bab ii kajian pustaka a. pendampingan pastoral

20
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral Dalam perspektif sejarah peradaban manusia, sesungguhnya usia pendampingan setua umur manusia di bumi. Pendampingan merupakan cara manusia memberadakan dan memberadabkan diri. 1 Ada beberapa anggapan dasar yang yang digunakan oleh para praktisi dalam praktek pendampingan: 2 1. Proses pendampingan sebagai “percakapan”. Dalam hal ini, pendampingan dianggap sama dengan percakapan antara pendamping dan orang yang didampingi. 2. Pendampingan sebagai proses wawancara. Anggapan dasar ini tak jauh beda dengan yang pertama, yakni percakapan. Namun bila kita menganggap pendampingan sebagai wawancara, maka kita mengandalkan praktik kita juga pada relasi verbal. Dalam proses wawancara biasanya pewawancara sudah menyusun agenda sebelum bertemu dengan orang yang akan diwawancarai. Berbagai jenis pertanyaan sudah dipersiapkan. Kalau perlu pewawancara berlatih dulu untuk mewawancarai. Biasanya, pewawancara ingin mendapat penjelasan atau informasi dari orang yang diwawancarai. Dengan kata lain, pendampingan dipakai sebagai alat untuk mencari informasi. 3. Pendampingan sebagai wawan wuruk. 1 Totok S. Wiryasaputra. Ready to Care: Pendampingan dan Konseling Psikologi . (Yogyakarta: Galang Press, 2006), 17. 2 Ibid, 51-56.

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pendampingan Pastoral

Dalam perspektif sejarah peradaban manusia, sesungguhnya usia pendampingan setua

umur manusia di bumi. Pendampingan merupakan cara manusia memberadakan dan

memberadabkan diri.1 Ada beberapa anggapan dasar yang yang digunakan oleh para praktisi

dalam praktek pendampingan:2

1. Proses pendampingan sebagai “percakapan”.

Dalam hal ini, pendampingan dianggap sama dengan percakapan antara pendamping dan

orang yang didampingi.

2. Pendampingan sebagai proses wawancara.

Anggapan dasar ini tak jauh beda dengan yang pertama, yakni percakapan. Namun bila kita

menganggap pendampingan sebagai wawancara, maka kita mengandalkan praktik kita juga

pada relasi verbal. Dalam proses wawancara biasanya pewawancara sudah menyusun agenda

sebelum bertemu dengan orang yang akan diwawancarai. Berbagai jenis pertanyaan sudah

dipersiapkan. Kalau perlu pewawancara berlatih dulu untuk mewawancarai. Biasanya,

pewawancara ingin mendapat penjelasan atau informasi dari orang yang diwawancarai.

Dengan kata lain, pendampingan dipakai sebagai alat untuk mencari informasi.

3. Pendampingan sebagai wawan wuruk.

1 Totok S. Wiryasaputra. Ready to Care: Pendampingan dan Konseling Psikologi. (Yogyakarta: Galang

Press, 2006), 17. 2 Ibid, 51-56.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

Anggapan ini agak berbeda dari kedua anggapan sebelumnya. Wawan artinya percakapan

dan wuruk dalam bahasa Jawa artinya mengajar, mendidik, atau menasihati. Pendampingan

ini diorientasikan pada pendidikan dan pengajaran.

4. Pendampingan sebagai konsultasi.

Dalam hal ini pendamping dianggap sebagai konsultan ahli. Pendamping diharapkan dapat

menemukan sumber utama persoalan yang sedang dihadapi, kemudian dapat memberikan

resep tertentu untuk memecahkan persoalan yang dialami oleh orang yang didampingi.

5. Pendampingan sebagai proses terapi.

Dalam hal ini, pendampingan diarahkan pada penyembuhan penyakit atau ketidaknormalan.

Sedangkan istilah pastoral berasal dari kata pastor dalam Bahasa Latin yang artinya

“gembala”. Secara tradisional dalam kehidupan gerejawi hal ini merupakan tugas pendeta yang

harus menjadi gembala bagi jemaat atau dombaNya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri

Yesus Kristus dan karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”. Istilah pastor

dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara. Sikap pastoral harus mewarnai

semua sendi pelayanan setiap orang sebagai orang-orang yang sudah dirawat dan diasuh oleh

Allah secara sungguh-sungguh. Penggembalaan adalah istilah struktural untuk mempersiapkan

rohaniawan untuk tugas pastoral atau tugas pelayanan.

Richard P. McBrien, seorang teolog Roma Katholik menguraikan suatu teologi pelayanan

yang melihat pendampingan pastoral dapat dilakukan pada 4 level:3

1. Umum/universal yaitu pelayanan yang dilakukan oleh setiap manusia terhadap sesama

manusia yang membutuhkannya. Suatu pelayanan yang berakar pada

3 Phan Bien Ton. Perkembangan Paradigma Pendampingan Pastoral di Indonesia. (Jurnal Studi

Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 2, No. 3/2000), 63-64.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

kemanusiaan/humanitas. Misalnya: demonstrasi melawan senjata nuklir, membantu orang

yang kelaparan, membantu korban bencana alam, dsb.

