bab ii kajian pustaka ii.1. ekositem mangrove dan … · ekosistem ini berada di sepanjang garis...

30
Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan Kerusakannya Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem pembentuk daerah pesisir. Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas pasang dan surut. Diperkirakan sekarang ini ada sekitar 180.000 km 2 hutan mangrove di dunia yang tersebar cukup luas mulai dari daerah tropis sampai wilayah sub tropis. (Spalding, et.al. 1997 dalam Macintosh dan Ashton, 2003). Ekosistem mangrove biasanya ditemui pada kondisi tanah yang berkadar air tanah yang tinggi, oksigen rendah dan mengandung kadar humus yang tinggi (Macnae, 1968 dalam Hussain, 1995). Jenis tanah alluvial dan tanah berlumpur adalah daerah yang disenangi oleh mangrove untuk tumbuh. Vegetasi pembentuk mangrove juga menginginkan daerah dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Sayangnya sistem perakarannya yang dangkal membuatnya rentan diterpa angin kuat dan memerlukan habitat yang terlindung untuk tumbuh optimal. Oleh karena itulah maka menurut Wibisono (2005) mangrove dapat tumbuh dengan baik di sekitar muara sungai, pantai karang, teluk yang tenang dan pulau-pulau yang berada di dalam teluk tersebut. Ada beberapa jenis vegetasi ekosistem magrove yang dikenal di Indonesia antara lain seperti : Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Vegetasi pembentuk ekosistem ini mampu beradaptasi pada kondisi tanah yang miskin oksigen. Namun pertumbuhan mereka sangat tergantung pada tingkat salinitas air. Oleh karena itu biasanya setiap tanaman tersebut memiliki zonasi sendiri pada wilayah pesisir. Sementara itu pasokan makanan dapat diperoleh baik dari air asin maupun air tawar ditambah dengan endapan debu hasil erosi air sungai. 24

Upload: doantruc

Post on 25-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan Kerusakannya

Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem pembentuk daerah pesisir.

Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas

pasang dan surut. Diperkirakan sekarang ini ada sekitar 180.000 km2 hutan

mangrove di dunia yang tersebar cukup luas mulai dari daerah tropis sampai

wilayah sub tropis. (Spalding, et.al. 1997 dalam Macintosh dan Ashton,

2003). Ekosistem mangrove biasanya ditemui pada kondisi tanah yang

berkadar air tanah yang tinggi, oksigen rendah dan mengandung kadar

humus yang tinggi (Macnae, 1968 dalam Hussain, 1995). Jenis tanah

alluvial dan tanah berlumpur adalah daerah yang disenangi oleh mangrove

untuk tumbuh. Vegetasi pembentuk mangrove juga menginginkan daerah

dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Sayangnya sistem

perakarannya yang dangkal membuatnya rentan diterpa angin kuat dan

memerlukan habitat yang terlindung untuk tumbuh optimal. Oleh karena

itulah maka menurut Wibisono (2005) mangrove dapat tumbuh dengan baik

di sekitar muara sungai, pantai karang, teluk yang tenang dan pulau-pulau

yang berada di dalam teluk tersebut.

Ada beberapa jenis vegetasi ekosistem magrove yang dikenal di Indonesia

antara lain seperti : Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), Pedada

(Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Vegetasi pembentuk ekosistem ini

mampu beradaptasi pada kondisi tanah yang miskin oksigen. Namun

pertumbuhan mereka sangat tergantung pada tingkat salinitas air. Oleh

karena itu biasanya setiap tanaman tersebut memiliki zonasi sendiri pada

wilayah pesisir. Sementara itu pasokan makanan dapat diperoleh baik dari

air asin maupun air tawar ditambah dengan endapan debu hasil erosi air

sungai.

24

Page 2: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Ekosistem mangrove dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelas yang

bervariasi tergantung pada lokasi di mana ekosistem ini berkembang.

Menurut Soemodihardjo et al (1986) ekosistem hutan mangrove di Indonesia

dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas yaitu : 1) delta, terdapat di muara

sungai dengan frekuensi pasang surut yang rendah, 2) dataran lumpur,

terdapat di pinggiran pantai, 3) dataran pulau, berbentuk pulau kecil yang

dapat muncul ke permukaan air apabila air surut rendah dan, 4) dataran

pantai, berbentuk jalur sempit memanjang sejajar garis pantai (dalam

Dahuri, 2003). Untuk Propinsi Kalimantan Barat sendiri, berdasarkan

Laporan Akhir Review Pemanfaatan Kawasan Hutan Bakau yang disusun

oleh Bappeda Propinsi Kalimantan Barat sebagian besar hutan mangrove

yang ada berbentuk delta dan dataran lumpur yang tersebar di empat

kabupaten yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak dan Ketapang.

Berbicara tentang ekosistem mangrove adalah berbicara tentang suatu

ekosistem hutan hujan tropis yang khas. Kekhasannya dikarenakan pertama,

lokasi di mana ekosistem ini tumbuh dan berkembang. Ekosistem mangrove

berada di wilayah pesisir di mana terjadi peralihan habitat darat dan laut

(Wibisono, 2005). Dengan posisi seperti itu ekosistem ini akan mengalami

fluktuasi perubahan lingkungan seperti pasang surut air laut, intrusi air asin,

gelombang air laut, kekuatan angin, tumbukan dan sedimentasi yang cukup

besar. Hal inilah yang mencirikan perbedaan ekosistem mangrove dengan

ekosistem hutan hujan tropis yang lain di mana perubahan lingkungan

habitatnya lebih kecil dibandingkan dengan ekosistem mangrove .

Hal yang kedua adalah keterkaitannya yang erat dengan segala aktivitas

yang terjadi baik di darat maupun di laut. Kegiatan pertanian terestrial dan

transportasi laut misalnya, dapat memberikan dampak pada ekosistem

mangrove. Polusi, buangan dan limbah yang dihasilkan akan terbawa oleh

aliran air sungai dan pasang surut air laut yang akhirnya terkumpul di daerah

pesisir di mana ekosistem mangrove beserta ekosistem pesisir lainnya

25

Page 3: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

berada. Gambar II.1 memperlihatkan bagaimana aktivitas tersebut di atas

dapat mempengaruhi ekosistem mangrove terutama berkaitan dengan

kualitas air. Kondisi seperti ini tentu tidak akan dialami oleh ekosistem

hutan hujan tropis yang murni berada di darat di mana aktivitas di laut atau

daerah pesisir mungkin akan sedikit sekali berpengaruh terhadap

kehidupannya.

Karakteristik ekosistem mangrove yang lain adalah bentuk akarnya. Jenis-

jenis tumbuhan pembentuk ekosistem ini seperti Bakau (Rhizophora), Api-

api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera) biasanya

memiliki system perakaran yang berbeda dengan perakaran pada ekosistem

hutan hujan tropis daratan. Mereka memiliki akar-akar yang khas seperti

akar nafas (pneumatophora), akar lutut, akar papan, atau akar tunjang

(Onrizal, 2006). Ini merupakan bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungan

yang sering terendam oleh air asin dan air tawar. Dengan adaptasi seperti ini

ekosistem mangrove dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang sulit, di

mana menurut Hussain (1995), tidak semua tumbuhan dapat melakukannya

seperti pada tanah yang miskin oksigen, berlumpur, berpasir, bahkan pada

terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan vegetasi pembentuk

ekosistem mangrove sebagai salah satu plasma nutfah berharga yang penting

untuk terus dilestarikan.

