membangun kepedulian pastoral ekologi abstrak

16
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |73 MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Viktoria Lelboy, Lic., Teo. Sp. Abstrak Tugas pastoral yang mendesak saat ini adalah menyelamatkan lingkungan alam yang sudah rusak oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab. Tulisan ini menelusuri semangat ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si” untuk merefleksikan keprihatinan pastoral di bidang ekologi tersebut. Penulis berpendapat bahwa untuk menyelamatkan bumi ini dibutuhkan keprihatinan dan sikap untuk merawat. Sikap yang dibutuhkan yakni merawat hati dan pikiran untuk mengedepankan kecendrungan positif untuk memilih memelihara alam dan berhenti merusaknya. Oleh karena itu sikap yang tepat untuk mengawali kesadaran itu adalah membangun sikap tobat untuk mengenal dirinya dihadapan lingkungan alam, sesama, dan Tuhannya. Kata Kunci: Ekologi, Pastoral, Sikap Peduli, dan Laudato Si Pendahuluan Perjanjian Lama, khususnya Kitab Kejadian, berkisah tentang kisah penciptaan, yang mana Allah menciptakan alam semesta dengan begitu indah dan menarik. Karena Allah mencipta dengan kebijaksanaan, maka alam ciptaan tertata baik dan teratur rapih serta berjalan sebagaimana direncanakan oleh-Nya sejak semula. Kitab Kebijaksanaan menegaskan “Akan tetapi segala-galanya telah Kau atur menurut ukuran, jumlah, dan timbangan.Keharmonisan, keteraturan, keseimbangan, dan kedisiplinan adalah cara Allah bertindak dalam memperlakukan ciptaan-Nya termasuk juga kepada manusia. Sebelum manusia diciptakan, Allah telah menyediakan segala sesuatu terlebih dahulu, baik tempat untuk manusia diami maupun waktu supaya manusia dapat mengatur hidupnya. Karena itu, manusia, yang kemudian diciptakan menurut citra-Nya, merupakan “tanda kehadiran Allah” ditengah-tengah alam ciptaan, sekaligus wakil Allah di bumi. Manusia, yang merupakan wakil Allah di bumi ini, diberi tanggungjawab untuk memelihara alam ciptaan agar alam ini dapat

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |73

MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI

Viktoria Lelboy, Lic., Teo. Sp.

Abstrak

Tugas pastoral yang mendesak saat ini adalah menyelamatkan

lingkungan alam yang sudah rusak oleh tangan-tangan manusia yang

tidak bertanggungjawab. Tulisan ini menelusuri semangat ensiklik Paus

Fransiskus “Laudato Si” untuk merefleksikan keprihatinan pastoral di

bidang ekologi tersebut. Penulis berpendapat bahwa untuk

menyelamatkan bumi ini dibutuhkan keprihatinan dan sikap untuk

merawat. Sikap yang dibutuhkan yakni merawat hati dan pikiran untuk

mengedepankan kecendrungan positif untuk memilih memelihara alam

dan berhenti merusaknya. Oleh karena itu sikap yang tepat untuk

mengawali kesadaran itu adalah membangun sikap tobat untuk mengenal

dirinya dihadapan lingkungan alam, sesama, dan Tuhannya.

Kata Kunci: Ekologi, Pastoral, Sikap Peduli, dan Laudato Si

Pendahuluan

Perjanjian Lama, khususnya Kitab Kejadian, berkisah tentang

kisah penciptaan, yang mana Allah menciptakan alam semesta dengan

begitu indah dan menarik. Karena Allah mencipta dengan kebijaksanaan,

maka alam ciptaan tertata baik dan teratur rapih serta berjalan

sebagaimana direncanakan oleh-Nya sejak semula. Kitab Kebijaksanaan

menegaskan “Akan tetapi segala-galanya telah Kau atur menurut ukuran,

jumlah, dan timbangan.”

Keharmonisan, keteraturan, keseimbangan, dan kedisiplinan

adalah cara Allah bertindak dalam memperlakukan ciptaan-Nya termasuk

juga kepada manusia. Sebelum manusia diciptakan, Allah telah

menyediakan segala sesuatu terlebih dahulu, baik tempat untuk manusia

diami maupun waktu supaya manusia dapat mengatur hidupnya. Karena

itu, manusia, yang kemudian diciptakan menurut citra-Nya, merupakan

“tanda kehadiran Allah” ditengah-tengah alam ciptaan, sekaligus wakil

Allah di bumi. Manusia, yang merupakan wakil Allah di bumi ini, diberi

tanggungjawab untuk memelihara alam ciptaan agar alam ini dapat

Page 2: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

74 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

menjadi tempat yang layak dihuni sehingga mendatangkan kesejahteraan

dan kenyamanan baginya. Oleh sebab itu, manusia perlu selalu bersyukur

dengan kesadaran bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan Allah

adalah baik adanya, terlebih untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia itu

sendiri.

Bumi ciptaan Allah adalah “Rumah Kita” yang perlu dilindungi

dari setiap bentuk kejahatan sebagai akibat perilaku yang tidak

bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan, baik tanah, hewan maupun

tumbuh-tumbuhan. Apabila perilaku tak bertanggungjawab merusak

bumi, cepat atau lambat bumi tidak akan mungkin lagi menyediakan

benih baik untuk dinikmati manusia. Bumi akan menjadi sakit. Boleh jadi,

bumi sakit karena tindakan manusia didasari pikiran, “Manusia adalah

pemilik dan penguasa segala sesuatu”, sehingga memperlakukannya

sesuka hati. Padahal manusia hanyalah perpanjangan tangan Tuhan dalam

melanjutkan karya ciptaan-Nya.