2. Umum/spesifik yaitu pelayanan untuk sesama manusia yang dilakukan oleh profesi

pertolongan seperti: perawat, pekerja sosial, bantuan hukum, pengobatan, dsb. Pelayanan ini

berakar pada kemanusiaan, namun juga kompetensi tertentu yang membutuhkan validasi

tertentu seperti lisensi keprofesionalan oleh yang berwenang.

3. Kristen/universal yaitu pelayanan kepada sesama yang dilakukan di dalam Kristus dan oleh

karena Kristus. Pelayanan ini berakar pada baptisan setiap anggota gereja. Pelayanan

umum/universal yang dilaksanakan oleh seorang Kristen dapat dikatakan merupakan

pelayanan Kristen/universal ini jika dilakukan dengan motif-motif Kristen secara eksplisit.

4. Kristen/spesifik, yaitu pelayanan untuk sesama di dalam Kristus dan oleh karena Kristus, atas

nama gereja dan demi membantu gereja melaksanakan misi-Nya. Ini merupakan pelayanan

yang ditetapkan oleh gereja, yang dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu. Seorang

Kristen yang mengunjungi orang sakit atas prakarsanya sendiri, melakukan pelayanan

Kristen/universal, tetapi orang Kristen yang mengunjungi orang sakit sebagai bagian dari

tugasnya dalam Tim Visitasi Gereja, melakukan pelayanan Kristen/spesifik.

Secara tradisional fungsi pastoral ada empat, keempat fungsi pastoral itu adalah:4

1. Penyembuhan

Yang dimaksudkan dengan penyembuhan adalah salah satu fungsi pastoral yang

bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu

keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Dalam hal ini

jika dihubungkan dengan PSK, maka fungsi pastoral ini dapat mengatasi kerusakan moral

4 Mesach Krisetya. Teologi Pastoral..., 4-5.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

dengan cara mengembalikan PSK itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih

baik daripada kondisi sebelumnya.

2. Penopangan

Penopangan berarti menolong orang yang ”terluka” untuk bertahan dan melewati suatu

keadaan yang di dalamnya pemulihan kepada kondisi semula atau penyembuhan dari

penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya. Dalam hal ini jika dihubungkan dengan

PSK, fungsi pastoral ini dapat menolong PSK untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang

di dalamnya ada pemulihan kepada kondisi semula dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Pembimbingan

Membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti

di antara berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang

sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang. Dalam hal ini jika

dihubungkan dengan PSK, fungsi pastoral ini dapat membantu PSK yang kebingungan untuk

menentukan pilihan-pilihan yang pasti di antara berbagai pikiran dan tindakan alternatif bagi

masa depannya.

4. Pendamaian

Berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya dan antara manusia

dengan Allah. Secara tradisi perdamaian menggunakan dua bentuk—pengampunan dan disiplin,

tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Dalam hal ini jika dihubungkan dengan PSK, fungsi

pastoral ini membangun ulang relasi PSK dengan sesamanya dan antara PSK dengan Allah,

dengan begitu maka ada pengampunan bagi PSK yang memiliki keinginan untuk kembali ke

masyarakat.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

B. Pelacuran

1. Pengertian Pelacuran

Pelacuran berasal dari bahasa latin Prostituere atau Prostauree, yang berarti membiarkan

diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan. Para wanita yang melakukan pelacuran

sekarang ini dikenal dengan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial) yang diartikan sebagai wanita

yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang, di luar

perkawinan yang sah dan mendapatkan uang, materi atau jasa.5

Jenis Pelacuran dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu:6

1. Pelacuran Terdaftar

Pelacuran ini pelakunya diawasi oleh Vice Control dari Kepolisian, bekerja sama dengan

jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir, dalam satu daerah

tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas

kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan sebagai tindakan dan keamanan umum.

2. Pelacuran tidak terdaftar

Pelacuran dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-

gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak

terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Bisa di sembarang tempat, baik mencari “mangsa”

sendiri, maupun melalui calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang

berwajib, sehingga kesehatannya sangat diragukan karena biasanya tidak mau memeriksakan

kesehatannya ke dokter.

Menurut jumlahnya Pelacur dapat dibagi dalam:7

1. Pelacur yang beroperasi secara individual; merupakan “single operator”

5 B Simanjuntak. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. (Bandung: Tarsito, 1982), 25.

6 Kartini Kartono. Patologi Sosial Jilid I..., 214.

7 Ibid.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

2. Pelacur yang bekerja dengan bantuan organisasi dan “sindikat” yang teratur rapi. Mereka

tidak bekerja sendirian; akan tetapi diatur melalui satu sistem kerja suatu organisasi.

