bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori dan … ii.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian...

92
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN Secara umum, bagian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama merupakan kajian pustaka, yang di dalamnya mengulas beberapa hasil pemikiran ilmiah yang pernah ditulis dan penelitian yang sudah dilakukan mengenai terjemahan dan penerjemahan khususnya yang berkaitan dengan bahasa simbol dan fenomena terjemahan yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu penerjemahan harfiah dan penerjemahan bebas. Bagian kedua menguraikan konsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam hal perbandingan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, dan Kitab Wahyu sebagai kitab simbol. Bagian ketiga memuat landasan teori yang digunakan sebagai pijakan dalam menganalisis data penelitian. Bagian keempat memuat model penelitian yang menjadi kerangka awal dalam mendisain penelitian ini. 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini bertujuan untuk meneliti penerjemahan simbol-simbol verbal yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dari bahasa Inggris (Yunani) ke bahasa Indonesia dalam dua versi terjemahan yang berbeda, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Oleh karena itu, dalam bagian ini dipandang perlu untuk meninjau beberapa penelitian yang membahas penerjemahan simbol dan juga penelitian yang mengarah pada studi perbandingan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Kajian pustaka yang diuraikan dalam bagian ini terdiri atas dua bagian, yakni bagian pertama berkaitan dengan penelitian yang mengkaji 14

Upload: others

Post on 29-Oct-2019

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,

LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

Secara umum, bagian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama

merupakan kajian pustaka, yang di dalamnya mengulas beberapa hasil pemikiran

ilmiah yang pernah ditulis dan penelitian yang sudah dilakukan mengenai

terjemahan dan penerjemahan khususnya yang berkaitan dengan bahasa simbol

dan fenomena terjemahan yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu

penerjemahan harfiah dan penerjemahan bebas. Bagian kedua menguraikan

konsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman

tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam hal perbandingan antara

terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, dan Kitab Wahyu sebagai kitab simbol.

Bagian ketiga memuat landasan teori yang digunakan sebagai pijakan dalam

menganalisis data penelitian. Bagian keempat memuat model penelitian yang

menjadi kerangka awal dalam mendisain penelitian ini.

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti penerjemahan simbol-simbol verbal

yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dari bahasa Inggris (Yunani) ke bahasa

Indonesia dalam dua versi terjemahan yang berbeda, yaitu terjemahan harfiah dan

terjemahan bebas. Oleh karena itu, dalam bagian ini dipandang perlu untuk

meninjau beberapa penelitian yang membahas penerjemahan simbol dan juga

penelitian yang mengarah pada studi perbandingan antara terjemahan harfiah dan

terjemahan bebas. Kajian pustaka yang diuraikan dalam bagian ini terdiri atas dua

bagian, yakni bagian pertama berkaitan dengan penelitian yang mengkaji

14

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

15

terjemahan, baik secara umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa

simbol, sedangkan bagian kedua berkaitan dengan hasil penelitian yang

mengetengahkan fenomena terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu yang

bertentangan yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.

Beberapa pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang memberi

sumbangan pemikiran berharga dalam pengkajian karya terjemahan, baik secara

umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa simbol, dapat diuraikan

seperti berikut.

Ordudari (2008) mengkaji penerjemahan simbol verbal dari bahasa Persia

ke bahasa Inggris. Penelitian yang dilakukannya bertujuan untuk menyoroti fakta

bahwa ada beberapa prosedur untuk menerjemahkan simbol secara efektif dari

bahasa Persia ke dalam bahasa Inggris. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

prosedur terjemahan forenisasi yang sering ditemukan dalam terjemahan harfiah

tidak terlalu fungsional dan berguna dalam mengungkapkan semua konsep yang

mendasari simbol yang diterjemahkan. Meskipun ada jalan keluar yang bisa

ditempuh untuk mengatasi hal ini, yaitu mengefektifkan penggunaan catatan kaki

untuk menjembatani sistem simbol BSu dan BSa yang berbeda bahkan

bertentangan, tetap saja prosedur ini dipandang tidak efektif karena cenderung

mengakibatkan translation loss.

Di samping itu, penggunaan catatan kaki yang terlalu berlebihan akan

membuat pembaca merasa kurang nyaman. Di sisi lain, prosedur yang dipandang

lebih tepat adalah domestikasi yang ditempuh melalui prosedur deskriptif, yaitu

dengan menambahkan pewatas (biasanya adjektiva) dan penggantian, yaitu entitas

BSu dengan entitas BSa yang memiliki gambaran sejenis. Anggapan ini

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

16

didasarkan pada pemikiran bahwa dengan menggunakan prosedur domestikasi

produk terjemahan tidak akan melanggar kesetiaan terhadap BSu dan pembaca

BSa dapat memahami simbol secepat pembaca BSu. Di samping itu, pembaca

BSa dapat memperluas pengetahuan budaya yang dimilikinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ordudari (2008) dapat dijadikan sebagai

pijakan penting dalam penelitian ini karena mengungkap tentang prosedur yang

tepat dalam menerjemahkan sistem simbol dalam dua bahasa. Kekurangan dari

penelitian tersebut terletak pada kesederhanaannya yang hanya menggunakan

pisau bedah berupa prosedur domestikasi dengan teknik deskriptif, replacement

dan changing the symbol to sense dan foreignisasi dengan teknik terjemahan

harfiah, catatan kaki dan penghilangan (omission).

Di sisi lain, penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan

hasil yang lebih akurat dan spesifik karena menerapkan studi perbandingan dua

versi produk terjemahan, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Dalam hal ini, tim

penerjemah dari masing-masing produk sudah menentukan metode penerjemahan

yang mereka pakai dari sejak awal apakah harfiah atau bebas sehingga di samping

dapat mengetengahkan hasil akhir berupa tingkat kesepadanan produk terjemahan

kedua versi untuk dapat diperbandingkan, juga dapat diketahui ketepatan

penggunaan prosedur dalam proses penerjemahan. Di samping itu, dalam

penelitian ini melibatkan responden dari kalangan pembaca Alkitab, dan selain

payung teori terjemahan, juga dimanfaatkan teori semiotik untuk membedah

makna di balik simbol-simbol verbal religi yang diteliti.

Dastjerdi dan Shoorche (2011) melakukan penelitian pada pilihan kata dan

bahasa simbolis dari dua karya terjemahan Persia, novel The Scarlet Letter.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

17

Tujuan penelitian mereka adalah untuk meninjau bagaimana simbol-sombol

dibahas dalam dua bahasa yang berbeda, yaitu Inggris dan Persia, atau untuk

meneliti penerjemahan elemen-elemen stilistika dalam karya sastra. Oleh karena

itu, mereka memilih objek kajian sebuah karya sastra The Scarlet Letter dan dua

terjemahan bahasa Persia yang berbeda yang berfokus pada simbol dan pilihan

kata. Penelitian tersebut juga melibatkan 24 orang mahasiswa program master

studi terjemahan untuk menjawab pertanyaan yang disuguhkan oleh peneliti

melalui kuesioner. Latar belakang di balik pemilihan responden ialah karena

responden dianggap memiliki pengetahuan tentang teori-teori terjemahan serta

kemampuan untuk mengevaluasi terjemahan berdasarkan kriteria yang disajikan

kepada mereka sehingga bisa memberikan tinjauan kritis terhadap karya

terjemahan.

Temuan dari studi tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya simbol-

simbol universal yang dapat diterjemahkan, tetapi juga simbol yang sarat dengan

muatan budaya dapat diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain dengan

pergeseran makna yang tidak berarti. Hasil penelitian mereka juga menyarankan

bahwa guna memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pembaca bahasa BSa

diharapkan penerjemah mencantumkan catatan kaki khususnya bagi simbol-

simbol yang sarat dengan muatan budaya.

Menyimak gambaran penelitian yang dilakukan oleh Dastjerdi dan

Shoorche (2011), studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan hasil

yang lebih akurat dan spesifik karena di samping menerapkan studi perbandingan

dan melibatkan responden, juga mengetengahkan teori semiotik untuk melihat

secara mendalam makna yang ada di balik simbol-simbol verbal religi yang

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

18

diteliti. Di samping itu, penelitian ini tidak hanya sebatas menyelidiki strategi

yang dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan bahasa simbolis, tetapi jauh

lebih mendalam, yaitu mengamati ketepatan penerapan strategi penerjemahan

yang dipakai atau bahkan ditentukan sejak awal oleh penerjemah atau tim

penerjemah. Bahkan, lebih luas lagi, hasil penelitian ini dapat dipakai untuk

memberikan sumbangan pemikiran terhadap fenomena global terjemahan Alkitab

yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan

bebas dengan meneliti produk terjemahan yang diterjemahkan dengan

menggunakan metode yang berbeda serta dihasilkan tidak hanya oleh satu orang

penerjemah, tetapi oleh sebuah tim dari Lembaga Biblika yang dipercaya, yaitu

Lembaga Alkitab Indonesia.

Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi

(2009), yang secara diakronis menyoroti dikotomi strategi penerjemahan dalam

hal ini domestikasi dan forenisasi, menguraikan hasil temuannya yang

menyatakan bahwa meskipun kedua strategi sudah dipergunakan selama enam

dasawarsa terakhir, domestikasi telah menjadi strategi penerjemahan budaya yang

dipergunakan paling luas dari tahun 1950-an sampai dengan tahun 2000-an.

Penelitian mereka, yang berjudul A Diachronic Study of Domestication and

Foreignization Strategies of Culture-Specific Items: in English-Persian

Translations of Six of Hemingway‟s Works bertujuan untuk mengeksplorasi

strategi penerjemahan budaya yang dominan dipakai untuk menerjemahkan kata

bermakna budaya pada enam buah novel karya Ernest Hemingway dari bahasa

sumbernya yaitu bahasa Inggris ke dalam bahasa Persia selama enam dasawarsa

terakhir. Data dikumpulkan dengan memilih secara acak 10 halaman dari enam

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

19

karya Hemingway dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1978 untuk dibandingkan

dengan terjemahannya yang ditulis dari tahun 1952 sampai dengan tahun 2004.

Selanjutnya, korpus data disusun dengan menemukan istilah-istilah yang memiliki

makna budaya dan disusun berdasarkan taksonomi yang sudah dipersiapkan untuk

kemudian dikontraskan antara BSu dan BSa dalam hal prosedur penerjemahan

yang diterapkan oleh penerjemah untuk mengetahui strategi yang lebih dominan

dipakai dalam kurun waktu tersebut.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan

Firoozkoohi pada tahun 2009, Schmidt (2013) juga melakukan studi diakronik

terhadap penerapan dua kubu strategi penerjemahan, yaitu domestikasi dan

forenisasi, dari bahasa Inggris ke bahasa Kroasia terhadap tiga karya terjemahan

dari novel Oscar Wilde, yaitu The Picture of Dorian Gray yang diterjemahkan

pada tahun 1920, 1953, dan 1987. Berbeda dengan hasil yang diperoleh Zare-

Behtash dan Firoozkoohi, studi diakronik yang dilakukan oleh Schmidt justru

menemukan fakta yang berlawanan, yaitu strategi penerjemahan yang diterapkan

dalam kurun waktu termaksud justru didominasi oleh forenisasi dengan rasio

perbandingan 1:4 pada tahun 1920, 1:2 pada tahun 1953, dan 1:3,5 pada tahun

1987.

Meskipun rasio perbandingan menunjukkan kecenderungan peralihan dari

strategi forenisasi ke arah domestikasi, penerjemah masih secara dominan

memilih strategi forenisasi dibandingkan dengan domestikasi. Terkait dengan

fakta ini, Schmidt (2013) menyatakan bahwa strategi penerjemahan secara umum

mewakili kecenderungn sosial dan budaya dalam masyarakat kontemporer. Lebih

jauh dikatakan pula bahwa premis umum tersebut mengarah pada simpulan bahwa

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

20

masyarakat Kroasia cukup terbuka atau setidaknya toleran terhadap unsur-unsur

kebudayaan asing, dalam hal ini, Inggris. Jika hal ini dikaitkan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi (2009) dapat disimpulkan

pula bahwa masyarakat Persia bahkan lebih terbuka terhadap penerimaan unsur-

unsur budaya asing merujuk pada fakta penelitian yang menunjukkan sejak awal

kecenderungan strategi penerjemahan yang dipakai sudah mengarah pada

domestikasi.

Kedua penelitian yang didasarkan pada studi diakronik di atas dapat

memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penelitian ini terutama

dalam hal menyusun taksonomi data ataupun taksonomi untuk alat menganalisis

prosedur ataupun strategi yang dipergunakan oleh penerjemah, hanya saja

memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal tujuan yang ingin dicapai.

Penelitian yang dilakukan, baik oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi maupun

Schmidt, bertujuan untuk mengetahui strategi yang dominan dipakai oleh

penerjemah dalam kurun waktu tertentu yang nantinya bermuara pada

kecenderungan tren sosial dan budaya masyarakat dari bahasa target dalam hal ini

Persia dan Kroasia. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk

mengetahui ketepatan strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah

mengingat dalam penerjemahan teks Alkitab ideologi penerjemahan sudah

ditetapkan dari sejak awal, apakah menerapkan ideologi domestikasi, ataukah

sebaliknya, secara utuh menerapkan ideologi forenisasi. Hal ini diharapkan akan

bermuara pada satu temuan untuk menjawab fenomena global penerjemahan

Alkitab yang mempertentangkan kubu terjemahan harfiah dan terjemaham bebas.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

21

Brata (2010), dalam disertasinya tentang terjemahan sistem sapaan budaya

religi dalam Injil Lukas, menyelidiki bagaimana sistem sapaan budaya religi

dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam dua versi terjemahan bahasa Bali.

Dalam hal ini, kedua versi terjemahan diparalelkan untuk dapat melengkapi satu

sama lain dan tidak dipertentangkan. Teori yang dipergunakannya adalah teori

appraisal untuk menentukan distribusi golongan dan stratifikasi status sosial

pelibat untuk menentukan teknik penerjemahan. Selain itu, diterapkan pula teori

padanan formal dan dinamis yang dicetuskan oleh de Ward dan Nida (1986) serta

diagram V metode penerjemahan dari Newmark (1988) untuk menunjukkan

orientasi penerjemahan yang berkaitan erat dengan ideologi penerjemahan itu

sendiri.

Penelitian seperti tersebut di atas mengungkapkan bahwa terdapat 12

teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan sistem sapaan

bahasa Inggris ke dalam bahasa Bali dan 99,02% berorientasi pada bahasa target.

Hal ini berarti bahwa ideologi domestikasi yang dominan diterapkan oleh

penerjemah untuk menjadi lebih dekat pada pembaca bahasa target sehingga nilai

budaya bahasa target tercermin dalam terjemahan. Dominasi teknik penerjemahan

yang berorientasi pada bahasa target juga menunjukkan bahwa ada perbedaan

budaya yang besar antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran khususnya

dalam hal sistem sapaan.

Temuan lain yang erat kaitannya dengan studi ini menunjukkan bahwa

dampak dari pemanfaatan prosedur yang dipilih di antara 12 prosedur

penerjemahan dalam penerjemahan sistem sapaan budaya religi yang terdapat

pada Injil Lukas dapat dikatakan memberikan kontribusi yang sangat positif pada

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

22

kualitas terjemahan, sehingga produk terjemahan menjadi sangat akurat, budaya

dapat diterima, dan dimengerti oleh pembaca sasaran. Menurut Brata (2010), hal

ini terjadi karena teknik/prosedur terjemahan yang dipakai selalu sebanding

dengan metode yang diterapkan yang komunikatif dan ideologi penerjemahan

yang cenderung didomestikasi. Berbeda dengan penelitian Brata (2010) yang

bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan strategi penerjemahan yang

digunakan untuk menerjemahkan sistem sapaan dalam Injil Lukas, penelitian yang

dilakukan ini memiliki tujuan yang lebih spesifik karena tidak sekedar untuk

mendeskripsikan jenis strategi yang dimanfaatkan oleh penerjemah tetapi lebih

dalam lagi, yaitu untuk meneliti ketepatan pemanfaatan strategi penerjemahan

yang secara umum telah ditentukan jenis strategi yang dipakai sebelum proses

penerjemahan dilakukan.

Berikut adalah pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang

memberi sumbangan pemikiran berharga terkait dengan fenomena terjemahan

Alkitab yang berada pada dua kubu yang bertentangan yaitu terjemahan harfiah

dan terjemahan bebas. Currie (2008) dalam artikelnya, "Membandingkan Versi

Terjemahan Alkitab", membandingkan beberapa versi terjemahan Alkitab yang

mencakup sebagian besar versi Alkitab utama yang digunakan saat ini dengan

menggunakan kriteria bahwa tidak ada perubahan telah dibuat, dalam arti bahwa

tidak ada yang ditambahkan, dan bahwa tidak ada doktrin disisipkan ke dalamnya.

Currie (2008) kemudian memberikan skor untuk masing-masing versi dan analisis

membawanya pada suatu simpulan bahwa versi terbaik yang menggunakan

prinsip kesetaraan dinamis minimal telah kehilangan 10% tingkat akurasi,

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

23

sedangkan versi rata-rata kesetaraan dinamis tampaknya kehilangan sekitar 70 -

80% tingkat akurasi.

Berdasarkan penelitian itu, Currie (2008) menyarankan para pembaca

Alkitab, jika mengalami kesulitan dalam memahami versi terjemahan Alkitab

yang menggunakan prinsip kesetaraan formal, supaya mencoba versi kesetaraan

formal yang lain sebelum beralih ke versi kesepadanan dinamis. Jika tidak dapat

menemukan terjemahan kesetaraan formal yang dimengerti, ia menyarankan

untuk membeli satu versi kesetaraan dinamis namun hanya sebagai bahan

perbandingan. Riset yang dilakukan oleh Currie (2008) relevan dengan penelitian

ini karena mengetengahkan fakta tentang ekstremitas dua kubu terjemahan dalam

dunia penerjemahan Injil sebagai akibat dari penerapan dua metode penerjemahan

yang bertentangan satu sama lain, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan

dinamis.

Hasil kajian yang dikemukakan oleh Currie (2008) memberikan kontribusi

yang cukup signifikan terhadap penelitian ini karena mengetengahkan fenomena

global terjemahan Injil yang berada pada dua kubu yang sering kali

dipertentangkan, yaitu antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Di

samping itu, hasil studi yang diungkap oleh Currie (2008) juga mewakili pendapat

sebagian besar kalangan bahwa terjemahan harfiah memiliki tingkat akurasi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan terjemahan bebas. Hal ini dapat dijadikan

sebagai salah satu bahan pertimbangan ataupun masukan dalam studi yang

dilakukan ini.

Roach (2011), dalam sebuah artikel tentang versi terjemahan Alkitab,

memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research terhadap

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

24

sebanyak 2.000 orang pembaca Alkitab di Amerika yang berpartisipasi dalam

studi melalui panel secara online. Riset dilakukan pada bulan Agustus tahun 2011

sehingga data dipandang masih relevan. Untuk memenuhi syarat sebagai

informan, peserta harus membaca Alkitab dalam bulan tertentu, baik secara

pribadi maupun sebagai bagian dari kegiatan keluarga.

Hasil risetnya menunjukkan sebanyak 61% peserta survei menyatakan

bahwa mereka memilih terjemahan harfiah dibandingkan dengan terjemahan

bebas. Sebaliknya, hanya 20% dari total peserta memilih terjemahan bebas dan

sisanya sebanyak 14% menyatakan keduanya baik, dan 5% tidak yakin terhadap

pilihan mereka. Lebih jauh mengenai hasil riset tersebut, Roach (2011)

memaparkan bahwa dari keseluruhan peserta sebanyak 75% memilih versi

terjemahan yang mengedepankan totalitas dalam hal akurasi, dan sebaliknya,

hanya 35% yang memilih produk terjemahan yang menempatkan keterbacaan

sebagai prioritas utama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research

cukup relevan dengan studi yang dilakukan ini mengenai dikotomi antara dua

kubu ekstrem terjemahan Alkitab, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Data dari

LifeWay Research menyatakan bahwa secara lugas fenomena global

penerjemahan Alkitab khususnya di Amerika dapat dijadikan acuan untuk

penelitian lebih lanjut.

2.2 Konsep

Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan penelitian ini yang perlu

diperjelas sebelum beralih ke penyelidikan lebih lanjut. Tujuannya selain untuk

menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan, juga dimaksudkan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

25

untuk memperjelas variabel penelitian, teori, tahapan analisis, dan pendekatan

yang digunakan. Beberapa konsep yang dimaksud adalah: (a) terjemahan harfiah

dan terjemahan bebas, (b) simbol-simbol verbal religi, dan (c) kitab Wahyu.

