bab ii ritual dan pendampingan pastoral berbasis …

36
16 BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS BUDAYA Bagian ini akan membahas tentang dua teori besar yang akan digunakan sebagai pendukung dalam menganalisa data yang ditemukan. Teori tersebut adalah teori ritual dan pendampingan berbasis budaya. Pembahasan teori ritual akan di mulai dengan paham ritual dan teori ritual pernikahan menurut Arnold Van Gennep, sedangkan pembahasan pendampingan pastoral berbasis budaya diawali dengan kajian pendampingan pastoral berbasis budaya, tahapan pendampingan pastoral, dan fungsi pendampingan pastoral. II.1. RITUAL II.1.1. Pemahaman Ritual Ritual pada umumnya dianggap sebagai tindakan yang secara otomatis dapat membedakannya dari aspek konseptual agama, seperti keyakinan, simbol, dan mitos. 1 Ritual dalam suatu daerah merupakan perwujudan yang nyata dari sebuah kebudayaan masyarakat dalam negeri tertentu yang dapat menguatkan ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok, hal ini dapat menjadi proses integrasi yang dikuatkan dan diabdikan melalui simbolisasi ritual. 2 Dalam konteks ritual yang menjadi penguatan secara alamiah kepada masyarakat tidak dapat begitu saja tersampaikan tanpa ada sebuah penghargaan dan pemaknaan dari manusia untuk ritual itu sendiri. 1 Chatrine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice (New York: Oxford University Press, 1992), 19. 2 Indah Ayu P Patikawa, “Oma Panggel Pulang”Penguatan Identitas Sosial Bagi Masyarakat Diaspora di Negeri Oma, Pulau Haruku, Maluku Tengah(Tesis Magister Sosiologi Agama, 2014), 11.

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

16

BAB II

RITUAL DAN

PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS BUDAYA

Bagian ini akan membahas tentang dua teori besar yang akan digunakan

sebagai pendukung dalam menganalisa data yang ditemukan. Teori tersebut

adalah teori ritual dan pendampingan berbasis budaya. Pembahasan teori ritual

akan di mulai dengan paham ritual dan teori ritual pernikahan menurut Arnold

Van Gennep, sedangkan pembahasan pendampingan pastoral berbasis budaya

diawali dengan kajian pendampingan pastoral berbasis budaya, tahapan

pendampingan pastoral, dan fungsi pendampingan pastoral.

II.1. RITUAL

II.1.1. Pemahaman Ritual

Ritual pada umumnya dianggap sebagai tindakan yang secara otomatis

dapat membedakannya dari aspek konseptual agama, seperti keyakinan, simbol,

dan mitos.1 Ritual dalam suatu daerah merupakan perwujudan yang nyata dari

sebuah kebudayaan masyarakat dalam negeri tertentu yang dapat menguatkan

ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok, hal ini

dapat menjadi proses integrasi yang dikuatkan dan diabdikan melalui simbolisasi

ritual.2 Dalam konteks ritual yang menjadi penguatan secara alamiah kepada

masyarakat tidak dapat begitu saja tersampaikan tanpa ada sebuah penghargaan

dan pemaknaan dari manusia untuk ritual itu sendiri.

1 Chatrine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice (New York: Oxford University Press,

1992), 19. 2

Indah Ayu P Patikawa, “Oma Panggel Pulang”Penguatan Identitas Sosial Bagi

Masyarakat Diaspora di Negeri Oma, Pulau Haruku, Maluku Tengah” (Tesis Magister Sosiologi

Agama, 2014), 11.

Page 2: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

17

Meskipun begitu, Chatrine Bell berpendapat ritual memiliki rangkaian

kegiatan yang otonom dan berbeda sebagai aspek dari semua aktivitas manusia.3

Ritual juga merupakan sebuah pernyataan simbolik yang teratur dan memiliki

fungsi sendiri yaitu fungsi sosial yang tetap apabila, dan sejauh mana, ritual itu

memiliki kesan dalam mengatur, mengekalkan, dan diturunkan dari generasi ke

generasi.4

Sementara itu, David I. Kertzer juga menjelaskan bahwa ritual

merupakan salah satu bagian terpenting dari aktivitas simbol dan struktur dalam

kehidupan manusia.5 Hal ini terjadi karena ritual merupakan ungkapan yang lebih

bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Artinya, ritual memperlihatkan

tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan

perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja yang

mengikuti model masing-masing, sehingga penting untuk kelanjutan dan

kebersamaan dalam kelompok.6

Dengan kata lain, objek-objek itu akan

membentuk pikiran dan tindakan setiap individu.

Sementara itu, Peter Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa

kehidupan masyarakat dalam keseharian tidak terlepas dari pikiran dan tindakan

yang di pelihara sebagai “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu. Kesadaran

akan tindakan tersebut selalu berpusat pada objek tertentu. Objek-objek yang

berbeda itu kemudian menampilkan diri dalam kesadaran sebagai unsur-unsur

pembentuk.7 Namun harus selalu diingat bahwa pengobjekan yang seperti ini

harus dengan benar dilakukan, karena jika terlalu biasa dilakukan maka akan

3 Bell, Ritual Theory, Ritual Practice,70.

4Suwardi, “Mistisisme dalam Seni Spiritual Bersih Desa di Kalangan Penghayat

Kepercayaan” Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa, (Volume 1, No 2, Bulan Agustsus, Tahun

2006). 5 David I Kertze, Ritual Politic and Power, (New Heaven and London; Yale University

Press, 1988), 84. 6 Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogjakarta: Kanisius, 2002), 174.

7 Berger & Luckamnn, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, 28-30.

Page 3: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

18

menggeserkan dan menghilangkan resonansi antara makna dengan perilaku dan

perasaan-perasaan darimana pengobjekan itu berasal.8 Dari beberapa pandangan

ini dapat disimpulkan bahwa umumnya ritual merupakan rangkaian kegiatan dan

nilai-nilai yang disimbolkan untuk mengatur masyarakat dari generasi ke generasi.

Nilai-nilai menjadi sebuah objek nyata yang darinya individu dalam masyarakat

membentuk pola pikir dan tindakan. Dengan kata lain, serangkaian simbol yang

mengandung nilai dalam ritual dapat dijadikan sebagai unsur-unsur pembentuk.

Ritual oleh Dhavamony digolongkan menjadi empat jenis. (1) Tindakan

magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-

daya misitis; (2) Tindakan religius, kultus pada leluhur, juga bekerja dengan cara

ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial

dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-

upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) Ritual faktitif yang meningkatkan

produktivitas atau kekuatan, pemurnian dan perlindungan. Jenis ritual ini

merupakan cara lain untuk meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.

Tujuan ritual faktitif melebihi pengungkapan dan perubahan hubungan sosial yang

tidak terbatas pada aktivitas pemberikan kurban untuk para leluhur dan

melaksanaan magi, melainkan juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh

anggota-anggota dalam peranan sekuler mereka.9 Dari keempat jenis ritual ini,

ritual faktitif dilihat sebagai jenis ritual yang sangat berguna karena setiap

individu diajak untuk meningkatkan produktivitas hakekat mereka sebagai

manusia yang memanusiakan. Karena itu, tak heran Dhavamony melihat jenis

8 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 174-175.

9 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 174-175.

Page 4: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

19

ritual ini dapat menciptakan perubahan sosial yang positif dan meningkatkan

kesejahteraan materi suatu kelompok.

Pandangan Dhavamony tentang ritual berkaitan dengan kehidupan sosial

individu tidak berbeda dengan pandangan Van Gennep tentang ritual secara

umum. Menurutnya, ritual tidak dapat dipisahkan dalam kelompok masyarakat

karena akan berdampak dan merambat ke dalam kehidupan sosial masyarakat.10

Ia

berpendapat bahwa manusia membuat sebuah ceremony atau ritual untuk

merayakan perpindahan hidup dari satu fase ke fase yang lain seperti kelahiran,

kanak-kanak, pubertas, pernikahan, kehamilan, peran sebagai orang tua, pekerjaan

dan agama, juga kematian kematian. Hal ini merupakan esensi alam yang tidak

bisa berdiri sendiri dan saling bergantung satu sama lain. Sistem kerja alam

bersifat berulang dan saling berinteraksi satu sama lain, dengan tahapan-tahapan

peralihan, pergerakan ke depan, dan periode ketidakaktifan yang relatif dan ini

identik dengan siklus hidup manusia yang terbingkai dalam upacara-upacara

tertentu dengan latar belakang adanya perubahan.11

Dalam pandangan ini,

individu bersama-sama dengan masyarakat membangun ritual tertentu untuk

memperingati setiap fase atau tahapan dalam hidupnya yang berkaitan satu sama

lain sehingga secara tidak langsung dapat memberikan dampak dalam kehidupan

sosial masyarakat.

