bab ii kajian pustaka 2.1 gingiva -...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gingiva
Gingiva merupakan bagian mukosa rongga mulut yang menutupi tulang
alveolar pada rahang dan mengelilingi leher gigi. Fungsi khusus sebagai pertahanan
terhadap kerusakan yang disebabkan oleh faktor mekanis dan mikroba, sehingga
dengan struktur yang spesifik mencerminkan keefektifannya sebagai pertahanan
terhadap penetrasi mikroba dan bahan-bahan yang membahayakan ke dalam jaringan
yang lebih dalam. Gingiva yang normal menutupi tulang alveolar dan akar gigi
sampai agak koronal dari cementoenamel junction. Secara anatomi gingiva dibagi
menjadi daerah gingiva margin (tepi gingiva), attached gingiva (gingiva cekat) dan
interdental (Fiorellini et al. 2006 b).
Tepi gingiva merupakan bagian gingiva yang mengelilingi gigi seperti kerah
baju, dengan kedalaman sekitar 1 mm, dan membentuk dinding jaringan lunak sulkus
gingiva. Tepi gingiva dapat dipisahkan dengan prob periodontal dari permukaan
gigi. Jaringan penghubung tepi gingiva adalah kolagen padat, mengandung ikatan
serat kolagen disebut serabut-serabut gingiva (Fiorellini et al. 2006 b).
Sulkus gingiva merupakan cekungan dangkal atau ruang disekitar gigi yang
dibatasi oleh permukaan gigi pada salah satu sisi dan garis epitel tepi gingiva pada
sisi yang lainnya. Sulkus gingiva berbentuk huruf ”V” dan dapat diukur dengan
menggunakan prob periodontal. Pada potongan histologis, kedalaman sulkus gingiva
9
1,8 mm. Penentuan klinis kedalaman sulkus gingiva merupakan parameter diagnosis
yang penting (Fiorellini et al. 2006 b).
Gingiva cekat merupakan kelanjutan dari tepi gingiva, memiliki ciri-ciri yang
padat, kenyal dan melekat erat pada periosteum tulang alveolar di bawahnya.
Kedalaman gingiva cekat pada aspek fasial berbeda pada berbagai daerah di dalam
rongga mulut, dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan pada gigi yang
supra erupsi. Kedalaman gingiva cekat merupakan parameter klinis (Fiorellini et al.
2006 b).
Gingiva interdental menempati embrasure gingiva yang merupakan ruang
interproksimal diantara daerah kontak gigi, berbentuk piramida dan puncaknya
terletak diantara titik kontak. Bentuknya tergantung pada titik kontak antara dua gigi
yang berdekatan dan adanya beberapa derajat resesi, permukaan fasial dan lingualnya
meruncing kearah kontak interproksimal (Fiorellini et al. 2006 b).
Gambar 2.1 Gingiva normal pada manusia.
http://nl.wikipedia.org/wiki/Benstand:Healthy_gingiva,jpg
Tepi gingiva Interdental gingiva
Gingiva cekat
10
2.1.1 Serat kolagen gingiva
Komponen utama jaringan penghubung gingiva adalah serat-serat kolagen
(sekitar 60% dari volume total), fibroblas (5%), pembuluh darah, saraf dan matriks
(sekitar 35 %). Jaringan penghubung gingiva dikenal sebagai lamina propria. Terdiri
dari 2 lapis yaitu lapisan pappilary di dekat epithelium dan lapisan retikuler yang
berdekatan dengan periosteum tulang alveolar (Fiorellini et al. 2006 b).
Jaringan penghubung gingiva mangandung bagian seluler dan ektraseluler
yang terpisah dan terdiri dari serat- serat dan substansi dasar. Jaringan penghubung
sebagian besar merupakan jaringan penghubung fibrous yang memiliki elemen-
elemen yang berasal dari jaringan penghubung mukosa oral atau rongga mulut
(Fiorellini et al. 2006 b).
Serabut jaringan penghubung ada tiga tipe yaitu kolagen, retikuler dan elastik.
Kolagen tipe I membentuk ketebalan lamina propria dan memberikan kekuatan
tarikan-regangan pada jaringan gingiva, sedangkan kolagen tipe IV (serat
argyrophilic reticulum ) bercabang di antara ikatan kolagen tipe I dan dilanjutkan
dengan serat-serat pada dasar membran dan dinding pembuluh darah (Fiorellini et al.
2006 b).
2.1.2 Serabut-serabut gingiva (kolagen gingiva)
Jaringan penghubung gingiva adalah kolagen padat, mengandung ikatan serat
kolagen yang jelas terlihat disebut serabut-serabut gingiva. Fungsi dari serabut-
serabut gingiva adalah melekatkan tepi gingiva dengan kuat pada permukaan gigi,
menyediakan kekenyalan yang penting untuk mempertahankan posisinya terhadap
11
tekanan penguyahan tanpa tergeser dari permukaan gigi dan untuk menyatukan tepi
gingiva dengan sementum pada akar gigi dan gingiva cekat di dekatnya (Fiorellini et
al. 2006 b).
Kolagen adalah protein yang tersusun dari asam amino yang berbeda-beda ,
yang paling penting adalah glycine, proline, hydroxylysine dan hydroxyproline.
Sejumlah kolagen dalam jaringan dapat ditentukan oleh kandungan hydroxyproline.
