan bahwa: pertama, jika partisipasi

masyarakat dalam pembangunan hanya dilihat sebagai dukungan masyarakat

terhadap rencana atau proyek pembangunan yang dirancang dan tujuannya

ditentukan oleh perencana (pemerintah), maka tinggi rendahnya partisipasi

masyarakat dapat diukur dari kemauan rakyat untuk ikut bertanggungjawab dalam

pembiayaan pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan

proyek pembangunan tersebut; kedua, apabila partisipasi masyarakat yang

dimaksud merupakan kerjasama yang erat antara perencana dengan masyarakat

lokal dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pengembangan hasil pembangunan,

serta pengawasan, maka ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat bukan

hanya terlihat dari kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan,

namun seberapa besar mereka ikut bertanggung jawab terhadap arah dan tujuan

pembangunan yang dilaksanakan di wilayah mereka.

E. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pariwisata

Partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata secara umum

dapat dilihat setidaknya dari dua dimensi yakni partisipasi masyarakat dalam

proses pengambilan keputusan dan dalam menerima manfaat. Di tingkat

pengambilan keputusan, masyarakat dianjurkan agar memiliki kontrol atas sumber

daya pariwisata, mempunyai inisiatif dan mampu membuat keputusan yang dapat

memengaruhi dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka (Timothy, 1999;

Tosun, 1999; Zhao & Ritchie, 2007). Partisipasi masyarakat lokal di tingkat

penerimaan manfaat dapat tercermin dari peningkatan pendapatan, pekerjaan, dan

46

pendidikan masyarakat lokal tentang pariwisata dan kewirausahaan, serta

meningkatnya kesadaran publik pariwisata. Kesadaran publik yang meningkat

akan menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi wisatawan dan mampu

meningkatkan citra destinasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas

masyarakat untuk menerima manfaat dari kegiatan pariwisata (Timothy, 1999).

Masyarakat lokal dapat berpartisipasi pada beberapa tahap, yakni: pada

tahap inisiasi, legitimasi dan eksekusi, atau dengan kata lain, pada tahap decision

making, implementation, benefit dan tahap evaluatif. Bintoro Tjokroamidjojo dan

Kaho, (2007) menyatakan bahwa: Pertama, partisipasi masyarakat tersebut dapat

berarti keterlibatan aktif dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan

pembangunan di wilayahnya; Kedua adalah keterlibatan dalam memikul hasil dan

manfaat pembangunan secara berkeadilan atas partisipasi yang dilakukannya.

Faktanya masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan

untuk memberikan masukan. Hal ini biasanya disebabkan oleh adanya anggapan

bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat dianggap tidak

mempunyai kemampuan untuk menganalisis kondisi dan merumuskan persoalan

serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini, masyarakat lebih ditempatkan pada

posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan usaha-usaha pariwisata pada

berbagai wilayah menunjukkan hal yang sangat positif. Hal ini dibuktikan dari

hasil studi Naipinit & Maneenetr (2010) yang meneliti tentang partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan pariwisata pada homestay di Desa Busai, Distrik

Wangnamkheo, Provinsi Nakhon Ratchasima, Thailand. Simpulannya bahwa

47

partisipasi masyarakat di wilayah penelitian sangat baik dalam hal : (1) ide-ide

pengelolaan pariwisata, (2) perencanaan wilayah untuk lokasi pariwisata, (3) pe-

manfaatan sumberdaya alam, (4) penganggaran untuk mendukung pengembangan

tempat-tempat wisata, (5) pemahaman masyarakat bahwa pariwisata sebagai

peluang yang baik untuk menanamkan modal, (6) menjaga kebersihan, dan

keamanan, (7) mengembangkan atraksi wisata, dan (8) memperoleh informasi

tentang pariwisata.

Penelitian partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa wisata di

Indonesia, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sangat

luas untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan, dimana semua

pengetahuan dan local wisdom masyarakat lokal akan menjadi input penting

dalam perencanaan dan manajemen pariwisata; masyarakat lokal akan mampu

meningkatkan pemanfaatan asset dan sumberdaya untuk aktivitas ekonomi,

konservasi budaya dan lingkungan perdesaan akan lebih terpelihara (Darma P. &

Pitana, I G, 2010; Permanasari, 2011).