Berikut adalah uraian singkat dari istilah-istilah yang dimaksud.

2.2.1 Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Bebas

Segregasi atau pemisahan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas

yang dikenal dengan istilah dikotomi di dalam dunia penerjemahan khususnya

penerjemahan Alkitab adalah divisi atau pemisahan strategi penerjemahan yang

dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda yang mencerminkan

pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda terhadap terjemahan (Kemppanen,

2011:147).

Kedua strategi yang menghasilkan kubu yang bertentangan di dalam

penerjemahan baik yang berorientasi pada produk maupun proses, diberi label

dalam beberapa istilah yang berbeda, yaitu kesepadanan formal dan dinamis

(Nida, 1964), terjemahan semantik versus komunikatif (Newmark, 1981),

terjemahan literal dan idiomatik (Beekman dan Callow, 1974), terjemahan teraga

(overt) dan tak teraga (covert) (House, 1977), terjemahan yang berasas pada

bentuk dan makna (Larson, 1984), domestikasi dan foreginisasi (Venuti, 1995,

1998), terjemahan langsung (direct) dan tak langsung (indirect) (Gutt, 1991), dan

terjemahan observasional dan partisipatif (Pym, 2010).

Namun, pemisahan berbagai strategi penerjemahan ke dalam dua

kelompok besar diperkenalkan oleh para ahli bahasa dengan berbagai istilah yang

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

26

berbeda Nida (1964) menegaskan bahwa secara tradisional kita cenderung untuk

berpikir dalam kerangka terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.

2.2.2 Simbol-Simbol Verbal Religi

Nöth (1990) menyebutkan bahwa dalam arti yang luas simbol adalah

sinonim dari tanda. Lebih jauh ditegaskan bahwa terlepas dari ketidakjelasan

terminologi, definisi yang lebih sempit yang mendefinisikan simbol sebagai kelas

tanda, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu simbol sebagai tanda

konvensional, simbol sebagai tanda ikonik, dan simbol sebagai tanda

konotasional. Subtipe dari simbol adalah simbol verbal, grafis dan simbol

bergambar lainnya (seperti logo atau merek dagang), bendera, dan lambang.

Merujuk pada pengertian bahwa definisi istilah verbal mengacu pada segala

sesuatu yang berbasis kata, baik yang berwujud ucapan maupun tulisan maka

yang dimaksud dengan simbol verbal dalam penelitian ini adalah simbol yang

berbasis pada kata yang dalam hal ini berwujud tulisan.

Secara umum, Peirce mendefinisikan simbol sebagai tanda yang memiliki

tiga elemen yaitu representamen, interpretan, dan objek, yang mana hubungan

antara dua elemennya yaitu representamen dan interpretan bersifat konvensional.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, yang dimaksud dengan simbol verbal

adalah eksistensi representamen pada teks yang berbentuk tulisan dan mengacu

pada sesuatu yang berbeda dari apa yang tertulis pada teks. Locker (2003)

menegaskan pula bahwa tipe dari tanda ini hanya dapat dipahami dengan

mengaitkan maknanya. Misalnya, simbol verbal perempuan berselubungkan

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

27

matahari dalam Kitab Wahyu merupakan simbol dari orang Israel, Gereja Kristen,

atau seluruh Umat Allah.

Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, Shaw (1881:367) menyajikan

definisi simbol sebagai sesuatu yang digunakan untuk, atau dianggap, mewakili

sesuatu yang lain. Lebih khusus, simbol adalah sebuah kata, frasa, atau ekspresi

lain yang memiliki makna kompleks, dalam hal ini, simbol dipandang memiliki

nilai yang berbeda dari apa pun yang disimbolkannya. Sebagai tanda yang arbitrer

(ditulis atau dicetak) yang telah memperoleh signifikasi konvensional, sebuah

simbol adalah "sesuatu yang terlihat yang melalui asosiasi atau konvensi

melambangkan sesuatu yang lain yang tak terlihat" (Word Reference). Michelson

(2005:176) melihatnya sebagai kata kiasan "suatu gambaran yang ditransfer oleh

sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, seperti bendera untuk negara, atau

musim gugur untuk kedewasaan.” Simbol dapat mewakili ide-ide yang

terkandung dalam gambar tanpa menyatakannya. Simbol dapat menjadi subjek

dari keragaman atau konotasi, karena itu, baik penyair maupun pembaca, harus

menerapkan kebijaksanaan yang masuk akal untuk menghindari salah tafsir.

Simbol didefinisikan dalam Encyclopedia Britannica (online) sebagai elemen

komunikasi yang dimaksudkan untuk hanya mewakili atau menggantikan orang,

objek, kelompok atau ide.

Lebih jauh, Harshananda (1988) menyebutkan bahwa simbol religi adalah

istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan simbol-simbol

(arkitipe, tindakan, karya seni, peristiwa atau fenomena alam) oleh agama tertentu

untuk berbagai keperluan. Dalam hal ini, agama melihat teks-teks agamawi, ritual,

dan karya seni sebagai simbol untuk meyakinkan seseorang tentang ide atau

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

28

pemahaman tertentu. Simbol membantu menciptakan mitos yang resonan untuk

mengekspresikan nilai-nilai moral masyarakat atau ajaran agama, menciptakan

solidaritas antarumat dan membawa pengikut lebih dekat ke objek ibadah mereka.

Studi mengenai simbol-simbol religi dapat dilakukan, baik secara universal yaitu

sebagai komponen perbandingan agama dan mitologi maupun dalam lingkup

lokal yaitu dalam batas-batas agama.

2.2.3 Kitab Wahyu

Kitab Wahyu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Alkitab yang

adalah kitab suci umat Kristiani. Alkitab memiliki 66 jilid buku yang terdiri atas

39 jilid Perjanjian Lama (PL) dan 27 Jilid Perjanjian Baru (PB). Semua jilid

tersebut sudah diakui secara universal oleh umat Kristen di dunia. Jilid pada

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut dibedakan lagi menjadi beberapa

kelompok.

Kelompok yang dimiliki oleh Perjanjian Lama terdiri atas lima kitab.

Terdiri atas Kitab Taurat yang memiliki lima kitab, Kitab Sejarah yang memiliki

12 kitab, Kitab Puisi memiliki lima kitab, Kitab Nabi-nabi Besar dalam lima

kitab, dan Kitab Nabi-nabi Kecil dalam 12 kitab. Sementara itu, pembagian dari

Perjanjian Baru memiliki jumlah yang lebih sedikit. Perjanjian Baru memiliki

empat kitab, yaitu Kitab Injil yang memiliki empat kitab, Kitab Sejarah hanya satu

kitab, Surat-surat Rasuli memiliki 21 kitab, dan Kitab Wahyu yang juga hanya

satu kitab.

Kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab tersebut dibedakan berdasarkan

apa yang disebut pasal. Pasal yang terdapat dalam Alkitab terdiri atas pasal

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

29

pendek, sedang, hingga pasal panjang, secara berurutan yaitu pasal Obaja,

Filemon, Yohanes, Yudas dan Mazmur. Ketika akan mencari pasal dalam Alkitab,

penyebutan nama kitab terlebih dahulu akan memudahkan dalam pencarian.

Penyususnan Alkitab dilakukan secara semi-kronologis. Penyusunan

seperti ini mutlak dilakukan ketika akan menyusun Kitab Sejarah agar kronologis

yang dibukukan tidak memusingkan para pembacanya. Pembagian kronologis,

buku, pasal, dan ayat yang terdapat dalam Alkitab adalah hasil dari perumusan

yang dilakukan oleh Kaum Gereja pada zaman dahulu.

Secara khusus, Kitab Wahyu merupakan kitab terakhir dari Perjanjian

Baru. Judul kitab diambil dari kata pertama dari buku tersebut dalam bahasa

Yunani Koine: apokalypsis, yang berarti "penyingkapan" atau "wahyu"

(penulisnya sendiri tidak memberikan judul pada tulisannya). Williams (2003)

menjelaskan bahwa kitab tersebut ditulis oleh seorang pria bernama Yohanes yang

mencatat visi yang diberikan kepadanya, mungkin saat bermimpi atau

bermeditasi. Visi ini mengandung sejumlah besar simbolisme. Beberapa dari

simbol yang terdapat dalam Kitab Wahyu seperti yang disebutkan oleh Wikipedia

adalah dua puluh empat tua-tua yang menggunakan mahkota, empat makhluk

hidup, Singa Yehuda yang adalah Anak Domba bertanduk tujuh dengan tujuh

mata, binatang laut yang memiliki tujuh kepala dan sepuluh tanduk, wanita dan

anaknya, naga yang merah menyala dengan tujuh kepala, dan lain-lain.

Kitab Wahyu adalah bagian dari Alkitab yang sebagian besar tidak dikenal

meskipun di kalangan umat Kristiani dan bahkan bagi beberapa orang merupakan

kitab yang harus dihindari. Banyak pembaca modern merasa sulit untuk

memahaminya karena penuh dengan jenis simbolisme yang asing bagi pembaca

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

30

masa kini dan memahami apa yang diwakili oleh simbol adalah hal yang tidak

mudah. Keseluruhan bagian Kitab Wahyu dapat dikategorikan sebagai sastra yang

disebut apokaliptik yang menunjukkan apa yang terjadi di bawah permukaan,

menjelaskan mengapa hal-hal terjadi dan akan terjadi, sering berkonsentrasi pada

hal-hal yang akan datang dan terutama akhir zaman (Chapman dan Emeritus,

2009).

2.3 Landasan Teori

Landasan teori yang menjadi pijakan utama dalam penelitian ini adalah

teori terjemahan mengingat studi ini adalah studi penerjemahan. Teori ini,

terutama dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis, membicarakan, dan

meneliti fenomena penerjemahan dalam hal ini Alkitab, yang berada pada dua

kubu ekstrem yang berbeda, atau yang sering dikenal dengan dikotomi antara

terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Sesuai dengan fungsi teori yang

diungkap oleh Hill (1990:28), landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini

juga berfungsi untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-

hukum tertentu ke dalam ruang yang cukup kecil sehingga dapat menjadi

pemandu terhadap fokus penelitian yang sedang dilakukan.

Namun, sesuai dengan pandangan ekletisme, diperlukan penggabungan

beberapa dasar teori untuk menjawab fenomena dalam dunia penerjemahan

Alkitab khususnya yang menyangkut pengalihan bahasa simbolis dari TSu ke

TSa. Untuk itu disamping teori terjemahan terdapat dua teori lain yang diterapkan

secara eklitik dalam penelitian ini yaitu teori semantik, dan teori semiotik.

Penerapan teori semiotik yang cukup dominan didukung oleh pernyataan yang

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

31

dikemukakan oleh Bassnett (1990/1991:34) bahwa saat ini studi terjemahan telah

semakin mengadopsi pendekatan interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan

sebagai transposisi intertekstual dan antarbudaya.

2.3.1 Teori Terjemahan

Meskipun bukanlah solusi untuk semua masalah yang muncul dalam

proses penerjemahan, teori terjemahan merupakan orientasi umum bagi

penerjemah dalam mengambil keputusan saat melakukan kegiatan penerjemahan.

Untuk itu, pemahaman tentang konsep umum teori penerjemahan sangat penting

dan berguna bagi para penerjemah karena mustahil bagi para penerjemah untuk

mendapatkan terjemahan yang baik tanpa memahami teori terjemahan.

Nababan (1999:13) menyatakan bahwa teori penerjemahan memusatkan

perhatiannya pada karakteristik dan masalah-masalah penerjemahan sebagai suatu

fenomena. Lebih jauh, Lauven-Swart, seperti yang dikutip oleh Nababan

(1999:15), menyatakan bahwa tujuan utama dari teori penerjemahan bukan untuk

menghasilkan penerjemah dan karya terjemahan yang lebih baik, tetapi mungkin

saja hal ini merupakan produk dari teori dan metode penerjemahan. Dalam arti

yang sempit, teori terjemahan menyangkut metode terjemahan yang tepat untuk

jenis teks tertentu. Namun, dalam arti yang lebih luas teori terjemahan dapat

dikatakan sebagai wujud dari pengetahuan yang dimiliki tentang menerjemahkan

yang terdiri atas prinsip-prinsip umum sampai pada panduan, saran, dan

pentunjuk. Sejalan dengan itu, Newmark (1988:9) mengatakan bahwa yang

dilakukan oleh teori terjemahan adalah: pertama, untuk mengidentifikasi masalah

terjemahan, karena menurutnya, tidak ada masalah maka tidak ada teori

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

32

terjemahan, kedua, untuk menunjukkan semua faktor yang harus diperhitungkan

dalam memecahkan masalah; dan ketiga, untuk mendaftar semua prosedur

penerjemahan yang memungkinkan dan pada akhirnya untuk merekomendasikan

prosedur penerjemahan yang paling cocok.

Berbicara mengenai teori terjemahan tidak bisa dipisahkan dari

perkembangannya yang menyangkut tanggal tertentu, angka-angka, serta orang-

orang yang menyumbangkan pemikiran berharga dan melegenda yang menandai

periode sejarah penerjemahan. Para peneliti menyebutkan bahwa tulisan-tulisan

tentang terjemahan kembali ke Roma. Jakobson (1958) mengklaim bahwa

menerjemahkan adalah penemuan Romawi (McGuire,1980). Pemikiran yang

disumbangkan oleh Cicero dan Horace (abad pertama SM) adalah teori pertama

yang membedakan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Komentar

mereka dalam praktik terjemahan memengaruhi generasi berikutnya dalam studi

penerjemahan hingga abad kedua puluh. Dikotomi antara terjemahan harfiah dan

terjemahan bebas bermula pada Kekaisaran Romawi dan sejak itu terus menjadi

titik perdebatan dalam berbagai hal sampai dengan saat ini, seperti Bassnett

(1991:47) yang mengungkapkan, “The distinction between word for word and

sense for sense translation, established within the Roman system, has continued to

be a point of debate in one way or another right up to the present.”

Lebih khusus lagi, Steiner (1975:346-40) dalam tulisannya After Babel,

terlepas dari struktur kronologisnya yang masih tumpang tindih, membagi literatur

tentang teori, praktik dan sejarah terjemahan ke dalam empat periode, dimulai dari

zaman Cicero sampai sekarang. Periode pertama mencakup rentang waktu yang

cukup lama, yaitu sekitar 1.700 tahun, yang berakhir hingga terbitnya esai dari

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

33

Tytler yang berjudul On the Principles of Translation pada tahun 1791. Ciri

utama dari periode ini adalah “fokus empiris langsung”, yaitu pernyataan-

pernyataan dan teori-teori yang timbul langsung dari praktik menerjemahkan.

Periode kedua Steiner berlangsung sampai dengan terbitnya karya Larbaud, Sous

I‟invocation de Saint Jérome, pada tahun 1946 yang ditandai sebagai periode teori

dan studi hermeneutik dengan perkembangan kosakata dan metodologi

penerjemahan. Periode ketiga ditandai oleh terbitan pertama yang merupakan

produk dari terjemahan mesin pada tahun 1940. Periode ketiga, ini juga menandai

sejarah penerjemahan dengan pengenalan linguistik struktural dan teori

komunikasi dalam penerjemahan. Periode keempat dimulai pada tahun 1960,

ditandai dengan era kembalinya terjemahan pada studi hermeneutik, yaitu

penerjemahan dan interpretasi atau penerjemahan yang mencakup sejumlah

disiplin lain, seperti filologi klasik, sastra komparatif, statistik leksikal dan

etnografi, sosiologi, retorika formal, puisi dan studi tata bahasa yang digabungkan

dalam upaya untuk memperjelas tindakan penerjemahan dan proses “hidup

antarbahasa”.

2.3.1.1 Kejelasan teoritis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas

Di dalam sebuah artikel berjudul “Dikotomi Terjemahan Bebas dan

Harfiah”, yang dimuat dalam sebuah jurnal terjemahan, Barbe (1996) menyatakan

bahwa salah satu dari dua pertanyaan dominan dalam dunia terjemahan selain

posisi disiplin ilmu tersebut sebagai bidang studi yang terlepas, baik dari sastra

komparatif maupun linguistik terapan, adalah kemana sebaiknya terjemahan

mengacu apakah pada bahasa sumber (harfiah) ataukah berorientasi pada bahasa

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

34

target (terjemahan bebas)? Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, para ahli

bahasa mungkin saja mempergunakan berbagai istilah yang berbeda untuk

mengacu pada pemisahan kedua strategi penerjemahan seperti, misalnya

kesepadanan formal dan dinamis, domestikasi versus foreignisasi, dan sebagainya,

tetapi konsep yang diacu sesungguhnya masih tetap sama, yaitu mengenai

orientasi strategi penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip

yang berbeda yang mencerminkan pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda

terhadap terjemahan.

Seperti yang sudah diungkapkan di atas, pemisahan orientasi strategi

penerjemahan, yakni yang harfiah dan yang bebas, bukan merupakan hal yang

baru tetapi sudah bermula dan dapat ditelusuri dari zaman Cicero pada abad

pertama sebelum masehi dan masa St. Jerome pada akhir abad keempat masehi.

Sejak zaman Romawi yang dimaksud dengan terjemahan harfiah atau yang juga

dikenal dengan terjemahan kata-demi-kata mengacu secara mutlak pada BSu

dalam pengertian bahwa penggantian setiap kata dari BSu dilakukan berdasarkan

kesetaraan gramatikal terdekat dengan BSa. Demikian pula terjemahan bebas

mengandung pengertian menciptakan teks sasaran yang natural yang mampu

menyatakan makna aslinya tanpa mendistorsi BSa (Baker, 1998).

Schmidt (2013:538) mengungkapkan bahwa dalam perjalanan selanjutnya,

pemahaman teoretis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas yang

sebelumnya hanya menekankan unsur linguistik semakin berkembang dengan

dipertimbangkannya unsur budaya yang dalam hal ini dimunculkan oleh Venuti

dengan konsepnya yang dikenal dengan domestikasi dan foreinisasi, yaitu apakah

BSu diadaptasi ke dalam budaya BSa, ataukah sebaliknya, unsur-unsur budaya

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

35

asing tetap dipertahankan. Sejalan dengan hal ini, Behtash dan Firoozkoohi

(2009:1576) menyatakan bahwa sejak era Venuti strategi penerjemahan telah

mengadopsi unsur budaya dan ideologi sebagai faktor yang diperhitungkan dalam

proses penerjemahan dan juga pengaruh terjemahan terhadap pembaca sasaran

serta budaya mereka. Jadi, pemisahan orientasi terjemahan harfiah dari

terjemahan bebas tidak hanya mempertimbangkan unsur linguistik tetapi juga

sudah berkembang ke arah pertimbangan budaya dan juga pembaca sasaran. Hal

ini juga sejalan dengan pendapat (Wang, 2002:24) bahwa konflik antara kedua

kubu terjemahan sudah ada dalam ranah kultural atau bahkan politik, dan bukan

hanya mencakup ranah linguistik. Pembaharuan ini diperkirakan dimulai pada

sekitar tahun 1970-an, yaitu sejak munculnya era budaya, maka pertentangan

antara kedua kubu terjemahan dilihat dari sudut pandang yang berbeda – sosial,

budaya dan historis:

The conflict between domestication and foreignization as opposite

translation strategies can be regarded as the cultural and political rather

than linguistic extension of the time-worn controversy over free

translation and literal translation (Wang Dongfeng 2002:24).

Terkait dengan pertimbangan budaya, Venuti (1998:240) mendefinisikan

domestikasi sebagai strategi penerjemahan yang mengadopsi gaya yang

disebutnya transparan dan fasih untuk meminimalkan keanehan teks asing bagi

pembaca bahasa target. Hal ini berarti penerjemahan menerapkan strategi yang

membuat teks dikenali dan familiar sehingga mampu membawa budaya asing

lebih dekat dengan pembacanya. Sebaliknya, foreinisasi mengacu pada strategi

penerjemahan yang mempertahankan keasingan BSu. Hal ini juga berarti

penerjemahan membawa pembaca untuk mengenal budaya asing dan membuat

mereka merasakan perbedaan khasanah bahasa dan budaya.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

36

Selain Venuti, tokoh lain yang menyoroti pemisahan oritenasi

penerjemahan ke dalam kubu yang harfiah dan yang bebas adalah Nida yang

menyebut masing-masing strategi sebagai kesepadanan formal dan dinamis. Nida

(2001:118) menyatakan bahwa kesepadaan formal adalah strategi yang

memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam bentuk maupun isi. Ini

adalah cara untuk memberikan wawasan dalam bentuk leksikal, gramatikal atau

struktur teks BSu. Kesetaraan fungsional, di lain sisi, didasarkan pada prinsip efek

setara, yaitu hubungan antara penerima pesan dan pesan itu sendiri harus setara

dengan hubungan antara penerima asli dan BSu. Lebih jauh ditegaskan bahwa

dalam bahasa, budaya dan penerjemahan, secara minimal, yang dimaksud dengan

kesetaraan fungsional adalah bahwa “pembaca sasaran memahami hasil

terjemahan sampai pada satu titik pemahaman sebatas pengertian mereka

sebagaimana pembaca asli dari teks tersebut memahami dan menghargainya.

