bab ii landasan teori pastoral...fungsi konseling pastoral william a. clebsch dan charles r. jaekle...

32
10 BAB II LANDASAN TEORI Pastoral Istilah pastoral berasal dari kata pastor dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Yunani disebut poimen yang artinya gembala. Secara tradisional dalam kehidupan gerejawi hal ini merupakan tugas Pendeta yang harus menjadi gembala bagi jemaat atau dombanya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”. Istilah pastor dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara. 1 Seorang yang bersifat pastoral adalah seseorang yang bersifat seperti gembala, yang bersedia merawat, memelihara, melindungi, dan menolong orang lain. 2 Bahkan seorang yang bersifat pastoral merasa bahwa karya semacam itu adalah “yang seharusnya” di lakukannya katakanlah bahwa itu adalah “tanggung jawab dan kewajiban” baginya 3 Sejak zaman Reformasi istilah pastoral telah dipakai dalam dua pengertian yakni: 4 (1) “Pastoral” dipakai sebagai kata sifat dari kata benda “pastor”. Istilah “pastoral” merujuk pada tindakan penggembalaan. Dalam hal ini penggembalaan dilihat sebagai apa pun yang dilakukan oleh pastor (gembala). Seorang pastor hendaknya memiliki motivasi, watak dan kerelaan yang kuat sehingga seluruh tindakan yang diperbuatnya tidak terlepas dari sikap penuh perhatian dan kasih sayang kepada seseorang atau sekelompok orang yang dihadapinya. Sikap pastoral 1 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal. 9-10 2 M.Bons Storm, Apakah Penggembalaan itu, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 9 3 Van, Beek Aart, Konseling Pastoral Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di Indonesia, (Satya Wacana: Semarang, 1987), hal. 6 4 Tjard G. Hommes dan E. Gerrit Singgih (editor), Teologi dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 72-79

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 10

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    Pastoral

    Istilah pastoral berasal dari kata pastor dalam bahasa Latin atau dalam bahasa

    Yunani disebut poimen yang artinya gembala. Secara tradisional dalam kehidupan

    gerejawi hal ini merupakan tugas Pendeta yang harus menjadi gembala bagi jemaat

    atau dombanya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan

    karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”. Istilah pastor dalam

    konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara.1Seorang yang bersifat

    pastoral adalah seseorang yang bersifat seperti gembala, yang bersedia merawat,

    memelihara, melindungi, dan menolong orang lain.2Bahkan seorang yang bersifat

    pastoral merasa bahwa karya semacam itu adalah “yang seharusnya” di lakukannya

    katakanlah bahwa itu adalah “tanggung jawab dan kewajiban” baginya3

    Sejak zaman Reformasi istilah pastoral telah dipakai dalam dua pengertian

    yakni:4 (1) “Pastoral” dipakai sebagai kata sifat dari kata benda “pastor”. Istilah

    “pastoral” merujuk pada tindakan penggembalaan. Dalam hal ini penggembalaan

    dilihat sebagai apa pun yang dilakukan oleh pastor (gembala). Seorang pastor

    hendaknya memiliki motivasi, watak dan kerelaan yang kuat sehingga seluruh

    tindakan yang diperbuatnya tidak terlepas dari sikap penuh perhatian dan kasih

    sayang kepada seseorang atau sekelompok orang yang dihadapinya. Sikap pastoral

    1 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal. 9-10 2M.Bons Storm, Apakah Penggembalaan itu, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 9 3 Van, Beek Aart, Konseling Pastoral Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di

    Indonesia, (Satya Wacana: Semarang, 1987), hal. 6 4 Tjard G. Hommes dan E. Gerrit Singgih (editor), Teologi dan Praksis Pastoral

    (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 72-79

  • 11

    berarti suatu kesediaan dan kesegeraan tampil kalau dibutuhkan. (2) Dalam

    pengertian kedua istilah “pastoral” merujuk pada studi tentang penggembalaan

    (poimenics).

    Pengertian ini muncul bersamaan dengan sederet fungsi-fungsi penting lain

    dari pendeta dan gereja, seperti: kateketik, homiletik, pengajaran agama dan lain-

    lain. Fungsi-fungsi ini bersifat struktural/kategorial. Dari dua pengertian tersebut,

    penggembalaan/ pastoral memiliki tempat yang unik dalam kekristenan. Dalam

    pengertian bahwa hubungan kita dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan kita

    dengan sesama manusia (horizontal) dianggap tidak terpisahkan. Adapun pastoral

    dilihat dalam dua pendekatan, yaitu:

    1. Pendampingan pastoral

    Dalam buku “Pastoral Care in Historical Perspective” dikatakan bahwa

    pelayanan Kristen yang berupa pemeliharaan jiwa (Cure of Soul) disebut juga

    pendampingan pastoral. Pendampingan pastoral telah banyak dilakukan terhadap

    situasi kehidupan manusia, yang bertujuan untuk meringankan atau menolong

    kebingungan yang melanda manusia. Pendampingan pastoral atau pemeliharaan

    jiwa, terdiri dari tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan atas nama gereja,

    dan yang menjurus kepada penyembuhan, pendampingan, bimbingan dan

    perdamaian orang-orang yang bermasalah, khususnya berhubungan dengan

    masalah-masalah yang paling pokok dan mendasar dalam kehidupan manusia.5

    Pendampingan pastoral merupakan cabang dari pastoral yang dikhususkan pada

    pemeliharaan jiwa-jiwa. Kegiatan pemeliharaan jiwa-jiwa, menurut F. Haarsma

    5William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective,

    (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964), hal. 1-10

  • 12

    berpusat pada orang perorangan dan atau kelompok kecil. Inilah pendampingan

    pastoral dalam arti luas. Dalam bahasa Latin disebut “cura animarum” yang berarti

    pemeliharaan rohani, atau pemeliharaan jiwa-jiwa. Dalam artinya yang sempit,

    pendampingan pastoral berarti pemeliharaan rohani dari golongan-golongan yang

    memerlukan perhatian khusus, misalnya, pendampingan pastoral untuk orang

    sakit.6 Di rumah sakit, mereka sudah menerima perawatan secara jasmani. Tetapi

    di samping itu, mereka juga membutuhkan perawatan secara rohani. Inilah arti

    khusus, atau arti sempit dari pendampingan pastoral yang dipakai oleh banyak

    rumah sakit, khususnya rumah sakit kristiani. Di rumah sakit seperti itu, disediakan

    kamar khusus untuk bagian pendampingan pastoral, juga ada tenaga khusus untuk

    pendampingan pastoral. Tenaga yang biasanya mendukung, antara lain: suster atau

    tenaga awam lainnya, yang dilatih untuk perawatan rohani. Mesach Krisetya

    berpendapat bahwa dalam berbagai kemungkinan, suka maupun duka, layanan

    pastoral itu dibutuhkan. Menurutnya, seluruh pendampingan bersifat pastoral ketika

    tindakan menolong orang lain tersebut dilandasi oleh keyakinan agamanya.7Hal ini

    berarti bahwa pendampingan yang bersifat pastoral merupakan hal yang luas yang

    dapat dilakukan oleh siapa saja (tidak hanya orang yang beragama Kristen) yang

    ingin melayani sesama secara lebih manusiawi.