Di samping karakteristiknya yang unik, ekosistem mangrove juga memiliki

arti penting bagi manusia dan makhluk hidup yang lain. Masyarakat di

daerah pesisir telah lama memanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan,

bahan bakar (arang kayu) dan pulp (industri kertas). Ekosistem ini juga

dapat menghasilkan gula (dari pohon nypa), madu, bahan tekstil dan obat-

obatan. Berbagai biota laut seperti ikan, udang dan kepiting memanfaatkan

mangrove sebagai tempat berkembangbiak dan mencari makanan. Sehingga

tidak mengherankan jika Nguyen Huu Nghia (tanpa tahun) mengatakan

bahwa 90% produk perikanan berasal dari sini.

26

Page 4: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Pertanian, pertambangan,

pembukaan hutan

Peningkatan laju erosi, limpasan air permukaan, banjir

Aliran sungai

Erosi, pendangkalan, kekeruhan

Teluk/Pesisir

Air tawar, perbandingan air asin, suplai nutrient, erosi, temperatur

Mangrove Air tawar, perbandingan air asin, suplai nutrient, erosi, temperatur

Padang Lamun

Terumbu Karang

Kecerahan air, masukan sediment

ke dalam air, suplai nutrient, salinitas, sirkulasi air

Kecerahan air, masukan sediment ke dalam air, suplai nutrient,

salinitas, sirkulasi air Pertambangan lepas pantai, polusi laut, transportasi laut

Gambar II.1. Pengaruh aktivitas di darat dan laut terhadap ekosistem

mangrove dan ekosistem lainnya di wilayah pesisir (Modifikasi dari Bengen, 2002).

Selain itu ekosistem ini juga dijadikan tempat menetap dan bermigrasi bagi

beberapa jenis unggas dan mamalia. Sebagai illustrasi, di kawasan mangrove

Batu Ampar Kalimantan Barat, sedikitnya ada 40 jenis unggas yang

memanfaatkan mangrove sebagai tempat tinggal, persinggahan dan mencari

makan di samping satwa liar yang hampir punah seperti bekantan, kera ekor

panjang dan rusa (Santoso,et.al,1998). Oleh karena itu cukup tepat bila

dikatakan bahwa ekosistem ini adalah salah satu pusat keanekaragaman

hayati dunia yang kaya akan plasma nutfah dengan 397 jenis ikan, 259 jenis

27

Page 5: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

kepiting, 256 jenis moluska, 450 jenis serangga, dan lebih dari 250 jenis

hewan lain yang berasosiasi dengannya (Upadhyay et. al. , 2002).

Ekosistem mangrove dikenal pula sebagai penyedia jasa lingkungan yang

bernilai tinggi. Mangrove dapat menahan laju abrasi pantai dan intrusi air

laut (Wibisono, 2005). Hilangnya ekosistem mangrove di sepanjang pantai

Kalimantan Barat telah menyebabkan abrasi sejauh lebih dari 13 km. Intrusi

air laut di daratan Jakarta sejauh 12 km (Firman dan Darmapatni,1995)

ditengarai juga diakibatkan oleh menurunnya kawasan mangrove di

sepanjang pantai Jakarta selama 30 tahun terakhir (Dinas Tata Kota

Jakarta,1995).

Keberadaan ekosisem ini juga dapat meredam gelombang dan angin. Hutan

mangrove dengan ketebalan 60 meter sampai 75 meter dari pinggir pantai

ternyata mampu mengurangi ketinggian gelombang laut sekitar 3,5 meter

(Pratikto dalam Bappeda Propinsi Kalimantan Barat, 2005). Peristiwa

bencana alam gelombang pasang tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004

adalah bukti nyata hal tersebut. Hasil analisa pasca bencana menunjukkan

bahwa daerah-daerah yang memiliki pantai yang terlindung dengan hutan

mangrove mengalami kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan

daerah pantai yang miskin mangrove sebagaimana dijumpai di pantai utara

Nias dan beberapa pesisir barat pantai Aceh Selatan (Onrizal, 2005; WI-IP,

2005; dalam Onrizal, 2006).

Manfaat penting lainnya dari ekosistem ini adalah sebagai penyeimbang

ekosistem darat, laut dan udara. Ekosistem mangrove dapat membantu

pembentukan daratan baru dari hasil sedimentasi lumpur yang dibawa oleh

aliran air sungai. Dengan kemampuannya mengikat zat pencemar maka

mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter alami (Gunarto,2004) yang dapat

menetralkan dan menjernihkan kawasan perairan pesisir. Penelitian yang

dilakukan oleh Rivera-Monroy et.al.(1999)(dalam Irianto, 2004)

28

Page 6: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

menunjukkan bahwa lahan mangrove seluas 0,04-0,12 ha dapat menetralkan

nitrogen anorganik terlarut dari 1 ha tambak. Ekosistem ini juga merupakan

penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan

lain (www.dephut.go.id.). Ini berarti bahwa ekosistem mangrove

mempunyai potensi yang besar untuk membantu mengatasi permasalahan

global warming, salah satu issue lingkungan yang hangat dibicarakan

dewasa ini yang terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas CO2 di udara.

Berkaitan dengan produktivitas, ekosistem mangrove merupakan salah satu

ekosistem yang sangat produktif, bahkan lebih produktif dari ekosistem

hutan hujan tropis yang lain (Upadhyay et.al., 2002). Dari ekosistem ini

dapat dihasilkan biomassa 62,9 – 398,8 ton/ha, guguran serasah 5,8 – 25,8

ton/ha dan riap volume 20tcal/ha/h atau 9m3/ha/th pada hutan tanaman

bakau umur 20 tahun (www.dephut.go.id). Namun dari produksi yang besar

itu tidak lebih dari 10% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan darat

pemakannya, sedangkan sisanya tinggal di dalam wilayah perairan pantai

(Odum dan Heald, 1967 dalam Noer, 2005; Heald, 1969 dalam

Supriharyono, 2000). Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan organik

hutan mangrove sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya

perikanan. Pemanfaatan hutan mangrove menjadi areal budidaya perikanan

atau akuakultur akan menguntungkan karena secara ekonomi investasi yang

ditanamkan akan cepat kembali dan sumber daya yang dikelola bernilai

komoditas ekspor yang tinggi.

Banyaknya manfaat yang dimiliki oleh ekosistem ini menunjukkan bahwa

ekosistem mangrove memiliki daya dukung yang tinggi terhadap

kelangsungan hidup manusia dan habitatnya. Hal yang disayangkan adalah

bahwa populasi hutan mangrove menunjukkan kecenderungan untuk terus

menurun. Dulu, 75% dari daerah pantai di wilayah tropis dan sub tropis

ditutupi oleh hutan mangrove (Mc Gill, 1959; Chapman, 1976; dalam Kairo

et.al.,2001). Namun sekarang hanya tersisa tidak lebih dari separuhnya,

29

Page 7: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

bahkan 50% dari yang tersisa itu juga telah mengalami kerusakan

(www.earthisland.org, 2002 dalam Upadhyay, et.al., 2002).

Secara umum kerusakan ekosistem mangrove disebabkan oleh dua faktor

yaitu faktor alam dan faktor manusia. Sebagai salah satu lapisan pelindung

terdepan daerah pesisir, ekosistem mangrove mudah rusak akibat becana

alam yang terjadi seperti gelombang pasang, angin topan, banjir dan

kenaikan muka air laut. Sementara itu faktor manusia yang menyebabkan

kerusakan mangrove berhubungan dengan kegiatan eksploitasi, konversi,

dan pengelolaan lainnya yang kurang berpihak pada kelestarian mangrove.

Tabel II.1 memperlihatkan bagaimana kecenderungan ancaman kedua faktor

ini terhadap kelestarian ekosistem mangrove.

