bab ii

53
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Latief SA, 2009). 2.2 Preoperasi 2.2.1 Penilaian Preoperatif Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif dengan tujuan (Wiryana dkk, 2010): 1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif. 11

Upload: yeni-widayanti

Post on 13-Apr-2016

225 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bab 2 fika

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan

aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi

digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Latief

SA, 2009).

2.2 Preoperasi

2.2.1 Penilaian Preoperatif

Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan

anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani

tindakan operatif dengan tujuan (Wiryana dkk, 2010):

1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif.

2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.

3. Memilih jenis atau teknik anesthesia yang sesuai.

4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau

pascabedah.

5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang

diramalkan. (Wiryana dkk, 2010).

11

12

Tatalaksana evaluasi :

1. Anamnesis.

Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni

meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit

bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis

umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-

obatan, riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat

alergi. (Wiryana dkk, 2010)

2. Pemeriksaan fisik.

Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,

frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan

untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan

fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi,

hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan

saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka, integument. (Wiryana,

dkk, 2010).

Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor Mallampati yang

digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi. Hal ini dilakukan

dengan melihat anatomi cavum oral, terutama didasari terlihatnya dasar

uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan palatum mole. Skoring

dilakukan saat pasien duduk dan pandangan ke depan. Skor Mallampati yang

tinggi (III atau IV) berhubungan dengan intubasi yang lebih sulit sebanding

juga dengan insiden yang lebih tinggi untuk terjadi apneu (Nuckton, et al.

2006).

13

Skoring Mallampati (Nuckton, et al. 2006):

Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

Hanya terlihat palatum durum

3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya.

Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain

itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit

sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang

meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi, evaluasi

kardiologi terutama pada pasien berumur diatas 35 tahun, pemeriksaan

spirometri pada pasien PPOM. (Wiryana dkk, 2010).

14

4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital.

Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait

bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana

atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus elektif

koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama

dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan

bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD (Wiryana dkk,

2010).

5. Menentukan prognosis pasien perioperatif.

Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh American Society of

Anesthesiologist (ASA).

Tabel 1. Klasifikasi ASA (Twersky RS dan Phillip BK, 2008)

Kelas DefinisiASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

ASA 2 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang

ASA 3pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.

ASA 4 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.

ASA 5pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien meninggal.

ASA 6 pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ untuk donor.

E Jika pprosedur merupakan prosedur emergensi, maka status pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesi,

karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping

15

pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6

selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor.

Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas

perioperatif. Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor

yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu,

klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen

anestesi, terutama teknik monitoring (Barash, 2009).

2.2.2 Persiapan Preoperasi

a. Masukan oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko

utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko

tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan

anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode

tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa

6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak

berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman

bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum

obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi

anesthesia (Twersky RS dan Phillip BK, 2008).

16

Tabel 2. Guideline Puasa Sebelum Operasi Elektif (Twersky RS dan

Phillip BK, 2008)

b. Terapi Cairan

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan

mengalami deficit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya

intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena

terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan

insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Defisit bisa

dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan

waktu puasa (Twersky RS dan Phillip BK, 2008).

Tabel 3. Kebutuhan Maintenance Normal

Berat Badan Kadar (mL/kg/jam)10kg pertama 410 kg berikutnya +2Tiap kg di atas 20kg +1

c. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari

anestesi diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anestesi

17

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada

situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat

membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda

kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum

induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid

misalnya petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan

pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan

antagonis reseptor H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin

150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah

pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk

dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg.

Tabel 4. Obat-obatan yang bekerja di H2 receptor untuk mencegah

pnemonia aspirasi (Morgan, 2006).

Drug Route Dose Onset DurationCimetidine (Tagamet)

PO 300–800 mg 1–2 h 4–8 hIV 300 mg

Ranitidine (Zantac)

PO 150–300 mg 1–2 h 10–12 hIV 50 mg

18

Drug Route Dose Onset DurationFamotidine

(Pepcid)PO 20–40 mg 1–2 h 10–12 hIV 20 mg

Nizatidine (Axid) PO 150–300 mg 0.5–1 h 10–12 hNonparticulate

antacids (Bicitra, Polycitra)

PO 15–30 mL 5–10 min 30–60 min

Metoclopramide (Reglan)

IV 10 mg 1–3 min 1–2 hPO 10–15 mg 30–60 min2

2.2.3 Pemilihan Jenis Anestesi

1. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya

dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan

pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang serta tindakan operasi diatas

umbilikus, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu,

laparotomi, dan lain-lain.

Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,

menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi

seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu

nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital

melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Latief SA, 2009).

2. Anestesi Regional

Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara

blok sentral dan blok perifer. Blok sentral meliputi anestesi spinal, epidural,

dan kaudal. Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan

tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang subaraknoid. Tehnik

19

ini digunakan untuk operasi pada daerah di bawah umbilicus. Hal-hal yang

mempengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang

digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra

abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan

penyebaran obat. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam

tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia

darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar

selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan

post operatif dan analgesia yang minimal (Latief SA, 2009).

3. Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu

menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian

tubuh yang spesifik. Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan

untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat seperti insisi abses,

sirkumsisi, debridement luka terbuka, dan lain-lain. Oleh karena efeknya

hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit, maka

dapat diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan anestesi.

Ada beberapa kriteria obat anestesi lokal antara lain: tidak

merangsang jaringan, tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap

susunan saraf, toksisitas sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi

atau penggunaan setempat pada selaput lendir, mula kerjanya sesingkat

mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama, dapat larut

dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga tahan terhadap

pemanasan/sterilisasi. Dua golongan obat yang digunakan untuk anestesi

20

lokal yaitu golongan ester dan amida. Golongan ester yaitu Tetrakain,

Benzokain, dan Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain,

Lidokain, Mepivakain dan Prilokain (Latief SA, 2009).

2.2.3.1 Anastesi Umum ( General Anastesi)

Anestesi Umum (General Anestesi) adalah tindakan meniadakan

nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.

Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia,

relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien

(Latief SA, 2009).

A. Syarat, indikasi, kontraindikasi serta komplikasi anastesi umum:

Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah (Omuigui, 1995):

Memberi induksi yang halus dan cepat.

Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons

Timbulkan keadaan amnesia

Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.

Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup

untuk tindakan operasi.

Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO

yang berlangsung lama.

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis

derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi

Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol,

infeksi akut, sepsis, GNA.

B. Teknik anaetesi umum (Krisdiyanto, 2000):

21

a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan

Indikasi :

Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)

Keadaan umum baik (ASA I – II)

Lambung harus kosong

Prosedur :

Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)

efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll

Induksi

Pemeliharaan

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=

endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal.

Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher

dan kepala)

Prosedur :

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn

durasi singkat).

2. Intubasi setelah induksi dan suksinil

3. Pemeliharaan

22

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope

T = Tubes. Pipa trakea. Usia > 5 tahun dengan balon (cuffed)

A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)

yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak

menymbat jalan napas

T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah

dimasukkan

C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

Teknik Intubasi

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)

3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt

4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong

kepala sedikit ekstensi → mulut membuka

5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi

sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri

6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau

angkat epiglotis ( pada bilah lurus )

23

7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )

8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah

9. Masukan ET melalui rima glottis

10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat

resusitasi )

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)

Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol

pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah

operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian

kita akhiri efek anestesinya.

Teknik sama dengan diatas

Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)

Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

C. Obat-obatan dalam Anestesi Umum

Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau

inhalasi (Dachlan, 2002) :

1. Anestetik intravena

Penggunaan :

Untuk induksi

Obat tunggal pada operasi singkat

Tambahan pada obat inhalasi lemah

Tambahan pada regional anestesi

24

Sedasi

Cara pemberian :

Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat

Suntikan berulang (intermiten)

Diteteskan perinfus

Obat anestetik intravena meliputi :

a. Benzodiazepine

Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,

pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.

Kontraindikasi : porfiria dan hamil.

Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi :

0,15 – 0,45 mg/kg IV.

b. Propofol

Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting.

Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan

pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan yang

lebih cepat. Dosis : 2 – 2,5 mg/kg IV.

c. Ketamin

Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.

Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian

jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien

resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2

mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 – 10 mg/kgBB.

d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

25

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga

banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung.

Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg

dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

e. Atracurium – hamein

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru

yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari

tanaman Leontice Leontopeltalum. Setiap kemasan 5 ml per ampul

mengandung 50 mg atracurium hamein. Dosis intubasi 0,5-0,6

mg/kgBB iv (Muhardi, 1989).

Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai.

Pada umumnya mula kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3

menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan,

sehingga sering dipakai pada pasien geriatric atau dengan kelainan

jantung, hati, dan ginjal yang berat (Muhardi, 1989).