    Menurut J. D. Engel, jika pendampingan dihubungkan dengan pastoral

    maka pendampingan tidak hanya sekedar meringankan beban penderitaan tetapi

    menempatkan orang dalam relasi dengan Allah (yang transenden) dan sesama,

    6F. Haarsma, Pastoral Dalam Dunia, (Yogyakarta: Puspas 1991), hal. 10. 7Mesach Krisetya dalam Seri Pastoral dan Konseling: Teologi Pastoral, (Salatiga: UKSW,

    2008), hal. 1

  • 13

    dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam kehidupan

    spiritualnya untuk membangun dan membina hubungan dengan sesamanya,

    mengalami penyembuhan dan pertumbuhan serta memulihkan orang dalam

    hubungan dengan Allah (yang transenden).8

    2. Konseling Pastoral

    Pastoral konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal

    relationship) antara hamba Tuhan (Pendeta, Penginjil, dsb) sebagai konselor

    dengan konselinya, dalam mana konselor mencoba membimbing konselinya ke

    dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere) yang

    memungkinkan konseli itu betul-betul dapat mengenal dan mengerti apa yang

    sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, dimana ia

    berada, dsb; sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung

    jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan

    dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.

    Selain pengertian di atas, terdapat beberapa definisi konseling pastoral.

    Menurut Clinebell, konseling pastoral adalah ungkapan pendampingan yang

    bersifat memperbaiki (reparatif), yang berusaha membawa kesembuhan bagi orang

    lain (baik anggota dari suatu gereja maupun anggota dari persekutuan

    pendampingan lain) yang sedang menderita gangguan fungsi pribadi karena krisis.9

    Dalam hal ini konseling pastoral dipahami sebagai wujud dari penyembuhan dalam

    pendampingan pastoral yang mana tidak terbatas pada anggota gereja tetapi bagi

    8J. D. Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral (Salatiga: Tisara Grafika), 4. 9Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:

    Practical Theology Translation Project Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana), 17-18.

  • 14

    persekutuan lainnya. Hampir sama dengan Clinebell, namun di sini Leory Aden

    mengusulkan pandangannya mengenai konseling pastoral yang lebih luas dan

    mendalam lagi yakni sebagai suatu perspektif Kristen yang mencari upaya untuk

    menolong atau menyembuhkan dengan cara ‘menghadiri’ situasi kehidupan

    seseorang yang mengalami kesulitan. Konseling pastoral ini tidak terbatas hanya

    melayani mereka yang berada dalam lingkungan iman Kristen saja, tetapi masih

    dimungkinkan untuk diberikan kepada mereka yang berasal dari luar persekutuan

    Kristen.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konseling pastoral

    tidak hanya sebatas hubungan pertolongan antara dua orang, akan tetapi lebih dari

    itu. konseling pastoral merupakan hubungan segitiga yang melibatkan Allah,

    konselor dan pribadi yang sedang mengalami masalah.

    Fungsi konseling pastoral

    William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle dalam bukunya yang berjudul

    Pastoral Care in Historical Perspektif menyatakan bahwa secara tradisional ada

    empat fungsi pastoral, yaitu:10

    1) Fungsi menyembuhkan.

    Bagi mereka yang mengalami dukacita dan luka batin akibat kehilangan atau

    terbuang, biasanya berakibat pada penyakit psikosomatis, suatu penyakit yang

    secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tekanan mental yang berat.

    Emosi/perasaan yang tertekan dan tidak terungkapkan melalui kata-kata atau

    10William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, hal.

    33-36

  • 15

    ungkapan perasaan, misalnya menangis, kemungkinan akan disalurkan melalui

    disfungsi tubuh, misalnya rasa mual, pusing, dada sesak, sakit perut, dan

    sebagainya. Tindakan pertolongan yang perlu dilakukan oleh pendamping adalah

    mengajak penderita untuk mengungkapkan perasaan batinnya yang tertekan.

    Fungsi ini dipakai oleh pendamping ketika melihat keadaan yang perlu

    dikembalikan ke keadaan semula atau mendekati keadaan semula, sehingga orang

    yang didampingi dapat menciptakan kembali keseimbangan yang baru, fungsional,

    dan dinamis.

    2) Fungsi membimbing

    Membimbing berarti memberikan pandu kepada orang yang didampingi untuk

    menemukan jalan yang benar. Pendamping menolong orang yang didampingi untuk

    memilih/ mengambil keputusan secara mandiri tentang apa yang akan ditempuh

    atau apa yang menjadi masa depannya. Salah satu caranya adalah dengan

    mengajukan alternatif. Pendamping juga dapat menolong orang yang didampingi

    untuk melihat: kekuatan dan kelemahan (internal) serta kesempatan dan tantangan

    (eksternal). Pemberian nasihat juga dapat dimasukkan dalam fungsi membimbing.

    3) Fungsi menopang/menyokong.

    Fungsi ini dilakukan bila orang yang didampingi tidak mungkin kembali ke

    keadaan semula, misalnya kematian orang yang dikasihi. Fungsi menopang dipakai

    untuk membantu orang yang didampingi menerima keadaan sekarang sebagaimana

    adanya, kematian adalah tetap kematian, untuk dapat bertumbuh secara penuh dan

    utuh. Kehadiran pendamping dalam dukacita adalah topangan kepada mereka untuk

  • 16

    dapat bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Sokongan ini akan

    membantu mengurangi penderitaan mereka.

    4) Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan.

    Apabila hubungan sosial dengan orang lain terganggu, maka terjadilah

    penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional. Konflik sosial yang

    berkepanjangan akan berpengaruh terhadap fisik. Pendampingan berfungsi sebagai

    perantara untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan terganggu. Konselor

    menjadi mediator/ penengah yang netral dan bijaksana.

    Howard Clinebell menambahkan fungsi kelima dari pastoral, yaitu memelihara

    atau mengasuh (nurturing).11Konselor menolong konseli untuk berkembang sesuai

    dengan potensi dan kekuatan yang dimilikinya. Menolong di sini bermakna

    mengasuh mereka ke arah pertumbuhan emosional, cara berfikir, motivasi,

    kelakuan, tingkah laku, interaksi, kehidupan rohani, dan sebagainya. Melengkapi

    kelima fungsi di atas, van Beek menambahkan fungsi keenam yaitu fungsi

    mengutuhkan. Fungsi mengutuhkan adalah fungsi pusat karena sekaligus

    merupakan tujuan utama dari konseling pastoral, yaitu pengutuhan kehidupan

    manusia dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental dan spiritual.

    Apabila mengalami penderitaan, keempat aspek ini tercabik sehingga perlu

    tindakan pertolongan untuk mengutuhkan kembali. Terkecuali penderitaan

    dipandang sebagai faktor yang diperlukan dalam proses pertumbuhan manusia.

    Menurut Carl G. Jung, keutuhan psikis self/ diri hanya dimungkinkan sejauh

    individu tersebut dapat menerima keadaan hidup yang paradoksal dan ambigu,

    11Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:

    Practical Theology Translation Project Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana), 54.

  • 17

    penuh dengan pertentangan batin yang harus ditahan di dalam pribadi seseorang.