Selanjutnya, secara maksimal kesetaraan fungsional mengandung pemahaman

bahwa pembaca sasaran harus dapat memahami dan menghargai dengan cara yang

sama seperti pembaca sumber memahaminya.

Tidak seperti Venuti (2000) yang cenderung mengadopsi strategi literal

dibandingkan dengan bebas, Nida (1964) yang banyak bergelut dengan

terjemahan Alkitab lebih condong pada kesepadanan fungsional yang

menekankan pada keterbacaan meskipun tidak mengabaikan akurasi dan

kesetiaan. Terkait dengan kecenderungan strategi yang dipilih oleh Nida,

Newmark (2001:51) menyampaikan kritik yang cukup keras bahwa hal ini justru

mengakibatkan kehilangan besar makna utamanya dalam penerjemahan metafora

alkitabih yang menurut Nida sulit dimengerti oleh pembaca sasaran.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

37

Sejalan dengan pemaparan di atas, Simms (1997:7) juga mengkontraskan

karakteristik terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, seperti yang tertera dalam

tabel berikut:

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

38

Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik Terjemahan Harfiah dan

Terjemahan Bebas

Terjemahan Harfiah Terjemahan Bebas

Menerjemahkan setiap kata BSu

sesuai dengan leksikon BSa yang

karena itu penerjemah cenderung

berada di pihak penulis dibandingkan

dengan pembaca.

Penerjemahan yang berfokus pada

pesan karena itu penerjemah cenderung

berada di pihak pembaca dibandingkan

dengan penulis sehingga dalam hal ini

hanya ada sedikit penghargaan terhadap

bentuk leksikon yang dipakai oleh

penulis sepanjang pesan yang

mendasarinya tetap utuh.

Korespondensi langsung antara

masing-masing item leksikal yang

terdapat pada BSu dan BSa terlihat

jelas.

Korespondensi antara item leksikal

yang terdapat pada BSu dan BSa dapat

menjadi benar-benar tidak terlihat

seperti ketika sebuah pasal yang

terdapat pada BSu yang tidak memiliki

padanan pada BSa dihilangkan begitu

saja.

Peran penerjemah tidak terlihat karena

BSu diterjemahkan secara utuh ke

dalam BSa yaitu hanya ada sedikit

intervensi dari pihak penerjemah

dalam bentuk parafrase.

Peran penerjemah terlihat jelas melalui

intervensi yang dilakukan dalam bentuk

parafrase. Hal ini dilakukan untuk

memenuhi misi penyesuaian budaya

antara BSu dan BSa.

Cenderung ditujukan bagi kalangan

akademik yang idealnya sudah

berkenalan dengan kedua bahasa, dan

karena itu sedikit membutuhkan

terjemahan.

Cenderung ditujukan untuk pembaca

yang awam; mereka tidak hanya tidak

mengenal BSu tetapi juga konteks

budaya BSu.

Terjemahan harfiah bersifat mendidik.

Meskipun struktur gramatikal

permukaan terkesan biasa, pikiran

yang mendasarinya (dalam hal ini

budaya BSu) dapat membantu untuk

memberikan pemahaman yang lebih

jelas. Jika dibutuhkan pemahaman

lebih lanjut mengenai konteks budaya

maka dapat dilakukan dengan tindakan

pro-aktif intertekstualisasi.

Terjemahan bebas sebenarnya tidak

mendidik: jenis terjemahan ini tidak

memberikan peluang bagi pembaca

hasil terjemahan untuk mengetahui

media yang sesungguhnya pada BSu

sehingga pembaca harus mempercayai

seutuhnya perkataan yang ditulis oleh

penerjemah.

(Sumber: Simms, 1997)

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

39

2.3.1.2 Kesepadanan dalam teori terjemahan

Pada tahun 1960 hingga 1970-an, konsep utama yang berlaku pada studi

terjemahan adalah “kesepadanan”. Ada beberapa linguis yang berteori tentang

konsep ini di antaranya adalah Koller dan Nida. Yinhua (2011) menyimpulkan

bahwa sebagai sebuah konsep sentral dalam teori penerjemahan, kesepadanan

tidak dapat ditafsirkan sebagai identitas dalam hal pengertian ilmiah tetapi hanya

dapat dipahami dalam pengertian umum sebagai kesamaan atau pendekatan.

Kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan mendasar dalam penerjemahan sebab

tidak ada kata-kata yang memiliki makna yang identik dalam satu bahasa dan pula

cukup alami jika tidak ada dua kata dalam dua bahasa mana pun yang memiliki

makna yang identik. Jadi, tidak mungkin untuk mentransfer keseluruhan pesan

yang terdapat dalam teks BSu ke BSa. Oleh karena itu, kesetaraan dalam

terjemahan hanya dapat dipahami sebagai semacam kesamaan atau pendekatan.

Hal ini juga berarti bahwa kesepadanan antara teks BSu dan teks BSa dapat

ditetapkan pada tingkat yang berbeda dan dalam berbagai aspek. Tanpa

kesepadanan pada derajat tertentu atau aspek tertentu, teks terjemahan tidak dapat

dianggap sebagai terjemahan sukses dari teks asli. Jadi, singkatnya, kesepadanan

adalah kebutuhan mutlak dan kebutuhan mendasar dalam penerjemahan.

Koller (dalam Pym, 2010) menjawab arti dari konsep tersebut dengan

menawarkan lima jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan denotatif atau

kesepadanan konten ekstralinguistik sebuah teks, yang disebut juga “konten

invarian”, (2) kesepadanan konotatif yang bergantung pada kesamaan register

dan gaya, yang juga disebutnya sebagai kesepadanan stilistika, (3) kesepadanan

teks normatif yang berkaitan dengan jenis teks, yaitu berbagai jenis teks yang

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

40

memiliki perilaku yang berbeda (4) kesepadanan pragmatis atau kesepadanan

komunikatif yang berorientasi pada penerima teks atau pesan, dan (5)

kesepadanan formal yang berkaitan dengan estetika dan bentuk teks.

Berbeda halnya dengan Koller, Nida (1964:159) berpendapat bahwa ada

dua jenis kesepadanan, yaitu yang formal dan yang dinamis. Korespondensi

formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk

maupun isi, tidak seperti kesepadanan dinamis yang didasarkan pada “prinsip efek

sepadan”. Kesepadanan dinamis didefinisikan sebagai prinsip penerjemahan yang

mengupayakan untuk menerjemahkan makna asli teks demikian rupa sehingga

makna kata pada BSa akan memicu dampak yang sama pada pembaca BSa,

seperti yang makna kata-kata asli lakukan pada pembaca BSu (Nida dan Taber,

1982:200).

Pada tahun 1997 oposisi serupa dalam hal kesepadanan diungkapkan oleh

Newmark yang mempertentangkan antara terjemahan semantik dan komunikatif,

yaitu terjemahan yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa

(Newmark, 1998a:47) dan House (1977) yang mempertentangkan antara

penerjemahan terbuka dan yang tertutup. Terjemahan terbuka adalah jenis

penerjemahan yang tidak menangani pembaca BSa secara langsung karena terikat

dengan BSu dan budayanya yang harus dijaga seutuh mungkin. Dengan

sendirinya jenis terjemahan ini tidak terlalu banyak mengalami kendala dalam

masalah budaya dibandingkan dengan terjemahan tertutup. Sebaliknya,

terjemahan tertutup didefinisikan sebagai terjemahan yang menikmati status BSu

dalam budaya BSa. Jenis terjemahan ini secara langsung ditujukan kepada

khalayak budaya BSu dan karenanya membutuhkan penyaring budaya.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

41

Selain mereka yang telah disebutkan di atas, teoretisi terjemahan yang

mengategorikan jenis terjemahan berdasarkan dua gaya yang berlawanan, adalah

Beekman dan Callow dengan literal versus idiomatik, James Holmes dengan

domestikasi versus foreignisasi, Larson dengan penerjemahan yang berlandasakan

bentuk versus makna, Nord dengan dokumentasi versus instrumenal, Pym dengan

observasional versus partisipatif, dan Gut dengan langsung versus tidak langsung.

Terkait dengan penggolongan tipe/jenis terjemahan, Nida (1964:156)

menekankan bahwa secara tradisional, kita cenderung menggolongkan terjemahan

digolongkan menjadi dua kubu yang ekstrim, yaitu terjemahan bebas

(paraphrastic) dan terjemahan harfiah. Sejalan dengan Nida, Simms (1997:7) juga

menyatakan bahwa secara historis, dalam teori terjemahan pilihan penting telah

disajikan antara terjemahan "literal" dan terjemahan "bebas". Sejalan dengan

pemikiran tersebut, Newmark (1998:70) juga menyatakan bahwa terjemahan

harfiah adalah proses penerjemahan dasar, baik dalam terjemahan komunikatif

maupun terjemahan semantik, dan terjemahan dimulai dari sini. Akan tetapi, di

atas tingkat kata, terjemahan harfiah menjadi semakin sulit untuk dilakukan

karena ketika penerjemah menemukan masalah, terjemahan harfiah biasanya

(tidak selalu) bisa menyediakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Oleh

karena itu selama lima puluh tahun terakhir, bagaimanapun, telah terjadi

pergeseran ditandai penekanan dari normal menuju ke dimensi dinamis (Carry,

1959b).

Berbeda dengan Catford (1965:20) yang menggolongkan terjemahan

menjadi tiga kelompok, yaitu terjemahan bebas, literal, dan kata per kata, Zhao

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

42

dan Al Damman (2008) menyatakan bahwa terjemahan literal merupakan satu

kategori dengan terjemahan kata-per-kata:

A literal translation is a translation that follows closely not only the

content but also the form of the source language. It is also known as word-

for-word translation. Translators engaged in literalism have been willing

to sacrifice the formal elements of the target language and even the

intelligibility of the target language text for the sake of preserving what

they regard as the integrity of the source text. Conversely, those who favor

free translation have quite often chosen to sacrifice the form of the source

language for the sake of elegance and intelligibility in the target language.

(Zhao dan Al Damman, 2008).

Melihat fenomena yang terjadi di dalam penggolongan jenis/tipe

terjemahan, penelitian ini menempatkan produk terjemahan dalam dua kategori

umum yang sering disebut sebagai dua kubu yang saling bertentangan, yaitu

terjemahan harfiah (literal) dan terjemahan bebas (free). Hal ini disesuaikan

dengan prinsip dasar atau pendekatan yang dipakai dalam penerjemahan Alkitab,

yaitu pemadanan formal dan pemadanan dinamis.

2.3.1.3 Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis

Nida (1964:159) menegaskan bahwa pada dasarnya terdapat dua jenis

kesepadanan, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan

formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk

maupun isi. Pesan dalam BSa harus sedekat mungkin dengan unsur-unsur yang

berbeda dalam BSu. Sehubungan dengan budaya dari bahasa reseptor dan sumber,

pesan dalam budaya reseptor terus-menerus dibandingkan dengan pesan dalam

budaya sumber untuk menentukan standar akurasi dan ketepatan. Sementara itu,

kesepadanan dinamis bertujuan melengkapi kealamian ekspresi. Penerjemah tidak

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

43

begitu peduli dengan pencocokan pesan bahasa reseptor dengan pesan bahasa

sumber, tetapi lebih pada hubungan dinamis yang ada.

Selanjutnya, Nida (1964:165) menjelaskan bahwa terjemahan kesepdanan

formal mencoba untuk mereproduksi unsur-unsur formal, antara lain: (1) unit

gramatikal, (2) konsistensi dalam penggunaan kata, dan (3) makna dari segi

konteks sumber. Reproduksi unit gramatikal terdiri atas (a) nomina diterjemahkan

dengan nomina, verba dengan verba, dan lain-lain, (b) menjaga semua frasa dan

kalimat utuh (yaitu tidak berpisah dan tidak ada penyesuaian unit), dan (c)

mempertahankan semua indikator resmi, misalnya, tanda baca, paragraf dan

indentasi puitis. Dalam mencoba untuk mereproduksi konsistensi dalam

penggunaan kata, terjemahan kesepadanan formal biasanya bertujuan

mengupayakan terjadinya konkordansi terminologi, yaitu selalu mengaitkan

istilah tertentu dalam dokumen sumber dengan istilah yang sesuai dalam dokumen

reseptor. Sebagai konsekuensinya, terjemahan kesepadanan formal menggunakan

tanda kurung, atau bahkan huruf miring (seperti dalam King James Bible) untuk

kata-kata yang ditambahkan supaya masuk akal dalam terjemahan. Dalam rangka

untuk mereproduksi makna dari segi konteks sumber, terjemahan kesepadanan

formal biasanya mencoba untuk tidak melakukan penyesuaian dalam idiom,

melainkan untuk mereproduksi ekspresi tersebut secara harfiah, sehingga

pembaca mungkin dapat melihat sesuatu dari cara yang mana dokumen aslinya

menggunakan unsur-unsur budaya lokal untuk menyampaikan makna.

Sebaliknya, terjemahan kesepadanan dinamis memfokuskan perhatian

tidak begitu banyak pada sumber pesan, tetapi pada respon pembaca sasaran.

Salah satu cara untuk mendefinisikan sebuah terjemahan kesepadanan dimanis

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

44

adalah menggambarkannya sebagai "kesetaraan alami paling dekat dengan pesan

bahasa sumber”. Definisi ini mengandung tiga unsur penting: (1) setara, yang

menunjuk ke arah pesan bahasa sumber, (2) alami, yang menunjuk ke arah bahasa

reseptor, dan (3) terdekat, yang mengikat dua orientasi bersama-sama atas dasar

tingkat pendekatan tertinggi. Nida (1964:167) juga menjelaskan bahwa

penerjemahan alami harus sesuai dengan (1) bahasa reseptor dan budaya secara

keseluruhan, (2) konteks dari pesan tertentu, dan (3) pembaca bahasa reseptor.

Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis seperti yang diungkap

oleh Nida (1964:165) tersebut dapat diformulasikan pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Prinsip-prinsip Kesepadanan Formal dan Dinamis

Prinsip-Prinsip Kesepadanan Formal Prinsip-Prinsip Kesepadanan Dinamis

Berupaya untuk mereproduksi unsur-

unsur formal antara lain:

(1) Unit-unit gramatikal:

(a) menerjemahkan nomina

dengan nomina, verba dengan

verba dan sebagainya;

(b) menjaga semua frasa dan

kalimat utuh (yaitu tidak

mengadakan pemisahan dan

penyesuaian unit); dan

(c) mempertahankan semua

indikator resmi; misalnya,

tanda baca, paragraf dan

indentasi puitis.

(2) Konsistensi dalam penggunaan

kata

(3) Makna dari segi konteks BSu.

Kesepadanan alamiah terdekat dengan

pesan BS yang mengandung tiga unsur

penting:

(1) Sepadan, yang menunjuk ke arah

pesan BSu.

(2) Alami, yang menunjuk ke arah BSa

yang harus sesuai dengan:

(a) bahasa dan budaya reseptor;

(b) konteks pesan yang dimaksud

(c) pembaca BSa.

(3) Terdekat, yang mengikat kedua

orientasi secara bersama-sama atas

dasar tingkat pendekatan tertinggi.

(Sumber: Nida, 1974)

Nida (1964:167) mengemukakan bahwa terjemahan alami melibatkan dua

bidang adaptasi utama, yaitu tata bahasa, dan leksikon. Secara umum, modifikasi

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

45

tata bahasa dapat dibuat lebih mudah karena perubahan tata bahasa banyak

ditentukan oleh struktur wajib bahasa reseptor. Artinya, seseorang wajib

melakukan penyesuaian seperti pergeseran urutan kata, menggunakan verba di

tempat nomina, dan mengganti nomina dengan pronomina. Dalam hal ini, struktur

leksikal dari bahasa sumber disesuaikan dengan kebutuhan semantik bahasa

reseptor, bukan aturan yang harus diikuti, tetapi ada banyak kemungkinan

alternatif.

Lebih lanjut, Nida (1964) mengungkapkan bahwa secara umum terdapat

tiga tingkat leksikal untuk dipertimbangkan: (1) istilah yang padanan paralelnya

tersedia, misalnya, sungai, pohon, batu, pisau, dan lain-lain; (2) istilah yang

mengidentifikasi benda budaya yang berbeda, namun dengan fungsi yang agak

mirip, misalnya buku, yang dalam bahasa Inggris berarti objek dengan halaman

terikat bersama menjadi satu unit, tetapi, pada zaman Perjanjian Baru, berarti

perkamen panjang atau papirus digulung dalam bentuk sebuah gulungan; dan (3)

istilah yang mengidentifikasi budaya, misalnya, sinagog, homer, efa, kerub, yobel,

dan lain-lain yang dikutip dari Alkitab.

Biasanya pada tingkat leksikal yang pertama tidak terjadi masalah.

Namun, pada set kedua mulai menimbulkan kebingungan, sehingga pilihan yang

harus diambil ialah menggunakan istilah lain yang mencerminkan bentuk acuan

meskipun tidak memiliki fungsi yang setara, atau yang mengidentifikasi fungsi

setara dengan mengorbankan identitas formal. Dalam tingkat leksikal yang ketiga

"asosiasi asing" jarang dapat dihindari. Tidak ada penerjemahan yang berupaya

untuk menjembatani kesenjangan budaya yang luas dapat berharap untuk

menghilangkan semua jejak pengaturan asing. Sebagai contoh, dalam

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

46

penerjemahan Alkitab sangat mustahil untuk menghapus istilah asing, seperti

Pharisees, Sadducees, Salomon‟s temple, cities of refuge, atau tema Alkitab

seperti anointing, adulterous generation, living sacrifice, dan Lamb of God,

karena ekspresi tersebut tertanam sangat kuat dalam struktur pemikiran pesan.

Selain menjadi sesuai dengan bahasa dan budaya reseptor, Nida

(1964:168) lebih lanjut menjelaskan bahwa terjemahan natural harus sesuai

dengan konteks tertentu dari pesan. Masalah demikian tidak terbatas pada fitur

gramatikal dan leksikal, tetapi juga mungkin melibatkan hal-hal rinci seperti

intonasi dan irama kalimat. Sebuah contoh menarik yang diberikan oleh Nida

(1964:169) adalah kesalahan dalam anakronisme yang melibatkan (1) penggunaan

kata kontemporer untuk periode historis yang berbeda; misalnya, menerjemahkan

"kerasukan setan" sebagai "ketertekanan mental," dan penggunaan bahasa kuno

dalam BSa, dan karenanya, memberi kesan tidak nyata. Dengan demikian, unsur-

unsur seperti sarkasme dan ironi semua harus secara akurat tercermin dalam

terjemahan kesepadanan dinamis. Lebih lanjut, Nida (1964) juga menjelaskan

bahwa kesesuaian harus dinilai berdasarkan tingkat pengalaman dan kapasitas

untuk pengawasandian, jika seseorang memang menginginkan ekuivalensi

dinamis nyata. Dalam hal ini, penerjemah Alkitab, misalnya, harus mengetahui

fakta bahwa bahasa dari Perjanjian Baru adalah bahasa Yunani Koine, yaitu

bahasa "orang di jalan," dan karenanya terjemahan seharusnya dibaca oleh pria di

jalan. Akan tetapi, pada kenyataannya pesan Perjanjian Baru tidak diarahkan

terutama kepada orang di jalan, tetapi untuk orang di dalam jemaat. Untuk alasan

ini, ungkapan seperti " Abba Bapa," Maranatha, dan "dibaptis dalam Kristus"

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

47

dapat digunakan dengan harapan masuk akal dan dapat dimengerti oleh kalangan

termaksud.

2.3.1.4 Kriteria untuk menilai terjemahan

Nida (1964:182) menyebutkan bahwa ada tiga kriteria fundamental yang

merupakan dasar bagi evaluasi semua terjemahan, dan dengan cara yang berbeda

membantu untuk menentukan prestasi relatif terjemahan tertentu. Kriteria tersebut

adalah: (1) efisiensi total proses komunikasi, (2) pemahaman terhadap maksud,

dan (3) kesetaraan respons.

Kriteria pertama menyebutkan bahwa efisiensi terjemahan dapat dinilai

dari segi penerimaan maksimal bagi upaya minimum pengawasandian. Dalam

arti, efisiensi berhubungan erat dengan "hukum pertama semantik" Joo (Joos,

1953), yang dapat menyatakan: “Itu berarti bahwa makna dikatakan terbaik jika

menambahkan paling sedikit terhadap total makna dalam konteks." Dengan kata

lain, memaksimalkan redundansi dan mengurangi pekerjaan pengawasandian.

