bab ii landasan teori 2.1 konsep dasar sistem distribusieprints.umm.ac.id/45388/3/bab ii.pdf4 bab ii...
TRANSCRIPT
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Sistem Distribusi
Distribusi dari produk sering menciptakan hirarki dari lokasi penyimpanan
yang dapat meliputi: pusat-pusat produksi (manufacturing centers), pusat-pusat
distribusi (distribution centers), grosir (wholesalers), dan pengecer atau retailers
(Tersine, 1994). Distribusi dari barang mengacu pada hubungan yang ada di antara
titik-titik produksi dan pelanggan akhir yang terdiri dari beberapa jenis inventori
yang harus dikelola.
Tujuan utama dari manajemen distribusi inventori adalah memperoleh
inventori dalam tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, spesifikasi kualitas yang
tepat, serta pada ongkos yang memadai. Tujuan ini untuk mencapai tingkat
pelayanan pelanggan (customers service level) yang diinginkan pada atau dibawah
tingkat ongkos yang telah ditetapkan.
Keputusan sistem distribusi akan mempengaruhi:
1. Fasilitas.
2. Transportasi.
3. Investasi inventori.
4. Manufakturing.
5. Komunikasi dan pemprosesan data.
Kebijakan dan strategi distribusi harus menjadi bagian dari strategi organisasi
manufakturing secara terintegrasi yang mencakup semua area fungsional seperti:
pemasaran, engineering, keuangan, dan manufacturing.
2.2 Definisi Distribusi
Distribusi adalah usaha perpindahan atau pengiriman produk dari akhir lini
produksi kepada konsumen. Kegiatan distribusi meliputi transportasi
pengangkutan, proteksi terhadap pengemasan, pengendaliaan persediaan
5
Bangunan pabrik, pemilihan lokasi gudang, pemprosesan pesanan, peramalan pasar, dan layanan
pelanggan (Tersine, 1994).
Sistem distribusi diklasifikasikan atas 2 jenis yaitu:
1. Sistem tarik (pull system)
Sistem tarik adalah suatu sistem dimana operasi (produksi, pengadaan, pemindahan material,
distribusi, produk, dan sebagainya) terjadi sebagai atas tanda atau isyarat yang diberikan oleh
pemakai pada eselon yang lebih rendah dari sistem (distribusi). Tujuan dari sistem ini adalah
untuk membeli, menerima, memindahkan, membuat dengan tepat apa yang dibutuhkan, kapan
dibutuhkan, dan agar tidak terjadi penyimpangan atas item yang tidak dibutuhkan.
2. Sistem dorong (push system)
Sistem dorong adalah suatu sistem dimana operasi-operasi diatas terjadi sebagai respon atas
jadwal yang telah dibuat sebelumnya tanpa harus mempertimbangkan status nyata dari operasi
tersebut. Tujuan sistem ini adalah untuk menjaga konsistensi jadwal yang telah dibuat. Pada
sistem ini keputusan-keputusan pengiriman ditentukan pada eselon yang lebih tinggi.
Informasi yang berkaitan dengan permintaan dan tingkat persediaan pada eselon yang lebih
rendah harus sering kali dikirim ke eselon yang lebih tinggi. Lebih dari itu, pada sistem push
ini harus dilakukan peramalan pada eselon yang lebih tinggi sehingga kuantitas dan waktu
pengiriman bisa direncanakan pada suatu perencanaan tertentu.
2.3 Sistem Distribusi
Sistem distribusi pada perusahaan mencakup sistem transportasi pada beberapa tempat. Aliran
distribusi dilakukan pada beberapa retail dan grosir setiap tempat. Perusahaan akan mengirim
barang apabila permintaan dari retail atau grosir sudah diterima sesuai dengan yang dibutuhkan
dikarenakan perusahaan berproduksi berdasarkan sistem ”make to stock”.