    Dengan demikian individu dapat menciptakan harmonisasi kehidupan tanpa

    menghilangkan salah satu unsur. Keutuhan individu diukur jika ia berhasil dalam

    pergumulan dengan pertentangan-pertentangan psikologis sampai kemudian ia

    berhasil memadukan dan menyeimbangkan pertentangan-pertentangan itu. Jadi

    tujuan proses individuasi, proses menjadi diri sendiri, bukanlah kesempurnaan

    moral dan religius melainkan keutuhan psikis yang terintegrasi.

    a. Pendekatan integratif dalam konseling pastoral

    Van Beek dalam bukunya ‘Konseling Pastoral’,menguraikan secara jelas

    mengenai pelayanan konseling pastoral secara holistik. Dalam penjelasannya, ia

    menggunakan istilah perspektif menyeluruh. Adapun uraian berangkat dari titik

    pandangnya terhadap kehidupan manusia yang sangat kompleks. Perspektif

    menyeluruh ialah suatu pandangan terhadap situasi dan masalah-masalah konseli

    yang dapat menghasilkan informasi mengenai semua aspek dalam kehidupannya.12

    Dengan kata lain konselor harus mempertimbangkan persoalan-persoalan konseli

    dalam segala kompleksitasnya. Semua aspek dari kehidupan konseli perlu

    diperhatikan sedikit banyak untuk menjamin pemahaman yang cukup lengkap

    mengenai kesulitan yang mengganggu dia. Untuk menyederhanakan kompleksitas

    hidup manusia itu kita dapat membagi hidup manusia menjadi empat aspek, yaitu:13

    1) Aspek fisik

    12Aart van Beek, Konseling Pastoral, (Semarang: Satya Wacana, 1987), hal. 24-29 13J. D. Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral (Salatiga: Tisara Grafika), 25.

  • 18

    Aspek ini berkaitan erat dengan bagian yang tampak dari hidup kita. Aspek ini

    terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar dirinya. Dengan

    aspek fisik ini manusia dapat dilihat, diraba, disentuh, dan diukur.

    2) Aspek mental

    Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi, dan kepribadian manusia. Aspek ini

    juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, motivasi, dan integrasi diri manusia.

    Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang dengan bagian dalam

    dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak tampak, sehingga tidak dapat

    diraba, disentuh dan diukur. Aspek mental memampukan manusia berhubungan

    dengan dirinya sendiri dan lingkungannya secara utuh, memberadakan, membuat

    jarak (distansi), membedakan diri, dan bahkan dengan diri sendiri.

    3) Aspek spitual

    Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus

    dapat berhubungan dengan sang pencipta sejati. Aspek ini mengacu pada hubungan

    manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar jangkauannya. Inilah aspek

    vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal ini manusia bergaul dengan sesuatu

    yang agung, yang berada di luar dirinya dan mengatasi kehidupannya. Aspek ini

    memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia lain, misalnya dunia gaib.

    4) Aspek sosial

    Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin berdiri

    sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar secara horizontal,

    yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam sebuah interelasi dan

    interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak dapat tumbuh tanpa relasi dan

  • 19

    interaksi. Aspek ini memampukan manusia tidak hanya berelasi dan berinteraksi

    dengan sesama manusia, melainkan juga dengan mahluk ciptaan lain: udara, air,

    tanah, tumbuhan, binatang, dan sebagainya.

    Seluruh aspek hidup manusia saling berkaitan dan mempengaruhi secara

    sistematik dan sinergik membentuk eksistensi manusia sebagai keutuhan yang

    bertumbuh mencapai kepenuhannya. Kita dapat membedakan satu aspek dari aspek

    yang lain, namun pada dasarnya kita tidak dapat memisahkannya, karena keempat

    aspek tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi. Hal tersebut menunjukkan

    bahwa sesuangguhnya manusia selalu berelasi dengan dirinya sendiri (internal) dan

    dengan sesuatu yang berada di luar dirinya (eksternal), baik secara fisik, mental,

    sosial dan spiritual. sesungguhnya manusia bertumbuh dalam suatu proses

    menjumpai dan dijumpai.

    Jennifer Crocker and Amy Canevello dari University of Michigan menulis

    dalam jurnalnya, bahwa manusia adalah makhluk sosial, mereka membutuhkan

    hubungan yang mendukung dengan orang lain baik itu fisik maupun psikologis.

    Baumeister dan Leary menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan mendasar

    yaitu perasaan memiliki dan dimiliki dan mereka membuktikan bahwa orang-orang

    yang membentuk ikatan sosial akan menciptakan emosi yang positif, dan

    sebaliknya orang yang tidak ada ikatan sosial akan cenderung memiliki emosi yang

    negatif, orang yang berpikiran positif ini akan memiliki hubungan yang baik.

    Apabila orang itu kurang rasa memiliki dan dimiliki cenderung akan mengalami

  • 20

    masalah kesehatan baik fisik maupun mental.14 Hal ini menunjukkan bahwa tidak

    ada manusia yang dapat bertahan hidup seorang diri saja karena sesungguhnya

    kodrat manusia itu adalah makhluk sosial. Setiap interaksi yang terjadi pasti akan

    selalu bersinggungan dengan lingkungan sesamanya dan sesamanya ini akan saling

    mengisi dalam kehidupannya. Kehadiran sesamanya akan memiliki nilai penuh

    serta kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan seseorang dan pasti akan

    mengalami kehampaan dalam setiap langkah hidupnya jika tanpa orang lain. Sangat

    mustahil manusia dapat hidup seorang diri, harus ada teman untuk saling

    menopang. Ruang kosongnya pasti hanya akan dapat diisi oleh sesamanya.

    Berdasarkan penjelasan di atas disimpulkan bahwa konseling pastoral dalam

    pendekatan integratif dapat dipahami sebagai proses pertolongan kepada sesama

    manusia secara utuh mencakup aspek fisik, mental, spiritual dan sosial yang bersifat

    pastoral yaitu menyembuhkan, menopang, membimbing, mendamaikan dan

    memberdayakan. Hal ini menunjukan sebuah kenyataan bahwa sesungguhnya

    manusia adalah mahluk yang holistik, artinya dalam kaitan dengan konseling

    pastoral kita harus melihat orang yang didampingi sebagai mahluk holistik yang

    sedang mengalami krisis. Ini berarti bahwa orang yang didampingi pertama-tama

    harus dilihat dalam perspektif kesatuan dan keseluruhan sebelum melihat aspek-

    aspeknya yang lebih rinci. Secara konkret, ketika menghadapi orang yang sedang

    mengalami krisis, kita harus melihatnya secara lengkap, utuh dalam keseluruhan

    sebagai manusia, dan bukan sebagai kasus penyakit atau masalah tertentu.

    14Jennifer Crocker and Amy Canevello, Creating and Undermining Social Support in

    Communal Relationships: The Role of Compassionate and Self-Image Goals (Journal of Personality

    and Social Psychology, 2008, Vol. 95, No. 3), 555–575.

  • 21

    Orang dapat disebut sehat bukan hanya karena “tidak adanya penyakit

    tertentu”, melainkan mampu hidup sehat secara utuh: fisik, mental, spiritual, dan

    sosial. Seseorang dikatakan sehat bila dia dapat hidup dan bertumbuh secara penuh,

    sempurna dalam seluruh aspek kehidupannya. Dalam perspektif integratif, manusia

    tidak bisa direduksi menjadi kasus atau penyakit tertentu. Manusia juga tidak dapat

    dipersempit hanya ke dalam aspek tertentu secara parsialistik, misalnya hanya

    melihat aspek fisik tanpa memperhatikan aspek kehidupan yang lain juga seperti

    mental, spiritual, dan sosial.

    b. Bentuk Konseling Pastoral

    Untuk menunjang pelaksanaan konseling pastoral maka perlu dipahami

    beberapa bentuk konseling pastoral, yaitu:15

    1) Konseling pastoral jangka pendek secara formal dan informal. Hal ini perlu

    disesuaikan dengan keadaan konseli. Fungsi konselor ialah menggerakkan inner

    resources atau tenaga batiniah atau sumber-sumber penaggulangan masalah atau

    potensial yang terdapat dalam diri konseli agar dia lebih cepat dimampukan

    mengatasi kesusahan hati yang tidak normal yang menimpa diri konseli atau juga

    mengatasi gangguan jiwa yang tidak menentu (tidak normal) yang tidak tahu

    penyebabnya. Konseling pastoral dalam hal ini adalah memberikan bantuan kepada

    konseli agar dia secara lebih konstruktif menguji realitas yang dihadapinya.