Menurut tempat penggolongan atau lokasinya, pelacuran dapat dibagi menjadi:8

1. Segresi atau lokalisasi, tempatnya terisolir atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya.

Kompleks ini dikenal sebagai daerah “lampu merah”, atau petak-petak daerah tertutup.

2. Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour).

3. Di balik front-organisasi atau dibalik bisnis-bisnis terhormat (apotik, salon kecantikan,

rumah makan, tempat mandi uap, tempat pijat dan lain-lain).

Lokalisasi pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, dikelola

oleh mucikari atau germo. Di luar negeri, germo mendapat sebutan “madam”, sedang di

Indonesia mereka dipanggil dengan sebutan “mama” atau ‘mami”. Tempat tersebut menyediakan

segala perlengkapan seperti tempat tidur, kursi tamu, pakaian dan alat berhias. Juga tersedia

bermacam-macam gadis dengan tipe karakter dan suku bangsa yang berbeda. Di tempat

lokalisasi tersebut menerapkan disiplin dengan ketat: misalnya: tidak boleh mencuri uang

langganan, dilarang merebut langganan orang lain, tidak boleh mengadakan janji diluar, dilarang

memonopoli seorang langganan dan lain-lain. PSK harus membayar pajak rumah dan pajak obat-

obatan, sekaligus juga uang keamanan agar mereka terlindung dan terjamin identitasnya.

Suasana dalam kompleks PSK itu sangat kompetitif, khususnya dalam bentuk persaingan

memperebutkan langganan. Biasanya nama-nama PSK umumnya diganti, untuk menjaga

keaslian identitasnya, agar mereka tidak dikenal oleh saudaranya. Saingan berat bagi para PSK

ialah wanita-wanita dan gadis-gadis yang secara individual beroperasi bebas (pelacur individual).

2. Motif-Motif Yang Melatar belakangi Pelacuran

8 Ibid. 216.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

Pelacuran merupakan bentuk penyimpangan seksual, dengan pola organisasi impuls-

impuls dengan dorongan seks atau dorongan seks yang tidak wajar, dan dorongan seks yang

tidak terintegrasi dalam kepribadian, sehingga relasi seks itu sifatnya impersonal, tanpa afeksi

dan emosi (kasih sayang), berlangsung cepat, tanpa mendapatkan orgasme di pihak wanita.

Pelacur wanita disebut PSK atau pekerja seks komersial. Dengan adanya unsur komersialisasi

itu, pelacuran merupakan satu “profesi” paling tua sepanjang sejarah manusia. Motif-motif yang

mendorong banyak wanita untuk memilih pelacuran sebagai mata pencaharian, antara lain ialah

:9

1. Aspirasi materiil tinggi dibarengi dengan usaha mencari kekayaan lewat jalan yang

mudah dan “bermalas-malas”.

2. Memberontak terhadap otoritas orang tua.

3. Ada disorganisasi kehidupan keluarga atau “broken home”.

4. Penundaan perkawinan jauh sesudah kematangan biologis.

5. Bermotifkan standar hidup atau ekonomis yang tinggi, yang mendorong makin pesatnya

tumbuhnya pelacuran.

6. Ajakan teman-teman sekampung atau sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam

dunia pelacuran.

Beberapa sebab mengapa banyak kaum laki-laki melakukan relasi seks dengan PSK

antara lain ialah:10

1. Mencari variasi dalam relasi seks,

2. Nafsu kelamin laki-laki, untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa satu ikatan,

3. Rasa iseng, dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan perkawinan,

9 Ibid, 232.

10 Ibid, 234.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

4. Jauh dari isteri karena melakukan tugas,

5. Tidak mendapatkan kepuasan dalam penyaluran kebutuhan seks, dengan partner atau

isterinya,

6. Tidak perlu bertanggung jawab atau akibat relasi seks dirasakan lebih ekonomis.

Misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membina rumah tangga dan

menjamin kehidupan isteri. Namun bisa bersenang-senang dengan banyak wanita.

3. Tujuan Didirikannya Lokalisasi

Lokalisasi itu pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, yang

dikelola oleh mucikari atau germo. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat

tidur, kursi tamu, pakaian, dan alat berhias. Suasana dalam kompleks lokalisasi wanita pelacur

itu sangat kompetitif, khususnya dalam bentuk persaingan memperebutkan langganan. Nama-

nama wanita pelacur pada umumnya sudah diganti, untuk menjaga keaslian identitasnya, juga

agar mereka tidak dikenal oleh handai tolan lama. Solidaritas di kalangan pelacur itu sangat

kecil, terkecuali pada saat-saat menghadapi bahaya, dan sewaktu diadakan penangkapan oleh

pihak yang berwajib. Saingan berat bagi para PSK ialah wanita-wanita dan gadis-gadis yang

secara individual beroperasi bebas.

