bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori dan … ii.pdfkonsep dasar yang meliputi pengertian...
TRANSCRIPT
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
Secara umum, bagian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama
merupakan kajian pustaka, yang di dalamnya mengulas beberapa hasil pemikiran
ilmiah yang pernah ditulis dan penelitian yang sudah dilakukan mengenai
terjemahan dan penerjemahan khususnya yang berkaitan dengan bahasa simbol
dan fenomena terjemahan yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu
penerjemahan harfiah dan penerjemahan bebas. Bagian kedua menguraikan
konsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman
tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam hal perbandingan antara
terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, dan Kitab Wahyu sebagai kitab simbol.
Bagian ketiga memuat landasan teori yang digunakan sebagai pijakan dalam
menganalisis data penelitian. Bagian keempat memuat model penelitian yang
menjadi kerangka awal dalam mendisain penelitian ini.
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti penerjemahan simbol-simbol verbal
yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dari bahasa Inggris (Yunani) ke bahasa
Indonesia dalam dua versi terjemahan yang berbeda, yaitu terjemahan harfiah dan
terjemahan bebas. Oleh karena itu, dalam bagian ini dipandang perlu untuk
meninjau beberapa penelitian yang membahas penerjemahan simbol dan juga
penelitian yang mengarah pada studi perbandingan antara terjemahan harfiah dan
terjemahan bebas. Kajian pustaka yang diuraikan dalam bagian ini terdiri atas dua
bagian, yakni bagian pertama berkaitan dengan penelitian yang mengkaji
14
15
terjemahan, baik secara umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa
simbol, sedangkan bagian kedua berkaitan dengan hasil penelitian yang
mengetengahkan fenomena terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu yang
bertentangan yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.
Beberapa pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang memberi
sumbangan pemikiran berharga dalam pengkajian karya terjemahan, baik secara
umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa simbol, dapat diuraikan
seperti berikut.
Ordudari (2008) mengkaji penerjemahan simbol verbal dari bahasa Persia
ke bahasa Inggris. Penelitian yang dilakukannya bertujuan untuk menyoroti fakta
bahwa ada beberapa prosedur untuk menerjemahkan simbol secara efektif dari
bahasa Persia ke dalam bahasa Inggris. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
prosedur terjemahan forenisasi yang sering ditemukan dalam terjemahan harfiah
tidak terlalu fungsional dan berguna dalam mengungkapkan semua konsep yang
mendasari simbol yang diterjemahkan. Meskipun ada jalan keluar yang bisa
ditempuh untuk mengatasi hal ini, yaitu mengefektifkan penggunaan catatan kaki
untuk menjembatani sistem simbol BSu dan BSa yang berbeda bahkan
bertentangan, tetap saja prosedur ini dipandang tidak efektif karena cenderung
mengakibatkan translation loss.
Di samping itu, penggunaan catatan kaki yang terlalu berlebihan akan
membuat pembaca merasa kurang nyaman. Di sisi lain, prosedur yang dipandang
lebih tepat adalah domestikasi yang ditempuh melalui prosedur deskriptif, yaitu
dengan menambahkan pewatas (biasanya adjektiva) dan penggantian, yaitu entitas
BSu dengan entitas BSa yang memiliki gambaran sejenis. Anggapan ini
16
didasarkan pada pemikiran bahwa dengan menggunakan prosedur domestikasi
produk terjemahan tidak akan melanggar kesetiaan terhadap BSu dan pembaca
BSa dapat memahami simbol secepat pembaca BSu. Di samping itu, pembaca
BSa dapat memperluas pengetahuan budaya yang dimilikinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ordudari (2008) dapat dijadikan sebagai
pijakan penting dalam penelitian ini karena mengungkap tentang prosedur yang
tepat dalam menerjemahkan sistem simbol dalam dua bahasa. Kekurangan dari
penelitian tersebut terletak pada kesederhanaannya yang hanya menggunakan
pisau bedah berupa prosedur domestikasi dengan teknik deskriptif, replacement
dan changing the symbol to sense dan foreignisasi dengan teknik terjemahan
harfiah, catatan kaki dan penghilangan (omission).
Di sisi lain, penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan
hasil yang lebih akurat dan spesifik karena menerapkan studi perbandingan dua
versi produk terjemahan, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Dalam hal ini, tim
penerjemah dari masing-masing produk sudah menentukan metode penerjemahan
yang mereka pakai dari sejak awal apakah harfiah atau bebas sehingga di samping
dapat mengetengahkan hasil akhir berupa tingkat kesepadanan produk terjemahan
kedua versi untuk dapat diperbandingkan, juga dapat diketahui ketepatan
penggunaan prosedur dalam proses penerjemahan. Di samping itu, dalam
penelitian ini melibatkan responden dari kalangan pembaca Alkitab, dan selain
payung teori terjemahan, juga dimanfaatkan teori semiotik untuk membedah
makna di balik simbol-simbol verbal religi yang diteliti.
Dastjerdi dan Shoorche (2011) melakukan penelitian pada pilihan kata dan
bahasa simbolis dari dua karya terjemahan Persia, novel The Scarlet Letter.
17
Tujuan penelitian mereka adalah untuk meninjau bagaimana simbol-sombol
dibahas dalam dua bahasa yang berbeda, yaitu Inggris dan Persia, atau untuk
meneliti penerjemahan elemen-elemen stilistika dalam karya sastra. Oleh karena
itu, mereka memilih objek kajian sebuah karya sastra The Scarlet Letter dan dua
terjemahan bahasa Persia yang berbeda yang berfokus pada simbol dan pilihan
kata. Penelitian tersebut juga melibatkan 24 orang mahasiswa program master
studi terjemahan untuk menjawab pertanyaan yang disuguhkan oleh peneliti
melalui kuesioner. Latar belakang di balik pemilihan responden ialah karena
responden dianggap memiliki pengetahuan tentang teori-teori terjemahan serta
kemampuan untuk mengevaluasi terjemahan berdasarkan kriteria yang disajikan
kepada mereka sehingga bisa memberikan tinjauan kritis terhadap karya
terjemahan.
Temuan dari studi tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya simbol-
simbol universal yang dapat diterjemahkan, tetapi juga simbol yang sarat dengan
muatan budaya dapat diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain dengan
pergeseran makna yang tidak berarti. Hasil penelitian mereka juga menyarankan
bahwa guna memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pembaca bahasa BSa
diharapkan penerjemah mencantumkan catatan kaki khususnya bagi simbol-
simbol yang sarat dengan muatan budaya.
Menyimak gambaran penelitian yang dilakukan oleh Dastjerdi dan
Shoorche (2011), studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan hasil
yang lebih akurat dan spesifik karena di samping menerapkan studi perbandingan
dan melibatkan responden, juga mengetengahkan teori semiotik untuk melihat
secara mendalam makna yang ada di balik simbol-simbol verbal religi yang
18
diteliti. Di samping itu, penelitian ini tidak hanya sebatas menyelidiki strategi
yang dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan bahasa simbolis, tetapi jauh
lebih mendalam, yaitu mengamati ketepatan penerapan strategi penerjemahan
yang dipakai atau bahkan ditentukan sejak awal oleh penerjemah atau tim
penerjemah. Bahkan, lebih luas lagi, hasil penelitian ini dapat dipakai untuk
memberikan sumbangan pemikiran terhadap fenomena global terjemahan Alkitab
yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan
bebas dengan meneliti produk terjemahan yang diterjemahkan dengan
menggunakan metode yang berbeda serta dihasilkan tidak hanya oleh satu orang
penerjemah, tetapi oleh sebuah tim dari Lembaga Biblika yang dipercaya, yaitu
Lembaga Alkitab Indonesia.
Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi
(2009), yang secara diakronis menyoroti dikotomi strategi penerjemahan dalam
hal ini domestikasi dan forenisasi, menguraikan hasil temuannya yang
menyatakan bahwa meskipun kedua strategi sudah dipergunakan selama enam
dasawarsa terakhir, domestikasi telah menjadi strategi penerjemahan budaya yang
dipergunakan paling luas dari tahun 1950-an sampai dengan tahun 2000-an.
Penelitian mereka, yang berjudul A Diachronic Study of Domestication and
Foreignization Strategies of Culture-Specific Items: in English-Persian
Translations of Six of Hemingway‟s Works bertujuan untuk mengeksplorasi
strategi penerjemahan budaya yang dominan dipakai untuk menerjemahkan kata
bermakna budaya pada enam buah novel karya Ernest Hemingway dari bahasa
sumbernya yaitu bahasa Inggris ke dalam bahasa Persia selama enam dasawarsa
terakhir. Data dikumpulkan dengan memilih secara acak 10 halaman dari enam
19
karya Hemingway dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1978 untuk dibandingkan
dengan terjemahannya yang ditulis dari tahun 1952 sampai dengan tahun 2004.
Selanjutnya, korpus data disusun dengan menemukan istilah-istilah yang memiliki
makna budaya dan disusun berdasarkan taksonomi yang sudah dipersiapkan untuk
kemudian dikontraskan antara BSu dan BSa dalam hal prosedur penerjemahan
yang diterapkan oleh penerjemah untuk mengetahui strategi yang lebih dominan
dipakai dalam kurun waktu tersebut.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan
Firoozkoohi pada tahun 2009, Schmidt (2013) juga melakukan studi diakronik
terhadap penerapan dua kubu strategi penerjemahan, yaitu domestikasi dan
forenisasi, dari bahasa Inggris ke bahasa Kroasia terhadap tiga karya terjemahan
dari novel Oscar Wilde, yaitu The Picture of Dorian Gray yang diterjemahkan
pada tahun 1920, 1953, dan 1987. Berbeda dengan hasil yang diperoleh Zare-
Behtash dan Firoozkoohi, studi diakronik yang dilakukan oleh Schmidt justru
menemukan fakta yang berlawanan, yaitu strategi penerjemahan yang diterapkan
dalam kurun waktu termaksud justru didominasi oleh forenisasi dengan rasio
perbandingan 1:4 pada tahun 1920, 1:2 pada tahun 1953, dan 1:3,5 pada tahun
1987.
Meskipun rasio perbandingan menunjukkan kecenderungan peralihan dari
strategi forenisasi ke arah domestikasi, penerjemah masih secara dominan
memilih strategi forenisasi dibandingkan dengan domestikasi. Terkait dengan
fakta ini, Schmidt (2013) menyatakan bahwa strategi penerjemahan secara umum
mewakili kecenderungn sosial dan budaya dalam masyarakat kontemporer. Lebih
jauh dikatakan pula bahwa premis umum tersebut mengarah pada simpulan bahwa
20
masyarakat Kroasia cukup terbuka atau setidaknya toleran terhadap unsur-unsur
kebudayaan asing, dalam hal ini, Inggris. Jika hal ini dikaitkan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi (2009) dapat disimpulkan
pula bahwa masyarakat Persia bahkan lebih terbuka terhadap penerimaan unsur-
unsur budaya asing merujuk pada fakta penelitian yang menunjukkan sejak awal
kecenderungan strategi penerjemahan yang dipakai sudah mengarah pada
domestikasi.
Kedua penelitian yang didasarkan pada studi diakronik di atas dapat
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penelitian ini terutama
dalam hal menyusun taksonomi data ataupun taksonomi untuk alat menganalisis
prosedur ataupun strategi yang dipergunakan oleh penerjemah, hanya saja
memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal tujuan yang ingin dicapai.
Penelitian yang dilakukan, baik oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi maupun
Schmidt, bertujuan untuk mengetahui strategi yang dominan dipakai oleh
penerjemah dalam kurun waktu tertentu yang nantinya bermuara pada
kecenderungan tren sosial dan budaya masyarakat dari bahasa target dalam hal ini
Persia dan Kroasia. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk
mengetahui ketepatan strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah
mengingat dalam penerjemahan teks Alkitab ideologi penerjemahan sudah
ditetapkan dari sejak awal, apakah menerapkan ideologi domestikasi, ataukah
sebaliknya, secara utuh menerapkan ideologi forenisasi. Hal ini diharapkan akan
bermuara pada satu temuan untuk menjawab fenomena global penerjemahan
Alkitab yang mempertentangkan kubu terjemahan harfiah dan terjemaham bebas.
21
Brata (2010), dalam disertasinya tentang terjemahan sistem sapaan budaya
religi dalam Injil Lukas, menyelidiki bagaimana sistem sapaan budaya religi
dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam dua versi terjemahan bahasa Bali.
Dalam hal ini, kedua versi terjemahan diparalelkan untuk dapat melengkapi satu
sama lain dan tidak dipertentangkan. Teori yang dipergunakannya adalah teori
appraisal untuk menentukan distribusi golongan dan stratifikasi status sosial
pelibat untuk menentukan teknik penerjemahan. Selain itu, diterapkan pula teori
padanan formal dan dinamis yang dicetuskan oleh de Ward dan Nida (1986) serta
diagram V metode penerjemahan dari Newmark (1988) untuk menunjukkan
orientasi penerjemahan yang berkaitan erat dengan ideologi penerjemahan itu
sendiri.
Penelitian seperti tersebut di atas mengungkapkan bahwa terdapat 12
teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan sistem sapaan
bahasa Inggris ke dalam bahasa Bali dan 99,02% berorientasi pada bahasa target.
Hal ini berarti bahwa ideologi domestikasi yang dominan diterapkan oleh
penerjemah untuk menjadi lebih dekat pada pembaca bahasa target sehingga nilai
budaya bahasa target tercermin dalam terjemahan. Dominasi teknik penerjemahan
yang berorientasi pada bahasa target juga menunjukkan bahwa ada perbedaan
budaya yang besar antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran khususnya
dalam hal sistem sapaan.
Temuan lain yang erat kaitannya dengan studi ini menunjukkan bahwa
dampak dari pemanfaatan prosedur yang dipilih di antara 12 prosedur
penerjemahan dalam penerjemahan sistem sapaan budaya religi yang terdapat
pada Injil Lukas dapat dikatakan memberikan kontribusi yang sangat positif pada
22
kualitas terjemahan, sehingga produk terjemahan menjadi sangat akurat, budaya
dapat diterima, dan dimengerti oleh pembaca sasaran. Menurut Brata (2010), hal
ini terjadi karena teknik/prosedur terjemahan yang dipakai selalu sebanding
dengan metode yang diterapkan yang komunikatif dan ideologi penerjemahan
yang cenderung didomestikasi. Berbeda dengan penelitian Brata (2010) yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan strategi penerjemahan yang
digunakan untuk menerjemahkan sistem sapaan dalam Injil Lukas, penelitian yang
dilakukan ini memiliki tujuan yang lebih spesifik karena tidak sekedar untuk
mendeskripsikan jenis strategi yang dimanfaatkan oleh penerjemah tetapi lebih
dalam lagi, yaitu untuk meneliti ketepatan pemanfaatan strategi penerjemahan
yang secara umum telah ditentukan jenis strategi yang dipakai sebelum proses
penerjemahan dilakukan.
Berikut adalah pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang
memberi sumbangan pemikiran berharga terkait dengan fenomena terjemahan
Alkitab yang berada pada dua kubu yang bertentangan yaitu terjemahan harfiah
dan terjemahan bebas. Currie (2008) dalam artikelnya, "Membandingkan Versi
Terjemahan Alkitab", membandingkan beberapa versi terjemahan Alkitab yang
mencakup sebagian besar versi Alkitab utama yang digunakan saat ini dengan
menggunakan kriteria bahwa tidak ada perubahan telah dibuat, dalam arti bahwa
tidak ada yang ditambahkan, dan bahwa tidak ada doktrin disisipkan ke dalamnya.
Currie (2008) kemudian memberikan skor untuk masing-masing versi dan analisis
membawanya pada suatu simpulan bahwa versi terbaik yang menggunakan
prinsip kesetaraan dinamis minimal telah kehilangan 10% tingkat akurasi,
23
sedangkan versi rata-rata kesetaraan dinamis tampaknya kehilangan sekitar 70 -
80% tingkat akurasi.
Berdasarkan penelitian itu, Currie (2008) menyarankan para pembaca
Alkitab, jika mengalami kesulitan dalam memahami versi terjemahan Alkitab
yang menggunakan prinsip kesetaraan formal, supaya mencoba versi kesetaraan
formal yang lain sebelum beralih ke versi kesepadanan dinamis. Jika tidak dapat
menemukan terjemahan kesetaraan formal yang dimengerti, ia menyarankan
untuk membeli satu versi kesetaraan dinamis namun hanya sebagai bahan
perbandingan. Riset yang dilakukan oleh Currie (2008) relevan dengan penelitian
ini karena mengetengahkan fakta tentang ekstremitas dua kubu terjemahan dalam
dunia penerjemahan Injil sebagai akibat dari penerapan dua metode penerjemahan
yang bertentangan satu sama lain, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan
dinamis.
Hasil kajian yang dikemukakan oleh Currie (2008) memberikan kontribusi
yang cukup signifikan terhadap penelitian ini karena mengetengahkan fenomena
global terjemahan Injil yang berada pada dua kubu yang sering kali
dipertentangkan, yaitu antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Di
samping itu, hasil studi yang diungkap oleh Currie (2008) juga mewakili pendapat
sebagian besar kalangan bahwa terjemahan harfiah memiliki tingkat akurasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan terjemahan bebas. Hal ini dapat dijadikan
sebagai salah satu bahan pertimbangan ataupun masukan dalam studi yang
dilakukan ini.
Roach (2011), dalam sebuah artikel tentang versi terjemahan Alkitab,
memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research terhadap
24
sebanyak 2.000 orang pembaca Alkitab di Amerika yang berpartisipasi dalam
studi melalui panel secara online. Riset dilakukan pada bulan Agustus tahun 2011
sehingga data dipandang masih relevan. Untuk memenuhi syarat sebagai
informan, peserta harus membaca Alkitab dalam bulan tertentu, baik secara
pribadi maupun sebagai bagian dari kegiatan keluarga.
Hasil risetnya menunjukkan sebanyak 61% peserta survei menyatakan
bahwa mereka memilih terjemahan harfiah dibandingkan dengan terjemahan
bebas. Sebaliknya, hanya 20% dari total peserta memilih terjemahan bebas dan
sisanya sebanyak 14% menyatakan keduanya baik, dan 5% tidak yakin terhadap
pilihan mereka. Lebih jauh mengenai hasil riset tersebut, Roach (2011)
memaparkan bahwa dari keseluruhan peserta sebanyak 75% memilih versi
terjemahan yang mengedepankan totalitas dalam hal akurasi, dan sebaliknya,
hanya 35% yang memilih produk terjemahan yang menempatkan keterbacaan
sebagai prioritas utama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research
cukup relevan dengan studi yang dilakukan ini mengenai dikotomi antara dua
kubu ekstrem terjemahan Alkitab, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Data dari
LifeWay Research menyatakan bahwa secara lugas fenomena global
penerjemahan Alkitab khususnya di Amerika dapat dijadikan acuan untuk
penelitian lebih lanjut.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan penelitian ini yang perlu
diperjelas sebelum beralih ke penyelidikan lebih lanjut. Tujuannya selain untuk
menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan, juga dimaksudkan
25
untuk memperjelas variabel penelitian, teori, tahapan analisis, dan pendekatan
yang digunakan. Beberapa konsep yang dimaksud adalah: (a) terjemahan harfiah
dan terjemahan bebas, (b) simbol-simbol verbal religi, dan (c) kitab Wahyu.
Berikut adalah uraian singkat dari istilah-istilah yang dimaksud.
2.2.1 Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Bebas
Segregasi atau pemisahan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas
yang dikenal dengan istilah dikotomi di dalam dunia penerjemahan khususnya
penerjemahan Alkitab adalah divisi atau pemisahan strategi penerjemahan yang
dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda yang mencerminkan
pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda terhadap terjemahan (Kemppanen,
2011:147).
Kedua strategi yang menghasilkan kubu yang bertentangan di dalam
penerjemahan baik yang berorientasi pada produk maupun proses, diberi label
dalam beberapa istilah yang berbeda, yaitu kesepadanan formal dan dinamis
(Nida, 1964), terjemahan semantik versus komunikatif (Newmark, 1981),
terjemahan literal dan idiomatik (Beekman dan Callow, 1974), terjemahan teraga
(overt) dan tak teraga (covert) (House, 1977), terjemahan yang berasas pada
bentuk dan makna (Larson, 1984), domestikasi dan foreginisasi (Venuti, 1995,
1998), terjemahan langsung (direct) dan tak langsung (indirect) (Gutt, 1991), dan
terjemahan observasional dan partisipatif (Pym, 2010).