Berkaitan dengan hal diatas, Van Gennep menyebutnya ritual peralihan

dan membaginya dalam tiga fase ritual yakni; ritual pemisahan, transisi, dan

inkorporasi. Ketiga fase ini mengandung unsur tertemtu sehingga tidak semua

fase berada dalam satu ritual yang dilakukan. Menurutnya fase pemisahan

10

Van Gennep, The Rites of Passage., 10. 11

Van Gennep, The Rites of Passage, 3.

Page 5: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

20

umumnya menonjol dalam upacara pemakaman, kategori ritual inkorporasi ada

pada pernikahan, sedangkan ritual transisi biasanya memainkan peranan penting

dalam kehamilan, pertunangan, dan lain-lain yang bersifat transisi. Van Gennep

berpendapat bahwa meskipun skema fase ritual peralihan secara teoritis dapat

dikatakan lengkap karena meliputi ritual awal (ritual perpisahan), ritual liminal

(ritual transisi) dan ritual inkorporasi, dalam beberapa kasus ketiganya tidak dapat

dielaborasi.12

Artinya jika ingin mengambil kesimpulan dalam suatu ritual yang

mengadung ketiga kategori ini harus melihat sifat dari setiap ritual yang dianalisa.

Selanjutnya, dalam setiap ritual peralihan mengandung beberapa faktor

yang menjadi indikator penilaian bagi setiap tahapan ritual peralihan. Penilaian ini

dilakukan Van Gennep dengan menggunakan dua tahapan; Tahapan pertama, ia

membagi ritual menjadi dua jenis yaitu simpatik dan meluas. Jenis simpatik pada

umumnya bersifat animistik. Ritual jenis ini didasarkan pada keyakinan akan

tindakan timbal balik dari sesuatu yang sejalan, berlawanan dengan sesuatu,

wadah yang terkandung, bagian dan keseluruhan, gambar atau objek yang nyata,

juga kata dan sikap. Sementara itu, ritual berjenis meluas umumnya bersifat

dinamis dan berkarakteristik alami yang diperolah dan dapat ditularkan. Artinya

ritual jenis ini didasarkan pada keyakinan bahwa sifat-sifat alamiah atau sesuatu

yang diperoleh adalah sesuatu yang ada (keberadaan) yang dapat menjangkit atau

ditularkan bahkan melalui kontak fisik. Meskipun kedua jenis ini berbeda jenis

dan sifat namun Van Gennep juga menegaskan bahwa ritual jenis simpatik tidak

selalu bersifat animistik dan ritual menular tidak selalu bersifat dinamis karena

ritual selalu bersifat independen.13

Pandangan ini mengisyaratkan bahwa setiap

12

Van Gennep, The Rites of Passage, 10 13

Van Gennep, The Rites of Passage, 4-8.

Page 6: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

21

ritual peralihan memiliki nilai-nilai tertentu yang menunjang fungsi dan tujuan

pelaksanaannya, karenanya masyarakat tidak bisa menilai bentuk ritual hanya dari

satu sudut pandang.

Tahapan kedua yang dilakukan Van Gennep adalah membedakan ritual

sesuai dengan tindakan dan dampak yang dihasilkan dari ritual yaitu; secara

langsung dan tidak langsung. Secara langsung artinya, pengaruh ritual ini terjadi

secara langsung. Seperti kutukan atau mantra yang dirancang untuk segera

menghasilkan tanpa intervensi dari agen luar. Sedangkan tidak langsung

dijelaskan sebagai bentuk pancingan yang menggerakan beberapa kekuatan

otonom dan biasanya di personifikasikan dengan jin atau dewaa yang dipercaya

punya campur tangan atas ritual dan pelaku upacara. Namun perlu diingat bahwa

apa yang dibagi dalam tahapan ini belum tentu bersifat animistik. Setiap ritual

yang dilakukan bisa mengandung empat jenis sekaligus dan bisa juga tidak karena

hal ini bergantung pada bantuan orang-orang dalam ritual itu dan disesuaikan

dengan tujuan-tujuan tertentu dalam setiap ritual.14

Kedua cara yang

disumbangkan Van Gennep merupakan sebuah kompleksitas tolak ukur bagi

masyarakat agar dapat mengerti dan memaknai setiap esensi dari ritual yang

dilakukan.

II.1.2. Ritual Pernikahan

Ritual pernikahan merupakan jenis ritual peralihan atau masa yang

penting dalam fase kehidupan manusia, karena melibatkan perubahan keluarga,

klan, desa atau suku, dan lingkungan tempat tinggal. Pernikahan juga membawa

pengaruh terhadap jumlah dan kepentingan kelompok yang di pengaruhi oleh

14

Van Gennep, The Rites of Passage, 8

Page 7: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

22

pernikahan tersebut. Penggabungan kelompok-kelonpok mendapat tempat khusus

dalam pengaturan acara perkawinan. Oleh karena itu, bagi Van Gennep

pernikahan juga harus melalui sebuah fase yang tertuang dalam konsep ritual

transisi yang identik dengan pertunangan yang otonom dan kemudian menjurus

pada ritual inkorporasi awal yang berarti penggabungan antara beberapa

kelompok. Setelah itu, diikuti oleh ritual inkorporasi sesungguhnya (permanen)

yang tidak hanya menggabungkan lingkungan lama dan baru namun juga

penggabungan dua individu.15

Dalam hal ini Van Gennep menegaskan bahwa

salah satu tujuan ritual adalah untuk memperoleh penyatuan kembali, yang

menurut Dhavamony berlanjut juga pada penetapan keseimbangan dari dalam

hubungan-hubungan yang berubah.16

Pandangan Van Gennep dan Dhavamony ini

terbangun dari fakta pernikahan yang memasukan seorang individu dalam

kolektivitas yang namun juga diikuti oleh beberapa aspek penting yang

menunjang keseimbangan beberapa hubungan yang telah berubah.

Alasan penggabungan penting dalam pernikahan adalah karena adanya

suatu kolektivitas yang tertarik pada persatuan dua individu. Kolektivitas yang

dimaksud adalah: (1) kelompok keturunan patrilineal atau matrilineal; (2)

keluarga dari masing-masing pasangan dalam pengertian kata biasa, dan kadang-

kadang keluarga secara umum, termasuk saudara sepupu, ipar, dll; (3) kelompok-

kelompok seperti klan totem, persaudaraan, kelompok usia, komunitas orang

beriman, asosiasi kerja, atau kasta, kolega dan ibu dan ayah mereka atau semua

anggota keluarga mereka; (4) kelompok lokal (dusun, desa, seperempat kota,

15

Van Gennep, The Rites of Passage,116. 16

Dhavamony, Fenomenologi Agama, 176.

Page 8: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

23

perkebunan, dll.).17

Kolektivitas ini-lah yang selalu mengambill bagian juga

dalam ritual-ritual pernikahan.

Alasan pentingnya penggabungan dalam pernikahan adalah kolekivitas

diatas sarat dengan emosional terhadap individu yang menjalankan ritual (dalam

banyak kasus hal ini dilihat dari sisi mempelai perepuan). Hal ini terjadi karena

konteks pemisahan sangat kental didalamnya. Konteks ini yang maksud Van

Gennep mengandung unsur ritual pemisahan. Ketika pernikahan masuk dalam

golongan pemisahan berarti ada indikasi melemahkan dan menguatkan dalam

masing-masing komunitas (termasuk faktor ekonomi). Ia melihat emosi dari sisi

komunitas dari mempelai perempuan.18

Dalam pernikahan juga terjadi perubahan

kondisi dan status individu, seperti lulus dari kelompok anak-anak atau remaja ke

dalam kelompok orang dewasa dan masuk dalam lingkungan yang baru berpisah

dengan lingkungannya yang lama makin memperkuat pandangan Van Gennep.