Dalam tulisan ini penulis memfokuskan diri pada refleksi tentang

ensiklik dari Paus Fransikus “ Laudato Si”, “Terpujilah Engkau” untuk

membantu pemahaman pastoral ekologi dalam wilayah Gereja Lokal di

Keuskupan Larantuka. Tantangan dan pergumulan iman senantiasa

dihayati oleh Gereja semesta tak terkecuali di Keuskupan Larantuka.

Membangun sikap peduli lingkungan

Sekian sering terjadinya polusi lingkungan diakibatkan asap

industri, pestisida, polusi dari limbah, pembakaran hutan, penambangan

tanpa pertimbangan matang, pembuangan sampah yang menimbulkan

banjir di musim hujan, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membawa

dampak yang negatif, baik kotornya udara, timbulnya berbagai jenis

penyakit, dan lain-lainnya. Dampak lanjutan dari hal-hal tersebut, cepat

atau lambat, menimpa hidup manusia secara lebih luas. Tidak heran, bila

banyak nyawa menjadi korban, seperti meningkatnya angka kematian

dini, terutama dikalangan kaum yang miskin secara ekonomi.

Dengan demikian, bumi yang merupakan “Rumah Kita” akhirnya

lebih dikenal sebagai tempat pembuangan sampah atau rumah yang

sedang rubuh dan dirubuhkan bukan lagi sebagai rumah yang layak

dihuni manusia. Bumi sakit tidak dapat dikatakan sebagai suatu

Page 3: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |75

fenomena, melainkan kenyataan yang sedang terjadi. Itu berarti perlu

adanya pertobatan dari pihak manusia, seperti harapan “Gereja Lokal”

Keusukupan Larantuka.

Belajar dari Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si”

Ensiklik “Laudato Si” (Terpujilah Engkau) dalam tulisan Paus

Fransiskus, dibagi menjadi 246 paragraf dan enam bab, menambahkan

kontribusi baru untuk dokumen ajaran sosial Gereja yang mana

menempatkan manusia sebagai penanggung jawab terhadap bumi.

Tulisan tersebut mengandung beberapa bagian sangat spesifik, yang

diambil dari berbagai dokumen dan konferensi para uskup dan tidak

hanya ditujukan kepada orang-orang Kristen, melainkan juga kepada

semua orang yang mendiami bumi ini. Harapannya, setiap orang

terpanggil untuk peduli dan menghormati lingkungan yang telah

diciptakan Tuhan.

Demi menghasilkan lingkungan yang mampu memberi

kenyamanan, manusia yang berperilaku buruk terhadap bumi diajak untuk

bertobat dari cara yang secara sadar atau tidak sadar telah memperlakukan

bumi menjadi sakit “menderita”. Bumi yang sakit membutuhkan sentuhan

tangan hati yang peduli untuk merawat seraya berkomitmen dalam

memelihara hingga kesembuhannya. Kesembuhan bumi dapat menjadi

dampak dari kesembuhan hati manusia yang tahu peran penting bumi bagi

hidupnya.

Arti dan relevansi ekologi

Istilah atau kata “Ekologi” tidak berasal dari bahasa Indoneisa

melainkan dari kata asing yaitu Oikos (Yunani) yang artinya “rumah,

yang ditinggali, tempat tinggal” atau rumah tangga atau rumah bersama.

Kata oikos digunakan dalam kata “ekonomi”: nomoi artinya hukum-

hukum tentang oikos. Ekonomi berbicara tentangn hubungan antara

manusia, tetapi terbatas pada hubungan demi pemenuhan kebutuhan –

kebutuhan praktis serta demi pertukaran dan pembagian, dalam hal ini

“benda dan barang”, didalam masyarakat. Kata lain “ekumene”. Aslinya

kata Yunani oikumenè, dari oikeoo yang berarti, dihubungkan dengan

seluruh bumi (gè): hè oikomenè (gè), artinya seluruh bumi yang didiami.

Dalam kehidupan beragama ekumene dikenal sebagai dialog fraterna

antar agama, khususnya agama Katolik dan Protestan yang mendiami

Page 4: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

76 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

bumi ini bahkan mempersatukan yang satu dengan yang lain. Terlepas

dari itu juga dipakai istilah cukup baru, “ekologi” artinya logos (ilmu)

tentang oikos. Sehingga ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup.

Oleh sebab itu, ekologi yang tentang lingkungan hidup berusaha

melindungi dan melestarikan alam dunia kita sebagai lingkungan

manusia. Di samping itu, ekologi tidak hanya mempelajari struktur alam

dunia, tetapi lebih dari itu menentukan norma-norma untuk memeilihara

dan mengmbangkannya sesuai cita-cita Allah yang telah menciptakan

bumi ini. Ekologi dari dirinya sendiri belum tentu mampu mengefektifkan

aturan-aturan yang mengikat warga dalam kelompok masyarakat tertentu

dalam seluruh tingkah lakunya sebagai manusia, tetapi hanya dapat

dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa tertentu, sekurang-kurangnya

bila para penguasa tersebut sungguh menyadari dan percaya tantang

kebenaran dan kebaikannya57.