Kriteria kedua dalam menilai terjemahan adalah pemahaman maksud

awal yang dinyatakan dalam istilah-istilah lain, seperti akurasi terhadap makna

pesan bahasa sumber yang diwakili dalam terjemahan berorientasi baik terhadap

budaya bahasa sumber dalam terjemahan kesetaraan formal maupun terhadap

budaya reseptor dalam terjemahan kesetaraan dinamis. Dalam hal ini, dalam

terjemahan kesetaraan formal, pemahaman terhadap maksud terjemahan harus

dinilai pada dasarnya dari segi konteks tempat komunikasi pertama kali

diucapkan, sedangkan dalam terjemahan kesepadanan dinamis maksud ini harus

dipahami dari segi budaya reseptor. Sejauh mana maksud dapat ditafsirkan dalam

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

48

konteks budaya selain tempat pesan itu pertama kali diberikan adalah berbanding

lurus dengan universalitas pesan. Nida (1964:183) juga menjelaskan bahwa

kriteria "pemahaman maksud awal" dirancang untuk menutupi apa yang sering

diucapkan secara tradisional sebagai "akurasi (accraucy)," "kesetiaan (fidelity),"

dan "kebenaran (correctness)".

Kriteria ketiga dalam menilai terjemahan adalah kesetaraan respon, yang

berorientasi ke arah baik budaya sumber (dalam hal reseptor harus memahami

dasar dari respons awal) maupun budaya reseptor. Dalam hal ini, reseptor

membuat respons yang sesuai dalam konteks budaya yang berbeda.

2.3.1.5 Ideologi dan strategi penerjemahan

Newmark (1988:9) mengemukakan bahwa teori terjemahan memiliki

empat fungsi utama sebagai berikut:

(a) mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah-masalah penerjemahan,

tidak ada masalah berarti tidak ada teori penerjemahan;

(b) menunjukkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam

memecahkan masalah penerjemahan;

(c) mendaftar prosedur-prosedur penerjemahan yang dapat digunakan;

(d) menyarankan pemakaian beberapa prosedur penerjemahan yang sesuai

untuk memecahkan masalah penerjemahan.

Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika teori terjemahan, dalam pengertian

sempit, berkenaan dengan pemilihan metode atau prosedur yang sesuai dengan

jenis teks yang akan diterjemahkan.

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

49

Pemilihan metode ataupun prosedur penerjemahan sangat bergantung pada

ideologi yang dianut oleh penerjemah yaitu pandangan “seperti apa terjemahan

yang baik tersebut” merupakan cerminan dari ideologinya. Hal ini sesuai dengan

pendapat Bassnett dan Lefevere (1992:xi) bahwa

“Translation is, of course, a rewriting of an original text. All rewritings,

whatever their intention, reflect a certain ideology and a poetics and as

such manipulate literature to function in a given society in a given way.”

Pandangan Bassnett dan Lefevere menegaskan bahwa dalam proses

penerjemahan, apa pun tujuannya, tidak luput dan merupakan cerminan dari

ideologi yang dimiliki dan berfungsi dalam masyarakat. Lebih lanjut, dari

pendapat Bassnett dan Lafevere di atas, tersirat bahwa ideologi tersebut tidak

hanya nilai atau keyakinan yang dimiliki penerjemah, tetapi bisa saja kebenaran

tersebut merupakan ideologi atau kebenaran kelompok atau ideologi masyarakat

yang tercermin dalam karya terjemahan tersebut sehingga dapat berterima dalam

masyarakat.

Paparan tersebut menyiratkan bahwa ideologi yang ada dalam suatu

masyarakat tentu sangat berpengaruh pada penerjemahan, mengingat penerjemah

itu adalah bagian dari anggota masyarakat dan terjemahan itu juga ditujukan pada

masyarakat. Selain itu, dalam penerjemahan tentu ideologi itu juga berperan

dalam proses penerjemahan karena terjemahan berasal dari bahasa berbeda

dengan latar budaya berbeda yang tentu memiliki banyak perbedaan terhadap

kelompok-kelompok lainnya. Sehubungan dengan itu, aturan Vermeer Skopos

menyatakan bahwa:

“translate/interpret/speak/write in a way that enables your text/translation

to function in the situation in which it is used and with the people who

want to use it and precisely in the way they want it to function” (Nord

dalam Yan, 2005:64).

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

50

Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa untuk menghasilkan produk

terjemahan yang dapat diterima dan berfungsi dalam masyarkat, kita harus

mengacu pada apa yang diinginkan oleh masyarakat dan ideologi dalam

masyarakat yang menggunakannya. Sehubungan dengan itu, wajar jika

disimpulkan bahwa ideologi tidak hanya berpengaruh besar dalam pemilihan

metode dan strategi penerjemahan, namun juga mengontrol penyebaran teks-teks

terjemahan tersebut (Yan, 2005:64). Hal ini relevan dengan pendapat Nida dan

Taber (1982:1) bahwa “Correctness must be determined by the extent to which the

average reader for which a translation is intended will be likely to understand it

correctly.” Jadi, terjemahan yang baik dan benar itu adalah terjemahan yang

mempertimbangkan pembaca sasarannya (target reader). Pembaca yang berbeda

akan memerlukan terjemahan yang berbeda sehingga penerjemah harus

menyesuaikan metode dan strategi penerjemahannya. Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa benar-salah-nya sebuah terjemahan terkait dengan untuk siapa

terjemahan tersebut ditujukan.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ideologi berada pada tataran

yang bersifat makro karena ideologi merupakan pandangan atau keyakinan

mengenai seperti apa terjemahan yang ingin dihasilkan terkait dengan keinginan

penerjemah, baik dalam tataran individu maupun kelompok. Venuti (1995:20-21)

menyimpulkan bahwa dalam konteks makro terdapat dua kecenderungan yang

muncul bagaimana bentuk dan cara penerjemahan yang diinginkan oleh

penerjemah. Namun, dua kecenderungan ini menunjukkan perbedaan yang kuat,

yaitu satu sisi meyakini bahwa terjemahan yang baik adalah dekat dengan budaya

dan bahasa sumber (forenisasi), sementara yang lain meyakini bahwa terjemahan

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

51

yang baik harus dekat dengan budaya dan bahasa sasaran (domestikasi).

Selanjutnya, berdasarkan pada ideologi atau pandangan tersebut lahir strategi

penerjemahan yaitu bagaimana penerjemah menyelesaikan masalah pada tataran

mikro atau unit terkecil penerjemahan.

Brata (2010:67) menegaskan bahwa pemilihan metode penerjemahan

sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh penerjemah. Penerjemah yang

manganut ideologi foreignisasi akan memilih metode penerjemahan kata demi

kata, harfiah, setia atau semantik. Sebaliknya, penerjemah yang menganut

ideologi domestikasi akan cenderung memilih metode penerjemahan adaptasi,

bebas, idiomatis, atau komunikatif. Lebih jauh, Brata (2010:67), sesuai dengan

pernyataan Molino dan Albir (2002:507-508), menyatakan bahwa metode

penerjemahan merupakan pilihan global yang memengaruhi keseluruhan teks.

Sejalan dengan pengertian dari metode penerjemahan yang telah

diungkapkan di atas, Newmark (1988:81) membedakan pengertian metode dan

prosedur penerjemahan dengan menegaskan bahwa:

“While translation methods relate to the whole texts, translation

procedures are used for sentences and the smaller units of language”

Jika metode penerjemahan berhubungan dengan keseluruhan teks maka prosedur

penerjemahan diterapkan pada kalimat dan unit-unit bahasa yang lebih kecil.

Jadi, istilah prosedur dibedakan dari metode atau yang sering dikenal

dengan perbedaan antara strategi penerjemahan lokal (local translation strategies)

dan strategi penerjemahan global (global translation strategies). Konsep yang

pertama merujuk pada proses penerjemahan kalimat dan unit-unit yang lebih

kecil, sedangkan konsep kedua, seperti telah dikemukakan di atas, mengacu pada

proses penerjemahan teks secara keseluruhan. Perbedaan antara metode dan

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

52

prosedur terletak pada objeknya. Objek metode adalah teks secara keseluruhan,

sedangkan objek prosedur berupa kalimat sebagai unit penerjemahan terkecil, dan

kalimat ini merupakan bagian dari teks. Persamaan antara metode dan prosedur

adalah bahwa keduanya merupakan cara yang digunakan oleh penerjemah dalam

memecahkan masalah penerjemahan. Selanjutnya, secara konseptual metode

digunakan sebagai prinsip umum atau pendekatan dalam menangani sebuah teks,

sedangkan prosedur memperlihatkan adanya tahapan penanganan masalah.

Strategi global atau metode yang dipilih oleh penerjemah secara

keseluruhan akan memberi pengaruh pada proses penerjemahan selanjutnya. Oleh

karena strategi lokal serta merta diikuti oleh teknik-teknik khusus yang

mempengaruhi hasil terjemahan dan unit-unit mikro teks maka strategi lokal atau

yang dikenal dengan istilah prosedur pada dasarnya adalah teknik penerjemahan

(Molina dan Albir, 2002:509). Dalam hal ini, seiring dengan semakin

meningkatnya kompetensi penerjemah, masalah-masalah yang dihadapi dalam

proses penerjemahan tidak akan menjadi kendala karena strategi lokal yang telah

dikuasai sepenuhnya akan dapat diterapkan secara otomatis.

Newmark (1998:45), terkait dengan metode penerjemahan,

memperkenalkan sebuah diagram yang disebutnya sebagai Diagram V untuk

menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan. Kutub yang

pertama sangat memperhatikan sistem dan budaya BSu, sedangkan kutub yang

kedua sangat menghargai sistem dan budaya BSa.

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

53

Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSu dipresentasikan oleh beberapa

hal berikut:

1) Metode penerjemahan kata demi kata (Word-for-word translation).

Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata.

Dalam menerapkan metode penerjemahan ini, penerjemah hanya mencari

padanan kata BSu dalam BSa, dan pencarian padanan itu tidak dikaitkan

dengn konteks. Metode tersebut tidak mengubah susunan kata BSu dalam

terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat BSu sama

persis dengan susunan kata dalam kalimat BSa. Metode penerjemahan kata

demi kata itu dapat diterapkan dengan baik hanya jika struktur BSu sama

dengan struktur BSa.

2) Metode penerjemahan harfiah mempunyai kesamaan dengan metode

penerjemahan kata-demi-kata bahwa pemadanan yang dilakukan selalu

lepas konteks. Perbedaannya adalah metode penerjemahan harfiah

berusaha mengubah konstruksi gramatikal BSu menjadi konstruksi

gramatikal BSa.

Orienetasi pada BS

Penerjemahan Kata Demi Kata

Penerjemahan Harfiah

Penerjemahan Setia

Penerjemahan Semantik

Penerjemahan Bebas

Penerjemahan Idiomatik

Penerjemahan Komunikatif

Gambar 2.1. Diagram V Metode Penerjemahan

(Sumber: Newmark, 1998)

A d a p t a s i

Orientasi pada BT

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

54

3) Metode penerjemahan setia berusaha sesetia mungkin menghasilkan

makna kontekstual teks BSu meskipun melanggar konstruksi gramatikal

BSa.

4) Metode penerjemahan semantik berfokus pada pencarian padanan pada

tataran kata dengan tetap terikat pada bahasa budaya BSu, dan berusaha

mengalihkan makna kontekstual BSu yang sedekat mungkin dengan

struktur sintaksis dan semantik BSa. Jika sebuah kalimat perintah bahasa

Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka terjemahannya

pun harus berbentuk kalimat perintah. Kata-kata yang membentuk kalimat

perintah bahasa Inggris itu harus mempunyai komponen makna yang sama

dengan komponen makna kata yang terdapat dalam terjemahan.

Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSa dipresentasikan oleh beberapa

hal berikut:

1) Metode penerjemahan adaptasi berusaha mengubah budaya BSu dalam

BSa. Hasilnya pada umumnya dipandang bukan sebagai suatu terjemahan

tetapi merupakan penulisan kembali pesan teks BSu dalam BSa. Teks

yang dihasilkan dengan menerapkan metode adaptasi merupakan bentuk

terjemahan, yang paling bebas dan metode adaptasi ini khususnya

digunakan dalam menerjemahkan teks drama dan puisi.

2) Metode penerjemahan bebas mengahasilkan teks sasaran yang tidak

mengandung gaya, bentuk atau isi teks sumber. Metode penerjemahan

bebas tidak terikat pada pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat.

Pencarian padanan itu cenderung berlangsung pada tataran teks. Metode

penerjemahan bebas tidak sama dengan metode adaptasi. Pesan dalam

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

55

terjemahan bebas harus tetap setia pada pesan teks BSu. Penerjemah hanya

mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan pesan itu

dalam BSa dia tidak memodifikasi karya asli. Sebaliknya, dengan metode

adaptasi, penerjemah dimungkinkan untuk melakukan beberapa

modifikasi, misalnya mengganti nama pelaku dan tempat kejadian.

3) .Metode penerjemahan idiomatik berusaha untuk menghasilkan kembali

“pesan” teks sumber, tetapi cenderung merusak nuansa makna dengan

jalan menggunakan bentuk kolokial dan idiom meskipun kedua hal ini

tidak ada dalam teks BSu.

4) Metode penerjemahan komunikatif bersaha mengalihkan makna

kontekstual teks BSu secara akurat ke dalam bahasa teks BSa agar

terjemahan dapat berterima dan mudah dipahami oleh pembaca sasaran.

Dengan kata lain, metode penerjemahan komunikatif sangat peduli pada

masalah efek yang ditimbulkan oleh suatu terjemahan pada pembaca, yang

tidak mengharapkan adanya kesulitan-kesulitan dan ketidakjelasan dalam

terjemahan. Metode penerjemahan komunikatif juga sangat

memperhatikan masalah keefektifan bahasa terjemahan. Oleh sebab itu,

dapat dikatakan bahwa metode penerjemahan komunikatif

mempersyaratkan agar bahasa terjemahan mempunyai bentuk, makna dan

fungsi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena ada kemungkinan

suatu kalimat sudah benar secara sintaktis, tetapi maknanya tidak logis,

atau, bentuk dan maknanya sudah benar, namun penggunaannya tidak

tepat atau tidak alamiah.

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

56

Lebih jauh, Newmark (1988:81) menyebutkan terdapat sedikitnya 15

prosedur penerjemahan di antaranya adalah harfiah (literal), tranferensi

(transference), naturalisasi (naturalization), sepadan budaya (cultural equivalent),

sepadan fungsional (functional equivalent), sepadan deskriptif (descriptive

equivalent), analisis komponen (componential analysis), sinonim (synonymy),

terjemahan menyeluruh (through-translation), pergeseran atau transposisi (shift or

transposisi), modulasi (modulation), terjemahan yang sudah diakui (recognized-

translation), kompensasi (compensation), parafrase (paraphrase), untai

(couplets), catatan (notes).

Selain Newmark, Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa teknik

penerjemahan merupakan prosedur dalam menganalisis dan mengklasifikasikan

bagaimana kesepadanan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada

berbagai satuan lingual. Lebih komprehensif dari Newmark, mereka menyebutkan

terdapat 18 prosedur penerjemahan di antaranya adalah adaptasi (adaptation),

amplikasi (amplification), peminjaman (borrowing), kalke, kompensasi

(compensation), deskripsi (description), kreasi diskursif (discursive creation),

kesepadanan lazim (established equivalent), generalisasi (generalization),

amplikasi linguistik (linguistic amplification), kompresi linguistic (linguistic

compression), penerjemahan harfiah (literal translation), modulasi (modulation),

partikularisasi (particularization), reduksi (reduction), substitusi (substitution),

transposisi (transposition), dan variasi (variation).

Di lain sisi, variasi prosedur penerjemahan yang diperkenalkan oleh Vinay

dan Darbelnet (1958/2000) memiliki dampak yang sangat luas. Mereka

melakukan analisis stilistika komparatif bahasa Prancis dan Inggris dan

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

57

membedakan tujuh prosedur yang mereka kelompokkan menjadi dua strategi

global (metode), yaitu terjemahan harfiah atau langsung yang terdiri atas 3

prosedur, yaitu peminjaman (borrowing), calque, harfiah (literal) dan terjemahan

oblique yang terdiri dari 4 prosedur yaitu transposisi (transposition), modulasi

(modulation), kesepadanan (equivalence) dan adaptasi (adaptation). Untuk lebih

jelasnya, berikut adalah pemaparan ketujuh prosedur yang secara tegas dipisahkan

dalam dua kategori besar.

Tabel 2.3 Prosedur Penerjemahan Menurut Vinay dan Darbelnet

Prosedur Penerjemahan

Metode Penerjemahan Langsung

/Harfiah

Metode Penerjemahan Bebas/Oblik

Peminjaman

Kalke

Literal

Transposisi

Modulasi

Kesepadanan

Adaptasi

(Sumber: Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000)

Berikut adalah penjelasan detail mengenai ketujuh prosedur terjemahan

menurut Vinay dan Darbelnet tersebut:

1) Peminjaman (Borrowing)

Pinjaman dianggap sebagai yang paling sederhana dari semua metode

penerjemahan untuk mengatasi kesenjangan, biasanya sesuatu yang

metalinguistik (misalnya, sebuah proses teknis baru, konsep yang tidak

dikenal). Penerjemah mengadopsi prosedur ini dalam rangka untuk

memperkenalkan cita rasa budaya bahasa sumber (BSu) dalam

terjemahan. Dengan kata lain, dalam menerjemahkan istilah dari

bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, istilah asing tertentu dapat

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

58

digunakan. Hal ini biasanya terjadi tanpa mengubah, baik bentuk

maupun makna. Misalnya, kata-kata Rusia seperti dollar dan party dari

bahasa Inggris Amerika.

2) Kalke

Teknik kalke adalah jenis khusus dari metode peminjaman

(borrowing), sebuah bahasa meminjam ungkapan dari bahasa yang lain

dan kemudian menerjemahkan masing-masing unsurnya secara

harfiah. Teknik kalke dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu teknik

kalke leksikal dan teknik kalke struktural. Sebuah teknik kalke leksikal

seperti pada contoh pertama di bawah, yaitu teknik kalke yang

menghargai struktur sintaksis dari bahasa target sementara

memperkenalkan sebuah modus ekspresi baru. Teknik kalke struktural,

seperti dalam contoh kedua di bawah memperkenalkan konstruksi baru

ke dalam bahasa.

English – French calque

Compliments of the season! Compliments de la saison!

Science-fiction science-fiction.

(Vinay dan Dalbernet dalam Venuti, 2000:85)

3) Harfiah (Literal)

Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata. Cara kerja

prosedur ini ialah menerjemahakan secara langsung teks bahasa

sumber (BSu), baik gramatikal maupun idiomatik, yang sesuai dengan

teks bahasa sasaran (BSa). Singkatnya, tugas penerjemah adalah untuk

tetap teguh pada perilaku linguistik dari BSa. Sebuah terjemahan

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

59

harfiah adalah solusi unik yang reversibel dan lengkap. Sebagai

contoh:

Sebuah rumah pantai di Venus Bay (SL) → a beach house at Venus

Bay (TL)

Engkau menunggu aku di Sanur (SL) → You waiting for me at Sanur

(TL)

(Aveling dalam Herliany, 2006)

4) Transposisi

Transposisi adalah proses penerjemahan yang menggantikan satu kelas

kata dengan yang lain tanpa mengubah pesan makna. Transposisi juga

dapat diterapkan dalam satu bahasa. Ada dua jenis transposisi:

transposisi wajib dan transposisi opsional. Transposisi Wajib terjadi

ketika bahasa target tidak memiliki pilihan lain karena sistem bahasa

yang berbeda; misalnya, consolidated financial statement (SL) →

laporan keuangan konsolidasian (TL) (Khaerun, 2003). Transposisi

opsional dipilih oleh penerjemah untuk kepentingan gaya bahasa.

Sebagai contoh, Wajahku akan menjadi sepotong mainan (SL) →

Dolls will face like mine (TL) (Aveling dalam Herliany, 2006).

5.) Modulasi

Modulasi adalah proses penerjemahan yang ditandai variasi bentuk

pesan. Variasi ini terjadi karena perubahan sudut pandang. Perubahan

ini dapat dibenarkan bila hasil terjemahan benar dalam hal tata bahasa,

tetapi dianggap tidak cocok, tidak idiomatik atau canggung. Seperti

transposisi, modulasi terbagi menjadi modulasi opsional dan wajib.