    2) Konseling pastoral jangka panjang. Konseling jangka panjang adalah formal,

    dibutuhkan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa yang tidak mmenentu (tidak

    15Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Yogyakarta:

    Practical Theology Translation Project Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, hal. 34.

  • 22

    normal) yang tidak diketahui penyebabnya. Konseli dalam hal ini mengalami

    kesusahan dan luka perasaan yang sangat berat dan mungkin berulang-ilang atau

    beruntun sehingga dia tidak mampu lagi menggerakkan inner resourcer atau tenaga

    batiniah atau sumber-sumber penanggulangan masalah atau potensial yang ada

    pada dirinya tanpa bantuan penyembuhan yang membutuhkan psikoterapi yang

    bersifat membangun kembali dari ahli psikoterapi pastoral atau konseling pastoral

    maupun dengan psikoterapi sekuler.16

    Menyadari akan kebutuhan setiap orang yang berbeda, termasuk juga

    persoalan yang dialami, dan latar belakan kehidupan seperti budaya, status

    ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya, maka seorang konselor harus

    mampu melakukan pelayanan konseling pastoral secara unik untuk masing-masing

    orang yang didampingi. Dengan kata lain, tidak ada satu bentuk model tetap atau

    khusu yang cocok untuk dapat diterapkan pada semua orang dan persoalannya.

    Collins menuliskan bahwa para ahli konseling menyimpulkan, ada beberapa

    macam bentuk dari konseling pastoral. Terhadap setiap konseli, kita dapat

    menggunakan satu atau lebih dari bentuk konseling di bawah ini:17

    Supportive-Counseling. Bimbingan konselor diberikan pada saat konseli mulai

    terbuka menghadapi persoalan hidup secara efektif. Untuk mencapai hal tersebut,

    konseli didorong untuk mengutarakan secara terbuka perasaan dan frustasinya.

    Konselor yang supportive sebaiknya memberikan perhatian, dorongan, mencoba

    dengan lemah lembut menyadarkan konseli terhadap tantangan realita kehidupan

    16 Tjaard dan Anne Hommes, Konseling Krisis, (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 200), hal. 6 17 Garry R. Collins, Pengantar Pelayanan Konseling Kristen, hal. 53-63

  • 23

    dan membimbing konseli pada pertumbuhan iman dan kematangan emosi sehingga

    permasalahan dapat diatasi.

    Confrontational-Counseling. Konselor tidak seharusnya menghakimi orang lain

    dengan maksud untuk mengkritik. Dalam kelemahlembuutan dan kasih, konselor

    terpanggil untuk menolong konseli menghadapi kegagalan, dosa, kekeliruan dan

    kebodohannya.

    Educative-Counseling. Konseling harus meliputi pengajaran dimana tingkah laku

    yang tidak efektif dapat diperbaiki dan konseli ditolong untuk belajar tingkah laku

    yang lebih baik. Dalam hal ini konselor bertindak sebagai seorang pengajar.

    Spitual-Counseling. Konseling menekankan hal-hal rohani dan menolong konseli

    supaya dapat memahami arti dan tujuan hidupnya. Konselor harus selalu sadar

    bahwa setiap persoalan manusia selalu menyangkut hubungan dengan yang

    Transenden dan sesama.

    Group-Counseling. Dalam pertemuan dengan beberapa konseli, seorang konselor

    dapat menyediakan tempat untuk membagikan perasaan konseli secara jujur, saling

    belajar dari pengalan orang lain, saling mendukung, menasihati, dan menolong satu

    terhadap yang lain.

    Informal-Counseling. Konseling tidak harus dilakukan di kantor, tapi bisa juga

    dilakukan secara informal, seperti rumah, rumah sakit, atau bahkan di jalan. Apabila

    konseli melihat konselor yang serius dan penuh perhatian serta mau mendengar,

    biasanya mereka akan mengeluarkan isi hati mereka dengan baik. Beberapa saran

    yang dapat dilakukan dalam konseling informal, yaitu: mendengar dengan penuh

    perhatian; menggunakan pertanyaan-pertanyaan tambahan untuk memerjelas fokus

  • 24

    persoalannya; mendorong konseli untuk menyimpulkan persoalan; memberikan

    informasi yang dapat membantu; menolong konseli mengambil keputusan tentang

    apa yang akan ia lakukan; memberikan konseli dorongan dan harapan, membantu

    konseli dalam doa, dan benar-benar jangan lupa mendoakannya. Bila memang

    diperlukan, mengusulkan pertemuan selanjutnya untuk diskusi yang lebih formal.

    Preventif_Counseling. Konseling tidak di buat untuk menghibur yang susah,

    menolong yang tertindas ataupun menolong konseli dari kesulitan hidup saja.

    Alasan yang terkuat adalah untuk mmembebaskan konseli dari permasalah hidup

    yang dialami.

    Konseling Pastoral berbasis budaya

    1. Makna Budaya dalam Konteks Konseling Berbasis Budaya.

    Pembahasan tentang persoalan konseling pastoral berbasis budaya tidak

    dapat dilepaskan dari pembahasan tentang budaya dalam konteks psikologi, karena

    dasar pijakan keilmuan konseling berakar dari psikologi. Terdapat beberapa ciri

    khas budaya dalam konteks Psikologi yaitu; (1) Budaya sebagai sebuah konsep

    abstrak; aspek budaya yang dapat diamati sesungguhnya bukanlah budaya itu

    sendiri melainkan perbedaan perilaku manusia dalam aktivitas dan tindakan,

    pemikiran, ritual, tradisi, maupun material sebagai produk dari kelakuan manusia,

    (2) Budaya sebagai konseptual kelompok; budaya ada ketika terjadi pertemuan

    antar manusia, yang di dalamnya akan membuahkan pola-pola adaptasi dalam

    perilaku, norma, keyakinan, maupun pemikiran dan atau ide, dan (3) Budaya

    diinternalisasikan oleh anggota kelompok; budaya adalah produk yang dipedomani

    oleh individu yang disatukan dalam sebuah kelompok, maka budaya adalah alat

  • 25

    pengikat dari individu-individu yang memberi ciri khas keanggotaan suatu

    kelompok yang berbeda dengan individu-individu dari kelompok budaya lain.