Manusia adalah rahim bumi

Sebagai rahim bumi, manusia merupakan mikrokosmos yang

bersama kosmos tercipta untuk menyatakan kemuliaan dan kebesaran

Sang Pencipta. Rahim bumi ataupun mikrokosmos perlu dijaga,

dipelihara, dihargai, dan dihormati seperti juga manusia harus menjaga

dan merawat ibu bumi. Walau demikian, manusia diberi tempat khusus

dan istimewa untuk merawat dan memelihara makrokosmos secara

bertanggung jawab.

Lebih lanjut, di antara sekian ciptaan di bumi hanya manusialah

yang Tuhan berikan empat tingkat kedudukan sesuai ciptaanNya.

Pertama, lapisan fisiokimis. Lapisan ini dikenal sebagai lapisan yang

paling rendah, meliputi: pelikan, logam, air, atom dan molekul; kelompok

ini merupakan kumpulan yang paling mendasar bagi semua pemanfaat.

Menurut unsur-unsur ini, manusia hanya berelasi secara fisiokimis

sebagai benda mati. Kedua, lapisan biotik. Yakni yang menguasai lapisan

fisiokimis, antara lain: sel, jaringan, organ, otot, kulit,tulang, otak; bagian

itu berkaitan langsung dengan kehidupan manusia, dan ala kadarnya tidak

hanya pada diri manusia tetapi juga ditemukan pada binatang. Ketiga,

lapisan psikis. Lapisan ini menyangkut mekanisme-mekanisme psikis,

57 Cfr. A. Bakker, Kosmologi dan Ekologi, Penerbit Nusa Indah, Ende 1995, hal.34.

Page 5: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |77

antara lain persepsi, naluri, nafsu, emosi; unsur-unsur itu mencirikan

bidang kesadaran dan perasaan pada manusia, dan juga pada hewan.

Keempat, lapisan human. Lapisan ini dikuasai oleh akal dan karsa, atau

yang dikenal oleh kebebasan yang intelegen. Bagian ini hanya

diberlakukan bagi manusia dan berkaitan dengan kemanusiaan menurut

kekhususan martabatnya. Karena itu bagian ini lebih bergerak dalam

suasana cinta dan benci, baik dan jahat. Dengan demikian, manusia

diciptakan sederajat dan semartabat dengan sesamanya, walaupun

berbeda posisi, tugas dan lain sebagainya sesuai karunia Tuhan.58

Di antara semua substansi duniawi hanya manusialah yang

mempunyai empat lapisan tersebut di atas. Manusia merupakan kosmos

utama. Dia tidak dapat diperlawankan dengan bumi ini; sebaliknya

manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam bumi. Karena itu,

manusia secara aktif dan terus menerus mengambil bagian dalam

menentukan mutu sekaligus perkembangan bumi. Bumi mendapat

artinya yang paling mendalam dari hadirnya manusia; di lain sisi, manusia

baru dikatakan menjadi manusia ketika ia menjadi dan mengambil bagian

dari bumi. Dengan demikian, manusia baru mencapai hakikat dimensinya

hanya jika ia ber-ada dalam kesatuan dengan bumi.

Keselarasan dan ketidakselarasan antara manusia dan bumi

Dalam sebuah masyarakat majemuk, dimensi saling

ketergantungan menjadi semacam lem pemersatu dari anggota

masyarakat yang beragam. Setiap orang dalam masyarakat membangun

sikap saling tergantung satu sama lain demi memenuhi kebutuhan hidup.

Yang satu merasa penting arti kehadirannya di tengah-tengah sesamanya,

begitupun sebaliknya. Saling ketergantungan ini menjadi tanda

colaborare (kerja sama) yang saling menguatkan. Kekokohan dan

kekuatan seseorang justru terbina karena sistem atau jejaring kerja sama

yang saling mendukung.

Kerja sama dalam kebaikan perlu dibina terus untuk menggeser

aneka bentuk kerja sama dalam kejahatan. Kerjasama dalam kebaikan

merupakan energi yang bermanfaat bagi kemajuan dan pembangunan

segenap masyarakat. Hal demikian diperlukan untuk memandang lebih

58 Cfr. A. Eddy Kristiyanto – W. Chang, Multikulturalisme kekayaan dan tantangannya

di Indonesia, Penerbit Obor 2014.

Page 6: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

78 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

jauh kedepan demi menata dan merawat ibu bumi yang akhir-akhir ini

terasa seperti tempat sampah dan bukanlah rumah yang layak untuk

dihuni.

Dewasa ini dibutuhkan pendidikan nilai sebagai dasar untuk

memperkenalkan hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan yang perlu

dihargai, baik antar sesama manusia maupun membangun sikap hormat

terhadap alam jagat raya. Jika mengedepankan keselarasan, maka yang

harus diutamakan adalah penanaman nilai dasar saling menghargai dan

menghormati antar manusia dan alam jagat raya. Karena manusia sering

kali lupa bahwa semuanya memiliki martabat yang setara dengan dirinya.

Kurangnya penghargaan dan penghormatan terhadap sesama manusia dan

terhadap alam jagat raya bakal mendatangkan “keterpisahan” dalam

hidup sosial dan berdampak kepada kerusakan pada alam.