Biosintesis kolagen terjadi di dalam fibroblas untuk membentuk molekul
tropokolagen, bersama-sama masuk mikrofibril yang bergabung bersama untuk
membentuk fibril. Fibril kolagen mempunyai striasi melintang dengan karakteristik
periodicity 64 nm, striasi ini disebabkan oleh penyusunan yang overlapping dari
molekul tropocollagen. Sebagian besar serabut-serabut dasar tersusun dari kolagen
tipe I (Fiorellini et al. 2006 b).
Kolagen merupakan komponen kunci semua fase penyembuhan luka. Segera
setelah injuri, paparan kolagen fibriler ke darah akan menyebabkan agregasi dan
aktivasi trombosit dan melepaskan faktor-faktor kemotaksis yang memulai proses
penyembuhan luka. Fragmen-fragmen kolagen melepaskan kolagenase leukositik
untuk menarik fibroblas ke daerah injuri. Selanjutnya kolagen menjadi pondasi untuk
matrik ekstraseluler yang baru. Akumulasi kolagen pada daerah luka tergantung pada
ratio antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen oleh enzim. Fase awal proses
penyembuhan luka, jumlah degradasi kolagen rendah, tetapi akan meningkat seiring
dengan maturasi dari luka (Triyono, 2005).
12
Berkas serabut kolagen dalam jaringan pengikat berdiameter antara 1 -12 µm
dengan rata-rata sebesar diameter eritrosit (7,7 µm). Sebenarnya serabut kolagen
terdiri dari gabungan serabut-serabut yang lebih halus disebut fibril. Serabut kolagen
dalam keadaan segar berwarna putih, oleh karena itu dinamakan serabut putih
(Subowo, 2009).
Massa kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler ini berfungsi untuk
mengembalikan kontinuitas, kekuatan dan fungsi jaringan. Kelambatan proses
penyembuhan dapat disebabkan oleh keberadaan luka yang memanjang, sementara
abnormalitas proses penyembuhan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut
abnormal (Triyono, 2005).
Serabut-serabut gingiva ada 3 kelompok yaitu gingivodental, sirkular dan
transeptal (Fiorellini et al. 2006 b).
1. Kelompok gingivodental terdapat pada permukaan fasial, lingual dan
interproximal. Tersembunyi dalam sementum di balik epitelium pada dasar
sulkus gingiva, terproyeksi dari sementum berbentuk kipas menuju puncak dan
permukaan luar tepi gingiva dan berakhir di dekat epitelium.
2. Kelompok sirkular berjalan melalui jaringan penghubung tepi gingiva dan
interdental melingkari gigi seperti cincin.
3. Kelompok transeptal berada pada daerah interproksimal membentuk ikatan-
ikatan horizontal yang meluas pada sementum antar gigi.
13
2.1.3 Peranan kolagen pada penyembuhan gingivitis
Penyembuhan luka adalah proses yang kompleks dan berkesinambungan.
Hemostasis atau penghentian perdarahan adalah proses pertama dalam proses
penyembuhan luka. Trombosit dan faktor-faktor pembekuan merupakan faktor
hemostatik intravaskuler yang utama. Kolagen merupakan agen hemostatik yang
sangat efisien, sebab trombosit melekat pada kolagen, membengkak dan melepaskan
substansi yang memulai proses hemostasis (Triyono, 2005).
Hemostasis kemudian diikuti dengan vasokonstriksi dan vasodilatasi.
Vasokonstriksi berlangsung ± 5 - 10 menit dan mengurangi keluarnya darah dari
daerah luka. Akumulasi lekosit PMN dan makrofag yang cepat terjadi pada tempat
injuri. Kolagen mempunyai kemampuan kemotaksis terhadap monosit. Monosit
seperti makrofag berfungsi memfagosit daerah luka dan membersihkan debris
(Triyono, 2005).
Sintesa kolagen dimulai hari ke-3 setelah injuri dan berlangsung secara cepat
sekitar minggu ke-2 – ke-4. Sintesis kolagen dikontrol oleh kolagenase dan faktor-
faktor lain yang merusak kolagen sebagai kolagen yang baru. Remodeling kolagen
selama fase maturasi tergantung pada berlangsungnya sintesis kolagen dan adanya
degradasi kolagen. Kolagenase dan metalloproteinase di dalam luka membuang
kelebihan kolagen sementara sintesis kolagen yang baru tetap. Selama remodeling,
kolagen menjadi lebih terorganisir (Triyono, 2005).
14
2.2 Hubungan klinis dan mikroskopis
Warna gingiva cekat dan tepi gingiva umumnya coral pink oleh karena suplai
darah, ketebalan dan derajat keratinisasi pada epitel serta adanya sel-sel yang
mengandung pigmen. Melanin, pigmen coklat yang merupakan derivate non-
hemoglobin bertanggung jawab terhadap pigmentasi normal kulit, gingiva dan
membran mukosa oral (Fiorellini et al. 2006 b).
Gingiva memiliki konsistensi padat, kenyal dan melekat erat pada tulang di
bawahnya, kecuali pada tepi gingiva. Tekstur permukaan menyerupai kulit jeruk
(stippling), dan terlihat jelas dengan mengeringkan gingiva. Berkurang atau
hilangnya stippling merupakan tanda adanya penyakit pada gingiva (Fiorellini et al.
2006 b).