    Budaya diinternalisasikan oleh seluruh individu anggota kelompok sebagai tanda

    keanggotaan kelompok, baik secara sadar maupun naluriah tidak disadari.18

    Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya dapat didefinisikan

    sebagai seperangkat sikap, nilai, keyakinan dan perilaku, pemikiran dan atau ide

    yang dimiliki oleh sekelompok orang yang akan mengalami perubahan secara

    kontinyu melalui proses komunikasi.19 Matsumoto mendefinisikan budaya adalah

    gagasan, baik yang muncul sebagai perilaku maupun ide seperti nilai dan

    keyakinan, sekaligus sebagai material, budaya sebagai produk maupun sesuatu

    yang hidup dan menjadi panduan bagi individu sebagai anggota kelompok. Dapat

    dikatakan bahwa budaya adalah suatu konstruk sosial sekaligus konstruk individu.20

    Budaya sebagai konstruk individual dan sosial memuat sistem nilai budaya

    (cultural value system) dan dalam konteks psikologi berpespektif budaya sistem

    nilai budaya merupakan hal yang mendasari sikap dan perilaku. Menurut

    Koentjaraningrat sistem nilai budaya merupakan tingkat paling tinggi dan paling

    abstrak dari adat istiadat. Nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai

    sesuatu yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat.

    Nilai budaya merupakan hal-hal yang mereka anggap sebagai hal yang bernilai,

    18Matsumoto, D, Culture and psychology, (New York, 1996) hal. 20 19Berger P.L. & Thomas Luckmann, L.. The social construction of reality: a treatise in the

    sociology of knowledge (USA: The Penguin Press,1966), 66. 20Matsumoto, D.,............hal. 20.

  • 26

    berharga, dan penting bagi kehidupan. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai

    pedoman yang dapat memberi arah dan orientasi bagi kehidupan masyarakat.21

    Dalam perspektif psikologi konseling, tingkah laku manusia sebagai

    anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam

    berbagai pranata, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku

    manusia.22 Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan diambil bersama

    secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat, sehingga suatu kebudayaan

    bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores)

    tetapi merupakan suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Nilai-nilai yang

    terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai

    makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat

    dengan orientasi kebudayaannya yang khas.23

    Pendekatan yang digunakan dalam konteks konseling berbasis budaya

    adalah pendekatan kontekstual atau pendekatan emik24 yang menolak terhadap

    keuniversalitasan teori-teori psikologi. Pendekatan emik menyatakan bahwa aspek

    kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu, dan setiap

    budaya memiliki konsep yang unik.25 Pendekatan emik memandang bahwa budaya

    dipahami dalam kerangka referensinya, yaitu dalam kerangka/ konteks ekologi,

    21Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional (Jakarta : UIP,

    1993), 3. 22Greetz, C., Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta : Pustaka Jaya,

    1981). Lihat juga Greetz, Keluarga Jawa, (Jakarta : Grafiti Press). 34. 23Berger, P.I., & Luckmann.............hal. 66. 24Berry, J.W., Poortinga, YH., Segall, M.H, & Dasen, P.R, Cross Cultural Psychology :

    Research andApplications (Cambridge :Cambridge University Press. 1992), 277; Shweder, R.A.,

    Cultural Psychology of Literacy (Cambridge, MA : Harvard University Press, 1990). 25Greenfield, P.M., Three Approaches to the Psychology of Culture : Where do they Come

    from ? Where can they go ? (Asian Journal of Social Psychology, 2000, 3 ), 223-240.

  • 27

    sejarah, falsafah dan keagamaan yang dimiliki. Pendekatan emik memandang

    bahwa konseling yang berbasis budaya meyakini tentang teori psikologi bersifat

    subjektif, tidak bebas nilai dan tidak universal, dan menolak teori psikologi yang

    lekat dengan nilai Amerika yang lebih mengedepankan rasionalitas, liberalitas dan

    individualitas.26

    Penjelasan ini dapat dijadikan dasar pijakan bahwa, untuk membangun

    konseling berbasis budaya, maka usaha yang selayaknya dilakukan adalah

    penggalian pengetahuan konselor klien berbasis pada apa yang dimiliki oleh dirinya

    bukan dari penjelasan orang lain. Pengetahuan konselor maupun klien akan lekat

    dengan tradisi budaya yang menjadi pengalaman hidupnya, (2) Pelaksanaan

    konseling bukanlah menggali tingkah laku klien yang bersifat artifisial atau

    pelaksanaan yang bersifat eksperimental, melainkan menggali data pribadi klien

    yang berupa tingkah laku keseharian yang dialami, (3) tingkah laku klien dipahami

    dan diinterpretasi tidak dalam kerangka teori yang diimpor, melainkan dalam

    kerangka pemahaman budaya asal klien, dan (4) Psikologi konseling didesain

    dengan memperhatikan realitas sosial masyarakat Indonesia dimana bertempat.

    Aplikasi konseling yang berbasis budaya

    Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan konseling budaya

    khususnya konseling berbasis budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah

    26Enrique, V.G., Developing a Filipino Psychology in Kim U. & Berry, J.W., (Eds.)

    Indigenous Psychologies, research and experience in cultural context. (New Delhi : Sage

    Publications, 1993), 152-169; Kim U., Conceptual and Empirical Analysis of Amae : Explanation

    into Japanese Psycho-Social Space. Proceeding of the Japanes Group Dynamics Conference

    (Tokyo :Japanese Group Dynamics Association, 1995).

  • 28

    pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistic.27 Pembahasan tentang

    konseling berwawasan budaya sering dilihat dari populasi minoritas dengan

    berlandaskan pada pengetahuan Eurosentrik.28 Pada abad 21 ini sudah selayaknya

    mempertimbangkan pembahasan dengan pendekatan yang integral dengan

    mengedepankan nilai totalitas pada kekhasan budaya individu. Suatu masalah yang

    berkaitan dengan persoalan budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara

    berlain-lainan atau berbeda. Keberbedaan pemaknaan ini menyebabkan kesulitan

    dalam mengkonstruk makna perspektif budaya dalam konseling secara pasti atau

    benar. Secara riil, konseling berbasis budaya dapat diartikan secara beragam dan

    berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi

    artinya. Sebagai contoh pendefinisian tentang lintas budaya yang cenderung untuk

    menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir

    cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-

    variabelnya.29 Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas

    budaya harus melingkupi pada seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang

    tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat

    berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia.30

    27Pedersen, Introduction to the Special Issu on Multiculturalism as Fourth a Force in

    Counseling (Journal of Counseling and Development, Vol. 70, No. 1), 4. 28Pembahasan konseling berwawasan budaya sebelumnya melingkupi landasan

    pengetahuan pluralistik; akhirnya ditandai oleh pendekatan holistik untuk membantu dan

    penyembuhan, terfokuskan pada kelompok dan keluarga alih-alih pada individu, dan menggunakan

    sudut pandang yang integral alih-alih yang linear. 29Ponterotto J. G, Charting a Course For Research Multiculture Counseling Training (The

    Counseling Psychologist, Vol. 26 No 1), 43. 30Arredondo P et .al, Multicultural Counseling Competencies as Tools to Address

    Oppression and Racism (Journal of Counseling & Development, Vol. 77. No. 1), 103.

  • 29

    Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan

    pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau

    keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya)

    yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan

    kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Pandangan universal pun

    menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural”

    yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan secara filosofis menjelaskan

    karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan

    populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.31 Perpaduan kedua

    pendekatan dapat dijelaskan bahwa konseling lintas budaya adalah pelbagai

    hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau

    kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor

    dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang

    dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-

    ekonomik, dan usia.32

    Pelaksanaan konseling dalam konseling lintas budaya akan melibatkan

    konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan

    karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada

    pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Efektifitas

    pelaksanaan konseling, bagi konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan

    melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas

    31Fukuyama, The Great Disruption : Human Nature and The Reconstitution of Social

    Order (London: Profile Books, 2001), 56. 32Sue, S., Multicultural Counseling Competencies and Standards : A Call to The Pression

    (Journal of Counseling and Development, Vol. 70, No. 1), 477.

