tinjauan re-eksistensi yuridis garis-garis besar …

16
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum [email protected] Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286 ISSN : 2684-8791 (Online) 271 Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA SEBAGAI PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL Robinsar Marbun¹ [email protected] Ali Imran Nasution² [email protected] Wahida Apriani³ ¹⁾²⁾³⁾Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional“Veteran”Jakarta Abstract After the removal of the State Policy Guidelines (GBHN), has made a National Development Planning System (SPPN) which is legalized through Law Number 25/2004 on SPPN with the concept of long-term, medium-term and annual development planning for the central and regional levels. However, it has not yet fulfilled the criteria as the State Policy but only the Executive Policy, therefore there is a need to revive the GBHN as a guide to national development. This writing aims to find out how the legal certainty of the GBHN will be turned on and how urgent the GBHN Re- Existence itself is. This type of research is normative with literature study data collection techniques, as well as carrying out a philosophical approach and legislation. Ideally, the Re-Existence of GBHN through the 1945 Constitution, this is because SPPN as the GBHN model is a legal document for the organizers of national development based on popular sovereignty. This means that it is the people through their representatives in the MPR that designs, establishes and monitors it. So ideally, the existence of GBHNthrough the 5th amendment to the 1945 Constitution is limited. Keywords: GBHN, National Development, Limited Amendments. Abstrak Pasca dihilangkannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),dibuat Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang dilegalisasi melalui UU No.25/2004 tentang SPPN dengan konsep perencanaan pembangunan nasional jangka panjang, menengah, dan tahunan untuk tingkat pusat dan daerah.Belum memenuhi kriteria sebagai haluan negara melainkan hanya haluan eksekutif.Perlu ada penghidupan kembali GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum dari GBHN yang akan dihidupkan dan urgensinya Re-Eksistensi GBHN itu sendiri. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dengan teknik pengumpulan data studi pustaka,dengan pendekatan filosofis dan perundang-undangan. Idealnya Re-Eksistensi GBHN melalui UUD 45, hal ini dikarenakan SPPN sebagaimana model GBHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Rakyat melalui wakil-wakilnya di MPR yang merancang, menetapkan dan mengawasi sehingga idealnya dari Re-eksistensi GBHN melalui amandemen ke 5 UUD 45 secara terbatas. Kata kunci: GBHN, Pembangunan Nasional, Amandemen Terbatas.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

271

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR HALUAN

NEGARA SEBAGAI PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Robinsar Marbun¹

[email protected]

Ali Imran Nasution²

[email protected]

Wahida Apriani³

¹⁾²⁾³⁾Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional“Veteran”Jakarta

Abstract After the removal of the State Policy Guidelines (GBHN), has made a National Development

Planning System (SPPN) which is legalized through Law Number 25/2004 on SPPN with the

concept of long-term, medium-term and annual development planning for the central and regional

levels. However, it has not yet fulfilled the criteria as the State Policy but only the Executive Policy,

therefore there is a need to revive the GBHN as a guide to national development. This writing aims

to find out how the legal certainty of the GBHN will be turned on and how urgent the GBHN Re-

Existence itself is. This type of research is normative with literature study data collection techniques,

as well as carrying out a philosophical approach and legislation. Ideally, the Re-Existence of GBHN

through the 1945 Constitution, this is because SPPN as the GBHN model is a legal document for the

organizers of national development based on popular sovereignty. This means that it is the people

through their representatives in the MPR that designs, establishes and monitors it. So ideally, the

existence of GBHN through the 5th amendment to the 1945 Constitution is limited.

Keywords: GBHN, National Development, Limited Amendments.

Abstrak Pasca dihilangkannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),dibuat Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN) yang dilegalisasi melalui UU No.25/2004 tentang SPPN dengan

konsep perencanaan pembangunan nasional jangka panjang, menengah, dan tahunan untuk tingkat

pusat dan daerah.Belum memenuhi kriteria sebagai haluan negara melainkan hanya haluan

eksekutif.Perlu ada penghidupan kembali GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum dari GBHN yang akan dihidupkan dan

urgensinya Re-Eksistensi GBHN itu sendiri. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dengan

teknik pengumpulan data studi pustaka,dengan pendekatan filosofis dan perundang-undangan.

Idealnya Re-Eksistensi GBHN melalui UUD 45, hal ini dikarenakan SPPN sebagaimana model

GBHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan

rakyat. Rakyat melalui wakil-wakilnya di MPR yang merancang, menetapkan dan mengawasi

sehingga idealnya dari Re-eksistensi GBHN melalui amandemen ke 5 UUD 45 secara terbatas.

Kata kunci: GBHN, Pembangunan Nasional, Amandemen Terbatas.

Page 2: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

272

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

PENDAHULUAN

Latar Belakang Garis-Garis Besar Haluan Negara menjadi salah satu isu sentral perbincangan hangat pada

saat ini, dalam berbagai kesempatan sosialisasi empat pilar bernegara yaitu Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, NKRI, serta Bhinneka Tunggal Ika yang dilakukan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR). Wacana menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara

sebagai pedoman pertama perencanaan pembangunan nasional menjadi salah satu materinya. Setelah

Presiden ke-lima RI sekaligus Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarno Putri dalam Rapat Kerja

Nasional PDI-P, pada tanggal 10-12 Januari 2016 di Jakarta menyampaikan pidato yang menyindir

model perencanaan pembangunan saat ini yang di ibaratkannya seperti poco-poco

(Prabowo,2019).Serta Pemberlakuan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara merupakan

komitmen bersama bangsa Indonesia dalam membangun dan memperbaiki kualitas bangsa dan

negara.(Sahidin,2017).Sedangkan pihak yang kontra mungkin akan berfikir penghidupan kembali

Garis-Garis Besar Haluan Negara akan menimbulkan ketidakkonsistenan terhadap pilihan sistem

presidensil yang telah difurifikasi melalui amandemen UUD 1945.

Terlepas dari adanya pro dan kontra yang ada di tengah masyarakat, pada dasarnya

perubahan konstitusi merupakan sebuah hal yang lumrah dan laziim dalam paham konstitusional

modern.(Nggilu,2014). Meskipun konstiitusi dapat dirubah, namun harus memiliki prasyarat yang

jelas terkait dengan paradigma perubahan Konstitusi atau di Indonesia disebut dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-

Garis Besar Haluan Negara diperlukan demi kualitas kepentingan berbangsa dan bernegara,

khususnya dalam pembangunan nasional. Dimana Re-Eksistensi diambil dari kata “Re” artinya

“Pengembalian” dan “Eksistensi” (Artikbbi,2019).yang artinya “Keberadaan” , sedangkan kata

“Yuridis” artinya “Hukum” dengan demikian dapat disimpulkan arti dari Tinjauan Re-Eksistensi

Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional, yang Penulis

maksud adalah tinjauan pengembalian keberadaan hukum Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai

Pedoman Pembangunan Nasional. Mengingat Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas,

yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak

bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih

terlindungi.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka Penulis mengidentifikasiikan

permasalahan yang akan di bahas dalam penulisan ini:

a. Bagaiimana re-eksistensi yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai

pedoman pembangunan nasional?

b. Apakah penting atau tidaknya penghidupan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara

sebagai pedoman pembangunan nasional?