Mempelai perempuan dipisahkan dari lingkungan lamanya dan masuk dalam

lingkungan baru. Lingkungan baru yang dimaksudkan adalah kolektivitas

mempelai laki-laki, artinya mempelai perempuan keluar dari kolektivitasnya dan

masuk menjadi bagian dari kolektivitas mempelai laki-laki, karenanya Van

Gennep menyimpulkan hal ini sebagai bentuk pemisahan yang bersifat teritorial.19

Dalam beberapa ritual yang ditelitinya, ritual pemisahan juga identik dengan

tindakan mengganti baju, memotong atau membuang sesuatu yang berhubungan

dengan masa kecil, menghapus perhiasan, ritual melakukan atau melewati sesuatu

dan lain-lain.20

Meskipun bentuk pemisahan masing-masing ritual berbeda-beda

17

Van Gennep, The Rites of Passage, 118 . 18

Van Gennep, The Rites of Passage, 121. 19

Van Gennep, The Rites of Passage, 116. 20

Van Gennep, The Rites of Passage, 130.

Page 9: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

24

tergantung konteks adat dan budaya masyarakat, namun pemisahan tetap ada,

karenanya unsur penggabungan perlu juga dilihat sebagai bentuk positiif dari

sebuah ritual pernikahan.

Unsur pemisahan dan penggabungan dapat berada dalam satu ritual

pernikahan. Jika yang pertama nampak adalah unsur pemisahan, maka akan

diikuti oleh unsur inkorporasi, setelah itu akan ada unsur transisi, pemisahan, dan

kembali pada unsur inkorporasi. Karena itu pada beberapa daerah, pemisahan

yang berujung pada inkorporasi mempelai perempuan ke dalam mempelai laki-

laki diikuti dengan pemberian “kompensasi” kepada keluarga yang telah

“kekurangan anggota”.21

Di beberapa tempat menurut Van Gennep, kompensasi

atau yang disebutnya sebagai “tebusan” berlaku atas diri mempelai perempuan

dan dijalankan dalam serangkaian ritual upacara tertentu. Karenanya dalam

memberikan pemberian kompensasi ini tidak hanya bersifat ekonimis tetapi juga

ritualistik, dan pernikahan dilihat sebagai tindakan sosial yang tidak berakhir

setelah unsur ekonomi terpenuhi.22

Artinya faktor ekonomi sangat kental dalam

sebuah ritual pernikahan mulai dari konsumsi, kelancaran ritualistik, sampai pada

kompensasi yang dijelaskan diatas.

Setelah pemberian kompensasi yang lazimnya disebut “negosiasi”, akan

ada unsur inkorporasi (penggabungan dan penyatuan) dalam rangkaian ritual

pernikahan. Unsur ini dilakukan secara simbolik oleh mempelai perempuan dan

orang-orang yang punya hubungan dengan kedua mempelai. Tindakan itu seperti

memberikan ikat pinggang, gelang, cincin, atau pakaian untuk dikenakan,

mengikat pakaian masing-masing bersama-sama, menawarkan sesuatu untuk

21

Van Gennep, The Rites of Passage, 128. 22

Van Gennep, The Rites of Passage, 118.

Page 10: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

25

dimakan dan diminum, makan bersama, duduk di kursi yang sama, makan dari

makanan atau hidangan yang sama, dan lain-lain. Selain itu, unsur inkorporasi ini

juga memberikan signifikansi kolektiv baik dari satu mempelai ke dalam

kelompok baru dan atau kedua kelompok atau totem. Ritual pernikahan juga

mengandung unsur inisiasi karena terjadi proses penggabungan ke dalam klan

keluarga tertentu. Proses inisiasi ini juga terjadi lewat ritual yang bersifat “fiktif”,

dimana dalam ritual itu ada tindakan-tindakan yang sangat fiktif namun sakral.

Tindakan-tindakan ini dilihat sebagai sebuah simbol inisiasi.23

Karenanya,

menurut Van Gennep simbol-simbol tersebut sangat penting untuk dipahami

secara detail.

Keseluruhan pandangan Van Gennep ini juga sejalan dengan pandangan

Cooley yang melihat tiga tahap sebuah adat pernikahan yang perhatian masing-

masing tahapan itu dipusatkan pada suatu kepentingan yang khusus: pertama,

proses terwujudnya perkaiwnan dengan tiga kemungkinan yakni menikah dengan

melamar (kawin minta), melarikan pacar (kawin lari), dan pengantin laki-laki

memasuki rumah tangga pengantin perempuan (kawin masuk); kedua, proses

pemenuhan kewajiban-kewajiban terhadap keluarga pengantin perempuan dan

pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, yang terpusatkan pada masalah mas

kawin; ketiga, pemanduan anggota baru (sang istri) itu ke dalam kelompok yang

dimasuki melalui pernikahan, yang pada masa lampau dilakukan dalam suatu

upacara tertentu.24

Fokus ketiga yang dijelaskan oleh Cooley merupakan bentuk

dan simbol inisiasi. Adanya simbol inisiasi yang terjadi memberikan penegasan

bahwa ritual pernikahan bersifat positif.

23

Van Gennep, The Rites of Passage, 133. 24

Cooley, Mimbar dan Takhta, 123-124 .

Page 11: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

26

Disisi lain, mempelai tidak menjadi satu-satunya perhatian Van Gennep

dalam ritual pernikahan namun juga masyarakat. Menurutnya ritual pernikahan ini

juga dapat menyebabkan gangguan sosial yang tidak hanya melibatkan dua

individu tetapi beberapa kelompok dengan kapasitas anggota yang berbeda. Hal

ini memberikan modifikasi baru bagi masyarakat dalam hubungan mereka satu

sama lain, terjadi perubahan-perubahan, dan dapat menyebabkan gangguang

keseimbangan, seperti jumlah kelompok.25

Karenanya, ritual pernikahan biasanya

dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan mempertimbangkan

dampaknya dalam bidang pekerjaan individu dan masyarakat.

Pada akhirnya dapat dijelaskan bahwa ritual pernikahan merupakan

sebuah kesatuan sehingga bisa jadi ritus peralihan bisa bersifat inkorporasi dan

sebaliknya.26

Tindakan yang dilakukan dalam ritual ini memiliki arti sosial umum

yang menjurus pada sebuah sifat ritual pemisahan, transisi dan inkorporasi yang

identik dengan tindakan inisiasi. Karenanya ritual pernikahan sangat identik

dengan aspek-aspek penobatan yang bersifat simbolis,27

yang dalam konteks

tertentu Van Gennep menejermahkannya sebagai benda-benda suci atau mahkota

raja.

25

Van Gennep, The Rites of Passage, 139. 26

Van Gennep, The Rites of Passage, 131-134. 27

Van Gennep, The Rites of Passage., 141.

Page 12: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

27

II.2. PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS BUDAYA

II.2.1. Makna Pendampingan Pastoral Berbasis Budaya

Pendampingan berbasis budaya akan dilihat dari sudut pandang

pendampingan pastoral yang berbasis budaya. Pastoral secara tradisional berlaku

dalam kehidupan gerejawi dan merupakan tugas “pendeta” sebagai gembala bagi

jemaat atau “dombanya” dengan mengacu pada model pelayanan Yesus sebagai

“pastor sejati” yang tanpa pamrih bersedia memberikan pertolongan dan

pengasuhan kepada pengikutnya, turut serta mencerminkan tugas dan tanggung

jawab sebagai sesama manusia.28

Karena itu, tugas pastoral dalam rangka

pendampingan dan konseling tidak hanya dapat dilakukan oleh pendeta saja,

melainkan dapat dilakukan oleh setiap individu.

Dalam bingkai pastoral, pendampingan dapat menjadi dasar bagi

pengertian konseling dan menjadi landasan yang kukuh bagi

konseling.Pendampingan dapat dilakukan tanpa konseling namun konseling tidak

dapat dilakukan tanpa pendampingan.29

Hal ini terbukti dari fakta di abad XX

bahwa konseling pastoral yang terbentuk sesungguhnya mewarisi dua aliran

tradisi. Pertama, tradisi peradaban “mutual caring” (saling memedulikan dan

mendampingi) keluarga manusia universal. Artinya bahwa pendampingan pastoral

ini mewarisi hakikat keberadaan manusia universal yang saling mengasihi,

mencintai, memedulikan, memperhatikan, mendampingi, mengubah dan

menumbuhkan.30

Pendampingan dilihat sebagai cara manusia untuk

memberdayakan dan memberadabkan. Tanpa pendampingan manusia tidak

28

Van Beek, Pendampingan Pastoral, 10 . 29

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 63. 30

Totok S. Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Konseling Pastoral (Jakarta:

Asosiasi Konselor Pastoral Indonesia, 2003), 20.

Page 13: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

28

beradab dan berbudaya. Karenanya, dengan cara ini individu mampu

mempertahankan haekatnya sebagai manusia.

Kedua, berakar pada pendampingan atau pastoral care komunitas kristiani.