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

60

Yang pertama dapat terjadi karena alasan nonlinguistik. Hal ini

sebagian besar digunakan untuk menekankan makna, untuk membuat

koherensi atau untuk mengetahui bentuk alami dalam bahasa target,

sedangkan yang kedua diterapkan bila kata, frasa, atau struktur tidak

dapat ditemukan dalam bahasa target. Dapat dilihat dalam kalimat He

is unmarried (BSu) → Ia masih bujang (BSa) (Puspani, 2003). Contoh

modulasi wajib dapat dilihat dalam kalimat The problem is hard for us

to solve (BSu) → Masalah itu sukar (untuk) dipecahkan (BSa). Dalam

hal ini, konstruksi aktif pada BS dirubah menjadi konstruksi pasif

(Sudrama, 2003)

6) Kesepadanan (Equivalence)

Kesepadanan adalah proses penerjemahan yang diterapkan ketika ada

dua teks dengan konteks situasi yang sama. Akan tetapi, kedua teks

menggunakan metode, gaya, dan struktur yang sama sekali berbeda.

Jenis penerjemahan ini dapat diterapkan pada peribahasa dan idiom.

Misalnya, Seputih kapas (BSu) → As white as snow (BSa) (Puspani,

2003).

7) Adaptasi

Adaptasi adalah proses penerjemahan yang diadopsi jika ada pesan

dalam bahasa sumber (BSu) tidak diketahui dalam budaya bahasa

target (BSa). Dalam hal ini, penerjemah harus menciptakan situasi

baru yang dapat dianggap setara. Misalnya, Dear sir (BSu) → Dengan

hormat (BSa), Sincerely yours (BSu) → Hormat saya (BSa) (Sudrama,

2003).

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

61

Pemisahan yang tegas yang dibuat oleh Vinay dan Darbelnet terlepas dari

kesederhanaan jenis teknik atau prosedur yang mereka ungkapkan, dapat

dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk memilih teori yang mereka kemukakan

guna dijadikan sebagai landasan utama dalam menganalisis data. Hal ini terjadi

karena dalam penerjemahan Alkitab, seperti yang telah diungkap sebelumnya,

penerjemah atau kelompok penerjemah dari sejak awal telah menentukan atau

menetapkan, baik ideologi maupun metode, yang hendak mereka terapkan yang

tentu saja akan diikuti dengan penggunaan teknik atau prosedur yang sesuai, yaitu

penerjemahan langsung/harfiah untuk kubu terjemahan harfiah dan teknik atau

prosedur oblik untuk kubu terjemahan bebas.

Mengingat pula klasifikasi teknik penerjemahan yang ditawarkan oleh

Molina dan Albir (2005:498-512) yang merupakan rangkuman dari teknik

penerjemahan yang digagas oleh Vinay dan Darbelnet (1958) maka taksonomi

yang dapat disusun untuk diterapkan dalam penelitian ini adalah klasifikasi yang

dibuat oleh Molina dan Albir, namun dengan memanfaatkan alur pikiran dari

Vinay dan Dalbernet, yaitu memisahkan kedelapan belas prosedur yang

ditawarkan ke dalam dua kelompok, yaitu prosedur terjemahan harfiah dan

prosedur terjemahan bebas seperti tertera pada tabel di bawah ini:

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

62

Tabel 2.4 Klasifikasi Prosedur Penerjemahan Menurut

Molina dan Albir

Teknik Penerjemahan

Penjelasan Contoh

adaptasi (adaptation) Menggantikan unsur budaya sumber dengan unsur budaya sasaran.

BSu: as white as snow BSa: seputih kapas

penambahan (amplification) Memberikan informasi lebih detail yang

tidak tercantum dalam BSa

BSu: “…and it was put into the

Thames.” BSa: “…dan dibenamkan di sungai

Thames.”

peminjaman: murni & natural (borrowing: pure borrowing &

naturalized borrowing)

Menyerap kata atau ungkapan langsung dari BSu yang meliputi peminjaman murni

dan peminjaman alamiah.

Peminjaman murni: BSu: hard disk, mixer

BSa: hard disk, mixer

Peminjaman naturalisasi: BSu: Computer

BSa: Komputer

kalke (calque ) Menerjemahkan frasa atau kata BSu secara literal. Teknik ini serupa dengan teknik

penerimaan (acception).

BSu: Directorate General BSa: Direktorat Jenderal

Kompensasi (compensation) Memperkenalkan informasi dalam BSu pada bagian lain dalam BSa atau untuk

menciptakan dampak stilistika.

BSu: You can let your imagination go wild.

BSa: Anda dapat membiarkan

khayalan mengembara sejauh mungkin.

deskripsi (description) Menggantikan sebuah istilah atau

ungkapan dengan deskripsi bentuk dan

fungsinya.

BSu: Green room

BSa: Ruang tunggu para artis sebelum

mereka tampil

kreasi diskursif (discursive

creation)

Memberikan padanan sementara namun

terlepas dari konteks

BSu: Husband for a year

BSa: Suami sementara

Padanan lazim/baku/resmi

(established equivalence)

Menggunakan istilah atau ungkapan yang

sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Teknik ini mirip

dengan penerjemahan harfiah.

BSu: efficient and effective

BSa: efisien dan efektif

generalisasi (generalization) Menggunakan istilah yang lebih umum atau netral. Teknik ini serupa dengan

penerimaan (acception).

BSu: Penthouse, mansion BSa: Tempat tinggal

amplifikasi linguistik (linguistic

amplification)

Menambahkan unsur-unsur linguistik

dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan pada pengalihbahasaan konsekutif atau

sulih suara.

BSu: The David you are sculpting is

you. BSa: Patung David yang Anda ukir

adalah diri Anda sendiri.

kompresi linguistik (linguistic compression)

Menggabungkan unsur-unsur bahasa dalam BSa. Teknik ini merupakan

kebalikan dari teknik amplifikasi

linguistik.

BSu: The mind is shaping the very thing that is being perceived.

BSa: Akal membentuk segala sesuatu

yang ada

harfiah (literal) Menerjemahkan kata demi kata dan

penerjemah tidak mengaitkan dengan

konteks.

BSu: Killing two birds with one stone

BSa: Membunuh dua burung dengan

satu batu.

modulasi (modulation) Mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan

BSu. Perubahan sudut pandang dapat

bersifat leksikal atau struktural.

BSu: Nobody doesn‟t like it BSa: Semua orang menyukainya

partikularisasi

(particularization)

Menggunakan istilah yang lebih konkrit,

presisi atau spesifik dari superordinat ke

subordinat. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi.

BSu: air transportation

BSa: pesawat

Reduksi (Reduction) Mengungkapkan sebuah informasi dalam

BSu secara sangat singkat dalam BSa.

Tenik ini kebalikan dari teknik aplifikasi.

BSu: The Muslim month of fasting

BSa: Ramadan

substitusi (substitution) Mengubah unsur-unsur linguistik dan

paralinguistik (intonasi atau isyarat).

Gesture such as nodding is translated

into „setuju‟, shrugging shoulders is

translated into „saya tidak tahu‟.

transposisi (transposition) Mengubah kategori gramatikal/pergeseran bentuk

BSu: consolidated financial statement BSa: laporan keuangan konsolidasi

variasi (variation) Mengubah nada teks, gaya bahasa, dan

dialek

Perubahan dialek dalam dialog pada

teater dan nada pada novel anak-anak

(Sumber: Molina dan Albir, 2005, dan contoh diambil dari berbagai sumber)

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

63

Berdasarkan beberapa fakta tersebut di atas, berikut adalah taksonomi strategi

penerjemahan yang ditetapkan sebagai alat analisis selanjutnya.

Tabel 2.5. Taksonomi Prosedur/Teknik Penerjemahan Hasil Rekomposisi

Metode Penerjemahan

Prosedur/Teknik Penerjemahan

Langsung /Harfiah

Prosedur/Teknik Penerjemahan

Bebas/Oblik

1. Peminjaman

2. Kalke

3. Harfiah

1. Transposisi

2. Modulasi

3. Padanan lazim/baku

4. Amplifikasi

5. Reduksi

6. Amplifikasi linguistik

7. Kompresi linguistik

8. Generalisasi

9. Partikularisasi

10. Kompensasi

11. Kreasi diskursif

12. Deskripsi

13. Substitusi

14. Variasi

15. Adaptasi

16. Catatan

Jadi, fokus penelitian ini adalah tidak lagi menelusuri ideologi, metode

ataupun prosedur yang dianut atau diterapkan oleh penerjemah atau kelompok

penerjemah, tetapi untuk mengungkapkan ketepatan penggunaan prosedur

penerjemahan, baik pada kubu harfiah maupun kubu bebas, yang tentu saja akan

memberikan dampak pada tingkat kesepadanan produk terjemahan masing-

masing kubu terjemahan.

Berikut adalah kerangka berpikir yang diterapkan terkait dengan ideologi,

metode, prosedur dan teknik penerjemahan yang diharapkan bermuara pada

Page 51: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

64

pemahaman tingkat kesepadanan produk terjemahan baik kubu harfiah maupun

kubu bebas.

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Terkait dengan Ideologi, Metode,

dan Tenkik/Prosedur Terjemahan Alkitab

Terjemahan

Harfiah

Terjemahan

Bebas

Ideologi

Foreignisasi Ideologi

Domesikasi

Metode Literal

(Diagram V)

Metode Bebas

(Diagram V)

Prosedur

Langsung/Harfiah

Prosedur

Bebas/Oblique

Analisis Ketepatan

Penggunaan Prosedur Analsisi Ketepatan

Penggunaan Prosedur

KESEPADANAN (PRINSIP-PRINSIP KESEPADANAN

FORMAL/DINAMIS

Page 52: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

65

2.3.2 Dimensi Makna

Secara universal dapat dipahami bahwa makna memegang peranan yang

sangat penting dalam teori penerjemahan. Tanpa penjelasan teoritis tentang makna

akan sangat sulit untuk memahami isu-isu penting dalam teori terjemahan

misalnya sifat penerjemahan, keterjemahan (translatability), ketakterjemaham

(untranslatability) dan kesepadanan. Jadi, hal yang paling mendasar dalam

berbagai diskusi tentang proses penerjemahan ialah memahami dimensi makna

yang menurut Nida (1964:57) terdiri atas tiga yaitu makna linguistik, makna

referensial, dan makna emotif.

2.3.2.1 Makna linguistik

Makna linguistik, yang oleh Nida dan Taber (1969) kemudian

diperkenalkan juga dengan istilah makna gramatikal dalam The Theory and

Practice of Translation, mengacu pada hubungan yang bermakna antara bagian-

bagian konstituen dalam konstruksi grammatikal. Hal ini dapat diartikan sebagai

hubungan yang bermakna antara kata, frasa dan kalimat. Dalam hal ini, makna

dari frasa atau kalimat tidak ditentukan oleh kombinasi sederhana dari makna kata

secara terpisah, tetapi berasal dari struktur tertentu frasa atau kalimat. Misalnya,

pada frasa orang tua, rumah abu-abu, bulu yang indah, dan pohon yang tinggi

adalah komponen pertama dari setiap frase yang memberi sifat pada yang kedua.

Hal ini menjelaskan mengapa kombinasi kata-kata dalam bahasa bermakna dan

tidak dapat diubah secara bebas. Contoh lainnya adalah ketika analisis dilakukan

terhadap hubungan kombinasi kata dalam kalimat ˮLaki-laki tua itu menatap

kamiˮ, di situ tidak ada hubungan kata itu dengan tua, tua dengan laki-laki, laki-

Page 53: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

66

laki dengan menatap, dan sebagainya, dan tidak ada kedudukan terbalik laki-laki

menatap sebagai menatap laki-laki.

Sehubungan dengan salah satu dimensi makna tersebut di atas, secara

umum dapat disimpulkan bahwa frasa dan kalimat yang dibangun dari konstruksi

yang sama memiliki makna sama. Misalnya, Laki-laki tua itu menatap kami dan

beberapa laki-laki muda memukul mereka memiliki konstruksi yang sama, dan

oleh karena itu, mereka berbagi makna gramatikal yang sama. Akan tetapi, pada

kenyataannya tidak selalu demikian karena tidak semua struktur gramatikal yang

sama mengandung makna yang sama. Contoh yang sering dipakai oleh Nida

adalah perbandingan antara empat buah frasa his car, his failure, his arrest dan

his goodness. Keempat frasa itu memiliki struktur yang sama, yaitu pronomina

posesif (his) + nomina, tetapi hubungan antara his dan nomina yang mengikutinya

cukup berbeda pada setiap frasa. Nida menginterpretasikannya sebagai he has a

car, he failed, he was arrested dan he is good. Pemahaman ini mengandung

pengertian bahwa keempat ungkapan tersebut sebenarnya memiliki makna yang

berbeda. Kemudian, Nida menjelaskan empat formula yang berbeda: “A possesses

B”, “A performs B”, “A is the goal of the action B” dan “B is the quality of A”

(Nida, 1964:59). Menurut Nida, alasan bagi hubungan makna yang berbeda pada

tipe ekspresi yang memiliki struktur yang sama karena mereka ditransformasi dari

kalimat kernel yang berbeda, dan karenanya, harus dieksplorasi struktur dalam

untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap struktur luarnya.

Dalam menganalisis makna gramatikal, Nida juga mengemukakan

klasifikasi baru tentang kata yaitu: kata objek (object words), kata kejadian (event

words), kata abstrak (abstract words) dan kata relasi (relational words).

Page 54: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

67

Penggolongan kata ini dilandasi oleh teori logika simbolis Sapir dan Reichenbach

(Nida, 1964:62). Kata objek adalah kata-kata yang menunjukkan entitas objektif

seperti manusia, anjing, dan mesin; nomina pada umumnya berfungsi sebagai kata

objektif. Kata kejadian adalah kata-kata tindakan, seperti berjalan, belajar dan

bekerja; verba pada umumnya berfungsi sebagai kata tindakan. Kata abstrak

adalah kata-kata yang menyiratkan konsep abstrak, seperti tinggi, cukup, dan

indah; adjektiva atau adverbia sering berfungsi sebagai kata-kata abstrak. Kata

relasi adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan frasa atau kalimat,

seperti di, jika dan meskipun; preposisi dan konjungsi sering berfungsi sebagai

kata relasional.

Hal itu tidak sebaliknya berarti bahwa semua kata objek, kata peristiwa,

kata abstrak dan kata relasional adalah termasuk nomina, verba, adjektiva atau

adverbia, dan preposisi atau konjungsi. Alasannya adalah, menurut Nida, empat

jenis kata diklasifikasikan menurut maknanya, yaitu, konsep kata-kata, yang

adalah sesuatu yang terdapat pada struktur dalam, bukan bentuk grammatikal

yang berada pada struktur permukaan. Oleh karena itu, jenis kata tertentu dapat

memiliki beberapa bentuk yang beragam. Misalnya, beauty, beautiful, beautifully

dan beautify termasuk jenis kata abstrak, tetapi masing-masing termasuk nomina,

adjektiva, adverbia, dan verba dalam tataran fungsi gramatikal.

Berlandaskan pada fakta tersebut di atas, untuk menghilangkan kesan

ambigu pada struktur permukaan, hal yang perlu dilakukan adalah

merestrukturisasi atau menyusun kembali struktur dalam yang oleh banyak ahli

bahasa disebut “kernel” yaitu elemen struktur dasar bahasa yang membangun

struktur permukaan yang seringkali terkesan rumit. Sehubungan dengan hal ini,

Page 55: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

68

Nida dan Taber (1974:39) dengan tegas menyatakan bahwa penerjemah harus

memahami fakta bahwa bahasa-bahasa memiliki kesepahaman pada tataran kernel

dibandingkan dengan struktur permukaan yang sifatnya sangat kompleks.

Maksudnya adalah, jika penerjemah mampu menyederhanakan struktur

gramatikal ke tingkat kernel, maka struktur tersebut akan dapat ditransfer dengan

lebih mudah dalam tingkat distorsi yang minimum.

Ekspresi Kernel dalam bahasa Inggris seperti yang dipaparkan oleh Nida

dan Taber (1974:40) yang dari padanya struktur gramatikal yang lebih rumit dapat

dibangun terdiri dari jenis ilustrasi berikut:

1. John ran quickly

2. John hit Bill

3. John gave Bill a ball

4. John is in the house

5. John is sick

6. John is a boy

7. John is my father

2.3.2.2 Makna referensial

Dimensi makna yang kedua adalah makna referensial yang menurut Nida

(1964:70) pada umumnya dianggap sebagai makna kamus. Selanjutnya, makna

referensial juga didefinisikan sebagai makna dari kata sebagai simbol yang

mengacu pada objek, peristiwa, abstrak, dan relasi (Nida & Taber, 1982:56).

Selain itu, makna referensial dapat juga disejajarkan dengan makna konseptual

yang menyandang konten logis, kognitif atau denotatif yang merupakan makna

Page 56: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

69

dasar pertama dari tujuh macam makna yang dikemukakan oleh Leech, (1974:19)

yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna sosial, makna afektif, makna

refleksif, makna kolokatif, dan makna tematik. Sejalan dengan konsep yang

ditawarkan Nida dan Taber (1982), Frawley (1992) juga menegaskan bahwa

makna referensial mengacu pada objek yang sebenarnya, dikenal dengan

referense atau informasi yang membuat kalimat menjadi bermakna bagi seseorang

yang mungkin menyadari atau tidak menyadari fakta referensial yang sebenarnya,

atau dikenal dengan sense.

Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa makna refernsial

ataupun konseptual dari kata yang sama dapat berbeda pada konteks yang berbeda

pula. Berikut adalah contoh yang dikemukakan oleh Nida & Taber (1974:57):

1. It is a fox

2. He is a fox

3. She will fox him

Pada kalimat yang pertama, kehadiran it mengidentifikasikan fox sebagai

seekor binatang. Pada kalimat yang kedua, kehadiran he berhubungan dengan

pemahaman bahwa fox mengacu pada seseorang karena he pada konstruksi ini

adalah pengganti anaforis bagi manusia laki-laki; dan satu-satunya kesan terhadap

fox yang ditujukan pada seseorang sebagai “orang licik.” Pada kalimat yang

ketiga, fox adalah sebuah verba, yang terlihat dari posisinya yang terletak di antara

kata bantu will dan objek pronomina him; makna verbal dari fox adalah “menipu

dengan cara yang cerdik.”

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan dengan makna

referensial adalah permasalahan yang menyangkut makna figuratif. Selain

Page 57: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

70

memiliki makna sentral dan makna “literal” yang cukup dekat dengan makna

sentral karena berbagi komponen penting, sebuah kata dapat juga memiliki makna

tambahan yang sangat berbeda dalam setiap aspek penting dengan makna sentral.

Makna jenis ini tidak dihubungkan dengan komponen penting dengan makna

sentral dan karenanya dikenal dengan makna figuratif. Untuk itu, menurut Nida &

Taber (1974:87) sangat penting untuk mempertimbangkan bahwa makna dari

sebuah kata dapat diperluas ke berbagai arah seperti contoh berikut:

(It is a) fox (He is a) fox

1. animal 1. human being

2. canine 2. clevery deceptive

3. genus: Vulpes

Jika makna kata fox dibandingkan dalam dua kalimat di atas dapat disimpulkan

bahwa keduanya tidak berbagi komponen yang sama. Meskipun keduanya

disatukan dengan komponen makhluk hidup, masih terlalu luas karena hanya

terdapat sedikit signifikansi.

Satu-satunya penjelasan mengenai gambaran tersebut di atas adalah bahwa

keduanya dimediasi melalui komponen yang diperkenalkan oleh Nida & Taber

(ibid:87) dengan sebutan supplementary (tambahan) dan bersifat murni

konvensional yaitu komponen yang mengklaim bahwa serigala secara khusus

dikenal sebagai penipu yang cerdas. Ditegaskan pula dalam hal ini bahwa

komponen tambahan berada pada ranah psikologis. Mengingat komponen ini

bersifat arbitrer dan konvensional, pemahamannya sangat bergantung pada faktor

budaya dan bahasa setempat. Salah satu contoh spesifik yang dikemukakan oleh

Nida & Taber (1974:88) diambil dari salah satu ayat Alkitab, yatu Kisah Para

Rasul 2:17 “pour out my Spirit upon all flesh.” Dalam hal ini flesh tidak diartikan

menurut makna utamanya sebagai objek yang memiliki masa; menurut makna

Page 58: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

71

figuratifnya flesh mengacu pada objek yang benar-benar berbeda, yaitu orang atau

umat manusia.

Nida & Taber (1974:107) mengungkapkan bahwa proses penerjemahan

makna figuratif dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: (a) pengalihan dari

figuratif ke nonfiguratif, misalnya, “possess the gate” menjadi “possess the city”;

“my flesh” menjadi “my race”; “taste death” menjadi “die”; (b) pengalihan dari

ekspresi figuratif menjadi ekspresi figuratif yang lain, misalnya, “praise the Lord

with the tongue” menjadi “praise the Lord with the lips”; (c) pengalihan dari

nonfiguratif menjadi figuratif, misalnya, “to trust” menjadi “to lean on.”