Nilai luhur perbedaan perlu dijunjung tinggi dan tidak lagi

dipandang sebagai sumber perselisihan antar manusia untuk menaklukan

bumi ini. Perbedaan adalah kekayaan kodrati yang diterima dari Sang

Pencipta untuk menata alam jagat raya ini menjadi indah. Apalagi

manusia diciptakan untuk secara naluriah berfikir demi pengembangan

bumi dan menjadikannya rumah tinggal yang nyaman. Kitab Kejadian

bab 1:28 menyatakan: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman

kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyak: penuhilah bumi

dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan burung-burung di

udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.

Di sini Tuhan mau menunjukkan bahwa manusia diciptakan

setelah semua kisah penciptaan dijadikan. Dengan demikian manusia

ditunjuk dan diutus untuk melanjutkan karya penciptaan Tuhan. Arti kata

“taklukanlah” bukan dalam arti manusia harus menghancurkan bumi ini

dan menciptakan yang baru tetapi “taklukanlah” dalam arti manusia

diberikan tanggung jawab untuk merawat atau menatanya menjadi indah

sesuai kemampuan yang Tuhan berikan. Dari kisah penciptaan pada

Perjanjian Lama khususnya Kitab Kejadian, dapatlah dilihat bahwa

manusia diciptakan bukan untuk berdiri sendiri tanpa berelasi dengan

orang lain dan dengan alam jagat raya, melainkan di lain sisi manusia

saling membutuhkan satu sama lain. Manusia membutuhkan alam jagat

raya ini demi hidupnya demikianpun sebaliknya, alam membutuhkan

Page 7: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |79

manusia untuk menatanya. Karena itu, kisah penciptaan dalam Perjanjian

Lama mempunyai arti penting untuk menyadarkan manusia bahwa

pertama-tama ia mesti hadir bagi orang lain dan alam jagat raya karena ia

tidak diciptakan untuk dirinya sendiri.

Sebuah taman indah dengan bunga yang berwarna-warni akan

lebih indah daripada sebuah taman yang hanya terdiri dari sejenis bunga.

Keindahan dalam perbedaan ini perlu digali terus-menerus dalam proses

memupuk kerukunan, kesejukan, dan kedamaian hidup bersama dan demi

kepentingan manusia. Kesadaran sebagai makhluk sosial yang

memerlukan alam sangat penting untuk membangun kondisi alam

semakin hari semakin dikenal, bukan sebagai bumi yang sedang sakit

melainkan sebagai bumi yang sehat karena selalu dipelihara manusia.

Manusia dituntut untuk memahami dan mengerti bahwa bumi, yang

merupakan tempat kediaman di mana ia boleh merasa nyaman dan

kerasan karena termasuk bagian dari kosmos, merupakan “rumah

tinggal” menjadi utuh dan menyatu dengan dirinya.

Gereja Katolik dalam Ekologi

Secara umum, Gereja Katolik di Indonesia dan Keuskupan

Larantuka khususnya adalah bagian integral dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Gereja lokal ini senantiasa merumuskan perannya

dalam bingkai keprihatinan sosial dalam skala nasional. Sejak Sidang

Agung Gereja Katolik (SAGKI) tahun 2005, Gereja Indonesia telah

merumuskan keprihatinannya terhadap rusaknya alam karena telah rusak

secara masif.59 Dalam merumuskan peran dan kehadirannya di tengah

dunia, Gereja di Keuskupan Larantuka pada refleksinya menandaskan

keberpihakkannya secara adekuat dengan mengusung tahun 2017 sebagai

tahun ekologi.

Gereja lokal di Keuskupan Larantuka yang hadir dari dan

bertumbuh dalam konteks ekologi sesuai situasi geografi, sejarah, dan

kebudayaan setempat, tergerak untuk memberi perhatian terhadap ibu

bumi kita. Perhatian terhadap ibu bumi didorong oleh kesadaraan akan

59 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Bangkit dan Bergeraklah! Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 (Jakarta: Sekretariat SAGKI 2005, 2006), hal. 61-76.

Page 8: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

80 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

panggilannya sebagai masyarakat Allah yang berperan melanjutkan karya

ciptaan dan karya keselamatan Allah. Lalu bagaimana konkretnya Gereja

lokal bisa hadir dalam mewujudkan misi keselamatan ibu bumi?

Salah satu upaya konkret yang dilakukan Gereja Lokal Keuskupan

Larantuka yakni menyelenggarakan katekese umat di masa prapaska

melalui tema umumnya, “Selamatkan ibu bumi”. Dengan adanya katekese

masa prapaska ditemukan berbagai macam jawaban mengapa ibu bumi

akhir-akhir ini dilihat sebagai ibu bumi yang membutuhkan perawatan

sebab sedang berada dalam keadaan sakit. Sakitnya ibu bumi sebagai

akibat dari lingkungan yang telah dikerusakkan oleh tangan-tangan yang

tak tersentuh belas kasih. Dalam katekese tersebut timbul kesadaran

bahwa kerusakan lingkungan hidup yang terjadi pada akhir-akhir ini,

perlu mendapat perhatian utama dari setiap pihak sebagai manusia yang

mau peduli. Ada kesadaran betapa pentingnya tanggung jawab terhadap

lingkungan alam. Sebab tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan

oleh Allah kepada manusia untuk mengolah alam ciptaan-Nya ternyata

disalahgunakan oleh sekian banyak pihak sehingga menyebabkan

kerusakan lingkungan hidup.

Penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan hidup adalah:

karena kesombongan, kerakusan, dan keserakahan pihak-pihak tertentu

dengan mengambil dan memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang

ada lebih dari yang dibutuhkan; karena dikuasai oleh nafsu untuk

menguasai bumi ini tanpa memikirkan bahwa manusia hanyalah

perpanjangan tangan Tuhan untuk melanjutkan yang sudah ada; karena

ketidakpuasan manusia yang serakah terhadap apa yang ada, sehingga

terjadinya hal yang tidak diinginkan. Penebangan hutan, kebakaran hutan,

banjir, tanah longor, pencemaran air dan pemanasan global adalah bukti-

bukti nyata tentang kerusakan alam sebagai akibat dari ketidakpedulian

manusia terhadap lingkungan. Padahal sesungguhnya, menaklukkan alam

bukan berarti mengeruk atau merusaknya sampai punah.

Pertanyaan untuk direfleksikan, bagaimanakah upaya untuk

menghadirkan wajah Tuhan yang sedang dinantikan manusia lewat

pergumulan pastoral ekologi ini? Sebagai umat beriman khususnya di

keuskupan Larantuka, masing-masing orang dipanggil untuk bersikap

lebih positif terhadap lingkungan di sekitarnya. Berbicara dan melihat

Page 9: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |81

sesuatu yang jauh di luar diri tanpa menengok ke dalam diri sendiri

mungkin bukanlah tindakan yang bijaksana, ketika lingkungan di sekitar

sedang mengalami kerusakan. Dalam masa prapaskah di tahun 2017,

umat di KBG, Lingkungan, Stasi demikianpun di tingkat Paroki di

Keuskupan Larantuka telah merumuskan keprihatinannya akan

lingkungan hidup di sekitarnya dan mengambil beraksi untuk

mengatasinya melalui solusi-solusi konkrit. Dengan demikian Gereja

lokal telah mencoba menunjukkan keberpihakkan yang konkret terhadap

keprihatinan yang juga menjadi keprihatinan bersama umat sejagat.

Setiap orang beriman dipanggil untuk memberi kesaksian atas

kebenaran hidup sejati dengan memberi perhatian, bersikap peduli,

menghargai, menghormati semua yang telah diciptakan Tuhan. Itulah

kesejatian hidup orang Katolik dalam kaitan dengan keberanian menjaga,

merawat, dan melestarikan alam, sebagai ibu buminya. Itu pulalah cara

orang beriman berperan membangun hidupnya dalam hubungannya

dengan lingkungannya. Atau dalam ranah ekologi, “bahasa”apakah yang

semestinya digunakan sehingga terbangun kembali komunikasi sehingga

situasi bumi yang sedang sakit ini dapat dipulihkan? Demikianlah orang

Katolik perlu tampil sebagai pribadi yang seimbang, harmonis dan serasi

pula dengan alamnya. Dapat dikatakan bahwa kerusakan alam dan

lingkungan yang sering terjadi bukan hanya merusak keseimbangan alam

namun lebih dari itu merusak kehidupan manusia itu sendiri; merusak

pernafasan manusi; merusak relasi antar sesama manusia, dan merusak

persaudaraan, sebab kehidupan manusia berada di dalam alam. Dengan

merusak alam berarti pula merusak rumah tempat kediamannya.

Tobat religius

Selama pendalaman tema katekese ekologi masa prapaskah

persiapan Paskah tahun 2017 di Keuskupan Larantuka tersebut, salah satu

point yang menjadi harapan dan kerinduan hati dari masyarakat berkaitan

‘tobat religius’. Tobat yang sesungguhnya membawa umat kristiani untuk

lebih memahami keselamatan ibu bumi yang merupakan rahim tinggal

seorang manusia yang nyaman dan damai. Selagi manusia masih berpikir

untuk semakin merusak alam maka manusiapun tidak mendapatkan

kenyamanan dalam hidupnya.

Page 10: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

82 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

Manusia dewasa ini masih terus terpengaruh oleh tradisi atau

kebiasaan lama yang sering didengar bahwa ‘orang benar dan baiklah

yang mengumpulkan banyak rahmat’. Ketika ia jatuh dalam dosa, atau

mungkin menjadi murtad, ia tidak kehilangan rahmatnya; akan terlalu

simplistis; bahwa rahmat yang diberikan Tuhan karena kebaikan manusia

itu tetap melekat pada dirinya. Namun rahmat itu direinterpretasi dan

direevaluasi, sehingga menjadi kutukan dan penunduhan terhadap

dirinya. Namun sekali orang itu bertobat dan berbalik ke kebenaran dan

kebaikan religius, seluruh warisan itu berombak lagi, dan kembali

menjadi rahmat serta keuntungan bagi dirinya. Bahkan perkembangan

yang telah dialaminya dalam periode dosa, dalam harmoninya akan

dikonversi menjadi pahala.