LANDASAN TEORI

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah haluan Negara tentang arah dan tujuan

pembangunan nasional, dalam Garis Besar Haluan Negara mengandung isi sebagai pernyataan

kehendak rakyat yang

Page 3: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

273

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun sekali. Maksud

ditetapakan Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah untuk memberikan arah bagi perjuangan bangsa

Indonesia dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang saat ini sedang giat-giatnya

membangun dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang diinginkan, baik dalam waktu

lima tahun berikutnya maupun dalam jangka panjang, sehingga secara bertahap cita-cita bangsa

Indonesia dapat tercapai sesuai yang termaktup dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 Garis-Garis Besar Haluan Negara merupakan aspirasi politik rakyat melalui jalur: Orgasisasi

sosial/politik, Pemeritah dan Perguruan tinggi, kemudian dibuat dan ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut acuan politik yang terkandung dalam Undang-Undang

Dasar 1945.

Jika dilihat dari isi GBHN dan UUD 1945 mempunyai persamaan yaitu:

a. Menganut landasan yang sama yaitu Pancasila sebagai sistem nilai yang melandasi dan

menjadi acuan filosofis.

b. Menganut landasan struktural yang sama yaitu mengandalkan sistem Presidentil.

c. Menganut landasan operasional yang sama berisikan tujuan-tujuan nasional yang terkandung

dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.

Undang-Undang Dasar sebagai sistem pengelolaan kehidupan nasional hanya menetapkan

ketentuan-ketentuan pokok secara konstitusional tentang pengelolaan kehidupan bangsa, sedangkan

GBHN mengatur lanjutan penjabarannya, atas dasar ini UUD 1945 bersifat sebagai Yuridis

Konstitusional, sedangkan GBHN bersifat Politik Operasional. Kedudukan Garis-Garis Besar Haluan

Negara menjadi referensi dasar atau dasar rujukan pokok dalam membuat perencanaan baik tentang

perumusan kebijakan managerial dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian pokok-pokok

kebijakan politis sebagai kebijakan publik dalam GBHN menjadi landasan politis (Political

Foundation) bagi pengelola, pelaksana dan juga sebagai kendali politis bagi perencanaan

pembangunan nasional.Persoalan GBHN dapat di pahami bahwa kemampuan kelembagaan

setidaknya ada empat aspek kenegaraan yang harus diperhatikan jika GBHN ini menjadi kebutuhan

bangsa Indonesia yaitu bentuk organisasi dan manajemen; bentuk sistem politik; dasar legitimasi dan

faktor-faktor budaya dan struktural. Pada aspek pertama memang menempatkan faktor ekonomi dan

pembangunan sebagai bidang ketika diterapkan akan menyentuh sektor swasta dan bidang

administrasi publik sengan sektor masyarakat Indonesia. Sedangkan aspek kedua bentuk sistem

politik berkaitan dengan bentuk kelembagaan pada level negara sebagai suatu keseluruhan

ketimbang agen-agen individu yang membentuknya. Legitimasi sebagai aspek ketiga memegang

peranan kunci sebagi bentuk kelembagaan yang sistemik yang juga sebagai suatu dimensi normatif.

Yakni bahwa lembaga-lembaga negara tidak hanya harus bekerja bersama secara tepat sebagai suatu

keseluruhan dalam pengertian administrasi, namun mereka juga harus dilihat sebagai sesuatu yang

sah oleh masyarakat yang mendasarinya. Dan aspek keempat yaitu aspek budaya dan struktural.

Aspek ini menempatkan relevansi negara dengan kemampuan kelembagaan yang bersifat subpolitik

dan berkaitan dengan norma-norma, nilai-nilai dan budaya.Empat aspek diatas menjadi diskursus

tersendiri dalam kehidupan bangsa Indonesia. Diskursus yang diawali ketika The founding fathers

ketika meletakkan pondasi negara Indonesia dalam Undang- Undang Dasar Tahun 1945 (UUD

1945), penuh dengan kejelian, kecerdasan dan penuh kehati-hatian meskipun dari latar belakang

pendidikan the founding fathers tidak sepenuhnya bergelar Profesor, Doktor atau mereka berasal dari

lulusan perguruan tinggi luar negeri. Suatu rumusan yang sangat visioner ketika bangunan besar

negara Indonesia dengan menempatkan empat aspek pemikiran di atas sebagai dasar menempatkan

kalimat “...kedaulatan rakyat...” bukan “...kedaulatan tuanku atau penguasa...”. menempatkan hukum

Page 4: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

274

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

sebagai sandaran bernegara “Rechtssttaat” bukan berdasarkan pada “Machtsttat”, sistem pemerintahan

yang dibangun atas dasar “konstitusi” bukan berdasar atas “absolutisme”.

GBHN Meskipun baru efektif diberlakukan setelah dekrit Presiden hingga berakhirnya

demokrasi terpimpin Soekarno di tahun 1966, namun Manifesto yang dijadikan GBHN menjadi

rujukan ketika kepemimpinan di negeri ini berganti dari Orde Lama ke Orde Baru.

(Kansil,1980).Dengan pergantian rezim di tahun 1966, GBHN tetap menjadi sebuah landasan

pemerintah Orde Baru hingga terlaksananya Pemilihan Umum Pertama Orde Baru di tahun 1971.

Format yang dibangun pemerintahan Orde Baru GBHN tetap menjadi landasan ideologis yang

kemudian dituangkan dalam Pola Umum Pembangunan Nasional, yang meliputi: pertama, Pola

Dasar Pembangunan Nasional, bahwa pembangunan nasional memiliki tujuan untuk menciptakan

masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, baik materiil maupun spiritual atau pembangunan

manusia seutuhnya dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pegangannya. Kedua, Pola Umum

Pembangunan Jangka Panjang. Waktu yang ditetapkan untuk pembangunan berkelanjutan itu adalah

25 sampai dengan 30 tahun. Ketiga, Pola Umum Pelita, yakni pembangunan lima tahun. Melalui

Sidang Umum, MPR diberi kewenangan untuk meninjau GBHN sebelumnya untuk disesuaikan

dengan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. (Kansil,1980).Pada masa Orde Baru,

GBHN memiliki peran yang sangat besar bagi pemerintah dalam membuat rencana dan strategi

pembangunan, namun setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998, susunan ketatanegaraan

Republik Indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis, terutama akibat amandemen UUD

1945 yang di masa Orde Baru sangat sulit dilakukan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),

sebagai lembaga tertinggi, tidak lagi diberi kewenangan untuk menetapkan GBHN. Bahkan, melalui

UU No. 17 Tahun 2007, GBHN diganti dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) yang dibahas dan ditetapkan oleh DPR bersama dengan pemerintah. RPJN merupakan

tindak lanjut dari ketentuan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional (SPPN) untuk jangka waktu 20 tahun (2005-2025).

Dengan perubahan ketatanegaraan akibat amandemen UUD 1945 itu pula, maka program

pemerintah tidak lagi dipatok secara ketat pada Rencana Pembangunan Nasional tersebut, tetapi

kepada visi dan misi serta rencana program kerja dari kandidat presiden-wakil presiden ataupun

kepala daerah, yang dipilih secara langsung oleh rakyat (Pasal 4 dan 6, UU No 17 Tahun 2007).