Tabel II.1 Rangkuman Ancaman Utama Terhadap Mangrove di beberapa bagian dunia

Ancaman Asia Selatan

dan Tenggara Afrika Amerika Tengah

dan Selatan 1 2 3 4

Bencana Alam Rendah-tinggi Meningkat

Sedang Meningkat

Rendah Meningkat

Tekanan penduduk

Tinggi Meningkat

Tinggi Meningkat

Rendah-sedang Meningkat

Over eksploitasi oleh masyarakat setempat

Tinggi Meningkat

Tinggi Meningkat

Rendah Stabil-menurun

Kehutanan Tinggi Stabil

Sedang Meningkat

Rendah Stabil

Pertanian Tinggi Menurun

Tinggi Meningkat

Rendah Stabil-menurun

Akuakultur Tinggi Meningkat

Rendah Menurun

Sedang-tinggi Meningkat

Produksi garam Tinggi Menurun

Tinggi Stabil

Rendah-Sedang Menurun

Pertambangan Rendah-Sedang Menurun

Sedang Meningkat

Rendah Menurun

Perkembangan industri dan perkotaan

Tinggi Meningkat

Sedang Meningkat

Sedang-Tinggi Meningkat

30

Page 8: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

1 2 3 4

Pariwisata Rendah-Sedang Meningkat

Rendah Meningkat

Rendah-Sedang Meningkat

Pembangunan dam

Sedang-Tinggi Meningkat

Sedang-Tinggi Meningkat

Rendah-Tinggi Meningkat

Polusi pantai Sedang-Tinggi Meningkat

Sedang-Tinggi Meningkat

Sedang-Tinggi Meningkat

Kegagalan pengelolaan

Sedang-Tinggi Menurun

Tinggi Stabil

Rendah-Tinggi Stabil

Sumber: Macintosh dan Ashton, 2003.

Berdasarkan tabel tesebut diketahui bahwa tekanan penduduk merupakan

ancaman paling utama terhadap kelestarian ekosistem mangrove. Gejala

tersebut terjadi hampir di seluruh bagian dunia. Hal ini tentunya perlu

dicermati dengan serius mengingat bahwa populasi penduduk cenderung

untuk selalu meningkat. Pertambahan jumlah penduduk berarti peningkatan

kebutuhan akan permukiman dan daerah pesisir tempat ekosistem mangrove

berada merupakan lokasi yang paling mudah dikonversi untuk tujuan

tersebut. Meningkatnya populasi dan daerah permukiman akan berdampak

pada perkembangan perkotaan dan daerah industri yang dari tabel tersebut

terlihat juga berpotensi mengancam kelestarian ekosistem mangrove di

dunia.

Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, kegiatan pertambakan

atau akuakultur masih merupakan ancaman utama terhadap kerusakan

mangrove. Hal ini didukung oleh data yang diungkapkan oleh Primavera

(1998) di mana konversi mangrove menjadi lahan tambak adalah faktor

utama penyebab hilangnya ekosistem mangrove di beberapa negara

berkembang seperti di Bangladesh (6.092 ha), Srilanka (1.650 ha), Vietnam

(102.000 ha), Ecuador (21.600 ha) dan Honduras (11.515 ha).

31

Page 9: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Indonesia sendiri mengalami kerusakan mangrove akibat perkembangan

kegiatan pertambakan ini yang tidak kalah seriusnya dengan negara-negara

tetangganya. Sehingga Dahuri et.al. (1996) (dalam Dahuri, 2003)

menempatkan faktor ini pada tempat pertama penyebab penurunan populasi

hutan mangrove di Indonesia. Sampai tahun 2005 jumlah tambak di

Indonesia hampir mencapai 800.000 ha, dengan rata-rata kenaikan luasan

setiap tahunnya 14% (Damanik, 2006). Menurut Alier (2001) kegiatan

pertambakan tersebut terutama terkonsentrasi di pantai utara Pulau Jawa di

mana penebangan hutan mangrove telah terjadi sejak periode pertengahan

tahun 70-an sampai pertengahan tahun 90-an yang menyebabkan 70% area

mangrove hilang dari pulau ini (Briggs dan Smith dalam Upadhyay et.al,

2002). Yang memprihatinkan adalah lokasi tersebut sebagian besar telah

ditelantarkan karena produktivitas yang rendah dan kerusakan lingkungan.

Sementara pemerintah sendiri sepertinya kurang peka terhadap kegiatan

pertambakan yang mengancam kelestarian ekosistem mangrove ini dan

malah mengalihkan aktivitas tambak di lokasi yang masih kaya dengan

hutan mangrove seperti di Pulau Sulawesi dan Irian (Alier, 2001).

Kecenderungan menurunnya luasan hutan mangrove ini ternyata juga terjadi

di daerah lain. Suroso (2007) mengungkapkan bahwa hingga tahun 2002

penurunan luas hutan mangrove di wilayah pesisir Lampung mencapai

angka 90% (dari 20.000 ha menjadi 2.000 ha yang tersisa). Briggs dan Smith

(dalam Upadhyay et.al, 2002) menuliskan bahwa akibat kegiatan

pertambakan, hutan mangrove yang dikonversi mencapai angka 49% di

Pulau Sulawesi dan 36% di Pulau Sumatera. Sementara itu di Propinsi

Kalimantan Barat sendiri, pembangunan kolam budidaya ikan dan udang

juga merupakan ancaman paling serius terhadap kerusakan hutan mangrove

yang dewasa ini telah mencapai angka lebih dari 200.000 ha (Bappeda

Propinsi Kalimantan Barat, 2005).

32

Page 10: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Pihak yang paling merasakan dampak akibat rusaknya ekosistem ini adalah

masyarakat di daerah pesisir. Dari segi ekonomi, menurunnya luas hutan

mangrove telah menyebabkan penurunan produksi di sektor perikanan yang

berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Penghapusan sejumlah hutan

mangrove dalam skala besar telah terbukti menurunkan suplai benih udang

bagi tambak-tambak di Ekuador dan hasil tangkapan para nelayan skala

kecil di Chokoria, Bangladesh dan di Kuala muda dan Selangor, Malaysia

(Lahmann,et.l, 1987; Sultana, 1994 dan Raman, 1996 dalam Clay,

1996;dalam Primavera, 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Lamusa

(2000) di wilayah Banawa Selatan Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa

menurunnya luasan kawasan mangrove terbukti telah menurunkan

produktivitas tambak di daerah tersebut.

Dari segi fisik, terjadi peningkatan abrasi di sepanjang garis pantai dan

pendangkalan di daerah muara dan teluk. Sedangkan dari segi sosial salah

satu dampaknya adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai yang berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhan dan budaya. Seperti yang terjadi di Segara

Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, menurunnya luas hutan mangrove ternyata

tidak hanya menurunkan hasil tangkapan udang, tetapi juga menyebabkan

berpindahnya pekerjaan masyarakat setempat dari nelayan menjadi petani

karena ikan semakin susah didapat (Kompas, 19 Februari 2003). Ini berarti

akan ada perubahan nilai pada masyarakat, yang tadinya mereka

menggantungkan hidupnya pada daerah perairan sekarang harus memenuhi

kebutuhannya dengan mengandalkan daerah daratan. Jika mereka berhasil

bertahan hidup dengan nilai budaya yang baru ini maka bisa diprediksi

bahwa generasi masyarakat pesisir mendatang akan asing dengan budaya

pesisirnya. Dan bagi negara Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim,

ini merupakan sebuah langkah mundur bagi pewarisan nilai-nilai budaya.

Sehubungan dengan pengelolaan mangrove, hal yang perlu menjadi

perhatian adalah bahwa pengkonversian dan pemanfaatan mangrove

sepatutnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam

33

Page 11: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

jangka panjang, bukan sebaliknya. Pembabatan hutan mangrove secara luas

di negara ini ternyata tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan

masyarakat. Hasil dari tambak yang sebagian besar dijadikan komoditas

ekspor ternyata hanya menguntungkan pemilik modal yang sebagian besar

bukanlah masyarakat setempat (Alier, 2001). Akibatnya sebagian besar

masyarakat pesisir masih tetap berada di bawah garis kemiskinan (Down to

Earth, Agustus 2003).