F. Manfaat Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat seringkali hanya digunakan sebagai label maupun

alat bagi konsultan, pemrakarsa proyek pembangunan, maupun pemerintah untuk

menekan biaya, seperti yang diungkapkan oleh Chambers (1995):

a. Cosmetic label. Partisipasi masyarakat hanya digunakan sebagai label,

sehingga apa yang dikerjakan nampak “baik”. Pemerintah atau lembaga

donor mensyaratkan adanya penerapan pendekatan partisipasi, oleh karena

itu para konsultan dan manajer menyatakan akan menerapkannya. Namun

48

pada kenyataannya tidak dilaksanakan, semua proses dilakukan secara top

down;

b. Co-opting practise. Partisipasi masyarakat dalam hal ini hanya digunakan

sebagai alat untuk memobilisasi tenaga kerja setempat dan untuk menekan

biaya. Masyarakat dalam hal ini justru menyumbangkan waktu dan tenaga

serta pikiran mereka untuk kegiatan gotong royong;

c. Empowering process. Dalam partisipasi ini masyarakat setempat

melakukan proses analisis, dan berupaya mendapatkan rasa percaya diri

serta membuat keputusan sendiri.

Partisipasi masyarakat tidak selalu menjamin untuk mendapatkan apa yang

mereka butuhkan, namun dengan partisipasi dan keikutsertaan mereka dalam

proses pekerjaan, maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara masyarakat

(publik) dengan administrator (pemerintah). Hubungan ini akan mengarah kepada

lahirnya saling pengertian antara warga masyarakat dengan administrator (Gray J.

& Chapin L. dalam Denhardt & Denhardt, 2003). Denhardt & Denhardt (2003)

mengungkapkan adanya tiga manfaat partisipasi masyarakat, yaitu: manfaat

politis, pembuatan aturan, dan legitimasi pemerintah. Manfaat politis berkaitan

dengan keputusan yang mencerminkan pendapat sebagian besar masyarakat atau

terperhatikannya pendapat sebagian kelompok tertentu yang sejalan dengan norma

demokrasi. Manfaat yang berkenaan dengan pembuatan aturan, berhubungan

dengan pembuatan keputusan yang dapat memenuhi kepentingan sebagian besar

warga masyarakat. Sedangkan manfaat partisipasi yang berhubungan dengan

legitimasi pemerintah, merupakan partisipasi masyarakat dalam proses peng-

49

ambilan keputusan dimana mereka kemungkinan akan lebih mendukung

keputusan yang dibuat serta mendukung lembaga-lembaga yang terlibat dalam

pengambilan dan implementasi dari keputusan tersebut.

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

Mewujudkan partisipasi masyarakat bukanlah sesuatu yang mudah. Hal

tersebut dikarenakan adanya berbagai prasyarat yang harus dipenuhi. Terdapat

sejumlah faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, baik yang sifatnya

mendorong maupun menghambat keberhasilan program-program pembangunan.

Partisipasi yang tumbuh di masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh

faktor-faktor berikut (Angell, 1951):

1. Usia: faktor usia dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap

kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Anggota masyarakat

yang berada pada kelompok usia menengah ke atas dengan

keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih

mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka

yang dari kelompok usia lainnya;

2. Jenis kelamin: pada umumnya anggota masyarakat yang berjenis

kelamin laki-laki lebih dominan berpartisipasi dalam pembangunan

dibandingkan dengan kaum perempuan, disebabkan oleh nilai yang

cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa yang menyatakan

bahwa kaum perempuan tempatnya “di dapur” yang berarti bahwa

peranan perempuan yang utama adalah mengurus rumah tangga.

Namun dengan semakin majunya tingkat pendidikan kaum

perempuan dan adanya gerakan emansipasi maka peran dan

partisipasi perempuan tersebut dalam kegiatan pembangunan

semakin tinggi;

3. Pendidikan: merupakan salah satu syarat mutlak yang diperlukan

dalam partisipasi karena pendidikan dianggap dapat mempengaruhi

sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya terutama sikap yang

diperlukan bagi dukungan kegiatan pembangunan guna peningkatan

kesejahteraan seluruh masyarakat;

4. Pekerjaan dan Penghasilan: ke dua hal tersebut tidak dapat

dipisahkan, karena pekerjaan seseorang secara umum berkorelasi

dengan tingkat penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan

penghasilan yang baik seseorang dan mencukupi kebutuhannya

sehari-hari dapat mendorong orang tersebut untuk berpartisipasi

50

dalam kegiatan pembangunan. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa

partisipasi dalam suatu kegiatan membutuhkan dukungan dan

suasana yang mapan secara ekonomi;

5. Lamanya tinggal: lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan

tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan akan

mempengaruhi tingkat partisipasi orang tersebut. Semakin lama ia

tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap

lingkungan tersebut cenderung lebih tinggi yang diwujudkan dalam

partisipasinya pada setiap kegiatan pembangunan di lingkungan

tersebut.