Namun, pemisahan berbagai strategi penerjemahan ke dalam dua
kelompok besar diperkenalkan oleh para ahli bahasa dengan berbagai istilah yang
26
berbeda Nida (1964) menegaskan bahwa secara tradisional kita cenderung untuk
berpikir dalam kerangka terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.
2.2.2 Simbol-Simbol Verbal Religi
Nöth (1990) menyebutkan bahwa dalam arti yang luas simbol adalah
sinonim dari tanda. Lebih jauh ditegaskan bahwa terlepas dari ketidakjelasan
terminologi, definisi yang lebih sempit yang mendefinisikan simbol sebagai kelas
tanda, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu simbol sebagai tanda
konvensional, simbol sebagai tanda ikonik, dan simbol sebagai tanda
konotasional. Subtipe dari simbol adalah simbol verbal, grafis dan simbol
bergambar lainnya (seperti logo atau merek dagang), bendera, dan lambang.
Merujuk pada pengertian bahwa definisi istilah verbal mengacu pada segala
sesuatu yang berbasis kata, baik yang berwujud ucapan maupun tulisan maka
yang dimaksud dengan simbol verbal dalam penelitian ini adalah simbol yang
berbasis pada kata yang dalam hal ini berwujud tulisan.
Secara umum, Peirce mendefinisikan simbol sebagai tanda yang memiliki
tiga elemen yaitu representamen, interpretan, dan objek, yang mana hubungan
antara dua elemennya yaitu representamen dan interpretan bersifat konvensional.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, yang dimaksud dengan simbol verbal
adalah eksistensi representamen pada teks yang berbentuk tulisan dan mengacu
pada sesuatu yang berbeda dari apa yang tertulis pada teks. Locker (2003)
menegaskan pula bahwa tipe dari tanda ini hanya dapat dipahami dengan
mengaitkan maknanya. Misalnya, simbol verbal perempuan berselubungkan
27
matahari dalam Kitab Wahyu merupakan simbol dari orang Israel, Gereja Kristen,
atau seluruh Umat Allah.
Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, Shaw (1881:367) menyajikan
definisi simbol sebagai sesuatu yang digunakan untuk, atau dianggap, mewakili
sesuatu yang lain. Lebih khusus, simbol adalah sebuah kata, frasa, atau ekspresi
lain yang memiliki makna kompleks, dalam hal ini, simbol dipandang memiliki
nilai yang berbeda dari apa pun yang disimbolkannya. Sebagai tanda yang arbitrer
(ditulis atau dicetak) yang telah memperoleh signifikasi konvensional, sebuah
simbol adalah "sesuatu yang terlihat yang melalui asosiasi atau konvensi
melambangkan sesuatu yang lain yang tak terlihat" (Word Reference). Michelson
(2005:176) melihatnya sebagai kata kiasan "suatu gambaran yang ditransfer oleh
sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, seperti bendera untuk negara, atau
musim gugur untuk kedewasaan.” Simbol dapat mewakili ide-ide yang
terkandung dalam gambar tanpa menyatakannya. Simbol dapat menjadi subjek
dari keragaman atau konotasi, karena itu, baik penyair maupun pembaca, harus
menerapkan kebijaksanaan yang masuk akal untuk menghindari salah tafsir.
Simbol didefinisikan dalam Encyclopedia Britannica (online) sebagai elemen
komunikasi yang dimaksudkan untuk hanya mewakili atau menggantikan orang,
objek, kelompok atau ide.
Lebih jauh, Harshananda (1988) menyebutkan bahwa simbol religi adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan simbol-simbol
(arkitipe, tindakan, karya seni, peristiwa atau fenomena alam) oleh agama tertentu
untuk berbagai keperluan. Dalam hal ini, agama melihat teks-teks agamawi, ritual,
dan karya seni sebagai simbol untuk meyakinkan seseorang tentang ide atau
28
pemahaman tertentu. Simbol membantu menciptakan mitos yang resonan untuk
mengekspresikan nilai-nilai moral masyarakat atau ajaran agama, menciptakan
solidaritas antarumat dan membawa pengikut lebih dekat ke objek ibadah mereka.
Studi mengenai simbol-simbol religi dapat dilakukan, baik secara universal yaitu
sebagai komponen perbandingan agama dan mitologi maupun dalam lingkup
lokal yaitu dalam batas-batas agama.
2.2.3 Kitab Wahyu
Kitab Wahyu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Alkitab yang
adalah kitab suci umat Kristiani. Alkitab memiliki 66 jilid buku yang terdiri atas
39 jilid Perjanjian Lama (PL) dan 27 Jilid Perjanjian Baru (PB). Semua jilid
tersebut sudah diakui secara universal oleh umat Kristen di dunia. Jilid pada
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut dibedakan lagi menjadi beberapa
kelompok.
Kelompok yang dimiliki oleh Perjanjian Lama terdiri atas lima kitab.
Terdiri atas Kitab Taurat yang memiliki lima kitab, Kitab Sejarah yang memiliki
12 kitab, Kitab Puisi memiliki lima kitab, Kitab Nabi-nabi Besar dalam lima
kitab, dan Kitab Nabi-nabi Kecil dalam 12 kitab. Sementara itu, pembagian dari
Perjanjian Baru memiliki jumlah yang lebih sedikit. Perjanjian Baru memiliki
empat kitab, yaitu Kitab Injil yang memiliki empat kitab, Kitab Sejarah hanya satu
kitab, Surat-surat Rasuli memiliki 21 kitab, dan Kitab Wahyu yang juga hanya
satu kitab.
Kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab tersebut dibedakan berdasarkan
apa yang disebut pasal. Pasal yang terdapat dalam Alkitab terdiri atas pasal
29
pendek, sedang, hingga pasal panjang, secara berurutan yaitu pasal Obaja,
Filemon, Yohanes, Yudas dan Mazmur. Ketika akan mencari pasal dalam Alkitab,
penyebutan nama kitab terlebih dahulu akan memudahkan dalam pencarian.
Penyususnan Alkitab dilakukan secara semi-kronologis. Penyusunan
seperti ini mutlak dilakukan ketika akan menyusun Kitab Sejarah agar kronologis
yang dibukukan tidak memusingkan para pembacanya. Pembagian kronologis,
buku, pasal, dan ayat yang terdapat dalam Alkitab adalah hasil dari perumusan
yang dilakukan oleh Kaum Gereja pada zaman dahulu.
Secara khusus, Kitab Wahyu merupakan kitab terakhir dari Perjanjian
Baru. Judul kitab diambil dari kata pertama dari buku tersebut dalam bahasa
Yunani Koine: apokalypsis, yang berarti "penyingkapan" atau "wahyu"
(penulisnya sendiri tidak memberikan judul pada tulisannya). Williams (2003)
menjelaskan bahwa kitab tersebut ditulis oleh seorang pria bernama Yohanes yang
mencatat visi yang diberikan kepadanya, mungkin saat bermimpi atau
bermeditasi. Visi ini mengandung sejumlah besar simbolisme. Beberapa dari
simbol yang terdapat dalam Kitab Wahyu seperti yang disebutkan oleh Wikipedia
adalah dua puluh empat tua-tua yang menggunakan mahkota, empat makhluk
hidup, Singa Yehuda yang adalah Anak Domba bertanduk tujuh dengan tujuh
mata, binatang laut yang memiliki tujuh kepala dan sepuluh tanduk, wanita dan
anaknya, naga yang merah menyala dengan tujuh kepala, dan lain-lain.
Kitab Wahyu adalah bagian dari Alkitab yang sebagian besar tidak dikenal
meskipun di kalangan umat Kristiani dan bahkan bagi beberapa orang merupakan
kitab yang harus dihindari. Banyak pembaca modern merasa sulit untuk
memahaminya karena penuh dengan jenis simbolisme yang asing bagi pembaca
30
masa kini dan memahami apa yang diwakili oleh simbol adalah hal yang tidak
mudah. Keseluruhan bagian Kitab Wahyu dapat dikategorikan sebagai sastra yang
disebut apokaliptik yang menunjukkan apa yang terjadi di bawah permukaan,
menjelaskan mengapa hal-hal terjadi dan akan terjadi, sering berkonsentrasi pada
hal-hal yang akan datang dan terutama akhir zaman (Chapman dan Emeritus,
2009).
2.3 Landasan Teori
Landasan teori yang menjadi pijakan utama dalam penelitian ini adalah
teori terjemahan mengingat studi ini adalah studi penerjemahan. Teori ini,
terutama dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis, membicarakan, dan
meneliti fenomena penerjemahan dalam hal ini Alkitab, yang berada pada dua
kubu ekstrem yang berbeda, atau yang sering dikenal dengan dikotomi antara
terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Sesuai dengan fungsi teori yang
diungkap oleh Hill (1990:28), landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini
juga berfungsi untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-
hukum tertentu ke dalam ruang yang cukup kecil sehingga dapat menjadi
pemandu terhadap fokus penelitian yang sedang dilakukan.
Namun, sesuai dengan pandangan ekletisme, diperlukan penggabungan
beberapa dasar teori untuk menjawab fenomena dalam dunia penerjemahan
Alkitab khususnya yang menyangkut pengalihan bahasa simbolis dari TSu ke
TSa. Untuk itu disamping teori terjemahan terdapat dua teori lain yang diterapkan
secara eklitik dalam penelitian ini yaitu teori semantik, dan teori semiotik.
Penerapan teori semiotik yang cukup dominan didukung oleh pernyataan yang
31
dikemukakan oleh Bassnett (1990/1991:34) bahwa saat ini studi terjemahan telah
semakin mengadopsi pendekatan interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan
sebagai transposisi intertekstual dan antarbudaya.
2.3.1 Teori Terjemahan
Meskipun bukanlah solusi untuk semua masalah yang muncul dalam
proses penerjemahan, teori terjemahan merupakan orientasi umum bagi
penerjemah dalam mengambil keputusan saat melakukan kegiatan penerjemahan.
Untuk itu, pemahaman tentang konsep umum teori penerjemahan sangat penting
dan berguna bagi para penerjemah karena mustahil bagi para penerjemah untuk
mendapatkan terjemahan yang baik tanpa memahami teori terjemahan.
Nababan (1999:13) menyatakan bahwa teori penerjemahan memusatkan
perhatiannya pada karakteristik dan masalah-masalah penerjemahan sebagai suatu
fenomena. Lebih jauh, Lauven-Swart, seperti yang dikutip oleh Nababan
(1999:15), menyatakan bahwa tujuan utama dari teori penerjemahan bukan untuk
menghasilkan penerjemah dan karya terjemahan yang lebih baik, tetapi mungkin
saja hal ini merupakan produk dari teori dan metode penerjemahan. Dalam arti
yang sempit, teori terjemahan menyangkut metode terjemahan yang tepat untuk
jenis teks tertentu. Namun, dalam arti yang lebih luas teori terjemahan dapat
dikatakan sebagai wujud dari pengetahuan yang dimiliki tentang menerjemahkan
yang terdiri atas prinsip-prinsip umum sampai pada panduan, saran, dan
pentunjuk. Sejalan dengan itu, Newmark (1988:9) mengatakan bahwa yang
dilakukan oleh teori terjemahan adalah: pertama, untuk mengidentifikasi masalah
terjemahan, karena menurutnya, tidak ada masalah maka tidak ada teori
32
terjemahan, kedua, untuk menunjukkan semua faktor yang harus diperhitungkan
dalam memecahkan masalah; dan ketiga, untuk mendaftar semua prosedur
penerjemahan yang memungkinkan dan pada akhirnya untuk merekomendasikan
prosedur penerjemahan yang paling cocok.
Berbicara mengenai teori terjemahan tidak bisa dipisahkan dari
perkembangannya yang menyangkut tanggal tertentu, angka-angka, serta orang-
orang yang menyumbangkan pemikiran berharga dan melegenda yang menandai
periode sejarah penerjemahan. Para peneliti menyebutkan bahwa tulisan-tulisan
tentang terjemahan kembali ke Roma. Jakobson (1958) mengklaim bahwa
menerjemahkan adalah penemuan Romawi (McGuire,1980). Pemikiran yang
disumbangkan oleh Cicero dan Horace (abad pertama SM) adalah teori pertama
yang membedakan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Komentar
mereka dalam praktik terjemahan memengaruhi generasi berikutnya dalam studi
penerjemahan hingga abad kedua puluh. Dikotomi antara terjemahan harfiah dan
terjemahan bebas bermula pada Kekaisaran Romawi dan sejak itu terus menjadi
titik perdebatan dalam berbagai hal sampai dengan saat ini, seperti Bassnett
(1991:47) yang mengungkapkan, “The distinction between word for word and
sense for sense translation, established within the Roman system, has continued to
be a point of debate in one way or another right up to the present.”
Lebih khusus lagi, Steiner (1975:346-40) dalam tulisannya After Babel,
terlepas dari struktur kronologisnya yang masih tumpang tindih, membagi literatur
tentang teori, praktik dan sejarah terjemahan ke dalam empat periode, dimulai dari
zaman Cicero sampai sekarang. Periode pertama mencakup rentang waktu yang
cukup lama, yaitu sekitar 1.700 tahun, yang berakhir hingga terbitnya esai dari
33
Tytler yang berjudul On the Principles of Translation pada tahun 1791. Ciri
utama dari periode ini adalah “fokus empiris langsung”, yaitu pernyataan-
pernyataan dan teori-teori yang timbul langsung dari praktik menerjemahkan.
Periode kedua Steiner berlangsung sampai dengan terbitnya karya Larbaud, Sous
I‟invocation de Saint Jérome, pada tahun 1946 yang ditandai sebagai periode teori
dan studi hermeneutik dengan perkembangan kosakata dan metodologi
penerjemahan. Periode ketiga ditandai oleh terbitan pertama yang merupakan
produk dari terjemahan mesin pada tahun 1940. Periode ketiga, ini juga menandai
sejarah penerjemahan dengan pengenalan linguistik struktural dan teori
komunikasi dalam penerjemahan. Periode keempat dimulai pada tahun 1960,
ditandai dengan era kembalinya terjemahan pada studi hermeneutik, yaitu
penerjemahan dan interpretasi atau penerjemahan yang mencakup sejumlah
disiplin lain, seperti filologi klasik, sastra komparatif, statistik leksikal dan
etnografi, sosiologi, retorika formal, puisi dan studi tata bahasa yang digabungkan
dalam upaya untuk memperjelas tindakan penerjemahan dan proses “hidup
antarbahasa”.
2.3.1.1 Kejelasan teoritis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas
Di dalam sebuah artikel berjudul “Dikotomi Terjemahan Bebas dan
Harfiah”, yang dimuat dalam sebuah jurnal terjemahan, Barbe (1996) menyatakan
bahwa salah satu dari dua pertanyaan dominan dalam dunia terjemahan selain
posisi disiplin ilmu tersebut sebagai bidang studi yang terlepas, baik dari sastra
komparatif maupun linguistik terapan, adalah kemana sebaiknya terjemahan
mengacu apakah pada bahasa sumber (harfiah) ataukah berorientasi pada bahasa
34
target (terjemahan bebas)? Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, para ahli
bahasa mungkin saja mempergunakan berbagai istilah yang berbeda untuk
mengacu pada pemisahan kedua strategi penerjemahan seperti, misalnya
kesepadanan formal dan dinamis, domestikasi versus foreignisasi, dan sebagainya,
tetapi konsep yang diacu sesungguhnya masih tetap sama, yaitu mengenai
orientasi strategi penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip
yang berbeda yang mencerminkan pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda
terhadap terjemahan.
Seperti yang sudah diungkapkan di atas, pemisahan orientasi strategi
penerjemahan, yakni yang harfiah dan yang bebas, bukan merupakan hal yang
baru tetapi sudah bermula dan dapat ditelusuri dari zaman Cicero pada abad
pertama sebelum masehi dan masa St. Jerome pada akhir abad keempat masehi.
Sejak zaman Romawi yang dimaksud dengan terjemahan harfiah atau yang juga
dikenal dengan terjemahan kata-demi-kata mengacu secara mutlak pada BSu
dalam pengertian bahwa penggantian setiap kata dari BSu dilakukan berdasarkan
kesetaraan gramatikal terdekat dengan BSa. Demikian pula terjemahan bebas
mengandung pengertian menciptakan teks sasaran yang natural yang mampu
menyatakan makna aslinya tanpa mendistorsi BSa (Baker, 1998).
Schmidt (2013:538) mengungkapkan bahwa dalam perjalanan selanjutnya,
pemahaman teoretis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas yang
sebelumnya hanya menekankan unsur linguistik semakin berkembang dengan
dipertimbangkannya unsur budaya yang dalam hal ini dimunculkan oleh Venuti
dengan konsepnya yang dikenal dengan domestikasi dan foreinisasi, yaitu apakah
BSu diadaptasi ke dalam budaya BSa, ataukah sebaliknya, unsur-unsur budaya
35
asing tetap dipertahankan. Sejalan dengan hal ini, Behtash dan Firoozkoohi
(2009:1576) menyatakan bahwa sejak era Venuti strategi penerjemahan telah
mengadopsi unsur budaya dan ideologi sebagai faktor yang diperhitungkan dalam
proses penerjemahan dan juga pengaruh terjemahan terhadap pembaca sasaran
serta budaya mereka. Jadi, pemisahan orientasi terjemahan harfiah dari
terjemahan bebas tidak hanya mempertimbangkan unsur linguistik tetapi juga
sudah berkembang ke arah pertimbangan budaya dan juga pembaca sasaran. Hal
ini juga sejalan dengan pendapat (Wang, 2002:24) bahwa konflik antara kedua
kubu terjemahan sudah ada dalam ranah kultural atau bahkan politik, dan bukan
hanya mencakup ranah linguistik. Pembaharuan ini diperkirakan dimulai pada
sekitar tahun 1970-an, yaitu sejak munculnya era budaya, maka pertentangan
antara kedua kubu terjemahan dilihat dari sudut pandang yang berbeda – sosial,
budaya dan historis:
The conflict between domestication and foreignization as opposite
translation strategies can be regarded as the cultural and political rather
than linguistic extension of the time-worn controversy over free
translation and literal translation (Wang Dongfeng 2002:24).
Terkait dengan pertimbangan budaya, Venuti (1998:240) mendefinisikan
domestikasi sebagai strategi penerjemahan yang mengadopsi gaya yang
disebutnya transparan dan fasih untuk meminimalkan keanehan teks asing bagi
pembaca bahasa target. Hal ini berarti penerjemahan menerapkan strategi yang
membuat teks dikenali dan familiar sehingga mampu membawa budaya asing
lebih dekat dengan pembacanya. Sebaliknya, foreinisasi mengacu pada strategi
penerjemahan yang mempertahankan keasingan BSu. Hal ini juga berarti
penerjemahan membawa pembaca untuk mengenal budaya asing dan membuat
mereka merasakan perbedaan khasanah bahasa dan budaya.
36
Selain Venuti, tokoh lain yang menyoroti pemisahan oritenasi
penerjemahan ke dalam kubu yang harfiah dan yang bebas adalah Nida yang
menyebut masing-masing strategi sebagai kesepadanan formal dan dinamis. Nida
(2001:118) menyatakan bahwa kesepadaan formal adalah strategi yang
memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam bentuk maupun isi. Ini
adalah cara untuk memberikan wawasan dalam bentuk leksikal, gramatikal atau
struktur teks BSu. Kesetaraan fungsional, di lain sisi, didasarkan pada prinsip efek
setara, yaitu hubungan antara penerima pesan dan pesan itu sendiri harus setara
dengan hubungan antara penerima asli dan BSu. Lebih jauh ditegaskan bahwa
dalam bahasa, budaya dan penerjemahan, secara minimal, yang dimaksud dengan
kesetaraan fungsional adalah bahwa “pembaca sasaran memahami hasil
terjemahan sampai pada satu titik pemahaman sebatas pengertian mereka
sebagaimana pembaca asli dari teks tersebut memahami dan menghargainya.
Selanjutnya, secara maksimal kesetaraan fungsional mengandung pemahaman
bahwa pembaca sasaran harus dapat memahami dan menghargai dengan cara yang
sama seperti pembaca sumber memahaminya.