Syarat bagi kesatuan umat Kristiani melestraikan alam

Selama masa prapaskah tersebut, umat kristiani di keuskupan

Larantuka bertekad dalam terang semangat pastoral ekologinya,

bersatu secara radikal. Ada pepata atau idiom tentang relasi persatuan

manusia dengan alam di kalangan orang asli di benua Afrika dan orang

Eropa khususnya Italia, ‘lebih bersatu jika dibandingkan atau

diibaratkan dengan persatuan gajah dengan bekicot’. Tetapi kesatuan

itu tidak menuntut bahwa semua manusia berasal dari satu pasangan

orangtua, atau bahwa mereka masih adanya hubungan darah. Cukuplah

mereka berasal dari satu rumpun, atau suku tetapi pada akhirnya secara

regresif bersatu pada salah satu akar suku. Yang terjadi akhir-akhir ini

di Italia disamping hubungan darah atau familia, kesatuan juga tumbuh

dari antarkomunikasi diantara satu dan yang lain. Komunikasi dan

relasi bisa lebih menentukan kesatuan manusia dari pada hubungan

darah. contoh kenyataan yang terjadi di Italia; anak angkatnya yang

datang dari benua Afrika dapat lebih bersatu dengan keluarga

angkatnya di Italia dibandingkan antara anak dan orang tua yang

sesungguhnya, semua ini karena eratnya komunikasi yang terjadi

sebelumnya, misalnya relasi dan komunikasi dalam masa pendidikan

bersama.

Karena itu, nilai-nilai budaya adalah rambu-rambu lalu lintas

yang mengarahkan seseorang ke mana dia harus pergi. Nilai-nilai

tersebut merupakan standar untuk menentukan hubungan seseorang

Page 11: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |83

dengan 1) dirinya seni diri, 2) orang lain yang berorientasi dengannya,

3) mesin yang yang menghasilkan komoditi yang dibutuhkannya, 4)

alam disekitarnya, 5) Allah yang dapat membantunya mencapai

keselamatan. Semua pola komunikasi budaya maupun religius tersebut

dapat membentuk pola komunikasi baik antarpribadi maupun

kelompok yang hanya tujuan untuk satu tekad membangun bumi ini.

Manusia hidup tanpa bumi tak dapat dibayangkan apa yang terjadi,

demikianpun bumi tanpa manusia terasa kosong karena tanpa orang

yang merawatnya. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan bumi untuk

hidup dan bumi mendapatkan makna lebih mendalam dan konkret

dengan sentuhan tangan, pikiran, dan hati manusia.

Seperti Ebit G. Ade dalam lagunya “Tubuhku terguncang

dihempas batu jalanan, Hati bergetar menatap kering rerumputan,

perjalanan ini seperti jadi saksi, Gembala kecil menangis sedih”, setiap

pendengarnya diajak untuk sungguh bersatu dan mau peduli dengan

lingkungan hidup, baik melalui kebersihan, penanaman pohon

pelindung, tetapi jika manusia tak mau menyadarinya serta tidak peduli

terhadap pemeliharaan alam, boleh jadi kesadaraan akan datang

terlambat setelah menyaksikan datangnya banjir, longsor yang

menimbun rumah masyarakat, atau penyakit yang menyebabkan

kematian. Apakah kesadarannya untuk memilihnya terlambat? Tentu

tidak diharapkan hal tersebut terjadi lebih jauh. Yang diharapkan justru

perlunya persatuan dalam komunikasi antarbudaya dan pribadi untuk

mengatasinya tanpa menelan korban.60

Makna dan manfaat ekologi

Makna ekologi

Ekologi adalah salah satu kegiatan penting yang harus

dilaksanakan secara konseptual dalam menangani krisis lingkungan.

Begitu pentingnya sehingga penghijauan sudah merupakan program

nasional yang dilaksanakan di seluruh Indonesia termasuk ‘Lewo

60 Cfr.F.Josef Eilers, Berkomunikasi antara budaya, Penerbit Nusa Indah, Ende 1995,

hal. 84.

Page 12: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

84 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

Tanah’61 di Keuskupan Larantuka. Penghijauan dalam arti luas adalah

segala daya untuk memulihkan, memelihara dan meningkatkan kondisi

lahan agar dapat berproduksi dan berfungsi secara optimal, baik sebagai

pengatur sumber air atau pelindung lingkungan. Ada pula yang

mengatakan bahwa penghijauan adalah suatu usaha untuk menghijaukan

bumi ini dengan melaksanakan pengelolaan taman-taman kota, taman-

taman lingkungan, jalur hijau dan sebagainya. Dalam hal ini penghijauan

merupakan kegiatan pengisian ruang terbuka di kota Larantuka dan

sekitarnya.

Pada proses fotosintesa tumbuhan hijau mengambil CO2 dan

mengeluarkan C6H1206 serta peranan O2 yang sangat dibutuhkan

makhluk hidup. Oleh karena itu, peranan tumbuhan hijau sangat

diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Di

samping itu, berbagai proses metabolisme tumbuhan hijau dapat

memberikan berbagai fungsi untuk kebutuhan makhluk hidup yang dapat

meningkatkan kualitas lingkungan. Begitu pentingnya peranan tumbuhan

dalarn menangani krisis lingkungan, terutama di daerah perkota di

Larantuka, sehingga sangat tepat jika diperlukan pelaksanaan penghijauan

demi menyuburkan dan memperindah daerah Larantuka.