Adanya ketentuan dalam Pasal 3 UUD 45 yang berbunyi : "MPR menetapkan UUD dan garis-garis

besar daripada haluan negara", mengandung pengertian bahwa perlu produk tersendiri garis-garis

besar daripada haluan negara.

Perencanaan Pembangunan Nasional Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis

dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945. Penyelenggaraan negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segala

aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggara negara, yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi

negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Menurut UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunnan Nasional (SPPN);

a. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui

urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia

Page 5: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

275

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

b. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam

rangka mencapai tujuan bernegara. (Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 1-2 UU No. 25 Tahun 2004

tentang SPPN)

Sedangkan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) ( ketentuan umum UU No. 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang

nasional).Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang

meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas

mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan

pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat

dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi

kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk

memenuhi kebutuhannya. Dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional merupakan usaha

peningkatan kualitas manusia, dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan,

berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu

pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang

berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.

Pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang dilaksanakan selama ini ternyata hanya

mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta tidak diimbangi kehidupan sosial, politik, ekonomi yang

demokratis dan berkeadilan.

Fundamental pembangunan ekonomi yang rapuh, penyelenggaraan negara yang sangat

birokratis dan cenderung korup, serta tidak demokratis telah menyebabkan krisis moneter dan

ekonomi, yang nyaris berlanjut dengan krisis moral yang memprihatinkan. Karena itu, reformasi di

segala bidang dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan diri atas

kemampuannya dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan

pengembangan pembangunan dengan paradigma baru Indonesia masa depan yang berwawasan

kelautan dalam rangka mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan

begitu setelah masa orde lama dan orde baru berlalu, penyusunan sistem perencanaan pembangunan

nasional diserahkan kepada Presiden dan wakil Presiden. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa, kepada Presiden dan Wakil Presiden

diberikan tugas menyusun arah dan strategi pembangunan Nasional selama 5 tahun dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi,

dan program Presidensiil yang berpedoman pada cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 dan

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah ditetapkan dengan UU No. 17

Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. Namun terdapat permasalahan yang dihadapi adalah tidak

adanya jaminan kepastian bahwa apa yang telah dikonstruksi secara ideal dalam peraturan

perundang-undangan terkait dengan SPPN maupun RPJPN itu dilaksanakan secara konsisten oleh

pemangku kepentingan terkait. Sampai saat ini, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menilai

apakah dokumen-dokumen perencanaan yang dibuat sebagai tindak lanjut dari RPJPN, seperti di

level nasional, RPJMN, Renstra Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Kerja

Kementerian, dan di level daerah, RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD, memang sudah

merujuk kepada RPJP. Apalagi jika mengingat adanya keterlibatan mekanisme penjabaran visi dan

misi Presiden/Kepala Daerah terpilih, potensi gap dengan RPJP menjadi lebih besar. Pada akhirnya,

banyak pihak yang menilai bahwa proses pembangunan seolah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi

tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan hamper tidak terjadi

Page 6: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

276

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

pada era sebelumnya, ketika GBHN merupakan rujukan utama proses perencanaan pembangunan

baik di level nasional maupun di daerah.

Kedudukan MPR Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Jika dalam UUD 1945 sebelum amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara yang

memiliki kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara

(GBHN) serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, maka pasca amandemen,

kedudukan MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, akan tetapi MPR berkedudukan

sejajar dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Demikian pula dengan aspek fungsi MPR pasca

amandemen fungsinya terbatas pada kewenangan yang bersifat rutinitas yaitu melantik Presiden dan

Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum, dan juga kewenangan yang bersifat insidental, seperti

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang

Dasar, mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar serta kewenangan insidental lain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan. Amandemen UUD

1945 telah mengakibatkan MPR tidak lagi menjadi lembaga superior seperti pada masa Orde Baru,

akan tetapi justru sebaliknya, amandemen menempatkan MPR menjadi lemabaga Negara yang

sangat lemah dan inferior dibandingkan dengan lembaga-lembaga Negara lainnya yang lebih jelas

kedudukan, fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen. Tugas

rutin MPR nyaris hanya sekali dalam lima tahun, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih

hasil pemilihan umum. Terkait dengan perubahan kewenangan MPR di atas, maka hal ini juga

berimplikasi terhadap keberadaan GBHN dan GBHN ini ditetapkanlah pedoman penyelenggaraan

pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam UU No 17

Tahun 2007, sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ( pasal 13 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN,

yang mengamanatkan RPJPN), maka RPJPN menjadi rujukan dari rencana pembangunan lima tahunan

yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Berbeda dengan

GBHN, dokumen perencanaan pembangunan tersebut atas ini tidak lagi menjadi kewenangan MPR,

melainkan merupakan kewenangan bersama antara DPR RI dan Presiden RI. MPR sebagai lembaga

pengawal kedaulatan rakyat Indonesia memiliki wewenang yang luar biasa. Wewenang MPR yang

luar biasa tersebut ada dalam Pasal 3 Ayat (1) sampai (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). (UUD NRI 1945 Pasal 3 ayat (1) hingga (3), Setelah

amandemen).Sehubungan dengan peran strategis MPR dalam rangka pelaksanaan tugas

konstitusionalnya diatas, khususnya kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD

sebagaimana yang ada dalam Pasal 3 Ayat (1), MPR diberikan mandat oleh Peraturan MPR Nomor 1

Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR, untuk membentuk badan-badan dan lembaga yang memiliki

peran sebagai pendukung kinerja MPR dalam pelaksanaan wewenang dan tugas-tugasnya.

Teori Kelembagaan Negara Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan memiliki alat perlengkapan untuk merealisasikan

tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill).(Le Roy,1981).Konsep lembaga negara secara

terminologis memiliki keberagaman istilah “political institution”, sedangkan dalam kepustakaan

Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia identik disebut dengan lembaga negara,

badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. (Arifin,2005).Dalam Kamus Hukum Belanda-

Indonesia, kata staatsorgaan itu diterjamahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus

Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, kata organ juga diartikan

sebagai

Page 7: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

277

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

perlengkapan. Karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan

negara seringkali dipertukarkan satu sama lain. Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun

1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan Undang-Undang

Dasar 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa

reformasi dengan tidak konsisten dalam penggunaan istilah lembaga negara, organ negara, dan badan

negara.

Terlepas dari banyaknya varian peristilahan lembaga negara, Kelsen memberi arahan dalam

memahami hal tersebut. Ia menyebutkan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal

order is an organ.” (siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum

(legal order) adalah suatu organ. (Kelsen,2015).Hal itu berarti bahwa, organ negara tidak selalu

berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut

organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat

menjalankan norma (norm applaying). Demikian juga, terhadap lembaga yang dibentuk dan diberi

kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya. Dalam setiap

pembicaraan mengenai organisasi negara, terdapat dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu

organ dan functie. Secara teoritis, organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah

isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan functie adalah

gerakkan wadah hal itu sesuai dengan maksud pembentukkannya. (Muttaquin,2011).Dapat

disimpulkan bahwa, lembaga negara yang terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan,

lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara. Ada yang dibentuk berdasarkan atau

karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar 1945, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan

kekuasaanya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Hierarki kedudukan lembaga negara ditentukan oleh derajat pengaturannya menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Teori Negara Hukum Menurut Aristoteles, sesungguhnya yang memerintah dalam negara bukanlah manusia,

melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan berperan guna menentukan baik buruknya suatu hukum.