Namun kendala yang dihadapi oleh perusahaan jumlah barang yang didistribusikan tidak tepat
dan menyebabkan biaya distribusi yang tinggi. Penerapan Distribution Requirement Planning
dapat mengakomodasi kendala yang unik dari setiap lingkungan bisnis yang menghasilkan
penerapan stimulasikan dunia nyata dalam bentuk yang dapat mencerminkan apa yang dilakukan
perusahaan dan yang dibutuhkan di masa yang akan datang seperti penerapan penggunaan bill of
distribution memaparkan jaringan distribusi dengan mengindikasi berapa banyak lokasi stock
6
inventory yang dibutuhkan untuk diatur, dimana kebutuhan supplier itu berada, yang dimana
produk akan disimpan pada lokasi yang berbeda-beda, metode transportasi apa yang akan
digunakan dan ukuran pengiriman. Kemampuan untuk menunjukkan lingkungan sendiri
merupakan sebuah fungsi dari aplikasi informasi Distribution Requirement Planning dari modul
bill of distribution, yang sama dengan Gambar 2.1. Pengguna dari modul ini memaparkan jaringan
distribusi dengan mengindikasi berapa banyak lokasi stock inventory yang dibutuhkan untuk
diatur, dimana kebutuhan supplier itu berada, yang dimana produk akan disimpan pada lokasi yang
berbeda-beda, metode transportasi apa yang akan digunakan dan ukuran pengiriman (Narasimhan,
dkk. 1995).
Gambar 2.1 Modul of Bill Distribution
2.4 Peramalan
Peramalan merupakan bagian awal dari suatu proses pengambilan suatu keputusan. Sebelum
melakukan peramalan harus diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya persoalan dalam
pengambilan keputusan itu (Ginting, 2007). Peramalan adalah pemikiran terhadap suatu besaran,
misalnya permintaan terhadap satu atau beberapa produk pada periode yang akan datang.
Pada hakekatnya peramalan hanya merupakan suatu perkiraan (guess), tetapi dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu, maka peramalan menjadi lebih sekedar perkiraan. Peramalan
dapat dikatakan perkiraan ilmiah (educated guess). Setiap pengambilan keputusan yang
menyangkut keadaan di masa yang akan datang, maka pasti ada peramalan yang melandasi
pengambilan keputusan tersebut.
2.4.1 Prinsip-Prinsip Peramalan
7
Adapun lima prinsip peramalan yang sangat perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil
peramalan yang baik yaitu (Sinulingga, 2009):
1. Peramalan selalu mengandung error. Hampir tidak pernah ditemui bahwa hasil peramalan
persis seperti kenyataan di lapangan. Peramalan mengurangi faktor ketidakpastian, tetapi tidak
pernah mampu untuk menghilangkannya. Para pengguna atau pelaksana peramalan harus
benar-benar memahami situasi ini.
2. Peramalan harus mencakup ukuran dari error. Karena peramalan selalu mengandung error,
maka para pengguna perlu mengetahui besarnya error yang terkandung. Besarnya error dapat
dijelaskan dalam bentuk kisaran sekitar hasil peramalan baik dalam unit atau persentase dan
probabilitas tentang permintaan sesungguhnya akan berada dalam kisaran tersebut.
3. Peramalan item yang dikelompokkan dalam family selalu lebih akurat dibandingkan dengan
peramalan dalam item per item. Jika family dari produk sebagai sebuah kesatuan (unit)
diramalkan maka persentase error akan semakin kecil, tetapi apabila diramalkan masing-
masing sebagai individual product maka persentase error akan semakin tinggi.
4. Peramalan untuk jangka pendek selalu lebih akurat dibandingkan dengan peramalan untuk
jangka panjang. Dalam jangka pendek, kondisi yang mempengaruhi kecenderungan
permintaan hampir sama atau kalau pun berubah hanya sedikit dan berjalan sangat lambat.
Apabila rentang waktu peramalan bertambah panjang maka kecenderungan permintaan
semakin dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga error akan semakin besar.
5. Apabila dimungkinkan, perkiraan besarnya permintaan lebih disukai berdasarkan perhitungan
dari pada hasil peramalan. Misalnya dalam perencanaan produksi dalam lingkungan make-to-
stock, apabila besarnya permintaan terhadap produk akhir telah diperkirakan berdasarkan hasil
peramalan maka besarnya jumlah part, komponen, sub-assembly dan bahan baku untuk
produk tersebut lebih baik dihitung berdasarkan principle of dependent demand dari pada
masing- masing ditetapkan berdasarkan hasil peramalan.
2.4.2 Metode Peramalan
Metode peramalan dapat diklasifikasikan atas dua kelompok besar yaitu metode kualitatif dan
kuantitatif (Sinulingga, 2009). Kedua kelompok tersebut memberikan hasil peramalan yang
kuantitatif. Perbedaannya terletak pada pertimbangan akal sehat (human judgement) dan
8
pengalaman. Model kuantitatif adalah sebuah prosedur formal yang menggunakan model
matematik dan data masa lalu untuk memproyeksikan kebutuhan dimasa yang akan datang.