Tabel II.2. Kemerosotan Hutan Mangrove dan Kemiskinan di Indonesia

Kemerosotan hutan mangrove karena tambak

0,8 juta ha (1986-1996) Wetlands International di Jakarta Post 14/Nov/02

Wilayah hutan mangrove 8,6 juta ha, 68% rusak berat

M Prakosa di Asia Pulse/Antara 15/May/03)

Hutan mangrove yang tersisa tahun 2000

sekitar 2,2 juta ha WALHI (DTE 51 Nov 2001)

Target penghasilan dari ekspor udang

6,79 M dollar tahun 2003 http://www.indoocean.com/

Komunitas pesisir yang hidup di bawah garis kemiskinan

mencapai sekitar 80% ADB in AFP

Sumber : Down To Earth, No. 58 Agustus 2003

Untuk menyelamatkan ekosistem mangrove dari kerusakan yang lebih parah

dan melindungi fungsinya sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup lain

maka pengelolaan mangrove perlu dilakukan secara arif dan tepat. Sasaran

yang ingin dicapai sebaiknya lebih diarahkan pada kesejahteraan masyarakat

di masa sekarang dan akan datang. Selain itu mengingat ekosistem ini sangat

terkait dengan kelestarian darat dan wilayah perairan, maka mengelola

mangrove secara bertanggung jawab juga akan mendukung upaya

melestarikan bumi sebagai habitat makhluk hidup seluruhnya.

II.2. Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Terjadinya kerusakan dan penurunan luas ekosistem mangrove di negara ini

mengindikasikan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini belum

34

Page 12: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

berpihak pada azas kelestarian. Padahal jika merujuk pendapat yang

dikemukakan oleh Macintosh dan Aston (2003) yang menyatakan bahwa

tujuan pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk mendukung upaya

konservasi, rehabilitasi, dan penggunaan berkelanjutan ekosistem mangrove

agar dapat memberikan keuntungan pada seluruh manusia di muka bumi ini,

maka orientasi pengelolaan mangrove seharusnya adalah kelestarian dan

bukannya kepentingan ekonomi jangka pendek yang pada akhirnya

mengancam kelestarian mangrove.

Oleh karena itu pengelolaan mangrove selanjutnya harus dikembalikan pada

tujuan awalnya. Namun untuk merealisasikan hal terebut ada beberapa

permasalahan. Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003)

permasalahan pengelolaan daerah pesisir, di mana ekosistem mangrove

berada di dalamnya, berhubungan dengan potensi konflik kepentingan,

kewenangan, tumpang tindih pengelolaaan antar sektor, keterkaitan yang

erat dengan ekosistem darat dan laut, lemahnya kerangka hukum, degradasi

lingkungan serta keterlibatan masyarakat. Selain itu terbatasnya informasi

dan teknologi serta kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir juga

merupakan masalah yang dihadapi dalam pengelolaan mangrove

berkelanjutan (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994).

Permasalahan-permasalahan di atas pada dasarnya berkaitan dengan dua hal

pokok yaitu perangkat pengelolaan mangrove dan kondisi sosial ekonomi

masyarakat khususnya di daerah pesisir dan moral para pemilik . Perangkat

yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove dapat berupa rencana tata

ruang, informasi dan teknologi serta perundang-undangan. Jika terjadi

tumpang tindih kegiatan pengelolaan mangrove ataupun eksploitasi

mangrove secara berlebihan, maka yang menjadi pertanyaan pertama kali

adalah apakah sudah ada rencana tata ruang yang jelas atau undang-undang

yang tepat untuk mengatur pengelolaan pada lokasi yang bersangkutan.

35

Page 13: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Sosialisasi dan Koordinasi kepada Masyarakat Pihak Swasta Dinas Departemen LSM

Penerapan oleh Pemerintah Masyarakat Pihak Swasta

Ketersediaan dan Kualitas dari Rencana Tata Ruang IPTEK Peraturan perundang-undangan

Gambar II.2 Permasalahan pada perangkat pengelolaan mangrove

Sebagai contoh, peraturan tentang pengelolaan kawasan lindung. Dalam

peraturan ini ditetapkan jalur hijau (green belt) adalah 130 kali rata-rata

perbedaan pasang tertinggi dan terendah, atau hanya sekitar 140 m dari garis

pantai ke arah daratan. Ini malah memacu kerusakan hutan mangrove yang

lebih parah karena tidak ada batasan yang tegas antara luas hutan mangrove

yang masih bisa ditoleransi untuk dijadikan lahan budidaya seperti areal

tambak atau pertanian yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan

pada saat ini.

Jika perangkat pengelolaan tersebut telah dibuat dengan jelas dan tepat maka

yang harus dilakukan kemudian adalah sosialisasi kepada pihak-pihak yang

terkait. Masyarakat yang tinggal di kawasan lindung, misalnya, perlu

diinformasikan bahwa daerah tempat mereka tinggal perlu dijaga

kelestariannya. Selain itu mereka juga perlu diinformasikan tentang

teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan secara lestari.

Seandainya sudah tersosialisasikan dengan baik, maka langkah berikutnya

adalah pelaksanaan rencana tata ruang yang telah dibuat tersebut secara

optimal dan penegakan hukum bagi siapa saja yang melakukan tindakan

yang berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove dan lingkungan.

36

Page 14: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Belum optimalnya pemanfaatan dan pelaksanaan tata ruang (Dirjen

Permukiman, 2001) memang sering diungkapkan sebagai salah satu masalah

dalam pengelolaan suatu kawasan. Bappeda Propinsi Kalimantan Barat

(2005) juga mengakui bahwa walaupun telah ditetapkan kawasan lindung

dan kawasan budidaya pada areal hutan di mana ekosistem mangrove adalah

bagiannya, pada prakteknya tetap saja terjadi penyimpangan. Sehingga

untuk pengelolaan mangrove di masa mendatang hal ini tentunya perlu

dibenahi.

Permasalahan kedua adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hampir

60% penduduk Indonesia berada di wilayah pesisir (Witoelar, 2003) dan

sebagian besar dari mereka berada di bawah garis kemiskinan. Dengan

kondisi seperti ini dan melihat banyaknya manfaat yang dimiliki oleh

ekosistem mangrove maka adalah sesuatu yang alamiah jika masyarakat

setempat mengekploitasinya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka

sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraannya. Namun jika eksploitasi

tersebut dilakukan secara berlebihan akan berdampak pada kerusakan

ekosistem mangrove dan lingkungan.

Over eksploitasi terhadap ekosistem mangrove yang dilakukan oleh

masyarakat setempat bukan menggambarkan bahwa mereka kurang

menyadari arti penting dari mangove dan menganggapnya hanya sebagai

lahan yang tidak bermanfaat (Lamusa, 2000; Macintosh dan Aston, 2003 ).

Pada dasarnya masyarakat menyadari bahwa keberadaan ekosistem

mangrove akan berpengaruh positif terhadap produksi perikanan mereka. Ini

didukung oleh Priyono (2007) berdasarkan pengalamannya melakukan

rehabilitasi kawasan mangrove di Teluk Awur Jepara. Masyarakat di sana

sudah menyadari bahwa jika mangrove ditebang akan terjadi abrasi pantai

atau rehabilitasi mangrove nantinya akan menyebabkan produksi perikanan

mereka melimpah.

37

Page 15: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Kendalanya adalah bahwa tekanan pemenuhan kebutuhan dan keinginan

untuk meningkatkan kesejahteraan sangat kuatnya, sedangkan informasi

pengelolaan mangrove yang diterima tidak utuh. Maka saat ada kesempatan,

kepentingan ekonomi tersebut mengalahkan kepentingan kelestarian dan

terjadilah kegiatan pengelolaan yang kurang berwawasan lingkungan seperti

kegiatan penebangan yang merusak atau pembukaan areal tambak yang

tidak ramah lingkungan.