Manusia harus dididik menjadi warga negara yang baik dan ber-asusila, dengan demikian maka

manusia akan ditempa menjadi warga negara yang bersikap adil. Dari pandangan Aristoteles itu

dapat dipahami bahwa negara hukum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan keadilan dan

konstitusi.(Kusnardi dan Ibrahim,2005).Oleh sebab itulah, maka berbagai negara, termasuk

Indonesia menempatkan pengaturan konsepsi negara hukum dalam konstitusinya. Adapun Immanuel

Kant (Nukthoh Arfawie Kurde, 2005:17) menggambarkan negara hukum sebagai penjaga malam,

artinya bahwa tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat.

Pada prinsipnya keseluruhan pandangan yang ada selalu berusaha menegaskan bahwa negara

hukum adalah negara yang melandaskan setiap kehidupan kenegaraannya didasarkan pada

mekanisme hukum yang jelas. Dengan demikian, maka upaya menciptakan negara hukum yang

demokratis (democratise rechtsstaat) akan dapat diwujudnyatakan. Oleh sebab itu, maka Indonesia

sebagai negara hukum yang telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945

sepenuhnya harus menjalankan roda pemerintahan berdasarkan ketentuan hukum yang telah

digariskan dalam konstitusi.

OBYEK PENELITIAN TERHADAP GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA DAN RE-

EKSISTENSIS YURIDIS DAN PENTING ATAU TIDAKNYA GARIS-GARIS BESAR HALUAN

NEGARA SEBAGAI PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Page 8: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

278

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk MPR tempo dulu yang kini sudah

tiada sebagai konsekuensi dari diterapkannya UU Otonomi Daerah (Otda) yakni UU No. 22 tahun

1999 dan kini menjadi UU No. 9 tahun 2015; sebagai konsekuensi dari UU Otda tersebut, lahirlah

UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); dimana di salah

satu dasar pemikirannya menghapus GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan

Nasional. GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara yang dinyatakan secara

garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan

oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Hal-hal yang tertulis dalam GBHN adalah sebuah wacana

tentang haluan pembangunan negara Republik Indonesia yang dibuat oleh MPR untuk dilaksanakan

dengan sebaik- baiknya oleh Presiden dengan memanfaatkan seluruh kewenangan dan sumber daya

di Indonesia bagi mengisi pembangunan nasional. Sistem politik Indonesia yang berlangung pasca-

reformasi telah mengalami banyak perubahan; satu diantaranya adalah perubahan sistem

kelembagaan Negara dari MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dulu berwenang menentukan

arah pembangunan negara melalui GBHN, kini menjadi lembaga yang sejajar dengan lembaga

eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun lembaga ini dihuni oleh DPR-RI dan DPD-RI (dulu:

utusan daerah), tetapi kewenangannya diperkecil; yakni dikurangi satu dari tiga kewenangan sebelum

reformasi; sehingga tinggal dua kewenangan; yakni wewenang mengubah dan menetapkan UUD;

dan wewenang melantik dan memberhentikan Presiden hasil pilihan rakyat. Satu wewenang MPR

yang hilang tersebut adalah kewenangan menentukan arah pembangunan nasional yang kini telah

diserahkan kepada Presiden sebagaimana amanat UU No. 25 tahun 2004 pasal 4 ayat 2.

(Abidin,2016).Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR juga memiliki kewenangan lain selain

menatapkan GBHN yaitu Menetapkan dan mengubah UUD 1945; Memilih dan memberhentikan

Presiden dan Wakil Presiden; Membuat Putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara

lainnya; Memberikan penjelasan/penafsiran terhadap Putusan MPR; dan Meminta

pertanggungjawaban Presiden. Jadi ketetapan MPR yang terkait dengan GBHN merupakan ketetapan

tertinggi di bawah UUD 1945. Kewenangan yang dimiliki MPR sebagai lembaga tertinggi negara

mengalami perubahan ketika tuntutan reformasi mendesak agar UUD 1945 dievaluasi. Setidaknya

terdapat dua alasan utama untuk mengevaluasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pertama,

memang sangat rasional ketika kewenangan MPR dalam UUD 1945 secara struktur ketatanegaraan

yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR untuk melaksanakan sepenuhnya kedaulatan

rakyat. Hal ini berakibat pada mekanisme check and balances institusi-institusi ketatanegaraan.

Kedua, bahkan MPR bisa disebutkan sebagai lembaga yang diberi kekuasaan tak terbatas (super

power) karena MPR dinilai “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”

dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” untuk menetapkan UUD, GBHN, dan

mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Kewenangan-kewenangan tersebut dipandang tidak sesuai

dengan tuntutan demokrasi yang menginginkan hak-hak rakyat tidak lagi diberikan pada MPR

sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat. Salah satu poin utama MPR sebelum adanya

perubahan yaitu menetapkan GBHN. Uniknya saat ini GBHN menjadi perbincangan khalayak

umum, setelah 15 tahun kewenangan MPR atas GBHN dihilangkan. Hilangnya GBHN dalam

Konstitusi ternyata melahirkan berbagai persoalan yang melahirkan sebuah wacana tersendiri bagi

tokoh-tokoh politik maupun penyelenggara negara baik kalangan praktisi politik, hukum dan

ekonomi di negeri ini.

Sikap mendukung pemberlakukan kembali GBHN sebelumnya juga disampaikan oleh Ketua

Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Menurut mantan Presiden RI ini, GBHN bisa membuat

pembangunan di Indonesia lebih cepat dan tidak terbatas pada lima tahun jabatan

Page 9: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

279

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

presiden.(Tempo.co,2019). Namun, tak sedikit yang menentang gagasan menghidupkan kembali

GBHN. Faisal Basri, ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa sejak dekade 1990-

an, banyak kebijakan ekonomi yang tidak lagi didasarkan pada Repelita. Repelita dan GBHN memang

pernah menjadi instrumen perencanaan pembangunan yang efektif. Tetapi, hal tersebut tidak terlepas

dari kondisi politik yang ada saat itu, seperti sistem politik Orde Baru yang monopoli menguasai

wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dwi fungsi ABRI, serta kooptasi pemerintah terhadap

semua organisasi sosial dan profesi.(Basri,2016)

Alternatif Bentuk Hukum Terhadap Re-Eksistensis GBHN Indonesia adalah negara hukum yang konstitusional dan demokratis, dengan demikian segenap

peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memiliki daya ikat yang sama. Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut juga menegaskan hirarki peraturan perundang-undangan

yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan di atasnya. Prinsip negara hukum juga menegaskan bahwa segenap

penyelenggara negara dan seluruh rakyat wajib menjalankan segala undang-undang sebagaimana

mestinya, termasuk undang-undang yang menyangkut semacam GBHN Permasalahan terjadi karena

tidak ada peraturan perundang-undangan yang membuat korelasi antara program nasional, program

di daerah dan antar daerah. Untuk itu diperlukan Undang-Undang Pokok tentang garis-garis besar

daripada haluan Negara yang menjadi rujukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam

melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu segala peraturan perundang-undangan, baik yang

berupa regeling maupun beschiking, bahkan aspirasi masyarakat dapat dijadikan bahan bagi

penyusunan garis- garis besar daripada haluan negara. Yang perlu dilakukan adalah penyempurnaan

dan konsolidasi serta sinkronisasi berbagai ketentuan-ketentuan tersebut agar arah, haluan, dan

strategi pembangunan nasional yang berkelanjutan menghasilkan kehidupan berbangsa dan

bernegara yang kokoh.