2. Anestetik inhalasi

a. N2O

Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak

berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya

tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan

penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek

analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen

efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk

mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% . gas ini sering

26

digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu

kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi

kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk

mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan

secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses

persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk

anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain

b. Halotan

Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar

dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen.

Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium,

aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut dalam halotan,

sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian

obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek

analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya

baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi

sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %).

Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.

c. Isofluran

Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara

kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.

Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara

yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan nafas dan

batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi

27

dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan

bersama N2O dan O2. isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk

intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak

menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan

frekuensi nadi dan takikardi dihilangkan dengan pemberian

propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau

0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih

dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan mengatur

dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi

perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran

meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC

(minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan

intracranial.

d. Sevofluran

Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling

disukai untuk induksi inhalasi. Induksi dan pulih dari anestesi lebih

cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak

merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi

inhalasi disamping halotan (Soenarjo, 2010).

2.2.4 Monitoring selama Anestesi

28

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang

dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu

dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard

monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut

ini adalah standard minimal monitoring) :

Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun

pada kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan.

Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang

merupakan salah satu komponen perawatan anestesi.

a. Standard I

Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general

anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.

b. Standard II

Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan

temperature pasien harus dievalusi terus menerus.

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:

- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter

- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time

29

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.3 Post Operasi

2.3.1 Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care

unit (PACU), biasa disebut dengan Recovery Room. Di tempat ini, pasien

akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya

(WebMD, 2011). Pemindahan pasien dari kamar operasi ke Recovery Room

memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di

antaranya ialah letak insisi bedah, perbuhan vaskular, dan pemajanan.

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan

dari satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah

dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu

pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Selama perjalanan

transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut

dan siku serta side rail harus dipasang untuk mencegah terjadinya risiko

injury (The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, 2007).

30

2.3.2 Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang

dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi

benar-benar hilang (WebMD, 2011). Setelah anestesi, sejumlah kecil obat

masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.

 Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia

pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas

individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat

ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis

anestesi diketahui.

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar

pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan

seperangkat alat berikut (The Association of Anaesthetists of Great Britain

and Ireland, 2007) :

1. Pulse oximeter

2. Non-invasive blood pressure monitor

Ruang Pulih (Wiryana dkk, 2010)

o Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara

kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan

sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi,

31

memantau perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah

nyeri pasca bedah.

o Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang

pulih: pasien dengan anesthesia local yang kondisinya normal, pasien

dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak

ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi intensif,

pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.

Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik (Wiryana dkk, 2010):

o Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan kesadaran,

respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan

darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi

saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi

pasien, pemantauan pasca anesthesia dan criteria pengeluaran yakni

dengan menggunakan Skor Aldrete.

o Pasien tetap berada dalam Recovery Room sampai pulih sepenuhnya

dari pengaruh anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan

adekuat, saturasi oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.

o Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari Recovery

Room berdasarkan discharge criteria. Kriteria yang digunakan

adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien

akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan

biasa.

32

Tabel 5. Aldrete Score

Postanesthetic Aldrete Recovery ScoreOriginal Criteria Modified Criteria PointValueColor  Oxygenation   Pink SpO2 >92% on room air

 2

Pale or dusky SpO2 >90% on oxygen 

1

Cyanotic SpO2 <90% on oxygen 

0

Respiration   Can breathe deeply and cough

Breathes deeply and coughs freely

2

Shallow but adequate exchange

Dyspneic, shallow or limited breathing

1

Apnea or obstruction Apnea 0Circulation   Blood pressure within 20% of normal

Blood pressure ± 20 mmHg of normal

2

Blood pressure within 20–50% of normal

Blood pressure ± 20–50mmHg of normal

1

Blood pressure  deviating >50% from normal

Blood pressure more than ± 50 mmHg of normal

0

Consciousness  Awake, alert, and oriented Fully awake 2Arousable but readily drifts back to sleep

Arousable on calling 1

No response Not responsive 0Activity   Moves all extremities Same 2Moves two extremities Same 1No movement Same 0

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk

dikeluarkan dari Revovery Room adalah:

Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat

33

Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah

Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang

Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam

Mual dan muntah dalam kontrol

Nyeri minimal

2.4 Cholelithiasis

2.4.1 Definisi Cholelithiasis

Kolelitiasis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk

dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan

empedu yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi.