Menyikapi hal tersebut maka pemerintah perlu mengembangkan strategi

pengelolaan yang tidak hanya mementingkan kelestarian mangrove semata

tetapi juga dapat berdampak pada peningkatan kondisi sosial ekonomi

masyarakat bahkan pada kawasan yang diperuntukkan bagi tujuan preservasi

dan konservasi sekalipun. Karena jika tidak, eksploitasi yang lebih parah

oleh masyarakat mungkin tidak terhindarkan. Penelitian yang dilakukan oleh

Mitra et.al (2006) pada kawasan konservasi suaka margasatwa Bhitarkanika

mungkin dapat menjadi pelajaran di mana terbukti bahwa penetapan areal

konservasi yang tidak memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat

malah akan berdampak pada eksploitasi mangrove yang lebih besar

dibanding sebelumnya.

Strategi yang diterapkan tersebut juga harus mampu menggali rasa memiliki

masyarakat tehadap mangrove dan meningkatkan kapasitas mereka selaku

pengelola pesisir yang trampil dan bertanggung jawab serta aktif terlibat

dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan. Seperti yang terjadi di

Philipina dan Thailand misalnya, pengelolaan mangrove yang berdasar pada

peran aktif masyarakat setempat terbukti telah berhasil melindungi hutan

mangrove dari kerusakan akibat pembangunan tambak udang, merehabilitasi

ekosistem mangrove yang rusak, melindungi masuknya perahu-perahu

penangkap ikan di perairan sekitar pantai dan melidungi keanekaragaman

jenis species dan ikan tangkapan (Midas Agronomics, 1995; Ferrer et al.,

1996 dalam Primavera, 1998). Masyarakat perlu disadarkan bahwa mereka

38

Page 16: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

memiliki peranan penting dalam melestarikan mangrove. Bahwa dukungan

mereka tidak hanya akan berdampak pada keberhasilan program yang telah

direncanakan tetapi juga peningkatan kesejahteraan mereka kini dan nanti.

Agar pengelolaan mangrove secara lestari dapat terwujud maka pemerintah,

masyarakat dan pihak swasta perlu berbenah diri dan secara bersama-sama

merencanakan suatu pengelolaan mangrove yang berkelanjutan sesuai

dengan kondisi fisik lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Dan tidak cukup hanya itu. Diperlukan juga kemauan yang kuat untuk

melaksanakan semua rencana yang telah disusun. Dua hal inilah yang

disebut oleh Suhendang (2005) masing-masing sebagai collaborative

management dan strong commitment , dua sikap utama yang menurutnya

diperlukan dalam kegiatan pengelolaan suatu kawasan hutan. Dengan

mengembangkan kedua sikap tersebut maka diharapkan permasalahan yang

ada dapat diatasi dan memudahkan jalan bagi pencapaian tujuan pengelolaan

mangrove secara berkelanjutan.

II.3. Perencanaan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan

Perencanaan adalah suatu proses yang penting karena pada tahap inilah arah

dan strategi dari suatu kegiatan ditentukan. Menurut Kay (1999) (dalam

Dartoyo, 2004) perencanaan adalah suatu proses perumusan tujuan dan

klarifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam kegiatan perencanaan ini akan dianalisa seluruh potensi sumber daya

yang ada baik alam maupun manusia. Juga diperhitungkan keterbatasan-

keterbatasan yang dapat menghambat kegiatan pengelolaan seperti

ketersediaan dana,waktu, serta kemungkinan terjadinya bencana alam yang

tidak dapat terelakkan. Berdasarkan analisa dan pertimbangan tersebut dapat

dipilih tindakan dan strategi yang paling tepat untuk mencapai tujuan

pengelolaan yang telah ditentukan.

39

Page 17: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir kegiatan perencanaan

merupakan tahapan pertama yang harus dilakukan sebagaimana disebutkan

di dalam Pokok-pokok Pikiran Rancangan Undang-undang Pengelolaan

Wilayah Pesisir tahun 2005 yang disusun oleh Departemen Kelautan dan

Perikanan yaitu :

Pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir secara berkelanjutan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan antara sektor dan antar pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan Perencanaan pengelolaan, mengutip dari Stroud (2003),

diperlukan untuk memastikan bahwa pengelolaan suatu kawasan apakah itu

untuk kawasan konservasi maupun untuk kepentingan lainnya berada dalam

suatu kerangka pemikiran yang logis, dapat dipertanggungjawabkan dan

berkesinambungan sehingga tercipta suatu konsistensi kegiatan pengelolaan

dari waktu ke waktu dan pengelolaan dapat diarahkan untuk hasil yang

maksimal.

Menurut Vantomme (1995) suatu perencanaan pengelolaan mangrove perlu

memperhatikan hal-hal berikut: 1) perencanaan harus berorientasi pada

tujuan; 2) rencana yang dibuat diusahakan untuk kepentingan jangka

panjang guna menghasilkan produksi yang maksimal bagi kepentingan

masyarakat seluas mungkin; 3) daya dukung ekologi adalah hal yang harus

diperhitungkan dengan menitikberatkan pada kelestarian sumber daya alam;

4) perlu diidentifikasi keberpihakan pada keanekaragaman jenis dan

konservasi sumberdaya alam; 5) perencanaan merupakan proses dinamis

yang terus berlanjut; 6) perbaikan dalam pengumpulan data perlu dilakukan

untuk mengantisipasi ketidakpastian akibat informasi yang tidak lengkap; 7)

dalam mengambil keputusan harus dilakukan secara terbuka dan adil; 8)

hak-hak masyarakat setempat terhadap hutan sebisa mungkin tetap

40

Page 18: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

dihormati; dan 9) fungsi dan tanggung jawab perencanaan mulai dari tingkat

lokal hingga nasional harus jelas dan dilaksanakan.

Rencana pengelolaan merupakan bagian dari serangkaian proses penyusunan

strategi pengelolaan wilayah pesisir yang dimulai dari perumusan visi, misi,

tujuan dan sasaran, perencanaan zonasi, rencana pengelolaan dan terakhir

rencana pelaksanaan atau rencana tindak.

Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir

(Visi, Misi, Tujuan Dan Sasaran) 1.

Rencana Zonasi (Alokasi Spasial Dan Pengendalian

Pemanfaatan)

Rencana Pengelolaan (Panduan Daerah Prioritas

Dan Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove)

Rencana Tindak

(Pelaksanaan Kegiatan/ Program)

Gambar II.3. Tahapan dan Keterkaitan Proses Perencanaan (Sumber Djunedi, 1997 dalam Nugroho et. Al., 2001)

Sebagai panduan dalam menetapkan tujuan dan agar strategi yang dipilih

dapat membantu pencapaian tujuan maka dalam proses perencanaan salah

satu prinsip yang harus diperhatikan adalah prinsip keberlanjutan. Menurut

Suhendang (2005) prinsip keberlanjutan mengisyaratkan bahwa pengelolaan

mangrove perlu dilakukan secara bijak sehingga potensi, fungsi dan

manfaatnya dapat dirasakan tidak hanya oleh generasi sekarang tetapi juga

generasi mendatang. Sedangkan menurut Dartoyo (2004) ada tiga hal yang

perlu diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan :

41

Page 19: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

1. bahwa instrumen ekonomi lingkungan menjadi lebih menonjol dalam

melakukan analisa suatu kegiatan pengelolaan;

2. issue lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi

perhatian utama dalam pengambilan keputusan;

3. bahwa kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi sangat

diperhatikan sebelum kegiatan pengelolaan ditentukan

Namun yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa prinsip berkelanjutan

itu mengandung arti yang luas, tidak hanya aspek lingkungan atau ekologi

yang ditekankan, suatu perencanaan kegiatan pengelolaan juga harus

memenuhi beberapa aspek kelayakan lainnya seperti kelayakan secara

teknis, menguntungkan secara ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat.