Metode kuantitatif dapat dibagi lebih lanjut menjadi dua bagian yaitu metode intrinsik
(intrinsic method) dan metode ekstrinsik (extrinsic method). Metode intrinsik sepenuhnya
berdasarkan pada latar belakang riwayat permintaan terhadap item yang diramalkan, sedangkan
metode ekstrinsik menggunakan faktor eksternal yang dikombinasikan dengan permintaan
terhadap item yang diramalkan misalnya dalam hubungan sebab-akibat (causal relationship).
2.4.2.1 Metode Kuantitatif
Peramalan berdasarkan metode kuantitatif mempunyai asumsi bahwa data permintaan masa
lalu dari produk atau item yang diramalkan mempunyai pola yang diperkirakan masih berlanjut ke
masa yang akan datang.
Adapun langkah-langkah peramalan secara kuantitatif sebagai berikut:
a. Tentukan tujuan peramalan.
b. Pembuatan diagram pencar.
c. Pilih minimal dua metode peramalan yang dianggap sesuai.
d. Hitung parameter-parameter fungsi peramalan.
e. Hitung kesalahan setiap metode yang terbaik, yaitu yang memiliki kesalahan terkecil.
f. Pilih metode yang terbaik, yaitu yang memiliki kesalahan terkecil.
g. Lakukan verifikasi peramalan.
Adapun beberapa metode kuantitatif yaitu:
1. Metode Smoothing
Metode smoothing digunakan untuk melicinkan atau mengurangi ketidakteraturan ramalan
berdasarkan data yang lalu. Metode smoothing dapat dibagi lagi menjadi beberapa metode,
antara lain :
a. Single Moving Average
Moving Average diperoleh dengan merata-rata permintaan berdasarkan beberapa data
masa lalu yang terbaru. Tujuannya adalah untuk mengurangi atau menghilangkan variasi
acak permintaan dalam hubungannya dengan waktu. Single Moving Average merupakan
peramalan untuk satu periode ke depan dari periode rata-rata.
b. Weighted Moving Average
9
Weighted Moving Average adalah metode perhitungan dengan cara mengalikan tiap-tiap
periode dengan faktor bobot dan membagikannya dengan hasil produk yang merupakan
penjumlahan faktor bobot.
2. Metode Proyeksi Kecenderungan dengan Regresi
Metode kecenderungan dengan regresi merupakan dasar kecenderungan untuk suatu
persamaan, sehingga dengan dasar persamaan tersebut dapat diproyeksikan hal-hal yang akan
diteliti pada masa yang akan datang. Untuk peramalan jangka pendek dan jangka panjang,
ketepatan peramalan dengan metode ini sangat baik. Data yang dibutuhkan untuk metode ini
adalah tahunan, minimal lima tahun. Namun, semakin banyak data yang dimiliki semakin baik
hasil yang diperoleh.
3. Metode Dekomposisi
Hasil ramalan ditentukan dengan kombinasi dari fungsi yang ada sehingga tidak dapat
diramalkan secara biasa. Model tersebut didekati dengan fungsi linier atau siklis, kemudian
bagi t atas kwartalan sementara berdasarkan pola data yang ada. Metode dekomposisi
merupakan pendekatan peramalan yang tertua. Terdapat beberapa pendekatan alternatif untuk
mendekomposisikan suatu deret berkala yang semuanya bertujuan memisahkan setiap
komponen deret data seteliti mungkin. Konsep dasar pemisahan bersifat empiris dan tetap,
yang mula-mula memisahkan unsur musiman dan trend. Adapun langkah-langkah pengerjaan
peramalan dengan metode dekomposisi, yaitu (Fogarty, 1991):
a. Menghitung nilai rata-rata bergerak
Nilai rata-rata bergerak yang dihitung adalah rata-rata bergerak dalam kurun waktu per t
periode selama n periode. Nilai rata-rata diletakkan di pertengahan periode.
b. Menghitung nilai indeks musim
Nilai indeks musim dihitung dengan menggunakan nilai indeks rata-rata bergerak yang
telah dihitung sebelumnya. Hal pertama yang dilakukan adalah menghitung nilai faktor
musim dengan cara membagikan hasil rata-rata bergerak dengan permintaan di periode
yang sama, kemudian menghitung nilai indeks musim dengan cara merata-ratakan nilai
dari faktor musim yang ada.