Komunitas kristiani sebagai bagian dari keluarga manusia universal

mengembangkan mutual caring sesuai iman, keyakinan, dan nilai yang dimiliki

imannya.31

Di sisi lain, meskipun berakar pada pendampingan dalam komunitas

kristen, namun pendampingan pastoral pada dasarnya berhubungan dengan

manusia tidak peduli kepercayaannya, kedudukan sosialnya atau prestisenya.

Pendampingan pastoral memang ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan manusia

dalam perjalanan hidup, jadi selalu ada saja kemungkinan bahwa layanan pastoral

selalu di butuhkan.32

Dua aliran tradisi yang telah dijelaskan diatas menarasikan

proses pendampingan sesungguhnya merupakan dasar dan cara individu

memberadakan dirinya sebagai manusia yang saling menolong dan memedulikan

tanpa pandang bulu.

Dalam pastoral sebuah tindakan konseling mempunyai konotasi pada

pemberian nasihat atau bimbingan, sementara pendampingan memiliki aspek yang

lebih luas, yang dapat mencakup pula pemberian nasihat dan bimbingan.33

Pendampingan berasal dari kata kerja “mendampingi” yang merupakan suatu

kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi. Antara

pendamping dan orang yang didampingi terjadi suatu interaksi sejajar dan atau

relasi timbal balik. Karena itu pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan,

bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling

31

Wiryasaoutra & Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, 26. 32

Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2 &3. 33

Van Beek, Pendampingan Pastoral 9 .

Page 14: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

29

menumbuhkan dan mengutuhkan.34

Engel juga menyatakan bahwa pendampingan

merupakan sebuah proses pendidikan seumur hidup kepada tiap individu agar

mencapai tingkai kemandirian dan perkembangan secara hayat (lifelong

education).35

Karenanya pendampingan dapat dilihat sebagai bantuan untuk

memfasilitasi individu untuk mengembangkan kemampuan sesuai potensi dan

sistem nilai yang dianut, melakukan pilihan dan pengambilan keputusan atas

tanggung jawab secara mandiri. Dengan kata lain, pendampingan dilakukan agar

memampukan orang yang didampingi mampu menjalani hidupnya secara mandiri.

Ada beberapa anggapan dasar tentang pendampingan. Anggapan dasar

adalah pikiran, prinsip, ide utama atau paradigma yang dipakai sebagai acuan

dalam praktik pendampingan36

;

a. Sebagian praktisi memandang proses pendampingan sebagai

“percakapan” dimana sebuah tindakan pendampingan ataupun

konseling yang berorientasi pada percakapan. Pendampingan dianggap

sama dengan percakapan antara pendamping dan orang yang

didampingi. Percakapan sesungguhnya hanya merupakan salah satu

bagian dari pendampingan namun bukan satu-satunya bagian yang

terpenting karena sesungguhnya percakapan hanya mengacu pada

hubungan verbal dan tidak memperhatikan hal-hal yang nonverbal.37

b. Sebagian praktisi menganggap pendampingan sebagai proses

wawancara (interview). Bila pendampingan dianggap sebagai

34

Van Beek, Pendampingan Pastoral,10. 35

Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 1. 36

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 51. 37

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 51-52.

Page 15: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

30

wawancara maka pasti membutuhkan relasi verbal, dan agenda-

agenda yang susun sertabersifat informasi.38

c. Sebagian praktisi melihat pendampingan sebagai wawan wuruk.

Wawan berarti percakapan, wuruk dalam bahasa Jawa berarti

mengajar, mendidik, menasihati. Orientasi pendampingan adalah

pendidikan dan pengajaranyang cenderung sama dengan bimbingan

dan penyuluhan konseling di sekolah sedangkan dalam proses

pendampingan segala yang bersifat mengajari dan menggurui sangat

dihindari. Dalam hal ini, orang yang didampingi dianggap sebagai

orang yang tidak berpengalaman dan berpengetahuan, sehingga tak

jarang orang yang didampingi dilihat sebagai objek dan pendamping

kadang terpeleset menjadi penasehat legalistik dan moralistik.39

d. Ada praktisi yang menganggap pendampingan sebagai proses

konsultasi. Orientasi ini mengarahkan pendampingan sebagai sebuah

hubungan antara seorang ahli dan bukan ahli. Artinya orang yang

didampingi tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan apa-apa,

sedangkan pendamping dipandang sebagai seorang ahli yang

mengetahui segala sesuatu, khususnya seluk beluk persoalan yang

dialami oleh yang didampingi.40

e. Praktisi dengan kelompok ini memandang pendampingan sebagai

proses terapi. Pendampingan diarahkan pada penyembuhan penyakit

atau ketidaknormalan. Namun jika pendampingan hanya merupakan

orientasi terapi maka kualitas hubungan pendamping dengan orang

38

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 52-53. 39

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 53-54. 40

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi 55.

Page 16: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

31

yang didampingi kurang mendapat perhatian dan pendamping akan

lebih menekankan pada metode dan teknik lebih utama daripada

kualitas hubungan kedua belah pihak.41

Kelima anggapan diatas mencerimkan berbagai tindakan pendampingan yang

“timpang” dan tidak disarankan, karena pendamping dan orang yang didampingi

harus berada dalam kedudukan yang seimbang dengan relasi timbal balik.42

Relasi

timbal balik ini tentu harus dilakukan ketika orang yang didampingi dan

mendampingi berjumpa atas kesepakatan bersama. Dalam paham ini,

Wiryasaputra berpendapat bahwa pendampingan dapat dipahami juga sebagai

sebuah perjumpaan pertolongan antara pendamping dan orang yang didampingi.43

Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong yang didampingi agar dapat

menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara penuh dan

utuh, sehingga dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah,

bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Proses

perjumpaan ini bersifat dinamis yang mempunyai banyak irama dan warna, yang

berasal dari interelasi dan interaksi antara pendampingan dan orang yang

didampingi.44

Artinya proses berjumpa yang terjadi harus berdasarkan keinginan

kedua pihak dalam relasi yang sangat seimbang, sehingga antara pendamping dan

orang yang didampingi bisa sama-sama belajar atau mendapat keuntungan.

Perjumpaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak tentu dilakukan secara

sukarela dengan harapan pendamping menjadi pendamping dan orang yang

41

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 56-57. 42

Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-10. 43

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 57-58 44

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 57-58.

Page 17: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

32

didampingi makin menjadi yang didampingi. Artinya, pihak yang didampingi

makin mampu menghayati keberadaannya pada masa kini secara penuh dan utuh

serta tahap demi tahap dalam proses perjumpaan dan mengalami perubahan dan

pertumbuhan. Melalui proses pendampingan orang yang didampingi diharapkan

dapat menolong diri sendiri pada masa kini dan masa yang akan datang bila

menghadapi hal yang sama atau berbeda. Bahkan, orang yang didampingi

nantinya diharapkan mampu menolong orang lain di lingkungannya yang

membutuhkan. Dalam pendampingan, pendamping bersedia memasuki

pengalaman orang yang didampingin namun tidak akan menjadi sama dengan

orang yang didampingi. Dia tetap berasal dari dunia lain, namun bersedia

memasuki dan dimasuki oleh dunia orang yang didampingi seutuhnya.45

Proses

seperti ini-lah yang dinamakan pendampingan karena terjadi dalam sebuah

kesejajaran.

Wiryasaputra mendeskripsikan tiga jenis pendampingan yaitu; (a)

Pendampingan eksistensial oleh pendamping eksistensial. Pendamping jenis ini

dilakukan oleh semua anggota keluarga manusia secara universal, dimana pun

mereka tinggal sebagai perwujudan dari hakikat dasar keberadaan manusia;

holistik dan keperjumpaan; (b) Pendampingan fungsional oleh pendamping

fungsional. Pendampingan yang dilakukan oleh para pelaku profesi nonpsikologi

yang ingin menggunakan konseling sebagai nilai tambah bagi profesinya sendiri.

Artinya mereka tidak perlu berubah profesi, namun secara fungsional mereka

dapat melaksanakan pendampingan; (c) Pendampingan profesional oleh

pendamping profesional. Jenis ini dilakukan oleh kaum profesional secara penuh

45

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi,59.

Page 18: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

33

waktu. Pendampingan dan konseling yang dilakukan oleh orang yang

dipersiapkan, didik, dan dilatih untuk melakukan pendampingan secara purna

waktu sebagai jalan hidup. Kelompok ini juga berkewajiban untuk membantu dan

melengkapi anggota masyarakat agar saling mendampingi. Tiga jenis

pendampingan ini mempunyai tugas yang sama yaitu tindakan membantu orang

yang didampingi untuk mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh.