Tidak seperti Venuti (2000) yang cenderung mengadopsi strategi literal
dibandingkan dengan bebas, Nida (1964) yang banyak bergelut dengan
terjemahan Alkitab lebih condong pada kesepadanan fungsional yang
menekankan pada keterbacaan meskipun tidak mengabaikan akurasi dan
kesetiaan. Terkait dengan kecenderungan strategi yang dipilih oleh Nida,
Newmark (2001:51) menyampaikan kritik yang cukup keras bahwa hal ini justru
mengakibatkan kehilangan besar makna utamanya dalam penerjemahan metafora
alkitabih yang menurut Nida sulit dimengerti oleh pembaca sasaran.
37
Sejalan dengan pemaparan di atas, Simms (1997:7) juga mengkontraskan
karakteristik terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, seperti yang tertera dalam
tabel berikut:
38
Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik Terjemahan Harfiah dan
Terjemahan Bebas
Terjemahan Harfiah Terjemahan Bebas
Menerjemahkan setiap kata BSu
sesuai dengan leksikon BSa yang
karena itu penerjemah cenderung
berada di pihak penulis dibandingkan
dengan pembaca.
Penerjemahan yang berfokus pada
pesan karena itu penerjemah cenderung
berada di pihak pembaca dibandingkan
dengan penulis sehingga dalam hal ini
hanya ada sedikit penghargaan terhadap
bentuk leksikon yang dipakai oleh
penulis sepanjang pesan yang
mendasarinya tetap utuh.
Korespondensi langsung antara
masing-masing item leksikal yang
terdapat pada BSu dan BSa terlihat
jelas.
Korespondensi antara item leksikal
yang terdapat pada BSu dan BSa dapat
menjadi benar-benar tidak terlihat
seperti ketika sebuah pasal yang
terdapat pada BSu yang tidak memiliki
padanan pada BSa dihilangkan begitu
saja.
Peran penerjemah tidak terlihat karena
BSu diterjemahkan secara utuh ke
dalam BSa yaitu hanya ada sedikit
intervensi dari pihak penerjemah
dalam bentuk parafrase.
Peran penerjemah terlihat jelas melalui
intervensi yang dilakukan dalam bentuk
parafrase. Hal ini dilakukan untuk
memenuhi misi penyesuaian budaya
antara BSu dan BSa.
Cenderung ditujukan bagi kalangan
akademik yang idealnya sudah
berkenalan dengan kedua bahasa, dan
karena itu sedikit membutuhkan
terjemahan.
Cenderung ditujukan untuk pembaca
yang awam; mereka tidak hanya tidak
mengenal BSu tetapi juga konteks
budaya BSu.
Terjemahan harfiah bersifat mendidik.
Meskipun struktur gramatikal
permukaan terkesan biasa, pikiran
yang mendasarinya (dalam hal ini
budaya BSu) dapat membantu untuk
memberikan pemahaman yang lebih
jelas. Jika dibutuhkan pemahaman
lebih lanjut mengenai konteks budaya
maka dapat dilakukan dengan tindakan
pro-aktif intertekstualisasi.
Terjemahan bebas sebenarnya tidak
mendidik: jenis terjemahan ini tidak
memberikan peluang bagi pembaca
hasil terjemahan untuk mengetahui
media yang sesungguhnya pada BSu
sehingga pembaca harus mempercayai
seutuhnya perkataan yang ditulis oleh
penerjemah.
(Sumber: Simms, 1997)
39
2.3.1.2 Kesepadanan dalam teori terjemahan
Pada tahun 1960 hingga 1970-an, konsep utama yang berlaku pada studi
terjemahan adalah “kesepadanan”. Ada beberapa linguis yang berteori tentang
konsep ini di antaranya adalah Koller dan Nida. Yinhua (2011) menyimpulkan
bahwa sebagai sebuah konsep sentral dalam teori penerjemahan, kesepadanan
tidak dapat ditafsirkan sebagai identitas dalam hal pengertian ilmiah tetapi hanya
dapat dipahami dalam pengertian umum sebagai kesamaan atau pendekatan.
Kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan mendasar dalam penerjemahan sebab
tidak ada kata-kata yang memiliki makna yang identik dalam satu bahasa dan pula
cukup alami jika tidak ada dua kata dalam dua bahasa mana pun yang memiliki
makna yang identik. Jadi, tidak mungkin untuk mentransfer keseluruhan pesan
yang terdapat dalam teks BSu ke BSa. Oleh karena itu, kesetaraan dalam
terjemahan hanya dapat dipahami sebagai semacam kesamaan atau pendekatan.
Hal ini juga berarti bahwa kesepadanan antara teks BSu dan teks BSa dapat
ditetapkan pada tingkat yang berbeda dan dalam berbagai aspek. Tanpa
kesepadanan pada derajat tertentu atau aspek tertentu, teks terjemahan tidak dapat
dianggap sebagai terjemahan sukses dari teks asli. Jadi, singkatnya, kesepadanan
adalah kebutuhan mutlak dan kebutuhan mendasar dalam penerjemahan.
Koller (dalam Pym, 2010) menjawab arti dari konsep tersebut dengan
menawarkan lima jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan denotatif atau
kesepadanan konten ekstralinguistik sebuah teks, yang disebut juga “konten
invarian”, (2) kesepadanan konotatif yang bergantung pada kesamaan register
dan gaya, yang juga disebutnya sebagai kesepadanan stilistika, (3) kesepadanan
teks normatif yang berkaitan dengan jenis teks, yaitu berbagai jenis teks yang
40
memiliki perilaku yang berbeda (4) kesepadanan pragmatis atau kesepadanan
komunikatif yang berorientasi pada penerima teks atau pesan, dan (5)
kesepadanan formal yang berkaitan dengan estetika dan bentuk teks.
Berbeda halnya dengan Koller, Nida (1964:159) berpendapat bahwa ada
dua jenis kesepadanan, yaitu yang formal dan yang dinamis. Korespondensi
formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk
maupun isi, tidak seperti kesepadanan dinamis yang didasarkan pada “prinsip efek
sepadan”. Kesepadanan dinamis didefinisikan sebagai prinsip penerjemahan yang
mengupayakan untuk menerjemahkan makna asli teks demikian rupa sehingga
makna kata pada BSa akan memicu dampak yang sama pada pembaca BSa,
seperti yang makna kata-kata asli lakukan pada pembaca BSu (Nida dan Taber,
1982:200).
Pada tahun 1997 oposisi serupa dalam hal kesepadanan diungkapkan oleh
Newmark yang mempertentangkan antara terjemahan semantik dan komunikatif,
yaitu terjemahan yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa
(Newmark, 1998a:47) dan House (1977) yang mempertentangkan antara
penerjemahan terbuka dan yang tertutup. Terjemahan terbuka adalah jenis
penerjemahan yang tidak menangani pembaca BSa secara langsung karena terikat
dengan BSu dan budayanya yang harus dijaga seutuh mungkin. Dengan
sendirinya jenis terjemahan ini tidak terlalu banyak mengalami kendala dalam
masalah budaya dibandingkan dengan terjemahan tertutup. Sebaliknya,
terjemahan tertutup didefinisikan sebagai terjemahan yang menikmati status BSu
dalam budaya BSa. Jenis terjemahan ini secara langsung ditujukan kepada
khalayak budaya BSu dan karenanya membutuhkan penyaring budaya.
41
Selain mereka yang telah disebutkan di atas, teoretisi terjemahan yang
mengategorikan jenis terjemahan berdasarkan dua gaya yang berlawanan, adalah
Beekman dan Callow dengan literal versus idiomatik, James Holmes dengan
domestikasi versus foreignisasi, Larson dengan penerjemahan yang berlandasakan
bentuk versus makna, Nord dengan dokumentasi versus instrumenal, Pym dengan
observasional versus partisipatif, dan Gut dengan langsung versus tidak langsung.
Terkait dengan penggolongan tipe/jenis terjemahan, Nida (1964:156)
menekankan bahwa secara tradisional, kita cenderung menggolongkan terjemahan
digolongkan menjadi dua kubu yang ekstrim, yaitu terjemahan bebas
(paraphrastic) dan terjemahan harfiah. Sejalan dengan Nida, Simms (1997:7) juga
menyatakan bahwa secara historis, dalam teori terjemahan pilihan penting telah
disajikan antara terjemahan "literal" dan terjemahan "bebas". Sejalan dengan
pemikiran tersebut, Newmark (1998:70) juga menyatakan bahwa terjemahan
harfiah adalah proses penerjemahan dasar, baik dalam terjemahan komunikatif
maupun terjemahan semantik, dan terjemahan dimulai dari sini. Akan tetapi, di
atas tingkat kata, terjemahan harfiah menjadi semakin sulit untuk dilakukan
karena ketika penerjemah menemukan masalah, terjemahan harfiah biasanya
(tidak selalu) bisa menyediakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Oleh
karena itu selama lima puluh tahun terakhir, bagaimanapun, telah terjadi
pergeseran ditandai penekanan dari normal menuju ke dimensi dinamis (Carry,
1959b).
Berbeda dengan Catford (1965:20) yang menggolongkan terjemahan
menjadi tiga kelompok, yaitu terjemahan bebas, literal, dan kata per kata, Zhao
42
dan Al Damman (2008) menyatakan bahwa terjemahan literal merupakan satu
kategori dengan terjemahan kata-per-kata:
A literal translation is a translation that follows closely not only the
content but also the form of the source language. It is also known as word-
for-word translation. Translators engaged in literalism have been willing
to sacrifice the formal elements of the target language and even the
intelligibility of the target language text for the sake of preserving what
they regard as the integrity of the source text. Conversely, those who favor
free translation have quite often chosen to sacrifice the form of the source
language for the sake of elegance and intelligibility in the target language.
(Zhao dan Al Damman, 2008).
Melihat fenomena yang terjadi di dalam penggolongan jenis/tipe
terjemahan, penelitian ini menempatkan produk terjemahan dalam dua kategori
umum yang sering disebut sebagai dua kubu yang saling bertentangan, yaitu
terjemahan harfiah (literal) dan terjemahan bebas (free). Hal ini disesuaikan
dengan prinsip dasar atau pendekatan yang dipakai dalam penerjemahan Alkitab,
yaitu pemadanan formal dan pemadanan dinamis.
2.3.1.3 Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis
Nida (1964:159) menegaskan bahwa pada dasarnya terdapat dua jenis
kesepadanan, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan
formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk
maupun isi. Pesan dalam BSa harus sedekat mungkin dengan unsur-unsur yang
berbeda dalam BSu. Sehubungan dengan budaya dari bahasa reseptor dan sumber,
pesan dalam budaya reseptor terus-menerus dibandingkan dengan pesan dalam
budaya sumber untuk menentukan standar akurasi dan ketepatan. Sementara itu,
kesepadanan dinamis bertujuan melengkapi kealamian ekspresi. Penerjemah tidak
43
begitu peduli dengan pencocokan pesan bahasa reseptor dengan pesan bahasa
sumber, tetapi lebih pada hubungan dinamis yang ada.
Selanjutnya, Nida (1964:165) menjelaskan bahwa terjemahan kesepdanan
formal mencoba untuk mereproduksi unsur-unsur formal, antara lain: (1) unit
gramatikal, (2) konsistensi dalam penggunaan kata, dan (3) makna dari segi
konteks sumber. Reproduksi unit gramatikal terdiri atas (a) nomina diterjemahkan
dengan nomina, verba dengan verba, dan lain-lain, (b) menjaga semua frasa dan
kalimat utuh (yaitu tidak berpisah dan tidak ada penyesuaian unit), dan (c)
mempertahankan semua indikator resmi, misalnya, tanda baca, paragraf dan
indentasi puitis. Dalam mencoba untuk mereproduksi konsistensi dalam
penggunaan kata, terjemahan kesepadanan formal biasanya bertujuan
mengupayakan terjadinya konkordansi terminologi, yaitu selalu mengaitkan
istilah tertentu dalam dokumen sumber dengan istilah yang sesuai dalam dokumen
reseptor. Sebagai konsekuensinya, terjemahan kesepadanan formal menggunakan
tanda kurung, atau bahkan huruf miring (seperti dalam King James Bible) untuk
kata-kata yang ditambahkan supaya masuk akal dalam terjemahan. Dalam rangka
untuk mereproduksi makna dari segi konteks sumber, terjemahan kesepadanan
formal biasanya mencoba untuk tidak melakukan penyesuaian dalam idiom,
melainkan untuk mereproduksi ekspresi tersebut secara harfiah, sehingga
pembaca mungkin dapat melihat sesuatu dari cara yang mana dokumen aslinya
menggunakan unsur-unsur budaya lokal untuk menyampaikan makna.
Sebaliknya, terjemahan kesepadanan dinamis memfokuskan perhatian
tidak begitu banyak pada sumber pesan, tetapi pada respon pembaca sasaran.
Salah satu cara untuk mendefinisikan sebuah terjemahan kesepadanan dimanis
44
adalah menggambarkannya sebagai "kesetaraan alami paling dekat dengan pesan
bahasa sumber”. Definisi ini mengandung tiga unsur penting: (1) setara, yang
menunjuk ke arah pesan bahasa sumber, (2) alami, yang menunjuk ke arah bahasa
reseptor, dan (3) terdekat, yang mengikat dua orientasi bersama-sama atas dasar
tingkat pendekatan tertinggi. Nida (1964:167) juga menjelaskan bahwa
penerjemahan alami harus sesuai dengan (1) bahasa reseptor dan budaya secara
keseluruhan, (2) konteks dari pesan tertentu, dan (3) pembaca bahasa reseptor.
Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis seperti yang diungkap
oleh Nida (1964:165) tersebut dapat diformulasikan pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Prinsip-prinsip Kesepadanan Formal dan Dinamis
Prinsip-Prinsip Kesepadanan Formal Prinsip-Prinsip Kesepadanan Dinamis
Berupaya untuk mereproduksi unsur-
unsur formal antara lain:
(1) Unit-unit gramatikal:
(a) menerjemahkan nomina
dengan nomina, verba dengan
verba dan sebagainya;
(b) menjaga semua frasa dan
kalimat utuh (yaitu tidak
mengadakan pemisahan dan
penyesuaian unit); dan
(c) mempertahankan semua
indikator resmi; misalnya,
tanda baca, paragraf dan
indentasi puitis.
(2) Konsistensi dalam penggunaan
kata
(3) Makna dari segi konteks BSu.
Kesepadanan alamiah terdekat dengan
pesan BS yang mengandung tiga unsur
penting:
(1) Sepadan, yang menunjuk ke arah
pesan BSu.
(2) Alami, yang menunjuk ke arah BSa
yang harus sesuai dengan:
(a) bahasa dan budaya reseptor;
(b) konteks pesan yang dimaksud
(c) pembaca BSa.
(3) Terdekat, yang mengikat kedua
orientasi secara bersama-sama atas
dasar tingkat pendekatan tertinggi.
(Sumber: Nida, 1974)
Nida (1964:167) mengemukakan bahwa terjemahan alami melibatkan dua
bidang adaptasi utama, yaitu tata bahasa, dan leksikon. Secara umum, modifikasi
45
tata bahasa dapat dibuat lebih mudah karena perubahan tata bahasa banyak
ditentukan oleh struktur wajib bahasa reseptor. Artinya, seseorang wajib
melakukan penyesuaian seperti pergeseran urutan kata, menggunakan verba di
tempat nomina, dan mengganti nomina dengan pronomina. Dalam hal ini, struktur
leksikal dari bahasa sumber disesuaikan dengan kebutuhan semantik bahasa
reseptor, bukan aturan yang harus diikuti, tetapi ada banyak kemungkinan
alternatif.
Lebih lanjut, Nida (1964) mengungkapkan bahwa secara umum terdapat
tiga tingkat leksikal untuk dipertimbangkan: (1) istilah yang padanan paralelnya
tersedia, misalnya, sungai, pohon, batu, pisau, dan lain-lain; (2) istilah yang
mengidentifikasi benda budaya yang berbeda, namun dengan fungsi yang agak
mirip, misalnya buku, yang dalam bahasa Inggris berarti objek dengan halaman
terikat bersama menjadi satu unit, tetapi, pada zaman Perjanjian Baru, berarti
perkamen panjang atau papirus digulung dalam bentuk sebuah gulungan; dan (3)
istilah yang mengidentifikasi budaya, misalnya, sinagog, homer, efa, kerub, yobel,
dan lain-lain yang dikutip dari Alkitab.
Biasanya pada tingkat leksikal yang pertama tidak terjadi masalah.
Namun, pada set kedua mulai menimbulkan kebingungan, sehingga pilihan yang
harus diambil ialah menggunakan istilah lain yang mencerminkan bentuk acuan
meskipun tidak memiliki fungsi yang setara, atau yang mengidentifikasi fungsi
setara dengan mengorbankan identitas formal. Dalam tingkat leksikal yang ketiga
"asosiasi asing" jarang dapat dihindari. Tidak ada penerjemahan yang berupaya
untuk menjembatani kesenjangan budaya yang luas dapat berharap untuk
menghilangkan semua jejak pengaturan asing. Sebagai contoh, dalam
46
penerjemahan Alkitab sangat mustahil untuk menghapus istilah asing, seperti
Pharisees, Sadducees, Salomon‟s temple, cities of refuge, atau tema Alkitab
seperti anointing, adulterous generation, living sacrifice, dan Lamb of God,
karena ekspresi tersebut tertanam sangat kuat dalam struktur pemikiran pesan.
Selain menjadi sesuai dengan bahasa dan budaya reseptor, Nida
(1964:168) lebih lanjut menjelaskan bahwa terjemahan natural harus sesuai
dengan konteks tertentu dari pesan. Masalah demikian tidak terbatas pada fitur
gramatikal dan leksikal, tetapi juga mungkin melibatkan hal-hal rinci seperti
intonasi dan irama kalimat. Sebuah contoh menarik yang diberikan oleh Nida
(1964:169) adalah kesalahan dalam anakronisme yang melibatkan (1) penggunaan
kata kontemporer untuk periode historis yang berbeda; misalnya, menerjemahkan
"kerasukan setan" sebagai "ketertekanan mental," dan penggunaan bahasa kuno
dalam BSa, dan karenanya, memberi kesan tidak nyata. Dengan demikian, unsur-
unsur seperti sarkasme dan ironi semua harus secara akurat tercermin dalam
terjemahan kesepadanan dinamis. Lebih lanjut, Nida (1964) juga menjelaskan
bahwa kesesuaian harus dinilai berdasarkan tingkat pengalaman dan kapasitas
untuk pengawasandian, jika seseorang memang menginginkan ekuivalensi
dinamis nyata. Dalam hal ini, penerjemah Alkitab, misalnya, harus mengetahui
fakta bahwa bahasa dari Perjanjian Baru adalah bahasa Yunani Koine, yaitu
bahasa "orang di jalan," dan karenanya terjemahan seharusnya dibaca oleh pria di
jalan. Akan tetapi, pada kenyataannya pesan Perjanjian Baru tidak diarahkan
terutama kepada orang di jalan, tetapi untuk orang di dalam jemaat. Untuk alasan
ini, ungkapan seperti " Abba Bapa," Maranatha, dan "dibaptis dalam Kristus"
47
dapat digunakan dengan harapan masuk akal dan dapat dimengerti oleh kalangan
termaksud.
2.3.1.4 Kriteria untuk menilai terjemahan
Nida (1964:182) menyebutkan bahwa ada tiga kriteria fundamental yang
merupakan dasar bagi evaluasi semua terjemahan, dan dengan cara yang berbeda
membantu untuk menentukan prestasi relatif terjemahan tertentu. Kriteria tersebut
adalah: (1) efisiensi total proses komunikasi, (2) pemahaman terhadap maksud,
dan (3) kesetaraan respons.
Kriteria pertama menyebutkan bahwa efisiensi terjemahan dapat dinilai
dari segi penerimaan maksimal bagi upaya minimum pengawasandian. Dalam
arti, efisiensi berhubungan erat dengan "hukum pertama semantik" Joo (Joos,
1953), yang dapat menyatakan: “Itu berarti bahwa makna dikatakan terbaik jika
menambahkan paling sedikit terhadap total makna dalam konteks." Dengan kata
lain, memaksimalkan redundansi dan mengurangi pekerjaan pengawasandian.