10
c. Mencari persamaan garis trend
Garis trend dapat dicari dengan menggunakan persamaan: YX = a + bX Berdasarkan
persamaan tersebut, maka langkah pertama yang harus dilakukan untuk mencari
persamaan garis trend adalah menghitung nilai a dan b:
𝑏 =(𝑛)(∑ 𝑋𝑌)−(∑ 𝑌)(∑ 𝑋)
𝑛−(∑ 𝑋2)−(∑ 𝑋)2 (1)
𝑎 = �̅� − (𝑏)(�̅�) (2)
d. Menghitung nilai persamaan garis trend
Nilai persamaan garis trend dihitung di setiap periode peramalan yang diinginkan. Nilai
peramalan garis trend dapat dihitung dengan memasukkan nilai periode yang diinginkan.
e. Menghitung nilai ramalan akhir
Nilai ramalan akhir didapatkan dengan cara mengalikan nilai persamaan garis trend
dengan nilai indeks musim.
2.4.3 Kesalahan Peramalan
Dalam menentukan metode peramalan yang terbaik ada beberapa kriteria yang bisa
digunakan, yaitu (Tersine, 1994):
1. Mean Absolute Deviation (MAD)
MAD adalah istilah statistik untuk rata-rata, berarti mutlak plus atau minus tanda diabaikan,
dan deviasi berarti perbedaan antara permintaan aktual dan ramalan diperoleh dengan
membagi jumlah observasi ke dalam jumlah penyimpangan mutlak. MAD (Mean Absolute
Deviation) dihitung dari rumus sebagai berikut:
𝑀𝐴𝐷 =∑ |𝑌𝑖−�̇�𝑖|𝑛
𝑖=1
𝑛 (3)
Dimana:
𝑌�̇� = peramalan permintaan untuk periode i
𝑌𝑖 = permintaan sebenarnya untuk periode i
n = jumlah observasi atau periode waktu
𝑌𝑖 − 𝑌𝑖 =̇ deviasi atau kesalahan peramalan
11
|𝑌𝑖 − �̇�𝑖| = deviasi mutlak
2. Mean Absolute Procentage of Error (MAPE)
MAPE merupakan ukuran kesalahan relative. MAPE biasanya lebih berarti dibandingkan
MAD karena MAPE menyatakan presentase kesalahan dari hasil peramalan terhadap
permintaan aktual selama periode tertentu yang akan memberikan informasi presentase
kesalahan terlalu tinggi atau rendah. Metode peramalan dianggap terbaik apabila memiliki
prosentase terkecil. Secara matematis MAPE dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
𝑀𝐴𝑃𝐸 =∑ (|𝑓𝑡−𝑓1|𝑓𝑡)𝑥100%𝑛
𝑡−1
𝑚 (4)
Dimana:
Ft = data permintaan ke-t
F1 = data hasil peramalan ke-t
m = jangka waktu peramalan
2.4.4 Proses Verifikasi
Proses verifikasi digunakan untuk melihat apakah metode peramalan yang diperoleh
representatif terhadap data. Proses verifikasi dilakukan dengan menggunakan Moving Range
Chart (MRC). Dari peta (chart) ini dapat terlihat apakah sebaran masih dalam kontrol ataupun
sudah berada di luar kontrol. Jika sebaran berada di luar kontrol, maka fungsi/metode peramalan
tersebut tidak sesuai, artinya pola peramalan terhadap data (Y-YF) tersebut tidak representatif.
Penggambaran area pada Moving Range Chart (MRC) dapat dilihat pada Gambar 3.7 (Ginting,
2007).
Gambar 2.2 Moving Range Chart
12
Harga MR diperoleh dari:
𝑀𝑅̅̅̅̅̅ =∑ 𝑀𝑅𝑡
𝑁−1𝑡−2
𝑁−1 (5)
Kondisi out of control dapat diperiksa dengan menggunakan empat aturan berikut:
1. Aturan Satu Titik
Bila ada titik sebaran (Y-YF) berada di luar UCL dan LCL. Walaupun jika semua titik sebaran
berada dalam batas kontrol, belum tentu fungsi/metode representatif. Untuk itu penganalisaan
perlu dilanjutkan dengan membagi MRC dalam tiga daerah, yaitu A, B, dan C.
2. Aturan Tiga Titik
Bila ada tiga buah titik secara berurutan berada pada salah satu sisi yang mana dua diantaranya
jatuh pada daerah A.
3. Aturan Lima Titik
Bila ada lima buah titik secara berurutan berada pada salah satu sisi yang mana empat
diantaranya jatuh pada daerah B.