Konsekuensi Hukum Diberlakukannya Haluan Negara Hukum ditegakkan tentu akan timbul suatu konsekuensi karena pada dasarnya didalam unsur-

unsur ketentuan hukum mengenal adanya suatu akibat hukum. Lalu dalam hal ini, apakah perlu ada

konsekuensi hukum apabila haluan Negara ditetapkan untuk dijadikan pedoman penyelenggaraan

oleh lembaga-lembaga Negara dan pemerintah? Maka jawabannya adalah perlu ada konsekuensi

hukum diberlakukannya haluan Negara. Hukum perlu ditegakkan demi terwujudnya

penyelenggaraan Negara yang tertib, aman, dan terbebas dari suatu kecurangan. Beberapa cara

menegakan hukum adalah: ( Sutianingsih,2017)

a. Jika hukum merupakan perwujudan norma masyarakat yang dikehendaki bersama pasti akan

mudah pelaksanaannya.

b. Jika tersedia sanksi hukum yang tegas maka hukum akan mudah tegak dan dilaksanakan.

c. Jika penegak hukum dan pihak yang terkait mampu dan mau menegakkan hukum sesuai

peraturan perundang-undangan.

Jadi tiga cara ini harus dilakukan agar penegakan pelaksanaan GBHN bisa dilakukan dengan

baik dan penuh tanggung jawab. Konsekuensi hukum apabila suatu haluan negara yang ditetapkan tidak dijadikan pedoman penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintah baik

di tingkat pusat maupun daerah, maka dilihat dari bentuk hukum yang mewadahi haluan negara

tersebut.

Page 10: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

280

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

Penting Atau Tidaknya Re-Eksistensi Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki cita-cita dan tujuan nasional yang secara jelas

telah tertuang dalam pembukaan konstitusi yakni termaktub dalam alinea ke 2 dan 4 Pembukaan

UUD 1945. Merujuk alinea kedua Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut bangsa Indonesia memiliki

cita-cita “.....Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya

merujuk kepada alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 bangsa Indonesia mempunyai empat

tujuan yang ingin dicapai yaitu pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia, kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa, ketiga, meningkatkan kesejahteraan umum, dan

keempat, ikut serta menciptakan ketertiban dunia berdasakan perdamaian abadi dan keadilan

sosial.Demi tercapainya cita- cita dan tujuan itu pemerintah dan seluruh rakyat harus bekerja cerdas,

berpikir keras, dan tidak segan belajar dari sejarah. Jalan terbaik untuk menata bangsa adalah dengan

merumuskan panduan perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang pada akhir akhir ini

mencuat kembali pentingnya hal itu. Ada yang menyebut panduan itu dengan rencana pembangunan

semesta berencana, ada yang nyaman dengan road map pembangunan dan sebutan lainnya yang

intinya menginginkan kembali adanya garis-garis besar daripada haluan negara atau state guide lines

development policy. Aspirasi yang menginginkan adanya perubahan yang bergulir akhir-akhir ini

tidak lain karena dalam perjalanan berbangsa dan bernegara sejak reformasi digulirkan ditengah

masyarakat dirasakan adanya masalah mendasar bahwa arah pembangunan tidak sejalan dengan cita-

cita dan tujuan nasional yang termasuk dalam Pembukaan UUD, yang terkait dengan: pertama:

sistem perekonomian nasional saat ini yang cenderung larut pada sistem perekonomian liberal,

kedua: sistem demokrasi politik yang juga telah larut ke demokrasi liberal, ketiga: tidak adanya

mekanisme umum dalam mengembangkan budaya nasional, keempat: dalam proses menuju cita-cita

dan tujuan nasional tidak adanya road map yang mengikat, kelima: melemahnya moral dan etika

dalam bermasyarakat dan bernegara, keenam: hasil pembangunan tidak merata dan sangat persial,

dan tidak adanya kesinambungan program pembangunan. Presiden terpilih sama halnya dengan

Gubernur, Bupati, Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat hanya berkewajiban untuk

menjalankan janji-janji politiknya yang tertuang dalam dokumen visi dan misi seperti yang

ditawarkan pada saat kampanye.

Pengalaman menunjukkan banyak para Pimpinan tersebut dipilih kembali karena ’kekuatan’

yang dibangunnya selama 5 tahun periode pemerintahannya dan tidak ada relevansi yang mendasar

apakah mereka telah berhasil atau tidak dalam hal merealisasikan visi dan misi tersebut. Mereka

bekerja melaksanakan pembangunan tidak didasari oleh suatu pedoman yang mengikat secara

nasional, karena tidak adanya garis-garis besar dari pada haluan negara. Dengan demikian maka

masing-masing tingkatan pemerintahan yaitu Kabupaten, Kota, Provinsi dan Tingkat Nasional tidak

terkoordinasikan dan tidak ada lagi ikatan untuk saling berkontribusi dalam rangka mendekatkan

kepada cita cita dan tujuan nasional yang tertuanag dalam Pembukaan UUD. Sinergi dan sinkronisasi

program serta anggaran tidak terjadi.Walaupun ada UU No 17 tahun 2003, tentang Keuangan

Negara, UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17

tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Daya ikat dan daya

rekat dari UU tersebut lemah karena sistem ketatanegaraan sudah berubah. Merespons betapa

pentingnya road map pembangunan/perencanaan pembangunan semesta berencana(RPSB)/GBHN

atau apapun namanya memang menjadi pekerjaan rumah para elit. GBHN harus menjadi acuan bagi

setiap kabinet untuk merumuskan program pemerintahannya dalam setiap periode, sehingga pada

setiap periode pemerintahan, terjadi kesinambungan untuk melanjutkan hal hal yg baik dari

pemerintah sebelumnya dan mengambil langkah-langkah baru yang lebih baik untuk menggenapkan

upaya meraih capaian masa lalu. Secara filosofis road map/RPSB/GHHN menjadi koridor

Page 11: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

281

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita cita dan tujuan nasional.

Perjalanan yang diharapkan dapat berjalan secara tertib, teratur, sinambung, dan efisien. Dengan

demikian garis besar haluan negara berfungsi sebagai lorong atau koridor yang menghubungkan

program program pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang berkali kali sampai

tercapainya cita cita bangsa.

Pro Dan Kontra Penghidupan Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara Pada hakikatnya suatu perencanaan pasti memiliki pro dan kontra didalamnya, terlepas yang

mana benar dan salah tidak terkecuali dengan rencana penghidupan kembali GBHN yang belum

memiliki ketetapan hukum, hal ini jelas sangat menarik untuk diperdebatkan guna menentukan masa

depan bangsa dan negara agar mencakup kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan politik atau

golongan tertentu saja. Sebagai berikut Penulis menemukan alasan mengapa pihak yang “Pro”

terhadap penghidupan kembali GBHN, dikarenakan:

a. Negara seluas Indonesia dengan pluralisme yang ada memerlukan haluan negara sebagai

pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan.

b. Diperlukan integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Diperlukan sistem

perencanaan pembangunan yang berbasis kedaulatan rakyat;

c. Keberadaan suatu Garis-Garis Besar Haluan Negara dipandang mendasar dan urgent

mengingat tidak saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik

dalam jangka pendek, menengah dan panjang, tetapi juga yang lebih mendasar adalah guna

memastikan bahwa proses pembangunan nasional tersebut merupakan manifestasi dan

implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila.