Kriteria kedua dalam menilai terjemahan adalah pemahaman maksud
awal yang dinyatakan dalam istilah-istilah lain, seperti akurasi terhadap makna
pesan bahasa sumber yang diwakili dalam terjemahan berorientasi baik terhadap
budaya bahasa sumber dalam terjemahan kesetaraan formal maupun terhadap
budaya reseptor dalam terjemahan kesetaraan dinamis. Dalam hal ini, dalam
terjemahan kesetaraan formal, pemahaman terhadap maksud terjemahan harus
dinilai pada dasarnya dari segi konteks tempat komunikasi pertama kali
diucapkan, sedangkan dalam terjemahan kesepadanan dinamis maksud ini harus
dipahami dari segi budaya reseptor. Sejauh mana maksud dapat ditafsirkan dalam
48
konteks budaya selain tempat pesan itu pertama kali diberikan adalah berbanding
lurus dengan universalitas pesan. Nida (1964:183) juga menjelaskan bahwa
kriteria "pemahaman maksud awal" dirancang untuk menutupi apa yang sering
diucapkan secara tradisional sebagai "akurasi (accraucy)," "kesetiaan (fidelity),"
dan "kebenaran (correctness)".
Kriteria ketiga dalam menilai terjemahan adalah kesetaraan respon, yang
berorientasi ke arah baik budaya sumber (dalam hal reseptor harus memahami
dasar dari respons awal) maupun budaya reseptor. Dalam hal ini, reseptor
membuat respons yang sesuai dalam konteks budaya yang berbeda.
2.3.1.5 Ideologi dan strategi penerjemahan
Newmark (1988:9) mengemukakan bahwa teori terjemahan memiliki
empat fungsi utama sebagai berikut:
(a) mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah-masalah penerjemahan,
tidak ada masalah berarti tidak ada teori penerjemahan;
(b) menunjukkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
memecahkan masalah penerjemahan;
(c) mendaftar prosedur-prosedur penerjemahan yang dapat digunakan;
(d) menyarankan pemakaian beberapa prosedur penerjemahan yang sesuai
untuk memecahkan masalah penerjemahan.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika teori terjemahan, dalam pengertian
sempit, berkenaan dengan pemilihan metode atau prosedur yang sesuai dengan
jenis teks yang akan diterjemahkan.
49
Pemilihan metode ataupun prosedur penerjemahan sangat bergantung pada
ideologi yang dianut oleh penerjemah yaitu pandangan “seperti apa terjemahan
yang baik tersebut” merupakan cerminan dari ideologinya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bassnett dan Lefevere (1992:xi) bahwa
“Translation is, of course, a rewriting of an original text. All rewritings,
whatever their intention, reflect a certain ideology and a poetics and as
such manipulate literature to function in a given society in a given way.”
Pandangan Bassnett dan Lefevere menegaskan bahwa dalam proses
penerjemahan, apa pun tujuannya, tidak luput dan merupakan cerminan dari
ideologi yang dimiliki dan berfungsi dalam masyarakat. Lebih lanjut, dari
pendapat Bassnett dan Lafevere di atas, tersirat bahwa ideologi tersebut tidak
hanya nilai atau keyakinan yang dimiliki penerjemah, tetapi bisa saja kebenaran
tersebut merupakan ideologi atau kebenaran kelompok atau ideologi masyarakat
yang tercermin dalam karya terjemahan tersebut sehingga dapat berterima dalam
masyarakat.
Paparan tersebut menyiratkan bahwa ideologi yang ada dalam suatu
masyarakat tentu sangat berpengaruh pada penerjemahan, mengingat penerjemah
itu adalah bagian dari anggota masyarakat dan terjemahan itu juga ditujukan pada
masyarakat. Selain itu, dalam penerjemahan tentu ideologi itu juga berperan
dalam proses penerjemahan karena terjemahan berasal dari bahasa berbeda
dengan latar budaya berbeda yang tentu memiliki banyak perbedaan terhadap
kelompok-kelompok lainnya. Sehubungan dengan itu, aturan Vermeer Skopos
menyatakan bahwa:
“translate/interpret/speak/write in a way that enables your text/translation
to function in the situation in which it is used and with the people who
want to use it and precisely in the way they want it to function” (Nord
dalam Yan, 2005:64).
50
Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa untuk menghasilkan produk
terjemahan yang dapat diterima dan berfungsi dalam masyarkat, kita harus
mengacu pada apa yang diinginkan oleh masyarakat dan ideologi dalam
masyarakat yang menggunakannya. Sehubungan dengan itu, wajar jika
disimpulkan bahwa ideologi tidak hanya berpengaruh besar dalam pemilihan
metode dan strategi penerjemahan, namun juga mengontrol penyebaran teks-teks
terjemahan tersebut (Yan, 2005:64). Hal ini relevan dengan pendapat Nida dan
Taber (1982:1) bahwa “Correctness must be determined by the extent to which the
average reader for which a translation is intended will be likely to understand it
correctly.” Jadi, terjemahan yang baik dan benar itu adalah terjemahan yang
mempertimbangkan pembaca sasarannya (target reader). Pembaca yang berbeda
akan memerlukan terjemahan yang berbeda sehingga penerjemah harus
menyesuaikan metode dan strategi penerjemahannya. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa benar-salah-nya sebuah terjemahan terkait dengan untuk siapa
terjemahan tersebut ditujukan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ideologi berada pada tataran
yang bersifat makro karena ideologi merupakan pandangan atau keyakinan
mengenai seperti apa terjemahan yang ingin dihasilkan terkait dengan keinginan
penerjemah, baik dalam tataran individu maupun kelompok. Venuti (1995:20-21)
menyimpulkan bahwa dalam konteks makro terdapat dua kecenderungan yang
muncul bagaimana bentuk dan cara penerjemahan yang diinginkan oleh
penerjemah. Namun, dua kecenderungan ini menunjukkan perbedaan yang kuat,
yaitu satu sisi meyakini bahwa terjemahan yang baik adalah dekat dengan budaya
dan bahasa sumber (forenisasi), sementara yang lain meyakini bahwa terjemahan
51
yang baik harus dekat dengan budaya dan bahasa sasaran (domestikasi).
Selanjutnya, berdasarkan pada ideologi atau pandangan tersebut lahir strategi
penerjemahan yaitu bagaimana penerjemah menyelesaikan masalah pada tataran
mikro atau unit terkecil penerjemahan.
Brata (2010:67) menegaskan bahwa pemilihan metode penerjemahan
sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh penerjemah. Penerjemah yang
manganut ideologi foreignisasi akan memilih metode penerjemahan kata demi
kata, harfiah, setia atau semantik. Sebaliknya, penerjemah yang menganut
ideologi domestikasi akan cenderung memilih metode penerjemahan adaptasi,
bebas, idiomatis, atau komunikatif. Lebih jauh, Brata (2010:67), sesuai dengan
pernyataan Molino dan Albir (2002:507-508), menyatakan bahwa metode
penerjemahan merupakan pilihan global yang memengaruhi keseluruhan teks.
Sejalan dengan pengertian dari metode penerjemahan yang telah
diungkapkan di atas, Newmark (1988:81) membedakan pengertian metode dan
prosedur penerjemahan dengan menegaskan bahwa:
“While translation methods relate to the whole texts, translation
procedures are used for sentences and the smaller units of language”
Jika metode penerjemahan berhubungan dengan keseluruhan teks maka prosedur
penerjemahan diterapkan pada kalimat dan unit-unit bahasa yang lebih kecil.
Jadi, istilah prosedur dibedakan dari metode atau yang sering dikenal
dengan perbedaan antara strategi penerjemahan lokal (local translation strategies)
dan strategi penerjemahan global (global translation strategies). Konsep yang
pertama merujuk pada proses penerjemahan kalimat dan unit-unit yang lebih
kecil, sedangkan konsep kedua, seperti telah dikemukakan di atas, mengacu pada
proses penerjemahan teks secara keseluruhan. Perbedaan antara metode dan
52
prosedur terletak pada objeknya. Objek metode adalah teks secara keseluruhan,
sedangkan objek prosedur berupa kalimat sebagai unit penerjemahan terkecil, dan
kalimat ini merupakan bagian dari teks. Persamaan antara metode dan prosedur
adalah bahwa keduanya merupakan cara yang digunakan oleh penerjemah dalam
memecahkan masalah penerjemahan. Selanjutnya, secara konseptual metode
digunakan sebagai prinsip umum atau pendekatan dalam menangani sebuah teks,
sedangkan prosedur memperlihatkan adanya tahapan penanganan masalah.
Strategi global atau metode yang dipilih oleh penerjemah secara
keseluruhan akan memberi pengaruh pada proses penerjemahan selanjutnya. Oleh
karena strategi lokal serta merta diikuti oleh teknik-teknik khusus yang
mempengaruhi hasil terjemahan dan unit-unit mikro teks maka strategi lokal atau
yang dikenal dengan istilah prosedur pada dasarnya adalah teknik penerjemahan
(Molina dan Albir, 2002:509). Dalam hal ini, seiring dengan semakin
meningkatnya kompetensi penerjemah, masalah-masalah yang dihadapi dalam
proses penerjemahan tidak akan menjadi kendala karena strategi lokal yang telah
dikuasai sepenuhnya akan dapat diterapkan secara otomatis.
Newmark (1998:45), terkait dengan metode penerjemahan,
memperkenalkan sebuah diagram yang disebutnya sebagai Diagram V untuk
menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan. Kutub yang
pertama sangat memperhatikan sistem dan budaya BSu, sedangkan kutub yang
kedua sangat menghargai sistem dan budaya BSa.
53
Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSu dipresentasikan oleh beberapa
hal berikut:
1) Metode penerjemahan kata demi kata (Word-for-word translation).
Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata.
Dalam menerapkan metode penerjemahan ini, penerjemah hanya mencari
padanan kata BSu dalam BSa, dan pencarian padanan itu tidak dikaitkan
dengn konteks. Metode tersebut tidak mengubah susunan kata BSu dalam
terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat BSu sama
persis dengan susunan kata dalam kalimat BSa. Metode penerjemahan kata
demi kata itu dapat diterapkan dengan baik hanya jika struktur BSu sama
dengan struktur BSa.
2) Metode penerjemahan harfiah mempunyai kesamaan dengan metode
penerjemahan kata-demi-kata bahwa pemadanan yang dilakukan selalu
lepas konteks. Perbedaannya adalah metode penerjemahan harfiah
berusaha mengubah konstruksi gramatikal BSu menjadi konstruksi
gramatikal BSa.
Orienetasi pada BS
Penerjemahan Kata Demi Kata
Penerjemahan Harfiah
Penerjemahan Setia
Penerjemahan Semantik
Penerjemahan Bebas
Penerjemahan Idiomatik
Penerjemahan Komunikatif
Gambar 2.1. Diagram V Metode Penerjemahan
(Sumber: Newmark, 1998)
A d a p t a s i
Orientasi pada BT
54
3) Metode penerjemahan setia berusaha sesetia mungkin menghasilkan
makna kontekstual teks BSu meskipun melanggar konstruksi gramatikal
BSa.
4) Metode penerjemahan semantik berfokus pada pencarian padanan pada
tataran kata dengan tetap terikat pada bahasa budaya BSu, dan berusaha
mengalihkan makna kontekstual BSu yang sedekat mungkin dengan
struktur sintaksis dan semantik BSa. Jika sebuah kalimat perintah bahasa
Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka terjemahannya
pun harus berbentuk kalimat perintah. Kata-kata yang membentuk kalimat
perintah bahasa Inggris itu harus mempunyai komponen makna yang sama
dengan komponen makna kata yang terdapat dalam terjemahan.
Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSa dipresentasikan oleh beberapa
hal berikut:
1) Metode penerjemahan adaptasi berusaha mengubah budaya BSu dalam
BSa. Hasilnya pada umumnya dipandang bukan sebagai suatu terjemahan
tetapi merupakan penulisan kembali pesan teks BSu dalam BSa. Teks
yang dihasilkan dengan menerapkan metode adaptasi merupakan bentuk
terjemahan, yang paling bebas dan metode adaptasi ini khususnya
digunakan dalam menerjemahkan teks drama dan puisi.
2) Metode penerjemahan bebas mengahasilkan teks sasaran yang tidak
mengandung gaya, bentuk atau isi teks sumber. Metode penerjemahan
bebas tidak terikat pada pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat.
Pencarian padanan itu cenderung berlangsung pada tataran teks. Metode
penerjemahan bebas tidak sama dengan metode adaptasi. Pesan dalam
55
terjemahan bebas harus tetap setia pada pesan teks BSu. Penerjemah hanya
mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan pesan itu
dalam BSa dia tidak memodifikasi karya asli. Sebaliknya, dengan metode
adaptasi, penerjemah dimungkinkan untuk melakukan beberapa
modifikasi, misalnya mengganti nama pelaku dan tempat kejadian.
3) .Metode penerjemahan idiomatik berusaha untuk menghasilkan kembali
“pesan” teks sumber, tetapi cenderung merusak nuansa makna dengan
jalan menggunakan bentuk kolokial dan idiom meskipun kedua hal ini
tidak ada dalam teks BSu.
4) Metode penerjemahan komunikatif bersaha mengalihkan makna
kontekstual teks BSu secara akurat ke dalam bahasa teks BSa agar
terjemahan dapat berterima dan mudah dipahami oleh pembaca sasaran.
Dengan kata lain, metode penerjemahan komunikatif sangat peduli pada
masalah efek yang ditimbulkan oleh suatu terjemahan pada pembaca, yang
tidak mengharapkan adanya kesulitan-kesulitan dan ketidakjelasan dalam
terjemahan. Metode penerjemahan komunikatif juga sangat
memperhatikan masalah keefektifan bahasa terjemahan. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa metode penerjemahan komunikatif
mempersyaratkan agar bahasa terjemahan mempunyai bentuk, makna dan
fungsi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena ada kemungkinan
suatu kalimat sudah benar secara sintaktis, tetapi maknanya tidak logis,
atau, bentuk dan maknanya sudah benar, namun penggunaannya tidak
tepat atau tidak alamiah.
56
Lebih jauh, Newmark (1988:81) menyebutkan terdapat sedikitnya 15
prosedur penerjemahan di antaranya adalah harfiah (literal), tranferensi
(transference), naturalisasi (naturalization), sepadan budaya (cultural equivalent),
sepadan fungsional (functional equivalent), sepadan deskriptif (descriptive
equivalent), analisis komponen (componential analysis), sinonim (synonymy),
terjemahan menyeluruh (through-translation), pergeseran atau transposisi (shift or
transposisi), modulasi (modulation), terjemahan yang sudah diakui (recognized-
translation), kompensasi (compensation), parafrase (paraphrase), untai
(couplets), catatan (notes).
Selain Newmark, Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa teknik
penerjemahan merupakan prosedur dalam menganalisis dan mengklasifikasikan
bagaimana kesepadanan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada
berbagai satuan lingual. Lebih komprehensif dari Newmark, mereka menyebutkan
terdapat 18 prosedur penerjemahan di antaranya adalah adaptasi (adaptation),
amplikasi (amplification), peminjaman (borrowing), kalke, kompensasi
(compensation), deskripsi (description), kreasi diskursif (discursive creation),
kesepadanan lazim (established equivalent), generalisasi (generalization),
amplikasi linguistik (linguistic amplification), kompresi linguistic (linguistic
compression), penerjemahan harfiah (literal translation), modulasi (modulation),
partikularisasi (particularization), reduksi (reduction), substitusi (substitution),
transposisi (transposition), dan variasi (variation).
Di lain sisi, variasi prosedur penerjemahan yang diperkenalkan oleh Vinay
dan Darbelnet (1958/2000) memiliki dampak yang sangat luas. Mereka
melakukan analisis stilistika komparatif bahasa Prancis dan Inggris dan
57
membedakan tujuh prosedur yang mereka kelompokkan menjadi dua strategi
global (metode), yaitu terjemahan harfiah atau langsung yang terdiri atas 3
prosedur, yaitu peminjaman (borrowing), calque, harfiah (literal) dan terjemahan
oblique yang terdiri dari 4 prosedur yaitu transposisi (transposition), modulasi
(modulation), kesepadanan (equivalence) dan adaptasi (adaptation). Untuk lebih
jelasnya, berikut adalah pemaparan ketujuh prosedur yang secara tegas dipisahkan
dalam dua kategori besar.
Tabel 2.3 Prosedur Penerjemahan Menurut Vinay dan Darbelnet
Prosedur Penerjemahan
Metode Penerjemahan Langsung
/Harfiah
Metode Penerjemahan Bebas/Oblik
Peminjaman
Kalke
Literal
Transposisi
Modulasi
Kesepadanan
Adaptasi
(Sumber: Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000)
Berikut adalah penjelasan detail mengenai ketujuh prosedur terjemahan
menurut Vinay dan Darbelnet tersebut:
1) Peminjaman (Borrowing)
Pinjaman dianggap sebagai yang paling sederhana dari semua metode
penerjemahan untuk mengatasi kesenjangan, biasanya sesuatu yang
metalinguistik (misalnya, sebuah proses teknis baru, konsep yang tidak
dikenal). Penerjemah mengadopsi prosedur ini dalam rangka untuk
memperkenalkan cita rasa budaya bahasa sumber (BSu) dalam
terjemahan. Dengan kata lain, dalam menerjemahkan istilah dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, istilah asing tertentu dapat
58
digunakan. Hal ini biasanya terjadi tanpa mengubah, baik bentuk
maupun makna. Misalnya, kata-kata Rusia seperti dollar dan party dari
bahasa Inggris Amerika.
2) Kalke
Teknik kalke adalah jenis khusus dari metode peminjaman
(borrowing), sebuah bahasa meminjam ungkapan dari bahasa yang lain
dan kemudian menerjemahkan masing-masing unsurnya secara
harfiah. Teknik kalke dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu teknik
kalke leksikal dan teknik kalke struktural. Sebuah teknik kalke leksikal
seperti pada contoh pertama di bawah, yaitu teknik kalke yang
menghargai struktur sintaksis dari bahasa target sementara
memperkenalkan sebuah modus ekspresi baru. Teknik kalke struktural,
seperti dalam contoh kedua di bawah memperkenalkan konstruksi baru
ke dalam bahasa.
English – French calque
Compliments of the season! Compliments de la saison!
Science-fiction science-fiction.
(Vinay dan Dalbernet dalam Venuti, 2000:85)
3) Harfiah (Literal)
Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata. Cara kerja
prosedur ini ialah menerjemahakan secara langsung teks bahasa
sumber (BSu), baik gramatikal maupun idiomatik, yang sesuai dengan
teks bahasa sasaran (BSa). Singkatnya, tugas penerjemah adalah untuk
tetap teguh pada perilaku linguistik dari BSa. Sebuah terjemahan
59
harfiah adalah solusi unik yang reversibel dan lengkap. Sebagai
contoh:
Sebuah rumah pantai di Venus Bay (SL) → a beach house at Venus
Bay (TL)
Engkau menunggu aku di Sanur (SL) → You waiting for me at Sanur
(TL)
(Aveling dalam Herliany, 2006)
4) Transposisi
Transposisi adalah proses penerjemahan yang menggantikan satu kelas
kata dengan yang lain tanpa mengubah pesan makna. Transposisi juga
dapat diterapkan dalam satu bahasa. Ada dua jenis transposisi:
transposisi wajib dan transposisi opsional. Transposisi Wajib terjadi
ketika bahasa target tidak memiliki pilihan lain karena sistem bahasa
yang berbeda; misalnya, consolidated financial statement (SL) →
laporan keuangan konsolidasian (TL) (Khaerun, 2003). Transposisi
opsional dipilih oleh penerjemah untuk kepentingan gaya bahasa.
Sebagai contoh, Wajahku akan menjadi sepotong mainan (SL) →
Dolls will face like mine (TL) (Aveling dalam Herliany, 2006).
5.) Modulasi
Modulasi adalah proses penerjemahan yang ditandai variasi bentuk
pesan. Variasi ini terjadi karena perubahan sudut pandang. Perubahan
ini dapat dibenarkan bila hasil terjemahan benar dalam hal tata bahasa,
tetapi dianggap tidak cocok, tidak idiomatik atau canggung. Seperti
transposisi, modulasi terbagi menjadi modulasi opsional dan wajib.