Ukuran gingiva berbanding lurus dengan jumlah total ketebalan elemen-
elemen seluler dan interseluler serta suplai vaskulernya. Perubahan ukuran
merupakan ciri-ciri umum penyakit gingiva. Kontur atau bentuk gingiva bervariasi
tergantung pada bentuk gigi dan perlekatannya pada lengkung rahang. Kolagen
lamina propria menentukan kepadatan gingiva cekat sedangkan serabut-serabut
gingiva mempengaruhi kepadatan tepi gingiva (Fiorellini et al. 2006 b).
2.3 Gingivitis
Pasien dengan kebersihan mulut yang buruk, gingivanya dapat mengalami
pembengkakkan tipe ringan sampai berat dan menunjukkan perubahan warna dari
merah pucat sampai magenta. Kehilangan stippling pada gingiva dan perubahan
15
topografi permukaan meliputi menumpulan atau membulatnya tepi gingiva dan
bertambah datarnya cekungan pada papilla. Perdarahan gingiva, baik spontan atau
sebagai respon terhadap prob periodontal, merupakan hal yang umum, dan dapat pula
ditemukan eksudat cairan krevikular yang berhubungan dengan peradangan dan
nanah pada poket periodontal (Novack, 2006 a).
Perubahan warna pada gingivitis dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran
pembuluh darah, ketebalan epitel, kuantitas keratinisasi dan pigmentasi dalam epitel.
Perubahan warna gingiva merupakan tanda klinis penting pada gingivitis. Inflamasi
kronis dapat meningkatkan derajat kemerahan sebagai akibat proliferasi vaskuler dan
berkurangnya keratinisasi diakibatkan oleh tekanan jaringan yang mengalami
inflamasi (Melatibiyantini, 2009).
Luka pada gingiva yang biasa terjadi dibidang kedokteran gigi dapat
menyebabkan terjadinya radang gingiva. Radang merupakan reaksi jaringan hidup
tehadap semua bentuk jejas. Radang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah
netrofil dan enzim siklooksigenase di daerah luka. Gingivitis memberikan ciri yang
khas dengan adanya tanda klinis peradangan pada gingiva tanpa menunjukkan
kehilangan jaringan perlekatan (Novack, 2006 b).
Gingivitis merupakan reaksi keradangan yang timbul pada gingiva akibat
adanya jejas, baik mekanis maupun kimiawi. Perubahan patologis pada struktur
gingiva terjadi akibat adanya mikroorganisme yang masuk ke dalam sulkus gingiva
sehingga menimbulkan kerusakan epitel, sel-sel jaringan ikat, dan struktur
interseluler. Keradangan ini diawali oleh adanya akumulasi plak yang mampu
16
merubah kondisi gingiva yang sehat menjadi gingivitis yang bertingkat (initial –
early – established – advanced lesion) (Gilangrasuna, 2010).
2.3.1 Gingvitis stadium I (initial lesion)
Manifestasi pertama inflamasi adalah perubahan vaskuler (dilatasi pembuluh
darah dan peningkatan aliran darah). Perubahan ini terjadi sebagai respon terhadap
aktivasi mikroba, tetapi secara klinis respon gingiva pada stadium I tidak terlihat.
Secara mikroskopis, gambaran klasik radang akut dapat terlihat pada jaringan ikat di
bawah epitel penghubung (Fiorellini et al. 2006 a).
2.3.2 Gingivitis stadium II (lesi awal)
Lesi awal berkembang dari lesi inisial dalam kurun waktu sekitar 1 minggu
setelah dimulainya akumulai plak. Tanda-tanda klinis eritema akan terlihat serta dapat
terjadi perdarahan pada saat probing. Pemeriksaan mikroskopis gingiva,
menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dalam jaringan ikat di bawah epitel
penghubung. Jumlah kerusakan kolagen meningkat, 70% kolagen yang rusak ada di
sekitar infiltrat seluler. Kumpulan serabut utama yang terlibat tampak pada jaringan
dentogingival. PMNs melepaskan lisosomnya untuk memfagositosis bakteri.
Fibroblas menunjukkan perubahan sitotoksik, dengan penurunan kemampuan untuk
memproduksi kolagen (Fiorellini et al. 2006 a).
17
2.3.3 Gingivitis stadium III ( lesi yang menetap )
Perkembangan lesi menetap ditandai dengan banyaknya jumlah sel-sel
plasma dan limfosit B serta mungkin berhubungan dengan pembentukan poket
gingiva . Se-sel B yang ditemukan sebagian besar adalah subklas immunoglobulin
G1 (IgG1) dan G3 (IgG3). Pembuluh darah tesumbat dan memadat, aliran balik vena
mengalami gangguan mengakibatkan anoxemia gingiva yang terlokalisasi, dilapisi
warna kebiru-biruan di atas gingiva yang kemerahan. Aliran eritrosit ke jaringan
penghubung dan kerusakan hemoglobin menyebabkan radang gingiva menjadi lebih
gelap (Fiorellini et al. 2006 a).
2.3.4 Gingivitis stadium IV ( lesi lanjutan )
Perluasan lesi ke dalam tulang alveolar sebagai tanda stadium keempat disebut
stadium lanjutan atau fase kerusakan periodontal. Secara mikroskopis terdapat
jaringan gingiva fibrosis serta manifestasi kerusakan jaringan radang dan
imunopatologis yang tersebar luas, sel-sel plasma mendominasi jaringan ikat, serta
neutrofil tetap mendominasi epitel penghubung. Pada orang yang rentan dapat
berkembang menjadi periodontitis (Fiorellini et al. 2006 a).