2.3.2.3 Makna emotif

Makna emotif atau dikenal pula dengan makna konotatif berkaitan dengan

asosiasi atau “reaksi emosional terhadap kata” dalam tindakan komunikasi (Nida

& Taber, 1974:91). Dimensi makna ini melibatkan nilai-nilai emotif seperti tabu

(positif dan negatif), vulgar, cabul, gaul, bertele-tele, dan sebagainya. Meskipun

analisis makna emotif tidak semudah makna referensial, Nida mengusulkan

bahwa satu-satunya cara di mana makna emotif dapat dianalisis adalah dalam

konteks, baik budaya maupun linguistik (Nida, 1964:71).

Di satu sisi, dalam menggambarkan makna emotif berdasarkan konteks

budaya dapat dilakukan dengan menganalisis respons perilaku penutur asing

terhadap penggunaan kata tertentu jika sedang mempelajari bahasa asing atau

dapat pula dengan menilai sikap emosional terhadap kata-kata dalam bahasa ibu.

Di lain sisi, dalam menggambarkan makna emotif dalam konteks linguistik maka

yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis kemunculan kembali kata yang

Page 59: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

72

kemungkinan dapat didiagnosis nilai emotifnya yang dalam hal ini dikenal dengan

makna kolokatif. Sebagai contoh, kata cantik dan tampan memiliki konsep makna

yang sama, yaitu „enak dilihat‟, tetapi ketika disandingkan dengan kata wanita

maka makna kolokatif atau asosiatifnya akan muncul, yakni wanita cantik

menyiratkan „perempuan cantik‟, sedangkan wanita tampan memiliki asosiasi

„wanita terhormat. ‟

Nida (1974:94) menegaskan bahwa belum ada metode yang baku untuk

mengukur nilai konotatif dari sebuah kata. Metode yang dianggap paling masuk

akal adalah yang diterapkan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum yang

menggunakan matriks dengan skala 1 sampai 10 yang ditandai dengan

mengontraskan pasangan adjektiva good-bad, beautiful-ugly, strong-weak, light-

dark, high-low, warm-cold dan seterusnya. Hasilnya cukup akurat karena reaksi

responden terhadap kata, seperti patriotism, love, blood, communism, revolution,

dan sebagainya. menunjukkan tingkat kesepahaman yang cukup tinggi antara satu

responden dengan responden yang lain. Berikut adalah contoh pemanfaatan

matriks penilaian makna emotif terhadap kata mother dan woman yang diperoleh

berdasarkan survey yang dilakukan terhadap respon 60 orang Inggris Amerika

terhadap kedua kata tersebut. Hasil survey menunjukkan bahwa responden lebih

memilih kata mother dibandingkan woman.

Page 60: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

73

mother woman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2.3. Matriks Makna Emotif Terhadap Kata Woman dan Mother

(Sumber: Nida dan Taber, 1974)

Lebih jauh diungkapkan bahwa perbedaan respon konotatif terhadap kata

mother dan woman juga menjadi salah satu masalah dalam penerjemahan kedua

kata tersebut dari istilah Yunani gunai (secara harfiah woman) pada Yohanes 2:4

yaitu pada kalimat: Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku,

ibu? Saat-Ku belum tiba”. Versi King James dan beberapa versi lainnya

mempertahankan terjemahan harfiah woman. Tetapi versi New English Bible

(NEB) lebih memilih mempergunakan kata mother. Hal ini terjadi karena dalam

bahasa Inggris mother secara konotatif lebih sopan dibandingkan woman.

Metode lain yang ditawarkan oleh Nida (ibid:96) adalah dengan menilai

aspek konotatif kata berdasarkan pada nilai (value) dan tingkatan (level) seperti

gambaran di bawah ini:

1. Values: good (G), neutral (N), bad (B)

2. Level of language: technical (T), formal (F), informal (I)

Selain itu, mengenai aspek konotatif kata, Nida dan Taber (1974:24-26)

menyatakan juga bahwa ada tiga fungsi yang seyogyanya dipenuhi oleh sebuah

produk terjemahan, yaitu fungsi informatif, fungsi ekspresif, dan fungsi imperatif.

good

attractiv

ee strong

bad

ugly

weak

dark

low

cold

light

high

warm

Page 61: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

74

Dalam hal ini, hasil terjemahan tidak hanya harus memberikan informasi yang

orang dapat mengerti, tetapi juga dengan sedemikian rupa harus menyajikan pesan

bahwa pembaca dapat merasakan relevansinya (elemen ekspresif dalam

komunikasi) dan kemudian dapat merespon dalam tindakan (fungsi imperatif).

Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka beberapa adjektiva yang dipilih

sebagai kriteria untuk menentukan makna emotif produk terjemahan adalah: baik

– buruk, tepat – tidak tepat, masuk akal – tidak masuk akal, mudah dipahami –

sulit dipahami, jelas – tidak jelas, dan lazim – tidak lazim.

2.3.3 Klasifikasi Simbol dalam Alkitab

Conner (1992:8-11) menyatakan bahwa secara mendasar terdapat delapan

kategori simbol di dalam Alkitab, yaitu (1) benda, (2) makhluk, (3) tindakan, (4)

angka, (5) nama, (6) warna, (7) arah, dan (8) tempat. Berikut adalah penjelasan

masing-masing kategori disertai dengan contoh.

1) Simbol dalam wujud benda

Di dalam Alkitab, Allah menggunakan benda mati, baik buatan Tuhan

maupun manusia sebagai simbol:

Hosea 7:8 “ Efraim telah menjadi roti bundar yang tidak

dibalik.”

Mazmur 18:2 “TUHAN, Bukit Batuku…”

Amsal 18:2 “Nama TUHAN adalah menara yang kuat…”

Ulangan 32:2 “Mudah-mudahan pengajaranku menitik laksana

hujan…”

Mazmur 119:105 “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku…”

Wahyu 1:20 “Dan rahasia ketujuh bintang yang telah

kaulihat pada tangan kanan-Ku dan ketujuh kaki

dian emas itu: ketujuh bintang itu ialah malaikat

ketujuh jemaat dan ketujuh kaki dian itu ialah

ketujuh jemaat."

Page 62: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

75

2) Simbol dalam wujud makhluk

Di dalam Alkitab, Allah menggunakan makhluk hidup, baik tumbuhan

maupun hewan sebagai simbol:

Daniel 7:17 "Binatang-binatang besar .... ialah empat raja...”

Hosea 7:11 "Efraim telah menjadi merpati tolol... "

Lukas 13:31,32 "Herodes…. si serigala itu"

Yesaya 40:31 “Orang-orang yang menanti-nantikan

Tuhan…seumpama rajawali"

Lukas 8:11 "Benih itu ialah firman Allah…"

I Petrus 1:24 "Semua yang hidup adalah seperti rumput dan

segala kemuliaannya seperti bunga rumput…"

Yohanes 1:29,36 "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus

dosa dunia"

3) Simbol dalam wujud tindakan

Di dalam Kitab Suci, Allah menggunakan tindakan sebagai simbol:

Mazmur 141:1,2 "...tanganku yang terangkat seperti persembahan

korban pada waktu petang"

Kejadian 25:23-26 "Anak yang tua akan menjadi hamba kepada

anak yang muda…tangannya memegang tumit

Esau….”

Josua 1:3 "Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak

kakimu Kuberikan kepada kamu.... "

Yesaya 31:1 "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir

minta pertolongan… tetapi tidak memandang

kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak

mencari TUHAN"

4) Simbol dalam wujud angka

Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan angka:

2 Korintus 13:1 "ini adalah untuk ketiga kalinya aku datang

kepada kamu: Baru dengan keterangan dua atau

tiga orang saksi suatu perkara sah"

Wahyu 13:18 "...bilangan itu adalah bilangan seorang

manusia, dan bilangannya ialah enam ratus

enam puluh enam"

Matius 19:28 "...kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk

juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi

kedua belas suku Israel"

Page 63: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

76

Kejadian 14:4 "...tetapi dalam tahun yang ketiga belas mereka

memberontak... "

5) Nama simbolis

Di dalam Kitab Suci juga dipergunakan nama-nama yang berfungsi

simbolis, baik secara pribadi maupun nasional. Di dalam Alkitab nama

umumnya cukup signifikan untuk menunjukkan sifat, karakter,

pengalaman, atau fungsi orang, tempat atau bangsa.

I Samuel 25:25 "Janganlah kiranya tuanku mengindahkan

Nabal, orang yang dursila itu, sebab seperti

namanya demikianlah ia: Nabal namanya dan

bebal orangnya"

I Samuel 4:21 ".Ia menamai anak itu Ikabod, katanya: "Telah

lenyap kemuliaan dari Israel"

Hosea 1:9 Lalu berfirmanlah Ia: "Berilah nama Lo-Ami

kepada anak itu, sebab kamu ini bukanlah umat-

Ku dan Aku ini bukanlah Allahmu."

Matius 1:21 "Engkau akan menamakan Dia Yesus, karena

Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya

dari dosa mereka."

Yohanes 1:42 "Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan

dinamakan Kefas (artinya: Petrus)."

6) Simbol dalam wujud warna

Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan warna:

Yesaya 1:18 "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan

menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna

merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih

seperti bulu domba"

Markus 15:17,18 "Mereka mengenakan jubah ungu kepada-Nya...

"Salam, hai raja orang Yahudi!"

Wahyu 3:4,5 "Mereka akan berjalan dengan Aku dalam

pakaian putih, karena mereka adalah layak

untuk itu.

Wahyu 19:8 "kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan

yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah

perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-

orang kudus.)

7) Simbol dalam wujud arah

Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan arah:

Page 64: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

77

Yeremia 1:14 "Dari utara akan mengamuk malapetaka... "

Yehezkiel 43:1,2 "Sungguh, kemuliaan Allah Israel datang dari

sebelah timur…"

2 Tawarikh 4:4 "Laut" itu menumpang di atas dua belas lembu,

tiga menghadap ke utara dan tiga menghadap ke

barat, tiga menghadap ke selatan dan tiga

menghadap ke timur... "

Daniel 8:4 "Aku melihat domba jantan itu menanduk ke

barat, ke utara dan ke selatan... "

8) Simbol dalam wujud tempat

Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan

tempat, baik tersurat maupun tersirat:

Kejadian 11:9 Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu

disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan

TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah

mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.

Mazmur 48:2 Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang

permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi;

gunung Sion itu, jauh di sebelah utara, kota Raja

Besar.

2.3.4 Teori Semiotik

Saat ini studi terjemahan telah semakin mengadopsi pendekatan

interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan sebagai transposisi intertekstual

dan antarbudaya. Bassnett (1980/1991:34) menyebutkan bahwa langkah pertama

dalam penerjemahan yakni harus menerima bahwa meskipun proses ini berpusat

pada kegiatan linguistik, tetapi sangat tepat jika dikatakan bahwa studi ini juga

menjadi milik semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem atau struktur tanda,

proses tanda, dan fungsi tanda.

Lebih jauh dikatakan bahwa di luar gagasan yang ditekankan oleh

pendekatan linguistik yang sempit, terjemahan melibatkan transfer „makna‟ yang

terkandung dalam satu set tanda bahasa ke satu set tanda bahasa yang lain melalui

Page 65: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

78

penggunaan kompetensi kamus dan tata bahasa yang juga melibatkan seluruh

perangkat kriteria ekstralinguistik. Berangkat dari pernyataan tersebut, studi ini

memandang perlu untuk melibatkan analisis semiotik dalam mengungkap makna

di balik simbol-simbol verbal religi yang terdapat di dalam Kitab Wahyu guna

melihat dengan jelas tingkat kesepadanan masing-masing kubu terjemahan.

2.3.4.1 Perbedaan semiotik Saussurean dan Peircean

Teori semiotik adalah teori yang berkaitan dengan masalah ketandaan.

Dalam perkembangan teori ini timbul dua pendapat dalam hal pemaknaan unsur-

unsur bahasa yaitu antara Semiotik Saussurean dan Semiotik Pericean. Ratna

(2013:508) mengungkapkan perbedaan yang sangat jelas antara keduanya, yaitu

Saussure menemukan makna melalui hubungan antara dua unsur, sedangkan

Peirce melalui tiga unsur. Oleh karena itu teori semiotik Saussure disebut sebagai

diadik, sedangkan Peirce sebagai triadik. Menurut Saussure (1983:73-91), makna

diperoleh dengan cara menemukan hubungan antara penanda (signifier) dan

petanda (signified), bahasa individu (parole) yang bersifat aktif dan mengandung

banyak hal baru dan bahasa umum (langue) yang bersifat pasif dan siap pakai,

analisis sinkronis dan diakronis, hubungan sintagmatik dan paradigmatik.

Lebih jauh diungkapkan bahwa tanda pada prinsipnya saling merujuk satu

sama lain, yaitu bahwa dalam sistem bahasa semuanya bergantung pada relasi

(1983: 121). Tidak ada tanda yang bermakna hanya jika dalam keterkaitan dengan

tanda-tanda lainnya. Jadi, baik petanda maupun penanda adalah murni entitas

relasional (1983:118). Gagasan ini cukup sulit untuk dipahami sebab ada

kemungkinan bahwa sebuah kata yang berdiri sendiri seperti „pohon‟ sudah

Page 66: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

79

menyiratkan makna, tetapi Saussure menyatakan bahwa makna dari kata tersebut

bergantung pada relasinya dengan kata-kata lain dalam sebuah sistem seperti

misalnya „semak‟. Untuk menjelaskan hal ini Saussure menggunakan analogi

permainan catur yang nilai masing-masing bagiannya sangat tergantung dari

posisinya pada papan catur (1983:88). Suatu tanda melebihi jumlah bagian-

bagiannya. Sementara itu, signifikasi jelas tergantung pada hubungan antara dua

bagian dari tanda maka nilai tanda ditentukan oleh hubungan antara tanda dan

tanda-tanda lain dalam sistem secara keseluruhan (1983:112-13).

The notion of value.....shows us that it is a great mistake to consider a sign

as nothing more than the combination of a certain sound and a certain

concept. To think of a sign as nothing more would be to isolate it from the

system to which it belongs. It would be to suppose that a start could be

made with individual signs, and a system constructed by putting them

together. On the contrary, the system as a united whole is the starting

point, from which it becomes possible, by a process of analysis, to identify

its constituent elements (Saussure, 1983:112).

Berikut adalah model dari hubungan antar tanda yang menunjukkan bahwa „nilai‟

dari sebuah tanda sangat tergantung dari relasinya dengan tanda lain dalam sebuat

sistem. Dengan kata lain, sebuah tanda tidak memiliki nilai „mutlak‟ di luar

keterikatan dengan konteksnya (Saussure, 1983:80):

Gambar 2.4 Model Hubungan Antar Tanda Menurut Saussure

(Sumber Saussure, 1983)

Di lain sisi, Peirce (dalam Zoest, 1993:18-30) menyatakan bahwa makna

diperoleh dengan cara menemukan hubungan antara tanda yang sebenarnya, yaitu

Penanda

Petanda

Penanda Penanda

Petanda Petanda

Page 67: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

80

representamen (R), apa yang diacu yaitu objek (O), dan tanda-tanda baru yang

disebut interpretan (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik

atau mental yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O) dan I adalah

bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Berikut adalah

definisi tanda menurut Peirce (dalam bahasanya sendiri):

A sign…..[in the form of representamen] is something which stands to

somebody for something in some respect or capacity. It addresses

somebody, that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or

perhaps a more developed sign. That sign which it creates I call the

interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object. It

stands for that object, not in all respects, but in reference to a sort of idea,

which I have sometimes called the ground of the representamen. (Peirce,

1931-58:2.228).

Mengacu pada definisi yang diutarakannya, bagi Peirce, sebuah tanda

yang disebutnya sebagai representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang

mewakili sesuatu yang lain dalam kaitan atau kapasitas tertentu. Dalam hal ini,

tanda dapat menciptakan sesuatu yang lain dalam pikiran seseorang yang setara

atau bisa juga suatu tanda yang lebih maju. Peirce menyebut tanda yang tercipta

itu sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Lebih jauh dikatakannya pula

bahwa tanda yang pertama atau disebutnya sebagai interpretan mewakili sesuatu

yaitu objeknya tidak dalam sembarang kaitan, tetapi dalam suatu gagasan tertentu.

Berdasarkan pemahaman di atas, tanda tidak hanya bersifat representatif

tetapi juga interpretatif yang memperlihatkan bahwa pemaknaan tanda merupakan

suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Jadi, R adalah sesuatu yang

bersifat indrawi atau material yang berfungsi sebagai tanda. Kehadirannya

menimbulkan I, yakni tanda lain yang ekuivalen dengannya. Atau, dengan kata

lain, sekumpulan interpretasi personal yang dapat menjelama menjadi publik.

Pada hakikatnya, R dan I adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu

Page 68: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

81

yang lain. Hanya saja, R muncul mendahului I dan I ada karena dibangkitkan oleh

R. O yang diacu oleh tanda, atau sesuatu yang kehadirannya digantikan oleh tanda

adalah “realitas” atau apa saja yang dianggap ada. Artinya objek tersebut tidak

harus konkret atau sebuah realitas, bahkan yang abstrak, imajiner dan fiktif.

Berikut adalah model hubungan tiga elemen tanda menurut Peirce

seperti yang diilustrasikan oleh Eco (1976:59):

Gambar 2.5 Model Hubungan Tiga Elemen Tanda Menurut Peirce

(Sumber: Eco,1976)

Sesuai dengan model di atas, untuk memenuhi syarat sebagai tanda, ketiga elemen

memegang peranan penting. Tanda adalah kesatuan dari yang diwakili (objek),

bagaimana hal itu diwakili (representamen) dan bagaimana hal itu ditafsirkan

(interpretan). Interaksi ketiganya dikenal dengan „semeiosis‟ atau semiosis.

Ogden dan Richards dalam Riemer (2010:13) juga mengungkapkan hal

yang selaras dikenal dengan sebutan segitiga semiotik terdiri dari simbol, gagasan,

dan acuan seperti gambar berikut:

interpretan

representamen objek

Page 69: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

82

Gambar 2.6 Segitiga Semiotik Menurut Ogden dan Richards

(Sumber: Riemer, 2010)

Yang menarik untuk diperhatikan adalah penegasan mengenai adanya hubungan

kausal antara gagasan, yang oleh Riemer (2010:15) juga disebut psikologi, dengan

simbol dan dengan acuan. Hubungan inilah yang dapat berperan untuk

menafsirkan hubungan antara simbol dengan acuan yang tidak terhubung secara

kausal antara yang satu dan yang lain.

Menurut Chandler (2007:31), berdasarkan pada kutipan hasil

korespondensi pribadinya dengan Roderick Munday tentang bagaimana cara kerja

dari triadik versi Peirce, hal yang terpenting yang harus diperhatikan adalah objek

dari sebuah tanda selalu tersembunyi. Objek hanya dapat diungkapkan dengan

memperhatikan representamen dan membentuk sebuah gambaran mental tentang

objek tanda di dalam pikiran. Oleh karena itu, objek yang tersebunyi dari sebuah

tanda hanya akan dapat diungkap melalui interaksi ketiga elemen tanda.

Sebagai triadik, R terdiri atas qualisigns (representamen yang merupakan

tanda dari suatu sifat; misalnya, warna merah atau hawa panas). Kemudian,

sinsigns (representamen yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam

kenyataan atau tipe tanda yang memanfaatkan sebuah peristiwa atau objek sebagai

gagasan/psikologi

simbol/bahasa acuan

hubungan kausal hubungan kausal

hubungan kebenaran dan kesalahan

Page 70: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

83

wahana tanda (sign vehicle), misalnya, suatu jeritan dapat berarti kesakitan,

bahagia atau kaget). Selanjutnya, legisigns (representamen yang merupakan tanda

atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode,

misalnya seperti tanda-tanda lalu lintas, gerakan berjabat tangan, dan lain-lain.

Trikotomi yang kedua, yaitu O, terdiri atas ikon, indeks, dan simbol. Peirce

beranggapan bahwa trikotomi yang kedua ini adalah yang paling fundamental dan

karenanya dijelaskan secara detail pada sub-bab berikutnya. Trikotomi yang

ketiga, yaitu interpretan menghasilkan rheme, disisigns, dan argument. Menurut

Cobley dan Jansz (1999:34), rheme adalah tanda yang ditafsirkan sebagai sebuah

kemungkinan; misalnya, konsep. Di lain sisi, disisigns atau dicent merupakan

tanda yang ditafsirkan sebagai sebuah fakta; misalnya, argumentasi deskriptif,

sedangkan argument adalah tanda yanag ditafsirkan sebagai sebuah alasan;

misalnya, proposisi atau saran.