4. Aturan Delapan Titik
Bila ada delapan buah titik secara berurutan berada pada salah satu sisi pada daerah C.
2.5 Distribution Requirement Planning (DRP)
2.5.1 Pengertian Distribution Requirement Planning (DRP)
Distribution Requirement Planning merupakan suatu rencana kebutuhan distribusi produk
yang dilakukan dari pihak produsen kepada konsumen atau juga dari pihak distributor kepada
pengecer (Tersine, 1994). Persediaan produk oleh banyak perusahaan dianggap sangat perlu
karena adanya fluktuasi permintaan sehingga menyebabkan kehilangan penjualan. Salah satu cara
dapat menyelesaikan masalah pengendalian persediaan adalah perencanaan kebutuhan distribusi
atau yang dikenal dengan Distribution Requirement Planning (DRP). DRP menyediakan informasi
yang dibutuhkan distribusi dan manajemen manufaktur untuk mengefektifkan alokasi persediaan
dan kapasitas produksi sehingga pelayanan terhadap konsumen dapat ditingkatkan dan biaya
penyimpanan dapat dikurangi.
13
2.5.2 Fungsi DRP
Keuntungan yang didapat dari penerapan metode DRP adalah:
1. Dapat dikenali saling ketergantungan persediaan distribusi dan manufaktur.
2. Sebuah jaringan distribusi yang lengkap dapat disusun, yang memberikan gambaran yang
jelas dari atas maupun dari bawah jaringan.
3. DRP menyusun kerangka kerja untuk pengendalian logistik total distribusi ke manufaktur
untuk pembelian.
4. DRP menyediakan masukkan untuk perencanaan penjadwalan distribusi dari sumber
penawaran ke titik distribusi.
2.5.3 Prosedur Perhitungan DRP
Perhitungan perencanaan kebutuhan distribusi dimulai dari peramalan permintaan, ukuran lot
pemesanan, persediaan pengaman, kemudian dihitung kebutuhan bersih, sampai penentuan
perencanaan pesanan dikirim. Tabel 2.1 merupakan contoh tabel perhitungan DRP:
Tabel 2.1 Tabel Perhitungan DRP
Safety Stock : Periode
Ukuran Lot :
Lead Time : PD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gross Requirement
Scheduled Receipt
Projected On Hand
Net Requirement
Planned Order Receipt
Planned Order Release
Logika dasar DRP adalah sebagai berikut (Tersine, 1994):
1. Gross Requirement/Forecast Demand diperoleh dari hasil forecasting.
2. Dari hasil peramalan distribusi lokal, hitung Time Phased Net Requirement. Net Requirement
tersebut mengidentifikasi kapan level persediaan (Scheduled Receipt – Projected On Hand
periode sebelumnya) dipenuhi oleh Gross Requirement. Untuk sebuah periode Net
Requirement = (Gross Requirement + Safety stock) – (Scheduled Receipt + Projected On
Hand) Periode Sebelumnya. Nilai Net Requirement yang dicatat adalah nilai yang bernilai
positif.
14
3. Setelah itu dihasilkan sebuah Planned Order Receipt sejumlah Net Requirement tersebut
(ukuran lot tertentu) pada periode tersebut.
4. Ditentukan hari dimana harus melakukan pemesanan tersebut (Planned Order Release)
dengan mengurangkan hari terjadwalnya Planned Order Receipt dengan Lead Time.
5. Dihitung Projected On Hand pada periode tersebut: Projected On Hand = (Projected On
Hand periode sebelumnya + Scheduled Receipt + Planned Order Receipt) – (Gross
Requirement).
6. Besarnya Planned Order Release menjadi Gross Requirement pada periode yang sama untuk
level berikutnya dari jaringan distribusi.
2.6 Teknik Lot Sizing
Macam-macam teknik lot sizing adalah sebagai berikut:
1. Fixed Order Quantity (FOQ)
Ukuran metode FOQ ditentukan secara subjektif. Berapa besarnya yang dapat ditentukan
berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada teknik yang dapat dikemukakan
untuk menentukan berapa ukuran lot ini. Kapasitas produksi selama lead time produksi dalam
hal ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya lot. Sekali ukuran lot
diterapkan, maka lot ini akan digunakan untuk seluruh periode selanjutnya dalam
perencanaan. Berapapun kebutuhan bersihnya, rencana akan tetap sebesar lot yang ditentukan
tersebut. Metode ini dapat ditempuh untuk item-item yang biaya pemesanannya (ordering
cost) sangat mahal. Salah satu ciri dari metode FOQ ini adalah ukuran lot-nya tetap, tetapi
metode pemesanannya yang selalu berubah.