Sedangkan Penulis menemukan alasan mengapa pihak yang “Kontra” terhadap

penghidupan kembali GBHN, dikarenakan :

a. Memunculkan kembali GBHN merupakan pengingkaran terhadap penegasan sistem presidensial;

b. Perencanaan pembangunan nasional sudah cukup diatur dalam Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang kemudian

dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJPN);

c. Kesinambungan pembangunan bukan disebabkan oleh ada atau tidaknya GBHN, tetapi lebih

disebabkan oleh perilaku penyelenggara negara;

d. Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku, dan peraturan perundang-undangan lainnya sudah

merupakan haluan negara bagi seluruh penyelenggaraan negara.

e. Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku, dan peraturan perundang-undangan lainnya sudah

merupakan haluan negara bagi seluruh penyelenggaraan negara.

f. Namun terdapat permasalahannya UU SPPN dan RPJPN memiliki kekurangan; a)

Hasilnya berupa dokumen perencanaan yang tidak applicable, tidak mudah diakses, dan belum tentu

dijadikan acuan dalam penyusunan RAPBN dan program prioritas; b) Tidak mampu mengikuti

perkembangan dan kebutuhan masyarakat, Selain itu terdapat kekurangan sistem RPJP dan RPJM

yang ada sekarang adalah: a) Cenderung terfokus pada visi misi pemilihan presiden lima tahunan;

b)Cenderung didominasi oleh perspektif pembangunan ekonomi; c) Cenderung adanya kepentingan

pemerintahan eksekutif.Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Ketetapan MPR akan hidup kembali

dengan status hierarkis di bawah UUD tetapi diatas UU. Bagaimanapun juga rumusan GBHN tidak mungkin

tidak berkenaan dengan nilai-nilai, norma, dan prinsip-prinsip pembimbing dan pengarah yang bersifat umum,

Page 12: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

282

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

abstrak, dan fundamental, sehingga tidak akan mungkin mengurangi kebebasan Presiden menyusun

programnya sendiri sesuai dengan janji kampanye. Namun, visi dan misi calon presiden, calon gubernur, calon bupati,dan calon walikota bagaimanapun juga harus bersifat terpadu, berkesinambungan dan berkelanjutan

secara nasional berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan haluan- haluan negara dalam garis-garis besarnya yang

tertuang dalam GBHN dan perencanaan nasional jangka panjang dan menengah menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Agenda Perubahan Ke-V UUD 1945 ini perlu disepakati segera, karena waktu yang tersedia sangat terbatas. Jika RPJP berusia 20 tahunan, maka sebaiknya GBHN berusia 25 tahunan.

JPJP yang sekarang berlaku adalah RPJP Nasional 2005-2025 yang jika dilanjutkan dengan JPJP Nasional

berikutnya akan jatuh pada tahun 2025-2045 yang penyusunan dan penetapannya tentu akan dilakukan di masa pemerintahan Presiden berikutnya. Akan tetapi, jika GBHN disepakati untuk 25 tahun, maka GBHN baru

nantinya adalah GBHN 2021-2045 yang dapat dirumuskan dan ditetapkan masih di masa pemerintahan

Presiden Joko Widodo dan Makhruf Amin. Namun, untuk itu, waktu yang tersedia untuk menuntaskannya

hanya 1 tahun, yaitu tahun 2020, dengan syarat bahwa di masa 3 bulan pertama persidangan MPR pada bulan Oktober-Desember 2019, Perubahan Ke-V UUD 1945 sudah harus ditetapkan sebagaimana mestinya sebagai

dasar untuk disusun dan ditetapkannya GBHN 2021-2045 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun

2020.

Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

dan Penting atau tidaknya Re-Eksistensi Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman

Pembangunan Nasional

Secara subtantif GBHN merupakan landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden

yang disusun secara sentralistis dan bersifat top down serta eksklusif. GBHN paling tidak sudah

diterapkan ketika pada masa pemerintahan Orde Lama. MPRS pada waktu itu menetapkan

sedikitnya tiga TAP MPRS yaitu: TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang manifesto politik RI

sebagai GBHN; TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan

Nasional Semesta Berencana dan TAP MPRS No. IV/MPRS/1960 tentang Pedoman Pelaksanaan

Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Pola inilah yang kemudian dilanjutkan

oleh Pemerintahan Orde Baru dalam merumuskan perencanaan pembangunan. GBHN kemudian

dirubah ketika MPR mengesahkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004.

Dalam TAP ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk secara bersama-sama

menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana

Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN. Sebagai realisasi ketetapan tersebut Presiden

dan DPR membentuk UU No.25 Tahun 2000 yang kemudian disempurnakan di akhir masa

pemerintahan Megawati dengan UU No.25 Tahun 2004. Dengan adanya pendapat salah satu pakar

hukum yang menyatakan bahwa UUD 1945 lama menganut paham pembagian kekuasaan yang

bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap

terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun

sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan

lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.

Dalam perpspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan

perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam UUD 1945 lama tidak diatur

pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif.

Pada intinya tidak ada produk buatan manusia yang tidak bisa diubah. Namun demikian juga

tidak boleh ada perubahan jika substansi dan proses yang sudah ada lebih baik dari yang nantinya

akan digantikan. Sesungguhnya dibanding GBHN yang lalu, secara substansi dan proses, pengganti

GBHN yakni RPJP, RPJM dan lain-lain sudah cukup baik. Namun bila akan dikembalikan kepada

GBHN, maka tentu harus lebih baik dari GBHN yang lalu yang sentralistis. Wacana pengembalian

Page 13: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

283

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

GBHN menjadi sistem perencanaan pembangunan nasional harus tetap berdasarkan konsep

reformulais yangf lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa reformulasi bahkan harus disterilkan dari

hal-hal yang bersifat politis seperti pengembalian fungsi dan kewenangan MPR semata. Secara

yuridis, pengembalian GBHN yang ikut menyertakan pengembalian kekuasaan MPR seperti sedia

kala berimbas pada diamandemennya kembali UUD NRI 1945. Hal tersebut walau dimungkinkan

jelas riskan bagi peneguhan sistem konstitusi terutama bila hal tersebut hanya dijalankan sebagai

nafsu dan ambisi kekuasaan bukan karena kebutuhan ketatanegaraan. Ketiadaan konsep yang jelas

dan terukur dalam mengamandemen konstitusi bisa menyebabkan ketidakstabilan bahkan kekacauan

pondasi hukum nasional terlebih lagi bila pada prosesnya terjadi penyimpangan pembahasan dari

segelintir kelompok. Pengembalian GBHN sebagai jalan reformulasi sistem perencanaan

pembangunan kalaupun ingin dilakukan bisa diawali pada hal-hal yang sederhana dengan

memfungsikan secara maksimal mekanisme yang selama ini berjalan dimana perumusan bersama

MPR (DPR dan DPD) serta Presiden tanpa perlu masuk pada isu-isu yang berat seperti amandemen

konstitusi. Kemudian apabila MPR menetapkan UUD dan GBHN. Hal itu ditegaskan UUD 1945

pasal-3 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh para Founding Fathers negara tercinta ini. Pasal 3

UUD tersebut menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Ralyat menetapkan Undang-Undang Dasar

dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Tentu saja, penegasan tersebut bukan tanpa makna.