Pendamping membantu orang yang didampingi merayakan suka dan duka

kehidupan secara penuh dan utuh.46

Pendamping adalah pengiring, pengantar

yang ikut serta dalam perayaan suka dan duka kehidupan orang yang

didampingi.47

Deskripsi tentang tiga jenis pendamping ini kembali menegaskan

bahwa tugas pendampingan tidak hanya dilakukan oleh kaum profesional seperti

psikolog dan kaum fungsional seperti tokoh agama, melainkan semua idnividu

mampu melakukan tindakan pendampingan.

Sebuah tindakan pendampingan menurut Clinbell48

harus bersifat holistik

(menyeluruh) yang berarti tindakan pendampingan harus beroritentasi pada

sistem-sistem yang berarti keutuhan orang dilihat dalam keterlibatannya di segala

hubungan-hubungannya yang penting dan saling ketergantungan dengan orang-

orang, kelompok-kelompok, dan institusi-institusi. Hal ini berarti lingkungan

individu harus lebih diperhatikan oleh pendamping, karena keuntuhan individu

tidak terlepas pisah dari lingkungan dan berbagai pengalaman hidupnya.

46

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 59. 47

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 59. 48

Clinbell berbicara dalam konsep pastoral yang didalamnya terdapat tindakan

pendampingan (penggembalaan) dan tindakan konseling. Howard Clinebell,Tipe-Tipe Dasar

Pendampingan Pastoral dan Konseling (Yogjakarta: Kanisius, 2006), 33.

Page 19: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

34

Pandangan Clinebell dijelaskan oleh Engel49

bahwa hakekat manusia

sebagai mahkluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan

hubuungan dengan orang lain secara timbal-balik, karenanya setiap individu

saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri. Ada yang tidak berasal dari latar

belakang budaya yang sama tetapi ada juga yang tidak. Biasanya, individu yang

berlatar belakang ras dan etnis yang sama diartikan mempunyai budaya yang

sama namun pada tataran subculture bisa saja berbeda dalam hal pandangan

hidup, pola pikir, kesadaran, tanggung jawab, dan integritas diri sehingga pada

akhirnya mengantar individu pada sebuah interkasi lintas budaya. Tataran

subculture yang dilihat oleh Engel merujuk pada pengertian budaya sebagai

bentuk pola pikir masing-masing individu yang dapat tercipta dari latar belakang

keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Budaya dalam bentuk ini tidak bisa

disamaratakan pada setiap individu karena informasi atau konstruk yang terbentuk

dalam individu berbeda-beda walaupun individu-individu tersebut berasal dari

etnis atau ras yang sama. Karena alasan ini, tindakan pendampingan harus dengan

jeli melihat konstruk budaya yang terbangun dalam masing-masing individu.

Matsumoto berpendapat bahwa budaya dilihat sebagai sekumpulan sikap,

nilai, keyakinan dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang

dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau

sarana komunikasi lain. Namun komunikasi yang dilakukan dari satu generasi ke

generasi lain pun tidak bisa disamakan karena satu kumpulan ide, sikap,

keyakinan, dan perilaku yang dimiliki berpotensi berubah karena mengalami

49

J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2016), 1.

Page 20: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

35

proses atau kontak dengan budaya-budaya yang lain.50

Van Beek mengungkapkan

bahwa hal ini juga terjadi dengan manusia yang memiliki budaya itu, ia

mencontohkan seorang manusia yang berasal dari Sumatera lalu berpindah ke

Jakarta akan disentuh ataupun akan dikejutkan oleh banyak aspek dari kelompok

kebudayaan-kebudayaan lain, sehingga dia menjadi orang baru walaupun

identitasnya sebagai orang dari sumatera.51

Contoh ini merupakan realitas

kekinian individu dalam masyarakat sehingga tidak logis jika menyimpulkan dan

menggambarkan budaya seseorang dari ras atau asalnya.

Dari pandangan diatas dapat dipahami bahwa budaya adalah sebuah pola

pikir dan tindakan individu yang juga berasal dari lingkungannya. Hal ini sejalan

dengan pendapat Matsumoto bahwa budaya dapat merupakan konstruk

sosiopsikologis, yaitu suatu kesamaan dalam kelompok individu dengan

fenomena psikologis seperti nilai, sikap, keyakinan, dan perilaku. Anggota-

anggota suatu budaya tertentu punya persamaan sedangkan yang lain tidak.52

Hal

senada juga dilihat oleh Dayaksini dan Yuniardi yang menggambarkan budaya di

suatu konstruk sosial sekaligus konstruk individu, karenanya ada dua hal penting

yang menjadi penekanan yaitu; (1) Adanya penyebaran kepemilikan (sharing)

dari aspek-aspek kehidupan dan perilaku. Artinya ada sebuah ketegasan derajat

kepemilikan bersama dari individu-individu yang menjadi anggota dalam

meyakini dan memegang nilai, sikap, kepercayaan, norma, ataupun perilaku yang

sama. Kepemilikan bersama atas hal-hal yang fisik (sharing in the phisical sence)

dan psikologis (sharing in the psychological consiousnes); dan (2) Adanya hal-hal

50

David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Yogjakarta; Pustaka Pelajar,

2004), 6. 51

Van Beek, Pendampingan Pastoral, 57-58. 52

Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, 6.

Page 21: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

36

yang dibagikan kepemilikannya (things are shared). Artinya “apa yang dibagi”

bukanlah kesamaan atribut fisik, morfologi wajah, kebangsaan atau wilayah

hidup, melainkan ide, sikap, nilai, dan keyakinan isi kepala dari setiap individu

yang hidup tersebut.53

Dari kedua pandangan diatas dapat diketahui bahwa budaya

bukan tentang sebuah ras atau kebiasaan yang dalam satu kelompok yang

diturunkan terus-menerus. Melainkan pola pikir masing-masing individu yang

merasa memiliki dan menghayati melalui interkasinya bersama dengan individu

lain. Masing-masing individu juga dapat membagi keyakinan dan pola pikirnya

sehingga dapat mempengaruhi individu yang lain.

Matsumoto dan Juang berpendapat bahwa budaya punya kontribusi

mempengaruhi kehidupan manusia. Budaya itu sendiri akan menyentuh,

menggambarkan dan menjelaskan berbagai perilaku, peristiwa, karakteristik

umum, sandang pangan, perumahan dan teknologi, ekonomi dan transportasi,

kegiatan individu dan keluarga, komunitas dan pemerintah, kesejahteraan, agama

dan sains, seks dan siklus kehidupan. Pandangan ini merujuk pada pemahaman

budaya yang dilihat sebagai sistem aturan yang dinamis, eksplisit, implisit yang

dibentuk oleh kelompok untuk memastikan kelangsungan hidup individu dalam

kelompok itu. Hal ini relatif stabil namun berpotensi untuk berubah sepanjang

waktu. Menurut mereka budaya tidak hanya mengacu pada satu bentuk perilaku,

aturan, sikap, atau nilai tunggal, melainkan pada keseluruhan sistem dalam

konsturksi ini.54

Budaya tidak harus berakar dari biologi atau ras. Seorang

individu yang dilahirkan dengan karakteristik fisik dan biologis tertentu dapat

didefinisikan sebagai bentuk ras tertentu, namun tidak berarti bahwa individu

53

Tri Dayaksini & Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang; UPT

Muhammadiyah Malang, 2008), 8. 54

Matsumoto & Juang, Culture and Psychology, 9-11

Page 22: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

37

mewarisi budaya dari ras itu. Singkatnya, budaya merupakan perilaku yang

dipelajari sedangan ras tidak,55

sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya

merupakan suatu konstruk individual-psikologis sekaligus konstruk sosial makro

yang berarti sampai batas tertentu, budaya ada di dalam setiap dan masing-masing

individu secara individual sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global.56

Dalam paham ini, poin penting Matsumoto dan Juang dalam melihat budaya

adalah sebuah komposisi berfikir dari seorang individu yang dipengaruhi oleh

lingkungan sosial dan pengalaman pribadi setiap individu.