Gingivitis dibedakan berdasarkan perjalanannya dan lamanya serta
penyebarannya. Berdasarkan perjalanan dan lamanya diklasifikasikan menjadi 4
yaitu gingivitis akut (rasa sakit timbul secara tiba-tiba dan dalam jangka waktu yang
pendek), gingivitis subakut (tahap yang lebih hebat dari kondisi gingivitis akut),
gingivitis rekuren (peradangan gusi yang dapat timbul kembali setelah dibersihkan
18
dengan perawatan atau hilang secara spontan dan dapat timbul kembali), gingivitis
kronis (peradangan gusi yang paling umum ditemukan, timbul secara perlahan-lahan
dalam waktu yang lama dan tidak terasa sakit). Berdasarkan penyebarannya,
gingivitis diklasifikasikan menjadi 5 yaitu localized gingivitis , generalized gingivitis,
marginal gingivitis, pappilary gingivitis, dan diffuse gingivitis (Riyanti, 2008).
2.3.5 Gambaran klinis gingivitis
Tanda-tanda klinis gingivitis adalah kemerahan pada gingiva, perdarahan,
perubahan kontur dan adanya adanya kalkulus atau plak gigi. Pada pemeriksaan
histologis pada gingivitis terlihat adanya ulserasi epitel. Mediator inflamasi
memberikan efek negatif pada fungsi epitel sebagai barier perlindungan dan
perbaikan ulserasi pada epitel tergantung proliferasi atau regenerasi dari aktivitas sel
epitel (Melatibiyantini, 2009).
Gingivitis merupakan sebuah proses keradangan yang terbatas pada jaringan
epitel mukosa di sekitar servikal gigi. Gingivitis diklasifikasikan menurut
penampakannya (misalnya, ulceratif, hemorrhagic, necrotizing, purulent). Tipe
gingivitis yang paling umum adalah bentuk kronis yang ditimbulkan oleh plak
(Masdin, 2010).
Kelompok usia remaja mempunyai prevalensi gingivitis yang tinggi daripada
anak-anak ataupun orang tua. Peningkatan hormon sex selama masa remaja
19
memberikan pengaruh yang besar terhadap meningkatnya gingivitis (Beck dan Arbes,
2006).
Perubahan-perubahan patologis pada gingivitis berhubungan dengan adanya
mikroorganisme oral yang melekat pada gigi dan mungkin yang ada di dalam atau
didekat sulkus gingiva. Organisme-organisme ini mampu mensintesis produk-produk
(misal: kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, endotoksin) yang
dapat menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat serta pada komponen
interseluler seperti kolagen, substansi dasar dan glycocalyx (cell coat) (Fiorellini et al.
2006 a).
Manifestasi pertama gingivitis adalah perubahan vaskuler yang terdiri dari
dilatasi kapiler dan peningkatan aliran darah. Perubahan ini terjadi sebagai respon
terhadap aktivasi mikroba dari sisa-sisa leukosit dan stimulasi sel-sel endotel.
Terdapat sedikit perubahan pada epitelium junctional dan jaringan ikat peri vaskuler
pada stadium awal (Fiorellini et al. 2006 a).
Fase inflamasi terjadi oleh karena adanya respon vaskuler dan seluler yang
terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Respon inflamasi ditandai
dengan timbunan sel polimorfonuklear (PMN) yaitu neutrofil, disekitar jaringan
inflamasi. Fase ini dimulai dari hari ke-1 - ke-4 setelah perlukaan, pembuluh darah
mengalami kerusakan menyebabkan platelet keluar dan berfungsi sebagai hemostasis.
Platelet menutupi pembuluh darah yang terbuka dan mengeluarkan substansi
vasokonstriksi (Julica, 2009).
20
Fibroblast aktif bergerak ke daerah inflamasi dan mengalami proliferasi serta
mengeluarkan beberapa substansi kolagen, elastin, fibronektin dan proteoglycans
yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru. Fungsi kolagen yang spesifik adalah
membentuk connective tissue matrix (Julica, 2009).
Gambaran ciri-ciri klasik radang akut dapat terlihat pada jaringan ikat dibawah
epitelium junctional. Karakter dan intensitas respon host menentukan apakah lesi
inisial berkembang secara cepat, disertai peningkatan neutrofil. Deposisi fibrin dan
kerusakan kolagen bisa ditemukan pada tahap awal. Pada sekitar 1 pekan, transisi ke
lesi-lesi dini ditandai dengan perubahan infiltrat-infiltrat limfosit yang menonjol.
Monosit dan sel-sel plasma juga bisa ditemukan. Semakin lama, lesi-lesi ini menjadi
kronis dan ditandai dengan adanya sel-sel plasma dan limfosit B. Ketika inflamasi
kronis berkembang menyebabkan terbentuknya poket. Poket menjadi bertambah
dalam sehingga menyebabkan perdarahan selama menyikat gigi bahkan saat
mengunyah biasa. Karena inflamasi ini berlangsung terus menerus, maka ligamen
periodontal akan terurai dan terjadi kerusakan tulang alveolar lokal, gigi mulai
longgar dan akhirnya tanggal (Masdin, 2010).