60
Yang pertama dapat terjadi karena alasan nonlinguistik. Hal ini
sebagian besar digunakan untuk menekankan makna, untuk membuat
koherensi atau untuk mengetahui bentuk alami dalam bahasa target,
sedangkan yang kedua diterapkan bila kata, frasa, atau struktur tidak
dapat ditemukan dalam bahasa target. Dapat dilihat dalam kalimat He
is unmarried (BSu) → Ia masih bujang (BSa) (Puspani, 2003). Contoh
modulasi wajib dapat dilihat dalam kalimat The problem is hard for us
to solve (BSu) → Masalah itu sukar (untuk) dipecahkan (BSa). Dalam
hal ini, konstruksi aktif pada BS dirubah menjadi konstruksi pasif
(Sudrama, 2003)
6) Kesepadanan (Equivalence)
Kesepadanan adalah proses penerjemahan yang diterapkan ketika ada
dua teks dengan konteks situasi yang sama. Akan tetapi, kedua teks
menggunakan metode, gaya, dan struktur yang sama sekali berbeda.
Jenis penerjemahan ini dapat diterapkan pada peribahasa dan idiom.
Misalnya, Seputih kapas (BSu) → As white as snow (BSa) (Puspani,
2003).
7) Adaptasi
Adaptasi adalah proses penerjemahan yang diadopsi jika ada pesan
dalam bahasa sumber (BSu) tidak diketahui dalam budaya bahasa
target (BSa). Dalam hal ini, penerjemah harus menciptakan situasi
baru yang dapat dianggap setara. Misalnya, Dear sir (BSu) → Dengan
hormat (BSa), Sincerely yours (BSu) → Hormat saya (BSa) (Sudrama,
2003).
61
Pemisahan yang tegas yang dibuat oleh Vinay dan Darbelnet terlepas dari
kesederhanaan jenis teknik atau prosedur yang mereka ungkapkan, dapat
dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk memilih teori yang mereka kemukakan
guna dijadikan sebagai landasan utama dalam menganalisis data. Hal ini terjadi
karena dalam penerjemahan Alkitab, seperti yang telah diungkap sebelumnya,
penerjemah atau kelompok penerjemah dari sejak awal telah menentukan atau
menetapkan, baik ideologi maupun metode, yang hendak mereka terapkan yang
tentu saja akan diikuti dengan penggunaan teknik atau prosedur yang sesuai, yaitu
penerjemahan langsung/harfiah untuk kubu terjemahan harfiah dan teknik atau
prosedur oblik untuk kubu terjemahan bebas.
Mengingat pula klasifikasi teknik penerjemahan yang ditawarkan oleh
Molina dan Albir (2005:498-512) yang merupakan rangkuman dari teknik
penerjemahan yang digagas oleh Vinay dan Darbelnet (1958) maka taksonomi
yang dapat disusun untuk diterapkan dalam penelitian ini adalah klasifikasi yang
dibuat oleh Molina dan Albir, namun dengan memanfaatkan alur pikiran dari
Vinay dan Dalbernet, yaitu memisahkan kedelapan belas prosedur yang
ditawarkan ke dalam dua kelompok, yaitu prosedur terjemahan harfiah dan
prosedur terjemahan bebas seperti tertera pada tabel di bawah ini:
62
Tabel 2.4 Klasifikasi Prosedur Penerjemahan Menurut
Molina dan Albir
Teknik Penerjemahan
Penjelasan Contoh
adaptasi (adaptation) Menggantikan unsur budaya sumber dengan unsur budaya sasaran.
BSu: as white as snow BSa: seputih kapas
penambahan (amplification) Memberikan informasi lebih detail yang
tidak tercantum dalam BSa
BSu: “…and it was put into the
Thames.” BSa: “…dan dibenamkan di sungai
Thames.”
peminjaman: murni & natural (borrowing: pure borrowing &
naturalized borrowing)
Menyerap kata atau ungkapan langsung dari BSu yang meliputi peminjaman murni
dan peminjaman alamiah.
Peminjaman murni: BSu: hard disk, mixer
BSa: hard disk, mixer
Peminjaman naturalisasi: BSu: Computer
BSa: Komputer
kalke (calque ) Menerjemahkan frasa atau kata BSu secara literal. Teknik ini serupa dengan teknik
penerimaan (acception).
BSu: Directorate General BSa: Direktorat Jenderal
Kompensasi (compensation) Memperkenalkan informasi dalam BSu pada bagian lain dalam BSa atau untuk
menciptakan dampak stilistika.
BSu: You can let your imagination go wild.
BSa: Anda dapat membiarkan
khayalan mengembara sejauh mungkin.
deskripsi (description) Menggantikan sebuah istilah atau
ungkapan dengan deskripsi bentuk dan
fungsinya.
BSu: Green room
BSa: Ruang tunggu para artis sebelum
mereka tampil
kreasi diskursif (discursive
creation)
Memberikan padanan sementara namun
terlepas dari konteks
BSu: Husband for a year
BSa: Suami sementara
Padanan lazim/baku/resmi
(established equivalence)
Menggunakan istilah atau ungkapan yang
sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Teknik ini mirip
dengan penerjemahan harfiah.
BSu: efficient and effective
BSa: efisien dan efektif
generalisasi (generalization) Menggunakan istilah yang lebih umum atau netral. Teknik ini serupa dengan
penerimaan (acception).
BSu: Penthouse, mansion BSa: Tempat tinggal
amplifikasi linguistik (linguistic
amplification)
Menambahkan unsur-unsur linguistik
dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan pada pengalihbahasaan konsekutif atau
sulih suara.
BSu: The David you are sculpting is
you. BSa: Patung David yang Anda ukir
adalah diri Anda sendiri.
kompresi linguistik (linguistic compression)
Menggabungkan unsur-unsur bahasa dalam BSa. Teknik ini merupakan
kebalikan dari teknik amplifikasi
linguistik.
BSu: The mind is shaping the very thing that is being perceived.
BSa: Akal membentuk segala sesuatu
yang ada
harfiah (literal) Menerjemahkan kata demi kata dan
penerjemah tidak mengaitkan dengan
konteks.
BSu: Killing two birds with one stone
BSa: Membunuh dua burung dengan
satu batu.
modulasi (modulation) Mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan
BSu. Perubahan sudut pandang dapat
bersifat leksikal atau struktural.
BSu: Nobody doesn‟t like it BSa: Semua orang menyukainya
partikularisasi
(particularization)
Menggunakan istilah yang lebih konkrit,
presisi atau spesifik dari superordinat ke
subordinat. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi.
BSu: air transportation
BSa: pesawat
Reduksi (Reduction) Mengungkapkan sebuah informasi dalam
BSu secara sangat singkat dalam BSa.
Tenik ini kebalikan dari teknik aplifikasi.
BSu: The Muslim month of fasting
BSa: Ramadan
substitusi (substitution) Mengubah unsur-unsur linguistik dan
paralinguistik (intonasi atau isyarat).
Gesture such as nodding is translated
into „setuju‟, shrugging shoulders is
translated into „saya tidak tahu‟.
transposisi (transposition) Mengubah kategori gramatikal/pergeseran bentuk
BSu: consolidated financial statement BSa: laporan keuangan konsolidasi
variasi (variation) Mengubah nada teks, gaya bahasa, dan
dialek
Perubahan dialek dalam dialog pada
teater dan nada pada novel anak-anak
(Sumber: Molina dan Albir, 2005, dan contoh diambil dari berbagai sumber)
63
Berdasarkan beberapa fakta tersebut di atas, berikut adalah taksonomi strategi
penerjemahan yang ditetapkan sebagai alat analisis selanjutnya.
Tabel 2.5. Taksonomi Prosedur/Teknik Penerjemahan Hasil Rekomposisi
Metode Penerjemahan
Prosedur/Teknik Penerjemahan
Langsung /Harfiah
Prosedur/Teknik Penerjemahan
Bebas/Oblik
1. Peminjaman
2. Kalke
3. Harfiah
1. Transposisi
2. Modulasi
3. Padanan lazim/baku
4. Amplifikasi
5. Reduksi
6. Amplifikasi linguistik
7. Kompresi linguistik
8. Generalisasi
9. Partikularisasi
10. Kompensasi
11. Kreasi diskursif
12. Deskripsi
13. Substitusi
14. Variasi
15. Adaptasi
16. Catatan
Jadi, fokus penelitian ini adalah tidak lagi menelusuri ideologi, metode
ataupun prosedur yang dianut atau diterapkan oleh penerjemah atau kelompok
penerjemah, tetapi untuk mengungkapkan ketepatan penggunaan prosedur
penerjemahan, baik pada kubu harfiah maupun kubu bebas, yang tentu saja akan
memberikan dampak pada tingkat kesepadanan produk terjemahan masing-
masing kubu terjemahan.
Berikut adalah kerangka berpikir yang diterapkan terkait dengan ideologi,
metode, prosedur dan teknik penerjemahan yang diharapkan bermuara pada
64
pemahaman tingkat kesepadanan produk terjemahan baik kubu harfiah maupun
kubu bebas.
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Terkait dengan Ideologi, Metode,
dan Tenkik/Prosedur Terjemahan Alkitab
Terjemahan
Harfiah
Terjemahan
Bebas
Ideologi
Foreignisasi Ideologi
Domesikasi
Metode Literal
(Diagram V)
Metode Bebas
(Diagram V)
Prosedur
Langsung/Harfiah
Prosedur
Bebas/Oblique
Analisis Ketepatan
Penggunaan Prosedur Analsisi Ketepatan
Penggunaan Prosedur
KESEPADANAN (PRINSIP-PRINSIP KESEPADANAN
FORMAL/DINAMIS
65
2.3.2 Dimensi Makna
Secara universal dapat dipahami bahwa makna memegang peranan yang
sangat penting dalam teori penerjemahan. Tanpa penjelasan teoritis tentang makna
akan sangat sulit untuk memahami isu-isu penting dalam teori terjemahan
misalnya sifat penerjemahan, keterjemahan (translatability), ketakterjemaham
(untranslatability) dan kesepadanan. Jadi, hal yang paling mendasar dalam
berbagai diskusi tentang proses penerjemahan ialah memahami dimensi makna
yang menurut Nida (1964:57) terdiri atas tiga yaitu makna linguistik, makna
referensial, dan makna emotif.
2.3.2.1 Makna linguistik
Makna linguistik, yang oleh Nida dan Taber (1969) kemudian
diperkenalkan juga dengan istilah makna gramatikal dalam The Theory and
Practice of Translation, mengacu pada hubungan yang bermakna antara bagian-
bagian konstituen dalam konstruksi grammatikal. Hal ini dapat diartikan sebagai
hubungan yang bermakna antara kata, frasa dan kalimat. Dalam hal ini, makna
dari frasa atau kalimat tidak ditentukan oleh kombinasi sederhana dari makna kata
secara terpisah, tetapi berasal dari struktur tertentu frasa atau kalimat. Misalnya,
pada frasa orang tua, rumah abu-abu, bulu yang indah, dan pohon yang tinggi
adalah komponen pertama dari setiap frase yang memberi sifat pada yang kedua.
Hal ini menjelaskan mengapa kombinasi kata-kata dalam bahasa bermakna dan
tidak dapat diubah secara bebas. Contoh lainnya adalah ketika analisis dilakukan
terhadap hubungan kombinasi kata dalam kalimat ˮLaki-laki tua itu menatap
kamiˮ, di situ tidak ada hubungan kata itu dengan tua, tua dengan laki-laki, laki-
66
laki dengan menatap, dan sebagainya, dan tidak ada kedudukan terbalik laki-laki
menatap sebagai menatap laki-laki.
Sehubungan dengan salah satu dimensi makna tersebut di atas, secara
umum dapat disimpulkan bahwa frasa dan kalimat yang dibangun dari konstruksi
yang sama memiliki makna sama. Misalnya, Laki-laki tua itu menatap kami dan
beberapa laki-laki muda memukul mereka memiliki konstruksi yang sama, dan
oleh karena itu, mereka berbagi makna gramatikal yang sama. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak selalu demikian karena tidak semua struktur gramatikal yang
sama mengandung makna yang sama. Contoh yang sering dipakai oleh Nida
adalah perbandingan antara empat buah frasa his car, his failure, his arrest dan
his goodness. Keempat frasa itu memiliki struktur yang sama, yaitu pronomina
posesif (his) + nomina, tetapi hubungan antara his dan nomina yang mengikutinya
cukup berbeda pada setiap frasa. Nida menginterpretasikannya sebagai he has a
car, he failed, he was arrested dan he is good. Pemahaman ini mengandung
pengertian bahwa keempat ungkapan tersebut sebenarnya memiliki makna yang
berbeda. Kemudian, Nida menjelaskan empat formula yang berbeda: “A possesses
B”, “A performs B”, “A is the goal of the action B” dan “B is the quality of A”
(Nida, 1964:59). Menurut Nida, alasan bagi hubungan makna yang berbeda pada
tipe ekspresi yang memiliki struktur yang sama karena mereka ditransformasi dari
kalimat kernel yang berbeda, dan karenanya, harus dieksplorasi struktur dalam
untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap struktur luarnya.
Dalam menganalisis makna gramatikal, Nida juga mengemukakan
klasifikasi baru tentang kata yaitu: kata objek (object words), kata kejadian (event
words), kata abstrak (abstract words) dan kata relasi (relational words).
67
Penggolongan kata ini dilandasi oleh teori logika simbolis Sapir dan Reichenbach
(Nida, 1964:62). Kata objek adalah kata-kata yang menunjukkan entitas objektif
seperti manusia, anjing, dan mesin; nomina pada umumnya berfungsi sebagai kata
objektif. Kata kejadian adalah kata-kata tindakan, seperti berjalan, belajar dan
bekerja; verba pada umumnya berfungsi sebagai kata tindakan. Kata abstrak
adalah kata-kata yang menyiratkan konsep abstrak, seperti tinggi, cukup, dan
indah; adjektiva atau adverbia sering berfungsi sebagai kata-kata abstrak. Kata
relasi adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan frasa atau kalimat,
seperti di, jika dan meskipun; preposisi dan konjungsi sering berfungsi sebagai
kata relasional.
Hal itu tidak sebaliknya berarti bahwa semua kata objek, kata peristiwa,
kata abstrak dan kata relasional adalah termasuk nomina, verba, adjektiva atau
adverbia, dan preposisi atau konjungsi. Alasannya adalah, menurut Nida, empat
jenis kata diklasifikasikan menurut maknanya, yaitu, konsep kata-kata, yang
adalah sesuatu yang terdapat pada struktur dalam, bukan bentuk grammatikal
yang berada pada struktur permukaan. Oleh karena itu, jenis kata tertentu dapat
memiliki beberapa bentuk yang beragam. Misalnya, beauty, beautiful, beautifully
dan beautify termasuk jenis kata abstrak, tetapi masing-masing termasuk nomina,
adjektiva, adverbia, dan verba dalam tataran fungsi gramatikal.
Berlandaskan pada fakta tersebut di atas, untuk menghilangkan kesan
ambigu pada struktur permukaan, hal yang perlu dilakukan adalah
merestrukturisasi atau menyusun kembali struktur dalam yang oleh banyak ahli
bahasa disebut “kernel” yaitu elemen struktur dasar bahasa yang membangun
struktur permukaan yang seringkali terkesan rumit. Sehubungan dengan hal ini,
68
Nida dan Taber (1974:39) dengan tegas menyatakan bahwa penerjemah harus
memahami fakta bahwa bahasa-bahasa memiliki kesepahaman pada tataran kernel
dibandingkan dengan struktur permukaan yang sifatnya sangat kompleks.
Maksudnya adalah, jika penerjemah mampu menyederhanakan struktur
gramatikal ke tingkat kernel, maka struktur tersebut akan dapat ditransfer dengan
lebih mudah dalam tingkat distorsi yang minimum.
Ekspresi Kernel dalam bahasa Inggris seperti yang dipaparkan oleh Nida
dan Taber (1974:40) yang dari padanya struktur gramatikal yang lebih rumit dapat
dibangun terdiri dari jenis ilustrasi berikut:
1. John ran quickly
2. John hit Bill
3. John gave Bill a ball
4. John is in the house
5. John is sick
6. John is a boy
7. John is my father
2.3.2.2 Makna referensial
Dimensi makna yang kedua adalah makna referensial yang menurut Nida
(1964:70) pada umumnya dianggap sebagai makna kamus. Selanjutnya, makna
referensial juga didefinisikan sebagai makna dari kata sebagai simbol yang
mengacu pada objek, peristiwa, abstrak, dan relasi (Nida & Taber, 1982:56).
Selain itu, makna referensial dapat juga disejajarkan dengan makna konseptual
yang menyandang konten logis, kognitif atau denotatif yang merupakan makna
69
dasar pertama dari tujuh macam makna yang dikemukakan oleh Leech, (1974:19)
yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna sosial, makna afektif, makna
refleksif, makna kolokatif, dan makna tematik. Sejalan dengan konsep yang
ditawarkan Nida dan Taber (1982), Frawley (1992) juga menegaskan bahwa
makna referensial mengacu pada objek yang sebenarnya, dikenal dengan
referense atau informasi yang membuat kalimat menjadi bermakna bagi seseorang
yang mungkin menyadari atau tidak menyadari fakta referensial yang sebenarnya,
atau dikenal dengan sense.
Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa makna refernsial
ataupun konseptual dari kata yang sama dapat berbeda pada konteks yang berbeda
pula. Berikut adalah contoh yang dikemukakan oleh Nida & Taber (1974:57):
1. It is a fox
2. He is a fox
3. She will fox him
Pada kalimat yang pertama, kehadiran it mengidentifikasikan fox sebagai
seekor binatang. Pada kalimat yang kedua, kehadiran he berhubungan dengan
pemahaman bahwa fox mengacu pada seseorang karena he pada konstruksi ini
adalah pengganti anaforis bagi manusia laki-laki; dan satu-satunya kesan terhadap
fox yang ditujukan pada seseorang sebagai “orang licik.” Pada kalimat yang
ketiga, fox adalah sebuah verba, yang terlihat dari posisinya yang terletak di antara
kata bantu will dan objek pronomina him; makna verbal dari fox adalah “menipu
dengan cara yang cerdik.”
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan dengan makna
referensial adalah permasalahan yang menyangkut makna figuratif. Selain
70
memiliki makna sentral dan makna “literal” yang cukup dekat dengan makna
sentral karena berbagi komponen penting, sebuah kata dapat juga memiliki makna
tambahan yang sangat berbeda dalam setiap aspek penting dengan makna sentral.
Makna jenis ini tidak dihubungkan dengan komponen penting dengan makna
sentral dan karenanya dikenal dengan makna figuratif. Untuk itu, menurut Nida &
Taber (1974:87) sangat penting untuk mempertimbangkan bahwa makna dari
sebuah kata dapat diperluas ke berbagai arah seperti contoh berikut:
(It is a) fox (He is a) fox
1. animal 1. human being
2. canine 2. clevery deceptive
3. genus: Vulpes
Jika makna kata fox dibandingkan dalam dua kalimat di atas dapat disimpulkan
bahwa keduanya tidak berbagi komponen yang sama. Meskipun keduanya
disatukan dengan komponen makhluk hidup, masih terlalu luas karena hanya
terdapat sedikit signifikansi.
Satu-satunya penjelasan mengenai gambaran tersebut di atas adalah bahwa
keduanya dimediasi melalui komponen yang diperkenalkan oleh Nida & Taber
(ibid:87) dengan sebutan supplementary (tambahan) dan bersifat murni
konvensional yaitu komponen yang mengklaim bahwa serigala secara khusus
dikenal sebagai penipu yang cerdas. Ditegaskan pula dalam hal ini bahwa
komponen tambahan berada pada ranah psikologis. Mengingat komponen ini
bersifat arbitrer dan konvensional, pemahamannya sangat bergantung pada faktor
budaya dan bahasa setempat. Salah satu contoh spesifik yang dikemukakan oleh
Nida & Taber (1974:88) diambil dari salah satu ayat Alkitab, yatu Kisah Para
Rasul 2:17 “pour out my Spirit upon all flesh.” Dalam hal ini flesh tidak diartikan
menurut makna utamanya sebagai objek yang memiliki masa; menurut makna
71
figuratifnya flesh mengacu pada objek yang benar-benar berbeda, yaitu orang atau
umat manusia.
Nida & Taber (1974:107) mengungkapkan bahwa proses penerjemahan
makna figuratif dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: (a) pengalihan dari
figuratif ke nonfiguratif, misalnya, “possess the gate” menjadi “possess the city”;
“my flesh” menjadi “my race”; “taste death” menjadi “die”; (b) pengalihan dari
ekspresi figuratif menjadi ekspresi figuratif yang lain, misalnya, “praise the Lord
with the tongue” menjadi “praise the Lord with the lips”; (c) pengalihan dari
nonfiguratif menjadi figuratif, misalnya, “to trust” menjadi “to lean on.”