Adapun tujuan dari lokalisasi itu sendiri ialah:11

1. Untuk menjauhkan masyarakat umum, terutama anak-anak puber dan adolesens dari

pengaruh-pengaruh immoral dari praktek pelacuran, juga menghindarkan gangguan-

gangguan kaum pria hidung belang terhadap wanita-wanita baik,

2. Memudahkan pengawasan para PSK, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya.

Memudahkan tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit kelamin,

11

Ibid, 216-217.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

3. Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para PSK yang pada umumnya selalu

menjadi pihak yang paling lemah,

4. Memudahkan bimbingan mental bagi para PSK, dalam usaha rehabilitasi dan resosialisasi.

Kadang kala juga diberikan pendidikan keterampilan dan latihan-latihan kerja, sebagai

persiapan untuk kembali ke dalam masyarakat biasa, khususnya diberikan pelajaran agama

guna memperkuat iman, agar bisa tabah dalam penderitaan.

4. Akibat-Akibat Didirikannya Lokalisasi

Seks sering diartikan oleh manusia sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kelamin dan

selalu ada perkembangan. Menurut Feuct “keinginan seks sangat perlu dan penting seperti rasa

haus dan lapar”, sehingga pemenuhannya tidak dapat ditahan yang terkadang melewati batas-

batas normal.12

Tuhan menciptakan manusia dengan dorongan seksual yang begitu kuat,

sehingga manusia tidak memiliki pilihan lain, keinginan untuk dipuaskan oleh lawan seksnya

adalah wajar dan sebagaimana nyala api yang membakar habis jerami yang dilaluinya.13

Praktek pelacuran merupakan problem sosial yang memerlukan penanganan yang

bijaksana oleh pemerintah karena bersifat kompleks dan dilematis. Disebut kompleks karena

praktek pelacuran dilatar belakangi oleh berbagai macam faktor yang mendorong seperti

ekonomi, mental, penyakit kelainan seks dan lain sebagainya. Dilematis karena disatu sisi

sebagian masyarakat merasa terganggu dan ingin mengatasinya, di sisi lain sebagian masyarakat

menggunakan jasanya. Selain itu praktek pelacuran oleh sebagian masyarakat tidak dirasakan

sebagai persoalan, justru sebaliknya dengan praktek pelacuran itu mereka banyak diuntungkan

secara ekonomis, misalnya para pedagang makanan dan minuman di sekitar lokalisasi,

12

Lumoindang, Reindra dan Gilbertz. Pelacuran dibalik Seragam Sekolah: Tinjauan etis Teologis

Terhadap Praktik Hubungan Seks Pranikah. (Yogyakarta: Yayasan Andi Nugraha, 1996), 60. 13

Ibid, 59.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

persewaan rumah oleh masyarakat di sekitar lokalisasi dan lain-lain. Walaupun demikian,

pelacuran merupakan problem sosial yang menyangkut ukuran nilai-nilai sosial dan budaya

masyarakat, karena sifatnya sebagai problem sosial perlu penanganan secara serius dan tidak

hanya dipandang sebagai problem masyarakat secara sosiologis. Banyak penelitian dan

penanganan kesejahteraan sosial yang sudah dilakukan, namun demikian realitas menunjukkan

bahwa PSK dan praktek pelacuran masih terus berlangsung dan menjadi permasalahan sosial

serta makin meluas di kota-kota di Jawa Tengah. Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh

pelacuran adalah:14

1. Menimbulkan dan menyebar luaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang banyak

terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah). Akibat utama yang ditimbulkan dari

syphilis yaitu, bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak

keturunan, antara lain ialah: (1) Congenital Syphilis (sipilis herediter/ keturunan) yang

menyerang bayi semasa dalam kandungan, sehingga terjadi keguguran atau bayi lahir mati.

Jika bayi bisa lahir, biasanya kurang bobot, kurang darah, buta, tuli, kurang intelegensinya,

defekt (rusak cacat) mental dan defekt jasmani lainnya. (2) Syphilis Amentia, yang

mengakibatkan cacat mental ringan, retardasi atau lemah ingtan dan imbisilitas. Sedang yang

berat bisa mengakibatkan serangan epilepsi atau ayan, kelumpuhan sebagian atau

kelumpuhan total; bisa jadi idiot psikotik, atau menurunkan anak-anak idiot.

2. Merusak sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya

melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarganya menjadi berantakan.

3. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan

norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama,

karena digantikan dengan pola pemuasan kebutuhan seks dan kenikmatan seks yang murah

14

Kartini Kartono. Patologi Sosial Jilid I..., 212-213.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

serta tidak bertanggung jawab. Bila pola pelacuran ini telah membudaya, maka rusaklah

sendi-sendi kehidupan keluarga yang sehat.

4. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya PSK itu cuma

menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya, karena sebagian

besar harus diberikan kepada germo, calo-calo, centeng-centeng, dan lain-lain.