2.3.6 Etiologi gingivitis
Penyebab utama gingivitis adalah adanya bakteri pada plak gigi, bersama
faktor penyebab lainnya seperti kalkulus, maloklusi, restorasi yang kurang bagus,
21
komplikasi yang berhubungan terapi ortodontik, luka yang dibuat sendiri,
penggunaan tembakau dan radiasi (Hinrichs, 2006).
Plak gigi adalah struktur lunak, substansi yang berwarna kuning keabuan yang
melekat kuat pada permukaan keras dalam rongga mulut seperti pada restorasi cekat
dan lepasan. Plak gigi terutama tersusun oleh bakteri yang terdapat dalam matriks
glikoprotein saliva dan polisakarida ekstraseluler. Plak gigi terutama tersusun oleh
mikroorganisme, dimana 1 gram plak gigi (berat basah) mengandung kira-kira 1011
bakteri. Jumlah bakteri pada plak gigi supragingiva pada satu permukaan gigi dapat
melebihi angka 109. Pendekatan molekuler baru untuk identifikasi bakteri,
diperkirakan sebanyak 30% dari mikroorganisme berhubungan dengan gingivitis
(Quirynen et al. 2006).
Mikroba supragingiva berbeda komposisi dengan plak gigi subgingiva,
terutama karena ketersediaan produk lokal dari darah dan potensi oksidasi dan
reduksi yang rendah ditandai dengan lingkungan yang anaerobik. Plak gigi
didominasi oleh batang dan kokus gram positif seperti Streptococcus mitis, S.sanguis,
A.naeslundil dan spesies Eubacterium (Quirynen et al. 2006).
Komponen anorganik plak gigi terutama adalah kalsium dan fosfor dan
sejumlah mineral meliputi sodium, potasium dan fluorid. Sumber utama bahan
anorganik plak gigi supragingva adalah saliva sehingga dengan adanya peningkatan
kandungan mineral, massa plak gigi menjadi terkalsifikasi menjadi kalkulus. Proses
22
pembentukan melalui 3 fase utama yaitu pembentukan pelikel pada permukaan gigi,
perlekatan awal dan perlekatan bakteri serta kolonisasi dan maturasi plak gigi
(Quirynen et al. 2006).
2.3.7 Penyembuhan gingivitis
Proses penyembuhan jaringan lunak gingiva berlangsung secara normal selama
lebih kurang sepuluh sampai empat belas hari setelah terapi dimana pada prosesnya
terjadi beberapa tahap yakni regenerasi, repair dan proses pembentukan jaringan baru
pada tahap akhir (Haryono, 2006).
Rangsang eksogen dan endogen dapat menimbulkan kerusakan sel, dan
selanjutnya memicu reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang ada pembuluh
darahnya. Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang
mengalami kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tidak terkendali.
Proses inflamasi terjadi pada jaringan ikat dengan pembuluh darah yang mengandung
plasma, sel yang bersirkulasi, elemen seluler dan ekstra seluler jaringan pengikat.
Komponen seluler adalah eritrosit, lekosit (netrofil, eosinofil, basofil), monosit,
limfosit, trombosit, sedangkan sel jaringan pengikat adalah sel mast, fibroblas,
monosit, makrofag dan limfosit. Elemen ekstra seluler antara lain kolagen, elatin,
glikoproptein adesif ( fibronektin, laminin, kolagen non fibril, tenasen, proteoglikan )
(Triyono, 2005).
Dalam proses inflamasi terjadi perusakan, pelarutan dan penghancuran sel atau
agen penyebab kerusakan sel. Proses reparasi, proses pembentukan kembali jaringan
23
rusak atau proses penyembuhan jaringan rusak terjadi pada saat yang sama. Proses
ini baru selesai sempurna sesudah agen penyebab kerusakan sel dinetralkan. Selama
proses reparasi berlangsung, jaringan rusak diganti oleh regenerasi sel parenkimal asli
dengan cara mengisi bagian yang rusak dengan jaringan fibroblas (proses scarring)
(Triyono, 2005).
Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami
kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tidak terkendali. Proses
inflamasi sangat erat berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa adanya
inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka. Luka akan tetap menjadi
sumber nyeri sehingga proses inflamasi dan penyembuhan luka akan cenderung
menimbulkan nyeri (Triyono, 2005).
Fase penyembuhan pada gingivitis, mengalami fase yang sama dengan proses
pemyembuhan secara umum.
2.3.7.1 Fase inflamasi
Fase inflamasi terjadi pada hari ke- 0 – ke-5. Luka karena trauma atau karena
pembedahan menimbulkan kerusakan jaringan dan perdarahan. Darah pada awalnya
akan mengisi jaringan yang cedera dan paparan darah terhadap kolagen akan
mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor Hageman.
Kemudian akan memicu sistem biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin,
kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari
daerah terluka, yang tidak saja mengaktifkan pembentukan bekuan yang menyatukan
tepi luka tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke
24
daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini menyebabkan
edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya
luka (Norvianzah, 2008).
Polimorfonuklear (PMN) adalah sel pertama yang menuju ke tempat
terjadinya luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24 – 48
jam. Fungsi utamanya adalah memfagositosis bakteri yang masuk. Pada
penyembuhan luka normal tampaknya kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting sebab
penyembuhan luka dapat terjadi tanpa keberadaan sel-sel ini. Adanya sel ini
menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi sel-sel
PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ketiga.
Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Sel ini turunan dari monosit
yang bersirkulasi, terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi. Muncul pertama
48 – 96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke-3
(Triyono, 2005) .