Sedangkan menurut Holil (1980), unsur-unsur dasar partisipasi sosial yang

dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah: (1) kepercayaan diri

masyarakat; (2) solidaritas dan integritas sosial masyarakat; (3) tanggungjawab

sosial dan komitmen masyarakat; (4) kemauan dan kemampuan untuk mengubah

atau memperbaiki keadaan dan membangun atas kekuatan sendiri; (5) prakarsa

masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui sebagai/menjadi

milik masyarakat; (6) kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam

lingkungan masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan

umum yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau

sebagian kecil dari masyarakat; (7) organisasi, keputusan rasional dan efisiensi

usaha; (8) musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan; dan

(9) kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan-

kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat.

Lebih lanjut Holil (1980), mengungkapkan faktor-faktor luar/ lingkungan

yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program yaitu:

1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara

warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di

dalam masyarakat dengan sistem di luarnya;

2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan

keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan

51

bangsa yang menguntungkan serta mendorong tumbuh dan

berkembangnya partisipasi masyarakat;

3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses

dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang

memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi sosial;

4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam

keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang

memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya

prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.

2.1.3 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah merupakan rangkaian keputusan yang diambil

pemerintah dengan mempertimbangkan arah tujuan yang ingin dicapai dan cara

mencapai tujuan tersebut, di mana keputusan yang diambil berada dalam

kewenangan dan tanggung jawab para pengambil keputusan (Jenkins,1978).

Umumnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah dikenal sebagai kebijakan

publik dan Birkland (2001) selanjutnya menyebutkan beberapa definisi dari

kebijakan publik sebagai:

1) Kebijakan publik merujuk pada tindakan yang ditetapkan pemerintah yang

didasari oleh keinginan untuk mewujudkan program-program pembangunan;

2) Kebijakan publik adalah segala bentuk tindakan pemerintah yang didasari

untuk memilih melakukan atau tidak melakukan alternatif tindakan;

3) Kebijakan publik meliputi keputusan politik untuk mengimplementasikan

program-program untuk mencapai tujuan masyarakat, dan;

4) Secara sederhana, kebijakan publik adalah keseluruhan kegiatan pemerintah,

baik yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung, yang mempengaruhi

kehidupan masyarakat di wilayahnya.

52

Mengacu kepada kedua pendapat tersebut, maka kebijakan pemerintah

merupakan suatu rangkaian keputusan yang saling berhubungan, diputuskan

pemerintah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab di bidangnya, yang

ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan termasuk pula cara-cara

mencapai dan mengevaluasi tujuan yang ditetapkan.

Berdasarkan definisi dan penjelasan tersebut di atas, kebijakan publik atau

pemerintah merupakan produk hukum pemerintah dalam memandu warga

negaranya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Terkait dengan peningkatan

kualitas Batur Global Geopark Kintamani, kebijakan pemerintah (daerah)

kemudian diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan dan aktivitas, yang secara

umum bisa dijabarkan ke dalam dua bentuk berikut:

1. Kebijakan Fasilitatif, disebut juga sebagai kebijakan distributif atau alokatif,

merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang terefleksikan pada upaya

pendistribusian barang dan atau jasa, termasuk upaya untuk meningkatkan

kemampuan SDM dari masyarakat di wilayahnya;

2. Kebijakan Regulasi, merupakan kebijakan yang membatasi sekelompok orang

dan lembaga untuk melakukan sesuatu , atau sebaliknya, memaksakan suatu

jenis perilaku tertentu untuk dilakukan. Kebijakan ini biasanya paling berhasil

dijalankan apabila dukungan terhadap perilaku yang diinginkan dapat dipantau

dengan mudah, sementara perilaku buruk/menentang dapat dikendalikan dan

diberikan hukuman dalam bentuk denda atau sanksi tertentu.