Pelacuran itu tumbuh dengan pesatnya di kota-kota yang tengah berkembang, yaitu

meluas dengan cepat oleh: pendirian kompleks industri baru, kemunculan berbagai sekolah,

universitas dan akademi; semakin besar kebutuhan kaum pria akan pemuasan dorongan seksnya

sebagai kompensasi dari kegiatan kerjanya setiap hari untuk melepaskan segenap ketegangan,

semakin pesat pula pertumbuhan pusat pelacuran di kota-kota.15

C. Pandangan Alkitab Terhadap PSK

Sebelum menguraikan mengenai pandangan warga jemaat GBI Bandungangn terhadap

PSK Bandungan, penulis akan memaparkan mengenai pandangan Alkitab terhadap PSK. Selama

ini isu PSK dalam Alkitab terkait dengan bagaimana isu seksualitas perempuan dikonstruksikan

dan dinilai. Dalam Alkitab, PSK adalah “penyakit sosial” atau “dosa”. Dalam Kitab Perjanjian

Lama, disebutkan bahwa hukuman bagi perzinahan adalah melempari pelakunya dengan batu

sampai mati (Ulangan 22:22-24 dan Imamat 20:10). Ada banyak teks yang menggunakan istilah

“perempuan sundal” yang berkonotasi negatif: bukan saja orang berdosa, warga paria yang

dikucilkan, dicemooh, tetapi juga distereotipkan dengan ungkapan cibiran seperti “…seorang

perempuan, berpakaian sundal dengan hati licik; cerewet dan liat perempuan ini, kakinya tak

dapat tenang di rumah, sebentar ia di jalan dan sebentar di lapangan, dekat setiap tikungan ia

menghadang” (Amsal 7: 10–12). Teks Kitab Hosea menganalogikan Israel yang murtad dari

15

Ibid, 218.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

Allah sebagai “perempuan sundal”: Berfirmanlah ia kepada Hosea: “Pergilah, kawinilah

seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal

hebat dengan membelakangi TUHAN.” (Hosea 1: 2), dan teks kitab Yehezkiel menceritakan

tentang perempuan sundal kakak beradik, bernama Ohola dan Oholiba, mereka berdua adalah

analogi dari Samaria dan Yerusalem yang murtad dari Allah. Satu-satunya teks yang

“memperdengarkan” suara perempuan yang diberi label “sundal” adalah kisah Tamar dengan

mertuanya, Yehuda (Kejadian 38). Tamar melakukan “persundalan” dengan Yehuda sebagai

strategi untuk membalas tindakan mertuanya yang ingkar janji memberikan Syela, anaknya,

untuk menjadi suaminya.

Agama Yahudi di masa Perjanjian Baru, khususnya di masa Yesus juga menganggap

negatif praktek pelacuran. Karena itu orang baik-baik biasanya tidak mau bergaul dengan mereka

bahkan menjauhkan diri dari orang-orang seperti itu. Namun demikian Yesus digambarkan dekat

dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat seperti para pelacur, pemungut cukai,

dll. Injil Matius melukiskan demikian: "Kata Yesus kepada mereka: ’Aku berkata kepadamu,

sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului

kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah'." (Matius 21:31). Bahkan Yesus diceritakan dalam

Perjanjian Baru pernah membebaskan seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berbuat

zinah, saat itu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang hendak

menghukum perempuan itu: ”Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang

pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh:8:7).

D. Definisi dan Panggilan Tugas Gereja

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

Kata "gereja" acap kali diasosiasikan orang dengan beragam arti. Orang mengartikannya

sebagai gedung, tempat umat Kristen melakukan kebaktian, ada juga yang mengartikan sebagai

Institusi/lembaga dan sebuah organisasi. Penggunaan istilah Gereja tanpa memperdulikan

keragaman makna serta keberbagaian konotasi dapat menimbulkan kerancuan bahkan distorsi.

Kata Gereja berasal dari bahasa Portugis "igreja" (Bahasa Latin: ecclesia. Bahasa Yunani:

ekklesia) yang kemudian masuk menjadi kosa kata bahasa Indonesia.16

Ekklesia berarti dipanggil

keluar, yaitu orang-orang merdeka yang dipanggil berhimpun untuk suatu pertemuan.17

Dengan

menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini adalah orang-orang

pilihan yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap. Tetapi pada saat yang sama,

mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut kembali diutus ke dalam dunia, ke dalam

lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14). Itu berarti Allah memanggil

umat pilihanNya bukan untuk dijadikan umat simpanan-Nya atau menjadi suatu umat yang

diisolirkan dari lingkungan masyarakat sekitarnya (eksklusive). Oleh sebab itu, makna gereja

yang sejati bukan hanya terletak pada pemilikan nota ecclesiae: adanya pemberitaan Firman

Allah yang benar; penyelenggaraan sakramen yang betul dan penegakkan disiplin, tetapi juga

harus menjadi gereja bagi orang lain.18

Gereja-gereja di Indonesia melalui dokumen Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK)

yang diputuskan Sidang Raya XII PGI 1994 memberikan rumusan tentang Gereja secara padat,

antara lain:19

16

Weinata Sairin. Gereja dan Perkembangan Kehidupan Bangsa. (Jurnal Studi Pembangunan,

Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 2, No. 2/2000), 37. 17

Ibid. 18

David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah.