  • 30

    budaya, dan memiliki keterampilanketerampilan yang responsif secara kultural.33

    Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya”

    (cultural encounter) antara konselor dan klien.

    Melalui penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya dalam

    konteks konseling merupakan seperangkat sikap, nilai, keyakinan dan perilaku,

    pemikiran dan atau ide yang mendasari perilaku konselor dan klien. Pemahaman

    budaya dalam konteks konseling demikian juga menjadi pertimbangan dalam

    pelaksanaan konseling pastoral.

    Konseling Masyarakat

    1. Definisi Konseling Masyarakat

    Asumsi dasar yang mendasari masyarakat memimpin konseling bertolak

    pada berbagai bentuk pertolongan. Konseling masyarakat adalah bentuk

    pertolongan secara komprehensif, yang didasarkan pada kompetensi multikultural

    dan berorientasi keadilan sosial masyarakat. Karena perilaku manusia dipengaruhi

    oleh lingkungan, maka konselor masyarakat menggunakan strategi yang

    memfasilitasi perkembangan yang sehat dari klien dan masyarakat.

    Kata masyarakat dipahami secara berbeda tergantung cara pandang orang

    memahaminya. Masyarakat didefinisikan sebagai berikut: 1) orang-orang yang

    tinggal di daerah geografis tertentu (misalnya, orang-orang pedesaan versus

    perkotaan); 2) sekelompok orang yang berhubungan dengan perbedaan latar

    belakang budaya, etnis, atau ras; 3) orang-orang yang saling ketergantungan dan

    33Dedi Supriyadi, Bimbingan dan Konseling (Fak. Psikologi Universitas Muhammadiyah

    Surakarta), 6.

  • 31

    masing-masing memiliki kesamaan satu dengan yang lain sebagai anggota dari

    komunitas yang lebih luas yang disebut komunitas global; 4) definisi yang dipakai

    dalam pembahasan ini merujuk pada kelompok atau kumpulan orang yang berbagi

    dan saling peduli untuk kepentingan dan kebutuhan umum.34

    Definisi di atas merujuk pada masyarakat sebagai sistem yang memiliki

    kesatuan, kontinuitas, dan prediktabilitas. Individu, kelompok, dan organisasi

    merupakan link bagi masyarakat. Masyarakat juga link individu untuk masyarakat

    lainnya, termasuk masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian, masyarakat

    berfungsi sebagai media di mana individu dapat bertindak dan mentransformasikan

    norma. Dengan demikian, seorang individu menjadi milik lebih dari satu komunitas

    pada suatu waktu. Keluarga, sekolah, kampus menjadi komunitas untuk masyarakat

    yang lebih besar, seperti gay, lesbian, biseksual, dan transgender juga sistem sosial

    politik yang jauh lebih besar dan lebih kompleks. Dengan itu, individu sebagai

    anggota masyarakat saling mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung

    secara positif maupun negatif. Asumsi berpikir seperti ini menjadi alasan mengapa

    pendampingan dan konseling masyarakat diperlukan.

    King menegaskan bahwa pengembangan yang sehat dan rasa hormat yang

    saling ketergantungan sebagai komunitas nasional dan dunia adalah tantangan yang

    paling penting pada masanya. King menekankan peran konselor mencari cara baru

    untuk mengatasi kebutuhan kesehatan mental abad ke-21. Konselor masyarakat

    diharapkan menemukan model konseling komunitas untuk membina kesehatan

    34Paisley, P. O, Creating community: Group work and the arts ( Presentation made at the

    anual meeting of the Association for Specialist in Group Work, Athens ,GA, Januari, 1996)

  • 32

    mental klien serta mempromosikan masyarakat lebih toleran, responsif, dan penuh

    perhatian. Untuk melakukannya, konselor masyarakat harus memiliki kompetensi

    multikultural untuk bekerja secara efektif, etis, dengan orang-orang yang berasal

    dari kelompok yang beragam kompetensi dan latar belakang budaya.35

    Konselor yang melaksanakan harus memahami bahwa konseling

    masyarakat berorientasi pada keadilan sosial didasarkan asumsi, konselor

    masyarakat menggunakan sudut pandang yang luas untuk melihat klien dalam

    konteks lingkungan yang sehat, adil dan merata masyarakatnya. Keadilan sosial

    melibatkan akses dan partisipasi masyarakat, atas dasar ras/ etnis, jenis kelamin,

    usia, cacat fisik atau mental, pendidikan, orientasi seksual, sosial ekonomi status

    sosial, atau karakteristik lain dari latar belakang atau kelompok anggota

    masyarakat. Keadilan sosial didasarkan pada keyakinan bahwa semua orang

    memiliki hak untuk diperlakukan setara, dukungan untuk hak asasi manusia dan

    sumber daya masyarakat.36 Konselor masyarakat menjadi sadar ketika klien mereka

    ditolak hak-haknya, maka konselor melakukan intervensi lingkungan dalam bentuk

    advokasi keadilan sosial. Kompetensi advokasi diatur dalam tiga tingkat intervensi:

    1) di setiap tingkat intervensi, kompetensi untuk membawa perubahan; 2) pada

    tingkat klien individu, kompetensi dikategorikan sebagai pemberdayaan dan

    advokasi klien; 3) pada tingkat masyarakat, kompetensi berfokus pada kolaborasi

    dan sistem komunikasi. Akhirnya, di arena publik yang lebih luas, konselor

    melaksanakan program-program publik-informasi dan sosial/advokasi politik.

    35 King, M. L., I have a dream, 28 August 1963, diakses tanggal 15 September 2016 dari

    http://www.mecca.org/~crights/dream.html 36Courtland C. Lee, Multicultural Issues In Counseling: New Approaches to Diversity

    (United State : American Counseling Association, 2007), 1

  • 33

    2. Konseling Masyarakat Abad 21

    Konseling masyarakat mempromosikan perubahan dan pertumbuhan,

    memberikan pedoman yang efektif untuk merencanakan dan melaksanakan

    program konseling masyarakat yang produktif. Dengan itu, asumsi yang mendasari

    konseling masyarakat abad ke-21 sebagai berikut:371) pembangunan manusia

    (individu) dan perilaku berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang berpotensi

    memelihara, membatasi atau menghancurkan; 2) pembangunan individu bersifat

    multikultural sebagai pusat konseling masyarakat; 3) pengembangan individu dan

    masyarakat berhubungan erat.

    Conyne & Cook melihat fokus masalah konseling masyarakat berorientasi

    pada masa lalu pribadi setiap individu masyarakat sebagai klien. Tujuan konseling

    masyarakat adalah merubah perilaku klien yang dipengaruhi pikiran dan perasaan

    masa lampau menjadi perilaku adaptif.38 Perilaku yang adaptif menjadikan klien

    sebagai pribadi yang sehat karena dapat menjaga keharmonisan dirinya sendiri

    dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh

    dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya. Sebab jika individu

    belum dapat melakukan aturan aturan sosial dalam komunitasnya, maka ia masih

    berada dalam keadaan sakit. individu yang berada dalam keadaan sakit dapat

    melakukan penyimpangan norma-norma budaya, Melanggar batas-batas keyakinan

    agama dan berdosa, melakukan pelanggaran hukum dan mengalami masalah

    37Lewis, J. A., Ratts, M. J., Paladino, D. A., & Toperek, R. (2011). Social justice counseling

    and advocacy: Developing new leadership roles and competencies. Journal for Social Action in

    Counseling and Psychology, hal 4 38Conyne, R. K., & Cook, E. P., Ecological counseling: An innovative approach to

    conceptualizing person-environment interaction (Alexandria, VA: American Counseling

    Association, 2004), 3-4.