Karena itu, segala upaya mengubah ketentuan tentang hal tersebut harus dipertimbangkan sebaik-

baiknya dengan seksama demi kepentingan, kelangsungan dan kemajuan Negara Republik Indonesia

(NRI) yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan Dasar

Negara, Falsafah Bangsa dan Ideologi Nasional, yang melandasi Cita-cita dan Tujuan Nasional.

Pancasila bukanlah haluan negara. Demikian pula Pembukaan UUD 1945 bukanlah haluan negara

melainkan pembimbing kearah mana negara harus bergerak. Juga Batang Tubuh UUD 1945

bukanlah haluan negara, melainkan aturan-aturan dasar yang harus ditaati dan dilaksanakan dalam

berbangsa dan bernegara. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta Bab-Bab dan Pasal-Pasal pada

Batang Tubuh UUD 1945 menjadi pembimbing arah bagi Bangsa dan Negara ini, yang harus termuat

secara khusus dalam garis-garis besar daripada haluan negara, baik GBHN huruf kecil maupun

GBHN huruf besar. GBHN itu berlaku konsisten, disiplin dan berkala atau berjangka waktu yang

mencakup semua aspek Wawasan Nusantara. Generali dan Special yang disepakati para Founding

Fathers negara ini pada tahun 1945 tatkala meletakkan segala prinsip kenegaraan Republik Indonesia

itu semata-mata sesuai dengan cara dan semangat Indonesia sendiri, dus… berupa model tersendiri

Indonesia. Jika pandangan itu dibenarkan, maka GBHN yang dimaksud adalah yang bersifat umum,

karena ketetapan-ketetapan MPR selain khusus tentang GBHN pada hakikatnya mengatur hal-hal

yang bersifat umum.

Berarti, sesuai UUD 1945 yang asli, GBHN itu ada yang bersifat umum (generali) dan ada

pula yang bersifat khusus (speciali). Yang bersifat umum adalah yang memuat segala ketentuan dan

kebijakan umum bagi penyelenggaraan negara, sedangkan yang bersifat khusus menyangkut masalah

pembangunan bangsa dan negara. Yang terakhir ini, GBHN huruf besar. GBHN terakhir inilah yang

ditetapkan secara khusus oleh MPRS maupun MPR baik pada era Presiden Soekarno maupun pada era

Presiden Soeharto. Yang bersifat umum, antara lain Ketetapan MPR tentang pengangkatan

Presiden/Wakil Presiden, sedangkan yang bersifat khusus yaitu tentang pembangunan nasional.

GBHN yang terakhir inilah, yang seharusnya ditetapkan MPR, yang lenyap akibat amandemen UUD

1945 pada tahun 1999-2002. Argumentasi atas tidak perlu adanya GBHN sebagaimana ditetapkan

pada era Bung Karno dan Pak Harto terutama karena dibuat pihak pemerintah yang kemudian hanya

ditetapkan (disahkan) oleh MPR. Dalam posisi demikian, MPR hanya melaksanakan kemauan

Page 14: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

284

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

Presiden, yang sebenarnya adalah Mandataris MPR. Hal itu menunjukkan betapa kuasanya Presiden

atas MPR, karena itu posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara harus dikoreksi dan direduksi,

sehingga MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak diberi kuasa menetapkan GBHN.

Argumentasi lain, karena dengan adanya GBHN yang dibuat Pemerintah terbukti Presiden baik Bung

Karno maupun Pak Harto tidak berhasil menyelamatkan pemerintahan negara dan melaksanakan

pembangunan nasional dengan terjadinya krisis yang mengakhiri masa kekuasaan mereka. Kedua

argumentasi yang melenyapkan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak berwenang

menetapkan GBHN tersebut sungguh tidak memperhatikan terjadinya praktek penyelenggaraan

negara yang tidak sesuai dengan apa yang disebut dalam Penjelasan UUD 1945 tentang pentingnya

“semangat penyelenggaraan negara”. Krisis yang terjadi pada akhir masa kekuasaan kedua Presiden

Bung Karno dan Pak Harto juga akibat kondisi di luar perkiraan GBHN. Akhir kekuasaan Bung

Karno karena krisis G.30.S/PKI tahun 1965, sedangkan jatuhnya Pak Harto karena salah menanggapi

krisis moneter internasional.

Alasan Mengapa Diperlukannya GBHN

GBHN merupakan pernyataan keinginan rakyat yang menjadi acuan utama atas segala

kiprah penyelenggara negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa bernegara, yang secara explisit ada

didalam pembukaan UUD 1945. Upaya mewujudkan cita-cita bangsa secara sederhana diartikan

sebagai upaya pembangunan bangsa. Karena pembangunan dapat diartikan

sebagai peningkatan kualitas dan derajat kehidupan seutuhnya dari seluruh rakyat Indonesia. Oleh

karenanya bentuk operasional dari GBHN ini selama beberapa dekade diwujudkan dalam bentuk

Rencana Pembangunan Nasional.Dengan adanya rencana pembangunan para penyelenggara negara

mempunyai pegangan dansasaran serta target yang harus dicapainya dalam kurun waktu tertentu.

Repelita misalnya adalah rencana pembangunan yang memiliki rentang waktu selama lima tahun.

Repelita dipergunakan sebagai penjabaran dari GBHN pada masa awal pemerintahan Soeharto

sampai dengan tahun 1998. Dengan demikian harapan rakyat dan kenyataan yang didapatkan bisa

dengan mudah diukur dengan referensi dokumen tersebut. Bahkan pengukuran kinerja pemerintahan,

dalam hal ini presiden selaku mandataris MPR, didasarkan atas kesungguhan dan keberhasilan

presiden dalam menerjemahkan dan melaksanakan GBHN tersebut.

Pada penyusunan GBHN nyata sekali adanya partisipasi rakyat, lembaga-lembaga

kemasyarakatan, lembaga-lembaga pendidikan dan, kelompok atau orang-orang profesional. Mereka

ada yang diminta dan atas kemauan sendiri menyampaikan sumbangan pokok-pokok pikirannya.

Peranan pers juga nampak. Dengan demikian nyata bahwa GBHN memang berasal dari rakyat sebagai

perwujudan dari asas demokrasi. Terkait peranan GBHN tersebut, Pancasila sebagaimana termuat

dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan Dasar Negara, Falsafah Bangsa dan Ideologi

Nasional, yang melandasi Cita-cita dan Tujuan Nasional. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta

Bab dan Pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 menjadi pembimbing arah bagi Bangsa dan Negara ini,

yang harus termuat secara khusus dalam garis-garis besar daripada haluan negara, baik GBHN huruf

kecil maupun GBHN huruf besar. GBHN itu berlaku konsisten, disiplin dan berkala atau berjangka

waktu yang mencakup semua aspek Wawasan Nusantara. Generali dan Speciali Yang disepakati para

Founding Fathers negara ini pada tahun 1945 tatkala meletakkan segala prinsip kenegaraan Republik

Indonesia itu semata-mata sesuai dengan cara dan semangat Indonesia sendiri.