53

2.2 Penelitian-penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan

kepariwisataan sudah banyak dilakukan di berbagai belahan dunia. Beberapa

hasilnya menyatakan bahwa partisipasi masyarakat mutlak dilakukan untuk

memberi manfaat optimal kepada masyarakat lokal maupun untuk perkembangan

industri pariwisata (Timothy, 1999; Tosun, 1999; Zhao & Ritchie, 2007; Aref &

Ma’rof, R, 2008). Namun faktanya keberpartisipasian masyarakat masih belum

optimal, seperti hasil penelitian Tosun (2000) yang menyatakan bahwa partisipasi

masyarakat di negara-negara berkembang belum menggembirakan yang dicirikan

dengan partisipasi yang bersifat autentik (authentic participation) masih jarang

teramati. Memperhatikan hal tersebut, maka Tosun (2000) menyarankan agar

keterbatasan partisipasi masyarakat pada pembangunan pariwisata dikaji dari tiga

kerangka pikir, yaitu: (i) keterbatasan pada tingkat operasional, (ii) keterbatasan

yang bersifat struktural, dan (iii) keterbatasan yang disebabkan oleh pengaruh

budaya.

Keterbatasan partisipasi masyarakat pada tingkat operasional, sebagian

besar disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Sentralisasi dari Administrasi Kepariwisataan: Tosun (2000) dengan mengutip

hasil riset yang dilakukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UN, 1981) yang

menyatakan bahwa di berbagai negara sedang berkembang, aktivitas

perencanaan merupakan sebuah aktivitas yang tersentralisasi secara intensif;

menyatakan perencanaan dan tatakelola pariwisata di negara-negara sedang

berkembang dilakukan agar tujuan-tujuan yang ditetapkan pemerintah pusat

54

tercapai. Hal ini berimplikasi kepada sulitnya terwujud pendelegasian

wewenang kepada pemerintah daerah atau otoritas lokal dalam pembangunan

dan tatakelola destinasi pariwisata di wilayahnya. Dampak paling jelas

terlihat dengan adanya sentralisasi dari administrasi kepariwisataan ini adalah

tidak berkembangnya institusi-institusi lokal yang mampu secara cepat

(responsive), efektif, dan mandiri untuk menyikapi dinamika kepariwisataan

yang terjadi di wilayahnya;

2. Rendahnya Tingkat Koordinasi: penyebab kedua dari ketidakefektifan

partisipasi masyarakat pada tingkat operasional adalah rendahnya koordinasi

dan kerjasama antara para pelaku industri pariwisata termasuk institusi

pemerintah. Dengan demikian, koordinasi dan kerjasama antara sektor publik

dan sektor swasta merupakan prasyarat penting untuk meningkatkan

partisipasi masyarakat;

3. Terbatasnya Informasi dan Data: keterbatasan informasi dan data serta

aksesibilitasnya khususnya pada masyarakat lokal di sebuah destinasi

pariwisata merupakan faktor lain yang menyebabkan rendahnya partisipasi

pada tingkat operasional. Seperti yang dinyatakan oleh Banerjee et al. (2011),

keterbatasan data merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas

pembangunan kepariwisataan di suatu wilayah, Tosun (2000) menambahkan

bahwa aksesibilitas pada informasi dan data seharusnya adil. Ia berpendapat

bahwa informasi dan data yang berhubungan dengan pengembangan destinasi

pariwisata di negara-negara sedang berkembang cendrung hanya bisa diakses

oleh kelompok masyarakat kaya serta berpendidikan.

55

Selain pada tataran operasional, keterbatasan partisipasi pada pembangun-

an kepariwisataan juga bisa disebabkan karena permasalahan-permasalahan

struktural berikut:

1. Sikap dari para profesional: sikap (attitudes) para profesional dan teknokrat di

sektor pariwisata merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan pada proses

pembentukan partisipasi masyarakat di sektor ini. Permasalahan pada rendah-

nya partisipasi masyarakat yang disebabkan faktor sikap ini cendrung berasal

dari rasa percaya diri bahwa mereka (para profesional dan teknokrat) memiliki

kualifikasi diri yang sangat memadai untuk mencari solusi permasalahan di

bidang kepariwisataan yang mengarah kepada kondisi One Right Answer,

yang membuat ‘suara-suara’ masyarakat menjadi tidak terakomodir pada

permasalahan pembangunan kepariwisataan di wilayahnya, sehingga akan

bermuara pada rendahnya tingkat partisipasi masyarakat lokal;