Dalam Ensiklik Paus Fransiskus menekankan betapa pentingnya

penghijauan yang dilakukan oleh manusia. Berikut ini digambarkan

beberapa hal perlu yang mesti mendapat perhatian. Pertama, Semua

kelompok religius, kaum awam seharusnya didorong untuk menekankan

aspek-aspek tradisi penghijauan yang membuat mereka bisa saling

menghargai dan mengerti. kedua, jika diperlukan, bantuan-bantuan dapat

diberikan kepada individu-individu dan komunitas-komunitas dalam

membangun identitas ibu bumi yang tergusur kelalaian manusia. Ketiga,

sejumlah proses penelitian dan pendidikan seharusnya dikembangkan

untuk mendukung interaksi dan mendorong sikap saling menghargai antar

alam dan manusia. Keempat, kaum akademisi, perancang kebijakan dan

mereka yang terjun di lapangan seharusnya memberanikan diri untuk

61 Lewoh Tanah adalah ungkapan dalam bahasa daerah Lamaholot. Yakni bahasa daerah dalam rumpun wilayah di wilayah Keuskupan Larantuka, mencakup kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata dan sebagian kecil wilayah di Kabupaten Alor. Lewoh berarti kampung dan tanah berarti bumi. Secara harafia: Lewoh tanah berarti bumi; kampung tempat tinggal manusia.

Page 13: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |85

membangun dialog dengan yang lain supaya dapat memberitahukan

kepada yang lain tentang debat mengenai pentingnya penghijauan.

Manfaat Ekologi

Peran penghijauan dapat dikatakan sebagai organ pernafasan vital

dari lingkungan. Jika pada manusia ada paru-paru yang mempunyai

fungsi sebagai alat pernafasan, maka pada lingkungan, penghijauan

tumbuhan merupakan paru-paru dari lingkungan. Penghijauan dapat

berguna sebagai pengatur lingkungan, mengatur produksi udara yang

akan dihasilkan. Hasil udara sejuk, segar dan bersih sangat diatur oleh

pengaruh dari penghijauan. Penghijauan berperan bagi keseimbangan dari

sebuah lingkungan alam dan sumber daya alam. Keseimbangan yang akan

ditimbulkan pada proses penghijauan adalah keseimbangan alam pada

populasi satwa yang hidup di seluruh alam. Demikianpun penghijauan

akan menambah persediaan air bagi komponen abiotik pada tanah, juga

membuat makhluk hidup di dalam tanah dapat melaksanakan tugasnya

untuk tetap menjaga kesuburan tanah. Sehingga tumbuhan dapat

memberikan dampak kesehatan bagi mahkluk hidup; mengurangi

pengikisan tanah yang dapat mengakibatkan erosi; menghasil oksigen,

alat penyerapan karbondioksida yang terjadi pada proses dari sebuah

proses fotosintesis akan membantu pembersihan udara yang sangat

dibutuhkan oleh manusia untuk kesehatan manusia, dengan proses

penghijauan akan menimbulkan keindahan dan kebersihan yang membuat

manusia dan ekosistem yang lain dapat hidup dengan jangka waktu yang

lebih lama.

Sejak dicanangkan tahun ekologi di keskupan Larantuka tangga

23 Februari 2017 oleh Yang Mulia Uskup Larantuka, Frans Kopong Kung

Pr dalam sebuah misa dan pencangan tahun ekologi di Lewoleba, maka

serempak di seluruh KBG, Lingkungan, Stasi dan paroki-paroki di

keuskupan Larantuka mulai giat melaksanakan aksi dan tindakan nyata

untuk merawat ‘ibu bumi’. Kemudian secara fokus dipikirkan dan

dilaksanakan selama masa-masa prapaska dalam katekese orang dewasa

(KATORDE). Umat bertekad untuk melaksanakan upaya-upaya

penghijauan serentak tanggap terhadap persoalan lingkungan seperti

terjadinya banjir, kesulitan air bersih, laut dan polusi udara. Gereja

menyadari bahwa penanggulangan terhadap rusaknya lingkungan hidup

Page 14: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

86 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

membutuhkan kerjasama semua pihak. Kerjasama yang sangat baik

antara golongan di Keuskupan terjalin dengan sangat baik untuk

mengatasi persoalan tersebut Bapa Uskup menjalin komunikasi yang

intens dengan pemerintah di dua kabupaten, Flores Tumur dan Lembata.

Demikianpun membangun hubungan yang harmonis dengan para pemuka

agama-agama di dua kabupaten tersebut. hal tersebut nampak ketika

dalam pencangan tahun ekologi tersebut selain aparatur pemerintah,

tampak pula para alim ulama hadir dan turut mencanangkan tahun ekologi

dengan menanam anakan pohon umur panjang di lokasi pencangan baik

di kabupaten Lembata atau di kabupaten Flores Timur.

Ada berbagai macam pohon yang sering ditanam sebagai upaya

penghijauan.

Beberapa pohon yang ditanam untuk penghijauan adalah pohon akasia,

pohon mahoni, pohon palem putri, pohon beringin, pohon cemara bundel,

pohon johar, pohon cendana, pohon jati, dan masih banyak lagi. Karena

menanam pohon merupakan upaya penghijauan yang penting, maka

dalam sharing selama kegiatan KATORDE masa Prapaskah tahun 2017

umat berkomitmen untuk mengambil bagian dalam upaya penghijauan di

wilayah sekitar tempat tinggalnya.