Kajian budaya juga mengenal konsep ethic dan emic. Istilah ini berasal

dari sebuah studi bahasa oleh Pike (1954), yaitu phonetics atau studi yang

mempelajari bunyi-bunyian yang digunakan atau ditemukan pada semua bahasa

yang universal pada semua budaya, sedangkan phonemic atau studi yang

mempelajari suara-suara yang unik pada suatu bahasa tertentu.57

Selanjutnya Pike

menggunakan istilah emic dan ethic untuk menjelaskan sudut pandang (point of

view) dalam mempelajari perilaku dalam kajian budaya. Ethic dillihat sebagai titik

pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem budaya tersebut, dan

merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem yang asing.

Sedangkan emic sebagai titik pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem

budaya tersebut atau berasal dari budaya itu sendiri.58

Matsumoto dan Juang

berpendapat bahwa konsep ethic mengacu pada aspek-aspek kehidupan yang

tampak konsisten di berbagai budaya atau dengan kata lain ethic mengacu pada

55

Matsumoto & Juang, Culture and Psychology,16. 56

Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, 6 57

Matsumoto & Juang, Culture and Psychology,20. 58

Dayakisni & Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, 13.

Page 23: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

38

aspek-aspek kehidupan yang tampak berbeda dengan budaya secara umum, yang

berarti emic mengacu pada kebenaran atau prinsip khusus dalam suatu budaya.

Dari kedua konsep ini, pendekatan pendampingan budaya sangat cocok

dengan konsep emic karena titik pandang konsep ini berasal dari dalam budaya itu

sendiri. Pendampingan harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial

dan budaya aspek sosial dan budaya secara umum yang berlaku dalam masyarakat

dimana individu berada karena dapat mempengaruhi cara pandang dan pola pikir.

Latar belakang budaya dari klien harus lebih diperhatikan. Menurut Engel, setiap

individu dan kelompok tertentu merupakan mahkluk sosial dan berbudaya

sehingga pasti memiliki falsafah hidup dan nilai spiritual yang berkembang

dalamnya. Ia melihat hal ini setara dengan konsep indegenous counseling yang

merupakan suatu pendekatan pada konteks keluarga, sosial budaya, dan ekologi

yang memiliki sistem nilai, makna dan keyakinan.59

Artinya sebuah tindakan

pendampingan pastoral harus berbasis budaya atau pola pikir individu yang pasti

dipengaruhi oleh lingkungan sosial, pengalaman pribadi, dan keluarga.

Dengan demikian, sebuah pendampingan berbasis budaya harus selalu

mengacu pada satu prinsip bahwa individu sebagai mahkluk yang berbudaya dan

budaya yang dimiliki individu diliat sebagai konstruk individual-psikologis

sekaligus konstruk sosial makro. Dengan kata lain, pendamping harus melihat

dengan jeli budaya atau pola pikir klien dengan turut melihat lingkungan dimana

si klien berada. Budaya yang ditunjukan oleh individu menjadi sangat penting

ketika melihat budaya itu sendiri, karena dari budaya itu muncul sebuah

kebenaran dan dasar individu bertindak dan berfikir.

59

Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, 15.

Page 24: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

39

II.2.2. Tahapan Pendampingan Pastoral

Wiryasaputra berpendapat bahwa tahapan-tahapan pendampingan pastoral

harus dapat dipahami dengan baik mulai dari awal, pertengahan, dan akhir yang

jelas. Tiga tahapan proses pendampingan yakni, awal (menciptakan hubungan

kepercayaan), tengah (anamnesis, sintesis, dan diagnosis, treatment planning,

treatment execution, review, dan evaluasi), dan akhir (pemutusan hubungan)

proses yang utuh dan sempurna. Tahap pertama menurut Wiryasaputra adalah

menciptakan hubungan kepercayaan. Pendamping berusaha menciptakan

kepercayaan, karena pendampingan berdasar pada hubungan kepercayaan. Tahap

kedua adalah mengumpulkan data atau anamnesis. Dalam tahap ini pendamping

berusaha mengumpulkan informasi, data atau fakta namun tidak boleh bersifat

interogatif. Tahap ketiga adalah menyimpulkan atau sintesis dan diagnosis.

Pendamping melakukan analisis data, mencari kaitan antara satu gejala dan gejala

yang menjadi permasalahan utama atau keprihatinan batin pokok yang sedang

digumuli oleh orang yang didampingi. Tahap ini sering disebut pula sebagai tahap

pembuatan diagnosis. Tahap keempat adalah pembuatan rencana tindakan

(treatment planning). Pendamping diharapkan membuat rencana pertolongan,

tindakan apa yang akan dilakukan, sarana apa yang akan digunakan, pendamping

juga menentukan kapan rencana itu akan dilakukan. Tahap kelima adalah tindakan

portolongan (treatment execution). Dalam tahap ini pendamping melakukan

tindakan pertolongan yang telah direncanakanyang telah direncanakan. Tahap

keenam, review dan evaluasi (review and evaluationi). Evaluasi dipakai sebagai

alat untuk mengambil pelajaran bagi pendaming dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan pelayanan pendampingan. Tahap ketujuh adalah pemutusan

Page 25: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

40

hubungan (termination). Setelah tahap review dan evaluasi, pendamping perlu

mengatur pemutusan hubungan pendampingannya.60

Hal penting yang harus

digarisbawahi dalam konsep tahapan pendampingan ini yakni, setiap tahapan ini

adalah yang umum dipraktekan oleh seorang professional, sedangkan teknik

pendekatan pendampingan dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan orang yang

diampingi.

Sementara itu, Engel dalam bukunya mengungkapkan beberapa teknik

pendampingan yang umumnya dilakukan oleh seorang pendamping atau konselor

dalam suatu tindakan pastoral. Teknik pertama yakni, self exploration (eksplorasi

diri) yang membantu orang yang didampingi menyingkapkan masalah low

spiritual self-esteem. Self-estem sendiri merupakan persepsi tentang citra diri

individu yang dikembangkan dari waktu ke waktu.61

Dalam teknik ini terjadi

eksplorasi hubungan, kebiasaan, pola pikir, perasaan, perilaku, pilihan, dan

pengalaman yang mungkin menjadi sumber low self esteem. Tindakan ini

dilakukan agar dapat meningkatkan kesadaran klien.62

Artinya, pendamping

menganggap kesadaran orang yang didampingi atas dirinya sendiri dapat

memberikan sebuah celah kesadaran dan keyakinan atas dirinya sendiri.

Setelah melihat citra diri orang yang didampingi, pendamping akan

melakukan tahap kedua yakni, self acceptence (penerimaan diri). Dengan konsep

ini, pendamping membantu orang yang didampingi mengembangkan kekuatannya

sendiri untuk mengolah kelemahannya. Pendamping akan meminta orang yang

didampingi untuk mengidentifikasi kekuatan yang dapat menjadi kelemahan dan

60

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 93-96. 61

J. D. Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website (Yogjakarta: PT

Kanisius, 2019), 19-22 62

Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 20

Page 26: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

41

kekuatan mereka.63

Artinya, diatas segala yang terjadi dalam diri orang yang

didampingi, ia mampu menerima serta mengelola diri sendiri dengan kelebihan

dan kelemahannya.

Jika ditemukan ada beberapa masalah yang perlu dibahas dengan

pendamping, maka pendamping akan melakukan tahap ketiga yakni, self

detachment. Tindakan ini berarti pendamping membantu orang yang didampingi

agar memiliki ketegasan diri untuk mengambil jarak dan sikap terhadap gejala

atau maslalah yang berhubungan dengan masalah.64

Pendamping akan membantu

orang yang didamping untuk melihat aspirasi, cita-cita serta berbagai nilai yang

ada dalam dirinya agar ia dapat memiliki sudut pandang baru.

Tahap keempat yakni self –transendence. Dalam tahapan ini, pendamping

membantu klien untuk mengatasi diri sendiri sendiri dan bergerak ke arah nilai-

nilai kreatif dan pengalaman yang positif.65

Artinya, orang yang didampingi

dibantu untuk dapat melampaui ekspetasi awalnya dengan mengembangkan nilai

dalam dirinya sendiri melampaui segala nilai dan perilaku salah lainnya.

Tahap kelima yakni attitude modification. Tahapan ini dilakukan untuk

dapat mengubah penderitan dan rasa bersalah dari orang yang didampingi.

Modifikasi sikap adalah cara melahirkan nilai-nilai sikap yang membantu orang

yang didampingi bertumbuh dengan kekuatan dan kepercayaannya sendiri.66

Dengan modifikasi sikap, orang yang didampingi juga dapat melihat masalah

dengan sudut pandang yang berbeda. Artinya, ia dapat mengubah semua perasaan

negatif yang berlebih sehungga dapat mengevaluasi diri dengan seimbang.