2. Terbatasnya Keahlian dan Pengalaman: keahlian dan pengalaman dari para

pakar pembangunan kepariwisataan pada pelibatan masyarakat lokal

merupakan faktor struktural kedua yang menyebabkan rendahnya partisipasi

masyarakat di negara-negara sedang berkembang. Hal ini bisa dipahami

memperhatikan bahwa pariwisata merupakan suatu bentuk industri yang baru

dikenal pada beberapa dasawarsa terakhir yang menyebabkan pengalaman

untuk melibatkan masyarakat lokal pada pembangunan kepariwisataan di

wilayahnya secara relatif masih sangat terbatas;

3. Dominasi Elite: tidak bisa dipungkiri bahwa iklim demokrasi di negara-negara

sedang berkembang masih berumur muda. Dominannya peranan dan

56

pengaruh dari sekelompok masyarakat dan pejabat-pejabat pemerintah

merupakan kendala struktural lain yang menyebabkan partisipasi masyarakat

lokal belum berkembang. Para elite masyarakat dan pemerintah memiliki

kekhawatiran bahwa para kelompok miskin dan kelompok berpendidikan

rendah bisa membahayakan status quo yang terbentuk dan terbukti telah

mampu menguntungkan mereka dari berbagai dimensi;

4. Terbatasnya Sistem Hukum yang Memadai: sebuah sistem hukum yang

memungkinkan kelompok miskin dan kelompok masyarakat berpendidikan

rendah berpartisipasi dalam proses pembangunan kepariwisatan di suatu

kawasan mutlak dibutuhkan. Meskipun demikian, seperti dinyatakan Tosun

(2000), adanya kecendrungan di negara-negara sedang berkembang untuk

menciptakan jarak (puts a distance) antara kelompok masyarakat jelata (grass-

root) dengan otoritas formal pada proses perencanaan mengakibatkan tidak

terakomodirnya kepentingan masyarakat jelata pada pembangunan

kepariwisataan di wilayahnya yang menyebabkan rendahnya partisipasi

mereka. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa adanya manfaat komperatif

yang dirasakan masyarakat akan menyebabkan partisipasinya pada aktivitas

yang terkait dengan kepariwisataan meningkat (Wei et al., 2012).

5. Rendahnya Kualitas Sumberdaya: sumberdaya yang memiliki kualifikasi dan

pengalaman di bidang kepariwisataan akan menyebabkan meningkatnya

peluang mereka terlibat secara langsung atau tidak langsung di industri pari-

wisata di wilayahnya. Seperti yang dinyatakan oleh Todaro (1994:363),

sumberdaya manusia, bukan sumberdaya kapital atau sumberdaya alam

57

merupakan faktor penentu utama pada karakter dan kecepatan dari proses

pembangunan nasional suatu negara. Rendahnya kualitas sumberdaya

masyarakat lokal ditinjau dari sisi kualifikasi pendidikan formal dan

pengalamannya, menyebabkan rendahnya daya saing mereka dalam meraih

peluang kerja yang timbul dengan adanya industri pariwisata di wilayahnya.

Hal ini akan berdampak pada masuknya aliran tenaga kerja (influx) dari luar

wilayah dengan kualifikasi dan kompetisi yang sesuai dengan karakteristik

industri pariwisata yang berkembang. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi

niat masyarakat untuk berpartisipasi pada pembangunan kepariwisataan di

wilayahnya;

6. Biaya untuk Keberpartisipasian: Paul (1987) dalam Tosun (2000) menyatakan

bahwa partisipasi masyarakat membutuhkan waktu, dana, dan kemampuan

yang memadai dari para partisipan agar partisipasi menjadi berkelanjutan.