Karena itu tidak akan ditemui padanannya dalam sistem kenegaraan lainnya di dunia. Ada

pandangan pasca Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 yang menyatakan segala ketetapan MPR

adalah garis-garis besar daripada haluan negara, sehingga tidak perlu dibuat GBHN khusus

sebagaimana terjadi pada era Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Jika pandangan itu

Page 15: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

285

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

dibenarkan, maka GBHN yang dimaksud adalah yang bersifat umum, karena ketetapan-ketetapan

MPR selain khusus tentang GBHN pada hakikatnya mengatur hal-hal yang bersifat umum. Berarti,

sesuai UUD 1945 yang asli, GBHN itu ada yang bersifat umum (generali) dan ada pula yang bersifat

khusus (speciali). Yang bersifat umum adalah yang memuat segala ketentuan dan kebijakan umum

bagi penyelenggaraan negara, sedangkan yang bersifat khusus menyangkut masalah pembangunan

bangsa dan negara. Yang terakhir ini, GBHN huruf besar. GBHN terakhir inilah yang ditetapkan

secara khusus oleh MPRS maupun MPR baik pada era Presiden Soekarno maupun pada era Presiden

Soeharto. Yang bersifat umum, antara lain Ketetapan MPR tentang pengangkatan Presiden/Wakil

Presiden, sedangkan yang bersifat khusus yaitu tentang pembangunan nasional. GBHN yang terakhir

inilah, yang seharusnya ditetapkan MPR, yang lenyap akibat amandemen UUD 1945 pada tahun

1999-2002. Bagaimanapun juga rumusan GBHN tidak mungkin tidak berkenaan dengan nilai-nilai,

norma, dan prinsip-prinsip pembimbing dan pengarah yang bersifat umum, abstrak, dan fundamental,

sehingga tidak akan mungkin mengurangi kebebasan Presiden menyusun programnya sendiri sesuai

dengan janji kampanye. Namun, visi dan misi calon presiden, calon gubernur, calon bupati, dan calon

walikota bagaimanapun juga harus bersifat terpadu, berkesinambungan dan berkelanjutan secara

nasional berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan haluan-haluan negara dalam garis-garis besarnya

yang tertuang dalam GBHN dan perencanaan nasional jangka panjang dan menengah menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PENUTUP

Kesimpulan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk MPR tempo dulu kini sudah tidak

ada sebagai konsekuensi penerapan UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 dan kini menjadi UU No.

9 tahun 2015; dan sebagai konsekuensi dari UU Otda tersebut, lahirlah UU No. 25 tahun 2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); dimana di salah satu dasar pemikirannya

menghapus GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan Nasional. Hal-hal yang

tertulis dalam GBHN adalah sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara Republik Indonesia

yang dibuat oleh MPR untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh Presiden dengan

memanfaatkan seluruh kewenangan dan sumber daya di Indonesia bagi mengisi pembangunan

nasional. Dalam re- eksistensi GBHN idealnya dilakukan melalui amandemen terbatas UUD 45.MPR

menetapkan UUD dan GBHN, ditegaskan UUD 1945 Pasal 3 yang disahkan pada 18 Agustus 1945

oleh para Founding Fathers negara tercinta ini. Pasal 3 UUD tersebut menyatakan, “Majelis

Permusyawaratan Ralyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan

negara”. Tentu saja, penegasan tersebut bukan tanpa makna. Karena itu, segala upaya mengubah

ketentuan tentang hal tersebut harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dengan seksama demi

kepentingan, kelangsungan dan kemajuan Negara Republik Indonesia NRI yang diproklamirkan pada

tanggal 17 Agustus 1945. Pancasila bukanlah haluan negara. Demikian pula Pembukaan UUD 1945

bukanlah haluan negara melainkan pembimbing kearah mana negara harus bergerak. Batang Tubuh

UUD 1945 bukanlah haluan negara, melainkan aturan-aturan dasar yang harus ditaati dan

dilaksanakan dalam berbangsa dan bernegara. Semua itu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta

Bab-Bab dan Pasal-Pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 menjadi pembimbing arah bagi Bangsa dan

Negara ini, yang harus termuat secara khusus dalam garis-garis besar daripada haluan negara, baik

GBHN huruf kecil maupun GBHN huruf besar. GBHN itu berlaku konsisten, disiplin dan berkala atau

berjangka waktu yang mencakup semua aspek Wawasan Nusantara.

Page 16: TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …

SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum

[email protected]

Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286

ISSN : 2684-8791 (Online)

286

Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara

Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional

REFERENSI

Artikbbi. (2019).“Eksistensi” (https://artikbbi.com/eksistensi/) Diakses 10 November 2019,

Pukul 9.15WIB

Arifin,F., et. al. (2005).Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara,

KRHN- MKRI-The Asia Foundation dan USAID Jakarta.

Basri,F. (2016).Perlukah Menghidupkan Kembali GBH

https://faisalbasri01.wordpress.com/2016/01/12/perlukah-menghidupkan-kembali-

gbhn/). Diakses 5 Februari 2016.

Idtesis.(2019).“Normatif” <https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/>

diakses pada tanggal 10 November 2019, Pukul 8.20 WIB.

Kansil, (1980)Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Paramita. Kelsen,H.(1961).General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel,diterjemahkan

oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,Bandung, Cetakan

I, Nusamedia dan Nuansa,2011.

Ketentuan umum Pasal 1 Angka 1-2 UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN.

Ketentuan umum UU No. 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional

Kusnardi,M., dan Harmaily,I.(1980). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,Jakarta,PT Sastra

Hudaya. Le Roy,C.(1981).Kekuasaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,Semarang,.

Nggilu,N,M.(2014).Hukum Dan Teori Konstitusi; Perubahan Yang Partisipatif Dan

Populis, Yogyakarta,UII Press.

Prabowo,D.(2019).“Kritik Demokrasi Indonesia, Megawati Sebut Seperti Poco-poco”

(http://nasional.kompas.com/read/2016/01/10/16053561/Kritik.Demokrasi.Indonesia.Megawati.

Sebut.seperti.pocopoco), diakses 29 Oktober 2019, Pukul 9.20 WIB.

Pasal 13 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN, yang mengamanatkan RPJPN.

Sahidin.(2017). Makalah; Hidup Kembalinya GBHN dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.

Sutianingsih,H.(2017). Makalah;Respon Akademik atas Reformulasi Sistem Perencanaan

embangunan Nasional Model GBHN.

Tempo.co, Rakernas PDIP: Megawati akan hidupkan kembali Fungsi MPR Atur GBHN.

Obrolin Hukum, dengan tema “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum” yang diambil pada

(https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian

hukum/), Diakses tanggal 5 November 2019, Pukul 9.10 WIB.

UUD NRI 1945 Pasal 3 ayat (1) hingga (3), Setelah

amandemen. UUD 1945 Bab II sebelum perubahan

Amandemen.