Makrofag berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada di
dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag akan
muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke-5 dan mencapai puncak
pada hari ke-7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting keberadaanya
pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya netrofil, memfagositosis
dan mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa jaringan. Makrofag juga
melepas zat biologis aktif. Zat ini mempermudah terbentuknya sel inflamasi
25
tambahan yang membantu makrofag dalam dekontaminasi dan membersihkan sisa
jaringan. Makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan substansi lain yang
mengawali dan mempercepat pembentukan formasi jaringan granulasi. Zat yang
berfungsi sebagai transmiter interseluler ini secara keseluruhan disebut sitokin
(Triyono, 2005).
2.3.7.2 Fase proliferasi
Fase ini terjadi pada hari ke-3 – ke-14. Apabila tidak ada kontaminasi atau
infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek. Setelah luka berhasil
dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak berguna, dimulailah fase
proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada
luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblas
dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam
jaringan longgar ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik.
Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak
pada hari ke-7. Peningkatan jumlah fibroblas pada daerah luka merupakan kombinasi
dari proliferasi dan migrasi (Triyono, 2005).
Fibroblas ini berasal dari sel-sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan
dengan lapisan adventisia, pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang diproduksi
oleh makrofag dan limfosit. Fibroblas merupakan elemen utama pada proses
perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan
jaringan. Fibroblas juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar, kolagen ini
berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks ekstraseluler yang berguna
26
membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali dideteksi pada hari
ke-3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke-3. Kolagen terus menumpuk sampai
tiga bulan. Penumpukan kolagen pada awalnya terjadi berlebihan kemudian fibril
kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan reguler sepanjang luka
(Triyono, 2005).
2.3.7.3 Fase maturasi
Fase ini berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Segera setelah
matriks ekstrasel terbentuk, mulai terjadi reorganisasi. Matriks ekstrasel pada
awalnya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel
substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan
kolagen oleh fibroblas. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk
matriks. Serabut kolagen pada awalnya terdistribusi acak membentuk persilangan
dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan
penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.
Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan
penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir (Triyono, 2005).
2.3.8 Perawatan gingivitis
Tujuan utama perawatan jaringan periodontal tidak hanya menghentikan
penyakit periodontal, tetapi dapat juga meramalkan regenerasi jaringan periodonsium
yang mengalami kerusakan. Keberhasilan perawatan periodontal sangat bergantung
kepada kemampuan dalam menghilangkan keradangan pada gingiva, perdarahan
27
gingiva, mengurangi kedalaman poket, menghentikan proses infeksi, menghentikan
pembentukan pus, menghentikan kerusakan jaringan lunak dan tulang, mengurangi
kegoyangan gigi, memperbaiki fungsi oklusi, memperbaiki jaringan yang mengalami
kerusakan, mencegah rekurensi penyakit serta mengurangi hilangnya gigi geligi
(Syafril, 1996)
Regenerasi adalah pertumbuhan serta pembelahan sel-sel baru dan substansi
interseluler yang membentuk jaringan baru. Regenerasi terdiri dari fibroplasia,
proliferasi endotel, deposisi substansi dasar intersisial dan kolagen, epitelisasi dan
pematangan jaringan ikat (Syafril, 1996).
Peran mikroorganisme terhadap penyakit periodontal sangat menentukan, dan
banyak penelitian yang dilakukan untuk menentukan macam obat yang paling efektif
terhadap mikoorganisme tersebut. Obat kumur sering dianjurkan untuk perawatan ini
disamping pemberian antibiotika lokal atau sistemik. Sistem pemberian obat
antibiotika secara lokal dengan cara irigasi. Syarat pokok untuk efektifitas adalah
obat dapat mencapai dasar poket dan dapat bertahan beberapa waktu di tempat
sampai terjadi efek antimikrobialnya (Prayitno dan Herman, 1996).
Dasar pemikiran diindikasikannya terapi antibiotika sebagai penunjang
perawatan periodontal karena etiologi utama penyakit periodontal adalah bakteri yang
terdapat di dalam plak gigi. Beberapa spesies bakteri dapat mengadakan invansi ke
jaringan ikat gingiva, bahkan sampai ke permukaan tulang alveolar. Antibiotika
28
dapat meningkatkan keberhasilan prosedur perlekatan baru dan prosedur regenerasi
tulang sehingga dapat menghindari terjadinya reinfeksi. Antibiotika yang dipilih
harus sesuai dengan bakteri yang akan disingkirkan dan mempunyai efek samping
minimal (Daliemunthe, 1995).
Antibiotika yang efektif sebagai penunjang perawatan periodontal harus cukup
tinggi konsentrasinya di dalam cairan sulkus gingiva. Sebagai patokan adalah
konsentrasinya di dalam cairan sulkus gingiva dan bukan konsentrasi di dalam serum
darah. Antibiotika yang memenuhi syarat adalah tetrasiklin beserta derivatnya
(minosiklin dan doksisiklin) karena memiliki konsentrasi 2-4 kali lebih tinggi pada
poket periodontal dibandingkan dengan di serum darah (Daliemunthe, 1995).
2.4 Tetrasiklin
Tetrasiklin telah digunakan secara luas pada perawatan penyakit periodontal.