Ini sejalan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan oleh FAO (1988)

(dalam Primavera, 1998) yang mengartikannya sebagai upaya pengelolaan

dan konservasi sumber daya alam dan orientasi perubahan kelembagaan dan

teknologi dengan cara tertentu yang dapat menjamin terpeliharanya

kesinambungan pemenuhan kebutuhan manusia baik untuk generasi

sekarang maupun akan datang.

Oleh karena itulah maka untuk mewujudkan suatu sistem pengelolaan hutan

mangrove berkelanjutan, maka kawasan hutan tersebut perlu dibagi untuk

berbagai peruntukan seperti untuk wilayah:1) preservasi dan konservasi,

yang bertujuan untuk melindungi daerah pantai dan menjamin kelangsungan

keanekaragam hayati, penelitian dan ekowisata ; 2) produksi lestari dari

kayu, ikan, nipa, udang, dan sebagainya; 3) konversi menjadi tambak

budidaya dan daerah pertanian; serta 4) reforestasi (Bird dan Kunstadter ,

1986 dalam Primavera, 1998). Seperti di Vietnam misalnya, pemerintah di

sana telah menetapkan perencanaan zonasi pada daerah Delta Lower

Mekong dengan membaginya menjadi 3 zona yaitu Full Protection Zone

(FPZ) yang diperuntukkan bagi perlindungan wilayah pesisir, Buffer Zone

untuk kegiatan ekonomi terkontrol yang luasnya meliputi 40% dari seluruh

42

Page 20: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

wilayah, dan Economic Zone yaitu wilayah bebas bagi masyarakat untuk

melakukan kegiatan ekonomi tanpa dibatasi oleh aturan-aturan konservasi

hutan (Macintosh dan Aston, 2003).

Menurut Bengen (2002) pembagian zonasi seperti ini disebut dengan

keharmonisan spasial yang merupakan salah satu syarat pembangunan

berkelanjutan wilayah pesisir di samping kapasitas asimilasi dan

pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial itu sendiri menurutnya

adalah pengalokasian suatu wilayah pembangunan yang tidak hanya untuk

zona pemanfaatan tetapi juga untuk zona preservasi dan konservasi.

Keberadaan kedua zona ini akan memberikan arti penting dalam memelihara

proses penunjang kehidupan seperti siklus hidrologi dan unsur hara.

Sedangkan kapasitas asimilasi berkaitan dengan daya dukung sumber daya

alam terhadap kegiatan pemanfaatan yang dilakukan. Besarnya eksploitasi

sebaiknya tidak melebihi kemampuan sumber daya alam atau lingkungan

dalam mengasimilasi limbah yang dihasilkan. Karena jika tidak, maka

lingkungan akan tercemar dan pengelolaan berkelanjutan tidak akan

tercapai. Adapun pemanfaatan berkelanjutan mengarah pada penggunaan

sumber daya alam secara bijaksana dan hati-hati, sehingga laju eksploitasi

dapat sejalan dengan waktu yang diperlukan oleh sumber daya alam tersebut

untuk pulih kembali atau berregenerasi

Berbagai bentuk pengelolaan secara berkelanjutan dapat diterapkan pada

ekosistem mangrove. Misalnya pengembangannya menjadi daerah

ekowisata seperti yang dilakukan di Cilacap (JawaTengah), Sukamandi dan

Cikiong, (Jawa Barat) (Gunarto 2004). Atau dijadikan pusat penelitian dan

pendidikan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia di Matang

Mangrove Forest Research Reserve Centre di Perak yang ternyata malah

dapat memberikan keuntungan ekonomis yang lebih besar dibandingkan jika

hutan mangrove tersebut ditebang (Pontianak post, 28 April 2006). Kedua

43

Page 21: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

bentuk pengelolaan ini terutama dapat dikembangkan pada wilayah yang

diperuntukkan untuk tujuan pelestarian.

Ekosistem mangrove juga dapat dikelola menjadi hutan rakyat. Pengelolaan

ini berhubungan dengan kegiatan rehabilitasi hutan pada tanah milik

masyarakat. Hasil utamanya adalah kayu bakar atau serpih-serpih kayu

dengan siklus tebang 15 – 30 tahun tergantung tujuan penanaman (Onrizal,

2006). Namun pengelolaan dengan hutan rakyat ini tidak langsung

berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat, karena untuk bisa

ditebang pohon yang ditanam perlu dibiarkan tumbuh dahulu sampai jagka

waktu tertentu. Kegiatan ini cocok untuk dilaksanakan pada areal reboisasi

atau kawasan hutan yang rusak.

Salah satu bentuk pengelolaan yang memadukan nilai-nilai ekologi dan

ekonomi adalah tambak tumpang sari/wanamina/silvofishery. Dikatakan

tumpang sari karena selain terdapat wilayah hutan pada lokasi yang sama

juga dilakukan kegiatan budidaya perikanan. Keunggulan dari bentuk

pengelolaan ini adalah dapat diterapkan pada kawasan hutan dan di luar

kawasan hutan, pada daerah konservasi yang masih memungkinkan

dilakukan kegiatan budidaya (daerah penyangga), serta pada area reforestasi.

Model pengelolaan seperti ini dapat berdampak langsung pada

perekonomian masyarakat karena hasil budidaya perikanannya dapat

dikonsumsi atau dijual dalam jangka waktu yang tidak lama.

Pemilihan bentuk-bentuk pengelolaan tersebut akan sangat bergantung

kondisi fisik kawasan serta kondisi sosial masyarakat setempat. Bentuk

pengelolaan yang berakar pada nilai-nilai budaya setempat akan

memberikan dampak yang lebih baik terhadap pengelolaan mangrove karena

akan memacu peran aktif masyarakat.

44

Page 22: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

II.4. Silvofishery

Konversi kawasan mangrove menjadi areal tambak oleh masyarakat yang

dapat mengancam kelestarian ekosistem mangrove harus diatasi dengan

penerapan teknologi yang dapat memadukan nilai ekonomi dan ekologi.

Salah satunya adalah silvofishery atau wanamina. Model ini adalah model

pengelolaan mangrove berkelanjutan yang sebenarnya sudah lama dikenal

oleh bangsa kita dengan sebutan tambak tumpang sari atau empang parit.

Dikatakan empang parit karena bentuk asalnya adalah sebuah empang yang

di tengahnya ditanami pohon dan di sekelilingnya dibuat parit untuk

membudidayakan ikan atau jenis biota air lainnya (Bashari, 2001). Metode

ini juga cukup dekat dengan nilai budaya masyarakat pesisir, karena tidak

terlalu menyimpang dari mata pencaharian mereka yang umumnya adalah

nelayan.

Silvofishery ini adalah suatu bentuk pengelolaan mangrove secara terpadu

dan berkelanjutan. Terpadu karena melibatkan sedikitnya tiga sektor yaitu

sektor perikanan, sektor kehutanan dan sektor perekonomian. Sedangkan

berkelanjutan karena memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian di mana

keberadaan ekosistem mangrove tetap dipertahankan di dalam lokasi tambak

baik dengan cara tidak ditebang ataupun dengan ditanami kembali.