2. Economic Order Quantity (EOQ)
Penetapan ukuran lot dengan teknik ini sangat popular sekali dalam sistem persediaan
tradisional. Dalam teknik ini besarnya lot adalah tetap. Penentuan lot berdasar biaya pesan
dan biaya simpan, dengan formula seperti berikut:
𝐸𝑂𝑄 = √2𝐷𝐶
𝐻 (6)
Dimana:
D = demand rata-rata per horison
15
C = biaya pemesanan
H = biaya penyimpanan per unit periode perencanaan
Metode EOQ ini biasanya dipakai untuk horison perencanaan selama satu tahun sebesar 12
bulan. Metode EOQ baik digunakan bila semua data konstan dan perbandingan biaya pesan
dan simpan sangat besar.
3. Lot-For-Lot (L-4-L)
Teknik penetapan ukuran lot dilakukan atas dasar pesanan diskrit. Disamping itu, teknik ini
merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot yang ada. Teknik ini selalu
melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama apabila terjadi perubahan pada
kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan
menjadi nol. Oleh karena itu, sering kali digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya
simpan per unit sangat mahal.
Apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat diskontinu atau tidak teratur, maka
teknik L-4-L ini memiliki kemampuan yang baik. Disamping itu, teknik sering digunakan
pada sistem produksi manufaktur yang mempunyai sifat set-up permanen pada proses
produksinya.
4. Fixed Period Requirement (FPR)
Dalam metode FPR penentuan ukuran lot didasarkan pada periode tertentu saja. Besarnya
jumlah kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan kebutuhan
bersih dalam periode yang akan datang. Bila dalam metode FOQ besarnya ukuran lot adalah
tetap sementara selang waktu antar pemesan tidak tetap. Dalam metode FPR ini selang waktu
antar pemesan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih.
2.7 Biaya Persediaan
Tujuan EOQ adalah untuk meminimumkan total biaya persediaan tahunan, biaya-biaya ini
dapat diklasifikasikan menjadi biaya persiapan/pemesanan (set up cost/ordering cost) dan biaya
penyimpanan (holding cost/carrying cost) (Zulfikarijah, 2005). Semua biaya tersebut dalam
persediaan merupakan biaya yang konstan, oleh karena itu apabila kita meminimalkan biaya total.
Sebagai ilustrasi, di dalam grafik biaya total merupakan fungsi dari jumlah pemesanan atau Q dan
jumlah pemesanan optimal Q merupakan jumlah yang akan meminimalkan biaya total.
16
Untuk mencapai titik optimum tersebut dapat ditemukan dengan terlebih dahulu menghitung
biaya yang terkait didalamnya. Adapun biaya-biaya tersebut adalah:
𝑇𝐶 = 𝑇𝑂𝐶 + 𝑇𝐶𝐶 + 𝑃𝑢𝑟𝑐ℎ𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝐶𝑜𝑠𝑡 (7)
=𝐷
𝑄𝑆 +
𝑄
2𝐶 + 𝑃. 𝐷 (8)
Dimana:
TC = Total biaya persediaan/th.
TOC = Total ordering cost = biaya pemesanan total.
TCC = Total carrying/holding cost = biaya penyimpanan total.
D = Jumlah permintaan selama 1 tahun.
Q = Jumlah setiap kali melakukan pemesanan.
S = Biaya setiap kali melakukan pemesanan.
C = Biaya penyimpanan per unit.
P = Harga barang per unit.
Biaya pemesanan per tahun (TOC) yaitu biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pemesanan
dalam satu tahun, besarnya biaya pemesanan ini bergantumg pada frekuensi pemesanan yang
dilakukan oleh perusahaan. Frekuensi pemesanan merupakan hasil pembagian jumlah kebutuhan
dalam 1 tahun dengan kuantitas setiap kali melakukan pemesanan (D/Q), sehingga total biaya
pemesanan merupakan perkalian dari frekuensi pemesanan dengan biaya setiap kali melakukan
pemesanan.