63

Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 31 64

Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 42 65

Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 49 66

Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 59

Page 27: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

42

Tahap keenam yakni self-integrity yang merupakan integritas diri terhadap

masalah kebutuhan pada tingkat keyakinan, yaitu penghargaan dan nilai diri.

Orang yang didampingi akan dibantu untuk mengakeses kemampuan dan

kepercayaan dirinya karena fokus orientasi utama integritas diri yakni

penghargaan dan pengutuhan diri.67

Oleh karena itu, dalam prakteknya

pendamping berusaha untuk mengembangkan pola pikir yang menghargai diri

sendiri agar ia dapat menemukan makna hidupnya.

Setelah keenam tahapan selesai dilakukan, pendamping akan melakukan

tahapan ketujuh yakni orientation of meaning dengan pendekatan penemuan

makna. Sasaran pencapaian tahap ini yaitu potensi diri, aktivitas diri, dan evaluasi

diri positif.68

Ini merupakan tahap akhir dari proses pendampingan, karena itu

pendamping dan orang yang didampingi berdialog dengan tidak memusatkan

perhatian ada orang yang didampingi atau apa yang dialaminya melainkan pada

makna yang telah dan atau akan ditemukan olehnya.

II.2.3. Fungsi Pendampingan Pastoral

Van Beek mengatakan dalam buku “Pendampngan Pastoral”, yang

dimaksud dengan fungsi pendampingan merupakan tujuan-tujuan operasional

yang hendak dicapai dalam memberikan pertolongan kepada orang lain.69

Ia

mengemukakan enam fungsi pendampingan pastoral yaitu membimbing,

mendamamaikan atau memperbaiki hubungan, menopang atau menyokong,

menyembuhkan, mengasuh, mengutuhkan. Fungsi pendampingan ketujuh di lihat

oleh Wiryasaputra dalam bukunya “Ready to Care” yaitu fungsi memberdayakan.

67

Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 69 68

Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 77 69

Van Beek, Pendampingan Pastoral, 13-16.

Page 28: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

43

(1) Fungsi Membimbing

Fungsi ini penting dilakukan untuk dapat menolong orang yang

didampingi agar dapat memilih atau mengambil keputusan tentang apa yang akan

ditempuh atau apa yang menjadi masa depannya. Clebsch dan Jaekle melihat

fungsi membimbing yang dilakukan oleh konselor sebagai tindakan yang

membimbing dan atau membuat konseli untuk melihat dirinya sendiri (bisa seperti

potensi diri atau pengetahuan didalam diri) untuk menemukan cara yang paling

tepat untuk melihat apa yang harus dilakukan ketika ada dalam kondisi-kondisi

yang buruk.70

Menurut mereka, pengetahuan-pengetahuan seperti itu akan

menuntun individu untuk berguna bagi dirinya sendiri ketika mengalami masalah.

Artinya konseli dimampukan untuk terampil memilih dan mengambil keputusan

tentang hal-hal positif yang membangun dirinya, serta menentukan langkah-

langkah yang harus diambil.71

Dengan kata lain, pendamping membimbinig orang

yang didampingi agar mampu menyelesaikan persoalan dan urusan hidupnya

sendiri.

(2) Fungsi mendamaikan atau memperbaiki hubungan

Fungsi ini dipakai oleh pendamping untuk membantu orang yang

didampingi bila mengalami konflik batin dengan pihak lain yang mengakibatkan

putusnya atau rusaknya hubungan. Manusia disebut juga mahkluk sosial, salah

satu kebutuhan manusia untuk hidup dan merasa aman adalah hubungan yang

baik dengan sesama. Apabila hubungan tersebut terganggu maka terjadilah

penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional. Individu terkadang tidak

sadar pada posisi dimana ia membutuhkan orang ketiga untuk melihat secara

70

Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Pastoral Historical Perspetive (New York, Harper

& Row, 1967), 49. 71

Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling,5-6.

Page 29: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

44

objektiv posisi tersebut, pada saat itu pendamping pastoral berfungsi sebagai

mediator atau penengah untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan

terganggu.72

Hal ini berarti pendamping menengahi dan membantu orang yang

didampingi melihat kegelisahannya sehingga dapat memperbaiki hubungan atau

keadannya sendiri. Pendamping menengahi pihak yang terlibat dalam konflik, ia

memfasilitasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk membicarakan

konfliknya secara terbuka, adil, dan jujur. Sampai tahap ini, kedua belah pihak

diharapkan dapat mengambil jalan keluar yang saling menumbuhkan dan menjalin

hubungan kembali. Pendamping turut menciptakan ruang bersama bagi kedua

belah pihak untuk saling menumbuhkan.73

Artinya pendamping menempatkan

posisinya ditengah diantara keduabelah pihak dan mengizinkan kedua untuk

saling menumbuhkan bukan pendamping.

(3) Fungsi menopang atau menyokong

Menurut Clinebell fungsi ini dapat membantu menolong orang yang

didampingi (dalam hal ini orang yang terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi

suatu kejadian yang terjadi pada waktu lampau.74

Sepakat dengan Clinebell,

Wiryasaputra menyatakan fungsi ini dilakukan agar dapat membantu orang yang

didampingi menerima keadaan sekarang sebagaimana adanya, kemudian berdiri

diatas kaki sendiri dalam keadaan yang baru, serta bertumbuh secara penuh dan

utuh.75

Karena itu, Van Beek menjelaskan bahwa fungsi menopang bukan pada

tindakan dan kata-kata melainkan kehadiran kita sebagai bentuk bantuan bagi

merekea bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Sokongan

72

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi,91 73

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 91. 74

Clinebell, Tipe-Tipe Pendampingan Pastoral dan Konseling, 53. 75

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 90.

Page 30: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

45

berupa kehadiran dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka akan

mengurungi penderitaan mereka. Sokongan ini juga dapat membantu mengurangi

penderitaan yang begitu memukul.

Engel menyatakan bahwa fungsi menopang, menolong orang yang

didampingi (konseli) mengalami luka atau sakit untuk bertahan menghadapi dan

melewati masa-masa sulit yang dialami, menerima kenyataan sebagimana adanya

mandiri dalam keadaan yang baru, serta tumbuh secara penuh dan utuh.76

Menopang atau menyokong sebagai fungsi pastoral dimaksudkan sebagai

penghiburan dan penguatan yang dirasakan konseli dari relasi pastoral sewaktu

ada kesusahan karena mengalami kehilangan, rasa sedih, sakit dan penderitaan.

Dari pandangan-pandangan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa fungsi

menopang dan menyokong diperlukan setiap individu dalam menjalani hidup agar

ia mampu menjalani kehidupan kekiniannya secara utuh.

Fungsi menopang dibedakan oleh Clebsch dan Jaekle dalam empat tugas

yakni; (a) Tugas penjagaan (preservation), tugas ini dilakukan menjaga atau

menopang orang yang didampingi (konseli) agar tidak berlarut-larut dalam

kehilangan, kesedihan, dan kebingungan yang semakin dalam;77

(b) tugas

penghiburan (consolation) tugas ini dapat dilakukan oleh siapa saja tergantung

kepercayaan yang diberikan oleh yang didampingi.78

Namun dalam tugas ini si

pendamping membantu yang didampingi (konseli) untuk membantu meringankan

beban bahkan ketika si konseli tidak dapat menghibur dirinya sendiri; (c) tugas

pemantapan (consolidation), tugas ini dilakukan dengan berusaha untuk melihat

kembali sumber daya atau mengerahkan seluruh totalitas dirinya agar konseli

76

Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 6. 77

Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, 44. 78

Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling,7.

Page 31: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

46

mampu memecahkan masalahnya sendiri;79

(d) tugas pemulihan (redemption)

membantu si konseli agar ia mampu membangun kehidupanya kembali agar ia

dapat melanjutkan hidupnya agar ia dapat mendapat suatu kepenuhan hidup yang

baru80

. Tahapan ini membuktikan bahwa dalam kasus tertentu pendamping tidak

hanya bisa menjadi penengah tetapi menjadi orang yang turut melakukan

tindakan-tindakan tertentu dan statusnya bisa berubah menjadi konselor.

(4) Fungsi menyembuhkan

Fungsi ini dapat dipakai oleh pendamping ketika melihat adanya

keadaan yang dapat dan perlu dikembalikan ke keadaan semula ataupun

mendekati keadaan semula81

. Fungsi menyembuhkan ini penting dalam arti bahwa

melalui pendampingan yang berisi kasih sayang, rela mendengarkan segala

keluhan batin, dan kepedulian yang tinggi akan membuat seseorang yang sedang

menderita mengalami rasa aman dan kelegaan sebagai pintu masuk ke arah

penyembuhan yang sebenarnya. Van Beek melihat emosi/perasaan yang tertekan

dan tidak terungkap melalui kata-kata atau ungkapan perasaan (menangis, dll).