Pada dasarnya bentuk pengelolaan ini dapat diterapkan pada semua jenis

hutan. Namun karena ekosistem mangrove memiliki keterkaitan yang sangat

kuat dengan sektor perikanan, maka model ini sangat cocok dikembangkan

di kawasan ekosistem mangrove. Fitzgerald (1997) secara jelas

menyebutkan hal itu dengan mendefinisikan silvofishery sebagai suatu

bentuk budidaya perairan (aquaculture) yang memadukan pemeliharaan

pohon mangrove dengan budidaya perikanan air payau. Keunggulan sistem

ini adalah selain mendapatkan produk perikanan dan melestarikan hutan

mangrove, sistem ini banyak memanfaatkan kondisi alam dan mengurangi

penggunaan bahan-bahan kimia dan pestisida. Selain itu model ini juga

45

Page 23: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

dapat dikembangkan dalam skala kecil baik oleh perorangan maupun

keluarga (Quarto, www.earthisland.org).

Secara umum ada dua macam model utama silvofishery yaitu ekosistem

mangrove berada di dalam tambak atau lazim disebut dengan empang parit

dan ekosistem mangrove terpisah / berada di luar tambak atau disebut

dengan empang inti atau kolam. Perbedaan kedua model ini terutama

menyangkut produksi serasah dan banyaknya cahaya matahari yang masuk.

Empang parit Empang inti

Keterangan: = Ekosistem mangrove

= Kolam

Gambar II.4. Model Umum Tambak Silvofishery

Pada model empang parit

produksi serasah lebih banyak,

sedangkan cahaya matahari yang

masuk lebih sedikit. Model ini

tidak dapat diterapkan pada

komoditas budidaya yang

memerlukan sinar matahari lebih

banyak karena produksi yang

Gambar II.5. Tambak silvofishery Pola empang parit

dihasilkan akan rendah. Sebaliknya untuk model empang inti atau dikenal

pula dengan tambak bakau, produksi serasah yang dihasilkan lebih sedikit

46

Page 24: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

dan sinar matahari yang masuk ke dalam

kolam lebih banyak. Kelemahan model

ini adalah adanya kemungkinan

terjadinya pembukaan areal tambak yang

lebih besar yang melebihi daya dukung

hutan mangrove yang ada, karena

kecenderungan petambak untuk terus

melakukan pembukaan hutan menjadi

areal tambak.

Gambar II.6. Tambak silvo- fishery Pola empang inti

Dalam prakteknya model silvofishery berkembang sesuai dengan lokasi dan

kebutuhan. Di Indonesia sendiri dikenal beberapa macam pola desain

konstruksi tambak silvofishery, yaitu : pola tambak/empang parit, pola

tambak parit yang disempurnakan, pola jalur, komplangan dan sistem

tanggul (Quarto; Hikmawati, 2001; Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi

Kalimantan Barat, 2004).

Dalam pola tambak parit tradisional, areal tumbuh mangrove dan tempat

pemeliharaan ikan berada dalam satu hamparan. Pengelolaan airnya diatur

melalui satu buah pintu yang menghubungkan hamparan dengan saluran air.

Pola tambak parit yang disempurnakan merupakan pengembangan dari pola

tambak parit tradisional. Pada pola ini antara parit pemeliharaan ikan dan

hamparan mangrove dibatasi oleh tanggul pemisah. Pengelolaan airnya

diatur melalui tiga buah pintu, dua buah pintu berfungsi sebagai saluran

masuk, dan satu pintu sebagai saluran keluar. Ke arah hamparan diberi

saluran pasang surut bebas. Tambak model komplangan memisahkan secara

tegas antara parit dengan hamparan hutan mangrove yang diatur oleh saluran

air dengan dua pintu yang terpisah. Sedangkan tambak model jalur

merupakan modifikasi dari model empang parit yaitu dengan menambahkan

saluran-saluran di bagian tengah sebagai empang. Desain yang terakhir

47

Page 25: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

adalah sistem tanggul di mana hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling

tanggul dengan tujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor.

Ukuran silvofishery bervariasi mulai dari satu hektar sampai ribuan hektar

untuk setiap lokasinya. Produksi silvofishery sangat tergantung dari unsur

hara alami yang terdapat di dalam rantai makanan pada ekosistem

mangrove. Unsur hara tersebut berasal dari pepohonan, dalam hal ini daun-

daun yang gugur. Kerapatan pohon mangrove yang diperlukan mulai 0,17

sampai 2,5 pohon/m2. Kerapatan ini akan mempengaruhi produksi guguran

daun, timbunan bahan organik serta jenis biota yang cocok dikembangkan.

Untuk pembudidayaan udang dan kepiting misalnya diperlukan kerapatan

yang tinggi karena mereka memerlukan mangrove untuk berlindung

(Fitzgerald, 1997).

Menurut Hikmawati (2001) untuk mendapatkan hasil yang optimal, dalam

penerapan silvofishery ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama,

tambak sebaiknya dibangun pada areal yang sudah diatur dalam tata ruang.

Mengingat dalam pembuatan tambak ada kemungkinan dilakukan

penebangan terhadap hutan mangrove, sebaiknya silvofishery tidak

diterapkan pada lokasi yang diperuntukkan untuk tujuan preservasi. Model

ini cocok diterapkan untuk kawasan budidaya dan kawasan konservasi yang

berfungsi sebagai daerah penyangga.

Kedua, tambak silvofishery tidak boleh dibangun pada lokasi yang

diperuntukkan sebagai sempadan pantai. Pemerintah telah menetapkan jalur

hijau (green belt) adalah 130 kali rata-rata perbedaan antara pasang tertinggi

dan terendah, sehingga kawasan yang tidak dialokasikan untuk kegiatan

pertambakan adalah kawasan sempadan pantai dengan lebar 140 meter dari

garis pantai ke arah daratan. Dalam pengembangan silvofishery ketentuan

itu harus dipatuhi untuk menghindari terjadinya bencana akibat

pengembangan tambak silvofishery.

48

Page 26: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Ketiga, perlu diperhatikan ratio antara mangrove dan luas tambak yang

proporsional. Menurut Quarto, ratio antara luasnya hutan mangrove yang

dipertahankan dengan luas kolam adalah 80 : 20. Jika ingin meningkatkan

produksi maka ratio tersebut dapat diubah menjadi 60 : 40. Namun menurut

Onrizal (2002) perbandingan seperti ini biasanya diterapkan pada kawasan

hutan atau tanah milik yang masih utuh di mana aspek kelestarian lebih

ditekankan dibandingkan produksi ikan atau udangnya. Sedangkan jika

diterapkan pada kawasan yang sudah terbuka menurutnya ratio yang dapat

digunakan adalah 30 : 70. Ratio seperti ini penekanannya adalah dari sisi

produksi. Ini berarti bahwa untuk kawasan konservasi ratio antara mangrove

yang dipertahankan dengan mangrove yang dikonversi menjadi kolam dapat

ditoleransi hingga 60 : 40, sedangkan pada kawasan budidaya toleransi ratio

bisa mencapai 30 : 70. Selain itu penentuan ratio ini juga sangat tergantung

dari kondisi fisik lokasi, keadaan tutupan mangrove, serta jenis komoditas

yang akan dikembangkan. Sehingga perbandingan ini dapat saja bereda

antara lokasi yang satu dengan lainnya

Selain itu perlu diperhatikan juga perbandingan antara luas kawasan

mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak silvofishery dan yang

harus dipertahankan. Ini untuk melindungi fungsi mangrove sebagai

penyedia jasa lingkungan, terutama sebagai biofilter. Air yang berada di

dalam tambak dalam periode tertentu harus diganti untuk memberikan

lingkungan yang baik bagi pertumbuhan jenis biota yang dibudidayakan. Air

ini akan mengalir ke luar dan disaring / dinetralkan oleh ekosistem

mangrove yang ada di luar kawasan.