= (𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎𝑎𝑛/𝑡ℎ
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛) (𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑠𝑎𝑛𝑎𝑛) (9)
= (𝐷 (𝑆)
𝑄) (10)
2.8 Lead Time
Lead time merupakan waktu yang dibutuhkan antara pemesanan dengan barang sampai
diperusahaan, sehingga lead time berhubungan dengan reorder point dan saat penerimaan barang
(Zulfikarijah, 2005). Lead Time muncul karena setiap pesanan membutuhkan waktu dan tidak
semua pesanan bisa dipenuhi seketika, sehingga selalu ada jeda waktu. Lead time sangat berguna
bagi perusahaan yaitu pada saat persediaan mencapai nol, pesanan akan segera tiba di perusahaan.
Dalam EOQ, lead time diasumsikan konstan artinya dari waktu ke waktu selalu tetap misal lead
time 5 hari, maka akan berulang dalam setiap periode. Akan tetapi dalam prakteknya lead time
17
banyak berubah-ubah, untuk mengantisipasinya perusahaan sering menyediakan safety stock.
Safety stock (persediaan pengaman) merupakan persediaan yang digunakan dengan tujuan supaya
tidak terjadi stock out (kehabisan persediaan).
Dari pembahasan di atas faktor waktu sangatlah penting dalam pengisian kembali persediaan
karena terdapat perbedaan waktu yang kadang cukup lama saat mengadakan pesanan untuk
menggantikan atau pengisian kembali persediaan.
2.9 Safety Stock
Safety stock merupakan dilemma, dimana adanya stock out akan berakibat terganggunya
proses produksi adanya stock yang berlebihan akan membengkakkan biaya penyimpanannya
(Zulfikarijah, 2005). Oleh karena itu, dalam penentuan safety stock harus memperhatikan
keduanya, dengan kata lain dalam safety stock diusahakan terjadinya keseimbangan diantara
keduanya. Dalam penentuan safety stock pada level tertentu tergantung pada jenis pemesanan
persediaan di masing-masing perusahaan apakah didasarkan pada interval tetap (Fix on
Interval/FOI) atau sistem jumlah tetap (Fixed on Quantity/FOQ).
Tujuan safety stock adalah untuk meminimalkan terjadinya stock out dan mengurangi
penambahan biaya penyimpanan dan biaya stock out total, biaya penyimpanan disini akan
bertambah seiring dengan adanya penambahan yang berasal dari reorder point oleh karena adanya
safety stock. Keuntungan adanya safety stock adalah pada saat jumlah permintaan mengalami
lonjakan, maka persediaan pengaman dapat digunakan untuk menutup permintaan tersebut.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perusahaan melakukan safety stock yaitu:
1. Biaya atau kerugian yang disebabkan oleh stock out tinggi.
Apabila bahan yang digunakan untuk proses produksi tidak tersedia, maka aktivitas
perusahaan akan terhenti yang menyebabkan terjadinya idle tenaga kerja dan fasilitas pabrik
yang pada akhirnya perusahaan akan kehilangan penjualannya.
2. Variasi atau ketidakpastian permintaan yang meningkat.
Adanya jumlah permintaan yang meningkat atau tidak sesuai dengan peramalan yang ada di
perusahaan menyebabkan tingkat kebutuhan persediaan yang meningkat pula, oleh karena itu
perlu dilakukan antisipasi terhadap safety stock agar semua permintaan dapat terpenuhi.
3. Resiko stock out meningkat.
18
Keterbatasan jumlah persediaan yang ada di pasar dan kesulitan yang dihadapi perusahaan
mendapatkan persediaan akan berdampak pada sulitnya terpenuhi persediaan yang ada di
perusahaan, kesulitan ini akan menyebabkan perusahaan mengalami stock out.
4. Biaya penyimpanan safety stock yang murah.
Apabila perusahaan memiliki gudang yang memadai dan memungkinkan, maka biaya
penyimpanan tidaklah terlalu besar hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya stock
out.
Dalam menentukan safety stock terdapat metode yang dapat digunakan oleh perusahaan
sebagai berikut:
a. Intuisi.
Persediaan ditentukan berdasarkan jumlah safety stock pengalaman sebelumnya misalnya 1,5
kali; 1,4 kali dan seterusnya selama lead time.
b. Service level tertentu.
Metode ini mengukur seberapa efektif perusahaan mensuplai permintaan barang dari
stocknya. Dalam perhitungan digunakan probabilitas untuk memenuhi permintaan, untuk itu
diperlukan informasi yang lengkap tentang probabilitas berbagai tingkatan permintaan selama
lead time karena sering kali terjadi variasi. Variasi ini disebabkan oleh fluktuasi lama lead
time dan tingkat permintaan rata-rata.
c. Permintaan dengan distribusi empiris.