Adapun manfaat penghijauan bagi lingkungan bagi Keuskupan

Larantuka, yakni pertama, pencegahan banjir. Upaya pencegahan

terjadinya banjir salah satunya adalah dengan gerakan penghiajauan dan

dengan demikian dapat mengurangi debit atau lintasan air saat musim

hujan karena akan meresap ke dalam tanah. Kedua, penghijauan berperan

bagi keseimbangan antara lingkungan alam dan sumber daya alam.

Keseimbangan yang akan ditimbulkan pada proses penghijauan adalah

keseimbangan alam pada populasi satwa yang hidup di alam, ketiga,

mengurangi pengikisan tanah yang dapat mengakibatkan erosi. Keempat,

proses penghijauan akan menimbulkan keindahan dan kebersihan serta

kesuburan tanah yang membuat manusia dan ekosistem yang lain dapat

hidup dengan jangka waktu yang lebih lama. Kelima, penghijauan dapat

berguna dalam mengatur produksi udara yang akan dihasilkan. Udara

yang sejuk, segar, dan bersih sangat dipengaruhi tanaman dan tumbuhan

yang hijau. Keenam, penghijauan membawa dampak hadirnya oksigen

yang baik dan bersih bagi manusia.

Page 15: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |87

Ekologi dan Evolusi

Manusia perlu bangkit dan belajar dari alam. Telah dipahami

sebelum manusia diciptakan, alam telah diciptakan oleh Tuhan, karena

itu, alam dan manusia tidak bisa dipisahkan satu dan lain. Menusia

memiliki kecenderungan, baik yang mendatangkan kebaikan maupun

yang mendatangkan keburukan yang dapat menyebabkan dirinya maupun

alam menjadi sakit. Manusia pertama akhirnya memilih kecenderungan

yang buruk dan mengantar dirinya dan sejarah umat manusia jatuh pada

berbagai kelemahan manusiawi dengan dampak pada alam ciptaan lain,

termasuk lingkungan alam. Walau demikian, perlu disadari, kelemahan

yang dimiliki manusia tidak perlu membuatnya berhenti berpikir atau

pasrah dengan keadaan, melainkan justru harus membangkitkan semangat

guru mengenal dan berupaya bagaimana caranya mencari solusi untuk

kembali merawat hati dan pikiran maupun bumi yang telah tersakiti.

Kenderungan negatif perlu dilawan dengan mengedepankan

kecenderungan positif dan dengan demikian, ia diantar untuk lebih

memilih memelihara alam sekitar dan berhenti merusaknya.

Ekologi sebagai pengetahuan menyatukan dua sikap. Dari satu

segi seluruh proses evolusi menimbulkan rasa optimisme akan daya

dinamis yang dikandungnya. Dalam kosmos terletak suatu arah dan

kecenderungan positif yang lebih kuat dan lebih mendalam daripada

segala penyelewengan, meskipun terjadi banyak kesalahan manusia

namun oleh karena kosmosnya manusia akan didorong untuk kembali

menyatukan yang kurang harmoni.

Di lain segi adanya usaha dari ekologi, agar setiap bentuk

kehidupan, yang sederhanapun, dilestarikan dan dilindungi dari

permusnahan entah karena kakacauan alam itu sendiri, ataupun karena

ulah manusia terhadap alam. Masing-masing bentuk kehidupan memiliki

keunikan yang tak dapat dipisahkan.

Manusia perlu menyadari secara sungguh pemahaman dasar

mengenai evolusi dalam ekologi untuk melindungi alam jagat raya di

bumi ini, sambil membiarkan alam itu mencari jalannya secara otonom.

Page 16: MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI Abstrak

88 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V

Penutup

Kerusakan ekologi yang disebabkan perilaku tidak bertanggung

jawab dari manusia membutuh upaya pertobatan dari pihak manusia.

Dalam upaya pertobatan itu, manusia dapat mengenal kembali siapa

dirinya di hadapan lingkungan alam, di hadapan ibu bumi, di hadapan

sesamanya, di hadapan inti dirinya, dan di hadapan Allah yang

menciptakan alam semesta dan diri manusia tersebut.

Pertobatan ekologi membawa kehadiran dalam sebuah relasi

dengan Allah, dengan sesama dan bumi, pada ketiga relasi ini St.

Fransiskus Asisi menegaskan «l’esempio per eccellenza di una ecologia

integrale, vissuta con gioia e autenticità»; bahwa contoh untuk

kesempurnaan pada sebuah ekologi integral adalah bertumbuh dengan

gembira, dan keaslian, karena itu rahmat suatu perjalanan pertobatan

adalah menuju relasi yang indah, di mana tercipta pengalaman cinta

dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan alam jagat raya, sebab Tuhan

yang creare (mencipta), dan memberi nafas kehidupan senantiasa

memanggil setiap orang untuk diciptakan baru dan diselamatkan-Nya.

Kepustakaan

Alkitab Deuterokanonika, LBI Jakarta 2013.

Bakker A., Kosmologi dan Ekologi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1995.

Josef Eilers F., Berkomunikasi antara budaya, Penerbit Nusa Indah –

Ende 1995.

Edy Kristiyanto A.,– Chang W., Multikulturalisme kekayaan dan

tantangannya di Indonesia, Penerbit Obor 2014.

Dokumentasi dan Penerangan KWI, Bangkit dan Bergeraklah!

Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005,

Penerbit Obor, Jakarta 2006.

http://mangihot.blogspot.co.id/2016/11/hubungan-ekologi-ilmu-

lingkungan-dan.html