Kemungkinan akan disalurkan melalui disfungsi tubuh. Ketika cemas, takut,

gelisah, hal itu sering berakibat pada tubuh, misalnya rasa mual, pusing, sakit

perut, dada sesak, dan sebagainya. Keadaan ini menurut Wiryasaputra dan

Handayani sebagai gejala yang tingkah laku yang disfungsional.82

Dalam konteks

ini, hal yang dianggap menolong adalah bagaimana pendamping melalui

pendekatannya mengajak menderita untuk mengungkapkan perasaan batinnya

yang tertekan. Hal ini dilakukan agar orang yang didampingi dapat menciptakan

79

Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, 47. 80

Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, 48. 81

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 88. 82

Wiryasaputra &Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, 97.

Page 32: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

47

kembali keseimbangan (homeostasis) yang baru, fungsional, dan dinamis.

Wiryasaputra memberikan contoh bagaimana fungsi ini dapat dilakukan adalah

dengan teknik katarsis, dimana orang yang didampingi difasilitasi untuk

mengeluarkan unek-unek yang dibenamkannya (atau yang diumpamakan dengan

telur busuk yang ada dalam hartinya.83

Hal ini dikarenakan orang suka

menyimpan rapat-rapat atau membenamkan dalam-dalam berbagai sampah

kejiwaan dalam batinnya. Tidak jarang orang hidup dengan “unfinished emotional

or psychological business”atau masalah perasaan atau psikologis yang tidak

terselesaikan.84

Fungsi menyembuhkan mementingkan kehadiran pendamping

bersama dengan orang yang didampingi, kehadiran ini berisi kerelaan untuk

mendengarkan keluh kesah dari orang yang didampingi agar ia tidak hidup

bersama dengan masalah perasaannya.

(5) Fungsi mengasuh

Clinebell melihat fungsi mengasuh sama dengan memelihara.

Menurutnya tujuan fungsi mengasuh atau memelihara adalah untuk memampukan

orang (orang yang didampingi) untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada

pada dirinya.85

Selaras dengan Clinebell, Van Beek memberi contoh fungsi

mengasuh dalam proses pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dalam proses

itu mengalami perubahan bentuk dan fungsi.Perkembangan yang terjadi pada bayi

meliputi aspek emosional, cara berpikir, motivasi dan kemauan, tingkah laku,

kehidupan rohani, dalam interaksi dan sebagainya. Demikianlah dalam hal

menolong mereka yang memerlukan pendampingan. Pendamping melihat potensi

apa yang dapat menumbuhkembangkan kehidupannya sebagai kekuatan yang

83

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 88. 84

Wiryasaputra & Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, 97 85

Clinebell melihat potensi yang ada dalam dirinya adalah pemberian sang pencipta.

Page 33: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

48

dapat diandalkan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Pendamping perlu

menolong orang yang didampingi untuk berkembang. Karenanya diperlukan

pengasuhan ke arah pertumbuhan melalui proses pendampingan.

(6) Fungsi mengutuhkan

Fungsi mengutuhkan merupakan pusat karena sekaligus merupakan

tujuan utama dari pendampingan pastoral, yaitu pengutuhan kehidupan manusia

dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental, dan spiritual. Lawan

dari keutuhan adalah kerusakan, keretakan, kehancuran, dan kebobrokan yang

menyebabkan penderitaan, dan dalam kasus seperti ini Van Beek lebih

menyarankan adanya tindakan lanjut yaitu konseling.

(7) Fungsi memberdayakan

Fungsi ini disebut sebagai “membebaskan” atau “memampukan”,

“memperkuat” (capacity building). Artinya pendamping memberdayakan dan atau

membantu orang yang didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada

masa depan ketika kembali menghadapi kesulitan, dan pada tahap tertentu dapat

pula menjadi pendamping bagi orang lain. Dalam usaha ini, maka orang yang

didampingi diharapkan tidak selalu bergantung pada pertolongan orang lain.

Selain dari itu, bila kondisi memungkinkan ia akan dapat menjadi penolong

sesama dan lingkungannya. Pendamping memfungsikan dirinya sebagai mitra

atau fasilitator yang memberdayakan, membebaskan, dan membangun kekuatan

atau kemampuan.86

Artinya sebagai fasilitator pendamping hanya memberdayakan

orang yang didampingi untuk menjadi dan menolong dirinya sendiri.

86

Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 92-93.

Page 34: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

49

II. 3. Rangkuman

Dari berbagai penjelasan tentang teori-teori diatas, ada dua kesimpulan

besar yang dapat diambil;

1. Ritual memiliki rangkaian kegiatan yang sesuai dengan aspek aktivitas

manusia dan memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang ada dan

diobjekan sehingga dapat mengungkapkan perilaku dan perasaan yang

dapat juga membentuk disposisi pribadi. Artinya setiap objek itu

menjadi “yang nyata” bagi individu sehingga membentuk pikiran dan

perasaan individu, karenanya ritual juga dapat dilihat sebagai bentuk

kategori adat perilaku yang dibakukan. Ritual juga dapat meningkatkan

produktivitas keseharian individu, hal ini terjadi karena ritual tidak dapat

dilepaspisahkan dari kehidupan manusia. Ritual dan manusia keduanya

berjalan beriringan karena manusia selalu merayakan tahapan-tahapan

dalam hidupnya dengan menggunakan sebuah ceremony, termasuk

sebuah pernikahan.

2. Pernikahan adalah salah satu ritual peralihan fase kehidupan setiap

mansusia. Dalam ritual ini dalam beberapa daerah mengandung

beberapa fase yaitu transisi dan inkorporasi. Fase transisi ini dilihat

sebagai masa-masa pertunangan sebelum pada akhirnya masuk dalam

proses inkorporasi. Setelah fase pertunangan ada fase inkoporasi yang

menjadi payung besar dalam sebuah ritual pernikahan, yang tentunya

mengadung unsur ritual pemisahan karena salah satu mempelai harus

meninggalkan kolektivitasnya dan masuk dalam kolektivitas yang baru

sehingga membutuhkan inkorporasi. Dalam fase ini, setiap daerah

Page 35: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

50

menyusun acara ritualnya sesuai dengan ide dan pemaknaannya masing-

masing. Inkorporasi identik dengan sebuah makna inisiasi karena

menyatukan dua individu dan menggabungkan dalam satu kolektivitas,

karenanya faktor ekonomi dalam ritual ini sangat diperhatikan karena

pada beberapa daerah unsur ekonomi sangat berperan penting.

3. Pendampingan berbasis budaya melihat individu secara holisitik dengan

memperhatikan budaya yang dimiliki oleh individu. Budaya dalam

paham ini tidak berasal dari etnis atau ras individu melainkan berkaitan

dengan konstuk pola pikir individu dan apa yang menjadi objek atau

acuan berpikir individu. Pola pikir individu bisa saja berasal dari banyak

aspek dan proses yang dilewati individu. Karenanya latar belakang

individu baik lingkungan, latar belakang pendidikan, agama, ras, etnis,

ritual-ritual dalam masyarakat, nilai yang ada dalam masyarakat dimana

ia tinggal harus dipahami dan didalami oleh pendamping.

4. Ada beberapa teknik pendekatan pendampingan pastoral yang dilakukan

oleh para profesional antara lain; Tahap awal, tengah akhir. Tahap awal

pendamping akan membangun rasa percaya untuk klien, tahap tengah

pendamping mulai melakukan anamnesis, sintesis, dan diagnosis,

treatment planning, treatment execution, review, dan evaluasi.

Sedangkan tahap akhir adalah pendamping melihat waktu pemutusan

tindakan pendampingannya berdasarkan hasil pada tahap kedua. Namun

secara terperinci, langkah pendampingan terdiri dari beberapa tahap

yakni; self-exploration, self-acceptance, self-detachment, self-

Page 36: BAB II RITUAL DAN PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS …

51

trancendence, attitude modification, self-integrity, orientation of

meaning.

5. Terdapat tujuh fungsi pendampingan yakni fungsi membimbing, fungsi

mendamaikan atau memperbaiki hubungan, fungsi menopang atau

menyokong, fungsi menyembuhkan, fungsi mengasuh, fungsi

mengutuhkan, dan fungsi memberdayakan.