Tetrasiklin mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi pada jaringan dan
menghambat pertumbuhan Actinobacillus actinomycetemcomitans, dan mampu
merangsang suatu efek kolagenase sehingga dapat menghambat terjadinya kerusakan
jaringan dan mungkin membantu regenerasi tulang (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
Pemberian tetrasiklin atau metronidazol dalam waktu singkat atau pemakaian
tetrasiklin secara oral dengan alat irigasi yang lambat ternyata menyebabkan sangat
berkurangnya jumlah flora subgingiva (Manson dan Eley, 1993).
Tetrasiklin merupakan senyawa kristal berwarna kuning dan sedikit larut
dalam air. Pada suhu 28°C kelarutan tetrasiklin dalam air sebesar 1,7 mg/ml
29
sedangkan dalam metanol lebih dari 20 mg/ml. Tetrasiklin memiliki rumus molekul
C22H24N2O8 dan memiliki nama IUPAC [4s-(4α,4aα,5aα,6β,12aα)] -4-
(dimetilamino) 1,4,4a,5,5a, 6-11,12a-oktahidro-3,6,10,12,12a- pentahidroksi- 6- metil
-1,11-diokso- 2- naftasenkarboksamida dengan bobot molekul 444,44 g/mol (Suryani,
2009) .
Gambar 2.2 Struktur kimia tetrasiklin
(http://putrikoto woodpress.com/2010/08/13/tetrasiklin//)
Senyawa tetrasiklin (1948), diperoleh dari streptomyces aureofacien
(klortetrasiklin ) dan Streptomyces rimosus (oksitetrasiklin). Tetapi setelah 1960, zat
induk tetrasiklin mulai dibuat secara sintetis seluruhnya, yang kemudian disusul oleh
derivat –oksi dan –klor serta senyawa long-acting doksisiklin dan minosiklin (Tan
dan Kirana, 2002).
Tetrasiklin bebas merupakan senyawa amfoter dalam bentuk kristal dengan
daya larut rendah, dan merupakan antibiotik berspektrum luas yang menghambat
30
sintesis protein . Agen-agen ini bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri
gram-positif dan gram-negatif, termasuk anaerob, rickettsiae, chlamydiae,
mycoplasma, dan bentuk-bentuk L, serta aktif pula terhadap beberapa protozoa
(Katzung, 2004).
Tetracycline fibers 25% adalah sediaan tetrasiklin dalam ethylene vinyl acetate,
minosiklin 2% dalam lipid gel atau metronidazol 25% dalam lipid gel (Elyzol)
dewasa ini sering dipergunakan secara topikal untuk perawatan periondititis (Prayitno
dan Herman, 1996).
Dua penelitian besar yang melibatkan masing-masing lebih dari 100 subyek
telah dilakukan untuk menilai efektifitas tetracycline fibers 25%, membuktikan
bahwa kedalaman poket turun rata-rata 1,02 mm dibandingkan dengan skeling saja
rata-rata 0,67mm (Prayitno dan Herman, 1996).
Tetrasiklin Periodontal fiber merupakan turunan tetrasiklin yang tidak hanya
memiliki sifat antibakteri namun juga dapat mengurangi inflamasi serta membantu
menghentikan kolagenase protein oleh karena sifatnya yang antikolagenase.
Antibiotika ini digunakan dalam bentuk lokal sebagai perawatan penunjang untuk
penyakit periodontal (Wulandari, 2007).
Minosiklin dalam bentuk lipid gel juga digunakan untuk perawatan saku
periodontal. Gel 0,5 gram yang mengandung 10 mg minosiklin diaplikasikan dengan
alat suntik ujung plastik, menghasilkan penurunan kedalaman poket 1,7 mm
dibandingkan tanpa minosiklin rata-rata 1,4 mm (Prayitno dan Herman, 1996).
31
Penggunaan tetrasiklin golongan antibiotika dalam terapi periodontal telah
dimodifikasi secara kimia sebagai obat antimikrobial, anti kolagenase dan anti
inflamasi. Tetrasiklin sebagai anti kolagenase digunakan 16 mg/ml mampu
menghambat aktifitas kolagenase kurang lebih 90% dibanding ampisilin yang tidak
efektif menghambat enzim kolagenase. Pemberian tetrasiklin dapat menghantarkan
suatu konsentrasi yang dapat diterima 10 hari pada sedikitnya 640 mg/ml pada cairan
di dalam sulkus (Wahyukundari, 2009).
Tetrasiklin dapat mengikat ion kalsium dan ion Zn yang terletak di sisi aktif
dari enzim kolagenase, sehingga hambatan ini menghasilkan efek antiproteolitik yang
dapat menghambat resorbsi tulang. Biokompatibilitas penggunaan tetrasiklin telah
diteliti dalam bentuk tetrasiklin gel dengan konsentrasi 0,7% yang dapat diterima
jaringan dan dapat menghilangkan lapisan smir, membuka tubuli dentin dan
membuka matrix kolagen (Wahyukundari, 2009).