2.3.2.3 Makna emotif
Makna emotif atau dikenal pula dengan makna konotatif berkaitan dengan
asosiasi atau “reaksi emosional terhadap kata” dalam tindakan komunikasi (Nida
& Taber, 1974:91). Dimensi makna ini melibatkan nilai-nilai emotif seperti tabu
(positif dan negatif), vulgar, cabul, gaul, bertele-tele, dan sebagainya. Meskipun
analisis makna emotif tidak semudah makna referensial, Nida mengusulkan
bahwa satu-satunya cara di mana makna emotif dapat dianalisis adalah dalam
konteks, baik budaya maupun linguistik (Nida, 1964:71).
Di satu sisi, dalam menggambarkan makna emotif berdasarkan konteks
budaya dapat dilakukan dengan menganalisis respons perilaku penutur asing
terhadap penggunaan kata tertentu jika sedang mempelajari bahasa asing atau
dapat pula dengan menilai sikap emosional terhadap kata-kata dalam bahasa ibu.
Di lain sisi, dalam menggambarkan makna emotif dalam konteks linguistik maka
yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis kemunculan kembali kata yang
72
kemungkinan dapat didiagnosis nilai emotifnya yang dalam hal ini dikenal dengan
makna kolokatif. Sebagai contoh, kata cantik dan tampan memiliki konsep makna
yang sama, yaitu „enak dilihat‟, tetapi ketika disandingkan dengan kata wanita
maka makna kolokatif atau asosiatifnya akan muncul, yakni wanita cantik
menyiratkan „perempuan cantik‟, sedangkan wanita tampan memiliki asosiasi
„wanita terhormat. ‟
Nida (1974:94) menegaskan bahwa belum ada metode yang baku untuk
mengukur nilai konotatif dari sebuah kata. Metode yang dianggap paling masuk
akal adalah yang diterapkan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum yang
menggunakan matriks dengan skala 1 sampai 10 yang ditandai dengan
mengontraskan pasangan adjektiva good-bad, beautiful-ugly, strong-weak, light-
dark, high-low, warm-cold dan seterusnya. Hasilnya cukup akurat karena reaksi
responden terhadap kata, seperti patriotism, love, blood, communism, revolution,
dan sebagainya. menunjukkan tingkat kesepahaman yang cukup tinggi antara satu
responden dengan responden yang lain. Berikut adalah contoh pemanfaatan
matriks penilaian makna emotif terhadap kata mother dan woman yang diperoleh
berdasarkan survey yang dilakukan terhadap respon 60 orang Inggris Amerika
terhadap kedua kata tersebut. Hasil survey menunjukkan bahwa responden lebih
memilih kata mother dibandingkan woman.
73
mother woman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 2.3. Matriks Makna Emotif Terhadap Kata Woman dan Mother
(Sumber: Nida dan Taber, 1974)
Lebih jauh diungkapkan bahwa perbedaan respon konotatif terhadap kata
mother dan woman juga menjadi salah satu masalah dalam penerjemahan kedua
kata tersebut dari istilah Yunani gunai (secara harfiah woman) pada Yohanes 2:4
yaitu pada kalimat: Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku,
ibu? Saat-Ku belum tiba”. Versi King James dan beberapa versi lainnya
mempertahankan terjemahan harfiah woman. Tetapi versi New English Bible
(NEB) lebih memilih mempergunakan kata mother. Hal ini terjadi karena dalam
bahasa Inggris mother secara konotatif lebih sopan dibandingkan woman.
Metode lain yang ditawarkan oleh Nida (ibid:96) adalah dengan menilai
aspek konotatif kata berdasarkan pada nilai (value) dan tingkatan (level) seperti
gambaran di bawah ini:
1. Values: good (G), neutral (N), bad (B)
2. Level of language: technical (T), formal (F), informal (I)
Selain itu, mengenai aspek konotatif kata, Nida dan Taber (1974:24-26)
menyatakan juga bahwa ada tiga fungsi yang seyogyanya dipenuhi oleh sebuah
produk terjemahan, yaitu fungsi informatif, fungsi ekspresif, dan fungsi imperatif.
good
attractiv
ee strong
bad
ugly
weak
dark
low
cold
light
high
warm
74
Dalam hal ini, hasil terjemahan tidak hanya harus memberikan informasi yang
orang dapat mengerti, tetapi juga dengan sedemikian rupa harus menyajikan pesan
bahwa pembaca dapat merasakan relevansinya (elemen ekspresif dalam
komunikasi) dan kemudian dapat merespon dalam tindakan (fungsi imperatif).
Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka beberapa adjektiva yang dipilih
sebagai kriteria untuk menentukan makna emotif produk terjemahan adalah: baik
– buruk, tepat – tidak tepat, masuk akal – tidak masuk akal, mudah dipahami –
sulit dipahami, jelas – tidak jelas, dan lazim – tidak lazim.
2.3.3 Klasifikasi Simbol dalam Alkitab
Conner (1992:8-11) menyatakan bahwa secara mendasar terdapat delapan
kategori simbol di dalam Alkitab, yaitu (1) benda, (2) makhluk, (3) tindakan, (4)
angka, (5) nama, (6) warna, (7) arah, dan (8) tempat. Berikut adalah penjelasan
masing-masing kategori disertai dengan contoh.
1) Simbol dalam wujud benda
Di dalam Alkitab, Allah menggunakan benda mati, baik buatan Tuhan
maupun manusia sebagai simbol:
Hosea 7:8 “ Efraim telah menjadi roti bundar yang tidak
dibalik.”
Mazmur 18:2 “TUHAN, Bukit Batuku…”
Amsal 18:2 “Nama TUHAN adalah menara yang kuat…”
Ulangan 32:2 “Mudah-mudahan pengajaranku menitik laksana
hujan…”
Mazmur 119:105 “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku…”
Wahyu 1:20 “Dan rahasia ketujuh bintang yang telah
kaulihat pada tangan kanan-Ku dan ketujuh kaki
dian emas itu: ketujuh bintang itu ialah malaikat
ketujuh jemaat dan ketujuh kaki dian itu ialah
ketujuh jemaat."
75
2) Simbol dalam wujud makhluk
Di dalam Alkitab, Allah menggunakan makhluk hidup, baik tumbuhan
maupun hewan sebagai simbol:
Daniel 7:17 "Binatang-binatang besar .... ialah empat raja...”
Hosea 7:11 "Efraim telah menjadi merpati tolol... "
Lukas 13:31,32 "Herodes…. si serigala itu"
Yesaya 40:31 “Orang-orang yang menanti-nantikan
Tuhan…seumpama rajawali"
Lukas 8:11 "Benih itu ialah firman Allah…"
I Petrus 1:24 "Semua yang hidup adalah seperti rumput dan
segala kemuliaannya seperti bunga rumput…"
Yohanes 1:29,36 "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus
dosa dunia"
3) Simbol dalam wujud tindakan
Di dalam Kitab Suci, Allah menggunakan tindakan sebagai simbol:
Mazmur 141:1,2 "...tanganku yang terangkat seperti persembahan
korban pada waktu petang"
Kejadian 25:23-26 "Anak yang tua akan menjadi hamba kepada
anak yang muda…tangannya memegang tumit
Esau….”
Josua 1:3 "Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak
kakimu Kuberikan kepada kamu.... "
Yesaya 31:1 "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir
minta pertolongan… tetapi tidak memandang
kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak
mencari TUHAN"
4) Simbol dalam wujud angka
Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan angka:
2 Korintus 13:1 "ini adalah untuk ketiga kalinya aku datang
kepada kamu: Baru dengan keterangan dua atau
tiga orang saksi suatu perkara sah"
Wahyu 13:18 "...bilangan itu adalah bilangan seorang
manusia, dan bilangannya ialah enam ratus
enam puluh enam"
Matius 19:28 "...kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk
juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi
kedua belas suku Israel"
76
Kejadian 14:4 "...tetapi dalam tahun yang ketiga belas mereka
memberontak... "
5) Nama simbolis
Di dalam Kitab Suci juga dipergunakan nama-nama yang berfungsi
simbolis, baik secara pribadi maupun nasional. Di dalam Alkitab nama
umumnya cukup signifikan untuk menunjukkan sifat, karakter,
pengalaman, atau fungsi orang, tempat atau bangsa.
I Samuel 25:25 "Janganlah kiranya tuanku mengindahkan
Nabal, orang yang dursila itu, sebab seperti
namanya demikianlah ia: Nabal namanya dan
bebal orangnya"
I Samuel 4:21 ".Ia menamai anak itu Ikabod, katanya: "Telah
lenyap kemuliaan dari Israel"
Hosea 1:9 Lalu berfirmanlah Ia: "Berilah nama Lo-Ami
kepada anak itu, sebab kamu ini bukanlah umat-
Ku dan Aku ini bukanlah Allahmu."
Matius 1:21 "Engkau akan menamakan Dia Yesus, karena
Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya
dari dosa mereka."
Yohanes 1:42 "Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan
dinamakan Kefas (artinya: Petrus)."
6) Simbol dalam wujud warna
Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan warna:
Yesaya 1:18 "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan
menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna
merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih
seperti bulu domba"
Markus 15:17,18 "Mereka mengenakan jubah ungu kepada-Nya...
"Salam, hai raja orang Yahudi!"
Wahyu 3:4,5 "Mereka akan berjalan dengan Aku dalam
pakaian putih, karena mereka adalah layak
untuk itu.
Wahyu 19:8 "kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan
yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah
perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-
orang kudus.)
7) Simbol dalam wujud arah
Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan arah:
77
Yeremia 1:14 "Dari utara akan mengamuk malapetaka... "
Yehezkiel 43:1,2 "Sungguh, kemuliaan Allah Israel datang dari
sebelah timur…"
2 Tawarikh 4:4 "Laut" itu menumpang di atas dua belas lembu,
tiga menghadap ke utara dan tiga menghadap ke
barat, tiga menghadap ke selatan dan tiga
menghadap ke timur... "
Daniel 8:4 "Aku melihat domba jantan itu menanduk ke
barat, ke utara dan ke selatan... "
8) Simbol dalam wujud tempat
Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan
tempat, baik tersurat maupun tersirat:
Kejadian 11:9 Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu
disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan
TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah
mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.
Mazmur 48:2 Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang
permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi;
gunung Sion itu, jauh di sebelah utara, kota Raja
Besar.
2.3.4 Teori Semiotik
Saat ini studi terjemahan telah semakin mengadopsi pendekatan
interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan sebagai transposisi intertekstual
dan antarbudaya. Bassnett (1980/1991:34) menyebutkan bahwa langkah pertama
dalam penerjemahan yakni harus menerima bahwa meskipun proses ini berpusat
pada kegiatan linguistik, tetapi sangat tepat jika dikatakan bahwa studi ini juga
menjadi milik semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem atau struktur tanda,
proses tanda, dan fungsi tanda.
Lebih jauh dikatakan bahwa di luar gagasan yang ditekankan oleh
pendekatan linguistik yang sempit, terjemahan melibatkan transfer „makna‟ yang
terkandung dalam satu set tanda bahasa ke satu set tanda bahasa yang lain melalui
78
penggunaan kompetensi kamus dan tata bahasa yang juga melibatkan seluruh
perangkat kriteria ekstralinguistik. Berangkat dari pernyataan tersebut, studi ini
memandang perlu untuk melibatkan analisis semiotik dalam mengungkap makna
di balik simbol-simbol verbal religi yang terdapat di dalam Kitab Wahyu guna
melihat dengan jelas tingkat kesepadanan masing-masing kubu terjemahan.
2.3.4.1 Perbedaan semiotik Saussurean dan Peircean
Teori semiotik adalah teori yang berkaitan dengan masalah ketandaan.
Dalam perkembangan teori ini timbul dua pendapat dalam hal pemaknaan unsur-
unsur bahasa yaitu antara Semiotik Saussurean dan Semiotik Pericean. Ratna
(2013:508) mengungkapkan perbedaan yang sangat jelas antara keduanya, yaitu
Saussure menemukan makna melalui hubungan antara dua unsur, sedangkan
Peirce melalui tiga unsur. Oleh karena itu teori semiotik Saussure disebut sebagai
diadik, sedangkan Peirce sebagai triadik. Menurut Saussure (1983:73-91), makna
diperoleh dengan cara menemukan hubungan antara penanda (signifier) dan
petanda (signified), bahasa individu (parole) yang bersifat aktif dan mengandung
banyak hal baru dan bahasa umum (langue) yang bersifat pasif dan siap pakai,
analisis sinkronis dan diakronis, hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
Lebih jauh diungkapkan bahwa tanda pada prinsipnya saling merujuk satu
sama lain, yaitu bahwa dalam sistem bahasa semuanya bergantung pada relasi
(1983: 121). Tidak ada tanda yang bermakna hanya jika dalam keterkaitan dengan
tanda-tanda lainnya. Jadi, baik petanda maupun penanda adalah murni entitas
relasional (1983:118). Gagasan ini cukup sulit untuk dipahami sebab ada
kemungkinan bahwa sebuah kata yang berdiri sendiri seperti „pohon‟ sudah
79
menyiratkan makna, tetapi Saussure menyatakan bahwa makna dari kata tersebut
bergantung pada relasinya dengan kata-kata lain dalam sebuah sistem seperti
misalnya „semak‟. Untuk menjelaskan hal ini Saussure menggunakan analogi
permainan catur yang nilai masing-masing bagiannya sangat tergantung dari
posisinya pada papan catur (1983:88). Suatu tanda melebihi jumlah bagian-
bagiannya. Sementara itu, signifikasi jelas tergantung pada hubungan antara dua
bagian dari tanda maka nilai tanda ditentukan oleh hubungan antara tanda dan
tanda-tanda lain dalam sistem secara keseluruhan (1983:112-13).
The notion of value.....shows us that it is a great mistake to consider a sign
as nothing more than the combination of a certain sound and a certain
concept. To think of a sign as nothing more would be to isolate it from the
system to which it belongs. It would be to suppose that a start could be
made with individual signs, and a system constructed by putting them
together. On the contrary, the system as a united whole is the starting
point, from which it becomes possible, by a process of analysis, to identify
its constituent elements (Saussure, 1983:112).
Berikut adalah model dari hubungan antar tanda yang menunjukkan bahwa „nilai‟
dari sebuah tanda sangat tergantung dari relasinya dengan tanda lain dalam sebuat
sistem. Dengan kata lain, sebuah tanda tidak memiliki nilai „mutlak‟ di luar
keterikatan dengan konteksnya (Saussure, 1983:80):
Gambar 2.4 Model Hubungan Antar Tanda Menurut Saussure
(Sumber Saussure, 1983)
Di lain sisi, Peirce (dalam Zoest, 1993:18-30) menyatakan bahwa makna
diperoleh dengan cara menemukan hubungan antara tanda yang sebenarnya, yaitu
Penanda
Petanda
Penanda Penanda
Petanda Petanda
80
representamen (R), apa yang diacu yaitu objek (O), dan tanda-tanda baru yang
disebut interpretan (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik
atau mental yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O) dan I adalah
bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Berikut adalah
definisi tanda menurut Peirce (dalam bahasanya sendiri):
A sign…..[in the form of representamen] is something which stands to
somebody for something in some respect or capacity. It addresses
somebody, that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or
perhaps a more developed sign. That sign which it creates I call the
interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object. It
stands for that object, not in all respects, but in reference to a sort of idea,
which I have sometimes called the ground of the representamen. (Peirce,
1931-58:2.228).
Mengacu pada definisi yang diutarakannya, bagi Peirce, sebuah tanda
yang disebutnya sebagai representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang
mewakili sesuatu yang lain dalam kaitan atau kapasitas tertentu. Dalam hal ini,
tanda dapat menciptakan sesuatu yang lain dalam pikiran seseorang yang setara
atau bisa juga suatu tanda yang lebih maju. Peirce menyebut tanda yang tercipta
itu sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Lebih jauh dikatakannya pula
bahwa tanda yang pertama atau disebutnya sebagai interpretan mewakili sesuatu
yaitu objeknya tidak dalam sembarang kaitan, tetapi dalam suatu gagasan tertentu.
Berdasarkan pemahaman di atas, tanda tidak hanya bersifat representatif
tetapi juga interpretatif yang memperlihatkan bahwa pemaknaan tanda merupakan
suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Jadi, R adalah sesuatu yang
bersifat indrawi atau material yang berfungsi sebagai tanda. Kehadirannya
menimbulkan I, yakni tanda lain yang ekuivalen dengannya. Atau, dengan kata
lain, sekumpulan interpretasi personal yang dapat menjelama menjadi publik.
Pada hakikatnya, R dan I adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu
81
yang lain. Hanya saja, R muncul mendahului I dan I ada karena dibangkitkan oleh
R. O yang diacu oleh tanda, atau sesuatu yang kehadirannya digantikan oleh tanda
adalah “realitas” atau apa saja yang dianggap ada. Artinya objek tersebut tidak
harus konkret atau sebuah realitas, bahkan yang abstrak, imajiner dan fiktif.
Berikut adalah model hubungan tiga elemen tanda menurut Peirce
seperti yang diilustrasikan oleh Eco (1976:59):
Gambar 2.5 Model Hubungan Tiga Elemen Tanda Menurut Peirce
(Sumber: Eco,1976)
Sesuai dengan model di atas, untuk memenuhi syarat sebagai tanda, ketiga elemen
memegang peranan penting. Tanda adalah kesatuan dari yang diwakili (objek),
bagaimana hal itu diwakili (representamen) dan bagaimana hal itu ditafsirkan
(interpretan). Interaksi ketiganya dikenal dengan „semeiosis‟ atau semiosis.
Ogden dan Richards dalam Riemer (2010:13) juga mengungkapkan hal
yang selaras dikenal dengan sebutan segitiga semiotik terdiri dari simbol, gagasan,
dan acuan seperti gambar berikut:
interpretan
representamen objek
82
Gambar 2.6 Segitiga Semiotik Menurut Ogden dan Richards
(Sumber: Riemer, 2010)
Yang menarik untuk diperhatikan adalah penegasan mengenai adanya hubungan
kausal antara gagasan, yang oleh Riemer (2010:15) juga disebut psikologi, dengan
simbol dan dengan acuan. Hubungan inilah yang dapat berperan untuk
menafsirkan hubungan antara simbol dengan acuan yang tidak terhubung secara
kausal antara yang satu dan yang lain.
Menurut Chandler (2007:31), berdasarkan pada kutipan hasil
korespondensi pribadinya dengan Roderick Munday tentang bagaimana cara kerja
dari triadik versi Peirce, hal yang terpenting yang harus diperhatikan adalah objek
dari sebuah tanda selalu tersembunyi. Objek hanya dapat diungkapkan dengan
memperhatikan representamen dan membentuk sebuah gambaran mental tentang
objek tanda di dalam pikiran. Oleh karena itu, objek yang tersebunyi dari sebuah
tanda hanya akan dapat diungkap melalui interaksi ketiga elemen tanda.
Sebagai triadik, R terdiri atas qualisigns (representamen yang merupakan
tanda dari suatu sifat; misalnya, warna merah atau hawa panas). Kemudian,
sinsigns (representamen yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam
kenyataan atau tipe tanda yang memanfaatkan sebuah peristiwa atau objek sebagai
gagasan/psikologi
simbol/bahasa acuan
hubungan kausal hubungan kausal
hubungan kebenaran dan kesalahan
83
wahana tanda (sign vehicle), misalnya, suatu jeritan dapat berarti kesakitan,
bahagia atau kaget). Selanjutnya, legisigns (representamen yang merupakan tanda
atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode,
misalnya seperti tanda-tanda lalu lintas, gerakan berjabat tangan, dan lain-lain.
Trikotomi yang kedua, yaitu O, terdiri atas ikon, indeks, dan simbol. Peirce
beranggapan bahwa trikotomi yang kedua ini adalah yang paling fundamental dan
karenanya dijelaskan secara detail pada sub-bab berikutnya. Trikotomi yang
ketiga, yaitu interpretan menghasilkan rheme, disisigns, dan argument. Menurut
Cobley dan Jansz (1999:34), rheme adalah tanda yang ditafsirkan sebagai sebuah
kemungkinan; misalnya, konsep. Di lain sisi, disisigns atau dicent merupakan
tanda yang ditafsirkan sebagai sebuah fakta; misalnya, argumentasi deskriptif,
sedangkan argument adalah tanda yanag ditafsirkan sebagai sebuah alasan;
misalnya, proposisi atau saran.