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 575. 19

PGI. Lima Dokumen Keesaan Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 53-54.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

a. Roh Kudus menghimpun umatNya dari segala bangsa, suku kaum dan bahasa ke suatu

persekutuan yaitu: Gereja, dimana Kristus adalah Tuhan dan kepala (Efesus 4:3-16, Wahyu

7:9). Roh Kudus juga telah memberikan kuasa kepada Gereja dan mengutusnya ke dalam

dunia untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerjaan Allah, kepada segala makhluk ke

semua tempat dan sepanjang jaman (Kisah Para Rasul 1:8; Markus 16:15, Matius 28:19-

20). Dengan demikian Gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri. Sama seperti Kristus telah

meninggalkan kemuliaanNya di sorga, mengosongkan diri dan menjadi manusia (Yohanes

1:1, 14; Filipi 2:6-8) dan tergerak hatinya oleh belas kasihan kepada semua orang yang

menderita karena pelbagai penyakit, dan kelemahan yang merindukan kelepasan, dapat

mengalami pembebasan dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Matius 9:35-38;

Lukas 4:18-19). Dengan demikian Gereja dan warganya akan dapat menghayati dengan

sungguh-sungguh makna dari baptisan dan perjamuan kudus yang senantiasa dilayankan

bersama-sama dengan pemberitaan Firman Allah di tengah-tengah ibadah Gereja sebagai

tanda keberadaan dan kekudusanNya.

b. Gereja ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam

konteks, sosial politik, ekonomi dan budaya tertentu. Demikian halnya Gereja-gereja di

Indonesia dipanggil dan ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas

panggilannya di tengah-tengah bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang

merdeka, berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang diyakini

sebagai anugerah Tuhan. Kehadiran Gereja-gereja di Indonesia dalam negara kesatuan

Republik Indonesia merupakan tanda pengutusan Tuhan sendiri agar Gereja-gereja secara

aktif dan kreatif mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan dan keutuhan

ciptaan di Indonesia. Disamping itu Gereja terpanggil secara aktif dan kreatif mengambil

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

bagian dalam usaha mencegah segala hal yang merongrong dan merendahkan harkat dan

martabat manusia Indonesia serta segala hal yang merusak lingkungan alam Indonesia.

Tugas panggilan itu dilaksanakan melalui berbagai upaya pencegahan sekaligus upaya

pembelaan dan penegakkan hukum/keadilan bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah

Indonesia.

c. Gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan Tuhan yang bertujuan untuk

mensejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Akan tetapi sebagai lembaga

keagamaan yang otonom, Gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari pengaruh

negara, dan sebaliknya Gereja tidak berhak untuk mengatur kehidupan negara oleh karena

negara mempunyai fungsi tersendiri dalam menjalankan panggilan di dunia (Roma 13:1-

7; I Petrus 2:13-14). Dengan demikian Gereja dan negara harus membina hubungan yang

koordinatif dan bukan hubungan subordinatif dimana yang satu menguasai yang lain.

Gereja dan negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan

dengan penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan.

Gereja mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum negara, sebaliknya negara

berkewajiban mengayomi dan melindungi seluruh rakyatnya termasuk Gereja, agar leluasa

dalam menjalankan fungsi dan panggilannya masing-masing (I Petrus 2:16).

Gereja diutus ke tengah-tengah dunia oleh Allah untuk menjalankan tugas panggilannya

secara konsisten dan konsekuen. Tiap Gereja adalah ungkapan dari Gereja yang kudus dan am,

yaitu persekutuan orang-orang percaya, pria-wanita, tua, muda di segala tempat di sepanjang

jaman. Gereja di semua tempat di sepanjang jaman terpanggil untuk:20

a. Menampakkan keesaan mereka seperti keesaan tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia (I

Korintus 12:4).

20

Weinata Sairin. Ibid, 37.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

b. Memberitakan Injil kepada segala makhluk (Markus 16:15).

c. Menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan keadilan (Markus 10:45;

Lukas 4:18; 10:25-37; Yohanes 15:16).

Tugas panggilan Gereja itu adalah kelanjutan dari misi Yesus Kristus yang telah diutus

oleh Allah untuk menyelamatkan dunia ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah.

Tugas panggilan Gereja tidak pernah berubah di semua tempat dan dalam segala jaman. Sebab

Gereja hidup oleh Kristus dan bagi Kristus. Dan Kristus tidak berubah, karena Ia adalah sama

kemarin, hari ini, esok dan selama-lamanya.