Menurut Ahmad dan Mangampa (2000) (dalam Gunarto,2004) sebaiknya

luas hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak tidak lebih dari 20%

total luas hutan yang ada. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

Sutrisno et al (2005) di Pulau Muaraulu menunjukkan bahwa kebijakan

silvofishery dapat mendukung pemanfaatan lahan secara lestari hanya jika

49

Page 27: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

10% wilayah yang ada dipergunakan untuk tambak udang dan sisanya untuk

vegetasi mangrove. Ini berati bahwa sistem ini telah terbukti dapat

mewujudkan pengelolaan mangrove secara lestari dengan syarat bahwa

perbandingan antara mangrove yang dikonversi dan dipertahankan

disesuaikan dengan kondisi setiap daerah.

II.5. Metode ecological footprint

Dalam model silvofishery, untuk menentukan ratio luasan mangrove yang

dapat dikonversi menjadi tambak dan yang tetap dipertahankan, aspek yang

perlu dikaji adalah daya dukung lingkungan dan sumber daya alam. Seperti

diketahui bahwa konsep besaran daya dukung merupakan salah satu syarat

dalam pembangunan berkelanjutan (Bengen, 2002). Analisa daya dukung ini

akan memberikan informasi tentang potensi sumber daya alam dalam

menyediakan produk yang dapat dieksploitasi dan menyerap, mengasimilasi,

serta menetralkan segala bentuk buangan, polusi, dan limbah dari kegiatan

yang dilakukan. Dengan demikian dapat diketahui tingkat eksploitasi dan

pencemaran yang dimungkinkan yang tidak akan menyebabkan menurunnya

kualitas ekosistem mangrove yang dikelola.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisa daya dukung

sumber daya alam ini adalah metode ecological footprint. Prinsip metode ini

sederhana, hanya membandingkan besarnya pemanfaatan dan jumlah polusi

atau buangan yang dihasilkan dengan sumber daya alam yang tersedia

untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan menetralkan segala buangan yang

ditimbulkan. Secara rinci Rees (1996) menyebutkan bahwa ecological

footprint adalah suatu metode yang menghitung luas areal ekosistem

bioproduktif (darat dan laut) yang diperlukan untuk menghasilkan sumber

daya yang dapat dimanfaatkan termasuk potensi mengasimilasi sampah atau

limbah dibandingkan dengan besarnya kebutuhan ekosistem dalam standar

hidup tertentu.

50

Page 28: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Chambers et al (2000) menambahkan bahwa dengan membandingkan nilai

ecological footprint dengan ketersediaan area bioproduktif global akan

didapatkan indikator kelestarian lingkungan yang kemudian dapat dimonitor

sepanjang waktu untuk menentukan kecenderungannya. Jika lebih banyak

luas areal ekosistem daerah laut dan darat bioproduktif yang diperlukan

dibandingkan dengan yang tersedia maka kemungkinan besar laju konsumsi

yang terjadi tidak akan berkelanjutan (www.steppingforward.or.uk).

Dalam perhitungan ecological footprint, kawasan ekosistem darat dan laut

dikelompokkan menjadi empat tipe yaitu bioproduktif daratan ( dibagi lagi

menjadi daerah pertanian, peternakan dan hutan), bioproduktif lautan, lahan

untuk energi (daerah laut dan hutan yang diperlukan untuk menyerap emisi

karbon), dan kawasan terbangun (seperti perumahan, jalan, dan sebagainya).

Tipe yang kelima mengacu pada kawasan darat dan perairan yang

diperuntukkan untuk melindungi keanekaragaman hayati (Barret et al,

2004).

Gambar II.7. Area Bioproduktif Sumber: Best food Forward dalam Barret et al 2004

FAO memperkirakan bahwa pada tahun 2003 (data terbaru yang diperoleh)

terdapat 1,5 miliar ha lahan untuk pertanian, 3,5 miliar ha lahan untuk

peternakan, 2,3 miliar ha lahan untuk perikanan dan 3,9 miliar ha lahan

untuk wilayah hutan.

51

Page 29: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

Namun setelah diterapkan dalam berbagai kegiatan pemanfaatan sumber

daya alam, ditemui kelemahan dalam metode ini. Salah satunya adalah

kurang dapat menjelaskan tentang permasalahan lingkungan yang muncul

pada kegiatan pengelolaan sumber daya alam di daerah laut dan pesisir

(Wolowicz, 2005). Selain itu elemen jasa lingkungan yang dianalisa juga

hanya terbatas pada kemampuan hutan menyerap emisi CO2, padahal jasa

lingkungan yang disediakan oleh sumber daya alam tidak hanya itu. Sebagai

contoh ekosistem mangrove, selain dapat menyerap emisi CO2 juga bisa

menghasilkan air bersih, dan fungsi ini sangat penting bagi kelestarian usaha

pertambakan.

Pengembangan dari metode ecological footprint yang dapat digunakan untuk

mengatasi kelemahan tersebut adalah ecological fishprint atau dikenal juga

dengan sebutan fishprinting. Ini adalah metode baru yang tetap mengakar

pada ecological footprint tetapi khusus dipergunakan untuk menghitung

ruang ekologi suatu akuakultur. Dalam fishprinting terdapat suatu metode

yang disebut dengan spatial ecosystem fishprinting. Perhitungannya

didasarkan pada area yang diperlukan untuk menyediakan atau menyerap

berbagai sumber daya alam untuk mendukung makhluk hidup dalam suatu

wilayah tertentu. Metode ini banyak diterapkan pada jenis akuakultur

ekstensif dan semi intensif. Hanya saja sistem ini juga memiliki kelemahan

terutama karena elemen analisanya hanya berkisar pada kebutuhan energi

dari pakan dan lingkungan untuk menyerap buangan yang dihasilkan.

Sedangkan input lain seperti penggunaan tenga kerja diabaikan.

Namun jika kita menginginkan analisa daya dukung ekosistem mangrove

dalam pengembangan suatu akuakultur metode ini sangat cocok untuk

diterapkan. Selain menganalisa produk dari hutan mangrove terutama yang

berhubungan dengan kebutuhan serasah, metode ini juga menghitung berapa

luas hutan yang diperlukan untuk menyerap emisi CO2 dan menyediakan air

52

Page 30: Bab II Kajian Pustaka II.1. Ekositem Mangrove dan … · Ekosistem ini berada di sepanjang garis pantai, tepatnya pada garis batas ... terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan

bersih. Sehingga nantinya dapat diketahui batasan minimal hutan mangrove

yang harus dipertahankan agar suatu kegiatan akuakultur dapat terus lestari.

Penelitian yang dilakukan oleh Larsson et al (1998) (dalam Wolowicz,

2005) terhadap tambak udang semi intensif di Colombia adalah salah satu

contoh penelitian yang menerapkan metode ini. Hasil dari penelitian itu

menunjukkan bahwa ruang ekologi yang diperlukan oleh tambak akuakultur

adalah 35 – 190 kali luas kolam budidaya. Berdasarkan penelitian tersebut,

ada enam area fishprinting yang dapat dihitung dengan menggunakan

pendekatan ini : 3 area yang berhubungan dengan kebutuhan akan hutan

mangrove yaitu area mangrove untuk post larval nursery, mangrove detritus

untuk menghasilkan makanan bagi udang (diasumsikan 30% dari kebutuhan

makan udang), dan wilayah mangrove yang diperlukan untuk menyediakan

air yang bersih bagi tambak udang; 1 area hutan secara umum yaitu area

hutan untuk penyerapan CO2; dan 2 ekosistem pendukung selain hutan

mangrove yaitu ekosistem pertanian untuk menghasilkan tanaman yang

digunakan dalam pakan ikan/udang, wilayah laut untuk menghasilkan

ikan/biota laut yang digunakan dalam pakan ikan/udang. Melihat analisanya

lebih menekankan pada daya dukung hutan mangrove, maka dalam

penelitian ini jenis metode ecological footprint inilah yang digunakan untuk

menganalisa daya dukung sumber daya alam dalam kegiatan silvofishery di

Desa Dabung Kecamatan Kubu Kalimantan Barat.

53