Sesuai dengan paparan tersebut di atas, representamen pada semiotik versi

Peirce memiliki kemiripan dengan “penanda” pada semiotik versi Saussure,

sedangkan interpretan pada semiotik versi Peirce dapat dianalogikan dengan

“petanda” pada semiotik versi Saussure. Hal yang membedakan adalah bahwa

interpretan memiliki kualitas yang berbeda dengan “petanda” karena pada

dasarnya interpretan juga adalah tanda dalam pikiran penafsir. Hal ini sesuai

dengan pendapat Peirce yang menyatakan,

„a sign…….addresses somebody, that is creates in the mind of that person

an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it

creates I call the interpretant of the first sign‟ (Peirce 193158:2.228).

Mengenai hal tersebut, Peirce lebih jauh mengungkapkan bahwa makna

dari sebuah representasi adalah representasi itu sendiri dalam arti bahwa

Page 71: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

84

interpretasi awal dapat diinterpretasikan kembali sehingga sebuah petanda dapat

juga mengambil peran sebagai penanda. Pemikiran ini diwujudkan dalam sebuah

figur yang dikenal dengan sebutan interpretasi yang berkesinambungan:

Gambar 2.7 Figur Interpretasi Berkesinambungan Menurut Peirce

(Sumber: Peirce, 1931)

Mengacu pada ulasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang

paling mendasar dari semiotik versi Saussure dan versi Peirce terletak pada

konsep pemaknaan tanda yang ditemukan berdasarkan hubungan antara satu tanda

dan tanda lainnya (struktur yang relatif statis pada sistem tanda) pada semiotik

versi Saussure dan proses interpretasi yang sangat dinamis pada semiotik versi

Peirce atau yang dikenal dengan gagasan pemikiran dialogis.

2.3.4.2 Ikon, indeks, dan simbol

Nöth (1990:44) menyatakan bahwa berdasarkan pada klasifikasi yang

dibuat oleh Peirce tanda dalam sistem tanda dapat ditafsirkan dalam tiga cara

berbeda, tergantung pada hubungannya dengan objek yang diwakili. Pertama,

penafsir dapat berasumsi bahwa tanda tidak memiliki hubungan fisik dengan

r

r

r

i

r

r

o

r

r

r

r

r

o

r

r

i

r

r

Page 72: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

85

objek yang diacu, seperti misalnya, bendera nasional melambangkan suatu negara.

Tanda seperti ini disebut simbol yang hanya dapat dipahami dengan mengaitkan

maknanya. Kedua, penafsir dapat menempatkan tanda sebagai indeks. Indeks

dalam beberapa hal secara fisik terhubung dengan objek yang diwakilinya.

Misalnya, asap menunjukkan keberadaan api. Ketiga, penafsir dapat percaya

bahwa tanda adalah ikon dari objek yang digambarkan. Ikon hampir sepenuhnya

mewakili sifat fisik dari objek yang diwakili.

Sejalan dengan Nöth, Chandler (2007:36) juga menegaskan bahwa

penanda yang tidak menyerupai petanda, tetapi yang secara fundamental bersifat

tidak tentu atau murni konvensional – sehingga hubungan ini harus dilandasi oleh

kesepakatan dan dipelajari, seperti kode morse, lampu lalu lintas, angka disebut

simbol/simbolik. Sementara itu, ikon/ikonik adalah sebuah mode yang

penandanya dianggap menyerupai petanda misalnya potret, kartun, metafora,

soundtract film, gerakan meniru, dan sebagainya. Jenis hubungan yang ketiga

dikenal dengan sebutan indeks yaitu sebuah mode yang penandanya secara

langsung terhubung dalam beberapa cara (secara fisik atau kausal) dengan

petanda, misalnya tanda-tanda alam (asap, petir, jejak kaki, gema, bau, rasa),

gejala medis (nyeri, ruam), alat ukur (termometer, jam), sinyal (ketukan di pintu,

dering telepon).

Sehubungan dengan penggolongan tanda dalam semiotik Peircean,

Chandler (2007:44) lebih jauh mengungkapkan bahwa ikon, indeks, dan simbol

tidak selalu ada dalam kedudukan eksklusif satu sama lain karena tanda bisa

menjadi ikon, indeks, atau simbol atau kombinasi dari ketiganya. Peirce

sepenuhnya menyadari hal ini, misalnya dengan menyatakan bahwa akan sangat

Page 73: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

86

sulit atau bahkan mustahil untuk mencari contoh indeks yang benar-benar murni

atau untuk menemukan tanda yang benar-benar murni tanpa unsur indeksikal.

Misalnya, sebuah peta adalah indeksikal dalam hal menunjukkan lokasi sesuatu,

ikonik dalam merepresentasikan hubungan arah dan jarak antarlandmark dan

simbolik dalam menggunakan simbol-simbol konvensional. Bahkan, film dan

televisi menggunakan ketiga bentuk tanda: ikon untuk suara dan gambar, simbol

untuk penyampaian lisan dan tulisan, dan indeks adalah akibat dari apa yang

difilmkan.

Sejalan dengan hal itu, Jakobson (dalam Chandler 2007:44) menyatakan

bahwa ketiga bentuk tanda hidup berdampingan dalam bentuk hierarki yang salah

satu dari mereka pasti akan memiliki dominasi atas dua yang lain yang mana

dominasi itu ditentukan oleh konteks. Apakah tanda merupakan simbol, ikon, atau

indeks tergantung pada bagaimana cara tanda tersebut dipergunakan. Penanda

yang sama dapat digunakan sebagai ikon dalam satu konteks dan simbol di tempat

lain. Tanda tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tiga model tanpa mengacu pada

tujuan pengguna ketiganya dalam konteks tertentu. Tanda mungkin diperlakukan

sebagai simbol oleh satu orang, namun sebagai ikon atau indeks oleh yang lain.

Mengenai hal ini dinyatakan pula bahwa, “Ketika kita berbicara tentang sebuah

ikon, sebuah indeks, atau simbol, kita tidak mengacu pada kualitas objektif dari

tanda itu sendiri, tetapi pengalaman pengamat tanda itu sendiri.”

2.3.4.3 Mode simbolis

Simbol dalam pemahaman umum tidak secara murni dikategorikan

sebagai yang “simbolis” dalam pengertian bahwa „tidak sepenuhnya arbitrer‟:

Page 74: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

87

simbol-simbol menunjukkan paling tidak terdapat hubungan alamiah antara

penanda dan petanda yang dikenal dengan sebutan „rasional‟. Meskipun tidak

menolak anggapan ini, Saussure memusatkan perhatiannya pada sifat arbitrer

hubungan antara penanda dan petanda. Hal ini juga sejalan dengan pandangan

Peirce (1931-58, 2.249) tentang simbol yang menyatakan bahwa simbol adalah

tanda yang mengacu pada objek yang ditandai berdasarkan pada hukum atau

pemahaman umum yang menyebabkan sebuah simbol ditafsirkan mengacu pada

objek tersebut.

Dalam hal ini, simbol diinterpretasikan berdasarkan pada “aturan” atau

“kebiasaan”. Simbol terhubung dengan objeknya berdasarkan ide yang timbul dari

pikiran si pengguna yang tanpanya tidak akan pernah muncul hubungan semacam

itu. Jadi, simbol adalah tanda konvensional atau sesuatu yang tergantung pada

kebiasaan, baik dipelajari maupun bawaan. Peirce (1931-58:4.447) menampilkan

contoh kata laki-laki. Keseluruhan huruf yang menyusun kata tersebut tidak

memiliki kemiripan dengan gambaran seorang laki-laki; tidak juga terdapat

hubungan antara bunyi dan objek yang diwakilinya. Sehubungan dengan itu,

Peirce (1931-58: 5.73) menegaskan bahwa sebuah simbol…..memenuhi fungsinya

terlepas dari kesamaan atau analogi ataupun hubungan faktual dengan objek yang

ditunjuk. Menurutnya, sebuah simbol yang murni adalah simbol yang memiliki

makna umum, yaitu menandakan sesuatu yang tidak bersifat spesifik.

2.3.4.4 Hubungan sintagmatik dan paradigmatik

Culler (1975:14) menyatakan bahwa semiotik dikenal sebagai pendekatan

untuk analisis tekstual yang berfokus pada analisis struktural. Analisis ini

Page 75: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

88

berfokus pada hubungan struktural yang fungsional dalam sistem penandaan yang

melibatkan proses identifikasi terhadap unit konstituen dalam sistem semiotik

(seperti teks atau praktik sosial budaya), hubungan struktural antar tanda (oposisi,

korelasi, dan hubungan logis) dan hubungan masing-masing bagian terhadap

keseluruhan teks.

Saussure dalam analisis semiotik secara khusus memusatkan perhatiannya

pada tiga macam hubungan sistemik, yaitu penanda dan petanda, tanda dengan

semua elemen lain dalam satu sistem/kode, serta hubungan tanda dengan unsur-

unsur yang mengelilinginya (Chandler 2007:84). Lebih jauh, Saussure

menekankan bahwa makna timbul dari perbedaan antara penanda, yang

perbedaannya itu terdiri atas dua macam, yaitu sintagmatik (yang menyangkut

posisi) dan paradigmatik (yang menyangkut substitusi/hubungan asosiatif). Jadi

perbedaan adalah salah satu kunci dalam analisis semiotik strukturalis. Kedua

dimensi ini, yaitu sintagmatik dan paradigmatik, sering disajikan sebagai

“Sumbu”: sumbu horizontal adalah sintagmatik dan sumbu vertikal adalah

paradigmatik. Piliang (dalam Christomy dan Yuwono, 2010) memakai istilah

“aksis tanda” yaitu aksis paradigmatik dan sintagmatik, merupakan cara pemilihan

dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu

sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Bidang sintagma terdiri atas kombinasi „ini-dan-ini-dan-ini‟ seperti dalam

kalimat, „laki-laki itu menangis. Sementara itu bidang paradigma merupakan

pilihan „ini-atau-ini-atau-ini, misalnya, penggantian kata „menangis‟ dalam

kalimat „laki-laki itu menangis‟ dengan kata „mati‟ atau „bernyanyi‟ sehingga

menjadi „laki-laki itu mati‟ atau „laki-laki itu bernyanyi‟. Jadi, jika hubungan

Page 76: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

89

sintagmatik merupakan kemungkinan kombinasi, hubungan paradigmatik adalah

kontras fungsional yang melibatkan diferensiasi. Berikut adalah model hubungan

kedua dimensi yang ditimbulkan oleh perbedaan antara penanda dan petanda.

Gambar 2.7. Model Hubungan Dimensi Sintagmatik dan Paradigmatik

Sebagai Akibat Perbedaan Antara Penanda dan Petanda

(Sumber: Chandler, 2007)

Secara temporal, hubungan sintagmatik merujuk pada hubungan

intertekstual terhadap penanda yang hadir dalam teks, sedangkan hubungan

paradigmatik merujuk pada hubungan intertekstual terhadap penanda yang absen

dari teks (Saussure, 1916/1983:122). Lebih jauh dikatakan bahwa “nilai” dari

tanda ditentukan oleh, baik hubungan sintagmatik maupun paradigmatik, dari

tanda tersebut. Sintagma dan paradigma menyajikan konteks struktural yang di

dalamnya tanda-tanda menjadi bermakna, atau dengan kata lain, kedua hubungan

itu adalah bentuk struktural yang melaluinya tanda-tanda disusun dalam kode.

Secara khusus, paradigma dapat didefinisikan sebagai satu set penanda

atau petanda yang saling terhubung yang merupakan anggota dari beberapa

the

man

cried

girl

died

sang

sumbu sintagmatik

sum

bu

pa

rad

igm

atik

Page 77: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

90

kategori definisi, tetapi masing-masing berbeda secara signifikan. Dalam bahasa

alamiah terdapat paradigma gramatikal; misalnya, verba ataupun nomina. Dalam

konteks tertentu, satu anggota dari sebuah set paradigma secara struktural dapat

digantikan dengan yang lain; pilihan terhadap satu anggota akan meniadakan yang

lain. Pemilihan sebuah penanda (misalnya, kata tertentu) dibandingkan yang lain

dari kumpulan paradigma yang sama (misalnya, adjektiva) dapat membentuk

makna dari sebuah teks sesuai dengan yang dikehendaki. Oleh karena itu, jenis

hubungan ini dapat pula dilihat sebagai hubungan yang memperlihatkan

perbedaan. Akan tetapi, pemahaman Sausssure terhadap hubungan “asosiatif”

adalah lebih luas dan tidak terlalu formal dibandingkan apa yang secara umum

dipahami sebagai hubungan “paradigmatik”. Dalam hal ini, Saussure lebih

menekankan pada “asosiasi mental” dan menyertakan kesamaan persepsi dalam

hal bentuk (misalnya, homofon) atau makna (misalnya, sinonim). Kesamaan yang

dimaksud adalah beragam dan berkisar dari kuat ke lemah dan kemungkinan

hanya mengacu pada sebagian kata seperti prefiks atau sufiks. Sehubungan

dengan itu, tidak ada aturan yang baku mengenai asosiasi semacam itu (Saussure,

1983:124).

Di lain sisi, sintagma adalah kombinasi terstruktur dari penanda yang

saling berinteraksi satu sama lain yang membentuk makna yang menyeluruh

dalam sebuah teks. Kombinasi seperti itu dibentuk dalam sebuah kerangka aturan

sintaktis dan kovensi (baik eksplisit maupun implisit). Dalam bahasa, misalnya

sebuah kalimat adalah sintagma dari kata-kata; demikian juga dengan paragraf

dan bab. Selalu ada unit yang lebih besar yang terdiri atas unit yang lebih kecil

dengan hubungan saling ketergantungan yang satu dengan yang lain. Misalnya,

Page 78: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

91

iklan cetak adalah sintagma dari beberapa penanda visual. Jadi, yang dimaksud

dengan hubungan sintagmatik adalah berbagai cara unsur-unsur dalam teks yang

sama dapat berhubungan satu sama lain. Sintagma diciptakan melalui hubungan

dari beberapa penanda dari satu set paradigma yang dipilih atas dasar apakah

tanda-tanda secara konvensional dianggap sesuai atau mungkin diperlukan oleh

beberapa sistem aturan (misalnya tata bahasa). Hubungan sintagmatik menyoroti

pentingnya hubungan bagian-keseluruhan. Keseluruhan tergantung pada bagian

dan masing-masing bagian tergantung pada keseluruhan.

Berdasarkan pemahaman di atas, baik analisis sintagmatik maupun

paradigmatik, memperlakukan tanda sebagai bagian dari sebuah sistem yang

mengeksplorasi fungsinya dalam kode dan subkode. Untuk itu analisis semiotik

pada teks ataupun korpus harus memanfaatkan kedua model analisis karena kedua

jenis hubungan itu tidak bisa dipisahkan.

2.3.4.5 Perangkat analisis semiotik

Kedua jenis hubungan, baik sintagmatik maupun paradigmatik, bekerja

berdasarkan perangkat analisis struktural sesuai dengan ciri yang mendasarinya

seperti yang telah terpapar di atas. Dimensi paradigmatik selalu berupaya untuk

mengidentifikasi berbagai paradigma (penanda yanag sudah hadir sebelumnya)

yang mendasari isi teks. Aspek analisis struktural ini melibatkan pertimbangan

konotasi positif atau negatif dari setiap penanda (yang terungkap melalui pilihan

penggunaan satu tanda dibandingkan yang lain) dan adanya paradigma tematik

yang mendasari (misalnya, oposisi biner seperti publik-swasta). Dalam hal ini,

Saussure (1983:122) menegaskan bahwa ciri dari hubungan paradigmatik atau apa

Page 79: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

92

yang dia sebut sebagai hubungan asosiatif adalah bahwa hubungan tersebut terjadi

secara “in absentia” – ketidakhadiran penanda alternatif dalam teks tertentu dari

paradigm yang sama. Jadi, analisis paradigmatik melibatkan perbandingan dan

pengkontrasan masing-masing penanda yang hadir dalam teks dengan penanda

yang tidak hadir yang dalam kondisi yang sama mungkin dipilih dan juga

mempertimbangkan pentingnya pilihan yang dibuat. Analisis ini dapat diterapkan

pada setiap tingkat semiotik baik pilihan kata, gambar, maupun suara, bahkan

sampai pada tingkat gaya, genre ataupun medium (Chandler, 2007:88). Pilihan

terhadap satu penanda dibandingkan dengan yang lain dapat dilandasi oleh

beberapa faktor; misalnya, kendala teknis, kode (misalnya, genre), konvensi,

konotasi, gaya, tujuan retoris, dan keterbatasan repertoar individu itu sendiri.

Beberapa perangkat analsisis dalam dimensi paradigmatik termasuk di

dalamnya adalah uji penggantian (the commutation test), oposisi (opposition),

kebermarkahan (markedness), dekonstruksi (deconstruction), dan penjajaran

(alignment). Uji penggantian berfungsi untuk mengidentifikasi penanda khas dan

untuk menentukan signifikansi tanda-tanda - menentukan apakah perubahan pada

tingkat penanda mengarah ke perubahan pada tingkat petanda. Untuk menerapkan

tes ini, penanda tertentu dalam teks dipilih dan kemudian disandingkan dengan

alternatif penanda yang diuji. Selanjutnya, dilakukan evaluasi terhadap efek dari

setiap substitusi untuk mengetahui bagaimana hal ini dapat memengaruhi rasa

yang ditimbulkan oleh tanda tersebut. Sehubungan dengan hal itu Barthes

(1967:19-20) menyatakan bahwa pengaruh substitusi makna dapat membantu

untuk mengetahui kontribusi dari penanda asli dan juga untuk mengidentifikasi

unit-unit sintagmatik.

Page 80: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

93

Perangkat analisis yang lain, yaitu oposisi atau pertentangan, dilandasi

oleh pemahaman bahwa binerisme atau kebineran adalah penting karena tanpanya

menurut Jakobson (1973:321) struktur bahasa akan hilang. Hal ini sejalan dengan

fokus pembahasan Saussure tentang perbedaan antartanda dibandingkan dengan

persamaannya. Mengenai hal ini, dijelaskan lebih lanjut dalam Jakobson (1976)

bahwa unit linguistik terikat bersama-sama dengan sistem oposisi biner. Oposisi

tersebut sangat penting untuk generasi makna: makna „gelap‟ relatif terhadap

makna „terang‟; „bentuk‟dapat dibayangkan kecuali dalam kaitannya dengan 'isi'.

Namun oposisi dalam hal ini akan lebih baik dipahami sebagai kontras karena

tidak selalu terjadi perlawanan langsung (meskipun penggunaannya sering

melibatkan polarisasi). Oleh karena itu, keperbedaan dapat terjadi di antara

beberapa tipe oposisi di antaranya adalah oposisi dan antonim. Perbedaan antara

oposisi dan antonim adalah perbedaan antara oposisi digital dan analog: oposisi

digital adalah „atau‟; sedangkan oposisi analog adalah „lebih-atau-kurang‟.

Selanjutnya, dikemukakan tipe analisis kebermarkahan yang meliputi

pemahaman bahwa setiap konstituen tunggal dari sistem linguistik dibangun pada

oposisi dari dua pertentangan logis: kehadiran atribut (bermarkah) dalam

kontraposisi terhadap ketiadaan (tidak bermarkah). Konsep kebermarkahan dapat

diterapkan pada kutub oposisi paradigmatik karena tanda yang berpasangan terdiri

atas bentuk „bermarkah‟ dan „tidak bermarkah‟. Penanda yang bermarkah

dicirikan oleh beberapa fitur semiotik khusus yang berhubungan dengan fitur

formal dan fungsi generik. Markah formal ditandai dengan oposisi secara

morfologis atau kehadiran ataupun ketidakhadiran dari fitur formal (misalnya,

bentuk bermarkah „unhappy‟ dibentuk dengan menambahkan prefiks un- terhadap

Page 81: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

94

penanda tak bermarkah „happy‟). Di lain sisi, markah distribusi ditandai oleh

kecenderungan bahwa bentuk yang bermarkah adalah lebih terbatas pada kisaran

konteks tempat tanda itu muncul.

Perangkat yang terakhir dari analisis paradigmatik adalah penjajaran

(alignment) yang turut dikemukakan oleh Roman Jakobson melalui formulasi

alternatif oksimorni di antaranya adalah sinkronis permanen dinamis (Jakobson,

1981:64). Gagasan ini berupaya melemahkan dikotomi tegas Saussure dengan

menyatakan bahwa oposisi atau pertentangan bersifat tidak tetap dan struktur

dapat berubah. Sejalan dengan hal ini, Levi-Strauss (1962/1974:161) menyatakan

bahwa oposisi biner adalah contoh yang paling sederhana dari sebuah sistem,

namun kemudian terjadi agregasi pada kedua kutub sehingga menghasilkan

hubungan oposisi, korelasi, dan analogi.