E. Pelayanan Pastoral Gereja dan Kaitannya Dengan PSK

Pelayanan pastoral adalah suatu pelayanan yang sangat vital dalam gereja. Pelayanan

pastoral memegang peranan yang sangat penting di dalam pertumbuhan sebuah gereja. Salah

satu tanda bahwa sebuah gereja bertumbuh dapat diukur dengan bagaimana kualitas pelayanan

pastoral yang dilakukan oleh gereja kepada jemaatnya.21

Apabila pelayanan pastoral yang

dimiliki oleh sebuah gereja kuat, maka dapat dipastikan bahwa gereja akan bertumbuh menjadi

kuat. Sebaliknya apabila pelayanan pastoral di dalam sebuah gereja lemah, maka dapatlah

diprediksi bahwa gereja akan menjadi lemah dan tidak dapat bertumbuh sebagaimana yang

diharapkan. Ibarat seorang anak yang membutuhkan perhatian yang optimal dari orangtuanya

agar dia kelak akan bertumbuh dengan sehat, demikian pula gereja terhadap jemaat.

Salah satu tujuan pelayanan pastoral yang dilakukan oleh para abdi Allah di dalam gereja

adalah membuat suatu transformasi atau perubahan di dalam hidup jemaat yang dilayaninya serta

dalam lingkungannya. Sudah barang tentu perubahan yang dimaksud adalah suatu perubahan

21

Agung Gunawan. Teori Perubahan: Pelayanan Pastoral Yang Transformatif. (Jurnal Theologia

Aletheia, Volume 6 Nomor 11, September 2004), 3.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

seseorang ke arah yang positif atau yang lebih baik. Seorang jemaat yang imannya pada awalnya

belum memiliki kualitas iman yang sejati, diharapkan dengan pelayanan pastoral yang dilakukan

oleh pendeta akan menolong jemaat tersebut bertumbuh dalam kualitas imannya. Dalam hal ini,

pelayanan pastoral suatu gereja kepada PSK dapat melalui khotbah dan pembinaan yang juga

merupakan dimensi pelayanan pastoral seorang pendeta.

Dalam suatu gereja, seorang jemaat yang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang atau

pun tidak selaras dengan nilai-nilai kekristenan, melalui bimbingan seorang gembala diharapkan

dapat menjadi domba-domba yang tidak tersesat dan tidak berjalan menurut keinginannya

sendiri. Apabila ada jemaat yang mengalami masalah-masalah psikologis yang cukup berat,

sehingga mengakibatkan mereka tidak dapat menikmati hidup yang Tuhan telah anugerahkan

kepada mereka; seorang Pendeta harus mampu menolong mereka untuk dapat merubah kondisi

mereka melalui pelayanan pastoral agar mereka dapat keluar dari permasalahan yang mereka

hadapi.22

Dalam hal ini, maka sasaran utama dari pelayanan pastoral gereja dalam kaitannya

terhadap PSK adalah menolongnya untuk mengalami perubahan atau transformasi dalam

hidupnya.

Bila seorang Pendeta tidak mampu melakukan transformasi atau perubahan dalam diri

jemaat dan lingkungannya, maka dapat dikatakan bahwa ia gagal dalam pelayanan pastoralnya.23

Jadi pelayanan pastoral adalah pelayanan yang transformatif. Pelayanan pastoral Gereja bagi

PSK bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah, karena di dalam proses transformasi ini Pendeta

berhubungan dengan mahluk hidup yang disebut manusia. Berbeda dengan benda atau sebagian

binatang yang mungkin dapat dengan mudah kita ubah, manusia memiliki tubuh dan jiwa,

sehingga tidaklah mudah untuk mengubahnya.

22

Ibid, 4. 23

Ibid.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

F. Cara Pandang Warga Jemaat Gereja Terhadap PSK

Dalam hal ini, cara pandang Jemaat Gereja terhadap PSK dapat dikategorikan juga

sebagai suatu persepsi. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan

menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan

mereka.24

Menurut Atkinson, persepsi adalah suatu proses dimana terjadi pengorganisasian dan

penafsiran pola stimulus dalam lingkungan.25

Prosesnya adalah, stimulus yang diindera oleh

individu kemudian diorganisasikan dan diintepretasikan, sehingga individu menyadari/mengerti

tentang apa yang diindera tersebut. Robbins juga menambahkan bahwa tujuan dari

pengintepretasian/penafsiran ketika individu mempersepsikan sesuatu adalah agar stimulus itu

dapat memberi makna kepada lingkungan mereka.26

Dengan demikian, maka cara pandang organisasi Gereja akan mempengaruhi stimulus

atau pesan yang Warga Jemaat Gereja tangkap dan mempengaruhi makna yang mereka berikan

kepada PSK. Individu pada dasarnya menerima bermacam-macam stimulus dari lingkungannya,

tapi tidak semua stimulus akan ditanggapi atau direspon oleh individu. Dalam hal ini, setiap

jemaat di dalam Gereja akan melakukan proses seleksi stimulus karena cenderung hanya akan

merespon stimulus yang menarik bagi dirinya.