Sesuai dengan paparan tersebut di atas, representamen pada semiotik versi
Peirce memiliki kemiripan dengan “penanda” pada semiotik versi Saussure,
sedangkan interpretan pada semiotik versi Peirce dapat dianalogikan dengan
“petanda” pada semiotik versi Saussure. Hal yang membedakan adalah bahwa
interpretan memiliki kualitas yang berbeda dengan “petanda” karena pada
dasarnya interpretan juga adalah tanda dalam pikiran penafsir. Hal ini sesuai
dengan pendapat Peirce yang menyatakan,
„a sign…….addresses somebody, that is creates in the mind of that person
an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it
creates I call the interpretant of the first sign‟ (Peirce 193158:2.228).
Mengenai hal tersebut, Peirce lebih jauh mengungkapkan bahwa makna
dari sebuah representasi adalah representasi itu sendiri dalam arti bahwa
84
interpretasi awal dapat diinterpretasikan kembali sehingga sebuah petanda dapat
juga mengambil peran sebagai penanda. Pemikiran ini diwujudkan dalam sebuah
figur yang dikenal dengan sebutan interpretasi yang berkesinambungan:
Gambar 2.7 Figur Interpretasi Berkesinambungan Menurut Peirce
(Sumber: Peirce, 1931)
Mengacu pada ulasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang
paling mendasar dari semiotik versi Saussure dan versi Peirce terletak pada
konsep pemaknaan tanda yang ditemukan berdasarkan hubungan antara satu tanda
dan tanda lainnya (struktur yang relatif statis pada sistem tanda) pada semiotik
versi Saussure dan proses interpretasi yang sangat dinamis pada semiotik versi
Peirce atau yang dikenal dengan gagasan pemikiran dialogis.
2.3.4.2 Ikon, indeks, dan simbol
Nöth (1990:44) menyatakan bahwa berdasarkan pada klasifikasi yang
dibuat oleh Peirce tanda dalam sistem tanda dapat ditafsirkan dalam tiga cara
berbeda, tergantung pada hubungannya dengan objek yang diwakili. Pertama,
penafsir dapat berasumsi bahwa tanda tidak memiliki hubungan fisik dengan
r
r
r
i
r
r
o
r
r
r
r
r
o
r
r
i
r
r
85
objek yang diacu, seperti misalnya, bendera nasional melambangkan suatu negara.
Tanda seperti ini disebut simbol yang hanya dapat dipahami dengan mengaitkan
maknanya. Kedua, penafsir dapat menempatkan tanda sebagai indeks. Indeks
dalam beberapa hal secara fisik terhubung dengan objek yang diwakilinya.
Misalnya, asap menunjukkan keberadaan api. Ketiga, penafsir dapat percaya
bahwa tanda adalah ikon dari objek yang digambarkan. Ikon hampir sepenuhnya
mewakili sifat fisik dari objek yang diwakili.
Sejalan dengan Nöth, Chandler (2007:36) juga menegaskan bahwa
penanda yang tidak menyerupai petanda, tetapi yang secara fundamental bersifat
tidak tentu atau murni konvensional – sehingga hubungan ini harus dilandasi oleh
kesepakatan dan dipelajari, seperti kode morse, lampu lalu lintas, angka disebut
simbol/simbolik. Sementara itu, ikon/ikonik adalah sebuah mode yang
penandanya dianggap menyerupai petanda misalnya potret, kartun, metafora,
soundtract film, gerakan meniru, dan sebagainya. Jenis hubungan yang ketiga
dikenal dengan sebutan indeks yaitu sebuah mode yang penandanya secara
langsung terhubung dalam beberapa cara (secara fisik atau kausal) dengan
petanda, misalnya tanda-tanda alam (asap, petir, jejak kaki, gema, bau, rasa),
gejala medis (nyeri, ruam), alat ukur (termometer, jam), sinyal (ketukan di pintu,
dering telepon).
Sehubungan dengan penggolongan tanda dalam semiotik Peircean,
Chandler (2007:44) lebih jauh mengungkapkan bahwa ikon, indeks, dan simbol
tidak selalu ada dalam kedudukan eksklusif satu sama lain karena tanda bisa
menjadi ikon, indeks, atau simbol atau kombinasi dari ketiganya. Peirce
sepenuhnya menyadari hal ini, misalnya dengan menyatakan bahwa akan sangat
86
sulit atau bahkan mustahil untuk mencari contoh indeks yang benar-benar murni
atau untuk menemukan tanda yang benar-benar murni tanpa unsur indeksikal.
Misalnya, sebuah peta adalah indeksikal dalam hal menunjukkan lokasi sesuatu,
ikonik dalam merepresentasikan hubungan arah dan jarak antarlandmark dan
simbolik dalam menggunakan simbol-simbol konvensional. Bahkan, film dan
televisi menggunakan ketiga bentuk tanda: ikon untuk suara dan gambar, simbol
untuk penyampaian lisan dan tulisan, dan indeks adalah akibat dari apa yang
difilmkan.
Sejalan dengan hal itu, Jakobson (dalam Chandler 2007:44) menyatakan
bahwa ketiga bentuk tanda hidup berdampingan dalam bentuk hierarki yang salah
satu dari mereka pasti akan memiliki dominasi atas dua yang lain yang mana
dominasi itu ditentukan oleh konteks. Apakah tanda merupakan simbol, ikon, atau
indeks tergantung pada bagaimana cara tanda tersebut dipergunakan. Penanda
yang sama dapat digunakan sebagai ikon dalam satu konteks dan simbol di tempat
lain. Tanda tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tiga model tanpa mengacu pada
tujuan pengguna ketiganya dalam konteks tertentu. Tanda mungkin diperlakukan
sebagai simbol oleh satu orang, namun sebagai ikon atau indeks oleh yang lain.
Mengenai hal ini dinyatakan pula bahwa, “Ketika kita berbicara tentang sebuah
ikon, sebuah indeks, atau simbol, kita tidak mengacu pada kualitas objektif dari
tanda itu sendiri, tetapi pengalaman pengamat tanda itu sendiri.”
2.3.4.3 Mode simbolis
Simbol dalam pemahaman umum tidak secara murni dikategorikan
sebagai yang “simbolis” dalam pengertian bahwa „tidak sepenuhnya arbitrer‟:
87
simbol-simbol menunjukkan paling tidak terdapat hubungan alamiah antara
penanda dan petanda yang dikenal dengan sebutan „rasional‟. Meskipun tidak
menolak anggapan ini, Saussure memusatkan perhatiannya pada sifat arbitrer
hubungan antara penanda dan petanda. Hal ini juga sejalan dengan pandangan
Peirce (1931-58, 2.249) tentang simbol yang menyatakan bahwa simbol adalah
tanda yang mengacu pada objek yang ditandai berdasarkan pada hukum atau
pemahaman umum yang menyebabkan sebuah simbol ditafsirkan mengacu pada
objek tersebut.
Dalam hal ini, simbol diinterpretasikan berdasarkan pada “aturan” atau
“kebiasaan”. Simbol terhubung dengan objeknya berdasarkan ide yang timbul dari
pikiran si pengguna yang tanpanya tidak akan pernah muncul hubungan semacam
itu. Jadi, simbol adalah tanda konvensional atau sesuatu yang tergantung pada
kebiasaan, baik dipelajari maupun bawaan. Peirce (1931-58:4.447) menampilkan
contoh kata laki-laki. Keseluruhan huruf yang menyusun kata tersebut tidak
memiliki kemiripan dengan gambaran seorang laki-laki; tidak juga terdapat
hubungan antara bunyi dan objek yang diwakilinya. Sehubungan dengan itu,
Peirce (1931-58: 5.73) menegaskan bahwa sebuah simbol…..memenuhi fungsinya
terlepas dari kesamaan atau analogi ataupun hubungan faktual dengan objek yang
ditunjuk. Menurutnya, sebuah simbol yang murni adalah simbol yang memiliki
makna umum, yaitu menandakan sesuatu yang tidak bersifat spesifik.
2.3.4.4 Hubungan sintagmatik dan paradigmatik
Culler (1975:14) menyatakan bahwa semiotik dikenal sebagai pendekatan
untuk analisis tekstual yang berfokus pada analisis struktural. Analisis ini
88
berfokus pada hubungan struktural yang fungsional dalam sistem penandaan yang
melibatkan proses identifikasi terhadap unit konstituen dalam sistem semiotik
(seperti teks atau praktik sosial budaya), hubungan struktural antar tanda (oposisi,
korelasi, dan hubungan logis) dan hubungan masing-masing bagian terhadap
keseluruhan teks.
Saussure dalam analisis semiotik secara khusus memusatkan perhatiannya
pada tiga macam hubungan sistemik, yaitu penanda dan petanda, tanda dengan
semua elemen lain dalam satu sistem/kode, serta hubungan tanda dengan unsur-
unsur yang mengelilinginya (Chandler 2007:84). Lebih jauh, Saussure
menekankan bahwa makna timbul dari perbedaan antara penanda, yang
perbedaannya itu terdiri atas dua macam, yaitu sintagmatik (yang menyangkut
posisi) dan paradigmatik (yang menyangkut substitusi/hubungan asosiatif). Jadi
perbedaan adalah salah satu kunci dalam analisis semiotik strukturalis. Kedua
dimensi ini, yaitu sintagmatik dan paradigmatik, sering disajikan sebagai
“Sumbu”: sumbu horizontal adalah sintagmatik dan sumbu vertikal adalah
paradigmatik. Piliang (dalam Christomy dan Yuwono, 2010) memakai istilah
“aksis tanda” yaitu aksis paradigmatik dan sintagmatik, merupakan cara pemilihan
dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu
sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
Bidang sintagma terdiri atas kombinasi „ini-dan-ini-dan-ini‟ seperti dalam
kalimat, „laki-laki itu menangis. Sementara itu bidang paradigma merupakan
pilihan „ini-atau-ini-atau-ini, misalnya, penggantian kata „menangis‟ dalam
kalimat „laki-laki itu menangis‟ dengan kata „mati‟ atau „bernyanyi‟ sehingga
menjadi „laki-laki itu mati‟ atau „laki-laki itu bernyanyi‟. Jadi, jika hubungan
89
sintagmatik merupakan kemungkinan kombinasi, hubungan paradigmatik adalah
kontras fungsional yang melibatkan diferensiasi. Berikut adalah model hubungan
kedua dimensi yang ditimbulkan oleh perbedaan antara penanda dan petanda.
Gambar 2.7. Model Hubungan Dimensi Sintagmatik dan Paradigmatik
Sebagai Akibat Perbedaan Antara Penanda dan Petanda
(Sumber: Chandler, 2007)
Secara temporal, hubungan sintagmatik merujuk pada hubungan
intertekstual terhadap penanda yang hadir dalam teks, sedangkan hubungan
paradigmatik merujuk pada hubungan intertekstual terhadap penanda yang absen
dari teks (Saussure, 1916/1983:122). Lebih jauh dikatakan bahwa “nilai” dari
tanda ditentukan oleh, baik hubungan sintagmatik maupun paradigmatik, dari
tanda tersebut. Sintagma dan paradigma menyajikan konteks struktural yang di
dalamnya tanda-tanda menjadi bermakna, atau dengan kata lain, kedua hubungan
itu adalah bentuk struktural yang melaluinya tanda-tanda disusun dalam kode.
Secara khusus, paradigma dapat didefinisikan sebagai satu set penanda
atau petanda yang saling terhubung yang merupakan anggota dari beberapa
the
man
cried
girl
died
sang
sumbu sintagmatik
sum
bu
pa
rad
igm
atik
90
kategori definisi, tetapi masing-masing berbeda secara signifikan. Dalam bahasa
alamiah terdapat paradigma gramatikal; misalnya, verba ataupun nomina. Dalam
konteks tertentu, satu anggota dari sebuah set paradigma secara struktural dapat
digantikan dengan yang lain; pilihan terhadap satu anggota akan meniadakan yang
lain. Pemilihan sebuah penanda (misalnya, kata tertentu) dibandingkan yang lain
dari kumpulan paradigma yang sama (misalnya, adjektiva) dapat membentuk
makna dari sebuah teks sesuai dengan yang dikehendaki. Oleh karena itu, jenis
hubungan ini dapat pula dilihat sebagai hubungan yang memperlihatkan
perbedaan. Akan tetapi, pemahaman Sausssure terhadap hubungan “asosiatif”
adalah lebih luas dan tidak terlalu formal dibandingkan apa yang secara umum
dipahami sebagai hubungan “paradigmatik”. Dalam hal ini, Saussure lebih
menekankan pada “asosiasi mental” dan menyertakan kesamaan persepsi dalam
hal bentuk (misalnya, homofon) atau makna (misalnya, sinonim). Kesamaan yang
dimaksud adalah beragam dan berkisar dari kuat ke lemah dan kemungkinan
hanya mengacu pada sebagian kata seperti prefiks atau sufiks. Sehubungan
dengan itu, tidak ada aturan yang baku mengenai asosiasi semacam itu (Saussure,
1983:124).
Di lain sisi, sintagma adalah kombinasi terstruktur dari penanda yang
saling berinteraksi satu sama lain yang membentuk makna yang menyeluruh
dalam sebuah teks. Kombinasi seperti itu dibentuk dalam sebuah kerangka aturan
sintaktis dan kovensi (baik eksplisit maupun implisit). Dalam bahasa, misalnya
sebuah kalimat adalah sintagma dari kata-kata; demikian juga dengan paragraf
dan bab. Selalu ada unit yang lebih besar yang terdiri atas unit yang lebih kecil
dengan hubungan saling ketergantungan yang satu dengan yang lain. Misalnya,
91
iklan cetak adalah sintagma dari beberapa penanda visual. Jadi, yang dimaksud
dengan hubungan sintagmatik adalah berbagai cara unsur-unsur dalam teks yang
sama dapat berhubungan satu sama lain. Sintagma diciptakan melalui hubungan
dari beberapa penanda dari satu set paradigma yang dipilih atas dasar apakah
tanda-tanda secara konvensional dianggap sesuai atau mungkin diperlukan oleh
beberapa sistem aturan (misalnya tata bahasa). Hubungan sintagmatik menyoroti
pentingnya hubungan bagian-keseluruhan. Keseluruhan tergantung pada bagian
dan masing-masing bagian tergantung pada keseluruhan.
Berdasarkan pemahaman di atas, baik analisis sintagmatik maupun
paradigmatik, memperlakukan tanda sebagai bagian dari sebuah sistem yang
mengeksplorasi fungsinya dalam kode dan subkode. Untuk itu analisis semiotik
pada teks ataupun korpus harus memanfaatkan kedua model analisis karena kedua
jenis hubungan itu tidak bisa dipisahkan.
2.3.4.5 Perangkat analisis semiotik
Kedua jenis hubungan, baik sintagmatik maupun paradigmatik, bekerja
berdasarkan perangkat analisis struktural sesuai dengan ciri yang mendasarinya
seperti yang telah terpapar di atas. Dimensi paradigmatik selalu berupaya untuk
mengidentifikasi berbagai paradigma (penanda yanag sudah hadir sebelumnya)
yang mendasari isi teks. Aspek analisis struktural ini melibatkan pertimbangan
konotasi positif atau negatif dari setiap penanda (yang terungkap melalui pilihan
penggunaan satu tanda dibandingkan yang lain) dan adanya paradigma tematik
yang mendasari (misalnya, oposisi biner seperti publik-swasta). Dalam hal ini,
Saussure (1983:122) menegaskan bahwa ciri dari hubungan paradigmatik atau apa
92
yang dia sebut sebagai hubungan asosiatif adalah bahwa hubungan tersebut terjadi
secara “in absentia” – ketidakhadiran penanda alternatif dalam teks tertentu dari
paradigm yang sama. Jadi, analisis paradigmatik melibatkan perbandingan dan
pengkontrasan masing-masing penanda yang hadir dalam teks dengan penanda
yang tidak hadir yang dalam kondisi yang sama mungkin dipilih dan juga
mempertimbangkan pentingnya pilihan yang dibuat. Analisis ini dapat diterapkan
pada setiap tingkat semiotik baik pilihan kata, gambar, maupun suara, bahkan
sampai pada tingkat gaya, genre ataupun medium (Chandler, 2007:88). Pilihan
terhadap satu penanda dibandingkan dengan yang lain dapat dilandasi oleh
beberapa faktor; misalnya, kendala teknis, kode (misalnya, genre), konvensi,
konotasi, gaya, tujuan retoris, dan keterbatasan repertoar individu itu sendiri.
Beberapa perangkat analsisis dalam dimensi paradigmatik termasuk di
dalamnya adalah uji penggantian (the commutation test), oposisi (opposition),
kebermarkahan (markedness), dekonstruksi (deconstruction), dan penjajaran
(alignment). Uji penggantian berfungsi untuk mengidentifikasi penanda khas dan
untuk menentukan signifikansi tanda-tanda - menentukan apakah perubahan pada
tingkat penanda mengarah ke perubahan pada tingkat petanda. Untuk menerapkan
tes ini, penanda tertentu dalam teks dipilih dan kemudian disandingkan dengan
alternatif penanda yang diuji. Selanjutnya, dilakukan evaluasi terhadap efek dari
setiap substitusi untuk mengetahui bagaimana hal ini dapat memengaruhi rasa
yang ditimbulkan oleh tanda tersebut. Sehubungan dengan hal itu Barthes
(1967:19-20) menyatakan bahwa pengaruh substitusi makna dapat membantu
untuk mengetahui kontribusi dari penanda asli dan juga untuk mengidentifikasi
unit-unit sintagmatik.
93
Perangkat analisis yang lain, yaitu oposisi atau pertentangan, dilandasi
oleh pemahaman bahwa binerisme atau kebineran adalah penting karena tanpanya
menurut Jakobson (1973:321) struktur bahasa akan hilang. Hal ini sejalan dengan
fokus pembahasan Saussure tentang perbedaan antartanda dibandingkan dengan
persamaannya. Mengenai hal ini, dijelaskan lebih lanjut dalam Jakobson (1976)
bahwa unit linguistik terikat bersama-sama dengan sistem oposisi biner. Oposisi
tersebut sangat penting untuk generasi makna: makna „gelap‟ relatif terhadap
makna „terang‟; „bentuk‟dapat dibayangkan kecuali dalam kaitannya dengan 'isi'.
Namun oposisi dalam hal ini akan lebih baik dipahami sebagai kontras karena
tidak selalu terjadi perlawanan langsung (meskipun penggunaannya sering
melibatkan polarisasi). Oleh karena itu, keperbedaan dapat terjadi di antara
beberapa tipe oposisi di antaranya adalah oposisi dan antonim. Perbedaan antara
oposisi dan antonim adalah perbedaan antara oposisi digital dan analog: oposisi
digital adalah „atau‟; sedangkan oposisi analog adalah „lebih-atau-kurang‟.
Selanjutnya, dikemukakan tipe analisis kebermarkahan yang meliputi
pemahaman bahwa setiap konstituen tunggal dari sistem linguistik dibangun pada
oposisi dari dua pertentangan logis: kehadiran atribut (bermarkah) dalam
kontraposisi terhadap ketiadaan (tidak bermarkah). Konsep kebermarkahan dapat
diterapkan pada kutub oposisi paradigmatik karena tanda yang berpasangan terdiri
atas bentuk „bermarkah‟ dan „tidak bermarkah‟. Penanda yang bermarkah
dicirikan oleh beberapa fitur semiotik khusus yang berhubungan dengan fitur
formal dan fungsi generik. Markah formal ditandai dengan oposisi secara
morfologis atau kehadiran ataupun ketidakhadiran dari fitur formal (misalnya,
bentuk bermarkah „unhappy‟ dibentuk dengan menambahkan prefiks un- terhadap
94
penanda tak bermarkah „happy‟). Di lain sisi, markah distribusi ditandai oleh
kecenderungan bahwa bentuk yang bermarkah adalah lebih terbatas pada kisaran
konteks tempat tanda itu muncul.
Perangkat yang terakhir dari analisis paradigmatik adalah penjajaran
(alignment) yang turut dikemukakan oleh Roman Jakobson melalui formulasi
alternatif oksimorni di antaranya adalah sinkronis permanen dinamis (Jakobson,
1981:64). Gagasan ini berupaya melemahkan dikotomi tegas Saussure dengan
menyatakan bahwa oposisi atau pertentangan bersifat tidak tetap dan struktur
dapat berubah. Sejalan dengan hal ini, Levi-Strauss (1962/1974:161) menyatakan
bahwa oposisi biner adalah contoh yang paling sederhana dari sebuah sistem,
namun kemudian terjadi agregasi pada kedua kutub sehingga menghasilkan
hubungan oposisi, korelasi, dan analogi.