Tetrasiklin efektif dalam mengobati penyakit periodontal pada tiap fase karena
mampu berkonsentrasi pada cairan gingiva 2-10 kali daripada di dalam serum,
sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan konsentrasi obat yang akan diteruskan ke
dalam poket periodontal. Beberapa studi telah melakukan percobaan dimana
tetrasiklin pada CGF (Crevicular Gingival Fluid) dengan konsentrasi yang rendah
(2-4 mg/m) sangat efektif untuk menyerang banyak kuman yang patogen terhadap
jaringan periodontal (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
Antibiotika lokal yang pertama digunakan di Amerika Serikat berupa serat
etilen copolymer vinil asetat (diameter 0,5 mm) terdiri dari tetrasiklin 12.7 mg per 9
32
inci. Penelitian menunjukkan bahwa serat tetrasiklin yang menempel dengan atau
tanpa skeling dan root plening dalam mengurangi kedalaman probing, perdarahan
saat probing dan kuman-kuman patogen periodontal dan tingkat perlekatan klinis
meningkat beberapa efek secara signifikan lebih baik dibanding dengan efek yang
dihasilkan dengan skeling dan root plening saja atau dengan serat placebo (Jolkovsky
dan Ciancio, 2006).
2.4.1 Sifat kimia
Semua terasiklin berwarna kuning dan bersifat amfoter, garam klorida /fosfat
paling banyak digunakan. Larutan garam ini hanya stabil pada pH < 2 dan terurai
pesat pada pH lebih tinggi. Kapsul yang disimpan ditempat panas dan lembab mudah
terurai, terutama di bawah pengaruh cahaya. Produk pengurainya epi-dan
anhidrotetrasiklin bersifat sangat toksis bagi ginjal (Tan dan Kirana, 2002).
2.4.2 Farmakologi
Tetrasiklin merupakan sutau kelompok antibiotika yang diproduksi secara
alami dari spesies tertentu yang berasal dari streptomyces atau derivat semi sintetik.
Antibiotika ini memilki sifat bakteriostatik dan efektif untuk melawan
perkembangbiakan bakteri yang cepat. Tetrasiklin lebih efektif dalam melawan
bakteri gram-positif daripada gram-negatif (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
2.4.3 Farmakodinamik
Terjadi 2 proses masuk ke dalam ribosom bakteri yaitu pertama difusi pasif
melalui kanal hidrofilik, kedua sebagai sistem transport aktif. Setelah masuk
33
berikatan dengan ribosom, mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA
ribosom, terhentinya sintesis protein (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
2.4.4 Farmakokinetika
Tetrasiklin terutama berbeda dalam absorbsi setelah pemberian oral dan
eliminasinya. Absorbsi setelah pemberian oral adalah sekitar 30% untuk
chlortetrasikline, 60-70% untuk tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeclosiklin dan
metasilin, serta 95-100% untuk doxysiklin dan minosiklin (Katzung, 2004).
Tetrasiklin sekitar 30-80% diserap dalam saluran cerna. Doksisiklin dan
minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung
dan usus halus. Makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali
minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi
dan pembentukan kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap
seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat
dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam
sesudah makan (Karlina dkk. 2009).
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan
melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin di
ekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam
empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang di
ekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik, maka obat ini
masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
34
akumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap, diekskresi melalui tinja (Karlina
dkk. 2009).
Tetrasiklin didistribusikan secara luas ke dalam jaringan-jaringan dan cairan-
cairan tubuh, kecuali dalam cairan serebrospinal, dimana konsentrasinya adalah
sebesar 10-25% dari konsentrasi serum. Sekitar 40-80% tetrasiklin diikat oleh
protein-protein serum. Tetrasiklin mempunyai masa kerja singkat berdasarkan waktu
paruh serum (Katzung, 2004).
2.5 Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Tikus putih adalah tikus rumah, merupakan binatang asli Asia, India, dan
Eropa Barat. Tikus laboratorium adalah spesies tikus Rattus norvegicus yang
dibesarkan dan disimpan untuk penelitian ilmiah. Tikus laboratorium telah
digunakan sebagai model hewan yang penting untuk penelitian.
Klasifikasidari tikus putih
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordota
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : Norwegicus
35
2.6 Penelitian Pendahuluan
Peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan dengan mempergunakan
sampel tikus sebanyak 16 ekor, dibagi dalam 4 kelompok dan masing- masing
kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Gingiva tikus pada bagian labial di antara insisivus
sentralis rahang bawah dilukai dengan scalpel no 11 sampai menyentuh tulang
alveolar di bawahnya. Perlakuan diberikan mulai pada hari ke-5. Kelompok I,
diberikan perlakuan dengan diolesi gel, kelompok II diberikan perlakuan dengan
diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,2%. Kelompok II diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,3% dan
kelompok IV diberikan perlakuan dengan diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,4%.
Pengolesan dilakukan 2x sehari dengan tekanan ringan, selama 5 hari. Tikus
didekapitasi pada hari ke-10 dan jaringan gingiva diambil. Sediaan mikroskopis
dibuat dan diukur proliferasi kolagennya.
Dari penilaian didapat hasil sebagai berikut :
1. Kelompok I (kontrol) diberikan perlakuan gel diperoleh proliferasi
kolagen rata-rata 134,23 µm.
2. Kelompok II dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,2% diperoleh
proliferasi kolagen rata-rata 73,15 µm.
3. Kelompok III dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,3% diperoleh
proliferasi kolagen rata-rata 45,16 µm.
4. Kelompok IV dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% diperoleh
proliferasi kolagen rata-rata 15,94 µm.
36
Gambar 2.3 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin
HCl Gel 0,2% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di
bawah mikroskop elektrik pembesaran 400X
37
Gambar 2.4 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin
HCl Gel 0,3% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah
mikroskop elektrik pembesaran 400X
38
Gambar 2.5 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin
HCl Gel 0,4% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah
mikroskop elektrik pembesaran 400X