Setiap karakteristik yang membuat seseorang, suatu objek, atau peristiwa menyolok akan

meningkatkan kemungkinan bahwa itu akan dipersepsikan. Bahkan, menurut Leavitt, individu

cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka anggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan

24

Stephen P. Robbins. Perilaku Organisasi. Jilid 1. (Jakarta: Salemba Empat, 2007),174. 25

Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., & Hilgard, E. H. 1997. Pengantar Psikologi. Jilid 1. Edisi Ke-8.

Cetakan Ke-5. Alih Bahasa : Nurdjannah Taufiq & Rukmini Barhana. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), 201. 26

Stephen P. Robbins. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jilid 1. Edisi Ke-8. Alih

Bahasa : Hadyana Pujaatmaka & Benyamin Molan. (Jakarta : PT. Prehallindo, 2001), 124.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

mereka, dan mengabaikan hal-hal yang dianggap merugikan/mengganggu.27

Dalam hal ini,

keadaan psikologis Warga Jemaat Gereja menjadi sangat berperan dalam proses intepretasi atau

penafsiran terhadap PSK, sehingga sangat mungkin persepsi setiap Warga Jemaat Gereja akan

berbeda dengan individu lain, meskipun objek/stimulusnya sama.

Penafsiran sarat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi,

antara lain sikap, motif/kebutuhan, kepentingan/minat, pengalaman masa lalu dan harapan.28

Proses persepsi melibatkan intepretasi yang mengakibatkan hasil persepsi antara satu orang

dengan orang lain sifatnya berbeda (individualistik).29

Selanjutnya, Pareek mengemukakan ada empat faktor utama yang menyebabkan

terjadinya perbedaan persepsi, yaitu:30

1. Perhatian.

Terjadinya persepsi pertama kali diawali oleh adanya perhatian. Tidak semua stimulus yang

ada di sekitar kita dapat kita tangkap semuanya secara bersamaan. Perhatian kita hanya tertuju

pada satu atau dua objek yang menarik bagi kita. Dalam hal ini Jemaat suatu Gereja akan

memiliki cara pandang yang netral, jika baginya pembahasan mengenai PSK bukan sesuatu yang

menarik baginya.

2. Kebutuhan.

Setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu kebutuhan menetap

maupun kebutuhan yang sesaat. Dalam hal ini Jemaat suatu Gereja akan melihat apakah

pembahasan PSK sesuai dengan kebutuhan pelayanan suatu Gereja.

27

H. J. Leavitt. Psikologi Manajemen. Edisi Ke-4. Alih Bahasa: Muslichah Zarkasi. (Jakarta : Penerbit

Erlangga, 1997), 31. 28

Stephen P. Robbins. Perilaku Organisasi..., 125. 29

L. L . Davidoff. Psikologi Suatu Pengantar. Jilid 1. Edisi Ke-2. Alih bahasa: Mari Juniati. (Jakarta:

Erlangga, 1988), 231. 30

U. Pareek. Perilaku Organisasi. (Jakarta: PT Pustaka Pressindo, 1984), 13.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendampingan Pastoral

3. Kesediaan

Kesediaan adalah harapan seseorang terhadap suatu stimulus yang muncul, agar memberikan

reaksi terhadap stimulus yang diterima lebih efisien sehingga akan lebih baik apabila orang

tersebut telah siap terlebih dulu. Dalam hal ini Jemaat Gereja akan melihat apakah harapan

mereka terhadap PSK dapat memberikan reaksi bagi pelayanan pastoral bagi PSK.

4. Sistem nilai

Sistem nilai yang berlaku dalam diri seseorang atau masyarakat akan berpengaruh terhadap

persepsi seseorang. Dalam hal ini Jemaat Gereja akan melihat sistem nilai yang berlaku dalam

dirinya, dalam suatu masyarakat atau dalam Gereja itu sendiri.

Cara pandang seseorang terdiri dari beberapa aspek. Walgito mengemukakan tiga aspek

utama cara pandang, yaitu :31

1. Kognisi

Aspek kognisi menyangkut komponen pengetahuan, pandangan, pengharapan, cara

berpikir/mendapatkan pengetahuan, dan pengalaman masa lalu, serta segala sesuatu yang

diperoleh dari hasil pikiran individu pelaku.

2. Afeksi

Aspek afeksi menyangkut komponen perasaan dan keadaan emosi individu terhadap objek

tertentu serta segala sesuatu yang menyangkut evaluasi baik buruk berdasarkan faktor emosional

seseorang.

3. Konasi atau psikomotor

Aspek konasi/psikomotor menyangkut motivasi, sikap, perilaku atau aktivitas individu sesuai

dengan cara pandangnya terhadap suatu objek atau keadaan tertentu.

31

B. Walgito. Psikologi Sosial. (Yogyakarta: Andi Offset, 1991), 50.