Berikut adalah formulasi perangkat analsis paradigmatik dalam bentuk
tabel sehingga lebih mudah untuk dipahami:
Tabel 2.6. Formulasi Perangkat Analisis Paradigmatik
Tipe Analisis Pemahaman/Definisi Ketentuan
Uji penggantian Menentukan signifikansi penanda Menyandingkan penanda
Mengevaluasi efek substitusi
guna mengetahui signifikansi
penanda
Oposisi biner Memanfaatkan binerisme untuk
mengungkap makna Menyandingkan penanda biner
Menentukan dan mengevaluasi
jenis oposisi yang terdiri atas
oposisi (digital: „atau‟) dan
antonim (analog: „lebih-atau-
kurang)
Kebermarkahan
Sistem linguistik dibangun pada
oposisi dari dua pertentangan logis:
kehadiran atribut (bermarkah)
dalam kontraposisi terhadap
ketiadaan (tidak bermarkah)
Menyandingkan penanda
bermarkah dan tak bermarkah
Markah terdiri atas markah
formal dan markah distributif
Penjajaran Oposisi bersifat tidak tetap
karenanya analisis paradigmatik
bisa dilakukan berdasarkan korelasi
dan analogi
Menyandingkan dan
menganalisis penanda tidak
hanya berdasarkan oposisi,
tetapi juga korelasi dan analogi
(Sumber: Chandler, 2007)
95
Di lain sisi, analisis sintagmatis dari teks, baik verbal maupun nonverbal,
melibatkan analisis terhadap struktur dan relasi antara bagian-bagiannya. Ahli
semiotik strukturalis berupaya untuk mengidentifikasi segmen konstituen dasar
dalam teks, yaitu sintagma-nya. Studi tentang hubungan sintagmatik
mengungkapkan konvensi teks. Penggunaan struktur sintagmatik tertentu dalam
teks memberi pengaruh terhadap makna. Beberapa perangkat analisis sintagmatis
di antaranya adalah hubungan spasial (spatial relations), hubungan berurutan
(sequential relation) dan reduksi struktural (structural reduction).
Berdasarkan pandangan Chandler (2007:111), hubungan spasial mencakup
beberapa jenis relasi antar tanda termasuk di dalamnya adalah:
(i) atas/bawah;
(ii) depan/belakang;
(iii) dekat/jauh;
(iv) kiri/kanan;
(v) utara/selatan/timur/barat;
(vi) dalam/luar (pusat/pinggir)
Ditegaskan pula bahwa dimensi struktural semacam ini secara semantis tidak
bersifat netral karena masih sangat tergantung pada budaya setempat.
Sehubungan dengan hal ini George Lakoff dan Mark Johnson telah
memperlihatkan bagaimana metafora orientasional secara kontinyu terkait dengan
konsep-konsep kunci dalam budaya. Salah satu contoh adalah hubungan pusat
pinggir yang mengandung pemahaman bahwa sesuatu yang dinyatakan sebagai
pusat adalah berperan sebagai inti informasi yang mana seluruh elemen yang ada
di sekitarnya terikat padanya.
96
Selanjutnya pada dimensi hubungan berurutan (sequential relations) yang
juga dikenal dengan hubungan naratif terdapat awal dan akhir atau „rantai‟
peristiwa yang mengarah pada awal, pertengahan, dan akhir sebuah kisah.
Rangkaian peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan plot, yaitu peristiwa yang
terjadi di awal menyebabkan kejadian di pertengahan, dan peristiwa yang terjadi
di pertengahan menimbulkan peristiwa di bagian akhir (Chandler, 2007:1114).
Sejalan dengan gagasan ini, Bruner (1990:45) menyatakan bahwa narasi
membantu untuk membuat sesuatu yang terkesan aneh menjadi sebuah kewajaran
dan juga menjadikannya terstruktur, dapat diprediksi dan juga menimbulkan
koherensi. Pada dasarnya, narasi merupakan fitur mendasar dari dorongan
manusia untuk membuat makna.
Perangkat yang terakhir adalah reduksi struktural (structural reduction)
yang merupakan tipe analisis yang berupaya untuk mencari pola struktural yang
mendasari kesamaan antarnarasi meskipun pada mulanya tampak sangat berbeda.
Penentuan pola struktural dilakukan berdasarkan pada “fungsi” yang dipahami
sebagai tindakan karakter yang didasarkan atas pertimbangan pentingnya hal itu
untuk jalannya aksi. Atau, dengan kata lain, fungsi adalah unit dasar dari
aksi/tindakan dalam sebuah narasi sehingga fokus analisis adalah tentang
bagaimana teks itu dan bukan apa teks itu. Barthes (1973:3) mengkritisi tipe
analisis ini dengan mengatakan bahwa penentuan pola stuktural mencoba untuk
melihat bahwa semua kisah yang ada di dunia ini memiliki struktur yang sama
sehingga teks kehilangan unsur keanekaragamannya. Sementara itu, di lain sisi,
perbedaan adalah apa yang mengidentifikasi, baik tanda maupun teks.
97
Sehubungan dengan itu, perangkat reduksi struktural tidak akan diterapkan dalam
analisi penerjemahan simbol pada Kitab Wahyu.
Berikut adalah formulasi perangkat analisis sintagmatik dalam bentuk
tabel sehingga lebih mudah untuk dipahami:
Tabel 2.7. Formulasi Perangkat Analisis Sintagmatik
Tipe Analisis Pemahaman/Definisi Ketentuan
Hubungan
spasial
Tipe relasi hubungan spasial
terdiri atas:
atas/bawah;
depan/belakang;
dekat/jauh;
kiri/kanan;
utara/selatan/timur/barat;
dalam/luar
(pusat/pinggir)
Memformasikan/memetakan
penanda berdasarkan tipe
relasi spasial
Hubungan
berurutan
Jenis hubungan naratif yang
terdapat di awal dan akhir
atau „rantai‟ peristiwa yang
mengarah pada awal,
pertengahan, dan akhir
sebuah kisah
Memformasikan/memetakan
penanda berdasarkan tipe
relasi naratif
(Sumber: Chandler, 2007)
2.3.4.6 Kode
Seperti telah disinggung di atas, kode memegang peranan yang sangat
penting dalam analisis semiotik. Saussure (dalam Chandler, 2002) menegaskan
bahwa tanda-tanda hanya akan bermakna dan memiliki nilai ketika ditafsirkan
dalam hubungan satu sama lain. Ketidaktentuan relasi antara penanda dan petanda
menjadi dasar bagi pentingnya pemahaman terhadap konvensi atau kode yang
98
digunakan untuk mengomunikasikan makna karena makna tanda tergantung pada
kode tempat tanda itu terletak. Lebih jauh, diungkapkan oleh Saussure (dalam
Chandler, 2002) bahwa kode tidak hanya merupakan “konvensi” komunikasi,
tetapi lebih merupakan sistem prosedural dari konvensi yang saling berkaitan
yang beroperasi pada domain tertentu dibedakan oleh koherensinya,
homogenitasnya dan kesistematisannya dalam keberagaman pesan dalam sebuah
teks. Jadi, kode adalah kerangka interpretatif yang digunakan oleh produsen dan
interpreter teks. Dalam kaitan dengan hal ini, penggolongan tanda dalam kode
yang sama ialah dalam rangka untuk membatasi berbagai kemungkinan makna
yang dalam hal ini kode berfungsi untuk membantu dalam menyederhanakan
fenomena sehingga lebih mudah untuk mengomunikasikan pengalaman (Turner,
1992:17).
Para ahli semiotik membagi kode ke dalam beberapa kelompok biasanya
berdasarkan pada prinsip parsimoni atau kesederhanaan dan tujuan. Namun, pada
kenyataannya berbagai macam kode itu tumpang tindih dan analisis semiotik teks
atau praktis dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kode dan hubungan
di antara kode yang satu dan kode lainnya. Ada tiga jenis taksonomi kode, seperti
yang diungkapkan oleh Chandler (2002:149), yaitu kode sosial, kode tekstual, dan
kode interpretatif. Ketiga jenis kode tersebut secara umum memiliki keterkaitan
dengan tiga jenis utama pengetahuan yang diperlukan oleh penafsir teks, yaitu
pengetahuan tentang dunia (kode sosial), pengetahuan tentang media dan genre
(kode tekstual), dan pengetahuan tentang hubungan keduanya (penghakiman
modalitas).
99
Kode persepsi dilandasi oleh prinsip-prinsip universal (atau yang sering
disebut “hukum”) tentang organisasi persepsi yang dicetuskan oleh para psikolog
Gestalt yang menjelaskan bagaimana seseorang menata sensasi menjadi suatu
bentuk persepsi. Prinsp-prinsip itu di antaranya adalah:
(a) proximity: fitur yang saling berdekatan dianggap memiliki
keterkaitan satu sama lain;
(b) similarity: fitur yang memiliki kesamaan dianggap memiliki
keterkaitan satu sama lain;
(c) good continuity: kontur yang dilandasi oleh kesinambungan pola
menjadi landasan untuk perubahan arah;
(d) Closure atau good form: interpreatasi berdasarkan pada bentuk yang
sempurna;
(e) Smallness: area yang lebih kecil cenderung dilihat sebagai figur
dibandingkan dengan yang lebih luas;
(f) Symmetry: area yang simetris cenderung dilihat sebagai figur
dibandingkan dengan latar belakang yang asimetris.
Prinsip-prinsip tersebut di atas yang melandasi kode persepsi dapat
dijadikan sebagai tumpuan untuk menentukan kode yang mengatur
koherensi, homogenitas, dan kesistematisan tanda dalam sebuah teks.
Dasar pertimbangan pemanfaatan prinsip-prinsip yang dicetuskan oleh
psikolog Gestalt adalah universitalitasnya dan kesederhanaan serta
stabilitasnya, seperti yang diungkapkan oleh Chandler (2007:152):
“all of these principles of perceptual organization sereve the
overarching principle of prägnanz, which is that the simplest and
most stable interpretations are favoured”.
100
2.3.4.7 Analisis semiotik dalam penerjemahan Alkitab
Cobley dan Jansz (1998:25) menegaskan bahwa jika konsep tanda dari
Saussure mementingkan penggabungan satu tanda dengan tanda lainnya untuk
mengambil bagian dalam aliran makna maka semiotik versi Peirce mempercayai
bahwa konsep penandaan memiliki dinamisme built-in. Yang dimaksud dengan
konsep dinamisme ini adalah bahwa interpretan dalam triadik tanda berfungsi
sebagai tanda lebih lanjut atau tanda dalam pikiran. Dalam hal ini, melalui
perannya sebagai penafsir, interpretan mampu membuat asumsi tentang tanda
baru atau representamen. Peristiwa ini menempatkan interpretan dalam sebuah
hubungan dengan objek selanjutnya yang kemudian mengharuskan interpretan
yang sudah ditransformasi menjadi tanda baru dan memiliki hubungan dengan
objek baru memunculkan interpretan baru dan demikian selanjutnya.
Mengacu pada hal tersebut di atas, dalam semiotik versi Peirce, interpretan
memiliki peran yang sangat penting dalam pemaknaan tanda. Gagasan ini berbeda
dengan konsep yang ditawarkan oleh Saussure yang justru mementingkan
penggabungan satu tanda dengan tanda lainnya untuk mengambil bagian dalam
aliran makna. Sehubungan dengan hal ini, Chandler (2007:4) juga
mengungkapkan fakta lain tentang penekanan semiotik versi Peirce dan versi
Saussure dengan menyatakan bahwa Peirce lebih memfokuskan pembahasannya
pada taksonomi logis tentang tipe tanda, dan di sisi lain, teori yang dikemukakan
oleh Saussure merupakan titik awal untuk pengembangan berbagai metodologi
strukturalis untuk menganalisis teks dan praktik sosial.
Di lain sisi, fakta yang terungkap tentang Alkitab adalah bahwa pedoman
kerohanian umat Kristiani ini merupakan kepustakaan yang terdiri atas 66 buku,
101
yaitu 39 buku Perjanjian Lama dan 27 buku Perjanjian Baru, dan Kitab Wahyu
adalah kitab terakhir di dalam Perjanjian Baru. Akan tetapi, uniknya, keseluruhan
kitab merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain.
Demikian pula terkait dengan hal itu, Fruchtenbaum (2007:2) mengungkap bahwa
semua simbol yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dijelaskan di tempat lain, baik
di bagian yang berbeda dari Kitab Wahyu maupun di beberapa bagian lain dari
Alkitab. Jadi, Alkitab sendirilah yang akan menjelaskan makna simbol, baik
dengan pernyataan langsung maupun melalui perbandingan penggunaan simbol
lain, di dalam kitab suci. Mengenai hal ini ditegaskan bahwa makna simbol tidak
akan ditentukan berdasarkan pada spekulasi.
Mengacu pada perbandingan konsep tanda versi Saussure dan versi Peirce
dan juga kesatuan unit-unit yang terdapat dalam Alkitab maka penelitian ini
menerapkan kedua teori itu untuk mengungkap tipe dan makna simbol-simbol
yang terdapat pada salah satu bagian Alkitab, yaitu Kitab Wahyu. Setelah proses
penentuan dan pengelompokan maka simbol-simbol akan disusun berdasarkan
kode yang menggambarkan posisi dan seleksi terhadapnya dalam konteks tertentu.
Langkah pertama dari analisis ini ialah untuk menemukan dan
menggambarkan frekuensi penggunaan simbol yang sama dalam kode tertentu
dari kemunculannya. Langkah kedua adalah analisis sintagmatik, yang mencoba
untuk menggambarkan hubungan simbol dengan tanda-tanda penting lainnya
dalam kode yang sama. Hal ini menggambarkan dan menjelaskan bidang
semantik karena simbol yang digunakan mengungkapkan aturan dan konvensi
yang mendasari produksi dan interpretasi teks. Analisis sintagmatik mempelajari
struktur tata bahasa atau permukaan teks. Langkah ketiga adalah analisis
102
paradigmatik yang mempelajari simbol berdasarkan pada arti dan referensinya
sebagai tanda, sudah dikenal dan digunakan dalam literatur sebelumnya serta
kontemporer untuk teks. Analisis paradigmatik memanfaatkan kamus,
ensiklopedia, komentar, dan upaya untuk menemukan makna secara umum.
Mengenai hal ini, Locker (2003) menekankan perlu mengingat gagasan Ludwig
Wittgenstein tentang language game bahwa bahasa dan tanda-tandanya memiliki
makna hanya karena terus digunakan secara kontekstual. Jadi, tanda-tanda yang
digunakan dalam konteks baru, sebagian memanfaatkan makna tanda-tanda itu
sebelumnya.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian menggabarkan kajian penerjemahan simbol-simbol
verbal religi dari bahasa Inggris (atau Yunani) ke bahasa Indonesia dilakukan
berdasarkan masalah penelitian yang diajukan meliputi tipe simbol, makna simbol
serta proses transfer dari TSu ke TSa yang mencakup ideologi, prosedur/teknk
penerjemahan serta kesepadanan.
103
Gambar 2.8. Model Penelitian
Sebagai langkah awal, kategorisasi dilakukan teradap simbol-simbol
verbal religi yang terdapat pada subkorpus TSu didasarkan pada teori Peirce
mengenai hubungan tiga elemen tanda yang diformulasikan oleh Eco (1976)
untuk kemudian digolongkan sesuai dengan tipenya berdasarkan pada kategorisasi
simbol yang dikemukakan oleh Conner (1992). Langkah ini juga didukung oleh
teori mengenai kode sesuai dengan taksonomi yang dikemukakan oleh Chandler
Simbol-Simbol yang
Diterjemahkan Secara
Harfiah dalam
Kitab Wahyu
Simbol-Simbol yang
Diterjemahkan Secara
Bebas dalam
Kitab Wahyu
Data dari
Responden
Tipe-Tipe Simbol dalam
Kitab Wahyu
Proses Transfer TSu ke TSa
(Ideologi, teknik/prosedur, dan
kesepadanan)
Makna Simbol dalam
Kitab Wahyu
(Makna gramatikal,
referensial dan emotif)
Hubungn tiga elemen tanda Peirce sesuai
dengan ilustrasi Eco (1976:59).
Penggolongan tipe simbol menurut Conner
(1992:8)
Prinsip-prinsip kode menurut Chandler (2007)
Ilustrasi kernel, Nida dan Taber (1974:39).
Teori Semiotik (Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik)
Metode Mengukur Nilai Konotatif Menurut
Osgood, Suci dan Tennenbaum (Nida dan Taber,
1974:95)
Taksonomi prosedur/teknik penerjemahan
Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan
dinamis menurut Nida (1964:165)
TEMUAN EMPIRIS
TEMUAN METODOLOGIS
TEMUAN TEORETIS
104
(2002) yang dalam hal ini adalah prinsip-prinsip yang melandasi kode persepsi
untuk mengatur koherensi, homogenitas dan kesistematisan tanda dalam sebuah
teks.
Selanjutnya adalah proses analisis terhadap makna simbol sesuai dengan
kategorinya masing-masing berdasarkan pada tiga dimensi makna yang
dikemukakan oleh Nida (1964:57) yaitu makna linguistik, makna referensial, dan
makna emotif. Pencarian makna linguistik atau gramatikal dilakukan berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1974:39) mengenai ilustrasi kernel
terhadap satuan lingual simbol baik berupa kata, frasa, maupun klausa. Tahap
berikutnya adalah analisis terhadap makna referensial dengan memanfaatkan teori
semiotik yaitu dengan mengamati pola relasi antar tanda dengan menyusun
perangkat analisis sintagmatik dan paradigmatik sesuai dengan pemaparan teori
oleh Chandler (2007). Pencarian makna selanjutnya adalah pada dimensi emotif
melalui pemanfaatan matriks berskala satu sampai 10 seperti yang dicetuskan oleh
Osgood, Suci dan Tannenbaum dalam Nida dan Taber (1974). Sumber data untuk
makna linguistik dan referensial diambil dari data primer, sedangkan sumber data
untuk makna emotif diambil dari sumber data sekunder.
Mengacu pada hasil analisis makna, proses selanjutnya adalah analisis
yang menyangkut proses transfer dari TSu ke TSa yang meliputi ideologi, strategi
penerjemahan yang terdiri dari metode dan prosedur/teknik serta kesepadanan
baik formal untuk terjemahan harfiah dan dinamis untuk penerjemahan bebas.
Penjelasan mengenai ideologi dalam penerjemahan Alkitab khususnya simbol
yang terdapat pada kitab Wahyu dijelaskan berdasarkan beberapa pandangan
teoretis seperti yang dikemukakan oleh Bassnett dan Lefevere (1992), Nord dalam
105
Yan (2005) serta Venuti (1995). Sehubungan dengan strategi penerjemahan yang
meliputi metode dan prosedur/teknik penerjemahan dianalisis berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Newmark (1988) serta Molina dan Albir (2002). Khusus
mengenai prosedur/teknik penerjemahan, dianalisis berdasarkan pada taksonomi
yang khusus diformulasi dalam penelitian ini sesuai dengan klasifikasi yang
dikemukakan oleh Molina dan Albir (2005) dengan memanfaatkan alur pikiran
Vinay dan Dalbernet (1958).
Proses terakhir adalah analisis pada tataran kesepadanan antara TSu dan
TSa yang dilakukan dengan memanfaatkan hasil analisis yang dilakukan
sebelumnya baik secara makna dan proses transfer sesuai dengan teori
kesepadanan yang dikemukakan oleh Nida (1964) menyangkut prinsip-prinsip
kesepadanan formal dan dinamis. Kesepadanan yang pertama diterapkan pada
produk harfiah sedangkan yang berikutnya diterapkan pada produk terjemahan
bebas.
Penjabaran Model Penelitian:
= Hubungan simetris antara variabel-variabel dalam
kedudukan yang sejajar yang tidak saling
memengaruhi satu dengan yang lain.
= Hubungan kausal (saling memengaruhi) antara
fokus masalah penelitian dengan teori yang
digunakan untuk menganalisis masalah.
= Hubungan kausal (sebab akibat) antara fokus
permasalahan yang satu dengan yang lain dan antara
teori yang satu dengan yang lain.