Seringkali teramati di negara-negara sedang berkembang di mana sebagian

penduduknya masih bergulat dengan pemenuhan kebutuhan harian keluarga,

keberpartisipasian pada proses-proses pembangunan di wilayahnya,

khususnya yang tidak menghasilkan manfaat ekonomis (uang) secara cepat

bertentangan dengan aktivitas mereka yang dianggapnya lebih bermanfaat dari

sisi pandang penghasilan yang diperoleh. Mengacu kepada hal ini, maka

secara jelas masyarakat lokal akan membandingkan ‘biaya’ yang harus mereka

keluarkan (melalui adanya pendapatan yang hilang) dengan penghasilan yang

mereka peroleh dalam jangka pendek. Hal ini merupakan penyebab struktural

58

lain yang mempengaruhi partisipasi masyarakat di bidang pembangunan

kepariwisataan di wilayahnya;

7. Terbatasnya Sumberdaya Finansial: telah disepakati bahwa industri pariwisata

merupakan sebuah industri yang bersifat padat modal. Seringkali teramati,

terbatasnya kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam membangun

fasilitas pariwisata di suatu kawasan, menyebabkan sangat dibutuhkannya

investasi swasta (dari dalam dan luar negeri) untuk mengembangkan sebuah

destinasi wisata. Hal ini berimplikasi pada kepemilikan (ownership) dan jenis

kendali (local control). Terkait dengan partisipasi masyarakat, maka bila

komunitas masyarakat lokal tidak atau hanya sedikit memiliki infrastruktur

pariwisata di wilayahnya yang bermuara pada lemahnya kendali masyarakat

lokal, maka dapat dipahami partisipasi mereka pun akan rendah;

Pada tataran budaya, keterbatasan partisipasi pada pembangunan

kepariwisataan juga bisa disebabkan karena dua permasalahan berikut:

1. Kapasitas yang Terbatas dari Masyarakat Miskin: Arnstein menyatakan “ …

Depending on their motives, power holders can hire poor people to co-opt

them, to placate them or to utilise the have-nots’ special skills and insights…”

(Arnstein, 1971:74). Pernyataan ini merupakan gambaran bahwa masyarakat

jelata memiliki kapabilitas yang sangat terbatas untuk mengelola segala

sesuatu yang terkait secara langsung dengan berbagai aspek kehidupannya.

Keterbatasan kapabilitas ini selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan

mereka mengorganisasikan dirinya untuk membentuk kelompok yang bisa

menyuarakan kepentingannya. Akibatnya, masyarakat jelata akan semakin

59

apatis dan partisipasinya semakin rendah terkait dengan proses pembangunan

di wilayahnya;

2. Sikap Apatis dan Kesadaran Masyarakat Lokal: telah menjadi pemahaman

umum bahwa masyarakat jelata memiliki sikap apatis dan tingkat kesadaran

yang rendah mengenai isu-isu di bidang sosial-budaya, ekonomi maupun

politik. Terdapat banyak hal yang melatar belakangi hal-hal ini diantaranya

hubungan patron-client yang telah terbentuk ratusan tahun, tingkat pendidikan

yang rendah, ketakadilan dalam distribusi pendapatan, dan penyebab lainnya.

Apatisme dan kesadaran masyarakat lokal selanjutnya akan mengarah pada

rendahnya partisipasi yang mereka tunjukkan pada proses pembangunan di

wilayahnya.

Partisipasi masyarakat dalam proses-proses pembangunan yang terjadi di

wilayahnya menjadi topik riset yang sangat menarik. Kajian tentang partisipasi

masyarakat ini dijumpai pada berbagai sektor pembangunan, baik pada skala

mikro maupun makro. Sebuah riset yang dilakukan oleh Wei et al. (2012) di

Xingwen World Geopark, China; mengindikasikan bahwa setidak-tidaknya

terdapat empat faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada per-

kembangan pariwisata di wilayah ini. Melalui penyebaran 106 kuesioner kepada

rumahtangga-rumahtangga di enam desa di wilayah ini, dan 94 kuesioner layak

dianalisis dengan efficientcy rate sebesar 88,7 persen, para peneliti menyimpulkan

pengaruh dari faktor-faktor berikut pada partisipasi masyarakat lokal di Xingwen

World Geopark:

60

1. Manfaat komperatif dari partisipasi: meningkatnya manfaat yang dirasakan

melalui keterlibatan masyarakat menyebabkan meningkatnya partisipasi

masyarakat. Melalui teknik analisis Regresi Logistik, secara empiris terbukti

dengan meningkatnya satu unit manfaat yang dirasakan masyarakat,

partisipasinya mengalami peningkatan sebesar 4,456 unit;