  • 34

    interpersonal. Konselor memiliki keahlian dan keterampilan untuk membantu klien

    mengidentifikasi dan menemukan faktor penyebab masalah serta mengembangkan

    alternatif penyelesaian yang lebih memuaskan.39 Jordan menekankan bahwa dalam

    rangka meningkatkan hubungan dan memperbaiki perilaku klien yang bermasalah

    dalam masyarakat diperlukan konseling budaya. Tujuannya menumbuhkan

    kekuatan, memulihkan dan menyehatkan, serta membebaskan dan memberdayakan

    klien yang bermasalah .40 Teori-teori konseling budaya lebih menekankan

    hubungan antara manusia dan lingkungan, telah menjadi prinsip utama konseling

    abad ke-21. Hal ini disebabkan kekuatan lingkungan telah menjadi sumber belajar

    dan dukungan, untuk memenuhi kebutuhan terutama interaksi dengan orang lain.

    Di sisi lain, lingkungan juga dapat mempengaruhi dan mengerdilkan pertumbuhan

    dan membatasi perkembangan manusia.

    Konseling masyarakat menjelaskan praktek konseling dengan membahas

    isu-isu kontemporer dan mendeskripsikan peran konselor masyarakat sebagai agen

    perubahan. Konselor masyarakat memainkan peran penting membantu klien untuk

    menjembatani kesenjangan antara kehidupan klien dengan perkembangan

    masyarakat. Kesenjangan tersebut merupakan hasil interaksi klien dengan

    lingkungan dan bahwa interaksi ini mempengaruhi perkembangan mereka secara

    negatif. Konselor berusaha menanggapi kebutuhan klien yang rentan dengan

    masalah-masalah masyarakat. Tugas konselor melakukan negosiasi perubahan

    lingkungan terhadap korban kemiskinan, rasisme, seksisme, dan stigmatisasi

    39Conyne, R. K., & Cook, E. P., Ecological..............hal. 5 40Jordan, J. V. (2010), Relational-Cultural Therapy ( W a s h i n g t o n , D C : American

    Psychological Association). 99

  • 35

    politik, ekonomi, dan sosial sistem yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya.

    Dalam menghadapi kenyataan ini, konselor tidak punya pilihan selain

    mempromosikan perubahan positif dalam sistem masyarakat yang mempengaruhi

    kesejahteraan klien.41 Peran konselor sebagai agen perubahan sosial mencerminkan

    hubungan antara individu dengan pengembangan masyarakat. Dengan itu, konselor

    bekerja untuk memfasilitasi pembangunan manusia dengan pengembangan

    masyarakat yang sehat.

    3. Strategi Konseling Masyarakat

    Strategi konseling masyarakat berdasarkan asumsi bahwa perkembangan

    individu dan masyarakat terkait erat. Konselor masyarakat menyadari bahwa

    tanggung jawab profesional mereka termasuk melayani klien untuk membangun

    lingkungan masyarakat yang sehat dan kondusif. Peran konselor, mendesain

    strategi yang memfasilitasi pengembangan klien dan strategi konseling yang

    memfasilitasi pengembangan masyarakat. Dari kedua pengembangan tersebut,

    konselor menggunakan strategi terfokus dan strategi berbasis luas yang memenuhi

    kebutuhan individu dan kelompok untuk mempengaruhi masyarakat umum.

    Adapun model konseling masyarakat dapat dilihat melalui tabel berikut

    ini:42

    41 Lewis, J. A., Ratts, M. J., Paladino, D. A., & Toperek, R. (2011). Social justice

    counseling and advocacy: Developing new leadership roles and competencies. Journal for Social

    Action in Counseling and Psychology, hal. 9 42Lewis, J. A., Ratts, M. J., Paladino, D. A., & Toperek, R., Social

    justice.....................hal.15-18

  • 36

    STRATEGI MEMFASILITASI

    PENGEMBANGAN MANUSIA

    (INDIVIDU)

    MEMFASILITASI

    PENGEMBANGAN

    MASYARAKAT

    Strategi

    Terfokus

    Konseling dalam konteks

    outreach (penjangkauan

    lapangan/lingkungan untuk klien

    yang depresi/distres dan

    teralenasi/ marjinalisasi.

    Treatment klien untuk

    kolaborasi masyarakat:

    studi melalui partisipasi

    untuk membangun

    kemitraan/ participation

    research.

    Strategi

    Berbasis

    Luas

    Perkembangan / pencegahan

    melalui intervensi yaitu membuat

    program pendampingan maupun

    konseling outreach

    (penjangkauan) individu dalam

    masyarakat.

    Treatment sosial/politik

    untuk perubahan tingkat

    makro: peranan political-

    skill education untuk

    tujuan pendidikan dan

    perubahan.

    Tabel 1.1. Model Konseling Masyarakat

    Sifat dari model konseling masyarakat secara komprehensif, mempengaruhi

    baik program yang dirancang dan peran konselor individual untuk membantu klien

    mereka. Program konseling masyarakat mempergunakan intervensi atau treatment

    (perlakuan) yang ditawarkan di setiap aspek model. Peran konselor masyarakat,

    menunjukkan karakteristik optimisme, aktivisme, dan visi yang memberdayakan

    klien dalam model konseling masyarakat. Model konseling masyarakat mengacu

    pada table 1.1., dideskripsikan sebagai berikut

    a. Memfasilitasi Pengembangan Manusia: Strategi Terokus

    Fakta bahwa konselor abad ke-21 mempedulikan lingkungan masyarakat,

    tidak berarti mengabaikan kemampuan dan peran setiap individu dalam

    memberikan bantu kepada mereka. Hal tersebut didasari kesadaran konselor dalam

    konteks lingkungan. Keterkaitan konseling dengan jangkauan lingkungan

  • 37

    melibatkan partisipasi mitra kerja (observer dan interviewer) dalam

    menginterpretasi fenomena psikis klien dan fenomena sosial masyarakat melalui

    observasi dan interview. Konselor menemukan keterkaitan teori-teori konseling

    dengan berbagai fenomena masalah klien dalam masyarakat.43 Strategi terfokus,

    memfasilitasi pengembangan manusia tidak hanya mencakup konseling

    konvensional tetapi juga hasil penjangkauan lingkungan yang kontekstual dan

    berbasis masyarakat.

    Konselor masyarakat mengetahui bahwa klien mereka menghadapi

    depresi/distres dan teralenasi/ marjinalisasi. Sumber permasalahan mereka berasal

    dalam situasi krisis yang sedang berlangsung dan pengalaman penindasan atau

    marjinalisasi. Dalam kedua kasus tersebut, konselor masyarakat mempergunakan

    metode penjangkauan lapangan/lingkungan untuk memastikan bahwa individu dan

    kelompok dalam permasalahannya memiliki akses bantuan untuk mendukung dan

    memberdayakan mereka. Secara ideal metode penjangkauan lapangan/lingkungan

    merupakan upaya pendidikan bagi individu dan masyarakat. Tujuannya, individu

    dan masyarakat memahami tantangan baru mereka dan belajar meningkatkan

    keterampilan dan kemampuan untuk menangani depresi dan marjinalisasi.

    b. Memfasilitasi Pengembangan Manusia: Strategi Berbasis Luas

    Pengembangan / intervensi pencegahan memungkinkan konselor

    masyarakat untuk mendidik atau melatih anggota masyarakat pada umumnya.