Metode ini didasarkan pada pengalaman empiris dimana dalam penentuan stock didasarkan
pada kondisi real yang dihadapi oleh perusahaan.
d. Permintaan distribusi normal
Permintaan yang dilakukan oleh beberapa pelanggan memiliki jumlah yang berbeda-beda,
walaupun demikian dengan menggunakan asumsi permintaan bersifat total akan dapat
dilakukan perhitungan dengan distribusi normal.
e. Permintaan berdistribusi poisson.
Pada saat jumlah permintaan total merupakan permintaan dari beberapa pelanggan dimana
setiap pelanggan hanya membutuhkan sedikit barang, maka sedikit sekali kemungkinan
produsen akan memenuhi kebutuhan satu pelanggan dalam jumlah yang besar. Dengan adanya
rata-rata tingkat pemesanan yang konstan dan interval waktu jumlah pemesanan tidak
19
tergantung pada yang lainnya, maka penentuan safety stocknya dapat menggunakan
pendekatan distribusi poisson dengan syarat jumlah permintaan rata-rata selama lead time
sama atau kurang dari 20.
f. Lead time tidak pasti.
Adanya jumlah permintaan yang tidak pasti pada periode tertentu akan berakibat lead time
untuk setiap siklus pemesanan bervariasi. Untuk itu perusahaan akan berusaha menyediakan
safety stock atau buffer stock selama lead time.
g. Biaya stock out.
Peningkatan biaya penyimpanan akan meningkat service level, sehingga semua usaha yang
digunakan untuk menutup semua level yang memungkinkan pada saat terjadi lead time
permintaan merupakan tujuan yang sangat sulit dicapai. Untuk semua produk permintaan
maksimum akan lebih murah dibandingkan dengan terjadinya stock out. Permasalahannya
adalah menentukan tingkat safety stock yang dapat menyeimbangkan biaya penyimpanan
dengan biaya safety stock out.
Dari uraian diatas pentingnya safety stock disebabkan oleh karena kerugian yang akan
ditanggung oleh perusahaan karena proses terhenti, variasi permintaan yang sangat variatif, resiko
stock out dipasar (pemasok) meningkat dan kemungkinan biaya safety stock yang lebih murah.
Penentuan safety stock dapat dilakukan mulai perhitungan yang sangat sederhana yaitu dengan
menggunakan intuisi sampai dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau menggunakan alat
statistik baik dengan distribusi normal maupun poisson yang kesemuanya bertujuan untuk
menentukan safety stock yang terbaik.
Jika ternyata pola permintaan bersifat probabilistik (umumnya dianggap berdistribusi
normal), sehingga akan ada resiko kekurangan persediaan. Dalam kondisi ini, tingkat persediaan
perlu ditambah sebesar persediaan pengaman (SS), yaitu (Ristono, 2009):
𝑆𝑆 = 𝑍 × 𝑆𝐿𝑡 (11)
Dimana:
Z = Batas kanan (pada tabel distribusi normal), sehingga luas kurva sama
dengan tingkat pelayanan
SLt = Deviasi standar tingkat permintaan selama lead time
2.10 Reorder Point
20
Reorder point adalah saat atau titik dimana harus diadakan pesanan lagi sedemikian rupa
sehingga kedatangan atau penerimaan material yang dipesan itu adalah tepat waktu dimana
persediaan diatas safety stock sama dengan nol (Riyanto, 2001).
Adapun beberapa faktor untuk menentukan Reorder Point (ROP) diantaranya adalah:
a. Pengadaan atau stock selama masa pengiriman.
b. Tingkat pengamanan yang diinginkan.
Adapun faktor-faktornya adalah:
a. Penggunaan material selama tenggang waktu mendapatkan barang (procurement lead time).
b. Besar safety stock.
Berdasarkan ada dan tidaknya safety stock ini, maka penentuan RP dapat terdiri dari dua,
yakni (Ristono, 2009):
1. Tanpa kebijakan safety stock:
𝑅𝑃 =𝐸𝑂𝑄
𝐿𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖× 𝑙𝑒𝑎𝑑 𝑡𝑖𝑚𝑒 (12)
2. Dengan kebijakan safety stock
𝑅𝑃 = (𝐸𝑂𝑄
𝐿𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖× 𝑙𝑒𝑎𝑑 𝑡𝑖𝑚𝑒) + 𝑆𝑎𝑓𝑒𝑡𝑦 𝑠𝑡𝑜𝑐𝑘 (13)