(Brunner & Suddart, 2002).

2.4.2 Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun

faktor predisposisi terpenting, yaitu: gangguan metabolisme yang

menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan

infeksi kandung empedu.

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor

terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu

empedu kolesterol mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol.

Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan

cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.

34

Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan

supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-

unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingter

oddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon

kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan

pengosongan kandung empedu.

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam

pembentukan batu. Mukus meningatakan viskositas empedu dan unsur sel

atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi

lebih timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding penyebab terbentuknya

batu.

Faktor risiko batu empedu dikenal dengan singkatan 4F, yaitu Forty,

Female, Fat, Family. Artinya, batu empedu lebih umum pada mereka yang

berusia di atas 40 tahun, wanita, kegemukan dan punya riwayat keluarga

terkena batu empedu.

a. Usia lanjut. Batu empedu jarang sekali menyerang di usia 25 tahun ke

bawah. Sekitar 30% lansia diperkirakan memiliki batu empedu,

meskipun kebanyakan tidak menimbulkan gejala.

b. Wanita. Wanita lebih banyak terkena batu empedu dibandingkan pria.

Pada wanita insidennya sekitar 2 per 1000, dibandingkan hanya 0,6 per

1000 pada pria. Pada wanita hamil, kandung empedu menjadi lebih

rendah dan batu empedu bisa berkembang. Hormon wanita dan

penggunaan pil KB juga diduga ikut berperan.

35

c. Obesitas. Kelebihan berat badan merupakan faktor risiko yang kuat untuk

batu empedu, terutama di kalangan wanita. Penelitian menunjukkan

bahwa wanita dengan memiliki BMI lebih dari 32 memiliki risiko tiga

kali lebih besar untuk mengembangkan batu empedu dibandingkan yang

memiliki BMI antara 24 s.d. 25. Risiko meningkat tujuh kali lipat pada

wanita dengan BMI lebih dari 45.

d. Genetik. Bila keluarga inti Anda (orangtua, saudara dan anak-anak)

memiliki batu empedu, Anda berpeluang 1½ kali lebih mungkin untuk

mendapatkan batu empedu.

2.4.3 Patofisiologi

Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu dan

sebagian besar batu di dalam saluran empedu berasal dari kandung empedu.

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu

mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran atau setelah

dilakukan pengangkatan kandung empedu. Batu empedu di dalam saluran

empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis),

infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu

tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan

infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan

menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Sebagian besar batu empedu

dalam jangka waktu yang lama tidak menimbulkan gejala, terutama bila batu

menetap di kandung empedu. Kadang-kadang batu yang besar secara

bertahap akan mengikis dinding kandung empedu dan masuk ke usus halus

36

atau usus besar, dan menyebabkan penyumbatan usus (ileus batu empedu).

Yang lebih sering terjadi adalah batu empedu keluar dari kandung empedu

dan masuk ke dalam saluran empedu. Dari saluran empedu, batu empedu

bisa masuk ke usus halus atau tetap berada di dalam saluran empedu tanpa

menimbulkan gangguan aliran empedu maupun gejala (Lesmana, 2007).

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu.

Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan

pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan

pengendapan kolesterol adalah: terlalu banyak absorbsi air dari empedu,

terlalu banyak absorbsi garam- garam empedu dan lesitin dari empedu,

terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam

empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel

hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak

dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak

dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu

empedu (Lesmana, 2007).

2.4.4 Manifestasi Klinis

Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat

mengalami 2 jenis gejala : gejala yang disebakan oleh penyakit kandung

empedu itu sendiri dan gejala yang disebabkan karena obsruksi pada lintas

empedu olem batu ginjal. Gejala bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan

epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada

37

kuadran kanan atas abdomen, dapat terjadi. Gangguan ini terjadi setelah

individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau yang digoreng

(Lesmana, 2007).

Rasa nyeri dan kolik biler. Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu

empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi.

Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada

abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada

abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan ;

rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual muntah dan bertambah hebat

dalam beberapa jam setelah makan makanan dalam porsi besar (Lesmana,

2007).

2.4.5 Diagnosis

2.4.5.1 Pemeriksaan Fisik

1. Batu kandung empedu

Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum

didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila

nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena

kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa

dan pasien berhenti menarik nafas.

38

2. Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.

Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar

bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila

sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

2.4.5.2 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak

menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi

peradangan akut dapat terjadi leukositosis, biasanya akan diikuti

kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus

oleh batu. Kadar bilirubin serum yang yang tinggi mungkin disebabkan

oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan

mungkin kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali

terjadi serangan akut (Sjamsuhidayat, 2009).

b. Pemeriksaan Radiologis

1. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran

yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang

bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung

39

empedu berkalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos abdomen.

Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau

hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan

lunak dikuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam

usus besar, flexura hepatica.

Gambar 2. Foto Rongent pada kolelitiasis

2. Ultrasonografi

Pemeriksaan ini merupakan metode noninvasif yang sangat bermanfaat dan

merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan nilai sensitifitas

dan spesifisitas lebih dari 95% (Sjamsuhidayat, 2009).

Ultrasonografi dapat memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai :

Memastikan adanya batu empedu

Menunjukkan berapa batu empedu yang ada dan juga ukurannya.

Melihat lokasi dari batu empedu tesebut. Apakah di dalam kandung

empedu atau di dalam duktus.

Ada 2 jenis pemeriksaan menggunakan ultrasonografi, yaitu :

40

a. Ultrasonografi transabdominal

Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, murah dan tidak

membahayakan pasien. Hampir sekitar 97% batu empedu dapat didiagnosis

dengan ultrasonografi transabdominal, namun kurang baik dalam

mengidentifikasi batu empedu yang berlokasi di dalam duktus dan hanya

dapat mengidentifikasi batu empedu dengan ukuran lebih besar dari 45 mm.

b. Ultrasonografi endoskopi

Ultrasonografi endoskopik dapat memberikan gambaran yang lebih

baik daripada ultrasonografi transabdominal. Karena sifatnya yang lebih

invasif dan juga dapat mendeteksi batu empedu yang berlokasi di duktus

biliaris lebih baik. Kekurangannya adalah mahal dari segi biaya dan banyak

menimbulkan risiko bagi pasien.

Gambar 3. Hasil USG menunjukan adanya batu pada kandung empedu.

c. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik

karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu

radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.

41

Gambar 4. Hasil Kolesistografi

d. CT scan

Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.

Gambar 5. CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

e. ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)

Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus

pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi

ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses

ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu (Schwartz

S, 2000).

42

Gambar 6. ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan

di duktus intrahepatik (panah panjang)

f. Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)

MRCP adalah modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI),

yang memungkinkan untuk mengamati duktus biliaris dan duktus

pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan

juga bila terdapat obstruksi duktus (Schwartz S,2000).

Gambar 7. Hasil MRCP

43

2.4.6 Penatalaksanaan

a. Konservatif

1. Lisis batu dengan obat-obatan

Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak

akan mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu

tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama

pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan

sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam

ursodeoksilat untuk melarutkan batu empedu kolesterol

dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan

monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran

batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5

tahun.

2. Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)

Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer

beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini

hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah

dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL

memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat 10.

44

b. Operatif

1. Open kolesistektomi

Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu

empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi

adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi

yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan

infeksi (Sjamsuhidayat, 2005).

2. Kolesistektomi laparoskopik

Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,

pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan

perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi

tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut

serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi

tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.

Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump

duktus sistikus dan trauma duktus biliaris (Sjamsuhidayat, 2005).

3. Kolesistektomi minilaparatomi.

Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih

kecil dengan efek nyeri pasca operasi lebih rendah (Sjamsuhidayat,

2005).

45

2.4.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

1. Obstruksi duktus sistikus

2. Kolik bilier

3. Kolesistisis akut (peradangan pada dinding kantung empedu); Empiema,

Perikolesistisis, Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan dalam

omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang

kandung empedu. ferforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi

mengakibatkan kematian sekitar 30%.

4. Kolesistisis kronis : Hidrop kandung empedu, Empiema kandung

empedu, Fistel kolesistoenterik, Ileus batu empedu (gallstone ileus).

2.4.8 Pencegahan

Dalam rangka mencegah terbentuknya batu empedu, tentunya upaya

yang dapat dikendalikan seperti faktor diet, mengatur berat badan dan

olahraga. Ada banyak cara untuk mencegah terjadinya batu empedu, antara

lain:

1) Membatasi asupan lemak.

2) Menjaga berat badan tetap sehat ideal.

3) Hindari diet tinggi lemak.

4) Membatasi konsumsi alkohol dan kopi.

5) Konsumsi serat pada buah dan sayuran hijau.