2. Keinginan berpartisipasi: keinginan untuk berpartisipasi (participation wish)

merupakan faktor kedua penyebab partisipasi masyarakat. Meningkatnya satu

unit keinginan akan menyebabkan partisipasi masyarakat meningkat 7,030

unit;

3. Kesadaran tentang adanya peluang kerja: meningkatnya kesadaran masyarakat

bahwa industri pariwisata yang berkembang di wilayahnya akan membuka

peluang kerja yang menguntungkan dirinya merupakan faktor dengan

pengaruh tertinggi. Meningkatnya satu unit kesadaran masyarakat akan

mampu meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah penelitian sebesar

26,122 unit, dan;

4. Ketrampilan masyarakat lokal: ketrampilan masyarakat lokal merupakan

faktor kedua terbesar setelah faktor tentang adanya peluang kerja yang

menentukan partisipasi masyarakat pada pembangunan pariwisata di Xingwen

World Geopark. Meningkatnya satu unit ketrampilan masyarakat me-

nyebabkan partisipasi meningkat sebesar 7,319 satuan.

Mengacu kepada faktor-faktor di atas, Wei et al. (2012) menyarankan agar

kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal tentang bertambahnya peluang kerja

dan ketrampilan masyarakat di sektor industri pariwisata harus ditingkatkan,

61

memperhatikan kedua faktor ini merupakan faktor-faktor determinan yang sangat

mempengaruhi partisipasi masyarakat di wilayah Xingwen World Geopark, Cina.

Hasil riset Wei et al. (2012), meskipun berhasil mengkonfirmasi peranan dari

adanya peluang kerja dan ketrampilan masyarakat di sektor industri pariwisata

terhadap tingkat keberpartisipasiannya, masih belum memilah faktor-faktor

tersebut ke dalam dua kelompok alasan berpartisipasi, partisipasi pada proses

pengambilan keputusan (decision making process) dan partispasi pada penerima-

an manfaat (perceived benefit) dari adanya pengembangan pariwisata di kawasan

tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Pretty et al. (1995) dan Aref (2011) serta

karakteristik sosio-demografi masyarakat oleh Tosun & Timothy (2003).

Pada penelitian tentang isu-isu dan tantangan yang dihadapi pada pem-

bangunan pariwisata di Bengali Barat, India; Banerjee et.al (2011) dengan

melakukan analisis SWOT berhasil mengidentifikasi tantangan-tantangan sebagai

berikut:

1. Lemah dan kurangnya kemampuan identifikasi dan kesadaran (awareness)

pemerintah lokal pada pengidentifikasian aspek-aspek yang harus

dikedepankan pada pembangunan pariwisata di wilayah ini. Pemerintah lokal

tidak bisa mengidentifikasi potensi-potensi wisatawan serta potensi-potensi

lokasi wisata di wilayahnya;

2. Terbatasnya dokumentasi dan data yang berhubungan dan dapat digunakan

untuk mengembangkan kepariwisataan di wilayah ini. Sekitar 45 persen

responden yang berasal dari pegawai pemerintah di bidang kepariwisataan

menyatakan Pemerintah Bengali Barat tidak memiliki statistik kepariwisataan

yang merefleksikan potensi kepariwisataan di wilayah ini;

62

3. Terbatasnya materi promosi kepariwisataan ditinjau dari sisi pandang kualitas

promosi. Materi promosi yang dibuat Pemerintah Bengali Barat, menurut

penilaian dari 62 persen responden, tidak mampu untuk menarik minat

wisatawan mengunjungi destinasi wisata di wilayah ini serta cendrung bersifat

monoton;

4. Rendahnya persepi tentang keamanan di wilayah ini di mata para wisatawan.

Sekitar 72 persen wisatawan menyatakan mereka tidak berminat untuk

berkunjung kembali ke wilayah ini yang disebabkan oleh kondisi politik dan

keamanan. Selain itu, tingginya tingkat kriminalitas di wilayah ini merupakan

alasan lain rendahnya daya tarik (attractiveness) wisata dari wilayah Bengali

Barat, dan;

5. Rendahnya kualitas kebijakan pemerintah terhadap konservasi alam, budaya,

dan lingkungan wilayah ini yang mampu memikat kedatangan wisatawan.

Sekitar 65 persen responden menyatakan seharusnya kualitas kebijakan

pemerintah di bidang konservasi alam, budaya, dan lingkungan ditingkatkan.