Berikut adalah formulasi perangkat analsis paradigmatik dalam bentuk

tabel sehingga lebih mudah untuk dipahami:

Tabel 2.6. Formulasi Perangkat Analisis Paradigmatik

Tipe Analisis Pemahaman/Definisi Ketentuan

Uji penggantian Menentukan signifikansi penanda Menyandingkan penanda

Mengevaluasi efek substitusi

guna mengetahui signifikansi

penanda

Oposisi biner Memanfaatkan binerisme untuk

mengungkap makna Menyandingkan penanda biner

Menentukan dan mengevaluasi

jenis oposisi yang terdiri atas

oposisi (digital: „atau‟) dan

antonim (analog: „lebih-atau-

kurang)

Kebermarkahan

Sistem linguistik dibangun pada

oposisi dari dua pertentangan logis:

kehadiran atribut (bermarkah)

dalam kontraposisi terhadap

ketiadaan (tidak bermarkah)

Menyandingkan penanda

bermarkah dan tak bermarkah

Markah terdiri atas markah

formal dan markah distributif

Penjajaran Oposisi bersifat tidak tetap

karenanya analisis paradigmatik

bisa dilakukan berdasarkan korelasi

dan analogi

Menyandingkan dan

menganalisis penanda tidak

hanya berdasarkan oposisi,

tetapi juga korelasi dan analogi

(Sumber: Chandler, 2007)

Page 82: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

95

Di lain sisi, analisis sintagmatis dari teks, baik verbal maupun nonverbal,

melibatkan analisis terhadap struktur dan relasi antara bagian-bagiannya. Ahli

semiotik strukturalis berupaya untuk mengidentifikasi segmen konstituen dasar

dalam teks, yaitu sintagma-nya. Studi tentang hubungan sintagmatik

mengungkapkan konvensi teks. Penggunaan struktur sintagmatik tertentu dalam

teks memberi pengaruh terhadap makna. Beberapa perangkat analisis sintagmatis

di antaranya adalah hubungan spasial (spatial relations), hubungan berurutan

(sequential relation) dan reduksi struktural (structural reduction).

Berdasarkan pandangan Chandler (2007:111), hubungan spasial mencakup

beberapa jenis relasi antar tanda termasuk di dalamnya adalah:

(i) atas/bawah;

(ii) depan/belakang;

(iii) dekat/jauh;

(iv) kiri/kanan;

(v) utara/selatan/timur/barat;

(vi) dalam/luar (pusat/pinggir)

Ditegaskan pula bahwa dimensi struktural semacam ini secara semantis tidak

bersifat netral karena masih sangat tergantung pada budaya setempat.

Sehubungan dengan hal ini George Lakoff dan Mark Johnson telah

memperlihatkan bagaimana metafora orientasional secara kontinyu terkait dengan

konsep-konsep kunci dalam budaya. Salah satu contoh adalah hubungan pusat

pinggir yang mengandung pemahaman bahwa sesuatu yang dinyatakan sebagai

pusat adalah berperan sebagai inti informasi yang mana seluruh elemen yang ada

di sekitarnya terikat padanya.

Page 83: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

96

Selanjutnya pada dimensi hubungan berurutan (sequential relations) yang

juga dikenal dengan hubungan naratif terdapat awal dan akhir atau „rantai‟

peristiwa yang mengarah pada awal, pertengahan, dan akhir sebuah kisah.

Rangkaian peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan plot, yaitu peristiwa yang

terjadi di awal menyebabkan kejadian di pertengahan, dan peristiwa yang terjadi

di pertengahan menimbulkan peristiwa di bagian akhir (Chandler, 2007:1114).

Sejalan dengan gagasan ini, Bruner (1990:45) menyatakan bahwa narasi

membantu untuk membuat sesuatu yang terkesan aneh menjadi sebuah kewajaran

dan juga menjadikannya terstruktur, dapat diprediksi dan juga menimbulkan

koherensi. Pada dasarnya, narasi merupakan fitur mendasar dari dorongan

manusia untuk membuat makna.

Perangkat yang terakhir adalah reduksi struktural (structural reduction)

yang merupakan tipe analisis yang berupaya untuk mencari pola struktural yang

mendasari kesamaan antarnarasi meskipun pada mulanya tampak sangat berbeda.

Penentuan pola struktural dilakukan berdasarkan pada “fungsi” yang dipahami

sebagai tindakan karakter yang didasarkan atas pertimbangan pentingnya hal itu

untuk jalannya aksi. Atau, dengan kata lain, fungsi adalah unit dasar dari

aksi/tindakan dalam sebuah narasi sehingga fokus analisis adalah tentang

bagaimana teks itu dan bukan apa teks itu. Barthes (1973:3) mengkritisi tipe

analisis ini dengan mengatakan bahwa penentuan pola stuktural mencoba untuk

melihat bahwa semua kisah yang ada di dunia ini memiliki struktur yang sama

sehingga teks kehilangan unsur keanekaragamannya. Sementara itu, di lain sisi,

perbedaan adalah apa yang mengidentifikasi, baik tanda maupun teks.

Page 84: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

97

Sehubungan dengan itu, perangkat reduksi struktural tidak akan diterapkan dalam

analisi penerjemahan simbol pada Kitab Wahyu.

Berikut adalah formulasi perangkat analisis sintagmatik dalam bentuk

tabel sehingga lebih mudah untuk dipahami:

Tabel 2.7. Formulasi Perangkat Analisis Sintagmatik

Tipe Analisis Pemahaman/Definisi Ketentuan

Hubungan

spasial

Tipe relasi hubungan spasial

terdiri atas:

atas/bawah;

depan/belakang;

dekat/jauh;

kiri/kanan;

utara/selatan/timur/barat;

dalam/luar

(pusat/pinggir)

Memformasikan/memetakan

penanda berdasarkan tipe

relasi spasial

Hubungan

berurutan

Jenis hubungan naratif yang

terdapat di awal dan akhir

atau „rantai‟ peristiwa yang

mengarah pada awal,

pertengahan, dan akhir

sebuah kisah

Memformasikan/memetakan

penanda berdasarkan tipe

relasi naratif

(Sumber: Chandler, 2007)

2.3.4.6 Kode

Seperti telah disinggung di atas, kode memegang peranan yang sangat

penting dalam analisis semiotik. Saussure (dalam Chandler, 2002) menegaskan

bahwa tanda-tanda hanya akan bermakna dan memiliki nilai ketika ditafsirkan

dalam hubungan satu sama lain. Ketidaktentuan relasi antara penanda dan petanda

menjadi dasar bagi pentingnya pemahaman terhadap konvensi atau kode yang

Page 85: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

98

digunakan untuk mengomunikasikan makna karena makna tanda tergantung pada

kode tempat tanda itu terletak. Lebih jauh, diungkapkan oleh Saussure (dalam

Chandler, 2002) bahwa kode tidak hanya merupakan “konvensi” komunikasi,

tetapi lebih merupakan sistem prosedural dari konvensi yang saling berkaitan

yang beroperasi pada domain tertentu dibedakan oleh koherensinya,

homogenitasnya dan kesistematisannya dalam keberagaman pesan dalam sebuah

teks. Jadi, kode adalah kerangka interpretatif yang digunakan oleh produsen dan

interpreter teks. Dalam kaitan dengan hal ini, penggolongan tanda dalam kode

yang sama ialah dalam rangka untuk membatasi berbagai kemungkinan makna

yang dalam hal ini kode berfungsi untuk membantu dalam menyederhanakan

fenomena sehingga lebih mudah untuk mengomunikasikan pengalaman (Turner,

1992:17).

Para ahli semiotik membagi kode ke dalam beberapa kelompok biasanya

berdasarkan pada prinsip parsimoni atau kesederhanaan dan tujuan. Namun, pada

kenyataannya berbagai macam kode itu tumpang tindih dan analisis semiotik teks

atau praktis dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kode dan hubungan

di antara kode yang satu dan kode lainnya. Ada tiga jenis taksonomi kode, seperti

yang diungkapkan oleh Chandler (2002:149), yaitu kode sosial, kode tekstual, dan

kode interpretatif. Ketiga jenis kode tersebut secara umum memiliki keterkaitan

dengan tiga jenis utama pengetahuan yang diperlukan oleh penafsir teks, yaitu

pengetahuan tentang dunia (kode sosial), pengetahuan tentang media dan genre

(kode tekstual), dan pengetahuan tentang hubungan keduanya (penghakiman

modalitas).

Page 86: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

99

Kode persepsi dilandasi oleh prinsip-prinsip universal (atau yang sering

disebut “hukum”) tentang organisasi persepsi yang dicetuskan oleh para psikolog

Gestalt yang menjelaskan bagaimana seseorang menata sensasi menjadi suatu

bentuk persepsi. Prinsp-prinsip itu di antaranya adalah:

(a) proximity: fitur yang saling berdekatan dianggap memiliki

keterkaitan satu sama lain;

(b) similarity: fitur yang memiliki kesamaan dianggap memiliki

keterkaitan satu sama lain;

(c) good continuity: kontur yang dilandasi oleh kesinambungan pola

menjadi landasan untuk perubahan arah;

(d) Closure atau good form: interpreatasi berdasarkan pada bentuk yang

sempurna;

(e) Smallness: area yang lebih kecil cenderung dilihat sebagai figur

dibandingkan dengan yang lebih luas;

(f) Symmetry: area yang simetris cenderung dilihat sebagai figur

dibandingkan dengan latar belakang yang asimetris.

Prinsip-prinsip tersebut di atas yang melandasi kode persepsi dapat

dijadikan sebagai tumpuan untuk menentukan kode yang mengatur

koherensi, homogenitas, dan kesistematisan tanda dalam sebuah teks.

Dasar pertimbangan pemanfaatan prinsip-prinsip yang dicetuskan oleh

psikolog Gestalt adalah universitalitasnya dan kesederhanaan serta

stabilitasnya, seperti yang diungkapkan oleh Chandler (2007:152):

“all of these principles of perceptual organization sereve the

overarching principle of prägnanz, which is that the simplest and

most stable interpretations are favoured”.

Page 87: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

100

2.3.4.7 Analisis semiotik dalam penerjemahan Alkitab

Cobley dan Jansz (1998:25) menegaskan bahwa jika konsep tanda dari

Saussure mementingkan penggabungan satu tanda dengan tanda lainnya untuk

mengambil bagian dalam aliran makna maka semiotik versi Peirce mempercayai

bahwa konsep penandaan memiliki dinamisme built-in. Yang dimaksud dengan

konsep dinamisme ini adalah bahwa interpretan dalam triadik tanda berfungsi

sebagai tanda lebih lanjut atau tanda dalam pikiran. Dalam hal ini, melalui

perannya sebagai penafsir, interpretan mampu membuat asumsi tentang tanda

baru atau representamen. Peristiwa ini menempatkan interpretan dalam sebuah

hubungan dengan objek selanjutnya yang kemudian mengharuskan interpretan

yang sudah ditransformasi menjadi tanda baru dan memiliki hubungan dengan

objek baru memunculkan interpretan baru dan demikian selanjutnya.

Mengacu pada hal tersebut di atas, dalam semiotik versi Peirce, interpretan

memiliki peran yang sangat penting dalam pemaknaan tanda. Gagasan ini berbeda

dengan konsep yang ditawarkan oleh Saussure yang justru mementingkan

penggabungan satu tanda dengan tanda lainnya untuk mengambil bagian dalam

aliran makna. Sehubungan dengan hal ini, Chandler (2007:4) juga

mengungkapkan fakta lain tentang penekanan semiotik versi Peirce dan versi

Saussure dengan menyatakan bahwa Peirce lebih memfokuskan pembahasannya

pada taksonomi logis tentang tipe tanda, dan di sisi lain, teori yang dikemukakan

oleh Saussure merupakan titik awal untuk pengembangan berbagai metodologi

strukturalis untuk menganalisis teks dan praktik sosial.

Di lain sisi, fakta yang terungkap tentang Alkitab adalah bahwa pedoman

kerohanian umat Kristiani ini merupakan kepustakaan yang terdiri atas 66 buku,

Page 88: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

101

yaitu 39 buku Perjanjian Lama dan 27 buku Perjanjian Baru, dan Kitab Wahyu

adalah kitab terakhir di dalam Perjanjian Baru. Akan tetapi, uniknya, keseluruhan

kitab merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain.

Demikian pula terkait dengan hal itu, Fruchtenbaum (2007:2) mengungkap bahwa

semua simbol yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dijelaskan di tempat lain, baik

di bagian yang berbeda dari Kitab Wahyu maupun di beberapa bagian lain dari

Alkitab. Jadi, Alkitab sendirilah yang akan menjelaskan makna simbol, baik

dengan pernyataan langsung maupun melalui perbandingan penggunaan simbol

lain, di dalam kitab suci. Mengenai hal ini ditegaskan bahwa makna simbol tidak

akan ditentukan berdasarkan pada spekulasi.

Mengacu pada perbandingan konsep tanda versi Saussure dan versi Peirce

dan juga kesatuan unit-unit yang terdapat dalam Alkitab maka penelitian ini

menerapkan kedua teori itu untuk mengungkap tipe dan makna simbol-simbol

yang terdapat pada salah satu bagian Alkitab, yaitu Kitab Wahyu. Setelah proses

penentuan dan pengelompokan maka simbol-simbol akan disusun berdasarkan

kode yang menggambarkan posisi dan seleksi terhadapnya dalam konteks tertentu.

Langkah pertama dari analisis ini ialah untuk menemukan dan

menggambarkan frekuensi penggunaan simbol yang sama dalam kode tertentu

dari kemunculannya. Langkah kedua adalah analisis sintagmatik, yang mencoba

untuk menggambarkan hubungan simbol dengan tanda-tanda penting lainnya

dalam kode yang sama. Hal ini menggambarkan dan menjelaskan bidang

semantik karena simbol yang digunakan mengungkapkan aturan dan konvensi

yang mendasari produksi dan interpretasi teks. Analisis sintagmatik mempelajari

struktur tata bahasa atau permukaan teks. Langkah ketiga adalah analisis

Page 89: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

102

paradigmatik yang mempelajari simbol berdasarkan pada arti dan referensinya

sebagai tanda, sudah dikenal dan digunakan dalam literatur sebelumnya serta

kontemporer untuk teks. Analisis paradigmatik memanfaatkan kamus,

ensiklopedia, komentar, dan upaya untuk menemukan makna secara umum.

Mengenai hal ini, Locker (2003) menekankan perlu mengingat gagasan Ludwig

Wittgenstein tentang language game bahwa bahasa dan tanda-tandanya memiliki

makna hanya karena terus digunakan secara kontekstual. Jadi, tanda-tanda yang

digunakan dalam konteks baru, sebagian memanfaatkan makna tanda-tanda itu

sebelumnya.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian menggabarkan kajian penerjemahan simbol-simbol

verbal religi dari bahasa Inggris (atau Yunani) ke bahasa Indonesia dilakukan

berdasarkan masalah penelitian yang diajukan meliputi tipe simbol, makna simbol

serta proses transfer dari TSu ke TSa yang mencakup ideologi, prosedur/teknk

penerjemahan serta kesepadanan.

Page 90: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

103

Gambar 2.8. Model Penelitian

Sebagai langkah awal, kategorisasi dilakukan teradap simbol-simbol

verbal religi yang terdapat pada subkorpus TSu didasarkan pada teori Peirce

mengenai hubungan tiga elemen tanda yang diformulasikan oleh Eco (1976)

untuk kemudian digolongkan sesuai dengan tipenya berdasarkan pada kategorisasi

simbol yang dikemukakan oleh Conner (1992). Langkah ini juga didukung oleh

teori mengenai kode sesuai dengan taksonomi yang dikemukakan oleh Chandler

Simbol-Simbol yang

Diterjemahkan Secara

Harfiah dalam

Kitab Wahyu

Simbol-Simbol yang

Diterjemahkan Secara

Bebas dalam

Kitab Wahyu

Data dari

Responden

Tipe-Tipe Simbol dalam

Kitab Wahyu

Proses Transfer TSu ke TSa

(Ideologi, teknik/prosedur, dan

kesepadanan)

Makna Simbol dalam

Kitab Wahyu

(Makna gramatikal,

referensial dan emotif)

Hubungn tiga elemen tanda Peirce sesuai

dengan ilustrasi Eco (1976:59).

Penggolongan tipe simbol menurut Conner

(1992:8)

Prinsip-prinsip kode menurut Chandler (2007)

Ilustrasi kernel, Nida dan Taber (1974:39).

Teori Semiotik (Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik)

Metode Mengukur Nilai Konotatif Menurut

Osgood, Suci dan Tennenbaum (Nida dan Taber,

1974:95)

Taksonomi prosedur/teknik penerjemahan

Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan

dinamis menurut Nida (1964:165)

TEMUAN EMPIRIS

TEMUAN METODOLOGIS

TEMUAN TEORETIS

Page 91: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

104

(2002) yang dalam hal ini adalah prinsip-prinsip yang melandasi kode persepsi

untuk mengatur koherensi, homogenitas dan kesistematisan tanda dalam sebuah

teks.

Selanjutnya adalah proses analisis terhadap makna simbol sesuai dengan

kategorinya masing-masing berdasarkan pada tiga dimensi makna yang

dikemukakan oleh Nida (1964:57) yaitu makna linguistik, makna referensial, dan

makna emotif. Pencarian makna linguistik atau gramatikal dilakukan berdasarkan

teori yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1974:39) mengenai ilustrasi kernel

terhadap satuan lingual simbol baik berupa kata, frasa, maupun klausa. Tahap

berikutnya adalah analisis terhadap makna referensial dengan memanfaatkan teori

semiotik yaitu dengan mengamati pola relasi antar tanda dengan menyusun

perangkat analisis sintagmatik dan paradigmatik sesuai dengan pemaparan teori

oleh Chandler (2007). Pencarian makna selanjutnya adalah pada dimensi emotif

melalui pemanfaatan matriks berskala satu sampai 10 seperti yang dicetuskan oleh

Osgood, Suci dan Tannenbaum dalam Nida dan Taber (1974). Sumber data untuk

makna linguistik dan referensial diambil dari data primer, sedangkan sumber data

untuk makna emotif diambil dari sumber data sekunder.

Mengacu pada hasil analisis makna, proses selanjutnya adalah analisis

yang menyangkut proses transfer dari TSu ke TSa yang meliputi ideologi, strategi

penerjemahan yang terdiri dari metode dan prosedur/teknik serta kesepadanan

baik formal untuk terjemahan harfiah dan dinamis untuk penerjemahan bebas.

Penjelasan mengenai ideologi dalam penerjemahan Alkitab khususnya simbol

yang terdapat pada kitab Wahyu dijelaskan berdasarkan beberapa pandangan

teoretis seperti yang dikemukakan oleh Bassnett dan Lefevere (1992), Nord dalam

Page 92: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam

105

Yan (2005) serta Venuti (1995). Sehubungan dengan strategi penerjemahan yang

meliputi metode dan prosedur/teknik penerjemahan dianalisis berdasarkan teori

yang dikemukakan oleh Newmark (1988) serta Molina dan Albir (2002). Khusus

mengenai prosedur/teknik penerjemahan, dianalisis berdasarkan pada taksonomi

yang khusus diformulasi dalam penelitian ini sesuai dengan klasifikasi yang

dikemukakan oleh Molina dan Albir (2005) dengan memanfaatkan alur pikiran

Vinay dan Dalbernet (1958).

Proses terakhir adalah analisis pada tataran kesepadanan antara TSu dan

TSa yang dilakukan dengan memanfaatkan hasil analisis yang dilakukan

sebelumnya baik secara makna dan proses transfer sesuai dengan teori

kesepadanan yang dikemukakan oleh Nida (1964) menyangkut prinsip-prinsip

kesepadanan formal dan dinamis. Kesepadanan yang pertama diterapkan pada

produk harfiah sedangkan yang berikutnya diterapkan pada produk terjemahan

bebas.

Penjabaran Model Penelitian:

= Hubungan simetris antara variabel-variabel dalam

kedudukan yang sejajar yang tidak saling

memengaruhi satu dengan yang lain.

= Hubungan kausal (saling memengaruhi) antara

fokus masalah penelitian dengan teori yang

digunakan untuk menganalisis masalah.

= Hubungan kausal (sebab akibat) antara fokus

permasalahan yang satu dengan yang lain dan antara

teori yang satu dengan yang lain.