    Anggota masyarakat dilatih mekanisme koping spesifik (mengatasi masalah) dan

    43Lewis, J. A., Toporek, R. L., & Ratts, M. J. Advocacy and social justice: Entering the

    mainstream of the counseling profession (Alexandria, VA: American Counseling Association,

    2010), 241.

  • 38

    bagaimana memenuhi kebutuhan, ketika diperhadapkan dengan masalah

    masyarakat secara mendadak. Intervensi pencegahan sebagai suatu proses

    pendidikan pengembangan mental anggota masyarakat, dalam rangka pencegahan

    dini masalah-masalah masyarakat. Tujuan dari strategi berbasis luas: 1) membantu

    anggota masyarakat mendapatkan pengetahuan baru, melalui penyuluhan yang

    berguna dalam menangani masalah yang belum diketahui; 2) meningkatkan

    kesadaran anggota masyarakat tentang tantangan hidup potensial dan

    mengembangkan keterampilan yang dapat membantu mereka mengatasi tantangan

    dini; 3) melaksanakan program-program seminar tentang kesehatan mental

    masyarakat dan pelatihan relaksasi untuk kegiatan lintas budaya.

    Kemungkinan tak terbatas, konselor dapat mengembangkan teknik, konsep,

    dan program pendidikan pencegahan. Tujuannya, membantu anggota masyarakat

    memiliki kompetensi dan keterampilan hidup yang efektif, untuk mencegah

    berbagai masalah. Penekanan pada pencegahan, membuat konseling masyarakat

    efektif dan peranan konselor masyarakat menjadi praktisi, penyuluh, pelatih yang

    produktif dan sangat aktif. Sebagai praktisi, penyuluh, dan pelatih, konselor tidak

    harus menunggu secara pasif untuk tugas berikutnya, masalah berikutnya, atau

    krisis muncul. Sebaliknya, konselor masyarakat terus mencari situasi agar mereka

    dapat membantu perencanaan dan memulai program baru untuk memenuhi

    kebutuhan klien dan masyarakat. Penekanan pada pencegahan, dapat membuat

    kerangka model konseling masyarakat yang lebih layak dan relevan untuk orang-

    orang yang merasa tidak nyaman.

    c. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat: Strategi Fokus

  • 39

    Dalam banyak situasi, pendekatan pemberdayaan yang berfokus konselor

    adalah semua yang dibutuhkan untuk mempersiapkan klien untuk menjadi

    pendukung bagi diri sendiri. Treatment/perlakuan merupakan bagian integral dari

    proses konseling, ketika konselor menyadari faktor eksternal sebagai hambatan

    untuk pengembangan individu. Peran mitra kerja sangat signifikan ketika individu

    atau kelompok rentan dan kekurangan akses ke layanan konseling.44 Kompleksitas

    masalah masyarakat, mengakses layanan tambahan. Keluarga membutuhkan

    layanan sosial, ekonomi, karir, pendidikan, dan krisis jasa layanan yang melampaui

    kapasitas normal.

    Peran konselor, mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan untuk jasa

    layanan, dan faktor-faktor hambatan yang dipengaruhi sejumlah individu dan

    keluarga. Konselor mengidentifikasi faktor sistemik sebagai penghalang untuk

    pengembangan masyarakat, dan berharap bisa mengubah lingkungan dan mencegah

    beberapa masalah yang mereka hadapi. Konselor sebagai agen perubahan

    memahami prinsip-prinsip perubahan sistemik dapat membuat keinginan mereka

    menjadi suatu kenyataan. Dalam peran memfasilitasi pengembangan masyarakat,

    konselor mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap

    perkembangan klien mereka dan mengambil partisipasi mitra kerja dalam

    pengertian bekerja sama dengan orang lain untuk membawa perubahan yang

    diperlukan.

    d. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat: Strategi Berbasis Luas

    44 Lewis, J. A., Arnold, M. S., House, R., & Toporek, R.L. (2002). ACA Advocacy

    Competencies. Advocacy Task Force, American Counseling Association, dari

    http://www.counseling.org/resources/html, diakses tanggal 23 Juni 2016.

    http://www.counseling.org/resources/html

  • 40

    Pengalaman konselor masyarakat dalam treatment/perlakuan

    mempengaruhi kliennya pada setiap langkah perlakuan yang diperlukan pada

    tingkat yang lebih luas. Konselor sebagai agen perubahan dalam sistem yang

    mempengaruhi klien dan orang lain dalam jumlah lebih besar. Ketika hal tersebut

    terjadi, konselor menggunakan keahliannya untuk melakukan perlakuan

    sosial/politik. Kompetensi konselor terfokus pada kemampuannya membedakan

    masalah-masalah yang dapat diselesaikan melalui aksi sosial/politik dan

    mengidentifikasi mekanisme yang tepat untuk mengatasi masalah.45

    Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilaksanakan pendekatan terpadu

    melalui program dan implikasi professional untuk praktek konseling yang

    kompeten. Dalam hal program, model menunjukkan bahwa layanan konseling

    harus ditawarkan pada empat komponen yang disajikan dalam konseling

    masyarakat. Dalam istilah profesional, model menunjukkan bahwa konselor

    komunitas harus siap untuk melihat perannya secara luas dan beragam. Dengan

    menggabungkan empat komponen, maka model konseling masyarakat dapat

    menjadi pendekatan terpadu.

    Asumsi dasar yang mendasari praktek konseling masyarakat abad ke-21

    meliputi: (1) pengembangan dan perilaku manusia berlangsung dalam konteks

    lingkungan yang memiliki potensi untuk memelihara atau membatasi; (2) dalam

    menghadapi stres yang menghancurkan, kolaboratif diperlukan sebagai layanan

    tambahan; (3) memperhatikan sifat multikultural pengembangan manusia

    45 Lewis, J. A., Arnold, M. S., House, R., & Toporek, R.L. (2002). ACA Advocacy

    Competencies. Advocacy Task Force, American Counseling Association, dari

    http://www.counseling.org/resources/html, diakses tanggal 23 Juni 2016.

    http://www.counseling.org/resources/html

  • 41

    merupakan komponen utama dari konseling masyarakat; dan (4) pengembangan

    individu dan masyarakat terkait erat; (5) konseling masyarakat didasarkan pada

    kompetensi multikultural dan berorientasi pada keadilan sosial.

    Karena perilaku manusia kuat dipengaruhi oleh konteks, diperlukan

    program konseling berbasis masyarakat baik memfasilitasi pengembangan manusia

    (memberikan intervensi langsung dengan klien dan anggota masyarakat) dan

    memfasilitasi pengembangan masyarakat (menggunakan advokasi intervensi untuk

    membangun lingkungan yang positif dan mendobrak hambatan eksternal klien).

    Model konseling masyarakat tidak hanya implikasi program tetapi juga implikasi

    profesional untuk praktek konseling yang kompeten. Kompetensi yang dibutuhkan

    untuk konseling masyarakat yang efektif yaitu keterampilan dan kolaboratif.